KUANTIFIKASI SISTEM HIDROGEOLOGI DAN POTENSI AIRTANAH DAERAH GUNUNGSEWU, PEGUNUNGAN SELATAN, DIY (Didekati Dengan Analisis Geometri Fraktal)
ABSTRAK DISERTASI
Untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Teknik dari Institut Teknologi Bandung Dipertahankan di depan sidang terbuka ITB Tanggal 17 Juni 2000
Oleh Sari Bahagiarti Kusumayudha Nim : 32296016
Promotor Ko-Promotor
: Prof. M. T. Zen : Dr. Ir. Sudarto Notosiswoyo, Meng Dr. Ir. Rudy Sayoga Gautama
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2000
Daerah Gunungsewu merupakan perbukitan kerucut karst yang berada di zona fisiogafik Pegunungan Selatan Jawa Tengah - Jawa Timur, dan secara administratif termasuk wilayah Kabupaten Gunungkidul, DIY. Daerah ini senantiasa menderita kekeringan di musim kemarau, karena air permukaan yang langka. Diperkirakan terdapat cukup banyak air di bawah tanah, terbukti dari banyak dijumpainya sungai-sungai bawah permukaan. Geomorfologi Daerah Gunungsewu, berdasarkan morfogenetik dan morfometriknya dapat dikelompokkan menjadi tiga satuan, yaitu Satuan Geomorfologi Dataran Karst, Satuan Geomorfologi Perbukitan Kerucut Karst, dan Satuan Geomorfologi Teras Pantai. Secara umum karstifikasi di daerah ini sudah mencapai tahapan dewasa. Lapisan paling bawah stratigafi Daerah Gunungsewu berupa endapan vulkanik yang terdiri dari batupasir tufaan, lava, dan breksi, yang dikenal sebagai Kelompok Besole. Di atas batuan basal tersebut, secara setempat-setempat didapatkan napal Formasi Sambipitu, serta batugamping tufaan dan batugamping lempungan Formasi Oyo. Di atasnya lagi dijumpai batugamping Gunungsewu Formasi Wonosari yang dianggap merupakan lapisan pembawa air di daerah penelitian. Di bagian paling atas, berturut-turut terdapat napal Formasi Kepek, endapan aluvial dan endapan vulkanik Merapi. Berdasarkan litofasiesnya, batugamping Gunungsewu dapat dibedakan menjadi batugamping bioklastik wackestone, dan batugamping terumbu yang terdiri dari boundstone dan packstone. Di lapangan, sebagai singkapan, batugamping Gunungsewu menunjukkan dua sifat fisik berbeda, yaitu karstik dan kapuran (chalky = kalice). Batugamping karstik bersifat pejal dan keras, sedangkan batugamping kalice bersifat rapuh dan lunak. Porositas sekunder berbentuk saluran (conduit) dan rongga-rongga, merupakan porositas yang dominan pada batugamping karstik, sedangkan porositas intergranuler (matriks) merupakan porositas yang terdapat pada batugamping kalice. Dengan demikian, airtanah di dalam batugamping karstik akan mengalir secara conduit flow (aliran saluran) sedangkan di dalam batugamping kalice akan bergerak secara diffuse flow (aliran rembesan). Berdasarkan analisis fraktal, topografi di Daerah Gunungsewu yang diwakili oleh pola alur permukaan, dapat dikelompokkan menjadi lima satuan, masing-masing adalah Satuan A yang menunjukkan dimensi fraktal 1,054 < D _< 1,080, Satuan B yang menunjukkan dimensi fraktal 1,129 < D < 1,180, Satuan C yang mempunyai dimensi fraktal 1.240 < D < 1,389, Satuan D yang
