DRAF 5 APRIL 2017
VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN TUJUAN 2: MENGHILANGKAN KELAPARAN, MENCAPAI KETAHANAN PANGAN DAN GIZI YANG BAIK, SERTA MENINGKATKAN PERTANIAN BERKELANJUTAN Voluntary National Review (VNR) Tujuan 2 Tanpa Kelaparan, membahas beberapa indikator yang penting dari target menghilangkan kelaparan, menghilangkan segala bentuk kekurangan gizi, produktivitas pertanian. Dalam pembahasannya dicakup analisis tren dan keberhasilan, tantangan dan cara mengatasinya, inovasi dan upaya penting yang dilakukan, emerging issues dan pembelajaran.
I. ANALISIS TREND DAN KEBERHASILAN A. Menghilangkan Kelaparan Susenas melaporkan tren proporsi penduduk dengan asupan kalori minimum dibawah 1400 Kkal/kapita/hari (gambar 2.1) yang berfluktuasi pada kuintil 1 dari tahun 2006 ke tahun 2016. Akan tetapi penduduk termiskin (kuintil 1) menurun proporsinya dari 37,6% tahun 2006 menjadi 32,8% tahun 2016. Pola yang sama terjadi untuk proporsi penduduk pada kuintil 2 sampai dengan kuntil 5. Pada kuintil 5, masih dijumpai proporsi penduduk dengan konsumsi kalori perkapita per hari <1400 Kkal. 41.8
45 40 37.6 35
37.3
36.8
33.2
31.1
30
40.2
34.1
32.8
25.4
25 20
11.3
15 10 5 0 2006
2007
2008
2009
Kuantil 1
2010 Kuantil 2
2011 Kuantil 3
2012 Kuantil 4
2013
2014
2015
2016
Kuantil 5
Gambar 2.1 Proporsi Penduduk dengan Konsumsi Kalori Perkapita Sehari < 1400 Kkal Menurut Kuintil Pengeluaran Tahun 2006-2016 Sumber: BPS, Susenas B. Menghilangkan segala Bentuk Kekurangan Gizi Prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak di bawah lima tahun/balita Prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak di bawah dua tahun/baduta Prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita Prevalensi malnutrisi (kurus dan obesitas) anak pada usia kurang dari 5 tahun
1
DRAF 5 APRIL 2017 Prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada balita masih cukup tinggi yaitu sebesar 33,6% pada tahun 2016 (Sirkesnas, 2016), yang menurun dari 36,8% pada tahun 2007. Akan tetapi prevalensi pendek cenderung meningkat dari 18,0% tahun 2007 menjadi 21,9% pada tahun 2016. Usia anak sejak lahir hingga dua tahun merupakan periode kritis bagi tercapainya kualitas pertumbuhan yang optimal. Untuk itu, pada periode RPJMN 2015-2019 Pemerintah mulai mengukur kondisi status gizi masyarakat dengan indikator prevalensi stunting pada anak usia di bawah dua tahun (baduta). Prevalensi stunting pada baduta menunjukkan penurunan dari 36,8% pada tahun 2007 menjadi 26,1% pada tahun 2016. Stunting Balita 25.0 20.0
Stunting Baduta 25.0
21.9 18.018.8
18.5 17.1
19.2 18.0
15.0
20.0
10.0
10.0
5.0
5.0
0.0 2010 Pendek
2013
17.6
15.9
15.2
16.4
15.0
11.7
2007
20.9
9.7
0.0
2016*
2007
Sangat pendek
2013 Pendek
2016*
Sangat pendek
Gambar 2.2 Tren Prevalensi Stunting Pada Balita dan Baduta Sumber: Riskesdas Tahun 2007, 2010, dan 2013 * 2016: Hasil Analisis Sementara Sirkesnas Di Indonesia sanitasi yang buruk berhubungan dengan meningkatnya risiko penyakit infeksi yang dapat mengakibatkan kejadian stunting. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan terdapat 12,9% rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas buang air besar (BAB) dan melakukan BAB sembarangan. Selain itu infeksi juga dipengaruhi oleh pelayanan kesehatan seperti imunisasi. Persentase bayi usia 12-23 bulan yang mendapatkan imunisasi dasar lengkap baru sekitar 59,2% (Riskesdas 2013). Untuk prevalensi kekurangan gizi (underweigth), pemantauan dilakukan sejak tahun 1989 sampai dengan 2016. (Catatan: 1989 sd 2005 dilakukan oleh BPS dengan integrasi dalam Susenas; 2007 – 2016 dilakukan oleh Litbangkes, dengan pemilihan blok sensus dilakukan oleh BPS). Pemantauan tersebut melaporkan terjadi penurunan prevalensi gizi kurang (underweight) pada anak usia di bawah lima tahun (balita). Namun demikian, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, prevalensi gizi kurang menunjukkan kecenderungan peningkatan. Hasil analisis sementara Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) Kemenkes tahun 2016, juga menunjukkan prevalensi gizi kurang meningkat menjadi 21,0%, yang terdiri dari 4,6% balita gizi buruk dan 16,4% balita gizi kurang.
