KUALITAS MIKROBIOLOGI KEJU: KEBERADAAN Staphylococcus aureus PADA TAHAP PEMBUATAN KEJU GOUDA
ANGGINA SARI SALMI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kualitas Mikrobiologi Keju: Keberadaan Staphylococcus aureus pada Tahap Pembuatan Keju Gouda adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Instititut Pertanian Bogor. Bogor, September 2013 Anggina Sari Salmi NIM B04090175
ABSTRAK ANGGINA SARI SALMI. Kualitas Mikrobiologi Keju: Keberadaan Staphylococcus aureus pada Tahap Pembuatan Keju Gouda. Dibimbing oleh HADRI LATIF. Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri penyebab foodborne disease yang umum ditemukan pada susu dan produk olahannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberadaan S. aureus pada setiap tahap pembuatan keju Gouda. Pemeriksaan S. aureus dilakukan pada sampel dari setiap tahap pembuatan keju Gouda dengan metode cawan tuang pada media kultur Vogel Johnson agar. Jumlah S. aureus pada susu segar yaitu 2.4 x 103 CFU/ml (melebihi batas maksimum yang ditetapkan dalam SNI No. 3141.1-2011). Pasteurisasi menurunkan jumlah S. aureus secara signifikan, namun jumlahnya kembali meningkat pada tahap lanjut. Jumlah S. aureus tertinggi ditemukan pada pemeriksaan sampel keju Gouda young yaitu 3.6 x 106 CFU/g. Jumlah ini mengalami peningkatan yang signifikan dari tahap keju muda penggaraman hingga menjadi keju Gouda young dan stabil hingga terbentuk keju Gouda old. Tingginya jumlah S. aureus pada keju Gouda melebihi batas maksimum yang ditetapkan oleh SNI No. 7388-2009 mengindikasikan keju tersebut berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan. Kata kunci: foodborne disease, keju Gouda, Staphylococcus aureus, susu ABSTRACT ANGGINA SARI SALMI. Microbiological Quality of Cheese: The Presence of Staphylococcus aureus in Gouda cheese manufacturing process. Supervised by HADRI LATIF. Milk and its derivative products could potentially transmit pathogenic microorganisms from animals to human. Staphylococcus aureus is one of the microorganisms that commonly presents in milk and dairy products. This bacteria is often associated with foodborne disease outbreaks due to the ability of some strains to produce thermostable enterotoxins. The aim of this study was to analyze the presence of S. aureus during the Gouda cheese manufacturing process. Samples were obtained from every stages of Gouda cheese production. Staphylococcus aureus analysis was performed using pour plate method in Vogel Johnson agar. The number of S. aureus in raw milk was 2.4 x 103 CFU/ml (exceeding the maximum level for contaminant specified by BSN in SNI No. 3141.1-2011). The number of this bacteria increased in the following stages. The highest level was reached in young Gouda cheese (3.6 x 106 CFU/g). This level significantly increased from ripened cheese to become young Gouda cheese and remained stable during the ripening process. The high level of S. aureus in Gouda cheese (exceeding the maximum level for contaminant specified by BSN in SNI No. 7388-2009) indicates it could be potentially cause foodborne disease. Keywords: foodborne disease, Gouda cheese, milk, Staphylococcus aureus
KUALITAS MIKROBIOLOGI KEJU: KEBERADAAN Staphylococcus aureus PADA TAHAP PEMBUATAN KEJU GOUDA
ANGGINA SARI SALMI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Kualitas Mikrobiologi Keju: Keberadaan Staphylococcus aureus pada Tahap Pembuatan Keju Gouda Nama : Anggina Sari Salmi NIM : B04090175
Disetujui oleh
Dr drh Hadri Latif, MSi Pembimbing
Diketahui oleh
drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi : Kualitas Mikrobiologi Keju: Keberadaan Staphylococcus aureus pada Tahap Pembuatan Keju Gouda : Anggina Sari Salmi Nama NIM : B04090175
Disetujui oleh
Pembimbing
Tanggal Lulus:
10 9 SEP
~'l
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
1
TINJAUAN PUSTAKA
2
Susu Segar
2
Keju Gouda
3
Staphylococcus aureus
3
Intoksikasi Makanan oleh Staphylococcus aureus
4
METODE
4
Waktu dan Tempat Penelitian
4
Pengambilan Sampel
4
Bahan dan Alat
5
Metode Pengujian Sampel
5
Analisis Data
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
SIMPULAN DAN SARAN
9
Simpulan Saran
9 10
DAFTAR PUSTAKA
10
LAMPIRAN
12
RIWAYAT HIDUP
14
vi DAFTAR TABEL
1 Syarat mutu susu segar menurut BSN (2011) tentang Susu Segar............2
DAFTAR GAMBAR 1 Biakan S. aureus dalam media VJA …… 2 Pertumbuhan S. aureus pada berbagai tahap pembuatan keju Gouda
6 7
DAFTAR LAMPIRAN
1 Tahap pembuatan keju Gouda................. 2 Jumlah S. aureus pada tahap pembuatan keju Gouda
.
