KUNCI KEBERHASILAN DALAM MENGAJAR KELAS BIPA: SELAIN PENGUASAAN TATABAHASA, KOSA KATA, DAN MUATAN BUDAYA Ismet Fanany Deakian University Abstrak Makalah ini menyelusuri faktor-faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan seorang pengajar di dalam sebuah kelas BIPA. Barangkali cukup jelas bahwa seorang pengajar tentulah harus menguasai tatabahasa bahan yang diajarkannya, mengerti kosa kata yang terdapat di dalam bahan itu, dan memahami aspek budaya yang melatar belakangi bahan tersebut. Tetapi apakah semua itu cukup untuk menjamin keberhasilan pengajar tersebut untuk melaksanakan kelasnya? Makalah ini akan membicarakan berbagai atribut yang harus dimiliki seorang pengajar yang akan banyak menolongnya untuk mencapai hasil maksimal di dalam kelas BIPA. 1. Pendahuluan Pengajaran bahasa mempunyai sejarah panjang dengan beberapa penjelmaan metodologi, terutama dalam abad ke-20. Sebagian besar dari sejarah panjangnya itu berisi pencarian satu metodologi yang bisa dipakai dalam pengajaran bahasa dalam konteks apa saja. Dari awal sampai pertengahan abad ke20, muncul berbagai usaha untuk mencari metodologi yang manjur – yakni sebuah seperangkat metodologi yang bisa berhasil untuk mengajarkan bahasa apa saja, kepada pelajar apa saja, di mana saja. Pada akhir abad itu sampai sekarang, usaha semacam itu dipandang lebih rumit karena berbagai aspek kebahasaan, sifat dan gaya belajar pelajar, dan sebagainya yang harus diperkirakan dalam mengajar. Walaupun begitu, tidak mungkin memahami isu-isu pengajaran bahasa sekarang ini tanpa memperhatikan sejarah perkembangannya selama beberapa puluh tahun terakhir. 1
Kalau kita lihat sejarah pengajaran bahasa dari tahun 1880an sampai 1980an, berbagai metodologi silih-berganti merajai bidang profesi ini. Dari “Series Method” karya Francois Gouin (1880) menjadi “Direct Method” dari Charles Berlitz (1900). “Audiolingual Method” muncul tahun 1940an diikuti “Cognitive Code Method” tahun 1960an. Tahun 1970an memunculkan berbagai metodologi pengajaran, antara lain “Community Language Learning,” “The Silent Way,” “Suggestopedia,” dan “Total Physical Response” yang menghilang secepat kemunculannya. Pada tahun 1980an muncul pemikiran bahwa yang diperlukan bukanlah satu metodologi yang serbaguna melainkan pendekatan terpadu terhadap pedagogi. Dengan arti kata lain, pada waktu itu muncul kesadaran bahwa pengajaran hendaklah bersifat dinamis dan fleksibel yang bisa dicocokkan dengan keadaan dan konteks yang dihadapi. 2. Pengajaran Bahasa Modern Hubungan yang harmonis di antara metodologi dan praktek dalam kelas merupakan kunci pengajaran yang dinamis. Praktek, kegiatan yang dilakukan di ruang kelas, adalah nama lain dari pedagogi dan menawarkan banyak pilihan. Riset di bidang ini menunjukkan pilihan ini sangat beragam dan guru bisa memilih berdasarkan keadaan dan kelas yang diajarnya. Karena itu metode masih penting sebagai dasar teoretis praktek di kelas yang memungkinkan guru mengetahui dan memenuhi kebutuhan pelajar serta menilai keberhasilan mereka. Pengajaran bahasa modern mengandung beberapa prinsip yang bisa diringkas sebagai berikut: a. Automaticity: beberapa bentuk bahasa yang terbatas jumlahnya harus dipindahkan secara utuh ke dalam proses pemikiran pelajar sehingga bentuk tersebut bisa dipakai secara automatis tanpa berpikir. b. Meaningful learning: pembelajaran yang bermakna bagi pelajar akan memungkinkan mereka mengingat pelajaran dengan hasil yang lebih baik daripada menghafal. Contoh pembelajaran bermakna adalah pendekatan “student centered.” c. Anticipation of reward: pelajar yang tahu mereka akan diberi sesuatu (misalnya hadiah, pujian atau pun keuntungan di masa depan) akan lebih memiliki motivasi belajar. Harus 2
d.
