LABACS Provide a simple Convenient and Effective COPD Therapy Muhammad Amin Faculty of Medicine Airlangga University Abstract Chronic obstructive Pulmonary disease (COPD) is a slowly progressive, non reversible pulmonary disease which is characterised by persistent airflow limitation.The mainstay of current treatment are long acting 2 agonist (LABACs) combined with inhaled corticosteroid (ICS). The role of ICS in COPD is more controversial. Corticosteroid do not appear to affect the rate of decline of FEV1. However, ICS increased postbronchodilator FEV1 in two studies and reduced severity and frequency of exacerbation when this end point could be reliably assessed. Combining a long acting 2 agonist and an ICS as maintenance therapy has been very successful in managing bronchial asthma, but less is known about this treatment strategy in COPD. Lung function (prebronchodilator FEV1) is improved when these drugs are combine, compared with monotherapy, and recent studies have found that combining therapies is also associated with fewer exacerbations and improved HRQL, compared with placebo treatment. A large prospective clinical trial failed to demonstrate a statistically significant effect of combination therapy on mortality, but a subsequent meta-analysis found that combination therapy may reduce mortality with a number needed to treat (NNT) of 36. Combination therapy is associated with an increased risk of pneumonia, but no other significant side effect. The addition of a long acting 2 agonist/inhaled corticosteroid combination to titropium improves lung function and quality of life and may further reduce exacerbation , but more studies of triple therapy are needed.
Terapi farmakologik pada PPOK ditujukan untuk mengurangi gejala, menurunkan frekuensi dan keparahan eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup serta meningkatkan toleransi latihan fisik. Walaupun demikian tidak satupun obat yang tersedia sekarang yang bisa memodifikasi penurunan faal faal paru dalam jangka panjang. Setiap pengobatan farmakologik memerlukan kekhususan bagi setiap individu, yang dipandu oleh derajat keparahan gejala, risiko eksaserbasi, ketersediaan obat dan respon penderita. Pedoman tentang PPOK yang dirilis GOLD 2011, Instiute of Health and Clinical Excellence (NICE) 2010 merekomendasikan penambahan kortikosteroid inhalasi (inhaled corticoasteroid-ICS) pada bronkodilator kerja lama bila penyakit cenderung akan menjadi
Majalah Kedokteran Respirasi Vol. 3, Supl, Juli 2012
lebih parah, misal, dalam 1 tahun mengalami lebih dari 2 kali eksaserbasi. Pedoman NICE yang terbaru menyatakan bahwa antikolinergik kerja lama bisa ditambahkan pada LABA/ICS tanpa memperhatikan nilai FEV1. Pembahasan pada makalah ini dibatasi hanya pada penggunaan LABA/ICS pada pengobatan PPOK stabil sebagai bagian dari terapi farmakologik. AGONIS 2 Prinsip kerja agonis 2 adalah merelaksasi otot polos saluran pernapasan melalui stimulasi pada reseptor 2 adrenergik, yang dapat meningkatkan siklik AMP sehingga terjadi antagonis fungsional penyebab bronkokonstriksi. Agonis 2 berdasarkan kelarutan dan durasi kerjanya dibagi menjadi 3 bagian yaitu: 61
1. Agonis SABA) 2. Agonis LABA) 3. Agonis
2
2
2
kerja singkat (short actingkerja lama (long actingultra long acting