2
DRAF 5 APRIL 2017
Target MDGs 2015 Gizi Kurang: 11,9% Gizi Buruk : 3,6%
25.0 20.0 15.0
4.9
13.0
13.0
13.9
2007
2010
2013
10.0 5.0
4.6
5.7
5.4
16.4
0.0 Gizi Kurang
2016*
Gizi Buruk
Gambar 2.3 Tren Prevalensi Kekurangan Gizi (Underweight) Pada Balita, 2007-2016 Sumber: Litbangkes: Riskesdas, 2007-2013; Sirkesnas 2016 (Hasil Sementara)
Di sisi lain, prevalensi balita kurus (wasting) menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan dengan penurunan yang cukup signifikan dari 13,6% pada tahun 2007 menjadi 9,8% pada tahun 2016. 16
13.6
14
13.3
12.1
12
9.8
10 8 6 4 2 0 2007
2010
2013
2016*
Gambar 2.4 Prevalensi Balita Kurus (Wasting), 2007-2016 Sumber: Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2007 - 2013 * Hasil Analisis Sementara Sirkesnas 2016
Prevalensi anemia pada ibu hamil Salah satu faktor yang berperan penting dalam mempengaruhi status gizi balita adalah status gizi ibu hamil yang dapat ditunjukkan dari prevalensi anemia dan kurang energi khronis (KEK). Prevalensi anemia pada ibu hamil menunjukkan tren yang meningkat. Data Riskesdas 2007 menunjukkan 24,5% ibu hamil menderita anemia yang kemudian naik menjadi 37,1% pada tahun 2013. Berdasarkan hasil sementara Sirkesnas 2016, angka tersebut meningkat menjadi 54,9% pada tahun 2016. Tidak saja anemia, prevalensi KEK (lingkar lengan atas<23,5 cm) pada ibu hamil juga menunjukkan kecenderungan meningkat seperti terlihat pada gambar 2.5. Demikian halnya pada wanita usia subur yang kemungkinan akan hamil dengan kondisi anemia dan KEK, yang dapat berakibat janinnya akan mengalami hambatan pertumbuhan. Anemia juga akan meningkatkan risiko kematian ibu, apalagi bila ditambah dengan KEK, yang akan meningkatan risiko bayi dengan berat lahir rendah (BBLR), infeksi, keguguran, dan kelahiran prematur.
3
DRAF 5 APRIL 2017
25-29
30-34
35-39
20.7 11.8
20.0
17.6 10.7
45-49
Non-Pregnant
17.3 11.3
40-44
30.0
21.4 13.6
Percent 5.6 8.1
20-24
Pregnant
10.0
0.0 15-19
40.0
20.9 19.3
50.0
Non-Pregnant
10.3 7.9
10.0
12.6 8.9
12.7 10.2
20.0
16.1 13.1
30.0
Pregnant
23.8 18.2
40.0
31.3 30.9
Percent
50.0
2013
30.1 30.6
60.0
38.5 46.6
2007 60.0
0.0 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 Age group (year)
Age group (year)
Gambar 2.5 Persentase KEK pada Ibu hamil dan Tidak Hamil menurut Kelompok Umur Sumber: Riskesdas 2007 dan 2013
Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif Kondisi status gizi bayi tidak hanya dipengaruhi oleh status gizi ibu hamil yang tidak optimal namun juga diperburuk dengan masih rendahnya pola pemberian ASI eksklusif. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes, cakupan menyusui eksklusif pada bayi usia enam bulan adalah sebesar 30,2% pada tahun 2013 yang meningkat dari 15,3% pada tahun 2010. Namun demikian, hasil analisis sementara Sirkesnas tahun 2016 menunjukkan adanya penurunan persentase bayi menyusui eksklusif menjadi 22,8%. Namun demikian SDKI 2007 dan 2012 menunjukkan kecenderungan peningkatan cakupan menyusui eksklusif pada bayi usia enam bulan dari 17,8% menjadi 27,1%.
40.0 30.0 27.1
20.0 10.0
17.8
30.8 22.8
15.3
0.0 2007
2010 Riskesdas
2012 SDKI
2013
2016*
Sirkesnas
Gambar 2.6 Persentase Pemberian Menyusui Eksklusif 2002-2016 Sumber: SDKI 2007-2012, Riskesdas 2010 dan 2013, Sirkesnas 2016 * Hasil Analisis Sementara Sirkesnas 2016
Disisi lain terjadi perkembangan yang cukup menggembirakan yang dapat dilihat dari Inisasi Menyusu Dini (IMD) kurang dari 1 jam setelah lahir yang menunjukkan peningkatan dari 29,3% tahun 2010 menjadi 41,3% tahun 2013 (Riskesdas), dan 42,7% pada 2016 (Sirkesnas 2016). ASI eksklusif merupakan makanan terbaik bagi bayi untuk kecerdasan dan pertumbuhan optimal serta mencegah terjadinya dampak yang lebih buruk pada masa yang akan datang. Beberapa studi menunjukkan bahwa bayi yang diberikan ASI eksklusif walaupun berasal dari kelompok kuintil terendah mengalami deviasi pertumbuhan positif. Selain itu, South East Asean Nutrition Surveys (SEANUTS) juga menyatakan bahwa pemberian Makanan Pendamping ASI seperti susu berhubungan dengan rendahnya angka stunting. 4
DRAF 5 APRIL 2017
Kualitas konsumsi pangan Berdasarkan tolak ukur Pola Pangan Harapan (PPH), selama tujuh tahun terakhir (2009-2015) perkembangan kualitas konsumsi pangan masyarakat Indonesia berfluktuasi dengan tren membaik sejak tahun 2013. Skor PPH selama periode tersebut rata-rata sebesar 82,9 atau 90% dari sasaran yang ditetapkan pemerintah. Kualitas konsumsi pangan masyarakat di perkotaan lebih baik (skor PPH 86,5) dibandingkan di perdesaan (79,9). Kondisi ini dapat dipahami karena di perkotaan ketersediaan pangan di pasar lebih beragam dan banyak pilihan, pengetahuan tentang pangan dan gizi masyarakat lebih baik, aksebilitas fisik atau kemudahan menjangkau pasar lebih baik, dan rata-rata aksebilitas ekonomi berupa daya beli masyarakat lebih besar (Tabel 2.1). Perbaikan kualitas konsumsi pangan ini dapat dicapai melalui berbagai upaya pemerintah dan pemangku kepentingan (stakeholder) pembangunan pangan. Pada periode 10 tahun terakhir pemerintah secara terusmenerus mengupayakan ketersediaan pangan yang cukup untuk memenuhi rangka peningkatan permintaan yang terus meningkat dan semakin beragam. Sesuai dengan prinsip kedaulatan pangan yang dianut pemerintah, sumber utama penyediaan pangan diupayakan berasal dari produksi domestik. Perdagangan pangan dikelola untuk memenuhi kebutuhan seluruh konsumen pada harga yang stabil dan wajar dan sekaligus tetap menyediakan insentif berproduksi bagi produsen. Dari sisi konsumsi, peningkatan pengetahuan pangan dan gizi masyarakat merupakan salah satu faktor yang penting dalam peningkatan kualitas konsumsi pangan. Upaya yang dilakukan melalui kegiatan sosialisasi yang intensif kepada berbagai komponen masyarakat tentang pola konsumsi pangan yang beragam bergizi seimbang dan aman (B2SA) dan pemberdayaan kelompok wanita dalam pengembangan pangan dan gizi seperti pemanfaatan pekarangan untuk memproduksi pangan sumber protein nabati dan hewani serta penyuluhan pengolahan dan penyajian pangan yang sehat di dalam rumah tangga. Tabel 2.1 Perkembangan Skor Pola Pangan Harapan (PPH), Tahun 2009-2015 Uraian Ideal Sasaran1) Capaian2) - Indonesia - Perkotaan
2009 100,0 85,0
2010 100,0 86,4
2011 100,0 88,1
2012 100,0 89,8
2013 100,0 91,3
2014 100,0 93,3
2015 100,0 95,0
75,7 78,2
85,7 88,0
85,6 87,3
83,5 86,3
81,4 84,0
83,4 86,0
85,2 89,4
-Perdesaan 73,3 83,5 83,7 80,5 1) Sasaran berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009. 2) Capaian berdasarkan Angka Kecukupan Energi 2000 kkal/kap/hari. Sumber: Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian, 2016.
