TINJAUAN PUSTAKA
Kultur Jaringan Tanaman Kultur in vitro merupakan suatu budidaya dalam botol. Salah satu kegiatan dalam kultur in vitro adalah kultur jaringan yaitu budidaya in vitro yang menggunakan jaringan sebagai bahan tanamnya (Santoso dan Nursandi, 2003). Menurut Zulkarnain (2009) kultur jaringan tanaman adalah suatu upaya mengisolasi bagian-bagian tanaman, kemudian dikulturkan pada nutrient buatan yang steril dibawah kondisi lingkungan yang terkendali, sehingga bagian-bagian tersebut dapat beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Perbanyakan tanaman secara in vitro memberikan keefektifan dalam perbanyakan perkecambahan dan prosedur reproduksi dalam melindungi tanaman yang punah dan ketika terjadi hambatan secara genetik (Hartmann dan Kester, 1997). Zulkarnain (2009) menambahkan bahwa manfaat utama dari aplikasi kultur jaringan tanaman adalah perbanyakan klon atau perbanyakan massal dari tanaman yang sifat genetiknya identik satu sama lain. Di samping itu, teknik kultur jaringan bermanfaat dalam beberapa hal khusus seperti perbanyakan klon secara cepat, keseragaman genetik, kondisi aseptik, seleksi tanaman, stok tanaman mikro, lingkungan terkendali, pelestarian plasma nutfah, produksi tanaman sepanjang tahun, dan memperbanyak tanaman yang sulit diperbanyak secara vegetatif.
Eksplan Eksplan merupakan bagian tanaman (propagul) yang digunakan untuk menginisiasi pembiakan tanaman secara mikro atau proses kultur jaringan (Hartmann dan Kester, 1997). Seleksi bahan eksplan yang cocok merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan program kultur jaringan. Sistem kultur jaringan yang baru dengan spesies dan kultivar yang baru, seringkali menghendaki analisis yang sistematis terhadap potensi eksplan dari setiap tipe jaringan. Tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam seleksi bahan eksplan yaitu genotipe, umur, dan kondisi fisiologi bahan tersebut (Zulkarnain, 2009).
4
Beberapa jenis eksplan yang digunakan dalam kultur jaringan antara lain potongan daun, lapisan epidermis, tunas apikal yang terfragmentasi, kotiledon dan hipokotil, pucuk, bunga muda, umbi dan bagian lainnya (Hartmann dan Kester, 1997). Bagian bunga pada kakao dapat digunakan sebagai eksplan (Figuera dan Alemanno, 2005). Bagian ini memproduksi fenol dan lendir yang relatif sedikit. Mahkota bunga (petal) memberikan respon jumlah embrio yang paling besar diikuti oleh staminoidia dan antera (Winarsih et al., 2003; Avivi et al., 2010).
Media Kultur Media kultur merupakan salah satu komponen penting dalam penanaman sel dan metode kultur jaringan. Aplikasi yang sukses dalam prosedur kultur jaringan tanaman bergantung pada media kultur dengan komposisi yang tepat (Evans et al., 2003). Medium hara untuk kultur jaringan tanaman mengandung lima kelompok senyawa yaitu garam organik, sumber karbon, vitamin, pengatur tumbuh, dan pelengkap organik (Gamborg, 1991). Wetherell (2000) juga menyatakan bahwa media kultur yang memenuhi syarat adalah media yang mengandung nutrien makro mikro dalam kadar dan perbandingan tertentu, serta sumber energi (umumnya menggunakan sukrosa), serta mengandung satu atau dua macam vitamin dan zat pengatur tumbuh. Salah satu media yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah media Murashige dan Skoog yang dikemukakan oleh Toshio Murashige pada tahun 1962 (Zulkarnain, 2009). Media Murashige dan Skoog yang dikenal dengan nama MS mengandung 40 mM nitrogen dalam bentuk NO3 dan 29 mM dalam bentuk NH4+. Kandungan N ini, lima kali lebih tinggi dari N total yang terdapat pada media Miller, 15 kali lebih tinggi dari media tembakau Hildebrant, dan 19 kali lebih tinggi dari media white (Gunawan, 1988).
