BAB II HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN (HKBP)
Bab ini membahas tentang Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang meliputi: sejarah berdirinya HKBP, sejarah terbentuknya paduan suara gerejawi, sejarah masuknya musik gereja dalam konteks misi gereja Batak, perkembangan musik dalam gereja HKBP (1930-1980) dan perkembangan musik di gereja HKBP (1980-2000).
2.1. Sejarah Berdirinya HKBP Penetapan hari jadi HKBP tanggal 7 Oktober 1861 memiliki makna sejarah dan teologis yang mendalam. Tanggal 7 Oktober 1861 menjadi titik balik sejarah penginjilan dan sejarah gereja HKBP. Sejarah penginjilan dan sejarah gereja adalah ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama. Gereja tanpa penginjilan bukanlah gereja.
Itulah sebabnya peristiwa 7 Oktober 1861 diartikan dan
dimaknai dari dua segi, yakni penginjilan dan gereja. Hasil penginjilan di Tanah Batak adalah agama Kristen atau Kekristenan yang didalamnya terdapat sejumlah jemaat atau “pargodungan “ (setasi sending dan sekaligus huria/ jemaat). Jemaat-jemaat tersebut sejak awal sudah diarahkan akan membentuk sebuah gereja sending yang kelak menjadi sebuah gereja yang mandiri dari sending. Pada awalnya tanggal 7 Oktober 1861 adalah titik balik penginjilan dari lembaga sending Rhein di dunia ini. Karena jauh sebelum tahun 1861 sending Rhein telah membuka daerah penginjlannya di Namibia – Afrika Selatan, Cina,
Universitas Sumatera Utara
Kalimantan dan di Afrika Utara. Tetapi sejak 7 Oktober 1861 dibuka suatu daerah penginjilan baru di Sumatera, “Bataklanden” atau Tanah Batak. Daerah penginjilan baru ini di beri nama “ Battamission” yang kemudian disebut “ Batak mission “ atau “Mission – Batak “.
Tanggal lahir Batak Mission di
tentukan pada 7 Oktober 1861 bertepatan dengan tanggal dari rapat pertama para penginjill utusan RMG di Tanah Batak. Hari lahir Batak Mission tersebut disambut pengurus sending RMG (Rheinischen Missions- Gesellschaft) di Jerman dengan rasa sukacita. Mereka memberi kabar gembira ini kepada jemaat- jemaat pendukung sending RMG (Rheinischen Missions- Gesellschaft) di Jerman pada awal 1862 sebagai beriku : “Die ersten Briefe unseser Brueder aus dan Battalande sind uns gekommen, und wir koennen heute der Heimathgemeinde den Beginn der Battamisson melden. Den 7 Oktober 1861 werden wir als den geburtstag dieses gliedes in dem Umkreis unserer Arbeit bezeichnen duerfen. An diesem tage traten die dortigen Brueder Zur ersten Conferenz in Sipirok zusammen.” 41 Inilah pemaknaan yang pertama akan arti dari tanggal 7 Oktober 1861, suatu pemaknaan dari kecamatan lembaga pengutus RMG di Jerman, Eropa. “Batak -Missio “ dalam hal ini berarti himpunan dari seluruh para utusan RMG di Tanah Batak beserta assetnya dan juga seluruh pargodungon termasuk jemaat dan pelayanan pribumi.
Lembaga sending dan lembaga kegerejaan
terpadu dalam suatu lembaga yag bernama “Batta – Mission“ (bahasa Jerman) atau “Batak – Mission“ (Bahasa Batak). Lembaga “Batak – Mission“ ini sejak 1881 dipimpin oleh seorang pemimpin dengan jembatan Ephorus yang dilayankan oleh penginjil Ingwer Ludwig Nommensen (1881-1918). Nama “Batak Mission” telah melekat dalam ingatan para penginjil RMG dan juga umat Kriste Batak yang terhimpun dalam berbagai huria / jemaat. Penginjil Dr. Johannes Warneck (Ephorus sejak 1920-1932) menulis sebuah buku dalam rangka dalam menyambut jubileum Batak- Mission ke-50 dan 60 tahun dengan 41
“ Berichte der Rheinischen Missions- Gesellschaft”, Nr. 3 Mret 1862, hal., 57.
Universitas Sumatera Utara
judul : “Sechzing Jahre Batakmission in Sumatera “ (60 tahun Mission – Batak di Sumatera).
42
Pemaknaan sedemikian juga telah dijemaatkan oleh para pelaku
sejarah “Batakmission “ sejak 1905 : tanggal 7 Oktober 1861 adalah hari jadi “Batak Mission“ di Tanah Batak. Tanggal tersebut sejak 1936 dimaknai oleh HKBP sebagai hari jadi HKBP sebagaimana termaktub dalam buku Jubileum 75 tahun HKBP: 1861-1936. Buku jubileum tersebut adalah hasil karya tulis majelis pusat HKBP 1936. 43 Lembaga pengiilan RMG terpaksa mengakhiri pelayananya di Tanah Batak 1940 akibat perang dunia II. Pada tahun 1949 lembaga penginjilan RMG menyerahkan secara resmi seluruh assetnya di Tanah Batak kepada HKBP sebagai lembaga kegerejaan hasil penginjilan lembaga Pekabaran Injil RMG. Pemahaman akan makna hari lahir HKBP sedemikian juga dikemukakan Ephorus J.
Sihombing dalam majalah “Immanuel“ terbitan 1951, untuk
mengingat 90 tahun : “ parmulaan ni ulaon ni Kongres mission Barmen (R.M.G) di tanonta on, manang ari hatutubuni hurianta…. Pa 90-halihon”. 44 Artinya “Permulaan pelayanan RMG di tanah kita atau Hari kelahiran Gereja kita”. DR.