12 13
PENDAHULUAN
Latar Belakang Susu merupakan bahan pangan yang memiliki kandungan nutrisi seperti protein, lemak, vitamin, dan mineral yang lengkap. Kandungan nutrisi, air, dan nilai pH yang optimum menjadikan susu sebagai media yang baik untuk pertumbuhan berbagai jenis mikroorganisme. Hal tersebut menyebabkan susu menjadi bahan makanan yang mudah rusak (perishable food) dan berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan konsumennya (Janštová et al. 2012). Kualitas mikrobiologi susu merupakan salah satu parameter yang penting dalam menentukan keamanan susu dan hasil olahannya. Salah satu bakteri yang perlu diuji untuk menentukan keamanan susu adalah Staphylococcus aureus. Kehadiran bakteri ini dalam produk pangan seperi susu dan hasil olahannya dapat menyebabkan keracunan makanan akibat toksin yang dihasilkan (Suwito dan Andriani 2012). Keberadaan S. aureus pada susu dan hasil olahannya umumnya berasal dari sapi yang menderita mastitis, pemerah susu, dan proses pengolahan susu yang tidak higienis. Bakteri ini dapat menginfeksi kelenjar ambing dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan susu dan hasil olahannya tidak aman untuk dikonsumsi (de Oliveira et al. 2011). Salah satu cara untuk menghindari terjadinya kerusakan pada susu adalah dengan mengolahnya menjadi keju. Keju merupakan hasil olahan susu yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Salah satu jenis keju yang mulai banyak diproduksi oleh industri keju di Indonesia adalah keju Gouda. Keju ini memiliki tekstur semi keras dan dilapisi oleh parafin (wax) yang berfungsi untuk mejaga kualitas dan mencegah terjadinya pertumbuhan mikroorganisme pada keju. Salah satu mikroorganisme yang dapat tumbuh akibat adanya kontaminasi dari luar adalah S. aureus (Kousta et al. 2010). Keberadaan bakteri ini perlu mendapatkan perhatian serius untuk menjamin keamanan keju sebagai salah satu produk pangan yang banyak dikonsumsi.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberadaan S. aureus pada setiap tahap pembuatan keju Gouda.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kualitas mikrobiologi khususnya keberadaan S. aureus pada produk susu dan olahannya di setiap tahap pembuatan keju Gouda, sehingga dapat menggambarkan keamanan keju tersebut.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Susu Segar Menurut BSN (2011), susu segar didefinisikan sebagai hasil sekresi dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah dengan sesuatu apapun dan belum mendapatkan perlakuan apapun kecuali pendinginan. Setiap hewan memiliki komposisi susu yang berbeda, pada sapi komponen utama susu terdiri atas 87.9% air dan 12.1% bahan kering. Secara lengkap, susu segar harus memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh BSN (2011) seperti yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Syarat mutu susu segar Karakteristik Berat jenis (pada suhu 27.5°C) minimum Kadar lemak minimum Kadar bahan kering tanpa lemak minimum Kadar protein minimum Warna, bau, rasa, kekentalan Derajat asam pH Uji alkohol (70%) v/v Cemaran mikroba maksimum 1 Total Plate Count 2 Staphylococcus aureus 3 Enterobacteriaceae Jumlah sel somatik maksimum Residu antibiotik (golongan Penisilin,Tetrasiklin, Aminoglikosida, Makrolida) Uji pemalsuan Titik beku Uji peroksidase Cemaran logam berat maksimum 1 Timbal (Pb) 2 Merkuri (Hg) 3 Arsen (As)
Satuan g/ml %
Syarat 1.0270 3.0
%
7.8
% °SH -
2.8 Tidak ada perubahan 6.0–7.5 6.3–6.8 Negatif
CFU/ml CFU/ml CFU/ml Sel/ml
106 102 103 105
-
Negatif
°C -
Negatif -0.520 s.d -0.560 Positif
μg/ml μg/ml μg/ml
0.02 0.03 0.1
a
Sumber: BSN (2011). Standar Nasional Indonesia 01-3141-2011: Susu Segar
Kandungan nutrisi yang lengkap serta pH sebesar 6.3–6.8 menjadikan susu sebagai media optimum untuk pertumbuhan berbagai jenis mikroorganisme. Mikroorganisme tersebut dapat merusak susu dan membahayakan kesehatan konsumennya (Sudarwanto 2012).
