LANGKAH MUNDUR ATAU JALAN TENGAH ? PENYELESAIAN PERKARA PELANGGARAN HAM YANG BERAT MELALUI KKR SET BACK OR ALTERNATIVE WAY? TO DISOLVE RESOLUTION OF SERIOUS HUMAN RIGHTS VIOLATION THROUGH THE TRUTH AND RECONCILITION COMMISSION – KKR Raja Onggal Siahaan Kapuslitbang Kejaksaan Agung – Dosen TT, S.1, S.2 dan S. 3 Unima, Ubhara Jaya, Univ. Mpu Tantular Email :
[email protected] (Diterima tanggal 11 Februari 2015, direvisi tanggal 20 Februari 2015, disetujui tanggal 25 Februari 2015) Abstrak Mengungkap dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dimaksudkan untuk terwujudnya kepastian hukum dan rekonsiliasi nasional. Dengan demikian aksiaksi unjuk rasa karena ketidak puasan dan ketegangan politik diharapkan dapat di eliminasi sehingga pemerintah dapat fokus melaksanakan tugas-tugas segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Inti dari UU Nomor 17 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR ) secara substansial hanya mengatur proses: a. pengungkapan kebenaran; b. pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya; dan c. pertimbangan amnesti. KKR harus dapat menentukan pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran HAM yang berat masa lalu, mengidentifikasi dan meminta mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat mengajukan permohonan amnesti tersebut dengan beralasan, Presiden dapat menerima permohonan tersebut, dan kepada korban harus diberikan kompensasi dan/atau rehabilitasi. Apabila permohonan amnesti ditolak maka kompensasi dan rehabilitasi tidak diberikan oleh negara, dan perkaranya ditindaklanjuti untuk diselesaikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kata Kunci : kebenaran, kepastian dan rekonsiliasi Abstract The purposes to uncover and resolve human rights violation cases that occurred prior to the enactment of Law No. 26 of 2000 concerning Human Rights Court, through the Truth and Reconciliation Commission, is to materialized the law certainty and national reconciliation. Therefore, the actions of protest because of dissatisfaction and political tensions have been expected to be eliminated so that the government can focus on carrying out the duties of all aspects of national life. The essence of the Law No. 17 Year 2004 concerning the Truth and Reconciliation Commission (TRC) substantially only to set up process of : a. disclosure the truth; b. compensation, restitution and / or rehabilitation to the victims or their beneficiaries; and c. amnesty considerations. KKR should be able to determine the responsible parties for the human rights violations in the past, to identifying and requesting to admit quilty, to admit the true facts, to apologized for their mistakes, and willing to apologize to the victims or their families as their beneficiaries/heirs, violators of severe human rights can apply for amnesty with reasoned, the President may accept the request, and the victims should be given compensation and / or rehabilitation. If the request for amnesty is rejected, compensation and rehabilitation are not provided by the state, and the case is process to be completed under the provisions of Act No. 26 of 2000 concerning Human Rights Court. Key words : truth, certainty and reconciliation
I.
PENDAHULUAN : Wacana untuk menuntaskan penyelesaian perkara pelanggaran HAM yang berat masa lalu melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi ataupun bentuk lain yang penyelesaiannya dilakukan di luar pengadilan tampaknya
belum menimbulkan reaksi di media massa, melalui adanya opini-opini yang muncul setelah munculnya wacana tersebut. Sebagai dasar penyelesaian perkara pelanggaran HAM yang berat melalui KKR sesungguhnya sudah diamanatkan oleh UU Pengadilan HAM, UU Nomor 26 Tahun 2000. Pasal 47 ayat (1) UU
Langkah Mundur atau Jalan Tengah ? Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM yang Berat... - Raja Onggal Siahaan
117
pengadilan HAM berbunyi: Pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dengan dasar pasal UU Pengadilan HAM tersebut dibentuklah UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Hal ini berarti pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU pengadilan HAM dapat saja penanganan dan penyelesaiannya tidak melalui proses pengadilan tetapi diselesaikan di luar pengadilan yang dalam pelaksanaannya dilakukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,1 dengan terlebih dahulu mengungkap kebenaran atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi pada masa lalu dan melaksanakan Rekonsiliasi.2 PERMASALAHAN Secara umum tampaknya penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu akan dengan mudah dilakukan. Namun apabila penyelesaiaan kasus pelanggaran HAM yang berat dilakukan melalui KKR atau penyelesaian diluar pengadilan akan timbul permasalahan : 1. Payung hukum apa yang digunakan untuk menyelesaikan kasus tersebut melalui KKK mengingat UU KKR telah dinyatakan tidak berlaku lagi. 2. Metode apa yang dapat digunakan untuk menentukan ahli waris korban baik untuk mewakili keluarga korban (bila korban telah meninggal dunia) untuk dilibatkan dalam penyelesaiannya melalui KKR termasuk untuk menentukan penerima uang ganti rugi.
II. PEMBAHASAN : Kerangka Teoristik a. Teori Pembalasan dan Penerapan Asas Retroaktif b. Teori Restorative Justice 1 UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi selanjutnya disingkat dengan UU KKR.Namun UU ini kemudian dinyatakan tidak berlaku melalui putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 4 Desember 2006 yang dibacakan tanggal 7 Desember 2006. 2 Lengkapnya tentang hal ini dapat disimak dari Pasal 5 UU KKR.
118
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
Ad. Teori Pembalasan dan Penerapan Asas Retroaktif Apabila kita konsekuen dan konsisten memberlakukan/menerapkan asas legalitas maka sesungguhnya semua perkara-perkara pelanggaran HAM yang berat masa lalu tentulah tidak dapat lagi dibuka. Lingkungan berlakunya KUHP menurut waktu : adalah dimaksudkan, bahwa perbuatan seseorang baru dapat dikatakan kejahatan atau pelanggaran bila telah diatur sebelumnya oleh KUHP yang berlaku pada saat itu. Jadi hukum positif dari KUHP. Montesquieu berkata :pelaksanaan azas ini,bahwa seorangpun tidak boleh dihukum jika perbuatannya tidak diancam dengan hukuman oleh sesuatu peraturan yang ditetapkan dengan persetujuan rakyat (parlemen).3 Ajaran Montesquieu, oleh Anselm von Feuerbach (1775-1833) dalam teorinya : prevensi general atau desakan psychologis,4 memperbaikinya dengan mengatakan: belum ada cukup alasan untuk menghukum seseorang jika perbuatannya diancam hukum oleh sesuatu peraturan pidana, akan tetapi peraturan itu sudah mesti diwujudkan dan berlaku sebelum perbuatan itu dilakukan. Segala orang mesti dapat mengetahui pada waktu mereka mengadakan sesuatu peristiwa pidana. Bahwa perbuatan itu diancam hukuman menurut UU. Ancaman hukuman itu adalah desakan psikologis untuk mencegah nafsu orang hendak melakukan kejahatan. Menghukum seseorang karena melakukan perbuatan yang tidak lebih dahulu dengan peraturan UU diancam hukuman, dianggap bertentangan dengan keadilan.5 Ajaran von Feuerbach yang diambilnya dari sebuah pepatah dalam bahasa romawi,berbunyi : Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, yang kemudian dicantumkan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP : Tidak ada perbuatan yang boleh dihukum, selain atas kekuatan aturan 3 Montesquiue (1689-1755), seorang ahli hukum bangsa Perancis yang hidup semasa monarchie absolute, raja-raja Louis XIV dan XV (16431715-1774), dengan bukunya “Del esprit des lois “ yang mengandung teori Trias politika, berusaha memikirkan agar rakyatnya tidak terlalu tertindas oleh raja-raja Prancis dan dapatnya negara mencapai keadilan sosial, maka pimpinan negara harus dipisahkan atas 3 badan yang satu sama yang lain hanya diserahkan wewenang : 1. parlemen berwewenang membuat UU; 2. pemerintah berwewenang melaksanakan UU; 3. pengadilan berwewenang mengawasi dan menindak pelanggar pelaksanaan UU. 4 van Schravendijk, Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia, Penerbit J.B. Wolters, Jakarta, Groningen,1956, hal. 214. 5 Ibid, hal.71.
pidana dalam UU, yang diadakan pada waktu sebelumnya perbuatan itu terjadi.6
4. disamping itu bila KUHP ditafsirkan secara analogis: maka KUHP akan diperluas dengan memperlakukannya terhadap perbuatan yang tidak dilarang dan yang tidak diharuskan yang mengakibatkan atau menimbulkan suatu keadaan dimana tidak
terdapat kepastian hukum.7 Mengenai hal ini van Schravendijk memberi komentar “memang satu kitab UU tidak bisa mengatur segala hal yang mungkin akan terjadi.” Semakin lama, semakin banyak terjadi perkara baru yang belum timbul pada waktu kodifikasi diwujudkan, jika menurut arti kata-kata satu pasal tidak dapat dipakai untuk memutuskan suatu perkara, maka kadang-kadang kepadanya dapat diberi satu arti yang lain dengan menafsirkan pasal itu secara sistematis, teleologis atau menurut sejarah. Akan tetapi kerapkali tidak mungkin satu pasal direnggangkan sehingga olehnya diliputi satu hal yang sebetulnya tidak teratur. Maka perlu dipakai satu pasal lain yang mengatur satu hal yang analog, sebab pasal 22 PUP,8 melarang para hakim menolak suatu perkara perdata dengan alasan ,bahwa tidak ada peraturan yang mengurus hal itu. Pasal yang lain itu harus berdasar atas alasan-alasan yang juga berlaku terhadap yang hendak diputuskan.9 Baginya larangan analogi, hanya untuk memberi kesempatan kepada kaum pejabat untuk “melecut dicelah jaring UU pidana” dan pada masa sekarang bukanlah lagi eranya, mengutamakan kepentingan perseorangan dari pada kepentingan umum. Di samping itu, schravendijk lebih condong menolak larangan penafsiran analogis, memberi contoh pendapatnya tadi dengan membandingkan dengan hukum perdata yang tidak melarang penafsiran analogi, katanya, misalnya pasal 1576KUHPerdata, menentukan bahwa jika dijual sebuah rumah atau sebidang tanah yang sudah disewakan, maka sewa itu tetap berlaku. A menyewa rumahnya selama 10 tahun kepada B. Satu tahun kemudian rumah itu diberi (hibah) oleh A kepada C. Apakah C boleh mengubah atau memberhentikan perjanjian sewa itu? Hal itu tidak diatur oleh KHUPerdata akan tetapi peristiwa yang diatur oleh pasal 1576, penyewa dilindungi terhadap pemilik baru. Tentang soal tersebut pembuat UU hanya
6 Terjemahan Satochid Kartanegara, Hukum Pidana – Kumpulan Kuliah Bagian Satu, Penerbit Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, tanpa tahun., hal.183, Nullum (tidak ada) delectum (feit/peristiwa pidana) nulla (tidak ada) poena (hukuman) sine (tanpa) praevia (sebelumnya) lege (aturan UU) poenali (pidana).
7 Sarjana yang menganut paham bahwa KUHP tidak boleh ditafsirkan secara luas adalah Simon, van Bemmelen, sedang yang menentangnya adalah Pompe, Taverne, Jonkers, Satochid Kartanegara, ibid, hal.184. 8 PUP = Peraturan umum tentang perundang-undangan 1847 (Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (AB), stb.1847 no.23. 9 van Schravendijk, op.cit, hal.72.
