KUALITAS FISIK-BIOLOGIS UDARA RUANG ICU RUMAH SAKIT STUDI KASUS: RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN M. Syafaat Nur, Setyo S. Moersidik, dan El Khobar M. Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kualitas udara di ruang ICU perlu diperhatikan karena kerentanan pasien akan penyakit dan menghindarinya dari infeksi nosokomial. Beberapa indikator dari pencemar udara dalam ruang adalah konsentrasi bakteri dan konsentrasi jamur. Pengambilan sampel bakteri dan jamur di udara menggunakan alat EMS serta media kultur TSA untuk bakteri dan media kultur PDA untuk jamur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi bakteri dan jamur berdasarkan besarnya intensitas cahaya, kelembaban, dan temperatur. Intensitas cahaya, kelembaban, dan temperatur terhadap konsentrasi bakteri memiliki korelasi Spearman Rank sebesar -0,043; 0,033; -0,194 dan korelasi analisi regresi linear sebesar -0,115; 0,017; -0,168. Intensitas cahaya, kelembaban, dan temperatur terhadap konsentrasi jamur memiliki korelasi Spearman Rank sebesar -0.231; 0,062; -0,095 dan korelasi analisi regresi linear sebesar -0,265; 0,072; -0,192.
PHYSICAL-BIOLOGICAL QUALITY OF AIR IN ICU ROOM AT HOSPITAL CASE STUDI: TARAKAN REGIONAL PUBLIC HOSPITAL ABSTRACT Air quality in ICU Room need to be considered as susceptibility to disease and avoid nosocomial infection. Some indicators of indoor air pollutants are bacteria and fungi. Using EMS and TSA as a media culture for bacteria and PDA as a media culture for fungi. In this study, the concentrations of bacteria and fungi were analyzed based on intensity of ray, humidity, and temperature. Intensity of ray, humidity, and temperature in the room have a relationship with the concentration of bacteria with the Spearman Rank correlation coefficient of 0.043; 0.033; -0.194 and with linear regretion analysis correlation coefficient of -0.115; 0.017; -0.168. Intensity of ray, humidity, and temperature in the room have a relationship with the concentration of fungi with the Spearman Rank correlation coefficient of -0.231; 0.062; -0.095 and with linear regretion analysis correlation coefficient of -0.265; 0.072; -0.192. Keyword: Indoor air quality, microbe, ICU
Pendahuluan Secara alamiah, faktor fisik-biologis berada di ruangan mana pun termasuk di rumah sakit, namun jika faktor-faktor ini melebihi ambang batas yang semestinya maka dapat mengganggu kesehatan manusia dan mencemari rumah sakit. Kontaminasi biologis dari pencemar udara indoor ini kebanyakan disebabkan oleh bakteri, jamur, dan ragi (Aboul-Nasr, Abdel-Naser, dan Enas. 2012). Beberapa spesies bakteri juga dapat menghasilkan zat racun bagi makhluk di sekitarnya (Dwidjoseputro, 2010). Lingkungan indoor dapat berpotensi
Kualitas fisik …, M Syafaat Nur, FT UI, 2014
resiko lebih besar di luar ruangan dikarenakan ruangan yang tertutup dapat menahan aerosol dan mengakumulasikan bahan pencemar hingga menaikkan dosis infeksinya (Jaffal, Nsanze, Bener, Ameen, Banat, El Moghet,1997). Kualitas udara ruang rumah sakit yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan dapat menimbulkan gangguan kesehatan terhadap pasien, tenaga kerja di rumah sakit, para dokter, serta para pengunjung. Oleh karena itu, untuk mewujudkan rumah sakit yang aman, nyaman, dan sehat, perlu dilakukan pemantauan dan evaluasi kualitas udara. Pemantauan dan evaluasi kualitas udara yang dilakukan berupa pengukuran kadar kualitas fisik-biologis udara serta pengaruh kondisi fisik terhadap faktor biologis dan apakah faktor-faktor tersebut telah melebihi ambang batas atau tidak. Adapun rumah sakit yang menjadi lokasi dalam studi kasus penelitian ini adalah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan di Jakarta Pusat dan kualitas udara yang akan diteliti adalah udara di ruang ICU RSUD Tarakan. Tinjauan Teoritis Aktivitas mikroba dipengaruhi oleh faktor lingkungannya. Faktor lingkungan meliputi faktor-faktor abiotik (fisika dan kimia) dan faktor biotik. 1. Suhu Kecepatan pertumbuhan makin berkurang seiring dengan berkurangnya temperatur sehingga dapat dikatakan bahwa pertumbuhan pada temperatur minimum berjalan lebih lambat daripada pertumbuhan mikroba pada suhu optimum (Sarles, Frazier, Wilson, & Knight, 1956). Hubungan antara suhu terhadap pertumbuhan mikroba biasanya membentuk kurva seperti parabola terbuka ke bawah dimana pertumbuhan mikroba rendah pada suhu minimum, meningkat menjadi maksimum pada suhu optimum, dan kemudian setelah mencapai titik balik pada puncak pertumbuhannya akan turun secara drastis pada suhu maksimumnya (Adams, 2000). Masing-masing jenis mikroba terhadap pengaruh suhu memiliki pola kurva yang agak mirip, yakni berupa kurva parabola terbuka ke bawah, namun area kurvanya berbeda tergantung jenis mikrobanya (Doyle & Beuchat, 2007). 2. Kandungan Air (Pengeringan) dan Kelembaban Setiap mikroba memerlukan kandungan air bebas tertentu untuk hidupnya, diukur dengan parameter aw (water activity) atau kelembaban relatif. Mikroba umumnya dapat tumbuh pada aw 0,998-0,6. Mikroba yang tahan kekeringan dapat membentuk spora, konidia atau dapat membentuk kista (Sri, 2003). Mikroorganisme membutuhkan kelembaban ini