e. f.
g. h. i. j.
k.
l.
ada keuntungan jangka panjang tapi keuntungan jangka pendek juga sangat berguna. Salah satu tugas guru adalah memberi pelajar kesempatan yang menguntungkan supaya kelasnya tetap bermotivasi. Intrinsic motivation: dorongan untuk belajar bahasa harus berasal dari pelajar sendiri. Kalau ingin belajar bahasa, mereka akan belajar terus walaupun tidak ada keuntungan yang nyata. Strategic investment: keberhasilan pelajar dalam bahasa asing umumnya tergantung pada waktu, usaha, dan tenaga mereka sendiri. Language ego: pelajar menguasai sebuah bahasa baru karena dia berhasil menciptakan cara berpikir serta perasaan baru. Language ego ini bisa menimbulkan rasa harus bela diri, takut, peka, dan sebagainya dalam diri pelajar. Self-confidence: keberhasilan dalam bahasa asing tergantung pada perasaan pelajar bahwa mereka mampu berhasil. Percaya diri adalah dasar kelancaran dalam jangka panjang. Risk taking: pelajar harus berani menggunakan dan memahami/menerka bahasa yang belum/tidak diajarkan secara langsung. Connection between language and culture: kebiasaan, nilai, dan budaya harus diajarkan bersamaan dengan bahasa. Native language effect: bahasa pertama sangat berpengaruh karena pelajar menggunakan systems bahasa pertama mereka untuk meramalkan pemakaian dan penggunaan bahasa dalam bahasa yang sedang mereka pelajari. Pengaruh bahasa pertama ini seringkali mengganggu pembelajaran. Interlanguage: pelajar mengalami perkembangan yang sistematis atau semi-sistematis dalama pembelajaran bahasa asing. Munculnya interlanguage ini tergantung pada kemampuan mereka untuk menggunakan pembetulan yang mereka terima. Communicative competence: tujuan pembelajaran bahasa biasanya untuk bisa berkomunikasi dengan penutur asli. Karena itu pelajaran bahasa harus menggunakan bahasa yang wajar menurut pandangan penutur asli dan juga me3
nekankan kelancaran supaya bisa dipakai pelajar dalam keadaan yang terjadi secara spontan. (Brown, 1994) Hal-hal yang dibicarakan Brown di atas erat hubungannya dengan dasar pokok dan tempat berpijak sebuah program bahasa asing. Semuanya dapat dijadikan sebagai prinsip dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan kelas. Namun sifat dan tingkah laku guru juga sangat penting dalam keberhasilan pelajar dan sudah banyak diteliti sehubungan dengan usaha untuk meningkatkan keberhasilan tersebut. Makalah ini akan membicarakan dengan terperinci peranan guru dalam kelas bahasa, peranan apa yang dimainkannya, dan bagaimana ia menyumbang pada keberhasilan (dan kegagalan) pelajar. 3. Interaksi di Kelas Bahasa Sudah banyak sekali riset yang menunjukkan pentingnya interaksi di kelas bahasa. Sebagian besar riset ini mengenai kelakuan dan sumbangan linguistik para guru. Bahasa yang bermakna yang dipakai guru ternyata sangat penting dalam pengajaran/pembelajaran bahasa (Krashen, 1980, 1989) dan mendukung penguasaan bahasa yang dipelajari (Ellis, 1984, 1990). Pelajar harus memperhatikan guru yang seharusnya menjadi contoh bagi kelas untuk mengerti bentuk-bentuk sintaksis (Schmidt, 1994). Sumbangan guru juga memunginkan pelajar mengerti bentuk-bentuk dan konstruksi bahasa tertentu. Guru juga berperan dalam mengawasi dan mendukung pembelajaran mereka. Di samping itu, pelajar dapat memperhatikan pemakaian bahasa yang wajar dengan gurunya sebagai contoh (Boyd dan Maloof, 