Pasal 1 ayat (1) KUHP, sekaligus memberi pengertian bahwa berlakunya hukum pidana positif mengandung unsur (ratio): 1. sumber hukum pidana adalah UU yang tertulis, bukan hukum pidana adat atau peraturan lainnya yang tidak tertulis; 2. hukum pidana tidak berlaku surut, artinya sesuatu perbuatan hanya dapat dihukum, jika pada waktu (saat) dilakukannya perbuatan itu sudah ada terdapat peraturan yang melarang perbuatan itu, serta ancaman hukuman yang diberikan. Jadi kalau A pada tgl 31 Mei melakukan sesuatu kejahatan yang diancam hukuman 5 tahun, sedangkan pada saat itu telah berlaku UU baru yang kejahatannya tadi diancam hukuman 3 tahun, maka yang berlaku padanya, bukanlah UU yang mengancam hukuman 5 tahun, melainkan UU yang mengancam hukuman 3 tahun; 3. larangan penafsiran analogis (hampir sama, serupa). Maksudnya adalah kalau suatu perbuatan yang sedikit saja berbeda dengan apa yang diatur dalam peraturan hukum pidana, orang itu tidak dapat dihukum dengan peraturan hukum pidana yang hampir sama bunyinya dengan perbuatan tadi. Orang itu baru dapat dihukum, menurut larangan penafsiran analogi ini adalah apabila ia telah melakukan segala apa yang diatur atau tercantum dalam pasal yang bersangkutan maka padanya berlakulah pasal itu. Larangan ini timbul pada masa dimana kepentingan individu, terutama terdakwa dianggap lebih besar dari pada kepentingan publik dan kepentingan umum.
Langkah Mundur atau Jalan Tengah ? Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM yang Berat... - Raja Onggal Siahaan
119
mengatur perolehan milik yang biasa ialah pembelian. Akan tetapi alasan pasal 1576 juga berlaku tentang peristiwa tersebut diatas sehingga pantas pasal itu dijalankan analogis terhadapnya. Jadi perjanjian sewa itu berlaku terus terhadap B. Sama halnya dengan pencurian tenaga listrik, yang dimasukkan ke dalam pasal 362 KUHP, adalah anggapan yang ditafsirkan sehingga tenaga listrik disamakan dengan barang memang penafsiran analogis untuk masa kini adalah perlu.10 5. dalam hukum pidana harus tercantum hukuman. Pengertian ini adalah untuk mempermudah berapa besar hukuman yang akan diberikan kalau peraturan hukum pidana itu dilanggar. Sesuatu perbuatan yang bagaimana pun harus dicela, tidaklah dapat dihukum. Jikalau tidak dari semula sudah diadakan larangan oleh atau kuasa UU. UU yang mengandung ancaman hukuman.11 6. hukum pidana bekerja untuk kedepan. Dengan disebutnya hukum pidana tidak berlaku surut, maka dimaksudkan peraturan itu bukanlah melihat peristiwa-peristiwa dimasa lalu, dimana hukum pidana masih dalam taraf ius constituandum atau masih dicita-citakan tidak berlaku surutnya hukum pidana, sebenarnya telah memberi penafsiran yang memberi kemungkinan hukum pidana mana yang diperlukan seandainya terjadi perubahan hukum pidana. Padahal hukum pidana tafsiran pasal 1 ayat1, berlaku hanya untuk kedepan, mengatur peristiwa pidana yang terjadi setelah hukum pidana diundangkan.12 Penyimpangan berlaku surutnya hukum pidana, jika seandainya terjadi perubahan hukum pidana seperti yang diatur dalam pasal 1 ayat 2 KUHP : jika UU dirubah, sesudahnya perbuatan itu terjadi, maka dipakailah aturan yang paling ringan bagi si terdakwa atau yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan hukum 10 Hal yang hampir sama, juga di kemukakan oleh Wiryono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Ketiga, Penerbit PT. Refika Aditama, Bandung, 2003, hal. 38. 11
Tresna, R, Asas Hukum Pidana Indonesia, Tiara Limited, Jakarta, 1959, hal, 201. 12 Pasal 2 AB berbunyi: uu hanya mengikat untuk masa depan dan tidak berlaku surut ( de wet verbindt alleen voor het toe ko mende enheeft geen teruwerkende kracht ), Wiryono Projodikoro, op.cit, hal.33.
120
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
pidana yang lama atau hukum pidana yang baru, yang lebih menguntungkan bagi si terdakwa. Arti perubahan dalam hal ini, kiranya telah mengandung paham yang berbeda diantaranya: 1. paham yang memberi pengertian perubahan dalan arti sempit. Pendapat paham ini berkesimpulan bahwa perubahan itu hanyalah dimaksudkan perubahan dalam perundang-undangan hukum pidana saja. Seperti yang dikatakan D. Simons, istilah wet giving, sebagaimana terdapat dalam ayat 2, kemudian harus dihubungkan dengan istilah wettlijke straf bepaling, pada ayat 1, maka wet giving, yang berarti perubahan itu adalah perubahan hukum pidana saja.13 2. paham yang memberi pengertian perubahan dalam arti luas, yaitu perubahan yang diartikan sebagai perubahan dalam lapangan hukum apapun selain Noyon dan Tresna, Satochid Kartanegara menjawab pendirian Simons dengan mengatakan, pengertian wet, jika diartikan wet (UU) dalam istilah yang ditafsirkan secara sempit, adalah wet yang berarti wet in formele zin (UU dalam arti formil). Akan tetapi jika di tinjau dari riwayat pembentukan pasal 1 KUHP, diketahui bahwa perundangundangan sebenarnya bermaksud untuk memperluas arti wettelijk straf bepaling, sehingga wet dalam istilah itu berarti tiap peraturan yang dibentuk. Bahkan jika wet dalam arti materil, maka yang dimaksud dengan wettelijk straf bepalingen, bukan saja weeten ( UU ) dalam arti uu formil, akan tetapi juga algemeene maatregelen van bestuur ( peraturan umum dalam pemerintah). Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tingkat lebih bawah yang juga mempunyai kekuasaan tadi. Seperti diketahui pasal 1 ayat 2 ini mempersoalkan verandering indewet geving (perubahan dalam per-UU an). Dalam hubungan ini telah diketahui juga ,bahwa yang dimaksud dengan wet dalam istilah wettelijk straf bepaling dalam ayat 1, adalah wet in mateerieele zin. Jadi 13 Disamping Simons (Satochid Kartanegara, hal. 186) adalah juga sama dengan Jonkers (Hand Boek van Het Nederland Indie Strafrecht), R. Tresna, ibid.
wet dalam arti luas,14 oleh karena bila terjadi perubahan UU, seperti dalam hukum perdata tentang batas umur anak yang belum dewasa adalah 23 tahun menjadi 21 tahun (pasal 330 KUHPerdata, Stb.1913 no.54 untuk golongan bumi putera); maka bila yang diartikan dibawah umur dalam KUHP (misalnya pasal 295 melarang perbuatan cabul dengan orang dibawah umur) dimaksudkan adalah anak / orang yang belum mencapai usia 21 tahun. Dengan demikian meskipun KUHP melihat kedepan, berlaku surutnya KUHP diperbolehkan sepanjang hal itu : a. terjadi perubahan perundang-undangan; b. perubahan terjadi setelah seseorang melakukan perbuatan dan diancam dengan hukuman oleh UU, akan tetapi vonis terhadap perbuatannya itu belum dilakukan; c. UU baru lebih menguntungkan dari UU yang lama. Pemberlakuan asas retroaktif secara normatif telah menjadi hukum positif yang dituangkan dalam Pasal 43 UU Pengadilan HAM, tetapi hal ini tetap masih menyisakan polemik baik dikalangan praktisi hukum maupun akademisi karena dipandang asas retroaktif dapat membawa ketidakpastian hukum dalam suatu negara hukum yang menjunjung tinggi asas legalitas. Selain itu dapat membawa dampak bagi ketidakabsahan hak-hak yang telah diperoleh seseorang sebelum diberlakukan surut suatu peraturan yang dapat saja menganulir hak yang telah diperoleh seseorang, seperti bintang jasa yang secara legalitas telah diserahkan pemerintah melalui suatu surat keputusan yang sah, tetapi karena berlakunya asas retroaktif, bintang jasa yang telah diperoleh tersebut menjadi mubazir karena yang bersangakutan dianggap telah melakukan pelanggaran HAM berat, dan oleh karena itu harus dihukum yang justru mendasari seseorang itu mendapat bintang jasa. Menurut teori absolut maka setiap perbuatan jahat harus mendapat imbalan yang setimpal atas perbuatannya, berupa pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. 14
Satochid Kartanegara, op.cit, hal.187
Pandangan teori ini hanya melihat masa lalu yaitu telah terjadi suatu tidak pidana yang dilakukan oleh seseorang dan atas perbuatannya itu si pelaku harus dipidana atau dihukum. Tidak perlu dicari-cari apakah ada akibat yang mungkin timbul atau ada tidaknya manfaatnya bagi masyarakat atas penjatuhan pidana terhadap si pelaku itu. Dalam konsepsi teori absolut, pembalasan atau vergeldings harus diberikan kepada si penjahat sebagai bentuk memberikan kepuasaan hati kepada pihak yang langsung merasakan akibat atau menderita atas perbuatan jahat dari si penjahat. Kepuasan hati selain dirasakan oleh keluarga korban juga masyarakat pada umumnya yang mencela perbuatan jahat tersebut. Spinoza mengatakan, seorang penjahat tidak boleh memperoleh keuntungan dari sifat jahatnya itu, ne malis expeidiat esse malos.15 Namun dampak dari keinginan untuk mendapatkan kepuasan hati dapat juga berakibat dilampiaskannya pembalasan yang dialamatkan kepada orang-orang yang langsung atau tidak langsung terkait dengan perbuatan si penjahat, misalnya, keluarga si penjahat yang ikut menerima pembalasan dari keluarga korban atau orang-orang yang mengetahui perbuatan jahat tersebut tetapi tidak berusaha mencegah atau melaporkannya ke pihak yang berwenang. Menurut van Bemmelen dan van Hattum, unsur naastenliefde, cinta kepada sesama manusia, sebagai dasar adanya norma-norma yang dilanggar oleh para penjahat. Cinta pada sesama manusia ini mendasari larangan mencuri, menipu, membunuh, menganiaya, dan sebagainya. Kalau benar orang cinta kepada sesama manusia, ia tidak layak mencuri, menipu, membunuh, menganiaya dan sebagainya. Dengan dasar ini maka kejahatan sudah selayaknya ditanggapi dengan suatu pidana yang harus ditimpakan kepada si penjahat. Tidak perlu dicari alasan lain. Jadi, kini terdapat nada absolut atau mutlak pula.16 Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang 15 Bemmelen, J.M. van, Hukum Pidana 1 – Hukum Pidana material bagian umum, judul asli : Ons strafrecht 1 – Het materiele strafrecht algemeen deel, terjemahan Hasnan, 1984, Penerbit Binacipta, Jakarta, 1979, hal. 27; Andi hamzah, Perbandingan Hukum Beberapa Negara, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 33. 16 Wirjono Prodjodikoro, op.cit, hal. 24.
