BAB II LANDASAN TEORI
A. Manajemen Kinerja Manajemen
adalah
suatu
proses
merencanakan,
mengorganisasikan,
memimpin, mengendalikan kegiatan anggota serta sumber daya yang lain untuk mencapai sasaran yang telah
ditentukan. Proses tersebut terdapat dalam fungsi
kegiatan operasional, keuangan, sumber daya manusia maupun sarana prasarana. Menurut Veithzal istilah manajemen mempunyai arti sebagai kumpulan pengetahuan tentang bagaimana seharusnya mengelola sumber daya manusia. Manajemen adalah proses pendayagunaan peningkatan kinerja terhadap sumber daya manusia untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Proses ini melibatkan organisasi, arahan, koordinasi dan evaluasi orang-orang guna mencapai tujuan-tujuan tersebut. Esensi manajemen adalah aktivitas bekerja dengan orang lain agar mencapai berbagai hasil. Melalui manajemen dilakukan proses pengintegrasian berbagai sumber daya dan tugas untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditentukan (Simamora 2002). Kinerja pada dasarnya merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Dalam hal ini, pegawai bisa belajar seberapa besar kinerja mereka melalui sarana informasi seperti komentar baik dari mitra kerja. Namun demikian penilaian kinerja yang mengacu kepada suatu sistem formal dan terstruktur
yang mengukur, menilai dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan pekerjaan perilaku dan hasil termasuk tingkat ketidakhadiran. Fokus penilaian kinerja adalah untuk mengetahui seberapa produktif seorang pegawai dan apakah ia bisa berkinerja sama atau lebih efektif di masa yang akan datang. Begitu pentingnya masalah kinerja pegawai ini, sehingga tidak salah bila inti pengelolaan sumber daya manusia adalah bagaimana mengelola kinerja SDM. Mengelola manusia dalam konteks organisasi berarti mengelola manusia agar dapat menghasilkan kinerja yang optimal bagi organisasi. Oleh karenanya kinerja pegawai ini perlu dikelola secara baik untuk mencapai tujuan organisasi, sehingga menjadi suatu konsep manajemen kinerja (performance management). Menurut definisinya, manajemen kinerja adalah suatu proses strategis dan terpadu yang menunjang keberhasilan organisasi melalui pengembangan performansi SDM. Dalam manajemen kinerja kemampuan SDM sebagai kontributor individu dan bagian dari kelompok dikembangkan melalui proses bersama antara manajer dan individu yang lebih berdasarkan kesepakatan daripada instruksi. Kesepakatan ini meliputi tujuan (objectives), persyaratan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan, serta pengembangan kinerja dan perencanaan pengembangan pribadi. Manajemen kinerja bertujuan untuk dapat memperkuat budaya yang berorientasi pada kinerja melalui pengembangan keterampilan, kemampuan dan potensi-potensi yang dimiliki oleh SDM. Sifatnya yang interaktif ini akan meningkatkan motivasi dan memberdayakan SDM dan membentuk suatu kerangka kerja dalam pengembangan kinerja. Manajemen kinerja juga dapat menggalang partisipasi aktif setiap anggota organisasi untuk mencapai sasaran organisasi melalui penjabaran sasaran individu
maupun kelompok sekaligus mengembangkan protensinya agar dapat mencapai sasarannya. Berdasarkan tugasnya, manajemen kinerja dapat dijadikan landasan bagi promosi, mutasi dan evaluasi, sekaligus penentuan kompensasi dan penyusunan program pelatihan. Manajemen kinerja juga dapat dijadikan umpan balik untuk pengembangan karier dan pengembangan pribadi SDM. Tujuan dari sistem manajemen kinerja yang efisien dan efektif adalah untuk : 1. Menerjemahkan visi dan misi organisasi ke dalam tujuan dan hasil yang jelas dan dapat diukur yang menentukan keberhasilan dan dipahami bersama oleh tiap orang dalam organisasi dan pelanggan dan stakeholder. 2. Menyediakan alat untuk menilai, mengelola dan meningkatkan kesehatan dan keberhasilan keseluruhan organisasi. 3. Melanjutkan pergeseran dari orientasi pengendalian dan ketaatan menjadi pendekatan stratejik yang berkelanjutan kepada manajemen. 4. Menyediakan sebuah sistem manajemen kinerja yang mendalam dan dapat diduga hasilnya dengan memasukkan ukuran-ukuran kualitas, biaya, ketepatan waktu, layanan pelanggan serta kepuasan, motivasi dan keahlian pegawai. 5. Mengganti sistem penilaian kinerja yang ada dengan sebuah pendekatan yang sesuai dengan manajemen kinerja.