2000). Umumnya guru menentukan bentuk interaksi di kelas dengan memilih topik dan membentuk atau menciptakan sistem sosial yang mengatur interaksi (Burton, 1981; Cazden, 1988). Situasi kelas semacam itu lebih terpusat pada guru; peranan pengajar dan pelajar tidak seimbang. Ada yang menganggap interaksi yang tidak seimbang ini bukanlah satusatunya pola yang bisa dilakukan di kelas bahasa (Allwright, 1984) Interaksi yang seimbang di antara guru dan pelajar disebut learner centered (Nunan, 1999). Pendudkung pendekatan ini menganggap pengajaran yang learner centered memaksa pelajar bertanggungjawab 4
atas pembelajaran mereka sendiri, sesuatu yang dianggap berguna sekali dalam pembelajaran bahasa asing. Tidak mengherankan kalau sebagaian besar riset menegenai keberhasilan dalam kelas bahasa asing berpusat pada sumbangan guru, baik sumbangan dalam bentuk strategi belajar-mengajar atau pun metodologi yang dipakainya untuk menolong pelajar menggunakan bahasa yang dipelajari dengan aktif dan lebih banyak. Gurulah yang menentukan sebagian besar interaksi di kelas. Hampir selalu mereka yang memilih bahan dan menentukan kapan bahan itu akan diajarkan. Dan tentu saja mereka yang bertangungjawab untuk membuat dan memberikan ujian serta menentukan nilai. Tapi lebih penting lagi, guru mempunyai pengetahuan lebih yang tidak dimiliki pelajar sehingga tanggung jawab utama guru tersebut adalah mengajarkan pengetahuan itu dalam bentuk yang bisa dipakai pelajar. Hal ini menunjukkan bahwa sifat dan tingkah laku guru serta strategi yang dipakainya sangat penting dan harus diteliti secara sungguh-sungguh. Pelajar juga bisa menentukan keberhasilan mereka tapi guru yang harus menciptakan susasana belajar yang mempermudah usaha pelajar dan mendukung mereka dalam pembelajaran. 4. Sifat Guru Dari riset mengenai pengajaran bahasa asing yang memang banyak jumlahnya, tidak mudah menentukan praktek khusus yang mana serta prinsip universal apa yang harus diterapkan dalam kelas. Guru biasanya diharapkan menerjemahkan hasil riset menjadi kelakuan dan tingkah laku pribadi yang akan cocok dalam kelasnya sendiri. Guru sering merasa petunjuk yang diberikan terlalu umum, tidak cocok dengan bahasa yang mereka ajarkan, jenis pelajar yang mereka ajar, atau tidak relevan untuk bahan yang mereka pakai. Sisa makalah ini akan membicarakan beberapa macam interaksi guru yang terbukti berhasil, berdasarkan riset yang ada serta pengalaman guru di berbagai tingkat dan konteks. Pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing (BIPA) di Australia menarik sebagai contoh karena bahasa Indonesia diajarkan di semua tingkat sekolah dan universitas. Mahasiswa bahasa Indonesia di berbagai universitas Australia sering pernah belajar bahasa Indonesia di sekolah sehingga pengalaman pelajar di satu kelas sangat beragam. Ada yang belum pernah belajar bahasa Indonesia samasekali tetapi ada pula 5
