1.8 Sistimatika Penulisan Bab I merupakan Pendahuluan yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Pokok Masalah dan Tujuan Penelitian, Pertanyaan Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penulisan, Tinjauan Pustaka, Landasan Konsep dan Teori ( Teori Musik, Konsep Analisa, Defenisi Syair Lagu), dan Metode Penelitian (Pendekatan Penelitian, Kehadiran Peneliti, Sumber Data, Prosedur Pengumpulan Data,
Analisis Data, Pengecekan Keabsahan Data, Tahap -Tahap
Penelitian, Tahap Pekerjaan Lapangan, dan Sistimatika Penulisan). Bab II membahas tentang perkembangan musik gereja meliputi. Bab III Analisis hasil dari proses adaptasi komposisi yang baru.. Bab IV membahas kajian struktur musik lagu “Las Rohangku Lao Mamuji” yang menyangkut bentuk dan struktur meliputi: frase, melodi, motif, kontur melodi, tangga nada, ambitus, harmoni, progresi akord, kadens, tempo, tekstur, tipe lagu, kaitan antara syair dan lagu. Bab V Membahas penggunaan lagu “Las Rohangku Lao Mamuji” dalam ibadah di gereja HKBP. Bab VI merupakan Bab penutup berupa kesimpulan dan saran.
BAB II PERKEMBANGAN MUSIK GEREJA HKBP (HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN)
Universitas Sumatera Utara
Sebelum membahas perkembangan musik di gereja HKBP, penulis terlebih dahulu membahas perkembangan musik gereja era sebelum musik pada gereja HKBP.
Tujuan
pembahasan ini agar kita dapat memahami secara garis besar sejarah perkembangan nyanyian jemaat itu, sekaligus dapat meningkatkan tingkat apresiasi kita terhadap nyanyian-nyanyian jemaat yang berasal dari berbagai latar belakang budaya, denominasi gereja, doktrin gereja, dan musik. Sejarah perkembangan nyanyian jemaat berjalan seiring dengan sejarah perkembangan gereja, karena kehidupan bergereja tidak pernah lepas dari nyanyian jemaat.
2.1 Perkembangan Musik Gereja Sebelum Musik Gereja HKBP 2.1.1 Jaman Perjanjian Lama Di dalam Perjanjian Lama terdapat Mazmur yang selalu digunakan dalam ibadahibadah di Bait Allah, ibadah pribadi bangsa Israel, bahkan dalam perayaan-perayaan. Mazmur ini dikumpulkan dari beberapa penulis yang berbeda, seperti: Daud, Musa, bani Asaf, bani Korah, dll. Namun sangat disayangkan, bahwa kita tidak dapat mengenal musik yang bangsa Israel gunakan untuk menyanyikan mazmur-mazmur mereka. Bangsa Israel hanya mengajarkan secara oral saja, tanpa meninggalkan catatan-catatan; dan tradisi menyanyikan mazmur ini masih ada sampai jaman Yesus di Perjanjian Baru. Yesus dan murid-murid-Nya menyanyikan himne pada akhir dari perjamuan terakhir mereka. Hal ini merupakan contoh dari tradisi bangsa Yahudi dalam merayakan Paskah.31
31
Harry Eskew and Hugh T. McElrath, Sing with Understanding, 2nd ed., (Nashville: Church Street Press, 1995), h. 78.
Universitas Sumatera Utara
Selain mazmur, kita juga mengenal “canticles”, yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh orang-orang tertentu yang bukan dikutip dari mazmur. Canticles yang ada di Perjanjian Lama32; Nyanyian Musa (Keluaran 15:1-26), disebut juga “NyanyianKeselamatan” (Song of Salvation), sebuah nyanyian kelepasan dari perbudakan Mesir dan kehancuran pasukan Mesir di Laut Merah; Nyanyian Musa (Ulangan 32: 1-43), yang berisi perintah Allah kepada bangsa Israel, pada saat Musa akan mengakhiri masa kepemimpinannya, sebelum kematiannya; Nyanyian Yesaya (Yesaya 26:1-21), yang dibuka dengan pujian kepada Allah atas terlindunginya orangorang benar dan juga merupakan tangisan akan keadaan bangsa yang sedang dalam kekacauan; Nyanyian Hana (1 Samuel 2:1-10), mengekspressikan pujian kepada Allah tentang kemahakuasaan-Nya atas semua ciptaan dan nyanyian kepercayaan bahwa Allah berkuasa atas sejarah manusia, memberkati yang benar dan menghukum yang jahat; Nyanyian Yunus (Yunus 2:2-9), doa Yunus ketika sedang berada di dalam perut ikan; Nyanyian Habakuk (Habakuk 3:219), berisikan kepercayaan yang kokoh kepada Allah, berdasarkan apa yang Allah sudah perbuat di tengah-tengah bangsa Israel, bahwa Allah akan membebaskan Israel dari musuhmusuhnya.
Canticles yang ada di Perjanjian Baru; Gloria in Excelsis Deo – Nyanyian Malaikat (Lukas 2), teks ini masih dipakai terus oleh gereja-gereja Katolik, Anglikan, dan beberapa gereja tradisional lainnya dalam ibadah-ibadah mereka atau dalam misa-misa. Disebut juga “The Greater Doxology”; Magnificat – Nyanyian Maria (Lukas 1:46-56), teks ini dinyanyikan dalam Verpers (ibadah saat matahari terbenam), dan merupakan bagian dalam ibadah Evening Prayer atau Evensong di gereja Anglikan; Benedictus – Nyanyian Zakaria (Lukas 1:67-80), dinyanyikan pada ibadah Lauds di gereja Roma Katolik dan pada ibadah Morning Prayer di gereja Anglikan; Nunc Dimitis – Nyanyian Simeon (Lukas 2:27-32), dinyanyikan pada ibadah 32
Ibid, h. 78-79
Universitas Sumatera Utara
Compline (setelah Vespers) di gereja Roma Katolik, pada ibadah Even song di gereja Anglikan, dan pada kebaktian Perjamuan Kudus di gereja Lutheran.
2.1.2 Jaman Gereja Mula-Mula Jaman gereja mula-mula dibagi dalam: Jaman Perjanjian Baru, Himne Yunani (Greek Hymnody) dan Himne Latin (Latin Hymnody).
2.1.2.1 Jaman Perjanjian Baru Setelah kehancuran Bait Allah (tahun 70 Masehi), ada beberapa latar belakang sosialpolitik yang mempengaruhi keadaan orang Kristen dan orang Yahudi pada waktu itu. Keadaankeadaan itu adalah; Penganiayaan terhadap orang-orang percaya meningkat; Pertemuanpertemuan ibadah dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan pengawasan yang ketat; Upacara dan ritual orang Yahudi perlahan-lahan mulai ditinggalkan; Injil diberitakan secara luas, bahkan kepada orang-orang bukan Yahudi; Adanya persekutuan antara orang Yahudi dan yang bukan Yahudi, dan mereka disebut sebagai orang Kristen. Karena keadaan yang kurang menguntungkan tersebut, maka nyanyian jemaat tidaklah dinyanyikan secara terang-terangan dan mulai bermunculanlah puisi-puisi rohani yang kadang dinyanyikan atau dibacakan saja, yang disebut juga himne, seperti: 1 Kor. 2:9; Ef. 5:14; 1 Tim. 1:17; 1 Tim. 3:16; 2 Tim. 2:11-13; Kisah. 16:25; dan lain-lain. Ini merupakan cikal bakal berkembangnya lagu-lagu himne.
2.1.2.2 Himne Yunani (Greek Hymnody)
Universitas Sumatera Utara
Bahasa Yunani adalah bahasa resmi di seluruh daerah pendudukan kerajaan Romawi. Kitab-kitab di Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani, bahkan Perjanjian Lama diterjemahkan juga ke dalam bahasa Yunani, yang disebut Septuaginta. Sehingga himne-himne dan unsur-unsur dalam ibadah sekalipun menggunakan bahasa Yunani. Pada tahun 367 Masehi, Konsili di Laodikia memutuskan bahwa jemaat biasa tidak diperbolehkan terlibat aktif di dalam ibadah/misa, hanya penyanyi yang sudah terlatih dan yang memenuhi syarat saja yang diperbolehkan menyanyi, dan penggunaan instrumen tidak diperbolehkan. Namun dari jaman inilah muncul teks-teks himne yang asli33, dalam pengertian murni, bukan saduran atau kutipan, atau parafrase. Seperti: Phos Hilaron, tidak diketahui siapa penulisnya, digunakan dalam Verpers atau Evensong, yang berarti Terang Kemuliaan Ilahi Bapa.34 Penulis himne Yunani yang lain adalah Clement dari Alexandria (160-215), Synesius dari Cyrene (375-430), St. Andrew dari Kreta, St. John dari Damaskus, dll. Himne-himne yang muncul dan terkenal sampai sekarang, antara lain: Ter Sanctus (Suci, Suci, Suci, Allah Maha Tinggi), Gloria in Excelsis Deo (Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi), Gloria Patri (Mat.28:19), TeDeum.35 Dalam jaman Yunani ini, mulai dikenal bentuk himne dengan metrikal. Tidak lagi berbentuk bebas seperti karya prosa, tetapi lebih berbentuk seperti puisi; bahkan St. Andrew dari Kreta mengembangkan suatu bentuk kanon untuk menyanyikan canticles. Bentuk lain seperti: Troparia, doa pendek yang dinyanyikan di tengah-tengah pembacaan Mazmur; Kontakion, terdiri dari 18-30 bait dengan refrain, biasanya berurutan secara alfabetikal.
