KURIKULUM PEMUDA GBKP (Tinjauan Kritis terhadap Perancangan Kurikulum Pembinaan Pemuda Gereja Batak Karo Protestan)
Oleh, Indah Sriulina NIM: 712009003
TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si Teol)
Program Studi Teologi
Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 2013
1
2
3
4
KURIKULUM PEMUDA GBKP Tinjauan Kritis terhadap Perancangan Kurikulum Pembinaan Pemuda Gereja Batak Karo Protestan Oleh : Indah Sriulina Abstract: Youth Ministry is an important thing that must be observed by the Church. Coaching of young people is the duty and responsibility of the Church. Because the youth is the managing agent duties and Church services, as well as the next generation of the Church in the future. This paper reveals a critical review of the curriculum design of youth ministry in the Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Youth in GBKP known as PERMATA that stands for "Persadaan Man Anak Gerejanta" which means unity of our Church's children. The process of curriculum design are still many of lack. Curriculum designers did not have a balanced attention to the principles of the curriculum, the approaches used are also not vary, and curriculum design process also has not been effective. The curriculum designers forget to evaluate the curriculum design every year. The author think that is a severe fault. This is caused by a variety of factors, namely the causes of differences in the context of youth, education, employment, and community development. Therefore, the author tried to criticize the process of curriculum design of PERMATA, based on the theory of curriculum development, with the goal to become the input for the development of coaching for GBKP’s youth in the future. Key Words: Youth Ministry, Curriculum Planning, Curriculum Design, PERMATA, The Principle of Curriculum Design Pendahuluan Gereja memiliki peran penting dalam pendidikan dan pembinaan umatnya. Hal ini diperkuat oleh salah satu fungsi gereja yakni, persekutuan belajar – mengajar; dimana gereja menyediakan kesempatan belajar bagi orang dari segala kategori usia. Dalam Gereja, orang mencari jawaban dari Injil terhadap pertanyaan yang ditimbulkan oleh pengalaman hidup.1 Dalam Pelayanan Kategorial Gereja, terdapat kaum muda yang juga merupakan bagian dari persekutuan Gereja. Kaum muda memiliki peran penting terhadap Gereja di masa depan. Kaum muda haruslah dibina dengan bekal yang cukup agar dapat menjadi pemimpin Gereja yang sesuai dengan kriteria Allah. 1
Dien Sumiyatiningsih, “Mengajar dengan Kreatif dan Menarik,” (Yogyakarta: ANDI, 2006), 28
5
Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) adalah gereja yang mewarisi tradisi Calvinis yang tidak jauh berbeda dengan gereja-gereja calvinis pada umumnya. Tradisi Calvinis yang diwarisi GBKP antara lain tampak dalam sistem presbiterial sinodal. Kata presbiterial menunjukkan adanya otonomi gereja setempat yang dipimpin oleh Majelis Jemaat. Kata sinodal menjelaskan bahwa gereja-gereja yang telah menggabungkan diri pada sinode dan harus sejalan dengan sinode. Dalam sistem ini, GBKP secara keseluruhan memiliki tiga jenjang, yang mempengaruhi setiap sistem dan struktur organisasinya, yakni Sinode, Klasis, dan Runggun/Jemaat.
GBKP merupakan Gereja suku yang berbasis di Tanah Karo,
Sumatera Utara. Namun, dikarenakan mobilisasi penduduk maka GBKP sudah menyebar luas di beberapa daerah di luar Sumatera Utara – seperti Jakarta, Sumatera Selatan, Sumatera barat, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan dan daerah lainnya – yang anggotanya adalah orang Suku Karo yang merantau ke berbagai daerah tersebut. Dalam GBKP, persekutuan pemuda dikenal dengan sebutan “Permata”, yang merupakan singkatan dari “persadaan man anak Gerejanta” artinya, persatuan untuk anak gereja kita. Permata memiliki lembaga internal sendiri yang terdapat dalam ruang lingkup Runggun/Jemaat, Klasis, dan Sinode. Oleh karena itu, terdapat Komisi Permata dalam struktur organisasi Gereja. Tujuan utamanya adalah untuk membina kaum muda.
Pembinaan terhadap kaum muda menjadi pelayanan yang sangat diperhatikan oleh GBKP. Karena melihat pentingnya hal ini, GBKP merancang kurikulum dalam pembinaan/pendidikan terhadap kaum muda. Kurikulum ini dibuat oleh Sinode dan dipakai di seluruh GBKP se-Indonesia. Jadi, boleh dikatakan bahwa Kurikulum Permata dirancang dan dikerjakan oleh Komisi Permata tingkat Sinode dibawah naungan Bidang Koinonia.2 Total Runggun GBKP se-Indonesia yakni berjumlah 506, terdapat 326 runggun yang berada
2
http://www.gbkp.or.id/ diakses pada tanggal 04 April 2013, pada pukul 14.25 WIB
6
di luar Tanah Karo, Kabanjahe. Itu berarti bahwa prosentase runggun/jemaat perantauan lebih besar daripada runggun yang berada di sekitar Tanah Karo atau yang berdekatan dengan kantor Sinode.3
Pada umumnya jemaat GBKP yang berbasis di Tanah Karo adalah jemaat/runggun yang berada dalam konteks desa dan juga semi kota, seperti di beberapa runggun di daerah Tigabinanga, Sibolangit, dan banyak daerah lainnya. Seperti yang dikatakan sebelumnya, terdapat mobilisasi penduduk yang mengakibatkan banyak orang Karo yang merantau ke luar Tanah Karo, tentu daerah-daerah tersebut memiliki konteks yang berbeda, yakni konteks perkotaan. Contohnya runggun-runggun yang berada di daerah Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Semarang, dan sebagainya. Disinilah penulis melihat ada masalah yang timbul dimana kurikulum yang dirancang secara seragam oleh Sinode, diperuntukkan bagi kaum muda yang berada di pedesaan maupun perkotaan. Apakah kurikulum tersebut sesuai dengan kebutuhan Permata? Apakah asas-asas yang digunakan oleh Sinode GBKP dalam merancang kurikulum Permata? Pendekatan-pendekatan apa saja yang dipakai? Pertanyaanpertanyaan ini membawa penulis kepada sebuah kesimpulan untuk mengetahui lebih jelas bagaimana proses perancangan Kurikulum Permata GBKP. Jadi topik dalam tulisan ini dapat dirumuskan yaitu proses perancangan kurikulum pembinaan Permata GBKP. Pertanyaan yang menuntun adalah bagaimana proses perancangan kurikulum pembinaan Permata di GBKP, asas-asas apa yang mendasari perancangan tersebut, dan pendekatan-pendekatan apa saja yang digunakan oleh perancang. Oleh sebab itu, penulis memulai dengan definisi, asas-asas, pendekatan-pendekatan, dan design kurikulum yang dikemukakan oleh Wyckoff. Teori dari Nasution juga mempertajam asas-asas kurikulum yang perlu diperhatikan dalam proses perancangan kurikulum. Selain itu, penulis juga melihat kepada definisi pemuda dan perkembangan pemuda menurut John 3
Sinode GBKP, Data Statistik GBKP tahun 2012.
7
W. Santrock, Elizabeth B. Hurlock, serta beberapa tokoh lainnya. Penulis juga mengemukakan karateristik pembinaan pemuda Gereja yang dikemukakan oleh Doug Fields. Dimana pembinaan pemuda harusnya mengutamakan hubungan, sumber ide yang kreatif, kekuatan yang melebihi kepribadian, dan kejelasan tujuan orang-orang yang akan terlibat dalam kepemimpinan. Pada akhirnya penulis mencoba mengkritisi proses perancangan kurikulum pembinaan Permata berlandaskan teori yang digunakan guna terwujud pembinaan yang kontekstual. 1. Pengembangan Kurikulum
Kurikulum berasal dari bahasa latin yaitu currere yang berarti to run (menyelenggarakan) atau to run the course (menyelenggarakan suatu pengajaran).4 Di Indonesia istilah “Kurikulum” populer sejak tahun lima puluhan dan dipopulerkan oleh mereka yang memperoleh pendidikan di Amerika Serikat.5 Dahulu kurikulum lebih dikenal dengan sebutan “rencana pelajaran.” Namun, dengan perkembangan zaman yang terjadi “rencana pelajaran” tidak lagi relevan. Pengertian kurikulum bukan sesederhana pengertian “rencana pelajaran,” kurikulum mencakup hal yang lebih luas yang berada di luar kelas yang mempengaruhi perubahan perilaku anak didik. Kurikulum adalah sesuatu yang direncanakan sebagai pegangan guna mencapai tujuan pendidikan. 6 Secara umum, kurikulum dipandang sebagai suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staff pengajarnya.7 Dalam Gereja, Wyckoff mengatakan kurikulum dimengerti sebagai rencana dan program yang diusahakan oleh Gereja untuk memenuhi tugas dalam mendidik
4
Rakhmat Hidayat, “Pengantar Sosiologi Kurikulum” (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), 2 Prof. Dr. S. Nasution, M.A., “Asas-asas Kurikulum” (Jakarta: Bumi Aksara,2008), 2 6 Ibid., 8 7 Prof. Dr. S. Nasution M.A., “Kurikulum dan Pengajaran” (Jakarta: Bina Aksara, 1989), 5 5
8
jemaat.8 Kurikulum adalah pengalaman di bawah bimbingan menuju pemenuhan tujuan Pendidikan Agama Kristen – tidak seluruh situasi sosial dalam seseorang itu diperhatikan, contohnya tingkah laku orang tersebut dan dengan siapa ia berinteraksi, tapi bagian itu yang secara sadar direncanakan.9 Rencana tersebut terdiri dari prosedur pendidikan yang dipilih dan digunakan untuk membantu pelajar untuk melihat, menerima, dan memenuhi tujuan Allah melalui penebusan Yesus Kristus.10 Itu berarti kurikulum adalah rencana pendidikan yang membantu jemaat untuk melihat, menerima, dan memenuhi tujuan Allah melalui penebusan Yesus Kristus, dengan merefleksikan pengalaman kehidupan mereka.
