KUTU PUTIH UBI KAYU, Phenacoccus manihoti MATILEFERRERO (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE), HAMA INVASIF BARU DI INDONESIA
NILA WARDANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kutu Putih Ubi Kayu, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae), Hama Invasif Baru di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015 Nila Wardani NIM A361100021
RINGKASAN NILA WARDANI. Kutu Putih Ubi Kayu, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae), Hama Invasif Baru di Indonesia. Dibimbing oleh AUNU RAUF, I WAYAN WINASA dan SUGENG SANTOSO. Kutu putih Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae) merupakan hama asing invasif yang berasal dari Amerika Selatan. Di Indonesia, hama ini pertama kali ditemukan menyerang pertanaman ubi kayu di Kecamatan Sukaraja, Bogor pada pertengahan tahun 2010. Kegiatan penelitian meliputi: (a) survei petani, (b) studi ekologi dan perkembangan populasi dan serangan kutu putih di lapangan, (c) studi potensi peningkatan populasi kutu putih pada varietas ubi kayu yang memiliki kadar sianida yang berbeda, dan (d) studi potensi pemangsaan oleh predator utama. Survei petani dilakukan di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, dengan mewawancarai 60 petani ubi kayu. Perkembangan populasi dan serangan kutu putih dan musuh alami dilakukan pada tiga varietas ubi kayu. Pengamatan dilakukan setiap dua minggu pada 40 tanaman contoh untuk setiap varietas. Studi neraca hayati P. manihoti dilakukan pada dua varietas ubi kayu yang memiliki kadar sianida berbeda. Studi pemangsaan predator Plesiochrysa ramburi (Schneider) (Neuroptera: Chrysopidae) pada kutu putih P. manihoti dilakukan dalam cawan petri di laboratorium. Hasil wawancara dengan petani menunjukkan sebanyak 52% responden berumur lebih dari 60 tahun, dengan pekerjaan utama adalah bertani. Tingkat pendidikan petani umumnya (83%) tamatan atau pernah sekolah SD. Petani ubi kayu umumnya (67%) tidak tergabung dalam kelompok tani. Sebanyak 73% responden menyatakan tidak pernah berhubungan dengan tenaga penyuluh pertanian. Luas lahan yang diusahakan untuk pertanaman ubi kayu umumnya (88%) kurang dari 0.50 ha. Petani di lokasi penelitian umumnya (87%) berstatus sebagai penggarap, dengan pengalaman bertanam ubi kayu lebih dari 15 tahun. Penanaman ubi kayu tidak tergantung pada musim, tetapi dilakukan kapan saja saat lahan kosong. Varietas ubi kayu yang paling banyak ditanam oleh petani yaitu Roti (90%), disusul oleh Manggu (15%) dan Jimbul (5%). Sebagian besar petani (97%) menggunakan kotoran kambing sebagai pupuk kandang, dan sisanya (3.3%) menggunakan kotoran ayam. Pupuk kandang diberikan sebanyak satu kali yaitu pada saat tanaman berumur 15-30 hari dengan dosis 11-15 ton/ha. Pupuk urea diberikan sebanyak dua kali, pada saat tanaman berumur 3 dan 7 bulan, dengan dosis 200-500 kg/ ha. Penyiangan gulma umumnya (68%) dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada saat ubi kayu berumur 4 dan 8 bulan. Panen umumnya (92%) dilakukan pada saat ubi kayu berumur 10-13 bulan. Petani ubi kayu umumnya (87%) menyebutkan kutu putih P. manihoti merupakan hama yang paling penting pada pertanaman ubi kayu. Sebagian besar petani (82%) mengemukakan bahwa hama kutu putih mulai menyerang tanaman ubi kayu sejak tahun 2007. Tampaknya mereka menyamakan kutu putih P. manihoti dengan kutu putih pepaya (Paracoccus marginatus) yang juga menyerang ubi kayu. Hampir separuh responden menyatakan bahwa serangan kutu putih menyebabkan kehilangan hasil berkisar 40-50%. Walaupun demikian, umumnya petani tidak melakukan tindakan pengendalian.
Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa gejala bunchy top mulai terlihat sejak tanaman berumur 8 mst dan meningkat dengan cepat mulai 16 mst, bersamaan dengan datangnya musim kemarau (Mei-Juni). Perkembangan tingkat serangan lebih cepat terjadi pada varietas Jimbul; pada 18 mst seluruh tanaman telah meperlihatkan gejala bunchy top. Sementara pada varietas Roti dan Manggu, 100% gejala bunchy top berturut-turut terjadi pada 30 dan 36 mst. Terdapat pola hubungan antara saat awal terjadi serangan dengan tinggi tanaman dan bobot umbi yang dihasilkan. Tanaman ubi kayu yang terserang sejak muda berukuran lebih pendek dan menghasilkan bobot umbi yang lebih rendah, dibandingkan bila serangan terjadi setelah tanaman berumur lebih lanjut. Lebih rendahnya hasil panen pada varietas Jimbul (0.94 kg / pohon) daripada varietas Manggu (3,16 kg / pohon), diduga karena pada varietas yang disebut pertama serangan kutu putih terjadi lebih awal dan lebih berat. Musuh alami yang paling banyak dijumpai di pertanaman ubi kayu yang terserang kutu putih adalah predator P. ramburi. Predator ini biasanya meningkat populasinya di akhir musim kemarau, pada saat populasi kutu putih sudah mencapai puncaknya dan tanaman ubi kayu sudah terserang berat. Kelimpahan P. ramburi lebih tinggi pada varietas Jimbul yang memiliki tingkat serangan kutu putih yang lebih berat. Banyaknya predator yang ditemukan mencapai 100 butir telur, 80 ekor larva, dan 70 ekor pupa per pohon yang terjadi pada 24 mst. Perikehidupan P. manihoti sangat dipengaruhi oleh varietas ubi kayu. Masa inkubasi telur P. manihoti berlangsung 7.93±0.09 dan 8.33±0.11 hari, masa perkembangan nimfa 12.32±0.13 dan 15.67±0.13 hari, berturut-turut pada varietas UJ-5 dan Adira-1. Rataan keperidian adalah 386.37±5.83 pada UJ-5 dan 318.67±2.81 butir telur pada Adira-1. Laju pertambahan intrinsik (rm) adalah 0.258±0.001 pada UJ-5 dan 0.220±0.001 pada Adira-1. Rataan masa generasi (T) pada UJ-5 dan Adira-1 berturut-turut 22.795±0.050 dan 25.532±0.047 hari. Keseluruhan hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas UJ-5 lebih sesuai bagi perkembangan dan pertumbuhan populasi kutu putih ubi kayu. Larva instar-1 P. ramburi paling banyak memangsa kutu putih instar-1 (72 ekor), diikuti oleh instar-2 (42 ekor ), instar-3 (11 ekor), dan hanya sedikit memangsa imago kutu putih (1 ekor). Larva predator instar-2 memangsa kutu putih nimfa instar-1, instar-2, instar-3, dan imago berturut-turut 89, 92, 20, dan 8 ekor. Sementara larva P. ramburi instar-3 paling banyak memangsa kutu putih nimfa instar-2 (151 ekor ), dibandingkan instar-1 (142 ekor), instar-3 (71 ekor), dan imago (57 ekor). Seekor larva P. ramburi diperkirakan mampu memangsa sebanyak 757 ekor kutu putih dari berbagai instar selama hidupnya. Penelitian lanjutan khusus pada larva instar-3 P. ramburi menunjukkan preferensi pemangsaan terhadap kutu putih nimfa instar-1 dan instar-2 dibanding terhadap instar-3 dan imago. Indeks preferensi (Li) bernilai positif untuk nimfa instar-1 dan instar-2, serta negatif untuk instar-3 dan imago. Preferensi terhadap nimfa instar1 dan instar-2 berkaitan dengan masa penanganan yang lebih singkat pada mangsa yang berukuran lebih kecil. Hubungan antara kerapatan mangsa dan tingkat pemangsaan menunjukkan tanggap fungsional tipe-2, dengan laju pemangsaan (a) dan masa penanganan mangsa (Th) berturut-turut 0.24/jam dan 0.69 jam. Kata kunci : Ubi kayu, kutu putih, Phenacoccus manihoti, predator, Plesiochrysa ramburi.
SUMMARY NILA WARDANI. Cassava Mealybug, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae), A Newly Invasive Pest in Indonesia. Supervised by AUNU RAUF, I WAYAN WINASA and SUGENG SANTOSO. Cassava mealybug, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae), is an invasive alien pest that comes from South America. In Indonesia, the pest was first detected on cassava fields in Bogor in mid 2010. Because P. manihoti is new to Indonesia, not much is known about the life history and its impact on cassava yield. Research activities conducted include: (a) surveys of farmers, (b) study of the ecology and the level of infestation of the cassava mealybugs in the fields, (c) study of the potential of population increase of the mealybugs on cassava varieties having different levels of cyanide, and (d) study of the predation capacity of the main predator. Farmer surveys were conducted in Subdistrict of Sukaraja-Bogor, by interviewing 60 cassava farmers. Development of the mealybug population and level of infestation, and natural enemies were monitored on three cassava varieties. Observation was done every two weeks on 20 sample plants for each variety. Life table studies of P. manihoti were conducted on two cassava varieties having different level of cyanide. Study of predation capacity of Plesiochrysa ramburi (Schneider) (Neuroptera: Chrysopidae) on cassava mealybugs was done in petri dishes in laboratory. Results of interviews with farmers revealed as much as 52% of respondents aged over 60 years, with the main occupation is farming. In term of level of education, about 83% of the farmers were graduates of or have been in elementary school. Cassava farmers generally (67%) were not member of the farmer groups. As many as 73% of respondents had no contacts with agricultural extension agents. Land area used for cassava cultivation generally (88%) were less than 0.50 ha. Most of the farmers (87%) were tenants, with over 15 years experiences in cassava farming. Cassava planting do not depend on the season, but can be any time whenever no crops on the lands,. Cassava varieties widely grown by farmers were Roti (90%), followed by Manggu (15%) and Jimbul (5%). The majority (97%) of farmers used goat manure, and the rest (3.3%) chicken manure. Manure was given when the plant 15-30 days old, with a dosage of 1115 ton/ha. Urea was given twice when the plant aged 3 and 7 months, with a dosage of 200-500 kg/ha. Weeding generally (68%) were conducted twice when the plant 4 and 8 monthsold. Harvest generally (92%) were carried out at 10-13 months old. Farmers generally (87%) considered P. manihoti as the most important pests of cassava. The majority of farmers (82%) mentioned that the mealybug began attacking cassava since 2007. It seems that they equated P. manihoti with the papaya mealybug (Paracoccus marginatus) which also attacked cassava. Nearly half the respondents said that attacks by the cassava mealybug caused yield losses about 40-50%. Nevertheless, farmers generally di not perform any control measure. Field observations indicated that symptoms of bunchy top appeared as early as 8 weeks after planting (wap) and rose quickly started 16 wap, at the same time with the advent of the dry season (May-June). Level of infestation developed
faster on variety Jimbul; at 18 wap all plants had bunchy tops. While on varieties Roti and Manggu, 100% infestation occurred at 30 and 36 wap, respectively. There was a correlation between early infetation with plant height ang yield. Cassava plants infested during early stage were shorter and the yield lower, compared to those infested at further stages. Lower yields of variety Jimbul (0.94 kg/tree) than variety Manggu (3.16 kg/plant), was thought to be related to heavy infestation which occurred during early stage. The most abundant natural enemies in cassava fields infested by P. manihoti was the predatory lacewing P. ramburi. Population of P. ramburi usually increased at the end of dry season, when mealybug population had already reached its peak and cassava plants were severely damaged. Abundance of P. ramburi were higher on variety Jimbul coincided with higher mealybug infestation. Predator density on this plants reached 100 eggs, 80 larvae, and 70 pupae per plant at 24 wap. Life table studies revealed that P. manihoti performances were highly affected by cassava varieties. Incubation period of eggs of P. manihoti were 7.93±0.09 and 8.33±0.11 days, nymphal development periode 12.32±0.13 and 15.67±0.13 days, respectively on UJ-5 and Adira-1. Fecundity averaged 386.37±5.83 on UJ-5 and 318.67±2.81 eggs on Adira-1. Intrinsic rate of increase (rm) were 0.258±0.001 on UJ-5 and 0.220±0.001 on Adira-1. Mean generation time (T) on UJ-5 and Adira-1 were 22.795±0.050 and 25.532±0.047 days repectively. Our findings showed that variety UJ-5 was more suitable for development and population growth of the cassava mealybug. The first instar larvae of P. ramburi consumed more on 1st instar of P. manihoti (72), followed by 2nd instar (42 ), 3rd instar (11), and only a few adults (1). The second instar larvae of predator preyed on 1st, 2nd, 3rd, and adults of mealybugs respectively 89, 92, 20, and 8 individulas. While the third instar larvae P. ramburi consumed more 2nd instar of mealybug (151), as compared to 1st (142), 3rd instar (71), and adults (57). Each larva of P. ramburi was able to consume as many as 757 mealybugs of different instars during its development. Further studies with 3rd instar of P. ramburi showed predation preference on 1st and 2nd instar of P. manihoti, as opposed to 3rd instar and adults. The value of preference index (Li) is positive for 1st and 2nd, and negative for the 3rd instar and adults of cassava mealybugs. Preference toward 1st and 2nd instar of P. manihoti is related to shorter handling time due to smaller size. Predation increased with increasing mealybug density. P. rambury exhibited functional respone type-2, with attack rate (a) and handling time (Th) were 0.24/hour and 0.69 hour, respectively. Keywords : Cassava, mealybug, Phenacoccus manihoti, predator, Plesiochrysa ramburi.
©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KUTU PUTIH UBI KAYU, Phenacoccus manihoti MATILEFERRERO (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE), HAMA INVASIF BARU DI INDONESIA
NILA WARDANI
Disertasi sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr Ir Suwarto, MSi 2. Dr Endang Sri Ratna
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr Ir Abdul Basit, MS 2. Dr Ir Teguh Santoso, DEA
PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “ Kutu Putih Ubi Kayu, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera : Pseudococcidae) Hama Invasif Baru di Indonesia”. Selama melaksanakan studi, penelitian dan penulisan disertasi penulis banyak mendapatkan bimbingan, arahan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesemopatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof Dr Ir Aunu Rauf, MSc, selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr Ir I Wayan Winasa, MSi dan Dr Ir Sugeng Santoso, M.Agr, selaku anggota komisi pembimbing atas arahan dan bimbingan, kritik dan sarannya yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian hingga penyelesaian disertasi ini. 2. Dr Ir Suwarto, MSi dan Dr Endang Sri Ratna, sebagai penguji pada sidang tertutup, Dr Ir Abdul Basit, MS dan Dr Ir Teguh Santoso, DEA sebagai penguji pada sidang terbuka. 3. Pimpinan Badan Litbang Pertanian beserta jajaran atas segala bantuannya semenjak penulis kuliah sampai menyelesaikan studi di Program Pascasarjana IPB. 4. Pimpinan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung beserta jajarannya atas segala bantuan dan dukungannya. 5. Pimpinan dan seluruh staf Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB, Pimpinan dan staf Laboratorium Ekologi Serangga atas segala bantuan fasilitas untuk penelitian penulis. Khusus kepada Bapak Wawan Yuwandi yang telah banyak membantu penulis dalam melaksanakan penelitian, penulis ucapkan terima kasih banyak, begitu juga kepada Bapak Oha, Oman dan petani ubi kayu di Sukaraja yang telah memberikan izin untuk menggunakan lahan tanaman ubi kayu untuk penelitian penulis. 6. Teman-teman di Forum Komunikasi Petugas Belajar Badan Litbang Pertanian-IPB atas dukungannya, serta teman-teman di Laboratorium Ekologi Serangga atas dorongan dan semangatnya. 7. Ayahanda Herman (Alm) dan Ibunda Zawirna, dan seluruh keluarga atas segala do’a, dorongan dan semangat yang diberikan, sehingga penulis mampu menyelesaikan studi di pasca sarjana IPB ini. 8. Semua pihak yang telah membantu penulis baik selama kuliah maupun dalam penelitian dan penyelesaian disertasi penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu diucapkan terima kasih banyak, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Akhirnya penulis berharap semoga karya tulis ini memberikan manfaat bagi kita semua dan bagi perkembangan ilmu pengetahun. Bogor, Februari 2015
Nila Wardani
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xvi
DAFTAR GAMBAR
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
xvii
I
II
III
IV
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang Pendekatan Masalah Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Daftar Pustaka
1 3 3 4 4 6
TINJAUAN PUSTAKA
8
Tanaman Ubi Kayu Kutu Putih pada Tanaman Ubi Kayu Bioekologi Kutu Putih, Phenacoccus manihoti Kerusakan yang Disebabkan oleh Kutu Putih P. manihoti Musuh Alami Kutu Putih dan Peranannya Pengendalian Kutu Putih P. manihoti Daftar Pustaka SURVEI PRAKTIK BUDIDAYA UBI KAYU DAN PERSEPSI PETANI TERHADAP HAMA KUTU PUTIH DI KECAMATAN SUKARAJA-BOGOR Abstrak Abstract Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan Daftar Pustaka DINAMIKA SERANGAN Phenacoccus manihoti MATILE-FERRERO (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE) PADA PERTANAMAN UBI KAYU DI BOGOR Abstrak Abstract Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan Daftar Pustaka
8 10 11 13 13 14 15
19 19 19 20 21 22 31 32
34 34 34 35 36 37 46 47
DAFTAR ISI (Lanjutan) V PARAMETER NERACA HAYATI DAN PERTUMBUHAN POPULASI KUTU PUTIH Phenacoccus manihoti MATILE-FERRERO (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE) PADA DUA VARIETAS UBI KAYU 50 Abstrak 50 Abstract 50 Pendahuluan 51 Metode Penelitian 52 Hasil dan Pembahasan 53 Simpulan 58 Daftar Pustaka 58 VI PEMANGSAAN Plesiochrysa ramburi (SCHNEIDER) (NEUROPTERA: CHRYSOPIDAE) PADA KUTU PUTIH UBI KAYU, Phenacoccus manihoti MATILLE-FERRERO (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE) 60 Abstrak 60 Abstract 60 Pendahuluan 61 Metode Penelitian 62 Hasil dan Pembahasan 64 Simpulan 72 Daftar Pustaka 72 VII PEMBAHASAN UMUM
74
VIII SIMPULAN DAN SARAN
79
IX DAFTAR PUSTAKA
81
LAMPIRAN
90
RIWAYAT HIDUP
98
DAFTAR TABEL 2.1 2.2 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 5.1 5.2 5.3 6.1 6.2 6.3
Karakteristik sepuluh varietas unggul ubi kayu yang telah dilepas oleh Kementerian Pertanian Hama tanaman ubi kayu dan musuh alaminya Karakteristik petani ubi kayu di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor Karakteristik lahan dan penanaman ubi kayu di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor Karakteristik perawatan tanaman ubi kayu di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor Karakteristik pemanenan dan penjualan hasil panen ubikayu di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor Persepsi petani ubi kayu terhadap hama kutu putih di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor Rataan masa perkembangan pradewasa kutu P. manihoti pada dua varietas ubi kayu Rataan masa hidup imago, keperidian, penetasan telur kutu P. manihoti pada dua varietas ubi kayu Parameter pertumbuhan populasi P. manihoti pada dua varietas ubi kayu Nilai indeks preferensi (Li) larva instar-3 predator P. ramburi Hasil analisis regresi logistik tanggap fungsional Laju pemangsaan dan penanganan mangsa dari P. ramburi
9 13 23 25 27 28 30 53 55 57 67 69 70
DAFTAR GAMBAR 1.1 2.1 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 5.1 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6
Bagan alir penelitian Siklus perkembangan Phenacoccus manihoti (Nwanze 1977) Perkembangan serangan P. manihoti pada tiga varietas ubi kayu Curah hujan di sekitar lokasi penelitian (BMKG 2013) Hubungan antara waktu terjadinya serangan dengan pertumbuhan tanaman (A) dan bobot umbi (B) Hubungan antara tinggi tanaman pada saat panen dengan bobot umbi yang dihasilkan Perkembangan kelimpahan populasi predator P. ramburi pada tiga varietas ubi kayu Keperidian harian (mx) dan sintasan (lx) kutu putih P. manihoti pada varietas UJ-5 (atas) dan Adira-1 (bawah) Kemampuan pemangsaan oleh berbagai larva P. ramburi pada berbagai instar kutu putih Rataan banyaknya masing-masing instar kutu putih yang dimangsa selama 24 jam oleh larva instar-3 P.ramburi. Masa penanganan mangsa dan banyaknya P manihoti yang dimangsa oleh larva instar-3 P. ramburi selama 2 jam Rataan banyaknya P. manihoti instar-2 yang dimangsa oleh larva P. ramburi Rataan proporsi mangsa yang dimakan pada beberapa kepadatan mangsa Kurva tipe tanggap fungsional predator P. ramburi
5 12 38 38 42 43 45 56 65 66 68 69 70 71
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
Pertanyaan kuisioner wawancara kepada petani ubi kayu Gejala serangan P. manihoti pada tanaman ubi kayu Laporan pengujian laboratorium pada kadar HCN 3 varietas ubi kayu lokal 4. Deskripsi varietas ubi kayu
91 94 95 96
1
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Ubi kayu Manihot esculenta Crantz, merupakan tanaman pangan yang banyak dibudidayakan baik di daerah tropis maupun subtropis. Di Indonesia, pada umumnya petani masih menggunakan teknologi tradisional dalam membudidayakan ubi kayu. Ubi kayu merupakan tanaman dengan keunggulan agronomis yang dapat memberikan hasil tinggi walaupun ditanam pada lahan yang kurang subur (marginal) atau lahan dengan curah hujan yang rendah (Wargiono et al. 2009; Suharno et al. 1999). Beberapa keunggulan lain dari ubi kayu adalah a) sudah dibudidayakan secara luas oleh masyarakat pedesaan sebagai bahan makanan pokok dan sebagai bahan pangan cadangan pada musim paceklik, b) nilai kandungan gizi yang cukup tinggi dan c) mudah beradaptasi dengan lingkungan atau lahan yang marginal dan beriklim kering. Ubi kayu juga merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang menghasilkan devisa negara melalui kegiatan ekspor gaplek/chips dan tapioka. Pemanfaatan terbesar ubi kayu di Indonesia adalah sebagai bahan pangan (58%), bahan baku industri (28%), ekspor dalam bentuk gaplek (8%), pakan (2%), dan limbah pertanian (4%) (Vademikum 2008). Di Asia, Indonesia merupakan salah satu produsen ubi kayu terbesar setelah Thailand. Produk olahan primer dan sekunder selain untuk kebutuhan domestik, juga diekspor dalam bentuk produk antara dan setengah jadi. Produk industri pengolahan primer ubi segar yang diekspor oleh Indonesia adalah gaplek/chips, tepung kasava, dan tapioka. Ekspor pada tahun 2013 dalam bentuk gaplek/chips mencapai 129 024 ton, dan tapioka sebesar 65 185 ton (Maman 2014). Ketiga produk tersebut mampu bersaing di pasar internasional, namun tidak didukung oleh ketersediaan bahan baku berupa ubi kayu segar. Oleh sebab itu volume ekspor produk tersebut terus menurun. Thailand menduduki urutan pertama sebagai pengekspor produk olahan ubi kayu (chips, tepung kasava dan tapioka). Indonesia menduduki urutan kelima untuk chips, ketiga untuk tepung ubikayu, dan urutan keempat untuk tapioka (Heriyanto et al. 2009). Saat ini ubi kayu semakin banyak dibudidayakan karena semakin banyak perusahaan yang menggunakan ubi kayu sebagai bahan baku, seperti industri tapioka, bioetanol dan lainnya. Dengan semakin berkembangnya industri olahan ubikayu, diperlukan introduksi teknologi budidaya ubi kayu untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ubi kayu. Di samping sebagai produk ekspor, ubi kayu banyak digunakan sebagai bahan baku industri pangan dan non pangan. Pada saat ini selain untuk pangan dan pakan, ubi kayu juga dikembangkan sebagai sumber energi alternatif (biofuel), dengan memanfaatkan bioetanol sebagai campuran premium (Premium mix E 10) untuk transportasi. Bioetanol bisa bersumber dari tanaman berpati dan bergula potensial seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, dan tebu. Namun biaya produksi untuk tiap liter etanol dari ubi kayu lebih murah dibandingkan dengan bahan baku lainnya, sehingga pengembangan industri bioetanol berbasis ubi kayu cukup prospektif (Rozi dan Heriyanto 2009).
2
Ubi kayu sebenarnya merupakan tanaman tropis, namun dapat juga ditanam di daerah subtropis. Wilayah pengembangan ubi kayu berada pada 30 o LU dan 30 o LS. Suhu yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman ubi kayu adalah antara 18-35oC. Pada suhu di bawah 10 oC pertumbuhan tanaman ubi kayu akan terhambat. Kelembaban udara yang dibutuhkan ubi kayu adalah 65% (Suharno et al. 1999). Tanaman dapat tumbuh dengan baik apabila curah hujan cukup, tetapi tanaman ini juga dapat tumbuh pada curah hujan rendah (< 500 mm), ataupun tinggi (5000 mm). Curah hujan optimum untuk ubi kayu berkisar antara 760-1015 mm per tahun. Curah hujan terlalu tinggi mengakibatkan terjadinya serangan jamur dan bakteri pada batang dan daun, serta umbi apabila drainase kurang baik (Semangun 1991; Suharno et al. 1999). Ubi kayu dapat tumbuh di berbagai jenis tanah. Ubi kayu dapat tumbuh dengan baik dan mampu berproduksi tinggi pada tanah yang kurang baik bagi padi dan jagung. Sebagian besar pertanaman ubi kayu terdapat di daerah dengan jenis tanah Aluvial, Latosol, Podsolik dan sebagian kecil terdapat di daerah dengan jenis tanah Mediteran, Grumusol dan Andosol. Tingkat kemasaman tanah (pH) untuk tanaman ubi kayu minimum 5. Tanaman ubi kayu memerlukan struktur tanah yang gembur untuk pembentukan dan perkembangan umbi. Pada tanah yang berat, perlu ditambahkan pupuk organik (Wargiono 1979). Organisme pengganggu tanaman (OPT) yang berasosiasi dengan tanaman ubi kayu relatif sedikit. OPT utama yang sering ditemukan pada tanaman ubi kayu adalah tungau merah, terutama pada musim kemarau. Penyakit yang biasa menyerang tanaman adalah yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas manihotis dan cendawan bercak daun (Cercospora henningsii) (Sundari 2010). Beberapa jenis kutu putih dilaporkan dapat menyerang ubi kayu seperti Phenacoccus manihoti, P. madeirensis, Ferrisia virgata, P. solenopsis, Pseudococcus jackbeardsleyi, P. hereni. Di Columbia, P. manihoti dan P. hereni dilaporkan dapat menyebabkan penurunan produksi 68-88%, sedangkan di Afrika dapat mencapai 80% (Schultess 1987; Herren dan Neuenschwander 1991). Saat ini di Indonesia, P. manihoti dilaporkan banyak menyerang tanaman ubikayu dan dapat menyebabkan bunchy top, bahkan kematian tanaman. Hama ini diduga merupakan hama eksotik yang masuk ke Indonesia melalui pemasukan tanaman hias dari luar negeri. Hama ini merupakan ancaman bagi pertanaman ubi kayu khususnya di daerah dengan musim kemarau yang panjang. Di luar negeri, beberapa jenis parasitoid dan predator dilaporkan menjadi musuh alami hama ini, yaitu Acerophagus sp., Allotropa sp., Anagyrus sp. (Hymenoptera: Encyrtidae), dan predator Plesiochrysa ramburi, Mallada basalis (Neuroptera: Chrysopidae), Spalgis epius (Lepidoptera: Lycaenidae), Brumoides sp., Chilomenes sexmaculatus, Micraspis discolor, Nephus sp. (Coleoptera: Coccinellidae) (James et al. 2000; Neuenschwander 1994; Guitierrez et al. 1988; Charernsom dan Suasa-ard 1994).
3
Pendekatan Masalah Ubi kayu merupakan tanaman pangan sekaligus industri. Di Indonesia, ubi kayu mempunyai peran sangat penting sebagai penyangga pangan karena bisa ditanam di banyak daerah, bahkan daerah yang tidak bisa ditanami tanaman pangan lain seperti padi dan jagung. Selain sebagai sumber pangan, hasil olahan ubi kayu juga dipakai sebagai pakan ternak dan juga sebagai komoditas ekspor. Akhir-akhir ini ubi kayu juga banyak digunakan sebagai campuran bahan bakar premiun (biofuel). Budidaya ubi kayu relatif mudah karena mempunyai keunggulan sifat mampu tumbuh pada kondisi tanah yang kurang subur (Wargiono et al. 2009; Suharno et al. 1999). Pada umumnya petani membudidayakan ubi kayu secara sederhana dan tanpa menggunakan pestisida. Hal ini karena organisme pengganggu tanaman (OPT) pada ubi kayu selama ini dianggap tidak menjadi masalah. Namun pada tiga tahun terakhir ini, pertanaman ubikayu di Indonesia terancam oleh hama P. manihoti yang merupakan hama invasif yang diperkirakan masuk dari luar negeri. P. manihoti merupakan hama yang berasal dari Amerika Selatan, hidup pada pucuk tanaman, di bawah permukaan daun dan pada batang. Tubuh serangga ini berwarna pink yang ditutupi oleh lapisan lilin berwarna putih, berbentuk oval, mempunyai filamen tubuh yang pendek (James et al. 2000). Reproduksi hama ini bersifat partenogenetik telitoki yaitu semua keturunan yang dihasilkan adalah betina, sehingga hama ini bisa berkembang dengan cepat . Di luar negeri, hama ini merupakan hama utama pada daerah-daerah penghasil ubi kayu, dan mampu menurunkan hasil ubi kayu sampai 90% (Schultess 1987; Herren dan Neuenschwander 1991). Berdasarkan penelitian di Amerika dan Afrika, sampai saat ini belum diketahui varietas ubi kayu yang tahan terhadap P. manihoti. Pengendalian hama ini terutama dilakukan dengan cara konservasi maupun augmentasi musuh alami (Napompeth 1989, 1990a, 1990b; Suasa-ard 2000; William dan Granara 1992). Di Indonesia, P. manihoti merupakan hama baru pada tanaman ubi kayu, sehingga belum banyak informasi terkait hama ini. Oleh karena itu, berbagai penelitian perlu dilakukan untuk memberikan informasi dasar menganai hama ini, antara lain 1) pengetahuan-sikap-persepsi petani, 2) penyebaran, 3) tingkat serangan dan kerusakan, 4) musuh alami dan 5) teknik Pengendalian Hama Terpadu. Rumusan Masalah Dengan makin meningkatnya peranan ubi kayu di Indonesia baik sebagai bahan pangan, pakan, biofuel maupun bahan ekspor, maka untuk memenuhi kebutuhan ubi kayu tersebut perlu dilakukan peningkatan produksi ubi kayu. Banyak faktor yang mempengaruhi produksi ubi kayu di lapangan, salah satunya adalah karena produktivitas yang rendah (Suyamto dan Wargiono 2009). Rendahnya produktivitas ubi kayu dapat disebabkan oleh faktor budidaya yang masih sederhana dan adanya serangan hama dan penyakit. Akhir-akhir ini tanaman ubi kayu di Indonesia terserang hama baru yaitu P. manihoti yang merupakan hama eksotik dari luar negeri. Di daerah asalnya,
4
hama ini merupakan hama utama yang dapat menurunkan produksi sampai 90%. Tingginya potensi kerusakan yang dapat ditimbulkan menyebabkan hama ini merupakan ancaman bagi produksi ubi kayu di Indonesia. Oleh karena itu, berbagai kajian perlu dilakukan untuk memberikan landasan dalam pengelolaan hama ini di lapangan. Kajian yang dilakukan meliputi aspek sosial ekonomi petani ubikayu, serta aspek hama dan musuh alaminya.
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi dan pengetahuan dasar yang terkait dengan latar belakang sosial ekonomi petani ubi kayu, praktik budidaya, ekologi dan dinamika serangan hama kutu putih P. manihoti dalam kaitannya dengan vaietas dan musuh alami, serta potensi dari musuh alami utama yang ditemukan di lapangan. Tujuan Khusus Secara lebih spesifik penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menyediakan informasi tentang latar belakang sosial ekonomi petani ubi kayu, praktik budidaya, dan persepsi petani terhadap kutu putih P. manihoti. 2. Mengkaji ekologi dan dinamika serangan kutu putih P. manihoti pada tiga varietas ubi kayu yang banyak ditanam oleh petani. 3. Mempelajari perkembangan populasi predator Plesiochrysa ramburi dalam kaitannya dengan perkembangan serangan kutu putih. 4. Menentukan potensi peningkatan populasi kutu putih P. manihoti pada dua varietas yang memiliki kandungan sianida berbeda. 5. Mengevaluasi potensi pemangsaan predator Plesiochrysa ramburi terhadap berbagai instar kutu putih P. manihoti.
Manfaat Penelitian Informasi dan pengetahuan yang terkumpul tentang latar belakang sosial ekonomi petani ubi kayu, cara budidaya, ekologi dan dinamika serangan kutu putih serta musuh alami diharapkan dapat memberikan landasan untuk penyusunan strategi pengelolaan hama terpadu kutu putih P. manihoti di pertanaman ubi kayu (Gambar 1.1).
