Comparison of Antibacterial Activity of Petroleum Ether Extract, Ethyl Acetate Extract and Ethanol Extract Red Betel Vine Leaves (Piper crocatum) against Staphylococcus aureus Farida Juliantina Rachmawaty and Sarah Sabrina Faculty of medicine, Islamic University of Indonesia Yogyakarta
Absract Red betel vine plant (Piper crocatum) is one of Indonesia’s natural wealth that can serve as a drug. Empirically, red betel vine has many benefits to address infectious and non-infectious diseases. The purpose of this study is to determine the best antibacterial activity of the extracts of petroleum ether, ethyl acetate extract, and ethanol extract of red betel vine leaves against Staphylococcus aureus.This research is an experimental research laboratory. Red betel vine extracts is made by maceration with solvent petroleum ether, ethyl acetate and ethanol in a standardized way. The extract was tested on S. aureus bacteria. Method of serial dilution test was performed with a concentration of 500 mg/mL, 250 mg/mL, 125 mg/mL, 62.50 mg/mL and 31,25 mg/mL. Culture performed on blood agar to determine the value of Minimal Bactericidal Concentration (MBC). The experiments were performed with repetition for consistent results. The results showed that in the petroleum ether and ethyl acetat extracts, the bacteria grew at all concentrations tested. In the ethanol extract, the bacteria grow at a concentration of 31.25, 62.50 and 125 mg/mL. Thus, MBC of petroleum ether and ethyl acetat extract could not be determined because the bacteria grow in all tested concentrations. MBC of ethanol extract of red betel vine was obtained at a concentration of 250 mg/mL. The
1
antibacterial activity of ethanol extract of red betel vine leaves is better than the ethyl acetate extract and petroleum ether extract. Keywords: petroleum ether extract, ethyl acetate extract, ethanol extract, red betel vine (Piper crocatum), Staphylococcus aureus Intisari Tanaman sirih merah (Piper crocatum) merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia yang dapat berfungsi sebagai obat. Secara empiris sirih merah memiliki banyak manfaat untuk mengatasi penyakit infeksi maupun non infeksi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui aktivitas antibakteri terbaik antara ekstrak petroleum eter, ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol daun sirih merah terhadap Staphylococcus aureus. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium. Sirih merah dibuat ekstrak secara maserasi dengan pelarut petroleum eter, etil asetat dan etanol, sesuai standar. Ekstrak tersebut diujikan pada bakteri S. aureus. Metode uji dilakukan secara dilusi serial dengan konsentrasi 500 mg/mL, 250 mg/mL, 125 mg/mL, 62,50 mg/mL dan 31,25. Kultur dilakukan pada media agar darah untuk mengetahui nilai Kadar Bunuh Minimal (KBM). Percobaan dilakukan pengulangan hingga diperoleh hasil konsisten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada ekstrak petroleum eter dan etil asetat, bakteri tumbuh pada semua konsentrasi yang diuji. Pada esktrak etanol, bakteri tumbuh pada konsentrasi 31,25, 62,5 dan 125 mg/mL. Dengan demikian KBM ekstrak petroleum eter dan etil asetat belum dapat ditentukan karena terdapat pertumbuhan bakteri pada semua konsentrasi uji. KBM ekstrak etanol sirih merah pada konsentrasi 250 mg/mL. Aktivitas antibakteri ekstrak etanol sirih merah lebih baik dibanding ekstrak etil asetat dan ekstrak petroleum eter. Kata kunci : ekstrak petroleum eter, ekstrak etil asetat, ekstrak etanol, sirih merah (Piper crocatum), Staphylococcus aureus
2
Latar belakang Indonesia merupakan negara terkaya ke dua setelah Brazil dalam kekayaan alam hayatinya. Sejak dahulu masyarakat Indonesia telah menggunakan tanaman sebagai obat, baik itu daun, batang, akar maupun komponen yang lain. WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional untuk memelihara kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit (WHO, 2003). Salah satu tanaman yang diyakini mempunyai khasiat obat adalah sirih merah (Piper crocatum). Sirih merah dapat digunakan sebagai pengobatan pada penyakit infeksi maupun non-infeksi. Pada penyakit infeksi di antaranya untuk mengobati keputihan patologis, hepatitis dan tuberkulosis sedangkan untuk yang non-infeksi adalah diabetes mellitus, hipertensi dan tumor (Sudewo, 2008). Adanya kecenderungan sebagian masyarakat kembali ke alam (back to nature) dalam hal pengobatan mendorong penelitian ini dilakukan. Rachmawaty et al. (2009) telah