PEKERJAAN TAMBAH/KURANG DALAM KONTRAK PEKERJAAN KONSTRUKSI (Abu Sopian BDK Palembang) Pasal 51 Perpres nomor 54 tahun 2010 mengatur tentang ketentuan kontrak lump sum dengan ketentuan kontrak lump sum antara lain tidak diperbolehkan adanya pekerjaan tambah/kurang. Sementara ketentuan tentang perubahan kontrak yang dalam Perpres nomor 54 tahun 2010 dituangkan dalam pasal 87 menetapkan: (1) Dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan, dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis yang ditentukan dalam dokumen kontrak, PPK bersama penyedia barang/jasa dapat melakukan perubahan kontrak yang meliputi: a. menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang tercantum dalam kontrak; b. menambah dan/atau mengurangi jenis pekerjaan; c. mengubah spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan; atau d. mengubah jadwal pelaksanaan. (2) Pekerjaan tambah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan: a. Tidak melebihi 10 % (sepuluh perseratus) dari harga yang tercantum dalam perjanjian/kotrak awal; dan b. Tersedianya anggaran. Ketentuan tersebut diatas menimbulkan pertanyaan apakah kontrak lump sum boleh dirubah akibat adanya pekerjaan tambah kurang? Selengkapnya baca tulisan berikut. .....
PEKERJAAN TAMBAH/KURANG DALAM KONTRAK PEKERJAAN KONSTRUKSI (Abu Sopian BDK Palembang)
Dalam berbagai kesempatan membicarakan ketentuan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah menurut Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan barang dan Jasa Pemerintah, masih ada pertanyaan yang kadang-kadang tidak dapat dijelaskan dengan tuntas dikarenakan kurang tegasnya aturan yang ada. Salah satu pertanyaan dimaksud telah mendorong penulis untuk mencoba membahasnya dalam tulisan singkat ini yaitu : “bolehkan kontrak pekerjaan konstruksi dirubah karena adanya pekerjaan tambah/kurang”. Tulisan ini hanyalah merupakan pendapat penulis dan tidak dimaksudkan untuk mengajak para pembaca menafsirkan peraturan yang ada menurut cara yang dikemukakan penulis. Dengan kata lain bagi para pembaca yang tidak sependapat dengan apa yang dituangkan dalam tulisan ini dipersilahkan untuk tetap berbeda pendapat. Semoga dengan adanya berbagai pendapat yang berbeda nantinya dapat memperkaya sudut pandang kita tentang
[Type text]
Page 1
topik ini, dan pada akhirnya diharapkan dapat dijadikan pertimbangan bagi yang berwenang untuk melakukan perbaikan terhadap ketentuan yang ada dalam Perpres 54 tahun 2010. Dalam tulisan ini akan diuraikan ketentuan yang terkait dengan jenis kontrak, jenis pekerjaan, dan ketentuan tentang perubahan/amandemen kontrak dalam pengadaan barang/jasa dengan melihat permasalahan permasalahan yang dijumpai dalam pelaksanaan ketentuan tersebut. A. Jenis Kontrak Ketentuan tentang jenis kontrak pengadaan barang/jasa diatur dalam Paragraf keenam Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 pasal 50 yang berbunyi sebagai berikut: (1) ULP/Pejabat Pengadaan menetapkan jenis kontrak pengadaan barang/jasa. (2) Kontrak pengadaan barang/jasa meliputi: a. Kontrak berdasarkan cara pembayaran; b. Kontrak berdasarkan pembebanan tahun anggaran; c. Kontrak berdasarkan sumber pendanaan; dan d. Kontrak berdasarkan jenis pekerjaan. (3) Kontrak pengadaan barang/jasa berdasarkan cara pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, terdiri dari: a. kontrak lumpsum; b. kontrak harga satuan; c. kontrak campuran lump sum dan harga satuan; d. kontrak persentase; dan e. kontrak terima jadi (turn key). (4) Kontrak pengadaan barang/jasa berdasarkan pembebanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, terdiri dari: a. kontrak tahun tunggal; dan b. kontrak tahun jamak.
