‘KUDENGAR SUARA-SUARA YANG TIDAK SUDI DIBUNGKAM’ 1 Berbagai Langgam, Tema, Pola: Menyisir Kemungkinan Struktur Makro Dalam The Stranger-Kings of Sikka John Mansford Prior Pengantar Langgam Dalam The Stranger-Kings of Sikka, edisi terpadu dari dua laporan yang belum pernah diterbitkan sebelumnya tentang asal usul dan sejarah Kerajaan Sikka yang diterjemahkan, disunting dan dianalisis E. Douglas Lewis (2010), Lewis mencatat bahwa tidak ada istilah untuk ‘mitos’ atau ‘sejarah’ dalam bahasa Sikka. Wendy Doniger menegaskan bahwa mitos adalah ‘konotasi positif dari sesuatu yang lebih kaya secara budaya dan lebih tempias secara psikologis daripada sejarah belaka, sebuah gapura ke sanubari peradaban itu sendiri’, seraya menambahkan, ‘mitos mengungkapkan kepada kita sejarah tentang perasaan alih-alih peristiwa, motivasi alihalih gerakan’ (2011:ix, xiv). Seraya mengaitkan mitos dengan sejarah dan iman-keyakinan, Raimon Panikkar (1983:98) menulis: Sebuah mitos yang dilihat dan dihidupi dari dalam adalah satu kumpulan fakta yang membentuk struktur dasar di mana apa yang terberi tampil mencolok seolaholah di cakrawala. Mitos karenanya berfungsi sebagai titik acuan utama, batu uji kebenaran olehnya fakta diakui sebagai kebenaran. Mitos, bila dipercayai dan dihidupi dari dalam, mengungkapkan fondasi terdalam keyakinan kita tentang kebenaran ... fakta-fakta sejarah hanyalah contoh sementara – yang sering kali menipu dan selalu parsial – tentang suatu realitas yang selalu bercorak transhistoris. Mitos memberi kita berbagai cerita untuk hidup, menata pengalaman dengan menciptakan nilai dan membentuk kehidupan. Narasi-narasi mitos mengaitkan teologi dengan kenyataan seharihari dengan menjanjikan bahwa hidup ini sarat makna, dengan menyampaikan kearifan praktis tentang kehidupan, dengan menanamkan nilai-nilai, dan dengan menentukan identitas karakter utamanya sendiri (Cupitt 1991:77). Sementara sejarah ‘berkembang selama minggu dan tahun sebagai hasil sementara dari cerita-cerita yang saling bersaing. Realitas adalah medan perang, perjuangan tanpa akhir di antara banyak cerita yang saling bersaing tentang apa yang sedang terjadi. Kebenaran adalah ihwal menegaskan argumen ...’ (ibid., 20). Lalu, langgam apakah yang didayagunakan kedua penulis-penyusun naskah Sikka, Dominicus Dionitius Pareira Kondi (1886-1962) dan Alexius Boer Pareira (1888-1980)? Menulis pada paruh pertama abad ke-20 selama dasawarsa terakhir sebelum Kemerdekaan dan punahnya kerajaan tersebut, Kondi dan Boer, dua anggota paling awal yang melek huruf dari suatu masyarakat budaya yang sampai saat itu bercorak lisan, memetakan perubahan sosial tatkala masyarakat mereka beralih dari keberlisanan menuju keberaksaraan, dari kolonialisme menuju kemerdekaan nasional. 2 Pra-sejarah, yang didaraskan dalam bait ritual, dialih-tutur 1
Dari opera Peter Grimes (1945) oleh Benjamin Britten (1913-1976). Kata-kata ini ditorehkan pada The Scallop, patung baja anti karat berbentuk cakra yang dipersembahkan untuk Britten di pantai berbatu di Aldeburgh, Suffolk, Inggris. 2 Lewis telah sejak lama menggulati dampak keberaksaraan pada masyarakat yang sampai itu berciri lisan, misalnya dalam ‘The Tyranny of the Text’, 1998.
kedua penyusun dalam bahasa ibu mereka yakni sara Sikka, dan beberapa bait dalam bahasa daerah setetangga yakni sara Lio. Sejarah yang dicatat, dari pertengahan abad ke-19 dan seterusnya, dan seluruh komentar kedua penulis, ditulis dalam dialek Melayu di Flores bagian tengah. Lewis mencatat: ‘Yang satu yakni suara mitos dan narasi prosais dalam bahasa Sikka dan yang lain dalam bahasa Melayu dialih-tutur menjadi narasi, komentar dan bahkan sejarah’ (2010:44). Mitos dan sejarah saling berpilin dalam sebuah masyarakat di mana mitos, adatistiadat, sejarah dan bahasa membentuk lungsin dan pakan dari satu tenunan tunggal. Bahkan penanggalan yang menaburi bagian-bagian sejarah pra-tulis, dan kutipan-kutipan dari berbagai laporan sipil para pegawai Belanda, disisipkan ke dalam imajinasi mitis. Dan begitulah Lewis memberi judul naskah itu ‘Hikayat’, istilah Melayu untuk kisah, cerita atau narasi: Dalam Hikayat episode-episode mitis terdahulu berfungsi untuk membangun dasar bagi peristiwa-peristiwa sejarah yang berlangsung kemudian, sedangkan historisitas episode-episode yang kemudian berfungsi untuk mengabsahkan episode-episode mitis terdahulu. Begitulah, teks Kondi mengaitkan mitos dan sejarah sebagai sebuah narasi tunggal yang diurutkan secara kronologis. Hikayat adalah sesuatu dan di suatu tempat antara sejarah dan mitos. (Ibid., 56-57) Sebagai seorang teolog Kristen yang mempelajari Tanakh (Alkitab Ibrani), saya bukan tidak terbiasa dengan narasi-narasi gabungan, berlanggam campuran ‘pra-Pencerahan’. Misalnya, dalam kisah Alkitab tentang asal usul alam semesta dan manusia (Kejadian 1-11), kita menemukan kolase aneka langgam, yang oleh para sarjana pasca-Pencerahan telah dikenali sebagai kidung, mitos dan legenda, yang ditenun menjadi kain campuran dan kemudian, tanpa kelim, dipadukan ke dalam pra-sejarah dan dokumen sejarah Samaria dan Yerusalem. Dan ini bukan satu-satunya titik temu antara Hikayat dan Kejadian. Tema Seraya menempatkan Hikayat dalam konteks studi-studi etnologis di kawasan itu, Lewis mencatat bahwa, ‘Di seluruh bagian timur Kepulauan Sunda Kecil, salah satu cara untuk memapankan keabsahan duduk perkara, relasi sosial, klaim atas status dan otoritas, serta posisi seorang dalam masyarakat ialah dengan melacak asal usulnya sendiri dalam kaitannya dengan asal usul tokoh sentral kontemporer.’ Tapi kemudian Lewis melanjutkan dengan mencatat keunikan klaim dokumen-dokumen ini: Di Sikka, tokoh-tokoh sentral yang menjadi rujukan dalam melacak asal usul sering kali adalah para keturunan rumah penguasa Sikka atau rumah-rumah para bangsawannya. Dalam perhitungan relasi ke pusat ini, silsilah dinasti Lepo Geté, yaitu rumah Raja Sikka, menjadi sangat penting. Begitulah, Ata Sikka kontemporer mengklaim gelar, kekuasaan, otoritas dan presedensi tidak hanya dengan mengacu pada para leluhur mereka sendiri atau tradisi-tradisi mitis Sikka saja, tetapi juga dengan merujuk pada silsilah dinasti raja-raja. (Ibid., 97). Hikayat menunjukkan legitimasi urutan hierarkis orang Sikka di bawah rumah penguasa mereka (lepo geté). Pertanyaan tentang kedaulatan para raja asing Sikka dan legitimasi mereka di mata, dan penerimaan mereka oleh, masyarakat, dianalisis dalam kerangka aliansi perkawinan dan aliran gading dalam aliansi perkawinan itu sendiri, tetapi juga secara paralel, sebagai simbol