Langkah Mundur atau Jalan Tengah ? Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM yang Berat... - Raja Onggal Siahaan
121
yang melakukan kejahatan. Tujuan utama dari pidana “untuk memuaskan tuntutan keadilan to satisfy the claims of justice“.17 Penentang teori absolut akan bertanya seperti halnya dengan pertanyaan tentang tujuan pidana yakni mengapa harus dipidana? bukankah hukum cinta kasih dalam ajaran Kristus seharusnya dapat memaafkan pelaku tindak pidana untuk tidak dihukum ? Pandangan penentang teori absolut demikian memang cukup manusiawi, tetapi jika hal tersebut diikuti, maka akan terjadi kekacauan, tidak ada rasa aman, damai dan adil didalam masyarakat. Tiap-tiap orang akan berlombalomba melakukan tindak pidana, baik tindak pidana ringan maupun yang dikategorikan sebagai tindak pidana berat yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup. Membiarkan terjadinya tindak pidana tanpa memberikan hukuman akan memotivasi sifat-sifat keinginan berbuat bebas yang ada pada tiap individu meminta untuk disalurkan, manusia yang satu akan menjadi serigala bagi manusia yang lain, homo humuni lupus, siapa yang kuat akan berkuasa. Terhadap pendapat penentang teori absolut tersebut sebenarnya dapat dikembalikan dengan pertanyaan yang sama sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut yakni, hukum cinta kasih seharusnya juga membuat tiap individu untuk tidak melakukan tindak pidana. Orang yang akan menjadi korban kejahatan seharusnya dirasakan seperti dirinya sendiri dan patut dikasihi dan dengan demikian ia seharusnya tidak melakukan kejahatan terhadapnya. Pada tahapan ini maka penghukuman sekaligus juga dimaksudkan sebagai peringatan, pencegahan, bagi individu lain untuk tidak melakukan kejahatan dan agar setiap individu dapat mengendalikan kelemahannya mengatasi kemauan-kemauan pribadinya yang tidak terbatas, sifat-sifat hewani yang selalu muncul jika tidak dikekang atau ditakut-takuti; dengan menyadari bahwa ada konsekuensi yang harus diterimanya kalau kejahatan itu dilakukannya. Teori ini pantas untuk diikuti. Pembalasan telah menjadi dasar pembentukan teori absolut, absolute strafrechtstheorien, yang dianut oleh 17
Muladi, dkk, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Penerbit The Habibie Center, Jakarta, 2002, hal. 11.
122
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
Kranenburg, Leo Polak, I. Kant dan Hegel. Wirjono Prodjodikoro termasuk mendukung pendapat Kranenburg dan Leo Polak yang mengatakan pidana didasarkan pada keinsyafan keadilan, rechts-bewustzijn, dari sesama warga dari suatu negara dan keinsyafan kesusilaan, zedelijk bewustzijn.18 Vos membagi teori absolut atas 1. absolut subjektif dan absolut objektif. Pembalasan subjektif ditujukan terhadap kesalahan pelaku sedang pembalasan objektif ditujukan kepada apa yang diciptakan oleh pelaku didunia luarnya.19 Dengan menggunakan keinsyafan kesusilaan, zedelijk bewustzijn, Leo Polak memerinci teori absolut atas 6 konsep :20 1. Teori pertahanan kekuasan hukum atau pertahanan kekuasaan pemerintah negara (rechtsmacht of gezagshandhaving; pemberian pidana sebagai paksaan kekuasaan negara. 2. Teori kompensasi keuntungan (voordeelscompensatie); mempidana penjahat merupakan keharusan estetika. Penjahat harus dipidana seimbang dengan penderitaan korbannya sebagai kompensasi penderitaan korban. 3. Teori melenyapkan segala sesuatu yang menjadi akibat suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan penghinaan ( onrechtsfustrering en blaam); Etika tidak mengizinkan berlakunya suatu kehendak subjektif yang bertentangan dengan hukum. Semakin besar kehendak menetang hukum makin besar penghinaan yang dijatuhkan; reprobasi. 4. Teori pembalasan dalam menyelenggarakan persamaan hukum (talionisrende handhaving van rechtsgelijkheid); kedudukan hukum yang sama dengan syarat-syarat istimewa akan mendapat keuntungan dan kerugian yang istimewa pula. 5. Teori untuk melawan kecenderungan memuaskan keinginan berbuat yang bertentangan dengan kesusilaan (kering van onzedelijk neigingsbevredining); pembalasan ditujukan kepada niat masing18 19 20
Wirjono Prodjodikoro, op.cit. hal. 24. Andi Hamzah, op.cit. hal, 31. Ibid, hal. 32-34.
masing orang yang bertentangan dengan kesusilaan; yang bertentangan dengan kesusilaan tidak boleh didapatkan orang. 6. Teori mengobjektifkan (objectieveringstheorien); teori yang dikembangkan Leo Polak berpendapat bahwa pidana harus memenuhi syarat : a. perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum. b. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Jadi pidana tidak boleh dijatuhkan untuk maksud prevensi. c. Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil. 21 Pembenaran pemberian pidana terhadap suatu kejahatan yang dilakukan seseorang, ditegaskan Hegel dengan dialektika, sebagai hal yang dianggap mutlak harus ada kemestiannya sebagi reaksi dari suatu kejahatan itu sendiri.22 Kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan perwujudan dari cita-susila, maka pidana merupakan “ negation der negation, “ peniadaan atau pengingkaran terhadap pengingkaran. Hegel mengatakan, wrong being (crime) is the negation of right; and punishment is negation of that negation - bersalah (kejahatan) adalah pengingkaran dari hak; dan hukuman adalah pengingkaran terhadap pengingkaran itu.23
tingkatan “equity” dan hukum alam, takkala dianggap sama, apa yang dibolehkan oleh kesusilaan dan apa yang diperkenankan oleh hukum dan berarti bahwa seseorang harus bertanggung jawab atas perugian yang disebabkan oleh tindakannya yang patut dicela menurut kesusilaan.” 24 Prinsip khusus menyebutkan : All legal measures to try crimes against humanity must be apply the principle of retroactive.25 - Setiap tindakan hukum melakukan kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan harus menerapkan prinsip retroaktif. Hal ini semakin menguatkan argumen bahwa sejak dulu asas legalitas bukanlah sesuatu yang tanpa pengecualian. Karena itu dalam hal kepentingan keadilan memerlukan dukungan yang kuat untuk diberikan kepada masyarakat yang sangat luas, maka pemberlakuan asas retroaktif merupakan sesuatu hal yang wajar karena asas retroaktif juga telah menjadi hukum kebiasaan internasional. Mengenai pemberlakuan asas retroaktif, M. Cherif Bassiouni, Crimes Against Humanity In International Criminal Law; Martinus Nijhoff Publisher, Dordrecht / Boston / London,1992, mengatakan : “A retroactive law providing individual punishment for acts which were illegal though not criminal at the time they were committed, seems also to be an exception to the rule against ex post facto laws. The London Agreement is such a law. It is retroactive only in so far as it established individual criminal responsibility for acts which at the time they were committed constituted violations of existing international law, but for which this law has provided only collective responsiblity. The rule against retroactive legislation is a principle of justice. Individual criminal responsiblity represents certainly a higher degree of justice than collective responsibility, the typical technique of primitive law. Since the internationally illegal acts for which the London Agreement established individual criminal responsibility were certainly also morally most objectionable, and the persons who committed these acts were certainly aware of their immoral character the retroactivity of the law applied to them can
Doktrin pertanggungjawaban dapat menjadi dasar pemberlakuan asas retroaktif karena pertanggung jawaban itu dapat dimintakan pada saat sekarang untuk perbuatannya pada masa lalu atau terhadap perbuatanya yang dilakukan saat sekarang. Dalam hubungan ini Roscoe Pound mengatakan bahwa : “Pertanggungjawaban atas kesalahan dan atas kesalahan semata-mata berakar didalam 21 Teori Leo Polak selain dikenal dengan objectieveringstheori juga disebut dengan “het leer der objectieve betreurens swaardigheid atau objectieveringstheori, “lihat Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 28. 22 Wirjono Prodjodikoro, op.cit. hal. 25. 23 Muladi, dkk, op.cit. hal. 12.
24
Ibid. hal. 109. Diambil dari The Surabaya Principles on Transitional Justice in Indonesia; Summerised Antonio Prajasto, Transitional Justice, KOMNAS HAM, Jakarta, 2002, hal. 21. 25
Langkah Mundur atau Jalan Tengah ? Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM yang Berat... - Raja Onggal Siahaan
123
hardly be considered as absolutely incompatible with justice. Justice required the punishment of these men, in spite of the fact that under positive law they were not punishable at the time they performed the acts made punishable with retroactive force. In case two postulates of justice are in conflict with each other, the higher one prevails; and to punish those who were morally responsible for the international crime of the second World War may certainly be considered as more important than to comply with the rather relative rule against ex post facto laws, open to so many exceptions.“26 - Hukum yang berlaku surut menyediakan hukuman bagi individu untuk setiap perbuatan yang tidak sah meskipun perbuatan tersebut demikian jahat pada waktu dilakukan, tampaknya menjadi suatu perkecualian terhadap aturan yang bertentangan dengan ex post facto. Persetujuan London adalah sebuah hukum. Hukum yang berlaku surut hanyalah sepanjang untuk kelangsungan adanya tanggung jawab pidana individu seorang penjahat untuk perbuatan yang pada waktu pelanggaran dilakukan didasarkan pada hukum internasional, tetapi untuk hukum yang berlaku surut disediakan hanya pertanggung jawaban kolektif. Peraturan yang bertentangan dengan perundang-undangan berlaku surut adalah suatu asas keadilan. Pertanggung jawaban pidana individu sudah tentu menghadirkan suatu derajat keadilan yang lebih tinggi dibanding tanggung jawab kolektif, teknik yang khas dari hukum primitif. Sejak undang-undang yang secara internasional dinyatakan tidak sah sesuai Persetujuan London; kelangsungan tanggung jawab individu penjahat sudah tentu secara moral juga yang paling tidak dapat disetujui, dan setiap orang yang melakukan undang-undang ini pasti sadar akan karakter tak bermoral mereka, hukum yang berlaku surut untuk mereka dapat dengan susah diperlakukan sekalipun mungkin tidak cocok atau bertentangan dengan keadilan. Keadilan memerlukan hukuman terhadap orang ini, kendati fakta bahwa di bawah hukum positif mereka tidaklah dapat dihukum pada waktu mereka melakukan tindakan itu jika tidak dibuat penghukuman dengan kekuatan asas retroaktif. Jika dua dalil keadilan adalah tidak bersesuaian satu dengan yang lain, maka yang lebih tinggi berlaku; dan untuk menghukum mereka yang bertanggung jawab untuk kejahatan internasional pada Perang Dunia yang kedua boleh pasti diperlakukan sebagai 26 M. Cherif Bassiouni, p. 136. Lengkapnya lihat R.O. Siahaan, Asas Retroaktif Pemberlakuannya Dalam Perkara Pelanggaran HAM Yang Berat di Indonesia, RAO Press-CV. Miswar, 2008, hal. 302-403.
124
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
yang lebih penting dibanding untuk mematuhi aturan yang agak relatif bertentangan terhadap ex post facto laws, sangat terbuka banyak perkecualiannya.