Agonis 2 kerja singkat baik yang dipakai secara reguler maupun saat diperlukan (as needed) dapat memperbaiki FEV1 dan gejala, walaupun pemakaian pada PPOK tidak dianjurkan apabila dengan dosis tinggi. Agonis 2 kerja lama, durasi kerja sekitar 12 jam atau lebih. Saat ini yang tersedia adalah formoterol dan salmeterol. Obat ini dipakai sebagai ganti agonis 2 kerja cepat apabila pemakaiannya memerlukan dosis tinggi atau dipakai dalam jangka waktu lama. Efek obat ini dapat memperbaiki FEV1 dan volume paru, mengurangi sesak napas, memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan kejadia eksaserbasi, akan tetapi tidak dapat mempengaruhi mortaliti dan besar penurunan faal paru. Agonis 2 dengan durasi kerja 24 jam , preparat yang ada adalah indacaterol. Walaupun salmeterol dan formoterol merupakan LABA dengan durasi kerja > 12 jam , ke-2 obat tersebut memiliki sifat farmakologi yang berbeda. Ke-2nya bersifat lipofilik yang menyebabkan durasi kerja lama dan sangat selektif pada reseptor 2, Perbedaan sifat ke-2 obat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Formoterol memiliki onset kerja lebih cepat dibandingkan salmeterol. Onset yang cepat tersebut telah mendapat pengakuan yang kemudian direkomendasikan untuk dapat dipakai Majalah Kedokteran Respirasi Vol. 3, Supl, Juli 2012
sebagai rescue atas gejala sesak napas. 70% terjadi bronkodilatasi maksimum dalam waktu 5 menit setelah inhalasi, dibandingkan dengan salmeterol yang memerlukan waktu 1 jam (Cave 2011). 2. Dilihat dari potensinya, salmeterol merupakan agonis parsial sedangkan formoterol merupakan agonis penuh (Cave 2011). Untuk mendapatkan efek bronkodilatasi yang sama bronkodilator parsial memerlukan ikatan dengan reseptor yang lebih banyak . Efek samping agonis 2 diakibatkan oleh stimulasi reseptor 2 yang berlebihan sehingga dapat menimbulkan takikardi, kelainan irama jantung, khususnya pada pasien yang peka. Efek samping tremor bisa menjadi masalah apabila terjadi pada orang tua terutama bila dipakai dosis yang lebih tinggi. Hipokalemi dapat terjadi terutama bila dikombinasi dengan pemakaian diuretika jenis tiazide. Konsumsi oksigen dapat meningkat pada keadaan istirahat , dampak metabolik tersebut berupa takipilaksis yang tidak sesuai dengan kerja bronkodilatasi KORTIKOSTEROID INHALASI Pemberian kortikosteroid inhalasi (ICS) pada PPOK masih belum diketahui dengan pasti bagaiman hubungan dosis-respon dan keamanan apabila dipakai dalam waktu lama. Selama ini ICS yang dipakai pada uji klinik dengan pengamatan yang lama hanya dilakukan dengan dosis yang sedang atau tinggi. Efek ICS untuk menekan inflamasi di paru atau sistemik pada PPOK masih terjadi silang pendapat. Adapun peran ICS pada 62
pengobatan PPOK stabil masih terbatas pada indikasi tertentu. Pengobatan secara reguler ICS pada PPOK dengan FEV1 < 60% predikted dapat memperbaiki gejala, faal paru, kualitas hidup dan pengurangan eksaserbasi . Penghentian ICS mendadak dapat berakibat pemicu eksaserbasi pada beberapa pasien. Pengobatan KSI secara reguler pada PPOK tidak dapat memodifikasi penurunan FEV jangka panjang dan juga mortaliti. The European Respiratory Society Study on COPD (EUROSCOP) –Fergusson 2011, melaporkan bahwa pemberian budesonid selama 3 tahun pada PPOK ringan dan sedang, didapatkan peningkatan FEV1 dibandingkan dengan plasebo pada 6 bulan pertama, tapi pada pengamatan selanjutnya tidak didapatkan efek yang berarti pada penurunan FEV1. The Inhaled Steroids in Obstructive Lung Disease in Europe (ISOLDE)- Fergusson 2011 kesimpulan analisisnya pada PPOK derajat ringan-sedang adalah flutikason tidak secara signifikan mengurangi frekuensi eksaserbasi pada populasi pasien dengan penyakit yang dini. Laporan ini mendukung rekomendasi pedoman PPOK untuk tidak memakai ICS sebagai monoterapi pada setiap tingkat PPOK Metaanalisis yang dilakukan Bradley menunjukkan bahwa iCS pada PPOK stabil tidak bermakna mempengaruhi mortaliti, didapatkan insiden pneumonia yang meningkat. Risiko tersebut terutama terjadi pada pasien dengan baseline FEV1 paling rendah dan mendapat terapi dengan dosis paling tinggi.