78,4
80,5
79,9
C. Produktivitas Pertanian Ketersediaan Pangan (termasuk uraian tentang lahan pertanian berkelanjutan, 100 Desa Mandiri Benih, dan keragaman pangan berbasis sumberdaya lokal) Sumber ketersediaan pangan dapat berasal dari produksi domestik, cadangan, dan impor. Kebijakan pangan pemerintah mengarahkan pemenuhan pangan diutamakan bersumber dari produksi dalam negeri, karena itu kebijakan operasional dan program peningkatan produksi pangan menjadi prioritas pembangunan pangan nasional, termasuk upaya untuk pencapaian swasembada bagi pangan pokok dan strategis. 5
DRAF 5 APRIL 2017 Selama 10 tahun terakhir, produksi tanaman pangan sumber karbohidrat (padi, jagung, ubi jalar, dan ubi kayu) meningkat dengan pertumbuhan pertahun yang bervariasi. Produksi padi dan jagung tumbuh sebesar 3,72% dan 6,31%, sementara ubi jalar dan ubi kayu naik sebesar 2,56% dan 1,08%. Pada tahun 2015 produksi padi mencapai 75,40 juta ton, jagung 19,612 juta ton, ubi kayu 21,8 juta ton, dan ubi jalar 2,3 juta ton. Dengan tingkat produksi itu, secara agregat Indonesia telah mampu memenuhi kebutuhan beras sebagai pangan pokok bagi seluruh masyarakat. Selain sebagai pangan sumber karbohidrat utama bagi penduduk di NTT, sebagian besar produksi jagung digunakan sebagai bahan baku industri pakan unggas. Walaupun neraca pangan jagung (produksi dikurangi kebutuhan) positif, namun Indonesia masih impor jagung untuk mengatasi kebutuhan bahan baku industri pakan yang relatif stabil sepanjang tahun, sementara produksi jagung bersifat musiman dan sebagian belum memenuhi standar industri pakan. Ubi jalar merupakan sumber pangan karbohidrat di Papua dan beberapa daerah di kepulauan Maluku. Ubi kayu merupakan pangan pokok bagi penduduk di bagian selatan Jawa, selatan Sumatera, dan beberapa daerah di Sulawesi. Produksi kedelai dalam periode tersebut meningkat 4,17%, namun dengan fluktuasi pertumbuhan tahunan yang tinggi. Pada tahun 2015 produksi kedelai sebesar 963 ribu ton atau baru mampu memenuhi sekitar 35-40% dari kebutuhan kedelai nasional. Kedelai sebagai bahan baku tahu dan tempe yang merupakan makanan khas Indonesia sumber protein nabati yang digemari seluruh masyarakat. Produksi utama hasil peternakan, yaitu daging sapi, daging ayam dan telur ayam pada periode 2006-2015 tumbuh positif. Produksi daging sapi dalam periode tersebut tumbuh 3,11%/tahun, namun sejak tahun 2013 mengalami pertumbuhan negatif dan baru meningkat lagi pada tahun 2015 yang mencapai 507 ribu ton. Jumlah produksi ini baru mampu memenuhi sekitar 60-65% dari kebutuhan daging sapi nasional. Pertumbuhan produksi telur dalam periode 10 tahun terakhir cukup tinggi, yaitu 4,50%/tahun dan untuk daging ayam pada periode 2010-2015 meningkat sebesar 5,74%/tahun. Dengan tingkat produksi ini, Indonesia sudah mampu memenuhi kebutuhan daging ayam dan telur ayam dari produksi domestik. Produk ternak unggas merupakan pangan penting dan relatif murah sebagai sumber protein hewani dalam menu makanan masyarakat. Pada tahun 2015 produksi daging ayam mencapai 2,03 juta ton dan telur ayam sebesar 1,48 juta ton. Peningkatan produksi pangan berkelanjutan menghadapi berbagai kendala teknis, tiga aspek diantaranya yang sangat esensial adalah ketersediaan lahan, benih unggul, dan pangan yang beragam bergizi seimbang. Pertama, untuk ketersediaan lahan pertanian pangan, agar kepastiannya lebih terjamin, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU PLP2B). Kawasan yang telah ditetapkan sebagai LP2B dilindungi dan dilarang dialihfungsikan, kecuali untuk kepentingan umum. Penetapan LP2B berupa rencatna tata ruang tata wilayah (RTRW) melalui Peraturan Daerah (Perda) provinsi dan kabupaten/kota. Untuk mengoperasionalkan UU PLP2B ini telah diterbitkan empat(4) Peraturan Pemerintah (PP) dan dua (2) Peraturan Menteri Pertanian. Dilaporkan sampai tahun 2013 paling tidak telah ditetapkan Perda tentang LP2B di 126 dari 430 kabupaten/kota dan di 12 dari 33 provinsi. Pada tahun 2016 telah terbit peraturan Menteri Agraria dan Tata Tuang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 126 Tahun 2016 tentang Penetapan LP2B pada Wilayah yang Belum Terbentuk RTRW. Tujuan Permen ini untuk menjamin ketersediaan lahan pertanian secara berkelanjutan pada daerah yang belum memiliki RTTWR dengan penetapannya cukup dilakukan melalui Peraturan Gubernur atau Bupati/ Walikota.
