KUALITAS KOMPOS DARI BERBAGAI BAHAN BAKU DAN DOSIS STARDEC Edhy Pujianto1, Daddy Ruhiyat2 dan Sukartiningsih3 1Dinas
Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam, Tarakan. 2Laboratorium Tanah Fahutan Unmul, Samarinda. 3Laboratorium Silvikultur Fahutan Unmul, Samarinda
ABSTRACT. The Quality of Compost from Various Raw Materials and Doses of Stardec. The objectives of the research were to investigate the effectivity of the use of stardec in composting process, to investigate the influence of raw material types and doses of stardec to produce the best quality of compost. The research was conducted at the abattoir area in Tarakan City, East Kalimantan. The research was designed in completely randomized with 9 treatments combination. Each treatment was repeated 3 times. As independent variable were kind of raw material (waste of abattoir, wastes of chicken poultry and traditional market). Doses of stardec were 0, 0.5 and 1%. As dependent variable were the quality of compost with criteria such as the availability of macro nutrient (N, P, K and Ca), rate of organic matter, C-organic, ratio C/N, temperature, pH, water holding capacity (WHC) and the moisture content of compost. The quality of compost achieved in this research was then compared with standard quality from National Standard of Indonesia (SNI). The results of the research indicated that the use of stardec (0.5 and 1%) decreased the composting period of waste of chicken poultry (only 26–28 days) and also using this treatment combination could produce the best quality of compost. While, the composting period of raw material from waste of traditional market needed 40–42 days, indicated that stardec and waste of chicken poultry made composting process faster than traditional composting. The quality of compost produced from waste of traditional market was in the second grade compared with compost produced from chicken poultry, but from all criteria of quality, the results of this research were still in the upper level of SNI standard. However, concerning to the environmental problem with domestic wastes (especially organic wastes) and to overcome the problem, the raw material from wastes of traditional market are recommended to use as materials for producing compost. Kata kunci: sampah, kotoran ayam, stardec, kualitas kompos
Peningkatan populasi manusia menyebabkan permintaan pangan selalu bertambah, baik yang berasal dari tanaman maupun produk peternakan (daging, telur dan susu) dan perikanan. Seiring dengan pertumbuhan dan pengelolaan industri pertanian yang intensif dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan tersebut, tentu saja akan mengakibatkan timbulnya permasalahan yang membutuhkan solusi yang tepat dalam penanganannya. Permasalahan yang timbul adalah peningkatan limbah. Limbah adalah bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu aktivitas manusia atau proses produksi, baik berupa limbah padat, cair maupun berupa gas. Limbah yang ditimbulkan dari proses produksi dan konsumsi produk pertanian, baik dari tanaman maupun hewan lebih dikenal dengan istilah limbah organik. Limbah organik dapat menjadi bahan pencemar lingkungan bila tidak dikelola dengan baik, 1
2
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (1), APRIL 2008
akibatnya lingkungan di sekitarnya akan tercemar. Seringkali terjadi masyarakat yang ada di sekitar kawasan peternakan ayam maupun rumah potong hewan (RPH) mengeluh karena timbulnya bau menyengat yang berasal dari peternakan/RPH tersebut. Limbah dari aktivitas domestik maupun pasar (sampah kota) juga tak kalah mengkhawatirkan. Penanganan yang dilakukan dewasa ini masih belum dapat mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat peningkatan produksi sampah tersebut. Bau busuk, polusi udara, kontaminasi tanah dan timbulnya dioksin akibat pembakaran sampah masih menghantui masyarakat yang ada di sekitar lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di perkotaan. Keterbatasan lahan, sumberdaya manusia serta paket teknologi sering menjadi pembatas dalam penanganan limbah-limbah tersebut. Namun demikian, dengan komposisi limbah yang sebagian besar merupakan bahan organik, sebenarnya limbah RPH, kotoran ternak maupun sampah kota tersebut dapat diolah menjadi pupuk organik (kompos). Dengan sentuhan teknologi tepat guna yang tidak terlalu rumit telah banyak dikembangkan beragam cara untuk mengelola limbah menjadi pupuk organik (kompos). Dalam rangka mempercepat proses dekomposisi bahan baku kompos terkadang digunakan mikroba starter atau ada pula yang menyebutnya bioaktivator. Saat ini terdapat beragam produk mikroba starter yang telah banyak digunakan dalam mempercepat proses pengomposan, baik secara aerobik maupun yang anaerobik. Nama-nama seperti EM-4®, Starbio®, Starbio-plus®, Stardec®, Orgadec®, BioH®, Biosugih® adalah beberapa contoh bahan berisi beragam mikroba yang dapat mempercepat proses dekomposisi (pengomposan). Namun, di antara berbagai bioaktivator tersebut, stardec relatif lebih banyak mengandung mikroba baik dari aspek jumlah maupun jenisnya. Bentuknya yang berupa serbuk juga lebih mudah diaplikasikan dan lebih tahan lama dalam menyangga mikroba yang terkandung di dalamnya. Tetapi, informasi tentang kualitas kompos yang dibuat dengan bahan baku yang berbeda dan bantuan mikroba starter saat ini masih kurang tersedia, khususnya untuk wilayah Kalimantan Timur. Adanya informasi yang memadai diharapkan dapat menjadi rujukan dalam kegiatan pengomposan dalam rangka untuk mengatasi persoalan limbah di lingkungan perkotaan sekaligus memasok kebutuhan pupuk organik (kompos), baik mengenai teknologi pengomposan yang akan digunakan maupun kualitas kompos yang akan dihasilkan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui daya guna (efektivitas) penggunaan stardec dalam mempersingkat waktu pengomposan; mengetahui pengaruh jenis bahan baku dan takaran stardec terhadap kualitas kompos serta mengetahui jenis bahan baku kompos dan takaran stardec yang menghasilkan kualitas kompos terbaik. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran yang dapat menjadi rujukan dalam kegiatan pengomposan dalam rangka untuk mengatasi persoalan limbah di lingkungan perkotaan sekaligus memasok kebutuhan pupuk organik (kompos), baik untuk kegiatan penyediaan bibit pada rehabilitasi hutan, penghijauan, budi daya hortikultura maupun tanaman perkebunan di Kalimantan Timur umumnya dan di Kota Tarakan pada khususnya.