5
KUTU PUTIH UBI KAYU P. manihoti
Studi Lapangan: Survei petani ubi kayu
Studi Laboratorium: Neraca hayati Studi Laboratorium: Potensi predator P. ramburi
Studi Lapangan: Ekologi P.manihoti
Potensi perkembangan populasi P. manihoti pada dua varietas ubi kayu
Karakteristik petani Praktik budidaya Persepsi petani
Dinamika serangan Kehilangan hasil Musuh alami
Kemampuan memangsa
Rumusan Strategi PHT Kutu Putih Ubi Kayu
Gambar 1.1. Bagan alir penelitian
6
Daftar Pustaka Charernsom K, Suasa-ard W. 1994. A host list of natural enemies of insect pests in Thailand. Special Publication No 6. National Biological Control Research Center Kasetsart University/National Research Council of Thailand. 144 p. (In Thai). Guitierrez AP, Neuenschwansed P, Schulthess F, Herren HR, Baumgaertners JU, Wermelinger B, Lor B, Ellis C.K. 1988. Analysis of Biological Control of Cassava Pests in Africa. II. Cassava Mealybug Phenacoccus manihoti. J Appl Ecol. 25(3): 921-940. Herren HR, Neuenschwander P. 1991. Biological control of cassava pest in Africa. Annu Rev Entomol. 36: 257-283. Heriyanto, Krisdiana R, Anindita R. 2009. Prospek produk olahan ubikayu di pasar internasional dalam Ubikayu Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. James B, Yaninek J, Neuenschwander P, Cudjoe A, Modder W, Echendu N, Toko M. 2000. Pest Control in Cassava Farms. International Institute of Tropical Agriculture. 36 p. Maman S. 2014. Kebijakan Pengembangan Ubi Kayu di Indonesia. Seminar dan Pelepasan Terbatas Parasitoid. Bogor. September 2014. Napompeth B. 1989. Biological control of insect pests and weeds in Thailand. In Pest Ecology and Pest Management. BIOTROP Special Publication. No. 32. BIOTROP, Bogor, Indonesia. p.51-68. Napompeth B. 1990a. Biological control of weeds in Thailand-A country report. Proceedings of the Symposium on Weed Management. Auld, B.A., R.C. Umaly and S.S. Tjitrosomo (eds.). BIOTROP, Bogor, Indonesia. p. 23-36. Napompeth B. 1990b. Use of natural enemies to control agricultural pests in Thailand. FFTC Extension Bulletin No. 303. 22 p. Paper presented at the VI ISSCT Sugarcane Entomology Workshop, Cairns, Australia. May 14-20, 2006. Neuenschwander P. 1994. Control of cassava mealybugs in Africa:lessons from a biological control project. African Crops Sci J. 2(4): 369-383. Rozi F, Heriyanto. 2009. Ubikayu sebagai komoditas ekonomi dalam Ubikayu Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. Schultess F. 1987. The interactions between casava mealybug (Phenacoccus manihoti Mat-Ferr) populations as influenced by weather. Phd thesis. Swiss Federal Institute of Technology, Zurich. Semangun H. 1991. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 449 hlm Suasa-ard W. 2000. Utilization of natural enemies for controlling insect pests and weeds in Thailand. Paper presented at the International Seminar on NonPesticide methods for Controlling Diseases and Insect pests. Asian Productivity. Organization, Tokyo, Japan. April 10-17, 2000. Sundari T. 2010. Petunjuk Teknis Pengenalan Varietas Unggul dan Teknik Budidaya Ubi kayu. Balai Penelitian Kacang Kacangan dan Umbi Umbian, Malang. 16 h.
7
Suharno, Djasmin, Rubiyo, Dasiran. 1999. Budi Daya Ubi Kayu. Kendari: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Suyamto, Wargiono J. 2009. Kebijakan Pengembangan Agribisnis Ubi Kayu dalam Ubikayu Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. Vademikum Ubikayu. 2008. Direktorat Budidaya Kacang-kacangan dan Umbiumbian. 26 h Wargiono. 1979. Ubikayu dan Cara Bercocok Tanamnya. LP3. Bogor Wargiono J, Kartika, Solihin. 2009. Areal pertanaman dan sistem produksi dalam Ubikayu Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. Williams DJ, Granara de Willink MC. 1992. Mealybugs of Central and South America. CAB International. Wallingford.Oxon, UK, 635 p.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Ubi Kayu Menurut Allem (2002), berdasarkan asalnya tanaman ubi kayu dapat dibedakan menjadi tiga hal yaitu asal botani, asal geografis dan asal budi daya. Secara botani ubi kayu pertama kali ditemukan sebagai suatu spesies liar dari jenis tumbuhan Manihot flabelifolia. Berdasarkan geografis ubi kayu pertama kali dibudidayakan penduduk Brasil Tengah (Allem 2002), sedangkan negara bagian Golas merupakan pusat keragaman spesies manihot di Brasil. Secara budi daya ubi kayu
merupakan spesies tanaman purba yang diperkirakan mulai di budidayakan pada 5000-7000 tahun sebelum Masehi (Lathrap 1970). Perkembangan sejarah ubi kayu di Indonesia diketahui bahwa tahun 1838 penduduk Indonesia belum mengenal ubi kayu sebagai bahan makanan walaupun tumbuhan itu sudah ada di Indonesia. Upaya penanaman ubi kayu di Jawa mulai berhasil setelah didatangkan stek dari Paramaribo pada tahun 1858 (Darjanto dan Murjati 1980). Dalam sistematika tumbuhan, ubi kayu termasuk ke dalam kelas Dicotyledoneae dan dalam famili Euphorbiaceae. Beberapa anggota famili Euphorbiaceae yang mempunyai nilai komersial diantaranya adalah karet (Hevea brasiliensis), jarak (Ricinus comunis dan Jatropha curcas), Manihot spp. dan tanaman hias (Euphorbia spp.). Manihot esculenta Crantz mempunyai nama lain M. utilissima dan M. alpi. Semua genus Manihot berasal dari Amerika Selatan. Brazilia merupakan pusat asal dan sekaligus sebagai pusat keragaman ubi kayu. Manihot mempunyai 100 spesies yang telah diklasifikasikan dan mayoritas ditemukan di daerah yang relatif kering (Carlos 1983). Di Indonesia ubi kayu merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang cukup penting, baik sebagai makanan pokok, industri maupun sumber pakan untuk ternak. Hal ini disebabkan tanaman ubi kayu mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan tanaman pangan lain, diantaranya dapat tumbuh di lahan kering dan kurang subur, daya tahan terhadap penyakit relatif tinggi, masa panennya yang tidak diburu waktu sehingga dapat dijadikan lumbung hidup. Selain itu, daun dan umbi ubi kayu dapat diolah menjadi aneka makanan, baik makanan utama maupun selingan. Nilai utama ubi kayu adalah karena nilai kalorinya yang tinggi. Ubi kayu segar mengandung 35–40% bahan kering dan 90% dari padanya adalah karbohidrat. Ubi kayu merupakan sumber utama karbohidrat. Bardasarkan bobot segar, ubi kayu dapat menghasilkan 150 kkal/100 gr bobot segar, dan berdasarkan hasil persatuan luas, ubi kayu dapat bersaing dengan tanaman bijian dalam hal kalori dan efisiensi tenaga kerja, ubi kayu juga merupakan sumber vitamin C yang baik, mengandung 30 – 35 mg/100 gr bobot segar dan biasanya rendah kandungan serat (1,4%) dan lemaknya (0,3%). Di samping varietas, umur panen, lingkungan agronomi juga dapat mempengaruhi komposisi kimia umbi ubi kayu (Sundari 2010). Hingga tahun 2009, Departemen Pertanian secara resmi telah melepas 10 varietas unggul dan lima di antaranya sesuai untuk pangan (Tabel 2.1).
9
Tabel 2.1. Karaketeristik sepuluh varietas unggul ubi kayu yang telah dilepas oleh Kementerian Pertanian. Varietas
Umur (bulan)
Kadar pati (% bb) 45
Hasil (ton/ha)
Ketahanan pada hama/penyakit
7-10
Kadar HCN (mg/kg) 27.5
Adira-1
25
Adira 2
8-12
124.0
41
22
Adira-4
10
68.0
20-22
35
Malang-1
9-10
< 40
32-36
36.5
Malang 2
8-10
< 40
32-36
31.5
Malang-4
9
> 100
25-32
39.7
- Agak tahan tungau merah (Tetranychus bimaculatus) - Tahan bakteri hawar daun, penyakit layu Pseudomonas Solanacearum dan Xanthomonas manihotis - Cukup tahan tungau merah - Tahan penyakit layu P. solanacearum - Cukup tahan tungau merah - Tahan terhadap P. Solanacearum dan X. manihotis - Toleran tungau merah - Toleran bercak daun (Cercospora sp.) - Agak peka tungau merah - Toleran penyakit bercak daun (Cercospora sp.) - Agak tahan tungau merah
Malang-6
9
> 100
25-32
36.4
- Agak tahan tungau merah
UJ-3
8-10
> 100
20-27
20-35
UJ-5
9 – 10
> 100
19-30
25-38
Darul Hidayah
8-12
< 40
25-31
102.1
- Agak tahan bakteri hawar daun(cassava bacterial blight) Agak tahan cassava bacterial blight - Agak peka tungau merah - Agak peka busuk jamur (Fusarium sp.)
Sumber : Sundari (2010). Ubi kayu yang baik harus memiliki beberapa kriteria seperti umur panen kurang dari 8 bulan, tahan hama dan penyakit, produksi per ha tinggi, memiliki kadar pati antara 35–40% (bb), menghasilkan rendemen tepung yang tinggi (Wargiono 1979). Berdasarkan kandungan HCN ubi kayu dibedakan menjadi ubi kayu manis/tidak pahit, dengan kandungan HCN < 40 mg/kg umbi segar, dan ubi kayu pahit dengan kadar HCN ≥ 50 mg/kg umbi segar. Kandungan HCN yang tinggi
10
dapat menyebabkan keracunan bagi manusia maupun hewan, sehingga tidak dianjurkan untuk konsumsi segar. Dari sepuluh karakteristik varietas yang telah dilepas oleh Kementerian Pertanian, terlihat bahwa ketahanan varietas ubi kayu terhadap serangan hama masih terbatas pada tungau merah, karena selama ini di Indonesia hanya tungau merah yang menjadi kendala utama pada ubi kayu. Kutu Putih pada Tanaman Ubi Kayu Kutu putih juga dikenal dengan nama mealybug, merupakan serangga dari Ordo Hemiptera, famili Pseudococcidae. Kutu ini banyak menyerang tanaman, bersifat sedenter, dan tubuh ditutupi oleh lapisan lilin yang berwarna putih. Banyak tanaman pertanian yang berasosiasi dengan kutu putih ini. Beberapa spesies Pseudococcidae ditemukan pada tanaman ubi kayu dan pada tanaman sekerabat lainnya (Cox dan Williams 1981). Williams dan Granara (1992) melaporkan bahwa ada 19 spesies dari Sub Ordo Sternorrhyncha, famili Pseudococcidae yaitu Ferrisia meridionalis Williams, Ferrisia terani Williams dan Granara de Willink, Ferrisia virgata (Cockerell), Hypogeococcus spinosus Ferris, Nipaecoccus nipae (Maskell), Paracoccus herreni Williams dan Granara de Willink, Paracoccus marginatus Williams dan Granara de Willink, Phenacoccus gregosus Williams dan Granara de Willink, Phenacoccus helianthi (Cockerell), Phenacoccus herreni Cox dan Williams, Phenacoccus madeirensis Green, Phenacoccus manihoti Cox dan Williams, Planococcus citri (Risso), Planococcus minor (Maskell), Pseudococcus affinis (Maskell), Pseudococcus elisae, Pseudococcus mandio Williams, Pseudococcus maritimus, Puto barberi (Cockerell). Perhatian utama ditujukan pada dua spesies yang dominan ditemukan dan meyebabkan serangan berat adalah Phenacoccus manihoti dan Phenacoccus herreni (Cox dan Williams 1981). Dari sejumlah kutu putih yang menyerang tanaman ubi kayu hanya Phenacoccus herreni dan Phenacoccus manihoti, yang penting secara ekonomi. Kutu putih P. manihoti berasal dari Amerika Selatan dan masuk ke Afrika pada tahun 1970 an. Hama ini pertama kali memasuki kawasan Asia Tenggara yaitu Thailand pada tahun 2009, yang menyebabkan serangan berat pada pertanaman ubi kayu, kemungkinan telah menyebar ke Laos dan Kamboja. Di Indonesia pertama kali ditemukan di daerah Jawa Barat pada tahun 2010 (Muniappan et al. 2011; Rauf 2011). Kutu putih P. manihoti, dilaporkan mempunyai inang terbatas pada ubi kayu, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa hama ini juga mempunyai inang alternatif pada tanaman sekerabat ubi kayu seperti tanaman jarak, dan karet, karena di beberapa negara hama ini dilaporkan bersifat oligophagus. P. manihoti and P. herreni di Afrika juga menyerang Talinum triangularae Jack. (Portulacaceae) (Neuenschwander et al. 1986). Di Amerika Selatan, P. manihoti ditemukan menyerang Citrus spp. (Rutaceae) dan kedelei Glycine max (L.) Merr. (Fabaceae) dan P. herreni dilaporkan hanya pada M. esculenta (Williams dan Granara 1992). Di laboratorium, P. manihoti bisa dipelihara dan diperbanyak pada poinsettia, Euphorbia pulcherrina Wild. (Euphorbiaceae) (Boussienguet 1984).
11
Perbedaan ketahanan tanaman ubi kayu terhadap P. manihoti telah dipelajari oleh Tertuliano et al.(1993). Dilaporkan bahwa ketahanan ubi kayu terhadap P. manihoti disebabkan adanya perbedaan kadar kandungan senyawa sekunder pada tanaman ubi kayu. Senyawa asam sianida merupakan senyawa sekunder yang terdapat di dalam floem tanaman ubi kayu. Floem merupakan jaringan tempat kutu putih P. manihoti menghisap cairan untuk dikonsumsi sebagai nutrisi. Adanya senyawa ini akan mempengaruhi perkembangan dan reproduksi P. manihoti, dan pada akhirnya juga akan mempengaruhi tingkat ketahanan tanaman ubi kayu terhadap P. manihoti. (Catalayud et al. 1994; Fraenkel 1969). Semakin tinggi kadar asam sianida pada ubi kayu maka semakin rentan varietas tersebut terhadap kutu P. manihoti.
Bioekologi Kutu Putih, Phenacoccus manihoti Phenacoccus manihoti merupakan hama yang hidup pada pucuk tanaman, di bawah permukaan daun atau batang dari tanaman ubi kayu. Tubuh berwarna pink yang ditutupi oleh lapisan lilin, berbentuk oval, mempunyai filamin tubuh yang pendek (James et al. 2000). Secara rinci Matile-Ferrero (1978) menyebutkan bahwa spesies P. manihoti mempunyai telur berbentuk oval, dengan warna kuning keemasan dan ditutupi oleh kantung telur (ovisac) yang terdapat pada ujung posterior dari betina dewasa. Panjang dan lebar telur berkisar antara 0.30-0.75 mm dan 0.15–0.30 mm. Tubuh nimfa terdiri dari 6 ruas pada instar pertama dan 9 ruas pada instar selanjutnya. Panjang dan lebar tubuh nimfa berturut-turut untuk instar pertama 0.40–0.75 dan 0.20–0.30 mm. Instar kedua 1.00–1.10 dan 0.50–0.65 mm. Instar ketiga 1.10–1.50 dan 0.50–0.60 mm, imago 1.10–2.60 dan 0.50–1.40 mm. Betina dewasa berbentuk oval, berwarna merah muda (pink) dan ditutupi tepung putih berlilin, mata relatif berkembang, tungkai berkembang baik dengan ukuran yang sama. P. manihoti bersifat partenogenetik telitoki, yaitu semua keturunan yang dihasilkan adalah betina, sehingga satu ekor kutu mampu untuk manghasilkan keturunan dan jika populasi melimpah mampu menyebabkan ledakan hama di pertanaman. Dalam kondisi optimal, satu betina mampu menghasilkan 200-600 butir telur (Iheagwam 1981; Lema dan Herren 1985) yang terdapat dalam kantung telur di bawah daun dan disekitar tunas apikal dan lateral tanaman. Ovisak mudah menempel pada pakaian, dan dapat berfungsi untuk penyebaran jarak jauh. Telur menetas menjadi nimfa instar-1 (crawler) dan dapat berpindah ke tanaman lainnya dengan perantaraan angin. Nimfa makan pada floem batang tanaman, dan mengalami 3 instar sebelum menjadi dewasa. Di bawah kondisi laboratorium pada suhu 25 oC, untuk perkembangan dari telur menjadi dewasa membutuhkan waktu rata-rata 31-33 hari (Iheagwam dan Eluwa 1983). Perkembangan optimal terjadi pada suhu 27 oC (Lema dan Herren 1985) dan kematian yang signifikan terjadi di bawah suhu 15 °C (Yaseen 1982) dan di atas 33 °C (Iheagwam dan Eluwa 1983). Perkembangan dari telur sampai dewasa membutuhkan waktu lebih kurang 21 hari (Gambar 2.1) (Nwanze 1977).
12
4 hari
44 hari hari
Parthenogenetik Telitoki
5 hari
8 hari Gambar 2.1. Siklus perkembangan Phenacoccus manihoti (Nwanze 1977) Curah hujan merupakan faktor penentu dalam dinamika populasi kutu P. manihoti di lapangan (Herren dan Hennessey 1983). Hujan dapat menyebabkan kutu hanyut secara mekanis. Perubahan populasi P.manihoti sangat dipengaruhi oleh adanya stress pada tanaman karena kekeringan atau kekurangan air. Kekeringan akan meningkatkan senyawa sekunder pada tanaman ubi kayu. Senyawa ini berperan sebagai fagostimulan bagi P. manihoti, sehingga dapat meningkatkan populasinya pada tanaman. Sebaliknya pemberian pupuk organik, mulsa dan NPK dapat menurunkan serangan P. manihoti pada tanaman ubi kayu (Neuenschwander 1994). Di Afrika dan Amerika Selatan populasi P. manihoti meningkat pada musim kemarau (Le Ru dan Catalayud 1994), jumlah kutu berlipat dalam waktu 7-10 minggu dari jumlah populasi kurang dari 10 individu/tanaman menjadi lebih dari 100 individu/tanaman. P. manihoti menyebabkan distorsi pada tunas terminal, daun menguning dan keriting, ruas memendek, batang menjadi stunting, dan melemah. Dengan tidak adanya musuh alami dan tindakan pengendalian lainnya, kerusakan ini dapat mengurangi hasil lebih dari 80 % (Nwanze KF 1977). Tidak ada kultivar ubi kayu yang diketahui sepenuhnya tahan terhadap P. manihoti (Calatayud dan Le Rü 2006). Hasil eksplorasi musuh alami asli P. manihoti telah ditemukan empat hymenoptera parasit, dua belas predator dan satu jamur entomopatogen (Lohr et al. 1990; Yaseen 1982).
13
Kerusakan yang Disebabkan oleh Kutu Putih P. manihoti Kutu putih pada ubi kayu menghisap cairan daun dan pucuk tanaman. Serangan hama dapat mengurangi panjang internode dan menyebabkan daun menjadi mengkerut dan pucuk mengerdil atau disebut bunchy tops . Serangan berat dapat menyebabkan defoliasi pada tanaman, namun hal ini jarang terjadi karena ubi kayu merupakan tanaman cepat untuk bertunas kembali. Kutu putih ini juga dapat menyebabkan distorsi pada batang. Serangan lebih berat terjadi pada musim kering dibandingkan musim basah (James et al. 2000). Selama proses makan kutu putih menghisap cairan floem dan mengambil kalsium dari daun ubi kayu. Hal ini terbukti ketika daun ubi kayu dianalisis kandungan Ca, P, dan K, pada daun yang tidak terserang ditemukan kandungan Ca 32% lebih banyak dari daun yang terserang, dan tidak berbeda nyata untuk kandungan N, P, dan K. Reduksi Ca menyebabkan lemahnya daun, dinding sel sedikit mengkerut, dan daun menjadi melengkung (CIAT 1988). Pada tanaman yang terserang kutu putih juga terjadi pengurangan laju fotosintesa, pengurangan efisiensi transpirasi dan mesofil daun, dan dalam waktu yang bersamaan juga terjadi defisit air, CO2 internal dan juga pengurangan temperatur daun (CIAT 1992). Musuh Alami Kutu Putih dan Peranannya Menurut Charernsom and Suasa-ard (1994; 2010), beberapa parasitoid dan predator diketahui berasosiasi dengan ubi kayu (Tabel 2.2). Tabel 2.2. Hama tanaman ubi kayu dan musuh alaminya __________________________________________________________________ Hama tanaman ubi kayu Serangga musuh alami __________________________________________________________________ Ferrisia virgata - Acerophagus sp. (Hymenoptera: Encyrtidae) P. madeirensis - Allotropa sp. (Hymenoptera: Encyrtidae) P. manihoti - Anagyrus sp. (Hymenoptera: Encyrtidae) P. solenopsis Pseudococcus jackbeardsleyi Serangga predator: (Homoptera: Pseudococcidae) - Plesiochrysa ramburi (Neuroptera: Chrysopidae) - Mallada basalis (Neuroptera: Chrysopidae - Spalgis epius (Lepidoptera: Lycaenidae) - Brumoides sp. (Coleoptera: Coccinellidae) - Chilomenes sexmaculatus (Coleoptera: Coccinellidae) - Micraspis discolor (Coleoptera: Coccinellidae) - Nephus sp. (Coleoptera: Coccinellidae) __________________________________________________________________ Sumber: Charernsom and Suasa-ard (1994; 2010),
14
Interaksi antara musuh alami dengan hama telah banyak dilaporkan, di antaranya oleh Nadel dan van Alphen (1987) dan Souissi et al. (1997) yaitu respon dari parasitoid betina pada zat kimia volatil yang dikeluarkan oleh tanaman ubi kayu yang terserang kutu putih. Telah diteliti model interaksi antara P. manihoti dan Apoanagyrus lopezi, dan P. herreni dengan Apoanagyrus diversicornis Howard, Aenasius vexans Kerrich, Acerophagus coccois Smith (Hymenoptera: Encyrtidae). Contoh lain adalah spesies endoparasitoid untuk mengendalikan P. herreni di Amerika Selatan (Bertschy et al. 1997; 2001). Senyawa kimia yang dikeluarkan oleh tanaman berperan penting dalam interaksi antara musuh alami dan tanaman. Senyawa kimia yang dikeluarkan oleh tanaman bisa digunakan oleh musuh alami untuk mendeteksi inang atau mangsa. Hal ini secara intensif diteliti pada serangga parasitoid maupun predator tungau (Vet dan Dicke 1992, Dicke dan Vet 1999; Cortesero et al. 2000). Namun baru sedikit informasi tentang interaksi antara serangga predator seperti coccinellids dengan hama tanaman. Coccinellidae merupakan predator yang banyak digunakan untuk mengendalikan kutu putih (Obata 1986; Zhu et al. 1999). Penelitian pada Coccinellidae, salah satunya telah dilakukan oleh Le Ru and Makayamakosso (2001), diketahui bahwa adanya respon dari betina predator generalis ladybird Epidinocarsis flaviventris pada bau yang dikeluarkan dari interaksi ubi kayu dan kutu putih. Tanaman ubi kayu sendiri dikatakan tidak atraktif dalam menarik musuh alami, tetapi dengan percobaan infestasi kutu putih pada tanaman ubi kayu, maka tanaman ubi kayu mengeluarkan senyawa volatil yang menarik betina dari coccinellids pada mikrohabitatnya. Pengendalian Kutu Putih P. manihoti Pengendalian Biologi. Introduksi Epidinocarsis lopezi untuk mengendalikan P. manihoti sukses dilakukan di Afrika. Ini merupakan contoh pengendalian biologi klasik yang berhasil pada kutu putih (Neuenschwander 1994). Epidinocarsis diversicornis mempunyai preferensi makan pada nimfa instar-3 dan A. coccois memparasit pada kokon jantan dan betina, serta nimfa instar-2 P. manihoti. Persentase oviposisi oleh E. diversicornis menyebabkan kematian 13 % pada nimfa instar-1 (van Driesche et al. 1990). Aenasius vexans mempunyai preferensi makan pada nimfa instar- 2 dan ke- 3, serta dewasa P. manihoti (CIAT 1990). Penggunaan Tanaman Resisten Pengendalian kutu putih yang pernah dilakukan adalah dengan kombinasi antara tanaman inang resisten dan pengendalian biologi. Meskipun tanaman inang hanya moderat resisten namun cukup membantu dalam pengendalian kutu putih (Porter 1988). Ubikayu mengandung dua senyawa yang meningkat secara signifikan sebagai respon terhadap serangan kutu putih. Kandungan sianida berfungsi sebagai phagostimulant untuk kutu putih, sedangkan senyawa rutin memiliki efek antibiotik. Semakin tinggi kandungan sianida pada tanaman, maka tanaman tersebut semakin disukai oleh P. manihoti, sehingga tanaman semakin rentan, begitu juga sebaliknya dengan semakin rendah kandungan sianida, maka tanaman akan semakin resisten. Tanaman ubi kayu yang resisten bisa
15
memperlambat perkembangan serangga fitofag, dengan demikian proses terpaparnya hama pada predator maupun parasitoid akan lebih lama (Panda 1979), sehingga akan terjadi sinergi antara pengendalian dengan menggunakan varietas tahan dan pengendalian biologi. Pengendalian dengan Bahan Kimia Organik Perendaman stek ubi kayu dengan ekstrak cair dari ubi kayu selama 60 menit diketahui secara signifikan mengurangi kutu (Razafindrakoto et al. 1999). Pada percobaan Mourier (1997) ditemukan bahwa daun ubi kayu yang diperlakukan dengan ekstrak nimba 1% dapat menolak invasi instar pertama kutu putih dibandingkan daun tidak diperlakukan, dan kutu putih yang telah mengonsumsi ekstrak ini akan mati pada stadia instar kedua. Perlakuan setiap tiga mingguan akan melindungi ubi kayu terhadap nimfa instar awal, namun diketahui pada beberapa kasus ekstrak ini juga bersifat fitotoksisitas. Pengendalian Secara Budi daya Penggunaan pupuk kandang atau lainnya dapat mengakibatkan penurunan populasi kutu putih karena hasil peningkatan unsur hara tanaman. Tanaman yang sehat juga akan berpengaruh pada musuh alami, karena akan meningkatkan reproduksi parasitoid dengan tingkat kesuburan tinggi (Schulthess et al. 1997). Penggunaan mulsa dan pupuk kandang juga akan meningkatkan ketahanan tanaman ubi kayu terhadap serangan kutu putih (Tertuliano et al. 1999).
Daftar Pustaka Allem AC. 2002. The origins and taxonomy of cassava. Di dalam Hillocks RJ, Thresh JM, Bellotti AC, editor. Cassava: Biology, Production and Utilization. New York: CABI Publishing. hlm 1-16. Bertschy C, Turlings TCJ, Bellotti AC, Dorn S. 1997. Chemically-mediated attraction of three parasitoid species to mealybug-infested cassava leaves. Flo Entomol. 80: 383-395. Bertschy C, Turlings TCJ, Bellotti AC, Dorn S. 2001. The role of mealybuginduced cassava plant volatiles in the attraction of the Encyrtid parasitoids Aenasius vexans and Apoanagyrus diversicornis. J Insect Behav. 14: 363371. Boussienguet J. 1984. Bio-ecologie de la cochenille du manioc, Phenacoccus manihoti Mat.-Ferr. et de ses ennemis naturels au Gabon. These Universite de Paris Jussieu, Paris, France, 100 p. inPaul-André and Bruno. 2006. Cassava–Mealybug Interactions. Instutute de Recerche Pour Le Developpement. Paris. 112 p. Carlos ED. 1983. Morphology of the cassava plant. Study Guide. CIAT. Cali. Colombia. Calatayud PA, Rahbé Y, Delobe1 B, Khuong-Huu E, Tertuliano M, Le RÜ B. 1994. Infhence of secondary compounds in the floem sap of cassava on expression of antibiosis towards the mealybug Phenacoccus manihoti. Entomol exp appl. 72: 47-57. Catalayud PA, Le RU B. 2006. Cassava-Mealybug interactions. Paris. 112 p.
16
Charernsom K, Suasa-ard W. 1994. A host list of natural enemies of insect pests in Thailand. Special Publication No 6. National Biological Control Research Center Kasetsart University/National Research Council of Thailand. 144 pp. (In Thai) Charernsom K, Suasa-ard W. 2010. Insects of Thailand: Host and preys of Natural enemies. Special Publication No 9. National Biological Control Research Center Kasetsart University/National Research Council. 714 pp. (In Thai). CIAT 1988. Annual Report Cassava Program. CIAT Calt. Colombia CIAT 1990. Annual Report Cassava Program 1989, CIAT Calt. Colombia CIAT 1992. Annual Report Cassava Program 1987-1991, CIAT Calt. Colombia. Cortesero AM, Stapel JO, Lewis WJ. 2000. Understanding and manipulating plant attributes to enhance biological control. Biol Cont. 17: 35-49. Cox JM, Williams DJ. 1981. An account of cassava mealybugs (Hemiptera: Pseudococcidae) with a description of a new species. Bull Entomol Res. 71: 247-258. Darjanto, Murjati. 1980. Khasiat, Racun dan Masakan Ketela Pohon. Bogor: yayasan Dewi Sri. Dicke M, Vet LEM. 1999. Plant-carnivore interactions: evolutionary and ecological consequences for plant, herbivore and carnivore. In: Herbivores: between plants and predators, H. Olff, V. K. Brown & R. H. Drent (eds), Blackwell Science, Oxford, UK, p. 483-520. Fraenkel, G., 1969. Evaluation of our thoughts on secondary plant substances. Entomol exp appl. 12: 473-486. Herren HR, Hennessey RN. 1983. Biological control and host plant resistance to control the cassava mealybug and green mite in Africa: Proceedings of an international workshop. Ibadan, Nigeria: IITA. 154 p. Iheagwam EU. 1981. The influence of temperature on increase rates of the cassava mealybug Phenacoccus manihoti Mat.-Ferr.(Homoptera; Pseudococcidae). Rev Zool Afr 95: 959–967. Iheagwam EU, Eluwa MC. 1983. The effects of temperature on the development of the immature stages of the Cassava Mealybug, Phenacoccus manihoti Mat-Ferr.(Homoptera, Pseudococcidae). Deut Entomol Z 30: 17– 22. James B, Yaninek J, Neuenschwander P, Cudjoe A, Modder W, Echendu N, Toko M. 2000. Pest Control in Cassava Farms. International Institute of Tropical Agriculture. 36p. Lathrap DW. 1970. The upper Amazon. Thames and Hudson. London. Lema KM, Herren HR. 1985. The influence of constant temperature on population growth rates of the cassava mealybug, Phenacoccus manihoti. Entomol Exp Appl 38: 165–169. Le Ru B, Makayamakasso JP. 2001. Prey habitat location by the cassava mealybug predator Exochomus flaviventris: Olfactory responses to odor of plant, mealybug, plantmealybug complex, and plant-mealybug-natural enemy complex. J Insect Behav. 14: 557-572. Le Ru B, Calatayud PA. 1994. Interactions between cassava and arthropod pests. African Crop Sci J. 2: 385-390.
17
Löhr B, Varela AM, Santos B. 1990. Exploration for natural enemies of the cassava mealybug, Phenacoccus manihoti (Homoptera: Pseudococcidae), in South America for the biological control of this introduced pest in Africa. Bull Entomol Res 80: 417–425. Matile-Ferrero D, 1978. Cassava mealybug in the People's Republic of Congo. In: Nwanze KF, Leuschner K, ed. Proceedings of the International Workshop on the cassava mealybug Phenacoccus manihoti Mat.-Ferr. (Pseudococcidae) held at INERA-M'vuazi, Bas-Zaire, Zaire, June 26-29, 1977. International Institute of Tropical Agriculture. Ibadania Niger, 2946. Mourier M, 1997. Effects of neem (Azadirachta indica) kernel water extracts on cassava mealybug, Phenacoccus manihoti (Hom., Pseudococcidae). J Appl Entomol. 121(4): 231-236; 17 ref. Muniappan R, Shepard BM, Watson W, Carner GR, Rauf A, Sartiami D, Hidayat P, Afun JVK, Goergen G, Ziaur Rahman AKM. 2011. New Records of Invasive Insects (Hemiptera:Sternorrhyncha) in Southeast Asia and West Africa. J Agric Urban Entomol. 26(4):167-174. Nadel H, van Alphen JJM. 1987. The role of host- and host-plant odours in the attraction of a parasitoid, Epidinocarsis lopezi, to the habitat of its host, the cassava mealybug, Phenacoccus manihoti. Entomol Exp Appl. 45: 181186. Neuenschwander P, Schulthess F, Madojemu E. 1986. Experimental evaluation of the efficiency of Epidinocarsis lopezi, a parasitoid introduced into Africa against the cassava mealybug Phenacoccus manihoti. Entomol Exp Appl. 42: 133-138. Neuenschwander P. 1994. Control of cassava mealybugs in Africa:lessons from a biological control project. African Crops Sci J. l2(4): 369-383. Nwanze KF. 1977. Biology of the cassava mealybug Phenacoccus manihoti Mat-Ferr. in the Republic of Zaire. Proceedings of the International Workshop on Cassava Mealybug Phenacoccus manihoti Mat-Ferr. (Pseudococcidae). INERA, M’Vuazi-Zaire, June 26-29, IITA Press, Ibadan, Nigeria, p. 20-28. Obata S. 1986. Mechanisms of prey finding in the aphidophagous ladybird beetle, Harmonia axyridis (Coleoptera: Coccinellidae). Entomophaga. 31: 303-311. Panda 1979. Principles of Host-Plant Resistance to Insect Pests. Allanheld Universe, New York. Porter RI. 1988. Evaluation of Germplasm of Cassava (Manihot esculenta Crantz) for Resistance to the Mealybug (Phenacoccus herreni Cx & Williams). Thesis Disertation. Cornel University, Ithaca, NY. Rauf A. 2011. Invasive pests. IPM CRSP Annual Report 2010-2011. Razafindrakoto C, Ponte JJ, Andrade NC, Silveira Filho J, Pimentel Gomes F, 1999. [Manipueira and heat treatment for the treatment of cassava cuttings attacked by scale insects.] Manipueira e termoterapia no tratamento de estacas de mandioca atacadas por cochonilhas. Rev Agric Piracicaba. 74(2): 127-136.