T. S. Sihombing selaku Sekjen HKBP dan redaktur Immanuel
mengungkapkan apresiasi kepada lembaga PI RMG sebagai “ula-ula ni Debata” (“alat di tangan Allah”) untuk “pararathon Barita nauli “(menyebarkan berita kesukaan)” dan “paojakho Huria ni Kristus i di tongatonga ni bangsonta“
42
J. Warneck, Sechzing Jahre Batakmission in Sumatera ( 60 tahun Mission – batak di Sumatera), Berlin, 1925. Tentang rapat 7 Oktober 1861 baca hal. 22. 43 Hoofdbestuur ni HKBP,Eben-Ezer : 75 taon huria Kristen Batak Protestant, Laguboti: Sendings-Werkplatsen, tanpa tahun. 44 Sihombing, “ Parningotan di ari 7 Oktober 1861-1951”, dalam Immanuel 1861-7 Oktober -1851 nomor parolopolopon, hal., 7.
Universitas Sumatera Utara
(mendirikan Gereja Kristus di tangahtengah bangsa kita ). 45 Beliau memandang bahwa lembaga PI RMG adalah “ Ina ni Huria Kristen Batak Protestan “ (ibu dari HKBP) yang ketika itu 1950 telah beranggotakan 600.000 orang. RMG dan HKBP telah menghadapi masa penuh penderitaan akibat perang dunia ke II secara terpisah. Pendudukan rezim Hitler ke negeri Belanda berakibat buruk bagi penginjil RMG dan HKBP. Para penginjil RMG di Tanah Batak mengalami penangkapan dan pengusiran bersama seluruh warga Negara Jerman dari Hindia Belanda/ Indonesia, 10 Mei 1940. HKBP mengalami pengambil alihan seluruh asset sending dan gereja oleh Belanda, kemudian Jepang dan pemerintah Indonesia. Peristiwa ini merupakan bagian dari pengalaman bersama RMG dan HKBP. Tahun 2011 adalah tahun jubileum 150 tahun Bagi HKBP dan bagi VEM (Vereiningte Evangelische Mission di Wuppertal-Barmen, Jerman) sebagai pewaris RMG.
Kedua lembaga ini, masing-masing menyelenggarakan
serangkaian kegiatan untuk mengingat dan merayakan awal penginjilan RMG di Tanah Batak dan hari jadi gereja HKBP. Terkait dengan hari jadi HKBP, seorang penginjil RMG yang pernah bekerja di pargodungon Simorangkir-Tarutung, yang kemudian menjadi dosen bidang sejarah Gereja di STT Jakarta, DR. TH. Mueller Krueger mengajukan suatu pertimbangan teologis.
Diusulkan agar hari jadi HKPB bertitik-tolak dari
peristiwa baptisan perdana 31 Maret 1861 dua pemuda Batak Simon Siregar dan
45
T. Sihombing, “ Redaksi : Hata Patujolo “, dalam “ Immanuel 7/10/51”, hal., 3.
Universitas Sumatera Utara
Jakobus Tampubolon oleh penginjilis Gustav Van Asselt di Sipirok. 46 Pertimbangan ini patut di hargai dan di ambil hikmahnya bagi perjalanan HKBP di masa mendatang mengingat HKBP selalu mengedepankan fungsi dan tugas setiap warga HKBP sebagai pemilik imamat am orang-orang percaya (1 Ptr.2:910). Dalam era keterbukaan HKBP sesuai dengan visi dan misinya, HKBP berusaha agar kembali pada jati dirinya sebelum 1936 yaitu, sebagai Huria Kristen Batak 1925 yang masih tetap mengedepankan semangat penginjilan yang holistik tanpa melupakan kemurnian ajaran Protestan sebagaimana ditandai dengan namanya sejak 1929 “Huria Kristen Batak Protestan“ (HKBP). Kembali ke jati diri HKBP berarti kembali kepada pemberitaan Injil Yesus Kristus seperti yang telah dilakukan oleh para penginjil 7 Oktober 1961 Jumlah jemaat dan resort sejak 1998 hingga 2011 menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Pola rekonsiliasi yang memberikan pilihan pada jemaat-jemaat yang sempat pecah untk menyatu atau mekar. Jemaat-jemaat yang memilih opsi mekar telah ikut mempercepat pertumbuhan jumlah tersebut. Jumlah resort yang terwakili di Sinode Gedong 2000 adalah 417 resort, diantaranya masih ada 17 yang berstatus “ linduat “ (kembar), dan jumlah jemaat yang terhimpun dalam resort-resort tersebut sebanyak 2.859 jemaat, diantaranya masih ada 28 jemaat yang berstatus linduat. 47
46
Th. Muller-Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia. (Jakarta : BPK Gunung Mulia ,1959),
hal., 183. 47
“Berita Jujur Taon HKBP 1998-2000”, hal., 8, 24.
Universitas Sumatera Utara
Jumlah utusan yang hadir pada sinode 2004 adalah dari 523 resort dan 13 resort persiapan. Pada sinode 2008 jumlah utusan yang hadir adalah 1067 48 dari 616 resort dan 2 resort persiapa. Tentang jumlah anggota jemaat HKBP hingga saat ini masih bersifat dugaan. Antara 1998-2011 HKBP memberikan jumlah anggota jemaat 3.000.000 dan 5.000.000 juta
jiwa.
Dalam buku
“Mengembalikan Jati Diri HKBP”, Ephorus HKBP Pdt. Dr. Bonar Napitupulu membubuhkan angka 4,1 juta anggota jemaat HKBP yang tersebar dalam 26 distrik, 614 resort ditambah 14 persiapan resort dan 3.226 jemaat. 49 Sementara dalam statistik keanggotaan gereja-gereja Lutheran, bLWF (Lutheran World Federtion) memberikan angka 3,5 juta anggota jemaat HKBP. Ketidakpastian jumlah anggota jemaat HKBP dalam statistiknya tidak meragukan publik, bahwa HKBP masih merupakan gereja protestan yang terbesar di Asia Tenggara.
2.2. Sejarah Terbentuknya Paduan Suara Gerejawi Selama Milenium pertama sebelum Masehi, kelompok-kelompok biduan di dalam peribadahan masih bernyanyi dengan satu suara (unisono), sebab musik polifon belum dikenal. Dalam berbagai ibadah umat Israel sejak zaman Perjanjian Lama, telah ada para Penyanyi misalnya kelompok Asaf, Korah, Yedutun dan lain-lain, yang bertugas menyanyikan Mazmur maupun bagian liturgi yang bersifat respons (jawaban) umat. Mereka diduga bernyanyi secara unisono atau secara responsoris (berbalas-balasan antara umat dengan pemimpin ibadah atau
48
Lihat draft notulen sinode godang 2008, hlm. 2, sedang jumlah resort di ambil dari “ berita jujur taon 2004-2008, hal. 13 dalam Dok. SG:NO.06/SG-59/IX/2008. 49 “Mengembalikan Jati Diri HKBP “,hal., 8.