Kualitas fisik …, M Syafaat Nur, FT UI, 2014
untuk membawa makanan dalam bentuk terlarut ke dalam sel, untuk membawa sampah atau sisa-sisa proses metabolisme ke luar dari sel, dan untuk menjaga kandungan kelembaban protoplasma selnya (Sarles, Frazier, Wilson, & Knight, 1956). 3. Radiasi Matahari merupakan sumber terbesar radiasi di muka bumi ini. Radiasi matahari itu sendiri mencakup cahaya tampak, radiasi ultraviolet (UV), sinar infra merah, dan gelombang radio (Willey, Sherwood, & Woolverton, 2008). Radiasi dapat menyebabkan ionisasi molekul-molekul di dalam protoplasma. Cahaya umumnya dapat merusak mikroba yang tidak mempunyai pigmen fotosintesis. Apabila tingkat radiasi yang diterima sel mikroba rendah, maka dapat menyebabkan terjadinya mutasi pada mikroba (Sri, 2003). Metode Penelitian Berdasarkan pendekatan analisisnya, jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kuantitatif serta interpretasi tentang data tersebut. Populasi dalam penelitian ini adalah area udara yang melingkupi ruang ICU rumah sakit, sedangkan sampel dalam penelitian ini berupa kelembaban, intensitas cahaya, temperatur, serta konsentrasi bakteri dan jamur di udara ruangan ICU rumah sakit. Dengan demikian, variabel bebas dalam penelitian ini adalah kelembaban, intensitas cahaya, dan temperatur. Adapun variabel terikat dalam penelitian ini adalah kualitas udara dalam ruang rumah sakit serta jumlah bakteri dan jamur di udara. Ruang ICU yang menjadi lokasi penelitian ini terdiri dari 2 jenis tempat tidur, yakni 1 tempat tidur isolasi dan 7 tempat tidur non-isolasi. Dalam penelitian ini, diambil sampel 4 titik sebanyak 8 kali sehingga pengukuran untuk masing-masing parameter (jamur, bakteri, temperatur, kelembaban, intensitas cahaya, dan jumlah manusia) menjadi masing-masing 32 sampel untuk setiap parameternya. Khusus untuk jamur dan bakteri dilakukan secara duplo sehingga terdapat masing-masingnya 64 sampel. Penelitian dilakukan setiap hari senin, selasa, dan kamis pada jam bukan berkunjung di siang hari sekitar pukul 13.30-16.00 WIB. Prosedur pengambilan sampel didasarkan kepada kepmenkes No. 1335 mengenai Standar Operasional Pengambilan dan Pengukuran Sampel Kualitas Udara Ruangan Rumah Sakit. Dengan demikian, pengukuran konsentrasi jamur dan bakteri di udara rumah sakit dilakukan dengan metode agar atau dengan metode EMS (Environmental Microbial Sampler). Media yang digunakan untuk mengambil sampel jamur adalah media agar PDA (Potato Dextrose Agar) dan untuk sampel bakteri digunakan media agar TSA (Trypticase Soy Agar).
Kualitas fisik …, M Syafaat Nur, FT UI, 2014
Gambar 1. Ilustrasi Letak Titik Pengambilan Sampel Mikroba Keterangan gambar: : Ruang jaga perawat : Titik pengambilan sampel : Tempat tidur pasien non-isolasi : Tempat tidur pasien isolasi : Jendela : Lemari peralatan medis
Pengambilan sampel mikroorganisme di udara dilakukan dengan menggunakan alat mikrobiologi air sample dengan kapasitas debit menghisap udara 28,4 liter per menit. Lamanya waktu pengukuran didasarkan pada penelitian pendahuluan, yakni selama 1 menit untuk konsentrasi bakteri dan 2 menit untuk konsentrasi jamur kemudian dilanjutkan dengan inkubasi. Inkubasi bakteri pada suhu 30-35oC selama 24 jam dan jamur diinkubasi selama 48 jam. Setelah diinkubasi maka dilakukan penghitungan jumlah koloni mikroorganisme. a. Pengukuran temperatur Waktu pengukuran dilakukan pada siang hari. Pengukuran temperatur dilakukan dengan menggunakan thermometer. Alat tersebut diusahakan terhindar dari panas sinar matahari langsung agar tidak terjadi kesalahan pengukuran temperatur. Pengukuran dilakukan sampai menunjukkan angka yang stabil. b. Pengukuran intensitas cahaya Pengukuran intensitas cahaya juga dilakukan di ruang yang sama dengan pengukuran lainnya. Waktu pengukuran dilakukan pada siang hari dengan menggunakan lightmeter. Pengukuran dilakukan secara langsung sampai menunjukkan angka yang stabil. c. Pengukuran kelembaban Waktu pengukuran dilakukan pada siang hari dengan menggunakan alat hygrometer. Alat diletakkan pada dinding ruang atau menggunakan tripod. Pengukuran dilakukan sampai menunjukkan angka yang stabil. Data jamur dan bakteri yang didapatkan dari penelitian ini yang berupa jumlah koloni akan dihitung lebih lanjut dengan menggunakan rumus:
Kualitas fisik …, M Syafaat Nur, FT UI, 2014
!"#$%ℎ !"#$%&'
!"#$%ℎ !"#"$% !" !"#"$ !"# = × !"#$% !"#$%&'()%# (!"#$%) !!
