KUMPULAN PUISI
TIRANI LAUTAN Karya : Al - Willy Paul W.
TAK KEMBALI kita tak ‘kan kembali dalam satu rasa sejauh jalan ini masih banyak mengitari, berliku dan lurus, ditunjungan atau dihaluan, tak henti melihat angkasa didepan mata, seperti tak mau menjauh mengingatkan pesan ditetes air mata, dalam ujung jarimu kutinggalkan semua rinduku, sampai terhempas jauh tiada berbatas, membawaku mati, mati hati, mati jiwa, mati ’tuk menatapmu, berdiri tegap laksana tentara, kaku bagai mayat tak berkedip kilau dimatamu mengiringku, sekelopakpun tak beranjak, semakin jauh sampai hilang dimataku tapi tidak dihati. bahkan jadi perih, kulalui semua sisi laut, gelap malam, gelap hati, jadi semakin sedih, kukembali melihatmu, tiada siapa, mercusuar tak mampu sinari agar dapat kulihat betapa kau bukan tulang rusukku dibawah sana ada ombak bergulung, dan kutitip setetes air mataku kepadamu agar lunas janji kita. tetaplah disana sampai kumati, menunggu putih buih laut, ditempatmu ketika itu.
MENANTI ESOK juga kau malam teramat gelap tutupi jalan keabadian sesungguhnya kau malam butakan kekekalan akan hari esok tiada yang tahu Cuma mimpi, Waktu teramat panjang Menanti sang kadademahe. Mengharap sang lolowuren Untuk menunggumu, Kuhampir mati Tenggelam dalam ketakutan tentang sorga Atau terbuai dalam neraka yang indah Sampai tiba esok Mungkin,kutak disini lagi
SUDAHI Mengulang kaki Menjulang hari Bersulang saksi, tak hakiki Sisi itu menanti kudatangi Namun sepi Menanti yang tak pasti Kudekati, Seperti ada arti Kusangsi tentang ini kutak pernah mengerti Tentang kasih Kekasihku kah yang menjerit, saat kusakit Terulang lagi sisi sepi, yang pernah kulalui Datangi panggilan suci Pastikan semua berakhir Terkunci, Dan tak akan terulang lagi
SAMPAIKAN SEMUANYA Kepada tanah yang tak pernah dikotori, Jangan pernah mau, kalau nanti ku mati, mati hati, bukan mati bathin. Semua yang menangis hanyalah ilusi, tangisi yang tak mungkin ditangisi. Teramat banyak perih, karna mu sang datu, tak pernah mengapit saat terjatuh. Kau sang penentu, tahu semua yang terjadi. Selamatkan, ……Jangan biarkan terus begini, berpikir tentang sesuap nasi. Sungguh tragis,………. tanah yang kupijaki ini diambil alih. Bukan oleh pemilik negr’i tapi oleh sekelumit pengabdi yang setiap hari ciumi kaki. Berdiri,………bersaksi,……….berdiri, bersaksi….. Tak henti menghakimi, tapi tak sudi dikhianati. Semua tlah kau ambil kini, lalu dimana kami kan pergi, sambil menanti semua janji. Dulu Gumansalangi terusir oleh ibu tiri, dan hampir dikebiri, lalu,… dia pergi karna sedih. Terbang bersama Dumalombang, kesini ke tanahmu kini. Hari-hari sepi diatas sahendalumang, dingin, sendiri,sepi, tak ada peri berdiri. Sampai ditemui dalam mimpi, oleh sang putri Sangiang konda asa yang terlahir dari sebutir telur. Disini ku tak lagi bersedih, karna berpikir aku kan berdiri dipuncak, ditempat sang Aditinggi Berlayar di Taghaloang bersama Sang Mawendo Dan berharap mengitari semua kepunyaanku.
PADAMU BATAHA Terlanjur sudah kau dibaptis,……. Don Jugov Sint Santiagho Nama yang mebuatmu tak berarti dinegeri ini Percuma kau bertempur Mengarung lautan Sangihe, Menggadaikan jasa demi nyawa bangsa Terlanjur semua kau korbankan, Sapelah, Carlos Diamanti, Bobato,Jogugu, Kapiten Laut, Ampuang,Tumatimbang, kulano,kasili, ungke dan momo. Cucu - cucu mu. Apa mungkin kau hanyalah korban dari pengkhianatan Sasebohe dan Bohanggimang Yang mengulur waktu kematianmu ditiang gantungan Kau, tak segagah Korengkeng di Tondano Tak lebih dari Lengkong Wuaya Cuma hati yang kau tinggalkan Bukan kepala di paghulu Karna kau hanyalah nama dibawah dua pohon Bantik Terpahat di tempat duduk para Jendral baru Indonesia Yang tak pernah tahu Santiagho.