33 34
Eskew & McElrath, h. 85. John Julian, Dictionary of Hymnology – vol.2, (Grand Rapids: Kregel Publications, 1985), h.
35
Ibid, “Greek Hymnody”, h. 456-466.
894.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2.3 Himne Latin (Latin Hymnody) Nyanyian jemaat berbahasa Latin berkembang secara paralel dengan bagian akhir nyanyian jemaat berbahasa Yunani. Hanya saja perkembangan nyanyian jemaat berbahasa Latin lebih lambat dibandingkan dengan nyanyian jemaat berbahasa Yunani. Belahan dunia Timur menggunakan bahasa Yunani, dan belahan dunia Barat menggunakan bahasa Latin. Di belahan dunia Barat ini terdapat larangan untuk menggunakan teks-teks himne yang bukan berasal dari Alkitab, sebagai suatu usaha untuk mencegah berkembangnya ajaran-ajaran sesat, yang pada waktu itu merebak,seperti: Arius. Kaum ortodoks mulai menggiatkan penulisan teks-teks himne untuk menangkal ajaranajaran sesat itu, bahkan sebagian mereka harus berjuang secara fisik hingga menimbulkan pertumpahan darah. Penulis-penulis teks himne beraliran ortodoks itu antara lain: Bishop John Chrysostom dari Konstantinopel; Hilary dari Poitiers; yang sangat terkenal yaitu Ambrose dari Milan dengan O lux beata dan Trinitas, yang keduanya adalah nyanyian malam untuk memuji Allah Tritunggal. Juga Veni, Redemptor Gentium, yang banyak digunakan pada masa-masa Advent, bahkan Martin Luther juga menggunakannya dalam bahasa Jerman. Masih banyak lagi penulis himne yang lain, yang sudah menulis teks-teks himne untuk menangkal ajaran-ajaran sesat.36
2.1.3 Jaman Kegelapan (Dark Ages) dan Jaman Pertengahan (Middle Ages) Tahun 500-1000 Masehi disebut Jaman Kegelapan karena kerajaan Romawi runtuh, sehingga mengakibatkan perkembangan nyanyian jemaat berbahasa Yunani pun mulai hilang; 36
Eskew & McElrath, h. 85-89.
Universitas Sumatera Utara
yang tersisa hanyalah nyanyian jemaat berbahasa Latin. Pada jaman ini, perkembangan intelektual dan kebudayaan meningkat secara drastis, sehingga mengakibatkan beberapa penulis himne juga menampilkan kejayaan dalam karya-karya mereka yang kreatif.37 Penulis himne yang sangat terkenal dari Jaman Kegelapan ini adalah Pope Gregory I (590-604), atau yang dikenal dengan sebutan The Great, karena beliau banyak melahirkan tulisan-tulisan yang spektakuler tentang khotbah-khotbah, theologia sistematis, misi, dan pelayanan, serta dalam bidang musik dan liturgi. Dalam
bidang musik dan liturgi, Pope
Gregory I memperkenalkan suatu melodi yang sering dikenal dengan sebutan Gregorian Chant, dengan ciri-ciri yang khas, yaitu: monofonik (satu suara saja), tanpa iringan, melodi diatonik, ketukan bebas dalam arti melodi dan ketukan disesuaikan dengan ritme dari teks. 38 Dari Jaman Kegelapan ini nyanyian jemaat berbahasa Latin masih terus berkembang sampai Jaman Pertengahan (Middle Ages). Penulis-penulis himne yang terkenal dari Jaman Pertengahan ini antara lain: Bernard dari Clairvaux (1091-1153) dengan himnenya yang terkenal “Jesus, the Very Thought of Thee” (Jesus, Dulcis Memoria); Berbard dari Cluny (1145) dengan “Of Scorning the World” (De Contemptu Mundi) dan “Jerusalem, the Golden”; St. Francis dari Assisi (1182-1226). St. Francis dari Assisi banyak menulis teks himne, antara lain “All Creatures of Our God and King”. Jaman Pertengahan banyak memberikan sumbangsih di dalam bidang musik dan liturgi, karena pada jaman inilah orang Kristen mulai mengenal Sequence dan Tropes, yaitu penggabungan teks dan musik yang diaplikasikan ke dalam liturgi. Tujuannya adalah untuk menghidupkan liturgi di dalam perayaan misa. Bahkan sequence dan tropes ini sebagian masih dipakai oleh gereja-gereja reformed pada jaman reformasi. Selain itu, St. Francis dari Assisi, 37
Ibid, h. 89. Jhon Julian, 1985. “Dictionary of Hymnology”, 2nd Edition, 2 volumes. Grand Rapids: Kregel Publications, hal., 469-470 38
Universitas Sumatera Utara
juga mulai menggunakan bahasa Itali dalam himne-himnenya, dan beliau juga mengembangkan lagu-lagu rakyat (folksong) yang lebih dikenal dengan istilah carol.39
2.1.4 Jaman Reformasi Protestan Reformasi Protestan membawa angin baru di dalam nyanyian jemaat, khususnya di Eropa. Di Jerman dan negara-negara Scandinavia, lagu-lagu himne dengan style Chorale sangat dikenal; sedangkan Mazmur yang dinyanyikan lebih dikenal di Perancis, Belanda dan Inggris. Karakteristik dari musik jaman ini adalah: polifonik mulai digemari daripada monofonik; Gereja Roma Katolik masih mempertahankan “Musik Sakral” dengan Church Modes mereka. Sedangkan orang-orang dari golongan rendah lebih mengenal musik sekuler, sehingga musik sekuler juga berkembang pesat. Church Modes mulai ditinggalkan ke arah tonalitas mayor-minor; garis paranada (garis lima) mulai dikenal untuk penulisan notasi musik; dan teknologi percetakan juga mulai berkembang, sehingga musik literatur terus berkembang di seluruh Eropa. Karakteristik dari melodi Chorale, yang dikembangkan oleh Martin Luther, yang bekerja sama dengan Johann Sebastian Bach, yaitu: musik frase sangat jelas dan lebih teratur; ritme dikenal lambat, tetap, dan adanya penekanan-penekanan; menggunakan tonalitas mayorminor; polifonik; mudah dinyanyikan karena range (batasan nada terendah dan tertinggi) tidak besar, melodi yang sederhana, pendek dan tetap. Chorale menggunakan bahasa Jerman, bukan Latin, sehingga dengan mudah dipelajari oleh orang awam. Martin Luther masih menggunakan teks dan melodi lagulagu dari Gereja Roma Katolik: “Ia mengubah musik dan teks dari nyanyian Gereja Roma Katolik supaya sesuai dengan theologi barunya. Hasilnya, orang-orang
39
Eskew & McElrath, hal., 93-95.
Universitas Sumatera Utara
mengenal himne-himne dan chants yang sudah dikenal dan mereka merasakan kehadiran “Gereja Baru” di dalam rumah mereka masing-masing. Luther menggunakan musik yang sudah dikenal bagi mayoritas masyarakat Jerman.”40 Himne-himne terkenal yang ditulis oleh Martin Luther antara lain: Ein’ feste Burg ist unser Gott (Allah Jadi Benteng Kukuh) yang berdasarkan Mazmur 46; Aus tiefer Not Schrei ich zu dir (Out of the depths I cry to Thee) yang berdasarkan Mazmur 130; Von Himmel hoch da komm ich her (From Heaven above to Earth I Come) sebuah himne Natal untuk anak-anak berdasarkan lagu sekuler Aus fremden Landen komm ich her (Good news from far abroad I bring); Chirst lag in Todesbanden (Christ Jesus lay in death’s strong bands) sebuah himne Paskah yang berdasarkan himne Latin dalam Sequence Paskah, Victimae paschali laudes; Nun komm der heiden Heiland (Savior of the Nations, Come) himne Advent yang diilhami oleh himne Veni redemptor genitum gubahan Ambrose.41 Sekitar 20.000 himne telah ditulis di Jerman sampai dengan akhir abad 16, sampai th 1618 jumlah ini hanya mencapai 25.000 saja. Hal ini disebabkan oleh adanya “Perang 30 Tahun” antara golongan Gereja Roma Katolik dan Gereja Reformed Protestan. Sehingga dapat dikatakan bahwa penulisan himne tidak mengalami kebangunan yang berarti. Ada beberapa penulis himne seperti Johann Heermann (1585-1647), Martin Rinkart (1568-1649) dengan “Now Thank We All our God”, Johann Cruger dengan “Nun Danket”, “Praxis Pietatis Melica”, “Herliebster Jesu (Ah, Holy Jesus)”, “Jesu, meine Freude (Jesus, All my Gladness)”, dan lainlain.
40
Johannes Riedel, The Lutheran Chorale, Its Basic Traditions, (Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1967), hal., 38. 41
Eskew & McElrath, hal., 99.