1 !"#$% !"#$#
!! !"#
%$Hasil dari semua perhitungan ini kemudian dianalisis hubungan atau korelasinya dengan menggunakan pendekatan statistik. a. Regresi linear Untuk mengetahui hubungan yang linear antarvariabel digunakan metode regresi linear untuk mencari nilai r atau korelasi antarvariabel tersebut. Apabila antara variabel tersebut memiliki hubungan yang linear maka nilai r akan mendekati nilai 1, sedangkan jika tidak memiliki hubungan linear maka nilai r akan mendekati nilai 0. (Ronald, 1982). Dari hubungan ini akan didapatkan garis linear berupa y = a + bx dan korelasinya disimbolkan sebagai r dimana nilai a dan b diperoleh dari rumus statistik: ! =
!
! !!! !! !!
!
! !!! !!
−
! ! !!! !!
−
! !!! !!
! !!! !! !
! = ! − !! ! =
! !!! !! !! − ! ! ! ! !!! !! !!! !! −
!
!
! !!! !!
×!
! !!! !! ! ! !!! !!
−
! ! !!! !!
Dimana: r = korelasi linear antarvariabel n = jumlah data x = variabel x y = variabel y a = koefisien garis linear b = gradien/kemiringan garis
b. Uji Spearman Uji spearman digunakan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antar variabel dengan metode peringkat atau spearman rank. Nilai 0 menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antarvariabel, sedangkan nilai 1 dan -1 menunjukkan nilai korelasi yang sempurna. Nilai positif (+) menunjukkan bahwa hubungannya berbanding lurus atau searah, sedangkan nilai negatif (-) menunjukkan hubungan yamg tidak searah (sugiyono, 2009). Perhitungan nilai korelasi spearman ini dilakukan dengan rumus: !=1−
6 × !! ! ! (!! − 1)
Dimana: ρ = koefisien korelasi spearman rank bi = perbedaan peringkat n = jumlah data
Kualitas fisik …, M Syafaat Nur, FT UI, 2014
c. Analisa Regresi dan Korelasi Ganda 3 Prediktor Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel bebas, yaitu temperatur, kelembaban, dan intensitas cahaya yang dapat mempengaruhi variabel terikatnya, yaitu jumlah mikroba di udara. Persamaan regresi untuk mengetahui hubungan ketiga variabel bebas tersebut terhadap variabel terikatnya adalah: Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 Untuk mencari koefisien regresi b1, b2, b3, dan b4 dapat digunakan persamaan simultan sebagai berikut: !! ! = !!
!! ! + !!
!! !! + !!
!! !!
!! ! = !!
!! !! + !!
!! ! + !!
!! !!
!! ! = !!
!! !! + !!
!! !! + !!
!! !
Adapun nilai koefisien a dan korelasi r didapatkan melalui persamaan sebagai berikut: ! = ! − !! !! − !! !! − !! !! !! (!,!,!,!) =
!!
!! ! + !!
!! ! + !! !!
!!!
Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Analisis Data Hasil Pengukuran Bakteri Dalam pengukuran konsentrasi bakteri di ruang ICU ini didapatkan konsentrasi minimum sebesar 389 CFU/m3 dan konsentrasi maksimum sebesar 1979 CFU/m3 dengan nilai konsentrasi rata-rata seluruhnya sebesar 1137 CFU/m3. Baku mutu Kepmenkes RI No. 1204/MENKES/SK/X/2004 untuk ruang ICU adalah sebesar 200 CFU/m3 sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh hasil pengukuran konsentrasi bakteri di semua titik 100% melebihi baku mutu yang telah ditetapkan. Rata-rata nilai konsentrasi bakteri selama delapan kali penelitian pada titik A, B, C, dan D secara berturut-turut adalah sebesar 1069 CFU/m3, 1182 CFU/m3, 934 CFU/m3, 1363 CFU/m3. Titik D yang berada di dekat WC memiliki nilai konsentrasi bakteri yang lebih besar dibandingkan dengan titik lainnya, sedangkan titik C yang dekat dengan pintu masuk ruang ICU merupakan titik yang cenderung memiliki nilai konsentrasi paling kecil dibandingkan titik lainnya. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa konsentrasi bakteri lebih dipengaruhi oleh kondisi dan aktivitas di dalam ruangan daripada kondisi dan aktivitas di luar pintu ruangan ICU. Selain dekat dengan WC, titik D juga dekat dengan ruang dokter jaga dan ruang ganti petugas sehingga area ini memiliki tingkat aktivitas tambahan yang lebih besar daripada area lainnya.