Keunggulan manajemen kinerja adalah penentuan sasaran yang jelas dan terarah. Didalamnya terdapat dukungan, bimbingan, dan umpan balik agar tercipta peluang terbaik untuk meraih sasaran yang menyertai peningkatan komunikasi antara
atasan dan bawahan. Hal ini karena pada dasarnya manajemen kinerja merupakan proses komunikasi berkelanjutan antara atasan dan bawahan dengan tujuan untuk memperjelas dan menyepakati hal-hal : 1. Fungsi pokok pekerjaan bawahan. 2. Bagaimana pekerjaan bawahan berkontribusi pada pencapaian tujuan organisasi. 3. Pengertian “efektif” dan “berhasil” dalam pelaksanaan pekerjaan bawahan. 4. Bagaimana bawahan dapat bekerja sama dengan atasan dalam rangka efektivitas pelaksanaan pekerjaan bawahan. 5. Bagaimana mengukur efektivitas (baca : kinerja) pelaksanaan pekerjaan bawahan. 6. Berbagai hambatan efektivitas dan alternatif cara untuk menyingkirkan hambatan-hambatan tersebut.
Manajemen kinerja sangat bermanfaat bagi pihak atasan, bawahan dan organisasi. Bagi atasan, manajemen kinerja mempermudah penyelesaian pekerjaan bawahan sehingga atasan tidak perlu lagi repot mengarahkan dalam kegiatan seharihari karena bawahan sudah tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dicapai serta mengantisipasi kemungkinan hambatan yang muncul. Bagi bawahan, manajemen kinerja membuka kesempatan diskusi dan dialog dengan atasan berkaitan dengan kemajuan pekerjaannya. Adanya diskusi dan dialog memberikan umpan balik untuk
memperbaiki
kinerja
sekaligus
meningkatkan
keahliannya
dalam
menyelesaikan pekerjaan. Selain itu manajemen kinerja juga memberdayakan bawahan karena ia tidak perlu sedikit-sedikit “mohon petunjuk” kepada atasan karena telah diberikan arahan yang jelas sejak awal. Bagi organisasi, manajemen kinerja memungkinkan keterkaitan antara tujuan organisasi dan tujuan pekerjaan masingmasing bawahan. Selain itu, manajemen kinerja mampu untuk memberikan argumentasi yang relatif kuat untuk setiap keputusan yang menyangkut SDM. Untuk dapat menerapkan manajemen kinerja dalam suatu organisasi, diperlukan adanya prasyarat dasar yang harus dipenuhi dalam suatu organisasi, yaitu : 1.
Adanya suatu indikator kinerja (key performance indicator) yang terukur secara kuantitatif dan jelas batas waktunya. Ukuran ini harus dapat menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh organisasi tersebut. Pada organisasi nirlaba seperti organisasi pemerintahan maka ukuran kinerjanya adalah berbagai bentuk pelayanan kepada masyarakat. Semua harus terukur secara kuantitatif dan dapat dimengerti oleh berbagai pihak yang terkait, sehingga bila nanti dievaluasi dapat diketahui apakah kinerja sudah dapat mencapai target atau belum. Michael Porter, profesor dari Harvard Business of School menyatakan bahwa kita tidak bisa memanajemeni sesuatu yang tidak dapat kita ukur. Organisasi yang tidak memiliki indikator kinerja biasanya tidak bisa diharapkan untuk mampu mencapai
kinerja
yang
memuaskan
pihak
yang
berkepentingan
(stakeholders). 2.