Pujianto dkk. (2008). Kualitas Kompos dari Berbagai Bahan
3
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di komplek Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Kota Tarakan dan dilanjutkan di Laboratorium Tanah Fakultas Kehutanan serta Laboratorium Tanah Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Universitas Mulawarman Samarinda. Penelitian di lapangan dan laboratorium memakan waktu selama 5 bulan. Penelitian ini dirancang secara faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 9 kombinasi perlakuan yang masing-masing diulang 3 kali. Dalam setiap ulangan, masing-masing perlakuan diletakkan secara acak menyeluruh. Faktor-faktornya adalah sebagai berikut: Faktor jenis bahan baku terdiri atas tiga taraf, yaitu: B0 = Limbah rumah potong hewan sapi (limbah RPH) berupa kotoran sapi, isi rumen sapi dan kencing sapi. B1 = Limbah peternakan ayam berupa kotoran ayam B2 = Sampah kota berupa sampah organik Faktor dosis stardec terdiri atas tiga taraf, yaitu: S0 = Kontrol (tanpa stardec) S1 = Stardec dengan dosis 0,5% S2 = Stardec dengan dosis 1% Dengan demikian diperoleh 9 kombinasi perlakuan sebagai berikut: B0S0 = Limbah RPH tanpa stardec B0S1 = limbah RPH dan stardec dosis 0,5% B0S2 = Limbah RPH dan stardec dosis 1% B1S0 = Kotoran ayam tanpa stardec B1S1 = Kotoran ayam dan stardec dosis 0,5% B1S2 = Kotoran ayam dan stardec dosis 1%. B2S0 = Sampah kota tanpa stardec B2S1 = Sampah kota dan stardec dosis 0,5%. B2S2 = Sampah kota dan stardec dosis 1% Dalam penelitian ini, yang merupakan peubah bebas adalah macam bahan baku kompos dan dosis stardec, sedangkan peubah tergantungnya adalah kualitas kompos yang diamati melalui beberapa peubah sebagai berikut: kandungan hara makro (N, P, K dan Ca), kandungan C organik, kandungan bahan organik, nisbah C/N, pH, kapasitas pemegangan air (water holding capacity) dan kadar air/kelembapan kompos. Selain itu juga dilakukan pengamatan dan pengukuran terhadap kecepatan masa pengomposan (hari), persentase kompos jadi setelah masa pengomposan dan suhu di masa awal pengomposan (dua minggu pertama) dan di akhir pengomposan. Bahan baku kompos yang terdiri dari tiga macam disiapkan di lokasi pengomposan. Limbah RPH dan kotoran ayam langsung dikenakan perlakuan, tetapi untuk sampah kota terlebih dahulu dilakukan sortasi untuk memilah sampah organik dan anorganik. Hanya sampah organik saja yang dikomposkan setelah merajangnya menjadi potongan kecil-kecil dengan alat perajang (parang). Stardec dengan dosis 0,5% dan 1% dari berat bahan baku kompos (25 kg) ditimbang dan disiapkan terlebih dulu, jadi masing-masing 125 g dan 250 g. Pada awal pengomposan, kelembapan diatur agar lebih dari 50% yaitu dengan cara
4
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (1), APRIL 2008
melakukan penyiraman dengan air. Stardec dicampur dengan air hingga menjadi larutan. Bahan baku kompos yang telah disiapkan dicampur dengan larutan stardec sesuai perlakuan yang diberikan, yaitu tanpa stardec, dengan stardec 0,5% dan stardec 1% dengan cara memercikkan larutan stardec sedikit demi sedikit hingga merata dan membolak-balikkan bahan kompos. Campuran bahan baku kompos dan stardec tersebut di atas dikomposkan selama paling lama 8 minggu di lokasi pengomposan. Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam masa pengomposan adalah kegiatan pembalikan kompos untuk menjaga suhu serta penambahan air bila diperlukan untuk menjaga kelembapan. Pembalikan kompos dilakukan paling lama setiap minggu sekali (sesuai dengan rentang peningkatan suhu yang didapatkan dari pengamatan dinamika suhu selama minggu pertama masa pengomposan) dengan menggunakan cangkul dan garu. Pemanenan kompos dilakukan bilamana kompos telah matang. Tanda-tanda kompos yang telah matang/jadi secara fisik di antaranya adalah warnanya telah berubah kehitaman/coklat tua, tidak lagi berbau busuk (bau sudah seperti tanah), suhu telah stabil sebagaimana suhu kamar (<40oC), struktur remah serta jika dilarutkan ke dalam air, maka kompos yang telah matang tidak akan larut (Djuarnani dkk., 2005; Simamora dan Salundik, 2006). Selanjutnya kompos diayak untuk kemudian ditimbang dan diamati kualitasnya. Masa panen tidak harus sampai masa pengomposan 8 minggu usai, tetapi dilakukan bila suhu dan materi yang terbentuk telah stabil. Jadi masing-masing perlakuan bisa tidak sama dan ini merupakan salah satu parameter yang diamati. Pada akhir minggu kedelapan seluruh perlakuan dipanen, baik yang sudah terdekomposisi sebagian maupun seluruhnya. Selama masa pengomposan, dilakukan pengamatan dan pengukuran terhadap beberapa peubah sebagai berikut: a. Suhu, diukur dengan thermometer bertangkai (menyatu dengan pH meter). Pengamatan terhadap suhu pada minggu pertama dilakukan setiap hari guna mengetahui dinamika peningkatan suhu pada awal pengomposan yang sangat berguna dalam menentukan waktu pembalikan. Selain itu suhu kompos juga diamati setelah kompos telah matang (pada akhir masa pengomposan). b. Kelembapan (moisture content), diukur menggunakan hygrometer yang menyatu dengan soil tester. Dilakukan selama pengomposan dengan interval setiap minggu. Hal ini dilakukan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan penyiraman. Untuk mengetahui efektivitas penggunaan stardec dilakukan pengamatan terhadap kecepatan masa pengomposan yang diketahui dari lamanya waktu yang dibutuhkan untuk dekomposisi bahan baku kompos menjadi kompos yang matang (hari). Kemudian pengamatan terhadap kualitas kompos yang sudah matang dan di akhir masa pengomposan dilakukan terhadap beberapa peubah sebagai berikut: a. Kandungan hara makro (N, P, K dan Ca). N dianalisis dengan metode Kjeldahl. Phosfor (%P2O5) dengan metode Bray I. Kalium (%K2O) dengan metode Bray I. Kalsium (%CaO) dengan metode Dekstruksi Basah (AAS).