Universitas Sumatera Utara
2.1.5 Pietisme Pada akhir abad 17 dan memasuki abad 18, gerakan Pietisme mulai merebak. Gerakan ini dipelopori Phillip Jakob Spener pada tahun 1670, yang memberikan reaksi terhadap meningkatnya formalitas dan kekakuan di dalam Gereja. Gerakan Pietisme ini mendorong orang-orang Kristen untuk hidup di dalam kerohanian mereka dan memperhatikan ibadah pribadi mereka.
Sehingga gerakan Pietisme ini menghasilkan himne-himne yang bersifat
subyektif, lebih menekankan karakter-karakter pribadi. Karena karakter inilah, maka himnehimne Pietisme lebih sesuai untuk ibadah pribadi daripada ibadah bersama di dalam Gereja. Himnishimnis dari gerakan Pietisme ini antara lain: Johann J. Schultz, Adam Drese, dan yang terkenal adalah Joachim Neander dengan himnenya Lobe den Herren, dem machtigen Konig der Ehren (Praise to the Lord, the Almighty/Mari Memuji Tuhan).
2.1.6 Moravian Kelompok Moravian adalah para pengikut John Hus dari Bohemia, sekarang Cekoslovakia, yang mati secara martir pada tahun 1415. Kelompok ini sering mendapatkan penganiayaan, baik dari Gereja Roma Katolik maupun dari Gereja Protestan. Kelompok ini sangat kuat dalam pengiriman tenaga-tenaga misionaris ke luar Eropa.42
Himne-himne yang terkenal dari
kelompok Moravian ini antara lain: Nicolaus Ludwig von Zinzendorf (1700-1760); Christian Gregor (1723-1801).
2.1.7 Nyanyian Mazmur
42
Julian, hal., 765-769.
Universitas Sumatera Utara
Nyanyian Mazmur berkembang hanya di Perancis, Belanda dan Inggris. Mereka hanya menyanyikan Mazmur, karena mereka sulit menerima lagu-lagu himne hasil tulisan manusia. Mereka hanya menerima yang berasal dari Firman Tuhan saja.
2.1.7.1 Nyanyian Mazmur Di Prancis Di Perancis pelopor nyanyian Mazmur ini adalah John Calvin, seorang ahli theologia reformed. Berbeda dengan Luther, Calvin menolak semua musik dan liturgi peninggalan Gereja Roma Katolik, bahkan dia juga menolak penggunaan organ, paduan suara dan himne-himne yang ditulis oleh manusia; hanya mazmur atau himne yang berdasar dari Mazmur saja yang boleh dinyanyikan dalam ibadah-ibadah, itupun harus dinyanyikan secara unison tanpa iringan. Dengan filosofi seperti ini, mereka menghasilkan peningkatan nyanyian Mazmur di Perancis. Ini terbukti dengan terbitnya buku Calvin’s Strassburg Psalter pada tahun 1539, yang diikuti oleh buku-buku Pslater yang lain yang diterbitkan di Geneva. Puncaknya dengan terbitnya Genevan Psalter pada tahun 1562, yang memuat 150 Mazmur, ditambah 10 Perintah Allah dan Nunc Dimittis. Buku ini memuat 125 melodi dalam 110 meter yang berbeda.43
2.1.7.2 Nyanyian Mazmur di Inggris Yang melatar belakangi kelompok penyanyi Mazmur dari Inggris ini penganiayaan terhadap orang-orang Kristen Protestan oleh Queen Mary pada tahun 1553-1558, yang terkenal dengan sebutan “Bloody Mary”. Sehingga orang-orang Kristen Protestan melarikan diri keluar dari Inggris, sebagian besar lari ke Geneva dan membentuk Gereja Anglo-Genevan yang digembalakan pertama kali oleh John Knox pada tahun 1555. Kelompok Genevan Psalter inilah
43
Eskew & McElrath, hal., 115.
Universitas Sumatera Utara
yang mempengaruhi kelompok Anglo-Genevan ini untuk menyanyikan Mazmur di dalam ibadah-ibadah mereka.44 Mereka menyanyikan nyanyian-nyanyian Mazmur gubahan Sternhold dan Hopkins serta William Willingham. Pada tahun 1561, mereka menerbitkan Anglo-Genevan Psalter, yang sebagian lagunya diambil dari buku Genevan Psalter. Tradisi menyanyikan Mazmur ini terus berlanjut setelah mereka kembali ke Inggris, sesudah Queen Mary meninggal.
2.1.7.3 Nyanyian Mazmur di Skotlandia Pada awalnya orang-orang Skotlandia bersatu dengan orangorang Inggris di Geneva karena mereka juga mengalami penganiayaan yang sama dari Queen Mary. Mereka juga menyanyikan mazmur dari sumber yang sama, yaitu Anglo-Genevan Psalter. Namun pada tahun 1559, orang-orang Skotlandia ini kembali ke tanah air mereka dan mulai merevisi AngloGenevan Psalter. Pada tahun 1564, mereka menerbitkan versi mereka sendiri yang diberi nama The Forme of Prayers and Ministration of the Sacraments.
2.1.7.4 Nyanyian Himne di Inggris Untuk membahas nyanyian himne di Inggris, kita tidak bisa melupakan 2 nama, yaitu Isaac Watts dan keluarga Wesley. Isaac Watts adalah orang yang memulai penulisan dan penggunaan nyanyian himne di Inggris, khususnya di Gereja Anglikan, yang sebelumnya hanya menyanyikan nyanyian-nyanyian Mazmur saja. Pada waktu itu sebagai seorang muda yang berusia 21 tahun, Isaac Watts mengeluh tentang kualitas dari nyanyian-nyanyian Mazmur itu. Ayahanda Isaac Watts lalu memberikan tantangan kepada Isaac Watts untuk menulis yang teks 44
Ibid, hal., 117-119.
Universitas Sumatera Utara
yang lebih baik. Selanjutnya Isaac Watts membuktikannya dengan menampilkan salah satu karyanya, yaitu “Behold Glories of the Lamb”, yaitu teks dari Mazmur yang diparafrase.45 Setelah itu Isaac Watts banyak menulis “nyanyian baru” yang diilhami dari pengalamannya, pemikirannya, perasaannya, dan aspirasinya. Watts masih menggunakan bentuk-bentuk musik yang sudah ada, namun syair-syairnya memiliki kekhususan, yaitu: satu lagu hanya memiliki satu tema, kalimat-kalimat yang sederhana namun dapat memuat makna yang dalam, jalan pemikiran yang menuju ke klimaks, dan syair-syairnya juga sangat cocok dengan khotbah, serta lebih sesuai digunakan untuk persekutuan bersama orang-orang Kristen, tidak cocok untuk ibadah pribadi. Penekanannya adalah pada masyarakat Kristiani yang telah ditebus dan penebusan melalui kayu salib. Karena itulah, Isaac Watts disebut sebagai “Bapak Nyanyian Himne Inggris”. Nyanyian himne yang ditulis oleh Isaac Watts, antara lain: “Alas! And did my Savior bleed”, “Am I a soldier of the cross?”, ”Come, we that love the Lord”, “I sing the almighty power of God”, “When I survey the wondrous cross”, dll. Sedangkan parafrase dari Mazmur yang ditulis olehnya, antara lain: “My Shepherd will supply my need (Mzm 23)”, “Jesus shall reign (Mzm 72)”, “O God our help in ages past (Mzm 90)”, “Joy to the world (Mzm 98)”, “From all that dwell below the skies (Mzm 117)”, “This is the day that the Lord hath made (Mzm 118)”, “I’ll praise my maker while I’ve breath (Mzm 146)”, dll. Selain Isaac Watts, dua bersaudara yang tidak boleh kita lupakan yaitu John dan Charles Wesley. Mereka adalah pendiri denominasi Methodist. Charles Wesley yang berbakat menulis nyanyian-nyanyian himne.
Dia sudah menulis 8989 puisi religius, paling sedikit 6000 di
antaranya adalah himne. Penekanan nyanyian-nyanyian himne Wesley adalah sebagian besar
45
James Sallee, 1978. A History of Evangelistic Hymnody, (Grand Rapids: Baker Book House),
hal., 11.
Universitas Sumatera Utara
menekankan tentang penginjilan, diilhami oleh pengalaman pribadi. Secara teks mengalami peningkatan mutu daripada himnehimne sebelumnya, biasanya dinyanyikan tanpa iringan, dan penekanan John Wesley adalah pada sikap hati dalam menyanyi. Hasil karya Charles Wesley, antara lain: “Praise the Lord who reigns above”, “Come, Thou long-expected Jesus”, “Hark! The herald angels sing”, “And can it be that I should gain”, “Tis finished! The Messiah dies”, “Christ the Lord is risen today”, “Hail the day that sees Him rise”, “Jesus, lover of my soul”, “Rejoice the Lord is King”, “Lo, He comes with clouds descending”, “O for a thousand tounges”, “Love divine, all loves excelling”, “Depth of mercy! Can it be”, “Ye servants of God”, dll. Selain Isaac Watts dan Wesleys, sebenarnya masih banyak penulis-penulis himne yang lain, namun karena keterbatasan waktu, maka penulis hanya menyebutkan satu nama lagi, yaitu John Newton, yang sudah menulis sekitar 280 himne, di antaranya yaitu: “Amazing Grace”, “Glorious things of thee are spoken”, “How sweet the name of Jesus sounds”, “May the grace of Christ our Saviour”, dll.