Semua ukuran kinerja tersebut biasanya dituangkan dalam suatu bentuk kesepakatan antara atasan dan bawahan yang sering disebut sebagai suatu
kontrak kinerja (performance contract). Dengan adanya kontrak kinerja, maka atasan bisa menilai apakah si bawahan sudah mencapai kinerja yang diinginkan atau belum. Kontrak kinerja ini berisikan suatu kesepakatan antara atasan dan bawahan mengenai indikator kinerja yang ingin dicapai, baik
mengenai
sasaran
pencapaiannya
maupun
jangka
waktu
pencapaiannya. Ada dua hal yang perlu dicantumkan dalam kontrak kinerja yaitu sasaran akhir yang ingin dicapai (lag) serta program kerja untuk mencapainya (lead). Keduanya perlu dicantumkan supaya pada saat evaluasi nanti berbagai pihak bersikap secara fair, dan tidak melihat hasil akhir semata, namun juga proses kerjanya. Bisa saja seorang bawahan belum mencapai semua hasil kerja yang ditargetkan, tetapi dia sudah melaksanakan semua program kerja yang sudah digariskan. Tentu saja atasan tetap harus memberikan reward untuk dedikasinya, walaupun sasaran akhir belum tercapai. Hal ini juga bisa menjadi dasar untuk perbaikan di masa mendatang (continuous improvement). 3.
Terdapat suatu proses siklus manajemen kinerja yang baku dan dipatuhi untuk dikerjakan bersama, yaitu : a. Perencanaan kinerja, berupa penetapan indikator kinerja lengkap dengan berbagai strategi dan program kerja yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang diinginkan. b. Pelaksanaan, di mana organisasi bergerak sesuai dengan rencana yang telah dibuat, jika ada perubahan akibat adanya perkembangan baru maka lakukan perubahan tersebut.
c. Evaluasi kinerja, yaitu menganalisis apakah realisasi kinerja sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan sebelumnya. Semuanya ini harus serba kuantitatif. 4.
Adanya suatu sistem reward and punishment yang bersifat konstruktif dan konsisten dijalankan. Konsep reward ini tidak selalu harus bersifat finansial, tetapi bisa juga berupa bentuk lain seperti promosi, kesempatan pendidikan dan lain-lain. Reward and punishment diberikan setelah melihat hasil realisasi kinerja, apakah sesuai dengan indikator kinerja yang telah direncanakan atau belum. Tentu saja harus ada suatu performance appraisal atau penilaian kinerja lebih dahulu sebelum reward and punishment. Penerapan punishment ini harus hati-hati, karena dalam banyak hal pembinaan jauh lebih bermanfaat.
5.
Terdapat suatu mekanisme performance appraisal atau penilaian kinerja yang relatif obyektif yaitu dengan melibatkan berbagai pihak. Konsep yang sangat terkenal adalah penilaian 360 derajat, di mana penilaian kinerja dilakukan oleh atasan, bawahan, rekan sekerja, dan pengguna jasa, karena pada prinsipnya manusia itu berpikir secara subyektif, namun dengan berpikir bersama mampu untuk mengubah sikap subyektif itu menjadi mendekati obyektif, atau berpikir bersama jauh lebih obyektif daripada berpikir sendiri-sendiri. Ini adalah semangat dalam konsep penilaian 360 derajat.
6.
Terdapat suatu gaya kepemimpinan (leadership style) yang mengarah kepada pembentukan organisasi berkinerja tinggi. Inti dari kepemimpinan
seperti ini adalah adanya suatu proses coaching, counseling, dan empowerment kepada para bawahan atau sumber daya manusia di dalam manusia. Suatu aspek lain yang sangat penting dalam gaya kepemimpinan adalah sikap followership atau menjadi pengikut. Bagaimana jadinya bila semua orang menjadi komandan dalam organisasi? Bukan kinerja tinggi yang tercapai, namun kekacauan yang ada. Pada dasarnya seseorang itu harus memiliki jiwa kepemimpinan, tetapi dalam situasi yang lain dia juga harus memahami bahwa dia merupakan bagian dari sebuah sistem organisasi yang lebih besar yang harus diikuti. 7.
Menerapkan konsep manajemen SDM berbasis kompetensi. Umumnya organisasi yang berkinerja tinggi memiliki kamus kompetensi dan menerapkan kompetensi itu tersebut kepada hal-hal yang penting, seperti manajemen kinerja, rekruitmen, seleksi, pendidikan, pengembangan pegawai, dan promosi. Kompetensi ini meliputi kompetensi inti organisasi, kompetensi perilaku, dan kompetensi teknis yang spesifik dalam pekerjaan. Jika kompetensi ini sudah dibakukan dalam organisasi, maka kegiatan manajemen SDM akan menjadi lebih transparan, dan pimpinan organisasi juga dengan mudah mengetahui kompetensi apa saja yang perlu diperbaiki untuk membawa organisasi menjadi berkinerja tinggi.