Pujianto dkk. (2008). Kualitas Kompos dari Berbagai Bahan
b. c. d. e. f.
5
Kandungan C organik dengan metode Walkley dan Black. Kandungan bahan organik dengan metode hitungan. Nisbah C/N dengan metode hitungan. pH (H2O) dengan menggunakan pH meter. Kapasitas Pemegangan Air dan Kadar Air kompos dengan penimbangan.
Untuk mengetahui efektivitas penggunaan stardec, maka dihitung dari kecepatan masa pengomposan masing-masing perlakuan. Untuk mengetahui kombinasi perlakuan jenis bahan baku dan dosis stardec yang menghasilkan kompos dengan kualitas terbaik digunakan analisis komparasi, yaitu membandingkan kualitas kompos dengan tabel standar kualitas kompos yang dibuat dengan berpedoman pada SNI dan mempertimbangkan lama pengomposan (waktu pengomposan yang diperlukan). Standar kualitas yang digunakan tertuang pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Standar Kualitas Kompos Berdasarkan SNI 19-7030-2004 Uraian parameter Kadar air (%) Kemampuan ikat air (%) Suhu (oC) pH (H2O) BO (%) C Organik (%) Nisbah C/N Nitrogen (%) Posfor (%) Kalium (%) Kalsium (%)
Standar kualitas kompos < 50 > 58 30 – 32 6,80 – 7,49 27 – 58 9,8 – 32 10 – 20 > 0,4 > 0,1 > 0,2 > 25,5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Analisis Bahan Baku Kompos Sebelum melakukan analisis kompos, terlebih dahulu dilakukan analisis bahan baku untuk mengetahui kandungan hara makro, kadar air, kadar bahan organik dan persentase C organik dari setiap bahan baku kompos yang terdiri dari limbah rumah potong hewan, limbah peternakan ayam dan sampah kota. Kandungan beberapa parameter bahan baku kompos tersebut disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan Beberapa Parameter Utama Berbagai Bahan Baku Kompos Bahan baku Limbah RPH Kotoran ayam Sampah kota
N total (%) 0,82 1,22 0,33
Kadar air (%) 60 30 45
Kadar BO (%) 38,22 47,31 28,84
C Organik (%) 22,17 27,44 16,73
Fosfor (%) 0,94 1,06 0,88
Kalium (%) 9,12 12,52 8,15
Dari hasil pengamatan awal terhadap bahan baku kompos terlihat bahwa kandungan unsur hara yang ada dalam bahan baku bervariasi, baik meliputi kandungan bahan organik, C-organik, Nitrogen, Fosfor (P2O5) maupun Kalium
6
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (1), APRIL 2008
(K2O). Masing-masing bahan baku juga memiliki kadar air yang bervariasi dengan rentang 30 sampai 60%. Hasil Analisis Kompos Suhu kompos. Rataan suhu kompos dari setiap perlakuan yang dicobakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. 35
30.07 29.97
31.43
31.9
30.7
30.9
32.27 30.57 31.53
Suhu kompos ( oC)
30 25 20 15 10 5 0 B0S0 BOS1 B0S2 B1S0 B1S1 B1S2 B2S0 B2S1 B2S2
Bahan kompos
Gambar 1. Suhu Rataan Kompos di Akhir Masa Pengomposan pada Berbagai Perlakuan
Pada Gambar 1 terlihat, bahwa suhu ketika kompos dipanen pada setiap akhir masa pengomposan dari masing-masing perlakuan rataan berada pada kisaran 29,97–32,27oC dan umumnya antar perlakuan tidak tejadi perbedaan yang besar. Hal ini dikarenakan adanya kegiatan pembalikan dan penyiraman yang dilakukan yang berakibat pada stabilisasi suhu pada akhir pengomposan. Kelembapan kompos. Hasil pengukuran kelembapan kompos di akhir masa pengomposan dapat dilihat pada Gambar 2.