18
Schulthess F, Neuenschwander P, Gounou S, 1997. Multi-trophic interactions in cassava, Manihot esculenta, cropping systems in the subhumid tropics of West Africa. Agriculture, Ecosystems & Environment 66(3):211-222. Souissi R, Nenon JP, Le Ru B. 1997. Behavioural responses of the endoparasitoid Apoanagyrus lopezi to odours of the host and host’s cassava plants. Entomol Exp Appl. 90: 215-220. Sundari T. 2010. Petunjuk Teknis Pengenalan Varietas Unggul dan Teknik Budidaya Ubi kayu. Balai Penelitian Kacang Kacangan dan Umbi Umbian, Malang. 16 h. Tertuliano M, Dossou-Gbete S, Le Ru B. 1993. Antixenotic and antibiotic components of resistance to the cassava mealybug, Phenacoccus manihoti (Hom., Pseudococcidae), in various host-plants. Insect Sci Appl. 5-6: 657665. Tertuliano M, Calatayud PA, Le Rü B. 1999. Seasonal changes of secondary compounds in the phloem sap of cassava in relation to fertilization and to infestation by the cassava mealybug. Insect Sci Appl. 19(1): 91-98. Van Driesche RG, Bellotti AC, Castillo JA, Herrera CJ. 1990. Estimating total losses from parasitoids for a field population of a countinously breeding insect, cassava mealybug, Phenacoccus herreni (Homoptera : Pseudococcidae) in Colombia, S.A. Florida Entomologist. 73: 133-143. Vet LEM, Dicke M. 1992. The ecology of infochemical use by natural enemies of herbivores in a tritrophic context. Annu Rev Entomol. 37: 141-172. Wargiono. 1979. Ubikayu dan cara bercocok tanamnya. LP3. Bogor Williams DJ, Granara de Willink MC. 1992. Mealybugs of Central and South America. CAB International. Wallingford.Oxon, UK, 635 p. Yaseen M. 1982. Exploration for natural enemies of Phenacoccus manihoti and Mononychellus tanajoa: the challenge, the achievements. In: Herren HR, Hennessey RN, editors. Biological control and host plant resistance to control the cassava mealybug and green mite in Africa: Proceedings of an international workshop. Ibadan, Niger: IITA. pp 81–102 Zhu J, Cosse AA, Obrycki JJ, Boo KS, Baker TC. 1999. Olfactory reactions of the twelve-spotted lady beetle, Coleomegilla maculata and the green lacewing, Chrysoperla carnea to semiochemicals released from their prey and host plant: electroantennogram and behavioral responses. J Chem Ecol. 25: 1163-1177.
19
BAB III SURVEI PRAKTIK BUDIDAYA UBI KAYU DAN PERSEPSI PETANI TERHADAP HAMA KUTU PUTIH DI KECAMATAN SUKARAJA-BOGOR Abstrak Survei berlangsung selama bulan September hingga November 2012, dengan mewawancarai 60 petani ubi kayu yang tersebar di tiga desa. Hasil survei menunjukkan sebanyak 52% responden berumur lebih dari 60 tahun, dengan pekerjaan utama adalah bertani. Tingkat pendidikan petani umumnya (83%) tamatan atau pernah sekolah SD, dan lulusan SLTP dan SLTA masing-masing 8%. Petani ubi kayu umumnya (67%) tidak tergabung dalam kelompok tani. Sebanyak 73% responden menyatakan tidak pernah berhubungan dengan tenaga penyuluh pertanian. Luas lahan yang diusahakan untuk pertanaman ubi kayu umumnya (88%) kurang dari 0.50 ha. Petani di lokasi penelitian umumnya (87%) berstatus sebagai penggarap, dengan pengalaman bertanam ubi kayu lebih dari 15 tahun. Penanaman ubi kayu tidak tergantung pada musim, tetapi dilakukan kapan saja saat lahan kosong. Varietas ubi kayu yang paling banyak ditanam oleh petani yaitu Roti (90%), disusul oleh Manggu (15%) dan Jimbul (5%), dengan stek bibit berasal dari kebun sendiri. Sebagian besar petani (97%) menggunakan kotoran kambing sebagai pupuk kandang, dan sisanya (3.3%) menggunakan kotoran ayam. Pupuk kandang diberikan sebanyak satu kali yaitu pada saat tanaman berumur 15-30 hari dengan dosis 11-15 ton/ha. Pupuk urea diberikan sebanyak dua kali, pada saat tanaman berumur 3 dan 7 bulan, dengan dosis 200-500 kg/ ha. Penyiangan gulma umumnya (68%) dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada saat ubi kayu berumur 4 dan 8 bulan. Panen umumnya (92%) dilakukan pada saat ubikayu berumur 10-13 bulan. Petani ubi kayu umumnya (87%) menyebutkan kutu putih P. manihoti merupakan hama yang paling penting pada pertanaman ubi kayu. Sebagian besar petani (82%) mengemukakan bahwa hama kutu putih mulai menyerang tanaman ubi kayu sejak tahun 2007. Tampaknya mereka menyamakan kutu putih P. manihoti dengan kutu putih pepaya (Paracoccus marginatus) yang juga menyerang ubi kayu. Hampir separuh responden menyatakan bahwa serangan kutu putih menyebabkan kehilangan hasil berkisar 40-50%. Walaupun demikian, umumnya petani tidak melakukan tindakan pengendalian. Kata kunci : Survei petani, ubi kayu, kutu putih, Phenacoccus manihoti Abstract Surveys were conducted during September until November 2012, by interviewing 60 farmers distributed in three villages. Our studies revealed as much as 52% of respondents aged over 60 years, with the main occupation is farming. In term of level of education, about 83% of the farmers were graduates or have been in elementary school, and primary and secondary high school each 8%. Cassava farmers generally (67%) were not member of the farmer groups. As many as 73% of respondents had no contacts with agricultural extension agents. Land
20
area used for cassava cultivation generally (88%) were less than 0.50 ha. Most of the farmers (87%) were tenants, with over 15 years experiences in cassava farming. Cassava planting do not depend on the season, but can be any time whenever no crops on the lands,. Cassava varieties widely grown by farmers were Roti (90%), followed by Manggu (15%) and Jimbul (5%), with cuttings derived from their own previous cassava stands. The majority (97%) of farmers used goat manure, and the rest (3.3%) chicken manure. Manure was given when the plant 15-30 days old, with a dosage of 11-15 ton/ha. Urea was given twice when the plant aged 3 and 7 months, with a dosage of 200-500 kg/ha. Weeding generally (68%) were conducted twice when the plant 4 and 8 monthsold. Harvest generally (92%) were carried out at 10-13 months old. Farmers generally (87%) considered P. manihoti as the most important pests of cassava. The majority of farmers (82%) mentioned that the mealybug began attacking cassava since 2007. It seems that they equated P. manihoti with the papaya mealybug (Paracoccus marginatus) which also attacked cassava. Nearly half the respondents said that attacks by the cassava mealybug caused yield losses about 40-50%. Nevertheless, farmers generally di not perform control measures. Keywords : Farmer survey, cassava, mealybug, Phenacoccus manihoti
Pendahuluan Di Indonesia umumnya petani membudidayakan tanaman ubi kayu masih secara tradisional, tanpa teknologi khusus, baik cara tanam, pemupukan dan pemeliharaan serta panen. Keadaan ini lebih disebabkan ubi kayu merupakan tanaman yang mempunyai keunggulan agronomis dimana dapat memberikan hasil yang tinggi walaupun tumbuhnya pada lahan yang kurang subur (marginal) ataupun lahan dengan curah hujan yang rendah (Wargiono et al. 2009; Suharno et al. 1999). Seiring perubahan waktu, permintaan ubi kayu dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dengan laju 3.63% per tahun dan serapannya mencapai 62-78% dari produksi nasional (Suyamto dan Wargiono 2009). Ubi kayu digunakan baik untuk pemenuhan kebutuhan pangan maupun industri. Peran ubi kayu dalam bidang industri akan terus mengalami peningkatan seiring dengan adanya program pemerintah untuk menggunakan sumber energi alternatif yang berasal dari hasil pertanian (liquid biofuel), seperti biodiesel dan bioetanol serta diversifikasi pangan berbasis pangan lokal. Untuk dapat mendukung program pemerintah tersebut, maka produksi ubi kayu harus ditingkatkan. Peningkatan produksi ubi kayu dapat dilakukan melalui peningkatan luas panen dan penerapan teknik budidaya yang tepat (Sundari 2010). Teknik budidaya yang diterapkan petani selama ini umumnya masih sederhana, dengan sedikit pemupukan dan tanpa pengendalian hama, karena organisme pengganggu tanaman (OPT) yang berasosiasi dengan tanaman ubikayu relatif sedikit. OPT utama yang sering ditemukan pada tanaman ubi kayu adalah hama tungau merah yang muncul pada musim kemarau. Untuk penyakit yang biasa dijumpai adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri yaitu Xanthomonas manihotis, dan penyakit bercak daun oleh cendawan (Cercospora henningsii)
21
yang sering dijumpai menyerang daun yang sudah tua (Sundari 2010). Namun dengan masuknya hama baru P. manihoti, dapat menjadi ancaman karena menyebabkan kehilangan hasil ubi kayu mencapai 90% (Schultess 1987; Herren dan Neuenschwander 1991). Kutu tersebut menghisap cairan daun dan pucuk tanaman. Serangan hama dapat mengurangi panjang internode dan menyebabkan daun menjadi mengkerut dan mengerdil bunchy tops. Gejala lanjut akan menyebabkan daun mengering dan rontok, jika serangan berat dapat menyebabkan defoliasi pada tanaman. Hama juga akan meninggalkan bekas serangan berupa distorsi pada batang. Serangan lebih berat terjadi pada musim kering dibandingkan musim basah (James et al. 2000). Dengan adanya informasi akibat yang ditimbulkan oleh hama kutu putih ini petani akan menyadari bahwa hama ini perlu untuk diperhatikan dan dikendalikan. Namun hal ini memerlukan proses karena pertani sudah terbiasa dengan teknik budidaya sederhana yang dilakukan selama ini. Secara umum pengambilan keputusan pengendalian hama yang dilakukan oleh petani ditentukan oleh empat faktor yaitu: (1) permasalahan hama yang menyangkut tingkat serangan dan kehilangan hasil yang ditimbulkannya, (2) pilihan pengendalian yang tersedia bagi petani, (3) persepsi petani terhadap permasalahan hama dan (4) motivasi berusaha tani (Untung 1996). Program pengendalian hama berhasil jika tindakan atau keputusan pengendalian hama yang dilakukan oleh petani tepat. Dan program pengendalian ini diharapkan sesuai dengan kaidah dan prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Ketepatan pengendalian hama tersebut sangat dipengaruhi oleh cara petani mempersepsi hama tersebut, sikap dan keyakinanya, serta tindakan pengendalian yang dilakukan. Informasi tersebut merupakan salah satu komponen penting yang perlu digali dalam rangka pengembangan PHT (Rauf 1996). Menurut Soekartawi (1998) tindakan penerapan inovasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dari dalam diri petani maupun faktor lingkungan. Faktor dalam diri petani antara lain umur, pendidikan, status sosial, pola hubungan sikap terhadap pembaharuan, keberanian mengambil risiko, fatalisme, aspirasi dan dogmatis. Faktor lingkungan meliputi jarak dari sumber informasi, frekuensi mengikuti penyuluhan, keadan prasarana dan sarana, serta proses memperoleh sarana produksi. Hama kutu putih P. manihoti merupakan hama baru di Indonesia karena itu untuk mengembangkan teknik pengendalian hama kutu putih P. manihot pada tanaman ubi kayu yang sesuai dengan prinsip PHT maka dilakukan survei praktek budidaya dan persepsi petani ubi kayu terhadap kutu putih P. manihoti.
Metode Penelitian Penelitian dilakukan sejak bulan September sampai Nopember 2012, dan berlangsung di tiga desa yaitu Desa Ngampar, Sukaraja, dan Cikeas, yang secara administratif termasuk Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Ketiga desa tersebut dipilih karena merupakan sentra pertanaman ubi kayu di Kabupaten Bogor. Selain itu, serangan hama kutu putih P. manihoti pada pertanaman ubi kayu di ketiga desa itu cukup berat.
22
Penelitian dilakukan dengan metode survei, yaitu dengan mewawancarai petani ubi kayu menggunakan kuisioner terstruktur dengan sebagian pertanyaan bersifat terbuka (Lampiran 1). Selain itu, survei juga menggunakan alat peraga berupa spesimen kutu putih P. manihoti dan tanaman ubi kayu yang terserang kutu putih. Wawancara dilaksanakan pada saat petani berada di kebun ubi kayu atau dengan cara mendatangi petani di rumahnya. .Untuk maksud tersebut, di setiap desa penelitian dipilih 20 orang petani ubi kayu, sehingga keseluruhan responden yang diwawancarai berjumlah 60 orang. Kuesioner yang digunakan terdiri atas tiga komponen informasi utama, yaitu (1) karakteristik petani ubi kayu, (2) karakteristik budidaya tanaman ubikayu, dan (3) persepsi petani terhadap hama dan penyakit, khususnya terhadap hama kutu putih. Data yang terkumpul ditabulasi, dan kemudian dilakukan analisis frekuensi.
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Petani Ubi Kayu Petani ubi kayu yang menjadi responden paling muda berusia 35 tahun dan paling tua 80 tahun. Sebanyak 51.7% petani ubi kayu yang diwawancarai telah berusia lanjut yaitu lebih dari 60 tahun (Tabel 3.1). Dengan kondisi sebagian besar petani ubi kayu yang berumur lanjut, merupakan suatu faktor pembatas dalam penerimaan inovasi teknologi melalui penyuluhan. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa rata-rata petani ubi kayu tidak dalam usia produkstif lagi, jika dilihat dari segi penggolongan umur. Umur petani produktif menurut Palebangan et al. ( 2006) adalah berkisar antara 15-55 tahun. Umur petani secara umum menentukan dalam proses usahatani yang dilakukan. Menurut Sukartawi (1998), difusi inovasi yang paling tinggi adalah pada petani yang berumur setengah tua atau sekitar 40-50 tahun. Kondisi ini berbeda dengan survei petani pada budi daya tanaman kentang dan nanas, dimana umur rata-rata petani berkisar antara 20-50 tahun (Rauf 1999; Mamahit 2009). Ketika umur petani produktif, maka akan menunjang dalam kegiatan usahataninya sehingga dapat meningkatkan produktivitas usahataninya, sebaliknya ketika umur petani tidak lagi produktif, maka fisiknya akan cenderung melemah dan memerlukan tenaga kerja dari luar untuk melakukan usahataninya, atau melakukan usahataninya dengan semampunya jika tidak mempunyai dana untuk membayar tenaga kerja dari luar. Keadaan ini akan mempengaruhi usaha tani ubi kayu yang dilakukan pada desa contoh, yang cenderung melakukan usaha tani ubi kayu dengan seadanya. Namun karena sifat usaha tani ubi kayu yang mempunyai keunggulan agronomis yaitu dapat memberikan hasil yang cukup tinggi walaupun tumbuh pada lahan yang tidak terlalu bagus (Wargiono et al. 2009), maka keadaan ini tidak begitu menjadi kendala dalam usaha tani ubi kayu. Banyaknya petani yang berusaha tani dalam usia lanjut disebabkan rata-rata petani yang menanam ubi kayu telah bertani sejak usia muda, dan berlanjut hingga pada saat sekarang, sedangkan anak-anak mereka pada umumnya memilih untuk tidak ikut bertani tetapi memilih pekerjaan lain yang dianggap lebih baik, seperti bekerja di pabrik, berdagang atau pekerjaan kantoran. Sehingga yang tetap mengerjakan lahan
23
hanya orang tua mereka. Hal ini juga tampak dari hasil survei, semua petani ubi kayu yang menjadi responden tidak ada yang umurnya kurang dari 30 tahun. Tabel 3.1. Karakteristik petani ubi kayu di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor Karakteristik Umur (tahun) ≤ 30 31-40 41-50 51-60 60 Pendidikan Tertinggi Tidak sekolah/tidak tamat SD SD SLTP SLTA PT Tanggungan keluarga ≤2 3-5 ≥6 Kelompok Tani Anggota Bukan anggota Kontak dengan PPL Ya Tidak
Frekuensi
%
0 3 15 11 31
0 5.0 25.0 18.3 51.7
27 23 5 5 0
45.0 38.3 8.3 8.3 0
20 32 8
33.3 53.3 13.3
20 40
33.3 66.7
16 44
26.7 73.3
Pendidikan akan mempengaruhi cara dan pola pikir petani dalam berusahatani. Tingkat pendidikan petani pada desa contoh relatif rendah yaitu tidak selesai sekolah dasar atau tidak sekolah (45%), dan tamatan sekolah dasar 38.33%, sisanya menamatkan pendidikan pada jenjang SLTP dan SLTA. Keadaan hampir sama dengan potret petani Indonesia pada umunya yaitu, berpendidikan rendah atau SD. Di sisi lain petani yang mempunyai akses terhadap teknologi informasi cenderung memiliki pendidikan relatif tinggi karena sarana teknologi informasi merupakan media komunikasi baru yang membutuhkan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi karena lebih rumit dibandingkan dengan media komunikasi lainnya (Mulyandari 2011). Dengan keterbatasan ini maka perlu dilakukan penyuluhan-penyuluhan yang lebih intensif kepada petani. Tanggungan keluarga umumnya (53.33%) berjumlah 3-5 orang. Jumlah ini cukup besar untuk ditanggung oleh kepala keluarga yang pendapatan utamanya sebagai petani penggarap, karena dari semua petani responden (100%) yang diwawancarai, bertani merupakan sumber utama pendapatan mereka. Tanggungan keluarga seharusnya merupakan sumber dari tenaga kerja keluarga dalam berusaha tani (Palebangan et al. 2006), namun pada kondisi desa contoh,
24
tenaga kerja untuk berusahatani ubi kayu umumnya dilakukan hanya oleh kepala keluarga, karena luas lahan usahatani yang relatif sempit, dan juga sifat budidaya ubi kayu yang relatif sederhana. Sebagian besar responden (66.67%) bukan merupakan anggota kelompok tani, karena tampaknya tidak banyak dibentuk kelompok tani. Hal ini tampaknya berkaitan dengan tidak adanya dorongan dari pihak luar. Sebagian besar petani (73.3%) mengatakan tidak pernah melakukan kontak dengan PPL. Di antara kelompok tani yang ada yaitu kelompok tani Tani Jaya dan Jaya Mukti, yang hanya aktif dalam budidaya padi dan tidak dalam tanaman ubi kayu. Namun demikian, adanya kelompok tani yang aktif akan meningkatkan frekuensi pertemuan dan kerjasama antara petani. Karena dengan adanya kelompok tani akan terjalin kerjasama antara individu anggota kelompok dalam proses belajar, proses produksi, pengolahan dan pemasaran hasil untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Pembentukan kelompok ini antara lain dapat berdasarkan persamaan domisili atau komoditi, dengan jumlah anggota 10-20 orang. Budi Daya Ubi Kayu Luas lahan yang diusahakan untuk pertanaman ubi kayu umumnya (53%) berkisar 0.25-0.50 ha, bahkan sebanyak 35% petani mengusahakan tanaman ubi kayu pada lahan < 0.25 ha (Tabel 3.2). Sempitnya lahan yang digunakan untuk tanaman ubi kayu disebabkan pada lahan yang lain petani menanam tanaman yang dapat dipanen cepat seperti sayuran, atau menanam tanaman yang lebih menguntungkan seperti pepaya. Menurut Pasaribu (2009), luas lahan untuk usaha tani ubi kayu subsisten 0.5 ha/KK, berakibat tercukupinya kebutuhan pangan namun tidak tersedia dana untuk pengadaan sarana produksi dan upah tenaga kerja. Oleh karena itu, sebagian besar kegiatan usaha tani dilakukan dengan tenaga kerja keluarga dengan input yang minimal. Petani yang mempunyai lahan luas cenderung untuk melakukan perubahan teknologi dengan maksud untuk meningkatkan produktivitas usahataninya (Hadisapoetro 1992). Sebagian besar petani membudidayakan ubi kayu pada lahan orang lain dengan status hanya sebagai penggarap 86.67% dan sisanya merupakan petani pemilik penggarap (Tabel 3.2). Dari wawancara dengan petani terungkap bahwa pada awalnya di desa mereka, mereka merupakan pemilik lahan yang umumnya cukup luas rata-rata lebih dari 5 ha, namun karena pada tiga desa ini terjadi perkembangan pembangunan yang cukup cepat, maka banyak berdiri pabrikpabrik, perumahan, dan juga jalan tol, sehingga tanah yang ada disekitar pembangunan tersebut dihargai dengan harga tinggi. Banyak petani yang menjual tanah-tanah mereka dan menyisakan sedikit hanya untuk perumahan dan garapan seadanya. Akhir-akhir ini tanah garapan mereka juga dijual kepada para investor tanah yang kebanyakan berada di Jakarta, sehingga sekarang sebagian besar mereka hanya berstatus sebagai penggarap. Berubahnya status petani dari petani pemilik penggarap menjadi penggarap, tidak terlepas dari rendahnya kesejahteraan petani di desa contoh, sehingga mereka lebih menyukai untuk menjual lahan mereka untuk mendapatkan modal dari pada meningkatkan usahataninya untuk dapat mendapatkan hasil yang lebih tinggi. Perilaku ini umum terjadi pada petani di Indonesia karena mereka beranggapan bahwa hasil usahataninya tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumtif mereka. Menurut Apriyana (2011) dikatakan bahwa tanah-tanah pertanian dan sawah berkualitas
25
tinggi pada umumnya terkonsentrasi dan beralih fungsi di sekitar kota-kota besar terutama di pulau Jawa. Dari aspek fisik lahan, konversi dipengaruhi dua hal yaitu aspek kepemilikan lahan pertanian dan aspek penataan ruang. Aspek kepemilikan terkait dengan hak atas tanah yang absolut yang dalam prosesnya kemudian menyebabkan kepemilikan lahan itu terpecah pecah dan menjadi sangat kecil karena diberikan kepada keturunannya sebagai warisan. Pemilikan yang kecil tersebut menyebabkan rawan untuk terjadinya alih fungsi lahan pertanian karena kesulitan dalam pengendalian pemanfaatan tata ruangnya. Tabel 3.2. Karakteristik lahan dan penanaman ubi kayu di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor Karakteristik Luas lahan ubikayu (ha) < 0.25 0.25-0.5 0.6-1.0 > 1.0 Status kepemilikan lahan Pemilik penggarap Penggarap Pengalaman tanam ubi kayu (tahun) <5 6-10 11-15 > 16 Pola tanam Terus menerus Digilir Waktu tanam Musim hujan Musim Tidak tentu Varietas yang ditanam Roti Manggu Jimbul Sumber stek Kebun sendiri Petani lain
Frekuensi
%
21 32 7 1
35.0 53.3 11.7 1.7
8 52
13.3 86.7
2 4 3 51
3.3 6.7 5.0 85.0
4 56
6.7 93.3
0 0 60
0 0 100.0
48 9 3
80.0 15.0 5.0
60 0
100.0 0
Rata- rata petani ubi kayu telah berpengalaman lama dalam menanam ubi kayu yaitu di atas 16 tahun 85% (Tabel 3.2). Bahkan ada petani yang sudah 40 tahun bertanam ubi kayu. Jadi dapat dikatakan bahwa di desa terpilih para petani memang dari dahulu sudah menanam ubi kayu. Menurut Hadisapoetro (1992) pengalaman berusahatani berhubungan erat dengan sikap dan keputusan yang terjadi pada diri petani. Semakin banyak pengalaman yang dialami oleh petani
26
semakin tinggi tingkat pemahaman petani tentang usahataninya. Sehingga semakin baik keputusan yang diambil oleh petani dalam berusaha tani. Teknik budidaya ubi kayu umumnya dengan pola tanam bergiliran dengan tanaman lain seperti sayuran dan pepaya (93.33%). Rata-rata alasan yang diberikan dengan adanya pergiliran tanaman adalah untuk pemeliharaan tanah supaya tetap subur untuk ditanami. Pola tanam ini sangat dianjurkan karena sistem ini mengarah pada sistem pertanian yang berkelanjutan karena dapat memotong siklus hidup hama, memperbaiki fisik dan kimia tanah dan keterkaitan dengan modal atau biaya produksi untuk komoditas yang digilirkan (Wargiono et al. 2009). Semua petani responden mengatakan bahwa mereka memulai penanaman ubi kayu tidak tergantung musim dan mereka menanam kapan saja saat lahan ubi kayu sudah tidak di tanami. Sistem tanam ini mungkin sesuai jika penanaman ubi kayu dilakukan secara terus menerus di lahan yang marginal yang tidak dapat di tanami dengan tanaman lainnya. Namun untuk lahan yang relatif subur dan dapat ditanam dengan komoditas pertanian lainnya, penanaman ubi kayu biasanya dilakukan pada saat keadaan musim kemarau yang panjang karena sifat ubi kayu yang tahan kekeringan. Pada umunya petani responden (90%) menanam ubi kayu jenis pahit (varietas Roti). Alasan penggunaan varietas Roti karena varietas ini tumbuh lebih baik dan produksinya relatif tinggi. Varietas lainnya yang ditanam adalah Manggu (15% ) dan Jimbul (5%). Semua petani responden (100 %) menggunakan stek bibit tanaman ubi kayu yang berasal dari kebun mereka sendiri. Penggunaan bibit ubi kayu dari hasil perbanyakan sendiri tidak menjadi masalah karena sistem perbanyakan vegetatif menghasilkan individu yang sama dengan induknya (Sundari 2009). Penanam bibit yang sama secara terus-menerus akan menjadi permasalahan bagi hama dan penyakit yang ada di pertanaman. Dalam peneltian CIAT (1993), dikatakan bahwa rotasi tanaman ubi kayu dengan tanaman lain dapat mengurangi penyakit hawar cassava bacterial blight dan mencegah penurunan hasil ubi kayu 14-37%. Cara budidaya ubi kayu oleh petani adalah dengan cara mengolah tanah, dan jarak tanam yang digunakan 1m x 1m. Umumnya (96.7%) petani menggunakan pupuk kandang kotoran kambing, dan sisanya (3.3%) menggunakan kotoran ayam (Tabel 3.3). Lebih banyaknya petani yang menggunakan kotoran kambing sebagai pupuk kandang, karena banyak petani yang memelihara kambing di pekarangan rumahnya. Rata-rata pupuk kandang yang diberikan dengan pemakaian 1 kali saat tanaman berumur 15-30 hari setelah tanam (79.31% responden) dengan dosis pupuk kandang yang digunakan 11-15 ton/ha (53.45% responden) dan hanya 13.79% yang memberi pupuk kandang di atas 15 ton/ha. Pemakaian pupuk kandang ini cukup baik dan sesuai dengan pemakaian yang dianjurkan yaitu 5-10 ton/ha (Wargiono et al. 2009). Di samping pupuk kandang, petani juga memberi pupuk urea untuk tanaman ubi kayu, yang diberikan rata-rata sebanyak dua kali dengan frekuensi jawaban 65% petani, yang diberikan pada saat tanaman berumur 3 bulan dan 7 bulan. Dosis pupuk urea yang digunakan umunya 200-500 kg/hektar (80% responden) dan hanya 6.67% yang menggunakan pupuk urea di atas 500 kg/ha. Pemakaian urea pada tanaman ubi kayu petani di desa ini cukup tinggi, namun tidak diikuti oleh pemakaian pupuk lain seperti Posphat dan KCl. Karena lahan
27
yang digunakan petani untuk tanaman ubi kayu sering dirotasi dengan tanaman sayuran dan pepaya yang dipupuk dengan pupuk lengkap, sehingga pertanaman ubi kayu di daerah ini cukup baik perkembangannya. Petani umumnya hanya menggunakan kedua pupuk ini (kandang dan urea) dalam budi daya ubi kayu karena keterbatasan biaya dan pengetahuan mereka dalam budidaya tanaman ubi kayu yang baik. Untuk ubi kayu pemupukan berimbang yang dianjurkan adalah pupuk kandang, urea, P, dan KCl sesuai dengan keadaan tanah. Kisaran pemupukan berimbang pada tanaman ubi kayu adalah 150-200 kg urea, 100 kg SP36 dan 100-150 kg KCl per ha (Tonglum et al. 2001). Tabel 3.3. Karakteristik perawatan tanaman ubi kayu di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor Karakteristik Pemakaian pupuk kandang Ya Tidak Jenis pupuk kandang Kotoran ayam Kotoran kambing Dosis pupuk kandang (ton/ha) <5 5-10 11-15 > 15 Waktu pemberian PK (hst) < 15 15-30 > 30 Dosis pupuk urea (kg/ha) < 200 200-500 > 500 Penggunaan Urea (kali) 1 2 Penyiangan gulma (kali) 1 2 3
Frekuensi
%
58 2
96.7 3.3
4 56
6.7 93.3
4 16 32 8
6.9 25.9 53.4 13.8
4 48 8
6.7 80.0 13.3
8 48 4
13.3 80.0 6.7
21 39
35.0 65.0
17 41 2
28.3 68.3 3.3
Untuk pemeliharaan tanaman, semua petani melakukan penyiangan gulma secara manual dengan menggunakan arit. Penyiangan gulma dilakukan petani responden pada umumnya sebanyak dua kali (68.33%), pada saat tanaman berumur sekitar 4 bulan dan 8 bulan. Jika dilakukan satu kali, penyiangan gulma dilakukan pada umur tanaman 6 bulan, sedangkan untuk tiga kali penyiangan gulma dilakukan saat tanaman berumur 2, 5 dan 8 bulan. Kegiatan penyiangan gulma secara manual yang dilakukan oleh petani telah sesuai dengan kaidah PHT
28
dan dapat meningkatkan umbi ubi kayu yang dihasilkan. Menurut Pane (2009), penyiangan gulma pada 1, 2, 3, 6 dan 9 bulan dapat meningkatkan hasil ubi kayu, baik pada tanaman yang ditanam pada musim hujan maupun musim kemarau. Pemanenan Ubi Kayu dan Penjualan Hasil Panen Petani yang diwawancarai umumnya (92%) memanen ubi kayu pada umur 10-13 bulan, dan hanya 8 % petani yang memanen ubi kayu pada umur 8-9 bulan (Tabel 3.4). Petani memanen ubi kayu biasanya disesuaikan dengan kebutuhan dana atau saat datangnya hari-hari besar agama seperti maulid nabi, isra mikraj dan sebelum puasa. Pemanenan dilakukan pada musim panas atau kemarau karena hasil ubi kayu dijual pada pengusaha pengolah ubi kayu menjadi serutan ubi kayu, untuk pengolahan ini diperlukan panas matahari untuk menjemur hasil serutan dari ubi kayu. Hasil panen ubi kayu, setelah dikupas kulitnya, dijual secara borongan kepada pengusaha penggilingan. Pengusaha kemudian menjual hasil serutan ubi kayu yang telah kering kepada pabrik pembuat tepung ubi kayu. Petani baru akan menerima hasil penjualan dari ubi kayu jika hasil serutannya kering dan telah dijual ke pabrik penepungan. Kriteria utama umur panen ubi kayu adalah kadar pati optimum, yaitu pada saat tanaman berumur 7-9 bulan. Bobot umbi meningkat dengan bertambahnya umur tanaman, sedangkan kadar pati biasanya lebih stabil, sehingga dapat dikatakan bahwa umur panen ubi kayu fleksibel, tanaman dapat dipanen umur 7 bulan atau lebih dari 12 bulan tergantung varietas ubi kayu yang ditanam (Wargiono et al. 2009). Tabel 3.4. Karakteristik pemanenan dan penjualan hasil panen ubikayu di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor Uraian Umur panen (bulan) 8-9 10-11 12-13 Biaya per batang (Rp) < 1000 1000-1500 1600-2000 > 2000 Hasil panen per batang (kg) x≤1 1<x≤2 2<x≤3 x3 Penjualan hasil panen Pengumpul/pabrik aci Pasar Cara penjualan Borongan sebelum panen Borongan setelah panen dan dikupas
Frekuensi
%
5 11 44
8.3 18.3 73.3
3 37 18 2
5.0 61.7 30.0 3.3
0 52 8 0
0 86.7 13.3 0
60 0
100.0 0
0 60
0 100.0
29
Taksiran keuntungan yang diperoleh petani dalam survei ini didasarkan pada perhitungan sederhana, yaitu rataan biaya penanaman ubi kayu per batang dan hasil panen per batang. Petani ubi kayu yang diwawancarai umumnya (62%) mengeluarkan biaya antara Rp. 1000 sd Rp 1500 per batang, yaitu di antaranya untuk pengolahan tanah, pembelian pupuk kandang, pembelian urea dan pemanenan. Dalam 1 ha terdapat 10.000 tanaman ubi kayu, sehingga total biaya yang dikeluarkan petani berkisar Rp. 10-15 juta. Biasanya tenaga kerja dari petani tidak diperhitungkan. Dari modal yang dikeluarkan tersebut, hasil panen yang diperoleh umumnya (86.67%) sekitar 1-2 kg per batang. Untuk budidaya seperti yang dilakukan petani di desa ini hasil ubi kayu cukup bagus, karena hasil penelitian menunjukkan produksi yang dapat dihasilkan rata-rata adalah 1.7 kg/batang untuk tanah kurang subur (Tonglum et al. 2001). Harga saat panen sangat menentukan keuntungan yang diperoleh petani. Harga ubi kayu ditingkat petani bervariasi dari musim ke musim. Pada dua tahun terakhir harga ubi kayu di tingkat petani berkisar antara Rp. 1100 – 1600 per kg ubi kayu yang telah di kupas. Dengan harga itu, petani memperoleh penghasilan Rp. 18,7-27,2 juta. Sehingga terjadi perbedaan keuntungan antara petani dalam berusahatani ubi kayu, yaitu tergantung pada harga ubi kayu saat tanaman dipanen. Salah satu penyebab kecilnya keuntungan adalah berkurangnya produksi yang diikuti dengan rendahnya harga pada saat panen.