Universitas Sumatera Utara
seorang penyanyi/ solois), atau juga secara antifonal (yakni bersahut-sahutan antara dua kelompok umat/ penyanyi) 50. Cara menyanyi secara responsoris dan antifonal seperti itu dikemudian hari diambil alih juga oleh jemaat-jemaat Perjanjian Baru dan dikembangkan di dalam bentuk khoros/ khorus. Dengan demikian, tiga jenis nyanyian yang dikenal dalam jemaat-jemaat Perjanjian Baru, yakni mazmur (psalmois), kidung pujipujian (humnois) dan nyanyian rohani (oidais), juga dinyanyikan dengan cara ini. Pada masa ini belum ada kelompok paduan suara yang khusus bernyanyi di dalam Namun menurut Pandopo 51, sejak berakhirnya masa penghambatan
ibadah.
gereja pada abad IV, ada begitu banyak orang menjadi Kristen. Jumlah anggota jemaat di dalam ibadah menjadi besar sekali, dan kebanyakan orang Kristen baru itu belum tahu cara menyanyikan nyanyian liturgi yang ada. Untuk mengatasi keadaan ini, maka para rohaniawan secara khusus bertindak sebagai kelompok penyanyi yang menyanyikan nyanyian ibadah tersebut, sekaligus untuk membimbing para anggota jemaat yang baru itu bernyanyi. Dengan demikian mulailah cikal bakal Paduan Suara Gereja di dalam gereja. Keadaan ini berlangsung terus sampai abad VIII. Abad IX merupakan awal yang penting bagi perkembangan paduan suara modern (SATB) di dalam gereja.
Ada dua faktor yang mempengaruhi
perkembangan ini. Pertama, pengaruh digunakannya alat musik organ di dalam gereja.
Alat musik ini sebenarnya sudah diciptakan sejak abad III SM oleh
Ktesibios, seorang ahli teknik Yunani yang hidup di kota Aleksandria pada masa 50
H.A.Pandopo, Menggubah Nyayian Jemaat: Penuntun untuk pengadaan Nyayian Gereja. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984) hal., 21-22 51 Ibid. hal., 24.
Universitas Sumatera Utara
itu. Tidak banyak informasi mengenai pengembangan dan penggunaan alat musik ini di dalam kebudayaan Hellenisme, dalam zaman gereja lama dan zaman Islam. Pada zaman Islam, alat musik organ ini dihadiahkan oleh Sultan Harun al-Rasyid kepada Karel Agung sebagai tanda persahabatan.52 Sejak itu, alat musik ini mulai dikenal dan digunakan di Eropa dan lambat laun mempengaruhi perkembangan musik polifon. Kedua, mulai ditemukannya sistem notasi musik yang dikenal sebagai sistem not balok, yang memungkinkan dikembangkannya ilmu harmoni dan musik Homofon. Sistem ini merupakan penemuan seorang biarawan pada abad IX (sekitar tahun 1000). Menurut David P. Appleby dalam Pandopo 53 ada dua manuskrip musik dari abad itu yang menjadi pegangan dalam penulisan sistem not balok ini, yakni naskah-naskah yang berjudul Musica enchiriandis dan Scholia enchiriadis. Kedua naskah ini berisi catatan mengenai campuran bunyi-bunyi suara sederhana dengan melukiskan prosedur yang tepat jika seseorang menyanyikan suatu bagian lain melodi pada diapson (nada ke-7 atau okta), diaspente (nada ke-5), dan diasteceron (nada ke-4). Bahkan menurut Appleby selanjutnya
penulis
manuskrip
Scholia
enchiriadis
juga
memaksudkan
kemungkinan untuk menyusun suatu komposisi musik yang terdiri atas campuran suara-suara dengan diapson ditambah diasteceron (11 nada). Hasil ini merupakan suatu kemajuan penting, namun belum dapat digolongkan sebagai musik polifon, dalam arti suara-suara yang berdiri sendiri secara harmonis. Sekalipun demikian,
52
Atan Hamdju dan Armillah Windawati, 1984:10. H.A.Pandopo, Menggubah Nyayian Jemaat: Penuntun untuk pengadaan Nyayian Gereja. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), hal., 23. 53
Universitas Sumatera Utara
kata Appleby 54, kedua manuskrip musik itu minimal telah menandai berakhirnya nyanyian unisono dan mulainya musik choral tanpa iringan musik (acapella) pada parohan kedua sejarah musik keagamaan. Menurut Appleby 55 selanjutnya dengan adanya kedua faktor tersebut, maka musik polifon semakin berkembang dengan pesat. Penggunaan alat musik organ berperan besar di dalam perkembangan ini dan menghasilkan suatu jenis musik pula yang disebut musik organum. Sampai abad XIII, musik polifon ini telah berkembang sedemikian rupa, bukan saja sebagai lagu-lagu ibadah, melainkan juga sebagai lagu-lagu yang tinggi nilai seninya. Dalam sejarah musik, parohan kedua dari abad XIII ini juga dikenal sebagai perode ars antiqua.
Inilai periode ketika musik polifon semakin
berkembang pesat, terutama di bawah kepeloporan dua orang ahli musik dan pengarang lagu yang masyur yang bekerja di Katedral Notre Dame di Paris (Perancis), yakni Leonis dan penggantinya yang bernama Perotinus. Dengan perkembangan ini maka c mulai tumbuh dan memperoleh bentuk dan peranannya sebagaimana yang ada sekarang. Musik polifon mencapai zaman keemasannya pada abad XVI, khususnya antara tahun 1550-1600.
Seiring dengan itu, Paduan Suara Gereja pun ikut
mengalami zaman keemasan tersebut. Akibatnya musik gereja menjadi semakin semarak dan hal ini mempengaruhi suasana peribadahan.