Kelembapan kompos (%)
60
53.3
55 50
50 40
38.3
41.7
45 40
46.7
43.3
30 20 10 0 B0S0 BOS1 B0S2 B1S0 B1S1 B1S2 B2S0 B2S1 B2S2 Bahan kompos
Gambar 2. Grafik Rataan Kelembapan Kompos pada Berbagai Perlakuan
Pujianto dkk. (2008). Kualitas Kompos dari Berbagai Bahan
7
Kadar air merupakan faktor penting yang harus diperhatikan guna menjamin berlangsungnya dekomposisi bahan organik menjadi kompos. Kadar air yang ideal untuk proses awal adalah sekitar 50–60%. Mengenai arti penting kadar air/kelembapan, Simamora dan Salundik (2006) menyebutkan, bahwa kelembapan optimum untuk proses pengomposan adalah 50–60%. Hal serupa juga dikemukakan oleh Djuarnani dkk. (2005), namun menurutnya kelembapan terbaik untuk proses pengomposan adalah 50%. Kadar air berkaitan langsung dengan ketersediaan oksigen yang diperlukan bagi aktivitas mikroorganisme aerobik. Bila kadar air berada pada kisaran 40–60%, maka mikroorganisme pengurai akan bekerja optimal dan dekomposisi berjalan cepat. Kecepatan masa pengomposan. Untuk mengetahui efektivitas penggunaan bioaktivator (mikroba aktivator) dilakukan pengamatan terhadap kecepatan masa pengomposan yang diketahui dari lamanya bahan baku kompos berubah menjadi kompos dan siap dipanen. Kecepatan masa pengomposan dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 3. 60
53.3
55 50
Waktu (hari)
50 38.3
40
41.7
40
B1S1
B1S2
45
46.7
B2S0
B2S1
43.3
30 20 10 0 B0S0
BOS1
B0S2
B1S0
B2S2
Bahan kompos Gambar 3. Grafik Kecepatan Masa Pengomposan pada Berbagai Perlakuan
Dari Gambar 3 tersebut diketahui bahwa kompos dengan bahan baku kotoran ayam ditambah stardec 1% (B1S2) memiliki waktu pengomposan paling singkat yaitu 26 hari setelah awal pengomposan. Sementara yang paling lama adalah kompos dengan bahan baku limbah RPH dan kompos berbahan baku sampah kota tanpa stardec (B0S0 dan B2S0), yaitu 56 hari. Kompos yang dihasilkan dari perlakuan ini sebenarnya belum terdekomposisi secara keseluruhan, dengan kata lain hingga minggu kedelapan dari awal pengomposan, kompos berbahan baku limbah RPH dan sampah kota masih belum matang seluruhnya, namun karena waktu pengomposan dalam penelitian ini dibatasi hingga minggu kedelapan, maka pada akhir minggu kedelapan juga dipanen. Kotoran ayam pada dasarnya merupakan bahan baku pupuk yang tergolong pupuk panas. Artinya, bila situasi, suhu dan kelembapan memadai, proses dekomposisi segera terjadi dan cepat menghasilkan panas. Pada awal pengomposan suhu dapat mencapai 60–70oC. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Novizan (2007).
8
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (1), APRIL 2008
Dalam dunia pupuk kandang (kompos dari kotoran hewan) dikenal istilah pupuk panas dan pupuk dingin. Pupuk panas adalah pupuk kandang yang proses penguraiannya berlangsung cepat, sehingga terbentuk panas, misalnya pupuk kandang dari kuda, kambing, domba dan ayam. Pada pupuk dingin terjadi sebaliknya, nisbah C/N yang tinggi menyebabkan pupuk kandang terurai lebih lama dan tidak menimbulkan panas, misalnya pada sapi, kerbau dan babi. Karena pupuk yang berbahan baku kotoran ayam tergolong pupuk panas, maka proses dekomposisi berjalan relatif lebih cepat dibanding kompos dengan bahan baku limbah RPH dan sampah kota. Dapat diketahui pula bahwa perlakuan dosis stardec ternyata mampu mempersingkat waktu pengomposan, terlihat bahwa selisih waktu yang diperlukan untuk menghasilkan kompos pada masing-masing bahan baku dan dosis stardec relatif lama (8–14 hari). Hal ini diduga terjadi karena dengan dosis stardec yang lebih besar, maka jumlah populasi mikroba pengurai (decomposer) yang terlibat dalam perombakan bahan baku kompos menjadi lebih banyak, sehingga mempersingkat waktu pengomposan. Dalam stardec sebagaimana diketahui terdapat sekitar 8 golongan mikroba, yaitu dari golongan pengurai lignin, pengurai selulosa, pengurai sulfur, pengurai posfat, pengurai protein, pengurai amilum, pengurai lemak (lipolitik) serta mikroba memfiksasi nitrogen bebas non simbiotik. Semakin besar populasi mikroba yang ditambahkan, maka akan semakin mempersingkat waktu dekomposisi bahan baku kompos. Peranan stardec dalam rangka mempersingkat waktu pengomposan juga telah dilaporkan oleh Indriyani (2005), yang menurutnya dengan menggunakan stardec, pengomposan dapat dipersingkat menjadi 5–6 minggu. Kualitas kompos. Selain dilihat dari aspek fisik yang meliputi warna, bau, struktur yang remah serta suhu yang telah stabil sebagaimana suhu kamar (<40oC), dalam penelitian ini kualitas kompos lebih didasarkan pada standar kualitas dari aspek kandungan hara makro, kadar bahan organik serta KPA kompos dan lain-lain sebagaimana tertuang pada tabel komparasi standar kualitas kompos yang telah dibuat. Dari segi fisik, secara keseluruhan kompos yang dihasilkan dapat dikatakan telah matang dan siap digunakan, kecuali kompos dari limbah RPH dan sampah kota tanpa penggunaan stardec. Kompos yang dihasilkan dari perlakuan tanpa stardec dari segi warna masih agak hijau kecoklatan (limbah RPH), sedangkan untuk yang berbahan baku sampah meskipun telah berwarna kecoklatan namun masih agak berbau. Hal ini disebabkan karena belum tuntasnya dekomposisi bahan yang dikomposkan karena mikroba yang terlibat dalam dekomposisi bahan organik kurang mencukupi. Lain halnya dengan kompos yang berbahan baku kotoran ayam, meskipun tanpa stardec, telah matang karena kotoran ayam tergolong pupuk panas yang relatif mudah terdekomposisi. Menurut Novizan (2007), kotoran ayam pada dasarnya merupakan bahan baku pupuk yang tergolong pupuk panas. Artinya bila situasi, suhu dan kelembapan memadai, proses dekomposisi segera terjadi dan cepat menghasilkan panas sehingga akan lebih cepat terdekomposisi.