Zat Pengatur Tumbuh Konsep zat pengatur tumbuh (ZPT) diawali dengan konsep hormon. Hormon tanaman adalah senyawa-senyawa organik tanaman yang dalam konsentrasi yang rendah (< 1 mM) mempengaruhi proses-proses fisiologi (Wiendi et al., 1992). Senyawa tersebut berperan merangsang dan meningkatkan
5
pertumbuhan serta perkembangan sel, jaringan, dan organ tanaman menuju arah diferensiasi tertentu. Senyawa-senyawa lain yang memiliki karateristik yang sama dengan hormon, tetapi diproduksi secara eksogen, dikenal sebagai zat pengatur tumbuh (Zulkarnain, 2009). Zat pengatur tumbuh diperlukan sebagai komponen media bagi pertumbuhan dan diferensiasi. Tanpa penambahan zat pengatur tumbuh dalam medium, pertumbuhan sangat terhambat bahkan mungkin tidak tumbuh sama sekali. Pembentukan organ-organ tanaman ditentukan oleh penggunaan zat pengatur tumbuh yang tepat (Hendaryanto dan Wijayani, 1994). Pada saat ini dikenal enam kelompok ZPT yaitu auksin, giberelin, sitokinin, asam absisik (ABA), etilen, dan retardan (Wiendi et al., 1992). Untuk inisiasi kalus umumnya digunakan auksin 2,4-D saja atau dikombinasikan dengan sitokinin. Zat pengatur tumbuh 2,4-D efektif dalam menginduksi kalus, hal ini telah dibuktikan dalam penelitian Sari et al. (2005) bahwa penggunaan 2,4-D secara tunggal pada konsentrasi rendah mampu menginduksi kalus gambir. Winarsih et al. (2003) juga menyebutkan bahwa persentase eksplan menghasilkan embrio kakao akan lebih tinggi jika menggunakan auksin (2,4-D 2 mg/l) yang lebih tinggi konsentrasinya dan konsentrasi sitokinin rendah (adenin 0,1 mg/l) dibandingkan menggunakan konsentrasi auksin (2,4-D) rendah. Picloram merupakan auksin sintetik. Zat ini dapat menyebabkan kematian pada tanaman apabila digunakan dengan dosis yang tinggi. Namun, dalam konsentrasi rendah picloram dapat menstimulasi sintesis RNA, DNA, dan protein untuk mengatur pembelahan sel dan pertumbuhan yang tidak terkontrol (Tu et al., 2001). Penelitian Sudarmonowati dan Henshaw (1996) melaporkan bahwa picloram pada konsetrasi 3.0 mg/l menghasilkan total embrio somatik terbesar yaitu sebanyak 70% pada daun muda ubi kayu CMC 76. Pada penelitian Priadi dan Sudarmonowati (2006), penambahan picloram 6 mg/l pada media MS dan GD selama 2 minggu mampu menginduksi kalus eksplan daun pucuk ubi kayu menjadi kalus embrogenik. Belarmino dan Gonzales (2008) juga menambahkan bahwa penggunaan media MS dengan penambahan 1.0 mg/l picloram efektif dalam menginduksi kalus Dioscorea alata L.