Tahap-tahap dalam manajemen kinerja meliputi tahap penentuan objektif, penentuan sasaran yang berorientasi pada perilaku, menyiapkan dukungan yang
diperlukan, evaluasi dan pengembangan serta memberi penghargaan. Proses manajemen kinerja melibatkan perencanaan, coaching dan review. Dalam perencanaan diidentifikasi dan ditentukan tingkat kinerja, apa sasarannya serta bagaimana perilaku untuk mencapai sasaran, Dalam coaching dilakukan evaluasi, dukungan dan pengarahan secara berkesinambungan melalui diskusi dua arah. Dalam proses review dilakukan evaluasi terhadap pencapaian dan terhadap sasaran yang ditentukan dan hasilnya dijadikan sebagai umpan balik. Pengukuran kinerja merupakan salah satu hal yang mendasar dalam manajemen kinerja. manfaatnya sebagai landasan untuk memberikan umpan balik, mengidentifikasi butir-butir kekuatan untuk mengembangkan kinerja di masa mendatang, serta mengidentifikasi butir-butir kelemahan sebagai sarana koreksi dan pengembangan. Langkah ini sebagai jawaban terhadap dua persoalan utama yaitu apakah kita sudah mengerjakan hal yang benar dan apakah sudah mengerjakannya dengan baik. Persoalan utama dalam pengukuran kinerja adalah kita telah mengukur hal yang strategis dan memberi nilai tambah terhadap strategi organisasi secara keseluruhan. Masalah lain yang perlu diwaspadai adalah terlalu berorientasi pada hasil dan mengabaikan proses, sistem remunerasi yang tidak mendukung kinerja, dan pengukuran
yang
tidak
berdasarkan
pada
team
business
structure.
Dalam pelaksanaan manajemen kinerja terdapat lima komponen pokok, yaitu : 1. Perencanaan kinerja, di mana atasan dana bawahan berupaya merumuskan memahami dan menyepakati target kinerja bawahan dalam rangka mengoptimalkan
kontribusinya
terhadap
pencapaian
tujuan-tujuan
organisasi. Pada saat perencanaan kinerja ini atasan membantu bawahan dan menterjemahkan tujuan-tujuan organisasi ke dalam target kinerja individual dalam batasan anggaran yang tersedia. 2. Komunikasi berkelanjutan antara atasan dan bawahan guna memastikan bahwa apa yang telah, sedang dan akan dilakukan bawahan mengarah pada target kinerjanya sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, hal ini juga berguna untuk mengantisipasi segala persoalan yang timbul. 3. Pengumpulan data dan informasi oleh masing-masing pihak sebagai bukti pendukung realisasi kinerja bawahan. Pengumpulan dapat dilakukan melalui formulir penilaian kinerja, observasi langsung maupun tanya jawab dengan pihak-pihak terkait. 4. Pertemuan tatap muka antara atasan dan bawahan selama periode berjalan. Pada saat inilah bukti-bukti otentik kinerja bawahan diklarifikasi, didiskusikan, dan disimpulkan bersama sebagai kinerja bawahan pada periode tersebut. 5. Diagnosis berbagai hambatan efektivitas kinerja bawahan dan tindak lanjut bimbingan yang dapat dilakukan atasan guna menyingkirkan hambatan-hambatan tersebut guna meningkatkan kinerja bawahan. Dengan adanya diagnosis dan bimbingan ini, bawahan tidak merasa “dipersalahkan” atas kegagalan mencapai target kinerja yang telah disepakati dan sekaligus menunjukkan niatan bahwa persoalan kinerja bawahan adalah persoalan atasan juga.
Begitu bermanfaat dan kuatnya peranan manajemen kinerja, namun dalam pelaksanaannya seringkali terdapat persoalan, baik dari sisi atasan maupun sisi bawahan. Dari sisi atasan sebagai pejabat penilai ada keengganan menerapkannya karena faktor-faktor sebagai berikut : 1. Formulir dan tata cara penilaian seringkali sulit untuk dimengerti di mana kriteria-kriteria yang digunakan tidak jelas pengertiannya atau memiliki pengertian yang kabur, sehingga menimbulkan multi interpretasi, dan tata caranya berbelit-belit. 2. Atasan tidak memiliki cukup waktu untuk menerapkan manajemen kinerja, karena persoalan pertama tadi. 3. Tidak ingin berkonfrontasi dengan bawahan, terutama mereka yang dinilai kinerjanya kurang baik. Sebab keengganan ini yaitu atasan tidak punya argumentasi yang kuat akibat tidak jelasnya kriteria penilaian yang digunakan. Selain itu atasan tidak ingin merusak hubungan baik dengan bawahan, misalnya karena satu nilai buruk, padahal hubungan baik sangat penting untuk bekerja sama dengan bawahan. 4. Atasan kurang mengetahui rincian pekerjaan, sehingga tidak mengerti aspek-aspek apa yang harus diperhatikan ketika melakukan penilaian dengan menggunakan kriteria yang telah ditetapkan. Hal ini berpengaruh pada kemampuan atasan memberikan umpan balik secara efektif guna perbaikan kinerja bawahan. Logikanya, bagaimana ia bisa memberikan masukan bila ia tidak mengerti betul liku-liku pekerjaan bawahan.