6
DRAF 5 APRIL 2017 Tabel 2.2 Produksi Komoditas Pangan Pokok dan Strategis, 2006-2015.
Tahun
Padi (GKG)
Jagung (PK)
Kedelai (BK)
2006 2007 2008 2009
54.455 57.157 60.326 64.399
11.609 13.289 16.317 17.630
0.748 0.593 0.776 0.975
2010
66.469
18.328
0.907
Produksi (000 ton) Ubi Ubi jalar kayu (segar) (segar) 1.854 19.987 1.887 19.988 1.882 21.757 2.058 22.039 2.051
23.918
Daging sapi
Telur Ayam
Daging ayam *)
396 339 392 409
1.011 1.162 1.123 1.070
1.202 1.238 1.292 1.300
437 485 509 505 498 507
1.121 1.215 1.337 1.419 1.429 1.481
1.539 1.665 1.734 1.895 1.939 2.031
2011 65.757 17.643 0.851 2.196 24.044 2012 69.056 19.387 0.843 2.483 24.177 2013 71.280 18.512 0.780 2.388 23.937 2014 70.846 19.009 0.955 2.383 23.436 2015 75.398 19.612 0.963 2.298 21.801 Pert/ tahun 3,72 6,31 4,17 2.56 1,08 3.11 4,50 5,74 Keterangan: GKG=Gabah Kering Giling, PK=Pipilan Kering. BK=Biji Kering *) Pertumbuhan/tahun untuk 2010-2015. Angka produksi 2006-2009 belum memasukkan daging dari ayam petelur. Sumber: BPS untuk komoditas tanaman pangan dan Kementerian Pertanian untuk komoditas peternakan (berbagai publikasi). Kedua, untuk ketersediaan benih unggul, mulai tahun 2015 pemerintah melaksanakan program Desa Mandiri Benih (DMB) yang bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan benih unggul dan kemampuan petani memproduksi benih unggul bersertifikat. Kegiatan DMB berupa pemberian fasilitasi bagi kelompok tani penangkar benih dalam meningkatkan kapasitasnya untuk memproduksi benih unggul guna memenuhi kebutuhan di wilayahnya. Melalui program DMB diharapkan tumbuh produsen benih lokal yang mampu memenuhi kebutuhan benih di daerahnya masing-masing. Pengembangan DMB ini merupakan salah satu program yang tercantum dalam Nawa Cita. Pada tahun 2015 dikembangkan 100 DMB dan pada tahun 2016-2019 ditumbuhkan 1000 DMB lainnya, sehingga selama periode lima tahun dapat ditumbuhkan 2000 DMB. Hasil evaluasi kegiatan DMB tahun 2015 diketahui walaupun masih pada tahap awal, namun telah terbina 994 unit DMB dengan produksi benih 77,6% dari sasaran program ini sebanyak 30.000 ton benih. Ketiga, untuk penyediaan pangan beragam dilakukan dengan berpedoman pada kaidah gizi seimbang, berbasis pada sumber daya pangan lokal, menjamin keamanan pangan, dan memperhatikan lingkungan. Kegiatan operasional penganekaragaman ketersediaan pangan dilakukan antara lain melalui pengenalan jenis pangan lokal baru termasuk pangan lokal yang belum dimanfaatkan, pengembangan diversifikasi usaha pertanian baik aspek produksi pangan primer ataupun olahan pangan, pengembangan teknologi dan sistem insentif bagi usaha pangan lokal, dan pengembangan industri pangan usaha kecil dan menengah (UKM) berbasis pangan lokal. Pengaturan ini dituangkan dalam PP Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi. Walaupun perkembangannya belum signifikan, namun upaya pengembangan penyediaan pangan beragam berbasis pangan lokal melalui pembinaan UKM telah mulai dilakukan sejak lima (5) tahun terakhir. 7
DRAF 5 APRIL 2017 Pengembangan Varietas Unggul Tanaman dan Ternak Pengelolaan sumber daya genetik (SDG) tanaman dan ternak dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Indonesia memiliki gen bank (bank genetik) untuk tanaman yang dikelola oleh Balai Besar Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) di Bogor. Lembaga-lembaga penelitian pertanian pemerintah dan berbagai perguruan tinggi pertanian, baik secara sendiri-sendiri atau bekerja sama antarlembaga dan dengan lembaga penelitian pertanian internasional memanfaatkan SDG tanaman, termasuk tanaman lokal Indonesia untuk menciptakan varietas unggul baru (VUB) yang lebih mampu beradaptasi dengan agro-ekosistem dan perubahan lingkungan, meningkatkan produktivitas dan kualitas pangan dan gizi, serta merespon dinamika preferensi konsumen/pasar. Padi, jagung, dan kedelai merupakan tiga komoditas pangan penting dalam sistem pangan nasional. Sejak pertengahan tahun 1970-an Indonesia mulai mengembangkan berbagai VUB bekerja sama dengan lembaga penelitian internasional. Untuk mengembangkan varietas padi Balitbangtan bekerja sama dengan International Rice Research Institute (IRRI). Sampai dengan tahun 2015 di Indonesia telah dilepas 403 VUB padi inbrida dan 100 VUB padi hibrida. Hampir seluruh UVB padi inbrida dihasilkan oleh lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Sebagian besar padi hibrida merupakan introduksi dari luar yang dikembangkan oleh perusahaan benih multinasional bekerja sama dengan perusahaan dalam negeri. Selama enam (6) tahun terakhir (2010-2015) Menteri Pertanian telah melepas 57 VUB padi, 25 VUB jagung, dan 10 VUB kedelai yang diciptakan oleh para peneliti Balitbangtan. VUB padi yang diciptakan dirancang untuk dapat dimanfaatkan di berbagai agro-ekosistem, yaitu sebanyak 32 untuk dikembangkan di lahan irigasi dan/atau tadah hujan, 10 di lahan kering dan 6 di lahan rawa. Selain itu, selama periode tersebut telah dilepas 9 VUB padi hibrida. Untuk VUB jagung, dari 25 VUB yang dilepas, sebanyak 21 berupa VUB hibrida (Tabel 2.3). Pemanfaatan berbagai varietas tanaman hasil peneliti pemulia (breeder) di dalam negeri cukup intensif dan meluas. Pada tahun 2016 lebih dari 95% usaha tani padi di Indonesia seluas 14,2 juta ha menggunakan benih VUB padi ciptaan para peneliti Indonesia, hanya 2% menggunakan benih VUB padi hibrida, dan sama sekali belum menggunakan benih padi hasil rekayasa genetika. Namun demikian, belum seluruh usaha tani padi menggunakan benih bersertifikat. Dalam periode 10 tahun terakhir (20062015) dari rata-rata total kebutuhan benih padi sebanyak 336 ribu ton, 52% menggunakan benih unggul bersertifikat. Benih berserifikat tersebut 55% disediakan melalui berbagai program pemerintah, sisanya diproduksi oleh penangkar benih swata atau petani. Dalam tiga tahun terakhir, peran penangkar benih swasta dan petani sudah meningkat menjadi 69%. Sekitar 56% dari luas tanam jagung sekitar 20 juta ha telah menggunakan benih jagung hibrida dari luar negeri dan hasil peneliti Indonesia. Sementara itu, sistem perbenihan kedelai belum berkembang sesuai harapan, sejalan dengan masih rendahnya produksi domestik (sekitar 35%) dibandingkan dengan kebutuhan kedelai secara nasional.