Pujianto dkk. (2008). Kualitas Kompos dari Berbagai Bahan
9
Kualitas kompos dari aspek kandungan hara makro (N, P, K dan Ca). Kualitas kompos dari aspek kandungan Nitrogen (N) ditentukan dengan membandingkan hasil analisis dengan standar minimal sebesar 0,4%. Kandungan N tertinggi dicapai pada kompos hasil kombinasi bahan baku kotoran ayam dan tanpa stardec, yaitu sebesar 1,73%, sedangkan yang terendah adalah kompos hasil kombinasi limbah RPH dan stardec 0,5%, yaitu sebesar 0,73%. Diketahui pula bahwa kandungan N seluruh kompos yang dihasilkan, baik dari bahan baku limbah RPH, kotoran ayam maupun sampah kota secara keseluruhan telah memenuhi standar yaitu berkisar antara 0,73–1,07%. Kualitas kompos dari aspek kandungan Posfor (%P2O5) ditentukan dengan membandingkan hasil analisis dengan standar minimal sebesar 0,1%. Kandungan Phosfor tertinggi dicapai pada kompos hasil kombinasi kotoran ayam dan tanpa stardec, yaitu sebesar 0,7%, sedangkan yang terendah adalah kompos hasil kombinasi sampah kota dan stardec 1%, yaitu sebesar 0,31%. Dari aspek kandungan Kalium (K), kualitas kompos ditentukan dengan membandingkan hasil analisis dengan standar minimal sebesar 0,2%. Kandungan K tertinggi dicapai pada kompos hasil kombinasi kotoran ayam dan stardec 0,5%, yaitu sebesar 1,42%, sedangkan yang terendah adalah kompos hasil kombinasi limbah RPH dan stardec 1%. Secara keseluruhan, kandungan K kompos yang dihasilkan berada di atas standar minimal yang ditetapkan, yaitu berada pada kisaran 0,77– 1,42%. Kualitas kompos dari aspek kandungan Kalsium (Ca) ditentukan dengan membandingkan hasil analisis dengan standar minimal sebesar 25,5%. Kandungan Ca tertinggi dicapai pada kompos hasil kombinasi kotoran ayam dan tanpa stardec, yaitu sebesar 1,27%, sedangkan yang terendah adalah kompos hasil kombinasi limbah RPH dan tanpa stardec, yaitu sebesar 0,39%. Selain itu diketahui pula bahwa kandungan Ca kompos yang dihasilkan secarra keseluruhan masih di bawah standar yang ada, yaitu pada kisaran 0,30–1,27%, sementara standarnya adalah 25,5%. Dari aspek kandungan hara makro sebagaimana tersebut di atas, sebagian besar kandungan hara tertinggi terdapat dalam kompos dengan perlakuan tanpa stardec. Namun demikian, perlu diingat bahwa tanpa stardec, dari batas waktu pengomposan selama 8 minggu pada penelitian ini, umumnya kompos memerlukan waktu dekomposisi yang lebih lama, yaitu berselisih 12–14 hari untuk kompos berbahan baku kotoran ayam dan sampah kota serta berselisih 8–12 hari untuk kompos berbahan baku limbah RPH jika dibandingkan dengan perlakuan menggunakan stardec. Jadi dari sisi efektivitas dan efisiensi cenderung lebih direkomendasikan dekomposisi dengan menggunakan stardec. Kadar hara yang lebih rendah pada kompos dengan penambahan stardec dimungkinkan terjadi akibat adanya immobilisasi unsur hara oleh mikroba yang terlibat dalam dekomposisi maupun adanya hara yang mengalami volatilisasi saat proses pengomposan mencapai suhu yang tinggi. Kualitas kompos dari aspek kadar bahan organik (BO), C-organik dan nisbah C/N. Kualitas kompos dari aspek kadar BO, C-organik dan nisbah C/N kompos
10
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (1), APRIL 2008
yang dihasilkan dari perlakuan jenis bahan baku dan dosis stardec selanjutnya dibandingkan dengan standar yang ada. Kualitas kompos dari aspek kadar BO ditentukan dengan membandingkan hasil analisis dengan standar kualitas yang berkisar antara 2758%. Kadar BO tertinggi terdapat pada kompos hasil kombinasi kotoran ayam dan tanpa stardec, yaitu sebesar 27,55%, sedangkan yang terendah adalah kompos hasil kombinasi sampah kota dengan stardec 0,5%, yaitu sebesar 17,36%. Kualitas kompos dari aspek kadar C-organik ditetapkan dengan membandingkan hasil analisis dengan standar kualitas yang berkisar antara 9,832%. Kadar C-organik tertinggi terdapat pada kompos hasil kombinasi kotoran ayam dan tanpa stardec, yaitu sebesar 15,98%, sedangkan yang terendah adalah kompos hasil kombinasi sampah kota dengan stardec 0,5%, yaitu sebesar 10,07%. Secara keseluruhan kompos yang dihasilkan telah memenuhi standar kualitas yang ada. Kualitas kompos dari aspek nisbah C/N ditentukan dengan membandingkan hasil analisis dengan standar kualitas yang berkisar antara 1020. Nisbah C/N tertinggi terdapat pada kompos hasil kombinasi limbah RPH dan tanpa stardec, yaitu sebesar 19,67, sedangkan yang terendah adalah kompos hasil kombinasi sampah kota dengan stardec 1%, yaitu sebesar 9,8. Bila dibandingkan dengan nisbah C/N awal dari masing-masing bahan baku, yang mana sampah kota (limbah pasar) mempunyai nilai paling tinggi, yaitu sebesar 50,7, disusul limbah RPH sebesar 27, kemudian yang terendah kotoran ayam yaitu sebesar 22,5, maka terlihat bahwa proses dekomposisi bahan kompos telah menurunkan nisbah C/N masing-masing bahan. Hal ini karena dalam aktivitas perombakan bahan kompos terjadi mineralisasi bahan organik, sehingga dengan sendirinya akan menurunkan nisbah C/N. Sejalan dengan hasil di atas, Simamora dan Salundik (2006) menyatakan bahwa umumnya nisbah C/N dari kotoran ternak lebih rendah dibanding nisbah C/N dari bahan sisa tumbuhan. Selain itu, dinyatakan pula bahwa selama proses dekomposisi, laju kehilangan C lebih besar dibanding kehilangan N, sehingga pada akhirnya akan diperoleh nisbah C/N yang lebih rendah dari nilai semula. Kualitas kompos dari aspek suhu, pH, kadar air dan kapasitas pemegangan air (KPA) kompos. Kualitas kompos dari aspek suhu, pH, kadar air dan KPA kompos juga ditentukan dengan membandingkan hasil analisis dengan standar kualitas yang ada. Suhu kompos pada saat dipanen berkisar antara 29,97–32,27oC, secara keseluruhan suhu kompos yang dihasilkan, kualitasnya telah memenuhi standar karena suhu tersebut masih identik dengan suhu kamar di lokasi penelitian, yaitu antara 30–32oC. Dari aspek pH secara keseluruhan kompos yang dihasilkan memiliki pH sesuai standar kualitas yang ada, yaitu pada kisaran antara 6,87–7,5, sementara standarnya adalah 6,8–7,49.