Dalam merancang kurikulum, Gereja memerlukan subjek sebagai perancang kurikulum. Perancang kurikulum tersebut bisa terdiri dari beberapa ahli dari segala macam bidang. Dalam upaya merancang kurikulum tersebut, terdapat empat asas yang harus diperhatikan oleh perancang kurikulum, yakni yang pertama, Asas Filosofi; Asas Filosofi ini berkenaan dengan tujuan pendidikan. Kurikulum dalam Gereja mengajarkan Kebenaran Injil Allah dan hubungan antara manusia dengan Allah. Gereja dan Allah adalah pengajar dalam Gereja.11 Pengajaran terbesebut dilakukan dalam otoritas Firman Allah dengan tujuan penebusan dan pemenuhan, bahwa orang akan ditebus dalam Kristus dan hidup di dalam Dia, dan mereka dapat menerima karunia hidup kekal dan bergabung dalam misi dan pelayanan.12 Kedua, Asas Psikologis; Asas ini memberi perhatian kepada perkembangan anak yang merupakan aspek penting untuk diperhatikan dalam pengembangan kurikulum.
8
D. Campbell Wyckoff, “Theory and Design of Christian Education Curriculum” (Philadelphia: The Westminster Press, 1961), 27 9 Ibid., 17 10 Ibid.., 27 11 D. Campbell Wyckoff, “Theory and Design of Christian Education Curriculum” 95 12 Ibid.
9
Perkembangan tersebut meliputi fisik, emosional, sosial, dan mental (holistik). Anak harus dilihat sebagai sebuah kesatuan dan keutuhan. Anak harus dilihat secara keseluruhan. Ketiga, Asas Sosiologis; Tiap masyarakat memiliki norma-norma, adat kebiasaan yang harus dikenal dan diwujudkan oleh anak dalam pribadinya lalu dinyatakan dalam kelakuannya. Tiap masyarakat berlainan corak dan nilai-nilai yang dianutnya. Tiap anak akan berbeda latar belakang kebudayaannya. Juga perubahan masyarakat akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan faktor pertimbangan dalam kurikulum.13 Asas Sosiologis yaitu keadaan masyarakat, perkembangan dan perubahannya, kebudayaan manusia, hasil kerja manusia berupa pengetahuan dan lain-lain. Asas terakhir yang harus diperhatikan adalah Asas Organisatoris; Asas ini berkenaan dengan masalah, dalam bentuk yang bagaimana bahan pelajaran akan disajikan.14 Jemaat sebagai persekutuan orang percaya dalam misi Kristus merupakan petunjuk untuk perancangan dan perorganisasian mata pelajaran. Mengajar dan pengalaman belajar harus dilakukan oleh Gereja agar jemaat dapat merespon dengan Iman kepada Allah.15 Asas-asas Kurikulum yang telah dikemukakan merupakan pegangan dalam pengembangan kurikulum, namun masih perlu pegangan terperinci yakni memilih pendekatan kurikulum yang serasi untuk merancang kurikulum.16 Terdapat enam pendekatan yang dapat Gereja gunakan, antara lain Pendekatan Teologis adalah interpretasi dari Wahyu dan aplikasi dari isi Wahyu tersebut merujuk kepada seluruh permasalahan kehidupan. Orientasi dari pendekatan ini adalah Firman Tuhan itu sendiri. Metode yang dilakukan adalah analisa sumber utama – Kitab Suci, analisa pengalaman-pengalaman
13
Prof. Dr. S. Nasution, M.A., “Asas-asas Kurikulum” (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), 13 Prof. Dr. S. Nasution, M.A., “Asas-asas Kurikulum,” 14 15 D. Campbell Wyckoff, “Theory and Design of Christian Education Curriculum,” 96 16 Prof. Dr. S. Nasution M.A., “Kurikulum dan Pengajaran” (Jakarta: Bina Aksara, 1989), 43 14
10
religius, kesimpulan logis, sistematik, dan konsensus17. Aktualisasi dari metode tersebut adalah ibadah, persekutuan, pelayanan. Pendekatan kedua, Pendekatan Filosofis; berkaitan dengan analisa dan interpretasi dari realitas, pengetahuan, dan nilai. Metode pengajaran yang digunakan berpusat pada pengalaman, intuisi, dan analisa yang logis. Ketiga, Pendekatan Historis; menekankan rekonstruksi bermakna dari setiap pengalaman yang dialami dan mengantisipasi peristiwa mendatang. Metode pengajaran yang digunakan memilah data-data berkompeten melalui berbagai hipotesis dan pengujian. Saat ini, sejarah sangat produktif dalam memprediksi dan mengontrol peristiwa yang akan datang. Keempat, Pendekatan Psikologi; menekankan kepada perkembangan dan kebiasaan dari setiap individu. Metode pengajaran dilakukan secara eksperimental dan fenomenologis18. Pendekatan berpusat pada nara didik. Pembelajaran dilaksanakan berdasarkan kebutuhan, minat, dan kemampuan siswa. Kelima, Pendekatan Sosial; menekankan kepada kelompok sosial dan perkembangannya. Metode pengajaran yang digunakan adalah empiris dan logis. Pendekatan Sosiologis
memproduksi hipotesis yang berguna, berbicara tentang status
sosial, dinamika budaya, dan hubungan antarkelompok. Pendekatan yang berorientasi pada kehidupan masyarakat. Pendekatan ini bertujuan mengintegrasikan masyarakat dan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Pendekatan terakhir yakni Pendekatan Ilmu Komunikasi yang merupakan interpenetrasi ide-ide, perasaan, dan perilaku antar orang dan kelompok. Metode pengajaran yang digunakan adalah eksperimental dan logis. Setiap pendekatan yang digunakan oleh Gereja akan mempengaruhi metode apa yang digunakan. Pendekatan tersebut dapat dikombinasikan satu dengan yang lainnya, agar terwujud pengajaran yang kreatif. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam pengembangan kurikulum akan membantu dan mempengaruhi dalam proses perancangan 17
Konsensus adalah kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb) yang dicapai melalui kebualatan suara. 18 Fenomenologis adalah ilmu tentang perkembangan kesadaran dan pengenalan diri manusia sebagai ilmu yang mendahului ilmu filsafat atau bagian dari filsafat.
11
kurikulum. Dalam perancangan Kurikulum, para perancang kurikulum perlu memperhatikan setiap prinsip dasar yang dimasukkan dalam perancangan kurikulum, yakni: a) Konteks Pendidikan Agama Kristen, b) Ruang lingkup Pendidikan Agama Kristen, c) Tujuan dari Pendidikan Agama Kristen, d) Proses Pendidikan Agama Kristen, dan e) Prinsip Pengorganisasian Kurikulum.19 Terdapat empat desain kurikulum yang dapat Gereja gunakan, yakni pertama desain kurikulum yang beorientasi pada anak; anak menjadi pusat dari isi kurikulum. Jadi, seluruh isi kurikulum tidak boleh terlepas dari kehidupan anak. Kedua, desain kurikulum yang berorientasi pada pengetahuan; desain ini berpusat kepada pengetahuan yang akan diajarkan, yakni konteks dari pendidikan agama Kristen itu sendiri dan Firman Tuhan. Ketiga, desain kurikulum yang berorientasi pada masyarakat; desain ini berpusat kepada kebutuhan masyarakat, dan keempat adalah desain kurikulum yang bersifat eklektik; desain ini memilih dari berbagai sumber (Longstreet dan Shane 1993).20 Wyckoff mengemukakan garis besar proses perancangan kurikulum Pendidikan Agama Kristen yang dapat digunakan oleh Gereja, yakni21: 1. Tentukan Topik 2. Motivasi dan kebutuhan pribadi yang berhubungan dengan topik: a. Analisa pemahaman dan kesalahpahaman, pertanyaan, dan kebutuhan yang diharapkan dijelaskan oleh topik. b. Petunjuk untuk membantu mengidentifikasi kebutuhan yang tersirat dan menimbulkan motivasi lain. 3. Tujuan dari topik yang berhubungan dengan tujuan Pendidikan Agama Kristen. 19
D. Campbell Wyckoff, “Theory and Design of Christian Education Curriculum,” 187 Prof. Dr. H. Wina Sanjaya, M.Pd., ”Kurikulum dan Pembelajaran; Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)” (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2008), 63 21 D. Campbell Wyckoff, “Theory and Design of Christian Education Curriculum,” 190-192 20
12
4. Ruang lingkup dari topik tersebut: a. Topik yang mencakup Pendidikan Agama Kristen. b. Hubungan antara topik dengan keseluruhan Pendidikan Agama Kristen. 5. Hasil yang diharapkan dari pengajaran kelompok atau individual: a. Bagaimana cara untuk mencapai tujuan/hasil dari pengajaran kelompok atau individual. -
Tujuan utama yang berhubungan dengan topik dan permasalahannya meliputi urutan kebutuhan tujuan tersebut, yakni, berbagai tujuan pengantar, berbagai tujuan pembangunan, dan berbagai tujuan akhir.