Penjelasan Bassiouni tersebut menegaskan bahwa pengadilan bagi pelaku kejahatan berlaku surut adalah untuk memberi keadilan sekalipun pada waktu kejahatan itu dilakukan pelaku tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu merupakan kejahatan. Kekuatan berlaku surut dengan meminta pertanggung jawaban invidual dari pada pertanggungjawaban kolektif yang dinilainya lebih tinggi tidak lebih, mengingat dampak kejahatan yang ditimbulkannya sangat besar dan itu dirasakan sebagai suatu keadilan yang lebih tinggi. Bassiouni menegaskan bahwa asas legalitas tidak luput dari pengecualian. Uraian sebelumnya telah menegaskan bahwa kepastian yang tetap tidak akan pernah ada kecuali perubahan. Sekalipun asas legalitas dinilai sangat baik dan menjadi acuan utama karena mengandung adanya kepastian hukum dan keadilan, namun tetap saja terbuka pengecualian untuk menyimpanginya apabila terdapat hal-hal berikut : 1. terjadinya suatu kejahatan yang dinilai luar biasa, extra ordinary crimes, oleh komunitas internasional, yang terjadi sebelum suatu UU diberlakukan dan dinilai sangat melukai rasa keadilan masyarakat banyak, karena jatuhnya korban tidak bersalah dalam jumlah besar dengan di tandai adanya kritikan atau desakan internasional agar mengadili pelaku kejahatan; 2. ketidak sungguhan pemerintah pada masa itu untuk mengadili pelaku kejahatan aquo atau bahkan terkesan menutup-nutupi atau melindunginya yang diasumsikan adanya keterlibatan pimpinan pemerintah yang berkuasa saat itu; 3. rezim pada waktu terjadinya kejahatan telah berlalu sehingga baru diadili pada masa kemudian dengan tujuan sebagai peringatan, prenventif umum dari teori pembalasan, agar suatu rezim yang berkuasa tidak berlaku semena-mena terhadap warganya dengan melakukan apa saja dan dengan cara apa saja untuk melanggengkan kekuasaannya sekalipun dapat berakibat jatuhnya banyak korban, akan menuai karmanya setelah rezim tersebut tidak berkuasa lagi; 4. asas retroaktif telah berfungsi sebagai norma hukum positif dengan telah
dituangkannya ke dalam salah satu pasal dari UU yang dapat diberlakukan surut.27 Ad. Teori Restorative Justice Restorative Justice jika diterjemahkan secara bebas diartikan sebagai Keadilan Restoratif, yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Pasal 1 menyebutkan “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersamasama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.” Keadilan Restoratif (Restorative Justice) adalah suatu pendekatan keadilan yang memfokuskan kepada kebutuhan daripada para korban, pelaku kejahatan, dan juga melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak semata-mata memenuhi ketentuan hukum atau sematamata penjatuhan pidana. Dalam hal ini korban juga dilibatkan di dalam proses, sementara pelaku kejahatan juga didorong untuk mempertanggungjawabkan atas tindakannya, yaitu dengan memperbaiki kesalahankesalaham yang telah mereka perbuat dengan meminta maaf, mengembalikan uang telah dicuri, atau dengan melakukan pelayanan masyarakat. Pendekatan restorative justice memfokuskan kepada kebutuhan baik korban maupun pelaku kejahatan. Di samping itu, pendekatan restorative justice membantu para pelaku kejahatan untuk menghindari kejahatan lainnya pada masa yang akan datang. Menurut ahli kriminologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall dalam tulisannya, “Restorative Justice an Overview” mengatakan: “Restorative Justive is a process whereby all the parties with a stake in particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its 27 Asas retroaktif baru bernilai hukum apabila telah dimasukkan atau dirumuskan dalam salah satu pasal peraturan perundang-undangan. Hans Kelsen, mengatakan, sebuah argumen dapat diajukan terhadap pernyataan (assertion) bahwa derogasi yang menyelesaikan konflik antar norma dan khususnya asas yang dirumuskan dalam kalimat “lex posterior derogat priori” adalah bukan sebuah hukum logikal melainkan sebuah norma yang mengatur derogasi, muncul (terjadi) bila norma-norma saling berkonflik satu dengan lainnya, biasanya tidak hadir sebagai sebuah norma yang dirumuskan secara ekspresif (eksplisit) dalam sebuah tertib hukum positif, ibid. hal. 123.
implication for the future” (restorative justice adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan). Pandangan Michael Tonry, melalui penelitiannya tahun 1999 terhadap kebijakan pemidanaan di Amerika, bahwa restorative justice mempunyai pengaruh besar karena kemampuan konsep tersebut memberikan manfaat kepada semua tahapan proses peradilan dan menempatkan pelaku dengan tepat dalam proses peradilan. Menurutnya ada 3 (tiga) konsep pemidanaan, yaitu : 1. Structured terstruktur);
Sentencing
(pengurutan
2. Indeterminate (pemidanaan yang tidak menentukan); dan 3. Restorative/community justice (pemulihan/ keadilan masyarakat). Penjelasan terhadap definisi restorative justice yang dikemukakan oleh Toni Marshal dalam penulisannya dalam tulisannya “Restorative Justice an Overview”, dikembangkan oleh Susan Sharpe dalam bukunya “Restorative Justice a Vision For Hearing and Change” yang mengungkapkan 5 prinsip kunci dari restorative justice yaitu : 1. Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus; 2. Restorative Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan; 3. Restorative Justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara utuh; 4. Restorative Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindakan kriminal; 5. Restorative Justice memberikan ketahan kepada masyarakat agar dapat mecegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya.14 Konsep Restorative Justice merupakan paradigma baru dalam penegakan hukum pidana, dan dipraktikkan dalam penyelesaian
Langkah Mundur atau Jalan Tengah ? Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM yang Berat... - Raja Onggal Siahaan
125
perkara pidana di beberapa negara yang menganut comon law system. Di Indonesia yang dimaksud Restorative Justice adalah suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana. Praktik Restorative Justice telah dipergunakan oleh berbagai negara di dunia untuk menyelesaikan tindak pidana melalui proses di luar peradilan pidana formal. Dengan demikian Restoravie justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.28 Konsep restorative justice pada dasarnya sejalan dengan penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan yang telah dituangkan dalam UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR, yang telah dinyatakan tidak berlaku oleh MK. Perbedaannya, dalam KKR telah disebutkan bentuk penyelesaiannya dan dapat dilakukan terhadap perkara pidana yang tergolong extra ordinary crime (perkara pelanggaran HAM yang berat) sementara retorative justice masih terbatas pada perkara pidana yang melibatkan anak saja. Kewenangan KKR : Tujuan pembentukan KKR seperti dimuat dalam Pasal 3 UU KKR yaitu : a. Menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu di luar pengadilan,29 guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa; dan b. mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional dalam jiwa saling pengertian. Sehubungan dengan hal itu, mempunyai tugas dan wewenang :
KKR
28 Konsep restorative justice telah dituang dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. 29 Alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam perkara perdata, dagang atau niaga disebut ADR, alternatif dispute resolution. Di Indonesia, penyelesaian model ini, telah di akui dengan mengikuti caracara yang di benarkan oleh UU yakni UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsolidasi atau penilaian para ahli.
126
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
Tugas : a. menerima pengaduan atau laporan dari pelaku, korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya; b. melakukan penyelidikan dan klarifikasi atas pelanggaran HAM yang berat; c. memberikan rekomendasi kepada Presiden dalam hal permohonan amnesti; d. menyampaikan rekomendasi kepada Pemerintah dalam hal pemberian kompensasi dan /atau rehabilitasi; dan e. menyampaikan laporan tahunan dan laporan akhir tentang pelaksanaan tugas dan wewenang berkaitan dengan perkara yang ditanganinya, kepada Presiden dan DPR dengan tembusan kepada MA. Wewenang : a. melaksanakan penyelidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. meminta keterangan kepada korban, ahli waris korban, pelaku dan/atau pihak lain, baik di dalam maupun di luar negeri; c. meminta dan mendapatkan dokumen resmi dari instansi sipil atau militer serta badan lain, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri; d. melakukan koordinasi dengan instansi terkait baik di dalam maupun di luar negeri untuk memberikan perlindungan kepada korban, saksi, pelapor, pelaku dan barang bukti sesuai dengan peraturan perundangundangan; e. memanggil setiap orang yang terkait untuk memberikan keterangan dan kesaksian; f. memutuskan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehablitasi; dan g. menolak permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti, apabila perkara sudah didaftarkan ke pangadilan HAM. Dalam Pasal 1 ayat (1) angka 1 dan 2 UU KKR, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kebenaran adalah kebenaran atas suatu peristiwa yang dapat di ungkapkan berkenaan dengan pelanggaran HAM berat; baik mengenai korban, pelaku, tempat, maupun waktu; yang dimaksudkan dengan rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran,
pengakuan, dan pengampunan, melalui KKR dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.
Mekanisme kerja KKR dalam rangka penyelesaian pemohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi dan amnesti dilakukan melalui tahap-tahap berikut :
Untuk melaksanakan fungsinya, kewenangan KKR dilengkapi dengan tindakan upaya paksa setelah mendapat penetapan dari pengadilan yang dalam hal ini, mau tidak mau harus mengabulkan permintaan KKR paling lambat 7 hari sejak permohonan penetapan diterima. Keputusan final sidang KKR yang diambil dalam sidang Komisi harus dihadiri ⅔ dari seluruh anggota dan disetujui lebih dari ½ yang hadir, bersifat final dan mengikat (final and binding) dan bukan merupakan objek peradilan tata usaha negara (Pasal 9).
a) Sub komisi penyelidikan dan klarifikasi: setelah menerima pengaduan, mengumpulkan informasi dan bukti-bukti mengenai pelanggaran HAM berat dari korban atau pihak lain, melakukan pencarian fakta dan bukti-bukti, mendapatkan dokumen resmi milik instansi sipil atau militer, badan swasta, baik di dalam maupun di luar negeri, memanggil setiap orang yang terkait untuk memberikan keterangan dan kesaksian, mengklarifikasi seseorang sebagai pelaku atau sebagai korban pelanggaran HAM berat.
Diantara Sidang KKR yang berhubungan dengan kepentingan para pihak, yaitu : a. penentuan atas rekomendasi permohonan kompensasi, restitusi dan atau rehabilitasi; dan b. penentuan atas permohonan amnesti. Organisasi dan tata kerja KKR sesuai Pasal 15, 16, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 45 UU KKR meliputi: a) pimpinan Komisi adalah Ketua dan dua Wakil Ketua; b) jumlah anggota, termasuk Ketua dan Wakil Ketua, sebanyak 21 orang; c) komisi terdiri dari tiga Sub komisi yaitu subkomisi penyelidikan dan klarifikasi dengan anggota 9 orang; sub komisi kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dengan anggota lima orang dan empat orang untuk sub komisi pertimbangan amnesti; d) masa kerja KKR selama lima tahun terhitung sejak anggota mengucapkan sumpah dihadapan Presiden30; dan e) sumber keuangan untuk kompensasi atau rehabilitasi yang menjadi beban negara dibebankan kepada APBN. 30 Apabila masa kerja KKR diterapkan selama 5 tahun,maka akan ada kelebihan masa kerja KKR disbanding masa kerja Kabinet/Presiden yang mengangkatnya. Apabila selama masa kerja Kabinet tugas-tugas KKR belum juga dapat ,menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu apakah Presiden/Kabinet yang menggantikannya akan menerima cara-cara penyelesaian melaluiKKR ? kalau tidaksependapat bagaimana cara pemberian amnesty nya dan pembayaran ganti ruginya ?
Sub komisi kompensasi, restitusi dan rehabilitasi membuat pedoman pemberian kompensasi membuat pedoman pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi bagi korban atau keluarga korban yang merupakan ahliwarisnya, melakukan klarifikasi kepada korban dan memeriksa kelengkapan syarat permohonan dalam rangka pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehablitasi kepada korban atau ahli warisnya, mengusulkan bentuk pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehablitasi yang bersifat umum untuk memulihkan hak dan martabat korban dan/atau ahli warisnya. Sub komisi pertimbangan amnesti menyusun kriteria, syarat dan tata cara permohonan amnesti dan melakukan klarifikasi kepada korban dan atau pelaku terhadap pengakuan atau pengingkaran pelanggaran HAM berat. b) KKR selanjutnya membuat keputusan berupa : 1. mengabulkan atau menolak untuk memberikan kompensasi, restitusi dan atau rehablitasi; atau 2. memberikan rekomendasi berupa pertimbangan hukum dalam hal permohonan amnesti. c) Rekomendasi harus sudah disampaikan kepada Presiden paling lambat tiga hari terhitung sejak keputusan sidang diambil.