3 Keju Gouda Gouda merupakan kota yang dikenal sebagai salah satu pusat keju di Belanda. Keju yang banyak dipasarkan adalah keju semi keras yang dikenal dengan nama keju Gouda. Keju ini memiliki kadar garam 2–7%, kadar air 35–40%, pH 5–5.6, bertekstur semi keras, dan tertutup (Early 1998). Rata-rata kadar lemak pada bahan keringnya adalah sebesar 48%. Permukaan dalam keju Gouda berwarna gading hingga kuning muda, berlubang, dan berbentuk bulat atau persegi. Gouda memiliki cita rasa gurih, tidak masam, lembut, dan sedikit asin (Chairunnisa 2007). Keju Gouda terbuat dari susu segar dan skim yang proses penggumpalan kaseinnya menggunakan rennet. Proses pembuatannya memerlukan starter berupa bakteri penghasil asam laktat seperti Streptococcus cremoris, Streptococcus diacetylactis, Streptococcus lactis, Leuconostoc citrovorum, dan Lactococcus cremoris. Waktu pemeraman Gouda berbeda-beda yaitu 2–3 bulan untuk young cheese, 4–5 bulan middle cheese, dan lebih dari 6 bulan old cheese (Chairunnisa 2007). Karakteristik khusus keju ini adalah memiliki tekstur semi keras dan dilapisi oleh parafin (wax) yang berwarna kekuningan. Lapisan tersebut berfungsi untuk menjaga kualitas keju dan mencegah terjadinya pertumbuhan mikroorganisme yang dapat merusak keju. Salah satu mikroorganisme yang dapat tumbuh pada keju ini adalah S. aureus. Keberadaan bakteri ini pada keju Gouda dapat disebabkan oleh adanya kontaminasi (Manab 2009). Jumlah maksimum S. aureus pada keju ini ditetapkan oleh BSN (2009) adalah sebesar 102 CFU/ml.
Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif yang memiliki bentuk bulat dan biasanya tersusun bergerombol tidak beraturan menyerupai anggur. Bakteri ini dapat tumbuh di berbagai media dan dapat memfermentasi karbohidrat (Jawetz et al. 2007). Staphylococcus aureus toleran terhadap suhu, asam, dan penggaraman. Bakteri ini bersifat mesofilik yang hidup pada suhu 37°C–40°C, pH 4.0–9.8, dengan pH optimum 6.0–7.0, serta kadar garam hingga 20%. Selain itu S. aureus dapat tumbuh pada water activity (aw) 0.83–0.86 (Jay 1997). Staphylococcus aureus adalah bakteri yang dapat dijadikan sebagai indikator kontaminasai makanan (de Oliveira et al. 2011). Bakteri patogen ini banyak mengontaminasi susu serta hasil olahannya. Keberadaan S. aureus pada susu segar dapat diakibatkan oleh adanya kejadian mastitis dari hewan maupun kontaminasi akibat ketidakhigienisan proses penanganan dan pengolahan susu (He et al. 2010). Salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan kehigienisan proses penanganan dan pengolahan susu adalah keberadaan S. aureus (Jakobsen et al. 2010). Secara normal S. aureus dapat ditemukan di permukaan kulit dan mukosa hidung dari hewan maupun manusia (Medveďová dan Valík 2011). Jumlah bakteri ini akan bertambah dengan adanya pencemaran dari tangan, baju, peralatan, kandang, sapi, serta saat transportasi (Hidayat 2008). Charlier et al. (2009) menyebutkan S. aureus sangat sensitif terhadap penambahan bakteri asam laktat
4 pada susu. Kehadiran bakteri asam laktat dapat menyebabkan penurunan pH susu dan menghambat pertumbuhan S. aureus.
Intoksikasi Makanan oleh Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen utama yang berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan akibat mengonsumsi makanan yang terkontaminasi (foodborne pathogen). Keracunan makanan akibat kontaminasi S. aureus disebabkan oleh toksin yang dihasilkan bakteri tersebut. Terdapat 11 jenis enterotoksin yang dapat menyebabkan keracunan yaitu, A, B, C1, C2, C3 D, E, F, G, H, dan I. Staphylococcal enterotoxin (SEs) membentuk grup heterogen heat-stable, water-soluble, single-chain globular protein dengan berat molekul antara 28 000–35 000 dalton (Jay 1997). Enterotoksin tersebut disintesis selama fase pertumbuhan S. aureus di makanan. Staphylococcus enterotoxin A (SEA) dan SED dihasilkan selama fase logaritmik sedangkan SEB dan SEC pada akhir fase logaritmik hingga awal fase stasioner. Enterotoksin akan diproduksi ketika jumlah S. aureus mencapai 106–107 CFU/ml (Medveďová dan Valík 2011). Produksi enterotoksin dipengaruhi oleh pH dan aw yang dapat menghambat perumbuhan bakteri (Sutherland dan Vanam 2002). Enterotoksin dapat menyebabkan keracunan akibat mengonsumsi produk peternakan seperti daging dan susu yang terkontaminasi (Aydin et al. 2011). Gastroenteritis merupakan salah satu dampak dari mengonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh enterotoksin. Gejala keracunan seperti, mual, muntah, kram perut, sakit kepala, diare, dan penurunan temperatur tubuh yang akan muncul 4 jam setelah mengonsumsi makanan yang terkontaminasi (Balaban dan Rasooly 2000). Jumlah minimum enterotoksin yang dibutuhkan untuk menyebabkan keracunan pada manusia adalah 20 mg. Enterotoksin utama yang sering menyebabkan keracunan makanan adalah (SEA) yang kemudian disusul oleh SED dan SEB (Balaban dan Rasooly 2010).