Kualitas fisik …, M Syafaat Nur, FT UI, 2014
Gambar 2. Rata-Rata Konsentrasi Bakteri pada Masing-Masing Titik
2. Analisis Data Hasil Pengukuran Jamur Dalam pengukuran konsentrasi jamur di ruang ICU ini didapatkan konsentrasi minimum sebesar 35 CFU/m3 dan konsentrasi maksimum sebesar 645 CFU/m3 dengan nilai konsentrasi rata-rata seluruhnya sebesar 248 CFU/m3. Baku mutu Kepmenkes RI No. 1204/MENKES/SK/X/2004 untuk ruang ICU adalah sebesar 200 CFU/m3 sehingga dapat dikatakan bahwa 56,25% dari data hasil pengukuran telah melebihi baku mutu. Rata-rata nilai konsentrasi jamur selama delapan kali penelitian pada titik A, B, C, dan D secara berturutturut adalah sebesar 268 CFU/m3, 211 CFU/m3, 211 CFU/m3, dan 300 CFU/m3. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa titik D yang berada di dekat WC ini memiliki nilai konsentrasi jamur yang lebih besar dibandingkan dengan titik lainnya, sedangkan titik B dan titik C merupakan titik yang cenderung memiliki nilai konsentrasi paling kecil dibandingkan titik lainnya. Besarnya konsentrasi jumlah jamur di titik D kemungkinan besar disebabkan oleh letak titik tersebut yang dekat dengan WC sebagai salah satu tempat yang lembab dan juga dekat dengan area aktivitas pegawai ruang ICU serta jauh dari radiasi cahaya matahari.
Gambar 3. Rata-Rata Konsentrasi Jamur pada Masing-Masing Titik
Kualitas fisik …, M Syafaat Nur, FT UI, 2014
3. Analisis Data Hasil Pengukuran Intensitas Cahaya Dalam pengukuran intensitas cahaya ruang ICU ini didapatkan hasil minimum sebesar 200 Lux dan hasil maksimum sebesar 2930 Lux dengan nilai rata-rata seluruhnya sebesar 746,5 Lux. Baku mutu Kepmenkes RI No. 1204/MENKES/SK/X/2004 untuk ruang pasien saat tidak tidur adalah sebesar 100-200 Lux sehingga dapat dikatakan bahwa hampir seluruh hasil pengukuran intensitas cahaya di semua titik melebihi baku mutu yang telah ditetapkan. Rata-rata nilai intensitas cahaya selama delapan kali penelitian pada titik A, B, C, dan D secara berturut-turut adalah sebesar 304,88 Lux; 2004,88 Lux; 353,5 Lux; dan 322,75 Lux. Tingginya intensitas cahaya di masing-masing titik lebih dipengaruhi oleh seberapa dekat dengan cahaya matahari daripada cahaya lampu. Tingginya intensitas cahaya pada titik B disebabkan oleh letaknya yang sangat dekat dengan jendela dan tidak tertutup oleh kain gorden sehingga area di titik B menjadi area yang paling terang dibandingkan area lainnya. Walaupun dekat pula dengan jendela, titik A justru menjadi area yang intensitas cahaya rataratanya paling kecil. Hal ini dikarenakan jendela yang berada di dekat titik A tertutup oleh kain gorden dan terhalang pula oleh ruang isolasi sehingga kurang mendapatkan cahaya dari matahari, sedangkan titik D dan titik C pencahayaannya dibantu oleh cahaya lampu.
Gambar 4. Rata-Rata Intensitas Cahaya pada Masing-Masing Titik
4. Analisis Data Hasil Pengukuran Kelembaban Dalam pengukuran kelembaban ruang ICU ini, didapatkan hasil minimum sebesar 50% dan hasil maksimum sebesar 62% dengan nilai rata-rata seluruhnya sebesar 57,1%. Baku mutu Kepmenkes RI No. 1204/MENKES/SK/X/2004 untuk ruang ICU adalah sebesar 3560% sehingga dapat dikatakan bahwa 84,375% dari hasil pengukuran kelembaban di semua titik telah memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan, sedangkan sisanya 15,625% dari data hasil pengukuran telah melebihi baku mutu. Rata-rata nilai kelembaban selama delapan kali penelitian pada titik A, B, C, dan D secara berturut-turut adalah sebesar 57,88%; 56,25%;
Kualitas fisik …, M Syafaat Nur, FT UI, 2014
55,75%; dan 58,5%. Nilai kisaran kelembaban pada masing-masing titik tidak jauh berbeda antara titik yang satu dengan titik lainnya. Kelembaban rata-rata tertinggi berada di titik D. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh lokasi titik ini yang berada di dekat WC yang merupakan sumber air terdekat dengan ruang ICU. Sisa-sisa air yang berada di lantai WC dapat menguap ke udara sehingga uap air ini dapat meningkatkan kelembaban udara di area titik D baik karena pintu WC yang terbuka maupun karena kelembaban dinding WC.
