nasionol : Peron Biosistimatika; Purwokerto, 12 Desember 2009
KULTUR TUNAS PUCUK ANGGREK ENDEMIK TERANCAM PUNAH Cymbidium harlinahianum J.B. Comb & R.E Nas. Sofi Mursidawati , Elizabeth Handini , Eka Martha Della Rahayu , dan Yupi Isnaini,t:!; Pusat Konservasi Tumbuhan , Kebun Raya Bogor, LlPI [;~ JI. Ir. H. Juanda 13 Bogor, email:
[email protected] Abstract The history of Cymbidium hartinahianum, a terrestrial Indonesian endemic orchid was dated to 1976 when Rusdi Nasution and J.B. Comber was first discovered and described it as a new The rare endemic orchid C. hartinahianum was successfully rediscovered by Bogor Botanic expedition team in 2004, after more than a decade of searching . Human activities are a . lIificcmtthreat to the remnant habitat which destruction could occur at any time. To date the future of orchid depends on successful axenic culture in the laboratory. Shoot tip culture of this orchid has carried out in Bogor Botanic Garden using Murashige & Skoog (MS) and Knudson C (KC) basal supplemented with organic compound, 5 mgtl Benzyl Amino purine (BAP) and 3 mgtl ZA New shoots were formed after 3 weeks , where overall optimum growth occur on KC . lXImpared to MS medium . New shoots and roots have formed in KC medium without hormone and compound , proven the effectiveness of this medium to induce the growth of the species . of 5 mg/I BAP on to the medium has doubled the number of new leaves. The highest number new shoot (5) and leaves (15) was given by KC supplemented with 5 mgtl BAP.
_ words: Cymbidium hartinahianum, invitro culture, conservation
Ptndahuluan
_
Cymbidium hartinahianum J. B. Comb & R. E Nas. adalah jenis anggrek terrestrial endemik yang hanya ditemukan di Sumatera Utara. Jenis ini ditemukan oleh Drs. Rusd i Nasution dan dinyatakan sebagai jenis baru dalam dunia peranggrekan. Bersama J.B. Comber pada tahun 1977, anggrek ini dipublikasikan untuk pertama kal inya dalam terbitan klkal maupun internasional , diantaranya Bulletin Kebun Raya (Comber & Nasution , 1977), Orchid Digest (Comber & Nasution , 1978) dan The genus Cymbidium (Du Puy & Cribb, 1988). Cymbidium hartinahianum hidup di hutan dataran tingg i yang dalam istilah lokal lienal sebagai blang (Broken forest). Keberadaan C. hartinahianum setelah ditemukan untuk pertama kalinya , sempat dleIusuri kembali oleh Tim Eksplorasi Kebun Raya Bogor yang mengunjungi lokasi tersebut jaIClC2lJC2 kali , namun tidak membuahkan hasil . Terakhir kali, spesies ini kembali ditemukan tim eksplorasi yang dipimpin Ir. Rismita Sari pada tahun 2004 di sebuah tempat nggian 1800 m dpl. Kondisi habitat C. hartinahianum saat itu sangat memprihatinkan , masih beruntung , tim eksplorasi kali ini sempat mengumpulkan biji anggrek tersebut membawanya ke Kebun Raya Bogor untuk diperbanyak. Kegiatan perbanyakan C. hartinahianum menjadi sangat penting dilakukan 'ngat