Langkah Mundur atau Jalan Tengah ? Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM yang Berat... - Raja Onggal Siahaan
127
d) Presiden wajib meminta pertimbangan DPR paling lambat 30 hari sejak rekomendasi KKR diterima; DPR wajib memberikan pertimbangan amnesti dalam jangka waktu 30 hari sejak permintaan Presiden diterima. e) Dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak pertimbangan DPR diterima, Presiden wajib memberikan keputusan. f) Keputusan Presiden sudah harus disampaikan kepada KKR paling lambat tiga hari setelah keputusan diambil. KKR kemudian menyampaikan keputusan Presiden paling lambat tujuh hari sejak putusan Presiden diterima KKR. g) Kompensasi dan rehabilitasi baru dapat dilakukan apabila permohonan amnesti dikabulkan. Sesuai tujuan pembentukannya, KKR selalu mengupayakan terwujudnya perdamaian31 dan rekonsiliasi yang berakhir pada adanya pemberian amnesti kepada pelaku dan pemberian kompensasi, restitusi dan rehablitasi kepada korban. Pemberian rekomendasi atau bentuk keputusan KKR lainnya sangat ditentukan oleh kemauan para pihak untuk menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. Dengan demikian sesuai Pasal 28 dan 29 UU KKR, alternatif keputusan KKR dapat berupa : a. dalam hal pelaku dan korban pelanggaran HAM berat saling memaafkan dan melakukan perdamaian, rekomendasi yang diambil adalah pemberian amnesti; yang diikuti pengungkapan kebenaran terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah di lakukan. Kesepakatan di tuangkan dalam bentuk tertulis yang di tanda tangani kedua belah pihak dan Ketua KKR. b. Dalam hal pelaku mengakui kesalahan dan kebenaran fakta, menyatakan menyesal atas perbuatannya dan bersedia meminta maaf kepada korban atau ahli warisnya, tetapi 31
Perdamaian menurut penjelasan Pasal 2 huruf g UU KKR adalah suatu asas dalam menyelesaikan perselisihan sebagai akibat pelanggaran HAM yang berat dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak untuk diselesaikan secara damai,misalnya korban memaafkan pelaku dan pelaku memberikan restitusi kepada korban. Menurut Hans Kelsen, perdamaian adalah suatu kondisi di mana tidak terdapat penggunaan paksaan. Hukum hanya memberikan perdamaian relatif, bukan absolut, dimana hukum mencabut hak para individu untuk penggunaan paksa tetapi mencadangkannya kepada masyarakat.
128
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
korban atau ahli warisnya tidak bersedia memaafkan, maka rekomendasi amnesti di buat secara mandiri dan objekif. c. Dalam hal pelaku tidak bersedia mengakui kesalahannya dan kebenaran fakta dan tidak bersedia menyesali perbuatannya, maka pelaku kehilangan hak mendapat amnesti dan di ajukan ke pengadilan HAM ad hoc. Konsep penyelesaian di luar pengadilan ini, secara politis memang manusiawi dengan mengajak para pihak, korban dan pelaku, kembali kepada fitrahnya. Yesus Kristus mengajarkan, prinsip utama dalam hidup dengan sesama adalah saling mengasihi : Kasihilah musuh sebagaimana engkau mengasihi dirimu sendiri.32 Dalam pengertian perdata, perdamaian atau dading berarti : suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis (Pasal 1851 B.W).33 Dalam melakukan perdamaian beberapa hal perlu diperhatikan : 1. diperlukan adanya seseorang yang mempunyai kekuasaan untuk melepaskan hak-hak yang di perdamaikan; 2. hanya terbatas pada hal yang diperdamaikan, pelepasan segala hak dan tuntutan yang terkait dengan perselisihan; 3. perdamaian hanya mengakhiri perselisihan yang dirumuskan secara tertulis dalam isi perdamaian; 4. hak yang sama yang diperoleh karena kedudukan pribadi setelah terjadi perdamaian maka ia tidak terikat pada perdamaian yang dibuat sebelumnya; 5. perdamaian dapat diajukan secara pribadi dan tidak terikat harus bersama-sama 32 Dalam Kitab Injil Matius pasal 5 ayat 43 – 44 : disebutkan : 43. Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu; 5:44 Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. 33 R. Subekti dan R. Tjitrisudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) dalam terjemahan, PT.Pradnya Paramita, Jakarta, 1992. hal. 414.
dengan pihak berkepentingan lain; 6. segala perdamaian yang dilakukan para pihak mempunyai kekuatan yang setara dengan putusan hakim yang telah berkekuatan tetap;34 7. perdamaian hanya dapat dibatalkan bila terjadi kekhilapan menyangkut orang atau mengenai pokok perselisihan dan atau telah nyata terjadi penipuan atau paksaan; atau perdamaian yang didasarkan atas suratsurat yang ternyata surat tersebut palsu; 8. perdamaian juga dapat diminta untuk dibatalkan dengan alasan : karena ada kesalahpahaman tentang duduk perkara atau mengenai alas hak yang batal; kecuali para pihak menyatakan dengan tegas telah mengadakan perdamaian tentang kebatalan itu. 9. suatu perdamaian adalah batal apabila perdamaian itu menyangkut sengketa yang telah diputus pengadilan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap sedang para pihak atau salah satu pihak tidak mengetahuinya; bila sengketa itu masih tahap banding maka perdamaian adalah sah; 10. jika dikemudian hari ditemukan surat-surat yang menyatakan salah satu pihak ternyata bukan merupakan pihak yang berhak maka perdamaian itu adalah batal; apabila pada waktu perdamaian dibuat ada surat-surat yang tidak diketahui tetapi kemudian ditemukan maka perdamaian tidaklah batal, kecuali terbukti dengan sengaja disembunyikan oleh salah satu pihak; dan 11. kekeliruan dalam menghitung dalam akta perdamaian dapat diperbaiki;35 Kepentingan-kepentingan keperdataan yang berasal dari kejahatan atau pelanggaran dapat saja diadakan perdamaian tetapi sekalipun demikian hal tersebut tidak menghalangi Kejaksaan melaksanakan kewenangannya untuk menuntut perkaranya,36 apabila hal diatas 34 Menurut Pasal 1858 alinea kedua B.W suatu perdamaian yang telah dibuat tidak dapat dibatalkan dengan alasan adanya kekhilapan mengenai hukum atau salah satu pihak dirugikan. 35 Disarikan dari Pasal 1852 hingga Pasal 1864 KUHPerdata terjemahan R. Subekti, Ibid. hal. 414-416. 36 Lihat Pasal 1853 B.W. Kewenangan ini dalam perkara tindak pidana umum akan menjadi sulit karena kejaksaan tidak berwenang melakukan
terjadi. Akan menjadi masalah bagi Kejaksaan, apabila kejahatan dimaksud adalah dalam perkara pelanggaran HAM berat mengingat Kejaksaan sekalipun berwenang melakukan penyidikan tetapi kewenangan penyidikan itu hanya dapat dilakukan Kejaksaan berdasarkan penyerahan berkas dari KOMNAS HAM selaku penyelidik tunggal. Apabila KOMNAS HAM belum melakukan penyelidikan maka maka sampai kapanpun Kejaksaan tidak akan dapat melakukan penyidikan. Lain halnya apabila kejahatan dimaksud menyangkut perkara korupsi maka Kejaksaan dapat segera melakukan penyidikan, tetapi hal ini juga masih menjadi tanda tanya apabila perdamaian itu dilakukan oleh KKR, apakah Pasal 1853 B.W yang kedudukannya sama dengan Pasal 44 UU KKR dapat ditindak lanjuti?. Mengacu kepada asas lex posteriori derogat legi priori, maka UU KKR lah yang harus diterapkan, hal ini berarti bahwa kewenangan Kejaksaan untuk melaksanakan Pasal 1853 B.W akan sulit diimplementasikan. Pengertian korban dapat merupakan para pihak dalam perdamaian atau menjadi subyek dalam penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu melalui KKR. Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; termasuk korban adalah juga ahli warisnya. 37 Lampiran Declarations of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, dari Resolusi Majelis Umum Nomor 40/34 tanggal 29 Nopember 1985, menyebutkan bahwa korban adalah: a persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or ommissions that are in violation of criminal laws operative within member states, including those laws proscribing criminal penyidikan; lain halnya apabila perkara itu sudah tahap penuntutan maka perdamaian tidak akan mengurangi kewenangan Kejaksaan untuk melanjutkan penuntutannya. 37 Pengertian korban ini adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 5 UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR.
Langkah Mundur atau Jalan Tengah ? Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM yang Berat... - Raja Onggal Siahaan
129
abuse of power38 – berarti orang-orang yang, secara individu atau secara bersama, sudah menderita akibat kejahatan, mencakup phisik atau kerugian mental, menderita kerugian emosional, kerugian ekonomi atau perusakan substansi hak-hak dasar, melalui suatu tindakan atau omisi pelanggaran hokum pidana termasuk kejahatan penyalahgunaan kekuasaan. Pengertian korban haruslah dibatasi hanya terhadap mereka yang secara langsung mengalami penderitaan atau kerugian dari suatu tindak pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Tindak pidana yang dimaksud dalam hal ini khususnya dalam perkara pelanggaran HAM berat, sedang korban ditujukan dalam pengertian orang-orang yang secara perdata memang seharusnya dapat menjadi legal standing dalam mengajukan gugatan perdata untuk mendapatkan ganti rugi, pemulihan nama baik atau rehabilitasi sekalipun tidak dilakukan melalui KKR. Hal ini dimaksudkan agar pengertian korban tidak meluas sampai kepada orangorang yang bukan merasakan langsung penderitaan, kerugian, kerusakan dari suatu pelanggaran HAM berat tetapi kemudian mendapat keuntungan dengan memperoleh kompensasi, restitusi, rehabilitasi atau amnesti yang sesungguhnya tidak menjadi haknya, hanya karena adanya perluasan pengertian korban; dalam pengertian korban adalah wajar termasuk juga ahli waris korban; Menurut Arif Gosita, bahwa hakhak korban yang seharusnya diberikan meliputi : mendapatkan kompensasi atas penderitaannya, sesuai dengan kemampuan memberi kompensasi sipembuat korban dan taraf keterlibatan/partisipasi/peranan si korban dalam terjadinya kejahatan, delikuensi dan penyimpangan tersebut; berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pembuat korban (tidak mau diberi kompensasi karena tidak memerlukannya); berhak mendapatkan kompensasi untuk ahli warisnya bila si korban meninggal dunia karena tindakan tersebut; berhak mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi; berhak mendapat kembali hak miliknya; berhak menolak menjadi saksi bila 38 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Penerbit Akademika Pressindo, Jakarta, 1993, hal. 289.