Gambar 5. Rata-Rata Kelembaban pada Masing-Masing Titik
5. Analisis Data Hasil Pengukuran Temperatur Dalam pengukuran temperatur di ruang ICU ini, didapatkan hasil minimum sebesar 22,8 oC dan hasil maksimum sebesar 27,7 oC dengan nilai rata-rata seluruhnya sebesar 24,6 o
C. Baku mutu Kepmenkes RI No. 1204/MENKES/SK/X/2004 untuk ruang ICU adalah
sebesar 22-23 oC sehingga dapat dikatakan bahwa 93,75% atau sebagian besar dari hasil pengukuran temperatur di semua titik telah melebihi baku mutu yang telah ditetapkan, sedangkan sisanya 6,25% dari data hasil pengukuran sudah memenuhi baku mutu. Rata-rata nilai temperatur pada titik A, B, C, dan D secara berturut-turut adalah sebesar 24,09 oC; 25,33 o
C; 24,76 oC; dan 24,03 oC. Temperatur rata-rata tertinggi berada di titik B. Hal ini
kemungkinan besar disebabkan oleh lokasi titik ini yang berada di dekat jendela karena dengan kondisi jendela tanpa tertutup kain gorden ini menyebabkan cahaya matahari dapat langsung masuk ke ruang ICU dan memanasi lantai yang telah terkena pencahayaan langsung ini sehingga memungkinkan terjadinya kenaikan temperatur udara akibat radiasi di area yang dekat dengan jendela tersebut. Adapun temperatur rata-rata di titik D merupakan yang paling rendah dikarenakan lokasinya yang jauh dari sumber panas dan juga dekat dengan WC yang umumnya bertemperatur dingin sehingga kondisi ini memungkinkan area tersebut untuk memiliki temperatur yang paling rendah dibandingkan area lainnya.
Kualitas fisik …, M Syafaat Nur, FT UI, 2014
Gambar 6. Rata-Rata Temperatur pada Masing-Masing Titik
6. Analisis Regresi Linear Dari Data Konsentrasi Bakteri 6.1 Analisis Regresi Linear Dari Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Jumlah Bakteri Dari hasil perhitungan, didapatkan data intensitas cahaya terhadap jumlah bakteri memiliki nilai r = -0,115 dengan persamaan regresi Y = -0,053X + 1176,68. Hal ini menunjukkan bahwa antara intensitas cahaya dengan jumlah konsentrasi bakteri di udara memiliki hubungan linear yang sangat rendah. Hal ini dapat diterima karena jumlah konsentrasi bakteri di udara tidak hanya dipengaruhi oleh faktor intensitas cahaya saja, tetapi dipengaruhi juga oleh berbagai jenis faktor lainnya seperti misalnya jenis bakteri, predator, kondisi fisik, keberadaan bahan kimia, dan lain sebagainya sehingga nilai r akan senantiasa jauh dari nilai 1. Salah satu faktor bakteri yang dapat dipengaruhi oleh intensitas cahaya ini adalah jenis bakteri fotosintetik dan bakteri yang tidak dapat berfotosintesis. Jenis bakteri yang tidak dapat berfotosintesis memiliki daya tahan yang sangat rentan terhadap intensitas cahaya dan beberapa di antaranya dapat mengalami kematian akibat radiasi cahaya. Dengan demikian, apabila jumlah bakteri di udara lebih didominasi oleh bakteri heterotrof maka tingginya intensitas cahaya akan mengurangi konsentrasi bakteri, sedangkan jika bakterinya lebih didominasi oleh bakteri foto-autotrof maka adanya cahaya akan meningkatkan konsentrasi bakteri. Nilai r bertanda negatif ini menunjukkan bahwa hubungan antara intensitas cahaya dan konsentrasi bakteri memiliki kecenderungan berbanding terbalik, yakni semakin tinggi intensitas cahaya maka jumlah konsentrasi bakteri di udara cenderung menurun. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh kondisi yang telah disebutkan sebelumnya, yakni udara yang lebih didominasi oleh bakteri heterotrof akan mengalami penurunan jumlah konsentrasi jika intensitas cahaya lebih tinggi. Dari grafik di bawah dapat dilihat bahwa pada intensitas cahaya yang tinggi jumlah konsentrasi bakteri cenderung berada pada kondisi jumlah rata-rata, sedangkan pada intensitas cahaya yang rendah konsentrasi bakteri sangat
Kualitas fisik …, M Syafaat Nur, FT UI, 2014
Jumlah Bakteri (CFU/m3)
bervariasi dari yang paling terendah sampai pada konsentrasi bakteri tertinggi. 2500 2000 1500 1000
y = -‐0,053x + 1176,
500 0 0
1000
2000
3000
4000
Intensitas Cahaya (lux)
Gambar 7. Pengaruh Intensitas cahaya Terhadap Jumlah Bakteri
6.2 Analisis Regresi Linear Dari Pengaruh Kelembaban Terhadap Jumlah Bakteri Dari hasil perhitungan, didapatkan data kelembaban udara terhadap jumlah konsentrasi bakteri memiliki nilai r = 0,017 dengan persamaan regresi Y = 2,094X + 1017,23. Hal ini menunjukkan bahwa antara tingkat kelembaban dengan jumlah konsentrasi bakteri di udara memiliki hubungan linear yang sangat rendah atau dapat dikatakan sama sekali tidak menyerupai garis lurus. Hal ini dapat terlihat jelas pada grafik dimana data jumlah konsentrasi
Jumlah Bakteri (CFU/m3)
bakteri mengalami kenaikan dan kemudian penurunan.