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Maret hingga Agustus tahun 2012 di Laboratorium Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet), Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan Sampel Sampel diambil dari salah satu industri keju di Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan pada setiap tahap pembuatan keju Gouda yang dimulai sejak penerimaan susu segar di industri keju hingga susu tersebut menjadi keju dan diperam selama 6 bulan.
5 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah Vogel Johnson agar (VJA) (Criterion®) yang ditambahkan tellurite 3%, Buffered peptone water (BPW) 0.1% (Pronadisa Cat. 1402.00), dan alkohol 70%. Alat yang digunakan adalah pipet volumetrik 1 ml, 2 ml, 5 ml, dan 10 ml, cawan petri (Normax, diameter 10 cm), tabung reaksi (Iwaki Pyrex volume 15ml), shaker (Vortex mixer VM-1000), inkubator (Memmert INB 500), cool box, lemari pendingin, pembakar bunsen, botol sampel steril 150 ml, 300 ml, dan 500ml, kantong plastik steril, Erlenmeyer steril 250, gunting steril, pinset steril, timbangan, rak tabung reaksi, dan counter.
Metode Pengujian Sampel Jenis dan Besaran Sampel Jenis sampel yang diuji meliputi susu segar di pendingin (cooling unit) 250 ml, susu hasil separasi 250 ml, susu yang dicampur dengan lemak (mix fat) 250 ml, susu pasteurisasi 250 ml, susu pasteurisasi setelah 30 menit 250 ml, curd 25 g, keju muda cetak 25 g, keju muda setelah penggaraman 25 g, keju Gouda young 25 g, keju Gouda middle 25 g, dan keju Gouda old 25 g. Pengambilan dan Penanganan Sampel Sampel diambil secara aseptik dari pabrik keju yang telah ditetapkan sebelumnya. Sampel dimasukkan dalam cool box bersuhu 0–4ºC yang berisi ice pack dan diuji pada hari yang sama dalam waktu kurang dari 12 jam. Pemeriksaan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan pada waktu dan sampel yang berbeda. Metode Kerja Pemeriksaan jumlah S. aureus menggunakan metode hitungan cawan dengan cara tuang. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan media VJA. Analisis S. aureus terdiri dari pemeriksaan sampel padat dan cair. Pemeriksaan sampel padat (keju) dilakukan dengan cara menimbang 25 gram keju dimasukkan ke dalam 225 ml BPW 0.1% yang kemudian dihomogenisasi dan diambil 1 ml homogenat untuk diencerkan. Pemeriksaan sampel cair cukup dengan mengambil 1 ml sampel untuk diencerkan. Sebanyak 1 ml homogenat baik dari sampel padat maupun cair dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml BPW 0.1% untuk didapatkan pengenceran sebesar 10-1 untuk sampel cair atau 10-2 untuk sampel padat. Pengenceran selanjutnya dilakukan dengan cara yang sama yaitu mengambil 1 ml homogenat dari pengenceran sebelumnya 10-1 (sampel cair) atau 10-2 (sampel padat) lalu dimasukkan ke tabung pengenceran 10-2 (sampel cair) 10-3 (sampel padat) yang berisi 9 ml BPW 0.1%. Pengenceran desimal 10-4, 10-5, 10-6, dan seterusnya dilakukan dengan cara yang sama. Sebanyak 1 ml homogenat dari pengenceran yang dikehendaki dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Sebanyak 10–15 ml media agar bersuhu 45ºC dituangkan pada masing-masing cawan tersebut dan dihomogenkan dengan perlahan sampai memadat. Selanjutnya cawan petri diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam dengan posisi cawan terbalik agar
6 pertumbuhan koloni tidak menyebar. Jumlah S. aureus pada sampel dihitung dengan perhitungan: Jumlah S. aureus (CFU/ml) = Jumlah koloni x faktor pengenceran
Analisis Data Data diolah menggunakan MS. Excel 2007 dan SPSS 16.0 dengan prosedur analisis data Paired-Samples T Test.
HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah total S. aureus dapat diketahui dengan cara menghitung koloni yang tumbuh pada media VJA. Ciri koloni S. aureus yang terbentuk pada media ini adalah bulat, licin/halus, koveks, basah, berwarna abu-abu hingga hitam pekat dikelilingi zona opak atau tanpa zona luar yang jelas seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Biakan S. aureus dalam media VJA. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan, jumlah rata-rata S. aureus dalam susu segar, susu hasil separasi, dan susu mix fat secara berurutan adalah 2.4 x 103 CFU/ml, 3.7 x 103 CFU/ml, dan 1.2 x 104 CFU/ml. Jumlah S. aureus mengalami penurunan yang signifikan setelah dipasteurisasi menjadi 4.4 x 101CFU/ml. Sebelum diolah lebih lanjut, susu yang telah dipasteurisasi
7 didiamkan selama 30–60 menit untuk menurunkan suhu susu. Jumlah S. aureus mulai bertambah setelah 30 menit pasteurisasi menjadi 8.8 x 101 CFU/ml. Tahap selanjutnya adalah pembuatan whey, bakal keju (curd), pencetakan, dan penggaraman. Jumlah S. aureus mengalami peningkatan pada tahap lanjut yaitu 8.5 x 103 CFU/ml dalam whey dan 5.1 x 104 CFU/g dalam curd. Kondisi tersebut cenderung bertahan sampai proses penggaraman selesai yaitu 4.5 x 104 CFU/g pada tahap keju muda cetak dan 3.3 x 104 CFU/g pada keju muda setelah penggaraman. Penggaraman dilakukan selama 24 jam dengan merendam keju di dalam larutan garam 20%. Tahap terakhir merupakan tahap pematangan keju atau dikenal dengan istilah pemeraman. Waktu pemeraman ditetapkan berdasarkan jenis keju Gouda yang akan dihasilkan. Keju Gouda young merupakan keju yang memiliki waktu pemeraman paling singkat. Pada tahap ini, jumlah S. aureus mengalami peningkatan menjadi 3.6 x 106 CFU/g. Jumlah S. aureus pada keju Gouda middle dan old cenderung tetap yaitu sebesar 2.8 x 106 CFU/g dan 2.2 x 106 CFU/g. Jumlah rata-rata S. aureus dalam susu segar hingga menjadi keju Gouda (old) dapat dilihat pada Gambar 2.
Jumlah S. aureus CFU/ml/g
10000000 1000000 100000 10000 1000 100 10 1 SS
SHS SMF
SPa
SPb
W
C
KMC KMP KGY KGM KGO
Tahap pembuatan keju Gouda
Gambar 2 Pertumbuhan S. aureus pada berbagai tahap pembuatan keju Gouda: susu segar (SS), susu hasil separasi (SHS), susu mix fat (SMF), susu pasteurisasi (SPa), susu pasteurisasi setelah 30 menit (SPb), whey (W), curd (C), keju muda cetak (KMC), keju muda penggaraman (KMP), keju Gouda young (KGY), keju Gouda middle (KGM), keju Gouda old (KGO) Hasil penelitian sebagaimana yang disajikan pada Gambar 2 menunjukkan jumlah S. aureus pada susu segar melebihi batas maksimum yang ditetapkan dalam oleh BSN (2011) tentang susu segar yaitu sebesar 102 CFU/ml. Foster et al. (1961) menyatakan bahwa S. aureus dapat dijadikan sebagai indikator sanitasi dan higiene personal. Secara normal S. aureus berada di permukaan kulit dan mukosa hidung manusia dalam jumlah besar. Buruknya sanitasi dan higiene personal akan menyebabkan bakteri ini mudah mengontaminasi susu pada saat pemerahan maupun pengolahannya. Selain sanitasi dan higiene personal yang
8 buruk, Rosengren et al. (2010) menyatakan tingginya jumlah S. aureus pada susu segar dapat disebabkan oleh adanya peradangan pada kelenjar ambing yang dikenal dengan istilah mastitis. Susu yang berasal dari sapi yang menderita mastitis baik klinis maupun subklinis dapat mengandung S. aureus dalam jumlah yang tinggi. Susu segar kemudian diseparasi untuk memisahkan susu menjadi skim dan krim lemak. Pada tahap ini jumlah S. aureus mengalami peningkatan (p>0.05) dibandingkan dengan jumlah bakteri dalam susu segar di cooling unit. Hal yang serupa terjadi pada saat susu segar dicampurkan kembali dengan krim lemak hasil separasi (mix fat). Perubahan jumlah bakteri yang signifikan terjadi pada tahap pasteurisasi (4.4 x 101 CFU/ml). Jumlah S. aureus mengalami penurunan yang nyata (p<0.05) dari jumlah sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pasteurisasi