yang sudah 4, bahkan 6, tahun belajar di sekolah. Ini berarti banyak pelajar BIPA di Australia mengalami berbagai metode pengajaran dan interaksi di kelas jauh sebelum mereka sampai di perguruan tinggi. Diskusi dalam makalah ini berasal dari pengalaman penulis di Universitas Tasmania dan Deakin University di Australia selama 15 tahun belakangan ini dan merupakan hasil penerapan temuan riset di bidang pengajaran bahasa dalam kelas BIPA di perguruan tinggi. Sungguhpun begitu, usul dan praktek ini mungkin juga relevan dalam konteks mengajar yang lain. Sejak sepuluh tahun yang lalu dan sampai sekarang program bahasa Indonesia di Deakin yang paling besar di Australia dan ditawarkan di dua kampus universitas (Melbourne dan Geelong) di samping jarak jauh. 5. Cara Guru Bergaul Cara guru bergaul sangat mempengaruhi pelajar. Guru yang tidak tertarik, kurang antusias dengan pengajarannya, membaca langsung dari buku teks, dan berbicara secara monoton memberikan kesan yang kuat kepada pelajar bahwa materi yang mereka pelajari tidak penting atau menarik dan tidak perlu terlalu diperhatikan. Guru yang kelihatan marah, tidak sabar atau seperti tidak senang akan membuat pelajar ragu dan takut sehingga tidak mau ikut serta dalam kegiatan kelas. Guru yang kelihatan takut atau tidak percaya diri tidak akan diperhatikan pelajar. Mereka akan merasa bebas untuk tidak menjawab, tidak memperhatikan pelajaran, tidak mempersiapkan diri sebelum kelas, dan tidak akan mematuhi petunjuk dan perintah guru. Mudah mengatakan bahwa seorang guru harus ramah, (kelihatan) senang, dan percaya diri dalam keadaan apa saja, sambil mengajarkan materi apa saja, dan kepada semua pelajar apa pun tingkah laku mereka. Akan tetapi dalam kenyataannya guru sering harus melatih diri untuk bereaksi dengan cara begitu. Tidak ada orang yang secara alami pintar mengajarkan bahasa. Sebenarnya mengajarkan bahasa asing tidak sama dengan mengajarkan pelajaran dengan bahasa ibu para pelajar sebagai bahasa pengantar. Guru bahasa tidak bisa bereaksi seperti guru lain karena pelajar mereka tidak mengerti setiap unsur bahasa yang mereka pelajari dan sering tidak bisa menangkap maknanya. Banyak pelajar tidak mau berbicara di kelas, banyak yang malu atau takut membuka mulut. Banyak yang tidak siap, dan banyak pula yang beranggapan bahwa mempelajari bahasa asing sangat berat. 6
Guru bahasa harus menyadari hal ini dan menciptakan suasana kelas di mana pelajar merasa percaya diri. Kalau mereka salah, mereka harus tahu tidak akan dimarahi atau ditertawakan dan selalu akan menerima dukungan karena mencoba sekalipun mereka gagalatau salah, dan mereka yakin bahwa pengajar akan berusaha membenahi kegagalan dan membetulkan kesalah itu. Cara guru menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga pelajar mau mencoba dan cara guru yang simpatik dan menyenangkan dalam membenahi kegagalan dan membetulkan kesalahan tadi akan meyakinkan pelajar bahwa mereka bisa belajar sebuah bahasa asing dan memang berhasil dalam hal ini. Walaupun banyak guru bahasa asing yang cukup ramah dan terbuka, mereka harus selalu menampakkan sifat ini apa pun yang terjadi. Guru bahasa harus bisa mengetahui cara yang terbaik berurusan dengan setiap pelajar. Ada pelajar yang sangat tidak percaya diri sehinga harus diperlakukan dengan lunak sekali. Ada pula yang suka bergurau atau yang lebih suka seorang guru yang serius tapi ramah. Tidak ada petunjuk yang bisa memberitahu bagaimana cara yang paling baik bergaul dengan setiap pelajar. Ini harus ditentukan sendiri oleh guru dengan pertimbangan kebutuhan pelajar dalam belajar bahasa. 