tahun
anggaran
(5) Kontrak pengadaan barang/jasa berdasarkan sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, terdiri dari 1) kontrak tunggal; 2) kontrak pengadaan bersama; dan 3) kontrak payung. (6) Kontrak pengadaan barang/jasa berdasarkan jenis pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, terdiri: 1) kontrak pengadaan pekerjaan tunggal; dan 2) kontrak pengadaan pekerjaan terintegrasi. Pengertian masing-masing kontrak berdasarkan cara pembayaran sebagaimana dimaksud pasal 50 ayat (3) tersebut secara resmi dituangkan dalam pasal 51 Perpres 54 tahun 2010 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Kontrak lump sum merupakan kontrak Pengadaan Barang/Jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu sebagaimana ditetapkan dalam Kontrak, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Jumlah harga pasti dan tetap serta tidak dimungkinkan penyesuaian harga; b. Semua resiko sepenuhnya ditanggung oleh Penyedia Barang/Jasa; c. Pembayaran didasarkan pada tahapan produk/ keluaran yang dihasilkan sesuai dengan isi Kontrak; d. Sifat pekerjaan berorientasi kepada keluaran (output based); e. Total harga penawaran bersifat mengikat;
[Type text]
Page 2
f.
Tidak diperbolehkan adanya pekerjaan tambah/kurang.
(2) Kontrak harga satuan merupakan kontrak Pengadaan Barang/Jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu yang telah ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Harga satuan pasti dan tetap untuk setiap satuan atau unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu; b. Volume atau kuantitas pekerjaan masih bersifat perkiraan pada saat kontrak ditandatangani; c. Pembayarannya didasarkan pada hasil pengukuran bersama atas volume pekerjaan yang benar-benar telah dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa; dan d. Dimungkinkan adanya pekerjaan tambah/kurang berdasarkan hasil pengukuran bersama atas pekerjaan yang diperlukan. (3) Kontrak gabungan lump sum dan harga satuan adalah kontrak yang merupakan gabungan lump sum dan harga satuan dalam 1 (satu) pekerjaan yang diperjanjikan. (4) Kontrak persentase merupakan kontrak pengadaan jasa kosultansi/jasa lainnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Penerima jasa konsultansi/jasa lainnya menerima imbalan berdasarkan persentase dari nilai pekerjaan tertentu; dan b. Pembayaran didasarkan pada tahapan produk/keluaran yang dihasilkan sesuai dengan isi kontrak. (5) Kontrak terima jadi (turnkey) merupakan kontrak Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu dengan ketentuan sebagai berikut: a. Jumlah harga pasti dan tetap sampai seluruh pekerjaan selesai dilaksanakan; dan b. Pembayarannya dilakukan berdasarkan hasil penilaian bersama yang menunjukkan bahwa pekerjaan telah dilaksanakan sesuai dengan kriteria kinerja yang telah ditetapkan. Dengan membaca dan memahami isi pasal 51 tersebut di atas, rasanya belum dapat memberikan jawaban yang tegas mengenai boleh atau tidak kontrak pekerjaan konstruksi dirubah karena adanya pekerjaan tambah/kurang. Pasal 51 ayat (1) hanya mengatur bahwa terhadap kontrak lump sum tidak boleh ada pekerjaan tambah/kurang. Karena itu, untuk mengetahui apakah volume pekerjaan dalam kontrak pekerjaan konstruksi boleh dilakukan perubahan atau tidak, perlu dipastikan apakah kontrak pekerjaan konstruksi tersebut merupakan kontrak lump sum atau bukan. Sebab jika kontrak tersebut merupakan kontrak lump sum maka terhadap kontrak tersebut bukan saja tidak dibolehkan adanya perubahan karena adanya pekerjaan tambah/kurang, lebih dari itu penyesuaian hargapun tidak dibolehkan. B. Jenis Pekerjaan menurut Perpres 54 tahun 2010 Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan bahwa pengadaan barang/jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang dan jasa oleh kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah/institusi lain yang prosesnya mulai dari perencanaan kebutuhan sampai dengan diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa. Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dimaksud dapat dilakukan melalui penyedia barang/jasa (pihak ketiga) dan dapat pula dilakukan dengan cara swakelola (direncanakan, dikerjakan, dan diawasi sendiri). Untuk pekerjaan yang harus dilakukan melalui pihak ketiga, pemilihan penyedia barang/jasa yang akan melaksanakan pekerjaan pengadaan