b. Analisa yang sangat penting dari tujuan yang ingin dicapai. Dalam menganalisa, perancang kurikulum perlu memperhatikan kepentingan dan kegunaan dari setiap materi pembelajaran. Perancang mendasari analisa tujuan dengan melihat apa manfaat dari kegiatan yang diajarkan, apa prosedur yang terlibat dalam pelaksanannya, apa bahan yang digunakan, siapa yang terlibat didalamnya, hasil yang bagaimana yang biasanya diharapkan, aspek apa yang berpengaruh di dalam perancangan kurikulum, dan apa tujuan atau kegiatan yang sewajarnya dapat dicapai atau dilaksanakan menurut topik yang diajarkan. 6. Prosedur pengajaran yang dijelaskan secara terperinci. Prosedur tersebut terdiri dari berbagai macam metode, kegiatan, dan rancangan. Prosedur dimulai dengan mengembangkan dan menyelidiki pengalaman nara didik, dan diakhiri dengan penyatuan antara pengalaman dan topik yang telah diajarkan. Metode dijelaskan secara terperinci. Hal ini berguna untuk mengukur perkembangan yang terjadi, terutama untuk mencapai tujuan pengajaran. Hal ini juga dapat digunakan untuk menunjukkan bagaimana motivasi dapat dikembangkan, bagaimana mereka dapat berkembang dan apa yang harus dilakukan jika tidak berkembang.
13
7. Daftar sumber bahan bibliografi yang akan digunakan. Hal ini akan berisi materi pembelajaran dan alat bantu lainnya. 8. Prosedur untuk evaluasi kurikulum, yang meliputi: a. Sebuah pendekatan untuk evaluasi terus-menerus. b. Sebuah pendekatan untuk evaluasi objektif, menimbang nilai-nilai kurikulum, menimbang isi kurikulum dan prosedur, dan memeriksa kerja individu dan kelompok. c. Melakukan pemeriksaan ulang kemajuan yang terjadi dan prestasi yang didapat, kemudian mempertimbangkan implikasi untuk langkah selanjutnya.
2. Definisi Pemuda Istilah Adult berasal dari kata kerja Latin, seperti juga istilah adolescene – adolescere – yang berarti “tumbuh menjadi kedewasaan.” Menurut Elizabeth B. Hurlock, pemuda merupakan individu yang sedang memasuki masa dewasa awal atau dewasa dini. Pada masa ini, pemuda juga mengalami masa pengaturan, yaitu suatu masa dimana pemuda mempunyai kecenderungan untuk mencoba berbagai pola kehidupan sesuai dengan perkembangan mereka atau dikenal dengan masa “coba-coba.”22 Oleh karena itu, orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya. 23 Kaum muda dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun.24 Setiap kebudayaan membuat perbedaan usia kapan seseorang mencapai status dewasa secara resmi. Pada sebagian kebudayaan kuno, status ini tercapai apabila pertumbuhan pubertas sudah selesai atau
22
Drs. Ridwan Max Sijabat, “Psikologi Perkembangan,” (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1980), 246. Elizabeth B. Hurlock, “Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan” diterjemahkan Dra. Istiwidayanti & Drs. Soedarjo, M.Sc., Edisi Kelima, (Jakarta: Erlangga, 1999), 246. 24 Ibid. 23
14
hampir selesai dan apabila organ kelamin anak telah berkembang dan mampu bereproduksi. Di Indonesia batas kedewasaan dimulai sejak umur 21 tahun.25 Hal ini berarti bahwa pada usia itu seseorang sudah dianggap dewasa dan bertanggung jawab akan perbuatannya. Pemuda mengalami perkembangan yang terbagi dalam perkembangan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Awal perkembangan pemuda dimulai dari perkembangan fisik, dimana pemuda akan mengalami suatu masa lanjut dari masa puber yang sudah dialami sebelumnya.26 Puncak dari perkembangan fisik ini dicapai pada usia 19-26 tahun.27 Pada usia ini mereka akan mengalami perubahan-perubahan hormon, salah satunya perubahan pada bentuk dan konstitusi tubuh.28 Perkembangan mental pemuda ditunjukkan dari salah satu aspek yaitu kemajuan dalam hal berkomunikasi.29 Hal lain yang juga membuktikan bahwa pemuda semakin matang dalam perkembangan mentalnya yaitu bahwa mereka tidak hanya berpikir secara konkrit, tetapi juga mulai berpikir secara abstrak. Kemampuan berpikir secara abstrak ini merupakan hal yang sangat penting kaitannya dengan kepercayaannya pada Tuhan. Kepercayaan pada Tuhan merupakan dasar dari konsep yang abstrak. Dalam perkembangan spiritual, pemuda mulai untuk menentukan pandangan pribadi akan kepercayaannya dan pemahamannya mengenai Tuhan.30 Periode usia duapuluhan disebut juga sebagai periode dalam kehidupan yang paling tidak religius.31 Sikap kurang meminati agama ini tampak pada jarangnya pemuda pergi ke gereja, atau sikap acuh terhadap ibadah.32 Perkembangan sosial pemuda ditandai dengan keterasingan sosial. Berakhirnya masa pendidikan formal, seseorang memasuki pola kehidupan orang 25
F. J. Mönks & A.M.P. Knöers, “ONTWIKKELINGS PSYCHOLOGIE” diterjemahkan Siti R. Haditono, Psikologi Perkembangan; Pengantar dalam berbagai bagiannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984), 242. 26 Jan Corbett, “Creative Youth Leadership” ( Valley Forge: Judson Press, 1977), 40. 27 John W. Santrock, “Perkembangan Masa Hidup” (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1995), 75. 28 Ny. Y. Singgih D. Gunarsa, “Psikologi untuk muda-mudi” (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 28. 29 Jan Corbett, “Creative Youth Leadership” (Valley Forge: Judson Press, 1977), 42. 30 Dien Sumiyatiningsih, Mengajar dengan Kreatif dan Menarik, 131. 31 Peacocke, A. R. The Christian Faith in a scientific era. Religious Education (Psikologi perkembangan). (Jakarta: Erlangga, 1999), 257. 32 Drs. Ridwan Max Sijabat, “Psikologi Perkembangan,” 263.
15
dewasa yakni karir, perkawinan dan rumah tangga, sehingga hubungan dengan kelompok teman sebaya masa remaja menjadi renggang. Sebagai akibatnya, mereka akan mengalami keterasingan sosial. Keterasingan diintensifkan dengan adanya semangat bersaing dan hasrat kuat untuk maju dalam karir dan mereka juga harus mencurahkan tenaga mereka untuk pekerjaan mereka, sehingga mereka memiliki waktu yang sangat sedikit untuk membina hubungan-hubungan yang akrab. Akibatnya, mereka menjadi egonsentris dan tentunya menambah kesepian mereka. Walaupun begitu, pemuda masih berusaha menjalin hubungan akrab dengan teman yang mempunyai kepentingan dan nilai yang sama dengan kepentingannya sendiri. Perkembangan yang terjadi pada pemuda, mempengaruhi kehidupan dari pemuda itu sendiri. Kehidupan pemuda adalah masa yang penuh dengan pengambilan keputusan, yang meliputi pertama, memutuskan tentang Iman; sewaktu menjadi dewasa, orang-orang muda mengalami perubahan tanggung jawab, maka mereka menentukan pola hidup baru, memikul tanggung jawab baru dan membuat komitmen-komitmen baru.33 Mereka mengambil keputusan untuk memiliki komitmen pribadi dengan Tuhan yang sebelumnya masih dipengaruhi oleh pengajaran orang tua dan teman seumuran. Kedua, memutuskan tentang Pernikahan; masa dewasa dini sebagai masa produktif dikarenakan orang dewasa dapat memilih untuk memiliki keluarga besar pada awal masa dewasa. 34 Ketiga, memutuskan tentang Pendidikan dan Pekerjaan; mereka beralih kepada masa pengaturan dimana mereka harus menentukan pekerjaan yang paling tepat bagi mereka. Semua peralihan ini memerlukan waktu. Oleh sebab itu, sekalinya seseorang menemukan pola hidup yang diyakininya dapat memenuhi kebutuhannya, ia akan mengembangkan pola-pola perilaku sikap dan nilai-nilai yang cenderung akan menjadi kekhasannya selama sisa hidupnya. Dan yang terakhir, memutuskan tentang Hubungan Sosial; pemuda sangat memperhatikan 33
Elizabeth B. Hurlock, “Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan,” 250. 34 Ibid.., 247.