130
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
hal ini akan membahayakan dirinya; berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban bila melapor dan menjadi saksi; berhak mendapatkan bantuan penasehat hukum; berhak mempergunakan upaya hukum (rechtsmiddelen). 39 Adanya pengakuan kesalahan pelaku dan pemberian maaf dari korban atau ahli warisnya memang diharapkan akan menetralisir rasa permusuhan di antara kedua belah pihak; pemberian maaf korban akan dapat merehabilitasi, memulihkan kerinduan akan adanya keadilan yang sudah lama di tunggu-tunggu, menghilangkan rasa dendam yang di berikan secara suka rela akan dapat menghapus keinginan untuk balas dendam; yang diperkirakan juga akan mendapat balasan balik dari keluarga atau sejawat pelaku, sehingga semakin memperpanjang waktu yang di perlukan untuk terwujudnya keadilan di samping menambah jumlah korban berjatuhan; dan ini tentu saja tidak kondusif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adanya pengakuan (ackknowledgement) merupakan sikap jantan yang patut di hargai sebagai bahan pemberian amnesti; sementara penghukuman secara politik dan sosial tidak menguntungkan karena hanya akan menciptakan instabilitas politis dan distorsi hubungan sosial yang berdampak pada konflik arus bawah, kaum yang di marjinalkan, yang sadar atau tidak akan dimanfaatkan pihakpihak yang tidak menginginkan kondisi sosial politik aman tenteram dan mencari keuntungan dari keadaan yang kisruh.40 Pihak yang menentang penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat melalui KKR, berpendirian bahwa hanya melalui penegakan hukum didalam pengadilan, penyelesaian yang elegant dan komprehensif dapat menyatukan semua keinginan-keinginan 39 Selain hak-hak tersebut, korban juga mempunyai kewajiban seperti mengadakan pembalasan (main hakim sendiri); berpartisipasi dengan masyarakat mencegah pembuatan korban lebih banyak lagi; mencegah kehancuran si pembuat korban baik oleh diiri sendiiri maupun oleh orang lain, ikut serta membina pembuat korban, bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi; tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan pembuat korban, memberi kesempatan pada pembuat korban untuk memberi kompensasi pada pihak korban sesuai dengan kemampuannya (mencicil bertahap/imbalan jasa); menjadi saksi bila tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan; Ibid. hal. 74-75. 40 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung. 2001.Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung. 2001., hak. 184.
ke dua belah pihak.41 Pertimbangannya : a. penghukuman akan memberikan kepuasan batin yang tidak dapat di ganti, termasuk dengan adanya pemberian kompensasi, restitusi dan rehablitasi di tambah adanya permohonan maaf yang dapat di dramatisir; b. penghukuman berarti adanya konsekuensi atas komitmen terhadap penegakan hukum yang adil, transparan dan tidak diskriminatif, impunitif, sehingga setiap orang akan menyadari bahwa setiap perbuatan harus di pertanggung jawabkan sampai kapan pun; dan c. menjadi peringatan bagi semua pihak termasuk pemerintah yang sedang berkuasa untuk tidak melakukan hal yang sama karena resikonya akan mengalami nasib yang sama di kemudian hari. Mendukung pendapat diatas, sekalipun fokusnya terhadap masalah amnesti, Romli Atmasasmita menambahkan alasan pertimbangannya : 1. dengan amnesti, maka korban (victims) pelanggaran HAM yang berat masa lalu, tidak memiliki hak (right) lagi untuk melakukan penuntutan sehingga amnesti di pandang sebagai hak prerogatif dari negara dan peranan korban telah di ambil alih negara; 2. amnesti yang di berikan oleh Kepala Negara telah menempatkan korban-korban pelanggaran HAM yang berat sebagai warga negara kelas 2 di hadapan hukum yang tidak memiliki hak untuk membela diri; 3. ongkos sosial dan politik dari pemberian amnesti oleh negara tanpa mempertimbangkan hak-hak korban (victim’s right) sangat tinggi di bandingkan dengan sebaliknya. Dalam konteks ini maka konsep amnesti khusus untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat perlu di kembangkan dalam konteks hukum Indonesia; dan 41
Pendapat ini sudah tentu tidak sejalan dengan pendapat Eugen Ehrlich, ahli Sosiologi Hukum, yang mengatakan bahwa manusia mematuhi peraturan hukum, memenuhi kewajiban-kewajiban hukumnya dalam banyak hal- jika tidak dalam semua hal – bukan karena perasaan takut terhadap sanksi-sanksi yang diberikan oleh peraturan hukum tersebut, melainkan di sebabkan oleh alasan-alasan lain.
4. pemberian amnesti oleh negara terhadap pelaku pelanggaran HAM yang berat mengandung makna merendahkan harkat dan martabat korban-korban pelanggaran HAM yang berat yang tidak sebanding dengan karakteristik dan kualitas pelanggaran HAM itu sendiri.42 Pemberian amnesti hanya akan menghasilkan restorative justice, keadilan bersifat pemulihan, dan bukan retributive justice, keadilan sebagai bentuk pertanggung jawaban perbuatan yang sudah di lakukan; sebagai suatu pembalasan yang setimpal dengan perbuatannya (retribution) dan bukan sekedar aksi untuk melakukan balas dendam semata (retalisation).43 Sekalipun demikian, memang paling tidak melalui KKR rasa keadilan korban dapat dihargai sebagai wujud persamaan hak di muka hukum telah dilakukan walaupun datangnya terlambat, keadilan yang diterima berlaku surut (retroactive justice). Setelah di cermati UU KKR ternyata mempunyai implikasi terhadap hukum dan kewenangan lembaga lain yang terlebih dulu sudah ada sehingga perlu dikritisi, meskipun asas lex posteriori derogat legi priori dapat dilakukan, hal dimaksud menyangkut : 1. tidak jelas apakah KKR merupakan suatu lembaga negara sebab Pasal 5 tidak tegas mencantumkan hal ini sementara sumber keuangan KKR berasal dari APBN dan sumber lain yang tidak mengikat seperti ditentukan dalam Pasal 42 sehingga belum jelas apakah KKR dapat menjadi subjek atau objek dalam sengketa kewenangan antar lembaga apabila diajukan ke Mahkamah Konstitusi; 2. tugas dan kewenangan KKR melakukan penyelidikan seperti diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, tidak jelas tujuannya karena baik dalam Pasal 1, mengenai ketentun umum, penjelasan umum dan dalam pasal lainnya tidak di sebutkan tujuan di lakukannya penyelidikan oleh KKR; 3. adanya kewenangan KKR melakukan upaya paksa melalui penetapan pengadilan 42
Ibid, hal. 184. Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori-Teori Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1993, hal. 118. 43
Langkah Mundur atau Jalan Tengah ? Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM yang Berat... - Raja Onggal Siahaan
131
yang bersifat “harus” diberikan menimbulkan pertanyaan, apakah kewenangan penyelidikan KKR dapat di setarakan dengan kewenangan penyelidikan KOMNAS HAM sebab tujuan utama KKR bukanlah untuk memberkas peristiwa pelanggaran HAM berat untuk di ajukan ke pengadilan melainkan untuk pengungkapan kebenaran, terciptanya perdamaian, saling maaf memafkan, pernyataan menyesal dan tindakan lain yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah tersebut di luar pengadilan; 4. dengan adanya kewenangan melakukan penyelidikan oleh KKR dan pemberian kewenangan melakukan upaya paksa, berarti dalam hal KKR meminta keterangan korban atau ahli warisnya, pelaku dan saksi lain harus di buat dalam kerangka pro justisia. Menjadi tanda tanya, jika tujuan KKR tidak berhasil, apakah berkas penyelidikan KKR akan diserahkan kepada KOMNAS HAM selaku penyelidik tunggal atau diserahkan kepada Jaksa Agung selaku penyidik dan penuntut umum perkara pelanggaran HAM berat ? Jaksa Agung selaku penyidik pasti akan menolak, karena dalam hal ini KKR bukanlah penyelidik perkara pelanggaran HAM berat; penyidik hanya akan menerima berkas hasil penyelidikan dari penyelidik tunggal yaitu KOMNAS HAM dengan catatan, syarat formal adanya persetujuan DPR harus sudah dilampiri mengingat berkas hasil penyelidikan adalah menyangkut perkara pelanggaran HAM berat pada masa lalu sehingga harus memberlakukan asas retroaktif sesuai Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM; juga harus dipertanyakan apakah ada kewenangan KKR untuk menentukan suatu peristiwa pelanggaran berat masa lalu tanpa harus meminta persetujuan dari DPR sebagaimana halnya dengan Pasal 43 UU Pengadilan HAM ? 5. disebutkan juga, bahwa kewenangan penyelidikan KKR dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan, yang berarti menunjuk kepada KUHAP pada hal KUHAP tidak mengenal penyelidikan dengan upaya paksa kecuali atas perintah penyidik seperti diatur dalam Pasal 132
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
4 dan 5 KUHAP sedang upaya paksa yang dilakukan KKR dengan penetapan pengadilan bukanlah atas perintah penyidik melainkan dalam rangka KKR melaksanakan kewenangannya. Dengan demikian kewenangan penyelidikan oleh KKR berbeda dengan kewenangan penyelidikan menurut KUHAP; itu artinya penyelidikan oleh KKR merupakan ketentuan khusus, lex specialis dari KUHAP dan UU Pengadilan HAM sehingga UU KKR seharusnya mengatur hukum acaranya secara tersendiri di dalam UU KKR; 6. Pasal 29 ayat 3 menyebutkan bahwa dalam hal pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahan serta tidak bersedia menyesali perbuatannya maka pelaku pelanggaran HAM berat tersebut kehilangan hak mendapat amnesti dan diajukan ke pengadilan HAM ad hoc. Ketentuan ini menempatkan KKR selain menjadi penyelidik juga sekaligus sebagai penyidik dan penuntut Umum yang dapat mengajukan suatu pekara pelanggaran HAM yang berat langsung ke pengadilan; sehingga kewenangan KKR melampaui ketentuan UU Pengadilan HAM, KUHAP dan UU Kejaksaan. Kerancuan kewenangan yang di timbulkan UU KKR dapat menyebabkan institusi yang berwenang menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM berat akan bersikap saling menunggu; 7. UU Pengadilan HAM dengan tegas menyatakan bahwa yang berhak melimpahkan perkara pelanggaran HAM berat ke pengadilan HAM ad hoc adalah Jaksa Agung selaku penuntut umum. Penuntut umum hanya menerima berkas perkara dari penyidik, sementara penyidik tidak berhak menerima laporan atau pengaduan dari masyarakat dalam hal ini Penyidik hanya berhak menerima hasil penyelidikan dari KOMNAS HAM; Pasal 20 ayat (2) dan (3) UU Pengadilan HAM, menyebutkan kalau berkas telah lengkap baru dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan dan penuntutan. Jadi urutannya: LID KOMNAS HAM ----- DIK JA --------- TUT JA------- DIL ad hoc; hal itu berarti, hasil penyelidikan KKR tidak dapat diserahkan kepada penyidik dan
juga tidak dapat diterima oleh penyelidik KOMNAS HAM sebab Pasal 18 ayat (1) dan 19 ayat (1) huruf b UU Pengadilan HAM berbunyi : penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat di lakukan oleh KOMNAS HAM; penyelidik berwenang menerima laporan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran HAM yang berat serta mencari keterangan dan barang bukti. Dengan demikian seandainya pun KOMNAS HAM menerima berkas-berkas temuan dari KKR, berkas-berkas temuan tersebut tidak lebih dari semacam pengaduan atau laporan masyarakat umumnya, tidak bernilai legal evidence. Apabila peristiwa tersebut harus diteruskan ke pengadilan HAM bagaimanapun KOMNAS HAM harus tetap melakukan penyelidikannya sendiri sebab berkas penyelidikan KOMNAS HAM harus di buat dalam rangka pro justisia dan berlambang KOMNAS HAM. Alasannya, penyidik ketika menerima berkas hasil penyelidikan akan melihat dan memastikan bahwa berkas perkara tersebut berasal dari penyelidik KOMNAS HAM; jadi sia-sialah penggalan kalimat dari pasal 29 ayat (3) yang menyatakan … dan diajukan ke pengadilan HAM ad hoc, karena memang KKR tidak berwenang mengajukan peristiwa pelanggaran HAM berat ke pengadilan selain melalui KOMNAS HAM dan Jaksa Agung selaku penyidik dan penuntut umum dalam perkara pelangaran HAM berat; 8. Sadar atau tidak, pemberlakuan UU KKR telah berimplikasi untuk menimbulkan konflik norma antara dua produk hukum positif yang setara, antara UU Pengadilan HAM dan UU KKR. Dengan keluarnya UU KKR masih belum jelas, apakah penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat harus terlebih dahulu dilakukan melalui KKR atau secara simultan baik KOMNAS HAM maupun KKR dapat melaksanakan kewenangan masing-masing sesuai fungsinya?44 bila hal ini yang 44 Menurut Phillipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Penerbit Gajah Mada University Press, 2005, hal.31-32; dalam hal terjadi konflik norma maka penyelesaian di lakukan dengan preferensi hukum meliputi asas lex superior, asas lex specialis dan asas lex posterior. Tipe penyelesaian meliputi; 1. pengingkaran (disavowal); 2. reinterpretasi; 3. pembatalan (invalidation); 4. pemulihan (remedy). Pengingkaran