memounyai dimensi fraktal 1,4390 < D < 1,499 dan Satuan E dengan dimensi fraktal 1,500 < D < 1,698. Satuan A ditempati oleh napal, Satuan B ditempati oleh wackestone, Satuan C ditempati oleh batugamping yang mengalami kalicifikasi, Satuan D disusun oleh packstone (dominan) dan boundstone, serta Satuan E disusun oleh boundstone (dominan) dan packstone. Satuan-satuan A dan B secara morfometrigenetik termasuk Satuan Geomorfologi dataran Karst, sedangkan satuansatuan C, D, dan E menempati Satuan Geomorfologi Perbukitan Karst. Struktur retakan (kekar, rekahan, dan sesar) di daerah penelitian memiliki arah jurus baratlauttenggara dan timurlaut-baratdaya, sedangkan struktur perlapisan batugamping secara umum mempunyai kemiringan ke selatan. Pola fraktal struktur retakan dapat dikelompokkan menjadi tiga satuan, masing-masing menunjukkan dimensi fraktal 0,000 < D < 1,099; 1,100 < D < 1,299, dan 1,300 < D < 1,460. Berdasarkan skala pengamatan secara mikroskopik, makroskopik, dan megaskopik, boundstone memiliki angka pori 2-D berturut-turut berkisar antara 2,80 % - 27,26 %, 3,00 % - 17,5 %, dan 5,00 % - 18,00 %. Angka-angka pori pada packstone berkisar antara 3,75 % - 21,90 % (skala mikro), 3,00 % - 20,00 % (skala makro), dan 5,00 - 20,00 % (skala mega). Di lain pihak, wackestone dalam skala mikro, makro dan mega memiliki angka pori berkisar antara 4,93 % - 21,.91 %, 4,05 % 18,00%, dan 3,00 % - 17,00 %, sedangkan angka pori pada kalice mempunyai kisaran 16,50 % 25,00 %( skala mikro) dan 10,00 % - 24,00 % (skala makro). Rongga-rongga pada boundstone menunjukkan dimensi fraktal antara 2,146 ± 0,01 sd 2,257 ± 0,01, pada packstone antara 2,070 ± 0,01 sd 2,192 ± 0,01, pada wackstone antara 2,00 sd 2,166 + 0,01, sedangkan pori-pori pada kalice memperlihatkan dimensi fraktal antara 2,00 sd 2,017 ± 0,01. Pola fraktal sungai bawah tanah pada batugamping bioklastik mempunyai dimensi antara 1,003 ± 0,01 sd 1,043 ± 0,01, dan pads batugamping terumbu antara 1,007 ± 0,01 sd 1,043 ± 0,01. Pola-pola aliran bawah tanah tersebut, terletak di bawah topografi yang mempunyai alur permukaan dengan dimensi fraktal antara 1.490 ± 0,01 sd 1,732 ± 0,01. Dari fakta di atas, terlihat bawwa aliran bawah tanah yang berdimensi fraktal besar, berada di bawah topografi dengan alur permukaan berdimensi fraktal besar, dan sebaliknya. Struktur geologi mempunyai peran sangat besar dalam membangun sistem hidrogeologi Gunungsewu. Hal ini ditunjukkan dengan adanya korelasi positif antara harga dimensi fraktal struktur retakan dengan harga-harga dimensi fraktal relief permukaan, pola aliran sungai bawah tanah, maupun porositas batugamping. Koefisien korelasi antara struktur retakan dan komponen-
komponen hidrogeologik tersebut berturut-turut +0,98; +0,96; dan +0,97. Berdasarkan analisis statistik, antara satu komponen hidrogeologik dengan komponen lainnya, secara umum mempunyai pola arah yang sesuai. Dengan demikian struktur geologi (struktur retakan dan perlapisan batuan) terbukti sangat mempengaruhi perkembangan pororitas sekunder dan mengontrol arah aliran airtanah di Daerah Gunungsewu. Berdasarkan perbedaan-perbedaan pola aliran di permukaan, sebaran pola luahan, pola dan arah aliran bawah tanah, intensitas struktur retakan, dan konfigurasi kedalaman batuan dasar, Daerah Gunungsewu dapat dibagi menjadi 3 sub-sistem hidrogeolog, yaitu Sub-sistem Panggang di bagian barat, Sub-sistem Wonosari-Baron di bagian tengah, dan Sub-sistem Sadeng di bagian timur. Sub-sistem Panggang dicirikan oleh ketidak-hadiran aliran permukaan, jenis akuifer bebas dengan ketebalan 50 - 100 m, dan luahan melalui mata-air - mata-air permukaan yang debitnya < 100 l/det. Luas area sub-sistem ini ±105 km2, dengan elevasi mulai dari 0 - 300 m. Sub-sistem WonosariBaron dicirikan oleh adanya aliran permukaan yang berubah menjadi aliran bawah permukaan, hadirnya jenis akuifer semi bebas, bebas dan perched (khususnya di musim penghujan), serta luahan berupa muara sungai bawah tanah ke Samudra Hindia. Luas area sub-sistem ini ±472 km2, elevasinya 