otoritas penguasa. Maka Lewis menjalin simbol-simbol budaya, relasi-relasi sosial dan klaimklaim penting tentang status dan otoritas. 3 Analisis ini mendorong Lewis menggugat salah satu keyakinan dasar para etnolog sejak zaman van Wouden (1935/1968), yaitu bahwa diarki (dwikekuasaan) merupakan bagian dari ‘intisari kebudayaan’ dari ulayat-ulayat budaya di kawasan timur Indonesia. Lewis tidak menemukan jejak diarki di Sikka, terlepas dari pemilahan yang sangat berbeda antara raja sekuler (raja asing) dan Gereja Katolik (agama asing) yang masuk ke sana. ‘Saya mesti menyimpulkan bahwa kisah asal usul Kerajaan Sikka bukanlah tentang penciptaan diarki sekuler dan seremonial melainkan kisah yang melukiskan kemunculan sebuah sistem sosial hierarkis di mana diarki itu sama sekali tidak ditemukan’ (Lewis 2010:123 ). Pola Bila beralih dari tema-tema kunci keseluruhan struktur maka kita menemukan paralel lain dengan Kejadian 1-11. Dalam Hikayat Lewis mengamati: ... sebuah gerakan umum ... yang diawali dengan pembentukan kesatuan di antara kelompok-kelompok pribumi yang berbeda dalam mitos-mitos, waktu a-historis, yang berkembang menjadi pembubaran kesatuan itu dalam waktu metriskronologis-historis, dan berakhir dengan penyatuan politik kerajaan itu pada masa pemerintahan Thomas da Silva. (Ibid., 59-60) Selanjutnya, Karya ini (Kondi dan Boer) tidak boleh dibaca, seperti pertama kali saya buat, sebagai kumpulan campur aduk rasa ingin tahu yang menyandingkan mitos dan sejarah. Sebaliknya, karya itu menyandikan struktur asal masyarakat Sikka dan mengabsahkan presedensi politik dan sosial dari para Raja Sikka, keutamaan mereka dalam urusan-urusan lokal yang bertahan selama setidak-tidaknya dua abad. (Ibid., 101) Berbagai langgam campuran ditenun menjadi tema-tema yang saling terjalin dalam sebuah teks terpadu dengan suatu pola keseluruhan; barangkali seorang yang akrab dengan Alkitab bisa membawa semacam kompetensi itu ketika membaca Hikayat. Status Quaestionis Sebuah Karya Sastra Terstruktur? Lewis mengenali ‘identitas orang dan peristiwa dalam kerangka waktu dan ruang’ (ibid., 63) sebagai prinsip pengatur yang mendasari karya Boer dan Kondi, seraya menambahkan Saya selalu curiga bahwa saya kehilangan seluruh ranah makna dan tatanan hanya karena pengetahuan saya kurang lengkap, bahkan setelah tiga puluh tahun karya berselang-seling pada masalah itu. (Ibid., 64) Hal ini menimbulkan bagi saya sebuah pertanyaan menarik. Lewis telah menemukan tujuan yang gamblang dalam penulisan Hikayat dalam penelitiannya yang cermat dan terperinci atas setiap langgam (mikro-analisis) serta secara lebih luas dalam tema-tema utama dan aliran dokumen (makro-analisis). Tujuan dan tema utama menyatukan apa yang tampaknya merupakan ‘kumpulan campur aduk rasa ingin tahu yang menyandingkan mitos dan sejarah’, yang pada awalnya diduga disusun dua penulis melek huruf itu. Namun selama bertahun-tahun dan dengan 3
‘... mitos asal usul bukan sejarah sebagai sejarah ... melainkan cara bagaimana kelompok-kelompok tersebut membentuk masyarakat. Pembentukan itu adalah ... hasil berbagai tindakan oleh kelompok pendiri utama itu sendiri. Oleh karena itu ... sejarah Sikka adalah sejarah istana’ (Lewis 1996:173).
perhatian telaten, Lewis melakukan pembacaan lineal atas keseluruhan, seraya menyingkapkan kedalaman dan kesatuannya, yang ia bagi menjadi prolog dan tiga zaman atau kurun (‘dewasa’). Selanjutnya, ia mengidentifikasi aliran tematik dari awal sampai akhir, dari penciptaan kesatuan (dalam mitos dan bahasa ritual a-historis) menuju pembubaran kesatuan itu (menurut kronologi sejarah) dan berakhir pada penyatuan kembali (representasi mitis dalam waktu metris, sejarah mitis) (ibid., 60). Pertanyaan saya adalah: dapatkah juga kita menemukan makna dalam dokumen itu seturut pola sastranya secara keseluruhan? Apakah kedua penulis-penyusun bahari yang melek huruf ini menulis sesuai dengan sebuah makro-struktur, yakni narasi lengkap dengan awal dan akhir, dan bukan hanya sebuah karya tambal sulam dari bahan lisan dan tertulis yang berbeda dalam urutan yang kurang-lebih kronologis (linear), melainkan komposisi kompleks yang strukturnya menunjukkan secara tepat maksud kedua penulis-penyusun? Apakah ada pesan dalam medium, dalam pola keseluruhan? Jika ada pola khas dalam Hikayat, maka hal ini dapat membantu kita memahami apa yang tetap agak mendua atau bahkan mubazir. Lewis telah menemukan bahwa Hikayat ‘menyandikan struktur asal masyarakat Sikka dan mengabsahkan presedensi politik dan sosial dari para Raja Sikka’ alih-alih sebagai yang terdiri dari hanya ‘kumpulan campur aduk rasa ingin tahu yang menyandingkan mitos dan sejarah’ seperti diandaikan mula pertama. Adanya pola sastra secara keseluruhan menyiratkan bahwa Hikayat, yang dialih-tutur dari beragam dan sumber, waktu dan penulis yang khas, adalah sebuah karya lengkap dalam dirinya sendiri, sebuah karya sastra terkembangkan yang disusun sesuai dengan sebuah pola yang dikenali. Apakah karya seperti itu bisa muncul dari tangan dua aksarawan bahari yang tidak mengenal model penulisan untuk diikuti? Konteks dan Kritik Lewis mengakui bahwa dua narasi ini ditulis ketika rumah penguasa masyarakat Sikka kian menyadari kerapuhannya. Masyarakat itu tengah diterpa perubahan sosial pesat. Agama Katolik populer lokal yang telah berusia berabad-abad sedang dikebawahkan pada pengayoman Gereja Katolik hierarkis terstruktur. Sekolah rakyat di bawah sponsor Gereja Katolik tengah menggeser relasi antargenerasi dan dengannya menggoyahkan adat. Sebuah elite baru muncul dalam sosok guru sekolah dan pegawai lokal. Ada pergolakan politik dalam kerajaan itu sendiri berupa kerusuhan dan pemberontakan di distrik Kanga'e, serta ketidakpastian politik di Jawa tatkala gerakan kaum nasionalis mendapatkan momentum (dipengaruhi oleh kebangkitan Cina dan Jepang). Semuanya ini menuntut adanya sebuah catatan tentang siapa keluarga penguasa Sikka dan bagaimana mereka tampil menjalankan kekuasaan politik-budaya lokal. Hikayat mengabsahkan status quo ante karena ia memposisikan diri bagi perubahan-perubahan yang akan terjadi dalam lempeng tektonik sosio-politik. Saya membaca Hikayat sebagai seorang teolog Kristen. Saya menyadari andil berkelanjutan para etnolog dan antropolog sosial bagi penafsiran Alkitab. 4 Melihat kesamaan antara, dan isu-isu 4
Dari daftar karya yang sangat banyak dan terus bertambah oleh para sarjana Alkitab, dua buku klasik layak disebut yakni karya Thomas W. Overholt berjudul Anthropology and the Old Testament (1959) dan karya Hans Walter Wolff berjudul Anthropology of the Old Testament (1974). Yang lebih belakangan adalah karya luas dan orisinal Norman Gottwald tentang tafsir sosial sastra Alkitab Ibrani yang memiliki pengaruh besar, khususnya The Tribes of Yahweh (1979) dan The Hebrew Bible: A Socio-literary Introduction (1985; edisi revisi diterbitkan tahun 2009 dengan judul A Brief Socio-literary Introduction). Banyak karya telah dipublikasikan tentang masing-masing kitab atau masalah, misalnya karya Shigeyuki Nakanose berjudul Josiah’s Passover: Sociology and the Liberating Bible (1993). Untuk seorang antropolog sosial yang mengangkat teks-teks Alkitab, lihat catatan kaki berikut.