meneliti aktivitas antibakteri ekstrak etanol terhadap Staphylococcus aureus dan Eschericia coli yang merupakan bakteri gram positif dan negatif. Hasil yang diperoleh ekstrak etanol memiliki aktivitas antibakteri terhadap kedua bakteri tersebut. Berdasar penelitian sebelumnya sirih merah mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, minyak atsiri dan saponin. Senyawa-senyawa tersebut dapat memiliki aktivitas antibakteri. Senyawa-senyawa tersebut ada yang bersifat non-polar, semipolar dan polar. Berdasarkan kepolaran dan kelarutan, senyawa yang bersifat polar akan mudah larut dalam pelarut polar, sedangkan senyawa nonpolar akan mudah larut dalam pelarut nonpolar (Depkes RI, 2000). Dengan demikian pemilihan pelarut yang sesuai merupakan faktor penting dalam proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan adalah pelarut yang dapat menyari sebagian besar metabolit sekunder yang diinginkan dalam simplisia (Depkes RI, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Rachmawaty (2009) menggunakan ekstrak etanol. Etanol merupakan pelarut yang bersifat polar, sehingga
3
dimungkinkan senyawa-senyawa polar akan lebih banyak tertarik pada ekstrak tersebut. Belum diketahui manakah senyawa yang paling poten memiliki aktivitas antibakteri, sehingga diperlukan penelitian menggunakan pelarut non-polar, semipolar dan polar untuk mengetahui mana yang lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri terbaik antara ekstrak petroleum eter, ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol daun sirih merah terhadap Staphylococcus aureus (S. aureus). Penggunaan petroleum eter mewakili pelarut non-polar, penggunaan etil asetat mewakili pelarut semipolar sedangkan penggunaan etanol mewakili pelarut polar.
Gambar 1. Daun sirih merah, bagian atas daun berwarna hijau dengan corak berwarna keperakan, bagian bawah daun berwana merah hati (Rachmawaty dkk. 2013).
Metode Bakteri yang digunakan adalah bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 yang merupakan bakteri standar yang masih sensitif terhadap terapi standar. Bakteri diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi, Universitas Gadjah Mada. Antibiotik yang digunakan pada penelitian ini adalah Penisilin G. Menurut Wenzler et al. (2003) minimal inhibitory concentration (MIC) Penisilin G terhadap bakteri S. aureus adalah 0,03-2 µg/mL (mg/L).
4
Pengujian dilakukan secara dilusi serial. Berdasar penelitian sebelumnya (Rachmawaty et al., 2009), maka pengenceran dilakukan dengan konsentrasi akhir 50%, 25%, 12,5%, 6,25% dan 3,125% atau setara dengan 500 mg/mL, 250 mg/mL, 125 mg/mL, 62,5 mg/mL. 31,25. Percobaan diawali dengan melakukan kultur bakteri Staphylococcus aureus pada media agar darah dan diinkubasi selama 18-24, 37 oC jam. Dari perbiakan tersebut kemudian diambil beberapa ose dan dimasukkan ke dalam media BHI ds, serta diinkubasi selama 3-5 jam. Suspensi bakteri tersebut dihomogenkan selanjutnya disamakan dengan indeks Mac Farlan I dengan menambah NaCl 0,9% sehingga diperoleh suspensi bakteri dengan kepadatan 10 8 CFU/mL. Suspensi tersebut kemudian dibuat kepadatan 10 6 dengan cara diencerkan 100 kali, yaitu dengan mengambil 0,1 mL suspensi bakteri 10 8 dimasukkan ke dalam media BHI ds 9,9 mL. Suspensi bakteri tersebut siap digunakan. Kemudian ekstrak dibuat dilusi serial dengan konsentrasi 1000 mg/mL, 500 mg/mL, 250 mg/mL 125 mg/mL dan 62,50. Pengencer yang digunakan adalah DMSO 10%. Masing-masing tabung yang telah berisi ekstrak 1 mL, ditambahkan suspensi bakteri sebanyak 1 mL, sehingga konsentrasi menjadi 500 mg/mL, 250 mg/mL, 125 mg/mL, 62,50 mg/mL dan 31,25 mg/mL Pada pengujian ini disertakan kontrol ekstrak, kontrol media dan kontrol bakteri dan kontrol antibiotik. Semua tabung diinkubasi selama 18-24 jam kemudian diamati ada tidaknya kekeruhan pada tabung media BHI. Adanya kekeruhan menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri. Konsentrasi terkecil pada tabung yang tampak bening (tidak ada kekeruhan) merupakan Kadar Hambat Minimal (KHM) ekstrak yang diuji. Hasil serial dilusi tersebut kemudian digores/dikultur pada media agar darah dan diinkubasi selama 18-24 jam. Selanjutnya media agar darah dianalisis, konsentrasi terkecil yang tidak terdapat pertumbuhan bakteri dinyatakan sebagai kadar bunuh minimal (KBM). Pengujian ini dilakukan untuk ketiga ekstrak yaitu ekstrak petroleum eter (PE), ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol. Pengujian diulang hingga diperoleh hasil konsisten.