Persepsi Petani Tentang Hama Kutu Putih Ketika kepada petani diminta untuk menyebutkan hama utama pada ubi kayu yang dijumpai di lapangan, sebanyak 86.7% menyebutkan kutu putih P. manihoti merupakan hama yang paling penting (Tabel 3.5). Sementara ada 13.3% petani yang menyebutkan uret sebagai hama paling penting pada ubi kayu. Menurut Kalshoven (1981) jenis uret yang banyak menimbulkan kerusakan berat pada ubi kayu adalah Leucopholis rorida F. (Coleoptera: Scarabaeidae). Selama ini hama utama yang merusak di pertanaman ubi kayu adalah tungau merah (Tetranychus bimaculatus) (Indiati 1999). Namun demikian, selama wawancara tidak seorang pun petani yang melaporkan tungau sebagai hama paling penting pada ubi kayu. Mereka menempatkan tungau sebagai hama pada peringkat ke-3 setelah kutu putih dan uret. Uret dianggap lebih penting daripada tungau oleh petani mungkin karena hama yang disebut pertama ini dapat menimbulkan kerusakan langsung pada umbi, sedangkan tungau menyerang daun. Salah satu musuh alami yang sering di temukan di pertanaman ubi kayu adalah predator Plesiochrysa ramburi (Neuroptera: Chrysopidae). Predator ini bersifat polifag yang dapat memangsa kutu putih maupun tungau merah di pertanaman ubi kayu. Ketika kepada petani diperlihatkan specimen imago Chrysopidae, seluruhnya mengatakan bahwa mereka belum pernah melihat serangga tersebut di pertanaman ubi kayu. Hal ini mengisyaratkan perlunya dilakukan penyuluhan kepada petani, termasuk pengenalan musuh alami.
30
Tabel 3.5. Persepsi petani ubi kayu terhadap hama kutu putih di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor Karateristik Hama utama Kutu putih Uret Tungau Melihat Chrysopidae Ya Tidak Tahun pertama kali kutu putih menyerang ubi kayu 2007 2008 2009 2010 Ditemukan pada tanaman lain Ya Tidak Tingkat serangan Ringan Sedang Berat Kehilangan hasil 0 ≤ x 20% 20 ≤ x 40% 40 ≤ x 60% 60 ≤ x 80% 80 ≤ x > 100%
Frekuensi
%
52 8 0
86.7 13.3 0
0 60
0 100.0
49 5 4 2
81.7 8.3 6.7 3.3
60 0
100.0 0
6 51 3
10.0 85.0 5.0
6 23 28 2 1
10.0 38.3 46.7 3.3 1.7
Hama kutu putih P. manihoti adalah hama baru di Indonesia. Ketika ditanyakan kepada para responden kapan hama ini mulai menimbulkan masalah, sebanyak 81.7% menjawab bahwa hama ini mulai menimbulkan masalah sejak tahun 2007 (Tabel 3.5). Sebagian kecil (8.3%) menyebutkan bahwa hama kutu putih mulai ada sejak tahun 2008, dan sebagian kecil lainnya (6.7%) menjawabnya sejak 2009, dan paling sedikit (3.3%) yang menyebutkan sejak tahun 2010. Menurut Rauf (2011) dan Muniappan et al. (2011) hama P. manihoti pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 2010. Petani yang menjawab bahwa hama ini sudah ada sejak tahun 2007 mungkin merujuk pada kutu putih papaya, Paracoccus marginatus, yang juga dapat menyerang singkong. Ukuran dan bentuk dari kedua kutu putih ini hampir sama dan sulit dibedakan oleh awam. Hal ini sejalan dengan anggapan seluruh petani reponden bahwa kutu putih yang menyerang singkong juga menyerang tanaman lainnya. Mereka menganggap bahwa kutu putih yang ada pada tanaman ubi kayu merupakan kutu putih yang berpindah dari tanaman pepaya. Hasil pemeriksaan di laboratorium menunjukkan bahwa kutu putih pada tanaman pepaya adalah P. marginatus, berwarna putih dan mempunyai stadia bersayap (jantan). Sebaliknya pada tanaman ubi kayu yang menyebabkan daun mengkerut dan mengerdil (bunchy top) adalah kutu putih P.
31
manihoti, yang berwarna merah jambu (pink), tanpa stadia bersayap (semua individu adalah betina) dan tidak menyerang tanaman pepaya. Dari segi tingkat serangan, sebanyak 85% responden mengatakan bahwa tingkat serangan kutu putih pada tanaman ubi kayu tergolong sedang, dan 5% mengatakan tergolong berat, dan 10% lainnya menjawab tergolong ringan. Berdasarkan perkiraan kehilangan hasil, sebanyak 38% petani menyebutkan terjadi penurunan hasil sebesar 20-40% akibat serangan hama kutu putih. Bahkan 47% reponden mengatakan bahwa kehilangan hasil akibat serangan kutu putih berkisar 40-50% dibandingkan sebelum ada serangan kutu putih. Keragaman pengaruh serangan terhadap kehilangan hasil dipengaruhi oleh saat serangan terjadi. Jika serangan terjadi pada pada saat tanaman ubi kayu masih berumur muda, maka dapat mengakibatkan penurunan hasil yang tinggi dibandingkan kalau serangan terjadi pada umur yang telah lanjut (lihat Bab IV). Tingkat serangan kutu putih juga tergantung pada musim. Berdasarkan pengalamannya petani menyebutkan bahwa serangan berat biasanya terjadi pada musim kemarau yang kering. Di Afrika, yang iklimnya kering, serangan kutu putih pada ubi kayu dapat menyebakan kehilangan hasil hingga 90% (Schultess 1987; Herren dan Neuenschwander 1991). Walaupun serangan kutu putih menyebabkan kehilangan hasil yang signifikan, umumnya petani tidak melakukan tindakan pengendalian yang terencana. Alasan utama petani adalah karena ketidaktahuan, ketiadaan dana, dan persepsi petani bahwa serangan kutu putih akan berhenti jika musim hujan tiba. Dari pengamatan lapangan, ada sebagian kecil petani yang melakukan pengendalian dengan cara memotong bagian pucuk tanaman yang terserang kutu putih. Kiranya perlu disusun strategi pengelolaan hama kutu putih yang didasarkan pada pemahaman aspek sosial ekonomi petani ubi kayu.
Simpulan Petani ubi kayu di wilayah survei umumnya berpendidikan SD, dengan luas penanaman yang sempit (<0.5 ha), dan berstatus sebagai penggarap. Walaupun mereka sudah lama bertanam ubi kayu (>16 tahun), tetapi tidak tergabung dalam kelompok tani, dan umumnya tidak ada kontak dengan petugas penyuluh pertanian. Varietas ubi kayu yang banyak ditanam adalah Roti dan Manggu. Budidaya yang baik seperti pemupukan dengan pupuk kandang dan urea serta penyiangan gulma telah dilakukan oleh petani. Hama utama yang dirasakan petani banyak menimbulkan kerugian adalah kutu putih P. manihoti, dengan penurunan hasil panen sekitar 50%. Walaupun demikian, tidak ada upaya pengendalian yang terencana yang dilakukan oleh petani untuk mengatasi serangan hama baru ini. Kiranya perlu dirancang pelatihan kepada petani tentang pengelolaan hama kutu putih di pertanaman ubi kayu, dengan mempertimbangkan latar belakang sosial ekonomi petani.
32
Daftar Pustaka Apriyana N. 2011. Kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian dalam rangka mempertahankan ketahanan pangan nasional. Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 17 hal. CIAT. 1993. Cassava program annual report. Working document No. 146. p: 142-143. Hadisapoetro S. 1992. Usaha pembinaan usahatani lahan sempit. Departemen Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. UGM. Jogjakarta. Herren HR, Neuenschwander P. 1991. Biological control of cassava pest in Africa. Ann Rev Entomol. 36: 257-283. Indiati. 1999. Status tungau merah pada tanaman ubi kayu. Dalam: Pemberdayaan Tepung Ubi Kayu sebagai Substitusi Terigu, dan Potensi Kacang-kacangan untuk Pengayaan Kualitas Pangan. Rahmianna (eds). Edisi khusus Balitkabi 15: 122-126. James B, Yaninek J, Neuenschwander P, Cudjoe A, Modder A, Echendu N, Toko M. 2000. Pest Control in Cassava Farms. International Institute of Tropical Agriculture. 36p. Kalshoven LGE. 1981. The pests of crops in Indonesia. Revised and translated by van der laan. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. 710p. Mamahit JME. 2009. Kelimpahan populasi, biologi dan pengendalian kutu putih nanas Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae) di Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Mulyandari RSH. 2011. Perilaku petani sayuran dalam memanfaatkan teknologi informasi.Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian. J Perpus Pert. 20(1). Muniappan R, Shepard BM, Watson W, Carner GR, Rauf A, Sartiami D, Hidayat P, Afun JVK, Goergen G, Ziaur Rahman AKM. 2011. New Records of Invasive Insects (Hemiptera:Sternorrhyncha) in Southeast Asia and West Africa. J Agric Urban Entomol. 26(4):167-174. Pane H, Santoso B, Kartika. 2009. Pengendalian gulma pada ubi kayu. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. Pasaribu SM, Sayaka B, Hestina J. 2009. Kelayakan usahatani skala keluarga petani. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. Pelebangan S, Hamzah F, Dahlan, Kaharuddin. 2006. Persepsi petani terhadap pemanfaatan bokasi jerami pada tanaman ubi jalar dalam penerapan sistem pertanian organik. J Agrisistem. 12(1): 46-53. Rauf A. 1996. Analisis ekosistem dalam pengendalian hama terpadu. Dalam: Pelatihan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Padi dan Palawija Tingkat Nasional. Jatisari: 2-19 Jan 1996. Rauf A. 1999. Persepsi dan tindakan petani terhadap lalat penggorok daun Liriomyza huidobrensis (Blanchard) (Diptera: Agromyzidae). Buletin HPT. 11(1): 1-13. Rauf A. 2011. Invasive pests. IPM CRSP Annual Report 2010-2011.
33
Schultess F. 1987. The interactions between casava mealybug (Phenacoccus manihoti Mat-Ferr) populations as influenced by weather. Phd thesis. Swiss Federal Institute of Technology, Zurich. Soekartawi. 1998. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta: UI Press. Suharno, Djasmin, Rubiyo, Dasiran. 1999. Budi Daya Ubi Kayu. Kendari: Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian. Sundari T. 2009. Pemuliaan tanaman ubi kayu. Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. Sundari T. 2010. Petunjuk Teknis Pengenalan Varietas Unggul dan Teknik Budi daya Ubi kayu. Balai Penelitian Kacang Kacangan dan Umbi Umbian, Malang. 16 h. Suyamto, Wargiono J. 2009. Kebijakan Pengembangan Agribisnis Ubi Kayu dalam Ubi kayu Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. Tonglum A, Suriyanapan P, Howeler RH. 2001. Cassava agronomy research and adoption of improved practices in Thailand – Major achievement during the past 35 years. Cassava’s Potential in Asia in the 21st Century: Present Situation and Future Research and Development Needs. Proc. of the Sixth Regional Workshop held in Ho Chi Minch City, Vietnam: 228–258. Untung K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 271 hlm. Wargiono J, Kartika, Solihin. 2009. Areal pertanaman dan sistem produksi dalam Ubi kayu Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h.
34
BAB IV DINAMIKA SERANGAN Phenacoccus manihoti MATILEFERRERO (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE) PADA PERTANAMAN UBI KAYU DI BOGOR Abstrak Serangan berat P. manihoti menyebabkan gejala bunchy top, buku pendek dan bengkok, daun gugur, dan pertumbuhan tanaman terhambat. Gejala bunchy top mulai terlihat sejak tanaman berumur 8 mst dan meningkat dengan cepat mulai 16 mst, bersamaan dengan datangnya musim kemarau (Mei-Juni). Perkembangan tingkat serangan lebih cepat terjadi pada varietas Jimbul, pada 18 mst seluruh tanaman telah meperlihatkan gejala bunchy top. Sementara pada varietas Roti dan Manggu, 100% gejala bunchy top berturut-turut terjadi pada 30 dan 36 mst. Terdapat pola hubungan antara saat awal terjadi serangan dengan tinggi tanaman dan bobot umbi yang dihasilkan. Tanaman ubi kayu yang terserang sejak muda berukuran lebih pendek dan menghasilkan bobot umbi yang lebih rendah, dibandingkan bila serangan terjadi setelah tanaman berumur lebih lanjut. Lebih rendahnya hasil panen pada varietas Jimbul (0.94 kg / pohon) daripada varietas Manggu (3,16 kg / pohon), diduga karena pada varietas yang disebut pertama serangan kutu putih terjadi lebih awal dan lebih berat. Musuh alami yang paling banyak dijumpai di pertanaman ubi kayu yang terserang kutu putih adalah predator P. ramburi. Predator ini biasanya meningkat populasinya di akhir musim kemarau, pada saat populasi kutu putih sudah mencapai puncaknya dan tanaman ubi kayu sudah terserang berat. Kelimpahan P. ramburi lebih tinggi pada varietas Jimbul yang memiliki tingkat serangan kutu putih yang lebih berat. Banyaknya predator yang ditemukan mencapai 100 butir telur, 80 ekor larva, dan 70 ekor pupa per pohon yang terjadi pada 24 mst. Kata kunci : Ubi kayu, kutu putih, tingkat serangan, Phenacoccus manihoti. Abstract Heavy damage by the cassava mealybug, Phenacoccua manihoti MatileFerrero (Hempiptera: Pseudococcidae) caused symptoms of bunchy top, shortened and distorted nodes, leaf drops, and inhibition of plant growth. Field observations indicated that symptoms of bunchy top appeared as early as 8 weeks after planting (wap) and rose quickly started 16 wap, at the same time with the advent of the dry season (May-June). Level of infestation developed faster on variety Jimbul; at 18 wap all plants had bunchy tops. While on varieties Roti and Manggu, 100% infestation occurred at 30 and 36 wap, respectively. There was a correlation between early infetation with plant height ang yield. Cassava plants infested during early stage were shorter and the yield lower, compared to those infested at further stages. Lower yields of variety Jimbul (0.94 kg/tree) than variety Manggu (3.16 kg/plant), was thought to be related to heavy infestation which occurred during early stage. The most abundant natural enemies in cassava fields infested
35
by P. manihoti was the predatory lacewing P. ramburi. Population of P. ramburi usually increased at the end of dry season, when mealybug population had already reached its peak and cassava plants were severely damaged. Abundance of P. ramburi were higher on variety Jimbul coincided with higher mealybug infestation. Predator density on this plants reached 100 eggs, 80 larvae, and 70 pupae per plant at 24 wap. Key words: Cassava, mealybug, level of infestation, Phenacoccus manihoti.
Pendahuluan Kutu tanaman dari famili Pseudococcidae sering disebut dengan mealybug atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama kutu putih. Kerusakan tanaman oleh hama ini karena hisapan stilet pada daun dapat menyebabkan daun berkerut, beberapa jenis dapat berperan sebagai vektor virus tanaman atau menimbulkan klorosis karena adanya saliva (air liur) yang bersifat toksik (Williams dan Willink 1992; Ben-Dov dan Hodgson 1997). Kutu tanaman sering menginvasi daerah-daerah yang sebelumnya belum terinfestasi melalui pengiriman bahan tanaman dari suatu daerah ke daerah lain. Ledakan populasi sering terjadi apabila terbawanya kutu tidak disertai dengan musuh alaminya atau tidak terdapat musuh alaminya di daerah baru. Populasi kutu akan tetap stabil pada daerah baru karena adanya kontrol dari musuh alami baik predator maupun parasitoid (Williams dan Willink 1992). Peranan penting dari musuh alami kutu putih ini telah banyak dilaporkan di benua Amerika dan Afrika (van Driesche et al. 1990; CIAT 1990; Neuenschwander 2004). Salah satu hama kutu putih yang menyerang tanaman ubi kayu di Indonesia adalah P. manihoti. Kutu putih P. manihoti berasal dari Amerika Selatan dan masuk ke Afrika pada tahun 1980- an. Hama ini pertama kali memasuki kawasan Asia Tenggara yaitu di Thailand pada tahun 2009, yang menyebabkan serangan berat, kemungkinan telah menyebar ke Laos dan Kamboja. Di Indonesia pertama kali ditemukan di daerah Jawa Barat pada akhir tahun 2010 (Muniappan et al. 2011; Rauf 2011). P. manihoti dewasa berbentuk oval, berwarna merah jambu (pink) yang ditutupi oleh tepung putih berlilin, ukuran tubuh lebih kurang panjang (1.10–2.6 mm) dan lebar (0.50–1.40 mm) (Matile-Ferrero 1978). Sering dijumpai pada pucuk tanaman yang mengakibatkan pucuk menjadi berkerut dan mengerdil bunchy tops. Serangan lebih berat terjadi pada musim kering dibandingkan dari musim basah (James et al. 2000). Di Kolumbia P. manihoti dan P. hereni dapat menyebabkan penurunan produksi 68-88% dan di Afrika dapat menyebabkan kehilangan hasil mencapai 80% (Schultess 1987; Herren dan Neuenschwander 1991) . Telah diketahui bahwa di Asia, Indonesia merupakan salah satu produsen ubi kayu terbesar setelah Thailand (Heriyanto et al. 2009). Disamping itu di dalam negeri ubi kayu banyak digunakan sebagai bahan baku industri pangan dan non pangan. Pada saat ini selain untuk pangan dan pakan, ubi kayu dapat dikembangkan sebagai sumber energi alternatif (biofuel). Dengan memanfaatkan bioetanol sebagai campuran premium (Premium mix E 10) untuk transportasi.
36
Bioetanol bersumber dari tanaman berpati dan bergula potensial seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu dan tebu. Biaya produksi untuk tiap liter ethanol dari ubi kayu lebih murah dibandingkan dengan bahan baku lainnya sehingga pengembangan industri berbasis ubi kayu cukup prospektif (Rozi dan Heriyanto 2009). Meskipun di Indonesia tingkat kerusakan dan serangan berat belum pernah dilaporkan, namun hama ini berpotensi menyebabkan kehilangan hasil ubi kayu jika tidak dilakukan pengendalian. Untuk itu kajian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan serangan P. manihoti, kehilangan hasil ubi kayu akibat hama ini, dan perkembangan musuh alami dominan P. ramburi. Metode Penelitian Penelitian dilakukan pada lahan milik petani di Desa Ngampar, Cikeas dan Sukaraja, Kecamatan Sukaraja. Penelitian berlangsung mulai bulan Februari 2012 sampai Februari 2013. Untuk mengetahui tingkat serangan diambil sampel berupa 10 petak pertanaman ubi kayu diambil secara purposive sampling di setiap Desa (Ngampar, Cikeas, dan Sukaraja). Dari setiap petak pertanaman ubi kayu diamati 20 tanaman contoh, dengan teknik pengambilan contoh secara diagonal. Kemudian diamati tanaman yang terserang P. manihoti, dan yang tidak terserang. Pengamatan tingkat serangan dilakukan di kebun petani ubi kayu di Desa Ngampar yang telah terserang oleh hama P. manihoti. Luas kebun petani yang dijadikan petak pengamatan berkisar antara 1000–2000 m2. Pengamatan dilakukan pada tiga jenis varietas ubi kayu lokal yaitu varietas Roti, Manggu dan Jimbul. Populasi masing-masing varietas ubi kayu yang dijadikan contoh terpilih adalah varietas Roti total populasi 1504 tanaman, varietas Manggu 472 tanaman, dan varietas Jimbul 629 tanaman. Teknik budi daya yang diterapkan sesuai dengan yang dilakukan oleh petani yaitu budi daya monokultur dengan jarak tanam 1 m x 1 m, pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk kandang dan pupuk urea. Pertanaman yang diamati tidak diaplikasi dengan pestisida. Pengamatan untuk mengetahui perkembangan serangan P. manihoti pada tanaman ubi kayu (musim hujan dan musim kemarau) dilakukan pada semua populasi tanaman dengan interval pengamatan setiap dua minggu. Pengaruh awal serangan kutu putih terhadap produksi dan pengamatan musuh alami dilakukan pada 40 tanaman contoh untuk setiap varietas yang diamati, dengan interval pengamatan sekali dalam dua minggu. Pengamatan terhadap musuh alami dilakukan dengan menghitung jumlah telur, larva dan pupa predator P. ramburi yang ditemukan pada masing-masing tanaman contoh. Hasil pengamatan ditabulasi dan dibandingkan kecenderungannya antara tiga varietas yang diamati.
37
Hasil dan Pembahasan Survei Tingkat Serangan P. manihoti Tingkat serangan P. manihoti pada tiga lokasi di Kecamatan Sukaraja sangat tinggi. Tingkat serangan tertinggi terjadi di Desa Sukaraja, yaitu 99.5% dan Desa Ngampar (99.4%), tingkat serangan terendah pada Desa Cikeas (73.5%). Walaupun berbeda, namun tingkat serangan di kecamatan ini relatif sama dengan rata-rata serangan hampir mencapai seratus persen. Perbedaan tingkat serangan P. manihoti dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Seperti pada umumnya serangga hama, dinamika populasi kutu putih dipengaruhi oleh faktor biotik maupun abiotik yang akan membentuk sifat-sifat populasi hama, seperti kepadatan, laju kalahiran, laju kematian, pola sebaran, potensi biotik, dan perilaku (Tarumingkeng 1994). Salah satu faktor abiotik yang mempengaruhi populasi kutu putih adalah keadaan lingkungan seperti iklim terutama curah hujan, suhu dan kelembaban. Populasi kutu putih sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim sehingga kelimpahan populasi lebih tinggi di daerah kering dibandingkan dengan daerah dengan curah hujan yang tinggi (basah) (James et al. 2000; Herrera et al. 1989 ). Keadaan suhu yang lebih panas dengan kelembaban rendah, merupakan tempat yang lebih sesuai untuk perkembangan dari P. manihoti. Tingginya tingkat serangan dari kutu putih ini terlihat dengan adanya gejala banchy top dan distorsi batang. Perkembangan Serangan P. manihoti Pengamatan perkembangan serangan kutu putih dimulai pada saat tanaman berumur 6 minggu setelah tanam (mst) sampai tanaman dipanen. Di lapangan semua varietas terlihat menunjukkan gejala terserang, namun berbeda pada berat dan ringannya gejala serangan (Gambar 4.1). Kondisi ini menunjukkan bahwa terjadi perbedaan ketahanan pada ketiga varietas ubi kayu yang diamati, seperti juga hasil kajian ketahanan 4 varietas ubi kayu di Thailand, antara varietas Kasetsart 50, Huaybong 60, Rayong 9 and Rayong 72, semua varietas terserang oleh P. manihoti, perbedaan terjadi pada tingkat serangan hama (Soysouvanh dan Siri 2013). Perkembangan kutu putih P. manihoti, sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, terutama curah hujan. Gambar 4.2 menyajikan curah hujan yang berlangsung selama penelitian. Serangan meningkat cepat mulai bulan Juni, atau setelah tanaman berimur 15 mst, dan mencapai puncaknya pada bulan September/Oktober. Keadaan suhu yang relatif panas dan curah hujan yang rendah selama periode itu menyebabkan populasi kutu berkembang lebih cepat khususnya pada Pseudococcidae (Boavida dan Neuenschwander 1995; Walton et al. 2004).
38
% tanaman dengan gejala bunchy top
100
80
60
40
Roti Jimbul Manggu
20
0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Umur tanaman (mst)
Gambar 4.1. Perkembangan serangan P. manihoti pada tiga varietas ubi kayu
700
600
Curah hujan (mm)
500
400
300
200
100
0
i i t il uar ruar Mare Apr Jan Feb
i i Me Jun
i Jul ustus mber tober mber mber Ok Nove Dese Ag epte S
Bulan
Gambar 4.2. Curah hujan di sekitar lokasi penelitian (BMKG 2013) Serangan kutu putih dimulai dengan gejala serangan awal, dimana pucuk tanaman ubi kayu mulai berkerut, gejala awal biasanya terjadi sekitar 7-10 hari, kemudian dengan meningkatnya populasi kutu, maka gejala serangan dengan cepat menjadi bunchy top yaitu pucuk berkerut dan mengumpul. Gejala ini berlangsung relatif lama (20-30 hari). Bila kutu mencapai populasi yang tinggi (lebih kurang dalam satu pucuk terdapat 200–1000 individu), maka pucuk tanaman akan kehilangan daun (gugur daun). Pucuk akan tetap tidak berdaun sampai turun hujan. Jika hujan turun maka akan terjadi pertunasan kembali pada
39
pucuk tanaman, akibat serangan kutu akan meninggalkan bekas batang dengan internode yang pendek atau seperti berkerut, bahkan adakalanya batang menjadi bengkok dan berkelok, gejala ini dikenal dengan distorsi pada batang (Lampiran 2). Adanya distorsi ini dapat dilihat di sepanjang batang tanaman ubi kayu dan dapat menandakan berapa kali terjadi serangan pada satu pohon ubi kayu selama masa pertumbuhannya. Tingkat serangan terendah terjadi sekitar bulan Nopember sampai Februari, pada saat ini terlihat bahwa intensitas curah hujan yang terjadi cukup tinggi yaitu 429-636 mm/bulan (BMKG 2013). Adanya hujan yang turun hampir tiap hari pada bulan-bulan ini menyebabkan kutu pada tanaman terbawa secara mekanik oleh air hujan dan mati, sehingga populasinya menjadi menurun. Dengan adanya hujan, pucuk tanaman ubi kayu yang daunnya telah gugur bertunas kembali. Mekanisme matinya kutu tanaman dengan adanya air hujan dapat dijadikan ide untuk mengendalikan kutu putih dengan menggunakan air seperti jatuhnya air hujan dengan menggunakan springkler. Prinsip yang digunakan sistem ini adalah memberi tekanan pada air dalam pipa dan memancarkan ke udara sehingga menyerupai hujan selanjutnya jatuh pada permukaan tanah atau tanaman. Untuk ubi kayu pemberian pengairan belum banyak dilakukan, namun dengan semakin tingginya nilai ekonomi ubi kayu, maka pemberian pengairan baik dengan irigasi tetes maupun springkler mungkin akan berkembang, dan pemberian irigasi dengan menggunkan springkler merupakan alternatif yang dapat digunakan. Karena selain dapat memberikan pengairan pada tanaman namun juga dapat berfungsi secara mekanis menurunkan pupolasi kutu putih. Dalam hal ini penelitian mengenai debit, tekanan air yang di perlukan untuk dapat mengurangi populasi kutu dengan irigasi springkler masih harus dilakukan. Pengairan bertujuan untuk memberikan tambahan air pada air hujan dalam waktu yang cukup dan pada waktu diperlukan tanaman. Secara umum, pengairan berguna untuk mempermudah pengelolahan tanah, mengatur suhu tanah dan iklim mikro, membersihkan atau mencuci tanah dari garam-garam yang larut atau asam-asam tinggi, membersihkan kotoran atau sampah dalam saluran air, dan menggenangi tanah untuk memberantas tanaman pengganggu dan hama penyakit (Kurnia, 2004). Ketiga varietas yang diamati merupakan varietas lokal, namun hanya varietas Manggu yang mempunyai asal usul yang jelas. Kedua varietas lain belum jelas asalnya, tapi bisa didekati ciri-cirinya dengan varietas yang sudah di lepas oleh Kementerian Pertanian. Varietas Roti lebih cenderung sama dengan Adira-4, dan Jimbul lebih mendekati pada vareiats Malang-2 (deskripsi terlampir). Varietas manggu dihasilkan oleh perkembunan ubi kayu di Lido, Cijeruk, Bogor, yang mampu menghasilkan produksi 80-120 ton/ha, dengan usia panen 11 bulan, serta kadar pati 32%. Pada ketiga varietas yang diamati, perbedaan tingkat serangan terjadi terutama disebabkan oleh perbedaan awal terjadinya serangan, dan kecepatan perkembangan serangan, sampai semua tanaman terserang 100% (Gambar 4.1). Rata-rata awal terjadinya serangan kutu putih pada varietas Roti dan Jimbul adalah pada umur 8 mst, sedangkan varietas Manggu pada umur 12 mst, tingkat serangan bertambah dengan semakin bertambahnya umur tanaman. Dari Gambar
40
4.1 dan 4.2 juga telihat bahwa puncak serangan kutu putih pada varietas Roti terjadi sekitar bulan September, varietas Jimbul pada bulan Juni sampai Juli, dan varietas Manggu pada bulan Oktober. Terlihat bahwa pada varietas Jimbul yang relatif rentan pada keadaan kering karena curah hujan yang rendah menyebabkan tanaman terserang berat. Pada varietas Roti dan Manggu pada puncak kemarau lebih bisa bertahan sehingga tanaman baru terserang seratus persen pada saat musim hujan mulai datang. Laju peningkatan serangan berbeda dari ketiga varietas. Dari Gambar 4.1 terlihat bahwa untuk varietas Roti dan Manggu laju perkembangan serangan relatif konstan, tetapi pada varietas Jimbul terjadi lonjakan peningkatan perkembangan serangan saat umur tanaman 14–16 mst. Pada varietas Roti dan Manggu, seluruh populasi tanaman terserang saat tanaman berumur lebih dari 34 mst, sedangkan pada varietas Jimbul pada umur 18-20 mst seluruh populasi tanaman sudah terserang oleh P. manihoti. Dari gejala fisik di lapangan juga terlihat bahwa varietas Jimbul memperlihatkan gejala serangan yang lebih berat dibandingkan dua varietas lainnya. Serangan berat (bunchy top) pada varietas Jimbul terjadi pada umur tanaman 18 mst, pada varietas Roti dan Manggu lebih lambat yaitu berturut-turut pada umur 28 dan 38 mst. Pada Gambar 4.1 juga tampak bahwa varietas Manggu mengalami serangan awal lebih lambat dibandingkan dengan dua varietas lainnya, yaitu terjadi pada 16 mst, dimana saat yang bersamaan kedua varietas lainnya terjadi peningkatan perkembangan serangan. Dari segi struktur fisik, ketiga varietas tanaman tidak jauh berbeda, begitu juga dengan kandungan asam sianida (HCN) pada tanaman. Hasil uji laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian, Badan Litbang Pertanian diketahui kadar HCN masing-masing varietas di bawah 50 ppm, yaitu pada Manggu (31.20 mg/kg), Jimbul (32.06 mg/kg), dan Roti (44.85 mg/kg). Senyawa asam sianida merupakan senyawa sekunder yang terdapat di dalam floem dari tanaman ubi kayu, sebagaimana diketahui bahwa floem merupakan jaringan tempat kutu putih P. manihoti menghisap cairan untuk dikonsumsi sebagai nutrisi. Senyawa asam sianida mempengaruhi perkembangan dan reproduksi dari P. manihoti, sehingga dengan perbedaan laju perkembangan dan reproduksi dari kutu ini pada masing-masing varietas ubi kayu akan mempengaruhi tingkat ketahanan suatu varietas ubi kayu terhadap P. manihoti. Pada hama ini senyawa sekunder asam sianida berperan sebagai stimulan bagi pertumbuhan dan perkembangannya (Catalayud et al. 1994; Fraenkel 1969). Varietas ubi kayu dengan kadar HCN yang lebih tinggi lebih disukai oleh P. manihoti untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Kadar HCN ubi kayu yang tinggi menyebabkan P.manihoti berkembang lebih baik sehingga menyebabkan tanaman mengalami kerusakan yang lebih berat karena adanya populasi kutu yang lebih tinggi. Berdasarkan perbedaan kandungan senyawa asam sianida dari ketiga varietas yang diamati, varietas Manggu dengan kandungan HCN yang lebih rendah terlihat lebih mampu untuk bertahan, dan varietas Jimbul dan Roti merupakan vareitas yang lebih rentan terhadap serangan P. manihoti . Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan suatu serangga baik faktor fisik maupun kimia. Faktor fisik diantaranya struktur dari tanaman inang, suhu dan kelembaban, faktor kimia diantaranya adalah kandungan nutrisi dan senyawa sekunder yang ada pada tanaman (Bernays and Chapman
41
1994). Faktor fisik, seperti struktur permukaan daun tidak berperan penting dalam pemilihan atau preferensi P. manihoti pada tanaman ubi kayu. Ada atau tidak adanya rambut pada permukaan daun tidak berhubungan dengan kesukaannya terhadap tanaman inang ubi kayu (Renard 1999 dalam Catalayud dan Le Ru 2006). Kolonisasi tanaman ubi kayu oleh P. manihoti lebih dipengaruhi oleh kandungan asam sianida yang terdapat pada daun, batang dan akar (Arihantana dan Buckle 1986; Ezeala dan Okoro 1986; Pancoro dan Hughes 1992). Serangan kutu menyebabkan kerusakan pada daun, sehingga akan mempengaruhi umbi yang dihasilkan karena reduksi permukaan daun dan bahkan habisnya daun menyebabkan berkurangnya reaksi fotosintat yang diperlukan untuk pembentukan umbi (Tonglum et al. 2001), akibatnya dapat menyebabkan kehilangan hasil ubi kayu mencapai 90% (Schultess 1987; Herren dan Neuenschwander 1991). Secara keseluruhan terlihat bahwa varietas Manggu menunjukkan daya tahan lebih baik dibandingkan dengan dua varietas lainnya sehingga menghasilkan umbi yang lebih tinggi. Varietas Jimbul yang mengalami gejala serangan paling berat menghasilkan umbi yang lebih sedikit. Beratnya kerusakan yang terjadi pada varietas Jimbul, disamping kadar HCN yang lebih tinggi, juga karena penanaman yang relatif lambat dari dua varietas yang lain. Penanaman varietas Jimbul dilakukan mendekati musim kemarau (curah hujan rendah) sehingga saat serangan berat terjadi (bulan Juni), tanaman masih berumur lebih muda. Adanya perbedaan tingkat dan pola serangan, mengakibatkan perbedaan pada hasil produksi per pohon maupun total hasil per hektar. Hasil penimbangan menunjukkan bahwa dari ketiga pertanaman ubi kayu yang telah terserang oleh kutu putih, produksi umbi varietas Manggu paling tinggi rata-rata 3.16 kg/pohon (31.6 ton/ha) dan berbeda nyata dibandingkan dengan varietas Jimbul dengan rata-rata 0.94 kg/pohon (9.4 ton/ha). Pengaruh Waktu Serangan Terhadap Tinggi Tanaman dan Bobot Umbi Rataan tinggi tanaman pada saat panen dan bobot umbi yang dihasilkan per pohon berkaitan dengan saat terjadinya serangan (Gambar 4.3). Serangan berat mengakibatkan tanaman mengalami gangguan pada pertumbuhannya. Pada ketiga varietas tanaman terlihat kecenderungan yang sama yaitu tanaman ubikayu yang terserang lebih awal menunjukkan pertumbuhan yang lebih terhambat dibandingkan dengan tanaman yang terserang pada umur yang lebih lanjut. Terhambatnya pertumbuhan menyebabkan produksi per pohon juga berbeda. Tanaman yang mendapat serangan awal hama P. manihoti saat umur 2–12 mst, umbi yang dihasilkan jauh berkurang rata-rata 1.5 kg (+ 70%) dari rata-rata produksi normal tanpa adanya hama (mencapai 5 kg/pohon). Pengurangan ini berlanjut, hingga serangan awal oleh hama terjadi pada umur tanaman 24 mst , yaitu manghasilkan rata-rata 2.9 kg/pohon (+ 42%). Pengurangan produksi umbi relatif lebih rendah bila serangan terjadi setelah tanaman berumur 24 mst dengan rata-rata 3.27 kg/pohon (+ 30%).