efektif dalam membunuh S. aureus. Menurut Medveďová dan Valík (2011), S. aureus pada susu dapat mati ketika dilakukan pemanasan dengan suhu 60ºC selama 42.3 menit. Proses pasteurisasi dilakukan dengan pemanasan susu pada suhu 65ºC selama 30 menit. Proses tersebut dapat mematikan S. aureus karena bakteri ini merupakan bakteri mesofilik yang hidup pada suhu 37ºC–40ºC (Jawetz et al. 2007). Walaupun penurunan tersebut terjadi secara signifikan, jumlah S. aureus pada tahap ini melebihi batas maksimum yang ditetapkan oleh BSN (1995) mengenai syarat mutu susu pasteurisasi yaitu maksimum sebesar 101 CFU/ml. Hasil pengamatan selanjutnya menunjukkan terjadi kenaikan jumlah bakteri yang tidak signifikan (p>0.05) ketika susu pasteurisasi didiamkan selama 30 menit. Khayat et al. (1987) menyatakan bahwa suhu susu yang mulai turun menyebabkan S. aureus yang tidak mati pada proses pasteurisasi kembali tumbuh sehingga jumlah bakteri ini meningkat. Tahapan selanjutnya setelah pasteurisasi adalah pembuatan curd. Pembuatan curd dilakukan dengan cara menambahkan rennet dan starter (Lactococus cremoris) ke dalam susu pasteurisasi. Penambahan rennet berfungsi untuk menggumpalkan keju dan memisahkan whey dengan susu. Pada tahap tersebut terjadi kenaikan jumlah S. aureus yang tidak signifikan (p>0.05). Hal tersebut menunjukan bahwa penambahan starter tidak langsung menekan pertumbuhan S. aureus di dalam curd. Peningkatan jumlah bakteri dapat pula diakibatkan oleh kontaminasi dari peralatan maupun pekerja. Pembuatan bakal keju dilakukan secara mekanis dengan pengadukan dan penambahan air panas agar whey menggumpal dan bisa dipisahkan dari curd. Pada proses ini kemungkinan terjadi kontaminasi dari tangan pekerja ketika mengaduk. Menurut Soriano et al. (2002), S. aureus banyak terdapat pada saluran pernapasan dan kulit manusia. Adanya kontak langsung antara tangan pekerja dengan alat pengaduk dapat menjadi sumber kontaminasi utama. Tahap selanjutnya adalah pencetakan keju. Curd dimasukkan ke dalam cetakan untuk mencetak keju. Pada proses ini terjadi penurunan jumlah bakteri yang tidak signifikan (p>0.05). Jay (1997) menyebutkan bahwa S. aureus dapat tumbuh secara optimum pada kondisi aw 0.83–0.86. Proses pencetakan curd menyebabkan turunnya aw akibat penekanan yang dilakukan untuk mengeluarkan air. Keju muda yang telah dicetak dimasukkan ke dalam air garam 20% selama 24 jam. Pada tahap penggaraman ini, S. aureus mengalami penurunan dibandingkan dengan tahap sebelumnya, namun penurunannya tidak signifikan
9 (p>0.05). Hal ini kemungkinan dikarenakan beberapa strain S. aureus dapat tumbuh pada media berkadar garam 20%. Jay (1997) menyatakan bahwa secara normal S. aureus tumbuh optimum pada kadar garam 7–10 % dan toleran hingga kadar garam 20%. Proses selanjutnya adalah pelapisan keju menggunakan parafin. Pelapisan ini bertujuan untuk menjaga keju agar tidak terjadi kontaminasi pada keju selama proses pemeraman. Selain itu pelapisan ditujukan untuk menjaga kualitas keju agar aroma dan teksturnya tetap baik (Manab 2009). Setelah dilapisi dengan parafin, dilakukan pematangan keju dengan pemeraman pada suhu 14ºC dan kelembapan 80–84 RH. Menurut Manab (2009) pematangan keju Gouda dilakukan selama 2 minggu sampai 2 tahun untuk mendapatkan tekstur keju semi keras. Proses pemeraman ini menentukan jenis keju yang akan dihasilkan. Secara umum, jumlah S. aureus meningkat selama proses pemeraman. Peningkatan jumlah S. aureus terjadi secara signifikan (p<0.05) dari tahap keju muda penggaraman hingga menjadi keju Gouda young. Jumlah S. aureus pada keju Gouda young adalah sebesar 3.6 x 106 CFU/g. Jumlah ini melebihi batas cemaran S. aureus pada keju yang ditetapkan oleh BSN (2009) mengenai Kandungan mikroorganisme dalam pangan yaitu sebesar 102 CFU/g. Tingginya jumlah bakteri ini pada keju Gouda kemungkinan terjadi akibat buruknya higiene personal dan sanitasi peralatan yang digunakan setelah proses penggaraman, saat proses pemotongan, dan pelapisan parafin. Selain itu, kondisi lingkungan pada saat pemeraman dapat pula menyebabkan peningkatan pertumbuhan S. aureus pada keju. Early (1998) menyebutkan bahwa, durasi, kelembapan, dan temperatur saat pemeraman dapat mempengaruhi aktivitas mikroorganisme yang ada pada keju. Hal ini memungkinkan S. aureus bertahan dan tetap tumbuh pada suhu pemeraman 14ºC. Berdasarkan hasil yang disajikan pada Gambar 2, jumlah S. aureus cenderung menurun selama tahap pematangan penurunan yang terjadi tidak signifikan (p>0.05). Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan bakteri asam laktat yang ditambahkan sebagai starter dalam pembentukan keju. Menurut Medveďová dan Valík (2009), S. aureus sangat sensitif terhadap keberadaan bakteri asam laktat dalam jumlah tinggi. Tingginya jumlah bakteri asam laktat pada keju dapat menghambat pertumbuhan S. aureus akibat adanya metabolit hasil fermentasi dan produksi asam laktat dalam jumlah besar. Jumlah asam laktat yang tinggi menyebabkan penurunan pH keju menjadi 4.0–4.5. Kondisi tersebut sangat efisien untuk menghambat pertumbuhan S. aureus karena bakteri ini tumbuh optimum pada pH 6.0–7.0 (Charlier et al. 2009).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Kualitas mikrobiologi khususnya keberadaan S. aureus pada susu segar sebagai bahan baku keju Gouda melebihi batas maksimum sebagaimana yang ditetapkan dalam SNI No. 3141.1-2011. Pasteurisasi susu segar dapat menurunkan
10 jumlah bakteri secara signifikan. Jumlah bakteri setelah pasteurisasi secara umum mengalami peningkatan pada tahap lanjut. Terjadi kenaikan jumlah S. aureus secara signifikan dari tahap keju muda penggaraman hingga menjadi keju Gouda young. Tingginya jumlah S. aureus pada keju Gouda yang melebihi batas maksimum yang ditetapkan dalam SNI No. 7388-2009 mengindikasikan keju tersebut berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan jika dikonsumsi.
Saran Pemeriksaan kualitas mikrobiologi khususnya kandungan S. aureus pada susu segar perlu dilakukan sebelum susu dijadikan sebagai bahan baku keju. Sanitasi dan praktek higiene personal pekerja industri keju perlu ditingkatkan untuk menghindari kontaminasi pada setiap tahap pembuatan keju.
DAFTAR PUSTAKA Aydin A, Sudagidan M, Muratoglu K. 2011. Prevalence of staphylococcal enterotoxin, toxin genes and genetic relatedness of foodborne Staphylococcus aureus strains isolated in Marmara Region of Turkey. Int J Food Microbiol. 148(2):99-106. Balaban N, Rasooly A. 2000. Staphylococcal enterotoxins. Int J Food Microbiol. 61:1-10. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia 01-39511995. Susu Pasteurisasi. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Standar Nasional Indonesia 73882009. Kandungan Mikroorganisme dalam Bahan Pangan. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. Standar Nasional Indonesia 01-31412011. Susu Segar. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional. Chairunnisa H.2007. Aspek nutrisi dan karakteristik organoleptik keju semi keras gouda pada berbagai lama pemeraman. JITV.1:16-21. Charlier C, Cretenet M, Even S, LeLoir Y. 2009. Interactions between Staphylococcus aureus and lactic acid bacteria: an old story with new perspectives. Int J Food Microbiol. 131:30-39. de Oliveira LP, Soares e Barros LS, Silva VC, Cirqueira MG. 2011. Study of Staphylococcus aureus in raw and pasteurized milk consume in the Reconcavo area of the State of Bahia, Brazil. J Food Proc Technol. 2:128. Early R. 1998. The Technology of Dairy Products. Ed ke-2. London (GB): Chapman & Hall Pr. Foster EM, Nelson FE, Speck ML, Doetsch RN, Olson JC. 1961. Diary Microbiology. New Jersey (US): Prentice-Hall Inc. He Y, Honglu L, Mengjun X, Yufeng L. 2010. Detection and identification of Staphylococcus aureus in raw milk by hybridization to oligonucleotide microarray. Afr J Biotechnol. 9:2284-2289.
