BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia pada hakekatnya adalah makhluk berbudaya, karena itu manusia tidak dapat lepas dari budaya yang dianutnya. Suatu budaya memiliki nilai yang berfungsi memberi arahan bagi tindakan manusia.1 Di dalam budaya manusia memanifestasikan seluruh eksistensi pribadinya secara utuh, salah satunya lewat simbol. Dengan demikian simbol adalah bagian dari budaya.
Di dalam kehidupan manusia senantiasa berjumpa dengan simbol – simbol yang berguna untuk mengkomunikasikan ide, pandangan, dan isi hati manusia. Terlebih – lebih jika ingin menjelaskan suatu pengertian yang mendalam dan sulit diuraikan dengan konsep – konsep yang jelas.2 Simbol atau lambang merupakan suatu bentuk pengungkapan manusia yang memiliki makna tertentu dan dipengaruhi oleh konteks. Melalui simbol tersebut manusia menemukan makna terdalam sebuah kehidupan dan mengalami transedensi.3
Simbol dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai sesuatu seperti tanda (lukisan, lencana, dsb) yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu, lambang, tanda pengenal yang tetap(menyatakan sifat, keadaan, dsb).4 Simbol dalam bahasa Yunani adalah Symbolon yang artinya melemparkan bersama. Sebuah Simbol menggambarkan apa yang tidak terungkapkan dalam bahasa kata – kata manusia, mengkomunikasikan hal – hal yang tak kita sadari, mengkomunikasikan imajinasi manusia, berwujudkan bentuk pandang-dengar (audio-visual), bentuk visual atau ide-ide.5
Sebuah batu pada umumnya hanyalah sebuah benda mati, tetapi bagi komunitas tertentu batu itu adalah sesuatu yang suci, sakral dan keramat, dalam hal ini kita dapat lihat terjadinya suatu perlambangan. Membuat batu menjadi sebuah objek pemujaan adalah sebuah fenomena agamais yang universal, bahkan dalam Alkitab dapat kita temukan misalnya dalam kisah Yakub di Betel.6 1
J.W.M. Bakker, SJ, Filsafat Kebudayan, Sebuah Pengantar (Jakarta : BPK.Gunung Mulia.1995), hlm.15 Avery Dulles, SJ, Model – Model Gereja (Jogyakarta : Kanisius.1990), hlm.13 3 Choan Seng Song, “ Dunia Citra – Citra dan Lambang – Lambang”, dalam Berteologi dengan Lambang – lambang dan Citra – Citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm. 6 4 Hasan Alwi, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka. 2001), hlm.630 5 Timur Indyah., “ Lambang – lambang Bukan Lelaki dalam Kebudayaan Jawa”, dalam Berteologi dengan Lambang – lambang dan Citra – citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm. 13 - 15 2
1
Dalam sejarah pertemuan agama Kristen dengan agama lokal, proses perlambangan selalu ada. Tetapi ketika simbol dalam agama lokal tersebut bertemu dengan simbol – simbol dalam agama Kristen maka akan terjadi sebuah penggusuran terhadap simbol agama lokal, simbol tersebut dihilangkan karena pandangan agama Kristen terhadap simbol dalam agama lokal itu bersifat negatif, sedangkan simbol – simbol dalam agama Kristen diakui sebagai simbol yang universal dan mutlak karena adalah hasil pewahyuan Allah.7
Simbol - simbol lokal disebut sebagai tindakan menyembah berhala, padahal tanpa disadari simbol simbol tersebut memiliki kekayaan yang mencerminkan konteks asli, karena simbol - simbol tersebut tercipta dari dalam komunitas, dibandingkan dengan simbol - simbol Kristen yang merupakan budaya luar dari komunitas tersebut. Ketika agama Kristen mau berkomunikasi dengan simbol tersebut, agama Kristen dapat menyentuh akar atau dasar dari komunitas tersebut.