42
Tinggi tanaman pada saat panen (cm)
500 Roti Jimbul Manggu
400
300
200
100
0 0
10
20
30
40
50
60
Umur tanaman saat mulai terserang (mst)
A)
7
Bobot umbi (kg / batang)
6
Roti Jimbul Manggu
5 4 3 2 1 0 0
B)
10
20
30
40
50
60
Umur tanaman saat mulai terserang (mst)
Gambar 4.3. Hubungan antara waktu terjadinya serangan dengan pertumbuhan tanaman (A) dan bobot umbi (B) Bobot umbi per batang antara tanaman yang awal serangan pada umur muda berbeda nyata dengan bobot umbi jika tanaman terkena serangan pada umur yang lebih lanjut. Penurunan produksi yang tajam pada tanaman yang terserang pada awal pertumbuhan terjadi karena serangan awal terjadi pada fase kritis dari
43
tanaman ubi kayu (4-12 mst) (Wargiono et al. 2009). Pada fase, ini tanaman mengalami fase awal pertumbuhan daun dan formasi sistem perakaran, dan sebagian fotosintat yang tidak digunakan untuk pertumbuhan disimpan pada umbi. Dengan demikian, gangguan pada daun akan menyebabkan penurunan yang signifikan pada hasil fotosintat. Serangan pada awal pertumbuhan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan tanaman sehingga tanaman lebih pendek dibandingkan dengan tanaman normal. Umur 12-24 mst merupakan fase pertumbuhan batang dan daun, pada saat ini terjadi laju pertumbuhan maksimum daun dan batang, umbi terus berkembang, dan pertumbuhan vegetatif yang paling aktif terjadi selama periode ini (Wargiono et al. 2009). Serangan P. manihoti pada fase ini akan sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan produksi umbi yang dihasilkan. Terdapat hubungan antara tinggi tanaman pada saat panen dari tanaman yang terserang kutu putih dengan hasil panen (Gambar 4.4). Tanaman yang berukuran pendek akibat terserang kutu putih pada saat masih muda menghasilkan bobot umbi yang jauh lebih ringan. Sementara tanaman yang berukuran tinggi, karena serangan kutu putih terjadi belakangan, menghasilkan bobot umbi yang normal.
7 Roti Jimbul Manggu
Bobot umbi (kg / batang)
6 5 4 3 2 1 0 0
100
200
300
400
500
Tinggi tanaman pada saat panen (cm)
Gambar 4.4. Hubungan antara tinggi tanaman pada saat panen dengan bobot umbi yang dihasilkan Dengan tingginya pengurangan hasil pada tanaman ubi kayu yang terserang pada umur muda, maka untuk mengurangi kehilangan hasil akibat serangan kutu putih P. manihoti, sebaiknya waktu tanam disesuaikan pada awal musim hujan sehingga tanaman ubikayu terhindar dari serangan hama pada awal pertumbuhannya. Begitu juga dengan adanya sifat makan kutu putih P. manihoti yang utama pada ubi kayu, maka untuk memutus rantai makanan dari hama, penanaman serentak pada suatu hamparan dapat menekan perkembangan populasi.
44
Musuh Alami Selama penelitian lapangan, musuh alami yang dijumpai berasosiasi dengan koloni P. manihoti adalah beberapa serangga predator, di antaranya adalah Scymnus sp. dan Chilocorus sp. yang tergolong famili Coccinellidae, larva predator dari famili Cecidomyiidae (Diptera), dan larva Plesiochrysa ramburi (Neuroptera: Chrysopidae). Famili Coccinellidae dengan spesies yang berbeda telah banyak diteliti sebagai predator generalis pada kutu putih seperti Hyperaspis notata (Coleoptera; Coccinellidae). Di Zaire, Burundi dan Mozambiq predator ini telah diimpor dan dilepas pada pertanaman ubi kayu. Begitu juga dengan Hyperaspis raynevali di Congo, serta spesies Diomus hennesseyi di beberapa daerah di Afrika (Neuenschwander et al. 1991). Beberapa spesies Coccinellidae juga ditemukan sebagai predator P. manihoti antara lain Brumoides sp., Chilomenes sexmaculatus, Micraspis discolor, dan Nephus sp. (James et al. 2000; Neuensch-wander 1994; Guitierrez et al. 1988; Charernsom dan Suasa-ard 1994). Walaupun spesies Scymnus belum ditemukan di negara-negara lain, namun ini merupakan predator asli Indonesia yang cukup potensial sebagai pengendali hama kutu putih pada ubi kayu. Famili Cecidomyiidae merupakan ordo Diptera yang banyak dijumpai sebagai pembuat puru (gall) pada tanaman, namun sejumlah besar spesies famili Cecidomyiidae dapat juga berperan sebagai musuh alami pada hama tanaman lainnya. Larvanya berperan sebagai predator, bahkan ada yang melaporkan bahwa famili ini dapat berperan sebagai parasitoid. Mangsa umumnya dari jenis kutu-kutuan, tungau, dan juga mangsa serangga kecil lainnya seperti thrips. Salah satu spesies dari famili ini Aphidoletes aphidomyza, merupakan komponen penting dalam pengendalian biologis untuk tanaman rumah kaca dan secara luas dijual di Amerika Serikat dan Afrika Selatan. Spesies lainnya Dasineura rubiformis telah dimanfaatkan untuk mengendalikan spesies hama invasif Acacia di Australia (Darvas et al. 2000). Hasil survei memperlihatkan bahwa predator P. ramburi merupakan predator paling dominan yang ditemukan di lokasi penelitian. Selanjutnya pengamatan difokuskan pada P. ramburi. Perkembangan predator mengikuti perkembangan dari hama P. manihoti. Gambar 4.5 memperlihatkan perkembangan kelimpahan telur, larva dan pupa pada tiga varietas ubi kayu.
45
40
Kerapatan per tanaman
Roti 30
Telur Larva Pupa
20
10
0 0
10
20
30
40
50
Umur tanaman (mst)
120
Kerapatan per tanaman
100
Jimbul
80
60
Telur Larva Pupa
40
20
0 0
10
20
30
40
50
40
50
Umur tanaman (mst)
100
Manggu Kerapatan per tanaman
80
60 Telur Larva Pupa
40
20
0 0
10
20
30
Umur tanaman (mst)
Gambar 4.5. Perkembangan kelimpahan populasi predator P. ramburi pada tiga varietas ubi kayu
46
Terlihat bahwa peningkatan jumlah populasi musuh alami P. ramburi pada varietas Roti terjadi pada umur lebih dari 40 mst, ini terjadi pada bulan Oktober sampai Desember, dengan jumlah telur, larva, dan pupa pertanaman berturut-turut 34, 27 dan 26. Pada varietas Jimbul puncak populasi musuh alami terjadi pada umur 25 mst, terjadi pada bulan Juni sampai Agustus dengan jumlah rata-rata populasi telur, larva dan pupa berturut-turut adalah 87, 49, dan 33. Pada varietas Manggu yang relatif tahan populasi musuh alami P. ramburi yang ditemukan paling banyak yaitu dengan jumlah rata-rata telur, larva dan pupa pada puncak populasi mencapai 97, 64, dan 48 pada saat tanaman berumur lebih dari 40 mst, yang terjadi pada bulan Desember. Bila dihubungkan dengan puncak populasi hama terlihat bahwa pada saat yang bersamaan serangan kutu putih sudah mulai menurun di lapangan. Dapat dikatakan bahwa kedatangan predator P. ramburi atau perkembangan predator sedikit agak terlambat dibandingkan dari kedatangan dan perkembangan hama P. manihoti. Dari ketiga varietas ubi kayu yang diamati, terlihat bahwa kecenderungan ini relatif sama, yaitu peningkatan serangan kutu putih diikuti oleh peningkatan perkembangan musuh alami dan sebaliknya penurunan bahkan ketiadaan serangan diikuti juga berkurangnya musuh alami. Sesuai dengan hasil penelitian Soysouvanh dan Siri (2013) yang mengatakan bahwa pada varietas yang paling rentan terdapat populasi musuh alami yang lebih tinggi. Tingkat populasi musuh alami tertinggi ditemukan pada pertanaman yang banyak bergejala bunchy top. Seperti pada sifat musuh alami pada umumnya bahwa, keberadaan musuh alami sangat ditentukan oleh adanya inang di pertanaman (Douglas et al. 2000), terutama pada musuh alami yang bersifat spesialis. Walaupun P. ramburi bersifat generalis, namun adanya hujan akan memusnahkan inangnya yang umumnya terdapat pada daun seperti tungau, kutu daun dan jenis kutu-kutuan lainnya (Zia et al. 2008). Jumlah telur, larva dan pupa predator P. ramburi per tanaman cukup tinggi di lapangan, namun kehadirannya di pertanaman biasanya terlambat yaitu setelah populasi kutu putih mencapai puncaknya dan tanaman ubi kayu sudah rusak berat. Selain itu, predator ini memiliki musuh alami juga yang berupa parasitoid gregarious yang keluar dari pupa P. ramburi. Tingkat parasitisasi mencapai 1928% dan jumlah parasitoid per pupa berkisar 4–25 ekor. Dengan adanya keterbatasan dari predator P ramburi, untuk melakukan pengendalian secara biologi perlu untuk mencari musuh alami lain yang bisa bersinergi dalam menekan populasi kutu putih P. manihoti di lapangan.
Simpulan Serangan berat P. manihoti dapat menyebabkan gejala bunchy top, buku pendek dan bengkok, daun gugur, dan pertumbuhan tanaman terhambat. Serangan dapat terjadi sejak tanaman masih muda, dan meningkat dengan cepat selama musim kemarau dengan puncaknya terjadi pada bulan September-Oktober. Tingkat serangan kutu putih pada varietas Jimbul lebih berat dibanding pada varietas Roti dan Manggu. Sebagai akibatnya bobot umbi yang dihasilkan oleh varietas Jimbul lebih rendah. Terdapat pola hubungan antara saat awal terjadi serangan dengan bobot umbi yang dihasilkan. Tanaman ubi kayu yang terserang
47
sejak muda oleh kutu putih menghasilkan bobot umbi yang lebih rendah, dibandingkan bila serangan terjadi setelah tanaman berumur lebih lanjut. Musuh alami yang paling banyak dijumpai di pertanaman ubi kayu yang terserang kutu putih adalah predator P. ramburi. Predator ini biasanya meningkat populasinya di akhir musim kemarau, pada saat populasi kutu putih sudah mencapai puncaknya dan tanaman ubi kayu sudah terserang berat.
Daftar Pustaka Arihantana M B, Buckle KA. 1986.Effect of non-enzymic browning, starch and sugars on total cyanide determination in cassava by an enzymatic assay. J Food Sci Tech. 21: 189-197. Ben-Dov Y, Hodgson CJ. 1997. Their Biology, Natural Enemies and Control, Armoured Scale Insects, Vol 4B. Amsterdam: The nederlands. Bernay EA, Chapman RF. 1994. Host-plant selection by phytophagous insects. Chapman & Hall. 312 hal. [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor. 2013. Data temperatur dan curah hujan tahun 2012 daerah Katulampa. BMKG 6 Maret 2013. Bogor. Boavida C. and P Neuenschwander 1995, Spatial distribution of Rastrococcus invadens Williams in Mango tree, J. Appl. Ent. 14, pp. 381-391. Calatayud PA, Rahbé Y, Delobe1 B, Khuong-Huu E, Tertuliano M, Le RÜ B. 1994. Infhence of secondary compounds in the floem sap of cassava on expressionof antibiosis towards the mealybug Phenacoccus manihoti. Entomol exp appl. 72: 47-57. Catalayud PA, Le RU B. 2006. Cassava-Mealybug interactions. Paris. 112 p. Charernsom, K, Suasa-ard W. 1994. A host list of natural enemies of insect pests in Thailand. Special Publication No 6. National Biological Control Research Center Kasetsart University/National Research Council of Thailand.144 pp. (In Thai). CIAT 1990. Annual Report Cassava Program 1989, CIAT Calt. Colombia. Darvas, B., Skuhravá, M., Andersen, A., 2000, Agricultural dipteran pests of the Palaearctic Region. In: Papp, L., Darvas, B. (Eds.). Contributions to a Manual of Palaearctic Diptera with Special Reference to Flies of Economic Importance. Science Herald, Bupapest, 565-649 Douglas A L, Stephen DW, Geoff MG. 2000. Habitat management to conserve natural enemies of arthropod pests in agriculture. Annu Rev Entomol. 45: 175-201. Ezeala D O, Okoro N. 1986. Processing techniques and hydrocyanic acid content of cassava-based human foodstuffs in Nigeria. J Food Biochem. 10: 125-132. Fraenkel, G., 1969. Evaluation of our thoughts on secondary plant substances. Entomol exp appl. 12: 473-486. Guitierrez AP, Neuenschwansed P, Schulthess F, Herren HR, Baumgaertners JU, Wermelinger B, Lor B, Ellis C.K. 1988. Analysis of Biological Control of Cassava Pests in Africa. II. Cassava Mealybug Phenacoccus manihoti. J Appl Ecol. 25(3): 921-940
48
Heriyanto, Krisdiana R, Anindita R. 2009. Prospek produk olahan ubikayu di pasar internasional dalam Ubikayu Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. Herrera JC, Van Driesche RG, Bellotti AC. 1989. Temperature dependent growth rates for the cassava mealybug, Phenacoccus hereni, and two of its encyrtid parasitoids, Epidinocarsis diversicornis and Acerophagus coccois in Colombia. Entomol Exp Appl. 50: 21-27. Herren HR, Neuenschwander P. 1991. Biological control of cassava pest in Africa. Annu Rev Entomol. 36: 257-283. James B, Yaninek J, Neuenschwander P, Cudjoe A, Modder W, Echendu N, Toko M. 2000.Pest Control in Cassava Farms. International Institute of Tropical Agriculture. 36p. Kurnia U. 2004. Prospek Pengairan Pertanian Tanaman Semusim Lahan Kering. Jurnal Litbang Pertanian. 23(4):130-138. Matile-Ferrero D, 1978. Cassava mealybug in the People's Republic of Congo. In: Nwanze KF, Leuschner K, ed. Proceedings of the International Workshop on the cassava mealybug Phenacoccus manihoti Mat.-Ferr. (Pseudococcidae) held at INERA-M'vuazi, Bas-Zaire, Zaire, June 26-29, 1977. International Institute of Tropical Agriculture. Ibadania Niger, 29-46. Muniappan R, Shepard BM, Watson W, Carner GR, Rauf A, Sartiami D, Hidayat P, Afun JVK, Goergen G, Ziaur Rahman AKM. 2011. New Records of Invasive Insects (Hemiptera:Sternorrhyncha) in Southeast Asia and West Africa. J Agric Urban Entomol. 26(4):167-174. Neuenschwander P, Borowka R, Phisi G, Hammans H, Nyiranda S, Kapeye EH, Gadabu A. 1991. Biological control of the cassava mealybug Phenacoccus manihoti (Hom, Pseudococcidae) by Epidinocarsis lopezi (Hym, Ecyrtidae) in Melawi. Biocontrol Science and Technology 1: 297-310. Neuenschwander P. 1994. Control of cassava mealybugs in Africa:lessons from a biological control project. African Crops Sci J. l2(4): 369-383. Neuenschwander P. 2004. Harnessing nature in Africa: biological pest control can benefit the pocket, health and the environment. Nature. 432: 801–802. Pancoro A, Hughes MA. 1992. In-situ localization of cyanogenics-glucosidase (linamarase) gene expression in leaves of cassava (Manihot esculenta Crantz) using non-isotopicriboprobes. Plant J. 2: 821-827. Rauf A. 2011. Invasive pests. IPM CRSP Annual Report 2010-2011. Rozi F, Heriyanto. 2009. Ubikayu sebagai komoditas ekonomi dalam Ubikayu Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. Schultess F. 1987. The interactions between casava mealybug (Phenacoccus manihoti Mat-ferr) populations as influenced by weather. Phd thesis. Swiss Federal Institute of Technology, Zurich. Soysouvanh P, Siri N. 2013. Population abundance of pink mealybug, Phenacoccus manihoti on four cassava varieties. Khon Kaen Agr J. 41(1):149-153. Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan & Universitas Kristen Krida Wacana. 284 hlm.
49
Tonglum A, Suriyanapan P, Howeler RH. 2001. Cassava agronomy research and adoption of improved practices in Thailand – Major achievement during the past 35 years. Cassava’s Potential in Asia in the 21st Century: Present Situation and Future Research and Development Needs. Proc. of the Sixth Regional Workshop held in Ho Chi Minch City, Vietnam. 228–258. Van Driesche RG, Bellotti AC, Castillo JA, Herrera CJ. 1990. Estimating total losses from parasitoids for a field population of a countinously breeding insect, cassava mealybug, Phenacoccus herreni (Homoptera : Pseudococcidae) in Colombia, S.A. Florida Entomologist. 73: 133-143. Walton VM, Daane KM, Pringle KL. 2004. Monitoring Planacoccus ficus in South African vineyards with sex pheromone-baited trap. Crop Protect. 23: 1089-1096. Wargiono J, Kartika, Solihin. 2009. Areal pertanaman dan sistem produksi dalam Ubikayu Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. William DJ, Willink MCG. 1992. Mealybugs of Central and South America. Willingford: CAB International. Zia K, Hafeez F, Khan RR, Arshad M, Naeem-ullah U. 2008. Effectiveness of Chrysoperla carnea (Stephens) (Neuroptera: Chrysopidae) on the population of Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae) in different cotton genotypes. J Agric Soc Sci. 4: 112-116.
50
BAB V PARAMETER NERACA HAYATI DAN PERTUMBUHAN POPULASI KUTU PUTIH Phenacoccus manihoti MATILEFERRERO (HEMIPTERA:PSEUDOCOCCIDAE) PADA DUA VARIETAS UBI KAYU Abstrak Parameter perkembangan, reproduksi, dan pertumbuhan populasi kutu putih ubi kayu, P. manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae) pada dua varietas ubi kayu diteliti di laboratorium. Varietas ubi kayu yang diuji yaitu UJ-5 dengan kandungan sianida tinggi (>100mg) dan Adira-1 dengan kandungan sianida rendah (27.5 mg). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kehidupan P. manihoti sangat dipengaruhi oleh varietas ubi kayu. Masa inkubasi telur P. manihoti berlangsung 7.93±0.09 dan 8.33±0.11 hari, masa perkembangan nimfa 12.32±0.13 dan 15.67±0.13 hari, berturut-turut pada varietas UJ-5 dan Adira-1. Rataan keperidian adalah 386.37±5.83 pada UJ-5 dan 318.67±2.81 butir telur pada Adira-1. Laju pertambahan intrinsik (rm) adalah 0.258±0.001 pada UJ-5 dan 0.220±0.001 pada Adira-1. Rataan masa generasi (T) pada UJ-5 dan Adira-1 berturut-turut 22.795±0.050 dan 25.532±0.047 hari. Keseluruhan hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas UJ-5 lebih sesuai bagi perkembangan dan pertumbuhan populasi kutu putih ubi kayu. Kata kunci : Ubi kayu, kutu putih, P. manihoti Abstract The development, reproduction, and population growth parameters of the cassava mealybug, P. manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae) on two cassava varieties were studied in laboratory. The varieties tested were UJ-5 with high cyanide content (>100mg) dan Adira-1 with low cyanide content (27.5 mg). Our research revealed that P. manihoti performances were highly affected by cassava varieties. Incubation period of eggs of P. manihoti were 7.93±0.09 and 8.33±0.11 days, nymphal development periode 12.32±0.13 and 15.67±0.13 days, respectively on UJ-5 and Adira-1. Fecundity averaged 386.37±5.83 on UJ-5 and 318.67±2.81 eggs on Adira-1. Intrinsic rate of increase (rm) were 0.258±0.001 on UJ-5 and 0.220±0.001 on Adira-1. Mean generation time (T) on UJ-5 and Adira-1 were 22.795±0.050 and 25.532±0.047 days repectively. Our findings showed that variety UJ-5 was more suitable for development and population growth of the cassava mealybug. Key words : Cassava, mealybug, P. manihoti
51
Pendahuluan Kutu putih ubi kayu, P. manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae), merupakan hama yang paling merugikan pada pertanaman ubi kayu di banyak negara di dunia (Belloti et al. 1999). Persebaran hama ini awalnya terbatas hanya di Amerika Selatan, tetapi kemudian menyebar ke Afrika pada awal tahun 1970-an yang menimbulkan kerusakan berat dan kerugian ekonomis (Nwanze et al. 1979). Kutu P. manihoti masuk ke Asia pada tahun 2008, yaitu ketika pertama kali ditemukan di Thailand. Hama kemudian menyebar ke beberapa negara di sekitarnya seperti Kamboja, Laos, dan Vietnam (Winotai et al. 2010, Parsa et al. 2012). Di Indonesia kutu P. manihoti pertama kali ditemukan di Bogor pada pertengahan tahun 2010 (Rauf 2011). Reproduksi P. manihoti bersifat partenogenetik telitoki yaitu menghasilkan keturunan yang semuanya betina (Catalayud dan Le Ru 2006). Setiap induk menghasilkan telur sebanyak sekitar 500 butir yang terdapat dalam ovisak atau kantung telur. Ovisak tampak seperti gumpalan kapas berwarna putih pada ujung abdomen. Telur menetas menjadi nimfa instar-1, disebut crawler, yang aktif bergerak. Nimfa berganti kulit sebanyak tiga kali sebelum menjadi imago. Instar2 dan selanjutnya serta imago hidup menetap dengan cara mengisap cairan tanaman. Pada kondisi laboratorium, masa perkembangan dari sejak telur diletakkan hingga muncul imago berlangsung sekitar 21 hari (Nwanze 1978) . Serangan kutu P. manihoti umumnya terjadi pada bagian pucuk. Pada kerapatan populasi yang sangat tinggi seperti yang biasa terjadi pada musim kemarau, serangan meyebabkan pucuk mengeriting, ruas buku memendek, dan tanaman menjadi kerdil. Serangan berat dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 80% seperti yang terjadi di Afrika (Nwanze 1982). Hingga kini belum dijumpai adanya varietas yang resisten penuh terhadap P. manihoti (Soysouvanh dan Siri 2013). Sementara itu dilaporkan bahwa ketahanan varietas ubi kayu terhadap kutu putih berkaitan dengan keberadaan senyawa sekunder seperti sianida (Catalayud et al. 1994a). Berdasarkan kandungan sianida, ubi kayu dikelompokkan ke dalam golongan pahit dan tidak pahit. Ubi kayu golongan tidak pahit digunakan untuk konsumsi langsung atau bahan tapioka, sedangkan golongan pahit untuk keperluan industri tapioka dan bioetanol (Balitkabi 2005). Pada saat ini varietas UJ-5 yang kadar sianidanya tinggi banyak diusahakan di Lampung dan Jawa Timur untuk memenuhi kebutuhan pabrik bioetanol. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana kehidupan kutu P. manihoti pada varietas ubi kayu yang berbeda kadar sianidanya. Secara umum, perkembangan serangga, sintasan, keperidian, dan berbagai parameter pertumbuhan populasi dipengaruhi oleh kualitas tumbuhan inang (Awmack dan Leather 2002). Penelitian bertujuan mempelajari pengaruh varietas ubi kayu dengan kadar sianida berbeda terhadap masa perkembangan telur, nimfa, imago, dan keperidian, serta terhadap berbagai parameter pertumbuhan populasi P. manihoti. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi dasar untuk perancangan program pengelolaan hama terpadu kutu P. manihoti pada pertanaman ubi kayu.
52
Metode Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Ekologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari bulan Juli sampai Oktober 2012. Selama penelitian berlangsung rata-rata suhu harian 29.5 oC (kisaran 28.3-30.7 oC) dan kelembaban relatif 59.3% (kisaran 51-66%). Penyiapan Tumbuhan Inang Pada penelitian ini digunakan ubi kayu varietas UJ-5 dan Adira-1 yang memiliki kandungan senyawa sianida yang berbeda. Varietas UJ-5 memiliki kadar sianida yang tinggi ( > 100 mg/kg), sedangkan Adira-1 mengandung sianida yang rendah (27.5 mg/kg) (Balitkabi 2005). Kedua varietas ini diperoleh dari Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. Stek ubi kayu sepanjang kurang lebih 20 cm dimasukkan ke dalam gelas plastik (diameter 8 cm, tinggi 10 cm), melalui penutupnya yang telah dilubangi terlebih dahulu. Sebelumnya gelas diisi air keran sekitar 2/3 dari volume gelas. Stek dibiarkan tumbuh hingga muncul daun. Stek siap digunakan untuk percobaan setelah berdaun sempurna atau berumur kurang lebih satu bulan. Pada penelitian ini digunakan 100 stek ubikayu untuk setiap varietas sebagai ulangan. Masa Perkembangan Telur, Nimfa, Imago dan Keperidian Untuk menentukan lama stadia telur dilakukan prosedur sebagai berikut. Masing-masing empat ekor imago kutu putih dipelihara pada stek ubi kayu varietas UJ-5 dan Adira-1 dan dibiarkan meletakkan telur. Telur yang diletakkan pada hari yang sama, dengan bantuan kuas halus, kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri dan ditunggu sampai telur menetas. Lama waktu yang diperlukan dari sejak telur diletakkan hingga menetas dicatat, yang didasarkan pada 100 ekor nimfa instar-1 yang muncul. Pengamatan masa perkembangan nimfa, imago dan keperidian ditentukan melalui percobaan berikut ini. Seekor nimfa instar-1 kutu putih yang baru keluar dari telur diinfestasikan dengan bantuan kuas halus pada setiap stek ubi kayu. Masing-masing stek kemudian disungkup dengan kurungan plastik (tinggi 50 cm, diameter 15 cm) dengan penutup kain kasa pada bagian atasnya. Perkembangan nimfa diamati setiap hari hingga menjadi imago. Pergantian instar ditandai oleh adanya eksuvia yang berwarna putih yang menempel pada permukaan daun. Imago yang terbentuk diamati setiap hari hingga mati, yang dicirikan oleh tubuhnya yang mengkerut dan bila disentuh tidak bergerak. Saat imago muncul sampai terbentuk kantung telur dicatat sebagai masa praoviposisi. Karena sulitnya menghitung butiran telur, keperidian didasarkan pada banyaknya nimfa instar-1 yang terbentuk setiap hari. Persentase penetasan telur dilakukan dengan cara menghitung semua nimfa yang keluar dari kantung telur, kemudian sisa telur yang tidak menetas yang terdapat pada kantung telur dicatat. Nimfa instar-1 yang keluar bersamaan dari kantung telur diasumsikan diletakkan pada saat yang bersamaan. Oleh karena itu, masa oviposisi dihitung berdasarkan lamanya masa kemunculan nimfa instar-1.
53
Analisis Data Uji t digunakan untuk memeriksa pengaruh varietas ubi kayu terhadap masa perkembangan telur dan nimfa, masa hidup imago dan keperidian, dengan bantuan SPSS 11.5. Data kesintasan (lx) dan banyaknya telur yang diletakkan (mx) per hari digunakan untuk menyusun neraca hayati. Kemudian dihitung berbagai parameter neraca hayati seperti laju reproduksi bersih (Ro = lxmx), rataan masa generasi (T = ln Ro/rm), laju pertambahan intrinsik (rm = e-rx lxmx = 1), laju pertambahan terbatas ( = er), dan masa ganda (Dt = ln2/rm), berdasarkan metode Birch (1948). Seluruh parameter ini dan ragamnya diduga dengan menggunakan program LIFETABLE.SAS yang dikembangkan oleh Maia et al. (2000). Hasil dan Pembahasan Masa Perkembangan Pradewasa Masa perkembangan pradewasa dari sejak telur diletakkan hingga terbentuk imago dipengaruhi secara nyata oleh varietas ubi kayu. Pada varietas UJ-5 masa perkembangan telur, nimfa instar-1, instar-2 dan instar-3 lebih singkat dibandingkan pada Adira-1 (Tabel 5.1). Table 5.1. Rataan masa perkembangan pradewasa kutu P. manihoti pada dua varietas ubi kayu Varietas
Masa perkembangan stadia (hari) Telur
Nimfa-1
Nimfa-2
Nimfa-3
Nimfa
UJ-5
7.93 ±0.09
4.05 ±0.09
4.40 ±0.08
3.87± 0.11
12.32 ±0.13
Adira-1
8.33 ±0.11
6.23 ±0.08
4.92±0.10
4.52 ±0.10
15.67± 0.13
t
-2.79
-17.57
-3.93
-4.23
17.97
db
189.9
198
198
198
198
P
< 0.006
< 0.000
< 0.000
< 0.000
< 0.000
Perkembangan keseluruhan instar nimfa berlangsung 12.32 hari pada UJ-5 dan 15.67 hari pada Adira-1, atau sekitar 3 hari lebih cepat pada varietas ubi kayu dengan kadar sianida tinggi. Bila masa perkembangan telur dan nimfa digabung, maka masa perkembangan pradewasa sekitar 20 dan 24 hari, berturut-turut pada UJ-5 dan Adira-1. Pengetahuan tentang siklus hidup hama dalam kaitan dengan tumbuhan inang diperlukan untuk memahami perkembangan dan kelimpahan kutu putih P. manihoti pada pertanaman ubi kayu di lapangan. Untuk hama yang bersifat monofag seperti P. manihoti, kehidupannya dapat dipengaruhi oleh varietas ubi kayu yang ditanam. Kualitas tumbuhan memegang peranan dalam dinamika populasi hama melalui pengaruhnya terhadap perkembangan pradewasa dan imagonya. Berbagai varietas ubi kayu yang ada di Indonesia memiliki kandungan senyawa sianida yang berbeda (Balitkabi 2005). Dalam penelitian ini
54
dibandingkan berbagai parameter hayati P. manihoti pada dua varietas ubi kayu yaitu UJ-5 dan Adira-1 yang memiliki kadar sianida yang berbeda. Menurut hasil penelitian Tertuliano et al. (1993, 1999), ketahanan varietas ubi kayu terhadap kutu putih berkaitan dengan senyawa sekunder seperti sianida. Kutu P. manihoti merupakan serangga yang mengambil makanan dengan cara mengisap cairan pada jaringan floem, yang di dalamya terdapat senyawa sianida. Menurut Catalayud et al. (1994a) senyawa sianida berperan sebagai fagostimulan untuk kutu P. manihoti. Tampaknya kutu putih P. manihoti mampu mengembangkan mekanisme fisiologis yang dapat mengubah sianida yang bersifat toksik menjadi bahan yang tidak toksik atau bahkan menjadi bahan nutrisi (Catalayud et al. 1994b). Catalayud et al. (1994a) melaporkan tidak terdapat hubungan antara laju pertumbuhan populasi (rm) P. manihoti dengan kandungan senyawa primer (asam amino dan gula) yang terdapat pada daun berbagai varietas ubi kayu. Dalam penelitian ini ditunjukaan bahwa perbedaan varietas ubi kayu yang memiliki kadar sianida berbeda berpengaruh terhadap kehidupan pradewasa kutu putih P. manihoti. Masa inkubasi telur berlangsung 7.93 hari pada UJ-5 dan 8.33 hari pada Adira-1. Pengaruh yang lebih nyata tampak pada masa perkembangan nimfa. Nimfa yang hidup pada UJ-5 memerlukan waktu 12 hari, sedangkan pada Adira-1 memerlukan 15 hari untuk perkembangannya hingga menjadi imago. Masa Hidup Imago, Keperidian dan Penetasan Telur Varietas ubi kayu yang diuji berpengaruh nyata terhadap masa praoviposisi, masa oviposisi, keperidian, dan persentase penetasan telur P. manihoti. Masa praoviposisi P. manihoti pada UJ-5 (2.49 hari) sekitar satu hari lebih singkat dibandingkan pada Adira-1 (3.20 hari) (Tabel 5.2). Sebaliknya masa oviposisi sekitar 3/4 hari lebih lama pada UJ-5 (9.82 hari) dibandingkan pada Adira-1 (9.06 hari). Kedua varietas ubi kayu yang diuji tidak berpengaruh nyata (P = 0.342) terhadap masa hidup imago, yaitu rata-rata 20 hari. Walaupun demikian, keperidian P. manihoti lebih tinggi (386 butir) pada UJ-5 dibandingkan pada Adira-1 (318 butir). Begitu pula rataan penetasan telur P. manihoti lebih tinggi pada UJ-5 (98 %) daripada Adira-1 (96 %). Perbedaan varietas ubi kayu juga berpengaruh terhadap berbagai parameter kehidupan imago P. manihoti, khususnya terhadap keperidian. Walaupun masa hidup imago P. manihoti pada kedua varietas hampir sama yaitu sekitar 20 hari, banyaknya telur yang dihasilkan berbeda. Keperidian kutu putih yang dipelihara pada UJ-5 sebanyak 386 butir, sedangkan pada Adira-1 sebanyak 318 butir. Saputro (2013) yang meneliti biologi P. manihoti pada varietas Manggu mendapatkan keperidian 570 butir. Selain karena varietas, perbedaan keperidian ini diperkirakan karena perbedaan teknik pengamatan. Pada penelitian ini, keperidian didasarkan pada instar-1 yang ditemukan, sedangkan pada penelitian Saputro keperidian didasarkan pada penghitungan telur. Menurut Iheagwam (1981), Lema dan Herren (1985) dalam kondisi optimal P. manihoti mampu meletakkan telur 200-600 butir dalam ovisak di bawah daun dan disekitar tunas apikal dan lateral.