16
kelompok sosial, pertemanan, hubungan bertetangga, dan lainnya. Gereja adalah tempat dimana pemuda harus merasa tertantang untuk berhubungan dengan orang lain tanpa rasa malu. Hubungan sosial orang kota berbeda dengan orang desa. Orang kota memiliki hubungan sosial yang bersifat kompetitif, yang mendorong masyarakatnya mencapai prestasi tinggi.35 Hubungan-hubungan sosialnya menjadi lebih bersifat sekunder36. Begitu sebaliknya dengan hubungan sosial orang desa, yang lebih bersifat gotong royong, dan masyarakatnya bersifat homogen. Dalam perkembangannya, pergaulan kota lebih mendominasi daripada pergaulan desa.37 Pembinaan Pemuda Gereja Melihat kepada kebutuhan psikis pemuda seperti diatas, Gereja harus merancang sebuah pembinaan yang membantu pemuda untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pembinaan-pembinaan pada pemuda gereja harus memiliki tujuan yang Alkitabiah. Tujuantujuan yang dimaksudkan yaitu penginjilan, persekutuan, ibadah, pemuridan dan pelayanan38. Tujuan-tujuan ini merupakan komponen penting dalam pembinaan pemuda sebagai dasar untuk merancangkan kurikulum yang efektif. Pertama, penginjilan adalah halhal yang berkaitan dengan membagikan kabar baik tentang Yesus Kristus pada mereka yang belum memiliki hubungan pribadi dengan-Nya. Pada prakteknya, penginjilan kurang diekspresikan sebagai salah satu tujuan dalam pembinaan pemuda karena penginjilan merupakan tugas yang tidak mudah dan dianggap sebagai ancaman untuk tidak diterima bagi pemuda yang berpartisipasi di dalamnya. Kedua, berbeda dengan penginjilan yang dianggap sebagai tujuan yang lemah, persekutuan biasanya menjadi tujuan utama dalam pembinaan pemuda. Pada dasarnya Allah tidak ingin orang-orang Kristen hidup menyendiri, 35
S. Menno dan Mustamin Alwi, “Antropologi Perkotaan” (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), 83. Hubungan sekunder adalah hubungan yang terbatas pada bidang kehidupan tertentu, dan hanya menurut perhatian antar pihak. 37 S. Menno dan Mustamin Alwi, “Antropologi Perkotaan,” 91. 38 Doug Fields, “Purpose Driven Youth Ministry” (Jawa Timur: Gandum Mas, 2000), 64. 36
17
tetapi hidup dan memusatkan perhatian dalam persekutuan dengan orang-orang percaya lainnya yang dikenali sebagai tubuh Kristus. Ketiga, Ibadah didefinisikan sebagai perayaan kehadiran Allah dan memuliakan-Nya melalui gaya hidup setiap individu. Ibadah diekspresikan dalam beberapa cara, seperti berdoa, puji-pujian yang dinaikkan melalui nyanyian, mendengarkan Firman Allah, memberi persembahan, baptis, bersaat teduh dan mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus. Keempat, pemuridan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan kegiatan membangun atau menguatkan orang-orang percaya dalam pergumulan mereka menjadi seperti Kristus. Pemuridan dapat juga dikatakan sebagai proses seumur hidup yang dipakai oleh Allah untuk membawa para pemuda pada kedewasaan dalam Kristus. Tujuan terakhir, pelayanan didefinisikan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dengan kasih. Ketika tujuan pembinaan pemuda diterapkan, maka akan dihasilkan para pemuda tidak hanya mampu membuat program-program saja akan tetapi yang mau untuk melayani. Tujuan-tujuan diatas merupakan hal yang penting dalam proses perancangan kurikulum karena tujuan merupakan penentu arah dari perkembangan pemuda. Dalam pembinaan pemuda, para pembina harus mengetahui tujuan yang akan dipenuhi melalui kurikulum tersebut. Dengan demikian maka diharapkan pembinaan dapat berjalan dengan baik dan maksimal. Dalam mencapai tujuan ini, pembinaan pemuda gereja harus dirancang dengan mengutamakan hubungan, sumber ide yang kreatif, kekuatan yang melebihi kepribadian, dan kejelasan tujuan orang-orang yang akan terlibat dalam kepemimpinan.39 Pembinaan perlu mengutamakan hubungan. Pembinaan melalui hubungan yang baik dapat membantu menekankan dan memperkuat komitmen untuk bertumbuh dalam suatu komunitas. Oleh
39
Doug Fields, Purpose Driven Youth Ministry, 246.
18
karena itu sudah seharusnya para pemimpin membangun hubungan yang baik dengan para pemuda karena hubungan ini membuat pelayanan menjadi lebih efektif. Pembinaan memerlukan sumber ide yang kreatif. Inti dari penyusunan pembinaan yang kreatif yaitu mengenai kemampuan seseorang dalam menemukan suatu gagasan dan menyesuaikannya dengan situasi. Ada banyak para pelayan pemuda yang kreatif tetapi tidak efektif. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara kreativitas dan keefektifan di dalam pelayanan kepemudaan. Pembinaan memerlukan kekuatan yang melebihi kepribadian pemimpin. Pernyataan ini merupakan hal yang penting karena ketika seorang pemimpin meninggalkan pelayanan para pemuda yang dibangun tanpa landasan yang kuat dari kepemimpinan tambahan, maka pelayanan tersebut akan segera berakhir. Pemimpin yang berkembang adalah seorang pemimpin yang berbagi tanggung jawab, menjadwal ketidakhadiran yang direncanakan dan melatih para pengganti. Pembinaan membutuhkan orang-orang yang terlibat dalam pelayanan para pemuda. Para pelayan yang bergabung di dalamnya adalah bagian penting bagi kehidupan para pemimpin pemuda. Semakin mereka mendapatkan informasi lebih baik, semakin mereka akan memberikan dukungannya. Orang-orang yang tidak mendukung seringkali adalah orang-orang yang tidak mendapatkan informasi dengan baik. Jadi komunikasi yang baik sangat mendukung dalam kerjasama para pelayan yang tergabung tersebut. Dalam
menciptakan
pembinaan
pemuda
yang
kreatif,
perancang
dapat
memperhatikan berbagai macam kecerdasan ganda yang dimiliki oleh setiap individu pemuda. Howard Gardner mengemukakan teori tentang kecerdasan yang merupakan pendobrakan dari tradisi yang umum. Dua asumsi dasar yang selama ini dikembangkan adalah kognisi manusia bersifat suatu kesatuan dan setiap individu dapat dijelaskan sebagai 19
makhluk yang memiliki kecerdasan yang dapat dinilai dan diukur secara tunggal. 40 Gardner mengartikan kecerdasan ganda sebagai kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia, kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan, kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan jasa yang akan menimbulkan penghargaan pada diri seseorang. Gardner mengemukakan berbagai macam kecerdasan ganda yang terdiri dari pertama, kecerdasan Bahasa yang merupakan kemampuan untuk memanipulasi tata dan struktur bahasa, fonologi atau bunyi bahasa, semantik atau makna bahasa dan penggunaan bahasa
secara
praktis.
Aktivitas
pengajaran
yang
ditawarkan
adalah
memberi
kuliah/ceramah, berkhotbah, diskusi, permainan kata, mendongeng, bercerita, menulis jurnal, dan membaca. Kedua, kecerdasan Logis Matematis yang berarti kepekaan terhadap pola-pola hubungan logis, pernyataan dan dalil (sebab-akibat, jika-maka), fungsi logika, dan kemampuan berabstraksi. Aktivitas pengajaran terdiri dari brainstorming/curah pendapat, pemecahan masalah, bereksperimen, kalkulasi data, permainan angka, berpikir kritis, dan metode ilmiah. Ketiga, kecerdasan Ruang yang berarti kepekaan terhadap bentuk, ruang, warna, garis, dan hubungan antara unsur-unsur tersebut. Aktivitas pengajaran terdiri dari presentasi secara visual, permainan secara imajinasi, aktivitas seni, membuat peta konsep, metafora, dan visualisasi. Keempat, kecerdasan Bodi Kinestik yang merupakan kemampuan menggunakan tubuh untuk mengungkapkan ide maupun perasaan dan terampil menggunakan tangannya untuk menciptakan atau mengubah sesuatu. Aktivitas pengajaran terdiri dari membuat 40
Dien Sumiyatiningsih, “Mengajar dengan Kreatif dan Menarik,” 139
20
pekerjaan tangan/prakarya, drama, tarian, olahraga, hal yang berkaitan dengan sentuhan, relaksasi, latihan-latihan tubuh, membuat sesuatu, dan melakukan sesuatu. Kelima, kecerdasan Musik yang berarti kepekaan terhadap suara/bunyi-bunyian dan ritme, pola titik nada/melodi, dan warna nada/warna suara suatu lagu. Aktivitas pengajaran terdiri dari menyanyi, memakai ritme, membuat jingle, menyanyikan lagu rapping, dan mendengarkan musik saat belajar. Keenam, kecerdasan Antarpribadi yang merupakan memahami dan bekerja dengan orang lain, kemampuan mempersepsikan dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi, dan perasaan orang lain. Aktivitas pengajaran terdiri dari belajar bersama, berdiskusi, tutorial berpasangan, melibatkan komunitas, pertemuan sosial, simulasi, debat, dan tukar peran. Ketujuh, kecerdasan Intrapribadi yang mengartikan kemampuan memahami diri sendiri, bertindak berdasarkan pengetahuan tentang diri pribadi yang sebenarnya, dan mengetahui kekuatan maupun kelemahan diri. Aktivitas pengajaran terdiri dari intruksi individual, belajar mandiri, tawaran untuk belajar mandiri, dan membangun harga diri. Kecerdasan terakhir adalah kecerdasan Naturalis yang merupakan kemampuan mengenali bentuk-bentuk alam sekitar, mengenali dan mengklasifikasi spesies, mengetahui flora/tumbuh-tumbuhan dan fauna/hewan, kepekaan terhadap fenomena alam, dan kepekaan terhadap situasi perkotaan dan pedesaan. Aktivitas pengajaran yang terdiri dari mengenal alam sekitar, mengidentifikasi bentuk-bentuk flora dan fauna, dan mengenali kekhasan benda-benda mati dan hidup.