6. Pemakaian Bahasa Walaupun kegiatan kelas berpusat pada pelajar, guru tetap harus menjadi “ahli” yang menentukan dan mengawas pemakaian bahasa di kelas. Guru harus memutuskan bagaimana dia akan berbicara, bentuk interaksi yang akan dilaksanakan dalam kelas, ragam bahasa apa yang akan dipakai, jawaban apa yang diharapkan dari pelajar, aspek mana dari materi yang akan dibicarakan, dan sebagainya. Dalam hal ini guru yang bertanggung jawab apakah pelajar akan menjadi lancar dalam bahasa yang dipelajari atau apakah bahasa yang mereka pelajari baik, benar, wajar, dan sesuai dengan konteks penggunaannya. Guru harus mewajibkan pelajar memakai bahasa yang benar dari segi tata bahasa, struktur, penyusunan frasa, intonasi, ucapan, dan pemakaian kata serta ungkapan yang wajar secara sosial. Ini penting karena setiap bahasa mempunyai dimensi sosial yang berbeda dan bahasa para pelajar tentu berbeda sekali dengan bahasa Indonesia dalam hal ini. Guru harus menyuruh pelajar menggunakan kebiasaan bertutur yang wajar sehubungan dengan umur, jenis kelamin, kedudukan, lokasi, dan tujuan mereka. Sebagai ahli, guru harus memper7
lihatkan contoh pemakaian bahasa yang benar sambil menjamin bahwa bahasa yang digunakan itu tetap sesuai dengan tingkat kemampuan pelajar dan materi yang sudah mereka pelajari. Di samping itu, dan barangkali lebih penting lagi, guru harus memberi pelajar jalan untuk mengembangkan bahasa mereka. Banyak guru beranggapan bahwa kemampuan dan keterampilan pelajar bisa dikembangkan dengan memberi mereka kosakata yang lebih banyak (umumnya kata benda). Dasar pemikiran mereka, dengan mengetahui lebih banyak kata, tentu lebih banyak pula yang bisa dituturkan pelajar. Ini biasanya tidak benar karena sulitnya mengingat banyak kata tanpa konteks dan juga karena pelajar tidak tahu bagaimana kata-kata tertentu dipakai daam bahasa yang mereka pelajari. Maka pelajar akan menggunakn peraturan atau sistem bahasa mereka sebagai pedoman. Kemampuan berbicara para pelajar bisa dikembangkan guru dengan member mereka berbagai contoh untuk mengungkapkan hal yang sama. Pelajar umumnya hanya tahu ungkapan yang ada dalam buku teks. Guru bisa memberi contoh lain yang menggunakan kata yang sama dengan makna yang sama. Dengan begitu, pelajar akan melihat kata yang sudah mereka ketahui bisa dipakai dengan bermacam-macam cara dan tidak akan merasa terlalu berat menghafal kata-kata yang jarang atau tidak bisa dipakai. Cara mengembangkan kemampuan ini bisa dipakai dari hari pertama walaupun pelajar baru mengetahui beberapa ungkapan saja. 7. Pembetulan kesalahan Salah satu kesulitan besar dalam mengajar bahasa asing adalah kenyataan bahwa hampir selalu ada saja yang salah dalam setiap kalimat yang dituturkan pelajar, terutama pada tingkat awal. Bisa saja kata-katanya benar tapi intonasinya salah. Kesalahan tata bahasa juga lazim ditemui. Ucapan mereka mengikuti bahasa ibu mereka. Dalam kelas lain yang bukan kelas bahasa, guru biasanya tidak harus memperhatikan bentuk jawaban pelajar, hanya isinya. Di kelas bahasa, sebaliknya, terutama pada tingkat awal. Guru biasanya tidak terlalu memperhatikan isi jawaban pelajar (asal cocok dengan pertanyaan yang diajukan), tetapi bentuk linguistik dan sosialnya yang penting. Kesalahan pelajar bisa diperbaiki dengan berbagai cara. Yang paling jelek adalah kalau guru mengumumkan kepada pelajar dan kelas bahwa jawabannya salah. Yang paling baik adalah mengulangi ung8