Majalah Kedokteran Respirasi Vol. 3, Supl, Juli 2012
Efek samping ICS berupa timbulnya kandidiasis mulut, suara parau dan kulit bersisik. Risiko pneumonia meningkat, Satu studi jangka panjang pemakaian budesonid membuktikan tidak terjadi penurunan densiti tulang dan peningkatan kejadian patah tulang. Pengobatan dengan flutikason propionat saja atau kombinasi dengan salmeterol selama 3 tahun tidak disertai dengan penurunan densiti mineral tulangpada pasien dengan osteoporosis yang tinggi. KOMBINASI KORTIKOSTEROID DAN BRONKODILATOR INHALASI Kombinasi ICS dan LABA lebih efektif dibandingkan dengan komponen sendirisendiri sebagai monoterapi. KoMbinasi ICS/LABA pada PPOK sedang-berat dapat memperbaiki fungsi paru, status kesehatan dan menurunkan frekuensi eksaserbasi. Terdapat bukti yang kuat bahwa ICS memperbaiki sinyal pada reseptor 2 adrenergik melalui mekanisme di bawah ini : 1. Peningkatan densiti 2adrenoreseptor 2. Mengurangi densitisasi fungsional pada reseptor 2 3. Meningkatkan ekspresi Gsq dan ikatan dengan adenil siklase tanpa berakibat pada kadar G1 Efek serupa juga ditunjukkan oleh LABA pada ICS. Respon ekspresi gen inflamasi oleh ICSpaling sedikit melalui 2 mekanisme yaitu: 1. Rekrutmen deasetilasi histon ke daerah promoter target gen proinflamatori untuk menekan transkripsi. 2. Induksi gen anti-inflamatori yang menghambat proses pro-inflamatori.
63
GOLD 2011 Uji klinik dengan populasi besar tidak dapat menunjukkan secara statistik yang bermakna efek pengobatan pada mortaliti, akan tetapi pada metaanalisis selanjutnya disimpulkan bahwa kombinasi mungkin dapat menurunkan mortaliti dengan number needed to treat (NNT) 36. Kombinasi KSI/LABA dapat meningkatkan risiko pneumonia. Berdasarkan strategi GOLD 2011, posisi pemakaian LABA , ICS atau kombinasi dapat dilihat pada matriks di atas. Majalah Kedokteran Respirasi Vol. 3, Supl, Juli 2012
Worth (2010) melaporkan hasil penelitiannya bahwa, kombinasi budesonid/formoterol dapat memperbaiki durasi ketahanan latihan (exercise endurance time-EET) pada pasien PPOK secara signifikan dibandingkan dengan LABA sendiri sebagai monoterapi. Kombinasi tersebut mengasilkan secara bermakna perbaikan EET 69 (14%) dan 105 (28%) detik pada 1 jam pasca-dosis dibandingkan formoterol saja dan plasebo.
64
Hubungan antara kapasiti inspirasi (IC) dan toleransi latihan telah terbukti pada penelitian sebelumnya. Penelitian Worth 2010 membuktikan konsistensi hasil tersebut yaitu Budesonid/formoterol dapat memperbaiki ICex isotime pada 1 jam pasca dosis pagi dibandingkan formoterol dan pada 1 jam dan 6 jam dibandingkan dengan plasebo. Perbaikan Icex berarti mengurangi hiperinflasi dinamik.
HASIL PENELITIAN LABA/ICS Di bawah ini disajikan beberapa publikasi hasil penelitian besar tentang pemakaian LABA/ICS untuk PPOK. Peresepan LABA, dan ICS pada PPOK di Inggris sejak 1995-2008 (data dari Astra Zeneca)
Gambar 1. Pola peressepan LABA dan ICS sejak 1995-2008.