Pujianto dkk. (2008). Kualitas Kompos dari Berbagai Bahan
11
Kadar air kompos secara keseluruhan juga masih dalam batas sesuai standar, kecuali untuk kompos dari limbah RPH tanpa stardec dan dengan stardec 1%. Hal ini disebabkan adanya upaya pengaturan kelembapan kompos selama proses pengomposan, yaitu bila diperlukan dilakukan penyiraman sehingga kelembapan kompos dipertahankan pada kisaran 50%. Kompos hasil perlakuan bahan baku kotoran ayam dan tanpa stardec memiliki kadar air terendah sebesar 38,33% karena terjadinya penguapan yang mengurangi kadar air pada bahan tersebut. Di samping itu, kualitas kompos dari aspek kemampuan pemegangan air (KPA), kompos yang dihasilkan dari semua perlakuan memiliki KPA yang sangat tinggi dan memenuhi standar minimal, yaitu berada pada kisaran 225,68–335,32%. Untuk mendapatkan gambaran tentang kualitas kompos yang dihasilkan dari setiap kombinasi perlakuan dari penelitian ini, dilakukan analisis komparasi secara menyeluruh dari standar kualitas yang ada. Rekapitulasi kualitas kompos dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rekapitulasi Kualitas Kompos dengan Berbagai Jenis Bahan Baku dan Dosis Stardec Perlakuan
KA (%) B0S0 53,33 B0S1 50,00 B0S2 55,00 B1S0 38,33 B1S1 41,67 B1S2 40,00 B2S0 45,00 B2S1 46,67 B2S2 43,33 SKK (SNI) <50
KPA Suhu pH BO o (%) C (%) (%) 283,75 30,07 6,96 26,83 325,69 29,97 7,15 24,48 325,99 31,43 7,21 20,22 267,32 31,90 7,43 27,55 225,68 30,70 7,50 24,76 234,67 30,90 7,47 25,57 268,41 30,57 7,03 17,91 299,87 31,53 7,00 17,36 335,32 32,27 6,87 18,14 >58 30,5–32 6,8–7,49 27–58
Parameter C-org (%) 15,56 14,20 11,73 15,98 14,36 14,83 10,39 10,07 10,52 9,8–32
C/N (%) 19,67 18,67 15,40 10,23 11,20 10,57 12,33 10,43 9,80 10–20
N P2O5 (%) (%) 0,79 0,52 0,73 0,52 0,76 0,55 1,73 0,70 1,28 0,65 1,41 0,42 0,84 0,35 0,96 0,36 1,07 0,31 >0,4 >0,1
LP JPS K2O CaO (hari) (%) (%) 0,84 0,39 56 8 0,77 0,59 48 8 0,77 0,58 42 8 1,39 1,27 40 10 1,42 1,04 28 9 1,36 0,94 26 9 0,92 1,01 56 9 0,90 0,83 42 9 0,90 0,75 40 8 >0,2 >25,5
Keterangan: KA = kadar air. C-org = C-organik. LP = lama pengomposan. JPS = jumlah parameter yang memenuhi standar. SNI = standar nasional Indonesia. SKK = standar kualitas kompos. Angka yang ditulis miring adalah yang memenuhi standar.
Dengan mempertimbangkan jumlah parameter kualitas kompos yang memenuhi standar serta lamanya proses yang berlangsung terlihat bahwa kompos dengan perlakuan bahan baku kotoran ayam dan stardec 1% (B1S2) merupakan kompos dengan kualitas terbaik pertama, yang mana parameter kualitas kompos yang memenuhi standar terdiri dari 9 dari 11 parameter yang ada dan waktu pengomposan berlangsung selama 26 hari. Peringkat kedua adalah kompos dengan perlakuan bahan baku kotoran ayam dan stardec 0,5% (B1S1), yaitu memiliki 9 dari 11 parameter yang ada, memenuhi standar dan waktu pengomposan selama 28 hari, sedangkan peringkat ketiga adalah kompos hasil kombinasi sampah kota dan stardec 0,5% (B2S1), yang mana parameter yang memenuhi standar juga sebanyak 9 dari 11 parameter yang ada namun waktu pengomposan selama 42 hari. Selanjutnya kompos hasil perlakuan bahan baku limbah RPH dan stardec 1% (B0S2) memiliki 8 parameter yang memenuhi standar dan membutuhkan waktu pengomposan selama 42 hari.