2.1.7.5 Nyanyian Himne di Amerika Mulai abad ke-16 sampai dengan awal abad ke-18, Nyanyian Mazmur masih aktif digunakan di gereja-gereja Amerika. Pada umumnya tradisi menyanyikan Mazmur dibawa dari benua Eropa, baik dari Perancis maupun dari Inggris oleh para misionaris mereka. Huguenot membawa French Metrical Psalms ke Florida, khususnya kepada orang-orang Indian, pada tahun 1562-1565. Sir Francis Drake dari Inggris baru datang pada tahun 1579, dan Henry Ainsworth juga dari Inggris datang pada tahun 1620. Kemudian orang Puritan mendirikan Massachusetts Bay Colony di bagian Utara Boston pada tahun 1630. Selanjutnya pada tahun
Universitas Sumatera Utara
1640, mereka menerbitkan The Whole Book of Psalms Faithfully Translated into English Metre, yang sekarang disebut sebagai Bay Psalm Book. Pada edisi ke-9 dari buku ini mereka menggunakan notasi FaSoLaMi (FSLM), yang merupakan solmisasi tua yang digunakan di Inggris. Pada tahun 1734, Jonathan Edward dan George Whitefield mempelopori gerakan “Kebangunan Besar” (Great Awakening) di Northampton, Massachusetts, yaitu suatu gerakan yang bereaksi melawan institusi keagamaan yang tradisional. Pada masa ini, memang nyanyian Mazmur masih digunakan di gerejagereja, namun orang-orang lebih menyukai nyanyiannyanyian himne Isaac Watts yang dibawa oleh Whitefield dari Inggris. Pada akhir abad ke-18, nyanyian rakyat juga diadopsi sebagai nyanyian jemaat, pada umumnya tidak dicatat karena mereka melestarikannya dari mulut ke mulut.
Mereka
menggunakan melodi dari lagu-lagu rakyat yang sudah dibawa oleh para pendatang sebelumnya dari Inggris, sehingga lebih dikenal dengan sebutan Anglo-American Folksongs.
Mereka
menggunakan musik pentatonik dan melodi modal (seperti: Dorian, Myxolydian, dll). Tematema yang umumnya dipakai dalam himne-himne mereka adalah pertobatan orang berdosa, antisipasi terhadap kematian, dan kepastian akan penghakiman terakhir. Pada awal abad ke-19, gerakan Camp-meeting juga melanda Amerika, dimulai dari Carolina dan Kentucky.
Gerakan ini adalah gerakan interdenominasi, karena gerakan ini
dipelopori oleh gereja-gereja Methodist, Presbiterian dan juga Baptist. Lagu-lagu camp-meeting ini menggunakan bahasa yang sederhana; lagunya seperti lagu rakyat sehingga mudah dipelajari dan mudah dinyanyikan serta banyak pengulangan; pada umumnya bertemakan keselamatan bagi yang berdosa. Selain itu, gerakan ini juga memperhatikan masalah-masalah sosial, seperti: kepentingan anakanak, hak-hak wanita, tenaga kerja anak-anak, hak-hak buruh, dan lain-lain; khususnya gerakan anti-perbudakan yang menyebabkan Perang Sipil (Civil War) di tahun 1861.
Universitas Sumatera Utara
Dari abad ke-18 sampai awal abad ke-19, banyak gerakan-gerakan baru bermunculan di Amerika, antara lain: Gerakan Sekolah Minggu (Sunday School Movement), 1824; Negro Spiritual, 1870; Gospel Songs, 1874; dan lain-lain. Banyak sekali lagu-lagu himne yang tercipta untuk kebutuhan Gerakan Sekolah Minggu ini. Komposer-komposer yang terkenal antara lain adalah William Bradbury (1816-1868), yang sudah menulis: Jesus loves me (Yesus kasih ‘kan daku-PPR 334), He leadeth me (Muchalislah Pemimpinku-PPR 111), Sweet hour of prayer (Inilah saat minta doa-PPR 160), Just as I am, without one plea (Seadanya ku tak layak-PPR 42), My hope is built on nothing less, Saviour like a shepherd lead us (Yesus seperti gembala). Selain itu adalah Fanny Crosby (1820-1915), penulis syair yang sudah buta sejak lahir, yang syair-syairnya ditambahkan oleh William H. Doane (1832-1915) sehingga dapat dinyanyikan, seperti: Blessed Assurance (Jaminan mulia), Praise Him! Praise Him! (Puji! Puji!), Pass me not, O gentle Saviour (Jangan Engkau lalui), Jesus keep me near the cross (Bawalah aku dekat ke salib), To the work (Marilah bekerja). Robert Lowry (1826-1899) juga adalah penulis lagu-lagu himne yang terkenal, juga Elizabeth P. Prentiss, Phoebe P. Knapp dengan “Jesus is tenderly calling thee home”; Joseph M. Scriven dengan “What a friend we have in Jesus” (Yesus sahabat sejati); juga Londoner Katherine Hankey yang menulis “I love to tell the story” (Kusuka mengabarkan Injil); dll. Dalam masa Gospel Era, penginjilan keliling merebak dan di belakang masing-masing penginjil besar itu terdapat penulis lagu-lagu himne, contohnya: Major D.W. Whittle, penginjil bekerja sama dengan Phillip P. Bliss. Lagu-lagunya antara lain adalah: I gave My life for thee (Nyawaku diberikan), It is well with my soul (Nyamanlah Jiwaku), Whosoever will (Lemah lembut suara Yesus memanggil), Wonderful words of life (Kalam memberi hidup). Kemudian pasangan D.L. Moody dan Ira D. Sankey, kumpulan dari lagu-lagu himne pada masa Gospel Era ini dibukukan dalam buku-buku: Gospel Songs (milik Bliss, 1874); Gospel Hymns and Sacred Songs (milik Sankey dan Bliss, 1875); sedangkan Sankey, Stebbins dan McGranahan
Universitas Sumatera Utara
menerbitkan Gospel Hymns nomor 2-6 masing-masing pada tahun 1876, 1878, 1883, 1887, 1891. Lalu semuanya dikumpulkan menjadi satu edisi Gospel Hymns Complete pada tahun 1894.
2.2 Perkembangan Nyanyian di Gereja HKBP Sebelum membahas bagaimana perkembangan musik/nyanyian gereja HKBP, penulis ingin memberikan gambaran umum tentang berdirinya HKBP di Tanah Batak Toba. Gambaran umum tentang sejarah HKBP ini sekaligus mempunyai hubungan tentang perkembangan nyanyian gereja di HKBP.
2.2.1 Berdirinya HKBP HKBP berdiri pada tanggal 7 Oktober 1861, tanggal itu menjadi titik balik sejarah penginjilan dan sejarah gereja HKBP. Sejarah penginjilan dan sejarah gereja adalah ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama. Gereja tanpa penginjilan bukanlah gereja. Itulah sebabnya peristiwa 7 Oktober 1861 diartikan dan dimaknai dari dua segi, yakni penginjilan dan gereja. Pada awalnya tanggal 7 Oktober 1861 adalah titik balik penginjilan dari lembaga sending Rhein di dunia ini. Karena jauh sebelum tahun 1861 sending Rhein telah membuka daerah penginjlannya di Namibia – Afrika Selatan, Cina, Kalimantan dan di Afrika Utara. Tetapi sejak 7 Oktober 1861 dibuka suatu daerah penginjilan baru di Sumatera, “Bataklanden” atau Tanah Batak. Daerah penginjilan baru ini di beri nama “ Battamission” yang kemudian disebut “ Batak mission “ atau “Mission – Batak “. Tanggal lahir Batak Mission di tentukan pada 7
Universitas Sumatera Utara
Oktober 1861 bertepatan dengan tanggal dari rapat pertama para penginjill utusan RMG di Tanah Batak. Badan Zending (penginjilan) Rheinische Mission Gesselschaf (RMG) berdiri di Barmen, Jerman pada tahun 1828 sebagai gabungan badan-badan zending di Jerman yang dilatarbelakangi kesalehan, kebangunan rohani dan kebangunan pekabaran Injil. Pada tanggal tersebut, dua misionaris RMG yang sebelumnya bekerja di Kalimantan yakni Klammer dan Betz bersama dua misionaris dari Ermelo, yakni van Asselt dan Heine melakukan Rapat di Sipirok untuk memulai pekerjaan RMG di tanah Batak. Di samping itu, pada tahun itu juga ditandai dengan masuknya orang Batak menjadi Kristen untuk pertama kalinya yakni Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar, melalui baptisan kudus yang dilakukan Pdt Van Asselt di Sipirok.46 Nama “Batak Mission” telah melekat dalam ingatan para penginjil RMG dan juga umat Kristen Batak yang terhimpun dalam berbagai huria/jemaat. Penginjil Dr. Johannes Warneck (Ephorus sejak 1920-1932) menulis sebuah buku dalam rangka dalam menyambut jubileum Batak- Mission ke-50 dan 60 tahun dengan judul : “Sechzing Jahre Batakmission in Sumatera “ (60 tahun Mission – Batak di Sumatera).