11 Hidayat NS. 2008. Deteksi Staphylococcus aureus dalam susu segar sebagai parameter kebersihan proses pemerahan. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Jakobsen RA, Heggebø R, Sunde BE, Skjervheim M. 2010. Staphylococcus aureus and Listeria monocytogenes in Norwegian raw milk cheese production. Int J Food Microbiol. 28:492-496. Janštová, Necidová L, Janštová B. 2012. Comparing the growth of S. aureus and production of staphylococcal enterotoxin C in sheep’s and goat’s milk. J Microbiol Biotechnol Food Sci. 42:758-768. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. 2007. Medical Microbiology. California (US): McGrow-Hill Company Inc. Jay JM. 1997. Modern Food Microbiology. Ed ke-5. New York (US): Chapman & Hall Pr. Khayat FA, Bruhn JC, Richardson GH. 1987. A survey of Coliforms and Staphylococcus aureus in cheese using impediemetric and plate count methods. J Food Prot. 51:53-55. Kousta M, Mataragas M, Skandamis P, Drosino EH. 2010. Prevalence and sources of cheese contamination with pathogens at farm and processing levels. Food Cont. 21:805-815. Manab A. 2009. Pengaruh edibel film protein whey mengandung asam benzoat dan propionat terhadap total plate count, koliform, dan Escherichia coli keju gouda. JITHT. 4:51-61. Medveďová A, Valík L. 2011. Study of fresco culture inhibitory effect against Staphylococcus aureus in milk and in lump cheeses. J Food Nutr Res. 50:193-198. Rosengren A, Fabricius A, Guss B, Sylvén S, Lindqvist R. 2010. Occurrence of foodborne pathogens and characterization of Staphylococcus aureus in cheese produced on farm-dairies. Int J Food Microbiol. 144:263-269. Soriano JM, Font G, Molto JC, Manes J. 2002. Enterotoxigenic Staphylococci and their toxin in restaurant food. Trends Food Sci Technol. 13:60-67. Sudarwanto M. 2012. Pemeriksaan Susu dan Produk Olahannya. Bogor (ID): IPB Press. Sutherland J, Varnam A. 2002. Enterotoxin-producing Staphylococcus aureus, shigella, Yersinia, Vibrio, Aeromonas, and Plesiomonas dalam Foodborne Pathogens Hazard Risk Analysis and Control. Clive de WB, McClure PJ, editor. Cambridge (GB): Woodhead Publishing Ltd. Suwito W, Andriani. 2012. Teknologi penanganan susu yang baik dengan mencermati profil mikroba susu sapi di berbagai daerah. J Pascapanen. 9:35-44.
12
LAMPIRAN Lampiiran 1 Tahapp pembuatan n keju Gouda
13 Lampiran 2 Jumlah S. aureus pada tahap pembuatan keju Gouda Jumlah S. aureus Jenis Sampel Rata-rata Minimum Maksimum (CFU/ml/g) Susu Segar (SS) 2.4 x 103a 2.5 x 102 5.4 x 103 Susu Hasil Separasi (SHS) 3.7 x 103a 4.2 x 102 9.1 x 103 1.1 x 104 Susu Mix Fat (SMF) 1.2 x 104a 2.5 x 103 Susu Pasteurisasi (Spa) 4.4 x 101b 1.3 x 101 8.5 x 101 5.0 x 101 3.0 x 102 Susu Pasteurisasi setelah 30 menit (SPb) 8.8 x101b Whey (W) 8.5 x 103b 3.2 x 103 1.8 x 104 3.6 x 104 Curd (C) 5.1 x 104b 2.3 x 102 1.2 x 104 Keju Muda Cetak (KMC) 4.5 x 104b 4.7 x 101 Keju Muda Penggaraman (KMP) 3.3 x 104b 3.1 x 103 73 x 104 5.5 x 106 Keju Gouda Young 3.6 x 106c 1.3 x 104 Keju Gouda Middle 2.8 x 106c 6.0 x 103 8.9 x 106 6.7 x 106 Keju Gouda Old 2.3 x 106c 7.0 x 102
14
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 6 September 1991 dari pasangan Bapak Syafril Efendi Lubis dan Ibu Uni Darwini. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri Ciganjur 02 Jakarta pada tahun 2003. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 175 Jakarta dan lulus pada tahun 2006 sebagai lulusan terbaik. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 28 Jakarta dan melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum Histologi Veteriner I pada tahun 2011 dan Histologi Veteriner II pada tahun 2012. Penulis juga pernah aktif sebagai staf Departemen Sosial dan Kesejahteraan Mahasiswa BEM TPB IPB, ketua divisi Kajian Strategi Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI), bendahara divisi kuda himpro HKSA, dan staf Departemen Kajian Publik Keluarga Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) IPB. Beberapa prestasi yang diraih oleh penulis selama perkuliahan antara lain 10 besar mahasiswa berprestasi Fakultas Kedokteran Hewan IPB 2013, penerima beasiswa Van Deventer-Maas Stichting 2012–2013, Karya Salemba Empat, dan anggota terbaik himpro HKSA 2012.