Kultur Jaringan Tanaman
PENDAHULUAN
Irfan Suliansyah PS. Agroekoteknologi
Bab 1
Tipe Kultur Jaringan Tanaman
Bab 2
Desain dan Peralatan Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman
Bab 3
Preparasi dan Komposisi Media Nutrisi
Bab 4
Preparasi Eksplan
Bab 5
Propagasi In Vitro
Bab 6
Keragaman Genetik In Vitro
Bab 7
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Morfogenesis
Bab 8
Teknik Aseptik dan Penggunaan Antibiotika
Bab 9
Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan
Bab 10
Kultur Kalus dan Keragaman Somaklonal
Bab 11
Produksi Tanaman Bebas Virus
Bab 12
Produksi Tanaman Haploid Melalui Kultur Anter
Bab 13
Kultur Embrio
Bab 14
Teknik Sitologi untuk Kultur Jaringan
Bab 15
Metabolit Sekunder
Bab 16
Konservasi Plasmanutfah Secara In Vitro
Bab 17
Transfer Dari Media Nutrisi Ke Tanah (Aklimatisasi)
Terminologi Kultur Jaringan Kultur Jaringan = tissue culture tissue = jaringan culture = budidaya Budidaya tanaman di dalam wadah gelas
Terminologi Kultur Jaringan “… kultur aseptik protoplas, sel,
jaringan atau organ tanaman pada kondisi yang memungkinkan sel untuk bermultiplikasi atau beregenerasi membentuk organ atau tanaman “
Terminologi Kultur Jaringan suatu metode mengisolasi bagian dari tanaman, seperti protoplasma sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ serta menumbuhkannya dalam media yang sesuai dan kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap
Kultur jaringan tanaman (plant tissue culture) atau seringkali disebut juga dengan kultur in vitro adalah terminologi yang digunakan untuk menggambarkan semua prosedur budidaya tanaman secara aseptik. Karena pertumbuhannya memerlukan tempat steril dengan wadah yang biasanya tembus cahaya, maka disebut juga kultur in vitro yang berarti kultur di dalam gelas.
Karakteristik Kultur Jaringan • Terbebas dari segala mikroorganisme • Lingkungan tumbuh optimal
• Pola perkembangan normal tanaman dapat
dimodifikasi
• Manipulasi jaringan untuk perbaikan tanaman
Totipotensi Pelaksanaan teknik kultur jaringan berdasarkan teori sel yang dikemukakan oleh Schleiden dan Schwan yaitu bahwa sel mempunyai kemampuan totipotensi.
Totipotensi
Totipotensi adalah kemampuan suatu sel untuk tumbuh menjadi tanaman baru apabila diletakkan pada lingkungan tumbuh yang sesuai
Setiap sel hidup memiliki cetak biru yang lengkap dan memiliki potensi untuk berkembang menjadi tanaman utuh.
Totipotensi …. Sel berdiferensiasi untuk membentuk jaringan dan organ Tidak seperti sel hewan, sel tanaman dapat berdediferensiasi dan kemudian berredediferensiasi untuk membentuk tipe sel yang berbeda
Pengertian Kultur Jaringan usaha untuk mengisolasi sel, sekelompok sel, atau organ tanaman, menumbuhkannya dalam keadaan aseptik pada lingkungan yang sesuai sehingga dapat menghasilkan tanaman baru yang dapat ditanam pada media non-aseptik.
Teknik kultur jaringan kemudian berkembang menjadi sarana penelitian di bidang fisiologi tanaman dan aspek-aspek biokimia tanaman.
Dewasa ini teknik kultur jaringan telah mengalami banyak perkembangan dan penyempurnaan, teknik kultur jaringan telah digunakan dalam industri tanaman, seperti tanaman tanpa biji, tanaman dengan pertumbuhan yang lambat atau tanaman hibrida.
Mengapa Kultur Jaringan?
Manfaat Kultur Jaringan
dapat menghasilkan propagul tanaman dalam jumlah banyak dalam waktu singkat dapat menghasilkan tanaman yang sama dengan induknya. dapat menghasilkan tanaman yang bebas hama dan penyakit (sistemik dan non sistemik) serta virus. dapat memperbanyak tanaman langka dalam waktu singkat
dapat dilakukan sepanjang tahun dapat menciptakan tanaman baru yang toleran terhadap kekeringan, kadar garam tinggi, dan kondisi yang kurang menguntungkan dapat memperoleh bibit unggul dengan cara fusi protoplas dapat menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang berguna dalam bidang farmasi
Aplikasi Kultur Jaringan Salah satu aspek yang menarik dari penerapan kultur jaringan dan dewasa ini sangat pesat perkembangannya adalah mikropropagasi/ perbanyakan mikro (micropropagation). Teknik mikropropagasi telah banyak digunakan untuk memperbanyak secara cepat berbagai jenis tanaman dalam skala industri. Teknik kultur jaringan terbukti ampuh membantu para pemulia tanaman untuk menghasilkan tanaman dengan karakter yang sudah diperbaiki. Pada mulanya tujuan dan manfaat utama teknik kultur jaringan tanaman adalah untuk perbanyakan tanaman. Pada perkembangannya, teknik kultur jaringan juga dimanfaatkan untuk tujuan lain, seperti: polinasi in vitro, penyelamatan embrio (transplantasi embrio), produksi metabolit sekunder, konservasi plasma nutfah, fusi protoplas, keragaman somaklonal, produksi tanaman haploid, dan transformasi tanaman.
Teknologi Perbanyakan Tanaman Mikropropagasi Kalus, organogenesis
Embriogenesis Kultur meristem Grafting In vitro Kultur Anter/microspore
Direct
Teknologi Pemuliaan Tanaman Keragaman somaklonal Seleksi In vitro
Mutagenesis Kultur haploid (1N) Fusi protopla Hibrida somatik
Teknologi Gen
DNA rerkombinan = GMO Pemuliaan Klasik Mutagenesis Rekayasa Genetika …. Bergantung pada regenerasi tanaman
Marker assisted breeding Diagnostik molekuler
Penelitian fisiologi
Aplikasi In Vitro Lainnya...
Biositesis
Bioreaktor
Prospek Kultur Jaringan Tanaman Kultur jaringan dapat dikatagorikan merupakan teknik atau metode baru dalam perbanyakan tanaman.
Tanaman pertama yang pertama kali diperbanyak secara besarbesaran melalui teknik ini adalah anggrek. Menyusul tanaman hias dan tanaman hortikultura lainnya. Sedangkan yang terakhir adalah perbanyakan tanaman kehutanan.
Kecepatan perbanyakan melalui kultur jaringan sangatlah mengagumkan. Morel pada tahun 1964 memproyeksikan sebanyak empat juta tanaman anggrek cymbidium per tahun dari satu pucuk yang sehat.
Murashige memproyeksikan 700.000 tanaman asparagus per tahun. Kultur jaringan pisang di Taiwan memproyeksikan kira-kira sejuta tanaman per tahun. Angka-angka tersebut merupakan jumlah yang tidak mungkin dicapai dengan metode konvensional.
Prospek Kultur Jaringan Tanaman Pennel (1987) memberikan formulasi untuk menghitung potensi jumlah planlet yang dapat dihasilkan secara teoritis dalam satu periode (satu tahun) dengan rumus sebagai berikut:
Y = A n x B x F 1 x F2 x F3 Y
= jumlah plantlet yang dapat dihasilkan
A = jumlah tunas yang dihasilkan pada setiap subkultur (faktor multiplikasi) n
= jumlah subkultur pada periode tertentu (per tahun)
B = jumlah eksplan awal yang tumbuh F1 = persentase keberhasilan kultur pada tahap multiplikasi F2 = persentase keberhasilan kultur pada tahap perakaran. F3 = persentase keberhasilan aklimatisasi
Tipe Kultur Jaringan Tanaman No Tipe Kultur A Kultur Embrio B
C
D E
-
Penggunaan Memperpendek siklus pemuliaan
-
Menghindari inkompatibilitas Mengeliminasi patogen
-
Mengkloning massal tanaman
-
Mengoleksi plasmanutfah
-
Kriopreservasi (penyimpanan jangka panjang)
-
Mengkloning tanaman
-
Menghasilkan varian-varian tanaman
-
Mengeliminasi patogen
-
Sumber protoplas
-
Memproduksi metabolit sekunder
Kultur Anter
-
Menghasilkan homozigot
Kultur Protoplas
-
Menginduksi mutasi Hibridisasi somatik
-
Transformasi
Kultur Meristem
Kultur Kalus
Manipulasi yang Dapat Dilakukan pada Kultur Jaringan Tanaman TANAMAN
KRIOPRESERVASI
TRIPLOID
EKSPLAN
MULTIPLIKASI
KALUS
EMBRIOGENESIS
HAPLOID
METABOLIT SEKUNDER SUSPENSI SEL
TRANSFORMASI
PROTOPLAS
FUSI PROTOPLAS
KULTIVAR BARU
Jenis-jenis / Tipe Kultur Jaringan
KULTUR EMBRIO a.
merupakan isolasi dan pertumbuhan aseptik embrio zigotik matur dan immatur yang bertujuan mendapatkan tanaman yang viabel. b. Mengatasi aborsi embrio karena hambatan inkompatibilitas c. Mengatasi dormansi biji dan self-sterility dari biji (mendapatkan tanaman yang viabel setelah persilangan sendiri) d. Penyelamatan embrio pada hibridisasi jarak jauh (interspecific or intergeneric) dimana perkembangan endospermanya kurang baik e. Mempersingkat siklus pemuliaan/ Mempercepat siklus pemuliaan melalui pengkulturan in vitro bagi embrio yang lambat berkembang
KULTUR MERISTEM a. Merupakan isolasi dan pertumbuhan aseptik ujung tunas (shoot-tips) atau merisem secara in
vitro
b. Produksi plasma nutfah bebas virus c. Produksi massal genotipe yg diinginkan d. Memfasilitasi pertukaran plasmanutfah antar lokasi e. Kriopreservasi (cold storage) atau konservasi in vitro plasmanutfah
Penggunaan Kultur Meristem untuk Propagasi Klon Secara Massal (Pierik, 1987)
KULTUR KALUS a. Merupakan induksi dan pertumbuhan aseptik kalus (sekelompok sel yang tidak terorganisir) secara in vitro b. Menghasilkan varian genetik baru yang berguna (variasi somaklonal) c. Penyaringan sel-sel secara in vitro bagi tipe-tipe yang memiliki karakter berguna d. Memproduksi produk kimia yang bermanfaat (metabolit sekunder) e. Regenerasi melalui embriogenesis somatik atau organogenesis
Pembentukan PLB dan regenerasi planlet pada tiap tahap perkembangan kalus Oncidium ‘Gower Ramsey’. (A) Kalus berbentuk granular dan proembriogenesis. (B) Regenerasi kalus terlihat lebih kompak dan hijau (C) Formasi PLB dan pemunculan tunas setelah 2 bulan dikulturkan. (D) Tunas setelah 4 bulan. (E) Regenerasi setalah 6 bulan. (F) Propagasi massal tanaman dari kalus setelah 6 bulan pembentukan PLB (bar = 1 mm pada A–E; 1 cm pada F).
Fang-Yi Jheng, Yi-Yin Do, Yuh-Waan Liauh, Jen-Ping Chung, Pung-Ling Huang (2006)
KULTUR ANTER a. Merupakan isolasi steril dan perkembangan kultur kalus haploid dari polen secara in vitro. b. Kultur anther adalah kultur yang diinisiasi dari seluruh kepala sari. Produksi tanaman haploid c. Produksi galu-galur diploid homozigot melalui penggandaan kromosom, dg demikian mereduksi waktu yg dibutuhkan untuk memproduksi galur inbred d. Mengungkap mutasi atau fenotipe resesif
e. Seleksi bentuk-bentuk mutan Teknik untuk mendapatkan tanaman homozigot adalah melalui penanaman anther tanaman F 1 setelah dilakukan persilangan dari tetua tanaman yang kita kehendaki. Kalus haploid yasng terbentuk kemudian diseleksi. Tanaman homozigot diperoleh melalui aplikasi kolkisin (penggandaan kromosom).
Tahapan kultur antter gandum durum. (A) Anter dari lapang pada media induksi 3 minggu setelah kutur menunjukkan bakal embrio dan kalus. (B) Anter lain yang berasal dari greenhouse. (C) Berbagai anter dari lapang. (D) Kalus dari anter green house. (E) Kalus dari anter asal lapang. (F) Massa tunas dan akar dari anter asal greenhouse. (G) Planlet albino. (H) Planlet sehat pada media regenerasi MS 8 minggu setelah kultur awal. (I) Tanaman kimera
KULTUR OVARI a. Produksi tanaman haploid
b. Eksplan yg biasa digunakan untuk inisiasi kultur embriogenik somatik c. Mengatasi aborsi embrio hibrida pada tahap perkembangan awal karena hambatan inkompatibilitas d. Fertilisasi in vitro untuk memproduksi hibrida yang berkerabat jauh mencegah inkompatibilitas stigma dan stilus yg menghambat perkecambahan polen dan pertumbuhan tabung polen
Regenerasi Tanaman A. chinense melalui kultur ovari: (a) bunga; (b) potongan ovari; (c) organogenesis setelah 4 minggu; (d) inisiasi tunas setelah 5 minggu; (e) pembentukan tunas setelah 8 minggu; (f) (g) pebentukan bulblet pada bebera tunas; (h) pembungaan in vitro .
KULTUR PROTOPLASMA a. adalah isolasi steril protoplas (sel-sel muda yang telah dinding selnya dilepas dengan menggunakan enzim) yang bertujuan untuk memodifikasi genetik sel b. Biasanya kultur protoplasma ditujukan untuk hibridisasi somatik (fusi protoplasma intraspesifik atau interspesifik) c. Injeksi DNA langsung (mikroinjeksi dan microprojectile bombardment)
Regenerasi Tanaman Hasil Fusi a, b – mikrokalus pada media SW11 , c – kalus pada media Shepard D, d – kalus pada media padat Shepard D, e – regenerasi kalus
KULTUR SUSPENSI SEL
adalah kultur sel bebas pada media cair dengan shaker (pengocokan). Pada umumnya kultur suspensi diinisiasi dari kalus
EmbrIogenesis dan regenerasi planlet dari kultur sus pensi tanaman jahe: (A) Kultur suspensi embriogenik somatik. (B) Embrio somatik matang. (C) Rediferensiasi embrio somatik. (D) Regenerasi planlet
Kultur Organ - Organ culture
Setiap organ dapat digunakan sebagai eksplan untuk menginisiasi kultur
Merupakan kultur yang diinisiasi dari organ tanaman seperti : ujung pucuk, tunas aksilar, ujung akar, hipokotil dan embrio.
Kultur Biji - Seed culture Meningkatkan efisiensi perkecambahan biji yang sulit berkecambah secara in vivo Mempercepat perkecambahan melalui aplikasi zat pengatur tumbuh (hormon) Produksi bibit yg bebas H & P untuk eksplan atau kultur meristem
Perkecambahan biji dan pertumbuhan tanaman setelah kriopreservasi. (A) Protokorm memanjang (P) Bar: 1.0 mm. (B) Detail protokorm yang memanjang (P) terlihat primodia daun (L) dan bakal akar (R). Bar: 0.4 mm. (C) Perkembangan bibit. (D) Pertumuhan tanaman di greenhouse.
Polinasi In vitro - In vitro pollination
Produksi hibrida yang sulit diproduksi melalui penyelamatan embrio
Metode studi zigot. Skema yang menunjukkan fertilisasi dan embriogenesis pada bunga
Embriogenesis Somatik - Somatic embryogenesis Lintasan utama regenerasi Multiplikasi massal Produksi biji sintetik Sumber material bagi protoplas embriogenik Dapat dipakai secara mekanisasi dan atau untuk bioreaktor
Embriogenesis somatik dan regenerasi planlet
Organogenesis Salah satu lintasan regenerasi Mutiplikasi/perbanyakan secara massal Konservasi plasmanutfah secara in vitro
Meningkatkan tunas aksilar
Mikropropagasi
Penggunaan Kultur Kalus untuk Seleksi Tanaman Toleran terhadap Herbisida
Tanaman Sehat yang Berbunga Kultur Anter IInduksi dan Pertumbuhan Kalus Haploid Penebaran Sel pada Medium yang Mengandung Herbisida Kalus Toleran Terseleksi
Regenerasi Tanaman dari Sel-Sel Toleran
Tanaman Haploid Diploidisasi dengan Perlakuan Kolkisin Analisis Genetik melalui Persilangan Bahan Pemuliaan untuk Varietas Tahan Herbisida
Mutagenesis in vitro Induksi poliploidi Introduksi keragaman genetik
Pembungaan in vitro
Untuk tujuan tertentu, seperti tanaman hias
Sambung mikro Micrografting Mengatasi inkompatibilitas penyambungan Produksi massal bibit berkualitas Memungkinkan tanaman yang sulit berakar untuk bertunas Mengembangkan tanaman bebas virus
Mikropropagasi kultivar cherimoya melalui teknik micrografting
Transformasi Genetik Genetic transformation Many different explants can be used, depending on the plant species and its favored method of regeneration as well as the method of transformation Introduction of foreign DNA to generate novel (and typically desirable) genetic combinations Used to study the function of genes
Tunas Aksilar
Tunas Adventif
Pengumbian in vitro
Pembungaan in vitro
Perkembangan Ovari
Rizogenesis
Grafting in vitro
Bulbil development
Embriogenesis Somatik pada Kapas
Aplikasi in vitro lainnya...
Biosintesis
Bioreaktor
History of plant tissue culture • • • •
TOTİPOTENSİ Cell theory SCHLEIDEN 1838 in plants, SCHWANN 1839 in plants and animals Among the lower plants any cell can be separated from the plant and continue to grow. Thus, entire plants may consist of cells whose capacity for independent life can be clearly demonstrated.
Haberland (1902 ) Pertama kali melakukan kultur aseptik pada larutan nutrisi
White (1934) Pertama kali kultur akar
Penanaman in vitro dilakukan secara simultan oleh WHITE yang bekerja dengan tembakau serta GAUTHERET dan NOBECOURT bekerja dengan wortel pada 1939.
Gautheret Pertama kali kultur kalus
Skoog (1954)
Murashige •
Murashige ve Skoog medium
Maheswari (1960) Pertama kultur anter
Nitsch (1974)
Kultur microspore
Cocking (1960) Kultur protoplas
•
Morel (1960) : mikropropagasi Melchers (1978) : fusi protoplas “Pomato”
Nickell Produksi metabolit sekunder
*
*
laminar flows
Beberapa Istilah dalam Kultur Jaringan
Eksplan adalah potongan jaringan atau organ yang diisolasi dari tanaman yang digunakan untuk inisiasi suatu kultur in vitro. Plantlet adalah tanaman lengkap hasil regenerasi dari kultur jaringan
Sub kultur adalah pemindahan sel, jaringan atau organ dari media lama ke media baru yang sama atau berbeda. Akuades adalah air hasil destilasi yang hanya mengandung H2O
Aklimatisasi adalah proses penyesuaian peralihan lingkungan heterotrof menjadi autotrof pada plantlet yang diperoleh melalui teknik kultur jaringan. Aseptik adalah bebas dari semua mikroorganisme, virus, bakteri, jamur, mikoplasma dan sebagainya.
Browning adalah pencoklatan eksplan yang juga dikeluarkan ke media karena persenyawaan polifenol yang teroksidasi pada permukaan luka. Regenerasi adalah proses pembentukan organ-organ dari suatu eksplan yang digunakan dalam kultur in vitro.
Induksi adalah inisiasi dari suatu proses khusus yang menghasilkan perkembangan dari suatu organ. In vitro adalah dalam media gelas. Kultur in vitro adalah usaha menumbuhkan bagian-bagian tanaman dalam wadah yang tembus cahaya pada media buatan dan dengan lingkungan fisik yang terkendali serta aseptik.
Kultur Jaringan Tanaman
DESAIN & FASILITAS LABORATORIUM Irfan Suliansyah PS. Agroekoteknologi
Laboratorium Kultur Jaringan
Agar pelaksanaan kultur jaringan dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan laboratorium dengan segala fasilitasnya.
Di dalam laboratorium harus tersedia alatalat kerja, sarana pendukung tercip-tanya kondisi aseptik terkendali, serta fasilitas dasar, seperti air, listrik, dan bahan bakar.
Laboratorium Kultur Jaringan
Laboratorium kultur jaringan sebaiknya mempunyai pembagian ruang yang diatur sedemikian rupa sehingga tiap kegiatan terpisah satu dengan lainnya, tetapi juga saling berhubungan.
Penataan ruangan dalam laboratorium dikaitkan dengan langkah-langkah dalam prosedur kultur jaringan dan alat-alat yang dibutuhkan.
Laboratorium Kultur Jaringan
Kegiatan kultur jaringan di dalam laboratorium dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Persiapan; baik persiapan media, maupun bahan tanaman. 2. Isolasi dan penanaman. 3. Inkubasi dan penyimpanan kultur.
Laboratorium Kultur Jaringan
Penempatan ruang kerja di Laboratorium Kultur Jaringan (ruang persiapan, ruang isolasi dan penanaman, serta ruang inkubasi) perlu memperhatikan alur kerja. Untuk menjaga agar kontaminasi dapat ditekan sekecil mungkin
Karena setiap kegiatan harus terpisah satu sama lain, dengan peralatan tersendiri, maka akan dibutuhkan beberapa ruangan yang terpisah.
Desain Laboratorium Kultur Jaringan
Ruang Persiapan
Ruang persiapan dipergunakan untuk mempersiapkan bahan tanaman dan media tanam, untuk mencuci alat laboratorium, serta tempat menyimpan peralatan gelas.
Dalam ruang ini diperlukan meja untuk meletakkan alat (seperti timbangan) dan untuk melakukan berbagai persiapan lainnya serta lemari untuk penyimpanan bahan kimia.
Peralatan yang diperlukan 1. Meja kerja 2. pH-meter 3. Kulkas 4. Freezer 5. Hot-plate-magnetic stirer 6. Jerigen berkran tempat aquades 7. Timbangan kasar (akurat hingga 0.01 g) 8. Oven mikrowave 9. De-ionizer 10. Rak pengering 11. Peralat/bahan penutup wadah kultur
Ruang peralatan gelas 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Gelas piala Labu ukur Erlenmeyer Gelas ukur Petridish Tabung reaksi Botol kultur
Ruang cuci 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Autoklaf Bak cuci Rak-rak Ala cuci otomatis Bahan-bahan pembersih (Bayclin dll) Deterjen Alat-alat pembersih (Gundar, spon dll) 8. Kompor Gas
Ruang Isolasi dan Penanama 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
LAFC AC Mikroskop Bunsen Kertas saring Petri dish Gunting, pisau, pinset Peralatan sterilisasi kering
Sentrifus kecepatan rendah Sodium hipoklorit Tissue Alkohol Spiritus
Ruang penyimpan bahan-bahan kimia 1. Lemari 2. Kulkas 3. Timbangan analitik 0,01 g
Ruang lain-lain 1. Ruang khusus untuk analisis biokimia dan histologi 2. Bengkel perbaikan, pemeliharaan dan studio foto
Laminar Air-Flow Cabinet
Laminar air-flow cabinet merupakan alat memfalisitasi kegiatan sterilisasi bahan (eksplan dan penanaman ekeplan). Bentuknya LAFC adalah kotak empat persegi panjang yang dilengkapi dengan alat penyaring udara (filter), blower, lampu UV dan lampu neon Udara dari luar LAFC dihisap masuk ke dalam. Sebelum udara yang dihisap keluar kembali di dalam kotak laminar udara mengalami minimal 2 kali penyaringan.
Laminar Air-Flow Cabinet
Laminar Air-Flow Cabinet
Sebagai alat penyaringan digunakan filter HEPA. Saringan tersebut mampu menyaring mikroorganisme kontaminan yang terbawa oleh udara. Blower berfungsi mencegah udara kotor masuk dari bagian depan laminar, sehingga bagian dalam akan tetap steril.
Lampu UV berfungsi untuk sterilisasi ruang dalam laminar. Bila tidak digunakan sebaiknya LAFC ditutup plastik agar tidak berdebu. Untuk perawat LAFC sebaiknya diservis 1 x setahun. Filter yang digunakan harus dibersih secara reguler dan diganti.
Sterilisasi Media Nutrisi Sterisasi media umumnya dilakukan dengan autoklaf. Beberapa bahan kimia heat labile disterilisasi dengan penyeringan (filtrasi). Sterilisasi juga dapat dilakukan dengan iradiasi.
Bahan atau alat yang telah disterilisasi, seperti media nutrisi, peralatan gelas dan alat deseksi diletakkan pada kotak yang sebelumnya telah disterilisasi dengan alkohol 96 %. Otoklaf merupakan alat sterilisasi yang menggunakan uap air pada tekanan dan suhu tinggi. Hampir bisa dipastikan seluruh mikroorganisme akan mati setelah melalui sterilisasi otoklaf.
Jenis otoklaf 1. Otoklaf yang sumber panasnya berasal dari listrik. Harganya jauh lebih mahal karena dilengkapi dengan pengatur waktu untuk sterilisasi. 2. Otoklaf yang sumber panasnya api. Harganya lebih murah dari otoklaf listrik.
Jenis otoklaf
Sterilisasi bergantung pada waktu, suhu dan volume objek yang akan disterilisasi. Keuntungan pemakaian otoklaf: 1. Cepat 2. Mudah 3. Mampu mematikan virus
Kerugian penggunaan otoklaf : 1. pH media akan berubah 2. Komponen kimia menjadi berubah 3. Atau hilang aktivitas kimianya
Senyawa kimia yang mudah rusak karena otoklaf :
Sukrosa Kolkisin Zeatin Giberelin Vitamin B1 Ekstrak tanaman Enzim Media yang mengandung bahan ini sebaiknya disterilisasi dengan filter agar tidak rusak.