umum di balik, laporan sekian khas antara Hikayat dan Alkitab, di mana kedua tulisan itu muncul dari ranah budaya yang sangat berbeda, saya ingin mencermati studi Lewis tentang langgam, tema dan aliran keseluruhan Hikayat Kerajaan Sikka dengan bantuan eksegesis Alkitab kontemporer. Dalam mencari kemungkinan makro-struktur, saya akan berpaling ke karya Mary Douglas yang menjelang akhir hayatnya menganalisis pola teks-teks kuno, khususnya kitab-kitab tertentu dalam Alkitab Ibrani. 5 Perhatian diperlukan agar saya tidak memeloroti tekstur kaya lagi kompleks dari teks-teks tersebut menjadi pandangan monokromatik-monolitik, atau menjadi pesan megafon tunggal yang membosankan. Kendati Kondi dan Boer, sebagai penulis-penyusun yang menyalurkan aliran narasi, bersepihak dengan kasta penguasa Sikka, namun dalam bahasa ritual yang dialih-tutur kita dapat mendengar berbagai suara, dan, seperti dalam semua sumber daya yang kaya, ada banyak ambivalensi dan ambiguitas. Berbagai cakupan suara semacam itu memberi ruang bagi kritik dari dalam teks itu sendiri. Kritik internal seperti itu ditemukan dalam seluruh narasi Alkitab Ibrani-Kristen. Dalam percakapan antar-budaya ini saya akan mencoba menyisir suarasuara diam yang tidak sudi dibungkam. Sebuah Pembacaan Diakronis Atas Hikayat Kritik Mikro dari Studi-Studi Alkitab Sejak Zaman Pencerahan setidak-tidaknya ada enam mazhab kritik sejarah berbeda, meskipun saling terkait, yang telah muncul dalam upaya untuk memahami asal usul dan komposisi, dan berbagai tingkat makna dalam, Alkitab Ibrani. 6 Para cendekiawan telah berusaha menelisik konteks historis atau tradisi, dari yang diklaim sebagai penulis-penyusun. Dalam tradisi-tradisi ini pakar lain menemukan sumber-sumber yang mungkin telah digunakan penulis/penyunting. Pakar lain menaruh perhatian pada bentuk-bentuk tertentu atau langgam olehnya tradisi-tradisi itu diteruskan, sementara pakar lain lagi lebih tertarik pada tradisi-tradisi teologis di balik berbagai teks. Masing-masing dari empat pendekatan ini menghasilkan ‘pengepingan’ teks lantaran para ekseget berusaha memainkan pengaruh utama, meskipun beragam, yang melahirkan susunan akhir teks. 7 Belakangan ini dua mazhab kritik Alkitab telah muncul yang melihat teks sebagai satu keseluruhan yang kompleks. Beberapa ahli telah mengasah pengaruh pada tahap akhir revisi, pada redaksi penutup seluruh karya, sementara ahli-ahli lain memakai seluruh Alkitab dan membaca setiap teks sebagai bagian dari seluruh koleksi atau kanon. Susan Gillingham (1998:157-170) menata enam tafsir historis ini untuk memberi pembacaan diakronis atas narasi asal usul dalam Kejadian 1-11. Sembari mendayagunakan studi Douglas Lewis, saya mencoba pembacaan serupa atas Hikayat. Sebuah Pembacaan Diakronis Atas Hikayat 5
Saya pernah mengikuti beberapa kuliah Mary Douglas pada pertengahan tahun 1960-an, yang kemudian diterbitkan sebagai Purity and Danger (1966), dan Natural Symbols (1970). Dua karyanya yang kemudian tentang kitab-kitab dalam Alkitab Ibrani yang saya akrabi adalah In the Wilderness: The Doctrine of Defilement in the Book of Numbers (1993), dan Leviticus as Literature (1999). 6 J. Wellhausen (1885) merintis ‘kritik sumber’; Hans Gunkel (1928) ‘kritik bentuk’; G. von Rad (1966) dan M. North (1966), dan baru-baru W. Brueggemann (2005), sangat berpengaruh dalam mazhab ‘tradisi teologis’, sedangkan B.S. Childs (1989) memprakarsai ‘Kritik Kanon’. 7 Identifikasi tradisi-tradisi teologis tidak terlalu relevan untuk studi tentang Hikayat, dan karenanya saya akan membatasi diri pada tiga pendekatan lain.
Dari Masyarakat ke Pengarang Dalam studi-studi Alkitab kritik tradisi mengenali tradisi-tradisi lisan atau tema-tema penting dalam sebuah teks, tanah agama-budaya dari mana laporan sastra gabungan itu tumbuh. Tradisitradisi yang mendasari ini mewujudkan nilai-nilai budaya utama di tengah masyarakat. Nilainilai budaya khas masyarakat Sikka yang memunculkan tradisi-tradisi utama di balik Hikayat dapat dikenali sebagai tatanan sosial (aliansi dan presedensi), kedaulatan (legitimasi dan penerimaan) dan identitas agama-budaya (Sikka-Kristen). Masing-masingnya dihasilkan melalui aliansi kreatif, tetapi juga relasi antagonistik, dengan pihak luar. Kritik sumber mencoba mengenali siapa yang melanjutkan tradisi-tradisi itu. Dalam menyusun Hikayat Kondi dan Boer memperoleh bahan mereka dari cukup banyak tetua, dari para anggota lepo geté (rumah penguasa), dan dari Dagboeken berbahasa Belanda di Maumere. Keunikan Hikayat ialah bahwa ia adalah upaya pertama mempersatukan ke dalam sebuah narasi gabungan berbagai langgam dari sumber-sumber berbeda. Kendati setiap langgam yang terpisah memiliki maknanya sendiri dalam latar ritualnya, namun masing-masingnya kini memperoleh nilai tambah sebagai bagian dari teks yang lebih luas. Tradisi-tradisi alkitabiah dalam Kitab Kejadian yang diturunkan dalam langgam-langgam tertentu terungkap melalui kritik bentuk. Bentuk adalah ‘pola atau urutan temporal yang diperpanjang; bentuk adalah struktur budaya, dan bentuk memperlengkapi kita untuk mengatasi kekacauan, menata pengalaman dan membentuk hidup kita’ (Cupitt 1991:25). Kritik bentuk menyibak aneka mitos, legenda, silsilah, berkat, kutuk, ratapan, kidung, amsal, nubuat, tawarikh dan lagu-lagu cinta yang dijalin ke dalam teks gabungan Kejadian. Demikian pula dalam Hikayat, Lewis mengidentifikasi berbagai mitos, ibarat, kata-kata mutiara, bahasa ritual, cerita rakyat, alegori, tipologi, silsilah dan