54
Ibid. Appleby dalam H.A.Pandopo, Menggubah Nyayian Jemaat: Penuntun untuk pengadaan Nyayian Gereja (Jakarta: BPK Gnung Mulia, 1984), hal., 21. 55
Universitas Sumatera Utara
Martin Luther dan Johannes Calvin mempunyai sikap yang kritis terhadap perkembangan ini. Sikap kritis itu berhubungan dengan pengaruh musik polifon yang semarak itu pada ibadah gereja, sehingga ibadah gereja di masa-masa itu menjurus kepada suasana konser.
Pandopo melukiskan pengaruh itu sebagai
berikut: “….Banyak seniman yang bukan rohaniawan mendapat kesempatan untuk memperdengarkan keahliannya di dalam liturgi. Akibatnya mejadi lekas terasa. Para seniman itu ternyata sukar dikendalikan, sehingga suasana misa lebih bersifat konser daripada ibadah” 56 Keadaan seperti itu ada pula di dalam Gereja Protestan pada masa itu. Oleh karena itu, Johannes Calvin misalnya, menolak ekspresi sukacita yang berlebihan, yang dipicu oleh para seniman itu dengan musik polifon yang meriah. Ia mengatakan bahwa gereja yang masih berada di dalam dunia adalah gereja yang masih berjuang (ekklesia militans) dan belumlah menjadi gereja yang menang (ekklesia triumphants).
Oleh karena itu, seharusnya musik gereja
mengekspresikan iman dari gereja yang berjuang itu dengan mengendalikan ekspresi sukacita yang berlebihan. Sekalipun bersikap kritis terhadap penggunaan musik polifon di dalam ibadah gereja, Luther maupun Calvin sebenarnya menyukai jenis musik ini dan peran Paduan Suara Gereja yang mengembangkannya, sejauh hal itu membantu kelancaran dan kekhidmatan ibadah 57 Misalnya, Marthin Luther sendiri menganjurkan agar dibentuk suatu paduan suara pemuda di dalam gereja untuk membantu terciptanya suasana ibadah yang khusyuk. Sampai kini pandangan Marthin Luther itu masih tetap dipertahankan di dalam Gereja Lutheran, yakni 56 57
Ibid. hal., 24. Ibid hal., 24-25.
Universitas Sumatera Utara
dengan adanya tugas asasi dari Paduan Suara Gereja untuk bernyanyi secara responsoris (bergilir-ganti) dengan jemaat 58. Calvin pun tetap mempertahankan adanya Paduan Suara Gereja di dalam ibadah sebagai kelompok penyanyi khusus, yang di bawah pimpinan seorang procantor, mendukung dan membantu jemaat menyanyikan nyanyian-nyanyian ibadah dengan baik. Perkembangan Paduan Suara Gereja yang pesat di dalam gereja-gereja di Eropa Barat dan Amerika itu pada akhirnya merambat pula ke berbagai benua melalui pekabaran Injil yang menumbuhkan gereja-gereja baru.
Dengan
demikian, Paduan Suara Gereja akhirnya dikenal pula di dalam kehidupan gerejagereja di Indonesia, yang bertumbuh sebagai hasil pekabaran Injil gereja-gereja di Eropa dan Amerika itu.
2.3. Sejarah Masuknya Musik Gereja dalam Konteks Misi Gereja Batak Penggunaan instrumen musik sangat penting artinya bagi jemaat, karena melalui musik anggota jemaat tertolong untuk menginternalisasikan makna ibadah dan kehikmatan penyembahan kepada Allah dalam kebaktian. Dengan kata lain musik di dalam gereja berkuasa dan mempunyai peranan penting di dalam pembinaan rohani anggota jemaat.
Oleh karena itu kedudukan atau
penggunaan instrumen musik dalam kebaktian gereja, bukanlah sebagai tambahan melainkan merupakan hal yang integral sejak awal sampai berakhirnya kebaktian.
58
Ibid. hal., 28.
Universitas Sumatera Utara
Luther D. Reed 59, mengatakan: “Fungsi utama dari musik ialah: “to clothe the text of liturgi” (Pembungkus teks liturgi). To clote sama dengan melapisi, menutupi. Musik itu adalah sebagai pembungkus teks liturgi agar teks liturgi dapat lebih indah, lebih mudah dihayati. 60 Sebab jika ditinjau dari sudut praktisnya, kegunaan musik itu bukan hanya kepada yang menyanyikannya, tetapi juga kepada orang-orang yang mendengarkan. Dengan demikian musik dapat dikatakan sebagai alat puji-pujian dan sebagai alat untuk memberitakan Firman Allah. Dengan kata lain penggunaan instrumen musik dalam kebaktian adalah tata cara yang diorganisir di dalam pelaksanaan kebaktian . Maka dalam kebaktian Kristen haruslah tercipta komunikasi yang baik antara Tuhan dengan manusia. Komunikasi yang dimaksud adalah hubungan antara jemaat yang hadir di dalam kebaktian dengan Tuhan yang hadir. T.S. Garrett dalam Reed 61 mengatakan
Kebaktian Kristen adalah
mencakup semua hidup, kebaktian adalah sebagai jawaban kepada Tuhan yang hadir. Jawaban itu dibentuk dalam bentuk liturgi dan diwarnai dengan suara dan perbuatan yang indah-indah yang membentuk suatu peristiwa yang berisikan Tuhan hadir berfirman kepada manusia, manusia mendengarnya dan memberikan puji-pujian melalui nyanyian (musik), doa permohonan dan memberikan persembahan atas pemberian Tuhan. Perbuatan itu sama halnya dengan kebaktian
59
Luther D. Reed, Workship A Study of Corpurate Devation, Philadelphia: 1959), hal.,
159. 60
Ibid. hal., 160. T. S. Garrett, Christian Worship Introduction Outline, hlm. 5, bnd. J.L. Ch. Abineno, Melayani dan Beribadah Di Dalam Dunia. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974), hal., 19. 61
Universitas Sumatera Utara
surgawi, yang mana kebaktian itu disemarakkan dengan warna-warni musik, simbol dan perbuatan-perbuatan lainnya (Why. 15:1-4). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sejarah musik di dalam liturgi telah ada yang terus berkembang sejak kebaktian Jahudi sampai kepada kebaktian orang Kristen sampai sekarang. Untuk itu musik gereja adalah untuk gereja bukan untuk musik, maksudnya musik gereja berperan sebagai alat pembawa,
pengangkat teks bagi liturgi kebaktian Kristen dan bukan untuk
disekularisasikan. Demikian untuk tujuan seperti yang sudah disebutkan di atas, dan sesuai dengan pengalaman misi dalam pertumbuhan gereja di tanah Batak maka para misionaris memanfaatkan musik dalam mempercepat perkembangan Gereja Batak selanjutnya. Beberapa hal yang diajarkan adalah, yakni : a. Alat Musik Tiup Dalam konteks tradisi umat Allah dalam Perjanjian Lama, terompet digunakan pada masa peperangan dan tiupan terompet digunakan sebagai adanya tanda bulan baru, tahun Yobel, gerakan militer, upacara sipil, penobatan raja, puji-pujian, serta penyembahan. Pada dasarnya alat musik ini dibuat bukan untuk mengiringi pujian, tetapi untuk memberikan tanda/ peringatan. 62 Seiring dengan penyebaran agama Kristen Protestan, para misionaris turut membangun sarana-sarana seperti pendidikan dengan membuka sekolah, kesehatan dengan membuka rumah sakit dan balai pengobatan maupun membangun sarana transportasi. Hal ini mendorong berakarnya agama Kristen di 62
E. Martasudjita dan Karl Edmund, Musik Gereja Zaman Sekarang. (Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 2009), hal., 35-36.