Sterilisasi Filter
Proses sterilisasi filter dilakukan dengan melewatkan melalui membran filter yang akan menyaring seluruh partikel dan mikroorganisme yang lebih besar dari diameter pori-pori filter. Keuntungan sterilisasi filter adalah senyawa-senyawa yang heat labile (thermolabile) tidak akan mengalami kerusakan. Kerugian sterilisasi filter adalah senyawa-senyawa kimia tertentu teradsorpsi pada filter, partikel virus akan lolos pori-pori filter, prosedurnya amat mahal dan tidak semudah otoklaf. Apabila menggunakan sterilisasi filter disarankan untuk menggunakan filter cellolose acetate atau cellulose nitrate yang berdiameter 0.22 µm. Filter diletakkan pada ujung alat penyuntik dan larutan dari alat penyuntik dikeluarkan melalui filter.
Sterilisasi Filter
Sterilisasi bahan tanaman
Bahan tanaman (eksplan) yang bebas kontaminasi merupakan langkah awal dalam keberhasilan kultur jaringan . Tingkat kontaminasi permukaan bahan tanaman tergantung pada : (a) jenis tanaman; (b) bagian yang dipergunakan; (c) morfologi permukaan; (d) lingkungan tumbuh; (e) musim; (f) umur tanaman; dan (g) kondisi tanaman
Bahan sterilan dan lama perendaman Bahan Sterilan
Kosentrasi
Lama Perendaman
Kalsium hipoklorid
1 – 10 %
5 – 30 menit
Natrium hipoklorif
1–2%
7 – 15 menit
Hidrogen Peroksida
3 – 10 %
5 – 15 menit
-
1 – 4 jam
1%
5 – 30 menit
0.1 – 0.2 %
10 – 20 menit
Betadine
10%
5 – 10 menit
Benlate
2 g/L
20 – 30 menit
50 mg
½ - 1 jam
70%
½ - 1 jam
Gas klorin Perak Nitrat Merkuri klorid
Antibiotik Alkohol
Kultur Jaringan Tanaman
PREPARASI & KOMPOSISI MEDIA
Irfan Suliansyah PS. Agroekoteknologi
Pendahuluan
Tingkat keberhasilan kultur sel atau kultur jaringan tanaman sangat ditentukan oleh media yang digunakan Media nutrisi yang digunakan dalam kultur jaringan biasanya terdiri atas garam-garam inorganik, sumber karbon (karbohidrat), viamin, zat pengatur tumbuh Komponen-komponen lain seringkali ditambahkan untuk tujuan tertentu seperti senyawa-senyawa nitrogen organik, senyawa-senyawa asam trikarbosilat dan ekstrak tanaman. Nutrisi penting pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Tanaman tidak akan mampu hidup tanpa ada air dan nutrisi mineral, in vivo, maupun in vitro tidak sepenuhnya autotrof.
Faktor fisik juga penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman in vitro dan in vivo. Faktor-faktor fisik tersebut memiliki efek terhadap proses-proses fisiologis, seperti pengambilan air dan mineral, evapotranspirasi, fotosintesis, respirasi dan pertumbuhan
Faktor penting lainnya yang menentukan pertumbuhan in vitro adalah kelompok senyawa organik yang termasuk zat pengatur tumbuh. Senyawa kimia tersebut hanya dibutuhkan dalam konsentrasi rendah. Zat pengatur tumbuh seperti, sitokinin dan auksin mengatur perkembangan organ jaringan yang ditumbuhkan secara in vitro. Zat pengatur tumbuh juga sangat penting untuk perkembangan struktur perkembangan embrio dalam kultur suspensi dan kultur kalus. Pengetahuan mengenai kebutuhan media dan kebutuhan metabolisme dalam kultur jaringan sangatlah berharga, bukan hanya untuk menentukan tipe media yang akan digunakan, tetapi juga bagaimana mempersiapkan media tersebut.
Komposisi Media
Dewasa ini sangat banyak variasi media yang disajikan dalam berbagai literatur.
Pemilihan media ditentukan oleh tujuan teknologi kultur jaringan yang akan dilakukan dan species atau tipe tanaman yang hendak dikulturkan.
Senyawa Kimia
Konsentrasi (mg/liter) B5 N6
MS Nutrisi Makro KNO3 NH4NO3 MgSO4.7H2O KH2PO4 NaH2PO4.H2O CaCl22H2O (NH4)2.SO4 Nutrisi Mikro H3BO3 MnSo4.4H2O ZnSo4.7 H2O NaMoO4.2H2O CuSO4.5H2O CoCl 2.6H2O Kl FeSo2.7H2O Disodium EDTA EDTA sodium ferric acid Glycine Sukrosa Vitamin Thiamine hydrocloride Pyridoxine hydrocloride Nicitinic acid Myo-inositol PH
1900 1650 370 170
2500
2830
250
185 400
150 150 134
440
6.2 15.6 8.6 0.25 0.025 0.025 0.83 27.8 37.3
NN 950 720 185 68 166
166 463
3 10 2 0.25 0.025 0.025 0.75
1.6 3.3 1.5 0.25 0.025
10 19 10 0.25 0.025 0.025
0.8 27.8 37.3
40
100 5
40 30 x 10
3
20 x 10 0.5 0.5 0.5 0.5 100
3
50 x 10 10 1 1 100 5.5
3
20 x 10 1 0.5 0.5 5.8
3
10 1 1 100 5.5
Komposisi garam-garam MS (MurashigeSkoong, 1962) atau LS (Linsmaier dan Skoog, 1965) sering kali digunakan untuk tujuan regenerasi tanaman. Media B5 (Gamborg, et al., 1968) serta Nitsch dan Nitsch, banyak digunakan untuk spesies tanaman yang berbeda dan untuk tujuan kultur yang berbeda. Media nutrisi untuk kultur jaringan terdiri atas elemen-elemen inorganik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Dalam media juga terkandung karbon atau sumber energi, vitamin, zat pengatur tumbuh, dan suplemen organik bila diperlukan
Garam-Garam Inorganik
Garam-garam mineral yang digunakan sebagai komponen kultur jaringan tanaman jumlahnya relatif sedikit. Umumnya media mengandung paling sedikit 30mM nitrogen dan kalium inorganik. Amonium dapat digunakan dalam jumlah 2-20mM, akan tetapi pengaruh amonium dapat sangat bervariasi dari menghambat hingga sangat penting bergantung pada jaringan yang digunakan dan tujuan Penggunaan garam-garam omonium dari malat atau sitrat memungkinkan penggunaan amonium sebagai sumber nitrogen tunggal. Kalsium, sulfat, fosfor dan magnesium dengan konsentrasi 1 hingga 3 mM sudah mencukupi.
Sumber Karbon
Sukrosa dan glukosa merupakan sumber gula standar. Fruktosa kadang-kadang juga digunakan. Gula-gula yang lain digunakan hanya untuk tujuan khusus. Banyak media yang juga mengandung minositol, yang berperan penting sebagai komponen metabolisme dinding sel.
Vitamin Tanaman mampu mensintesis seluruh vitamin. Sel-sel dalam kultur membutuhkan thiamine Thiamine mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sel atau jaringan yang dikulturkan
Zat Pengatur Tumbuh
Empat kelas senyawa mempunyai aktivitas pengaturan pertumbuhan adalah auksin, sitikinin, geiberelin, dan asam abisik. Senyawa-senyawa indole dan NAA digunakan untuk menginduksi pembentukan akar. Pengunaan auksin sering kali dikombinasikan dengan pengunaan sitokinin. Sitokinin yang digunakan merupakan turunan dari adenine (amininopurine). Sitokinin berperan penting dalam diferensiasi dan regenerasi tanaman Giberelin digunakan dalam regenerasi tanaman dari meristem dan setelah terbentuknya primordia tunas. Asam absisik digunakan dalam embriogenesis somatik
Senyawa
Singkatan
BM
Preparasi
Benzyladenine
BA
225.2
Larutkan dalam 2-5 ml 0.5 N HCL,
Isopentenyl adenine
2-iP
203.2
panaskan, sesuaikan volumenya,
Kinetin
k
215
Zeatin
Z
219
2,4-Dichlorophenoxyacetic acid
2,4-D
221
2,4- Dichlorophenoxyacetic acid
2,4,5-T
255.5
bertahap tambahkan air, panaskan,
2,4,5-Trychlorophenoxyacetic acid
NAA
186.2
sesuaikan volume , sesuaikan pH(5).
Naphthaleneacetic acid
ABA
203.2
Indoleacetic acid
IAA
175.2
Gibberelin acid
GA
364.4
Larutkan dalam 2-5 ml 0.2 M KoH,
Picloram
P
241.2
sesuaikan volume, sesuaikan pH(5).s
Absisic acid
ABA
Sitokinin
sesuaikan pH(5).
Auksin
Larutkan dalam 2-5 ml etanol secara
ZPT lainnya
264
Asam Amino
Penambahan asam amino dapat meningkakan pertumbuhan dan memfasilitasi deferensiasi ke arah regenerasi tanaman Sel-sel tanaman dapat tumbuh hanya dengan menambahkan L-glutamine sebagai satu-satunya nitrogen. Media khusus yang menggantikan seluruh nitrogen dengan asam amino cukup efektif untuk tujuan tertentu.
Senyawa Organik Komplek
Berbagai suplemen organik yang dapat ditambahkan dalam media. Senyawa organik yang banyak digunakan adalah hydroyzates dan air kelapa(coconut milk). Penggunaan protein hydroyzates seperti Kamine Tipe A lebih disukai karena mengandung asam amino. Hidrolisis asam dapat merusak beberapa asam amino.
Bahan Pemadat
Agar merupakan polisakarida dengan bobot molekul yang tinggi. Agar digunakan sebagai bahan pemadat media (jeli). Agar merupakan deviratif rumput laut. Agar Difco Bacto merupakan agar yang seringkali digunakan untuk penelitian kultur jaringan yang memerlukan tingkat ketelitian yang tinggi, misalnya untuk kultur kalus atau kultur protoplas. Kosentrasi agar Difco Bacto yang sering kali digunakan adalah 0.6 hingga 1.0%. Untuk tujuan jaringan mikropropagasi biasanya digunakan agar komersial yang harganya relatif murah. Perlu diperhatikan bahwa agar juga mengandung kontaminan organik dan inorganik seperti calsium, barium, sulfat, nitrogen, besi dan lainnya. Jenis agar lain yang dapat digunakan adalah biogel P200, Gelrite, dan Alginat.
Bahan-Bahan Media Kultur
Garam-garam mineral, smber karbon, vitamin, zat pengatur tumbuh, dan senyawa organik harus selalu tersedia. Senyawa yang tidak tahan panas (heat labile), seperti giberelin, tiamin, L-glutamin, dan asam indolasetate baiknya disentralisasi dengan filter. Asam amino yang digunakan hanyaL-isomer. Salah satu senyawa nitrogen organik yng sangat efektif ada L-glutamin yang juga dapat digunakan sebagai sumber nitrogen tunggal. Protein hydrolyzate yang tersedia ada dalam bentuk asam dan enzimatik. Dalam bentuk enzimatik lebih disukai karena tidak ada asam amino yang rusak selama proses hidrolisis enzimatik
Air kelapa dari buah kelapa muda atau tua keduanya dapat digunakan. Bila hendak disimpan, air kelapa harus dipanaskan 80 derajat sambil diaduk, disaring, dan disimpan dalam keadaan beku. Terdapat beberapa senyawa yang dapat digunakan untuk memroduksi gel. Agar standar dapat disubstitusi dengan senyawa lain, seperti Gelrite. Air yang digunakan harus didemineralisasi atau destilasi hingga cukup murni.
Pemilihan media yang akan digunakan seringkali menyulitkan bagi para pemula yang hanya sedikit mempunyai pengalaman dalam penelitian kultur jaringan. Media yang mana yang akan digunakan bila tidak ada literatur yang menyokongnya? De Fossard(1976) memberikan alternatif pemecahan dengan melakukan penelitian yang diberi nama spektrum-luas (broadspectrum). De Fossard membagi empat kelompok komponenyang penting dalam media nutrisi yaitu: gula, garam-garam makro, auksin, dan sitokinin.
Untuk mengetahui beberapa banyak kebutuhan senyawa tersebut di atas,maka keempat komponen media nutrisis tersebut dipilah menjadi tiga berdasarkan tingkat konsentrasinnya( rendah, sedang, tinggi). a.Gula (sakarosa) : 1 – 2 - 4% b.Garam makro(MS) : 1/4 - ½ - 1 c.Auksin(misalnya IBA : 0.01 - 0.5 - 5.0 mg/L d.Sitokinin(misanya BAP: 0.01 - 0.5 - 5.0 mg/L
Masing-masing komponen dari 4 kelas komponen yang diuji terdiri atas tiga konsentrasi sehingga akan diperoleh 81 kombinasi untuk mendapatkan konsentrasi yang optimal. Selanjutnya sangatlah perlu untuk untuk melakukan percobaan yang lebih kritis. Sebagai contoh, dari hasil penelitian pertama diperoleh bahwa 0.5 mg/L merupakan konsentrasi auksin yang optimal. Untuk memperoleh konsentrasi auksin yang lebih kritis lagi, maka perlu diuji dalam selang konsentrasi yang lebih kecil yaitu:0.05-0.1-0.3-0.8-1.0-1.8 mg/L
Wadah(Botol)Kultur
Kultur in vitro dapat dilakukan dengan mengunakan wadah berbahan baku plastik atau gelas /kaca. Bentuk dan ukuran wadah juga sangat bervariasi. Wadah gelas memiliki beberapa keuntungan, seperti dapat lebih lama digunakan dan tahan diotoklaf. Wadah terbuat dari plastik biasanya hanya digunakan sekali dan kebanyakan tidak diotoklaf. Wadah plastik yang tahan otoklaf harganya relatif mahal. Lama pengunaanya wadah kultur tergantung pada resistensi terhadap panas(otoklaf) dan terhadap deterjen (bahan pencuci). Pengunaan wadah plastik juga dapat merugikan, karena dapat mengakumulasi etilen yang dapat meruak eksplant/planlet.
Pemilihan wadah kultur berbahan baku gelas juga bergantung pada bermacammacam penelitian yang dilakukan. Untuk penelitian-penelitian , seperti protoplas, kultur sel tunggal, dan kultur meristem disarankan untuk menggunakan Pyrex. Perlu diketahui bahwa beberapa wadah gelas plastik dapat bersifat toksik, kerena mengeluarkan senyawa toksik (misalnya arsenik) ke dalam media.
Untuk kebutuhan partikal, tidak diperlukan wadah gelas seperti Pyrex. Wadah glas yang lebih murah dapat dignakan tanpa mengakibatkan kerusakan. Untuk kebutuhan yang sama , wadah plastik juga dapat digunakan. Perlu diperhatikan bahwa wadah plastik seringkali tertutup dengan rapat. Hal tersebut dapat mengakibatkan akumulasi etilen dan CO2 yang berlebihan. Wadah gelas seringkali digunakan dalam kultur jaringan.
1. 2. 3. 4.
Tabung reaksi Cawan petri Botol erlenmeyer Botol bekas jeli, jus, atau bahan lainnya.
Pada laboratorium kultur jaringan komersial, khususnya untuk perbanyakan , seringkali menggunakan wadah pastik. Apabila wadah plastik tidak diotoklaf, maka sterilisasinya dilakukan dengan memasukkan wadah tersebut kedalam kantung plastik (tanpa media) dan disterilisasi dengan menggunkan sinar gamma. Selanjutnya media yang telah disterilisasikan ke dalam wadah yang sudah steril di dalam laminar air flow cabinet.
Ukuran dan bentuk wadah juga memiliki konsekuensi yang tinggi. Contoh: penggunaan tabung reaksi dan cawan petri. Tabung reaksi memiliki volume yang luas dan area permukaan yang sangat kecil, sehingga proses aerasi dan pengeringan sangat kecil. Dengan demikian , tingkat kontaminasinya juga rendah. Sebaliknya, cawan petri memilki volume yang kecil dan memilki area permukaan yang luas. Akibatnya , kontaminasi relatif tinggi.
Secara umum kultur dalam wadah yang berukuran besar menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan lebih baik dibandingkan dengan wadah berukuran kecil. Hal ini dapat disebabkan oleh: a. volumenya luas, sehingga toksisitas (oleh etilen dan CO2) dapat dihindarai dan atau b. tersedia nutrisi yang lebih banyak.
Sebagai bahan penutup wadah kultur
dapat digunakan alumunium foil atau plastik bening. Beberapa wadah kultur memiliki tutup botol plastik berulir. Penggunaan tutup plastik mempunyai keuntungan dalam manfaat cahaya. Akan tetapi, penggunaan kurang praktis
Preparasi Media
Media nutrisi tersusun atas sejumlah senyawa kimia dan sering kali merupakan campuran senyawa. Untuk mencegah kontaminasi disarankan untuk menggunakan spatula yang berbeda untuk tiap senyawa yang akan digunakan. Senyawa yang tersisa tidak dikembalikan ke wadah penyimpanan. Konsentrasi senyawa dapat disajikan dengan berbagai cara, antara lain:
Persentase volume: Digunakan untuk air kelapa, jus tomat, dan lain-lain, 5% air kelapa sama dengan 50 ml air kelapa ditambahkan kedalam 950 ml air. Persentase bobot:Digunakan bila menggunakan agar atau gula; 2% gula sama dengan 20 g gula tiap 1000g (liter) media nutrisi. Molar: 0.01 sama dengan 1/1000 mol per liter (I mol = gram bobot molekul). Serengkali digunakan untuk zat pengatur tumbuh. Miligram per liter (mg/L): 10-7 sama dengan 0.1 mg/L, 10-6 sama dengan 1 mg/l. Seringkali digunakan untuk zat pengatur tumbuh. Mikrogram per liter (mg/L) : 10-7 sama dengan 0.1 mg/L, 10-6 sama dengan 1 mg/l. Seringkali digunakan untuk zat pengatur/l Parts per milion(ppm): 1 ppm sama dengan I mg/l. Sehubungan dengan hal diatas, konsentrasi senyawa tertentu dalam media perlu dipertimbangkan. Untuk tujuan tersebut, dapat dilakukan dengan dua cara:
Unit Bobot
Misalnya mg/l atau g/l. Di dalam literatur konsentrasi 1 mg/L ditulis dengan 10-3 dan konsentrasi 1 mg/L ditulis 10-6. Demikian juga dengan ppm: 1 ppm ditulis 10-6 atau 1 mg/L. Ahli fisiologis berpendapat bahwa penggunaan unit bobot tidak dapat diterima, karena untuk membandingkan aktivitas fisiologis tidak dapat dilakukan dengan membandingkan 1 mg/L IAA dan 1 mg/L IBA. Perbandingan yang betul adalah 1µM IAA dengan 1µM IBA, karena 1µM IAA memiliki jumlah molekul yang sama dengan 1µM IBA. Hal ini disebabkan bobot molekul IAA dan IBA tidaklah sama. Untuk kebanyakan senyawa terutama zat pengatur tumbuh disarankan untuk menggunakan konsentrasi molar.
Konsentrasi Molar(M), milimolar(mM), atau mikromolar (µM): Satu molar larutan (M) mengandung jumlah gram yang sama dengan bobot molekul; 1 milimolar (mM) = 10-3 M dan 1 mikromolar (µM) = 10-6 M = 10-3 mM Konsentrasi dalam Molar ini seringkali digunakan dalam kultur jaringan tanaman. Berikut ini disajikan contohnya: Bobot molekul IAA = 175.18 1 M larutan IAA mengandung 175.18g/L 1 mM IAA mengandung 0.17518 g/L = 175.18 mg/L 1 µM larutan IAA mengandung 0.00017518 g/L = 0.17518 mg/L. Untuk membandingkan dua media yang berbeda dengan adil, maka sangat penting untuk menghitung jumlah mg per liter dalam mM, seperti pada contoh berikut in:
Perbandingan Dua Macam Media Kultur Medium X
Medium Y
1650 m/l NH4NO3
500 mg/l NH4NO3
1900 mg/l KNO3
500 mg/l KNO3
440 mg/l CaCl2.2H2O
347 mg/l Ca(NO3)2
Jika dihitung dalam mmol, berarti per liter = 20.6 mM NH4O3
6.25 mM NH4O3
18.8 mM KNO3
4.95 mM KNO3
2.99 mM CaCl2.2H2O
2.11 mM Ca(NO3)2
20.6 mM NH2
+
-
39.4 mM NO +
5.98 mM Cl
+ -
15.42 mM NO +
18.8 mM K
2.99 mM Ca
6.25 mM NH2 4.95 mM K
2+
-
60.0 mM N Total
2.11 mM Ca 0 mM Cl
2+
-
21.67 mm Total
Dari perhitungan diatas terlihat bahwa media X memilki sekitar tiga kali lipat kandungan nitrogen (NO3- dan NH4+) dibandingkan media Y. Sebelum melakukan pembuatan media, maka perlu dilakukan pembuatan larutan stok. Fungsi larutan stok terutama memudahkan penyediaan senyawa kimia dalam jumlah kecil, seperti unsur mikro tertentu. Larutan stok memudahkan pemakai untuk tidak berulang menimbang senyawa kimia. Larutan stok biasanya dibuat dengan meningkatkan konsentrasi 10-100 kali lipat.
Garam-garam inorganik, vitamin dan bahkan sukrosa dapat disiapkan dalam konsentrasi 10 kali. Macam larutan stok yang dibuat sangat bervariasi. Masing-masing cara pembuatan larutan stok disesuaikan dengan kebutuhan dan kenyamanan pembuatnya. Larutan stok terdiri atas kelompok senyawa kimia, bahkan hampir seluruh senyawa kimia pembentuk media. Apabila tidak dipergunakan, larutan stok sebaiknya disimpan dalam lemari es.
Media dapat langsung dibagikan kedalam wadah kultur sebelum diotoklaf atau wadah kultur dan media diotoklaf secara terpisah. Kondisi otoklaf yang digunakan biasanya 120°C selama 15 hingga 20 menit. Setelah diotoklaf media segera dikeluarkan dan didinginkan. Suhu yang sesuai untuk penyimpanan media adalah 10°C.
a. Preparasi Media Basal MS Garam Mayor MS (10 x) KNO3 NH4NO3 MgSO4.7H2O CaCl2.2H2O KH2PO4
Gram/liter 19 16.5 3.7 4.4 1.7
Garam Minor MS (100 x) H3BO3 MnSO4.4H2O Zn SO4.7H2O Na2MoO4.2H2O CuSO4.5H2O CoCl2.6H2O
Mg/100 ml 620 2230 860 25 2.5 2.5
Vitamin MS (100 x) disimpan baku Nicotinic acid Thiamine hydrocloride Pyridoxine hydrocloride Myo-Inositol
Mg/100 ml 50 50 10 1000
Garam EDTA sodium ferric Garam EDTA sodium ferric dapat diperoleh dari toko kimia secara langsung atau dengan membuatnya sendiri. Caranya adalah dengan melarutkan 7.45 g disodium EDTA dan 5.57 g Fe SO4.7H2O dalam satu liter. b. Preparasi Madia Basal MS (dalam 1 liter) Air destilasi Nutrisi makro dari larutan stok MS Nutrisi mikro dari larutan stok MS Vitamin dari larutan stok MS EDTA sodiumferric dari larutan stok Sukrosa
400 ml 100 ml 10 ml 10 ml 5 ml 30 g
Tambahkan zat pengatur tumbuh dan bahan lain. Sesuaikan pH hingga 5.8 dan tambahkan air destilasi hingga mencapai 1 liter.
Kultur Jaringan Tanaman
PREPARASI EKSPLAN
Irfan Suliansyah PS. Agroekoteknologi
Eksplan
Eksplan adalah sepotong jaringan tanaman yang diletakkan pada media kultur jaringan.
Eksplan dapat berkembang menjadi kalus sebagai respon dari pelukaan yang mengandung sel-sel yang aktif membelah yang tidak terorganisir.
Kalus dapat juga diproduksi tanpa adanya pelukaan, yaitu melalui perkecambahan beberapa biji pada media yang mengandung zat pengatur tumbuh, seperti 2,4-D.
Eksplan
Sel kalus lebih variatif dalam hal ukuran, bentuk, pigmentasi, dan kadang-kadang ekspresi genetiknya.
Karakteristik sel-sel kalus adalah memiliki vakuola sentral yang besar dan nukleus terletak pada bagian tepi.
Sebaliknya sel-sel meristematik yang tidak berdiferensiasi adalah isodiametrik, kecil, jarang memiliki vakuola, sitoplasmik, dan memiliki nukleus sentral yang besar.
Sel-sel meristematik kadang-kadang dapat diinisiasi dari massa kalus dan menjadi daerah meristemoid. Dari daerah meristemoid dapat muncul akar adventif, tunas ad-ventif, atau embrio somatik adventif.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Eksplan
Umur fisiologis (ontogenik) yang akan digunakan sebagai sumber eksplan
Musim pada saat eksplan diambil
Ukuran dan lokasi eksplan
Kualitas tanaman induk
Tujuan dari kultur sel
Umur Fisiologis Eksplan
Umur fisiologis eksplan akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan eksplan.
Secara fisiologis, eksplan yang berasal dari jaringan muda lebih responsif dalam kultur in vitro.
Pada banyak kasus, jaringan tua tidak akan membentuk kalus yang mampu beregenerasi. Di samping itu, karena jaringan muda relatif baru terbentuk akan lebih untuk melakukan sterilisasi permukaan, sehingga akan diperoleh kultur yang bebas kontaminan
Musim
Musim berpengaruh terhadap kontaminasi dan respon dalam kultur.