6
Embrio Somatik Kohlenbach mengklasifikasikan embrio ke dalam dua kategori. Embrio ini dapat tumbuh normal secara in vivo atau di bawah kontrol lingkungan in vitro. Kedua kategori tersebut adalah embrio zigotik dan non-embryo zigotik. Embrio zigotik terbentuk dari sebuah zigot yang dihasilkan dari peleburan telur, sedangkan non-embrio zigotik terbentuk dari sel selain zigot misalnya embrio somatik yang terbentuk dari sel somatik baik in vivo atau in vitro (Vajrabhaya, 1988). Embrio somatik merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan perkembangan embrio lengkap dari sel vegetatif yang dihasilkan dari berbagai sumber eksplan yang ditumbuhkan pada sistem kultur jaringan (Hartmann dan Kester, 1997). Menurut Ammirato (1983), embrio somatik merupakan proses perkembangan embrio dari sel tanpa melewati fusi gamet. Wiendi et al. (1992) menambahkan, embrio terbentuk dari sel meristematik yang pro-embrional ini dikenal dengan bermacam-macam nama seperti kalus embrionik, nodul, dan lain-lain. Pembentukan embrio somatik dapat terjadi secara langsung dan secara tidak langsung. Menurut Wiendi et al. (1992) embriogenesis langsung dari jaringan somatik secara in vitro umumnya terjadi pada eksplan yang masih muda (juvenil). Embrio somatik yang dihasilkan dari kecambah kadang-kadang terbentuk dari sel-sel epidermal, namun ada juga dari jaringan petiol, atau sel-sel kortikal. Embrio somatik tidak langsung diperoleh dari kalus atau kultur suspensi. Kalus yang diperoleh dari inisiasi awal akan memiliki kemampuan untuk beregenerasi membentuk embrio somatik yang tinggi dibandingkan dengan kalus hasil subkultur. Embrio somatik dapat tumbuh secara langsung dari hipokotil maupun daun kotil embrio zigotik eksplan. Embrio somatik yang tumbuh dari hipokotil bentuknya normal sedangkan yang tumbuh dari daun kotil sering tidak normal (Winarsih et al., 2002). Zulkarnain (2009) juga menambahkan bahwa embrio somatik dapat muncul langsung dari permukaan eksplan (pada eksplan kotiledon Cucumis sativus dan tunas Foeniculum vulgare) atau setelah fase penggandaan yang melibatkan pembentukan kalus.
7
Embrio somatik yang terbentuk dari kalus umumnya diawali dengan adanya proembrio yang tumbuh dari pemukaan eksplan dengan suspensor yang terhubung pada kalus dan biasanya terjadi dalam bentuk gerombol. Struktur ini kemudian berkembang menjadi bentuk globular, hati, torpedo, dan kotiledon (Winarsih et al., 2002). Zulkarnain (2009) menambahkan bahwa perkembangan embrio somatik sama seperti embrio zigotik yang berkembang melewati tahapantahapan yang sama. Tahapan-tahapan tersebut adalah oktan, globular, awal hati, hati, torpedo, dan embrio dewasa. Salah satu keuntungan dari embrogenesis somatik adalah embrio yang dihasilkan bersifat bipolar, yaitu memiliki ujung-ujung akar dan pucuk yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman lengkap. Berbeda pada pembentukan tunas adventif
yang unipolar, perkembangan pucuk dan akar sering terjadi secara
terpisah dan sangat tergantung pada perubahan media (Purnamaningsih, 2002; Zulkarnain, 2009).
Embrio Somatik Kakao Pada tanaman kakao embrio somatik dapat terbentuk pada organ bunga maupun embrio zigotik kakao. Pembentukan embrio sangat besar dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh (Winarsih et al., 2002; 2003). Menurut Winarsih et al. (2003) konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D dan adenin pada media inisiasi sangat berpengaruh terhadap persentase eksplan menghasilkan embrio dan jumlah per eksplan yang dihasilkan. Perlakuan 2,4-D konsentrasi tinggi (2 mg/l) dan adenin konsentrasi rendah (0.10 mg/l) ternyata menghasilkan embrio dan jumlah embrio per eksplan lebih tinggi pada eksplan organ bunga kakao. Embrio somatik primer dapat terbentuk setelah minggu ke 9 sejak eksplan di induksi. Perbedaan organ bunga kakao yang digunakan sebagai eksplan menunjukan perbedaan presentase eksplan menghasilkan embrio (Avivi et al., 2010). Eksplan yang menghasilkan embrio paling baik terutama dijumpai pada organ petala diikuti oleh staminoid dan kemudian antera (Winarsih et al., 2003; Avivi et al., 2010).