8
DRAF 5 APRIL 2017 Tabel 2.3 Pelepasan Varietas Unggul Baru Padi, Jagung, dan Kedelai, Tahun 2010-2015 Total 2010-2015 57
Varietas 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Padi 10 17 12 8 5 5 Inbrida ● Sawah 6 5 10 3 4 4 32 ● Lahan kering 3 3 1 2 1 10 ● Rawa 1 3 1 1 6 Hibrida 6 3 9 Jagung 5 7 3 5 3 2 25 Inbrida 2 2 4 Hibrida 5 5 3 3 3 2 21 Kedelai 1 1 4 3 1 10 Inbrida 1 1 4 3 1 10 Sumber: Laporan Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan, Pertanian Kementerian Pertanian, 2010, 2011,2012,2013, 2014, 2015. Jakarta Eksplorasi SGD hewan ternak antara lain untuk ternak lokal ayam, itik, dan domba dilakukan para peneliti pemulia ternak di Pusat Penelitian Peternakan, Balitbangtan secara terus menerus. Berdasarkan hasil eksplorasi dan karakterisasi sifat-sifat produksi ternak, selanjutnya dilakukan serangkaian proses seleksi yang bertujuan untuk mendapatkan rumpun atau galur ternak yang konsisten dan stabil dalam menghasilkan bibit unggul. Sejak 1998 Balitbangtan telah melakukan seleksi SGD rumpun ayam lokal yang ada di Indonesia untuk menghasilkan galur tetua penghasil bibit unggul petelur dan pedaging. Melalui proses pemuliaan ternak ini di antaranya telah dilepas Menteri Pertanian bibit unggul ayam lokal petelur KUB-1 (Kampung Unggul Balitbangtan) pada tahun 2014 dan bibit unggul ayam pedaging SenSi (Sentul Terseleksi) pada Januari 2017. Pada tahun 2015 telah dihasilkan itik unggul yang diberi nama itik Mojomaster-1 Agrinak dan Alabimaster-1 Agrinak. Sementara itu, pembentukan ternak domba komposit Sumatera (komposisi genetik 50% domba lokal, 25% St. Croix, 25 Barbados Blackbelly) dimulai tahun 1986 dan telah dilepas Menteri Pertanian pada tahun 2014 dengan nama domba Compass Agrinak. Proporsi Ternak Beresiko Punah Menurut definisi operasional (FAO, 2009) disebutkan suatu rumpun ternak dinyatakan beresiko punah apabila berada dalam status kritis (critical), kritis dipertahankan (critical-maintained), terancam punah (endangered) atau hampir punah yang dipelihara (endangered-maintened) berdasarkan jumlah dan proporsi ternak betina produktif (breeding females) dan jantan produktif. Sebagai contoh, status rumpun ternak beresiko jika jumlah populasi betina produktif (breeding females) ≤ 100 ekor dan jantan produktif (breeding males) ≤ 5 ekor, atau jumlah total populasi ≤ 120 ekor. Jumlah ternak lebih banyak dari itu dianggap rumpun ternak tersebut tidak beresiko. Sementara itu, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 117 Tahun 2014 suatu rumpun ternak dinyatakan tidak beresiko jika suatu rumpun ternak jantan dan betina produktif dengan perbandingan 20:40 (sapi dan kerbau), 20:50 (kambing, domba dan babi), 20:200 (ayam, itik, angsa). Status rumpun beresiko berada pada kondisi yang mengarah pada kehilangan sumber daya genetik ternak tersebut. Kambing Gembrong berada dalam status beresiko karena saat ini populasi berjumlah 52 ekor. Untuk ternak kambing ini, sedang dilakukan upaya perbanyakan populasi secara terus-menerus sehingga resiko kepunahan dapat dikurangi. Dalam Domestic Animal Diversity Information System (DAD-IS) dilaporkan di Indonesia terdapat 146 rumpun (breed) ternak asli dan lokal. Rumpun asli adalah ternak sebagai hasil domestikasi di Indonesia 9
DRAF 5 APRIL 2017 (ancestor), lokal adalah diintroduksi dan berkembang biak baik secara murni atau hasil silangan (≥5 generasi). Dari 146 rumpun tersebut sebanyak 89 rumpun lokal yaitu: kerbau 11, sapi 13, kambing 10, domba 8, ayam 31, dan itik 18 ekor. Indonesia mengembangkan dan memanfaatkan sumber daya genetik ini untuk meningkatkan penyediaan protein hewani dan melestarikannya.