kutipan dari Dagboeken para pegawai Belanda di Maumere, serta berlimpah ruah komentar dan laporan oleh kedua penulis-penyusun sendiri. Sebuah klasifikasi teks ke dalam bentuk atau langgam tertentu menunjukkan latar hidup khas untuk ideide keagamaan tertentu – siapa membaca apa kepada siapa pada acara seremonial atau keluarga. Dengan mengisolasi masing-masing kelompok langgam (mikro-struktur), seorang ekseget memusatkan perhatian pada masyarakat lengkap dengan siklus ritualnya sebagai pelestari dan pengilham tradisi. Dengan mengenali bentuk-bentuk sastra dan latar hidupnya kita dapat merasakan kepribadian masyarakat sebagai unsur kreatif di dalam proses ini. Namun ihwal memutuskan latar hidup setiap langgam membutuhkan sangat banyak keterampilan intuitif, dan terutama nian ketika kita menelisik masa lalu mitis di mana setiap pelaku kreatif digantikan oleh aneka jenis dan latar representatif. 8 Bagan [sudah tersedia dalam format AI] (Bagan oleh Yosef Maria Florisan berdasarkan Gambar 17 dan 18 dalam Gillingham 1998:171) Analisis mikro tersebut mengkaji setiap kekhasan bait Sikka yang ditandai dengan ‘paralelisme semantik yang ketat dan interaksi halus antara metafora dan metonimi’ (Lewis 2010:210). 9 8
Dalam berbagai penelitian etnologisnya Lewis (1988a) memberikan bobot pada peran kreatif setiap pelaku (misalnya dalam studi utamanya tentang Ata Tana 'Ai); kemungkinan ini akan terbuka dalam studi banding dan diakronis atas Hikayat. 9 Dalam sebuah penelitian yang sangat cermat, Lewis (2014) menjelaskan bagaimana paralelisme menegaskan duduk perkara tanpa memberi pengetahuan baru (dan hal itu sangat banyak dalam orasi ritual) sedangkan kiasme, yang terbuka pada kebaruan dan kejutan, dikeluarkan dari orasi tapi hadir dalam ostentasi. Ia menyimpulkan, ‘Paralelisme menyingkirkan kiasme’ (ibid.). Perhatian tulisan ini bukan pada konstruksi mini-linguistik seperti itu,
Budaya lisan diteruskan dengan mendaraskan narasi-narasi universal sebagai pembimbing tindakan – berbagai mitos, legenda, kata-kata mutiara dan seterusnya. Beberapa bahan termasuk dalam negosiasi perkawinan, yang lain mungkin untuk didaraskan sepanjang malam di lepo geté, yang lain lagi berupa sengketa adat. Meskipun setiap mitos dan legenda bebas untuk berkembang sendiri dan kalimat tertulis tidak lagi terikat pada momen tertentu atau lingkup ucapan ritual, namun mitos terutama bercorak peka konteks dan dalam Hikayat dapat dibaca secara diakronis. Begitulah, tema-tema terungkap melalui kritik tradisi dan langgam melalui kritik bentuk, sementara kritik sumber mengenali tema maupun langgam. Seluruh proses ini, di mana aneka tradisi/tema/keunikan/nilai utama diungkapkan secara khusus meskipun ada beragam bentuk yang dapat dirunut hingga ke sejumlah sumber, memetakan sebuah gerakan dari masyarakat kepada penulis-penyusun, dari keberlisanan kepada keberaksaraan, dari ranah budaya yang stabil-koheren kepada masyarakat kompleks yang semakin rapuh yang menghadapi masa depan tak pasti. Penggabungan aneka tradisi, langgam dan sumber lokal ke dalam teks gabungan (yang juga mengalami sejumlah revisi selama lebih dari dua dasawarsa) menelusuri proses yang diperpanjang di mana berbagai masyarakat antar-etnis desentralistik di pedalaman Sikka secara bertahap bergeser menjadi masyarakat yang lebih bersatu padu. Dari Pengarang ke Masyarakat Setelah analisis mikro melalui lensa linguistik dan etnologi, para ekseget Alkitab mengalihkan perhatian mereka ke dokumen final, yaitu ke analisis makro. Dalam kasus Hikayat, kritik redaksi bersangkut dengan para penulis-penyusun dari dua laporan yang ada, yakni Kondi dan Boer, dan juga dengan Lewis sendiri yang telah mempersingkat dan menyunting kedua dokumen ini menjadi sebuah narasi tunggal. Perhatian saya ialah terutama dengan hal ini, yaitu tahap akhir teks, artinya dengan apa yang benar-benar diyakni para penyunting, pemilihan dan penataan akhir teks. Seperti dengan Mazhab Tübingen dalam eksegesis Alkitab, perhatiannya ialah mengenali seluruh kecenderungan ideologis para penyunting (Tendenzkritik) guna menemukan andil khas para penyusun dalam penggabungan teks akhir. Di sini penekanan bergeser dari peran masyarakat Sikka secara keseluruhan kepada andil khas Kondi, Boer dan Lewis, yang setelah menyunting dan merampai-ulang bahan yang mereka pilih, menyatukan bahan tersebut ke dalam sebuah narasi tunggal yang kini menjadi tersedia untuk khalayak pembaca. 10 Menyisir Kemungkinan Struktur Makro ‘Segala sesuatu tumbang; pusat tak sanggup menopang’. 11 Karya terakhir Mary Douglas, yang diterbitkan pada tahun terakhir hidupnya, adalah tentang komposisi cincin dari banyak teks kuno yang ia kenali juga dalam kitab-kitab tertentu Alkitab Ibrani. Ia melukiskan keseluruhan struktur cincin dari sebuah karya tertentu sebagai ‘konstruksi betapapun pentingnya bagi kesejahteraan pelantun ritual dan masyarakat mereka, melainkan pada keseluruhan mega-struktur. 10 Dalam eksegesis Alkitab ada satu lagi tingkat dalam kritik sejarah, yaitu kritik kanon yang memakai teks akhir seperti yang kita temukan dalam seluruh Alkitab dan tempatnya dalam bagian tertentu Alkitab, misalnya dalam Torah (kelima kitab pertama), Ni'vim (kitab para nabi) atau Ketuvim (kitab-kitab lain). Tidak ada teks sepadan untuk dibandingkan dan dikontraskan dengan Hikayat Kerajaan Sikka. Dan karenanya saya akan memusatkan perhatian pada studi Lewis menyangkut pola dan aliran seluruh teks. 11 Dari ‘The Second Coming’ (1919), W.B. Yeats (1865-1939).