0 - 350 m, ketebalan seluruh akuifer lebih-kurang 100 - 400 m, dan debit luahan terbesar antara 4000 - 21000 l/det. Sub-sistem Sadeng dicirikan oleh tidak dijumpainya aliran di permukaan, terdapatnya jenis akuifer bebas dan perched dengan tebal keseluruhan 50 - 300 m, serta luahan melalui mata-air pantai dengan debit < 100 l/det Selain melalui mata air pantai, diperkirakan terdapat luahan melalui mata-air bawah laut. Luas area sub-sistem ini lebih dari 255 km2, dengan elevasi 0 - >400 m di atas muka laut. Selama bulan April 1998 sd Maret 1999, jumlah air yang meresap di daerah Sub-sistem WonosariBaron lebih-kurang 181.479.187 m3, sedangkan jumlah air yang meluah lebih-kurang 27.111.490 m3. Dengan demikian dalam satu tahun terdapat selisih simpanan sebesar 154.385.688 m3. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa analisis fraktat dapat digunakan sebagai alat untuk membantu dalam pembuatan peta penyebaran pola struktur, penyebaran pola relief permukaan, dan penyebaran akuifer atau batuan dengan karakteristik fisik berbeda. Dengan analisis fraktal, setiap komponen yang membangun sistem hidrogeologi, yakni struktur, topografi, pots aliran bawah tanah, dan porositas, dapat dinyatakan dan dikorelasikan secara kuantitatif.
QUANTIFICATION OF THE HYDROGEOLOGIC SYSTEM AND GROUNDWATER POTENTIAL OF THE GUNUNGSEWU AREA, SOUTHERN MOUNTAINS, YOGYAKARTA PROVINCE (Using Fractal Geometry Analysis Approach)
The Gunungsewu Area, a cone-karst-hills, which is situated in the physiographic zone of the Southern Mountains, Central Java - East Java, administratively belongs to the Gunungkidul District, Yogyakarta Province. This area is always subjected to dryness in dry season, because the rainwater rather sinks underground than flows over the land. It is verified by the existing of underground rivers. Based on its morphogenetic and morphometric, the geomorphology of the Gunungsewu Area can be unified into three units; they are the geomorphologic unit of Karst Plain, the geomorphologic unit of Cone-Karst-Hills, and the geomorphologic unit of Coastal Terrace. In general, the karstification level in the study area is classified into maturity stadium. A group of volcanic deposits which consist of tuffaceous sandstone, lava, and breccia called the Besole Group, occupy the bottom part of the Gunungsewu stratigraphy. This basement is locally overlain by marl of the Sambipitu Formation, and tuffaceous-marly limestone of the Oyo Formation. Covering all of these rocks, there are limestones of the Gunungsewu called Wonosari Formation, which are assumed to be acting as the water-bearing layers in the study area. The top part of the Gunungsewu stratigraphy is occupied by marl of the Kepek Formation, alluvial, and volcanic deposits of Merapi. There are two different lithofacieses constituting the Gunungsewu limestones, i.e. bioclastic wackestone, and reefs that consist of boundstone and packstone. In the field, the limestones perform two general factual characteristics; these are either karstic when the limestones are physically massive and hard, or chalky/calichic when the limestones are carnally brittle and soft. The karstic limestone is predominantly perforated by secondary porosity of conduits and cavity openings, while the caliche (chalky limestone) is pored by matrix porosity. Therefore the karstic limestone will regulate groundwater through cavities to turbulently move, called conduit flow, while caliche will transmit the water laminairly through intergrain spaces by diffuse flow.