II. TANTANGAN DAN CARA MENGATASI TANTANGAN A. Tantangan Tantangan untuk mencapai TPB Tujuan 2 Tanpa Kelaparan terkait erat dengan upaya semakin rumitnya penyediaan pangan dan gizi yang cukup bagi seluruh penduduk secara berkelanjutan. Bagi Indonesia dengan penduduk yang besar dan sumber daya alam yang tersedia, andalan pemenuhan kebutuhan pangan ini terutama bersumber dari produksi dalam negeri. Karena itu setiap pemerintahan di Indonesia meletakkan pencapaian swasembada dan stabilitas harga pangan pokok menjadi salah satu kebijakan prioritas ekonomi pangan. Tantangan pencapaian sasaran tanpa kelaparan dapat diurai dari permasalahan terkait produksi pangan (supply) dan kebutuhan konsumsi pangan (demand). Tanpa kelaparan atau kondisi ketahanan pangan dicapai apabila terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (UU Pangan). Secara umum dapat disimpulkan bahwa permintaan pangan secara berkelanjutan meningkat lebih cepat dari pertumbuhan produksi pangan dalam negeri. Tantangan dari sisi permintaan pangan diantaranya adalah: 1. Indonesia memiliki penduduk yang besar, masih terus tumbuh dan terdapat dinamika penduduk yang merubah pola konsumsi pangan seperti urbanisasi dan meningkatnya proporsi wanita masuk angkatan kerja; 2. Adanya keterbatasan akses fisik terhadap pangan berupa keterbatasan akses transportasi dan ada wilayah serta pulau terpencil dan tidak meratanya akses ekonomi berupa rendahnya pendapatan dan daya beli masyarakat sebagian masyarakat; 3. Terjadinya perubahan pola konsumsi pangan masyarakat ke arah pola pangan yang lebih beragam namun bukan mengandalkan keragaman sumber pangan lokal tetapi mengikuti pola makan penduduk di negara maju (western diet); dan 4. Masih rendahnya pengetahuan pangan dan gizi khususnya pola makan yang beragam bergizi seimbang dan aman. Di pihak lain, tantangan dari sisi penyediaan pangan, khususnya peningkatan produksi dalam negeri semakin berat, di antaranya disebabkan oleh: 1. Berlangsungnya secara terus menerus alih fungsi lahan pertanian; 2. Terjadinya degradasi kualitas sumber daya lahan dan air serta persaingan dalam pemanfaatannya dengan sektor industri; 3. Semakin tingginya kejadian perubahan iklim ekstrim yang dampaknya dapat menurunkan produktivitas tanaman dan meningkatan risiko gagal panen; dan 4. Masih tinginya proporsi kehilangan hasil dan pemborosan pangan mulai dari tingkat usaha tani sampai siap makan (food losses and waste from farm to table) yang mengurangi ketersedian pangan untuk dkonsumsi. Keberhasilan pembangunan pangan dan gizi adalah terbentuknya manusia Indonesia yang sehat aktif dan produktif. Dari berbagai indikator status gizi masyarakat yang disajikan di atas diketahui keberhasilan
10
DRAF 5 APRIL 2017 pembangunan manusia yang masih dihadapkan dengan beberapa tantangan. Tantangan utama yang dihadapi dalam mencapai status gizi masyarakat yang baik antara lain adalah: 1. Kecukupan gizi yang secara kuantitas belum memadai, ditandai dengan masih rendahnya penerapan pemberian ASI esklusif dan kuantitas dari Makanan Pendamping ASI yang berimplikasi pada tingginya prevalensi balita dengan gizi kurang. Hal ini ditunjukkan dengan prevalensi balita dengan gizi kurang yang belummencapai perbaikan yang siginifikan dalam 10 tahun terakhir dan bahkan cenderung meningkat menjadi 16,4% pada tahun 2016. 2. Kualitas kontribusi perbaikan gizi melalui lintas sektor juga masih belum optimal, sehingga walaupun Indonesia telah berhasil menurunkan angka stunting secara baik pada baduta (tahun 2016 sekitar 26,1%), akan tetapi angka ini masih diatas ambang batas masalah kesehatan masyarakat. Stunting merupakan indikasi dari terjadinya gangguan kognitif, serta rendahnya produktivitas dan potensi gangguan kesehatan di usai dewasa. 3. Disparitas status gizi juga masih terjadi antarkelompok pendapatan dan antarwilayah. Pada kelompok pendapatan terbawah persentase balita stunting cenderung lebih tinggi (48,4% pada tahun 2013). Disparitas capaian penurunan angka kurang gizi antarwilayah juga masih cukup lebar. Pada tahun 2013 dari 34 provinsi terdapat 15 provinsi yang mengalami permasalahan stunting yang serius (>40%) 4. Masalah gizi pada anak terkait dengan kemiskinan yang berdampak signifikan pada keterbatasan pemenuhan kecukupan gizi, sehingga berakibat terjadinya kekurangan gizi. Anak yang mengalami kekurangan gizi berimplikasi pada rendahnya kecerdasan dam produktivitas yang selanjutnya menyebabkan kemiskinan mereka. 5. Rendahnya pemahaman masyarakat akan pentingnya pengasuhan yang adekuat, menyebabkan pola asuh yang diterapkan seperti pemberian ASI eksklusif masih rendah (22,8% pada tahun 2016, Sirkesnas). Oleh karena itu pencapaian tumbuh kembang anak tidak terjadi secara optimal. 6. Kegiatan intervensi sensitif seperti ketersediaan air bersih, sanitasi, akses terhadap pangan, pendidikan, dan pemberdayaan perempuan yang belum memiliki daya ungkit tinggi terhadap upaya percepatan perbaikan gizi. 7. Masih terbatasnya evidence base efektivitas intervensi spesifik gizi seperti pemberian suplementasi gizi mikro pada ibu hamil, pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil KEK dan balita kurus, dan sebagainya. 8. Belum optimalnya pemberdayaan masyarakat dalam upaya perbaikan gizi yang memiliki peran penting dalam merubah perilaku masyarakat seperti untuk memantau pertumbuhan berat badan dan tinggi badan serta perilaku gizi seimbang.