12
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (1), APRIL 2008
Dari Tabel 3 tersebut, selain dapat ditentukan kompos dengan kualitas terbaik, dapat diketahui pula beberapa kekurangan dari masing-masing kompos pada perlakuan berbagai bahan baku dan dosis stardec. Dalam hal ini, yang akan dikemukakan kekurangan-kekurangannya adalah kompos hasil kombinasi perlakuan yang tergolong baik (tiga terbaik), yaitu kompos dari kotoran ayam dan stardec 1% (B1S2), kotoran ayam dan stardec 0,5% (B1S1) dan kompos dari sampah kota dan stardec 0,5% (B2S1). Dengan membahas kekurangan-kekurangannya, maka dapat dicari upaya-upaya dalam rangka perbaikan dan peningkatan kualitas kompos tersebut. Pada kompos yang dihasilkan, baik dengan perlakuan B1S2, B1S1 maupun perlakuan B2S1, 9 parameter yang memenuhi standar berturut-turut adalah kadar air, KPA, suhu, pH, kadar C-organik, nisbah C/N, kadar N, kadar phosfor dan kadar kalium. Sementara parameter yang masih di bawah standar adalah kadar bahan organik dan kadar kalsium. Kurangnya kadar bahan organik ini diduga karena telah dimanfaatkan oleh mikroba perombak dalam metabolismenya, sedangkan kadar kalsium yang rendah diduga akibat rendahnya kalsium pada bahan baku. Jika diperhatikan lebih lanjut, seluruh kompos (hasil perlakuan B1S2, B1S1, maupun B2S1) tersebut, dari 11 parameter kualitas memiliki 9 parameter yang telah memenuhi standar, namun yang membedakan di antaranya adalah selisih waktu yang diperlukan untuk pengomposan. Dengan menggunakan stardec, kompos berbahan baku kotoran ayam hanya memerlukan waktu 26–28 hari, sedangkan kompos yang berbahan baku sampah kota (organik) memerlukan waktu 42 hari. Secara keseluruhan semua kompos yang dihasilkan memiliki kadar kalsium jauh di bawah standar. Dari standar sebesar 25,5%, kisaran kadar kalsium kompos setiap perlakuan hanya antara 0,39–1,27%. Khusus dalam hal hara makro, kompos dari kotoran ayam dan sampah kota umumnya lebih tinggi dibanding yang dari limbah RPH, kecuali untuk kadar phosfor, yang berbahan baku limbah RPH lebih tinggi dibanding yang berbahan baku sampah kota. Selain kadar kalsium, parameter lain yang dimiliki setiap kompos yang masih di bawah standar adalah kadar bahan organik, kecuali pada kompos dari kotoran ayam dan tanpa stardec. Kadar bahan organik pada perlakuan ini adalah sebesar 27,55%, sementara standarnya adalah 27–58%. Hal tersebut dimungkinkan mengingat tanpa tambahan stardec, jumlah populasi mikroba perombak yang terlibat dalam dekomposisi relatif lebih sedikit, sehingga bahan organik yang ada masih banyak. Namun, perlu diingat bahwa waktu yang diperlukan untuk pengomposan pada perlakuan ini relatif lama, yaitu 40 hari, selisih 12 hari dibanding yang menggunakan stardec. Salah satu hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah agar informasi yang diperoleh nantinya dapat menjadi bahan rujukan dalam mengatasi persoalan limbah di lingkungan perkotaan. Dalam hal ini, jika memperhatikan bobot persoalan potensial yang akan ditimbulkan dari tiga bahan baku limbah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu limbah RPH, limbah peternakan ayam dan limbah pasar (sampah kota), maka kecenderungannya adalah bahwa sampah kota lebih mendesak untuk diprioritaskan. Salah satunya adalah dengan mengolahnya menjadi kompos.
Pujianto dkk. (2008). Kualitas Kompos dari Berbagai Bahan
13
Sumberdaya sampah yang umumnya menjadi sumber masalah, sangat potensial untuk diolah dan dikelola, sehingga akan mampu memberikan nilai tambah, baik secara ekonomis maupun ekologis. Sebagaimana diketahui, dalam konteks Kota Tarakan saja, dengan jumlah penduduk 176.981 jiwa (Anonim, 2008), produksi sampah organik di Kota Tarakan saat ini adalah sekitar 83,8 ton per hari, sedangkan produksi limbah rumah potong hewan adalah sekitar 9 ton/bulan, selain itu dari kegiatan peternakan ayam, limbah yang dihasilkan jauh lebih sedikit, yaitu sekitar 4,3 ton/bulan. Perhitungan di atas berdasarkan asumsi bahwa per ekor sapi dewasa menghasilkan limbah sekitar 12% dari berat badannya (Simamora dan Salundik, 2006), per ekor ayam menghasilkan 0,05 kg kotoran (Setiawan, 2007) dan setiap orang menghasilkan sampah organik sekitar 0,5 kg per hari (Sofian, 2006). Jadi, dari segi ketersediaannya potensi pengelolaan limbah perkotaan berupa sampah organik adalah sangat besar. Penggunaan sampah kota juga tidak memerlukan biaya untuk pembelian bahan baku, lain halnya dengan limbah kotoran ayam yang saat ini per karung (15 kg) telah dijual senilai Rp.15.000,-. Meskipun secara kualitas lebih baik jika dibandingkan kompos yang dihasilkan dari kompos berbahan baku dari sampah, namun bahan bakunya relatif mahal, lagi pula dari aspek ketersediaannya jauh lebih sedikit dibanding sampah kota. Untuk menanggulangi limbah peternakan ayam, kegiatan pengomposan di areal peternakan tetap dianjurkan, tentunya dengan menggunakan bioaktivator untuk mempersingkat waktu pengomposan dan mengurangi dampak negatif yang akan ditimbulkan, baik pencemaran air, tanah