Based on fractal analysis, the topography of the Gunungsewu Area which is represented by the surface flow patterns, can be divided into five units, they are Unit A which is showing fractal dimension of 1.054 < D < 1.080, Unit B showing fractal dimension of 1.129 < D < 1.180, Unit C displaying fractal dimension of 1.240 < D < 1.389, Unit D displaying fractal dimension 1.4390 < D < 1.499, and Unit E with fractal dimension 1.500 < D < 1.699. Unit A is occupied by marl, Unit B by wackestone, Unit C by caliche, Unit D by packstone and boundstone, and Unit E by boundstone and packstone. Units A and B morphometric-genetically belong to the geomorphologic unit of Karst Plain, while Units C, D, and E occupy the geomorphologic unit of Karst Hills. The fracture structures containing faults, joints and cracks in the Gunungsewu, show northwestsoutheast and northeast-southwest strikes, while the dip of rock stratifications in common display southward direction. The fracture structures demonstrate fractal pattern which can be grouped into three units, i.e. Unit A, Unit B, and Unit C. The three units exhibit fractal dimensions of 0,000 < D < 1,099; 1.100 < D < 1.299, and 1.300 < D < 1.460, respectively. It is inferred that the two-D porosity of boundstone of the Gunungsewu limestones, based on their scale, ranges from 2.80 % to 27.26 % (micro scale), from 3.00 % to 17.50 % (macro scale), and from 5.00 % to 18.00 % (mega scale). The porosity of packstone ranges from 3.75 % to 21.90 % (micro scale), from 3.00 % to 20.00 (macro scale), and from 5.00 % to 20.00 % (mega scale). The porosity of wackestone ranges from 4.93 % to 20.91 % (micro scale), from 4.50 % to 18 % (macro scale), and from 3.00 % to 17.00 (mega scale). While the porosity of caliche ranges from 16.50 % to 25.00 % (micro scale), and from 10.00 % to 24.00 % (macro scale). The porosity of boundstone show fractal dimension ranging from 2.146 + 0.01 to 2.257 ± 0.01, of packstone ranging from 2.070 + 0.01 to 2.192 ± 0.01, of wackestone ranging from 2.00 to 2.166 + 0.01, and of caliche ranging from 2.00 to 2.017 ± 0.01. The subsurface channel patterns of the Gunungsewu exhibit fractal dimensions ranging from 1.003 + 0.01 to 1.043 + 0.01 in the bioclastic limestone, and from 1,007 + 0.01 to 1,043 ± 0,01 in the reefs. These subsurface channel patterns are overlain by topography with surfacial valley patterns displaying fractal dimensions of 1.494 + 0.01 - 1.732 ± 0.01. The subsurface flows having high fractal dimension value associate with surface relief performing high fractal dimension value, and vice versa.
Geologic structure has an important role to construct the hydrogeologic system. This phenomenon is manifested by the positive correlation between the fractal dimension of the fracture structure and the fractal dimensions of the surface relief, the subsurface flow pattern, and the porosity, respectively. Their correlation coefficient values are + 0.98, + 0.96, and + 0.97 each. These hydrogeologic components are also statistically maintaining similar strike patterns one another. By the way, the geologic structure powerfully influences the development of secondary porosity, and controls the direction of groundwater movement in the study area. Based on the differentiations of surfcial water flow pattern, subsurface flow pattern, distribution of discharges, intensity of fracture structures, and configuration of the basement, the hydrogeologic system of the Gunungsewu can be separated into three sub-systems, i.e. the Panggang Sub-system in the west, the Wonosari-Baron Sub-system in the middle, and the Sadeng Subsystem in the east. The Panggang Sub-system is specified by the inappearence of surface flows, the existence of free aquifer with 50 - 100 m thickness, and discharge through springs with <100 l/sec flowrate. The area is about 105 km2 square with elevation of 0 - 300 m. The Wonosari-Baron Sub-system is characterized by the occurrence of surface flows which sink underground, the presence of semi unconfined, free and perched aquifers (especially in rainy season), with 100 - 400 m thickness, and discharge through subsurface flow outlet to Indian Ocean. The area is about 472 km square with 0350 m elevation. The largest outlet in this sub-system has rates ranges from 4000 - 21000 l/sec. The Sadeng Sub-system is marked by the absence of surface flows, the presence of free and perched aquiferss with 50 - 300 m thickness, and discharge through springs with less than 100 l/sec flowrate. In spite of groundwater discharge through coastal spring, there is groundwater discharge through presumed undersea spring. The area of the sub-system is more than 255 km square with 0 to more than 400 m elevation. During April 1998 to March 1999 the amount of water recharge into Wonosari-Baron Subsystem is about 181,479,187 m3, while the discharge is approximately 27, 111,499 m3. Therefore the storage is around 154,385,688 m3 one year. The results of this research verify that fractal analysis can be used as a tool to create a map showing distributions of structure pattern, surface relief pattern, and the spreading of aquifers or formations, which are physically different, one another. By using fractal analysis, every component constructs
the hydrogeologic system, i.e. geologic structure, topography, subsurface flow pattern, and porosity, can be manifested and correlated quantitatively.