Universitas Sumatera Utara
dalam budaya masyarakat Batak Toba. Perubahan itu selaras dengan konsep hidup orang Batak Toba di dunia, yaitu mencari hamoraon (kekayaan), hagabeon (memiliki keturunan yang berhasil), dan hasangapon (kemuliaan atau kehormatan). Kebaktian menjadi bagian dari masyarakat Batak Toba Kristen. Perhatian masyarakat terhadap eksistensi gereja juga didorong oleh pengetahuan tambahan terhadap pengenalan musik-musik gereja yang berasal dari Eropa. Setiap acara kebaktian gereja, jemaat dikenalkan dengan lagu-lagu melalui notasi Barat. Bersamaan dengan itu para misionaris memperkenalkan alat-alat musik 63 seperti: trumpet, saksofon alto, saksofon tenor, trombon, dan Bariton. I nstrumen tersebut dipakai untuk mengiringi nyanyian-nyanyian gereja. Para misionaris juga mengajarkan bagaimana cara memainkan alat musik tersebut kepada sekelompok warga jemaat yang dianggap sungguh-sungguh mengikuti ajaran agama Kristen dan mempunyai minat dan perhatian yang tinggi untuk bermain musik. Mereka diajar mengenal notasi musik yang ada. Melalui proses belajar yang cukup lama, akhirnya beberapa warga jemaat mahir memainkan ensambel musik tiup tersebut. Pengetahuan tentang alat-alat musik organ dan brass sama sekali masih baru bagi masyarakat Batak Toba, demikian juga tentang musik gereja yang bertangga nada diatonik. Instrumen musik brass yang pertama hanya terdiri dari sebuah trumpet,
yang digunakan untuk mengiringi kebaktian di gereja yang
63
Penulis juga sudah meneliti ke Gereja Ressort Balige, bahwa alat musik tersebut sudah mulai dipergunakan dalam kebaktian. Salah satu gereja yang dominan yang diperhatikan oleh RMG dan Misionaris yang datang ke tanah Batak adalah Gereja Laguboti. Gereja Laguboti terkenal dengan bagian musik dan nyanyian, dari awal masuknya instrument musik sampai sekarang ini.
Universitas Sumatera Utara
dimainkan oleh Berausgegeben Van D. Johansen Ruhlo, putra Nommensen sendiri, mengingat saat itu belum ada warga jemaaat Batak Toba yang dapat memainkannya 64. Perkembangan agama Kristen Protestan semakin lama semakin pesat dan pertunjukan solo trumpet tidak sanggup lagi mengimbangi tingkat intensitas paduan suara jemaat, sehingga ditambahlah trumpet tersebut menjadi empat buah. Untuk
itu
Johansen
terpaksa
harus
mengajari
beberapa
warga
untuk
memainkannya, juga mengajarkan notasi balok khususnya yang tertuang dalam Buku Logu, buku nyanyian pokok gereja HKBP 65. Setelah penjajahan berakhir tahun 1943, para zending Jerman juga meninggalkan Tanah Batak, namun aktivitas kerohanian tetap berjalan.
Para
Pendeta yang telah diajar kerohanian dan pengenalan musik oleh para misionaris mengambil alih kepemimpinan gereja. Selain digunakan untuk kegiatan gereja, brass band juga digunakan mengiringi kegiatan-kegiatan para militer Jepang yang hendak berperang, seperti saat pemberangkatan tentara yang hendak berperang. Menurut keterangan St. E. Pasaribu 66, alat musik yang digunakan bukan milik gereja tetapi dibawa oleh para tentara Jepang dari negerinya. Demikian sekilas masuknya alat musik saksofon dan lainnya dalam HKBP. Selain itu, di Simalungun juga terjadi hal sama, khususnya di Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).
64
Wawancara dengan Bapak DR. J.R. Hutauruk tanggal 25 April 2011 di Medan. Ibid. 66 Wawancara dengan St. Edison Pasaribu, pada hari senin, 21 Februari 2011, Sitangka, Pearaja-Tarutung. 65
Universitas Sumatera Utara
Kenyataan yang dijumpai dalam melagukan nyanyian gereja dipengaruhi oleh nyanyian rakyat Simalungun, khususnya bagi orang-orang Simalungun di pedesaan tidaklah dapat dipungkiri. Namun tidak perlu menyalahkan atau mengatakan bahwa nyanyian yang mereka lagukan tidak benar. 67 Sering terdengar isu, kebanyakan dari beberapa kalangan Pendeta yang pernah bertugas di daerah pedesaan, bahwa melagukan nyanyian gereja banyak salahnya.