55
Table 5.2. Rataan masa hidup imago, keperidian, penetasan telur kutu P. manihoti pada dua varietas ubi kayu Imago betina Varietas
Masa praoviposisi (hari)
Masa oviposisi (hari)
Masa hidup (hari)
Keperidian (butir)
Penetasan telur (%)
UJ-5
2.49 ±0.09
9.82±0.28
20.24±0.24
386.37±5.83
98.33± 0.09
Adira-1
3.20±0.11
9.06±0.21
20.53±0.18
318.67±2.81
96.81± 0.14
t
-4.85
2.23
-0.95
10.46
9.09
db
182
171.2
171.1
135.1
182
P
< 0.000
0.027
0.342
< 0.000
< 0.000
Keperidian Harian dan Sintasan Kurva keperidian harian (mx) mencapai puncaknya beberapa hari setelah reproduksi dimulai dan berbeda di antara dua varietas ubi kayu (Gambar 5.1 ). Pada varietas UJ-5, kutu putih P. manihoti mulai meletakkan telur pada hari ke18, dengan puncaknya (49 butir) terjadi pada hari ke-22. Pada varietas Adira-1, P. manihoti meletakkan telur mulai hari ke -21 dengan puncaknya (43 butir) pada hari ke-27. Kurva sintasan harian (lx) memperlihatkan pola tipe I, yaitu kematian sebagian besar terjadi pada umur tua (Gambar 1). Pada varietas UJ-5 sebanyak 5% nimfa tidak berhasil menjadi imago, sedangkan pada varietas Adira-1 lebih tinggi yaitu 11%. Pada kedua varietas, kematian kutu putih sebanyak 50% terjadi pada hari ke-45 dan seluruh kutu mati pada hari ke-46.
56
UJ-5 60
Sintasan harian (lx)
0.8 40 0.6
0.4 20 0.2
0.0
Keperidian harian (mx)
1.0
0 0
10
20
30
40
50
Umur (hari) Adira-1 60
Sintasan harian (lx)
0.8 40 0.6
0.4 20 0.2
0.0
Keperidian harian (mx)
1.0
0 0
10
20
30
40
50
Umur (hari)
Gambar 5.1. Keperidian harian (mx) dan sintasan (lx) kutu putih P. manihoti pada ubi kayu varietas UJ-5 (atas) dan Adira-1 (bawah)
Parameter Pertumbuhan Populasi Perbedaan varietas ubi kayu berpengaruh sangat nyata ( P<0.0001) terhadap laju reproduksi bersih (Ro), laju pertambahan intrinsik (rm), rataan masa generasi (T), masa ganda (Dt), dan laju pertambahan terbatas (). Laju reprodukai bersih (Ro) P. manihoti pada varietas UJ-5 adalah 1.3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan pada varietas Adira-1 (Tabel 5.3). Begitu pula parameter pertumbuhan populasi lainnya (rm, Dt, ) lebih tinggi pada UJ-5. Sebaliknya, masa generasi (T) P. manihoti sekitar tiga hari lebih singkat pada varietas UJ-5 dibandingkan pada Adira-1.
57
Tabel 5.3. Parameter pertumbuhan populasi P. manihoti pada dua varietas ubi kayu Parameter
Varietas
P
UJ-5
Adira-1
Ro
361.040±5.429
274.630±2.520
< 0.0001
rm
0.258±0.0008
0.220±0.0005
< 0.0001
T
22.795±0.050
25.532±0.047
< 0.0001
Dt
2.683±0.008
3.152±0.007
< 0.0001
1.295±0.0009
1.246±0.0006
< 0.0001
Pengaruh varietas ubi kayu terhadap kutu putih P. manihoti juga dapat diperiksa dari berbagai parameter neraca hayati, yang menggambarkan tingkat kesesuaian tumbuhan inang. Rataan masa generasi (T) kutu P. manihoti lebih singkat pada UJ-5 (22.8 hari) dibandingkan pada Adira-1 (25.5 hari). Perbedaan ini terkait dengan perbedaan masa perkembangan pradewasa dan keperidian kutu putih pada kedua varietas seperti telah disebutkan terdahulu. Sebaliknya, laju reproduksi bersih (Ro), yang merupakan kelipatan populasi per generasi, lebih besar pada UJ-5 ( 361) daripada Adira-1 (274). Begitu pula terdapat perbedaan yang nyata antara laju pertambahan intrinsik (rm) P. manihoti pada dua varietas ubi kayu yang diuji. Nilai rm kutu P. manihoti pada varietas UJ-5 (0.258 ) lebih tinggi daripada varietas Adira-1 (0.220). Pada varietas Manggu yang kandungan sianidanya rendah, Saputro (2013) mendapatkan nilai rm = 0.213. Nilai rm yang jauh lebih rendah (0.133) dilaporkan terjadi pada varietas Incoza yang tergolong tahan terhadap P. manihoti di Afrika (Tertuliano et al. 1993). Karena laju pertambahan intrinsic (rm) menggambarkan pengaruh komposit dari perkembangan, keperidian, dan sintasan, maka rm dapat dijadikan indeks untuk mengukur kualitas nutrisi atau tingkat resistensi tumbuhan inang (Southwood dan Henderson. 2000). Lebih tingginya nilai rm pada UJ-5 mengisyaratkan potensi peningkatan populasi P. manihoti yang lebih cepat pada varietas ini. Keseluruhan hasil penelitian mengungkapkan bahwa perkembangan, reproduksi, dan sintasan P. manihoti sangat dipengaruhi oleh varietas ubi kayu. Dari penelitian ini juga ditunjukkan bahwa potensi laju pertumbuhan populasi P. manihoti lebih tinggi pada varietas UJ-5 yang mengandung sianida yang tinggi. Pengetahuan ini sangat penting, terutama karena pada saat ini pemerintah sedang menggalakkan penanaman ubi kayu varietas UJ-5 pada skala luas untuk kepentingan industri bioetanol. Dalam kaitan ini, kutu putih P. manihoti dapat menjadi ancaman serius bagi upaya peningkatan produksi ubi kayu di Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan barulah memberikan landasan awal bagi penyusunan program pengelolaan hama terpadu kutu P. manihoti. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk memahami dinamika populasi P. manihoti di lapangan, terutama dalam kaitannya dengan peranan musuh alami lokal.
58
Simpulan Ubi kayu varietas UJ-5 lebih sesuai bagi kehidupan dan peningkatan populasi kutu putih P. manihoti. Hal ini ditunjukkan oleh masa perkembangan pradewasa yang lebih singkat dan keperidian yang lebih tinggi. Analisis neraca hayati mengungkapkan nilai rm yang lebih tinggi pada UJ-5. Oleh karena itu, penanaman ubi kayu varietas UJ-5 pada skala luas perlu mengantisipasi perkembangan serangan kutu P. manihoti. Daftar Pustaka Awmack CS, Leather SR. 2002. Host plant quality and fecundity in herbivorous insects. Annu. Rev. Entomol. 47: 817-844. Balitkabi 2005. Teknologi Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balitkabi, Malang. Bellotti AC, Smith L, Lapointe SL. 1999. Recent advances in cassava pest management. Annu. Rev.. Entomol. 44: 343-370. Birch LC. 1948. The intrinsic rate of natural increase of an insect population. J Animal Ecol. 17: 15–26. Catalayud PA, Le Ru B. 2006. Cassava-Mealybug Interactions. Institut de Reserche Pour le Development, Paris. Calatayud PA, Rahbé Y, Delobe1 B, Khuong-Huu E, Tertuliano M, Le Ru B. 1994a. Influence of secondary compounds in the phloem sap of cassava on expression of antibiosis towards the mealybug Phenacoccus manihoti. Entomol. Exp. Appl. 72: 47-57. Catalayud PA, Tertuliano M, Le Ru B. 1994b. Seasonal changes in secondary compounds in the phloem sap of cassava in relation to plant genotype and infestations by Phenacoccus manihoti (Homoptera: Pseudococcidae). Bull. Entomol. Res 84: 453-459. Iheagwam EU. 1981. The influence of temperature on increase rates of the cassava mealybug Phenacoccus manihoti Mat.-Ferr.(Homoptera; Pseudococcidae). Rev Zool Afr 95: 959–967. Lema KM, Herren HR. 1985. The influence of constant temperature on population growth rates of the cassava mealybug, Phenacoccus manihoti. Entomol Exp Appl 38: 165–169. Maia AHN, Luiz AJB, Campanhola C. 2000. Statistical inference on associated life table parameters using jacknife technique: computational aspect. J. Econ.Entomol. 93: 511-518. Nwanze KF. 1978. Biology of the cassava mealybug Phenacoccus manihoti Mat-Ferr. in the Republic of Zaire. In: Nwanze KF, Leuschner K (Ed.). Proceedings of the International Workshop on Cassava Mealybug Phenacoccus manihoti Mat-Ferr. (Pseudococcidae). pp. 20-28. INERA, M’Vuazi, Zaire, June 26-29, 1977. IITA Press, Ibadan, Nigeria. Nwanze KF. 1982. Relationship between cassava root yields and crop infestations by the mealybug, Phenacoccus manihoti. Int. J. Pest Manag. 28: 27-32. Nwanze KF, Leuschner K, Ezumah HC. 1979. The cassava mealybug, Phenacoccus manihoti, in Republic of Zaire. PANS 25(2): 125-130.
59
Parsa S, Kondo T, Winotai A. 2012. The cassava mealybug (Phenacoccus manihoti) in Asia: First records, potential distribution, and an identification key. PloS ONE 7(10): e47675. doi.10.1371/journal.pone.0047675. Rauf A. 2011. Invasive pests. In: IPM CRSP Annual Report 2010-2011, p. 100. Saputro AR. 2013. Biologi dan potensi peningkatan populasi kutu putih singkong, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae): Hama pendatang baru di Indonesia. [skripsi]. Fakultas Pertanian – IPB, Bogor. Southwood TRE, Henderson PA. 2000. Ecological Methods. Third Edition. Blackwell Sci., Oxford. Soysouvanh P, Siri N. 2013. Population abundance of pink mealybug, Phenacoccus manihoti on four cassava varieties. Khon Kaen Agr.J. 41(1): 149-153. Tertuliano M, Calatayud PA, Le Rü B. 1999. Seasonal changes of secondary compounds in the phloem sap of cassava in relation to fertilization and to infestation by the cassava mealybug. Insect Sci. Appl. 19(1): 91-98. Tertuliano M, Dossou-Gbete S, Le Ru B. 1993. Antixenotic and antibiotic components of resistance to the cassava mealybug Phenacoccus manihoti (Homoptera: Pseudococcidae) in various host plants. Insect. Sci. Appl 14(5): 657-665. Winotai A, Goergen G, Tamò M, Neuenschwander P. 2010. Cassava mealybug has reached Asia. Biocontrol News Inf. 31: 10–11.
60
BAB VI PEMANGSAAN Plesiochrysa ramburi (SCHNEIDER) (NEUROPTERA: CHRYSOPIDAE) PADA KUTU PUTIH UBI KAYU, Phenacoccus manihoti MATILLE-FERRERO (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE) Abstrak Predator Plesiochrysa ramburi (Schneider) (Neuroptera: Chrysopidae) merupakan serangga musuh alami yang banyak djumpai pada pertanaman ubi kayu yang terserang oleh kutu putih Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae). Penelitian yang dilakukan meliputi kapasitas dan preferensi pemangsaan, serta tanggap fungsional. Hasil penelitian menunjukkan larva instar-1 P. ramburi paling banyak memangsa kutu putih instar-1 (72 ekor), diikuti oleh instar-2 (42 ekor ), instar-3 (11 ekor), dan hanya sedikit memangsa imago kutu putih (1 ekor). Larva predator instar-2 memangsa kutu putih nimfa instar-1, instar-2, instar-3, dan imago berturut-turut 89, 92, 20, dan 8 ekor. Sementara larva P. ramburi instar-3 paling banyak memangsa kutu putih nimfa instar-2 (151 ekor ), dibandingkan instar-1 (142 ekor), instar-3 (71 ekor), dan imago (57 ekor). Seekor larva P. ramburi diperkirakan mampu memangsa sebanyak 757 ekor kutu putih dari berbagai instar selama hidupnya. Penelitian lanjutan khusus pada larva instar-3 P. ramburi menunjukkan preferensi pemangsaan terhadap kutu putih nimfa instar-1 dan instar-2 dibanding terhadap instar-3 dan imago. Indeks preferensi (Li) bernilai positif untuk nimfa instar-1 dan instar-2, dan negatif untuk instar-3 dan imago. Preferensi terhadap nimfa instar-1 dan instar-2 berkaitan dengan masa penanganan yang lebih singkat pada mangsa yang berukuran lebih kecil. Hubungan antara kerapatan mangsa dan tingkat pemangsaan menunjukkan tanggap fungsional tipe-2, dengan laju pemangsaan (a) dan masa penanganan mangsa (Th) berturut-turut 0.24/jam dan 0.69 jam. Kata kunci : Pemangsaan , preferensi, tanggap fungsional, Phenacoccus manihoti, Plesiochrysa ramburi
Abstract Predator Plesiochrysa ramburi (Schneider) (Neuroptera: Chrysopidae) is the most abundant natural enemies on cassava fields infested by cassava mealybug, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae). Research activities included study on predation capacity and prey preferences, as well as functional response. Our studies showed that larvae 1st instar of P. ramburi consumed more on 1st instar of P. manihoti (72), followed by 2nd instar (42 ), 3rd instar (11), and only a few adults (1). 2nd instar of predator preyed on 1st, 2nd, 3rd, and adults respectively 89, 92, 20, and 8 individulas. While larvae 3rd instar of P. ramburi consumed more 2nd instar of mealybug (151-tail), as
61
compared to 1st (142), 3rd instar (71), and adults (57). Each larva of P. ramburi was able consume as many as 757 mealybugs of different instars during its development. Further studies with 3rd instar of P. ramburi showed predation preference on 1st and 2nd instar of P. manihoti, as opposed to 3rd instar and adults. The value of preference index (Li) is positive for 1st and 2nd, and negative for the 3rd instar and adults of cassava mealybugs. Preference toward 1st and 2nd instar of P. manihoti is related to shorter handling time due to smaller size. Predation increased with increasing mealybug density. P. rambury exhibited functional respone type-2, with attack rate (a) and handling time (Th) were 0.24/hour and 0.69 hour, respectively. Keywords : Predation, prey preference, functional response, Phenacoccus manihoti, Plesiochrysa ramburi
Pendahuluan Pengendalian biologi merupakan dasar dari pengendalian hama terpadu (PHT). Pada prinsipnya teknik PHT bertujuan meminimalkan penggunaan bahan-bahan kimia sintetis yang dapat menyebabkan terjadinya dampak pada lingkungan yang tidak diinginkan yaitu terjadinya resistensi hama, resurjensi hama, terbunuhnya organisma bukan sasaran, munculnya hama sekunder, adanya residu pada tanaman dan terganggunya kualitas lingkungan sekitar seperti air, tanah dan udara (Metcalf dan Luckmann 1993). Pengendalian kutu putih P manihoti dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti penggunaan tanaman resisten, dengan bahan kimia organik, secara budidaya dan pengendalian biologi. Pengendalian kutu putih yang pernah dilakukan adalah dengan kombinasi antara tanaman inang resisten dan pengendalian biologi (Porter 1988). Berdasarkan penelitian di Amerika dan Afrika, diketahui bahwa tidak ada satupun varietas ubi kayu yang tahan terhadap P manihoti. Pengendalian hama ini terutama dilakukan dengan konservasi maupun augmentasi musuh alami seperti yang telah dilakukan di Thailand dan Afrika (Napompeth 1989, 1990a, 1990b; Suasa-ard 2000; William dan Granara 1992). Di Indonesia pada tanaman ubi kayu komponen PHT yang diterapkan antara lain adalah (1) penanaman varietas tahan, (2) pengaturan kultur teknis, (3) pengendalian biologis dan (4) pengendalian kimiawi jika diperlukan (Saleh et al. 2009). Pengendalian biologi merupakan salah satu teknik pengendalian yang sesuai dengan sifat komoditas ubi kayu yang relatif toleran terhadap serangan hama. Ada beberapa musuh alami berupa predator dan parasitoid yang ditemukan pada pertanaman ubi kayu. Salah satu musuh alami yang banyak ditemukan di pertanaman ubi kayu adalah dari ordo Neuroptera, famili Chrysopidae. Serangga dari famili Chrysopidae dengan ciri umum mempunyai sayap kehijauan, mata berwarna kuning emas atau kemerahan dengan panjang 12-20 mm, telur bertangkai, imago biasanya hidup bebas dengan memakan embun madu dan pollen sedangkan larva mempunyai mandibel yang kokoh berbentuk bulan sabit yang berfungsi untuk merobek mangsa serangga bertubuh lunak seperti kutu daun,
62
kutu putih dan lain-lain. Dewasa aktif terbang, terutama selama sore dan malam hari (Mendel et al. 2003; Zhang et al. 2006.). Dewasa memiliki kemampuan penerbangan yang kuat dan dapat terbang selama 3 sampai 4 jam pada dua malam pertama penerbangan dan bertelur pada hari kelima setelah menjadi dewasa. Telur berbentuk oval diletakkan secara tunggal, dengan tangkai seperti sutra panjang, berwarna hijau pucat, berubah abuabu dalam 2-3 hari. Setelah 6-7 hari telur menetas, larva yang sangat aktif, memiliki tiga instar, berwarna abu-abu atau kecoklatan, kulit mirip buaya dengan tungkai berkembang baik dan mandibel berkembang seperti penjepit besar untuk menyedot cairan tubuh mangsanya. Larva tumbuh dengan ukuran kurang dari 1 mm sampai 6-8 mm. Setelah instar ketiga larva membulat, kemudian berkepompong biasanya di tempat-tempat tersembunyi pada tanaman. Dewasa muncul setelah 8-10 hari setelah berpupa (Zhu et al. 2005). Instar pertama berlangsung 3-4 hari, instar-2 sekitar 3-4 hari, sedangkan instar ke-3, 5-6 hari dan pupa 14-15 hari. Siklus hidup dari telur sampai imago meletakkan telur kembali dapat berlangsung sampai 40 hari (Kligen et al. 1996). Kefektifan salah satu chrysopid yaitu Chrysoperla carnea dalam mengendalikan serangga aphid pada beberapa tanaman telah dipelajari oleh beberapa peneliti, diketahui bahwa 1 larva chrysopa mampu memangsa 500 kutu daun dalam kehidupannya (Hagely 1989, Michaud 2001). Dan perannya sebagai predator pengendali pada beberapa hama juga sudah dipelajari (Stark dan Whitford 1987). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi pemangsaan P. ramburi terhadap kutu putih P. manihoti di laboratorium.
Metode Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Juli sampai Oktober 2012. Pembiakan P. ramburi Larva P. ramburi dikoleksi dari pertanaman ubi kayu di Desa Ngampar, Kecamatan Sukaraja, kemudian dipelihara di dalam cawan petri hingga menjadi pupa. Pupa yang akan menjadi imago dipindahkan ke dalam kurungan kasa berukuran 40 cm x 40 cm x 60 cm yang bertujuan untuk pembiakan. Pemeliharaan imago dilakukan dengan memberikan makanan berupa campuran madu, ragi dan air dengan perbandingan 1:1:1 (Gautam et al. 2009) yang berfungsi sebagai pengganti nektar. Campuran ini dioleskan pada kertas dan ditempelkan pada dinding kurungan. Imago biasanya meletakkan telur pada permukaan dalam kurungan menempel pada kain kasa. Setelah telur diletakkan segera dipindahkan ke cawan petri dan dipelihara sampai menetas. Setelah menetas larva diberi makan kutu putih P. manihoti .
63
Pembiakan P. manihoti Larva P. manihoti diperoleh dari pertanaman ubi kayu di Kecamatan Sukaraja. Larva kemudian diinfestasikan pada tanaman ubi kayu yang ditumbuhkan pada gelas plastik dengan ukuran diameter 8 cm dan tinggi lebih kurang 10 cm yang lebih kurang 2/3 nya diisi dengan media air, kemudian dipelihara pada kondisi laboratorium pemeliharaan serangga. Komposisi mangsa menurut instar Cawan petri yang telah disediakan diisi dengan potongan daun ubi kayu segar. Kemudian kedalam cawan petri diinfestasikan nimfa instar-1, 2, 3 dan imago masing-masing 200 ekor. Setelah itu dilepaskan predator instar-1. Setelah ganti kulit kemudian dihitung jumlah masing-masing instar mangsa yang tersisa. Predator instar selanjutnya diberi makan dengan kutu putih dengan komposisi yang sama. Perlakuan ini juga dilakukan setelah predator memasuki instar-3. Perlakuan yang sama diulang sebanyak 20 kali. Pada setiap pengamatan dilakukan penambahan daun ubi kayu jika diperlukan. Untuk mengetahui lama fase pradewasa dilakukan dengan mengambil sampel dari perbanyakan predator sebanyak 20 telur. Pengambilan telur P. ramburi untuk mengetahui lama periode larva instar-1, larva instar-2, dan larva instar-3. Dua puluh cawan petri (diameter +17 cm) masing-masing diisi dengan daun ubi kayu segar beserta mangsa P. manihoti nimfa instar pertama sampai instar-3 lebih kurang 400 mangsa. Ke dalam cawan petri kemudian dimasukkan satu telur yang sudah hampir menetas (berwarna abu-abu). Kemudian dilakukan perhitungan lama instar larva predator setelah telur menetas. Pergantian setiap instar predator ditandai dengan adanya bekas kulit (eksuvia) yang ditinggalkan. Penggantian daun ubi kayu dan penambahan mangsa dilakukan jika daun sudah layu dan mangsa yang tersedia berkurang. Preferensi pemangsaan P. ramburi Ke dalam cawan petri (diameter +17 cm) dimasukkan kutu putih instar-1, 2, 3 dan imago masing-masing 50 ekor. Kutu putih diberi makan dengan daun ubu kayu segar. Setelah itu ke dalam cawan petri dimasukkan larva instar-3 P. ramburi yang telah dipuasakan selama 12 jam. Perlakuan yang sama diulang sebanyak 10 ulangan. Pengamatan dilakukan dengan melihat jumlah masingmasing instar P. manihoti yang tersisa pada 3, 6, 12, dan 24 jam setelah pelepasan predator. Kemudian dihitung derajat pemilihan (indeks preferensi) terhadap mangsa dengan rumus Li = ri – pi, Li indeks pemilihan mangsa, ri = proporsi mangsa yang dimangsa oleh predator, dan pi = proporsi mangsa yang tersedia. Preferensi maksimum terjadi bila ri = 1 dan pi = 0, dan penolakan maksimum terjadi jika ri = 0, dan pi = 1. Jika nila Li positif dan mendekati satu maka preferensi bernilai maksimum, dan sebaliknya nilai L negatif maka penghindaran (penolakan) terhadap mangsa bernilai maksimum. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program SPSS Version 16.0. Lebih lanjut data dianalisis dengan analisis ragam ANOVA. Untuk mengetahui lama waktu untuk pemangsaan dilakukan percobaan pada cawan petri (diameter +17 cm). Kedalam cawan petri dimasukkan perlakuan mangsa yaitu kutu putih P. manihoti instar-1, 2, 3, dan imago masingmasing berjumlah 200 ekor mangsa. Percobaan dilakukan satu persatu pada
64
masing-masing perlakuan mangsa dimulai dari instar awal. Ke dalam cawan petri yang telah diisi mangsa dilepaskan predator P. ramburi stadia larva instar-3 yang telah dipuasakan lebih kurang selama 12 jam. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop selama 2 jam, dengan menghitung lama waktu predator sejak menangkap mangsa sampai predator menghisap habis mangsa dan meninggalkannya. Kemudian dihitung jumlah mangsa yang dapat dihabiskan selama dua jam. Perlakuan ini dilakukan dengan 20 kali ulangan. Kemampuan pemangsaan P. ramburi Cawan petri yang telah disediakan diisi dengan potongan daun ubi kayu segar. Kemudian kedalam cawan petri diinfestasikan nimfa instar-2 dari P. manihoti sebanyak 450 nimfa mangsa. Setelah itu dilepaskan predator instar-1. Setelah ganti kulit kemudian dihitung jumlah mangsa yang tersisa, dan predator instar selanjutnya diberi makan dengan kutu putih instar-2 sebanyak 450 ekor. Perlakuan ini juga dilakukan setelah predator memasuki instar-3. Perlakuan yang sama diulang sebanyak 20 kali. Pada setiap pengamatan dilakukan penambahan daun ubi kayu jika diperlukan. Tanggap fungsional predator P.ramburi terhadap kutu putih P. manihoti Perlakuan ini menggunakan 10 tingkat kepadatan mangsa yaitu 1, 2, 4, 6, 8, 10, 20, 30, 40, 50, P. manihoti instar-2 yang dimasukkan ke dalam cawan petri. Kemudian satu larva instar 3 dari P.ramburi yang telah dipuasakan selama 12 jam dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah berisi mangsa pada setiap tingkat kepadatan. Perlakuan yang sama diulang sebanyak 10 ulangan. Pengamatan dilakukan dengan interval 3 jam selama 24 jam terhadap jumlah mangsa yang dimakan. Penambahan mangsa dilakukan untuk mengganti mangsa yang hilang atau dimakan sesuai dengan tingkat kepadatan semula. Analisis data yang digunakan untuk mengetahui tipe tanggap fungsional predator menggunakan persamaan yang dikemukakan oleh Juliano (1993) sebagai berikut : Ne exp (+ P1No + P2No2 + P3No3) = No 1 + exp (P0 + P1No + P2No2 + P3No3) Berdasarkan persamaan di atas, No merupakan kerapatan mangsa yang tersedia, Ne proporsi mangsa yang dikonsumsi, P0 titik potong, P1 merupakan koefisien linier, P2 kuadratik dan P3 adalah kubik. Keempat parameter ini diduga dengan metode kemungkinan maksimum dengan prosedur PROC CATMOD SAS (SAS Institute 1990).
Hasil dan Pembahasan Komposisi mangsa menurut instar Secara umum semua fase perkembangan kutu putih dapat dijadikan mangsa oleh larva P. ramburi (Gambar 6.1). Namun demikian, terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0.000) antara banyaknya instar kutu putih yang dimangsa.
65
P. ramburi instar-1 Banyaknya kutu putih yang dimangsa (ekor)
80
60
40
20
0
Nimfa-1
Nimfa-2
Nimfa-3
Imago
Kutu putih
P. ramburi instar-2
Banyaknya kutu putih yang dimangsa (ekor)
100
80
60
40
20
0
Nimfa-1
Nimfa-2
Nimfa-3
Imago
Kutu putih
P. ramburi instar-3
Banyaknya kutu putih yang dimangsa (ekor)
160 140 120 100 80 60 40 20 0
Nimfa-1
Nimfa-2
Nimfa-3
Imago
Kutu putih
Gambar 6.1. Kemampuan pemangsaan oleh berbagai larva P. ramburi pada berbagai instar kutu putih
66
Larva P. ramburi instar-1 paling banyak memangsa kutu putih instar-1 (71.95± 1.21 ekor), diikuti oleh instar-2 (41.95 ±1.05 ekor ), instar-3 (11.25 ±1.02 ekor), dan hanya sedikit memangsa imago kutu putih (1.00 ±0.73 ekor). Larva predator instar-2 memangsa kutu putih nimfa instar-1, instar-2, instar-3, dan imago berturut-turut 89.55 ±1.04, 92.45 ±1.28, 19.80 ±0.87, dan 7.85 ±0.72 ekor. Sementara larva P. ramburi instar-3 paling banyak memangsa kutu putih nimfa instar-2 (151.05 ±1.15 ), dibandingkan instar-1 (141.75 ±0.65 ekor), instar-3 (71.15 ±0.42), dan imago (57.40 ±0.91). Dari percobaan ini tampak bahwa baik larva P. ramburi instar-1, instar-2, maupun instar-3 lebih banyak memangsa kutu putih nimfa instar-1 dan instar-2. Dalam percobaan ini, larva instar-3 P. ramburi yang digunakan merupakan kelanjutan dari instar selanjutnya, sehingga dapat diduga banyaknya kutu putih yang dimangsa oleh seekor larva P. ramburi selama masa kehidupan larva. Masa perkembangan larva P. ramburi berlangsung 8-9 hari, dengan perincian instar-1 (2.90 ±0.14 hari), instar-2 (2.40 ± 0.11 hari), dan instar-3 (3.45±0.18 hari). Berdasarkan percobaan ini seekor larva predator diperkirakan mampu memangsa sebanyak 757.15 kutu putih dari berbagai instar. Preferensi Pemangsaan P. ramburi Banyaknya kutu putih yang dimangsa oleh larva instar-3 P. ramburi sangat tergantung pada fase perkembangan kutu putih (F = 408.6; db = 3, 39; P < 0.000). Tampak bahwa dalam waktu 24 jam larva P. ramburi mampu memangsa kutu putih instar-1 dan instar-2 dengan rataan berturut-turut 42.0± 0.9 dan 42.7 ± 1.2 ekor (Gambar 6.2). Banyaknya kutu putih yang dimangsa jauh lebih sedikit pada instar-3 (16.3±0.8 ekor) dan imago (8.7±0.2 ekor). Hal ini mengindikasikan bahwa pada keadaan semua stadia kutu putih tersedia tersedia, larva P, ramburi lebih memilih untuk memangsa kutu nimfa instar-1 dan instar-2 dibandingkan instar-3 dan imago.
Banyaknya kutu putih yang dimangsa
50
40
30
20
10
0
Instar-1
Instar-2
Instar-3
Imago
Kutu putih
Gambar 6.2. Rataan banyaknya masing-masing instar kutu putih yang dimangsa selama 24 jam oleh larva instar-3 P.ramburi.
67
Hasil perhitungan indeks preferensi mendapatkan Li yang bernilai positif untuk nimfa instar-1 dan instar-2, dan sebaliknya bernilai negatif untuk instar-3 dan imago (Tabel 6.1). Mangsa dengan Li bernilai positif menunjukkan disukai, sedangkan yang bernilai negatif berarti dihindari. Lebih dipilihnya kutu putih nimfa instar-1 dan instar-2 karena ukurannya lebih kecil, tubuhnya lembut dan belum banyak ditutupi lilin. Sebaliknya imago dan instar-3 kurang dipilih oleh predator karena ukurannya lebih besar, dengan kulit yang lebih keras dan ditutupi lilin. Karakteristik tubuh mangsa ini diduga dapat mempengaruhi waktu yang diperlukan untuk menangani mangsa tadi. Tabel 6.1. Nilai indeks preferensi (Li) larva instar-3 predator P. ramburi. Kutu putih 3
Li pada jam setelah inokulasi 6 12
24
Instar-1
0.242
0.166
0.119
0.131
Instar-2
0.031
0.115
0.139
0.137
Instar-3 Imago
-0.097 -0.176
-0.107 -0.173
-0.098 -0.159
-0.102 -0.167
Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan terdapat hubungan antara masa penanganan mangsa dengan banyaknya kutu putih yang dimangsa (Gambar 6.3). Masa penanganan mangsa paling singkat pada kutu instar-1 yaitu 0.48 ± 0.03 menit dan meningkat menjadi 1.08±0.061 menit pada instar-2. Waktu yang dibutuhkan untuk menangani seekor mangsa lebih tinggi lagi pada instar selanjutnya, yaitu 5.13± 0.43 menit pada instar-3 dan 11.75 ±0.49 menit pada imago. Semakin lama masa penanganan mangsa, semakin berkurang kutu putih yang dapat dimangsa per satuan waktu. Dalam penelitian ini ditunjukkan bahwa selama dua jam, seekor predator mampu memangsa kutu putih instar-1 sebanyak 18.70 ±0.76 ekor, dan menurun menjadi 9.02 ±0.39 ekor pada instar-2. Banyaknya kutu putih yang dapat dimangsa oleh larva P. ramburi menurun tajam pada imago kutu putih yaitu 2.30± 0.15 ekor.
68
25
Lama penanganan mangsa (menit) Banyaknya yang dimangsa (ekor) 20
15
10
5
0
Instar-1
Instar-2 Instar-3 Kutu putih
Imago
Gambar 6.3. Masa penanganan mangsa dan banyaknya P manihoti yang dimangsa oleh larva instar-3 P. ramburi selama 2 jam Kemampuan pemangsaan Kemampuan memangsa dari masing-masing instar larva P. ramburi pada nimfa instar-2 P. manihoti berbeda sangat nyata (F=65566.7; db=2, 59; P<0.000). Tampak bahwa kemampuan memangsa paling tinggi diperlihatkan oleh instar-3 (439.35± 0.47 ekor), diikuti oleh instar-2 (242.10± 0.69 ekor), dan paling rendah instar-1 (143.35± 0.58 ekor) (Gambar 6.4). Perbedaan banyaknya kutu putih yang dimangsa, selain karena lama stadia yang berbeda seperti disebutkan terdahulu, juga karena ukuran tubuh dan kebutuhan nutrisi yang berbeda. Larva instar-1 P. ramburi berukuran sekitar 1 mm, instar-2 berkisar 3-4 mm, dan instar-3 berkisar 5-6 mm. Lebih banyaknya kutu putih yang dimangsa oleh larva instar-3 predator diduga berkaitan dengan lebih tingginya kebutuhan nutrisi pada periode ini sebelum memasuki masa pupa. Secara keseluruhan seekor larva P. ramburi mampu memangsa sebanyak 824.80 ekor nimfa instar-2 P. manihoti. Chrysoperla sp dilaporkan mampu memangsa 100-600 kutu daun (Tauber et al. 2000; Hagely 1989; Michaud 2001).