Sedangkan keengganan dari sisi bawahan sebagai pihak yang dinilai adalah : 1. Pengalaman buruk di masa lalu, di mana atasan memperlakukan kinerja bawahan yang kurang baik dengan sinis atau acuh sehingga bawahan tidak mendapatkan umpan balik yang bermanfaat bagi perbaikan kinerjanya. 2. Bawahan tidak suka dikritik, terutama bila dikaitkan dengan kinerjanya. Hal ini mungkin karena poin pertama, di mana atasan hanya bisa mengkritik tanpa memberikan jalan keluar yang jelas. 3. Ada rasa takut karena ketidakjelasan kriteria dan standar penilaian sehingga baik buruknya kinerja bawahan menjadi sangat subyektif (unsur suka atau tidak suka atasan terhadap bawahan amat dominan terhadap nilai kinerja bawahan), padahal hasil penilaian kinerja menentukan banyak hal penting bagi bawahan, di antaranya kenaikan pangkat, gaji dan perolehan bonus/insentif. 4. Bawahan tidak mengerti betul manfaat diterapkannya manajemen kinerja seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Hal ini karena kurang sosialisasi peran penting manajemen kinerja bagi keberhasilan organisasi.
Pengukuran kinerja adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya yang dalam penulisan ini termasuk informasi atas : 1. Hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan
2. Efektifitas tindakan dalam mencapai tujuan dan lebih spesifik lagi, pelayanan terhadap kelayan sesuai tujuan. Pengukuran kinerja tidak dapat dilepaskan dari manajemen kinerja. Agar efektif, sistem pengukuran kinerja harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen kinerja. Pengukuran kinerja diperlukan karena kegiatan/proses yang dapat diukur berarti dapat dikerjakan. Jika target ditetapkan tetapi tidak mengukur hasil sebenarnya, maka tidak ada jaminan bahwa apa yang diharapkan untuk dicapai telah benar-benar dicapai. Orang adalah komponen utama organisasi. Interaksi diantara orang-orang dalam organisasi merupakan penentu pencapaian tujuan organisasi. Dari waktu kewaktu kompetensi SDM semakin meningkat, sehingga arah pengorganisasian cenderung menuju sistem otonomi dan desentralisasi. Hirarki organisasi yang lebih rendah dapat dibebani suatu tanggung jawab, bahkan dengan derajad pengawasan langsung yang semakin berkurang. Dalam banyak literatur, konsep kinerja disejajarkan denga konsep efektifitas. Oleh karena itu disini konsep kinerja akan ditelaah dengan menganalisis konsep efektifitas. Efektifitas berasal dari kata efektif, di dalam Ensiklopedi Administrasi efektif diberi arti sebagai berikut : “Efektifitas adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki. Kalau seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud tertentu yang memang dikehendaki maka orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan akibat atau
mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki. Kata efektif berarti terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki dalam suatu perbuatan”. (Eksiklopedi Administrasi, 1980).