Hal ini berkaitan erat dengan dormansi dari organ/jaringan tanaman induk.
Sebagai contoh, eksplan (tunas/mata tunas) yang diambil pada musim semi, pada saat tunas baru muncul, akan lebih responsif dibandingkan eksplan yang diambil pada musim lain (musim panas, gugur, atau dingin), pada saat eksplan dalam keadaan dorman.
Jaringan yang secara fisiologis dorman umumnya tidak responsif dalam kultur hingga kebutuhan dormansinya dipenuhi
Ukuran Eksplan
Ukuran eksplan berpengaruh terhadap respon jaringan. Umumnya, semakin kecil ukuran eksplan, maka akan semakin sulit untuk dikulturkan.
Dalam hal ini media kultur biasanya perlu dilengkapi dengan komponen tambahan.
Eksplan yang berukuran besar biasanya mengandung cadangan makanan dan zat pengatur tumbuh lebih banyak yang akan mempertahankan kultur.
Ukuran eksplan yang besar juga akan mempersulit untuk mendapatkan eksplan yang steril.
Tanaman memiliki keseimbangan hormonal yang berbeda bergantung pada lokasi eksplan. Sehingga eksplan dapat memiliki kandungan zat pengatur tumbuh yang berbeda pula.
Konsekuensi perbedaan hormon internal tersebut akan berpengaruh terhadap respon eksplan secara in vitro.
Kualitas Tanaman
Disarankan untuk mengambil eksplan dari tanaman induk yang sehat.
Jangan mengambil eksplan dari tanaman yang sedang mengalami cekaman lingkungan, misalnya cekaman air/kekeringan, atau tanaman induk yang terserang penyakit, terutama penyakitpenyakit sistemik
Tujuan
Pemilihan jaringan yang digunakan untuk eksplan juga bergantung pada tipe respon yang diinginkan dari kultur jaringan. Setiap bagian (jaringan) tanaman dapat digunakan sebagai bahan eksplan. Sebagai contoh, bila tujuan kultur adalah untuk perbanyakan klonal, maka sebaiknya menggunakan eksplan tunas terminal atau tunas lateral. Sedangkan bila tujuan kultur adalah ingin menginduksi kalus, maka gunakanlah potongan kotiledon, hipokotil, batang, daun, atau embrio sebagai eksplannya. Eksplan yang baik untuk induksi kalus adalah jaringan kecambah yang diambil dari biji yang dikecambahkan secara aseptik atau dari bagian bunga yang muda. Jaringan daun dari kecambah aseptik merupakan bahan yang baik untuk isolasi protoplas. Untuk memproduksi tanaman haploid atau kalus, eksplan yang digunakan adalah anter atau polen.
Kultur Jaringan Tanaman
TEKNIK ASEPTIK & PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA
Irfan Suliansyah PS. Agroekoteknologi
Teknik aseptik……. Kemampuan teknik kultur jaringan ditentukan oleh kemampuan untuk mengeliminasi segala bentuk kontaminasi Kontaminasi dapat terjadi setiap saat dalam masa kultur
Sumber kontaminan 1. Eksplan, baik eksternal maupun internal 2. Organisme yang berukuran kecil 3. Botol kultur dan Alat tanam 4. Lingkungan kerja dan ruang kultur 5. Kecerobohan dalam pelaksanaan
Teknik sterilisasi yang perlu dicermati 1. Sterilisasi lingkungan kerja 2. Sterilisasi alat dan media 3. Sterilisasi bahan tanaman (eksplan)
Sterilisasi Lingkungan Kerja
Seluruh ruangan terlibat dalam kegiatan kultur jaringan mutlak diperhatikan kebersihannya. Ruang kultur, ruang stok media, dan ruang mikroskop (analisis) dibersihkan secara rutin dengan menggunakan desinfektan yang sesuai. Ruang tanam selain dibersihkan secara rutin, biasanya juga dilengkapi dengan lampu ultra violet (UV)
Laminar Air Flow Cabinet
Kotak tanam (laminar air flow cabinet) biasanya sudah dilengkapi lampu UV. Aliran udara dalam kotak pindah tersebut dilengkapi dengan filter HEPA (high efficiency particulate air) dengan pori-pori < 0.3 M. Kotak tanam juga dapat disterilisasi menggunakan alkohol 70%. Caranya dengan menyemprotkan atau melap permukaan dalam kotak tanam dengan menggunakan kapas steril yang telah dicelup alkohol.
Laminar air flow cabinets
Sterilisasi Alat
Alat yang paling umum digunakan untuk mensterilkan alat bantu tanam dan media adalah autoklaf. Alat bantu tanam, seperti pinset, gunting, cawan petri, dan gagang scalpel bila hendak disterilisasi menggunakan autoklaf perlu dibungkus terlebih dahulu menggunakan kertas. Suhu yang digunakan untuk sterilisasi alat adalah 1210C pada tekanan 17.5 psi selama 1 jam.
Sterilisasi Media
Media kultur yang tidak mengandung bahan-bahan yang heatlabile dapat disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121oC, tekanan 17.5 psi, dalam waktu 25-30 menit bergantung dari volume wadah dan volume media. Setelah waktu sterilisasi yang diinginkan tercapai, tekanan dalam autoklaf tidak boleh diturunkan secara mendadak. Hal tersebut dapat mengakibatkan media atau akuades dapat mendidih dan meluap.
Table 1. Minimum autoclaving time for plant tissue culture medium Volume of medium per vessel (ml)
Minimum Autoclaving (min)*
Volume of medium per vessel (ml)
Minimum Autoclaving (min)*
25
20
500
35
50
25
1000
40
100
28
2000
48
250
31
4000
63
----
*Minimum autoclaving times include the time required for the medium to reach 121 Degrees Celcius. Nevertheless, autoclaving times may vary due to autoclave differences and may require your validation
Solvent
Working Conc. (mg/L)
Comments
Autoclave, Filter
ETOH / 1N NaOH
0.1-10.0
May lose some activity when autoclaved.
Autoclave
ETOH / 1N NaOH
0.01-5.0
Autoclave
Water
0.002-20.0
Sterilizing Method
IBA
2,4-D
Component
Picloram
Type
Auxins
NAA
Autoclave
IAA
Autoclave, Filter
1N NaOH ETOH / 1N NaOH
2-4 times less active than 2, 4-D
0.1-10.0 0.01-3.0
May lose some activity when autoclaved.
BA
Autoclave, Filter
1N NaOH
0.1-5.0
May lose some activity when autoclaved
Zeatin
Autoclave, Filter
1N NaOH
0.01-5.0
May lose some activity when autoclaved
Filter
1N NaOH
0.01-5.0
Autoclave, Filter
1N NaOH
0.1-5.0
Filter
1N NaOH
0.01-5.0
2-iP
Autoclave, Filter
1N NaOH
1.0-30.0
May lose some activity when autoclaved
IPA
Autoclave, Filter
1N NaOH
0.1-10.0
May lose some activity when autoclaved
GA3
Filter
ETOH
0.01-5.0
90% loss of activity when autoclaved
Filter
ETOH
0.01-5.0
Filter
ETOH
0.01-5.0
Zeatin riboside Kinetin
Cytokinins
Kinetin Riboside
GA4 GA7
Gibberellins
May lose some activity when autoclaved
Thiamine (B1)
Autoclave
Pyridoxine (B6)
Autoclave
Nicotinic acid (niacin)
Vitamins
500-5,000
Autoclave
Degraded rapidly at pH's much above 5.5
500-
Cyanocobala min (B12) Calcium pantothenate
Filter
tCA (transcinnamic acid)
Antiauxin
Autoclave, Filter
Coconut water
Complex Additive
Autoclave
10-20%
Autoclave
0.2%
Activated Charcoal
Sucrose
Carbon Source
Autoclave, Filter
ETOH / 1N NaOH
Water
0.1-10.0
2-3%
May lose some activity when autoclaved.
Degradation of sucrose into D-glucose and D-fructose may be inhibitory to some cultures
Sterilisasi Bahan Tanaman
Bahan tanaman (eksplan) yang bebas kontaminasi merupakan langkah awal dalam keberhasilan kultur jaringan. Bahan tanaman yang berasal dari lapang mengandung berbagai kontaminan, baik dipermukaan luar maupun kontaminan internal. Tingkat kontaminasi permukaan bahan tanaman tergantung pada : (a) jenis tanaman; (b) bagian yang dipergunakan; (c) morfologi permukaan; (d) lingkungan tumbuh; (e) musim; (f) umur tanaman; dan (g) kondisi tanaman.
Kultur nonsteril Kontaminasi kultur biasanya muncul setelah eksplan kontak dengan medium selama 24 – 36 jam. Pada beberapa keadaan infeksi dapat tidak terlihat secara visual selama beberapa minggu. Kontaminasi internal tanaman dapat dieliminasi melalui sterilisasi ulang (resterilisasi) bahan tanaman dan lingkungan sekitarnya.
Kontaminasi Kultur Jaringan Tanaman Kontaminasi berbagai mikroorganisme merupakan faktor utama yang menyebabkan kegagalan kultur in vitro berbagai tanaman. Organisme yang dapat bertindak sebagai agen kontaminan adalah virus, bakteri, jamur, mites, thrips. Kontaminasi yang disebabkan oleh bakteri merupakan hal yang paling serius
Bakteri
Berbagai jenis bakteri penyebab kontaminasi pada kultur jaringan telah didestripsikan, baik genus maupun speciesnya. Bakteri-bakteri tersbut antara lain adalah Acinobacter, Agrobakterium, Bacillus dan Staphylococcus. Kebanyakan bakteri tersebut termasuk ke dalam genus yang diketahui sebagai patogen rhizosphere (patogen pada bagian atas tanaman).
Jamur Identifikasi jamur didasarkan atas uji morfologi, seperti bentuk, koloni, tipe koloni dan miselium Jamur yang kerapkali ditemui pada kultru jaringan adalah Neuspora, Aspergillus dan Clodosporum. Kontaminasi jamur semakin meningkat apabila berasosiasi dengan vektor mites dan thrips.
Pengaruh konaminan terhadap pertumbuhan tanaman
Kontaminan telah diketahui mampu tumbuh dengan baik pada media tanpa adanya bahan tanaman. Salah satu pengaruhnya terhadap media adalah mereduksi pH hingga dibawah 3. Hal ini dapat terjadi karena kontaminan mampu memetabolisme karbohidrat yang tersedia dan menghasilkan senyawa racun (fitotoksik) hasil fermentasi, seperti etanol dan asetat. Keadaan tersebut akan mengakibatkan tanaman akan kekurangan nutrisi karbohidrat, mengakibatkan beberapa nutrisi menjadi tidak tersedia, dan menyebabkan pengaruh toksik pada jaringan tanaman melalui senyawa sekunder yang dihasilkan.
Antibiotika
Antibiotik yang baik haruslah mudah larut dalam media nutrisi dan tidak secara signifikan merubah konsentrasi garam media. Antibiotik juga harus stabil pada berbagai kondisi yang kurang baik, seperti cahaya dan periode inkubasi yang lama. Antibiotik juga harus tidak terpengaruh oleh perubahan pH dan kompatibel terhadap berbagai senyawa penyusun media. Antibiotik harus bersifat sistemik dalam jaringan tanaman dan tidak menimbulkan efek sampingan pada jaringan tanaman.
Karena spektrum kontaminan kisarannya cukup luas, maka antibiotik harus memiliki spektrum antibakteri yang luas juga. Resiko berkembangnya resistensi pada bakteri-bakteri tertentu juga harus minimal. Harga antibiotik harus murah dan sebaiknya bukan antibiotik yang umum digunakan di rumah sakit.
Pencegahan kontaminasi yang lebih disukai adalah menggunakan teknik aseptik secara lebih hati-hati, penggunaan laminar air flow cabinet, dan penggunaan desinfektan kimia.
Kultur Jaringan Tanaman
PROPAGASI
IN VITRO
Irfan Suliansyah PS. Agroekoteknologi
Perbanyakan In Vitro
Metode in vitro memiliki beberapa keuntungan dibandingkan metode konvensional, yaitu:
1. Kultur dimulai dari sepotong kecil tanaman (eksplan), setelah itu tunastu-nas yang berukuran kecil diperbanyak. Sehingga digunakan terminologi mikropropagasi. Ini berarti hanya perlu sedikit ruang untuk menjaga dan memperbanyak sejumlah besar tanaman 2. Propagasi berlangsung dalam kondisi aseptik, bebas dari patogen. Sekali saja tanaman bisa dikulturkan, maka tidak mungkin hilang karena serangan pe-nyakit. Planlet yang dihasilkan pada akhirnya akan bebas bakteri dan fungi 3. Metode kultur jaringan dapat digunakan untuk membebaskan tanaman dari virus 4. Lingkungan pertumbuhan tanaman da-pat diatur 5. Mampu menghasilkan klon tanaman yang secara secara konvensional sulit diperbanyak secara vegetatif 6. Produksi tanaman dapat dilakukan sepanjang tahun, tidak bergantung musim 7. Bahan tanaman dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama 8. Efisien dalam penggunaan tenaga kerja
Perbanyakan In Vitro
Metode in vitro memiliki beberapa kerugian, yaitu:
1. memerlukan tenaga yang terampil dan ahli di bidang tersebut, 2. fasilitas laboratoriumnya mahal, 3. untuk mendapatkan hasil yang optimum diperlukan metode yang spesifik, sehingga harga propagulnya relatif mahal. 4. Planlet yang dihasilkan masih berukuran kecil, meskipun dapat diproduksi dalam jumlah banyak 5. Tanaman yang dihasilkan tidak sepenuhnya autotrof, sehingga ada periode transisi untuk dapat tumbuh secara
in vivo
6. Tanaman belum sepenuhnya dapat berfotosintesis dan tanaman akan rentan terhadap kehilangan air 7. Kemungkinan terjadi perubahan genetik
Mikropropagasi
Secara teoritis, metode perbanyakan in vitro dapat dilakukan dengan, yaitu:
1. Multiplikasi tunas dari mata tunas aksilar 2. Pembentukan tunas adventif dan/atau pembentukan embrio Metode kedua dapat dilakukan secara langsung dari sepotong jaringan atau organ (eksplan) yang diambil dari tanaman induk atau tidak langsung melalui jaringan kalus (atau kultur suspensi) yang dapat diperoleh melalui proliferasi sel-sel dari eksplan dan melalui jaringan kalus yang semi-organised (seperti protocorm atau pseudo-bulbil) yang didapat dari eksplan.
Tahap Mikropropagasi
Tahapan mikropropagasi telah dikembangkan oleh Prof Murashige kemudian dilengkapi oleh Deberg dan Maene (1981).
Murashige (1974) membagi mikropropagasi menjadi tiga tahap (Tahap I, II, dan III).
Deberg dan Maene (1981) menambah dua tahapan lagi, yaitu tahap preparasi (Tahap 0) dan tahap aklimatisasi (Tahap IV).
Dengan demikian keseluruhan mikropropagasi menjadi lima tahap (Tahap 0 - Tahap IV).
Tahap 0: Seleksi dan Preparasi Tanaman Induk
Sebelum mikropropagasi dilaksanakan, diperlukan kehatihatian untuk menyeleksi tanaman induk. Selain tanaman induk harus merupakan tipikal dari varietasnya, tanaman induk juga harus bebas penyakit. Keberhasilan kultur in vitro ditentukan juga oleh perlakuan terhadap tanaman induk (atau bagian dari tanaman induk). Tahap reduksi kontaminan eksplan juga merupakan tahap-an yang tidak kalah pentingnya. Pertumbuhan, morfogenesis, dan laju propagasi secara in vitro dapat ditingkatkan melalui perbaikan lingkungan dan praperlakuan kimia terhadap tanaman induk. Pada tahap ini juga diperlukan pengetahuan untuk mendeteksi, mereduksi, dan mengeliminasi penyakit yang disebabkan oleh virus.
Tahap I: Pemantapan Kultur Aseptik
Tahapan awal proses mikropropagasi adalah untuk mendapatkan kultur aseptik dari eksplan tanaman induk yang sudah diseleksi. Keberhasilan pada tahap ini ditandai oleh: 1) keselamatan eksplan ditransfer ke lingkungan kultur dan 2) reaksi eksplan setelah di-transfer ke lingkungan kultur, seperti pertumbuhan ujung tunas atau pembentukan kalus. Tahap I dapat dikatakan selesai bila telah diperoleh sejumlah eksplan yang hidup dan bebas kontaminan.
Tahap II: Produksi Propagul
Tujuan Tahap II adalah untuk menghasilkan multiplikasi organ dan struktur yang selanjutnya mampu untuk menghasilkan tanaman utuh. Sesuai dengan prosedur mikropropagasi in vitro, bahwa adanya multiplikasi dapat dilihat dari munculnya tunas aksilar atau tunas adventif yang baru, embrioid, atau organ perbanyakan dan organ peyimpanan mini. Pada beberapa metode mikropropagasi, Tahap II juga meliputi induksi pusat-pusat meristematik yang dapat menghasilkan organ-organ adventif. Tunas yang dihasilkan pada Tahap II juga dapat dianggap sebagai propagul (misalnya tunas yang dapat dimultiplikasikan pada perbanyakan berikutnya) yang biasanya dapat dikulturkan kem-bali untuk meningkatkan jumlahnya.
Tahap III: Preparasi untuk Dapat Tumbuh pada Lingkungan Alamiah
Tunas-tunas dan planlet yang dihasilkan pada Tahap II ukurannya masih kecil dan belum mampu untuk tumbuh di tanah. Langkah yang akan dilakukan pada Tahap III adalah menumbuhkan planlet agar dapat berfotosintesis dan mampu tumbuh tanpa pasokan karbohidrat artifisial. Beberapa planlet membutuhkan perlakuan pada tahap ini sehingga tidak akan menjadi kerdil atau dorman pada saat dikeluarkan dari lingkungan kultur. Tahap II meliputi juga pengakaran secara in vitro tunas-tunas sebelum ditransfer ke tanah.
Tahap III: Preparasi untuk Dapat Tumbuh pada Lingkungan Alamiah
Meskipun beberapa species tanaman dapat membentuk akar adventif pada tunas-tunas yang terbentuk secara in vitro selama Tahap III berlangsung, akan tetapi pada banyak species tanaman yang lain amat penting untuk memanjangkan tunas sebelum dilakukan pengakaran pada media pengakaran. Untuk mereduksi biaya mikropropagasi, beberapa laboratorium komersial melakukan pengakaran tunas-tunas yang belum berakar di luar wadah kultur. Dengan demikian, mikropropagasi pada kultur hanya untuk memperoleh tunas adventif atau tunas aksilar. Debergh dan Maene (1981) membagi Tahap III menjadi dua, yaitu: 1) Tahap IIIa: perpanjangan mata tunas yang dihasilkan dari Tahap II untuk menyeragamkan tunas-tunas untuk Tahap IIIb dan 2) pengakaran tunas-tunas yang dihasilkan dari Tahap IIIa secara in vitro atau extra vitrum.
Tahap IV: Transfer ke Lingkungan Alamiah (Aklimatisasi)
Pada tahap ini planlet yang dihasilkan ditransfer dari kondisi in vitro ke lingkungan luar. Tahap ini memerlukan kehatihatian, bila tidak maka akan banyak tanaman yang mati. Kematian tanaman dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu: Tunas-tunas yang dihasilkan selama kul-tur diproduksi dalam kondisi kelembaban yang tinggi dan intensitas cahaya yang rendah. Keadaan tersebut mengakibat-kan tanaman yang dihasilkan hanya mengandung sedikit wax epikutikuler. Akibatnya, tanaman akan mudah kehi-langan air bila diletakkan pada kondisi eksternal Pemberian sukrosa (atau karbohidrat yang lain) serta kondisi cahaya yang ren-dah mengakibatkan planlet tidak bergan-tung pada hasil fotosintesisnya sendiri. Dibutuhkan beberapa hari agar planlet mampu untuk menggunakan CO2 sebagai sumber karbon (menjadi autotrof).
Kultur Pucuk Kultur pucuk telah banyak digunakan dalam laboratorium-laboratorium komersial. Kultur pucuk dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu: Kultur Pucuk (Shoot Tip Culture)
Eksplan yang digunakan adalah ujung tunas lateral atau terminal yang panjangnya sekitar 2 cm. Pengaruh dominasi apikal dapat dihi-langkan dengan penambahan zat pengatur tumbuh, terutama sitokinin, ke dalam media. Dengan cara tersebut akan dihasilkan tunas dalam jumlah banyak. Ukuran pucuk yang digunakan juga kerapkali mempengaruhi keberhasilan kultur pucuk. Ukuran pucuk yang lebih besar ternyata lebih tahan pada saat dipindahkan ke dalam kondisi in vitro, pertumbuhannya lebih cepat, dan menghasilkan lebih banyak mata tunas aksilar. Namun kelemahannya adalah sulit mendapatkan kultur aseptik bila ukuran eksplannya besar serta memerlukan bahan tanam lebih banyak..
Kultur Pucuk Kultur Mata Tunas (Single Node Culture)
Teknik ini kerapkali digunakan apabila ada pengaruh dominasi apikal pada kultur pucuk yang mengakibatkan pucuk aksilar menjadi dorman. Ada dua teknik yang dapat diterapkan dalam kultur ini, yaitu: Setiap buku yang mengandung satu mata tunas aksilar diletakkan secara horizontal di atas media padat Pucuk yang mengandung mata-mata tu-nas lateral seluruhnya dikulturkan secara horizontal di atas media tanpa dipotongpotong seperti cara pada butir 1 (in vitro layering) Pucuk aksilar yang tumbuh dari kedua teknik tersebut di atas dapat dipakai sebagai sum-ber eksplan untuk subkultur berikutnya atau dapat diakarkan untuk memperoleh tanaman yang lengkap (planlet)
Kultur Jaringan Tanaman
KERAGAMAN GENETIK IN VITRO
Irfan Suliansyah PS. Agroekoteknologi
Penyebab Keragaman
Tanaman-tanaman yang dihasilkan melalui mikropropagasi secara genetik sama dengan tanaman induknya.
Akan tetapi, dari hasil penelitian diperoleh bahwa ada populasi dari klon tanaman yang berbeda diban-dingkan induknya.
Derajat keragaman tanaman in vitro biasanya tidak lebih besar bila dibandingkan mutasi yang terjadi pada propagasi konvensional (makropropagasi).
Penyebab Keragaman
Keragaman genetik pada populasi tanaman yang dihasilkan melalui mikropropagasi dapat terjadi karena:
1. Tingginya laju multiplikasi. Bila eksplan tunas yang ditanam pada kultur ujung tunas terdiri atas beberapa varian, maka melalui subkultur berulang varian tersebut akan dengan cepat menjadi banyak. Sehingga planlet off type yang dihasilkan akan banyak juga. Untuk itu diperlukan kehati-hatian dalam mereinisiasi kultur dari induk dengan interval waktu tertentu. 2. Penggunaan teknik yang tidak sesuai. Varian dapat diperoleh melalui multiplikasi tanaman secara in vitro yang akan menghasilkan perubahan genetik
Penyebab Keragaman
Pada keadaan normal, perbanyakan vegetatif tanaman akan menghasilkan klon tanaman yang merupakan duplikat atau merupakan kopi dari tanaman induknya.
Keragaman genetik dalam hal ini biasanya sangat tidak diinginkan.
Sebaliknya, variasi genetik amat diinginkan untuk seleksi galur sel dalam upaya meningkatkan kapasitas sintesis metabolisme sekunder atau sebagai sumber mutan tanaman dalam program pemuliaan tanaman.
Keragaman Genetik Modifikasi Genom.
Fenotipik tanaman ditentukan oleh konstitusi genetik (genotipe), lingkungan, dan interaksi antara genotipe dan lingkungan. Setiap genotipe tersusun atas paket unik informasi genetik (genom) yang dikode dalam unit-unit hereditas yang disebut gen. Gen-gen tanaman dikelompokkan dalam organela yang disebut kromosom yang terdapat di dalam nukleus (inti) sel. Setiap tanaman memiliki jumlah kromosom dasar yang berbeda. Selama fase pertumbuhan vegetatif, normalnya sel-sel tanaman memiliki komplemen kromosom dua kali kromosom dasar atau diploid. Species lain ada yang haploid, triploid, atau tetraploid.
Keragaman Genetik Modifikasi Genom.
Komplemen kromosom yang mencirikan tanaman atau populasi sel disebut kariotipe. Kromosom sel-sel kalus atau sel-sel pada kultur suspensi dapat memiliki jumlah kromosom yang tidak seperti biasanya. Jumlah kromosomnya bisa pasti (poliploid) atau tidak pasti (aneuploid). Sel-sel yang lain mungkin dipengaruhi oleh struktur kromosomnya. Sel-sel yang mengalami modifikasi tersebut akan berubah potensial genetiknya dan tanaman yang diregenerasikan dari sel tersebut secara genetik akan berbeda dari induknya. Tanaman yang diperbanyak melalui metode in vitro yang lain umumnya secara genetik stabil, meskipun kadang-kadang masih juga ditemui adanya keragaman.
Keragaman Genetik Dasar Perubahan Genetik. Keragaman genetik dapat berasal dari perubahan seluler pada tanaman induk atau (yang lebih sering terjadi) keragaman terjadi karena perubahan dalam kariotipe normal yang diinduksi selama kultur. Perubahan pada tanaman induk.