berbagai paralelisme yang mesti menyingkapkan tema, mengembangkannya dan menuntaskannya dengan membawa kesimpulan kembali ke awal’ (Douglas 2007:x). Melalui banyak contoh, Douglas menyisir sapta kaidah dalam komposisi cincin, yang masing-masingnya memiliki tempat yang jelas dalam keseluruhan gabungan. 12 Saya tidak hendak mengatakan bahwa narasi Hikayat mengikuti komposisi cincin; tanpa akses ke naskah lengkap dalam bahasa aslinya, proposisi tersebut tidak dapat dibedah lebih jauh. Juga, dari sejumlah besar kutipan yang tersedia dalam edisi Indonesia Hikayat (Kondi dan Boer 2008) tampaknya sangat tidak mungkin bahwa narasi itu mengikuti sapta kaidah cincin yang disebut Mary Douglas, kecuali, seperti yang saya sebutkan di bawah ini, kaidah pertama (prolog), kelima (muatan utama) dan ketujuh (penutupan pada dua tingkat). Pertanyaan masih tersisa: pola keseluruhan seperti apakah, jika ada, yang didayagunakan kedua penulis? Lewis (2010:383) menyiratkan bahwa keduanya tidak memiliki model siap pakai, yang sepenuhnya masuk akal, karena tidak ada model sastra yang tersedia bagi mereka ketika itu. Tapi seandainya tersedia model lisan, keseluruhan struktur yang biasa digunakan oleh para juru ritus untuk pidato seremonial, ode kemenangan, pidato pemakaman atau bahkan untuk perayaan pesta masyarakat, apakah ada pola keseluruhan yang menyatukan pendarasan yang panjang, yang membuat ihwal menghafal menjadi mungkin dan ihwal mendengarkan menjadi menarik? Bukankah tidak umum, meskipun kompleks, ada kaidah untuk pembacaan khidmat atas mitos asal usul? Tanpa memaksakan konstruksi cincin pada kutipan karya Boer dan Kondi, saya berpendapat bahwa kita dapat mendeteksi sebuah pola yang terpisah dari skema linear kronologis dari dokumen narasi historis tersebut. Ini sama sekali bukan mempertanyakan adanya aliran linear yang jelas dalam Hikayat. Seperti dicatat Lewis, ‘urutan jelas berbagai episode dalam dua teks ini memungkinkan saya untuk memautkan episode-episode dari dua teks ini menjadi narasi temporal dan tekstual berkelanjutan’ (ibid., 52). Namun seperti ditemukan Mary Douglas, kalau para pakar menganggap banyak teks kuno tidak memiliki konstruksi koheren dengan banyak ‘pengulangan’ dan ‘kejanggalan’, maka ia menemukan sebuah struktur non-linear yang membuat masuk akal setiap item dalam teks-teks yang ia pelajari. Ketika meringkas dan menyunting berbagai bahan untuk memadukan karya Kondi dan Boer, Lewis dipandu oleh ‘prinsip utama ... untuk menyunting sedemikian rupa sehingga menekankan narasi koheren dari kisah asal usul Sikka yang agak dikaburkan penambahan bahan lain oleh kedua penulis yang kendati menarik tapi membetot perhatian’ (ibid., 52). Kondi dan Boer hampir pasti menuliskan bahan-bahan menarik yang tidak penting untuk tugas utama mereka. Namun demikian, dalam narasi mereka, yang ditulis di atas kertas apa pun yang tersedia, apakah ada pengaturan lain yang mungkin dapat ditemukan dalam pendarasan panjang dan tidak hanya dalam pola kronologis dokumen sejarah yang membuat masuk akal penempatan bahan yang ‘menarik’ ini? Kondi sendiri membagi karyanya menjadi empat kurun: 1) penciptaan kerajaan, 2) kehidupan Don Alésu, 3) kehidupan Raja Mo'ang Mbako I, dan 4) kehidupan Raja Andreas Jati da Silva (ibid., 57; Kondi 2008:li-lvi). Lewis sendiri mengurangi empat kurun ini menjadi tiga: 1) kedatangan para pendatang baru hingga masa pemerintahan Dona Ines, 2) ‘raja-raja tengah’ yang terpusat pada Mbako I dan Mbo, dan 3) raja-raja ‘historis’ terakhir, dimulai dengan Andreas Jati.
12
Sapta kaidah itu adalah 1) Prolog, 2) Pembagian menjadi dua bagian, 3) Bagian-bagian paralel, 4) Indikatorindikator untuk menandai masing-masing bagian, 5) Muatan utama, 6) Cincin dalam cincin, dan 7) Penutupan pada dua tingkat (Douglas 2007:36 -38).
Lewis (ibid., 58-63) kemudian memerincikan kekhasan masing-masing tiga kurun tersebut. Apakah ada cara lain untuk memahami urutan bahan? Kedua teks disusun dalam jangka panjang, mungkin dari tahun 1920-an hingga tahun 1940-an dengan beberapa adendum kemudian (hlm. 38-41). Setiap penyusun mengawinkan beragam suara dari berbagai sumber dalam sejumlah langgam yang sangat berbeda, Kondi berjumlah 82.100 kata panjangnya dan Boer mencapai 63.000 kata. Jelas bahwa pemilihan bahan sumber, lisan dan tertulis, diputuskan oleh keseluruhan tema dan tujuan karya, yaitu asal usul, pengembangan dan organisasi kerajaan Sikka. Tapi apakah para penyusun juga mengatur bahan mereka menurut sebuah mega struktur, yaitu pola keseluruhan yang membuat isi, kosakata dan penempatan masing-masing inklusi menjadi masuk akal guna menyoroti tujuan keseluruhan – bahkan mungkin menyisipkan pula kritik ke dalamnya? Endusan saya ialah bahwa awal dan akhir karya Kondi membentuk sebuah inclusio atau peranti pembingkaian, dan bahwa narasi itu memiliki sebuah pusat, dan bahwa tiga komponen utama ini menggarisbawahi tema-tema kunci dari seluruh narasi, sementara pada saat yang sama mengkritisi asumsi-asumsi budaya dasar tertentu. Saya tidak memiliki akses untuk versi Boer sebab Lewis menggunakan laporan Kondi yang lebih panjang dan memakai Boer sebagai tambahan dan tafsir alternatif saja. Boer tidak berspekulasi tentang sejarah yang tercatat, dan menyudahi ceritanya dengan Raja Mbako Kikir Hiwa. 13 Maka, saya mengesampingkan laporan Boer; penelitian tentang struktur non-linear berbasis lisan dalam karyanya memerlukan studi terpisah atas seluruh dokumennya. Saya membatasi diri pada laporan Kondi seperti yang tersaji dalam versi bahasa Indonesia (Kondi 2008) dan bahasa Inggris (Lewis 2010). Awal dan Akhir Kondi Prolog ‘Kami tidak akan berhenti dari penjelajahan kami / Dan pada akhir semua penjelajahan kami / Kami akan tiba di mana kami mulai / Dan mengetahui tempat itu untuk pertama kalinya’ 14 Dalam prolognya (pendahuluan), Kondi menggambarkan dunia lama yang berlalu. Ia memperkenalkan kita ke sebuah dunia yang telah hilang, dunia kegelapan dan kebodohan, dunia kebalauan dan tidak teratur (Lewis 2010:117) di mana orang semi-nomad terlibat dalam pertanian tebang dan bakar, sebuah dunia yang sulit dikenang apalagi dipahami. Istilah-istilah kunci tampil menonjol: hutan, gelap, liar, berbahaya, sebuah dunia mitis di mana alam, manusia, binatang dan roh bercampur gaul: zaman dahulu kala, dunia Sikka masih muda, ketika itu rimba raya hutan belukar amat banyak dan kampung-kampung terdiri dari satu, dua rumah pun belum berapa adanya, bahkan tempat kediaman pun berpindah-pindah ... berdiam juga binatang-binatang buas dan liar, bercampur gaul dengan tempat jin ... zaman itu pun telah jauh amat dan sudah tersembunyi dalam dunia kegelapan ... laksana
13
Hemat saya satu tema tambahan penting yang diperkenalkan Kondi dalam dokumen sejarahnya itu ditemukan dalam era Don Thomas da Silva. Kisah tentang para raja lain tidak disertakan dalam naskah Boer yang hanya melanjutkan motif sebelumnya yakni konflik dan upaya demi kesatuan. 14 ‘Little Gidding’, T.S. Eliot.