47
Pemaknaan sedemikian juga telah dijemaatkan
oleh para pelaku sejarah “Batakmission “ sejak 1905 : tanggal 7 Oktober 1861 adalah hari jadi “Batak Mission“ di Tanah Batak. Tahun 1936 dimaknai oleh HKBP sebagai hari jadi HKBP sebagaimana termaktub dalam buku Jubileum 75 tahun HKBP: 1861-1936. Buku jubileum tersebut adalah hasil karya tulis
46
Moksa Nadaek, et al. 1995. Krisis HKBP. Biro Informasi HKBP J. Warneck, Sechzing Jahre Batakmission in Sumatera ( 60 tahun Mission – Batak Sumatera), Berlin, 1925. Tentang Rapat 7 Oktober 1861 baca hal., 22 47
di
Universitas Sumatera Utara
majelis pusat HKBP 1936.48 Lembaga pengiilan RMG terpaksa mengakhiri pelayananya di Tanah Batak 1940 akibat perang dunia II. Pada tahun 1949 lembaga penginjilan RMG menyerahkan secara resmi seluruh assetnya di Tanah Batak kepada HKBP sebagai lembaga kegerejaan hasil penginjilan lembaga Pekabaran Injil RMG. Pemahaman akan makna hari lahir HKBP sedemikian juga dikemukakan Ephorus J. Sihombing dalam majalah “Immanuel“ terbitan 1951, untuk mengingat 90 tahun : “parmulaan ni ulaon ni Kongres mission Barmen (R.M.G) di tanonta on, manang ari hatutubuni hurianta…. Pa 90-halihon”.49 Artinya “Permulaan pelayanan RMG di tanah kita atau Hari kelahiran Gereja kita”.
DR. T.S. Sihombing selaku Sekjen HKBP dan redaktur Immanuel mengungkapkan
apresiasi kepada lembaga RMG sebagai “ula-ula ni Debata” (“alat di tangan Allah”) untuk “pararathon Barita nauli “(menyebarkan berita kesukaan)” dan “paojakhon Huria ni Kristus i di tongatonga ni bangsonta“ (mendirikan Gereja Kristus di tangahtengah bangsa kita ).50 Beliau memandang bahwa lembaga RMG adalah “ Ina ni Huria Kristen Batak Protestan “ (ibu dari HKBP). Kata Huria bisa diartikan sebagai Jemaat. Kata "Batak" menjadi salah satu identitas, sering dipahami khalayak ramai sebagai sisi pembatasan atau ketertutupan bagi orang lain di luar suku Batak. Hal itu semakin diperkuat dengan asal muasal, tempat kelahiran dan Kantor Pusatnya di Tapanuli Utara, latar belakang dan sejarah pertumbuhan, perkembangan dan keanggotaannya yang mayoritas orang Batak. Namun dalam Tata Gereja HKBP memakai istilah Aturan untuk Anggaran Dasar dan Peraturan untuk Anggaran Rumah Tangga HKBP. Pasal 1 (Aturan) disebutkan bahwa HKBP adalah wadah persekutuan dari 48
Hoofdbestuur ni HKBP,Eben-Ezer:75 taon huria Kristen Batak Protestant, Laguboti: Sendings-Werkplatsen, tanpa tahun. 49 Sihombing, “ Parningotan di ari 7 Oktober 1861-1951”, dalam Immanuel 1861-7 Oktober 1851 nomor parolopolopon, hal., 7. 50 T. Sihombing, “ Redaksi : Hata Patujolo “, dalam “ Immanuel 7/10/51”, hal., 3.
Universitas Sumatera Utara
orang yang berasal dari segala kelompok, kalangan dan suku bangsa yang berada di seluruh Indonesia, serta di seluruh dunia ini, yang dibaptiskan ke dalam nama Allah Bapa, AnakNya Tuhan Yesus Kristus dan Roh Kudus. Pasal ini dengan jelas memperlihatkan bahwa HKBP bukanlah gereja atau organisasi kristen yang bersifat kesukuan, melainkan ia terbuka untuk seluruh suku bangsa dan bangsa-bangsa di dunia.51
HKBP memiliki jemaat sekitar 4.5 juta anggota di seluruh Indonesia. HKBP juga mempunyai beberapa gereja di luar negeri, seperti di Singapura, Kuala Lumpur, Los Angeles, New York, Seattle dan di negara bagian Colorado. HKBP adalah anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), anggota Dewan Gereja-gereja Asia (CCA), dan anggota Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD). Sebagai gereja yang berasaskan ajaran Lutheran, HKBP juga menjadi anggota dari Federasi Lutheran seDunia (Lutheran World Federation) yang berpusat di Jenewa, Swiss.52 Pada mulanya ruang lingkup HKBP hanya terbatas dalam wilayah dan kehidupan orang Batak di Tapanuli. Pada masa-masa awal, HKBP hanya memakai bahasa Batak (Toba, Simalungun, Angkola dan Pakpak) sebagai bahasa pengantar dalam kehidupan bergereja. Seiring dengan perkembangan di wilayah Nusantara, terutama setelah Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, HKBP semakin bergerak ke luar tanah Batak, khususnya ke Sumatera Timur, Jawa dan kemudian ke seluruh pelosok tanah air dan bahkan luar negeri. Perkembangan yang sedemikian rupa itu, ditambah dengan amanat Tata Gereja yang terbuka untuk seluruh suku, maka bahasa yang dipakai di HKBP berubah, tidak lagi hanya bahasa Batak, tetapi juga bahasa Indonesia dan bahasa-
51 52
Op, Cit., Moksa Nadaek, et al. hal., 5. Jubileum 150 Tahun HKBP – Bahan Penelahan Alkitab
Universitas Sumatera Utara
bahasa lain yang dimengerti oleh warga. Sejak tahun 50-an, HKBP telah memulai kebaktian berbahasa Indonesia di gereja-gereja HKBP yang ada di wilayah Jawa, khususnya Jakarta. Pada mulanya hal ini diprakarsai para pemuda dan khusus dilakukan untuk ibadah-ibadah pemuda. Pemakaian bahasa Indonesia itu kemudian berlanjut dan berkembang hingga ke Tapanuli. Dalam berbagai acara dan dokumen-dokumen HKBP, bahasa Indonesia telah dipakai secara resmi. Dengan tetap mempertahankan pemakaian bahasa Batak itu, memang harus diakui adanya kaitan yang khusus antara masyarakat Batak dengan HKBP dan sekaligus menjadi salah satu bagian yang kuat dalam memelihara kelestarian budaya Batak. Bahasa sebagai salah satu pengungkapan budaya tetap dipakai dan dikembangkan di dalam kehidupan bergereja. Warga HKBP yang menyebar keseluruh pelosok tanah air, bahkan hingga ke luar negeri, minimal dapat mendengar bahasa Batak secara serius dalam kebaktian maupun acara-acara lain yang bersifat gerejawi. 53 Pdt Ingwer Ludwig Nommensen merupakan nama yang sangat dihormati warga HKBP termasuk masyarakat Batak. Ia bahkan sering disebut sebagai rasul tanah Batak, sebagai pengakuan terhadap berbagai karya dan ketekunannya dalam memajukan HKBP khususnya dan tanah Batak umumnya. Sebelum Nommensen datang ke tanah Batak pada tahun 1862, beberapa penginjil dari berbagai negara telah menginjakkan kakinya ke tanah Batak. Penginjil Burton dan Ward adalah yang pertama, sebagai utusan Gereja Baptis Inggris ke tanah Batak tahun 1824. Mereka langsung kembali tanpa meninggalkan karyanya. Menyusul kemudian adalah Pdt Munson dan Lyman dari Badan Zending Amerika pada tahun 1829. Mereka ini mengalami nasib yang tragis dan menjadi martir, terbunuh di Lobu Pining, Tapanuli Utara. Setelah itu,
53
Op, cit., Moksa Nadaek, et al. hal., 6.