Bagian vegetatif tanaman tersusun atas sel-sel yang seluruhnya memiliki potensial genetik yang sama (genotipe). Akan tetapi, beberapa tanaman dapat tersusun atas sel-sel yang genotipenya berbeda pada segemen/lapisan yang lain atau sel-sel yang berbeda terdapat secara acak. Mosaik genetik (mixoploid) tampaknya hanya ditemukan pada tanaman yang secara alamiah poliploid. Pada saat pembentukan sel (meristematik), kromosom dapat berduplikasi tanpa pembelahan nukleus seperti biasanya terjadi (mitosis) atau tanpa pembelahan sitoplasma (sitokinesis) dan tanpa pembentukan dinding sel. Bila endoreduplikasi tersebut terjadi, maka sel menjadi endopoliploid. Sel-sel endopoliploid yang memiliki jumlah kromosom abnormal dapat distimulir selama inisiasi pertumbuhan kalus.
Keragaman Genetik Dasar Perubahan Genetik.
Perubahan genetik yang muncul dalam kultur. Sel-sel poliploid atau aneuploid, atau sel-sel yang mempunyai kromosom dengan struktur yang berbeda dapat muncul secara langsung dari kultur, di samping dapat berasal dari keragaman genetik jaringan tanaman induk. Beberapa sel pada kultur jaringan menjadi endopoliploid dengan cara yang sama dengan sel-sel tanaman tertentu yang berdiferensiasi secara alamiah. Sel-sel endopoliploid secara in vitro normalnya tidak membelah, akan tetapi jika terjadi pembelahan, maka akan dihasilkan sel-sel yang memiliki komplemen kromosom tetraploid atau oktaploid. Endoreduplikasi lebih sering terjadi pada kultur yang diinkubasi dalam jangka waktu yang panjang.
Keragaman Genetik Dasar Perubahan Genetik.
Perubahan genetik yang muncul dalam kultur. Poliploid pada sel-sel kultur dapat juga terjadi karena gagalnya pembentukan spindle pada saat mitosis atau terjadinya spindle multipolar yang abnormal. Kegagalan pembentukan spindle mengakibatkan dua sel putatif akan bergabung. Hasilnya adalah sel-sel dengan jumlah kromosom ganda. Pembentukan spindle multipolar atau fusi inti dapat disebabkan oleh galur-galur sel yang memiliki ploidi yang tidak biasa, seperti haploi atau triploid. Sel-sel aneuploid dihasilkan dari kesalahan lain selama pembelahan inti, seperti lag kromosom pada anafase yang menghasilkan sel daughter yang satu lebih besar dari sel daughter yang lain dibandingkan kromosom normalnya.
Keragaman Genetik Dasar Perubahan Genetik.
Perubahan jumlah kromosom pada kultur jaringan juga dapat disebabkan oleh perubahan struktur individu kromosom. Hasil dari perubahan tersebut seperti halnya aneuploid atau poliploid bertanggungjawab terhadap variasi yang ditemukan pada regeneran. Hanya saja pada kejadian ini, jumlah kromosom tidak bisa menjadi ukuran stabilitas keragaman kultur jaringan. Modifikasi kriptik dari genom meliputi pemutusan dan penggabungan kromosom, penggantian segmen-segmen kromosom ke posisi lain pada kromosom yang sama atau penempelan segmen kromosom ke kromosom lain (translokasi), delesi atau perputaran (inversi) segmen-segmen kromosom, dan reposisi elemen-elemen transposon yang dapat memodifikasi ekspresi gen di sekitarnya.
Faktor Penyebab Keragaman
Penyebab perubahan genetik selama kultur jaringan belum sepenuhnya dipahami.
Keberhasilan hidup dari sel-sel yang telah mengalami perubahan genetik bergantung pada seberapa besar daya hidup sel-sel tersebut pada lingkungan yang ada.
Ada sel-sel tertentu yang memiliki kemampuan untuk tumbuh dan membelah lebih cepat dibandingkan sel-sel induknya. Akibatnya sel-sel tersebut mendominasi selsel yang lain.
Perubahan genetik lebih banyak dipengaruhi oleh metode kultur yang digunakan. Pada kondisi tertentu, keragaman genetik yang dihasilkan melalui kultur jaringan lebih besar dibandingkan yang diperoleh dari induksi agen mutagenik.
Faktor Penyebab Keragaman Zat Pengatur Tumbuh
Beberapa peneliti menyatakan bahwa zat pengatur tumbuh sintetik merupakan alat untuk menginduksi perubahan genetik dalam kultur jaringan. Akan tetapi hingga saat ini belum jelas apakah zat pengatur tumbuh mempengaruhi secara aktual karakteristik kromosom atau meningkatkan jumlah sel-sel yang secara genetik abnormal melalui pengaruh laju pembelahan yang berbeda. Komposisi genetik populasi sel dapat dipengaruhi oleh konsentrasi sitokinin dan auksin. Selsel dengan ploidi normal kerapkali ditemukan pada media yang tidak ditambah zat pengatur tumbuh atau kalaupun diberi zat pengatur tumbuh konsentrasinya sangat rendah.
Faktor Penyebab Keragaman Zat Pengatur Tumbuh
Auksin 2,4-D seringkali mengakibatkan peningkatan frekuensi abnormalitas genetik dan jumlah sel poliploid yang dihasilkan dari pemberian 2,4- D seringkali lebih tinggi dibandingkan akibat pemberian NAA.
Hasil penelitian Sunderland terhadap Vigna sinensis menunjukkan bahwa jumlah kromosom maksimum pada kultur yang diberi NAA adalah sektaploid, sedangkan jumlah kromosom yang dihasilkan pada kultur yang diberi 2,4-D adalah oktaploid.
Sitokinin cenderung meningkatkan laju pembelahan sel dan dapat menurunkan kisaran ploidi pada suspensi sel.
Sebaliknya dilaporkan juga bahwa konsentrasi benzyladenine yang tinggi (30 mg/l) akan meningkatkan keragaman genetik kultur kalus padi dibandingkan dengan penggunaan 2 mg/L
Baik sitokinin maupun auksin mulai menginduksi anomali kromosom kalus Vicia faba bila kedua zat pengatur tumbuh tersebut ditambahkan dengan konsentrasi 0.1 mg/L (1 mg/L untuk kinetin).
Frekuensi mitosis abnormal akan semakin meningkat dengan semakin meningkatnya konsentrasi zat pengatur tersebut.
Faktor Penyebab Keragaman Komposisi Media
Komposisi/jenis media yang digunakan dalam kultur jaringan ternyata juga mampu mempengaruhi jumlah sel-sel yang komposisi kariologinya berbeda. Jumlah galur sel wortel yang abnormal akan meningkat bila dikulturkan pada medium basal MS atau medium yang mengandung separuh level fosfat. Galur sel Datura innoxia ( 30% sel diploid, tetraploid, atau aneuploid) tetap mempertahankan ploidinya pada medium standar, akan tetapi komposisi sel-sel diploid dan tetraploidnya menjadi dominan bila dikulturkan pada media yang hanya mengandung nitrogen organik. Agen-agen pengkelat (chelating agents) dan beberapa mikronutrisi metal diketahui juga menginduksi kerusakan kromosom.
Faktor Penyebab Keragaman Kondisi Kultur
Peningkatan poliploidi terjadi bila sel-sel Hevea dikulturkan pada suspensi, akan tetapi poliploidinya menurun bila direkulturkan sebagai kalus pada media solid. Kalus tembakau yang diinkubasi pada suhu 35°C tetap dominan diploid, sebaliknya bila jaringan yang sama dikulturkan pada 25°C menunjukkan instabilitas kariologi dan sebagian besar menjadi tetraploid. Untuk mencegah adanya perubahan ploidi sebaiknya kultur suspensi sel disubkulturkan secara periodik.
Kultur Jaringan Tanaman
PERTUMBUHAN & MORFOGENESIS
Irfan Suliansyah PS. Agroekoteknologi
Pertumbuhan dan Morfogenesis Pertumbuhan dan morfogenesi tanaman secara in vitro dipengaruhi oleh beberapa faktor: 1. 2. 3. 4.
Genotipe Media kultur Lingkungan fisik Fisiologi jaringan eksplan
Faktor Genotipe
Genotipe dari sumber bahan tanaman yang digunakan kerapkali amat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan morfogenesis secara in vitro.
Komposisi media dan lingkungan fisik yang dibutuhkan kerapkali berbeda, baik untuk satu genus dengan genus lain, atau antara satu species tanaman tertentu dengan species tanaman yang lain.
Kerapkali juga dijumpai kebutuhan yang berbeda antara varietas yang memiliki karakter/sifat yang dekat
Faktor Genotipe Inisiasi Kultur
Keberhasilan inisiasi kultur antara lain ditentukan oleh daya tahan eksplan (bahan tanam) terhadap perlakuan sterilisasi (sterilisasi permukaan).
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa beberapa species Eucalyptus marginata memiliki ketahanan yang berbeda terhadap sterilisasi yang berbeda.
Pada beberapa kultivar peach juga diperoleh adanya perbedaan ketegaran tunas yang dihasilkannya. Sedangkan pada tanaman kentang, meskipun daya multiplikasi tunasnya hampir sama, akan tetapi terjadi perbedaan pola inisiasi tunasnya.
Faktor Genotipe Pertumbuhan Kalus
Terdapat perbedaan kemampuan eksplan untuk membentuk kalus dan laju pembentukan kalusnya. Kemampuan jaringan untuk membentuk kalus dan laju pertumbuhan kalus bergantung pada media (termasuk zat pengatur tumbuh) dan faktor lingkungan. Terdapat perbedaan tekstur kalus, warna kalus, dan kemampuan morfogenesis kalus yang dihasilkan dari jaringan tanaman varietas-varietas yang memiliki hubungan yang dekat.
Faktor Genotipe Morfogenesis Langsung
Tingkat kemudahan satu species tanaman untuk membentuk tunas adventif secara in vitro dapat dilihat kemampuannya apabila diperbanyak secara in vivo. Beberapa tanaman, seperti Sainpaulia (violces) dan Begonia, mudah sekali untuk membentuk tunas dari daun yang ditanam secara in vivo. Secara in vitro, tanaman-tanaman tersebut juga menunjukkan kemampuan yang sama.
Faktor Genotipe Morfogenesis Langsung
Ada juga tanaman yang secara in vivo sulit membentuk tunas secara langsung (dari jaringan daun, petiol, batang, atau bagian pedikel bunga dan tunas bunga yang muda), akan tetapi pembentukan tunas secara in vitro jauh lebih mudah. Hal ini terjadi pada tanaman Chrysanthemum morifolium. Pembentukan tunas secara langsung biasanya terjadi pada tanaman dikotil. Hal tersebut sangat jarang terjadi pada tanaman monokotil. Kemampuan pembentukan tunas juga ditentukan oleh bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan. Species tanaman yang berbeda juga menunjukkan kemampuan pembentukan akar yang berbeda. Setiap species tanaman membutuhkan nutrisi dan lingkungan fisik yang berbeda. Pembentukan akar juga dipengaruhi oleh juvenilitas eksplan.
Faktor Genotipe Morfogenesis Secara Tidak Langsung
Secara umum faktor genotipe akan mempengaruhi pola pembentukan organ adventif dari kalus. Kemampuan untuk membentuk tunas dan akar secara terpisah atau embriogenesis dari kalus berbeda antara famili maupun antara genera. Laju perkembangan kalus tanaman-tanaman yang memiliki hubungan dekat dapat digunakan sebagai indikator kemampuan morfogenetik dari kalus tersebut.
Faktor Genotipe Kontrol Genetik
Pengaturan pertumbuhan atau penghambatan morfogenesis suatu jaringan secara in vitro bukanlah pengaruh langsung dari regulasi gen, akan tetapi merupakan efek sekunder dari gen yang dikenal dengan istilah Pleiotropy. Dengan adanya korelasi antara laju pertumbuhan kalus dengan kemampuan untuk membentuk tunas adventif secara in vitro dapat disimpulkan bahwa ada sekelompok gen yang mengatur perubahan pola pertumbuhan suatu tanaman, meliputi proses proliferasi dan morfogenesisnya. Seperti gen-gen yang mengatur konsentrasi yang efektif dari zat-zat yang dapat mendorong pertumbuhan. Zat-zat pendorong pertumbuhan yang dikandung oleh setiap species tanaman (endogen) bervariasi antara genotipe.
Faktor Genotipe Faktor Kelamin
Kelamin dari tanaman induk juga mempengaruhi daya regenerasi kalus membentuk tunas. Dilaporkan bahwa regenerasi kalus yang berasal dari jaringan tanaman betina lebih banyak beregenerasi dibandingkan yang berasal dari jaringan tanaman jantan pada tanaman Actinidia chinensis. Pemberian BAP pada tanaman Populus ciliata akan mengakibatkan pembentukan tunas secara langsung pada eksplan daun muda tanaman betina, akan tetapi hal ini tidak terjadi pada tanaman jantan. Perbedaan tersebut diduga karena konsentrasi zat pengatur tumbuh endogen antara tanaman jantan dan betina tidak sama
Faktor Media Komposisi Media
Umumnya pembentukan tunas secara Umumnya pembentukan tunas secara in vitro bergantung pada jenis dan konsentrasi yang tepat dari senyawa organik, inorganik, dan zat pengatur tumbuh. Hal ini bukan berarti bahwa suatu kombinasi media hanya sesuai untuk satu jenis tanaman. Sebagai contoh, media MS (Murashige dan Skoog) dapat digunakan untuk banyak jenis tanaman. Banyak media yang digunakan sekarang ini merupakan modifikasi dari media MS
Faktor Media Zat Pengatur Tumbuh
Secara in vitro, pertumbuhan dan organogenesis amat bergantung kepada interaksi antara zat pengatur tumbuh endogen dengan zat pengatur tumbuh sejenis yang ditambahkan ke dalam media. Zat pengatur tumbuh yang paling efektif dan kombinasinya yang tepat juga bergantung pada jenis kombinasi media yang dipilih.
Faktor Media Interaksi antara ZPT dengan Genotipe
Untuk pertumbuhan dan perkembangan kultur in vitro diperlukan komposisi dan atau zat pengatur tumbuh yang berbeda untuk satu varietas dengan varietas lain dari suatu jenis tanaman yang sama. Di samping konsentrasi, jenis zat pengatur tumbuh yang digunakan juga memberi respon yang bervariasi anatar varietas. Sebagai contoh, pemakaian thidiazuron dan zeatin pengaruhnya sama terhadap pertumbuhan kalus P. lunatus cv. Jackson Wonder, akan tetapi pada cv. P1.260415 aktivitas thidiazuron sepuluh kali lebih besar dibandingkan zeatin..
Faktor Media Kondisi Fisik Media
Kondisi fisik media kultur jaringan yang dapat digunakan ada tiga jenis, yaitu padat, semi padat, dan cair. Pertumbuhan kalus dan laju pembentukan tunas dapat dipengaruhi oleh keadaan fisik media tersebut. Penggunaan media padat memiliki beberapa keuntungan, antara lain: Eksplan berukuran kecil mudah terlihat Tidak memerlukan alat bantu aerasi Tunas dan akar tumbuh teratur Untuk tujuan kultur kalus (bila menggunakan media cair, maka kultur kalus akan menjadi kultur suspensi).
Faktor Media Kondisi Fisik Media
Umumnya media cair digunakan untuk kultur suspensi. Akan tetapi, dapat digunakan juga untuk kultur organ dan kultur kalus untuk meningkatkan laju pertumbuhan. Laju pertumbuhan pada media cair dapat lebih tinggi karena permukaan eksplan kontak langsung dengan media, sehingga permukaan penyerapan hara atau zat pengatur tumbuh menjadi lebih luas. Di samping itu, dapat mengeliminir terakumulasinya senyawa toksik di sekitar jaringan karena adanya pengocokan. Penggunaan media padat yang dikombinasikan dengan media cair ternyata dapat digunakan untuk perbanyakan cepat yang efisien. Sebagai contoh, inisiasi tunas dilakukan pada media padat, kemudian ke media cair untuk mempercepat pertumbuhan tunas
Faktor Lingkungan Fisik Suhu
Suhu rata-rata kultur in vitro biasanya lebih tinggi dibandingkan suhu untuk pertumbuhan in vivo pada tanaman yang sama. Suhu ruang inkubasi umumnya diatur sama, baik siang maupun malam. Pada kebanyakan tanaman, jaringan akan tumbuh baik pada suhu 17°C hingga 32°C. Bebereapa peneliti menggunakan suhu ruang inkubasi yang disesuaikan dengan suhu alami tempat tanaman tumbuh, pada siang hari diberikan suhu lebih tinggi dari suhu rata-rata dan pada nalam hari lebih rendah 6°-8°C. Tanaman tropika biasanya menghendaki suhu yang lebih tinggi dibandingkan tanaman subtropika, yaitu rata-rata 27.7°C dengan selang antara 24°C - 32°C. Setiap jenis tanaman memiliki suhu optimum untuk pertumbuhan dan perbanyakannya. Suhu ruang inkubasi dalam kultur jaringan akan mempengaruhi keberhasilan hidup eksplan, laju perkembangan kalus, dan morfogenesis/ organogenesis.
Faktor Lingkungan Fisik Suhu
Suhu rendah kerapkali digunakan untuk tujuan mematahkan dormansi, antara lain untuk mematahkan dormansi mata tunas dan umbi. Dormansi kadang-kadang berlangsung pada saat tanaman dikulturkan atau setelah planlet diaklimatisasi. Untuk merang-sang pertumbuhan tanaman atau umbi yang dorman, dapat dilakukan dengan memberikan suhu rendah beberapa minggu. Dormansi juga dapat dipatahkan dengan memberi perlakuan zat pengatur tumbuh. Sebagai contoh, dormansi tunas kultur pucuk tanaman Clematis dapat dipatahkan dengan memberikan perlakuan GA3 100 mg/L
Faktor Lingkungan Fisik Kelembaban Udara
Kelembaban udara dalam kultur jaringan jarang sekali dibahas. Padahal kelembaban yang rendah dapat mengakibatkan kekering-an bahan tanaman, sebaliknya kelembaban yang tinggi kerapkali mengakibatkan tanaman mengalami vitrous. Kelembaban relatif di ruang inkubasi adalah sekitar 70%, di dalam botol dibutuhkan kelembaban yang lebih tinggi.
Faktor Lingkungan Fisik Cahaya
Ada tiga hal dalam pemberian cahaya yang mempengaruhi kultur in vitro, yaitu panjang gelombang cahaya, intensitas cahaya, dan fotoperidisitas. Pertumbuhan organ tanaman secara in vitro yang optimal seringkali memerlukan adanya cahaya. Namun tidak demikian dengan proses pembelahan sel. Pada awal pembelahan sel dari eksplan yang dikulturkan dan pertumbuhan kalus kadang-kadang dihambat oleh adanya cahaya.
Faktor Lingkungan Fisik Jenis Wadah Kultur
Berbagai macam wadah dapat digunakan dalam kultur in vitro. Wadah yang terbuat dari gelas dapat digunakan berulang-ulang. Sedangkan wadah yang terbuat dari pelastik hanya sekali pakai. Wadah yang terbuat dari gelas, apalagi dibuat dari bahan boro-silicate, harganya cukup mahal. Tabung reaksi ataupun petridis juga dapat digunakan dalam kultur in vitro. Hanya saja penggunaan petridis memiliki kelemahan dalam mengontrol kontaminasi. Dalam satu petridis biasanya dikulturkan beberapa eksplan, bila satu eksplan saja terkontaminasi, maka eksplan yang lain juga mudah terkena. Wadah kultur yang terbuat dari pelastik (polypropylene) biasanya digunakan sekali. Wadah ini umumnya untuk laboratorium komersial, sehingga dapat mengurangi biaya untuk pencucian dan sterilisasi.
Faktor Lingkungan Fisik Jenis Wadah Kultur
Pertumbuhan dan morfogenesis jaringan juga dapat dipengaruhi oleh volume wadah kultur. Hal ini mungkin disebabkan oleh konsentrasi O2, etilen, dan gas-gas lainnya yang terdapat dalam wadah kultur. Sebagai contoh, tunas tanaman Saintpaulia berukuran lebih besar dan lebih vigor bila ditumbuhkan dalam wadah berukuran 120 ml dibandingkan 60 ml. Laju multiplikasi Saintpaulia dua kali lebih banyak dibandingkan dengan yang dikulturkan dalam wadah berukuran 30 ml
Faktor Fisiologi Jaringan Eksplan
Pertumbuhan dan morfogenesis kultur dipengaruhi juga oleh kondisi fisik dan fisiologi jaringan eksplan. Kondisi tersebut biasanya tidak berkaitan dengan genetik, meskipun interaksi antara keduanya pasti terjadi. Ada tiga faktor utama yang berperan terhadap pertumbuhan dan morfogenesis yang berkaitan satu sama lain, yaitu: Bagian dari ekspresi total potensial genetik tanaman (plant’s total genetic) Perlakuan yang diberikan kepada tanaman induk sebelum eksplan diambil Eksplan
Faktor Fisiologi Jaringan Eksplan Ekspresi Genetik
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa sel-sel dari jaringan tanaman yang berbeda hanya mentranslasi sebagian informasi genetik total (genom) yang dikandungnya. Informasi yang digunakan untuk pembentukan dan pemeliharaan sel-sel akar tentunya tidak akan sama dengan informasi yang digunakan untuk pembentukan jaringan kalus. Pola ekspresi gen yang stabil dan dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya (kecuali diganggu oleh pengaruh eksternal) disebut epigenetik.
Faktor Fisiologi Jaringan Eksplan Ekspresi Genetik
Beberapa status semipermanen dapat diinduksi dan dipelihara/dijaga dalam kultur in vitro, sebagai contoh: Berbagai fase fisiologi pertumbuhan Meristem apikal untuk memproduksi organ tertentu dalam jangka waktu yang lama Kapasitas atau kompetensi jaringan tanaman untuk tumbuh dan/atau morfogenesis
Faktor Fisiologi Jaringan Eksplan Perlakuan pada Tanaman Induk
Tanaman induk yang akan diambil eksplannya sebaiknya dipilih dari tanaman yang sehat, vigornya tinggi, dan sedang aktif tumbuh tanpa mengalami cekaman (stres). Perubahan suhu, lama penyinaran, intensitas cahaya, dan cekaman air akan menghasilkan perubahan kandungan karbohidrat, protein, dan zat pengatur tumbuh pada tanaman induk. Hal ini akan mempengaruhi respon jaringan yang dikulturkan bila pengambilan eksplan dilakukan pada waktu yang berbeda.
Faktor Fisiologi Jaringan Eksplan Perlakuan pada Tanaman Induk
Penyinaran yang diberikan kepada tanaman induk sebelum eksplan diambil juga dapat mempengaruhi respon pertumbuhan eksplan secara in vitro. Petioele daun Begonia x Hiemalis yang diberi penyinaran selama 15 - 16 jam sehari pada suhu 18°C - 20°C akan membentuk tunas adventif dan akar, sedangkan petiole yang diberi penyinaran 7 - 8 jam pada suhu 15°C tidak terjadi organogenesis. Daun tanaman Streptocarpus akan menghasilkan tunas dan akar lebih banyak bila tanaman induk sumber eksplan ditumbuhkan pada suhu 12°C dibandingkan yang ditumbuhkan pada suhu 18°C.
Faktor Fisiologi Jaringan Eksplan Perlakuan pada Tanaman Induk
Perlakuan dengan zat pengatur tumbuh pada tanaman induk sebelum eksplan diambil juga sudah banyak diteliti. Sebagai contoh, tanaman induk petunia yang diberi penyinaran sinar merah (yang mempunyai pengaruh sama dengan sitokinin) ternyata meningkatkan percabangan dan juga meningkatkan jumlah tunas bila dikulturkan secara in vitro. Eksplan daun Mulberry yang diambil dari tanaman induk yang diperlakukan dengan BAP akan membentuk tunas adventif bila dikulturkan in vitro.
Faktor Fisiologi Jaringan Eksplan Eksplan
Keberhasilan morfogenesis suatu kultur in vitro sangat dipengaruhi oleh eksplan yang dikulturkan. Eksplan yang dimaksud adalah menyangkut jenis, ukuran, umur, dan cara mengkultukan eksplan. Umur eksplan dapat ditentukan dengan tiga cara: 1) umur bahan yang dikulturkan atau periode terbentuknya jaringan (cara paling mudah menentukan umur suatu organ), 2) fase pertumbuhan (umur fisiologis), dengan cara ini dikenal istilah muda (diambil dari bagian dewasa) atau tua (diambil dari bagian juvenil yang sedang aktif tumbuh), dan 3) umur sekuensial, artinya umur eksplan termuda adalah bagian yang tidak berdiferensiasi dan aktif membelah (meristem apikal). Apabila eksplan yang digunakan berasal dari planlet in vitro, maka istilah umur eksplan adalah periode kultur, yaitu periode waktu dari saat pertama kali dikulturkan secara in vitro sampai siap dipakai sebagai sumber eksplan. Umur eksplan lebih jauh diuraikan pada bagian preparasi eksplan.
Faktor Fisiologi Jaringan Eksplan Eksplan
Periode kultur kalus akan mempengaruhi potensial morfogenetik dari sel tersebut. Potensialnya akan meningkat hanya dalam waktu singkat (satu atau dua kali subkultur), diikuti dengan kemampuan regenerasi yang tinggi. Setelah itu potensial morfogenesisnya akan menurun. Penurunan morfogenesis (daya regenerasi) akibat subkultur yang terus menerus belum diketahui penyebabnya dengan pasti. Hal tersebut diduga oleh karena:
Faktor Fisiologi Jaringan Eksplan Eksplan
Perbedaan genetik populasi sel. Kondisi kultur yang optimum untuk pembelahan sel secara cepat ternyata bertentangan dengan kemampuan untuk melangsungkan proses morfogenesis. Beberapa perlakuan cekaman (untuk kegiatan seleksi) juga dapat mengakibatkan sel kehilangan informasi genetik totipotensi-nya. Adanya senyawa pendorong morfogenesis. Berkurangnya senyawa pendorong morfogenesis (atau meningkatnya aku-mulasi senyawa penghambat morfogenesis) dalam eksplan akan mengakibatkan penurunan kemampuan regenerasi.