[Type text]
Page 3
barang/jasa tersebut dilakukan dengan memilih penyedia barang/jasa di antara para penyedia barang/jasa yang setara. Sistem pemilihan penyedia barang/jasa tersebut telah ditentukan secara tegas dalam Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 yang dikaitkan dengan jenis pekerjaan yang akan dilaksanakan. Lain jenis pekerjaan lain pula sistem pemilihan yang dapat diterapkan dalam memilih penyedia barang/jasa. Karena itu untuk dapat memilih sistem yang tepat dalam pelaksanaan pemilihan penyedia barang/jasa pemerintah, panitia pengadaan atau kelompok kerja pada Unit Pelayanan Penyedia Barang/jasa perlu mengetahui pengelompokan jenisjenis pekerjaan pengadaan barang/jasa menurut ketentuan Perpres 54 tahun 2010. Menurut Perpres nomor 54 tahun 2010, pekerjaan pengadaan barang/jasa pemerintah dikelompokkan/dibedakan dalam empat jenis pekerjaan yaitu: 1) pekerjaan pengadaan barang yaitu pengadaan setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh pengguna barang. 2) pekerjaan pengadaan jasa konstruksi adalah pengadaan setiap pekerjaan yang berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainnya 3) pekerjaan pengadaan jasa konsultansi adalah pengadaan jasa layanan profesional yang membutuhkan keahlian tertentu di berbagai bidang keilmuan yang mengutamakan adanya olah pikir (brainware). 4) pekerjaan pengadaan pekerjaan jasa lainnya adalah pengadaan jasa yang membutuhkan kemampuan tertentu yang mengutamakan keterampilan (skillware) dalam suatu sistem tata kelola yang dikenal luas di dunia usaha untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan/atau penyediaan jasa selain jasa konsultansi. C. Ketentuan tentang Perubahan Kontrak. Ketentuan tentang perubahan kontrak diatur dalam pasal 87 Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 yang berbunyi: (3) Dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan, dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis yang ditentukan dalam dokumen kontrak, PPK bersama penyedia barang/jasa dapat melakukan perubahan kontrak yang meliputi: e. menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang tercantum dalam kontrak; f. menambah dan/atau mengurangi jenis pekerjaan; g. mengubah spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan; atau h. mengubah jadwal pelaksanaan. (4) Pekerjaan tambah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan: c. Tidak melebihi 10 % (sepuluh perseratus) dari harga yang tercantum dalam perjanjian/kotrak awal; dan d. Tersedianya anggaran. (5) Penyedia Barang/Jasa dilarang mengalihkan pelaksanaan pekerjaan utama berdasarkan kontrak, dengan melakukan sub kontrak kepada pihak lain, kecuali sebagian pekerjaan utama kepada penyedia barang/jasa spesialis. (6) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyedia barang/jasa dikenakan sanksi berupa denda yang bentuk dan besarnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam dokumen kontrak. (7) Perubahan kontrak yang disebabkan masalah administrasi, dapat dilakukan sepanjang disepakati kedua belah pihak. Ketentuan pasal 87 Perpres tersebut di atas sama sekali tidak menyebutkan adanya larangan perubahan terhadap kontrak lump sum. Berdasarkan pasal tersebut seluruh kontrak dapat dirubah dengan ketentuan: 1) jika terkait dengan volume pekerjaan, maka tambahan volume boleh dilakukan asalkan tidak menyebabkan harga kontrak bertambah lebih dari 10% nilai kontrak awal. Yang [Type text]
Page 4
2)
dimaksudkan nilai kontrak awal tersebut adalah nilai kontrak pertama kali ditandatangani. Dengan demikian meskipun perubahan volume pekerjaan dilakukan lebih dari satu perubahan nilai harga pekerjaan tetap tidak boleh melebihi 110 % dari nilai kontrak awal. Dalam hal volume pekerjaan dikurangi, maka pengurangan volume tersebut tidak dibatasi sehingga boleh saja menyebabkan nilai harga kontrak berkurang lebih dari 10%. jika terkait dengan perubahan administrasi seperti penggantian PPK dan perubahan nomor rekening penerima, sepanjang disepakati oleh PPK dan Penyedia Barang/Jasa perubahan tersebut dapat dilakukan.