kapan pelajar dengan benar dengan cara yang memberinya penjelasan. Ini memungkinkan pelajar memperbaiki kesaahannya dan guru juga bisa meneruskan diskusi dengan dia atau pelajar lain. Dengan kata lain, fokus pembetulan bukanlah kepada pembuat kesalahan, tetapi kepada kesalahan itu sendiri. Guru sebaiknya memberikan kesan bahwa kesalahan itu memang sering terjadi dan bisa dibuat oleh siapa saja. Salah satu caranya adalah dengan mengajak seluruh kelas mengulangi bentuk yang benar yang diberikan oleh guru. Kalau kesalahan pelajar berupa intonasi atau ucapan, guru bisa mengulangi perkataannya dengan cara yang bisa menunjang percakapan. Ungkapan tertentu sering diulangi dalam percakapan yang alami karena berbgaia alasan, sehinga cara ini memberitahu pelajar tentang kesalahannya tapi juga membiasakannya dengan pola-pola bahasa yang dipelajari. Cara pembetulan ini bisa digunakan di tingkat awal dan juga di tingkat lanjut di mana pelajar mampu membicarakan topik yang rumit dengan bentuk bahasa yang rumit pula. Pentingnya pembetulan kesalahan dengan cara yang baik harus ditekankan. Pelajar tahu mereka akan membuat kesalahan. Malah mereka sering mengeluh karena merasa kesalahan mereka tidak dibetulkan oleh guru. Namun, kalau mereka dibuat malu di depan kelas, mereka sering akan membolos atau berhenti belajar bahasa karena tidak menyenangkan. Di satu pihak, mereka ingin dibetulkan, tetapi mereka ingin pembetulan itu dilakukan dengan cara yang menyenangkan dan tidak memalukan. Dalam membetulkan kesalahan pelajar, guru juga harus menyadari bahwa kesalahan itu ada beberapa macam. Ada kesalahan yang membuat maksud berkomunikasi tidak tercapai. Kalimat yang dibuat, misalnya, tidak sama artinya dengan ide yang ingin disampaikan. Hal ini bisa terjadi karena kesalahan tatabahasa (susunan kata, imbuhan, dan sebagainya). Kesalahan ini harus segera dibetulkan sehingga pelajar dapat menggunakan bentuk kalimat yang sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan. Lalu ada pula kesalahan yang tidak merobah makna kalimat yang ingin disampaikan. Maksud yang ingin disampaikan tercapai. Tetapi ucapannya salah, misalnya. Seringkali ucapan yang kurang benar tidak mengganggu makna. Hanya saja, kalimatnya kedengaran aneh bagi penutur asli. Ini tentu saja dibetulkan, tetapi bisa pelajar tidak bisa menirukan ucapan yang benar dalam satu jam pelajaran, tidak perlu dipaksakan. Ada ucapan yang memerlukan 9
latihan yang agak lama. Pengajar harus memiliki kesabaran untuk menunggu pelajar mencapai tingkat ‘kebenaran ucapan’ yang semestinya. 8. Diskusi Hal-hal yang dibicarakan di atas dimaksudkan sebagai ringkasan beberapa masalah utama dalam pengajaran BIPA dari sudut pandang pengajar waktu berinteraksi dengan pelajar di dalam kelas. Tentu saja ada yang lain. Masalah belajar dari sudut pandang pelajar, misalnya, merupakan masalah yang tidak kalah pentingnya. Di samping itu, materi yang dipakai harus dipikirkan, persiapan guru dan pelajar juga penting, penilaian yang sesuai dengan tujuan belajar harus dikembangkan, dan kewajiban pelajar harus dipertimbangkan. Semua hal tersebut berkaitan dan seorang pengajar sebaiknya mengenal dan memahaminya. Hal itu akan menolongnya dalam merancang sebuah kelas bahasa yang akan lebih mungkin mencapai hasil pengajaran dan pembelajaran secara maksimal. Setiap aspek itu sudah pernah diteliti dan seorang guru hendaklah mengenal hasil riset tersebut dengan baik. Ada peneliti yang berpendapat