Meja Sembahyang adalah salah satu simbol yang hadir sebagai hasil akhir dari sebuah sejarah panjang pertemuan agama Kristen dan agama lokal di Ambon. Meja Sembahyang berfungsi sebagai tempat berdoa secara pribadi atau keluarga, menaruh Alkitab dan buku nyanyian, persembahan atau perpuluhan, tempat mengikat janji antara pribadi dengan Tuhan dan dengan keluarga atau keluarga dengan sesama anggotanya dan dengan Tuhan. Praktek seperti ini dapat ditemukan dalam agama asli orang Ambon terhadap batu – batu besar yang disebut Batu Pamali, yang dalam agama lokal berfungsi sebagai tempat menaruh persembahan kepada ilah – ilah dan roh – roh leluhur, tempat mengikat janji atau bersumpah, tempat berkumpul dan tempat berdoa. Kesakralan Meja Sembahyang sangat dirasakan dalam kehidupan jemaat Kristen Ambon, terlihat dengan sikap berhati – hati dalam penggunaannya. Demikian juga dengan Batu Pamali, yang menurut aturan setempat tidak boleh sembarangan menyentuhnya atau menggunakannya. Kehadiran Batu Pamali dipengaruhi oleh bentuk agama lokal di Ambon yang terkait dengan penyembahan roh leluhur. Leluhur dipandang penting karena merekalah pembentuk adat yang dipakai dalam menjalani hidup sehari – hari. Dalam agama lokal Ambon leluhur dianggap sebagai pelindung dan penjaga, leluhur dekat dengan masyarakat adat daripada dewa – dewa lain yang mereka sembah. Leluhur pada hari – hari tertentu dalam agama lokal di Ambon akan mendatangi masyarakat adat yang adalah anak cucu mereka sendiri, kedatangan roh leluhur dalam agama lokal di Ambon dengan cara menghinggapi Batu Pamali.
7
Scn 3, hlm. 11
2
Kepercayaan terhadap leluhur sangat mengikat kuat dalam kehidupan masyarakat Ambon. Penghormatan terhadap leluhur dimulai dengan alasan mereka adalah pembentuk adat, pelindung, penjaga, dan pembentuk negeri, dengan alasan ini penghormatan masyarakat adat melakukan penghormatandan ritual – ritual. Bentuk seperti ini berpengaruh terus dalam kehidupan masyarakat Ambon sampai sekarang. Dapat dilihat dalam Kehidupan jemaat Kristen Protestan di Ambon memiliki sifat yang khas, dari cara mereka beribadah, semangat mereka untuk hidup berjemaat, motivasi dan sifat – sifat kegiatan dalam jemaat. Seperti adat yang dijalankan dalam kehidupan orang – orang Maluku demikian juga kehidupan Kristennya, hal ini terjadi karena agama Kristen telah menggantikan agama asli, yang mana agama asli itu sendiri mempunyai hubungan yang erat dengan sistem adat.8 Sehingga terjadi perpaduan antara agama Kristen dan adat di Maluku, dan mempunyai bentuk khusus dan dijuluki Agama Ambon. Perpaduan antara agama Kristen dengan adat di Maluku tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui suatu proses sejarah. inilah yang membentuk agama Kristen yang khas di Ambon dan dijuluki “Corpus Christianum Ambon”, yang merupakan campuran antara unsur agama suku dan unsur Kristen9.
Masalah iman dan adat adalah sebuah tugas gereja – gereja di Indonesia yang tidak pernah berhenti diberikan karena pada kenyataannya gereja – gereja di Indonesia hadir dalam sebuah konteks budaya (adat istiadat dan agama lokal) tertentu sehingga iman dan adat hidup berdampingan dan saling mempengaruhi. Ketika berbicara tentang iman dan adat ada dua bagian besar sikap yang dimunculkan : Konfirmasi dan Konfrontasi (pembenaran dan pengecaman). Demikian juga halnya ketika membicarakan tentang Meja Sembahyang, pada kalangan tertentu akan menampilkan sikap konfrontasi karena bagi mereka Meja Sembahyang adalah sebuah objek penyembahan berhala, sedangkan pada kalangan yang menampilkan sikap konformasi bagi mereka Meja Sembahyang adalah sebuah simbol yang menyatakan kehadiran Tuhan.Tetapi pada permasalahan kita tidak boleh begitu saja menolak budaya secara mentah – mentah juga tidak boleh begitu saja menerima budaya secara mentah – mentah, melainkan kedua sikap tersebut dijalankan secara bersama – sama.
10
Dengan berpendapat bahwa kebudayaan dan adat istiadat dapat diterima tetapi tidak tertutup untuk dinilai oleh iman, karena pada dasarnya tidak ada budaya Kristen melainkan iman Kristen.11
8
Frank L. Cooley, Mimbar dan Takhta (Jakarta : Sinar Harapan, 1987), hlm.64-65 Dr.Th van den End., Ragi Carita 1 ( Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1980), hlm.75 10 Emanuel G Singgih, Ph.D, Berteologi dalam Konteks (Jogyakarta : BPK Gunung Mulia & Penerbit Kanisius, 2004), hlm. 40 11 Scn. 11, hlm 40 9
3
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan kerangka pemikiran di atas di dalam pemaparan latar belakang permasalahan, maka yang hendak dikaji dalam skripsi ini adalah : a. Bagaimanakah proses munculnya Meja Sembahyang sebagai hasil pencampuran agama Kristen dan agama lokal di Ambon ? b. Bagaimana pemahaman dan sikap GPM terhadap Meja Sembahyang tersebut ? c. Apakah pemahaman dan sikap tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara Teologis – Antropologis?