B. Cara Mengatasi Tantangan Untuk mengatasi tantangan tersebut diperlukan pendekatan pembangunan pangan dan gizi yang terintegratif. Kebijakan produksi dan penyediaan pangan perlu diarahkan untuk menyediakan pangan yang cukup, beragam, bergizi seimbang, dan aman, serta dengan harga yang dapat terjangkau oleh daya beli sebagian besar masyarakat. Langkah yang diambil untuk mengatasi tantangan tersebut di antaranya adalah: 1. Mengintensifkan kegiatan penelitian dan pengembangan pertanian secara berkesinambungan dalam upaya untuk menciptakan inovasi teknologi pertanian dan rekayasa kelembagaan pertanian yang mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, dan daya saing produk di pasar domestik dan internasional. 2. Mendorong pemerintah daerah untuk segera menerbitkan Peraturan Daerah tentang alokasi kawasan untuk dijadikan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan pembukaan lahan pertanian baru pangan yang potensial untuk dikembangkan memproduksi pangan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
11
DRAF 5 APRIL 2017 3. Membangun dan merehabilitasi infrastruktur pertanian pangan, mendorong/memfasilitasi swasta berinvestasi di bidang agribisnis pangan di perdesaan, dan melakukan pemberdayaan petani kecil dan kelompok tani untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, dan daya saing produk. 4. Meningkatkan upaya dalam penanganan pasca panen dan distribusinya sampai konsumen akhir untuk menurunkan secara signifikan kehilangan hasil dan pemborosan pangan. 5. Mengintensifkan sosialisasi kepada berbagai komponen masyarakat tentang pentingnya kualitas konsumsi pangan dan gizi untuk hidup aktif sehat dan produktif, termasuk sosialisasi pola konsumi pangan yang beragam bergizi seimbang dan aman (B2SA) berbasis pangan lokal. Dalam kegiatan ini termasuk pemberdayaan kelompok wanita dalam memproduksi, mengolah, dan menyajikan makanan yang B2SA dari sumber pangan di sekitarnya untuk santapan dalam rumah tangga. 6. Mengintensifkan implementasi Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yang melibatkan lintas sektor dan berbagai pemangku kebijakan untuk bekerjasama menurunkan prevalensi stunting serta bentuk-bentuk kekurangan gizi lainnya.
III. INOVASI DAN UPAYA PENTING PENCAPAIAN TUJUAN Berbagai inovasi dan upaya penting terkait dengan pencapaian TPB Tujuan 2 Tanpa Kelaparan sudah dibuat dan diimplementasikan oleh pemerintah bersama pemangku kepentingan pembangunan pangan dan gizi. Beberapa inovasi penting di antaranya: 1.
Peraturan Presiden (Perpres) No. 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi pada tanggal 24 Mei 2013 mengatur kebijakan perbaikan gizi dengan fokus 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Kebijakan ini mengintegrasikan pelayanan kesehatan, terutama kesehatan ibu, anak dan pemberantasan penyakit melalui pendekatan lintas sektor dengan melibatkan stakeholder seperti dunia usaha, masyarakat madani, mitra pembangunan, dan organisasi profesi, serta akademisi. Disamping itu juga mengatur pedoman pelaksanaan perencanaan 1000 HPK tingkat nasional dan daerah. Skema dari pendekatan gerakan 1000 HPK sebagaimana pada gambar di bawah ini:
2.
Kepersertaan Indonesia sebagai salah satu negara pertama dari 59 Negara dalam SUN Global, dan Indonesia telah menerapkan dan mengembangkan platform SUN, yaitu melakukan advokasi perbaikan gizi pada pimpinan tertinggi, meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan (Pemerintah, CSO, organisasi profesi dan akademia, dunia usaha, dan mitra pembangunan), menjamin kebijakan yang koheren dan adanya kerangka legal program, menyelaraskan program-
12
DRAF 5 APRIL 2017 program sesuai dengan kerangka program SUN Movement, dan mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan. 3.
Saat ini, tengah disusun Perpres tentang Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi (KS-PG) yang akan menjadi panduan bagi pemangku kepentingan pembangunan pangan dan gizi di tingkat pusat dan daerah dalam mengintegrasikan pembangunan pangan dan gizi guna mencapai kedaulatan pangan, ketahanan pangan dan gizi, dan mempercepat perbaikan gizi masyarakat. Sebelumnya Bappenas telah menerbitkan Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional (RAN-PG) tahun 2005-2010; tahun 2011-2015, dan tahun 2015-2019 yang diikuti dengan penyusunan Rencana Aksi Pangan dan Gizi Daerah (RAD-PG) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu telah disusun pula oleh Dewan Ketahanan Pangan (DKP) Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) untuk dua periode lima (5) tahunan.
4.
Program uji coba integrasi intervensi spesifik gizi dan intervensi sensitif seperti sanitasi (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakah (PNPM) Generasi Sehat dan Cerdas, PKH Prestasi).
5.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif yang menjadi payung hukum dalam mendukung upaya pemenuhan hak bayi akan nutrisi terbaik dan melindungi ibu dalam memberikan ASI eksklusif.
6.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi. PP ini di antaranya mengatur tentang cadangan pangan pemerintah dan cadangan pangan pemerintah daerah; penganekaragaman pangan dan perbaikan gizi masyarakat; kriteria dan penanggulangan krisis pangan; distribusi, perdagangan, dan bantuan pangan; serta sistem informasi pangan dan gizi.
7.
Perpres Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan kepada Perum BULOG dalam rangka Ketahanan Pangan. Perpres ini mengatur penugasan kepada BULOG untuk menjaga ketersediaan pangan dan stabilitas harga pangan di tingkat produsen dan konsumen bagi 11 komoditas pangan, di antaranya dilakukan melalui pengelolaan cadangan pangan pemerintah, distribusi pangan, dan pengembangan industri berbasis pangan.
8.
Pemberdayaan masyarakat perdesaan untuk dapat lebih mandiri dalam pemenuhan pangan dan perwujudan ketahanan pangan, di antaranya melalui program Desa Mandiri Pangan dan Pemanfaatan Lahan Pekarangan.
9.
Pemberian Penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara (APN) dari Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan yang diserahkan oleh Presiden RI di Istana Negara kepada berbagai komponen pemangku kepentingan pengembangan sistem pangan dan gizi untuk memberikan apresiasi atas prestasinya dan menjadikan tauladan bagi mayarakat sekitarnya. Penghargaan ini diberikan setiap tahun.