bahwa tidaklah wajar memfokuskan perhatian pada guru saja karena sikap pelajar juga sangat menentukan dalam keberhasilannya di kelas bahasa (Allwright, 1984; Nunan, 1999; Jones, 2000). Namun, masih ada satu hal yang menyangkut guru yang jarang sekali dibicarakan, yaitu penilaian guru dari segi kemampuannya mengajar. Selama ini ternyata susah sekali menilai kemampuan dan keberhasilan guru, antara lain karena teori mengenai pengajaran yang efektif dan teruji juga jarang terdapat (Kyriakides et al, 2006). Diskusi tentang penilaian guru cenderung berpusat sekitar perubahan struktural di tingkat sekolah atau perubahan administratif tapi tidak menyentuh mutu guru yang diukur melalui pengetahuan dan kemampuan guru (Ingvarson dan Rowe, 2007). Di bidang pengajaran bahasa, guru sering diminta menilai diri mereka atau dinilai sesama guru (Thaine, 2004). Salah satu masalah dalam penilaian guru bahasa adalah bahwa apa yang dianggap praktek mengajar yang baik sanagt subjektif dan susah menentukan apa sebenarnya yang termasuk dalam pengajaran yang baik (Woods, 1996; Roberts, 1998). Keadaan ini sangat tidak cocok dengan dunia kerja moderen secara umum di mana pegawai maupun manejer semakin diharapkan bertanggung jawab atas produktifitas lem10
baga tempat mereka bekerja. Dan konsumen juga semakin menuntut jaminan mutu. Perbedaan pandangan tentang apa yang dianggap pengajaran yang baik dan kegiatan kelas yang berguna harus disadari. Namun, mengingat pentingnya pembelajaran bahasa dalam konteks multikulturalisme yang dianut di berbagai tempat di dunia serta kemunkingan yang semakin besar bahwa pelajar akan bekerja dalam konteks internasional, penilaian guru bahasa merupakan suatu hal yang pantas diperhatikan. Dalam hal ini yang diperlukan adalah transparansi serta keajekan yang setaraf dengan profesi lain. Ini berarti juga diperlukan hubungan yang terbuka dan terus menerus di antara para ahli teori (umumnya pakar di universitas dan perguruan tinggi), institusi pelatihan guru (fakultas dan sekolah pendidikan) dan guru (di semua tingkat sekolah). Tapi hubungan seperti ini tidak bisa satu arah dari atas ke bawah saja; pandangan dari guru sangat penting dalam mengilhami riset dan penemuan baru yang bersifat teoritis. Tentu saja penemuan para ahli bisa dicoba dan dipraktekkan oleh guru dan dalam pelatihan guru sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan tujuan untuk menilai guru bahasa, satu senarai atau daftar sifat/kemampuan guru yang dianggap baik sudah dirangkum oleh Universitas Cambridge yang dimaksudkan untuk menilai guru bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Tentu saja, senarai seperti ini bisa juga dipakai untuk menilai guru bahasa lain dan merupakan contoh yang baik dari hal-hal yang diangap penting dalama menilai guru bahasa. Daftar sifat/kemampuan guru yang baik rangkuman Cambridge tersebut adalah sebagai berikut: Guru seharusnya memperlihatan keterampilan mengajar dengan: 1. Menjalin hubungan hormat di antara pelajar-pengajar dan memberikan motivasi kepada pelajar. 2. Mencocokkan bahasanya dengan kebutuhan dan kemampuan pelajar. 3. Memberikan perintah dan petunjuk yang jelas. 4. Memberikan contoh bahasa yang tepat dan wajar. 5. Memfokuskan kegiatan pada bahasa dan keterampilan baru. 6. Memberikan contoh bahasa baru dengan konteks yang benar dan relevan. 11
7. 8. 9.