D. Pekerjaan tambah/kurang dalam kontrak konstruksi. Bolehkah kontrak pekerjaan konstruksi dirubah karena adanya pekerjaan tambah/kurang? Sifat perkejaan konstruksi khususnya pekerjaan fisik bangunan gedung volumenya sudah dapat diperkirakan dengan tepat pada saat merencanakan pekerjaan. Dengan demikian tidak mungkin dilaksanakan dengan cara kontrak harga satuan atau kontrak persentase. Berdasarkan cara bayarnya kontrak pekerjaan konstruksi seperti fisik bangunan gedung hanya dapat dilaksanakan dengan cara kontrak lump sum, kontrak campuran lump sum dan harga satuan, atau dengan cara kontrak terima jadi (turnkey). Lazimnya kontrak pekerjaan konstruksi fisik bangunan dilaksanakan dengan kontrak lump sum. Dengan demikian berdasarkan pasal 51 ayat (1) huruf f volume pekerjaan dalam kontrak pekerjaan konstruksi tidak boleh dirubah (tambah/kurang). Sampai di sini sesungguhnya cukup jelas bahwa secara juridis tidak diperkenankan melakukan perubahan/amandemen kontrak pekerjaan konstruksi, kecuali perubahan yang berkenaan dengan: a. subkontrak sebagian pekerjaan utama kepada penyedia barang/jasa spesialis sebagaimana diatur dalam pasal 87 ayat (3) Perpres No.54 tahun 2010; b. perubahan administrasi sebagaimana diatur dalam pasal 87 ayat (5) Perpres No.54 tahun 2010. Lantas mengapa masih banyak pihak yang mempersoalkan perubahan/amandemen kontrak pekerjaan konstruksi? Berdasarkan pengamatan penulis terhadap beberapa pihak yang mempersoalkan hal tersebut diketahui paling tidak ada dua hal yang menjadi latar belakang munculnya pertanyaan tersebut antara lain adalah. 1. Sesuai dengan kebutuhan di lapangan. 2. Pengaruh sistem yang lama. 1. Sesuai kebutuhan di lapangan. Alokasi pagu dana untuk pekerjaan konstruksi baik berupa pembangunan baru maupun perbaikan atau rehabilitasi bangunan yang lama biasanya dituangkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dalam jumlah yang relatif besar. Meskipun jumlahnya cukup besar, namun jika dibandingkan dengan kebutuhan untuk menyediakan sarana dan prasarana yang memadai agar dapat memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, pagu anggaran setiap instansi masih selalu dirasakan belum cukup. Karena itu pemanfaatannya harus dilakukan secara efisien. Dari pagu dana tersebut dikurangi untuk biaya konsultan perencanaan, konsultan pengawas, dan pengelola kegiatan, sisanya digunakan untuk membangun fisik bangunan. Berdasarkan pembagian dana tersebut Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) menyusun rencana kegiatan pembangunan fisik bangunan. Tentu saja memanfaatkan bantuan konsultan perencanaan termasuk dalam penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Selanjutnya dilakukan proses lelang oleh Panitia Pengadaan Barang/Jasa untuk memilih penyedia yang akan melaksanakan pekerjaan tersebut.