IV. EMERGING ISSUES Prevalensi underweight dan stunting pada anak balita masih relatif tinggi, dan disparitas yang lebar di level kabupaten/kota, walaupun angka kemiskinan semakin menurun. Pada gambar 2.7 berikut dapat dilihat sebaran 497 kabupaten/kota (2013), jika dikaitkan dengan kemiskinan (penduduk termiskin – quintile 1), dimana kabupaten/kota dengan proporsi miskin tinggi, terlihat kecendrungan status gizi pada balita (underweight, dan stunting) juga tinggi.
13
DRAF 5 APRIL 2017 Underweight
Stunting
Gambar 2.7 Keterkaitan Antara Underweight dan Stunting dengan Kemiskinan Dalam melihat keterkaitan kemiskinan dengan status gizi perlu dilihat relevansinya juga dengan pendidikan dan kondisi lingkungan. Pendidikan mempengaruhi perilaku (pola asuh dan pola makan) yang pada gilirannya akan mempengaruhi status gizi anak, semakin rendah pendidikan maka status gizi anak akan cenderung lebih buruk. Hal lain adalah kondisi kesehatan lingkungan yang baik (cakupan akses sanitasi baik dan cakupan air bersih baik), akan berpengaruh pada keadaan gizi anak yang lebih baik, seperti yang dipresentasikan pada gambar berikut: Stunting versus Low Education
Stunting versus Health Environment Index
Gambar 2.8 Keterkaitan Antara Underweight dan Stunting dengan Tingkat Pendidikan dan Kondisi Lingkungan Sumber: Trihono, dkk. Buku ‘Pendek (Stunting) di Indonesia, masalah dan solusinya’, 2015
V. PEMBELAJARAN Dari banyak aspek terkait pembangunan pangan dan gizi untuk mencapai tujuan tanpa kelaparan, ada beberapa pembelajaran yang dapat dipetik dan diperlukan untuk pencapaian tujuan tanpa kelaparan ini secara berkelanjutan, yaitu: 1. Aspek perencanaan. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan atau Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) Indonesia disusun bersama oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP) dan 14
DRAF 5 APRIL 2017
2.
3.
4.
5.
6.
World Food Program (WFP). Peta ini mengandung informasi mengenai tingkat ketahanan dan kerentanan pangan di suatu daerah (sampai kecamatan untuk FSVA Kabupaten) dengan tolak ukur variabel ketahanan pangan dalam arti luas (misalnya termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih). Peta ini sangat bermanfaat untuk memfokuskan kegiatan pembangunan pada daerah yang harus diprioritaskan (targeted area). Bappenas telah memanfaatkan FSVA untuk alokasi anggaran ke daerah. Aspek teknologi. Dalam kondisi sumber daya lahan dan air yang semakin terbatas dan kompetisi dalam pemanfaatannya yang disertai perubahan iklim ekstrim, pemenuhan kebutuhan pangan yang terus meningkat sepanjang tahun hanya dapat dicapai melalui peningkatan produktivitas. Untuk itu akan selalu diperlukan ketersediaan inovasi teknologi dan rekayasa kelembagaan dari tahun ke tahun. Sehubungan dengan itu investasi di bidang penelitian dan pengembangan pertanian pangan dan gizi, termasuk untuk penelitian dasar (basic research) dan teknologi frontier (seperti bioteknologi rekayasa genetika) perlu mendapat perhatian yang cukup. Pemberdayaan masyarakat. Sasaran pembangunan pangan dan gizi adalah masyarakat. Di sisi produksi pangan adalah para petani kecil beserta keluarganya, di sisi konsumsi pangan adalah ibu rumah tangga beserta keluarganya. Pemberdayaan mereka, termasuk peningkatan pengetahuan yang relevan untuk masing-masing kelompok tersebut menjadi faktor kunci bagi keberhasilan pembangunan pangan dan gizi untuk mencapai SDG tujuan 2 tanpa kelaparan, namun bukan hanya asal kenyang tapi tanpa kelaparan dengan pola konsumsi pangan yang berkulitas. Aspek surveilans. Perbaikan program pangan dan gizi tidak terlepas dari sistem monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara periodik. Sudah dikembangkan sistem kewaspadaan pangan dan gizi sejak tahun 1980-an, dimana pemerintah daerah setempat dapat melakukan pemantauan secara terus menerus, serta memanfaatkannya untuk deteksi dini yang terjadi di masyarakat. Sistem ini sangat tergantung pada pimpinan wilayah, khususnya di tingkat kabupaten sampai ke tingkat administrasi terendah, yaitu desa. Implementasi program perbaikan gizi keluarga, yang dikenal dengan ‘Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK)’ dikembangkan sejak tahun 1970-an, yang sampai sekarang, menjadi program terintegrasi di Posyandu, lingkup kecil di tingkat masyarakat, yang dapat menjangkau seluruh keluarga untuk memantau kesehatan dan gizi ibu dan anak. Saat ini sudah tersebar hampir 300.000 Posyandu, yang menjangkau seluruh penduduk. Tahun 2016, program ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari cara kerja Puskesmas yang tidak hanya menyelenggarakan pelayanan kesehatan di dalam gedung, melainkan juga keluar gedung dengan mengunjungi keluargakeluarga di wilayah kerjanya. Ada 12 indikator keluarga sehat yang harus selalu dipantau yaitu: 1) keluarga mengikuti KB, 2) Ibu bersalin di fasilitas kesehatan, 3) Bayi mendapat imunisasi dasar lengkap, 4) Bayi diberi ASI eksklusif selama 6 bulan, 5) Pertumbuhan balita dipantau tiap bulan, 6) Penderita TB Paru berobat sesuai standar, 7) Penderita hipertensi berobat teratur, 8) Gangguan jiwa berat tidak ditelantarkan , 9) Tidak ada anggota keluarga yang merokok, 10) Keluarga mempunyai akses terhadap air bersih, 11) Keluarga mempunyai akses/menggunakan jamban sehat, 12) Sekeluarga menjadi anggota JKN/askes. Pada tahun 2016, dicanangkan ‘Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas)’ yang merupakan gerakan yang melibatkan lintas sektor yang ditujukan untuk meningkatkan perilaku hidup sehat masyarakat yang didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana serta peningkatan lingkungan hidup sehat.
15