Memastikan pelajar memahami materi baru. Menjelaskan ragam bahasa. Memberitahukan dan membetulkan kesalahan lisan pelajar dengan kepekaan dan kewajaran yang memadai. 10. Memberitahukan dan membetulkan kesalahan menulis pelajar dengan kepekaan dan kewajaran yang memadai. 11. Memantau dan menilai kemajuan pelajar. Guru harus mendemonstrasikan kesadaran atas proses belajarmengajar dengan: 12. Mengajar dengan menyadari minat, keperluan, dan latar belakang kelas. 13. Mengatur kelas sesuai dengan keperluan pelajar. 14. Mengatur berbagai kegiatan di kelas, termasuk kegiatan berpasangan, berkelompok, dan seluruh kelas. 15. Memainkan peranan yang sesuai dengan tingkat kemampuan pelajar dan sifat kelas. 16. Mengajar denga cara yang mengembangkan autonomi pelajar serta kesadaran diri mereka. (CELTA Teacher Assessment Criteria, Cambridge University, 2000) 8. Penutup Pengajaran bahasa Indonesia bagi penurut asing tentu memiliki keunikan-keunikan sendiri. Tetapi barangkali persamaannya dengan pengajaran bahasa lain kepada penutur asing juga tidak sedikit. Karena itu, guru BIPA bisa belajar bukan saja dari pengalaman guru BIPA lainnya, tetapi juga dari pengalaman dan hasil penelitian yang dilakukan dalam pengajaran bahasa lainnya. DAFTAR PUSTAKA Allwright, R (1984) “The Importance of Interactions in Classroom Language Learning,” Applied Linguistics, 5 (2): 156-171. Boyd, M dan Maloof, VM (2000) “How Teachers Can Build on Student-Proposed Intertextual Links to Facilitate Talk in the ESL Classroom,” in Hall, JK dan Verplaeste, LS, ed, Second 12
and Foreign Language Learning Through Classroom Interaction, Lawrence Erlbaum Associates, Mahwah, NJ, 163182. Brown, HD (1994) Principles of Language Learning and Teaching, Prentice Hall Regents, Englewoods Cliffs, NJ. Burton, D (1981) “Analyzing Spoken Discourse,” in Coulthard, M dan Montgomery, M, ed, Studies in Discourse Analysis, Routledge, London, 61-81. Cazden, C (1988) Classroom Discourse: The Language of Teaching and Learning, Heinemann, Portsmouth, NH. Ellis, R (1984) Classroom Second Language Development, Pergamon, Oxford. Ellis, R (1990) Instructed Second Language Acquisition, Oxford University Press, Oxford. Ingvarson, L dan Rowe, K (2007) Conceptualising and Evaluating Teacher Quality: Substantive and methodological Issues, Acer Educational Services, Melbourne. Jones, J (2000) “Teaching Grammar in the Modern Foreign Language Classroom,” in Field, K, ed, Issues in Modern Foreign Language Teaching, Routledge/Falmer, London and New York, 158-170. Krashen, S (1980) Second Language Acquisition and Second Language Learning, Pergamon, Oxford. Krashen, S (1989) Language Acquisition and Language Education, Prentice-Hall, New York.
13
Kyriakides, L et al (2006) “Generating Criteria for Evaluating Teacher Effectiveness Through Teacher Effectiveness Research,” Educational Research, 48 (1): 1-20. Nunan, D (1999) Second Language Teaching and Learning, Heinle & Heinle, Boston. Roberts, J (1998) Language Teacher Education, Arnold, London. Schmidt, R (1994) “Deconstructing Consciousness in Search of Useful Definitions for Applied Linguistics,” AILA Review, 11:11-26. Thaine, C (2007) “The Assessment of Second Language Teaching,” ELT Journal, 58 (4): 335-345. Woods, D (1996) Teacher Cognition in Language Teaching: Beliefs, Decision-Making, and Classroom Practice, Cambridge University Press, Cambridge.
14