Faktor Fisiologi Jaringan Eksplan Eksplan
Terjadi perubahan epigenetik. Selama proses subkultur mekanisme pengaturan informasi genetik yang mengontrol morfogenesis bisa tidak berfungsi. Hal ini bisa disebabkan karena: 1) hilangnya daya totipotensi sel-sel yang tidak kompeten dan 2) hilangnya/berkurangnya kemampuan morfogenesis sel-sel tersebut. Ukuran eksplan juga akan menentukan keberhasilan kultur. Eksplan yang berukuran terlalu kecil akan kurang daya tahannya bila dikulturkan. Sebaliknya eksplan yang berukuran terlalu besar akan sulit untuk mendapatkan eksplan yang steril. Setiap jenis tanaman maupun organ memiliki ukuran eksplan yang optimum untuk dikulturkan..
Kultur Jaringan Tanaman
FAKTOR LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
Irfan Suliansyah PS. Agroekoteknologi
Ruang Kultur Ruang kultur (ruang inkubasi) harus dilengkapi dengan cahaya dan suhu yang dapat dikontrol Satu ruang kultur tidaklah memadai terutama bila bekerja dengan berbagai species yang memiliki kebutuhan suhu yang berbeda
Untuk pengatur suhu dilakukan dengan AC dan untuk pengatur cahaya digunakan lampu neon. Untuk negara subtropik diperlukan alat pemanas ruangan Posisi rak kultur harus tidak mengganggu ventilasi yang mengakibatkan kekurangan oksigen dan CO2 untuk respirasi dan fotosintesis
Lampu neon diletakkan di bawah rak atau di atas kultur, cahaya lebih seragam tetapi suhu lebih tinggi Lampu neon diletakkan diantara rak secara sentral, suhu tinggi dapat dihindari tetapi iradiasi menjadi kurang baik.
Sulit untuk menentukan apakah kultur akan ditumbuhkan pada kondisi gelap atau terang ?. Kultur akan ditumbuh pada suhu rendah atau tinggi ?. Untuk memutuskan keadaan tersebut adalah dengan mencobakan secara in
vitro.
Faktor fisik Cahaya merupakan masalah yang rumit : panjang hari, intensitas cahaya dan kualitas cahaya. Panjang hari yang umum digunakan 12 – 16 jam per hari, meskipun ada kultur yang diberi cahaya terus menerus.
Pada beberapa kasus pertumbuhan dilakukan pada keadaan gelap terus menerus seperti eksplan yang mengalami pencoklatan atau kalus. Pada dasarnya panjang hari yang terbaik secara in vitro akan sama dengan pertumbuhan stek atau tanaman utuh.
Iradiasi Iradiasi memiliki informasi yang lebih banyak, iradiasi yng tinggi biasa terjadi di lapang atau pada fitotron (300 – 700 µmol m-2 s-1) tanpa kecuali akan merusak pada kultur in vitro. Pertumbuhan umumnya berlangsung pada iradiasi 80 – 150 µmol m-2 s-1
Lampu neon (mengeluarkan cahaya UV) hampir selalu digunakan untuk kultur in vitro. Cahaya UV dapat menghambat pertumbuhan tunas. Pertumbuhan jaringan tembakau + IAA lebih baik pada cahaya merah daripada cahaya biru.
Pada beberapa kasus penggunaan lampu sodium dengan tekanan tinggi memberikan pertumbuhan yang cukup baik. Cahaya merah menstimulir perumbuhan akar adventif. Pertumbuhan kalus lebih baik pada cahaya putih dan biru daripada cahaya merah.
Suhu
Suhu biasanya diatur 24 - 28°C. Suhu < 18°C dan > 28°C tergantung pada species. Suhu optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan in vitro umumnya 3 - 4°C > in vivo. Suhu rendah atau sangat rendah dapat digunakan untuk menghentikan pertumbuhan kultur in vitro (freezing).
Kelembaban
Sangat sedikit yang diketahui mengenai kelembaban ruang inkubasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara in vitro. Kelembaban dalam tabung reaksi relatif tinggi. Kelembaban yang tinggi dalam ruang inkubasi akan mengakibatkan tingginya infeksi.
Air Ketersediaan air (yang dapat dikintrol melalui konsentrasi agar) mempengaruhi vitrifikasi Secara umum ketersediaan air hanya berpengaruh kecil pada pertumbuhan kultur
Oksigen Aerasi yang baik merupakan faktor penting untuk pertumbuhan sel, jaringan, dll. Pasokan oksigen pada tabung reaksi dapat disokong melalui penggunaan tutup metal, tidak menggunakan tutup kapas dan menggunakan media cair.
Pembentukan organ, khususnya pembentukan akar adventif disokong oleh pasukan oksigen yang baik. Pertumbuhan kalus juga disokong melalui aerasi wadah kultur
Karbondioksida
Meskipun CO2 dapat digunakan sebagai sumber karbon bagi kultur in vitro, akan tetapi kenyataan sukrosa merupakan sumber karbon yang lebih baik. Penambahan CO2 in vitro tidaklah terlalu memberipengaruh karena [CO2] dalam tabung sangat tinggi Fs in vitro < kondisi normal
Arus/Aliran Listrik
Apabila arus lemah (1µA) dilewatkan diantara jaringan dan media kultur, akan terlihat pertumbuhan kalus yang dramatik. Efek tersebut bergantung pada arah arus, bila kalus dibuat negatif maka laju pertumbuhan meningkat 70 %. Bila arus dibalik hanya sedikit pertambahan pertumbuhan kalus
Komponen lain
Etilen, etanol, dan asetaldehid senyawa yang didapatkan daam kultur in vitro. Pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tergantung konsentrasi, jaringan dan species yang dikultur Pada umumnya senyawa ini menghambat.
Kultur Jaringan Tanaman
KULTUR KALUS, KULTUR SUSPENSI, DAN SELEKSI IN VITRO
Irfan Suliansyah PS. Agroekoteknologi
Kalus……..?
Kalus pada dasarnya merupakan kumpulan sel-sel yang tidak/belum terorganisir. Secara alamiah kalus dapat muncul dari pelukaan jaringan atau organ. Pada banyak spesies tanaman pertumbuhan dan perkembangan kalus dapat dirangsang melalui pemberian zat pengatur tumbuh dan media tertentu.
Kalus dapat terus dipertahankan dan diperbanyak dengan pengaturan media. Pada kondisi tertentu dan kerapkali secara spontan, kalus mampu bergenerasi membentuk organ-organ adventif dan /atau emrio.
Tiga Tahapan Kultur Kalus
Induksi (Induction): Sel-sel pada eksplan mulai berdediferensiasi dan mulai membelah
Proliferasi/Perbanyakan (Proliferative): Pembelahan sel yang cepat
Diferensiasi (Differentiation) (sometimes): lintasan metabolik atau organogenesis
INDUKSI KALUS
Tanaman terdiri atas sel-sel yang telah terdiferensiasiasi Perlu dediferensiasi sebelum proses pembelahan sel dan pembentukan kalus berlangsung. Jika eksplan telah memiliki jaringan merismatik, maka pembentukan kalus dapat segera berlangsung. Setelah dediferensiasi, kalus dapat terbentuk melalui pengaturan zat pengatur tumbuh yang terdapat pada media.
Induksi Kalus
© 1998-2003, Branch of Shemyakin&Ovchinnikov IBCh RAS
Kalus
© 1998-2003, Branch of Shemyakin&Ovchinnikov IBCh RAS
Photo 2. Callus forming on caper leaf (A) and stem cutting (B) 2 weeks after culture on MS12 medium containing 2 mg/L 2,4-D, 1 mg/L NAA, and 0.1 mg/L GA3.
Pembelahan Kalus
E. Sutton, UC Davis
Diferensiasi Organogenesis
Embriogenesis
Somatik
Berbagai tipe organ (akar, batang, daun, bunga) dan jaringan dapat digunakan sebagai bahan awal pembentukan kalus Bahan yang digunakan, umur dan posisi asal bahan tanaman amat berpengaruh terhadap proses pembentukan kalus, sekaligus mempengaruhi pembentukan organ.
Respon pembentukan kalus pada tanaman monokotil berbeda dibandingkan tanaman dikotil. Hal ini mengakibatkan perlunya penambahan auksin sebagai stimulus untuk induksi kalus. Karena amat sulit untuk membentuk kalus pada tanaman monokotil, maka kerapkali digunakan emrio, bibit atau bunga muda untuk bahan awal inisiasi kalus.
Umumnya tanaman memerlukan tambahan zat pengatur tumbuh untuk menginisiasi kalus. Zat pengatur tumbuh eksogen yang dibutuhkan sangat bergantung pada genotipe dan kandungan zat pengatur tumbuh endogen. Untuk inisiasi kalus kebanyakan tanaman memerlukan auksin, tanaman lain memerlukan auksin dan sitokinin, atau sitokinin saja. Komponen lain seperti sumber dan konsentrasi karbohidrat, senyawa aditif media (cesein hydrolysate, malt extract, air kelapa dll.) amat penting dalam pembentukan kalus.
Kultur Kalus Setelah induksi , kalus selanjutnya ditumbuhkan pada media baru. Subkultur pertama biasanya dilakukan pada media solid dengan kondisi pertumbuhan sama seperti untuk induksi kalus. Hanya saja konsentrasi auksin dan sitokininnya lebih rendah.
Jaringan kalus yang berasal dari spesies tanaman yang berbeda akan memiliki struktur dan pertumbuhan kalus yang berbeda juga. Warna dan kekerasan kalus juga berbeda. Pertumbuhan kalus pada tanaman yang sama juga seringkali berbeda bergantung pada posisi asal eksplan dan kondisi pertumbuhan.
Kultur kalus pada media solid umumnya lebih lambat dibandingkan media cair (dengan di shaker). Laju pertumbuhan yang berbeda dapat disebabkan oleh kontak antara kalus dengan media serta pengambilan oksigen yang lebih baik pada media cair.
Pembentukan organ-organ adventif dan/atau emrio somatik dapat terjadi bergantung pada spesies tanaman dan asal kalus muncul. Kapasitas regenerasi jaringan kalus dapat berkurang atau sama sekali hilang jika pertumbuhan kultur berlangsung terlalu lama. Sejauh ini tidak diketahui penyebabnya.
Kalus biasanya lebih mudah untuk beregenerasi menjadi akar adventif dibandingkan tunas adventif. Pembentukan akar biasanya berlangsung pada media yang mengandung konsentrasi auksin tinggi dan konsentrasi sitokinin rendah. Sebaliknya pembentukan tunas dapat terjadi pada jaringan kalus yang ditumbuhkan pada media yang mengandung konsentrasi auksin rendah dan sitokinin tinggi.
Embrio yang dihasilkan dari kalus disebut dengan embrio somatik. Emrio somatik memiliki kemiripan yang amat besar dengan embrio zigotik. Sel-sel kalus yang akan membentuk embrio seringkali berukuran kecil, sitoplasmanya tebal, nukleus besar, nukleoli jelas, vakuola kecil dan banyak mengandung butiran pati. Perkembangan embrio dari sel-sel embriogenik umumnya terjadi pada media yang tidak mengandung auksin.
Embriogenesis sangat jarang digunakan untuk tujuan propagasi. Teknik ini seringkali digunakan untuk menghasilkan mutan atau somaklon yang digunakan untuk program pemuliaan tanaman.
Kultur Suspensi
Kultur suspensi sel tanaman secara luas digunakan sebagai model untuk mempelajari lintasan motabolisme sekunder, ekspresi gen, dan amat berguna pada tahap seleksi in vitro dan transfer gen. Kebanyakan kultur suspensi diperoleh melalui kelompok kalus yang diagitasi pada media cair dengan komposisi media yang sama dengan komposisi media untuk pertumbuhan kalus.
Laju agitasi berkisar antara 30-150pm Pada media tahap awal subkultur ke media baru, kalus yang berukuran besar sebaliknya dipisahkan menjadi kalus yang berukuran kecil. Untuk setiap kultur sel terdapat ukuran minimal kalus, apabila dibawah ukuran tersebut maka kultur tidak akan tumbuh Jumlah sel pada kultur suspensi dapat ditentukan/ dihitung dengan haeomocytometer.
Seleksi In Vitro
Seleksi terhadap sel-sel yang dikulturkan dapat menghasilkan mutan dalam jumlah yang amat banyak. Mutan-mutan yang dihasilkan umumnya diseleksi untuk melihat tingkat resistensinya. Sel-sel resisten dalam jumlah yang banyak dapat diseleksi dengan melihat kemampuannya untuk tumbuh pada media yang mengandung inhibitor, sel-sel yang sensitif tertentu tidak akan tumbuh. Percobaan seleksi in vitro telah banyak dilakukan untuk menghasilkan tanaman tahan herbisida serta tanaman tahan kekeringan dan kadar aram yang tinggi.
Prosedur seleksi sel-sel tanaman yang resisten terhadap inhibitor melalui kalus agak lebih sulit dibandingkan seleksi pada tingkat sel. Pada prosedur ini potongan kecil kalus yang seragam (25-250mg bobot basah) diletakkan pada media solid yang telah diberi perlakuan inhibitor dengan konsentrasi letal, subletal, dan borderline lethal. Selama inkubasi, sel resiten biasanya diketahui dengan melihat bagian yang tumbuh lebih vigor.
Seleksi resistensi galur sel yang berasal dari sel atau protoplas memilki beberapa keuntungan. Kultur protoplas dan kultur sel dapat langsung disiapkan langsung dari seluruh bagian tanaman. Klon yang berasal dari galur sel yang didapatkan dari seleksi dengan menggunakan sel tunggal lebih pasti hasilnya dibandingkan yang berasal dari kultur kalus.
Kultur Jaringan Tanaman
KERAGAMAN SOMAKLONAL
Irfan Suliansyah PS. Agroekoteknologi
Keragaman Somaklonal Keragaman genetik pada tanaman yang dihasilkan dari tanaman hasil kultur jaringan dan dapat dideteksi karakter genetik atau fenotipiknya
Gambaran Dasar Keragaman Somaklonal
Keragaman kariotipe, karakteristik morfologi somakonal juga dipelajari.
isozim,
dan
Calliclone (clones of callus), mericlone (clones of meristem) and protoclone (clones of Protoplast) were produced.
Generally heritable mutation and persist in plant population even after plantation into the field
Mekanisme Keragaman Somaklonal 1. Genetik (Keragaman/variasi yang diturunkan) • Pre-existing variations in the somatic cells of explant • Caused by mutations and other DNA changes • Occur at high frequency 2. Epigenetik (Variasi yang tidak diturunkan) • Variations generated during tissue culture • Caused by temporary phenotypic changes • Occur at low frequency
Callus Tissue
Organogenesis
Regenerated plants
Somaclonal Variants
Hardening and Selfing
Steps involved in induction and selection of Somaclonal Variations
Biochemical Cause
Physiological Cause
Genetic Cause
Penyebab Fisiologis Adanya
zat pengatur tumbuh
Kondisi
kultur
Penyebab Genetis 1.
Perubahan jumlah kromosom
Euploidi: perubahan set kromosom Aneuploidi: perubahan sebagian set kromosom
2.
Poliploidi: Organisme yang memiliki lebih dari 2 set kromosom Monoploidi: Organisme yang memiliki satu set kromosom
Perubahan struktur kromosom
Delesi Inversi Duplikasi Translokasi
Penyebab Genetis 3. Mutasi Gen
Tansisi Transversi Insersi Delesi
4. Mutasi Plasmagen 5. Aktivasi Elemen Transposon
Penyebab Genetis 6. DNA sequence Change in DNA Detection of altered fragment size by using Restriction enzyme
Change in Protein Loss or gain in protein band Alteration in level of specific protein
Methylation of DNA Methylation inactivates transcription process.
Penyebab Biokimia
Lack of photosynthetic ability due to alteration in carbon metabolism
Biosynthesis of starch via carotenoid pathway
Nitrogen metabolism
Antibiotic resistance.
Deteksi dan Isolasi Keragaman Somaklonal 1.
Analisis Karakter Morfologi
2.
Deteksi varian oleh studi sitologis
3.
Karakter kualitatif: tinggi tanaman, waktu pematangan, waktu pembungaa, luas daun Karakter kuantitatif: hasil bunga, biji dan kandungan wakx di berbagai bagian tanaman
Staining jaringan meristematik seperti ujung akar, ujung daun dengan feulgen dan acetocarmine menghasilkan jumlah dan morfologi dan kromosom.
Deteksi varian dengan kandungan DNA
Deteksi Cytophotometer staining inti dapat digunakan untuk mengukur kandungan DNA.
Deteksi dan Isolasi Keragaman Somaklonal 4. Variant detection by gel electrophoresis
Change in concentration of enzymes, proteins and hemical products like pigments, alkaloids and amino acids can be detected by their electrophoretic pattern
5. Detection of disease resistance variant
Pathogen or toxin responsible for disease resistance can be used as selection agent during culture.
6. Detection of herbicide resistance variant
Plantlets generated by the addition of herbicide to the cell culture system can be used as herbicide resistance plant.
Deteksi dan Isolasi Keragaman Somaklonal 7. Detection of environmental stress tolerant variant
Selection of high salt tolerant cell lines in tobacco Selection of water-logging and drought resistance cell lines in tomato Selection of temperature stress tolerant in cell lines in pear. Selection of mineral toxicities tolerant in sorghum plant (mainly for aluminium toxicity)
Keuntungan Keragaman Somaklonal
Menolong perbaikan tanaman Menghasilkan keragaman genetik Meningkatkan dan memperbaiki produksi metabolit sekunder Seleksi resisten tanaman terhadap berbagai toksin, herbisida, konsenterasi garam yang tinggi, dan keracunan mineral Sesuai untuk pemuliaan spesies pepohoan
Kerugian Keragaman Somaklonal
Apabila tujuannya adalah untuk perbanyakan secara massal genotipe-genotipe elit yang seragam, maka dengan adanya keragaman somaklonal mengakibatkan kerugian Kadang-kadang dihasilkan sifat yang tidak dikehendaki Varian yang dihasilkan bersifat acak dan tidak stabil secara genetik Membutuhkan percobaan lapang yang luas Tidak sesuai bagi karakter agronomis yang komplek, seperti pane, kualitas, dll. Dapat berkembang varian yang pleiotropik
Kultur Jaringan Tanaman
PRODUKSI TANAMAN BEBAS VIRUS
Irfan Suliansyah PS. Agroekoteknologi
Infeksi Virus
Virus adalah paket kecil informasi genetik (RNA atau DNA) yang merupakan benda asing bagi tanaman inang. Tanaman-tanaman budidaya yang terinfeksi patogen selain mengakibatkan penurunan vigor, kualitas, dan hasil panen juga merupakan penghalang bagi pertukaran plasmanutfah internasional. Tidak seperti fungi dan bakteri yang menyerang tanaman, penyakit akibat virus bersifat persisten dan tidak dapat diobati dengan perlakuan pestisida. Replikasi virus dalam tanaman inang memiliki pengaruh yang amat besar. Gejala-gejala yang muncul lebih banyak disebabkan oleh kejadian-kejadian sekunder daripada oleh replikasi virus itu sendiri. B eberapa virus yang memiliki tingkat replikasi tinggi ternyata hanya memunculkan gejala yang ringan, bahkan tanpa gejala. Kadang-kadang manipulasi lingkungan atau penyemprotan zat pengatur tumbuh dapat membantu memperbaiki/menghilangkan gejala tanpa mereduksi replikasi virus.
Infeksi Virus
Hingga saat ini sudah dibuktikan bahwa virus tanaman tidak mengandung enzim, toksin, atau senyawa lain yang terlibat dalam patogenisitas dan mengakibatkan berbagai gejala pada inangnya. Satu-satunya determinan penyakit tersebut adalah asam nukleat virus (RNA atau DNA). Pada umumnya virus akan mengakibatkan penurunan fotosintesis melalui penurunan jumlah klorofil per daun, efisiensi klorofil, dan luas daun per tanaman. Kerapkali virus mengakibatkan penurunan jumlah zat pengatur tumbuh endogen dalam tanaman dan sebaliknya meningkatkan senyawa penghambat tumbuh. Fenomena lain pada tanaman terinfeksi virus adalah adanya penurunan nitrogen terlarut pada saat sintesis virus. Di samping itu, tanaman yang memunculkan gejala mosaik biasanya terjadi penurunan jumlah karbohidrat pada jaringannya Untuk meningkatkan keberhasilan eliminasi virus dari tanaman diperlukan beberapa tahapan yang harus dikembangkan: a) metodologi untuk mengidentifikasi tanaman yang terinfeksi virus harus tersedia (seperti ELISA atau hibridisasi dot blot asam nukleat) dan b) teknik kultur jaring-an untuk eliminasi virus harus dikembangkan (kultur tunas aseptik atau kultur kalus embrionik).
Eliminasi Penyakit Melalui Kultur Jaringan Kultur Meristem
Virus umumnya menyebar tidak merata pada tanaman yang terinfeksi.
Meristem apikal seringkali bebas dari partikel virus atau kalaupun ada konsentrasinya sangat rendah.
Alasan yang mendasari meristem apikal bebas dari invasi virus adalah: a) pergerakan virus pada tubuh tanaman berlangsung melalui sistem vaskular, sistem tersebut tidak ditemukan pada meristem; b) mitosis pada sel meristem berkompetisi dengan multiplikasi virus ; c) sistem inaktivasi virus pada meristem memiliki aktivitas yang tinggi; d) konsentrasi auksin pada meristem mungkin menghambat multiplikasi virus; dan e) kerusakan jaringan yang disebabkan pemotongan meristem mengakibatkan degradasi virus.
Eliminasi Penyakit Melalui Kultur Jaringan Kultur Meristem
Peneliti awal kultur meristem dilakukan oleh Morel dan Martin (1952) yang pertama kali mendemonstrasikan konsep regenerasi tanaman bebas virus dari ujung meristem tanaman dahlia. Sejak saat itu, kultur meristem secara ekstensif digunakan untuk memproduksi tanaman bebas patogen. Meskipun teknik kultur jaringan yang lain (seperti kultur kalus) telah berhasil digunakan untuk mengeliminasi virus dari tanaman, kultur meristem tetap merupakan teknik yang paling menguntungkan. Tanaman-tanaman yang telah berhasil dibebaskan dari virus antara lain adalah asparagus, pisang, ubikayu, kentang, tebu, strawberi, dan cauliflower. Meskipun pada dasarnya kultur meristem digunakan untuk eliminasi virus, akan tetapi kultur meristem juga sekaligus dapat digunakan untuk mengeliminasi patogen sistemik lainnya seperti fungi, bakteri, dan mikoplasma.
Eliminasi Penyakit Melalui Kultur Jaringan Eliminasi Penyakit Melalui Kultur Meristem dan Termoterapi Tanaman Tebu
Eliminasi Penyakit Melalui Kultur Jaringan Kultur Kalus Kultur kalus telah digunakan untuk memproduksi tanaman bebas penyakit. Eksplan yang diambil dari tanaman yang terinfeksi mungkin dapat bebas virus dengan sendirinya atau kalus yang berkembang menjadi bebas virus setelah beberapa kali subkultur. Pada kalus terlihat bahwa area yang bebas virus berkembang dari sektoring kalus. Regenerasi dari kalus tersebut memungkinkan diperolehnya tanaman yang bebas virus.
Eliminasi Penyakit Melalui Kultur Jaringan Metode In Vitro Lainnya
Adanya populasi sel yang tidak terinfeksi meskipun tanaman terinfeksi penyakit dengan berat serta sifat totipotensi sel tanaman dalam kultur memungkinkan diregenerasikan tanaman yang bebas virus. Metode yang digunakan adalah regenerasi cepat dari jaringan daun untuk meminimalkan pembentukan kalus serta kemungkinan terjadinya keragaman somaklonal. Hormon yang menginduksi pengkalusan, seperti 2,4-D, juga sebaiknya tidak digunakan. Metode yang lain adalah dengan meregenerasikan tanaman dari protoplas yang bebas virus. Tanaman-tanaman bebas virus juga dapat diperoleh dari jaringan gametofitik, seperti nuselus dan ovul.
Eliminasi Penyakit Melalui Termoterapi Prinsip dasar dari terapi panas untuk eradikasi virus adalah pada suhu tertentu banyak dari virus tanaman yang menjadi inaktif dengan sedikit atau tanpa merusak jaringan tanaman inangnya. Suhu yang rendah juga telah dicobakan dengan hasil yang cukup baik. Secara umum suhu yang sesuai untuk perlakuan panas adalah suhu yang menghambat multiplikasi virus atau suhu yang sesuai untuk meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman yang akan menghasilkan tunas baru yang bebas virus.
Eliminasi Penyakit Melalui Termoterapi
Beberapa metode perlakuan panas adalah air panas, udara panas, udara panas, atau aerated steam. Temperatur yang seringkali digunakan adalah 50 hingga 55°C selama 30 menit hingga 3 jam. Faktor pembatas termoterapi untuk eradikasi virus adalah kecilnya proporsi tanaman yang hidup setelah perlakuan panas. Jika potongan jaringannya berukuran panjang maka diperlukan waktu pemanasan yang lebih lama. Perpanjangan waktu pemanasan akan berpengaruh terhadap titik tumbuh tanaman. Aplikasi perlakuan panas bersamaan dengan kultur jaringan biasanya dilakukan bila kontaminasinya berat. Teknik umum yang telah banyak dilakukan adalah kultur ujung meristem dengan perlakuan termoterapi. Teknik ini telah banyak digunakan dan berhasil untuk membebaskan virus tanaman krisan, carnation, strawberi, ubi jalar, tebu, tembakau, dan kentang.