sebuah gua yang sudah ditutup oleh laba-laba dengan sarangnya ... sebagai sebuah batu bertulisan yang sudah kabur dawatnya ... (Kondi 2008:3-4) Alinea Penutup Kondi Hampir 82.000 kata kemudian, Kondi menyimpulkan Hikayat-nya dengan potret Raja Don Thomas da Silva, raja aktif terakhir yang masih hidup pada saat penulisan Hikayat, dan sangat mungkin dialah yang meminta Kondi untuk menyusun narasi itu. Personaliteitnya: Barang seorang belum pernah bercakap-cakap dengan beliau merasa diri takut bertemu sebelum melihat wajahnya. Tetapi kalau sudah bertemu satu kali (dan) seterusnya bercakap-cakap ... sifat beliau pandai mengambil hati orang dengan beberapa kata lucu-lucu. ... Sifatnya suka mempertalikan diri dengan orang ditinggi sampai kepada orang rendah, maksudnya hendak mengetahui segala pendapat orang lain baik susah maupun senang diperhatikannya. ... Sifat tidak suka berseteru dengan orang melainkan ramah tamah dan penasihat serta suka menolong yang bersusah asal orang datang meminta kepadanya. (Kondi 2008:328-329) Kontras antara prolog dan alinea penutup Kondi tampil sangat mencolok dan menandai pengembaraan yang ditempuh Hikayat. Kisah ini dimulai dengan potret sebuah masyarakat ‘gelap’ berbau di hutan, di mana orang bersaing dengan binatang buas dan roh berbahaya, dan berakhir dengan potret seorang pemimpin yang tercerahkan di kota, yang memerintah suatu masyarakat mapan yang bangga dengan adat dan kemajuan masyarakat. Hikayat menggambarkan perjalanan orang Sikka dari pemukiman sementara, yang lebih sering daripada tidak terdiri dari satu rumah tunggal (panjang), menjadi pemukiman tetap di kampung-kampung yang cukup besar dan stabil, dengan adat yang mereka banggakan, dengan sekolah-sekolah dan kantor administrasi yang sebagian besar mereka kelola sendiri. Tapi apa atau siapa yang membawa keluar peradaban yang tercerahkan ini dari kegelapan, gua suram nun jauh di masa lalu? Ketika membaca narasi Kondi dalam edisi Indonesia, saya berpendapat bahwa cerita ini memang memiliki titik pusat, poros, yang menyatukan unsur-unsur kunci yang selama berabad-abad membawa keluar masyarakat Sikka dari kegelapan menuju cahaya. Saya menemukan pusat itu pada akhir periode kedua (Bab V dalam Kondi 2008), yaitu era Ratu Dona Maria, Mo'ang Samao da Silva dan Ratu Dona Ines da Silva (Kondi 2008:139156, Lewis 2010:319-332). Bagaimanapun juga, saya menemukan hal ini sebagai kemungkinan yang menarik. Pusat Saya berpendapat bahwa bagian utama dimulai dan berakhir dengan laporan tentang dua raja perempuan, Dona Maria dan Dona Ines, di mana kisah Raja Mo'ang Samao terselip di antaranya. Kendati bagian ini penuh dengan bait ritual, tamsil dan peribahasa dalam bahasa Sikka, namun bagian tersebut juga dibumbui dengan penanggalan tertentu – 1563, 29 Januari 1565, 1581, 10 Agustus 1595, 1598, 1601, 1602, 1637. Setiap penanggalan mengacu pada pertempuran atau konflik dengan pihak luar, atau pembunuhan para biarawan Dominikan. Mitos dan sejarah dirajut bahkan ketika bahasa beralih dari Melayu ke sara Sikka dan kembali ke Melayu lagi. Meskipun Kondi dan Boer terkadang berbeda dalam laporan mereka (yang dicatat apa adanya oleh Lewis 2010), kedua penyusun mengklaim bahwa hukum dan adat untuk mas kawin ditetapkan oleh satu
dari kedua raja perempuan itu guna meningkatkan dan menjaga martabat kaum perempuan. 15 Ratu Dona Maria, ‘menata peraturan kawin yakni harus dipinang dan lain-lain dengan sopannya sebab kebanyakan perempuan membawa keberatan kepada beliau tentang keburukan dan kemeleratan beberapa gadis’; Kondi 2008:139; Lewis 2010:319). Kemudian, Ratu Dona Ines, ‘mengatur perkara emas perkawinan bagi segala perempuan agar tambah rapi dengan keras’. Atau seperti dikatakan Boer, Terlebih diadakan lagi emas kawin bagi segala perempuan oleh sebab penduduk negeri berbantah dan berselisih tentang anak gadisnya, yang dikawin oleh lakilaki pemuda, serta dibawa ke mana-mana sekehendak hatinya ada yang piara, ada yang tiada, dilepaskan (dibiarkan) saja. Maka diadakan oleh Dona Ines emas kawin bagi segala perempuan, supaya ibu bapaknya jangan teramat masygul bila gadisnya dibawa oleh si laki-laki dan terlebih supaya segala laki-laki sayang anak-anaknya dan hartanya yang telah dikawinnya itu. (Kondi 2008:141-142, Lewis 2010:321) Begitulah, pada jantung narasi itu ada dua raja perempuan yang menetapkan adat di sekitar lembaga budaya paling penting yang mengatur berbagai relasi sosial. Dan aturan-aturan tentang aliansi perkawinan itu dijabarkan hanya setelah sebuah delegasi perempuan menghadap Ratu Dona Maria dan memaparkan ‘posisi hina kaum perempuan’. Tidak sampai di sini saja. Di antara laporan tentang dua raja perempuan itu kita menemukan kisah tentang Raja Samao yang menyebut dirinya sebagai ‘manumere niang boru tana lewok’ (‘ayam jago menerus dan menembuskan bumi’; Kondi 2008:141, Lewis 2010:320). Samao mengirim sebuah milisi dari Sikka untuk menyerang ‘para penjarah’ yang berniat menghancurkan jemaat Kristen di Pulau Solor. 16 Selanjutnya, Ratu Dona Ines mengirim sebuah pasukan tempur dari Sikka untuk memperkuat bala tentara Kristen guna menempuri laskar Muslim yang mengancam jemaat Kristen di Larantuka. Kemudian pasukan lain dibentuk untuk melindungi Sikka dari serangan dari Makassar. Juga diceritakan bahwa pada masa pemerintahan Dona Ines rakyat Sikka berlayar ke Singapura dan di sana bertemu orang-orang Cina dan bangsa lainnya. Jadi, di sini kita menemukan dua motif yang saling terkait: kontak dengan bangsa lain demi perniagaan, di mana pengembaraan itu memperluas cakrawala budaya dan karenanya membawa kebanggaan tertentu akan adat-istiadat Sikka mereka sendiri (Kondi 2008:141-142, Lewis 2010:321), tetapi juga kontak militer dengan pihak luar agresif yang mengancam identitas Kristen mereka, pihak luar yang berhasil mereka tempuri dengan gagah berani. 17 15
Ketika Boer dan Kondi menyusun laporan mereka, pemerintah kolonial, dengan sokongan penuh dari Gereja Katolik di belakangnya, tengah membuat berbagai upaya untuk melarang, atau setidak-tidaknya mengurangi mas kawin, karena menganggapnya sebagai praktik merendahkan, ‘menguangkan’ pengantin perempuan. Hampir satu abad kemudian, pada tahun 2010, dalam sebuah seminar di Maumere, Suster Euschokhia, SSpS, dengan keras mencela praktik itu atas nama hak-hak perempuan. Ia ditentang tidak kurang oleh Oscar Mandalangi yang mengaku, sejalan dengan Hikayat, bahwa mas kawin meningkatkan, bukan merendahkan, posisi kaum perempuan. Kita bertanya-tanya apakah ketika menulis laporan tentang Dona Maria dan Dona Ines, Boer dan Kondi tidak sedang secara sadar membela praktik yang diserang secara bersamaan oleh otoritas sekuler dan religius pada zaman itu. 16 Boer dan Kondi merujuk kepada dua bersaudara Demong (Kristen) dan Paji (seorang Kristen yang masuk Islam dan kemudian menyerang kaum Kristen). Minat mereka dalam sejarah mitis ini terpusat pada keberhasilan milisi Sikka. Lumrah belaka bila legenda Demon (g) dan Paji jauh lebih kaya dan dapat dibaca pada berbagai tingkatan. Lihat versi yang dicatat Paul Arndt (1938) dan jauh lebih kemudian dalam terjemahan Indonesianya (Arndt 2002). 17 Ada dua kesalahan kecil dalam penerjemahan Lewis dari bahasa Melayu. ‘Paderi Fransiscus’ bukanlah ‘para biarawan Fransiskan’ (para imam Portugis adalah biarawan Dominikan), melainkan seorang yang bernama ‘Pastor Fransiskus’. ‘Coster’ bukanlah ‘abbas’ (tidak ada pertapaan di Flores, hanya biara); ‘coster’ adalah ‘koster’, rupanya