69
Rataan banyaknya kutu putih yang dimangsa
500
400
300
200
100
0
Instar-1
Instar-2 Larva Plesiochrysa ramburi
Instar-3
Gambar 6.4. Rataan banyaknya P. manihoti instar-2 yang dimangsa oleh larva P. ramburi.
Tanggap Fungsional Analisis regresi logistik hubungan antara kerapatan kutu putih dengan pemangsaan memperlihatkan tanggap fungsional tipe II. Hal ini ditunjukkan oleh koeefisien linear (P1) yang bernilai negatif dan berbeda nyata dengan nol (P<0.000), serta kooefisien kuadratik (P2) yang bernilai positif (Tabel 6.2). Model tipe II ini dapat diperiksa pula dengan cara memetakan hubungan antara kerapatan kutu putih dengan proporsi kutu putih yang dimangsa. Dari Gambar 6.5 tampak bahwa proporsi kutu putih yang dimangsa secara perlahan menurun hingga kerapatan kutu putih 20 ekor, dan kemudian menurun tajam dengan meningkatnya kerapatan mangsa. Pola ini merupakan gambaran dari tanggap fungsional tipe II. Tabel 6.2. Hasil analisis regresi logistik tanggap fungsional Penduga ±SE
χ2
P
Titik potong (P0)
25.7167±6.0343
18.16
<0.0001
Linear (P1)
-0.9001±0.5105
13.85
0.0002
Kuadratik (P2)
0.0488±0.0140
12.15
0.0005
-0.00042±0.000125
11.32
0.0008
Parameter
Kubik (P3)
70
1. 00 0. 98 0. 96 0. 94 0. 92 0. 90 0. 88 0. 86 0. 84 0. 82 0. 80 0. 78 0. 76 0. 74 0. 72 0. 70 0. 68 0. 66 0. 64 0. 62 0. 60 0. 58 0. 56 0. 54 0
10
20
30
40
50
Banyaknya Kut u yang Ter sedi a
Gambar 6.5. Rataan proporsi mangsa yang dimakan pada beberapa kepadatan mangsa Hasil perhitungan laju pemangsaan (a) dan masa penanganan mangsa (Th) mendapatkan nilai berturut-turut 0.24/jam dan 0.69 jam (Tabel 6.3). Parameter a menunjukkan proporsi total area yang berhasil dijelajahi oleh seekor predator per satuan waktu. Nilai a dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah laju pergerakan predator dalam mencari mangsa, laju pergerakan mangsa dalam menghindari predator, laju keberhasilan penangkapan mangsa, dan jarak antara predator dan mangsa (Houck dan Strauss 1985). Parameter a menentukan seberapa cepat kurva tanggap fungsional mencapai asimptot. Masa penanganan (Th) adalah waktu yang dicurahkan oleh seekor predator untuk mencari, mengejar, mematikan, memakan mangsa, dan aktivitas lainnya yang berkaitan dengan pemangsaan (Holling 1965). Tabel 6.3. Laju pemangsaan dan penanganan mangsa dari P. ramburi Parameter
Penduga±SE
Selang kepercayaan 95% Bawah
Atas
a
0.2367379296±0.06187590324
0.11396198714
0.35951387198
Th
0.6950237644±0.04913728179
0.59752416012
0.79252336866
Dengan menggunakan analisis maximum-likelihood, didapatkan tipe tanggap fungsional dari P. ramburi , yang merupakan fungsi dari banyaknya kutu yang dimangsa dengan banyaknya kutu yang tersedia. Hal ini menunjukan bahwa tipe tanggap fungsional pada P. ramburi merupakan tipe II (Gambar 6.6). Menurut Sharov (1996), tipe 1 merupakan tipe tanggap fungsional linier dimana laju pemangsaan meningkat atau menurun sehubungan dengan peningkatan atau penurunan populasi mangsa. Tipe tanggap fungsional II, sering disebut dengan tanggap fungsional hiperbolik dimana laju pemangsaan menurun dengan meningkatnya kerapatan mangsa. Tipe III, disebut juga dengan tipe tanggap
71
fungsional sigmoid, dimana pada pada awalnya laju pemangsaan berlangsung lambat, kemudian meningkat dengan laju yang lebih cepat, sebelum akhirnya menjadi konstan. Tipe pertama biasanya ditemukan pada predator yang bersifat pasif sperti pada laba-laba. Sedangkan tipe II, umumnya terjadi pada percobaan di laboratorium, dengan mangsa tertentu (van Alpen dan Jervis 1996). 40
30
20
10
0 0
10
20
30
40
50
Banyaknya Kut u yang Ter sedi a
Gambar 6.6. Kurva tipe tanggap fungsional predator P. ramburi Secara umum dapat dikatakan bahwa predator P. ramburi cukup efektif karena sifat dari kriteria tanggap fungsional tipe II atau tanggap fungsional hiperbolik adalah bila laju pemangsaan menurun dengan meningkatnya kerapatan mangsa, mortalitas mangsa maksimal terjadi pada kerapatan mangsa yang rendah. Hal ini sesuai dengan salah satu kriteria untuk menentukan keefektifan suatu predator yang dapat diukur dari kemampuannya untuk menemukan mangsa pada kepadatan mangsa rendah dan mengkonsumsi banyak mangsa pada saat populasi mangsa melimpah (Kharboutli dan Mack 1993). Kemampuan pemangsaan yang baik di laboratorium perlu untuk dikaji lebih lanjut penerapannya di pertanaman. Hasil kajian pada jenis chrysopid yang lain seperti Chrysoperla carnea menunjukkan bahwa predator ini telah berhasil dibiakan dan dilepas, bahkan di Amerika spesies ini telah diperjual belikan secara komersil. Kendala sering terlambatnya keberadaan predator P. ramburi di lapangan maka kemungkinan pelepasan predator di lapangan akan efektif untuk dilakukan. Pembiakan di laboratorium perlu dilakukan untuk mendapatkan populasi predator yang cukup banyak. Pelepasan predator dapat dilakukan dalam bentuk telur maupun larva, dengan beberapa kelemahan pada masing-masing instar saat di lepas. Stadia telur cukup baik untuk dilepas karena telur tidak aktif dan dapat ditempatkan pada pertanaman yang akan di lepaskan, namun stadia telur lebih rentan pada suhu dan cuaca. Pelepasan yang dilakukan pada fase larva sering dilakukan, fase ini akan lebih sulit karena cenderung berpindah mencari makanannya. Menurut Sarwar (2014) pada pengujian pelepasan stadia larva menunjukkan bahwa instar-1 dan 2 paling efektif dalam mengurangi populasi kutu daun.
72
Simpulan Predator P. ramburi merupakan musuh alami yang potensial untuk dikembangkan dan digunakan dalam pengendalian hayati kutu putih P. manihoti. Selama perkembangannya, setiap larva P. ramburi mampu memangsa sebanyak 750 ekor kutu putih. Larva P. ramburi lebih banyak memangsa kutu putih nimfa instar-1 dan instar-2. Dengan demikian, peningkatan populasi kutu putih dapat dicegah lebih awal. P. ramburi memperlihatkan tanggap fungsional tipe-2 terhadap peningkatan kelimpahan kutu putih.
Daftar Pustaka Gautam S, Singh AK, Gautam RD. 2009. Comparative life table analysis of chrysopids reared on Phenacoccus solenopsis Tinsley in laboratory. J. Biol. Control. 23(4): 393-402. Hagely EAC. 1989. Release of Chrysoperla carnea Stephens (Neuroptera: Chrysopidae) for control of the green apple aphid, Aphis pomi Degeer (Homoptera:Aphididae). Can Entomol. 121: 309-314. Holling CS. 1965. Functional response of predators to prey density and it role in mimicry and population regulation. Mem Entomol Soc Can. 45 (1): 1-60. Houck MA, Strauss RE. 1985. The comparative study of functional responses: experimental design and statistical interpretation. Can Entomol. 117: 617– 629. Juliano SA. 1993. Non-linier curve fitting: Predation and functional response curve. Pp. 158-183. In SM Sheiner and J Gurevitch (eds). Design and analysis of ecological experiments. Chapman & Hall. New York. Kharboutli MS, Mack TP. 1993. Effect of temperature, humidity, and prey density on feeding rate of the striped earwing (Dermaptera:Labiduridae). Environ Entomol. 22(5): 1134-1139. Kligen I, Johansen NS, Hofsvang T. 1996. The predation of Chrysoperla carnea (Neurop., Chrysopidae) on eggs and larvae of Mamestra brassicae (Lep., Noctuidae). J Appl Entomol. 120: 362-367. Mendel Z, Dunkelblum E, Branco M, Franco JC, Kurosawa S and Mori K. 2003. Synthesis and structure-activity relationship of diene modified analogs of Matsucoccus sex pheromones. Naturwissenschaften, 90: 313317. Metcalf, Luckmann R. 1993. Destructive and Useful Insect: Their Habits and Control, 5th ed. McGraw-Hill, New York. NY. Michaud JP. 2001. Evaluation of green lacewings, Chrysoperla plorabunda (Fitch) (Neuroptera) augmentative release against Toxoptera citricida (Homoptera: Aphididae) in citrus. J Appl Entomol. 122: 383-388. Napompeth B. 1989. Biological control of insect pests and weeds in Thailand. In Pest Ecology and Pest Management. BIOTROP Special Publication. No. 32. BIOTROP, Bogor, Indonesia. p.51-68. Napompeth B. 1990a. Biological control of weeds in Thailand-A country report. Proceedings of the Symposium on Weed Management. Auld, B.A., R.C. Umaly and S.S. Tjitrosomo (eds.). BIOTROP, Bogor, Indonesia. p. 23-36.
73
Napompeth B. 1990b. Use of natural enemies to control agricultural pests in Thailand. FFTC Extension Bulletin No. 303. 22 p. Paper presented at the VI ISSCT Sugarcane Entomology Workshop, Cairns, Australia. May 14-20, 2006. Porter RI. 1988. Evaluation of Germplasm of Cassava (Manihot esculenta Crantz) for Resistance to the Mealybug (Phenacoccus herreni Cx & Williams). Thesis Disertation. Cornel University, Ithaca, NY. Saleh N, Indiati SW, Rahayu M. 2009. Pengendalian Hama dan Penyakit Utama Tanaman Ubikayu. Ubikayu (Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan). Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Hal 168-202. Sarwar M. 2014. The propensity of different larval stages of lacewing Chrysoperla carnea (Stephens) (Neuroptera: Chrysopidae) to control aphid Myzus persicae (Sulzer) (Homoptera: Aphididae) evaluated on Canola Brassica napus L. J. Sci. Technol. 36 (2), 143-148. SAS Institute. 1990. SAS User’s Guide Version 6, Fourth Edition, volume 2. Cary (North Carolina): SAS Institut Inc. Sharov A. 1996. Fungtional and numerical response. Available at: http://www.entovt. Edu/Sharov Pop Ecol/lec10/funcreso.html[accessed desember 2012]. Stark SB, Whitford F. 1987. Fungtional response of Chrysoperla carnea (Neur:Chrysopidae) larvae feeding on Heliothis virescens (Lep:Noctuidae) eggs on cotton in field cages. Enthomophaga. 32: 521-527. Suasa-ard W. 2000. Utilization of natural enemies for controlling insect pests and weeds in Thailand. Paper presented at the Internationa Seminar on NonPesticide methods for Controlling Diseases and Insect pests. Asian Productivity. Organization, Tokyo, Japan. April 10-17, 2000. Tauber MJ, Tauber CA, Daane KM, Hagen. 2000. Commercialization of predators: recent lessons from green lacewing (Neuroptea:Chrysopidae). American Entomologist. 46: 26-38. Van Alphen JJM, Jervis MA. 1996. Foraging behavior. In Jervis M, N Kidd (ed) Insect natural enemies. Practicial approaches to their study and evaluation. Chapman and Hall Published. London. P. 1-62. Williams DJ, Granara de Willink MC. 1992. Mealybugs of Central and South America. CAB International. Wallingford.Oxon, UK, 635 p. Zhang QH, Sheng ML, Chen GF, Aldrich JR, Chauhan KR. 2006. Iridodial: A powerful attractant for the green lacewing, Chrysopa septempunctata Neuroptera: Chrysopidae). Naturwissenschaften. 93: 461-465. Zhu JW, Obrycki JJ, Ochieng SA, Baker TC, Pickett JA, Smiley D. 2005. Attraction of two lacewing species to volatiles produced by host plants and aphid prey. Naturwissenschaften. 92: 277-281.
74
BAB VII PEMBAHASAN UMUM Kutu putih P. manihoti merupakan hama invasif baru yang menyerang pertanaman ubi kayu di Indonesia. Hama ini diperkirakan memasuki wilayah Indonesia pada tahun 2010 (Muniappan et al. 2011, Rauf 2011). Saat ini diketahui kutu putih P. manihoti telah menyebar ke daerah-daerah lain di Indonesia yang merupakan sentra pertanaman ubi kayu seperti Provinsi Lampung dan Jawa Timur. Kemungkinan hama ini telah menyebar ke daerah-daerah lain di Indonesia karena diketahui bahwa penyebaran hama ini cukup cepat yaitu mencapai 150 km/tahun (Winotai et al. 2010). Di Amerika dan Afrika kutu putih P. manihoti merupakan hama utama tanaman ubi kayu, dan kehilangan hasil akibat hama ini bisa mencapai 80% (Schultess 1987; Herren dan Neuenschwander 1991). Dari hasil pengamatan di lapangan, khususnya di Desa Ngampar, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, tingkat serangan dalam satu pertanaman mendekati 100%. Namun sampai saat ini petani belum melakukan tindakan pengendalian untuk mengendalikan hama, dikarenakan tanaman ubi kayu masih dianggap tanaman sampingan dan kurangnya informasi tentang hama ini. Untuk itu adanya pengkajian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi serangan hama dan teknik pengendalian yang mungkin diterapkan perlu dilakukan untuk mendapatkan alternatif teknik pengendalian yang sesuai untuk wilayah Indonesia yang beriklim tropis. Seperti diketahui bahwa ubi kayu merupakan tanaman pangan yang memiliki nilai ekonomi yang lebih rendah dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya seperti padi, jagung dan kedelai. Oleh karena itu masalah hama dan penyakit sering tidak menjadi prioritas untuk dikendalikan, namun bila dilihat dari kehilangan hasil yang tinggi yang dapat disebabkan oleh kutu P. manihoti, maka perlu dicari teknik pengendalian yang sesuai dengan sifat dari komoditi ini. Adanya kajian untuk mengetahui teknik pengendalian hama ini semakin diperlukan karena pada saat ini nilai ekonomi tanaman ubi kayu makin meningkat dengan banyaknya industri-industri yang menggunakan ubi kayu sebagai bahan baku seperti industri bioetanol. Untuk melakukan pengendalian terhadap suatu hama perlu diketahui faktor-faktor yang mempangaruhi baik tentang hamanya maupun petani sebagai pengambil keputusan tindakan pengendalian. Dari faktor hama perlu diketahui sifat-sifat hama dan faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan hama tersebut. Sedangkan dari petani sendiri, pengambilan keputusan pengendalian dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karakterisitik petani, budidaya dan persepsi petani mengenai hama tersebut (Rukka 2003). Survei pengetahuan, sikap, dan persepsi petani dilakukan untuk mengetahui karakter petani, budi daya, dan persepsi petani ubi kayu yang akan mempengaruhi pengambilan keputusan pengendalia hama. Hasil survei menunjukkan bahwa petani di tiga desa merupakan petani yang telah berumur lanjut, dengan tingkat pendidikan yang rendah. Menurut Soekartawi (1988) adanya sumberdaya petani yang masih aktif atau produktif dan pendidikan yang
75
memadai akan menunjang dalam adopsi inovasi suatu pengetahuan dan teknologi. Keterbatasan sumberdaya petani di daerah ini dapat di atasi salah satunya dengan penyuluhan yang lebih intensif dari petugas lapangan. Faktor pembatas lain adalah dari segi kepemilikan lahan dan lahan garapan. Umumnya petani ubi kayu mempunyai lahan garapan yang relatif sempit yaitu di bawah 0.5 ha (+ 90%) dan rata-rata antara 0.25-0.5 ha (53.33%). Kecilnya lahan yang digunakan untuk tanaman ubi kayu, disebabkan karena pada lahan yang lain petani menanam tanaman yang dapat dipanen cepat seperti sayuran atau menanam tanaman yang lebih menguntungkan seperti pepaya. Menurut Pasaribu (2009), dengan luas lahan untuk usahatani ubi kayu subsisten 0,5 ha/KK, maka kebutuhan pangannya tercukupi namun tidak tersedia dana untuk pengadaan sarana produksi dan upah tenaga kerja. Karena itu, saran perbaikan budidaya atau pengendalian disesuaikan yaitu dengan budidaya atau pengendalian hama yang mudah dan murah untuk diterapkan oleh petani. Petani memerlukan saran teknik pengendalian kutu P. manihoti karena penurunan produksi akibat adanya kutu P. manihoti yang diperkirakan oleh petani rata-rata adalah 41-60% dari produksi normal. Dan hampir 100% petani menyatakan bahwa kutu ini merupakan hama utama yang menyebabkan kehilangan hasil ubi kayu. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan populasi hama di lapangan antara lain : iklim atau musim, cara budidaya dan varietas yang ditanam serta musuh alaminya. Di lapangan terlihat bahwa peningkatan populasi dan serangan kutu P. manihoti terjadi pada musim kemarau (Juni-Oktober), dengan curah hujan terendah (37-374 mm/bilan) dan terendah pada bulan NopemberFebruari yang terjadi pada musim penghujan (curah hujan rata-rata 429-636 mm/bulan). Pada musim kemarau, tanaman akan mengalami tekanan karena adanya kekeringan atau kekurangan air. Kekeringan akan meningkatkan senyawa sekunder pada tanaman ubi kayu. Senyawa ini berperan sebagai fagostimulan pada P. manihoti, sehingga dapat meningkatkan populasinya pada tanaman (Neuenschwander 1994). Pada musim hujan populasi P .manihoti mengalami penurunan karena banyak kutu yang mati dan terbawa secara mekanik oleh air hujan. Curah hujan merupakan faktor penentu dalam dinamika populasi kutu P. manihoti di lapangan (Herren dan Hennessey 1983). Mekanisme matinya kutu tanaman dengan adanya air hujan dapat dijadikan ide untuk mengendalikan kutu putih dengan menggunakan air seperti jatuhnya air hujan dengan menggunakan springkler. Prinsip yang digunakan sistem ini adalah memberi tekanan pada air dalam pipa dan memancarkan ke udara sehingga menyerupai hujan selanjutnya jatuh pada permukaan tanah atau tanaman. Untuk ubi kayu pemberian pengairan belum banyak dilakukan, namun dengan semakin tingginya nilai ekonomi ubi kayu, maka pemberian pengairan baik dengan irigasi tetes maupun springkler mungkin akan berkembang, dan pemberian irigasi dengan menggunkan springkler merupakan alternatif yang dapat digunakan. Karena selain dapat memberikan pengairan pada tanaman namun juga dapat berfungsi secara mekanis menurunkan pupolasi kutu putih. Pengairan bertujuan untuk memberikan tambahan air dalam waktu yang cukup dan pada waktu diperlukan tanaman. Secara umum, pengairan berguna untuk mempermudah pengelolahan tanah, mengatur suhu tanah dan iklim mikro, membersihkan atau mencuci tanah dari garam-garam yang larut atau asam-asam
76
tinggi, membersihkan kotoran atau sampah dalam saluran air, dan menggenangi tanah untuk memberantas tanaman pengganggu dan hama penyakit (Kurnia, 2004). Cara budi daya sehat dengan menggunakan pupuk kandang maupun pupuk buatan dapat menurunkan populasi P. manihoti. Penggunaan pupuk kandang atau lainnya dapat mengakibatkan penurunan populasi kutu putih karena hasil peningkatan gizi tanaman dan juga akan meningkatkan reproduksi parasitoid dengan tingkat kesuburan tinggi (Schulthess et al. 1997). Diketahui juga bahwa penggunaan mulsa dan pupuk kandang meningkatkan ketahanan tanaman ubi kayu terhadap serangan kutu putih (Tertuliano et al. 1999). Di lokasi penelitian sistem budi daya petani dengan penggunaan pupuk kandang 11-15 ton per ha, merupakan faktor pendukung sebagai salah satu teknik budidaya yang dapat mengurangi tingkat kehilangan hasil ubi kayu akibat serangan kutu P. manihoti. Cara budi daya dengan tanpa menggunakan pestisida juga dapat mempengaruhi populasi kutu di lapangan karena tanpa pestisida kimia memungkinkan musuh alami yang ada di lapangan dapat berkembang. Petani di lokasi penelitian (100%) mengatakan tidak menggunakan pestisida. Cara budidaya ini membuka peluang untuk menggunakan musuh alami sebagai agen pengendali hayati pada kutu putih P. manihoti. Musuh alami dapat digunakan dengan konservasi atau dengan introduksi. Tanpa pestisida kimia memungkinkan bagi musuh alami untuk menekan populasi kutu putih lebih efektif karena musuh alami dapat bekerja tanpa efek samping dari pestisida kimia seperti kematian musuh alami. Menurut Metcalf dan Luckman (1993) penggunaan bahan-bahan kimia sintetis di pertanaman dapat menyebabkan terjadinya dampak pada lingkungan yang tidak diinginkan yaitu terjadinya resistensi hama, resurjensi hama, terbunuhnya organisma bukan sasaran, munculnya hama sekunder, adanya residu pada tanaman dan terganggunya kualitas lingkungan sekitar seperti air, tanah dan udara. Teknik budi daya dengan perbedaan waktu tanam juga berpengaruh pada kelimpahan populasi kutu P. manihoti di lapangan. Hal ini terlihat pada tiga varietas yang diamati. Varietas Jimbul yang ditanam pada saat mendekati kemarau mengalami serangan paling berat, karena tanaman terserang pada saat umur muda yaitu 2-12 MST. Sedangkan pada manggu yang ditanam pada saat awal musim hujan lebih terhindar dari serangan berat. Waktu awal terjadinya serangan kutu sangat berpengaruh pada hasil ubi kayu. Tanaman yang mendapat serangan awal hama P. manihoti saat umur 2–12 mst, umbi yang dihasilkan jauh berkurang (+ 70 %) dari rata-rata produksi normal. Penurunan produksi yang tajam terjadi karena serangan awal terjadi pada fase kritis dari tanaman ubi kayu (4-12 mst) (Wargiono et al. 2009). Pada fase ini tanaman mengalami fase awal pertumbuhan daun dan formasi sistem perakaran, sebagian fotosintat yang tidak digunakan untuk pertumbuhan disimpan pada umbi. Dengan demikian, gangguan pada daun akan menyebabkan penurunan yang signifikan pada hasil fotosintat. Serangan P. manihoti yang terjadi pada fase ini menyebabkan pertumbuhan tanaman ubi kayu terganggu sehingga tanaman menjadi lebih pendek dibandingkan dengan tanaman normal. Serangan kutu ini juga menyebabkan kerusakan daun (bunchy top) dan batang (distorsi), yang akan mempengaruhi produksi umbi yang dihasilkan. Oleh karena itu pengaturan waktu tanam dapat dilakukan untuk mengurangi kehilangan hasil ubi kayu. Penanaman ubi kayu
77
pada saat awal musim hujan akan mengurangi kehilangan hasil karena tanaman akan relatif lebih terlindungi saat berumur muda. Ini perlu disarankan kepada petani karena pada umumnya petani di lokasi survei menanam ubi kayu tidak menentu dan penanaman dilakukan kapan saja saat lahan telah kosong. Varietas ubi kayu yang digunakan juga berperan dalam mempengaruhi tinggi dan rendahnya populasi kutu P. manihoti. Diketahui bahwa ketahanan suatu varietas ubi kayu dipengaruhi oleh kandungan asam sianida (HCN) pada tanaman. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa ketiga varietas yang di amati tidak terlalu berbeda pada kandungan HCN nya yaitu kurang dari 50 ppm. Hasil uji respon biologi kutu P. manihoti terhadap dua varietas ubi kayu yang berbeda kadar HCN di laboratorium menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata antara varietas yang mempunyai kadar HCN tinggi dan rendah. Varietas dengan kadar HCN tinggi UJ-5 (kadar HCN > 100 ppm) lebih sesuai untuk perkembangan dan reproduksi dari P. manihoti dari pada varietas dengan kandungan HCN rendah Adira-1 (kadar HCN 27.5). Semua parameter perkembangan dan reproduksi P manihoti pada UJ-5 lebih mendukung untuk kehidupan hama (Penelitian 3). Pada umumnya budi daya ubi kayu di masyarakat, petani yang menanam ubi kayu untuk konsumsi pabrik atau industri umumnya menggunakan varietas dengan kadar HCN tinggi karena ubi kayu ini mempunyai produksi yang lebih tinggi. Begitu juga dengan industri bio etanol, umumnya menggunakan ubi kayu dengan kadar HCN tinggi. Untuk itu pemilihan varietas toleran dengan produksi tinggi perlu dilakukan untuk mengurangi kehilangan hasil, terutama pada pertanaman ubi kayu untuk memenuhi kebutuhan industri. Pemilihan varietas toleran ini juga perlu disarankan untuk daerahdaerah yang bahan makanan utamanya adalah ubi kayu seperti daerah Maluku dan Nusa Tenggara. Varietas ubi kayu toleran pernah di laporkan di Thailand adalah Kasetsart 50 (Soysouvanh dan Siri 2013), varietas ini juga pernah masuk ke beberapa wilayah di Indonesia, yang dikenal dengan ubi kayu Thailand. Faktor yang mempengaruhi populasi kutu P. manihoti lainnya adalah musuh alami. Dari hasil survei di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, diketahui bahwa musuh alami dominan yang cukup potensial yaitu Plesiachrysa ramburi. Populasinya mengikuti perkembangan tingkat serangan di lapangan, pada puncak populasi hama, jumlah telur, larva dan pupa per tanaman berturutturut mencapai 100, 60 dan 50 individu. Uji kemampuan pemangsaan di laboratorium diketahui predator ini mampu memangsa lebih dari 700 ekor mangsa sepanjang fase larva. Penggunaan musuh alami ini sesuai untuk diterapkan pada budi daya ubi kayu yang bukan komoditas ekonomi, dimana teknik budi daya yang diterapkan tanpa penggunaan pestisida. Karakter musuh alami yang dapat menurunkan populasi hama namun tidak mengeliminasi, sesuai dengan sifat tanaman ubi kayu yang cukup toleran terhadap serangan hama. Di lapangan kedatangan predator P. ramburi, tampaknya sering agak terlambat, sehingga perlu dikaji kemungkinan untuk pembiakan di laboratorium dan pelepasannya di lapangan. Hasil kajian pada jenis chrysopid yang lain seperti Chrysoperla carnea menunjukkan bahwa predator ini telah berhasil dibiakan dan dilepas, bahkan di Amerika spesies ini telah diperjual belikan secara komersil. Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah mengkombinasikannya dengan musuh alami lain seperti parasitoid untuk dapat secara kompatibel dalam menekan populasi kutu putih P. manihoti. Hasil survei di pertanaman ubi kayu di lokasi kajian belum ditemukan
78
parasitoid yang berasosiasi dengan kutu putih P. manihoti. Namun sukses pengendalian biologi dengan menggunakan parasitoid telah dilakukan di Afrika yaitu introduksi parasitoid Epidinocarsis lopezi untuk mengendalikan P. manihoti merupakan contoh pengendalian biologi klasik yang berhasil pada kutu putih (Neuenschwander 1994). Introduksi parasitoid ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif teknik pengendalian yang dapat dilakukan. Dari hasil kajian dapat disimpulkan bahwa kombinasi teknik pengendalian dengan cara budidaya, varietas tahan dan musuh alami, merupakan kombinasi pengendalian yang sesuai untuk kondisi pertanaman ubi kayu di Indonesia.
79
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN 1. Petani ubi kayu di lokasi penelitian umumnya berpendidikan rendah, berumur lanjut, dan berstatus sebagai penggarap. Mereka tidak tergabung dalam kelompok tani, dan umumnya tidak ada kontak dengan petugas penyuluh pertanian. Salah satu kendala utama yang dirasakan oleh petani dalam beberapa tahun belakangan ini adalah serangan hama baru yaitu kutu putih P. manihoti. Berdasarkan pengalaman petani, kehilangan hasil akibat serangan kutu putih sekitar 40-50%. Petani umumnya tidak melakukan pengendalian untuk mengatasi serangan hama baru ini. Oleh karena itu, perlu dirumuskan strategi pengelolaan hama terpadu untuk hama baru ini. Taktik pengendalian dengan cara bercocok tanam dan pemanfaatan musuh alami kiranya sesuai dengan kondisi sosial ekonomi petani ubikayu. 2. Serangan P. manihoti dapat terjadi sejak tanaman masih muda, dan meningkat dengan cepat selama musim kemarau dengan puncaknya terjadi pada bulan September-Oktober. Terdapat pola hubungan antara saat awal terjadi serangan dengan bobot umbi yang dihasilkan. Tanaman ubi kayu yang terserang sejak muda oleh kutu putih menghasilkan bobot umbi yang lebih rendah, dibandingkan bila serangan terjadi setelah tanaman berumur lebih lanjut. Oleh karena itu, untuk mengurangi dampak serangan kutu P. manihoti, penanaman ubi kayu sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan. Dengan cara ini, pada saat terjadi serangan kutu putih di musim kemarau, tanaman sudah berumur tua dan toleran terhadap gangguan kutu putih. 3. Terdapat keragaman tingkat serangan kutu putih di lapangan. Serangan kutu putih pada varietas Jimbul lebih berat dibanding pada varietas Roti dan Manggu. Sebagai akibatnya bobot umbi yang dihasilkan oleh varietas Jimbul jauh lebih rendah (0.9 kg/pohon), dibanding pada varietas Manggu (3.2 kg/pohon). Ke depan pengembangan varietas unggul ubi kayu perlu mempertimbangkan ketahanannya terhadap kutu putih P. manihoti. 4. Ubi kayu varietas UJ-5, yang memiliki kadar sianida tinggi, lebih sesuai bagi kehidupan dan peningkatan populasi kutu putih P. manihoti, dibandingkan varietas Adira-1 yang kandungan sianidanya rendah. Hal ini ditunjukkan oleh masa perkembangan pradewasa yang lebih singkat dan keperidian seta laju pertambahan intrinsik (rm) yang lebih tinggi pada UJ-5. Oleh karena itu, penanaman ubi kayu varietas UJ-5 pada skala luas, seperti yang sekarang dilakukan oleh pemerintah dan swasta, perlu mengantisipasi perkembangan serangan kutu putih P. manihoti. 5. Musuh alami yang paling banyak dijumpai di pertanaman ubi kayu yang terserang kutu putih adalah predator P. ramburi. Pengujian di laboratorium menunjukkan bahwa P. ramburi merupakan predator yang potensial untuk dikembangkan dan digunakan dalam pengendalian hayati kutu putih P. manihoti. Hal ini didasarkan pada kemampuan memangsanya yang dapat mencapai 750 ekor kutu putih., dan memperlihatkan tanggap fungsional tipe-2 terhadap peningkatan kelimpahan kutu putih. Namun demikian, P. ramburi
80
biasanya meningkat populasinya di akhir musim kemarau, pada saat populasi kutu putih sudah mencapai puncaknya dan tanaman ubi kayu sudah terserang berat. Oleh karena itu, perlu dikembangkan teknik pembiakan massal P. ramburi dengan tujuan untuk dilepas di pertanaman ubi kayu segera setelah ada gejala serangan kutu putih.
81
BAB IX DAFTAR PUSTAKA Allem AC. 2002. The origins and taxonomy of cassava. Di dalam Hillocks RJ, Thresh JM, Bellotti AC, editor. Cassava: Biology, Production and Utilization. New York: CABI Publishing. hlm 1-16. Apriyana N. 2011. Kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian dalam rangka mempertahankan ketahanan pangan nasional. Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 17 hal. Arihantana M B, Buckle KA. 1986.Effect of non-enzymic browning, starch and sugars on total cyanide determination in cassava by an enzymatic assay. J Food Sci Tech. 21: 189-197. Awmack CS, Leather SR. 2002. Host plant quality and fecundity in herbivorous insects. Annu. Rev. Entomol. 47: 817-844. Balitkabi 2005. Teknologi Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balitkabi, Malang. [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor. 2013. Data temperatur dan curah hujan tahun 2012 daerah Katulampa. BMKG 6 Maret 2013. Bogor. Bellotti AC, Smith L, Lapointe SL. 1999 .Recent advances in cassava pest management. Annu Rev Entomol. 44: 343-370. Ben-Dov Y, Hodgson CJ. 1997. Their Biology, Natural Enemies and Control, Armoured Scale Insects, Vol 4B. Amsterdam: The nederlands. Bernay EA, Chapman RF. 1994. Host-plant selection by phytophagous insects. Chapman & Hall. 312 hal. Bertschy C, Turlings TCJ, Bellotti AC, Dorn S. 1997. Chemically-mediated attraction of three parasitoid species to mealybug-infested cassava leaves. Flo Entomol. 80: 383-395. Bertschy C, Turlings TCJ, Bellotti AC, Dorn S. 2001. The role of mealybuginduced cassava plant volatiles in the attraction of the Encyrtid parasitoids Aenasius vexans and Apoanagyrus diversicornis. J Insect Behav. 14: 363371. Birch L C. (1948). The intrinsic rate of natural increase of an insect population. J Animal Ecol. 17: 15–26. Boavida C. and P Neuenschwander 1995, Spatial distribution of Rastrococcus invadens Williams in Mango tree, J. Appl. Ent. 14, pp. 381-391. Boussienguet J. 1984. Bio-ecologie de la cochenille du manioc, Phenacoccus manihoti Mat.-Ferr. et de ses ennemis naturels au Gabon. These Universite de Paris Jussieu, Paris, France, 100 p. in Paul-André and Bruno. 2006. Cassava–Mealybug Interactions. Instutute de Recerche Pour Le Developpement. Paris. 112 p. Carlos ED. 1983. Morphology of the cassava plant. Study Guide. CIAT. Cali. Colombia.