2500 2000 1500
y = 2.0945x + 1017.2
1000 500 0 45
50
55
60
65
Kelembaban (%)
Gambar 8. Pengaruh Intensitas cahaya Terhadap Jumlah Bakteri
Setelah diuji coba, didapatkan bahwa hubungan kelembaban dengan jumlah konsentrasi pada data-data ini lebih menyerupai hubungan yang berbentuk kurva parabola daripada menyerupai garis lurus. Nilai korelasi hubungan parabolik dengan r = 0,39 ini jauh lebih tinggi daripada nilai korelasi linearnya (r = 0,017) dengan persamaan kurva parabolik Y= -14,02X2 + 1586X – 43597. Apabila kurva parabola ini dideferensialkan atau diturunkan
Kualitas fisik …, M Syafaat Nur, FT UI, 2014
(dy/dx = 0), maka didapatkan nilai X = 56,6 yang berarti nilai optimum konsentrasi bakteri pada data ini berada di kisaran tingkat kelembaban 56,6%. Seluruh makhluk hidup termasuk makhluk mikroorganisme membutuhkan air untuk kebutuhan metabolisme sehingga semakin tinggi kadar air di udara atau tingkat kelembaban maka semakin tinggi pula harapan hidup suatu mikroorganisme, namun berdasarkan data yang didapat dari penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat konsentrasi bakteri di udara ini memiliki nilai optimum pada kelembaban tertentu. Berikut ini adalah gambar grafik pengaruh kelembaban terhadap konsentrasi bakteri
Jumlah Bakteri (CFU/m3)
di udara dengan pendekatan menggunakan persamaan kurva parabolik.
2500 2000 1500 y = -‐14.022x2 + 1586.6x -‐ 43597 1000 R² = 0.1555 500 0 45
50
55
60
65
Kelembaban (%)
Gambar 9. Pengaruh Intensitas cahaya Terhadap Jumlah Bakteri dengan Kurva Parabolik
6.3 Analisis Regresi Linear Dari Pengaruh Temperatur Terhadap Jumlah Bakteri Dari hasil perhitungan, didapatkan data temperatur terhadap jumlah konsentrasi bakteri memiliki nilai r = -0,168 dengan persamaan regresi Y = -60,93X + 2632,75. Hal ini menunjukkan bahwa antara temperatur dengan jumlah konsentrasi bakteri di udara memiliki hubungan linear yang sangat rendah, sedangkan tanda negatif menunjukkan hubungan keduanya berbanding terbalik. Pertumbuhan mikroba memerlukan kisaran suhu tertentu. Bakteri mesofil adalah kelompok mikroba yang pada umumnya berada di ruangan dan mempunyai suhu minimum 150C, suhu optimum 25-370C, dan suhu maksimum 45-550C. Dari grafik dapat dilihat bahwa pada temperatur yang sama jumlah konsentrasi bakteri dapat berbeda-beda. Pada grafik ini juga tidak terlihat adanya pola tertentu. Hal ini dikarenakan kondisi temperatur ruangan di ruang ICU hanya berkisar antara 22,8 oC sampai 27,7 oC sehingga grafik yang dihasilkan tidak menunjukkan pola yang semestinya.
Kualitas fisik …, M Syafaat Nur, FT UI, 2014
Jumlah Bakteri (CFU/m3)
2500 2000 1500 y = -‐60.934x + 2632.8
1000 500 0 22
24
26
28
Temperatur (°C)
Gambar 10. Pengaruh Temperatur Terhadap Jumlah Bakteri
7. Analisis Regresi Linear Dari Data Konsentrasi Jamur 7.1 Analisis Regresi Linear Dari Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Jumlah Jamur Dari hasil perhitungan, didapatkan data intensitas cahaya terhadap jumlah bakteri memiliki nilai r = -0,265 dengan persamaan regresi Y = -0,043X + 279,56. Hal ini menunjukkan bahwa antara intensitas cahaya dengan jumlah konsentrasi jamur di udara memiliki hubungan linear yang rendah. Nilai r bertanda negatif ini menunjukkan bahwa hubungan antara intensitas cahaya dan konsentrasi jamur memiliki kecenderungan berbanding terbalik, yakni semakin tinggi intensitas cahaya maka jumlah konsentrasi jamur di udara cenderung menurun. Hal ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh sifat jamur itu sendiri yang lebih mudah hidup di tempat yang gelap daripada di tempat yang diterangi cahaya matahari. Dari grafik di bawah dapat dilihat bahwa pada intensitas cahaya yang tinggi jumlah konsentrasi jamur cenderung berada pada kondisi jumlah rata-rata, sedangkan pada intensitas cahaya yang rendah konsentrasi bakteri sangat bervariasi dari yang paling terendah sampai
Jumlah Jamur (CFU/m3)
pada konsentrasi bakteri tertinggi.