5
Hasil Berdasar Tabel 1 menunjukkan bahwa dari ketiga ekstrak yang diuji, ekstrak yang memiliki kadar hambat minimal (KHM) adalah ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol daun sirih merah. Ekstrak petroleum eter daun sirih merah pada konsentrasi yang diuji (500 mg/mL, 250 mg/ mL, 125 mg/mL, 62,50 mg/mL dan 31,25 mg/mL) tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri karena pada semua konsentrasi uji menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri baik pada media BHI maupun agar darah. Pengamatan dilusi cair ekstrak etil asetat daun sirih merah pada pada media BHI, tabung tampak keruh pada konsentrasi 31,25 mg/ mL, 62,50 dan 125 mg/mL, hal ini menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri S. aureus. Dengan demikian dapat dinyatakan Kadar Hambat Minimal (KHM) ekstrak etil asetat pada konsentrasi 250 mg/mL. Namun hasil kultur pada media agar darah, nampak adanya pertumbuhan bakteri pada semua konsentrasi. Dengan demikian kadar bunuh minimal (KBM) etil asetat tidak dapat ditentukan pada pengujian ini. Pengamatan dilusi cair ekstrak etanol daun sirih merah pada media BHI, tabung tampak keruh pada konsentrasi 31,25, 62,50 mg/ mL, hal ini menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri S. aureus pada konsentrasi tersebut. Dengan demikian kadar hambat minimal (KHM) ekstrak etanol daun sirih merah pada konsentrasi 125 mg/mL. Hasil kultur pada media agar darah diketahui pada konsentrasi 31,25 mg/ mL, 62,50 mg/mL dan 125 mg/mL terdapat pertumbuhan bakteri S. aureus, dengan demikian dapat dinyatakan Kadar Bunuh Minimal (KBM) ekstrak etanol pada konsentrasi 250 mg/mL (Tabel 1) (Gambar 2 dan 3). Bentuk ekstrak etanol memiliki aktivitas antibakteri lebih baik dibanding dalam bentuk ektrak petroleum eter maupun etil asetat. Hal ini dapat dimengerti karena etanol merupakan pelarut universal. Sekalipun etanol bersifat polar namun di samping dapat menyari senyawa polar juga dapat menyari sebagian senyawa semipolar maupun non-polar.
6
Tabel 1. Perbandingan Aktivitas Antibakteri Ekstrak Petroleum Eter (PE), Etil asetat dan Etanol terhadap S. aureus pada Media BHI dan Agar Darah
Gambar 2. Dilusi serial ekstrak etanol sirih merah untuk mengetahui Kadar Hambat Minimal (KBM) ekstrak etanol : 1: 500 mg/mL, 2: 250 mg/mL, 3: 125 mg/mL, 4: 62,50 mg/mL dan 5: 31,25 mg/mL
7
Gambar 3. Hasil goresan/kultur, bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 setelah dipaparkan dengan ekstrak etanol daun sirih merah. Pada konsentrasi 250 mg/mL dan 500 mg/mL tidak terdapat pertumbuhan S. aureus. 1: 500 mg/mL, 2: 250 mg/mL, 3: 125 mg/mL, 4: 62,50 mg/mL dan 5: 31,25 mg/mL
Pembahasan Flavonoid mempunyai tipe yang beragam dan terdapat dalam bentuk bebas (aglikon) maupun terikat sebagai glikosida. Aglikon polimetoksi bersifat non polar, aglikon polihidroksi bersifat semi polar, sedangkan glikosida flavonoid bersifat polar karena mengandung sejumlah gugus hidroksil dan gula (Markham, 1988). Oleh karena itu golongan flavonoid dapat tertarik dalam pelarut etanol yang bersifat universal. Saponin merupakan bentuk glikosida dari sapogenin sehingga akan bersifat polar. Timbulnya busa pada uji saponin menunjukkan adanya glikosida yang mempunyai kemampuan untuk membentuk buih dalam air yang terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa lainnya (Marliana et al., 2005). Senyawa saponin tersebut akan cenderung tertarik oleh pelarut yang seperti etanol. Minyak atsiri tersusun atas senyawa triterpenoid. Triterpenoid tersusun dari rantai panjang hidrokarbon C30 yang menyebabkan sifatnya non polar sehingga mudah terekstrak dalam pelarut yang bersifat non polar. Ada beberapa senyawa triterpenoid memiliki struktur