Pada dasarnya pengertian efektifitas yang umum menunjukkan pada taraf tercapainya hasil, sering atau senantiasa dikaitkan dengan pengertian efisien, meskipun sebenarnya ada perbedaan diantara keduanya. Efektifitas menekankan pada hasil yang dicapai, sedangkan efisiensi lebih melihat pada bagaimana cara mencapai hasil yang dicapai itu dengan membandingkan antara input dan outputnya. Efektivitas merupakan konsep yang sangat penting dalam teori organisasi, karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya. Menurut Drucker dan Stoner dalam Mansur (2004 : 34) yang dimaksud efektivitas adalah “kemampuan untuk menentukan tujuan yang memadai atau melakukan yang tepat”. Efektivitas merupakan kunci keberhasilan suatu organisasi, sebelum kita dapat melakukan kegiatan secara efisien, kita harus yakin telah menemukan hal yang tepat. Menurut Peter Drucker (1964 : 5) pengertian efektivitas adalah melakukan pekerjaan yang benar (doing the right things). Menurut T. Hani Handoko (2003 : 7) “Efektivitas merupakan kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain manajer efektif apabila dapat memilih
pekerjaan yang harus dilakukan, dengan menggunakan metode atau cara yang tepat dalam mencapai tujuan. Istilah efektif (effective) dan efisien (efficient) merupakan dua istilah yang saling berkaitan dan patut dihayati dalam upaya untuk mencapai tujuan suatu organisasi. Tentang arti dari efektif maupun efisien terdapat beberapa pendapat. Menurut
Chester
Barnard
dalam
Kebijakan
Kinerja
Karyawan
(Prawirosentono, 1999 : 27), bahwa arti efektif dan efisien adalah sebagai berikut: “When a specific desired end is attained we shall say that the action is effective. When the unsought consequences of the action are more important than the attainment of the desired end and are dissatisfactory, effective action, we shall say, it is inefficient. When the unsought consequences are unimportant or trivial, the action is efficient. Accordingly, we shall say that an action is effective if it specific objective aim. It is efficient if it satisfies the motives of the aim, whatever it is effective or not”. (Bila suatu tujuan tertentu akhirnya dapat dicapai, kita boleh mengatakan bahwa kegiatan tersebut adalah efektif. Tetapi bila akibat-akibat yang tidak dicari dari kegiatan mempunyai nilai yang lebih penting dibandingkan dengan hasil yang dicapai, sehingga mengakibatkan ketidakpuasan walaupun efektif, hal ini disebut tidak efisien. Sebaliknya bila akibat yang tidak dicari-cari, tidak penting atau remeh, maka kegiatan tersebut efisien. Sehubungan dengan itu, kita dapat mengatakan sesuatu efektif bila mencapai tujuan tertentu. Dikatakan efisien bila hal itu memuaskan sebagai pendorong mencapai tujuan, terlepas apakah efektif atau tidak).
Disamping itu, menurut Chester Barnard, dalam Kebijakan Kinerja Karyawan (Prawirosentono, 1999 : 28), pengertian efektif dan efisien dikaitkan dengan sistem
kerjasama seperti dalam organisasi perusahaan atau lembaga pemerintahan, sebagai berikut : “Effectiveness of cooperative effort relates to accomplishment of an objective of the system and it is determined with a view to the system’s requirement. The efficiency of a cooperative system is the resultant of the efficiency of the individuals furnishing the constituent effort, that is, as viewed by them”. (Efektifitas dari usaha kerjasama - antar individu, berhubungan dengan pelaksanaan yang dapat mencapai suatu tujuan dalam suatu sistem, dan hal itu ditentukan dengan suatu pandangan dapat memenuhi kebutuhan sistem itu sendiri. Sedangkan efisiensi dari suatu kerjasama dalam suatu system - antar individu, adalah hasil gabungan efisiensi dari upaya yang dipilih masingmasing individu).