700 600 500 400 300 200 100 0
y = -‐0.0428x + 279.56 0
1000
2000
3000
4000
Intensitas Cahaya (lux)
Gambar 11. Pengaruh Intensitas cahaya Terhadap Jumlah Jamur
Kualitas fisik …, M Syafaat Nur, FT UI, 2014
7.2 Analisis Regresi Linear Dari Pengaruh Kelembaban Terhadap Jumlah Jamur Dari hasil perhitungan, didapatkan data kelembaban udara terhadap jumlah konsentrasi jamur memiliki nilai r = 0,072 dengan persamaan regresi Y = 3,034X + 74,39. Hal ini menunjukkan bahwa antara tingkat kelembaban dengan jumlah konsentrasi jamur di udara memiliki hubungan linear yang sangat rendah atau dapat dikatakan sama sekali tidak menyerupai garis lurus. Hal ini dapat terlihat jelas pada grafik dimana data jumlah konsentrasi jamur mengalami kenaikan dan penurunan. Tanda positif menunjukkan bahwa masih terdapat kecenderungan adanya hubungan yang berbanding lurus antara kelembaban dengan jumlah konsentrasi jamur, yakni naiknya tingkat kelembaban akan memiliki
Jumlah Jamur (CFU/m3)
kecenderungan meningkatkan jumlah konsentrasi jamur di udara.
700 600 500 400 300 200 100 0
y = 3.0342x + 74.391
40
45
50
55
60
65
Kelembaban (%)
Gambar 12. Pengaruh Intensitas cahaya Terhadap Jumlah Jamur
7.3 Analisis Regresi Linear Dari Pengaruh Temperatur Terhadap Jumlah Jamur Dari hasil perhitungan, didapatkan data kelembaban udara terhadap jumlah konsentrasi jamur memiliki nilai r = -0,192 dengan persamaan regresi Y = -24,13X + 839,93. Hal ini menunjukkan bahwa antara tingkat temperatur dengan jumlah konsentrasi jamur di udara memiliki hubungan linear yang sangat rendah dan tanda minus berarti keduanya memiliki hubungan yang saling berbanding terbalik, yakni semakin tinggi tingkat temperatur maka jumlah konsentrasi jamur di udara cenderung makin berkurang. Setiap jamur memiliki kondisi optimum terhadap tingginya temperatur di area sekitarnya. Untuk jamur berjenis saprofit atau pengurai biasanya dapat tumbuh secara optimum pada suhu di sekitar 22 – 30oC, sedangkan jamur yang bersifat parasit dapat tumbuh secara optimum pada suhu di sekitar 30-37oC. Kondisi temperatur di ruangan ICU berkisar pada 22,8 - 27,7 oC. Dengan demikian, jenis
Kualitas fisik …, M Syafaat Nur, FT UI, 2014
jamur yang akan tumbuh secara optimum di dalam ruangan ICU ini adalah jamur yang
Jumlah Jamur (CFU/m3)
bersifat saprofit atau pengurai. 700 600 500 400 300 200 100 0
y = -‐24.126x + 839.93 20
22
24
26
28
30
Temperatur (°C)
Gambar 13. Pengaruh Temperatur Terhadap Jumlah Jamur
Apabila data-data ini diuji dalam pendekatan parabolik, maka didapatkan nilai korelasi r = 0,249 (r2 = 0,062) yang lebih besar daripada nilai korelasi linearnya (r = -0,192). Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara temperatur dengan jumlah konsentrasi jamur lebih memiliki kecenderungan sebagai kurva yang berbentuk parabola daripada membentuk garis linear. Pada grafik di bawah ini dapat terlihat bahwa kurva ini merupakan kurva parabolik yang terbuka ke bawah dengan persamaan Y = -12,97X2 + 620,9X – 7161. Untuk mengetahui letak kondisi maksimum pada kurva, dilakukan perhitungan diferensial (dy/dx = 0) terhadap kurva sehingga didapatkan nilai X = 23,9 yang berarti bahwa nilai jumlah konsentrasi jamur
Jumlah Jamur (CFU/m3)
maksimum kurva berada pada kisaran temperatur di sekitar 23,9 oC.
700 600 500 400 300 200 y = -‐12.976x2 + 620.96x -‐ 7161.1 100 R² = 0.06288 0 20 22 24 26 28
30
Temperatur (°C)
Gambar 14. Pengaruh Temperatur Terhadap Jumlah Jamur dengan Kurva Parabolik
Kualitas fisik …, M Syafaat Nur, FT UI, 2014
8.