Maka, pada pusat bagian tengah ini kita menemukan: 1) aturan untuk aliansi perkawinan; 2) aliansi dengan pihak luar untuk menangkal ancaman terhadap identitas Kristen; 3) pengetatan lebih lanjut tentang aturan aliansi perkawinan; 4) intervensi militer tambahan untuk menjaga identitas Kristen; 5) relasi dengan ‘orang Portugis’ diperkuat dengan berbagai aliansi. 18 Ada satu unsur adat lain yang diumumkan Dona Ines yang terkait dengan orang luar, yaitu tada – berbagai tabu yang melarang dipetiknya tanaman dan buah yang belum matang oleh orang Sikka sendiri, baik untuk perniagaan atau bisnis lainnya, namun diperbolehkan untuk para pengelana lapar yang kebetulan lewat (Kondi 2008:143, Lewis 2010:322-324). Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa semua unsur kunci Hikayat ditaruh pada bagian ‘tengah’ yang penting ini: tatanan sosial dan pemerintahan, adat perkawinan dan relasi keluarga/generasi serta pembentukan identitas Kristen yang kokoh. Dan bagian penting ini dibuka dan ditutup dengan masa pemerintahan dua raja perempuan. Urutan aliansi perkawinan menjamin tatanan sosial sekaligus melindungi kehormatan kaum perempuan; aliansi dengan orang Portugis/Topasses menjamin pelestarian identitas Kristen mereka; kontak dengan pihak luar, baik musuh yang mengancam dan mitra dagang yang ramah maupun dengan sekutu Portugis mereka di Timor, mempertajam kesadaran mereka tentang tempat mereka di tengah dunia yang lebih luas. Seperti ditunjukkan Lewis dengan sangat terperinci secara etnologis, aliansi perkawinan dan kedaulatan pihak luar (orang asing) saling terkait sangat erat (Lewis 2010:111-132). Justru karena mereka menikah dengan masyarakat setempat, para pendatang Topasses dapat diterima sebagai penguasa masyarakat autokton ini. Selain itu, simbol gading dalam adat perkawinan dan rujukan simbolik pada kedaulatan memperkuat kembali kaitan antara aliansi perkawinan dan keluarga penguasa (Lewis 2010:133-159). Bagi saya dua simbol kunci menonjol pada di poros utama ini: aliran peredaran gading dan aliran darah para martir. Simbol-simbol menghasilkan aneka kejadian dan perasaan riil, dan tingkat-tingkat riil dan simbolik bisa saja sekaligus hadir dalam sebuah teks tunggal ... mitosmitos ... tidak melulu menanggapi peristiwa-peristiwa sejarah ... tetapi juga menggerakkannya. Karena kita adalah apa yang kita bayangkan, sebanyak apa yang kita lakukan. (Doniger 2011:xv) Kita barangkali mengatakan bahwa masa Dona Maria hingga Dona Ines disajikan sebagai ‘zaman keemasan’ Sikka, saat para raja mengkodifikasikan adat dan ketika masyarakat, melalui perniagaan antarpulau, bisa mempersandingkan diri mereka dengan penuh kebanggan dengan orang luar, ketika para raja melihat kekalahan para musuh mereka, dan identitas budaya Katolik masyarakat Sikka terjamin. Menempatkan bagian Dona Maria–Dona Ines sebagai pusat utama keseluruhan menjadi masuk akal ketika kita meneliti segmen-segmen narasi sebelum dan sesudahnya. Bagian persis sebelum pusat utama tadi menceritakan kisah Don Alésu, raja asing pertama yang memperkenalkan agama Kristen Katolik ke Sikka, dan mengisahkan pengapalan pertama gading (Kondi 2008:103138, Lewis 2010:285-318). Don Alésu membangun panggung untuk kedua raja perempuan itu (ikatan sosial melalui agama Katolik, dan mengaitkan aliansi perkawinan dan kedaulatan melalui penduduk lokal yang merawat gedung gereja dan/atau memperhatikan kebutuhan imam ketika ia datang berkunjung. (Kondi, 2008:149; Lewis 2010:326, 327). 18 Seperti ditunjukkan Lewis, istilah ‘Portugis’ hampir pasti mengacu pada Topasses dan juga para penjajah; jika demikian maka kaum Topasses itulah yang menikah ke dalam keluarga Sikka yang kemudian menjadi rumah penguasa.
gading). Menyusul bagian utama itu, Kondi dan Boer menceritakan sejarah mitis dua raja, yaitu Mbako I Kikir Hiwa dan Thomas Mbo. Masa pemerintahan mereka ditandai dengan banyaknya konflik di antara masyarakat mereka sendiri, dengan Larantuka, dan antara Sikka dan Wolokoli. Laporan Boer berakhir di sini, sementara Kondi melanjutkan dokumentasi sejarahnya hingga ke era raja terakhir, Don J. Thomas X. da Silva. Bila dipahami dengan cara ini, maka struktur makro Hikayat Kondi terungkap sebagai berikut 19 prolog → pencarian makna → ketertiban dan identitas → perjuangan untuk kohesi → personifikasi yang ideal 20 Kegelapan → Penciptaan kesatuan → Zaman Keemasan → Sengketa-sengketa (pra-historis dan yang tercatat) → Pencerahan Ketika bergerak bolak-balik dari bagian ke bagian, maka kita dapat melihat bagaimana teks tersebut membuka cakrawala kesadaran yang terus bertumbuh, cakrawala yang disediakan oleh mitos dan terwujud dalam sejarah. Sebuah Kritik Internal? ‘Kudengar suara-suara yang tidak sudi dibungkam.’ Kisah raja-raja perempuan ditaruh pada pusat Hikayat, para perempuan yang membawa ketertiban dan keadilan (keseimbangan) kepada masyarakat, para perempuan yang berhasil mempertahankan identitas Katolik mereka dan karenanya memimpin sebuah era yang patut dibanggakan. Dan hal ini terjadi dalam sebuah masyarakat patrilineal di mana para tetua lelaki membuat semua keputusan formal dan mewariskan tradisi-tradisi lisan kunci. Kehadiran, peran dan keunggulan raja-raja perempuan agak membalaukan narasi patriarkat. Tidakkah kita di sini menemukan secara kebetulan sebuah kunci menyangkut kritik internal yang memunculkan kebenaran yang mengusik, atau setidak-tidaknya suara tandingan sebagai penyeimbang, atau malah suara kebenaran, terhadap laporan ‘arus utama kaum lelaki’ itu? Dalam mitos yang tak dibantah dan sejarah yang membentang kedua penulis-penyusun menggabungkan banyak warna ke dalam satu tekstur hidup, sebuah simbiosis tenang antara yang lama dan yang baru, antara tradisi dan modernitas. Dua raja perempuan alih-alih selusin atau lebih raja lelaki bertanggung jawab atas tatanan sosial, kelangsungan hidup dan kesetaraan gender, sebuah jungkir balik mitis atas asumsi-asumsi sejarah ala patriarkat, dan nyaris menumbangkannya. Kendati para pemimpin dan raja lelaki dalam paruh awal dan akhir kisah itu menciptakan kesatuan dan pencarian makna, namun mereka juga menyebabkan perselisihan. Hanya dengan raja terakhir, Don Thomas da Silva, masyarakat Sikka menggantang kembali kesatuannya dan berdiri tegak menghadapi dunia luar. Tapi dengan imajinasi persuasif dan ambiguitas menggoda, zaman keemasan ideal itu niscaya terletak pada masa kekuasaan dua raja perempuan. Oleh karena itu, saya membaca persinggahan pusat ini dalam Hikayat sebagai suara terpasang yang menumbangkan paradigma patriarkat yang dominan! Meskipun mengakui tujuan keseluruhan Hikayat dengan susah payah ditemukan Lewis, namun di sini pusat sudut pandang dominan kaum lelaki dibiaskan dan kita melihat sekilas sinar cahaya multi-warna melalui prismanya. Tidak ada ideologi tunggal utama untuk masing-masing dan setiap bagian dari teks
19
Lihat Lewis (2010:60-61) untuk penjelasan tiga periode olehnya ia membabak Hikayat. ‘Dalam ... pembebasan pemikiran mitis dan pemisahan tokoh yang mulai masuk ke dalam sejarahnya sendiri, tidak ada pembagian yang tak terbantahkan ... antara pengertian tentang orang, kecerdasan, rasionalitas dan mitos.’ Maurice Leenhardt, Do Kamo, dikutip Lewis (1988b) pada awal ‘A Quest for the Source’.