Terkadang,
para Pendeta itu tidak dapat mengikuti nyanyian
jemaatnya. Suatu ketika tahun 1988 ketika mengikuti kebaktian bagi para anggota partarompet (peniup trumpet) GKPS, seorang penginjil, P.P. Luther Purba 68, membuat suatu ilustrasi dalam khotbahnya mengenai cara bernyanyi anggota jemaat GKPS Marbun Lokkung dan sekitarnya yang tidak bersungguh-sungguh. Temponya tidak sesuai dengan jiwa lagunya. Misalnya lagu-lagu puji-pujian dinyanyikan lambat tidak gembira, seharusnya cepat dan gembira. Melodinya banyak yang diubah. Singkat kata ia menghendaki kalau melagukan nyanyian gereja haruslah benar sesuai dengan tuntutan lagu itu sendiri. 69
b. Organ Menjelang akhir abad 18 mutu musik organ dalam ibadat tidak lagi seperti tahun 1750-an. Jabatan organis merupakan suatu tugas sampingan dan sering dipegang oleh orang pensiunan. Maka komposisi organ pun menurun. Dalam
67
Op.Cit. Martasudjita, hal., 68-69. Seorang Penginjil dari Gereja GKPS yang juga ditugaskan dari utusan RMG demi melanjutkan tugas dan pelayanan di tanah batak. Dengan demikian beliau juga diperbekali dengan berbagai jenis pelayanan seperti halnya untuk pengembangan musik selama masa pelayanan. 69 Band. Martasudjita, Musik Gereja Zaman Sekarang, hal., 90-94. 68
Universitas Sumatera Utara
ibadat selama abad 19 permainan organ terbatas pada iringan nyanyian Gregorian dalam Katolik. Komposisi semacam ini diciptakan banyak selama abad 19. Perkembangan organ Gereja pada awal abad 19 pun mengalami penurunan drastis dan hampir hilang, dibandingkan dengan piano yang mengalami peningkatan ekspresi, dimana organ dirasakan statis. 70
c. Alat Musik Tiup dan Poti Marende di Pearaja (Survei Sejarah) 71 Dari hasil wawancara dengan Bapak St. Edison Pasaribu 72, sejarah masuknya alat musik tiup di HKBP Pearaja adalah dari sumbangan dari Misionaris Jerman yang menjalin hubungan yang baik dengan semua keanggotaan di HKBP Pearaja. 73 Setelah alat musik tiup diserahkan kepada jemaat di sana, kemudian Misionaris Jerman mengiringi kegiatan ibadah dengan menggunakan alat musik tiup. Setelah itu, mereka mengumpulkan jemaat yang benar-benar mau belajar alat musik tiup tersebut. Setelah beberapa bulan kemudian, Misionaris dari Jerman pun berangkat dari Pearaja dan kebaktian di gereja Pearaja sudah diiringi oleh alat musik tiup yang pemainnya adalah jemaat HKBP Pearaja. Masuknya alat musik tiup ini semakin memperluas kabar ke hampir seluruh
Distrik II Silindung dan kerinduan jemaat dari berbagai gereja di
70
Ibid, hal., 36-37. Penulis mengadakan penelitian ke Gereja Pearaja dan menemukan sejumlah besar tentang sejarah masuknya alat musik tiup sehingga dipakai dalam kebaktian di Gereja HKBP Pearaja. 72 Penulis mengadakan wawancara kepada salah seorang penatua dari gereja HKBP Pearaja yang bertempat tinggal di Sitangka, salah satu pedesaan yang termasuk lingkungan Ressort Pearaja yang bernama Bapak St. Edison Pasaribu, dan beliau juga merupakan salah satu pekerja bangunan yang sudah lama bekerja di HKBP. 73 HKBP Pearaja adalah salah satu gereja yang sudah mandiri dan mendapat perhatian khusus dari Misionaris yang datang ke tanah Batak. Hal ini muncul karena banyak sekali bantuan dan pengajaran yang sudah diterima oleh jemaat di HKBP Pearaja yang sumbernya dari para Misionaris. 71
Universitas Sumatera Utara
sekitarnya untuk beribadah di gereja Pearaja. Alat musik tiup yang sudah ada dipakai dan dirawat sedemikian rupa supaya tetap terpelihara dan bisa digunakan dalam waktu yang sangat lama. 74 Alat musik ini masih tetap dipergunakan sampai pada tahun 1974 di HKBP Pearaja.
Namun setelah hampir beberapa puluh tahun dipergunakan,
ternyata tidak ada lagi yang mempergunakannya setelah tahun 1974. Bahkan anggota Gereja HKBP Pearaja sendiri tidak mengetahui mengapa alat musik tersebut tidak nampak lagi. Menghilangnya alat musik tiup tersebut mempunyai efek yang negatif dalam kemerosotan jemaat yang mengikuti kebaktian di gereja tersebut, dengan alasan bahwa ternyata alat musik tiup tersebut mempunyai dampak yang sangat besar dalam proses pelaksanaan ibadah di gereja. Tanpa adanya yang mengiringi lagu-lagu pujian di gereja jadi terasa hambar dan tidak meresap ke dalam hati, demikian tutur Bapak St. Edison Pasaribu 75. Sampai tahun 1975, alat musik tiup juga sudah dipadu dengan poti marende yang pada awalnya juga adalah merupakan sumbangan dari para Misionaris Jerman yang datang ke Pearaja untuk melihat perkembangan dari gereja tersebut. Poti marende ini juga disumbangkan supaya dipadu dengan alat musik tiup. Sama halnya seperti proses awal diberikannnya alat musik tiup, para missionaris juga mengajari jemaat setempat yang mempunyai minat dalam hal memainkan poti marende. Setelah sekian lama prosesnya, akhirnya ada juga beberapa orang yang mahir menggunakannya. Kemudian dalam setiap kebaktian, 74
Hasil wawancara dengan Bapak St. Edison Pasaribu dan pengalaman beliau tentang alat musik tiup yang datang ke gereja HKBP Pearaja pada tahun 1965 dan alat musik ini tetap dipertahankan dan dipergunakan sampai pada tahun 1974. 75 Hasil wawancara dengan Bapak St. Edison Pasaribu dan pengalaman beliau tentang alat musik tiup yang datang ke gereja HKBP Pearaja pada tahun 1965 dan alat musik ini tetap dipertahankan dan dipergunakan sampai pada tahun 1974.