21
3. Sejarah Permata Penulis mengambil Sinode Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) sebagai lokasi penelitian yang terletak di Kabanjahe, Sumatera Utara. GBKP berdiri pertama kali di daerah Buluh Awar tahun 1890.41 Pada awal mula berdirinya, sangat terasa manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh para jemaat pertama. Perkabaran injil pun berkembang yang disponsori oleh para Pendeta Zending Belanda ditambah dengan kader-kader yang dipersiapkan oleh mereka. Dalam perkembangan yang semakin pesat, pada tanggal 31 Desember 1945, tercetus oleh Penatua Mbaba Bangun untuk membentuk suatu wadah bagi para pemuda-pemudi Kristen, dikarenakan melihat pentingnya wadah untuk berorganisasi bagi pemuda.42 Prakarsa ini kemudian ditindaklanjuti oleh perkumpulan Pemuda dan Pemudi GBKP di Kabanjahe yang pada saat itu masih bergabung dengan Perkumpulan Perende-rende “Gung Leto” di bawah pimpinan Penatua Pa Wangi. Saat itu disepakati nama wadah tersebut adalah Permata (Pesatuan Memajukan/Mempertahankan Agama dan Tanah Air). Pendirian Permata ini sendiri erat hubungannya dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Itu berarti pada masa awal wadah ini memiliki prinsip untuk mempertahankan kemerdekaan RI dan memajukan GBKP. Segala macam program dirancang dengan tujuan Kerajaan Allah dan Kepentingan Indonesia. Permata pada saat itu sangat berperan dalam beberapa organisasi Gereja maupun Nasional. Sampai pada akhirnya, pada tanggal 12 September 1948 diadakanlah Kongres/Konfrensi Permata se-GBKP di Kabanjahe, dan diputuskan untuk mengganti kepanjangan Permata menjadi “Perpulungen Man Anak Gerejanta” yang memiliki arti persekutuan anak gereja kita. Setelah Permata dilembagakan, peran dan kinerjanya tak pernah surut. Permata turut aktif dalam kegiatan Koor, PA, dan Perkabaran Injil ke dusun-dusun sebagai kegiatan rutin. Pada tahun 1950,
41
Gunawan S. Kembaren & Eva HandayaniS. Gurkie, “Bunga Rampai; Sejarah Permata GBKP; Dahulu, Sekarang dan yang akan datang” (Sibolangit: Chek-Pro, 1998) ,2 42 Ibid., 4
22
Dewan Gereja Indonesia (DGI) mengesahkan Permata sebagai anggota dari Majelis Pemuda Kristen Oikumene (MPKO). Permata adalah satu-satunya organisasi pemuda dalam lingkungan GBKP.
Pada kongres Permata XI tahun 1978, kembali terjadi perubahan
singkatan Permata menjadi “Persadaan Man Anak Gerejanta” yang memiliki arti persatuan anak gereja kita. Singkatan inilah yang dikenal sampai dengan saat ini. 4. Proses Perancangan Kurikulum Pembinaan Pemuda GBKP Dalam perkembangannya, Permata semakin mandiri dalam menjalankan setiap program dan pembinaan. Permata memiliki kurikulum secara mandiri dimulai sejak awal tahun 2002, pada masa transisi dari kepengurusan Gemar Tarigan sampai kepengurusan Benyamin Pinem, S.T.43 Pada saat itu, proses perancangan belum rapi, penekanan apa yang akan direleasasikan dalam buku pembinaan belum jelas, telebih nilai-nilai dasar dari ajaran teologi Calvinis yang dianut GBKP juga belum terangkum jelas dalam buku pembinaan Permata. Sampai pada akhirnya tahun 2007 dicetuskan untuk membentuk sebuah Komisi Teologi yang terdiri dari lima orang pendeta atau vikaris.44 Dengan tujuan, agar Komisi Teologi dapat bekerja sama dengan Bidang Pembinaan dalam kepengurusan Permata untuk merancang kurikulum Pembinaan Permata sehingga dasar ajaran Calvinis dapat tereleasasikan dalam kurikulum pembinaan tersebut. Komisi Teologi memiliki masa jabatan sesuai dengan masa kerja kepengurusan Permata Pusat yakni selama empat tahun. Komisi Teologi disahkan oleh Pengurus Permata Pusat dibawah naungan Bidang Koinonia dan Sinode. Sampai saat ini, Komisi Teologi masih berperan aktif dalam merancang Kurikulum Pembinaan Permata GBKP.45
43
Hasil wawancara dengan Penatua Benyamin Pinem, S.T selaku Ketua Umum Permata Pusat tahun 2002-2006 pada hari Jumat, 02 Agustus 2013 pada pukul 13.15 WIB 44 Hasil wawancara dengan Penatua Endriko Tarigan selaku Ketua Umum Permata Pusat tahun 20062010 pada hari Kamis, 01 Agustus 2013 pada pukul 09.52 WIB 45 Hasil wawancara dengan Budiman Sitepu selaku Ketua Umum Permata Pusat 2010-2014 dan Pdt. Samuel Tarigan selaku Pendeta Permata pada hari Rabu, 31 Juli 2013 pada pukul 10.35 WIB
23
Perancangan kurikulum mengalami peningkatan yang cukup baik. Sejak tahun 2011, proses perancangan dimulai dengan rapat internal yang membahas isu-isu yang terjadi dalam kehidupan Permata se-Indonesia. Rapat Internal ini diadakan oleh Bidang Pembinaan Permata Pusat, Pendeta Permata dan Komisi Teologi Permata.46 Setelah itu diadakan Brainstroming yang mengundang Ketua Sinode, Sekertaris Umum Sinode, dan Ketua (Pendeta) Pusat Pembinaan Warga Jemaat (PPWG). Brainstroming adalah teknik pemecahan kelompok di mana anggota secara spontan berbagi ide-ide dan solusi. Dalam brainstorming dilakukan pembahasan dan tanggapan dari Sinode mengenai isu-isu yang telah dirangkum oleh Permata Pusat bersama dengan Komisi Teologia. Brainstroming ini dilakukan selama 2 sampai 3 kali pertemuan.47 Isu-isu yang dibahas selalu disesuaikan dengan Peristiwa Nasionalis, Tahun Gerejawi, Program tahunan Sinode, aspirasi dari Permata Klasis, dan Program Permata Pusat. Setelah brainstorming dilakukan, direncanakan sebuah pertemuan selama dua hari satu malam untuk menyusun kurikulum pembinaan Permata secara lengkap. Pertemuan ini dilakukan pada bulan April setiap tahunnya. Pertemuan ini dihadiri oleh Pendeta Permata, Ketua Permata Pusat, Bidang Pembinaan Permata Pusat, Komisi Teologi (yang terdiri dari lima orang Pendeta), Ketua (Pendeta) PPWG, dan tiga sampai lima orang Pendeta yang memiliki perhatian terhadap perkembangan Permata. Pendeta-pendeta ini merupakan Pendeta jemaat yang berada di daerah Sumatera Utara. Terdapat kurang lebih lima belas orang yang menjadi perancang Kurikulum Pembinaan Permata. Lima belas orang tersebut dibagi dalam lima kelompok yang terdiri dari tiga orang, agar lebih memudahkan dalam merancang kurikulum. Dalam pertemuan ini, isu-isu yang telah dirangkum oleh Permata Pusat dan Komisi Teologi melalui brainstroming, dijabarkan terperinci dalam bentuk thema, 46
Hasil wawancara dengan Pdt. Prananta Jaya Manik selaku Ketua Umum Permata Pusat tahun 1994-1999 dan Wakil Sekertaris Umum Sinode GBKP tahun 2010-2015 pada hari Kamis, 01 Agustus 2013 pada pukul 11.34 WIB 47 Ibid.