kondisi habitatnya yang sudah tidak lagi mendukung kehidupan anggrek ini. secara massal di laboratorium merupakan langkah pertama untuk ""I1"I~matkan keberadaan anggrek ini di alam . Namun , sejauh ini belum ditemukan si media yang optimal untuk perbanyakan dan pertumbuhan anggrek langka ini, perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut. Dalam studi ini digunakan 2 jenis media dengan penambahan zat pengatur tumbuh (ZPT) , yaitu Benzil Amino Purin (BAP) dan (ZA), dengan atau tanpa penambahan bahan organik. Pemilihan media dasar dan 1rM~)ntr!:l~i' 4ZPT dalam percobaan ini didasari hasil percobaan yang telah dilakukan oleh et a/. (1997 & 2002) dan pengalaman penelitian sebelumnya. Nayak et a/. (1997 & menggunakan media dasar MS dengan berbagai konsentrasi ZPT untuk kultur Cymbidium aloifolium (L.) SW. Sedangkan media dasar Knudson C dalam itian ini digunakan sebagai pembanding karena media ini sudah digunakan untuk MIV~:II"~"nh~han biji dan pertumbuhan anggrek C. hartinahianum ini sebelumnya (Irawati et ini bertujuan untuk mengetahui media kultur yang optimal untuk perkembangan Cymbidium hartinahianum sehingga dapat diperbanyak
471
Makalah Oral Topik ; Konservasi Sumberdaya Hayati
Cara Kerj a 3. 1. Persiapan media Media yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua macam media yaitu Murashige & Skoog (MS) dan Knudson C (KC), dengan atau tanpa penambal1 bahan organik air kelapa dan ekstrak taoge , serta dengan atau tanpa penambahan 5 mg/l Benzil Amino Purin (BAP) dan 3 mg/l Zeatin (ZA) seperti pada Tabel 1. Semua jenis media perlakuan diukur pHnya dan diatur menjadi 5,6 dengan HCI atau KOH. Sebanyak 8 gil agar-agar ditambahkan ke setiap media sebagai lalu media dimasak sampai agar-agarnya larut, kemudian dibagi ke dalam botol-botol dengan volume 20 ml/botol. Selanjutnya media disterilisasi dengan autoklaf selama menit pada suhu 121°C.
3.2. Persiapan bahan tanam dan penanaman ekspJan Bahan tanam yang digunakan sebagai sumber eksplan untuk penel itian ini adalah kultu r C. harlinahianum hasil semai bij i secara in vitro di Laboratorium Kultur Jaringan Kebun Raya Bogor, dengan kode semai 4 .X.04 Tanaman induknya berasal dari Sumatera Utara dengan nomor registrasi Ri 726. Tanaman induknya sendiri tidak mampu bertahan hidup di Kebun Raya Cibodas, meskipun letaknya sudah mendekati ketinggian di habitat aslinya. Ku ltur C. harlinahianum dipisahkan dari daunnya, lalu tunas pucuknya ditanam pad a media perlakuan (C1-C12) . Penelitian dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas 12 taraf perlakuan. Setiap perlakuan diulang 13 kali dan tiap ulangan terdiri atas 2 eksplan . Pengamatan dilakukan setiap minggu , dengan parameter yag diamali meliputi waktu munculnya tunas, jumlah eksplan bertunas, jumlah tunas, jumlah daun, dan jumlah akar. Pengolahan data dilakukan menggunakan prog ram Excel dan SPSS 13.
Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tunas mulai muncul pada minggu ke-3 setelah tanam pada kedua kelompok media dasar (MS dan KC) dengan maupun tanpa penambahan bahan organik dan zat pengatur tumbuh yang dujikan . Pertumbuhan tunas tersebut terlihi pada media dasar MS (C1) , serta media MS + 5 mg/l BAP (C3) dan MS + bahan organik +3 mg/l ZA" (C6) . Sedangkan pada media dasar KC , tunas mulai muncul pada hampir semua media perlakuan , kecual i pad a media KC + bahan organik + 3 mg/l ZA (C12). Jumlah eksplan bertunas sampai akhir pengamatan (minggu ke-10) hanya sekitar 25% dengan jumlah tunas yang terbentuk paling banyak 5 tunas. Jumlah tunas terbanyak ini seluruhnya terdapat pada media dengan bahan dasar KC , yaitu C7 (Kontrol) dan C9 (KC + 5 mgtl BAP) (Gambar 1). Walaupun kedua media tersebut sama-sama menghasilkan hingga 5 tunas, namun pertumbuhan tunasnya di media C9 terjadi lebih awal (minggu ke-8) , sedangkan pada media C7 baru terlihat pad a minggu ke-10 . Sementara itu , pad a media KC dengan penambahan bahan organik saja (Ca),3 mg/l ZA saja (C11) maupun kombinasi keduanya (C10 dan C12) menunjukkan jumlah tunas yang lebih rendah dibandingkan media kontrol KC (C7) . Hasil ini juga terlihat pada Gambar 2, meskipun jumlah tunas yang muncul antar ulangan sangat beragam . Jumlah tunas yang
472
·
nasional: Peran Biosistimatika; Purwokerto 12 Desember 2009 I
pada media KC saja mulai dari tidak ada pertumbuhan hingga mencapai 5 blaSl'eKsplan. Sedangkan pada media dasar MS, jumlah tunas yang terbentuk jauh lebih dibandingkan pad a media KC. Pada media tersebut, jumlah tunas maksimal hanya 1 dan ini hanya terlihat pada media kontrol MS, serta media MS dengan penambahan dan kombinasi bahan organik dengan ZA (Gambar 1dan 2).
S
;a
~
.1
i,r---------
E
Me dia !)"'flakua"
Gambar 1. Jumlah tunas maksimal yang terbentuk pada setiap media perlakuan 10 minggu setelah tanam (10 MST) .*
.• "
,:* ; .* "
*," ::*
",*"
H
~!
.c. •..................,. ............., .. ,.c ...•.....•...c.....
,~;'If' "
oil<- '"
* ,'
*;
..,,;
* '1
'*
"*' ,0
*:.
~~ _.~; ..••
Gambar 2. Jumlah tunas maksimal yang terbentuk pada setiap ulangan di berbagai media perlakuan Tunas-tunas yang tumbuh pada minggu ke-3 tersebut mulai memunculkan daun 2 minggu kemudian (minggu ke-5) . Jumlah daun terbanyak yang terbentuk di akhir pengamatan (minggu ke-10) juga terdapat pad a media C9 (KC + 5 mg/I SAP) , dengan jumlah maksimal 15 daun atau 2 kali lebih banyak daripada daun yang tumbuh di media kontrol KC (Gambar 3). Penambahan bahan organik bersamaan dengan 5 mg/I SAP (C10) lernyata tidak lebih baik seperti yang diharapkan. Jumlah daun yang terbentuk pada media C10 tidak sebanyak pad a media (C9) yang tanpa bahan organik. Hasil serupa juga terlihat pada media KC dengan penambahan 3 mg/I ZA (C11) maupun kombinasinya dengan bahan organik (C12). Pada kedua media tersebut, jumlah daun yang terbentuk masih lebih rendah dari kontrol (C7). Sementara pad a media dengan bahan dasar MS, daun hanya muncul pada media kontrol (C1) dan media MS + 5 mg/I SAP, itu pun jumlahnya masih jauh lebih rendah dibandingkan jumlah daun pada media dengan bahan dasar KC . Meskipun hasil ini lerlihat sangat bervariasi antar ulangan pad a setiap perlakuan, namun gambaran umumnya lelap memperlihatkan kecenderungan bahwa jumlah daun yang terbentuk pada media dengan bahan dasar KC jauh lebih banyak daripada di media dengan bahan dasar MS (Gambar 4) . 15
'
to ' ..c: .!!!
~s
./
Cl
C2
C3
C4
Me d ia ;ped..)k uan
Gambar 3. Jumlah daun maksimal yang terbentuk pada setiap media perlakuan
473
Makala Or al Topik : Konservasi Sumberdaya Hayati
","
."
~tI
* .