Universitas Sumatera Utara
alat musik tiup digabungkan dengan poti marende sehingga lebih merdu dan membuat jemaat lebih bersemangat dalam menyanyikan lagu-lagu pujian. Dari sejarah yang sudah diteliti melalui wawancara tersebut, beliau juga masih sempat menyimpan satu sejarah yang sudah lama tersimpan dan selalu diingat ketika ditemukannya kembali alat musik tiup tersebut pada tahun 1992 di bagian belakang gereja HKBP Pearaja namun tidak lengkap lagi seperti yang dulu dan sudah dalam keadaan tidak bisa dipergunakan lagi. Sangat disayangkan jika alat musik tersebut sudah tidak bisa dipergunakan namun muncul secara tiba-tiba dan mengherankan semua anggota jemaat pada masa itu. Sehingga setelah tahun 1975, hanya poti marende 76 yang digunakan dalam mengiringi kebaktian setiap hari minggunya. Perkembangan musik yang ada di gereja Pearaja ternyata membuka hati seorang dermawan yang merupakan salah satu jemaat di gereja tersebut dan menyumbangkan sebuah organ yang masih sangat minim penggunaannya di kawasan distrik II Silindung. Organ yang disumbangkan tersebut sudah mempunyai beberapa nada yang sudah mengimbangi penggunaan alat musik tiup dan poti marende jika dipadu. Penggunaan organ ini akhirnya menutup masa penggunaan poti marende yang masih tersimpan sampai sekarang di gereja tersebut. Dari hasil yang ditemukan dari beberapa gereja yang sudah diteliti, ada beberapa gereja yang menggunakan poti marende yang masih disimpan di gereja
76
Poti Marende adalah sebutan untuk Orgel
Universitas Sumatera Utara
masing-masing, yakni gereja Simanungkalit, Ressort Sipoholon I, dan gereja Pintubosi, Ressort Sipoholon VI. 77 Penulis juga mengadakan wawancara dengan beberapa pihak yang merupakan generasi pembuatan gitar dan poti marende yang sudah sangat lama di Sipoholon.
Menurut mereka poti marende dibuat oleh generasi sebelumnya
karena sudah diajari oleh seorang keturunan Jerman yang pekerjaannya adalah membuat poti marende di Jerman dan datang ke tanah Batak untuk membantu proses pembuatan poti marende supaya dipergunakan di setiap gereja. Hal ini berlangsung sudah berpuluh-puluh tahun. Namun semenjak lahirnya Elektrik Organ sebagai alat musik yang lebih modern, tidak ada lagi yang meminatinya dan akhirnya proses pembuatan poti marende berhenti di tahun 1985.
2.4. Perkembangan Musik dalam Gereja HKBP 78 (1930-1980) Sekitar tahun 1960-an, seorang pendeta Jerman yang bernama J. Depperman telah banyak mengamati dan memperhatikan kehidupan musik di daerah Simalungun. Akhirnya ia memutuskan suatu gagasan untuk mengadakan alat musik tiup (trumpet) bagi para jemaat, yang berasal dari bantuan RMG/VEM. Trumpet ini diberikan kepada para jemaat yang dianggap tepat sekali gus memberikan pelatihan cara memainkan alat musik tersebut. Sekurangnya 60 buah trumpet diberikan kepada para jemaat dengan perincian minimal 10 buah setiap kelompok. Adapun para jemaat yang memiliki grup trumpet tersebut antara lain: 77
Wawancara dengan St. Edison Pasaribu, pada hari senin, 21 Februari 2011, Sitangka, Pearaja-Tarutung. 78 -------, Buku Sejarah Kekristenan di Tanah Batak. (Pearaja, Tarutung 1989), hal., 4549.
Universitas Sumatera Utara
HKBPS Jalan Sudirman Pematang Siantar, HKBPS Pematang Raya, HKBPS Saribu Dolok, HKBPS Tebing Tinggi, HKBPS Teladan Medan, dan HKBPS Bangun Purba. Trumpet ini digunakan pada waktu ibadah mengiringi nyanyian gereja. Sebagai penyegaran dilakukan latihan.
Di samping itu secara beramai-ramai
bergabung mengiringi nyanyian-nyanyian ketika adanya pesta-pesta gereja yang besar. Di tahun 1970 Lothar Schreiner 79
mengawali era ini dengan
mempublikasikan tulisannya berjudul Gondang-Musik dalam kekristenan. Tulisan ini membahas secara ekstensif peranan sosial musik Gondang Sabangunan serta membicarakan repertoarnya. Schreiner juga membicarakan bagaimana tanggapan para missionaris yang bertugas pada masa era Kristenisasi di Tanah Batak, terhadap pertunjukan-pertunjukan musik Gondang Batak ditinjau dari perspektif agama Kristen. Memasuki dekade 1970 keadaan ini baru berubah saat sejumlah tulisan tentang musik suku-suku di Sumatra Utara diterbitkan. Menyusul pula ramainya beredar kaset-kaset rekaman komersil di pasaran dengan lebel, salah satu misalnya “Gondang Batak Nahornop”, “Gondang Batak Parsaoran Nauli”, “Gondang Batak Saroha”, dan dari kebudayaan musik lainnya di Sumatra Utara. Buku, artikel ataupun laporan yang diterbitkan pada kurun waktu ini sudah meliputi musik suku Melayu, Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Mandailing dan Angkola. 79
Luther D. Reed, Worship (A Study of Corporate Devotion), (Philadelphia: Fortress Press, 1959), hal., 168-174.
Universitas Sumatera Utara
Satu hal yang penting bahwa cakupan pembahasan tulisan-tulisan dekade 70-an itu sudah bervariasi. Ada tulisan yang mendeskripsikan instrumen musik, mengulas fungsi dan konteks sosial, menganalisa dan mencari pola struktur musik, menginterpretasikan sistem dan teori musik dan bahkan ada yang membicarakan masalah nilai estetika. Ada tulisan yang menyertakan rekamanrekaman musik lapangannya. Sederetan nama yang memberikan kontribusinya pada masa tahun 70-an ini antara lain, Lothar Schreiner, Liberty Manik, Dada Meuraxa, Lynette M.Moore, Arlin D. Jansen, Margaret Kartomi, David Goldsworthy, Reiner Carle dan M. Hutasoit. 80
2.5. Perkembangan Musik di Gereja HKBP (1980-2000) Sampai menjelang akhir abad ke-20 kebudayaan musik khususnya musik gereja Batak Toba, secara garis besar masih merupakan sejarah perjalanan sejarah musik yang masih harus dikembangkan. Pandangan ini cukup beralasan, karena didasari pada kenyataan minimnya referensi yang ada.