24
tujuan khusus, metode, dan nats bimbingan untuk pembinaan dalam jangka waktu setahun. Bagian ini disebut sebagai draft awal. Setelah penyusunan kurikulum selesai dilaksanakan, draft awal tersebut disebar kepada penulis. Penulis terdiri dari beberapa vikaris dan pendeta yang memiliki pengalaman dan perhatian kepada Permata. Itu berarti bahwa sebelum menjadi vikaris atau pendeta, penulis tersebut pernah terlibat aktif dalam kelembagaan Permata. Selain disebar, draft awal ini juga diberikan kepada Ketua Bidang Koinonia, Pendeta PPWG, Pendeta Permata, Komisi Teologi Permata bahkan Ketua dan Sekertaris Umum Sinode untuk turut menulis. Pengurus Permata Pusat juga menyebar draft awal ini kepada beberapa ahli dalam bidangbidang tertentu untuk menjadi penulis, seperti contohnya Ahli Teknologi, HIV AIDS, dan lainnya. Itu berarti tidak semua penulis buku pembinaan adalah seorang Pendeta.48 Penyebaran draft awal ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Agustus. Akhir Agustus sampai dengan awal September dikumpulkan kembali oleh Bidang Pembinaan Permata Pusat. Namun, pada kenyataannya sering kali pengumpulan tulisan mengalami keterlambatan dikarenakan kesibukan penulis. Demi mewujudkan pembinaan yang kontekstual dan relevan, Permata pusat mencoba menjaring aspirasi dari Permata Klasis melalui email dan Rapat Sidang Pengurus Lengkap (SPL). Penjaringan aspirasi dari Permata Klasis melalui email dilakukan sebelum penyusunan Kurikulum pada bulan April, sedangkan Sidang Pengurus Lengkap diadakan satu kali setiap tahunnya. Biasanya Sidang Pengurus Lengkap diadakan sebelum buku Pembinaan Permata siap untuk diterbitkan dan disebarluaskan. Dalam merancang Kurikulum, perancang perlu memperhatikan asas-asas yang mendasari proses perancangan. Begitu juga dengan Kurikulum Pembinaan Permata GBKP. 48
Hasil wawancara dengan Budiman Sitepu selaku Ketua Umum Permata Pusat 2010-2014 dan Pdt. Samuel Tarigan selaku Pendeta Permata pada hari Rabu, 31 Juli 2013 pada pukul 10.35 WIB
25
Asas Filosofis yang berkaitan dengan tujuan pengajaran dan pembinaan telah mendasari perancangan kurikulum. Perancang harus memperhatikan tujuan dari pembinaan pemuda. Doug Fields mengemukakan bahwa tujuan-tujuan yang dimaksudkan yaitu penginjilan, persekutuan, ibadah, pemuridan dan pelayanan. Penulis beranggaan bahwa tujuan ini sudah tereleasasikan dengan baik dalam kurikulum pembinaan Permata. Perancang memberi perhatian yang baik terhadap tujuan dari kurikulum tersebut, karena tujuan ini yang akan menentukan arah dari kurikulum pembinaan. Hal ini terlihat dengan materi pembinaan yang mengungkap thema-thema yang dirancang guna mencapai tujuan-tujuan tersebut. Selain itu ajaran Calvinis, kini sudah mulai mewarnai kurikulum pembinaan Permata dengan tujuan untuk mengungkapkan identitas dari Permata itu sendiri yang adalah bagian internal dari GBKP. Oleh sebab itu, thema-thema yang diangkat selalu dikaitkan dengan ajaran Calvinis dan sangatlah bersifat Alkitabiah. Tentu Alkitab menjadi pedoman terhadap perancangan kurikulum pembinaan Permata. Kurikulum pembinaan Permata lima tahun terakhir tidak bisa dipisahkan dari visi Permata GBKP tahun 20102014, yakni “Berlaku sebagai Tubuh Kristus,”49; visi yang mengacu kepada visi GBKP tahun 2010-2015. Oleh sebab itu, setiap tahunnya Permata berupaya merancang kurikulum yang akan mewujudkan visi tersebut. Seperti pada tahun 2011 dan 2012, proses perancangan kurikulum didasari dengan tujuan pendidikan yang mengacu pada misi GBKP, yakni meningkatkan Teologia, Spiritualitas dan Mutu Ibadah; menghargai kemanusiaan; melakukan keadilan, kebenaraan, kejujuran, dan kasih; mewujudkan warga yang dapat dipercaya; dan meningkatkan perekonomian jemaat.50 Perancang kurikulum juga mengacu kepada thema tahunan GBKP, dimana tahun 2011 adalah tahun peningkatan Teologia, Spiritualitas dan Mutu Ibadah; dan tahun 2012 adalah tahun peningkatan solidaritas internal
49
Permata GBKP Pusat, “Pokok-pokok Peraturan Rumah Tangga dan Garis Besar Pelayanan Permata GBKP 2010-2014” , 30 50 Budiman Sitepu, “Draft kurikulum Pendalaman Alkitab Permata thn 2012”
26
GBKP.51 Perancang kurikulum mengadopsi visi dan thema tahunan guna mencapai tujuan pembinaan pemuda. Penulis dapat mengatakan bahwa perancang sudah memperhatikan Asas Sosiologis sebagai dasar perancangan kurikulum. Hal ini tampak dengan proses perancangan kurikulum,
dimana
perancang
menjaring
aspirasi
dari
Permata
Klasis
dan
mendiskusikannya agar dapat terwujud dalam pembinaan. Penulis dapat mengatakan bahwa pada tahun 2012, Asas Sosiologis lebih ditekankan oleh perancang kurikulum daripada pada tahun 2011. Hal ini disebabkan oleh thema tahunan yang sangat mempengaruhi. Dalam thema mingguan tahun 2011 yang telah diterbitkan dan disebarkan kepada setiap Permata Runggun, sangat jelas bahwa perancang hanya menekankan kepada ajaran dan tujuan tanpa terlalu memperhatikan perkembangan sosial yang terjadi dalam kehidupan Permata. Dikarenakan dari 44 thema mingguan yang telah dirancang, hanya tujuh thema yang mencoba menjelaskan perkembangan sosial yang terjadi.52 Hal ini berbeda jika dibandingkan kurikulum pembinaan pada tahun 2012 yang lebih memperhatikan perkembangan sosial, terlihat dari 13 thema mingguan dari jumlah keseluruhan yakni 42 thema.53 Perancang juga memperhatikan Asas Organisatoris, dimana Permata Pusat mencoba melibatkan Komisi Teologi beserta Pendeta lainnya untuk turut merancang bagaimana ajaran itu akan diajarkan kepada Permata. Berbicara tentang pengorganisasian materi yang akan diajarkan, dalam kurikulum pembinaan telah dijelaskan secara terperinci apa yang ingin disampaikan, bagaimana untuk menyampaikan ajaran tersebut (metode pengajaran),
51
http://www.gbkp.or.id/index.php/tentang-gbkp/visi-misi diakses pada tanggal 20 Agustus 2013 pada pukul 17.58 WIB 52 Permata GBKP Pusat, ”Bahan Pendalaman Alkitab Permata GBKP tahun 2011.” 53 Permata GBKP Pusat, “Bahan Pendalaman Alkitab Permata GBKP tahun 2012.”