Universitas Sumatera Utara
van der Tuuk pada tahun 1849 yang menyalin sebagian Injil ke bahasa Batak dan Pdt van Asselt pada tahun 1857 yang berhasil membaptis orang Batak menjadi Kristen untuk yang pertama kali. Dua orang terakhir ini berasal dari Belanda. Nommensen adalah penginjil yang diutus RMG, suatu Badan Zending di Jerman. Ia melayani di tanah Batak sejak bulan Mei 1862 dan tercatat sebagai Ephorus 54 HKBP yang pertama dan juga orang yang pertama berhasil membangun jemaat di tanah Batak, yakni di Huta (Desa) Dame, Saitnihuta Tarutung tanggal 20 Mei 864. Jabatan Ephorus dipangkunya sejak tahun 1881 hingga meninggal dunia pada tanggal 23 Mei 1918 di Sigumpar. Tahun pengangkatannya sebagai Ephorus merupakan tahun terbitnya Tata Gereja (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) HKBP. Selama kurang lebih 56 tahun melayani dan memimpin, Nommensen berhasil meletakkan semacam kerangka dasar HKBP, yang di kemudian hari dikembangkan para pemimpin berikutnya. Selain melaksanakan pemberitaan Injil sebagai tugas utama, paling tidak ada empat hal lain yang menjadi benang merah yang berkesinambungan dalam sejarah HKBP yang tidak dapat dilepaskan dari peranan Nommensen, yakni: pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial komunikasi dan percetakan/penerbitan. Hal itu terbukti dengan adanya sekolah-sekolah, rumah sakit, panti asuhan yang dibangun pada masa Nommensen dan hingga kini masih terus dilanjutkan oleh HKBP. Dalam hal pendidikan, pada tahun 1868 misalnya, HKBP telah membuka Sekolah Guru di Parausorat, Sipirok. Bahkan dalam bidang pendidikan teologi, HKBP merupakan pelopor di Indonesia ketika membuka Sekolah Pendeta pada tahun 1883. Demikian juga dalam hal kesehatan dan pelayanan sosial. Pada tanggal 2 Juni 1900 berhasil 54
Ephorus adalah pimpinan tertinggi dalam struktur HKBP
Universitas Sumatera Utara
dibangun rumah sakit di Pearaja yang kemudian dikembangkan menjadi Rumah Sakit Tarutung dan pada tanggal 5 September tahun yang sama dibangun panti sosial bagi orang yang menderita penyakit kusta di Huta Salem. Sementara itu, dalam bidang komunikasi, pada tanggal 1 Januari 1890, HKBP menerbitkan majalah Immanuel. Sekolah untuk umum, walau masih terbatas untuk kalangan tertentu (seperti anak raja dan tokoh-tokoh masyarakat waktu itu) juga dibuka di Narumonda pada tahun 1900. Sekolah ini selain memberikan pelajaran umum, juga memberikan ketrampilan teknik pertukangan. Salah satu tenaga pengajarnya pada waktu itu adalah Pdt Otto Marcks. Sekolah ini kemudian berubah menjadi seminari pada tahun 1905 dan anak didiknya tidak lagi terbatas untuk kalangan elite tetapi sudah terbuka untuk umum. Sekolah umum ini adalah yang pertama di tanah Batak, sebab baru pada tahun 1911 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Holland Inlands Schools (HIS) di Sigompulon, Tarutung.
2.2.2 Nyanyian Jemaat di HKBP
Dalam sejarah kekristenan di Tanah Batak, musik berperan sebagai alat penginjilan dan membangun persekutuan orang-orang Batak. Para missionaris yang datang ke Tanah Batak sudah dilengkapi dengan pengetahuan teori musik dan mampu memainkan alat-alat musik. Salah satunya adalah missionaris Nommensen yang menterjemahkan lagu-lagu rohani berbahasa Jerman ke dalam bahasa Batak Toba di Sipirok tahun 1871-1872 (Nomensen, tth:93).
Universitas Sumatera Utara
Penerjemahan lagu gereja ke bahasa Batak Toba juga dilakukan oleh missionaris Johannsen, Puse, Metzler, Meerwaldt, Pdt. Otto Marcks, Paul Gerhard dan Pdt. Batak yang pertama. Hasil dari terjemahan lagu-lagu yang kemudian menjadi lagu-lagu dalam Buku Ende HKBP (Immanuel, 1907:75-84). Sebagian besar sumber melodi nyanyian jemaat HKBP berasal dari nyanyian rohani Jerman dan Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Batak Toba (Kruger, 1966:223; Hutauruk, 1993:60).
2.2.2.1 Himne Awal Protestan di Batak Toba Tanggal masuknya himne gereja Protestan di daerah Batak Toba secara pasti masih belum jelas, akan tetapi kita dapat memahami tentang himne tersebut melalui beberapa tulisan, diantaranya; artikel yang ditulis oleh Ernst Quentmeier (1875-1962) merupakan misionaris RMG yang bekerja di Sumatera sekitar 1904-1938; dan dalam berita buletin "Berichte der Rheinische Mission" 1941 yang menggambarkan bagaimana perkembangan himne di Batak Toba. Dua tulisan di atas menyatakan bahwa misionaris Nommensen dan Johannsen adalah yang pertama memperkenalkan himne Kristen kepada orang Batak Kristen. Pada awalnya, ada sembilan nyanyian dalam bahasa Jerman yang diterjemahkan ke dalam bahasa daerah untuk dinyanyikan oleh orang Kristen Batak (Quentmeier 1941:52). Kondisi ini terjadi selama akhir 1860-an atau awal 1870-an. Referensi himne dapat dilihat dari surat pribadi dengan Wolfgang Apelt; arsip-arsip di Wuppertal dan Museum Yayasan RMG (sekarang
dikenal
sebagai
Vereiniges Evangelische Mission), terletak di Wuppertal, Jerman. Catatan arsip menyebutkan
Universitas Sumatera Utara
bahwa himne yang berisi 90 lagu pujian tanpa lagu dicetak dengan judul "Ende-ende ni halak Kristen na di Tanobatak, angka na marhatatoba". Himne ini diterbitkan di Bielefeld, Jerman tanpa memberikan tanggal publikasi. Artikel Quentmeier berikutnya menyebutkan buku himne gereja dicetak di Jerman, dalam rangka merayakan ulang tahun ke 20 pekerjaan misionaris di Sumatera Utara, himne ini berisi 98 pujian. Buku himne diterbitkan pada awal 1880-an, dalam referensi arsip Wuppertal menyebutkan bahwa buku himne ini diterbitkan dan dicetak di Gütersloh, Jerman pada tahun1881. Menurut arsip Wuppertal menyatakan bahwa tahun 1881 himne yang dikumpulkan berisi 121 himne tanpa lagu (bukan 98 seperti yang disebutkan oleh Quentmeier). Kumpulan lagu himne ini diberi judul "Ende-ende ni halak Kristen na di Tano ni halak Batak di Pulau Sumatera (Toba) ". (Quentmeier 1941:52). Nyanyian ini dibagi dalam beberapa bagian sesuai dengan tema lagu, yaitu: 1. Nomor Ende 1-6
: Puji-pujian
2. Nomor Ende 1-18
: Nyanyian doa
3. Nomor Ende 19-34
: Nyanyian khotbah
4. Nomor Ende 35-38
: Nyanyian Advent
5. Nomor Ende 39-46
: Nyanyian tentang kelahiran Tuhan Yesus
6. Nomor Ende 47-49
: Nyanyian tentang kematian Tuhan Yesus
7. Nomor Ende 50-58
: Nyanyian tentang kebangkitan Tuhan Yesus
8. Nomor Ende 59-61
: Nyanyian tentang kenaikan Tuhan Yesus
9. Nomor Ende 62-64
: Nyanyian tentang turunnya Roh Kudus
10. Nomor Ende 65
: Nyanyian Baptisan Kudus
11. Nomor Ende 66-70
: Nyanyian Perjamuan Kudus
12. Nomor Ende 71-83
: Nyanyian untuk Tuhan Yesus
Universitas Sumatera Utara
13. Nomor Ende 84-87
: Nyanyian tentang penderitaan
14. Nomor Ende 88-92
: nyanyian tentang dosa dan penghapusan dosa
15. Nomor Ende 93-102
: Nyanyian tentang kematian dan pengharapan
16. Nomor Ende 103-108: Nyanyian pagi hari 17. Nomor Ende 109-114: nyanyian sore hari 18. Nomor Ende 115-121: nyanyian tambahan Referensi berikutnya adalah bahwa pada tahun 1901 himne ini diedit oleh misionaris Meerwaldt, yang berisi teks lagu 278 dan lagu. Hasil dari editan ini juga diterbitkan dan dicetak di Jerman (Bielefeld) dan lagi-lagi berjudul "Ende-ende ni halak Kristen na di Tano Batak, angka na morhata Toba". Himne yang diedit Meerwaldt kemudian diterbitkan kembali dalam 1923 dengan 53 himne tambahan. Himne ini dicetak ulang di Lagu Boti Sumatera Utara, di mana pada waktu itu RMG telah mendirikan rumah pencetakan. Akhirnya, pada tahun 1935 sebuah versi dari himne diproduksi di Lagu Boti memuat total 375 himne. Kumpulan lagu himne ini diberi judul "Boekoe Ende ni halak Kristen na di Tano Batak". Buku ende ini tampaknya menjadi versi standar untuk semua cetakan himne dari HKBP, buku ende ini diproduksi 6.000 dan terjual habis pada penerbitan tahun pertama. Quentmeier yang bekerja di Sumatera sekitar tahun 1904-1938 sebagai editor himne menyatakan dalam artikelnya, bahwa 2 tahun kemudian sebanyak 10.000 eksemplar Buku Ende ini dicetak untuk memenuhi permintaan. Himne terjemahan Pdt. F.H. Meerwaldt dalam bahasa Batak Toba berjudul “Hohom au nuaeng dan Na mungkap do surgo” (Immanuel, 1901:73). Tahun 1907, Paul Gerhard menterjemahkan sebelas nyanyian jemaat (Immanuel, 1907:86-87), yaitu: 1. Behama panjalongku di Ho, o Tuhanki 2. Hamu ale donganku 3. O ulu na sap mudar
Universitas Sumatera Utara
4. Adong do Biru-biru i 5. Sai tiur ma langka muna 6. Bongoti ma rohangku 7. Sai hehe ma rohangku 8. Mata ni ari binsar saonnari 9. Lao modom do luhutna 10. Pasahat ma sudena 11. Tung beasa ma holsoan
Edisi ke 20 adalah dicetak pada tahun 1992 di Pematang Siantar, kota kedua terbesar di Sumatera Utara. Sumber nyanyian rohani dijabarkan seperti dari Jerman, Belanda dan Inggris dan banyak mencerminkan teologi yang ditandai RMG dalam pekerjaannya di Sumatera selama abad 19-an dan awal 20. Dalam Buku Ende edisi ke- 20 memuat 3 nyanyian yang dikaitkan dengan Martin Luther (1483-1546), "Ein feste Burg", "Vom Himmel hoch", dan "Aus tiefer not", 17 adalah komposisi dari Paul Gerhardt (1607-1676); 7 adalah karya Gerhardt Tersteegen (1697 - 1769); 3 adalah himne dari Joachim Neander (1650-1680), dan 7 himne Hitung Ludwig von Zinzendorf Nicholaus (1700-1760) pendiri gereja Moravia. Himne ini berisi sekitar 250 nyanyian,
10
mazmur
pengaturan, dan 60 lagu-lagu rakyat rohani (Ger.: geistliche Volkslieder) (Quentmeier, 1941:54). Pada titik tertentu dalam sejarahnya jumlah himne dikurangi menjadi 373, untuk itu total himne menjadi 373 yang kemudian ada penambahan 232 himne selama pertengahan abad 20. Lagu-lagu tambahan ini disusun oleh Jerman Elfriede Suster misionaris lebih sulit (1896-1971), yang bekerja dengan RMG di Sumatera 1925-1940 dan mendirikan Sikola
Universitas Sumatera Utara
Bibelvrow (Sekolah Bibelvrow) di Narumonda, sebuah kota kecil di dataran tinggi Batak. Melalui arsip RMG, menunjukkan bahwa pada tahun 1937 sebuah himne diterbitkan di Narumonda, kemungkinan untuk digunakan di sekolah Bibelvrow dalam menunjang pekerjaan mereka. Nyanyian rohani dalam bahasa Batak Toba mencakup baik teks dan lagu. Himne ini berjudul: "Ende taringot toe Haloeaon na gok ni pinatoepa Toehan Yesus Kristus" dikumpulkan dari berbagai sumber, baik Eropa dan Amerika.