Dalam bahasa dan kalimat yang mudah hal tersebut dapat dijelaskan bahwa : pengukuran efisiensi selalu menyandingkan jumlah input dan output dalam suatu rasio. Efisien adalah perolehan suatu output sejumlah tertentu dengan menggunakan sedikit mungkin input, atau dipandang dari sisi input adalah penggunaan input sejumlah tertentu untuk mendapatkan output yang lebih banyak. Sering terjadi bahwa, pengukuran efisiensi membutuhkan pembanding kinerja yang sejenis. Efisien tetapi tidak efektif berarti baik dalam memanfaatkan sumberdaya (input), tetapi tidak mencapai sasaran. Sebaliknya, efektif tetapi tidak efisien berarti dalam mencapai sasaran menggunakan sumber daya berlebihan atau lazim dikatakan ekonomi biaya tinggi. Tetapi yang paling parah adalah tidak efisien dan juga tidak efektif, artinya ada pemborosan sumber daya tanpa mencapai sasaran atau penghambur-hamburan sumber daya. Efisien harus selalu bersifat kuantitatif dan
dapat diukur, sedangkan efektif mengandung pula pengertian kualitatif. Efektif lebih mengarah ke pencapaian sasaran. Efisien dalam menggunakan masukan (input) akan menghasilkan produktifitas yang tinggi, yang merupakan tujuan dari setiap organisasi apapun bidang kegiatannya. Hal yang paling rawan adalah apabila efisiensi selalu diartikan sebagai penghematan, karena bisa mengganggu operasi, sehingga pada gilirannya akan mempengaruhi hasil akhir, karena sasarannya tidak tercapai dan produktifitasnya akan juga tidak setinggi yang diharapkan. Penghematan sebenarnya hanya sebagian dari efisiensi. Persepsi yang tidak tepat mengenai efisiensi dengan menganggap semata-mata sebagai penghematan sama halnya dengan penghayatan yang tidak tepat mengenai Program Pengurangan Biaya (Cost Reduction Program), yang sebaliknya dipandang sebagai Program Perbaikan Biaya (Cost Improvement Program) yang berarti mengefektifkan biaya. Efektif dikaitkan dengan kepemimpinan (leadership) yang menentukan hal-hal apa yang harus dilakukan (what are the things to be accomplished), sedangkan efisien dikaitkan dengan manajemen, yang mengukur bagaimana sesuatu dapat dilakukan sebaik-baiknya (how can certain things be best accomplished). Berangkat dari pengertian tersebut, dapat dikemukakan bahwa dalam efektivitas kerja yang diutamakan adalah semata-mata hasil atau tujuan yang dikehendaki tanpa mempertimbangkan biaya, tenaga, dan waktu yang dikeluarkan. Jadi dapat dipahami bahwa sesuatu yang dianggap efektif belum tentu efisien, karena hanya mengejar hasil yang diinginkan tanpa memperhitungkan berapa besar dana, daya, sarana yang telah dikeluarkan, serta lama waktu yang dibutuhkan dalam
penyelesaian pekerjaan tersebut. Dapat dikatakan juga bahwa efektivitas adalah suatu kesesuaian atas kemampuan dalam mencapai tujuan yang sesuai dengan harapan. Selanjutnya agar tujuan organisasi dapat tercapai, menurut Sarwoto (1994: 73) pelaksanaan kegiatan harus didasarkan pada prinsip-prinsip efektivitas, yaitu meliputi: 1. Berhasil guna, yaitu kegiatan telah dilaksanakan dengan tepat (target tercapai) sesuai waktu yang ditetapkan dan hasil yang dicapai berkualitas. 2. Ekonomis, yaitu dalam pencapaian efektif biaya, tenaga kerja, material, peralatan, waktu, ruang dan lain-lain telah digunakan setepat-tepatnya sesuai rencana. 3. Pelaksanaan kerja yang dapat dipertanggunjawabkan, yaitu bahwa dalam pelaksanaan kerja sumber-sumber telah dimanfaatkan dengan setepattepatnya. 4. Pembagian kerja yang nyata,
yakni berdasarkan logika bahwa tidak
mungkin manusia seorang diri mengerjakan segala macam pekerjaan dengan baik, perlu pembagian kerja. 5. Rasionalitas wewenang dan tanggung jawab, artinya jangan sampai seseorang mempunyai wewenang yang lebih besar dari tanggung jawabnya. 6. Prosedur kerja yang praktis, artinya pelaksanaan kerja harus merupakan kegiatan yang praktis yaitu dapat dikerjakan dan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien sesuai prosedur yang jelas.
Setiap organisasi mempunyai satu atau beberapa tujuan yang memberikan arah dan menyatukan unsur-unsur yang terdapat didalam organisasi tersebut. Dimana tujuan yang akan dicapai di masa yang akan datang tersebut adalah suatu keadaan yang lebih baik daripada keadaan sebelumnya. Dalam rangka pencapaian tujuantujuan inilah diperlukan serangkaian kegiatan, yang dikenal dengan proses manajeman (Veitzhal, 2004), yaitu : 1. Perencanaan (Planning). Berupa
tindakan
pengambilan
keputusan
yang
mengandung
data/informasi, asumsi maupun fakta kegiatan yang akan dipilih dan akan dilakukan pada masa mendatang. 2. Pengorganisasian (Organizing). Bentuk tindakan-tindakan yang dapat mempersatukan kumpulan kegiatankegiatan manusia, yang mempunyai pekerjaan masing-masing, saling berhubungan satu dengan lainnya dengan tata cara tertentu dan berinteraksi dengan lingkungannya dalam rangka mendukung tercapainya tujuan penggunaan sumber daya secara optimal. 3. Penggerakan (Actuating) atau Manajemen Staf.