'
0>0'/
~.:
':':: ,.,:
M ud ia p."!'lflakl.IOi\I",
Gambar 4. Jumlah daun maksimal yang terbentuk pad a setiap ulangan di berbagai media perlakuan Hasil penelitian ini juga menunjukkan pertumbuhan akar yang jauh lebih baik pada semua media perlakuan yang berbahan dasar KC (Gam bar 5). Sedangkan pada media dasar MS, pertumbuhan akar hanya terdapat pada media kontrol (C1) saja. Jumlah akar maksimal terdapat pad a media dasar KC (C7) yaitu sebanyak 3 akar, diikuti oleh jumlah akar di media tersebut dengan penambahan bahan organik (C8) atau SAP (C9). Pertumbuhan akar ini juga terlihat sangat berrvariasi antar ulangannya, dimana jumlah akar yang munru antara 0 sampai 3 akar (Gambar 6).
~~
1l
25 2 1.5
t===~====--===
[, ......................................................................................
1 0 .5
I\Ftedi.rl PerJa k,!.Jan
Gambar 5. Jumlah akar maksimal yang terbentuk pada setiap media perlakuan 10 MST
Media pet-Iakuan
Gambar 6. Jumlah akar maksimal yang terbentuk pada setiap ulangan di berbagai media perlakuan 10 MST Hasil penelitian ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa pertumbuhan daun , maupun akar C. hartinahianum pada media dengan bahan dasar KC masih lebih dibandingkan pada media dasar MS yang lebih kaya nutrisi. Hal ini mengindikasikan C. hartinahianum lebih menyukai media kultur yang agak miskin hara, seperti C. var. misericors yang tumbuh baik pada media dasar MS , tetapi dengan konsentras setengahnya (Chang dan Chang , 2000). Hasil penelusuran informasi mengenai aslinya di alam , C. hartinahianum yang merupakan anggrek endemik dan langka ini m ditemukan di padang ilalang yang tidak terlalu subur (Sari, komunikasi pribadi). Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat keberhasilan pembentukan tunas keseluruhan baru mencapai 25%, sedangkan pada media KC + 5 mg/l SAP dihasilkan 53,8% eksplan bertunas. Sementara Nayak et a/. (1997) berhasil m tunas Cymbidium aloifolium sampai 83,6% mengunakan media dasar MS + 22 ~M (setara dengan 4,95 mg/l) , sedangkan Chang dan Chang (2000) berhasil pembentukan tunas ensifolium sebanyak 55% pad a media 1/2MS + 0,17 !-1M TDZ + !-1M 2iP + 33 !-1M Adenin + 1,5 !-1M NAA. Hasil penelitian ini lebih mendekati hasil
c.
474
nor nasional : Peran Biosistimatika; Purwokerto 12 Desember 2009 I
Chang dan Chang (2000) yang sama-sama menggunakan anggrek terestrial sebagai bahan penelitian, meskipun komposisi media yang digunakan dalam penelitian ini lebih mengacu jlda hasil penelitian Nayak et a/. (1997 dan 2002). Penambahan 5 mg/l BAP pada media KC mampu menginduksi pembentukan tunas terbanyak, tetapi penambahan kombinasinya dengan bahan organik justru menghambat pertumbuhan tunas, daun, maupun akar. Jumlah tunas dan daun terbanyak terlihat pada media dasar KC + 5 mg/l BAP. Pada media tersebut, tunas yang terbentuk dapat mencapai 5tunas dengan maksimal 15 daun. Hasil penelitian ini mirip dengan yang dilaporkan oleh Nayak et a/. (1997) pada Cymbidium a/oifolium. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa jumlah tu nas yang terbentuk pada media dasar MS dengan penam bahan 22 \JM BAP dapat mencapai rata-rata 5,2 tunasl eksplan. Kultur C. hartinahianum pada media MS dengan penambahan 3 mg/l ZA (C5) hanya menumbuhkan 1 tunas tanpa akar dan daun . Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini bertolak belakang dengan penelitin Nayak et a/. (2002) pada kultur Cymbidium a/oifolium. Dalam penelitian tersebut G. a/oifolium dapat tumbuh maksimal pada media MS dengan penambahan 3 mg II zeatin . Sementara itu , hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan 3 mg/l ZA secara tunggal (C11) maupun kombinasinya dengan bahan oganik (C12) pada media dasar KC ternyata tidak menghasilkan tunas dengan jumlah yang lebih baik daripada kontrol KC saja. Media KC yang digunakan dalam percobaan ini memiliki unsur makro dan mikro yang lebih sedikit dibandingkan dengan media MS . Cymbidium hartinahianum dan G.a/oifolium dikelompokan dalam marga yang sama. Namun demikian menurut Dong , et al. (2008) ternyata kebutuhan media kultur, hormon maupun bahan tambahan lain serta kondisi lingkungan kul turnya sangat berbeda antara anggrek Cymbidium terrestrial dan epifit. Selain itu , anggrek Cymbidium terestrial termasuk C. hartinahianum dikenal masih sangat sulit untuk diperbanyak secara in vitro baik dan biji maupun kultur jaringan (Chang & Chang, 2000). Cymbidium hartinahianum dapat tumbuh lebih baik pada media yang miskin hara. Hal tersebut sesuai de[1gan habitat alaminya di alam yang lembab, tetapi tanahnya kurang subur. Hal ini tergambar jelas dari komposisi floristiknya yang didominasi oleh Imperata cylindrica , Themeda villosa dan jenis paku-pakuan Gleichenia yang toleran terhadap tanah yang tidak subur (Du Puy & Cribb,
1988). Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan Cymbidium hartinahianum pada media KC lebih baik daripada di media MS yang lebih kaya . Hal ini berarti C. hartinahianum lebih membutuhkan nutrisi dengan jumlah minimal sesuai dengan kondisi habitatnya di alam. Penambahan BAP pada media dasar KC mampu menginduksi pembentukan tunas dan daun terbanyak. Namun demikian , jumlah tunas yang dihasilkan baru mencapai maksimal 5 tunas, sehingga untuk perbanyakan massal masih diperlukan kajian lebih lanj ut.
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Ibu Suprih, Ibu Sutini, Irma, dan Mbak Rita yang telah membantu teknis kegiatan di laboratorium .
Daftar Pustaka Chang C & Chang WC (2000) Micropropagation of Cymbidium ensifolium var. misericors through callus-derived rhizomes. In Vitro Cell. Dev. Biol.-Plant. 36 : 517-520. Comber,JB & Nasution RE (1977) Cymbidium hartinahianum Spec Nov. Bulletin Kebun Raya 3: 1-3. Lembaga Biologi Nasional - LlPI Bogor Indonesia. Comber,JB & Nasution RE (1978) A New Indonesian Cymbidium: Cymbidium hartinahianum. Orchid Digest Vol. 42-2 : 55-57 , Dong F, Liu HX, Jin H, Luo YB (2008) Symbiosis between fungi and the hybrid Cymbidium and its mycorrhizal microstructures. For. Stud. China 10(1): 41-44. DuPuy D dan Cribb PJ (1988) The genus Cymbidium . Timber Press, Portland . lrawati, Mursidawati S, Handini E (2006) Seed germination of rediscovered endangered nd Orch id Cymbidium hartinahianum. Poster presented in the 2 International Symposium on Diversity and Conservation of Asian Orch ids. Tsukuba Botanic Garden .
475
Makalah Oral Topi k : Konservasi Sumberdaya Hayati
Nayak NR, Rath SP, Patnaik S (1997) In vitro propagation of three epiphytic orchids, Cymbidium aloifolium (L.) Sw., Dendrobium aphyl/um (Roxb.) Fisch. and Dendrobium moschatum (Such-Ham) Sw. through thidiazuron-induced high frequency shoot proliferation. Scientia Horticulturae 71 : 243-250. Nayak NR, Sahoo S, Patnaik S, Rath SP (2002) Establishment of thin cross section (TCS) culture method for rapid micropropagation of Cymbidium aloifolium (L.) Sw. and Dendrobium nobile Lindl. (Orchidaceae) . Scientia Horticulturae 94: 107-116.
476