dilakukan maka apabila KOMNAS HAM telah sampai kepada kesimpulan hasil penyelidikannya dan KKR juga berhasil membuat adanya kesepakatan, perdamaian dan saling memaafkan, maka berarti peristiwa tersebut tidak dapat dibawa ke pengadilan, lalu hasil penyelidikan KOMNAS HAM apakah harus di hentikan ? Lahirnya UU KKR sebagai UU yang muncul belakangan, merupakan amanat dari UU Pengadilan HAM, tetapi kemudian UU KKR ternyata terlihat lebih dominan untuk menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM berat pada masa lalu dan terkesan ingin meniadakan kewenangankewenangan dari institusi-institusi yang ada dalam UU Pengadilan HAM yang menjadi induk dari UU KKR, khususnya kewenangan KOMNAS HAM;45 9. Mengacu kepada asas lex posteriori derogat legi priori, maka seyogyanya yang harus diikuti dalam penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu dilakukan melalui KKR; dengan demikian hal ini semakin menguatkan asumsi bahwa pembentukan pengadilan HAM pada dasarnya hanyalah merupakan upaya menghindari tekanan internasional, khususnya resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1.319/2000 yang menginginkan penyelesaian masalah TIMTIM di lakukan secara jujur dan transparan artinya sekalipun dirasakan terdapat konflik misal antara hukum privat dengan hukum publik, tetapi kita tetap mempertahankan bahwa tidak ada konflik norma; Reinterpretasi, artinya dilakukan dengan mengikuti asas-asas preference hukum, menginterpretasi kembali norma-norma yang utama dengan cara yang lebih flexibel atau dengan menginterpretasi norma-norma preference dan kemudian menerapkan norma tersebut dengan menyampingkan norma yang lain; Pembatalan, artinya pembatalan abstrak formal dan praktikal. Pemulihan, artinya mempertimbangkan pemulihan dapat membatalkan suatu ketentuan dengan cara membatalkan suatu ketentuan dan memberikan kompensasi 45 Kondisi UU KKR dengan UU Pengadilan HAM dapat menggambarkan tentang efektivitas kontra validitas suatu norma, agaknya cocok dengan kondisi yang di gambarkan Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum EmpirikDeskriptif, judul asli General Theory of Law and State, 1973, alih bahasa Somardi, Penerbit Rimdi Press, 1995, hal. 121, yang mengatakan, didalam suatu tata hukum yang secara keseluruhan efektif, bisa terjadi norma-norma satuan tetap valid sekalipun tidak efektif yakni, tidak di taati dan tidak di terapkan walaupun kondisi-kondisi yang di tetapkan oleh norma-norma itu sendiri penerapannya terpenuhi. Tetapi di dalam kasus ini pun efektivitas berhubungan dengan validitas. Jika norma-norma secara permanen tetap tidak efektif, norma tersebut di cabut validitasnya oleh “desuetudo” yaitu akibat hukum yang bersifat negatif dari kebiasan. Suatu norma bisa di hapuskan oleh kebiasan, yakni oleh suatu kebiasan yang bertentangan dengan norma tersebut, dan juga norma bisa diciptakan oleh suatu kebiasan. Desuetudo menghapus suatu norma dengan menciptakan suatu norma lain, yang karakternya identik dengan suatu UU yang fungsinya hanya untuk mencabut suatu UU yang sebelumnya telah valid.
Langkah Mundur atau Jalan Tengah ? Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM yang Berat... - Raja Onggal Siahaan
133
melaui pengadilan; sehingga tidak ada pejabat militer, sipil atau warga negara Indonesia lainnya yang diduga terlibat dalam peristiwa kerusuhan September 1999, di bawa ke pengadilan internasional atau MPI. Apabila UU KKR dicermati lebih jauh, tampaknya pemerintah cenderung untuk menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM berat pada masa lalu dengan cara pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi; hal ini di tandai dengan penguatan fungsi dan wewenang KKR dan pengurangan daya kerja KOMNAS HAM, sehingga dapat di perkirakan keadaan yang demikian pada akhirnya akan menguatkan stigma, keadilan cukup dibayar dengan kompensasi, restitusi atau rehabilitasi atau pembalasan di setarakan dengan pembayaran ganti rugi; keadilan retroaktif 46 yang menginginkan keadilan retribusi dialihkan menjadi keadilan restorasi; dan 10. Pasal 44 UU KKR menentukan bahwa peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah di ungkapkan dan di selesaikan oleh KKR, perkaranya tidak dapat di ajukan lagi kepada pengadilan HAM ad hoc. Dapat dimengerti bahwa dalam masalah perdata apabila telah terjadi perdamaian maka masalah yang telah didamaikan tidak dapat diajukan ke pengadilan; telah ada dading.; perdamaian oleh KKR disetarakan dengan putusan pengadilan. Klausula ini menempatkan suatu peristiwa pelanggaran HAM berat yang merupakan suatu tindak pidana; dari masalah publik di rubah menjadi masalah perdata. 46
Keadilan retroaktif atau retroaktive justice dimaksudkan sebagai suatu keadilan yang di terima pada saat sekarang dengan memperhitungkan atau memberlakukan surut hak-hak yang harus di terimanya hingga waktu batas tertentu ke belakang hari. Sebagai misal, surat keputusan di tanda tangani tanggal 1 Nopember 2006, tetapi hak-hak yang di terimanya di perhitungkan sejak tanggal 1 Nopember 2005; Keadilan retroaktif juga berarti keadilan yang baru di terima atau di rasakan pada saat sekarang untuk suatu peristiwa yang terjadi puluhan yang lalu yang di sebabkan pada masa puluhan tahun lalu belum dapat di selesaikan secara hukum karena rezim yang berkuasa pada saat itu tidak mengizinkan pelaku-pelaku tindak pidana yang melibatkan korban, untuk di adili. Dalam peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu, dapat di katakan sebagai keadilan retroaktif, baik penyelesaiannya melalui KKR maupun melalui pengadilan HAM ad hoc. Dalam keadilan retroaktif sifatnya formal. Hal yang demikian oleh John Rawls, disebut juga dengan Keadilan formal dan bukan keadilan subtantif. Keadilan formal dalam hal lembaga hukum adalah aspek rule of law yang mendukung dan menjamin harapan yang sah. Salah satu ketidak adilan adalah kegagalan para hakim dan otoritas lain untuk mematuhi aturanaturan yang sesuai atau interpretasi-interpretasinya dalam pernyataan keputusan. Seseorang adalah tidak adil sampai pada tataran karakter dan kecenderungannya pada suatu tindakan, lihat John Rawls, Teori Keadilan, Teori Keadilan (A Theory of Justice), Belknap Press, Cambridge, hal. 72.
134
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
Dengan adanya penyelesaian secara perdata maka masalah tersebut tidak dapat diajukan ke pengadilan pidana karena diasumsikan telah terjadi ne bis in idem. Logika ini kurang tepat; dengan merujuk sebagai pembanding, Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah di rubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi : pengembalian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan di pidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.47 Bunyi pasal tersebut sangat jelas, bahwa pengembalian kerugian atau keuangan negara, sebagai akibat dari suatu tindak pidana korupsi, tidak menghapus sifat melawan hukum 48 dari tindak pidana korupsi yang sudah dilakukan pelaku sekalipun uang hasil kejahatan itu telah di kembalikan. Apabila dikaji lebih rasional, sepertinya memang tidak adil apabila, setelah ada pengembalian kerugian keuangan negara yang diakibatkan perbuatan seorang pelaku, tetapi perbuatannya itu sendiri masih dianggap tetap ada dan tetap harus dipertanggung jawabkan di pengadilan dengan resiko adanya hukuman baik pidana badan dengan perintah masuk atau tetap dalam tahanan ataupun dengan hanya hukuman percobaan tetapi penghukuman tersebut akan membawa akibat hukum bagi pelaku bahwa ia pernah merupakan orang hukuman atau terpidana dan dapat berdampak terhadap hak-hak politiknya sebagai warga negara. Apabila dalam perkara tindak korupsi sifat melawan hukum dari perbuatannya 47 Penjelasan Pasal 2 ayat (1) ini menyebutkan, perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/ 2006 tanggal 24 Juli 2006, sifat melawan hukum material yang dianut pada alinea pertama Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, telah dicabut; dengan demikian sifat melawan hukum yang dianut dalam perkara tindak pidana korupsi adalah sifat melawan hukum formal; tentang putusan Mahkamah Konstitusi ini lihat juga pertimbangan mengenai wederrechtelijk pada catatan kaki sebelumnya. 48 Sifat melawan hukum dalam bahasa Belanda di sebut wederrechtelijkheid atau sifat tidak sah suatu tindakan atau suatu maksud.; Oleh van Hattum, wederrechtelijkheid dibagi menjadi dua, yaitu dalam arti formal, formele wederrechttelijk dan dalam arti material, materieele wederrechtlijk. P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997. hal. 347.
masih tetap melekat pada diri pelaku sekalipun kerugian negara telah di kembalikan, lain halnya dalam perkara pelanggaran HAM berat pada masa lalu, yang justru menginginkan hilangnya sifat melawan hukum dari suatu peristiwa pelanggaran HAM berat pada masa lalu, apabila antara pelaku dengan korban telah ada perdamaian yang diikuti pengungkapan kebenaran dan pengakuan kesalahan atas peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu, adanya pernyataan penyesalan dan perdamaian. Apabila hal tersebut telah terpenuhi maka “perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM ad hoc.” Sebaliknya apabila pelaku telah mengungkapkan kebenaran dan pengakuan kesalahannya tetapi oleh pihak korban tidak bersedia menerimanya maka sia-sialah pengakuan dan pengungkapan kebenaran tersebut dan pelaku akan merasa dirinya telah dijebak dalam suatu skenario yang ingin memasukkannya ke penjara. Tentang hal ini Harjono, mengatakan bahwa : Namun demikian hal ini dapat menjadi kontra produktif, artinya dengan adanya ketentuan ini malah menjadikan pelaku tidak akan menempuh cara perdamaian karena hasil perdamaian tersebut masih akan digantungkan dengan proses lain yaitu amnesty. Apabila amnesty yang menjadi hak prerogatif Presiden dengan pertimbangan DPR, diberikan maka pelaku akan mendapat kepastian. Sedang apabila yang terjadi adalah hal yang sebaliknya, yaitu atas perbuatannya pelaku tidak mendapatkan amnesty, maka pelaku tidak mendapatkan keuntungan apaapa yaitu kepastian hukum atas pengakuan yang dilakukan. Sebuah amnesty diberikan oleh presiden dengan maksud supaya pelaku diampuni artinya diakui adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan pelaku, namun atas perbuatan tersebut tidak dikenai sanksi hukum. Apabila terdapat sebuah perdamaian dan saling memaafkan antara pelaku dan korban namun kemudian atas perbuatan tersebut pelaku tidak mendapatkan amnesty, bukankah hal tersebut kemudian akan berarti bahwa atas perbuatan yang dilakukan pelaku terhadapnya tetap dikenai
tuntutan hukum.49 Dari uraian diatas dapat ditarik simpulan bahwa apabila KKR menyelesaikan suatu peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu, maka hasil kerja KKR tersebut akan menyebabkan : 1. adanya suatu keputusan politis diasumsikan berubah menjadi keputusan yudikatif;50 tetapi sekaligus mengeliminasi kewenangan lembaga lain yang mempunyai kewenangan yang sama dalam menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat. 2. dari perkara pidana, suatu peristiwa pelanggaran HAM berat; dirubah menjadi adanya suatu hubungan hukum perdata; suatu perdamaian di asumsikan mengikat kedua belah dan berlaku sebagai UU bagi kedua belah pihak; 51 3. menyiratkan bahwa mekanisme penanganan dan penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat masa lalu harus dilakukan melalui KKR sehingga terkesan mengeliminasi kewenangan KOMNAS HAM. 4. secara diam-diam akan menghilangkan ketentuan kadaluarsa terhadap suatu peristiwa pelanggaran HAM berat.52 Dalam perkembangan terakhir UU KKR telah dinyatakan tidak berlaku dan tidak mempunyai daya ikat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 006/ PUU-IV/2006 tanggal 4 Desember 2006 dan diucapkan tanggal 7 Desember 2006, yang amarnya antara lain berbunyi : -
Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 Tentang
49 Legal opinion Hardjono, hal. 6, salah seorang hakim Mahkamah Konstitusi, sebelum dijatuhkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 006/PUUI/2006 tanggal 4 Desember 2006 dan diucapkan tanggal 7 Desember 2006, yang mencabut UU Nomor 27 Tahun 2004 dinyatakan tidak berlaku dan tidak mempunyai daya ikat. 50 Tujuan KKR adalah mengungkapkan kebenaran dan rekonsiliasi, tetapi kemudian dengan adanya perdamaian yang di ikuti pemberian amnesti, maka para pelaku dalam peristiwa yang telah mendapat amnesti tidak boleh lagi diajukan kepada pengadilan HAM ad hoc. 51 Suatu peristiwa pidana, pelanggaran HAM berat yang di klasifikasi sebagai kejahatan, di arahkan menjadi hubungan perdata dengan meminta ke dua belah pihak untuk saling memaafkan dan membuat perdamaian, sehingga dengan demikian terhadap peristiwa pidana, pelanggaran HAM yang berat, di nyatakan tidak dapat diajukan lagi ke pengadilan HAM ad hoc, yang sejak awal peristiwa tersebut sesungguhnya menjadi yurisdiksi pengadilan HAM ad hoc. 52 Dengan adanya perdamaian maka peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut tidak dapat di ajukan lagi ke pengadilan HAM ad hoc sampai kapan pun.