[Type text]
Page 5
Dalam proses lelang tersebut peserta lelang diminta untuk menyusun penawaran berdasarkan spesifikasi bangunan yang secara detail didasarkan pada gambar rencana yang telah dususun oleh konsultan perencanaan dan Harga Perkiraan Sendiri yang telah disusun oleh Pejabat Pembuat Komitmen. Biasanya dimenangkan oleh penyedia yang mengajukan penawaran yang relatif jauh lebih rendah dari total HPS sehingga terdapat sisa pagu yang masih mungkin dimanfaatkan untuk menambah kesempurnaan bangunan fisik. Contohnya pada perencanaan awal kegiatan berdasarkan pagu yang tersedia sebesar Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) PPK hanya menyusun rencana untuk pembangunan gedung kantor. Setelah dilakukan proses lelang ternyata penyedia jasa yang akhirnya menjadi pemenang lelang hanya mengajukan penawaran dengan harga Rp920.000.000,(sembilan ratus dua puluh juta rupiah) sehingga terdapat sisa anggaran sebesar Rp80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah). Sisa anggaran tersebut sebenarnya masih dibutuhkan untuk pembangunan pagar atau ada bagian lain dari gedung tersebut yang mungkin perlu lebih disempurnakan dengan memanfaatkan sisa dana tersebut. Penyempurnaan bagian gedung atau pembangunan pagar tersebut sebenarnya sangat dibutuhkan, dan pelaksanaannya mungkin lebih efisien jika tetap dikerjakan oleh penyedia yang telah ditunjuk sebagai pemenang lelang gedung kantor dengan cara melakukan amandemen kontrak karena adanya tambahan volume pekerjaan tanpa harus membuat paket pekerjaan baru. Pertimbangan yang demikian menjadi salah satu alasan pihak yang menginginkan agar perubahan volume dalam kontrak pekerjaan konstruksi tetap dibolehkan, karena kenyataan di lapangan memang membutuhkan adanya peluang untuk melakukan perubahan kontrak. 2. Pengaruh sistem yang lama. Perpres 54 tahun 2010 adalah merupakan pengganti Keputusan Presiden nomor 80 tahun 2003. Walaupun di dalam konsiderannya, pada bagian menimbang, Perpres nomor 54 tahun 2010 tidak menyebutkan kelemahan Keputusan Presiden nomor 80 tahun 2003 yang mendorong pemerintah untuk menggantikannya dengan Perpres nomor 54 tahun 2010, namun pada pasal 135 Keppres nomor 54 tahun 2010 disebutkan bahwa Keppres nomor 80 tahun 2003 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Januari 2011. Sebagai peraturan yang baru tentu saja Perpres nomor 54 tahun 2010 bertujuan untuk menjadikan sistem pengadaan barang/jasa lebih baik dan dapat mengurangi masalah yang mungkin ada dalam peraturan sebelumnya. Karena itu tidak mungkin diciptakan pasal-pasal yang implementasinya akan menimbulkan masalah, apa lagi jika dalam ketentuan yang sebelumnya tidak ada masalah. Ketentuan tentang perubahan kontrak dalam Keppres nomor 80 tahun 2003 terdapat dalam pasal 34 yang berbunyi Perubahan kontrak dilakukan sesuai kesepakatan pengguna barang/jasa dan penyedia barang/jasa (para pihak) apa bila terjadi perubahan lingkup pekerjaan, metoda kerja, atau waktu pelaksanaan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selanjutnya penjelasan pasal tersebut menyebutkan Dalam melaksanakan perubahan kontrak harus memperhatikan sistem kontrak. Ketentuan perpanjangan pelaksanaan kontrak harus dengan dokumen tertulis dari pemberi tugas. Sedangkan pengertian kontrak lump sum disebutkan dalam pasal 30 ayat (2) Keppres nomor 80 tahun 2003 yaitu kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, dengan jumlah harga yang pasti dan tetap, dan semua resiko yang mungkin terjadi dalam proses penyelesaian pekerjaan sepenuhnya ditanggung oleh panyedia barang/jasa. Penjelasan pasal tersebut berbunyi Sistem kontrak ini lebih tepat digunakan untuk pembelian barang dengan contoh jelas, atau untuk jenis pekerjaan borongan yang perhitungan volumenya untuk masing masing unsur/jenis pekerjaan sudah dapat diketahui dengan pasti berdasarkan gambar rencana dan spesifikasi teknisnya. Harga yang mengikat dalam kontrak sistem ini adalah total penawaran harga. [Type text]
Page 6
Jika kita bandingkan definisi kontrak lump sum dalam Keppres 80 dan dalam Perpres 54 terdapat perbedaan atau pergeseran makna sebagai berikut: 1. Dalam Keppres 80/2003 disebutkan “semua resiko yang mungkin terjadi dalam proses penyelesaian pekerjaan sepenuhnya ditanggung oleh panyedia barang/jasa”. Dalam Perpres 54/2010 disebutkan “tidak dibolehkan adanya pekerjaan tambah/kurang”. 2. Dalam Keppres 80/2003 disebutkan “lebih tepat digunakan untuk pembelian barang dengan contoh jelas, atau untuk jenis pekerjaan borongan yang perhitungan volumenya untuk masing masing unsur/jenis pekerjaan sudah dapat diketahui dengan pasti berdasarkan gambar rencana dan spesifikasi teknisnya” . Dalam Perpres 54/2010 hal itu tidak disebutkan. Resiko yang dimaksudkan dalam rumusan pasal 30 ayat (2) Keppres 80/2003 yang berbunyi “semua resiko yang mungkin terjadi dalam proses penyelesaian pekerjaan sepenuhnya ditanggung oleh panyedia barang/jasa” adalah resiko kesalahan penyedia barang/jasa seperti kesalahan dalam memperhitungkan biaya yang menyebabkan penawaran terlalu rendah. Ketentuan tersebut mengamanatkan agar dalam proses lelang para penyedia jasa memperhitungkan dengan cermat seluruh biaya yang akan dituangkan dalam surat penawarannya, karena nilai penawaran itu nantinya akan menjadi nilai kontrak lump sum dan segala resiko yang akan timbul menjadi tanggung jawab penyedia sepenuhnya. Tambahan pekerjaan yang dimintakan oleh PPK dalam rangka memanfaatkan sisa dana yang tersedia tentu tidak boleh digolongkan sebagai resiko penyedia barang/jasa. Karena itu pada masa berlakunya Keppres nomor 80 tahun 2003 perobahan kontrak akibat pekerjaan tambah/kurang demikian masih diperbolehkan. Pendapat Penulis. Ketentuan khusus (lex spesial) tentang perubahan kontrak terdapat dalam bagian kesebelas paragraf pertama berjudul Perubahan Kontrak Pasal 87. Pasal 87 Perpres nomor 54 tahun 2010 tersebut menetapkan bahwa pekerjaan tambah dapat dilaksanakan dengan ketentuan tidak melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari harga yang tercantum dalam kontrak awal dan dana anggaran tersedia. Ketentuan tersebut sama sekali tidak menyinggung jenis kontrak sehingga dapat diartikan bahwa semua jenis kontrak (termasuk kontrak lump sum) tunduk pada ketentuan tersebut. Larangan adanya pekerjaan tambah/kurang yang menyebabkan perubahan kontrak terdapat dalam pasal 51 ayat (1) huruf f Perpres nomor 54 tahun 2010 yang menetapkan ketentuan mengenai kontrak lump sum. Ketentuan pasal 51 tersebut bukan merupakan ketentuan tentang perubahan kontrak. Ketentuan tersebut merupakan bagian dari ketentuan yang menetapkan tentang JENIS KONTRAK (paragraf keenam dengan judul PENETAPAN JENIS KONTRAK. Pasal 50 menetapkan