Eliminasi Penyakit Melalui Kemoterapi
Perlakuan kimia terhadap penyakit virus tanaman masih belum banyak dilakukan.
Hingga saat ini tidak ada senyawa kimia yang dapat mengontrol virus pada tanaman inang.
Kebanyakan senyawa kimia yang diuji bersifat fitotoksik dan virus akan bermultiplikasi setelah perlakuan kimia selesai diterapkan.
Salah satu kelompok senyawa antiviral yang banyak digunakan untuk pengujian eleminasi virus adalah nukleosida (Virazole, 2Thiouracil, 6-Azauracil) yang mampu membalikkan metabolisme asam nukleat dari virus.
Virazole merupakan agen antiviral yang telah banyak digunakan untuk eradikasi partikel virus pada tanaman tembakau, akan tetapi Virazole, seperti halnya kebanyakan antiviral, bersifat fitotoksik.
Thiouracil telah digunakan dalam media pada kultur ujung meristem dan diperoleh bibit yang bebas virus.
Deteksi dan Diagnosis Virus Eksistensi virus pada tanaman atau bagian tanaman dapat diketahui dengan satu atau beberapa metode pengujian virus. Metode pengujian virus yang umumnya digunakan adalah: a) tanaman indikator, b) serologi, c) mikroskopi elektron, dan d) elektroforesis. Teknik yang dipakai tergantung kepada macam virus yang hendak diteliti dan fasilitas yang tersedia. Uji serologi dilakukan berdasarkan reaksi protein virus sebagai antigen dengan antibodi hewan. Antiserum yang mengandung antibodi diperoleh dari darah hewan, umumnya kelinci, yang sebelumnya telah diinjeksi dengan virus. Dengan kondisi penyimpanan yang sesuai antiserum yang diperoleh dapat disim-pan dalam jangka waktu yang lama.
Deteksi dan Diagnosis Virus
Uji serologi memiliki beberapa keuntungan dibandingkan uji yang lainnya, yaitu antara lain hasil dapat lebih cepat diperoleh, pengujian lebih akurat, tidak memerlukan tenaga kerja yang banyak, dan tidak perlu tempat yang luas untuk pertumbuhan tanaman.
Berdasarkan kepekaannya, metode serologi dipilah men-jadi dua kelompok, yaitu: 1) uji serologi dengan kepekaan rendah, seperti uji pre-sipitasi, difusi agar ganda, dan uji aglutinasi lateks, dan 2) uji serologi dengan ke-pekaan tinggi, seperti enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dot immuno-binding, dan immunosorbent electron microscopy (ISEM).
Akhir-akhir ini metode identifikasi virus secara rutin sudah semakin berkembang.
Metode tersebut meliputi identifikasi coat protein virus atau asam nukleat yang terkandung dalam coat protein. Berikut ini disajikan beberapa teknik untuk mengidentifikasi virus.
Deteksi dan Diagnosis Virus Metode untuk Mendeteksi Virus VIRUS
PROTEIN COAT
NUCLEIC ACID
SAP
ANTIBODY
CLONED SEGMENT
ELISA TEST
DETECTION SYSTEM
Deteksi dan Diagnosis Virus Enzyme Linked-Immunosorbent Assay (ELISA) Akhir-akhir ini pengujian virus tanaman secara serologi telah berkembang dengan pesat. Antiserum yang tersedia sekarang memiliki kisaran yang luas untuk berbagai jenis virus dan dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus-virus tersebut. Teknik ELISA merupakan uji serologis yang sensitif untuk banyak virus tanaman. Teknik ELISA yang digunakan dalam virologi tanaman dapat dilakukan secara langsung, yaitu antigen dideteksi secara langsung dengan antibodi spesifik yang berlabel enzim. Teknik ELISA juga dapat dilakukan secara tidak langsung, yaitu antigen dideteksi dengan antibodi yang kemudian dideteksi lagi dengan antibodi spesifik yang berlabel enzim.
Deteksi dan Diagnosis Virus Enzyme Linked-Immunosorbent Assay (ELISA)
ELISA double antibody sandwich (dasELISA) merupakan teknik yang paling banyak digunakan untuk mendeteksi virus tanaman. Prosedurnya adalah antibodi virus tertentu telah teradsorbsi pada lubang sumur plat ELISA. Sampel tanaman yang mengandung virus kemudian dimasukkan ke dalam lubang sumur tersebut. Partikel virus yang ada pada sampel akan terikat pada antibodi yang ada dalam lubang sumur plat. Kemudian tambahkan antibodi kedua yang berlabel enzim, sehingga akan terbentuk sandwich antibodi ganda. Komplek antigen-antibodi kemudian dideteksi dengan menambahkan substrat tertentu yang dapat bereaksi dengan enzim dan menghasilkan warna tertentu dan dapat diukur dengan spektrofotometer. Apabila tidak ada virus, maka tidak akan terbentuk komplek antigen-antibodi, sehingga label enzimnya juga tidak ada dan tidak akan terbentuk warna bila ditambahkan substrat.
Deteksi dan Diagnosis Virus Enzyme Linked-Immunosorbent Assay (ELISA)
Akhir-akhir ini pengujian virus tanaman secara serologi telah berkembang dengan pesat. Antiserum yang tersedia sekarang memiliki kisaran yang luas untuk berbagai jenis virus dan dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus-virus tersebut. Teknik ELISA merupakan uji serologis yang sensitif untuk banyak virus tanaman. Teknik ELISA yang digunakan dalam virologi tanaman dapat dilakukan secara langsung, yaitu antigen dideteksi secara langsung dengan antibodi spesifik yang berlabel enzim. Teknik ELISA juga dapat dilakukan secara tidak langsung, yaitu antigen dideteksi dengan antibodi yang kemudian dideteksi lagi dengan antibodi spesifik yang berlabel enzim.
Deteksi dan Diagnosis Virus Deteksi melalui Hibridisasi Asam Nukleat Karena partikel virus adalah RNA atau DNA, maka pelacak untuk virus adalah segmen-segmen DNA komplementernya. Pelacak tersebut mampu mendeteksi dan melekat pada RNA virus. Dengan menggunakan radioaktif atau biotin yang terikat pada segmen komplementernya, maka proses pelekatan dapat diamati dan virus dapat dideteksi. Nukleotida yang berlabel radioaktif 32P merupakan pelacak yang paling banyak digunakan untuk mendeteksi virus yang kemudian dapat dideteksi dengan autoradiografi. Biotin merupakan pelabel enzimatik nonradioaktif. Biotin akan terikat kuat pada protein yang akan mengikat ke enzim.
Kultur Jaringan Tanaman
KULTUR HAPLOID
Irfan Suliansyah PS. Agroekoteknologi
Tanaman Haploid Tanaman haploid adalah tanaman yang mempunyai jumlah kromosom sama dengan kromosom gamet. Tanaman haploid memiliki banyak kegunaan dalam penelitian genetika dan pemuliaan tanaman, antara lain: pada keadaan monohaploid semua sifat dapat ditampilkan (resesif/dominan), pada tingkat haploid (mono/di) seleksinya jauh lebih mudah dibandingkan tingkat ploidi yang lebih tinggi, penggandaan monohaploid menghasilkan tanaman dihaploid homozizot.
Penggandaan selanjutnya menghasilkan tetraploid homozigot, hibridisasi seksual atau somatik tetraploid x diploid menghasilkan tanaman triploid, kultur haploid digunakan untuk menghasilkan tanaman super jantan (asparagus), dan tanaman diploid dan tetraploid dapat dirilis sebagai kultivar baru.
Tanaman Haploid Telah diketahui banyak cara untuk mendapatkan individu-individu haploid. Pada sejumlah species, haploid terjadi secara spontan.
Produksi individu haploid dapat dilakukan melalui seleksi kembar (twin selection), persilangan dengan species liar, dan melalui teknik in vitro. Melalui teknik in vitro, haploid dapat diperoleh melalui kultur anter, kultur polen, dan kultur ovul bergantung kepada kemampuan kita untuk mendapatkan jaringan dengan jumlah kromosom haploid (n).
Haploid untuk Genetika dan Pemuliaan Tanaman Tanaman haploid dapat digunakan untuk mendeteksi besarnya interaksi gen, keterkaitan, pendugaan jumlah gen yang mempengaruhi ciri-ciri kuantitatif dan lokasi Quantitative Trait Loci atau QTL. Pada program pemuliaan tanaman kita dapat menggandakan jumlah kromosom individu-individu tersebut dan dengan segera dapat menghasilkan galur-galur homozigot tanpa membutuhkan 6 – 8 generasi hasil persilangan sendiri. Dengan demikian penggunaan tanaman haploid dapat mempercepat proses pemuliaan tanaman. Berikut ini disajikan contoh program pemuliaan tanaman Brassica napus.
Haploid untuk Genetika dan Pemuliaan Tanaman Pendekatan Konvensional Tahun 1
Tetua A x Tetua B
Biji F1 Tahun 2
Progeni F2
6 – 8 persilangan sendiri (single seed descent)
Tahun 6
Inbred Homozigot
Haploid untuk Genetika dan Pemuliaan Tanaman Pendekatan Kultur Anter Tahun 1
Tetua A x Tetua B
Anter F1
Tahun 2
Haploid dari Kultur Anter Perlakuan Penggandaan Kromosom
Tahun 3
Inbred Homozigot
Haploid untuk Genetika dan Pemuliaan Tanaman Dari Brassica napus, sekitar 1 – 3 embrioid dapat diperoleh dari setiap kultur anter. Beberapa genotipe dapat diperoleh lebih dari 190 per anter. Untuk species tertentu, seperti tembakau, dapat diperoleh 80 – 100 embrioid dari setiap anternya. Untuk sebagian besar species, seperti serealia, kentang, dan tomat, efisiensinya rendah, hanya sekitar 1 – 5% anter yang terbentuk planlet.
Pada beberapa species, embriogenesis langsung terjadi dari polen dalam anter. Sedangkan tanaman lain (termasuk tomat), kalus terbentuk dari polen dan tanaman harus diregenerasikan dari kalus tersebut.
Haploid untuk Genetika dan Pemuliaan Tanaman Karena kultur anter pertama kali diperoleh dari kultur Datura innoxia pada tahun 1964 tekniknya telah banyak digunakan secara luas di seluruh dunia dalam program pemuliaan tanaman. Kultivar-kultivar yang berasal dari kultur anter atau kultur mikrospora yang telah dirilis meliputi: Brassica napus, tembakau, padi, gandum, dan jagung.
Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Anter Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan anter untuk membentuk kalus, embrioid, atau tunas. 1. Fisiologi tanaman donor (fotoperiodisitas, suhu, status nutrisi) 2. Tahap perkembangan polen 3. Praperlakuan anter/kuncup bunga (dingin, gelap) 4. Komposisi medium basal 5. Keseimbangan fitohormon 6. Densitas plating 7. Lingkungan Kultur (cahaya, fotoperiodisitas, suhu) 8. Genotipe donor (kerapkali ini merupakan faktor yang paling penting).
Prosedur Kultur Anter Identifikasi Tahapan Perkembangan Polen Pada banyak species tanaman, anter akan baik untuk dikulturkan apabila polennya uniseluler dan uninukleat, atau pada saat memasuki mitosis I . Dengan demikian, sangatlah penting untuk menemukan seperti apa bentuk kuncup bunga pada saat polen telah memasuki fase yang sesuai. Pada tanaman tomat, hal ini amat bervariasi dari ukuran kuncup bunga 3 mm – 6 mm, bergantung pada kondisi pertumbuhan dan genotipe tanaman donor.
Prosedur Kultur Anter Tahapan Perkembangan Polen
Prosedur Kultur Anter Untuk tujuan pemuliaan tanaman, tanaman donor haruslah hibrid F1 atau generasi awal backcross (BC1, BC2, atau BC3). 1. Ambilah kuncup bunga contoh dari tanaman donor, dengan panjang berkisar 2 – 8 mm 2. Keluarkan anter dari tiap kuncup bunga
3. Fiksasi anter dalam etanol : asam asetat glasial (3 : 1) selama kurang lebih satu jam 4. Gantikan dengan larutan HCl 1M pada suhu 60°C selama 15 menit untuk hidrolisis jaringan
5. Gantikan HCl dengan pelarut Feulgens paling sebentar 30 menit 6. Letakkan anter pada wadah gelas, buka dengan jarum deseksi untuk mengeluarkan polen 7. Teteskan setetes acetocarmin 8. Amati perkembangan polen di bawah mikroskop
Prosedur Kultur Anter Sterilisasi permukaan kuncup bunga 1. Pilihlah kuncup bunga pada tahapan yang tepat 2. Cuci dengan etanol 70% selama satu menit 3. Rendam dalam sodium hipoklorit 1% (ditambah 1 tetes Tween-20) selama 15 menit 4. Bilas dengan air destilasi steril sebanyak tiga kali 5. Permukaan luar kuncup bunga sekarang telah bebas dari kontaminan. Tentunya jaringan di dalam kuncup bunga akan juga steril. Seluruh prosedur selanjutnya harus dilakukan dalam laminar air-flow cabinet, karena jaringan telah bebas kontaminan
Prosedur Kultur Anter Kultur Anter untuk Induksi Kalus Pada seluruh tahapan berikut ini diperlukan kehati-hatian agar tidak merusak dinding anter yang dapat mengakibatkan hilangnya respon pertumbuhan polen dan induksi kalus dari dinding anter yang memiliki jumlah kromosom somatik (Gambar 12.2). Tahapan pekerjaannya adalah sebagai berikut: 1. Potong dan buka kuncup bunga untuk mengeluarkan pistil dan anternya 2. Pisahkan anter dari filamennya. Hal ini penting agar filamen tidak ikut dikulturkan karena filamen merupakan jaringan diploid 3. Letakkan anter dari satu bunga pada media MS yang ditambah NAA (1 mg/L) dan Kinetin (1mg/L) 4. Seal petridis dengan Parafilm 5. Inkubasikan pada suhu 24/32°C, dengan cahaya 200 mol m-2 s-1 dengan panjang hari 16 jam
Prosedur Kultur Anter Kultur Anter untuk Induksi Kalus Induksi kalus dapat dilihat melalui mikroskop setelah 21 hari. Kalus yang terbentuk dari polen biasanya berwarna kuning atau putih. Sedangkan kalus yang berasal dari filamen biasanya berwarna hijau. Kalus yang berwarna hijau tersebut biasanya bisa dipotong dan dibuang. Pada kondisi ini biasanya akan didapatkan lebih dari 65% anter membentuk kalus. Setelah 40 hari pada media induksi, kalus dapat ditransfer ke media regenerasi tunas
Prosedur Kultur Anter Anter Tomat dengan Filamennya
Prosedur Kultur Anter Regenerasi Tunas dari Kalus Untuk regenerasi tunas dari kalus yang berasal dari anter, jaringan harus ditransfer dari media induksi kalus ke media regenerasi tunas dengan sitokinin tinggi dan auksin rendah atau tanpa auksin.
Media padat yang mengandung 2 mg/l kinetin atau BAP dapat mendorong pembentukan tunas melalui organogenesis.
Prosedur Kultur Anter Regenerasi Akar pada Tunas Setelah tunas muncul dan mencapai ukuran panjang sekitar 10 mm, maka tunas dapat ditransfer ke media perangsang induksi akar. Tunas dipotong dari kalus dengan pisau/scalpel dan forcep. Kemudian letakkan bagian yang terpotong ke media solid MS yang tidak mengandung hormon atau pada media yang ditambah IAA konsentrasi rendah (0.1 mg/L). Regenerasi akar sebaiknya dilakukan pada tabung reaksi (bukan petridis) agar memberikan ruang untuk pertumbuhan tunas..
Prosedur Kultur Anter Identifikasi Tanaman Haploid
Pada tahap ini diperlukan pengamatan untuk mengindentifikasi tanaman-tanaman yang haploid.
Sejumlah tanaman dapat tetap memiliki jumlah kromosom diploid (2n = 24, untuk tomat), baik karena penggandaan kromosom secara spontan, jaringan gamet yang nonreduksi, atau tanaman muncul dari jaringan somatik seperti dinding anter atau filamen.
Tidak perlu untuk membuang tanaman-tanaman tersebut, karena mungkin tanaman-tanaman tersebut dihasilkan dari penggandaan kromosom secara spontan, yang memang diinginkan oleh program pemuliaan tanaman.
Tanaman-tanaman haploid yang diperoleh tentunya kita yakini berasal dari polen.
Jaringan yang terbaik untuk penghitungan kromosom adalah ujung akar yang akan dapat segera membelah atau bila tidak bisa dengan akar, maka digunakan ujung daun muda.
Prosedur Kultur Anter Uji Progeni
Jika tanaman memiliki biji, kita dapat menduga bahwa tanaman tersebut diploid, meskipun pada beberapa kasus ditemukan aneuploid pada level diploid (terbentuk dari keragaman gametoklonal). Meskipun demikian, kita dapat memastikan bahwa tanaman-tanaman yang berbiji bukan merupakan tanaman haploid. Akan tetapi, kita harus mampu membedakan antara tanamantanaman yang berasal dari jaringan haploid atau yang berasal dari jaringan somatik. Hal ini dapat dilakukan melalui uji progeni. Sebagai contoh, biji (sekitar 20 biji) dikecambahkan dan ditanam dalam pot di Green House. Tanaman yang berasal dari jaringan gametik adalah tanaman yang homozigot, sedangkan tanaman yang berasal dari jaringan somatik adalah tanaman heterozigot. Dengan demikian segregasi dapat dilihat dari karakter progeni melalui pembandingan dengan tanaman induknya.
Kultur Jaringan Tanaman
KULTUR EMBRIO
Irfan Suliansyah PS. Agroekoteknologi
Prinsip Dasar Kultur Embrio Kultur embrio merupakan isolasi steril dan pertumbuhan embrio muda atau embrio matang secara in vitro, yang bertujuan untuk mendapatkan tanaman yang viabel. Hannig (1904) adalah ilmuwan yang pertama mendapatkan tanaman viabel dari embrio Cruciferae secara in vitro. Tahun 1924 dilakukan upaya pertama untuk memecah dormansi embrio secara in vitro Tahun 1929 upaya pertama untuk mengisolasi embrio Linum yang gugur in vivo dan diselamatkan serta tumbuh hingga matang secara in vitro. Tahun 1932, Tuckey berhasil mendapatkan hormon tanaman dari ribuan embrio yang gugur dari kultivar berbagai stonefruit.
Prinsip Dasar Kultur Embrio Pada prinsipnya ada dua tipe kultur embrio, yaitu:
1. Kultur embrio muda yang berasal dari biji-biji yang belum matang. Tipe kultur embrio ini terutama digunakan untuk mencegah keguguran embrio (tahap awal kematian embrio) dengan tujuan untuk mendapatkan tanaman viabel. Tipe kultur ini amat sulit, bukan hanya karena pekerjaan diseksinya, akan tetapi juga karena kompleknya kebutuhan media nutrisi. 2. Kultur embrio matang yang berasal dari biji-biji yang matang. Tipe kultur ini relatif mudah dan biasanya digunakan untuk mengeliminasi penghambatan perkecambahan biji. Penggunaan media yang sederhana dengan agar dan gula serta mineral pada tipe kultur ini umumnya sudah mencukupi.
Prinsip Dasar Kultur Embrio Jika beberapa embrio muda in vitro dan in vivo di bandingkan dimulai dari tahap globular, maka embrio in vitro biasanya memiliki: 1. Pertumbuhanya lebih besar dan berbentuk pear 2. Ekpresi morfogenetik dihambat, tahap globular lebih lama 3. Pada awalnya hanya terbentuk satu kotiledon (pada tanaman dikotil), kemudian muncul dua kotiledon secara simultan 4. Kemungkinan menunjukkan perkembangan polikotiledon (lebih dari dua kotiledon) yang sangat jarang terjadi secara in vivo Embrio yang diseleksi secara in vitro biasanya menunjukkan perkembangan yang cepat karena hilangnya inhibitor bila kulit biji dihilangkan.
Teknik Kultur Embrio Kultur embrio biasanya tidak akan menghadapi masalah desinfeksi. Biji yang telah matang didesinfeksi secara eksternal, kemudian embrio dikeluarkan setelah kulit biji dibuka. Diseksi embrio menghasilkan lebih banyak masalah. Mendeseksi embrio yang berukuran besar dapat dilakukan tanpa menggunakan mikroskop. Akan tetapi, untuk embrio berukuran kecil perlu menggunakan mikroskop dengan sumber cahaya yang dingin. Selama tahapan deseksi diperlukan jarum inokulasi dan pisau yang khusus. Perlu kehati-hatian pada saat memotong kulit biji, karena akan dengan mudah merusak embrio.
Teknik Kultur Embrio Beberapa contoh prosedur isolasi embrio adalah sebagai berikut: 1. Isolasi embrio cherry. Biji dikeluarkan dari buah, kemudian biji dimasukkan ke dalam wadah air untuk melihat apakah biji tanaman memiliki embrio yang baik atau tidak. Bila biji tenggelam, maka diduga embrionya baik. Biji tersebut kemudian didesinfeksi. Biji cherry steril kemudian dipecah dan embrio akan terlihat. Embrio dikeluarkan dengan bantuan forcep dan diinokulasikan ke media padat. 2. Tanaman barley. Buah dicuci dengan air steril dan diletakkan di petridis dengan bagian rachilla di bawah serta bagian lemma di atas. Setelah lemma, dinding buah, dan kulit biji dibuang, maka embrio akan terlihat. Embrio dipotong dengan pisau dan diinokulasikan ke media
Kultur Ovari/Ovul Karena embrio kadang-kadang sulit dideseksi, maka kultur ovari dan kultur ovul dapat digunakan. Kultur ovari dan kultur ovul lebih sesuai karena:
1. Diseksi embrio seringkali sulit (embrio mudah sekali rusak selama isolasi) dan butuh banyak waktu serta personalia pelaksana yang betulbetul terlatih. 2. Media yang dibutuhkan untuk kultur embrio jauh lebih kompleks dibandingkan dengan media yang dibutuhkan untuk kultur ovari atau kultur ovul
Kultur Ovari/Ovul Pada tahun 1967, Braak berhasil mengkulturkan ovul tanaman tomat, Rhododendron, tulip, selada, lili, bawang, Hibiscus, carnation, dan gerbera. Bajaj dan Bopp (1971) melaporkan hasil penelitiannya dengan tanaman Hevea, Papaver, dan Nicotiana. Akhir-akhir ini dikenal istilah kultur ovul embrio yang diintroduksikan selain kultur ovul, kultur ovari, dan kultur ovul terbuahi. Kultur ovul menjadi tidak berarti apabila endosperma mengekskresikan inhibitor bagi perkembangan embrio
Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Embrio Genotipe
Pada beberapa species tanaman, embrionya mudah tumbuh dan pada beberapa species lainnya sulit tumbuh. Bahkan terdapat perbedaan respon di antara kultivar dari species yang sama.
Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Embrio Tahap Perkembangan Embrio pada Waktu Isolasi Umumnya embrio yang berukuran amat kecil sulit untuk tumbuh secara in vitro. Semakin embrio berkembang secara in vivo, maka akan semakin mudah untuk dikulturkan secara in vitro. Kadang-kadang dengan penggunaan teknik tertentu embrio yang berukuran sangat kecil dapat dikulturkan, antara lain: dengan mengkulturkan secara bersamaan antara endosperma atau antara sepotong jaringan hipokotil dengan embrio atau embrio muda ditransplantasikan ke endosperma biji normal dari species tanaman yang sama.
Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Embrio Kondisi Pertumbuhan Tanaman Induk Biasanya tanaman induk ditumbuhkan di Green House, meskipun kadang-kadang digunakan bahan tanam yang diambil dari lapang, misalnya barley yang ditanam di lapang dipotong kemudian ditransfer ke larutan nutrisi yang diberi aerasi dalam fitotron. Peningkatan pertumbuhan tanaman induk pada kondisi terkontrol umumnya menghasilkan perkembangan endosperma yang baik, dengan demikian akan dihasilkan pertumbuhan embrio yang baik. Beberapa tanaman (inflorescences) kadang-kadang perlu diperlakukan dengan Giberelin sebelum embrio diisolasi. Hal tersebut akan meningkatkan ukuran embrio sehingga mudah untuk menanganinya.
Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Embrio Komposisi Media Nutrisi
Embrio muda membutuhkan komposisi media yang lebih kritis dibandingkan dengan embrio matang. Akan tetapi, baik embrio muda atau embrio matang membutuhkan elemen makro dan elemen mikro serta gula. Biasanya digunakan media solid dengan pH 5 - 6. Untuk kultur embrio banyak digunakan mineral yang berbeda. Gula amat penting sebagai sumber energi, meskipun juga berperan menurunkan (negatif) potensial osmotikum media nutrisi, khususnya untuk embrio muda. Embrio matang umumnya ditumbuhkan pada 2 3% sakarosa, sedangkan embrio muda lebih baik ditanam pada konsentrasi sukrosa yang tinggi (8 - 12%). Kebutuhan gula berkurang dengan semakin besarnya ukuran embrio. Konsentrasi agar yang digunakan biasanya adalah 0.6 - 0.8%. Konsentrasi agar yang tinggi mengakibatkan penghambatan pertumbuhan. Kadang-kadang keberhasilan pertumbuhan diperoleh pada media cair.
Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Embrio Komposisi Media Nutrisi Auksin dan sitokinin umumnya tidak digunakan untuk kultur embrio, karena kerapkali menginduksi pembentukan kalus. Kadang-kadang giberelin memiliki efek promotif, khususnya bila berkaitan dengan dormansi. Pada beberapa kasus, kultur embrio memerlukan tambahan vitamin.
Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Embrio Komposisi Media Nutrisi Meskipun saat ini media sintetik yang digunakan, akan tetapi beberapa referensi menyatakan perlunya penambahan senyawa aditif alamiah seperti air kelapa, casein hydrolysate, dan ekstrak malt. Senyawa kompleks tersebut sesuai untuk kultur embrio muda. Diduga bahwa asam-asam amino tertentu yang terkandung di dalamnya penting sebagai sumber nitrogen. Terlihat bahwa glutamin dibutuhkan untuk pertumbuhan embrio muda. Karena kebutuhan nutrisi berubah selama pertumbuhan dan perkembangan embrio, maka kerapkali diperlukan subkultur.
Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Embrio Oksigen
Oksigen merupakan faktor yang penting untuk pertumbuhan kultur. Kerapkali kebutuhan oksigen pada kultur embrio lebih tinggi dibandingkan konsentrasi normal oksigen udara
Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Embrio Cahaya
Kadang-kadang embrio yang diisolasi membutuhkan kondisi gelap selama 7 - 14 hari. Setelah periode tersebut dapat dipindahkan ke kondisi terang untuk pembentukan klorofil.
Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Embrio Suhu
Suhu optimum bergantung pada species tanaman yang digunakan. Normalnya dibutuhkan suhu yang tinggi untuk pertumbuhan (22-28°C), meskipun beberapa species, seperti lili membutuhkan suhu rendah (17°C). Suhu yang rendah (4°C) penting untuk mematahkan dormansi
Aplikasi Praktis 1.Eliminasi inhibisi perkecambahan biji. Pada beberapa species, perkecambahan secara in vivo amat sulit terjadi. Dalam hal ini kultur embrio sangat dibutuhkan, seperti untuk tanaman Colacasia esculenta, Musa balbisiana, dan Pinus armandie x P. Koraiensis. 2.Perkecambahan biji parasit obligat tanpa inang secara in vivo tidak mungkin terjadi, akan tetapi dapat dilakukan melalui kultur embrio. 3.Memperpendek siklus pemuliaan. Banyak species yang menunjukkan dormansi biji yang disebabkan oleh kulit biji atau oleh endospermanya. Dengan menghilangkan bagian-bagian tersebut, maka biji dapat segera berkecambah. Kadangkadang biji sulit mengambil air dan oksigen. Pada kasus ini, kultur embrio dapat mempercepat perkecambahan. Perlu diingat bahwa kultur embrio muda dapat sangat memperpendek siklus pemuliaan.
Aplikasi Praktis 4.Produksi tanaman haploid. Persilangan antara Hordeum vulgare x H. bulbosum dapat terjadi, akan tetapi kromosom H. bulbosum dieliminasi. Hasilnya adalah embrio haploid H. vulgare yang hanya viabel melalui kultur embrio. Setelah penggandaan kromosom akan diperoleh H. vulgare homozigot. 5.Pencegahan aborsi embrio tanaman stone-fruits. Persilangan tanaman stone-fruits (peach, cherry, apricot, plum) menghasilkan aborsi embrio muda. Hal ini terjadi karena transpor air dan nutrisi ke embrio muda kerapkali terhenti lebih awal, sehingga embrio gugur (aborsi). Dengan demikian, persilangan antara tanaman stonefruits menjadi tidak mungkin. Penggunaan kultur embrio dalam hal ini merupakan satu-satunya cara.\
Aplikasi Praktis 6.Pencegahan aborsi embrio karena inkompatibilitas. Persilangan interspesifik, intergenerik, serta persilangan antara diploid dengan tetraploid menghasilkan perkembangan endosperma yang buruk atau tidak ada sama sekali. Hal ini karena embrionya aborsi. Kultur embrio kerapkali digunakan setelah dilakukan persilangan interspesifik pada tanaman Phaseolus, lili, flax, kapas, tomat, padi dan barley. Contoh kultur embrio yang baik adalah hasil persilangan Hordeum x Secale dan Triticum x Secale. 7.Perbanyakan vegetatif. Pada tanaman-tanaman seperti Gramineae dan Coniferae, embrio kerapkali digunakan sebagai bahan awal untuk perbanyakan vegetatif. Embrio-embrio tersebut sangat responsif karena masih juvenil. Organogenesis Gramineae berlangsung relatif mudah dari jaringan kalus juvenil. Kloning Coniferae melalui kalus muda yang berasal dari embrio muda serta pembentukan tunas aksilar juga dapat berlangsung dengan mudah.
Kultur Embrio Kelapa Tanaman kelapa (Cocos nucifera) merupakan salah satu tanaman penting di negara-negara tropik. Karena kelapa tidak menghasilkan anakan, maka satu-satunya bahan perbanyakan adalah bijinya (buahnya). Tanaman kelapa sangat heterozigot, berumur panjang, dan fase juvenilnya panjang. Sehingga pemuliaan kelapa amatlah sukar dan memerlukan proses yang lama. Perbanyakan secara vegetatif melalui teknik kultur jaringan sekaligus peningkatan kualitas klon dapat dilakukan dengan cepat. Salah satu strategi pemuliaan kelapa adalah menghasilkan hibrid yang berproduksi tinggi atau mengklonkan plasmanutfah elit seperti kelapa Kopyor.
Kultur Jaringan Tanaman
METABOLIT SEKUNDER
Irfan Suliansyah PS. Agroekoteknologi
Produk/Metabolit Sekunder
Banyak tanaman yang memiliki kandungan senyawa kimia yang secara tidak langsung berhubungan dengan proses-proses metabolisme utama (primer).
Senyawa-senyawa kimia itu biasanya disebut metabolit sekunder atau produk sekunder.
Metabolit sekunder biasanya dihasilkan oleh famili atau genus tanaman tertentu.
Fungsi metabolit sekunder dalam tanaman itu sendiri tidak begitu jelas.
Fungsi Metabolit Sekunder Beberapa fungsi metabolit sekunder bagi tanaman adalah: 1. Mempunyai peran dalam pengaturan pertumbuhan dan perkembangan tanaman 2. Memberi perlindungan terhadap tanaman untuk melawan jamur dan bakteri
3. Membuat tanaman tidak enak untuk dimakan hewan 4. Bertindak sebagai repelan insek atau insektisida
Produk/Metabolit Sekunder Kultur mikroorganisme (misalnya Penicillin) telah lama menjadi industri yang digunakan untuk mendapatkan senyawa tertentu, seperti penicillin dan streptomycin yang penting untuk bahan baku obat-obatan (antibiotika). Tanaman tingkat tinggi juga merupakan sumber penting berbagai jenis senyawa kimia. Secara konvensional tanaman dibudidayakan dan kemudian senyawa aktifnya diekstrak. Banyak metabolit sekunder yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Metabolit sekunder yang diekstrak dari tanaman dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan, antara lain: aditif dan aroma makanan, vitamin, obat-obatan, insektisida, dan parfum
Produk/Metabolit Sekunder Produksi bahan tanaman secara konvensional memiliki banyak kendala. Untuk itu diperlukan cara lain untuk memperoleh senyawa tersebut. Kendala yang dihadapi dalam budidaya konvensional dalam hal ini adalah: 1. Budidaya in vivo bergantung musim, iklim, hama, dan penyakit
2. Sumber-sumber alam menjadi amat berkurang 3. Kendala teknik dan ekonomi 4. Kendala tenaga kerja yang mahal
5. Ketidakstabilan politik di negara produsen
Produk/Metabolit Sekunder Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka diperlukan cara lain untuk mendapatkan senyawa yang kita kehendaki, antara lain melalui kultur sel suspensi. Hal ini dapat dilakukan melalui akumulasi dalam sel atau melalui pelepasan senyawa tersebut ke dalam media nutrisi. Terminologi metabolit sekunder dipergunakan untuk menyatakan senyawa yang diproduksi oleh sel tanaman in vivo atau in vitro yang secara langsung tidak dibutuhkan oleh tanaman itu sendiri
Produk/Metabolit Sekunder Ada dua pendekatan yang dapat dipergunakan untuk memproduksi metabolit sekunder, yaitu: 1. Pertumbuhan yang cepat kultur suspensi pada volume yang besar yang diikuti manipulasi untuk produksi metabolit sekunder
2. Pertumbuhan yang diikuti dengan imobilisasi selsel yang digunakan untuk produksi senyawa dalam periode yang panjang.
Aplikasi Industrial Ada beberapa alasan mengapa kemajuan industri kultur sel untuk memproduksi metabolit sekunder berjalan lambat. Kendala tersebut antara lain adalah relatif lambatnya laju pertumbuhan kultur dan kandungan senyawa yang di hasilkan lebih rendah dibandingkan dengan yang di hasilkan secara in vivo. Apabila kultur sel akan di pergunakan secara komersial, maka produksinya harus paling tidak seimbang atau kalau bisa lebih banyak dibanding yang di peroleh secara in vivo.
Tanaman dan Metaboli Sekunder yang Dihasilkannya No
Jenis Tanaman
Metabolit Sekunder
1
Atropa belladona
Atropin (Alkaloid)
2
Cinchona ledgeriana
Quinine
3
Datura spp.
Hyoscyanine dan Scopolamine
4
Digitalis spp.
Digoxin
5
Dioscorea spp.
Diosgenin
6
Panax ginseng
Ginseng, Saponin
7
Solanum spp.
Polyamine dan Alkaloid (Solanidine)
8
Trigonella foenum-graecum Sapogenin steroid
Aplikasi Industrial Tidak diragukan lagi bahwa biosintesis senyawa in vitro menjanjikan banyak harapan, meskipun cukup banyak kendala yang perlu di pecahkan sebelum teknik tersebut di terapkan dalam skala yang luas. Kendala tersebut meliputi 1. Sel-sel tanaman memiliki waktu pengandaan yang amat lama (20 jam) bila di bandingkan mikroorganisme (1 jam). Ini berarti sel-sel tanaman memproduksi biomasa dan metabolit yang relatif sedikit 2. Bila produksi metabolit sekunder berlangsung di organ-organ tertentu. 3. Laju produksi umumnya sangat rendah dibandingkan tanaman in vivo. 4. Kultur sel suspensi secara genetik tidak stabil, dengan adanya mutasi produksi senyawa sering kali sangat rendah dibandingkan pada awal kultur. 5. Untuk mecegah pembentukan kelompok sel di perlukan pengadukan yang kuat, hal ini seringkali merusak sel. 6. Pengunaan gula dengan konsentrasi yang tinggi pada media nutrisi akan meningkatkan biaya produksi. 7. Masih di perlukan penelitian untuk merancang bioreaktor yang baru .
Aplikasi Industrial Masih cukup banyak kendala yang di hadapi dalam upaya memproduksi metabolit sekunder. Hal ini dapat di lihat dari masih sedikitnya perusahaan yang bergerak di bidang tersebut. Salah satunya adalah Mitsui Petrochemical Industries yang telah memproduksi secara komersial Shikonin (senyawa pewarna dan antibiotika) yang bernilai $ US 4000 per kg dari sel tanaman Lithospermum erythorhizon dalam fermentor berukuran 750 liter.
Kultur Jaringan Tanaman
KONSERVASI
IN VITRO
Irfan Suliansyah PS. Agroekoteknologi
Plasmanutfah Plasmanutfah tumbuhan mempunyai fungsi dan peran yang penting bagi kehidupan manusia. Karena berbagai faktor, seperti perusakan lingkungan hidup dan serangan penyakit, secara berangsur keanekaragaman plasmanutfah semakin berkurang. Kehilangan sumber suatu plamanutfah akan sangat merugikan terutama bagi para pemulia tanaman yang ingin merakit varietas baru untuk peningkatan kualitas tanaman di kemudian hari.
Plasmanutfah
Dalam upaya untuk menyelamatkan dan mempertahankan keanekaragaman plasmanutfah tumbuhan tersebut perlu dilakukan upaya konservasi. Secara konvensional, upaya konservasi plasmanutfah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1) in situ (di habitat aslinya) dan 2) ex situ (di luar habitat aslinya, seperti kebun raya dan kebun koleksi). Plasmanutfah tanaman dapat juga disimpan dalam bentuk benih/biji. Hanya saja, ada beberapa species tanaman, seperti kakao, mangga, kelapa, dan karet, yang tidak dapat disimpan dengan cara tersebut karena bijinya bersifat rekalsitran. Demikian pula, beberapa tanaman yang diperbanyak secara vegetatif, seperti kentang dan ubi kayu
Metode Konservasi In Vitro
Sistem koleksi dan konservasi plasmanutfah secara konvensional memiliki kendala yang cukup besar, seperti memakan banyak waktu, tenaga, biaya, dan tempat.
Untuk itu diperlukan upaya konservasi plasmanutfah melalui metode selain metode konvensional.
Metode koleksi dan konservasi plasmanutfah dapat dilakukan melalui metode in vitro.
Imelda dan Soetisno (1992) membagi konservasi in vitro berdasarkan jenis tanaman, yaitu: 1) kelompok yang diperbanyak dengan biji (berbiji rekalsitran), seperti kelapa, kakao, rambutan, mangga, dan alpukat dan 2) kelompok yang diperbanyak secara vegetatif, meliputi tanaman yang tidak berbiji (steril), hanya berbiji pada saat tertentu, biji heterozigot, dan tanaman umbi-umbian, seperti ubi kayu, talas, pisang, dan kentang.
Metode Konservasi In Vitro Beberapa keunggulan metode in vitro terutama untuk tanaman tahunan adalah: 1. keberadaannya tidak bergantung musim, sewaktu-waktu dapat diperbanyak dengan cepat, 2. bahan tanaman bebas penyakit, sehingga memudahkan pertukaran plasmanutfah antar negara, 3. kebutuhan ruang tumbuh relatif kecil.
Metode Konservasi In Vitro Tujuan utama konservasi in vitro adalah mereduksi laju pertumbuhan yang dilakukan dengan berbagai manipulasi. Metode yang dikembangkan untuk tujuan tersebut adalah penyimpanan pada suhu rendah diikuti dengan pengurangan pencahayaan. Metode ini merupakan metode yang paling praktis untuk kebanyakan tanaman. Untuk meningkatkan interval waktu subkultur, perlakuan suhu rendah kerapkali dikombinasikan dengan zat penghambat tumbuh, seperti asam absisik.
Metode Konservasi In Vitro Metode lain seperti penggunaan minyak mineral, menambah bahan osmotika, menurunkan tekanan atmosfir, dan dehidrasi jaringan partial juga telah dikembangkan. Metode-metode tersebut di atas tidak dapat dilakukan untuk konsevasi jangka panjang. Untuk tujuan jangka panjang metode yang dapat digunakan adalah kriopreservasi.
Metode Konservasi In Vitro Seringkali orang cemas akan punahnya plasmanutfah yang berharga atau suatu tanaman langka. Tidak ada istilah langka bagi orang yang bekerja dalam bidang bioteknologi, karena sekali teknik perbanyakan in vitro sudah diperolehi, maka tanaman tersebut dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar. Ada baiknya Indonesia mencontoh negara tetangga. Untuk mencegah hilangnya tanaman langka, mereka memperbanyak tanaman tersebut dan dijual di dalam dan luar negeri. Malaysia memperbanyak jenis Phalaenopsis dan Paphioluiopedium yang jarang terdapat dan diekspor ke Jepang, Jerman, dan Belanda.
Stabilitas In Vitro Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan apabila ingin melakukan konservasi in vitro, yaitu: 1) selama waktu konservasi bahan tanaman tidak kehilangan viabilitasnya, 2) tidak ada deteriorasi/ kerusakan kualitas, dan 3) tidak mengalami perubahan genetik.
Stabilitas In Vitro Metode yang dapat digunakan untuk menguji kualitas bahan tanam yang telah disimpan bergantung pada macam bahan tanam yang disimpan.
Bahan tanam berupa tunas, evaluasi dapat dilakukan dengan melihat respon bahan tanam pada media normal. Materi berupa sel dapat menggunakan staining dengan fluorescein diacetate (FDA) atau dengan menggunakan metode triphenyl tetrazolium (TTC).
Propagul Konservasi In Vitro Berbagai bahan tanaman dapat digunakan untuk tujuan koleksi dan konservasi in vitro. Hal ini bergantung pada sifat yang dimiliki oleh tanaman yang akan dibiakkan. Bahan tanam yang dapat digunakan antara lain: embrio, kalus, biji, mata tunas, tunas pucuk, dan meristem. Dari segi kepraktisan, kultur tunas merupakan bahan tanaman yang ideal, baik untuk tujuan konservasi maupun untuk tujuan pertukaran plasmanutfah. Bahan tanam tersebut secara genetik lebih stabil, dapat dengan mudah untuk tumbuh, dan merupakan bahan perbanyakan vegetatif secara cepat
Faktor Lingkungan Suhu (Temperatur) Keadaan lingkungan fisik pada tempat penyimpanan plasmanutfah dengan cara in vitro akan mempengaruhi keberhasilan konservasi in vitro. Khususnya pengaturan suhu baik untuk penyimpanan jangka pendek maupun jangka panjang harus diatur sesuai dengan jenis dan bagian/organ tanamannya. Untuk penyimpanan jangka pendek tanaman tropik menghendaki suhu sekitar 15° - 20°C. Sedangkan untuk tanaman subtropik menghendaki suhu sekitar 0° - 6°C. Untuk penyimpanan jangka panjang dikenal dengan istilah kriopreservasi yang mencerminkan penggunaan suhu sangat rendah sekali, yaitu - 196°C pada nitrogen cair.
Kriopreservasi Kriopreservasi atau preservasi beku merupakan satu-satunya metode untuk konservasi plasmanutfah jangka panjang sekaligus meminimalkan kemungkinan terjadinya perubahan genetik. Kriopreservasi dilakukan pada suhu yang sangat rendah (196°C) dalam nitrogen cair. Pada suhu yang sangat rendah sebagian besar reaksi-reaksi kimia tidak akan berlangsung karena tingkat energi yang tersedia tidak cukup untuk menggerakkan molekul-molekul untuk menyelesaikan tahapan reaksinya. Akan tetapi, beberapa reaksi kimia, seperti pembentukan radikal bebas dan kerusakan makromolekul yang disebabkan ionisasi radiasi masih tetap berlangsung. Apabila kerusakan-kerusakan itu terjadi, maka sifatnya kumulatif karena enzim-enzim yang dibutuhkan untuk memperbaiki kerusakan tersebut tidak dapat berfungsi pada suhu rendah.
Kriopreservasi Teknik kriopreservasi telah sangat baik diterapkan pada bidang peternakan, seperti penyimpanan sperma ternak dalam nitrogen cair untuk keperluan inseminasi buatan. Pada awal tahun 1970 baru dilaporkan adanya penyimpanan tanaman dalam nitrogen cair. Sakai dan Sugawara (1972) menggambarkan regenerasi Populus euramericana dari kultur yang disimpan pada nitrogen cair. Mulai saat itu berbagai species tanaman telah berhasil disimpan melalui kriopreservasi
Kriopreservasi Agar regenerasi tanaman berhasil dilakukan, maka sangat penting untuk mengembangkan kondisi khusus dalam rangka mempersiapkan proses pembekuan, selama pembekuan, dan proses pencairan serta selama periode penyembuhan/ perbaikan. Langhah-langkah yang perlu dilakukan adalah: 1. Isolasi aseptik material kultur yang akan disimpan secara in vitro, contohnya adalah meristem lateral 2. Pengkondisian dingin terhadap meristem. Tahap ini merupakan tahap optional 3. Kultur meristem pada media kultur jaringan yang ditambahkan krioprotektan selama periode tertentu
Kriopreservasi 4. Penambahan senyawa krioprotektif sesaat sebelum pembekuan. Senyawa kimia tersebut mencegah kerusakan meristem dari kristal es 5. Pengontrolan pendinginan dan pembekuan meristem. Tahap ini merupakan tahap yang paling penting. Pendinginan dapat dilakukan dengan lambat atau cepat 6. Penyimpanan meristem dalam nitrogen cair 7. Pencairan cepat meristem untuk mencegah kerusakan karena kristal es
8. Penghilangan senyawa krioprotektif 9. Penyembuhan-penyegaran sel-sel yang telah dicairkan agar kembali ke pertumbuhan normal. Meristem siap direkulturkan untuk diregenerasikan menjadi tanaman.
Kriopreservasi Prapertumbuhan Status fisiologi jaringan yang dibekukan suhu sangat rendah mempengaruhi tahapan penyembuhan. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan meliputi tahap siklus pertumbuhan kultur pada saat pembekuan dilakukan, ukuran komponen sel, dan kondisi kultur. Tahap siklus kultur pada saat pertumbuhan pesat adalah yang paling dikehendaki. Pada tahap ini, sel-sel memiliki vakuola yang relatif kecil, sehingga memiliki kandungan air yang rendah. Kondisi tersebut meminimalkan kerusakan karena pembentukan kristal es. Pertumbuhan kultur atau tanaman induk dapat dilakukan pada suhu yang direndahkan/diturunkan. Hal ini merupakan salah satu bentuk perlakuan penguatan terhadap kondisi dingin. Perlakuan penguatan dingin diikuti penurunan suhu hingga 40°C secara nyata meningkatkan daya hidup seluruh species yang diuji.
Kriopreservasi Krioprotektan
Sangat sedikit bahan-bahan yang dapat dibekukan hingga di bawah suhu nol tanpa mengakibatkan kerusakan sel-selnya. Akan tetapi, penambahan krioprotektan ke dalam kultur sesaat sebelum pembekuan memfasilitasi keberhasilan pembekuan dan pencairan. Krioprotektan menurunkan laju difusi air dari sel dan dengan demikian menurunkan ukuran dan pertumbuhan kristal es. Krioprotektan juga menurunkan titik beku kandungan intraseluler, sehingga sel-sel yang ditempatkan pada suhu ultra dingin tidak akan rusak membran selnya atau kandungan intraselulernya. Cukup banyak senyawa kimia yang memiliki ciri krioprotektif. Dimethyl sulphoxide (DSMO) merupakan krioprotektan yang paling umum digunakan karena penetrasinya cepat sehingga menurunkan laju pertumbuhan kristal es. Namun karena DMSO seringkali bersifat toksik, maka gliserol atau prolin juga dapat digunakan. Gliserol dan prolin tidak masuk kedalam sel, akan tetapi meningkatkan viskositas larutan ekstraseluler, sehingga mereduksi laju pendinginan.
Kriopreservasi Pembekuan
Pendinginan/pembekuan dapat dilakukan secara cepat atau lambat. Pembekuan secara cepat mengakibatkan velositas pembekuan menjadi sangat cepat, sehingga tidak cukup waktu untuk mengeluarkan air dari intraseluler dalam jumlah banyak. Konsekuensinya, kristal es akan terbentuk di dalam sel.
Pada kebanyakan materi, teknik pembekuan cepat tidak memberikan hasil yang baik, untuk itu metode pembekuan lambat dapat digunakan.
Pada pembekuan lambat tersedia waktu yang cukup agar air berdifusi ke luar sel. Melalui dehidrasi sel, es intraseluler tidak dapat terbentuk bila ditransfer ke nitrogen cair.
Akan tetapi, jika pembekuan dilakukan terlalu lambat, maka sel akan mengalami dehidrasi yang berlebihan dan mengakibatkan sel mati. Berdasarkan Withers (1984) keberhasilan kriopreservasi dapat dilakukan dengan cara pembekuan lambat, yaitu 0.5 - 2°C per menit.
Kriopreservasi Pencairan Kultur yang telah dibekukan secara lambat dapat dicairkan secra lambat juga tanpa kehilangan viabilitasnya. Hal ini dapat dilakukan dengan menempatkan kultur pada suhu ruang.
Akan tetapi, pada banyak materi pencairan dengan cepat dengan cara meletakkan kultur pada wadah air dapat mencegah kerusakan akibat rekristalisasi es.
Kriopreservasi Penghilangan Krioprotektan/Penyembuhan Penghilangan krioprotektan bergantung pada jenis krioprotektan yang digunakan.
DMSO dan gliserol merupakan inhibitor pertumbuhan tanaman kultur jaringan, sehingga krioprotektan tersebut harus dihilangkan. Umumnya waktu penyembuhan dilakukan pada media semicair dengan komposisi media standar. Kadang-kadang diperlukan penambahan arang aktif untuk mengadsorpsi toksin yang dilepaskan oleh sel-sel yang rusak.
Kriopreservasi Uji Viabilitas Viabilitas dapat diperkirakan melalui kemampuan jaringan yang telah dicairkan untuk tumbuh atau dapat diduga dengan teknik staining (pewarnaan). Staining dengan Fluorescein diacetate dan Evan’s Blue merupakan dua teknik yang dapat dilakukan dengan cepat, sedangkan staining dengan triphenyl-terazolium chloride (TTC) membutuhkan inkubasi semalam. Viabilitas juga dapat diperkirakan dengan penduga variabel biomassa, seperti volume sel atau bobot kering.
Kultur Jaringan Tanaman
HIBRIDISASI SOMATIK (FUSI PROTOPLAS)
Irfan Suliansyah PS. Agroekoteknologi
Fusi Protoplas
Protoplas adalah sel tanpa dinding sel
Protoplas dapat saling bergabung (fusi), membentuk hibrida somatik bahkan pada tanaman yang inkompatibel
Hibrida protoplas kemudian diregenerasikan melalui kultur jaringan menjadi tanaman lengkap
Boccoflower adalah hibrida antara broccoli dan cauliflower.