27
dan tujuan dari pembinaan tersebut. Dalam asas ini, perancang kurikulum berusaha sebaik mungkin, agar dapat membuat pembinaan jauh lebih menarik dari sebelumnya. Sayangnya, perancang kurikulum tidak terlalu menekankan pada Asas Psikologis. Mengapa penulis berkata demikian? Penulis mencoba mengungkapkan beberapa alasan, yakni, pertama adalah sering kali terjadi gap-gap diantara Permata. Gap-gap tersebut terdiri dari Permata yang sudah bekerja dan Permata yang masih duduk di Perguruan Tinggi maupun Sekolah Menengah Atas (SMA). Ada upaya untuk menjawab permasalahan ini, dimana Permata Pusat mengesahkan Pendalaman Alkitab (PA) Mahanaim bagi Permata yang sudah bekerja. Permata pusat memberi kebebasan kepada setiap runggun jemaat untuk mengadakannya atau tidak. Mengartikan PA Mahanaim ini tidak secara seragam terjadi di GBKP se-Indonesia. Ia hanya terjadi sesuai kebutuhan dari Permata Runggun atau Klasis. PA Mahanaim ini disahkan pada tahun 2010 dibawah Bidang Pembinaan Permata Pusat. Dengan kebebasan seperti ini, kurikulum tidak dirancang oleh Pengurus Permata Pusat guna PA Mahanaim. Mengartikan setiap pengurus Permata Runggun atau Klasis dapat merancang atau mengadopsi kurikulum pembinaan sendiri.54 Alasan kedua adalah dimana perancang kurikulum tidak mendasarkan perancangan kurikulum pada teori batasan umur dan perkembangan psikologis dari Permata. Hal ini mengakibatkan perancang tidak mengelompokkan kebutuhan-kebutuhan psikis dari Permata. Sudah banyak ahli yang dapat menggelompokkan kebutuhan pemuda sesuai dengan batasan umurnya. Seperti contohnya, Hurlock yang mengelompokkan masa dewasa dini dimulai dari usia 18 tahun sampai dengan kira-kria 40 tahun.55 Dari batasan ini akan terlihat kebutuhan-kebutuhan apa yang ingin dipenuhi oleh orang-orang dalam masa ini. Seperti yang dikemukakan oleh Fred Jobb bahwa pemuda berada dalam kehidupan yang 54
Hasil wawancara dengan Budiman Sitepu selaku Ketua Umum Permata Pusat 2010-2014 dan Pdt. Samuel Tarigan selaku Pendeta Permata pada hari Rabu, 31 Juli 2013 pada pukul 10.35 WIB 55 Elizabeth B. Hurlock, “Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan,” 246
28
penuh dengan pengambilan keputusan. Keputusan perihal iman, pendidikan dan pekerjaan, hubungan sosial, dan pernikahan. Jika perancang memperhatikan setiap kebutuhan ini dalam merancang kurikulum, pembinaan pemuda akan membantu pemuda dalam pengambilan keputusan. Hal ini akan berdampak positif dimasa mendatang, dimana pemuda dapat menjalankan tugas panggilannya sebagai generasi penerus Gereja. Alasan yang ketiga adalah, terfokusnya perancang pada perihal ajaran yang akan diajarkan dan perkembangan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Perancang kurikulum tidak melihat Permata secara holistik (mental, spiritual, fisik, dan sosial). Seperti yang dikemukakan oleh Santrock perihal perkembangan yang terjadi pada pemuda secara fisik, mental, spiritual dan sosial. Perkembangan ini tidak terlalu diperhatikan oleh perancang dalam proses perancangan. Padahal dengan memperhatikan perkembangan dari pemuda, perancang dapat merancang sebuah kurikulum yang sesuai bagi pemuda. Hal ini mengakibatkan pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh perancang tidak begitu bervariasi. Karena perancang hanya berorientasi pada pengetahuan dan perkembangan masyarakat saja. Tidak melihat kepada perkembangan kualitas dari Permata itu sendiri, melainkan hanya kepada kwantitas. Asas Psikologis akan membantu perancang untuk mengetahui bagaimana proses belajar yang baik sesuai dengan rentan umum dari pemuda. Dengan mengetahui hal tersebut, perancang kurikulum akan memiliki kemudahan untuk menentukan pendekatan-pendekatan apa saja yang dapat dituangkan dalam kurikulum dan sesuai. Penulis telah mengungkapkan beberapa pendekatan yang dikemukakan oleh Wyckoff. Pendekatan tersebut terdiri dari Ppendekatan Teologis, Filosofis, Historis, Psikologis, Sosial dan Ilmu Komunikasi. Dalam kurikulum Pembinaan Permata GBKP, perancang kurikulum hanya menggunakan pendekatan Teologis dan Sosial. Dengan pendekatan Teologis, perancang mencoba menginterpretasikan dan mengaplikasikan isi dari 29
Wahyu kepada seluruh permasalahan kehidupan pemuda. Sedangkan dengan pendekatan Sosial, perancang melihat kepada perkembangan suatu kelompok masyarakat yang terjadi dalam kehidupan pemuda. Keduanya dikombinasikan oleh perancang guna pembinaan yang efektif. Hal ini terlihat dari metode-metode yang sering kali digunakan dan disarankan yakni diskusi dan pernenungan atau ibadah. Namun, sayangnya harapan untuk menciptakan pembinaan yang efektif, belum tercapai. Penulis melihat bahwa pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh perancang kurikulum sangatlah minim. Menghasilkan bahan yang kurang menarik perhatian Permata. Hal ini bisa terjadi berulang-ulang setiap tahunnya. 5. Tinjauan Kritis Penulis mencoba mengkritisi proses perancangan kurikulum pembinaan Permata berdasarkan teori pengembangan kurikulum dan pemuda yang telah dikemukakan sebelumnya. Setiap langkah yang dilakukan oleh perancang sudah cukup baik. Namun, penulis melihat beberapa kekurangan yang terjadi. Pertama, tidak adanya evaluasi terhadap kurikulum yang telah dirancang. Dua tahun terakhir (2011-2012), minat Permata Klasis maupun Runggun di daerah konteks Kota terhadap penggunakan Buku Pendalaman Alkitab (PA) sangat minim. Hal ini dikarenakan bahan yang dianggap tidak lagi relevan dengan konteks jemaat. Seperti contohnya Permata Klasis Jakarta – Banten hanya menggunakan 125 buku bagi 900 jumlah Permata Klasis.56 Penulis beranggapan, hal ini merupakan masalah yang harus diperhatikan. Oleh sebab itu, diperlukan evaluasi terhadap nilai-nilai kurikulum, mengoreksi secara objektif terhadap isi dan prosedur kurikulum, dan memeriksa kemajuan yang terjadi. Dengan adanya evaluasi, akan terlihat bagian kurikulum yang perlu dikembangan atau bahkan perlu dihilangkan. Proses evaluasi kurikulum bagi kurikulum
56
Hasil wawancara dengan Tulus Barus selaku Ketua Umum Permata Klasis Jakarta – Banten tahun 2010-2013 pada tangal 29 April 2013 pukul 20.00 WIB
30
pembinaan Permata dapat dilakukan secara terus-menerus setiap tahunnya, agar terwujud pembinaan yang semakin kontekstual dan relevan. Kedua, ketidakseimbangan dalam memperhatikan asas-asas kurikulum sebagai dasar perancangan kurikulum. Telah dikemukakan bahwa dalam merancang kurikulum keempat asas (Filosofi, Sosiologis, Psikologis, Organisatoris) harus diperhatikan secara seimbang, bukan hanya berfokus kepada salah satu asas saja. Hal ini mengakibatkan kurikulum yang timpang dan tidak sesuai konteks. Dalam kurikulum pembinaan Permata GBKP, perancang kurang dalam memperhatikan Asas Psikologis, sehingga pembinaan yang ingin diajarakan tidak sesuai dengan kebutuhan psikis dari Permata itu sendiri. Padahal dengan Asas Psikologis, perancang akan lebih mengetahui kebutuhan-kebutuhan pemuda, yang sebenarnya belum tentu diketahui oleh Permata sendiri sebagai pemuda. Penulis beranggapan bahwa sebenarnya Asas Psikologis sama pentingnya dengan ketiga asas lainnya, dikarenakan keempatnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ketiga, struktur kurikulum yang mendahulukan thema daripada tujuan. Kurikulum pembinaan Permata tahun 2011 dan 2012, memiliki struktur penulisan yang dimulai dengan menentukan thema kemudian tujuan khusus. Penulis beranggapan bahwa hal ini kurang efektif untuk dilakukan, walaupun ini bukan suatu kesalahan besar. Namun, lebih baik ketika tujuan umum yang telah dirancang dengan memperhatikan keempat asas kurikulum, diikuti dengan tujuan khusus yang akan merujuk kepada thema mingguan. Tujuan khusus yang digunakan setiap minggunya mengacu kepada tujuan umum kurikulum, bukan kepada thema mingguan. Dengan begitu, thema yang dirancang merupakan usaha demi mencapai tujuan umum dan tujuan khusus dari kurikulum tersebut, bukan sebaliknya dimana tujuan dirancang untuk menjelaskan thema tersebut.
31
Keempat, pendekatan yang monoton. Ada enam pendekatan yang dikemukakan oleh Wyckoff, namun yang digunakan oleh perancang kurikulum pada pembinaannya hanya dua pendekatan, yakni pendekatan teologis dan sosial. Metode-metode yang ditawarkan oleh perancang sangat mononton, hanya diskusi dan perenungan atau ibadah. Hal ini banyak terjadi pada tahun 2011, dimana metode yang ditawarkan hanya diskusi. Dari jumlah keseluruhan thema selama setahun yakni 44, terdapat 39 thema yang memakai metode diskusi. Alangkah lebih baik ketika perancang menggunakan pendekatan yang beragam, demi mewujudkan pengajaran yang kreatif. Memang tidak dapat langsung dipersalahkan kepada perancang kurikulum di tingkat pusat, karena metode yang digunakan tergantung kepada majelis Gereja yang akan memimpin pembinaan tersebut. Namun, penulis beranggapan bahwa sebaiknya perancang dapat menyediakan berbagai macam pendekatan dan metode pengajaran yang kreatif di setiap buku pembinaan Permata. Doug Fields mengemukakan bahwa pembinaan memerlukan sumber ide yang kreatif. Inti dari penyusunan pembinaan yang kreatif yaitu mengenai kemampuan seseorang dalam menemukan suatu gagasan dan menyesuaikannya dengan situasi. Ada banyak para pelayan pemuda yang kreatif tetapi tidak efektif. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara kreativitas dan keefektifan di dalam pelayanan kepemudaan. Dengan menyediakan berbagai metode pengajaran proses pembinaan akan semakin lebih menarik dan kreatif. Selain membantu pemenuhan kebutuhan psikis pemuda, hal ini juga akan membantu pemimpin pembinaan. Melalui pendekatan yang kreatif, Permata akan terdorong untuk meningkatkan kreatifitasnya sebagai pemuda. Karena pemuda berada dalam masa yang penuh dengan kreatifitas, dimana kreatifitas tersebut akan berkembang berdasarkan minat dan kemampuan, dan akan tertuang dalam pekerjaan mereka. Kelima, penulis pembinaan kurikulum pembinaan. Dalam proses perancangan kurikulum pembinaan Permata, terdapat perbedaan antara perancang dan penulis. Draft 32