Namun demikian,
pernyataan ini tidak semata-mata mengabaikan tulisan tentang musik gereja Batak. Tidak seperti ketertinggalan masalah musik, masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan, adat, struktur sosial, organisasi sosial, ekonomi, bahasa dan sastra, politik, migrasi, perubahan dan kehidupan sosial orang Batak banyak dibicarakan, dituliskan dan diterbitkan.
Dalam bukunya Parsorion
(riwayat Hidup) ni Missionar Gustaf Pilgram Dohot Harararat Ni kekristenan di Toba, Dr. Andar Lumban Tobing mencatat bahwa pada tahun 1885, Gustav 80
Ibid. hal., 29-34.
Universitas Sumatera Utara
Pilgram sudah menulis tentang musik Gondang Sabangunan. 81 Tulisan ini berjudul “Referat Uber heidnische Musik und Tanz”. Pilgram mengulas tentang musik Gondang Sabangunan dari perspektif seorang Kristen. Toenggoel P.Siagian (1966) pada artikelnya “Bibliography on the Batak People” di dalam jurnal Indonesia terbitan Cornell University, mencatat beberapa penulis lain. Pertama, J. H.Meerwaldt (1904, 1905,1906,dan 1907) yang secara kontiniu menulis tentang adat, agama, tekstual lagu-lagu, dan deskripsi instrumen musik Batak (Batak Toba). Kedua adalah J. G. Huyzer dengan artikelnya yang membahas dan menelaah tentang perbedaan bentuk fisik hasapi, instrumen yang dipetik dan mempunyai dua senar. J. P. Sarumpaet (1988) dalam bukunya Bibliografi Batak, terbitan Sahata Publication-Melbourne, juga menyebutkan dua nama penulis yang menyumbang tulisannya antara tahun 1920-an dan 1930-an. Dari penelitian sejarah yang sudah dilakukan, ternyata penggunaan musik gereja yang sudah digunakan masih berhubungan erat dengan Gondang. Namun, untuk beberapa periode berikutnya, ternyata masih banyak yang meragukan bahwa Gondang yang sudah dipakai di gereja dihilangkan. Artikel Heinze mendeskripsikan ensambel musik suku Batak Toba pada abad 19 serta penggunaannya di masyarakat. Tulisan ini juga merupakan bagian dari buku Nord-Sumatra, Vol. 1: Die Bataklander, ditulisan oleh Wilhem Volz, diterbitkan oleh D. Reimer, Berlin pada tahun 1909. Yang kedua, Jaap Kunst (1942) mengkontribusikan. “Music in Nias” nya, terbitan Leiden, menguraikan aspek sosial serta instrument musik padasuku Nias. Tunggul P. Siagian (1966) 81
W. Robert Hodges “Sing to The Lord a New Song” dalam Membangun Tubuh Kristus, J.R. Hutauruk (ed.). (Pematang Siantar STT HKBP 1996), hal., 312.
Universitas Sumatera Utara
mencatat seorang penulis “halak kita”, Mangaraja Salomo Pasaribu, yang mencurahkan perhatiannya untuk menulis musik Batak Toba. Kontribusinya berjudul “Taringot tu Gondang Batak”: terbitan Manullang-Sibolga di tahun 1925. Sebenarnya, kehadiran publikasi-publikasi tentang musik yang sudah saya sebut di atas walaupun tidak tertumpu hanya pada kebudayaan musik Batak Toba merupakan suatu era diawalinya perhatian sarjana ilmu sosial terhadap kebudayaan musik masyarakat di Sumatra Utara. Namun kelanjutannya terasa terputus. Di sisi lain artikelnya “Suku Batak” dengan “Gondang Bataknya” dalam majalah Peninjau membicarakan sekilas tentang kedudukan Gondang Sabangunan pada masyarakat Batak Toba. Berbeda dari yang lainnya, Dada Meuraxa (1973) hadir dengan tulisannya Sejarah Kebudayaan suku-suku di Sumatra Utara, terbitan Sastrawam Medan, menguraikan secara umum tentang instrument dan fungsinya dalam ensambel musik Gondang Batak. Sementara itu M. Hutasoit (1976) menyumbang satu tulisannya berjudul Gondang dohot Tortor. Batak, yang walaupun sederhana namun memberikan cukup banyak informasi mengenai musik gondang, judul-judul gondang dan gerakan-gerakan tortor. Pada dekade 80-an beberapa tulisan ilmiah tentang musik Gondang Sabangunan melengkapi koleksi yang sudah ada. Pembahasan tulisan-tulisan tersebut menyoroti aspek-aspek sosial dan religinya, dan aspek teori musiknya. Di awali oleh Artur Simon yang pada tahun 1982 menulis sebuah artikel berjudul Etnologi Music. Dan pada tahun 1984, ia kembali menyumbangkan satu artikel melalui dari hasil pengamatannya, tentang perubahan-perubahan fungsi musik dan pergeseran nilai-nilai adat di dalam kehidupan masyarakat Batak.
Universitas Sumatera Utara
Aksentuasinya tentang “terobosan” musik tiup (brass band) yang menekan posisi Gondang Sabangunan dalam mengisi upacara-upacara adat di kalangan masyarakat Batak Toba yang nota bene berdomisili di kota adalah point penting tulisan itu. Di tahun yang sama dia mempublikasikan dua buah piringan hitam berisikan musik Gondang Sabangunan dan transkripsi musiknya, dengan lebel Gondang Toba. Simon mengkontribusikan satu tulisan lagi yang ulasannya berkisar pada fungsi sosial dan religi musil-musik Batak dalam konteks upacara yang menghadirkan musik. 82
82
---------, Musik Tradisional : Gondang Batak. (Tarutung, 1988), hal., 25-26.
Universitas Sumatera Utara