8
siklik yang berupa alkohol. Senyawa triterpenoid juga dapat terikat dengan gugus gula sehingga akan dapat tertarik oleh pelarut yang bersifat semi polar bahkan pelarut polar (Kristanti et al., 2008). Oleh karena itu, ekstrak etanol sirih merah mengandung minyak atsiri yang dapat tertarik oleh etanol. Sharief et al. (2014) melaporkan dalam penelitiannya bahwa kandungan alkaloid lebih besar dalam ekstrak etanol dibanding dalam etil asetat. Hal ini mungkin karena etanol lebih bersifat polar. Hasil dari penelitian ini menunjukkan etanol merupakan pelarut yang ideal untuk ekstraksi alkaloid Penelitian yang dilakukan Mailoa (2013) melaporkan bahwa tanin lebih dibanyak diperoleh pada ekstrak etanol daun jambu dengan konsentrasi 70% dibanding 30%, dan 50% demikian juga apabila dibandingkan dengan ekstrak aseton 30%, 50% dan 70%. Pada penelitian ini dapat diketahui bahwa senyawa tannin dapat ditarik menggunakan pelarut etanol. Dengan demikan dapat dimengerti bahwa di antara ketiga bentuk ekstrak yang diuji (ekstrak petroleum eter, ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol), ekstrak etanol merupakan bentuk yang terbaik memiliki aktivitas antibakteri. Kesimpulan Aktivitas antibakteri ekstrak etanol sirih merah (Piper crocatum) lebih baik dibanding ekstrak etil asetat dan ekstrak petroleum eter. KHM dan KBM ekstrak etanol sirih merah pada konsentrasi 125 mg/ mL dan 250 mg/mL. Daftar pustaka Depkes RI, 2008, Farmakope Herbal Indonesia. Edisi 1.: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Depkes RI, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan Pertama. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.
9
Mailoa, M.N., Mahendradatta, M., Laga, A., Djide, N., 2013, Tannin Extract Of Guava Leaves (Psidium Guajava L) Variation With Concentration Organic Solvents, IJSTR, 2 (9) : 106-10. Markham, K. R., 1988, Cara Mengidentifikasi Flavonoid, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Marliana, S. D., V. Suryanti, dan Suyono, 2005, Skrining Fitokimia dan Analisis Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium edule Jacq. Swartz.) dalam Ekstrak Etanol. Biofarmasi, 3 (1) : 26-31. Rachmawaty, F.J., Mahardina, D.A.C., Nirwani, B., Nurmasitoh, T., Bowo, E.T., 2009, Pemanfaatan Ekstrak Etanol Sirih Merah (P. crocatum) Sebagai Agen Antibakterial Terhadap Bakteri Gram Positif Dan Gram Negatif, JKKI, 1 (1) : 12-20. Rachmawaty, F.J., Hisyam, B., Soesatyo, M.H.N.E., Wibawa, T., 2013, Potensi Ekstrak Etanol Daun Sirih Merah (Piper crocatum) sebagai Antimikobakterium, JIFI, 11 (1) : 60-65. Sharief, N., Srinivasulu, A., Rao U.M.V, 2014, Estimation of Alkaloids and Total phenol In Roots of Derris Trifoliata L and Evaluation For Antibacterial and Antioxidant Activity, IJAR, 4 (5): 1-3. Sudewo, B., 2008, Basmi Penyakit dengan Sirih merah, PT Agromedia Pustaka, Jakarta. Wenzler, S., Schmidt-Eisenlohr, E., and Daschner, F., 2003, In vitro activity of penicillin G/sulbactam compared with penicillin and other antibiotics against common organisms causing ear, nose and throat (ENT) infections, JAC, 51: 1312-14. WHO, 2003, Traditional medicine. diakses tanggal 1 Juni 2013 di http:/ /www.who.int/ mediacentre/factsheets/fs134/en
10