maupun timbulnya bau tidak sedap. Jadi pembuatan kompos dengan bahan baku sampah kota, khususnya sampah organik, dipandang lebih strategis. Dengan melihat kekurangan-kekurangan dari kualitas kompos berbahan baku sampah kota (limbah pasar), perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengatasinya. Dengan demikian, selain dapat mengatasi masalah limbah di lingkungan perkotaan dapat pula dihasilkan kompos yang berkualitas. Sebagaimana diulas di atas, kompos berbahan baku sampah kota, dalam hal ini sampah organik, masih memiliki parameter kualitas di bawah standar dalam hal kadar bahan organik dan kadar kalsium. Untuk meningkatkannya, maka sebaiknya dalam pembuatan kompos perlu adanya penambahan bahan-bahan guna meningkatkan kadar bahan organik dan kadar kalsium. Beberapa bahan yang juga merupakan limbah yang dapat ditambahkan, sebagaimana direkomendasikan oleh Simamora dan Salundik (2006) adalah tepung tulang dan tepung kerabang telur, yaitu dalam rangka meningkatkan kadar kalsium. Penggunaan serbuk gergaji juga dianjurkan, karena di samping memiliki nisbah C/N yang tinggi (200–500), serbuk gergaji pada dasarnya merupakan limbah industri penggergajian kayu, sehingga dapat pula mengurangi persoalan limbah. Perlu diingat bahwa aspek ketersediaan bahan-bahan tersebut serta pengadaannya yang tidak terlalu sulit juga harus dipertimbangkan. Selain itu, konsep pengelolaan terpadu di sumber sampah (misalnya pasar) dengan memadukan kegiatan pengelolaan sampah, pembuatan kompos, budidaya ternak sapi dan hortikultura juga perlu dicoba, yang mana sampah organik sebagian
14
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (1), APRIL 2008
dijadikan sumber pakan ternak sapi tersebut dan kotoran ternak sapi (baik feses maupun urine) nantinya dapat dicampurkan juga untuk meningkatkan kualitas kompos yang berbahan baku sampah organik dari pasar tersebut. Pencampuran tersebut selain akan meningkatkan ketersediaan bahan organik juga akan meningkatkan kandungan hara kompos yang dihasilkan, karena menurut Setiawan (2007), kotoran sapi memiliki kandungan karbon yang lebih tinggi dan pada urinnya terdapat kandungan hara yang lebih besar, baik dalam hal kandungan Nitrogen, Posfor maupun Kalium. Dengan demikian upaya mengatasi permasalahaan limbah di perkotaan dan sekaligus menjamin pasokan pupuk organik, dalam hal ini kompos yang berkualitas, baik untuk reboisasi, budidaya pertanian dalam arti luas juga dapat terpenuhi dengan baik. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penggunaan stardec terbukti berdaya guna dalam mempersingkat waktu pengomposan, yang mana penggunaan stardec 0,5% sampai 1% pada bahan baku kotoran ayam dapat menghasilkan kompos setelah 26–28 hari, sedangkan untuk bahan baku sampah kota diperlukan waktu 40–42 hari. Masa pengomposan tersebut jauh lebih singkat jika dibandingkan proses pengomposan konvesional. Jenis bahan baku mempengaruhi kualitas kompos secara keseluruhan, sedangkan dosis stardec lebih banyak mempengaruhi kualitas kompos dari aspek bahan organik (C-organik, bahan organik dan nisbah C/N). Kompos dengan kualitas paling baik dihasilkan dari perlakuan bahan baku kotoran ayam dan stardec 1% (B1S2), diikuti masing-masing oleh kompos dari perlakuan bahan baku kotoran ayam dan stardec 0,5% (B1S1), kompos hasil perlakuan bahan baku sampah kota dan stardec 0,5% (B2S1) serta kompos hasil perlakuan bahan baku limbah RPH dan stardec 1% (B0S2). Penggunaan bahan baku kompos dari sampah kota (limbah pasar) dipandang lebih strategis dalam membantu mengatasi persoalan limbah di perkotaan Saran Dalam rangka mempersingkat kegiatan pengomposan untuk membantu mengatasi permasalahan limbah di perkotaan sangat dianjurkan untuk menggunakan bioaktivator stardec dengan dosis 0,5%. Penambahan bahan-bahan yang memiliki nisbah C/N tinggi dalam rangka memasok bahan organik dan unsur kalsium seperti dari kotoran ternak sapi, serbuk gergaji dan tepung tulang maupun tepung kerabang telur sebaiknya dilakukan untuk melengkapi kandungan hara yang kurang memenuhi standar kualitas kompos sekaligus tetap membantu mendayagunakan limbah yang ada.
Pujianto dkk. (2008). Kualitas Kompos dari Berbagai Bahan
15
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2008. Daftar Isian Non Fisik Adipura Kota Tarakan Tahun 2007–2008. Pemerintah Kota Tarakan, Tarakan. 12 h. Djuarnani, N.; Kristian dan B.S. Setiawan. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. Agromedia Pustaka, Jakarta. 74 h. Indriyani, Y.H. 2005. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya, Jakarta. 62 h. Novizan. 2007. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Agromedia Pustaka, Jakarta. 130 h. Setiawan, A.I. 2007. Memanfaatkan Kotoran Ternak, Solusi Masalah Lingkungan dan Pemanfaatan Energi Alternatif. Seri Agrotekno. Penebar Swadaya, Jakarta. 83 h. Simamora, S. dan Salundik. 2006. Meningkatkan Kualitas Kompos. Agromedia Pustaka, Jakarta. 64 h. Sofian. 2006. Sukses Membuat Kompos dan Sampah. Agromedia Pustaka, Jakarta. 52 h.