4. Kepemimpinan (Leadership). Pimpinan organisasi dapat menggunakan memimpin dalam bentuk organisasi dan integrasi. 5. Pengendalian (Controlling).
Berupa tindakan pengukuran kualitas penampilan dan penganalisaan serta pengevaluasian penampilan yang diikuti denga tindakan perbaikan yang harus diambil terhadap penyimpangan yang terjadi, tindakan tersebut antara lain : -
Menetapkan standar pencapaian hasil kerja.
-
Standar mutu pelayanan.
-
Melakukan reviu atas hasil kerja.
-
Melakukan tindakan perbaikan.
6. Pengawasan (Supervision). Melakukan audit terhadap kemungkinan adanya ketidakcocokan dalam pelaksanaan ataupun system prosedur yang berlaku, sehingga tidak menimbulkan risiko yang tidak baik bagi organisasi.
B. Kinerja Pengawasan Audit kinerja adalah audit yang dilakukan secara obyektif dan sistematis terhadap berbagai macam bukti untuk menilai kinerja entitas yang diaudit dalam hal ekonomi, efisien dan efektif (value for money audit) dengan tujuan untuk memperbaiki kinerja dan entitas yang diaudit dan meningkatkan akuntabilitas publik. Bahwa untuk menjamin tercapainya tertib pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan Kesejahteraan Sosial sesuai dengan tingkat perkembangannya, perlu meningkatkan serta memantapkan kegiatan pengawasan fungsional di lingkungan Departemen Sosial. Peningkatan program secara manajerial harus diimbangi dengan
peningkatan pengawasan, khususnya pengawasan terhadap kinerja para pegawai dalam pelaksanaan pelayanan di panti dengan didasarkan pada aspek ekonomi, efisien dan efektifitas antara pengelolaan dan penggunaan keuangan serta ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Untuk itu dalam menjaga dan mendorong agar pelaksanaan tugas (khususnya tugas pelayanan di PSKW “Mulya Jaya” Pasar Rebo) dilakukan sesuai dengan rencana, program, pedoman, kebijaksanaan dan ketaatan peraturan perundangundangan yang berlaku maka diperlukan audit yang dilaksanakan Inspektorat Jenderal sebagai aparat pengawasan fungsional intern. Pelaksanaan audit yang dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal adalah Pemeriksaan Komprehensif, yaitu suatu pengujian obyektif dan konstrutif yang dilakukan secara menyeluruh untuk semua aspek kegiatan instansi/unit organisasi obyek yang diperiksa dengan tujuan untuk : 1. mengetahui apakah pelaksanaan aspek-aspek operasional, pengelolaan keuangan, sumber daya manusia serta sarana dan prasarana telah dilakukan secara ekonomis, efisien dan efektif dalam menunjang tercapainya pelaksanaan tugas. 2. mengetahui apakah pertanggungjawaban atau akuntabilitas instansi/unit organisasi telah dibuat secara memadai.
Pemeriksaan komprehansif mencakup penilaian atas pengendalian keuangan maupun manajemen, termasuk sistem informasi dan pelaporan serta pemberian saran yang konstruktif mencakup :
1. Aspek operasional : Mempunyai tujuan untuk memperoleh keyakinan yang memadai bahwa kegiatan dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan dan merupakan cara yang paling ekonomis, efisien dan efektif. 2. Aspek Keuangan Mempunyai tujuan untuk memperoleh keyakinan yang memadai bahwa pengelolaan keuangan yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan penggunaan dana dilaksanakan secara efisien dan efektif. 3. Aspek Sumber Daya Manusia Mempunyai tujuan untuk memperoleh keyakinan yang memadai bahwa sumber daya manusia telah digunakan secara optimal dalam mendukung pelaksanaan kegiatan opersional dan fungsi Satker secara efisien dan efektif. 4. Mempunyai tujuan untuk memperoleh keyakinan yang memadai bahwa sarana dan prasarana telah digunakan secara ekonomis, efisien dan efektif.
Audit komprehensif merupakan istilah yang berkaitan dengan mandat audit yang diperlukan untuk memungkinkan pelaksanaan jenis-jenis audit secara simultan guna mencakup area yang luas dan mencegah pelaksanaan audit yang berulang-ulang atau tumpang tindih atas suatu auditan.