awal yang telah dirancang yang berisikan thema, tujuan khusus, metode, dan nats bimbingan, disebarkan kepada penulis selama kurang lebih dua bulan lamanya. Pada proses penyebaran ini, penulis beranggapan akan terjadi sebuah kesalahpahaman dimana penulis kurikulum tidak memiliki konsep yang sama seperti perancang kurikulum. Mengartikan, tujuan umum tidak sampai kepada penulis kurikulum. Oleh sebab itu, tulisan dalam buku pembinaan jauh dari harapan maupun target perancang kurikulum. Hal ini telah diakui oleh beberapa perancang, namun hal ini tidak ditindaklanjuti. Sebaiknya perancang kurikulum adalah yang juga berjabat sebagai penulis kurikulum. Karena perancang sudah memperhatikan asas-asas yang mendasari proses perancangan dan merancang tujuan umum dari kurikulum pembinaan tersebut. Memang penyebaran kepada penulis merupakan hal yang memudahkan perancang dalam menyelesaikan kurikulum pembinaan, tetapi ini tidak menjamin sebuah penulisan yang efektif. Mengapa? Karena penulis juga tidak diberi sebuah pelatihan bagaimana cara menulis yang baik guna pembinaan Permata. Penulis beranggapan belum tentu semua penulis kurikulum pembinaan yang adalah seorang Pendeta dan beberapa orang yang ahli dalam bidangnya, dapat menulis dengan baik. Oleh sebab itu, alangkah baiknya yang menulis kurikulum pembinaan adalah perancang dari kurikulum tersebut. Kalaupun hal ini tidak dapat terwujud, penulis menyarankan untuk diselenggarakan sebuah pelatihan khusus bagi para penulis kurikulum pembinaan. Selain itu, penulis kurikulum tidak memiliki keahlian khusus dalam hal pemuda. Penulis hanya memiliki penerawangan umum perihal kehidupan pemuda di masyarakat. Hal ini mengakitbatkan tulisan yang hanya mengena pada perihal umum saja yang sering terjadi, dan cenderung membosankan. Akan jauh lebih baik jika penulis memiliki pengetahuan yang baik tentang pemuda. Seminim mungkin, penulis mengetahui perkembangan spesifik dari pemuda, yakni perkembangan fisik, sosial, mental dan spiritual. Hal ini merupakan salah
33
satu bukti, betapa pentingnya asas Psikologi mendasari perancangan maupun penulisan kurikulum pembinaan. Keenam, sering terjadi pengulangan materi pembinaan. Dalam kurikulum pembinaan tahun 2011 dan 2012, terdapat materi kurikulum yang sama dan memiliki tujuan yang sama pula. Memang dalam setiap tahunnya akan ada materi yang sama sehubungan dengan Tahun Gerejawi seperti Paskah, Natal, HUT kaum Ibu, Bapa, Pemuda, dan Sekolah Minggu, serta peristiwa Nasionalis. Namun, hal yang menarik terjadi yakni, terdapat satu thema mingguan yang sama pada tanggal 28 Maret – 03 April 2011 dan 28 Oktober – 03 November 2012 dengan thema “Hidup Dalam Keanekaragaman.” Tujuan khususnya adalah agar Permata dapat mengetahui, memahami, dan menghargai keanekaragaman dalam hidup, dan dapat menyuarakan kasih Allah dalam keanekaragaman tersebut. Kedua tanggal ini memiliki thema dan tujuan khusus yang sama. Walaupun memang nats bimbingan kedua thema ini berbeda; pada tahun 2011 memakai nats Yohanes 4:1-42 sedangkan tahun 2012 memakai nats Galatia 6:9-10. Namun, jelas bahwa hal ini merupakan kerugian besar dalam perkembangan pembinaan Permata. Hal ini merupakan akibat daripada tidak adanya evaluasi kurikulum pembinaan. 6. Penutup Kaum muda adalah generasi penerus Gereja di masa mendatang. Oleh sebab itu, pembinaan terhadap kaum muda merupakan tugas penting yang harus diperhatikan secara serius oleh Gereja. Pembinaan terhadap kaum muda tidak terlepas dari kurikulum yang mendasari pembinaan tersebut. Kurikulum yang memiliki tujuan untuk membantu kaum muda melihat, menerima, dan memenuhi tujuan Allah melalui penebusan Yesus Kristus. Dalam mewujudkan pembinaan yang efektif memang tidaklah mudah. Terlebih perbedaan konteks kehidupan, pendidikan, pekerjaan, sosial dan lainnya yang terjadi ditengah-tengah 34
jemaat, terkhusus kaum muda. Hal ini akan terus menjadi tantangan Gereja untuk dapat menyederhanakan perbedaan yang ada dan merancang sebuah kurikulum pembinaan yang kontekstual dan relevan. Setiap tahunnya, Gereja harus memiliki peningkatan dalam mewujudkan pembinaan yang sesuai dengan kehendak Allah. Perhatian Permata Pusat dan Komisi Teologia terhadap perancangan kurikulum pembinaan masih kurang baik dalam mewujudkan pembinaan yang efektif. Masih banyak hal yang perlu diperbaiki dan dikoreksi kedepannya. Setiap tahunnya haruslah diadakan evaluasi guna perkembangan kurikulum pembinaan. Ini menjadi tantangan Permata sebagai wadah pemuda Kristen Karo satu-satunya dibawah naungan GBKP. Permata memiliki peran penting demi masa depan Gereja. Perancang juga belum memperhatikan asas-asas kurikulum sebagai dasar perancangan dengan seimbang. Terkhusus dalam memperhatikan asas Psikologis. Keempat asas kurikulum yang mendasari harus diperhatikan secara seimbang agar terwujud pembinaan yang baik. Tinjauan kritis yang telah dibuat diharapkan menjadi sebuah kritikan yang positif guna perkembangan pembinaan Permata GBKP. Tulisan ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi Permata Pusat bahkan Sinode GBKP. Bagaimana pentingnya sebuah proses perancangan kurikulum yang akan berdampak bagi perkembangan pembinaan pemuda dan masa depan Gereja. Masa depan Gereja dibentuk sedini mungkin dengan pembinaan yang baik dan efektif terhadap warga gereja, terkhusus pemuda yang merupakan agen pelaksanaan tugas panggilan Gereja.
35
DAFTAR PUSTAKA Budiman Sitepu. Draft kurikulum Pendalaman Alkitab Permata thn 2012. Corbett, Jan. Creative Youth Leadership. Valley Forge: Judson Press, 1977. Creasy Dean, Kenda & Ron Foster. The God Bearing Life; The Art of Soul Tending for Youth Ministry. Nashville: Upper Room Books, 1998. D. Gunarsa, Y. Singgih. Psikologi untuk muda-mudi. Jakarta: Gunung Mulia, 2004. Fields, Doug. Purpose Driven Youth Ministry. Jawa Timur: Gandum Mas, 2000. F.
Pinar,
William
&
Phenomenological
William
M.
Reynolds.
Understanding
Curriculum
as
and Deconstructed Text. New York: Teacher College,
Colombia University, 1992. Hidayat, Rakhmat. Pengantar Sosiologi Kurikulum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011. Homrighausen, Dr. E. G. dan Dr. I. H. Enklaar. Pendidikan Agama Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985. Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Diterjemahkan Dra. Istiwidayanti & Drs. Soedarjo, M.Sc., Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga, 1999. Max Sijabat, Drs. Ridwan. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1980. Menno, S. dan Mustamin Alwi. Antropologi Perkotaan. Jakarta: Rajawali Pers, 1992. Mulyasa, M.Pd., Dr. E. Kuriukulum Berbasis Kompetensi; Konsep, Karateristik, dan Implementasi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004. Mönks, F. J. & A.M.P. Knöers. ONTWIKKELINGS PSYCHOLOGIE. Diterjemahkan Siti R. Haditono. Psikologi Perkembangan; Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984. Nasution, M.A., Prof. Dr. S. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Natsir, Mo. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia 1988. Nuhamara M.Th, Dr. Daniel. Pendidikan Agama Kristen Dewasa. Bandung: Jurnal Info Media, 2008. O. Richards, Lawrence. Youth Ministry is Renewal in The Local Church. Michigan: Zondervan Publishing, 1972. Permata GBKP Pusat. Pokok-pokok Peraturan Rumah Tangga dan Garis Besar Pelayanan Permata GBKP 2010-2014.
36
R, Peacocke, A.. The Christian Faith in a scientific era. Religious Education (Psikologi perkembangan). Jakarta: Erlangga, 1999. S. Kembaren, Gunawan & Eva HandayaniS. Gurkie. Bunga Rampai; Sejarah Permata GBKP; Dahulu, Sekarang dan yang akan datang. Sibolangit: Chek-Pro, 1998. Sanjaya, Prof. Dr. H. Wina, M.Pd. Kurikulum dan Pembelajaran; Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2008. Santrock, John W. Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1995. Sarosa, Samiaji. Penelitian Kualitatif; Dasar-dasar. Jakarta: PT Indeks, 2012. Sumiyatiningsih, Dr. Dien. Mengajar dengan Kreatif dan Menarik. Yogyakarta: ANDI, 2006. Slattery, Patrick. Curricilum Development in the Postmodern Era. New York & London: Garland Publishing, Inc, 1995. White, Roger Crombie. Curriculum Innovation; A Celebration of Classroom Practice. Jakarta: Grasindo, 2005. Wyckoff, D. Campbell. Theory and Design of Christian Education Curriculum. Philadelphia: The Westminster Press, 1961. Fred Joob. Introducton for Christian Education. http://www.gbkp.or.id/index.php/tentang-gbkp/visi-misi diakses pada tanggal 20 Agustus 2013 pada pukul 17.58 WIB http://www.gbkp.or.id/ diakses pada tanggal 04 April 2013, pada pukul 14.25 WIB
37