salah satu jenis kontrak adalah kontrak lump sum, dan pasal 51 menyebutkan salah satu ketentuan tentang kontrak lump sum adalah tidak diperbolehkan adanya pekerjaan tambah/kurang. Ketentuan pasal 51 dan pasal 87 tersebut menimbulkan berbedaan penafsiran. Pendapat pertama didukung oleh golongan yang tidak membolehkan adanya pekerjaan tambah/kurang pada pekerjaan konstruksi mengatakan bahwa untuk kontrak pekerjaan konstruksi berupa kontrak lump sum tidak boleh ada pekerjaan tambah/kurang. Dasar hukumnya adalah pasal 51 ayat (1) huruf f. Pendapat pertama ini lebih aman khususnya dari pemeriksaan aparat fungsional. Akan tetapi lebih kaku dan kurang mendukung kelancaran pelaksanaan tugas PPK. Contohnya jika terdapat sisa pagu anggaran pembangunan gedung kantor yang akan dimanfaatkan untuk pekerjaan pembuatan pagar gedung tersebut harus dibuatkan paket pekerjaan baru dan tidak boleh ditambahkan dalam kontrak pekerjaan gedung. Pendapat kedua didukung oleh para PPK yang menginginkan dibolehkannya perubahan kontrak akibat adanya pekerjaan tambah kurang. Mereka memberikan penafsiran bahwa [Type text]
Page 7
boleh saja dilakukan pekerjaan tambah kurang asal tidak lebih dari 10%. Pendapat ini kurang aman terutama dari pertanyaan aparat pemeriksa funsional, tetapi lebih memungkin pelaksanaan anggaran yang lebih lancar. Contohnya jika terdapat sisa pagu anggaran pembangunan gedung kantor yang akan dimanfaatkan untuk pekerjaan pembuatan pagar gedung tersebut dapat langsung dimasukkan kedalam kontrak gedung sebagai pekerjaan tambah/kurang. Menurut hemat penulis, kedua pendapat tersebut di atas sama-sama memiliki alasan yang mengandung kebenaran meskipun tidak ada yang 100% salah dan tidak ada yang 100% benar. Alasan pihak yang menolak pekerjaan tambah/kurang dalam kontrak lump sum dapat dibenarkan karena hal itu secara eksplisit terdapat dalam pasal 51 ayat (1) huruf f. Alasan pihak yang membolehkan pekerjaan tambah/kurang dalam kontrak lump sum dapat pula dibenarkan karena aturan khusus tentang perubahan kontrak adalah pasal 87 tidak menyebutkan jenis kontrak sehingga dapat diterapkan terhadap semua jenis kontrak. Karena itu agar terdapat satu penafsiran yang pasti yang tidak mengandung perdebatan, penempatan pasal-pasal dalam Perpres 54 tahun 2010 memang harus disesuaikan dengan objek hukum yang diatur masing-masing pasal. Dalam hal ini pasal 51 ayat (1) huruf f seharusnya dipindahkan letaknya menjadi bagian dari pasal 87 ayat (2). Dengan demikian pasal 87 ayat (1) dan 2) Perpres nomor 54 tahun 2010 seharusnya berbunyi: Pasal 87 berbunyi: (1) Dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan, dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis yang ditentukan dalam Dokumen Kontrak, PPK bersama penyedia barang/jasa dapat melakukan perubahan kontrak yang meliputi: a. menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang tercantum dalam kontrak; b. menambah dan/atau mengurangi jenis pekerjaan; c. mengubah spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan; atau d. mengubah jadwal pelaksanaan. (2) Pekerjaan tambah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan: a. Tidak melebihi 10 % (sepuluh perseratus) dari harga yang tercantum dalam perjanjian/kotrak awal; b. Tersedianya anggaran; dan c. Bukan merupakan kontrak lump sum. Palembang, Februari 2011
[Type text]
Page 8