Sumber nyanyian ini berasal dari:
Evangelischer Mazmur, Evangeliumssänger, Fellowship Nyanyian Rohani, Jungend bundlieder, Missionsharfe, Reichslieder, Sankey Lieder, dan lainnya. Kedua tematis (dengan mengacu pada teologi dinyatakan dalam teks-teks himne) dan Gaya (dengan mengacu pada yang formal struktur lagu-lagu himne) himne dalam koleksi Keras Elfriede adalah lebih evangelis dan Injil yang berorientasi daripada himne sebelumnya yang ditemukan di Buku Ende. Pergeseran musik dan tematik mungkin mencerminkan sebagian perubahan teologi RMG dari awal pekerjaan mereka di antara orang Batak Toba. menuju masa Elfrieda yang lebih sulit bekerja dengan mapan sebab gereja Batak yang berkembang sekitar 60 tahun kemudian. Nyanyian rohani dalam koleksi Elfrieda lebih sulit, menunjukkan gaya himne yang digunakan populer di Eropa
dan
Amerika
untuk
jenis
penginjilan
dan
pedagogis. Untuk bertahun-tahun kedua kumpulan himne ini tetap terpisah - yang Buku Ende, Buku yang digunakan dalam liturgi ibadah HKBP dan Haluaon na Gok digunakan untuk kegiatan Bibelvrow. ((Robert Hodges, 2009:298) Tahun 1934, nyanyian “Haluan na Gok” belum digunakan dalam ibadah gereja HKBP karena adanya pandangan yang berbeda dari para pendeta tentang nyanyian tersebut. Mereka mengatakan bahwa nyanyian dalan “Buku Ende Haluan na Gok” seperti nyanyian
Universitas Sumatera Utara
orang yang kerasukan/ ende ni na tondi-tondion.55 Kondisi ini juga disebabkan oleh sekelompok warga jemaat HKBP Janji Matogu dengan berpakaian serba putih naik ke menara gereja sambil menyanyikan beberapa nyanyian dari “Buku ende Haluan na Gok” seraya mengangkat tangan ke atas dan kadang-kadang bertepuk tangan, mereka berkata bahwa akhir jaman sudah dekat dan marilah kita naik ke surga. Perkataan ende na tondi-tondiaon adalah sebuah ejekan terhadap apa yang dilakukan oleh Elfriede Harder yang mendidik para wanita Batak Toba menjadi Bibelvrouw (pelayan wanita)
Akhirnya, pada tahun 1930 kedua buku nyanyian ini dibawa bersama dalam konteks ibadah liturgi dengan Haluaon na Gok bertindak sebagai suplemen untuk Buku Ende.
Pada
tahun 1959, “Buku Ende Haluan na Gok” sudah diterima HKBP sebagai nyannyian jemaat dan dapat digunakan pada kebaktian minggu (Immanuel, 1959:7). Tahun 1940 terbitlah Buku Ende HKBP yang sampai saat ini digunakan dalam ibadahibadah yang dilakukan oleh gereja HKBP. Jumlah nyanyian dalam Buku Ende HKBP berisikan 373 nyanyian. Adapun sumber nyanyian ini adalah56:
1. EKG = Evangelisches Kirchen Gesangbuch, stammausgabe 1950 / 1951. Kitab nyanyian gereja– gereja evangelist di jerman. Sammausgabe adalah bagian pokok yang di pakai oleh semua gereja regional di Jerman. 2. EKG B = Evangelisches Kirchen Gesanbuch, Sonderausgabe. Sama dengan EKG tapi ditambah dengan bagian khusus “sonderausgabe” yang dipakai oleh gereja evangelis di daerah Berlin / Braindenburg. 55 56
Riris Johanna Siagian, 2001. Satu Visi menuju HKBP yang Baru. Kantor Pusat HKBP. Kantor Pusat HKBP. Buku Ende HKBP. (Pematang Siantar: Percetakan HKBP, 1990).
Universitas Sumatera Utara
3. EKGR = Sama dengan EKG. Kitab nyanyian ini dipakai oleh gereja evangelis di daerah Rhendland, Wesfalen dan Lippe. 4. EvPs = Evangelicher Psalter 1912. Kitab nyanyian Jerman yang berwarna pietis. 5. EvPs A = Sama dengan EvPs di tambah suplemen “ anhang” 6. HAM = Hymns Ancient And Modern, London 1924. 7. M.H = Methodist Hymn Book, London 1934 8. HCL = Hymns of The Christian Life, Christian publication Inc, Harrisburg 1936 9. L.U = Liber Usualis, kitab nyanyian Gregorian dari gereja Katolik. 10. Gtsl = Gotteslob, Katholisches Gebet – und Gesangbuch, Keuskupan Regensburg, 1975. 11. Gms = Gemainshaft lieder, Basel 1950 12. Mzm =Mazmur jenewa, 1562. 13. EvGz = Evangelische Gezangen , Buku nyanyian Belanda1805 /1807 14. Julian = John Julian, Dictionary of hymonologi, New York 1957 15. Buku nyanyian gereja Protestant di Swiss 1952.
Tahun 1995 HKBP menerbitkan buku Bibel/AIkitab yang digabung dengan buku Ende HKBP yang ber-notasi angka. Disana penomoran Buku Ende bagian Haluaon Na Gok tidak lagi dimulai dan nomor 1 sampai 232 tetapi dimulai dengan nomor 374 sampai 556 pada saat penggabungan ini ada 49 nyanyian yang dibuang dari Haluaon Na Gok karena nyanyian tersebut telah ada pada Buku Ende HKBP bagian pertama.57 Buku Ende Haluaon na gok dicetak
57
Wawancara dengan Pdt B. Lumbantobing, MTh, di Pematang Siantar, 10 januari 2011.
Universitas Sumatera Utara
dengan penomoran yang dimulai dan nomor 1 sampai 232.
Baru pada tahun 1995
penomorannya dirubah dengan menggabungkannya ke Buku Ende yang sebelumnya, dimulai dengan nomor 374 sampai 556. Sejak Szuster Elifiede Harder mengumpulkan nyanyian ini, beliau telah menuliskan sumber nyanyian dalam buku nyanyian Haluaon Na Gok. Berikut sumber lagu Haluaon Na Gok: Buku Logu, Cantate, Carstem, Chrishhonalieder, Ende Angkola, Evangelischer Psalter, Evangeliumssanger, Fellowship Hymns, Frohe Botshaft, Guitarreileder jilid 1 dan 2, Judgenbundlieder, Missionsharfe, Musikant, Rettungsjubel, Reichslieder, Sankey Lieder, Sangergruss, Siegeslieder, Singet dem Herrn, Unser Lied , Vereinslieder, Wehr – und Waffenlieder, Zangbundel J. De Herr, Zangbundel Leger des Heils, Zoeklicht dan “Selesele” semuanya berjumlah 26 sumber lagu58. Tahun 1999 diterbitkan Buku Ende HKBP berbahasa Indonesia yang disebut dengan “Kidung Jemaat HKBP” yang dikerjakan oleh Pdt. Waldemar Silitonga yang pada saat itu memengang jabatan sebagai kepala Biro Musik HKBP. Pada Tahun 2003, melalui Rapat Pendeta HKBP yang diselenggarakan tanggal 8-10 Oktober menyepakati penggunaan Buku Ende Suplemen HKBP yang berjudul “Sangap di Jahowa” dalam ibadah gereja HKBP. Jumlah nyanyian Buku Ende Suplemen adalah sebanyak 306 nyanyian yang disesuaikan dengan tema gereja.