82
Calatayud PA, Rahbé Y, Delobe1 B, Khuong-Huu E, Tertuliano M, Le Ru B. 1994a. Influence of secondary compounds in the phloem sap of cassava on expression of antibiosis towards the mealybug Phenacoccus manihoti. Entomol. Exp. Appl. 72: 47-57. Catalayud PA, Tertuliano M, Le Ru B. 1994b. Seasonal changes in secondary compounds in the phloem sap of cassava in relation to plant genotype and infestations by Phenacoccus manihoti (Homoptera: Pseudococcidae). Bull. Entomol. Res 84: 453-459. Catalayud PA, Le RU B. 2006. Cassava-Mealybug interactions. Paris. 112 p. CGIAR. 2000. Root and tubers in the global food system. A vision statement to the year 2020. Charernsom, K, Suasa-ard W. 1994. A host list of natural enemies of insect pests in Thailand. Special Publication No 6. National Biological Control Research Center Kasetsart University/National Research Council of Thailand.144 pp. (In Thai). Charernsom K, Suasa-ard W. 2010. Insects of Thailand: Host and preys of Natural enemies. Special Publication No 9.National Biological Control Research Center Kasetsart University/National Research Council.714 pp. (In Thai). CIAT 1988. Annual Report Cassava Program. CIAT Calt. Colombia CIAT 1990. Annual Report Cassava Program 1989, CIAT Calt. Colombia CIAT 1992. Annual Report Cassava Program 1987-1991, CIAT Calt. Colombia. CIAT. 1993. Cassava program annual report. Working document No. 146. p: 142-143. Cortesero AM, Stapel JO, Lewis WJ. 2000. Understanding and manipulating plant attributes to enhance biological control. Biol Contr. 17: 35-49. Cox JM, Williams DJ. 1981. An account of cassava mealybugs (Hemiptera: Pseudococcidae) with a description of a new species. Bull Entomol Res. 71: 247-258. Darjanto, Murjati. 1980. Khasiat, Racun dan Masakan Ketela Pohon. Bogor: yayasan Dewi Sri. Darvas, B., Skuhravá, M., Andersen, A., 2000, Agricultural dipteran pests of the Palaearctic Region. In: Papp, L., Darvas, B. (Eds.). Contributions to a Manual of Palaearctic Diptera with Special Reference to Flies of Economic Importance. Science Herald, Bupapest, 565-649. Dicke M, Vet LEM. 1999. Plant-carnivore interactions: evolutionary and ecological consequences for plant, herbivore and carnivore. In: Herbivores: between plants and predators, H. Olff, V. K. Brown & R. H. Drent (eds), Blackwell Science, Oxford, UK, p. 483-520. Douglas A L, Stephen DW, Geoff MG. 2000. Habitat management to conserve natural enemies of arthropod pests in agriculture. Annu Rev Entomol. 45: 175-201. Ezeala D O, Okoro N. 1986. Processing techniques and hydrocyanic acid content of cassava-based human foodstuffs in Nigeria. J Food Biochem. 10: 125-132. Fraenkel G. 1969. Evaluation of our thoughts on secondary plant substances. Entomol exp appl. 12: 473-486.
83
Gautam S, Singh AK, Gautam RD. 2009. Comparative life table analysis of chrysopids reared on Phenacoccus solenopsis Tinsley in laboratory. J. Biol. Control. 23(4): 393–402. Guitierrez AP, Neuenschwansed P, Schulthess F, Herren HR, Baumgaertners JU, Wermelinger B, Lor B, Ellis C.K. 1988. Analysis of Biological Control of Cassava Pests in Africa. II. Cassava Mealybug Phenacoccus manihoti. J Appl Ecol. 25(3): 921-940. Hadisapoetro S. 1992. Usaha pembinaan usahatani lahan sempit. Departemen Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. UGM. Jogjakarta. Hagley EAC. 1989. Release of Chrysoperla carnea Stephens (Neuroptera: Chrysopidae) for control of the green apple aphid, Aphis pomi Degeer (Homoptera:Aphididae). Can Entomol. 121: 309-314. Herren HR, Hennessey RN. 1983. Biological control and host plant resistance to control the cassava mealybug and green mite in Africa: Proceedings of an international workshop. Ibadan, Nigeria: IITA. 154 p. Herren HR, Neuenschwander P. 1991. Biological control of cassava pest in Africa. Annu Rev Entomol. 36: 257-283. Herrera JC, Van Driesche RG, Bellotti AC. 1989. Temperature dependent growth rates for the cassava mealybug, Phenacoccus hereni, and two of its encyrtid parasitoids, Epidinocarsis diversicornis and Acerophagus coccois in Colombia. Entomol Exp Appl. 50. 21-27. Heriyanto, Krisdiana R, Anindita R. 2009. Prospek produk olahan ubikayu di pasar internasional dalam Ubikayu Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. Holling CS. 1965. Functional response of predators to prey density and it role in mimicry and population regulation. Mem Entomol Soc Can. 45(1): 1-60. Houck MA, Strauss RE. 1985. The comparative study of functional responses: experimental design and statistical interpretation. Can Entomol. 117: 617– 629. Iheagwam EU. 1981. The influence of temperature on increase rates of the cassava mealybug Phenacoccus manihoti Mat.-Ferr.(Homoptera; Pseudococcidae). Rev Zool Afr 95: 959–967. Iheagwam EU, Eluwa MC. 1983. The effects of temperature on the development of the immature stages of the Cassava Mealybug, Phenacoccus manihoti Mat-Ferr.(Homoptera, Pseudococcidae). Deut Entomol Z 30: 17– 22. Indiati. 1999. Status tungau merah pada tanaman ubi kayu. Dalam: Pemberdayaan Tepung Ubi Jalar sebagai Substitusi Terigu, dan Potensi Kacang-kacangan untuk Pengayaan Kualitas Pangan. Rahmianna (eds). Edisi khusus Balitkabi No. 15. 1999. Hal 122-126. James B, Yaninek J, Neuenschwander P, Cudjoe A, Modder W, Echendu N, Toko M. 2000. Pest Control in Cassava Farms. International Institute of Tropical Agriculture. 36p. Juliano SA. 1993. Non-linier curve fitting: Predation and functional response curve. Pp. 158-183. In SM Sheiner and J Gurevitch (eds). Design and analysis of ecological experiments. Chapman & Hall. New York.
84
Kalshoven LGE. 1981. The pests of crops in Indonesia. Revised and translated by van der laan. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. 710p. Khan AA, Avesi GM, Masud SZ, Rizvi SWA. 1998. Incidence of mealybug Dysmicoccus brevipes (Cockerell) on pineaplle. Tr J Zool. 22: 159-161. Kharboutli MS, Mack TP. 1993. Effect of temperature, humidity, and prey density on feeding rate of the striped earwing (Dermaptera:Labiduridae). Environ Entomol. 22(5): 1134-1139. Kligen I, Johansen NS, Hofsvang T. 1996. The predation of Chrysoperla carnea (Neurop., Chrysopidae) on eggs and larvae of Mamestra brassicae (Lep., Noctuidae). J Appl Ent. 120: 362-367. Kurnia, U. 2004. Prospek Pengairan Pertanian Tanaman Semusim Lahan Kering. Jurnal Litbang Pertanian. 23(4):130-138. Lathrap DW. 1970. The upper Amazon. Thames and Hudson. London. Lema KM, Herren HR. 1985. The influence of constant temperature on population growth rates of the cassava mealybug, Phenacoccus manihoti. Entomol Exp Appl 38: 165–169. Le Ru B, Makayamakasso JP. 2001. Prey habitat location by the cassava mealybug predator Exochomus flaviventris: Olfactory responses to odor of plant, mealybug, plantmealybug complex, and plant-mealybug-natural enemy complex. J Insect Behav. 14: 557-572. Le Ru B, Calatayud PA. 1994. Interactions between cassava and arthropod pests. African Crop Sci J. 2: 385-390. Löhr B, Varela AM, Santos B. 1990. Exploration for natural enemies of the cassava mealybug, Phenacoccus manihoti (Homoptera: Pseudococcidae), in South America for the biological control of this introduced pest in Africa. Bull Entomol Res 80: 417–425. Maia AHN, Luiz AJB, Campanhola C. 2000. Statistical inference on associated life table parameters using jacknife technique: computational aspect. J. Econ.Entomol. 93: 511-518. Matile-Ferrero D. 1978. Cassava mealybug in the People's Republic of Congo. In: Nwanze KF, Leuschner K, ed. Proceedings of the International Workshop on the cassava mealybug Phenacoccus manihoti Mat.-Ferr. (Pseudococcidae) held at INERA-M'vuazi, Bas-Zaire, Zaire, June 26-29, 1977. International Institute of Tropical Agriculture. Ibadania Niger, 29-46. Mamahit JME. 2009. Kelimpahan populasi, biologi dan pengendalian kutu putih nanas Dysmicoccus brevipes (Cockerell) (Hemiptera: Pseudococcidae) di Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Maman S. 2014. Kebijakan Pengembangan Ubi Kayu di Indonesia. Seminar dan Pelepasan Terbatas Parasitoid. Bogor. September 2014. Mendel Z, Dunkelblum E, Branco M, Franco JC, Kurosawa S, Mori K. 2003. Synthesis and structure-activity relationship of diene modified analogs of Matsucoccus sex pheromones. Naturwissenschaften, 90: 313-317. Metcalf, Luckmann R. 1993. Destructive and Useful Insect: Their Habits and Control, 5th ed. McGraw-Hill, New York. NY. Michaud JP. 2001. Evaluation of green lacewings, Chrysoperla plorabunda (Fitch) (Neuroptera) augmentative release against Toxoptera citricida (Homoptera: Aphididae) in citrus. J Appl Entomol. 122: 383-388.
85
Mourier M, 1997. Effects of neem (Azadirachta indica) kernel water extracts on cassava mealybug, Phenacoccus manihoti (Hom., Pseudococcidae). J Appl Entomol. 121(4): 231-236. Mulyandari RSH. 2011. Perilaku petani sayuran dalam memanfaatkan teknologi informasi.Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian. J Perpus Pert. 20(1). Muniappan R, Shepard BM, Watson W, Carner GR, Rauf A, Sartiami D, Hidayat P, Afun JVK, Goergen G, Ziaur Rahman AKM. 2011. New Records of Invasive Insects (Hemiptera:Sternorrhyncha) in Southeast Asia and West Africa. J Agric Urban Entomol. 26(4): 167-174. Nadel H, van Alphen JJM. 1987. The role of host- and host-plant odours in the attraction of a parasitoid, Epidinocarsis lopezi, to the habitat of its host, the cassava mealybug, Phenacoccus manihoti. Entomol Exp Appl. 45: 181186. Napompeth B. 1989. Biological control of insect pests and weeds in Thailand.In Pest Ecology and Pest Management.BIOTROP Special Publication.No. 32.BIOTROP, Bogor, Indonesia. p.51-68. Napompeth B. 1990a. Biological control of weeds in Thailand-A country report.Proceedings of the Symposium on Weed Management. Auld, B.A., R.C. Umaly and S.S. Tjitrosomo (eds.). BIOTROP, Bogor, Indonesia. p. 23-36. Napompeth B. 1990b. Use of natural enemies to control agricultural pests in Thailand. FFTC Extension Bulletin No. 303. 22 p. Paper presented at the VI ISSCT Sugarcane Entomology Workshop, Cairns, Australia. May 14-20, 2006. Neuenschwander P, Borowka R, Phisi G, Hammans H, Nyiranda S, Kapeye EH, Gadabu A. 1991. Biological control of the cassava mealybug Phenacoccus manihoti (Hom, Pseudococcidae) by Epidinocarsis lopezi (Hym, Ecyrtidae) in Melawi. Biocontrol Science and Technology 1: 297-310. Neuenschwander P. 1994. Control of cassava mealybugs in Africa:lessons from a biological control project. African Crops Sci J. l2(4): 369-383. Neuenschwander P. 2003. Biological control of cassava and mango mealybugs in Africa. In: Biological control in IPM systems in Africa, P. Neuenschwander, C. Borgemeister & J. Langewald (eds), CABI Publishing, Oxon, UK, p. 4559. Neuenschwander P. 2004. Harnessing nature in Africa: biological pest control can benefit the pocket, health and the environment. Nature. 432: 801–802. Neuenschwander P, Schulthess F, Madojemu E. 1986. Experimental evaluation of the efficiency of Epidinocarsis lopezi, a parasitoid introduced into Africa against the cassava mealybug Phenacoccus manihoti. Entomol Exp Appl. 42: 133-138. Nwanze KF. 1977. Biology of the cassava mealybug Phenacoccus manihoti Mat-Ferr. in the Republic of Zaire. Proceedings of the International Workshop on Cassava Mealybug Phenacoccus manihoti MatFerr.(Pseudococcidae). INERA, M’Vuazi-Zaire, June 26-29, IITA Press, Ibadan, Nigeria, p. 20-28.
86
Nwanze KF. 1978. Biology of the cassava mealybug Phenacoccus manihoti Mat-Ferr. in the Republic of Zaire. In: Nwanze KF, Leuschner K (Ed.). Proceedings of the International Workshop on Cassava Mealybug Phenacoccus manihoti Mat-Ferr. (Pseudococcidae). pp. 20-28. INERA, M’Vuazi, Zaire, June 26-29, 1977. IITA Press, Ibadan, Nigeria. Nwanze KF, Leuschner K, Ezumah HC. 1979. The cassava mealybug, Phenacoccus manihoti, in Republic of Zaire. PANS 25(2): 125-130. Nwanze KF. 1982. Relationship between cassava root yields and crop infestations by the mealybug, Phenacoccus manihoti. Int. J. Pest Manag. 28: 27-32. Obata S. 1986. Mechanisms of prey finding in the aphidophagous ladybird beetle, Harmonia axyridis (Coleoptera: Coccinellidae). Entomophaga. 31: 303-311. Pancoro A, Hughes MA. 1992. In-situ localization of cyanogenics-glucosidase (linamarase) gene expression in leaves of cassava (Manihot esculenta Crantz) using non-isotopicriboprobes. Plant J. 2: 821-827. Panda 1979. Principles of Host-Plant Resistance to Insect Pests. Allanheld Universe, New York. Pane H, Santoso B, Kartika. 2009. Pengendalian gulma pada ubi kayu. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. Parsa S, Kondo T, Winotai A. 2012. The cassava mealybug (Phenacoccus manihoti) in Asia: First records, potential distribution, and an identification key. PloS ONE 7(10): e47675. doi.10.1371/journal.pone.0047675. Pasaribu SM, Sayaka B, Hestina J. 2009. Kelayakan usahatani skala keluarga petani. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. Pelebangan S, Hamzah F, Dahlan, Kaharuddin. 2006. Persepsi petani terhadap pemanfaatan bokasi jerami pada tanaman ubi jalar dalam penerapan sistem pertanian organik. J Agrisistem. 12(1): 46-53. Porter RI. 1988. Evaluation of Germplasm of Cassava (Manihot esculenta Crantz) for Resistance to the Mealybug (Phenacoccus herreni Cx & Williams). Thesis Disertation. Cornel University, Ithaca, NY. Price PW. 1984. Insect Ecology. Second Edition. New York: John Willey & Sons. Hlm: 209-234. Rauf A. 1996. Analisis ekosistem dalam pengendalian hama terpadu. Dalam: Pelatihan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Padi dan Palawija Tingkat Nasional. Jatisari: 2-19 Jan 1996. Rauf A. 1999. Persepsi dan tindakan petani terhadap lalat penggorok daun Liriomyza huidobrensis (Blanchard) (Diptera: Agromyzidae). Buletin HPT 11(1): 1-13. Rauf A. 2011. Invasive pests. IPM CRSP Annual Report 2010-2011. Razafindrakoto C, Ponte JJ, Andrade NC, Silveira Filho J, Pimentel Gomes F, 1999. [Manipueira and heat treatment for the treatment of cassava cuttings attacked by scale insects.] Manipueira e termoterapia no tratamento de estacas de mandioca atacadas por cochonilhas. Rev Agric Piracicaba, 74(2): 127-136. Rigaud T, Souty-Grosset C, Raimond R, Mocquard JP, Juchault P. 1991. Feminizing endocytobiosis in the terrestrial crustacean Armadilidium vulgare Latv (Isopoda): recent acquisition. Endocyt Cell Res. 7: 259-273.
87
Rozi F, Heriyanto. 2009. Ubikayu sebagai komoditas ekonomi dalam Ubikayu Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. Rukka H 2003. Motivasi Petani dalam Menerapkan Usahatani Organik pada Padi Sawah. Tesis. Program Studi Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Saleh N, Indiati SW, Rahayu M. 2009. Pengendalian Hama dan Penyakit Utama Tanaman Ubikayu. Ubikayu (Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan). Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Hal 168-202. Saputro AR. 2013. Biologi dan potensi peningkatan populasi kutu putih singkong, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae): Hama pendatang baru di Indonesia. [skripsi]. Fakultas Pertanian – IPB, Bogor. Sarwar M. 2014. The propensity of different larval stages of lacewing Chrysoperla carnea (Stephens) (Neuroptera: Chrysopidae) to control aphid Myzus persicae (Sulzer) (Homoptera: Aphididae) evaluated on Canola Brassica napus L. J. Sci. Technol. 36 (2), 143-148, SAS Institute. 1990. SAS User’s Guide Version 6, Fourth Edition, volume 2. Cary (North Carolina): SAS Institut Inc. Schultess F. 1987. The interactions between casava mealybug (Phenacoccus manihoti Mat-ferr) populations as influenced by weather. Phd thesis. Swiss Federal Institute of Technology, Zurich. Schulthess F, Neuenschwander P, Gounou S, 1997. Multi-trophic interactions in cassava, Manihot esculenta, cropping systems in the subhumid tropics of West Africa. Agriculture, Ecosystems & Environment 66(3):211-222. Semangun H. 1991. Penyakit-penyakit tanaman pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 449 hlm. Sharov A. 1996. Fungtional and numerical response. Available at: http://www.entovt. Edu/Sharov Pop Ecol/lec10/funcreso.html[accessed desember 2012]. Stark SB, Whitford F. 1987. Fungtional response of Chrysoperla carnea (Neur:Chrysopidae) larvae feeding on Heliothis virescens (Lep:Noctuidae) eggs on cotton in field cages. Enthomophaga. 32: 521-527. Stouthamer R, Breeuwer JAJ, Luck RF, Werren JH. 1993. Molecular identification of microorganisms associated with parthenogenesis. Nature. 361: 66-68. Southwood TRE. (1978). Ecological methods with particular reference to the nd study of insect populations.2 edition. London: Chapman and Hall, 524. Southwood TRE, Henderson PA. 2000. Ecological Methods. Third Edition. Blackwell Sci., Oxford. Souissi R, Nenon JP, Le Ru B. 1997. Behavioural responses of the endoparasitoid Apoanagyrus lopezi to odours of the host and host’s cassava plants. Entomol Exp Appl. 90: 215-220. Soysouvanh P, Siri N. 2013. Population abundance of pink mealybug, Phenacoccus manihoti on four cassava varieties. Khon Kaen Agr J. 41(1):149-153
88
Suasa-ard W. 2000.Utilization of natural enemies for controlling insect pests and weeds in Thailand. Paper presented at the Internationa Seminar on NonPesticide methods for Controlling Diseases and Insect pests. Asian Productivity.Organization, Tokyo, Japan.April 10-17, 2000. Soekartawi. 1998. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta: UI Press. Sundari T. 2009. Pemuliaan tanaman ubi kayu. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. Sundari T. 2010. Petunjuk Teknis Pengenalan Varietas Unggul dan Teknik Budidaya Ubi kayu. Balai Penelitian Kacang Kacangan dan Umbi Umbian, Malang. 16 h. Suharno, Djasmin, Rubiyo, Dasiran. 1999. Budi Daya Ubi Kayu. Kendari: Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian. Suyamto, Wargiono J. 2009. Kebijakan Pengembangan Agribisnis Ubi Kayu dalam Ubikayu Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. Tauber MJ, Tauber CA, Daane KM, Hagen. 2000. Commercialization of predators: recent lessons from green lacewing (Neuroptea:Chrysopidae). American Entomologist. 46: 26-38. Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan & Universitas Kristen Krida Wacana. 284 hlm. Tertuliano M, Dossou-Gbete S, Le Ru B. 1993. Antixenotic and antibiotic components of resistance to the cassava mealybug, Phenacoccus manihoti (Hom., Pseudococcidae), in various host-plants. Insect Sci Appl. 5(6): 657665. Tertuliano M, Calatayud PA, Le Rü B. 1999. Seasonal changes of secondary compounds in the phloem sap of cassava in relation to fertilization and to infestation by the cassava mealybug. Insect Sci Appl. 19(1): 91-98. Tonglum A, Suriyanapan P, Howeler RH. 2001. Cassava agronomy research and adoption of improved practices in Thailand – Major achievement during the past 35 years. Cassava’s Potential in Asia in the 21st Century: Present Situation and Future Research and Development Needs. Proc. of the Sixth Regional Workshop held in Ho Chi Minch City, Vietnam: 228–258. Untung K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 271 hlm. Vademikum Ubikayu. 2008. Direktorat Budidaya Kacang-kacangan dan Umbiumbian. 26 h Van Alphen JJM, Jervis MA. 1996. Foraging behavior. In Jervis M, N Kidd (ed) Insect natural enemies. Practicial approaches to their study and evaluation. Chapman and Hall Published. London. P. 1-62. Van Driesche RG, Bellotti AC, Castillo JA, Herrera CJ. 1990. Estimating total losses from parasitoids for a field population of a countinously breeding insect, cassava mealybug, Phenacoccus herreni (Homoptera : Pseudococcidae) in Colombia, S.A. Florida Entomologist. 73: 133-143. Vet LEM, Dicke M. 1992. The ecology of infochemical use by natural enemies of herbivores in a tritrophic context. Annu Rev Entomol. 37: 141-172.
89
Walton VM, Daane KM, Pringle KL. 2004. Monitoring Planacoccus ficus in South African vineyards with sex pheromone-baited trap. Crop Protect. 23: 1089-1096. Wargiono. 1979. Ubikayu dan cara bercocok tanamnya. LP3. Bogor Wargiono J, Kartika, Solihin. 2009. Areal pertanaman dan sistem produksi dalam Ubikayu Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h. Williams DJ, Granara de Willink MC. 1992. Mealybugs of Central and South America. CAB International. Wallingford.Oxon, UK, 635 p. Winotai A, Goergen G, Tamò M, Neuenschwander P. 2010. Cassava mealybug has reached Asia. Biocontrol News Inf. 31: 10–11. Yaseen M. 1982. Exploration for natural enemies of Phenacoccus manihoti and Mononychellus tanajoa: the challenge, the achievements. In: Herren HR, Hennessey RN, editors. Biological control and host plant resistance to control the cassava mealybug and green mite in Africa: Proceedings of an international workshop. Ibadan, Niger: IITA. pp 81–102 Zhang QH, Sheng ML, Chen GF, Aldrich JR, Chauhan KR. 2006. Iridodial: A powerful attractant for the green lacewing, Chrysopa septempunctata Neuroptera: Chrysopidae). Naturwissenschaften. 93: 461-465. Zhu JW, Cosse AA, Obrycki JJ, Boo KS, Baker TC. 1999. Olfactory reactions of the twelve-spotted lady beetle, Coleomegilla maculata and the green lacewing, Chrysoperla carnea to semiochemicals released from their prey and host plant: electroantennogram and behavioral responses. J Chem Ecol. 25: 1163-1177. Zhu JW, Obrycki JJ, Ochieng SA, Baker TC, Pickett JA, Smiley D. 2005. Attraction of two lacewing species to volatiles produced by host plants and aphid prey. Naturwissenschaften. 92: 277-281. Zia K, Hafeez F, Khan RR, Arshad M, Naeem-ullah U. 2008. Effectiveness of Chrysoperla carnea (Stephens) (Neuroptera: Chrysopidae) on the population of Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae) in different cotton genotypes. J Agric Soc Sci. 4: 112-116.
90
LAMPIRAN
91
Lampiran 1. Pertanyaan kuisioner wawancara kepada petani ubi kayu
KARAKTERISTIK PETANI 1. Nama : 2. Umur : [ ] ≤ 20 tahun [ ] 41-50 tahun 3. Pendidikan tertinggi : [ ] Tidak sekolah [ ] SLTA 4. 5.
6. 7.
[ ] 21-30 tahun [ ] 51-60 tahun
[ ] 31-40 tahun [ ] 60 tahun
[ ] SD [ ] PT
[ ] SLTP
Jumlah tanggungan keluarga : [ ] ……….. orang Sumber utama pendapatan keluarga: [ ] Bertani [ ] Berdagang [ ] PNS [ ] Buruh bangunan [ ] Pegawai swasta [ ] …………….. Pelatihan yang pernah diikuti : Apakah Bapak masuk dalam keanggotaan Kelompok Tani ? [ ] Tidak [ ] Ya, kelompok tani:……………
KARAKTERISTIK BUIDIDAYA: 8. Berapa luas tanaman singkong yang Bapak usahakan : [ ] ……….. 9. Status kepemilikan lahan singkong dan pengusahaan: [ ] Pemilik-penggarap [ ] Penyewa-penggarap [ ] Penggarap [ ] ………………… 10. Sejak kapan Bapak menanam singkong ? [ ] …………. tahun yang lalu 11. Pola tanam singkong ? [ ] Terus-menerus singkong [ ] Digilir dengan tanaman ……………. 12. Kapan biasanya menanam singkong ? [ ] Awal musim hujan [ ] Awal musim kemarau [ ] ………… 13. Jenis atau varietas singkong yang ditanam ? [ ] ……………………………………………………………… 14. Mengapa varietas itu yang dipilih ? ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………… 15. Sumber stek singkong ? [ ] Dari kebun sendiri[ ] Didapat secara gratis dari petani lain [ ] Beli dari ………………………………………………….. 16. Jarak tanam yang digunakan ? [ ] ………. X …….. cm 17. Pemupukan dengan pupuk kandang ? [ ] Ya [ ] Tidak (langsung ke No. 21 ) 18. Jenis pupuk kandang yang digunakan ? [ ] kotoran ayam [ ] kotoran kambing[ ] kotoran …….. Dosis yang digunakan ? [ ] …………
92
Lampiran 1. (lanjutan) 19. 20. 21. 22. 23. 24.
25.
Kapan dilakukan pemupukan dengan pupuk kandang ? [ ]…………………………………………................................. Pemupukan dengan pupuk sintetik ? [ ] Ya [ ] Tidak (langsung ke No. 25 ) Jenis pupuk sintetik yang digunakan ? [ ] …………………………….. Dosis pupuk sintetik yang digunakan ? [ ] ……………………………… Kapan dilakukan pemupukan dengan pupuk sintetik ? [ ] Penyiangan gulma ? [ ] Ya [ ] Tidak (langsung ke No. 27 ) Jenis Gulma di pertanaman ubi kayu :..................................................... Berapa kali dan kapan penyiangan dilakukan ? [ ] ……. X pada saat tanaman berumur ...…………………….
Kutu Putih dan OPT Lainnya 26. Apakah tanaman singkong Bapak terserang kutu putih ? (tunjukkan foto/specimen) [ ] Ya [ ] Tidak Mulai ada pada tahun ........................ Jika Ya, gejala yang diketahui............................................................... 27. Bagaimana keadaan tingkat serangannya ? [ ] Ringan [ ] Sedang [ Berat} 28. Berapa persen kira-kira penurunan hasil karena serangan kutu putih ? Tanpa serangan ............................. ton Ada serangan ................................. ton [ ] …………. 29. Apa yang Bapak lakukan untuk mengendalikan kutu putih ? [ ] ……………………………………………………………....…… 30. Apakah kutu putih menyerang tanaman lain ? [ ] Ya [ ] Tidak 31. Apakah bapak mengenal musuh alami Chrysopidae (Spesimen) [ ] Ya [ ] Tidak 32. Menurut Bapak apa penyebab terjadinya serangan kutu putih di pertanaman? .............................................................................................................. 33. Selain kutu putih, hama atau penyakit apa yang sering Bapak temukan pada tanaman singkong ? 1. Kutu putih 2. Uret 3. Tungau 4. Bercak daun 5. Busuk batang Urut kan dari yang paling utama .....................................................................
93
Lampiran 1. (lanjutan) PEMANENAN DAN PENJUALAN 34. 35.
36.
Umur berapa saat singkong dipanen ? Kemana Bapak menjual hasil panen singkong ? [ ] Pabrik tapioca di Sukaraja dan sekitarnya [ ] Pembeli dari luar wilayah ….. [ ] …………………………………………………………… Bagaimana cara Bapak menjual singkong ? [ ] Borongan sebelum umbi dibongkar [ ] Borongan setelah umbi dibomgkar [ ] Dijual di kebun Lainnya........................... USAHATANI Modal Usaha tani ................................................................... Hasil Panen 1. Jika tidak ada serangan .............................. 2. Jika ada serangan kutu putih ......................................... Harga saat panen ..................................... Rp/kg Kontak dengan PPL : [ ] Ada [ ] Tidak Sumber kredit Jika ada :
94
Lampiran 2. Gejala serangan P. manihoti pada tanaman ubi kayu
Gejala awal
Gejala Bunchy top
Gejala distorsi pada batang
95
Lampiran 3. Laporan pengujian laboratorium pada kadar HCN 3 varietas ubi kayu
96
Lampiran 4. Deskripsi varietas ubi kayu ADIRA 4 Dilepas tahun Nomor seleksi klon Asal BIC 528 (MUARA) Hasil rata-rata Umur Tinggi batang Bentuk daun Warna pucuk daun Warna tangkai daun
Warna tulang daun Warna batang muda Warna batang tua Warna kulit umbi Warna daging umbi Kualitas rebus Rasa Kadar tepung Kadar protein Kadar HCN Ketahanan thd hama Ketahanan thd penyakit
: 1987 : W-31 : Persilangan bebas, induk betina : 35 t/ha : 10 bulan : 1,5–2,0 m : Biasa, agak lonjong : Hijau : Bagian atas merah kehijauan (muda hijau kemerahan) Bagian bawah hijau muda : Bagian atas merah muda Bagian bawah hijau muda : Hijau : Abu-abu : Coklat (bagian luar) : Ros (bagian dalam) : Putih : Bagus tetapi agak pahit : Agak pahit : 18–22% : 0,8–22% : ± 68 mg/100 g : Cukup tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus) : Tahan terhadap Pseudomonas solanacearum dan Xanthomonas manihotis
97
Lampiran 4. Deskripsi varietas ubi kayu (lanjutan) MALANG 2 Dilepas tanggal SK Mentan Nomor seleksi Asal Potensi hasil Umur tanaman Tinggi batang Bentuk daun Warna pucuk daun Warna tangkai daun tua
Warna batang muda Warna batang tua Warna kulit umbi Warna daging umbi Kualitas rebus Rasa Kadar tepung Kadar protein Kadar HCN Ketahanan thd hama Ketahanan thd penyakit
Pemulia
: 3 November 1992 : 624/Kpts/TP.240/11/92 : MLG 10209 : Hasil persilangan CM 922-2 x CM 507-37 : 31,5 (20–42) t/ha umbi segar : 8–10 bulan : 1,5–3,0 m : Menjari dengan cuping sempit : Hijau muda kekuningan : Bagian atas hijau muda kekuningan muda kekuningan bagian bawah hijau : Hijau muda : Coklat kemerahan : Coklat kemerahan (bagian luar) Putih kecoklatan (bagian dalam) : Kuning muda : Baik : Enak (manis) : 32–36% : 0,5% (umbi segar) : <40 mg/kg (metode asam pikrat) : Agak peka tungau merah (Tetranichus sp.) : Toleran becak daun (Cercospora sp.) dan hawar daun (Cassava Backterial Blight) : Yudi Widodo, Koes Hartojo, Soemarjo Puspodarsono, dan Bambang Guritno
98
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukadana, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung pada tanggal 01 Agustus 1969, sebagai anak ke empat dari empat bersaudara, dari Bapak Herman (Alm) dan Ibu Zawirna. Penulis menempuh pendidikan sarjana S1 di Jurusan Hama dan Penyakit, Fakultas Pertanian IPB tahun 1988. Pada tahun 1999 penulis menempuh pendidikan S2, Program Studi PHT, pada Sekolah Pascasarjana IPB. Dan Program Doktor penulis mulai pada tahun 2010 pada universitas yang sama, malalui program beasiswa Petugas Belajar Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Penulis diangkat sebagai staf peneliti, pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung pada tahun 1997 sampai sekarang. Selama menempuh jenjang S3, penulis telah menerbitkan dua artikel yaitu pada Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika (JHPT-Tropika) edisi Maret, Volume 14 Nomor 1, tahun 2014, dengan judul “Parameter Neraca Hayati dan Pertumbuhan Populasi Kutu Putih Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera:Pseudococcidae) pada Dua Varietas Ubi Kayu” dan pada International Journal of Sciences: Basic and Applied Research (IJSBAR) Edisi Nopember, Volume 15, Nomor 2 tahun 2014 dengan judul “The Role of Plesiochrysa ramburi (Shneider) (Neuroptera: Chrysopidae), to Control Phenacoccus Manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae) at Cassava in West Java, Indonesia”.