Fusi Protoplas PROTOPLAS = sel tanpa dinding sel, sel telanjang, FUSI = persatuan se-sel telanjang:
Protoplas + protoplas Protoplas + subprotoplas
Subprotoplas + subprotoplas Protoplas + mikroprotoplas
4 Jenis Subprotoplas Sitoplasma (tanpa inti)
Karioplas (tanpa sitoplasma) Mitokondria Kloroplas
Fusi Protoplas Mengatasi keterbatasan hibridisasi seksual (penyilangan) karena dapat mengadakan hibridisasi pada: Tanaman yang tidak berbunga Tanaman steril jantan
Tanaman yang inkompatibilitas Introgresi gen sitoplasma (mt-DNA, Cp-DNA)
Fusi Protoplas Fusi protoplas dilakukan untuk menggabungkan spesies yang ingin “disilangkan” Proses fusi dapat dilakukan dengan cara
Osmotikum,
aliran listrik, virus
Meregenerasikan hibrida hasil fusi Mengandung genom kedua organisme
Development of hybrid plants through the fusion of somatic protoplasts of two different plant species/varieties is called somatic hybridization
Somatic hybridization technique 1. isolation of protoplast
2. Fusion of the protoplasts of desired species/varieties
3. Identification and Selection of somatic hybrid cells
4. Culture of the hybrid cells
5. Regeneration of hybrid plants
Isolation of Protoplast (Separartion of protoplasts from plant tissue)
1. Mechanical Method
2. Enzymatic Method
1. Mechanical Method Cells Plasmolysis
Plant Tissue
Microscope Observation of cells
Cutting cell wall with knife
Release of protoplasm
Collection of protoplasm
1. Mechanical Method Used for vacuolated cells like onion bulb scale, radish and beet root tissues Low yield of protoplast Laborious and tedious process Low protoplast viability
Enzymatic Method Leaf sterlization, removal of epidermis
Plasmolysed cells
Plasmolysed cells Pectinase +cellulase
Protoplasm released
Pectinase
Protoplasm released
Release of isolated cells cellulase
Isolated Protoplasm
Enzymatic Method
Used for variety of tissues and organs including leaves, petioles, fruits, roots, coleoptiles, hypocotyls, stem, shoot apices, embryo microspores Mesophyll tissue - most suitable source High yield of protoplast Easy to perform More protoplast viability
Protoplast Fusion (Fusion of protoplasts of two different genomes)
1. Spontaneous Fusion
Intraspecific
Intergeneric
2. Induced Fusion
Chemofusion
Mechanical Fusion
Electrofusion
Spontaneous Fusion
Protoplast fuse spontaneously during isolation process mainly due to physical contact
Induced Fusion Chemofusion- fusion induced by chemicals
•
Types of fusogens • • •
•
PEG NaNo3 Ca 2+ ions Polyvinyl alcohol
Induced Fusion
Mechanical Fusion- Physical fusion of protoplasts under microscope by using micromanipulator and perfusion micropipette Electrofusion- Fusion induced by electrical stimulation •
•
Pearl chain of protoplasts is formed by low strength electric field (10kv m-1) Fusion of protoplasts of pearl chain is induced by the application of high strength electric field (100kv m-1) for few microseco
Identification and Selection of somatic hybrid cells
Hybrid identification- Based on difference between the parental cells and hybrid cell with respect to •
•
Pigmentation Cytoplasmic markers •
•
•
Fluorochromes like FITC (fluoroscein isothiocyanate) and RITC (Rhodamine isothiocyanate) are used for labelling of hybrid cells
Presence of chloroplast Nuclear staining •
Heterokaryon is stained by carbol-fuschin, aceto-carmine or aceto-orcein stain
Hybrid Selection (Several markers are used ) • • •
• • • • •
Genetic complementation Phytotoxins Specific amino acid Auxin autotrophy Antibiotics Auxotrophic and metabolic mutants Chromosomal analysis Herbicides
Culture of the hybrid cells Hybrid cells are cultured on suitable medium provided with the appropriate culture conditions.
Regeneration of hybrid plants Plants are induced to regenerate from hybrid calli These hybrid plants must be at least partially fertile, in addition to having some useful property, to be of any use in breeding schemes.
Advantages of somatic hybridization
Production of novel intergenic hybrid
interspecific
and
Pomato (Hybrid of potato and tomato)
Production of fertile diploids and polypoids from sexually sterile haploids, triploids and aneuploids Transfer gene for disease resistance, abiotic stress resistance, herbicide resistance and many other quality characters
Advantages of somatic hybridization Production of heterozygous lines in the single species which cannot be propagated by vegetative means Studies on the fate of plasma genes Production of unique hybrids of nucleus and cytoplasm
Limitations of Somatic hybridization Poor regeneration of hybrid plants Non-viability of fused products Not successful in all plants. Production of unfavorable hybrids Lack of an efficient method for selection of hybrids No confirmation of expression of particular trait in somatic hybrids
Tahapan Fusi Protoplas
SWEET ORANGE SUSPENSION CULTURE PROTOPLASTS
LEAF-DERIVED CITRUS PROTOPLASTS
TYPICAL SUSPENSION PROTOPLAST + LEAF PROTOPLAST PEG-INDUCED FUSION
Protoplast Isolation and Culture
Applications protoplast
fusion to create somatic hybrids
"wide crosses" where even embryo culture won't work Citopsis gilletiana (wild) x Citrus sinensis citrus sexually incompatible spp. wild relative has disease/nematode resistance somatic hybrid used as a rootstock
Protoplast Isolation and Culture
Applications protoplast
fusion to create somatic hybrids
Solanum somatic hybrids S tuberosum dihaploids fused with wild diploid (S. chacoense) resulting somatic hybrid (4n) is backcrossed to S. tuberosum cultivars (also 4n) overcomes sterility due to ploidy differences between somatic and sexual hybrids
Protoplast Isolation and Culture
Procedure for isolating protoplasts from tobacco leaves disinfest leaves and rinse in sterile water allow leaves to wilt slightly, remove lower epidermis by peeling with sterile forceps transfer leaf pieces to the surface of a solution of salts and 13% mannitol, let stand 25-30 min. (plasmolysis) pipet off plasmolyzing solution from beneath leaf pieces and replace with 20 ml enzyme solution (cellulase and macerase)
Protoplast Isolation and Culture
Procedure for isolating protoplasts from tobacco leaves incubate 2-20 h (predetermine time by pretesting) place a solution of salts in 25% sucrose into a centrifuge tube (about 1/3 full) pipet enzyme/protoplast mix onto the top of the 25% sucrose (solutions will form 2 separate layers) spin at 800g pipet off the band of protoplasts at the interface of enzyme and 25% sucrose into another tube
Protoplast Isolation and Culture
Procedure for isolating protoplasts from tobacco leaves fill the tube about 2/3 full with 13% mannitol spin at 500g; protoplasts should pellet at the bottom wash sev. times, then resuspend the last time in a small volume of liquid MS medium with 9% mannitol carefully resuspend protoplasts and determine the concentration (protoplasts/ml) by counting in a counting chamber or hemocytometer
Protoplast Isolation and Culture
Procedure for isolating protoplasts from tobacco leaves to 1 x 105 protoplasts per ml plate protoplasts (various techniques) dilute
After plating cell
wall formation
wall starts to form immediately, takes 2-7 days to form a complete new wall loss of spherical shape is a visual indicator
Protoplast Isolation and Culture
After plating cell
wall formation
only cells forming walls will divide
cell
division and callus formation
plating efficiency is extremely variable PE = no. of dividing colonies per field divided by no. of live protoplasts at plating after 2 wks, multicellular colonies form at 4-5 wks, macroscopic colonies can be transferred to solid medium
Protoplast Isolation and Culture
After plating plant
regeneration
mini callus colonies are grown on a callusinduction medium callus is transferred to a regeneration medium, which will vary depending on whether regeneration is by organogenesis or somatic embryogenesis
Media and plating techniques
Protoplast Isolation and Culture
Media and plating techniques liquid
medium
sitting or hanging drops work well for small populations
semi-solid
medium (aka immobilization)
mix with 2x agarose (at 40 C with 2x protoplasts in liquid medium) low-melting point agarose melts at 30-35 C, is better, less stressful on protoplasts
Protoplast Isolation and Culture
Media and plating techniques semi-solid
medium (aka immobilization)
pipet out into a petri dish before agarose solidifies as agarose solidifies, protoplasts are imbedded at low density, allowing essentially "single-cell" selection
entrapment
in alginate beads
protoplasts in Na-alginate are dropped into Ca solution, Ca-alginate gel forms around protoplast
Protoplast Isolation and Culture
Media and plating techniques entrapment
in alginate beads
when cell walls are formed, gel can be dissolved using a citrates solution the advantage is less heat stress on the protoplasts
nurse
cultures
Protoplast Isolation and Culture
Media and plating techniques nurse
cultures
nurse cells are irradiated and embedded in a feeder layer; protoplasts placed on top alternatively, live nurse cells placed on medium, nylon membrane on top of nurse cells, protoplasts on the membrane
conditioned
medium
Protoplast Isolation and Culture
Media and plating techniques conditioned
medium
fast-growing cells removed, the remaining "conditioned medium" is used for growing protoplasts
Protoplast fusion and somatic hybrids the
fusion process
Protoplast Isolation and Culture
Protoplast fusion and somatic hybrids the
fusion process
electrofusion – protoplasts are aligned in a special chamber, electric current is applied, opening channels in cell membrane PEG fusion – protoplasts are coated with PEG, then incubated together; where cell membranes fuse, channels begin to form after fusion, "fusion products" begin to "round up"
Protoplast Isolation and Culture
Protoplast fusion and somatic hybrids the
fusion process
eventually, cell membrane between is dissolved and nuclei fuse into 1 nucleus in this type of fusion, cytoplasm is mixed
types
of fusion products
parental types – unfused protoplasts that develop homokaryons – fusion product of 2 (or more) "like" protoplasts heterokaryons – fusion of "unlike" protoplasts
Protoplast Isolation and Culture
Protoplast fusion and somatic hybrids heterokaryons
are the nascent somatic
hybrids selection of heterokaryons – strategies
cell sorting (Cell Facility should be able to do this) parental protoplasts are differentially labelled with fluorescent dyes, one green, one red heterokaryons are stained yellow and can be sorted based on that trait
selection after plant regeneration
Protoplast Isolation and Culture
Protoplast fusion and somatic hybrids selection
of heterokaryons – strategies
selection after plant regeneration e.g., fusion of Solanum tuberosum and S. chacoense somatic hybrids selected as calli at 6 wks – they are more vigorous (initial selection) selection based on regeneration – S. chacoense doesn't regenerate, the somatic hybrid contains an anthocyanin pigment
Kultur Jaringan Tanaman
AKLIMATISASI
Irfan Suliansyah PS. Agroekoteknologi
Karakteristik Tanaman Hasil Kultur Jaringan
Tanaman yang dibudidayakan dengan teknik kultur jaringan umumnya mengalami abnormalitas anatomis dan fisiologis selama berada dalam kultur in vitro. Abnormalitas tersebut antara lain adalah: lapisan lilin epitikultulas yang tipis, stomata yag terus membuka, tingkat fotosintesis yang rendah, sel-sel palisade yang kecil dan jarang dan rongga mesofil yang besar. Ketidaknormalan tersebut menjadi factor pembatas bagi tanaman untuk dapat hidup dilingkungan tumbuhnya yang baru yaitu di lapangan. Oleh karena itu, agar tidak terjadi kematian, tanaman harus melewati masa transisi klimatis melalui proses aklimatisasi.
Karakteristik Tanaman Hasil Kultur Jaringan
Tanaman yang ditumbuhkan dalam tabung reaksi biasanya lapisan kutikula atau lapisan lilinnya tidak berkembang dengan baik. Hal tersebut disebabkan oleh kelembaban relatif dalam tabung reaksi amatlah tinggi, berkisar 90-100%. Tipisnya lapisan kutikula memudahkan hilangnya air melalui evaporasi apabila tanaman ditransfer ke kondisi in vivo yang kelembabannya lebih rendah. Daun-daun tanaman in vitro seringkali tipis, lunak, dan tidak aktif berfotosintesis, sehingga tidak terlalu baik diadaptasikan pada iklim in vivo. Tanaman in vitro memiliki sel-sel palisade yang kecil dan sedikit serta ruang udara mesofil yang besar sehingga kurang efektif dalam menggunakan cahaya. Demikian pula halnya dengan stomata tanaman in vitro yang belum bekerja dengan baik, sehingga memudahkan tanaman kehilangan air. Pada tanaman in vitro, hubungan vaskular antara tunas dan akar juga kurang baik sehingga akan mereduksi konduksi air. Pada kenyataannya perlu diingat bahwa tanaman in vitro ditumbuhkan sebagai organisme heterotrof, sehingga harus dirubah menjadi autotrof.
Karakteristik Tanaman Hasil Kultur Jaringan
Tanaman yang dibudidayakan dengan teknik kultur jaringan umumnya mengalami abnormalitas anatomis dan fisiologis selama berada dalam kultur in vitro. Abnormalitas tersebut antara lain adalah: lapisan lilin epitikultulas yang tipis, stomata yag terus membuka, tingkat fotosintesis yang rendah, sel-sel palisade yang kecil dan jarang dan rongga mesofil yang besar. Ketidaknormalan tersebut menjadi factor pembatas bagi tanaman untuk dapat hidup dilingkungan tumbuhnya yang baru yaitu di lapangan. Oleh karena itu, agar tidak terjadi kematian, tanaman harus melewati masa transisi klimatis melalui proses aklimatisasi.
Karakteristik Tanaman Hasil Kultur Jaringan
Tanaman yang ditumbuhkan dalam tabung reaksi biasanya lapisan kutikula atau lapisan lilinnya tidak berkembang dengan baik. Hal tersebut disebabkan oleh kelembaban relatif dalam tabung reaksi amatlah tinggi, berkisar 90-100%. Tipisnya lapisan kutikula memudahkan hilangnya air melalui evaporasi apabila tanaman ditransfer ke kondisi in vivo yang kelembabannya lebih rendah. Daun-daun tanaman in vitro seringkali tipis, lunak, dan tidak aktif berfotosintesis, sehingga tidak terlalu baik diadaptasikan pada iklim in vivo. Tanaman in vitro memiliki sel-sel palisade yang kecil dan sedikit serta ruang udara mesofil yang besar sehingga kurang efektif dalam menggunakan cahaya. Demikian pula halnya dengan stomata tanaman in vitro yang belum bekerja dengan baik, sehingga memudahkan tanaman kehilangan air. Pada tanaman in vitro, hubungan vaskular antara tunas dan akar juga kurang baik sehingga akan mereduksi konduksi air. Pada kenyataannya perlu diingat bahwa tanaman in vitro ditumbuhkan sebagai organisme heterotrof, sehingga harus dirubah menjadi autotrof.
Karakteristik Tanaman Hasil Kultur Jaringan
Dengan kondisi tersebut di atas, maka tanaman in vitro memerlukan waktu untuk menjadi in vivo dan dibiarkan untuk beraklimatisasi dan menjadi menguat. Pada saat aklimatisasi tanaman dibiarkan secara berangsur beradaptasi pada kondisi kelembaban relatif yang rendah. Perkembangan mekanisme penutupan stomata merupakan komponen aklimatisasi yang amat penting. Aklimatisasi dapat dilakukan dengan tetap menjaga kelembaban cukup tinggi dan menjaga iradiasi dan suhu yang rendah (Gambar 17.1). Metode aklimatisasi yang lain adalah dengan membiarkan tabung reaksi terbuka untuk beberapa hari untuk menyesuaikan kondisi in vivo. Untuk mencegah kehilangan air yang berlebihan, tanaman in vitro dapat juga disemprot dengan antitranspiran. Akar tanaman in vitro amatlah rentan dan tidak berfungsi seperti halnya akar in vivo (hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki rambut akar). Akar tanaman in vitro mudah sekali mati, sehingga perlu digantikan dengan akarakar yang baru. Perkembangan akar rambut tanaman in vitro kadang-kadang dapat disokong dengan menumbuhkannya pada media cair.
Aklimatisasi
Aklimatisasi adalah kegiatan perlakuan adapatasi klimatis dari suatu organisme hidup, termasuk tanaman, yang dipindahkan dari lingkungan yang lama ke lingkungan yang baru. Kegiatan aklimatisasi dilakukan untuk menyesuaikan secara bertahap kesiapan bibit tanaman dalam menerima perubahan dari kondidisi lingkungan tumbuh pada media perbanyakan in vitro kepada kondisi lingkungan tumbuh dilapangan. Aklimatisasi merupakan tahapan yang sangat penting untuk dilalui dalam prose perbanyakan invitro. adanya perbanyakan yang sangat tajam terutama kelembaban dan intensitas cahaya antara lingkungan didalam botol dan diluar botol menyebabkan proses aklimatisasi ini merupakaan tahapan yang kritis. Dengan demikian keberhasilan perbanyakan invitro tanaman juga ditentukan oleh keberhasilan tanaman dalam melalui ini. Secara keseluruhan perlakuan yang diberikan selama pelaksanaan aklimatisasi meliputi perlakuan fisik langsung dan tidak langsung terhadap tanaman. Perlakuan fisik langsung meliputi penyiraman, pemupukan serta pemberantasan hama dan penyakit. Sedangkan perlakuan tidak langsung meliputi pengolahan dan pengelolaan tempat tumbuh yang terdiri dari atas pengolahan media tumbuh, penyiangan atau pemberantasan gulma serta perlakuan terhadap sarana pengkondisian lingkungan buatan seperti bak semai, sangkup plastic dan green house atau screen house
Sarana dan Prasarana
Green house/Sreen House Sreen House didefinisikan sebagai struktur lingkungan yang terutup oleh bahan transparan (tembus cahaya) dengan memanfaatkan radiasi surya untuk pertumbuhan tanaman (Widyastuti, 1994). Fungsi green house adalah untuk melindungi tanaman dari factor alam yang tidak menguntungkan seperti terpaan air hujan langsung, tiupan angina yang kencang dan intensitas sinar matahari yang berlebihan. Selain itu penggunaan green house akan mengurangi intensitas serangan hama penyakit. Penyebabnya antara lain karena pola kerja yang higenis dan tanaman terlindung karena berada dalam ruangan tertutup. Sedangkan screen house adalah suatu bentuk green house yang beratapkan peranet dan umunya tanpa penutup samping. Dalam aklimatisasi screen house dan biasanya digunakan pada tahap penyapihan/pendewasaan
Sarana dan Prasarana
Ruang peralatan dan bahan Tidak jauh dari green house hendaknya disediakan ruangan khusus tempat penyimpanan alat-alat dan bahan diantaranya: sprayer, pupuk , pestisida dan sebagainya. Ruangan ini juga bisa digunakan sebagai ruang ganti pakaian bila akan bekerja di green house.
Sarana dan Prasarana
Peralatan dan bahan Alat-alat yang dibutuhkan antara lain: bak semai, polybag, alat semprot/sparayer, gembor, plastic untuk sungkup dan lain-lain. Bahan-bahan yang dibutuhkan antara lain:media tumbuh, pupuk dan pestisida. Media tumbuh untuk proses aklimatisasi adalah tanah topsil, pupuk kandang dan sekam baker atau pasir yang sudah disentralisasi. Untuk pupuk dapat digunakan pupuk NPK dan pupuk pelengkap cair/pupuk daun seperti gandasil. Pestisida yang dibutuhkan yaitu:insektisida, fungisida, dan bakterisida.
Tahap-Tahap Aklimatisasi
Pembersihan agar-agar Tahap awal aklimatisasi adalah pembersihan agar-agar yang masih melekat pada planlet. Bila agar-agar ini dibiarkan jamur atau bakteri akan tumbuh pada agar-agar dan bisa menyeababkan tanaman busuk. Planlet yang telah mengalami perakaran yang baik dikeluarkan dari tabung kultur menggunakan pinset secara hati-hati. Kemudian planlet dicuci dengan air bersih, tidak perlu steril. Supaya bersih pencucian dilakukan dibawah air mengalir. Pada tahap ini juga dilakukan pengurangan daun-daun tua dan pengelompokan planlet berdasarkan ukurannya supaya tampak beragam
Tahap-Tahap Aklimatisasi
Sterilisasi Sebelum planlet ditanam pada bak persemaian terlebih dahulu dilakukan sterilisasi. Tujuannya adalah untuk membunuh cendawan dan bakrei yang melekat pada planlet. Sterilisasi dilakukan dengan merendam dalam larutan fungisida Benlate ( 1 gr/liter) atau Dithane M-45(2 gr/liter) dan Agrept 20WP (1 gr/liter). Lama peredaman hanya dua menit, setelah itu planlet ditiriskan. Setelah selesai tahap ini planlet siap ditanami di media persemaian.
Tahap-Tahap Aklimatisasi
Penyemaian Pertama Pada tahap ini plantlet di tanam pada baki peneymaian dengan media pupuk kandang : pasir yang telah steril tau sekam kasr dengan perbandingan 1:1. Sterilisasi media dilakukan dengan sistem penguapan pada temperatur konstan 80100°C selama satu jam. Jarak tanaman 5 x 5 cm. Lubang tanaman dibuat sedalam 2 cm dengan cara menekan media dengan ujung jari. Planlet tidak dapat beradaptasi langsung dengan kelembaban diluar persemaian dan cahaya matahari langsung. Karena bak semai diletakan dalam green house dengan inensitas cahaya ± 40%. Kelembaban udara dijaga sekitar 90% untuk itu bak semai ditutup dengan sungkup plastic bening. Pembukaan sungkup plastic dilakukan secara bertahap, yaitu ½ bagian, ¾ bagian dan kemudian dibuka penuh. Pada saat ini bibit sangat rentan terhadap kekeringan atu kelebihan air sehingga perlu perhatian khusus dengan penyiraman yang tepat. Setelah sungkup dibuka penuh tanaman sudah siap menerima pupuk daun. Untuk pupuk daun dapat digunakan Gandasil D dengan dosis 2-3 gr/l, dengan cara disemprotkan pada permukaan bawah daun. Pada akhir tahap ini (sekitar 3-4 minggu setelah tanam) bibit sudah memperlihatkan vigor tanaman yang baik dan siap dipindahkan ke tahap penyemaian kedua
Tahap-Tahap Aklimatisasi
Penyemaian kedua Untuk penyemaian kedua terlebih dahulu disiapkan media tanam berupa campuran tanah: pupuk kandang, pasir/sekam baker (1:1:1). Media dimasukkan kedalam polybagdengan ukuran sesuai dengan kebutuhan. Juga dapat ditambahkan pupuk dasar NPK 25:7:7 2 gr per polybag (Anonim, 1997). Setelah media siap berulah tanaman dipindahkan. Pemindahan plamlet hanya dapat dilakukan terhadap planlet yang pertumbuhannya sehat dan tidak ada tanda-tanda terserang hama/penyakit. Sebelum dipindahkan bak semai harus disiram terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar pada saat planlet dicabut akarnya tidak banyak yang putus, disamping agar planlet tidak mudah layu.Planlet yang sudah dicabut akarnya sebaiknya segera ditanam pada polybag. Sebelum ditanami, media polybag harus disiram agar kapasitas lapang dengan gembur dan halus. Penyemaian masi dalam green house selanjutnya tanaman yang telah dipindahkan harus dirawat secara teratur. Penyiraman dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Pada saat cuaca cerah penyiraman dilakukan dua kali sehari pada pagi dan sore hari. Pada cuaca mendung penyiraman tanaman cukup sekali saja pada pagi hari. Untuk memacu pertumbuhan bibit dilakukan pemupukan daun tanah dan daun. Pemupukan lewat tanah dilakukan dengan cara membenamkan 1 gram pupuk NPK 25:7:7 untuk setiap polybag. Pemupuka lewat daun dilakukan dengan menggunakan pupuk Gandasil D sebanyak 2 gram /l air yang disemprotkan ke daun. Pemupukan lewat daun dilakuakn anatara pemupkan lewat tanah dan pemupukan lewat daun setiap seminggu sekali. Untuk pencegahan terhadap serangan cendawan seminggu sekali bibit disemprot dengan fungisida Dithane M-45 atau Antracol sesuai dengan dosis anjuran. Perawatan lainnya yaitu pembuangan daun-daun tua, penyiangan dan perambahan meia bila terjadi penyusutan akibat penyiraman. Jangan sampai lupa menjaga kebersihan lingkungan green house. Waktu yang diutuhkan untuk tahap ini ± 1 bulan
Tahap-Tahap Aklimatisasi
Penyapihan/Pendewasaan Dalam tahap ini bibit dipindahl\kan keluar dari green house dan ditempatkan dalan screen house atau dibawah naungan pohon. Pada tahapan ini perlindungan tanaman semakin berkurang sehingga ,mencapai minimum, tetapi perlindungan tetap diberikan untuk menghadapi kondisi lingkungan yang ekstrim. Penyiraman dilakukan 2 kali sehari. Pemupukan pada tahap penyemaian kedua tahap ini. Pengendalian hama dan penyakit dilakuakn apbila terlihat gejala-gejala serangandengan penyemprotan insektisida dan fungisida. Lama proses penyapihan tergantung pada kesiapan tanaman untuk dipindahkan ke lapang. Bibit yang akan ditanam ke lapang dipilih ukurannya
Hubungan Simbiotik
Beberapa tanaman pada kondisi normal bersimbiosis dengan jamur (mikoriza) atau bakteri (Rhizobium) selama fase hidupnya. Pada keadaan in vitro proses simbiosis tersebut tidak berlangsung, karena organisme simbiotiknya tidak ada. Sehingga tanamantanaman tersebut perlu diinokulasi dengan fungi atau bakteri untuk menstimulir pertumbuhan dan perkembangannya.
Kondisi Lingkungan
Untuk mencegah kerusakan akar sebaiknya tanah yang digunakan adalah tanah hasil ayakan. Kadang-kadang diperlukan perlakuan dingin pada saat in vitro atau segera setelah transfer ke kondisi in vivo untuk mematahkan dormansi tunas. Apabila tanaman in vitro ditransfer ke glasshouse, maka kelembaban relatif dan iradiasi perlu diturunkan.