2. Alasan Pemilihan Judul 2.1. Rumusan Judul Permasalahan di atas penulis bahas dibawah judul MEJA SEMBAHYANG ALA MASYARAKAT SOYA –KRISTEN (Tinjauan Teologis – Antropologis)
2.2. Alasan Pemilihan Judul Meja Sembahyang juga merupakan kajian yang menarik karena penulis menemukan perpaduan antara injil dan budaya. Dari meja sembahyang ini kita dapat menemukan sejarah panjang suatu proses dialog dan transformasi dua hal. Dengan mengkaji hal ini kita dapat menemukan nilai – nilai budaya dan agama yang terkandung dalam Meja Sembahyang tersebut.
Pembahasan tulisan ini bersifat baru dan aktual karena Meja Sembahyang yang ada dalam praktek kehidupan masyarakat Kristen Ambon tidak pernah digali lebih mendalam disebabkan oleh minimnya data –data sejarah dalam rangka proses pencarian akar sejarah atau proses kemunculan tradisi Meja Sembahyang tersebut.
Dengan adanya penulisan ini maka nilai – nilai dari Meja Sembahyang dapat ditemukan, sehingga kekayaan dari tradisi –tradisi yang ada dalam praktek kehidupan beriman orang Kristen yang dipenuhi dengan simbol dan lambang sebagai suatu perwakilan yang nyata atas pengakuan iman orang Kristen khusunya orang Kristen Ambon bisa digali lebih mendalam, juga untuk dapat dipertanggungjawabkan. Ini dapat menjadi titik tolak gereja khususnya GPM dalam memahami bentuk teologinya sendiri, yang hadir dalam jemaatnya. Dengan demikian wacana berteologi tidak dibangun pada suatu konteks yang kosong tetapi dari konteks yang nyata. Dengan demikian tulisan
4
ini dianggap bermanfaat oleh penulis karena dapat menyumbangkan suatu pemikiran untuk gereja maupun untuk penulis sendiri.
3. Metode Pembahasan 3.1. Metode Pembahasan Pembahasan dalam skripsi ini akan mengambil bentuk deskriptif – analitif. Dalam deskriptif merupakan tahap penggambaran permasalahan yang akan menguraikan apa dan bagaiaman Meja Sembahyang itu, sedangkan dalam analitif ini akan muncul penilaian – penilaian yang melahirkan kesimpulan.
3.2. Metode Pengalian Sumber Dalam rangka penulisan skripsi ini akan dilakukan studi literatur dan studi lapangan. a. Studi Literatur Pada studi literatur akan menggunakan buku – buku, dokumen, artikel maupun tulisan – tulisan pendek dalam upaya penemuan dan penyediaan bahan – bahan tertulis untuk menunjang penulisan skripsi ini. b. Studi Lapangan b.1. Penelitian Kualitatif Pada studi lapangan metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Dengan dasar pemikiran bahwa dengan metode kualitatif maka proses dan hasil sangat dipentingkan dalam rangka mendapat sebuah pemahaman makna yang mendalam. Keterlibatan langsung penulis yang dituntut dalam penelitian ini sangat membantu untuk mengetahui secara mendalam lebih fokus dan kualitasnya juga dapat dipertanggungjawabkan karena sumbernya jelas. Maka penelitian ini akan ditempuh dengan cara : •
Observasi atau pengamatan
•
Wawancara
b.2. Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih dalam rangka penelitian ini adalah jemaat Gereja Protestan Maluku Soya. Dengan alasan bahwa masyarakat Soya merupakan masyarakat asli pulau Ambon yang masih dipengaruhi oleh adat, terletak dipinggir kota Ambon, mayoritas penduduknya adalah Kristen Protestan.
5
4. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini akan mengikuti sistematika sebagai berikut : Bab I PENDAHULUAN Bagian ini berisi permasalahan, alasan pemilihan judul, metode pembahasan, dan sistematika penulisan
Bab II GAMBARAN UMUM NEGERI SOYA Bagian ini menguraikan suatu gambaran umum dari Negeri Soya, yang memuat Gambaran Geografi, Demografi, Pemerintahan, Sistem Adat, Sistem Kepercayaan dan Kekritenan di Soya
Bab III PEMAHAMAN DAN SIKAP GPM TERHADAP MEJA SEMBAHYANG Bagian ini akan menguraikan latar belakang munculnya Meja Sembahyang, pengertian dan bentuk – bentuk Meja Sembahyang, serta makna dan nilai – nilai dari Meja Sembahyang.
Bab IV TINJAUAN TEOLOGIS – ANTROPOLOGIS TERHADAP MEJA SEMBAHYANG Bagian ini akan menguraikan tinjauan Teologis dan Antropologi terhadap Meja Sembahyang.
Bab V PENUTUP Bab V merupakan penutup dari skripsi ini yang berisikan kesimpulan dan saran
6