CINTA SEBIKA SAGU Yang putih, lalu menguning dan kemudian membusuk Putih membawah cinta Kuning membawah petaka Lalu dibuang Hanya ini kepunyaanku, Yang lain bukan punyaku Cengkih,pala habis kugadai Ikan dilaut juga kini bukan punyaku Aku tak punya perahu, Tapi mereka punya pajeko Dulu aku punya kora-kora dipinjam portugis ke pantai Tondano Biarkanlah,…. Karna aku masih punya yang lain, Aku masih punya bininta, Aku masih punya konteng Aku masih punya tumbilung Aku masih punya pamo Aku masih punya pelang Biarkanlah,…. Aku masih punya banyak pohon sagu Aku masih punya Awu, Karangetang, Mahengetang dan Duang Maaf jangan kau ambil lagi.
BANTIK Petir menghantam, gelap mencekam, Awan hitam tutupi negr’i Wulaeng disemenanjung Maselihe, Istana Emas sang Raja,terancam, Tinggal memilih, Mau atau tak mau Rela atau tak rela Kain putih harus bernoda. Oleh noda teramat hitam. Kar’na kekejian sang timade, Sang putri menanggung malu, Tapi cinta berpihak pada sangiang Lalu dia pergi kemuara hatinya di Biru’ Untuk bahagia selamanya. Raja tak mau tahu, Sampai datang bencana. Wulaengpun tenggelam Lautan dipenuhi tangisan, sampai keujung Lipang hamba – hamba tercerai, menunggu penghakiman, atau takut pada hukuman berhamburan terbawah arus lautan sangihe dengan tangisan mereka tak mau pulang kenegrinya. Lalu berdiam dalam kepedihan, Di Meras,Molas, Buha, Bengkol, Kini mereka punya Upung yang suci bertahta di Gunung Bantik hidup baru telah dimulai dari Watusaiki sampai ke Mongondow dalam Janji,……. Menjauhlah dari kami Sjam Syach Alam.
BENDERA KECIL DITANGAN SEORANG ANAK KECIL Aku datang digapura istana, Karna kudengar dari pertokoan Disana banyak pejabat, Sudah kuhitung,Ini,…hari ke 39, Kudatangi gapura Istana Seperti kemarin,Tak satupun yang menyapaku Kupikir dalam hati,…… Kalau cuma senyum, apala artinya. Itu terlalu murah Dibawah pohon itu lagi Kududuk sambil merubah sedikit cara dudukku Lalu ada yang lewat dengan mobil mewah Mobil itu berhenti,…. Dari mobil keluar sang ibu, Kulitnya kuning lansat Dia bertanya padaku Siapa namamu ? Tapi aku diam tak mau jawab Dalam hati aku bicara, Aku mau diberi harapan, Bukan memberi nama Sambil melihat jam ditangan Sang ibu bicara Nak,…….. disini kamu jangan buang sampah sembarangan. sambil memberikan aku 2 buah permen relaxa yang sudah lengket dengan pembungkus. Lalu dia pergi Hari ke – 40, aku nekad datang lagi, mungkin hari yang terakhir, Berharap bukan senyum yang kuterima Aku tak duduk lagi di bawah pohon itu, Karna kupikir makin kecil harapan Kini aku duduk di trotoar seberang jalan Yang berpapasan langsung dengan gapura istana Aku baru makan satu onde-onde, Makanya aku mulai lapar. Tanpa sengaja kukeluarkan sebuah bendera kecil berwarna kuning dengan gambar yang ku tak tahu artinya Kuayun – ayunkan di antara lututku Tiba – tiba muncul mobil mewah Bernomor 01 dan berdasi Langsung berhenti didepanku Tanpa banyak Tanya Sang bapak yang hitam manis, meberikan aku uang seratus ribu Lalu pergi tanpa bicara Aku mulai berpikir Apa yang membedakan aku dengan hari-hari kemarin
Baju masih baju yang sama Rambut - masih rambut yang sama Aku tak mampu mengerti Yang kupikir adalah Besok aku pasti datang lagi di depan Istana. Keesokan harinya aku datang Tapi tak dapat apa-apa Aku berpikir lagi, apa yang kurang hari ini. Jawabnya dalam hati, mungkin karna bendera Pulanglah sang anak kecil untuk mencari bendera kecil Tapi tak ada lagi bendera kecil Karena dia tak punya rumah Dalam perjalanan ke Istana dia mengambil Bendera kecil lain dipinggir jalan berwarna merah dengan gambar yang tak dia mengerti. Kira-kira Hari keenam pulu lima hari aku disitu Masih seperti dulu, tapi tak ada lagi yang memberi, Aku masih tak mengerti Aku pulang, duapuluh langkah dari gerbang istana, Aku pergi berlari kecil Dan seorang bapak berbadan kekar, bercelana pendek memanggilku Aku pergi menghadap dengan bendera merah masih ditangan kananku Bapak itu memberiku sebuah buku, tapi aku belum pandai membaca Istrinya yang cantik juga tersenyum,sambil berkat Ambil nak,……biar tamba pinter. Aku mencoba membuka sampulnya, kutemukan uang dua ratus ribu rupiah Sesudah itu kutak tahu lagi, Ketika kusadar aku ada dirumah sang pejabat Rumah yang menurut aku terlalu sederhana. Kini aku tinggal dirumah itu Sampai nanti, sampai batas waktu aku jadi babu.