Langkah Mundur atau Jalan Tengah ? Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM yang Berat... - Raja Onggal Siahaan
135
Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. -
-
Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Salah satu pertimbangan dalam putusan Mahkamah Kontitusi tersebut menyebutkan : Menimbang bahwa semua fakta dan keadaan ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum, baik dalam rumusan normanya maupun kemungkinan pelaksanaan normanya di lapangan untuk mencapai tujuan rekonsiliasi yang diharapkan. Dengan memperhatikan pertimbangan yang telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR, sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang a quo, tidak mungkin dapat diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum (onrechtszekerheid). Oleh karena itu, Mahkamah menilai undang-undang a quo secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan dinyatakannya UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti Mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum. Dari uraian diatas maka mekanisme penanganan dan penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat masa lalu pada saat UU KKR masih belum dicabut, telah menimbulkan implikasi hukum yang dapat mengabaikan keberadaan dan kewenangan diantara lembaga yang setara bahkan terkesan ingin saling 136
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
mendahului atau merasa lembaga yang paling berwenang terutama antara KOMNAS HAM dengan KKR yang disebabkan tidak adanya mekanisme yang tegas diantara kedua lembaga tersebut setelah keluarnya UU KKR. Dengan dicabutnya UU KKR maka penanganan dan penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat masa lalu tetap menjadi kewenangan KOMNAS HAM sebagai lembaga perintis pengungkap perkara. Permasalahannya baru timbul manakala penyelidik menyerahkan kesimpulan hasil penyelidikannya kepada penyidik, apakah harus disertasi permintaan persetujuan DPR untuk merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad hoc atau tidak, dengan pertimbangan masalah tersebut merupakan tanggung jawab penyidik atau penuntut umum, dalam hal ini menjadi tanggung jawab Jaksa Agung. Seperti telah diuraikan sebelumnya, maka sepatutnya permintaan tersebut menjadi tanggung jawab KOMNAS HAM mengingat KOMNAS HAM selain telah menyimpulkan hasil penyelidikannya terhadap suatu peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat, KOMNAS HAM juga tidak mempunyai beban melakukan penahanan. Pencabutan UU KKR berarti juga memberi jalan penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat tetap dilakukan melalui jalur pengadilan dan hal ini sejalan dengan tujuan teori retributivisme. Secara tidak langsung ditiadakannya UU KKR untuk sementra telah memenuhi salah satu prinsip (prinsip kelima) dari delapan prinsip legalitas Fuler yang mengatakan suatu sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan antara satu dengan yang lain. Telah diuraikan sebelumnya bahwa keluarnya UU KKR yang merupakan bagian dari salah satu pasal dalam UU Pengadilan HAM (Pasal 47), telah menimbulkan konflik norma dalam pelaksanaannya. Sebab tidak jelas apakah UU KKR yang lebih didahulukan untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat lalu atau dapat dilakukan bersamaan dengan penyelidikan oleh KOMNAS HAM, mengingat kedua komisi tersebut berwenang melakukan penyelidikan untuk suatu hal atau perkara yang sama.
III. PENUTUP
perkaranya maupun untuk menerima ganti rugi dan hak-hak lainnya.
Kesimpulan 1. Penyelesaiaan perkara pelanggaran HAM yang berat masa lalu harus diselesaikan karena pasal 43 ayat (1) dan (2) UU Pengadilan HAM (diberlakukannya asas retroaktif) dan dapat dilakukan di luar pengadilan (pasal 47 ayat (2) UU Pengadilan HAM) selain seperti yang ditentukan dalam UU KKR yang telah dicabut dan untuk itu agar dibuat payung hukumnya seperti PERPPU;
Saran
2. Belum ada batasan yang tegas menyangkut kriteria sebagai ahli waris dari korban yang telah meninggal dunia baik untuk menjadi orang yang terlibat dalam penyelesaian
2. Penentuan ahli waris dari korban yang telah meninggal dunia agar dilakukan melalui aparat pemerintahan desa dan kecamatan serta dituangkan dalam suatu akta notaris.
1. Kebijakan menyelesaikan perkara-perkara pelanggaran HAM yang berat masa lalu agar dibicarakan secara mendalam dengan DPR RI karena hal ini berkaitan dengan pemberian amnesti maupun bentuk produk hukum yang akan dibentuk dan atau pemberian kompensasi khususnya ganti rugi;.
BAGAN PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM YANG BERAT MASA LALU MELALUI KKR Bagan 1 : IMPLIKASI HUKUM PENYELESAIAAN PELANGGARAN HAM BERAT MELALUI KKR
PELAKU
A
B
C
BILA ANTARA PELAKU DAN KORBAN
terdapat : 1. perdamaian 2. saling memaafkan 3. mengakuikesalahan, ada penyesalan 4. kesepakatan tertulis tidak terdapat : - perdamaian, karena pelaku tidak mengakui salah dan kebenaran fakta - tidakmenyesal pelakumengakuikesalahan, kebenaranfakta, menyesal, bersediamemintamaaf, tapikorban / ahliwaristidakbersediamemaafkan
Usul
Usul
Usul
KORBAN
1. amnesti 2. tidak diajukan ke Dil HAM Ad Hoc 3. korban dapat kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
1. kehilangan hak Amnesti 2. diajukan ke Dil ad Hoc
rekomendasi Amnesti dibuat secara mandiri dan objektif : Tetapi bila ditolak pengakuan pelaku jadi percuma
Diolah dari UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR - UU KKR ini telah dinyatakan tidak berlaku lagi melalui putusan MK tanggal 4 Desember 2006.
Langkah Mundur atau Jalan Tengah ? Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM yang Berat... - Raja Onggal Siahaan
137
Bagan 2 DPR Mempertimbangkan Tolak / Terima
PRESIDEN
30 Hari Usul Rekomendasi
3 Hari Setuju / Tolak Pemberitahuan Amnesti Setuju / Tolak
KKR
Sub Komisi Lid dan Klarifikasi
Sub Komisi Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi
Permohonan
Sub Komisi Pertimbangan Amnesti Kompensasi dan Rehabilitasi diberikan apabila Amnesti diterima
Diolah dari UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR – UU KKR ini telah dinyatakan tidak berlaku lagi melalui putusan MK tanggal 4 Desember 2006.
DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Atmasasmita, Romli, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung. 2001. ........ , Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bagian I, Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2000. ------, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Bassiouni, M. Cherif, Crimes Against Humanity In International Criminal Law; Martinus Nijhoff Publisher, Dordrecht/Boston/London, 1992. 138
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
Bemmelen, J.M. van, Hukum Pidana 1 – Hukum Pidana material bagian umum, judul asli : Ons strafrecht 1 – Het materiele strafrecht algemeen deel, terjemahan Hasnan, 1984, Penerbit Binacipta, Jakarta, 1979, Bentham, Jeremy, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, Vol. 2, Hafner Publishing, Darien, Conn, 1970. Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan, Penerbit Akademika Pressindo, Jakarta, 1993. Hadjon M Philipus dan Djamiati Sri Tatiek, Argumentasi Hukum, Penerbit Gajah Mada University Press, 2005. Hamzah, Andi, Perbandingan Hukum Beberapa Negara, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1995.
Kant, I, The Metaphysics of Morals, ed. H. Reiss, Trans. H.B. Nisbet, Cambridge University Press, 1970. Kelsen, Hans, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, judul asli General Theory of Law and State, 1973, alih bahasa Somardi, Penerbit Rimdi Press, 1995. Lamintang. P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997. Poernomo, Bambang, Pola Dasar Teori-Teori Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1993. Projodikoro, Wiryono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Ketiga, Penerbit PT. Refika Aditama, Bandung, 2003, Rawls, John, Teori Keadilan (A Theory of Justice), Belknap Press, Cambridge, 2005. Siahaan. R.O, Asas Retroaktif – Penerapannya Dalam Perkara Pelanggaran HAM Yang Berat, RAO Press – Miswar, Cibubur, 2009. ------, Pengantar Ilmu Hukum, RAO Press – Miswar, Cibubur, 2009. ------, Hukum Pidana I Cetakan Keempat, RAO Press - Miswar, Cibubur, 2009. ------, Hukum Pidana II Cetakan Kedua (Edisi Revisi), RAO Press – Miswar, Cibubur, 2013. ------, Hukum Acara Pidana Cetakan Pertama, RAO Press – Miswar, Cibubur, 2009. ------, Tindak Pidana Khusus Cetakan Kedua (Edisi Revisi), RAO Press – Miswar, Cibubur, 2009.
Subekti R. dan Tjitrisudibio. R, Kitab Undangundang Hukum Perdata (BW) dalam terjemahan, PT.Pradnya Paramita, Jakarta, 1992. The Surabaya Principles on Transitional Justice in Indonesia; Summerised Antonio Prajasto, Transitional Justice, KOMNAS HAM, Jakarta, 2002 Tresna, R, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Tiara Limited, Jakarta, 1959. -------, Komentar HIR, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, 2001 Peraturan Perundang-undangan UU Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. UU Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. UU, Nomor 31 Tahun 1991 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Putusan Mahkamah Konstitusi MKRI, Putusan perkara No.003/PUU-III/2006 tanggal 24 Juli 2006. MKRI, Putusan perkara No.006/PUUI/2006 tanggal 4 ( diucapkan tanggal 7 ) Desember 2006.
Langkah Mundur atau Jalan Tengah ? Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM yang Berat... - Raja Onggal Siahaan
139