Buku Ende HKBP dan Buku Ende
Suplemen kemudian disatukan dalam cetakan berikutnya sehingga jumlah nyanyian jemaat HKBP sampai saat ini berjumlah 862 buah. Sumber lagu-lagu dalam “Sangap di Jahowa” banyak berasal dari lagu-lagu koor dan lagu Sekolah Minggu, himne lagu gereja-gereja Barat dan lagu-lagu tradisi Batak. Lagu-lagu ini kemudian diterjemahkan serta sebagian lagu diarransemen kembali dari buku 58
Lutheran
Kantor Pusat HKBP. Buku Ende HKBP. (Pematang Siantar: Percetakan HKBP, 1990).
Universitas Sumatera Utara
Worship; Zangbundel; with one Voice; Evangelisches Gesangbuch; Libens lieder; Gesange aus Tize; Hyms for The Living Church; Thuma Mina; The Book Of Hyms; Singing Youth ; Global Praise; Kidung Pujian Kristen; Mazmur dan Nyanyian Rohani. Beberapa lagu Suplemen “Sangap di Jahowa” diantaranya: Las Rohangku Lao Mamuji (BE 656) Ale Amanami (BE 840); Husomba Ho Tuhan (BE 857); Dison Adong Huboan Tuhan (BE 848); Sangap Ma di Debata (BE 582); Nunga hehe Kristus (BES 632); Beta hita ale dongan (BES 661); Begema Tuhan i (BES 660); Hupillit asa marparbue (BES 727); O Tuhan togu-togu ma (BES 743).
2.2.2.2 Penggunaan Himne Dalam Liturgi HKBP Liturgi HKBP (Agenda di Huria Kristen Batak Protestan) pada setiap ibadah minggu terdapat tujuh himne yang dinyanyikan secara bersama-sama oleh seluruh jemaat. Dari tujuh himne, biasanya hanya satu yang diambil dari Haluaon na Gok, yaitu sesudah khotbah. Pada awalnya, seluruh nomor himne dan teks kitab suci dituliskan pada papan tulis yang tergantung di dinding di kedua sisi gereja. Dalam prakteknya, himne yang bersumber dari Haluaon Na Gok diawali dengan huruf "HG", tujuannya adalah untuk membedakannya dari nomor Buku Ende. Perbedaan penomornan ini terjadi disebabkan oleh penomoran yang terpisah antara kedua himne (yaitu Buku Ende 1-373, Haluaon na Gok 1 -232).
Seiring dengan waktu,
penomoran kedua buku himne ini digabungkan (1-556 halaman) dan ternyata beberapa himne dari Haluaon na Gok (sebanyak 49 himne) di edit dan dikeluarkan sehingga mengurangi jumlah total himne Haluaon na Gok (menjadi 183 himne).
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan yang terjadi saat ini di beberapa gereja HKBP dalam hal penulisan Liturgi gereja adalah membuatnya dalam bentuk fotocopy menggantikan papan tulis yang digantung di didngding ke dua sisi gereja. Beberapa gereja HKBP dalam kertas fotocopi-an tersebut sudah menyertakan teks himne yang dinyanyikan dalam setiap ibadah minggu. Hal ini dilakukan oleh gereja dikarenakan sudah banyak jemaat yang tidak membawa Buku Ende saat kebaktian minggu. Dalam perkembangan berikutnya, sumber nyanyian ibadah minggu gereja HKBP tidak lagi diambil dari Buku Ende, tetapi disesuaikan dengan perkembangan lagu rohani karismatik yang ada. Meskipun belum diterima secara luas, akan tetapi bentuk ibadah “muda-mudi (ibadah Alternatif)” merupakan cerminan bagaimana himne gereja HKBP sudah mulai “ditinggalkan” oleh muda/i HKBP itu sendiri. Adapun alasan kebanyakan dilaksanakannya “ibadah alternatif” adalah untuk mencegah warga jemaat HKBP berpindah gereja ke gereja Karismatik.
2.2.2.3 Notasi Himne Sistem
notasi
dari
Buku
Ende
mencerminkan
aspek
penting
lainnya
sejarah perkembangannya. Saat ini ada dua sistem notasi yang digunakan di gereja HKBP, yaitu: notasi angka dan notasi Balok. Dalam hal notasi penggunaan notasi, tidak ada refrensi pasti menyebutkan mana dari dari kedua sistem notasi ini yang muncul di Batak Toba. Sistem
notasi
yang
paling
umum
digunakan
untuk
himne
dan
nyanyian paduan suara adalah notasi angka. Catatan sejarah menunjukkan dengan jelas bahwa misionaris Jerman telah memperkenalkan brass, paduan suara dan organ pompa (Poti
Universitas Sumatera Utara
marende) ke Batak Toba sekitar tahun 1880-an. Dalam semua kemungkinan kedua sistem notasi ini diperkenalkan dalam waktu yang sama, tetapi dikembangkan secara mandiri dalam situasi dan konteks tertentu.
2.2.2.4 Struktur Himne Buku Ende Bukudalam bentuk yang sekarang berisi tiga indeks, yang pertama adalah tematik, musiman, dan indeks umum. Daftar kelompok himne dapat dilhat di bawah ini; himne 1-17 adalah Ende Pujian (Nyanyian Rohani Pujian), himne 18-37 adalah Ende di ari Minggu (Nyanyian Rohani untuk Minggu), himne 38-45 adalah Ende Adventus (Nyanyian Rohani untuk Advent), himne 46-62 adalah Ende di Hatutubu ni Tuhan Yesus (Nyanyian Rohani untuk kelahiran Yesus / Natal) dan sebagainya. Indeks kedua adalah daftar abjad dari judul himne judul yang disesuaikan dengan nomor Buku Logu. Buku Logu disusun untuk iringan keyboard dengan gaya nyanyian paduan suara (SATB). Indeks ketiga adalah daftar sumber-sumber asli dari mana himne ditemukan. Sebagai contoh, himne nomor 449 di Buku Ende adalah "Sai solhot tu silangmi". Buku Logu No 300: “Sai solhot tu silangmi", dan di bagian kanan atas "FH Nomor 72”.
Indeks ketiga di
belakang Buku Ende menunjukkan bahwa "FH" adalah singkatan untuk " Fellowship Hymns". Judul awalnya himne adalah “Jesus Keep Me Near the Cross” yang diciptakan tahun 1869 oleh Fanny Crosby dan William Doane. (Robert Hodges, 2009:303)
2.2.2.5 Penggunaan Himne dalam Kehidupan Kristen Batak Toba
Universitas Sumatera Utara
Seperti disebutkan sebelumnya, tahun 1935 Buku Ende dan tahun 1937 Haluaon na Gok, sejak tahun 1970-an telah digabung sebagai satu volume himne dari HKBP yang kemudian tahun 2004 terjadi penambahan himne suplemen. Himne gereja HKBP sampai saat ini tidak mengalami perubahan lagi, Buku Ende ini adalah satu-satunya sumber nyanyian jemaat HKBP dalam setiap ibadah yang dilakukan. Himne dari Buku Ende memainkan peran penting bagi masyarakat Kristen Batak Toba yaitu pemeliharaan identitas agama dan budaya. Himne ini juga dinyatakan tidak hanya dalam konteks ibadah Kristen, tetapi juga pada kehidupan keseharian/pengalaman hidup. Peran signifikan dari himne Protestan dalam kehidupan orang Kristen Batak Toba terlihat pada seminar yang dilakukan, disini dapat ditemukan bagaimana partisipasi jemaat dalam setiap kegiatan gereja. Para jemaat menemukan bahwa ada himne tertentu yang memungkinkan mereka untuk merumuskan pemahaman mereka tentang kekristenan karena mereka tinggal dan mengalaminya pada hari-hari kehidupan.
Himne ini memungkinkan
mereka untuk mengekspresikan iman pemahaman mereka dengan mudah dan dalam makna yang lebih dalam.
Untuk jemaat, nyanyian dapat memberikan kekuatan makna yang melampaui arti dari teks
lagu
saja.
Batak
Toba
Protestan
Peran
selama pelayanan Minggu.
jauh
himne melampaui
dari
Buku
Ende
penggunaannya
dalam
dalam
kehidupan
liturgi
ibadah
Bagi Batak Toba Protestan, himne ini digunakan untuk
mendampingi keseluruhan kehidupan mereka, seperti; perayaan kelahiran, perkawinan, Tahun Baru, memasuki rumah baru, panen, dll.
Universitas Sumatera Utara