Pemakaian monoterapi LABA meningkat sejak 1996-2004, kemudian kemudian menurun sejak diperkenalkannya antikolinergik. Pada 2008, 52% penderita PPOK medapat terapi kombinasi LABA/ICS
Majalah Kedokteran Respirasi Vol. 3, Supl, Juli 2012
65
Efek Salmeterol pada FEV1
Gb 2. Efek salmeterol 50µg BID pada FEV1. Panel sebelah kanan menunjukkan rata-rata perubahan FEV1dari baseline setelah 3 bulan terapi. Meta-analisis dilakukan pada 9 uji acak, double blind, kelompok paralel, kontrol plasebo, selama 12 minggu
Studi TOwards a Revolution in COPD Health- TORCH (Calverley 2007)
Gb 3. Penelitian skala besar, lama, acak,plasebo, 6184 pasien, diberikan Kombinasi SFC, salmeterol dan plasebo. Perbedaan dengan plasebo signifikan sampai akhir penelitian, akan tetapi progresiviti penurunan FEV1 tetap terjadi.
Majalah Kedokteran Respirasi Vol. 3, Supl, Juli 2012
66
Formoterol/Budesonid
Gb 4. Perubahan FEV1 setelah pengobatan dengan plasebo. Formoterol, budesonid atau budesonid/formotrol selama 12 bulan. A. Selama 2 minggu run in semua terapi dihentikan kecuali SABA. B. Periode 2 minggu , sebagai optimisasi faal paru, diberikan kortikosteroid oral dan formoterol.
Efek Budesonid/Formoterol pada kualitas hidup
Efek pada eksaserbasi
Gb 5. Perubahan skor SGRQ setelah pemberian budesonid, formoterol, budesonid/formoterol dan plasebo selama 1 tahun Dibandingkan dengan ke 3 perlakuan , perbaikan diperoleh pada pemberian budesonid/formoterol.
Gb 6. Kaplan-Meier, waktu eksaserbasi pertama kali dengan kelompok pengobatan. Budesonid/Formoterol secara bermakna lebih baik dari pada kelompok yang lain
RINGKASAN
kejadian dampak peningkatannya tidak signifikan.
Pemakaian LABA sebagai monoterapi pada PPOK , walaupun memberikan efektiviti yang terbatas, tidak menunjukkan risiko efek samping serius yang bermakna. Walaupun secara teoretis risiko pada jantung dapat terjadi, akan tetapi pada beberapa penelitian Majalah Kedokteran Respirasi Vol. 3, Supl, Juli 2012
kardiovaskuler terbukti secara
Terapi farmakologik pada PPOK yang tepat dapat meringankan gejala, menurunkan frekuensi eksaserbasi, menghambat keparahan eksaserbasi memperbaiki status 67
kesehatan dan toleransi latihan fisik. Sebagian besar penelitian mendukung konsep bahwa kombinasi ICS/LABA memberikan manfaat yang lebih dibandingkan monoterapi. DAFTAR PUSTAKA Bradley et al. 2009. Inhaled Corticosteroid in Patients With Stable Chronic Obstructive Pulmonary Disease : A Systemic Review and Meta-analysis. JAMA 300: 2407-2416
www.goldcopd.org. Accepted January 1, 2012. Worth H et al. 2010. Budesonide added to Formoterol Contributes to Improved Exercise Tolerance in Patient with COPD. Respiratory Medicine 104: 1450-1459.
Cave AC, Hurst MM. 2011. The Use of Longactin 2-agonist alone or in combination with inhaled corticosteroid, in Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) a Risk Benefit Analysis. Pharmacologies and Therapeutics 130: 114-143. Calverley PMA et al. 2003. Maintenance Therapy with Budesonide and Formoterol in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Eur Respir J 22: 912-919 Calverley PMA, et al. 2007. Salmeterol and Fluticasone Propionate and Survival in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. N.Engl.J. MED www.NEJM.org. Accepted February 22.2007 Fergusson GT. 2011. Maintenance Pharmacotherapy of Mild and Moderate COPD: What is the Evidence?. Respiratory Medicine 105: 1268-1274. GOLD 2011. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease.
Majalah Kedokteran Respirasi Vol. 3, Supl, Juli 2012
68