20
akhir. Kita masih bisa mendengar suara-suara yang tidak sudi dibungkam. 21 ‘Tidak banyak yang bisa kita lakukan atas masa lalu, tetapi niscaya kita mampu menahan persetujuan yang dituntut masa lalu itu dari kita pada masa kini guna menjamin, seperti ucapan terkenal Gandhi, agar masa lalu itu tidak terjadi sekali lagi’ (Sugirtharajah 2012:186). Penutup Kondi maupun Boer berkelana dari masa kini yang tidak pasti ke masa lalu yang tidak dipertanyakan, sembari percaya bahwa masa lalu itu dapat dimasukkan ke dalam masa depan yang tidak diketahui. Dengan bersandar pada tahun-tahun terakhir era kerajaan, sambil menyadari kerapuhan masyarakat mereka, kedua penulis-penyusun memperkaya masyarakat mereka dengan memahami masa lalunya. Mereka menemukan kembali dan mencatat sejarah mitis rakyat mereka sebagai acuan untuk mengarahkan mereka ke masa depan dengan secara implisit mengomentari berbagai kecemasan masa kini. Begitulah cakrawala di mana mereka menempatkan pengalaman ambivalen mereka tentang masa kini. Sama seperti transmisi lisan dan kohesi mitos mereka menjadi kendur, demikian pula masyarakat perlu diyakinkan kembali oleh otoritas eksternal berupa kata-kata tertulis. Tanpa ragu E. Douglas Lewis telah melakukan studi diakronis 22 menakjubkan atas karya Kondi dan Boer menyangkut tatanan kebenaran yang terandalkan dari masyarakat mereka, setelah ia belajar bagaimana menanggalkan cara ‘berdiri’nya sendiri, perspektif liberal-individualisnya sendiri, agar dapat berdiri ‘di bawah’ dan karenanya mampu memahami cara pandang atas dunia yang dimiliki orang lain. Rujukan Arndt, P. (1938) Demon und Patzi, die feindlichen Brüder des Solor-Archipels. Anthropos XXXIII 1 (2): 1-58. [terjemahan Indonesia Demon dan Paji: Dua Bersaudara yang Bermusuhan di Kepulauan Solor. Maumere: Candraditya, 2002] Brueggemann, W. (2005) Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy. Minneapolis: Fortress Press. [terjemahan Indonesia Teologi Perjanjian Lama: Kesaksian, Tangkisan, Pembelaan. Maumere: Penerbit Ledalero, 2009] Childs, B.S. (1989) Old Testament Theology in a Canonical Context. Minneapolis: AusburgFortress. Cupitt, D. (1991) What is a Story? London: SCM Press. Doniger, W. (2011) The Implied Spider: Politics and Theology in Myth. New York: Columbia University Press. Douglas, M. (1966) Purity and Danger: An Analysis of Concepts of Pollution and Taboo. London: Routledge and Kegan Paul. ____ (1970) Natural Symbols: Explorations in Cosmology. London: Barrie and Rockliff. ____ (1993) In the Wilderness: The Doctrine of Defilement in the Book of Numbers. Sheffield: Sheffield Academic Press. ____ (1999. Leviticus as Literature. Sheffield: Sheffield Academic Press. ____ (2007) Thinking in Circles: An Essay on Ring Composition. New Haven and London: Yale University Press. Gillingham, S.E. (1998) One Bible, Many Voices: Different Approaches to Biblical Studies. London: SPCK. 21
Saya juga menyadari komentar serius seperti, ‘Sesungguhnya, teks-teks penting adalah teks-teks yang rentan disalahpahami secara berlimpah ruah dan beragam’ (McNeill 1985:ix). 22 Istilah tersebut berasal dari Raimon Panikkar (1983:9).
Gottwald, N.K. (1979) The Tribes of Yahweh. Minneapolis: Fortress Press. ____ (1985). The Hebrew Bible: A Socio-literary Introduction. Minneapolis: Fortress Press. Gunkel, H. (1928) What Remains of the Old Testament and Other Essays. London: Allen and Unwin. Kondi, D.D.P. dan Pareira, A. B. (2008) Hikayat Kerajaan Sikka, disunting dan diterjemahkan E. D. Lewis dan O.P. Mandalangi. Maumere: Penerbit Ledalero. Lewis, E.D. (1988a) People of the Source: The social and ceremonial order of Tana Wai Brama on Flores. Dordrecht, Holland and Providence, U.S.A.: Foris Publications. Brueggemann, W. (2005) Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy. Minneapolis: Fortress Press. [terjemahan Indonesia Ata Pu'an: Tatanan Sosial dan Seremonial Tana Wai Brama di Flores. Maumere: Penerbit Ledalero, 2013] ____ (1988b) A Quest for the Source: The Ontogenesis of a Creation Myth of the Ata Tana 'Ai. In To Speak in Pairs. Essays on the Ritual Languages of Eastern Indonesia, edited by J.J. Fox, 246-281. Cambridge: Cambridge University Press. ____ (1996) Origin Structures and Precedence in the Social Orders of Tana 'Ai and Sikka. In Origins, Ancestry and Alliance: Explorations in Austronesian Ethnography, edited by J.J. Fox and C. Sather, 154-174. Canberra: The Australian National University. ____ (1998) The Tyranny of the Text: Oral Tradition and the Power of Writing in Sikka and Tana 'Ai, Flores. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 154 (3):457-477. ____ (2010) The Stranger-Kings of Sikka. Leiden: KITLV Press. ____ (2014) Parallelism and Chiasmus in Ritual Oration and Ostension in Tana Wai Brama, Eastern Indonesia. In Chiasmus in the Drama of Life, edited by B. Wiseman and A. Paul. London: Berghahan Books. McNeill, W. (1985) Mythistory and Other Essays. Chicago: University of Chicago Press. Nakanose, S. (1993) Josiah’s Passover: Sociology and the Liberating Bible. New York: Orbis Books. North, M. (1966) The Laws in the Pentateuch. London: Oliver and Boyd. Overholt, T.W. (1959) Cultural Anthropology and the Old Testament. Minneapolis: AusburgFortress. Panikkar, R. (1983) Myth, Faith and Hermeneutics. Bangalore: Asian Trading Corporation. von Rad, G. (1966) The Problem of the Hexateuch and Other Essays. London: SCM Press. Sugirtharajah, R.S. (2012) Exploring Postcolonial Biblical Criticism: History, Method, Practice. Oxford: Wiley-Blackwell. Wellhausen, J. (1885) Prolegomena to the History of Israel. London: A. and C. Black.