Analisis Spearman Rank Dari Data Konsentrasi Bakteri
8.1 Analisis Spearman Rank Dari Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Jumlah Bakteri Dalam perhitungan Spearman Rank antara intensitas cahaya dengan jumlah konsentrasi bakteri di udara ini didapatkan nilai r = -0,043, sedangkan dari hasil perhitungan analisis regresi linear sebelumnya, didapatkan data intensitas cahaya terhadap jumlah bakteri memiliki nilai r = -0,115. Nilai korelasi analisis regresi linear yang lebih besar daripada nilai analisis Spearman Rank ini menunjukkan bahwa antara intensitas cahaya dengan jumlah konsentrasi bakteri di udara memiliki hubungan linear yang lebih tinggi daripada kecenderungan kenaikan atau penurunan secara peringkat. Dengan kata lain, antara intensitas cahaya dengan jumlah konsentrasi bakteri terdapat sedikit hubungan linear walaupun angkaangka tersebut sangat fluktuatif naik dan turun seiring dengan makin meningkatnya intensitas cahaya. Tanda negatif disini bermakna bahwa baik analisis persamaan regresi linear maupun analisis Spearman Rank, kedua-duanya sama-sama menyimpulkan bahwa hubungan antara intensitas cahaya dengan jumlah konsentrasi bakteri adalah berbanding terbalik. Dengan demikian, walaupun nilainya tersebut sangat fluktuatif, setiap kenaikan intensitas cahaya cenderung membuat jumlah konsentrasi bakteri di udara menurun. 8.2 Analisis Spearman Rank Dari Pengaruh Kelembaban Terhadap Jumlah Bakteri Dalam perhitungan Spearman Rank antara tingkat kelembaban dengan jumlah konsentrasi bakteri di udara ini didapatkan nilai r = 0,033. Dari hasil perhitungan analisis regresi linear didapatkan nilai r = 0,017. Hal ini menunjukkan bahwa antara tingkat kelembaban dengan jumlah konsentrasi bakteri di udara memiliki hubungan linear yang sangat rendah atau dapat dikatakan sama sekali tidak menyerupai garis lurus. Hal ini dapat terlihat jelas pada grafik dimana data jumlah konsentrasi bakteri mengalami kenaikan dan kemudian penurunan yang kemudian lebih mendekati kurva parabola. Inilah yang menyebabkan korelasi Spearman Rank dan korelasi linearnya mendekati angka nol. Dengan demikian, rendahnya nilai Spearman Rank menunjukkan fakta bahwa kenaikan kelembaban tidak secara signifikan akan selalu menyebabkan kenaikan jumlah konsentrasi bakteri di udara, namun dalam kondisi tertentu justru akan mengalami penurunan. 8.3 Analisis Spearman Rank Dari Pengaruh Temperatur Terhadap Jumlah Bakteri Dalam perhitungan Spearman Rank antara tingkat temperatur dengan jumlah konsentrasi bakteri di udara ini didapatkan nilai r = -0,194. Adapun dari hasil perhitungan
Kualitas fisik …, M Syafaat Nur, FT UI, 2014
analisis regresi linear didapatkan nilai r = -0,168. Walaupun keduanya bertanda negatif yang bermakna berbanding terbalik, tingginya nilai korelasi Spearman Rank dibandingkan nilai korelasi regresi linear menunjukkan bahwa kenaikan temperatur memiliki kecenderungan signifikan menyebabkan penurunan jumlah konsentrasi bakteri di udara yang kurang linear. 9.
Analisis Spearman Rank Dari Data Konsentrasi Jamur
9.1 Analisis Spearman Rank Dari Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Jumlah Jamur Dalam perhitungan Spearman Rank antara intensitas cahaya dengan jumlah konsentrasi jamur di udara ini didapatkan nilai r = -0,231, sedangkan dari hasil perhitungan analisis regresi linear didapatkan nilai r = -0,265. Nilai korelasi analisis regresi linear yang lebih tinggi dari nilai korelasi Spearman Rank ini menunjukkan bahwa kedua variabel ini memiliki hubungan linear dan kecenderungan peningkatan intensitas cahaya akan menyebabkan makin berkurangnya jumlah konsentrasi jamur di udara. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa jamur sulit hidup di tempat yang diterangi oleh matahari dan lebih cenderung mudah hidup di tempat-tempat yang gelap. 9.2 Analisis Spearman Rank Dari Pengaruh Kelembaban Terhadap Jumlah Jamur Dalam perhitungan Spearman Rank antara kelembaban dengan jumlah konsentrasi jamur di udara ini didapatkan nilai r = -0,062. Dari hasil perhitungan analisis regresi linear didapatkan nilai r = 0,072. Hal ini menunjukkan bahwa antara tingkat kelembaban dengan jumlah konsentrasi jamur di udara memiliki hubungan linear yang sangat rendah atau tidak menyerupai garis lurus. Hal ini terlihat jelas pada grafik dimana data jumlah konsentrasi jamur mengalami kenaikan dan penurunan. Tanda positif menunjukkan bahwa masih terdapat kecenderungan adanya hubungan yang berbanding lurus antara kelembaban dengan jumlah konsentrasi jamur, yakni naiknya tingkat kelembaban akan memiliki kecenderungan meningkatkan jumlah konsentrasi jamur. Namun, secara peringkat menunjukkan adanya fluktuasi naik-turun yang sangat sering terjadi. Hal ini dapat terjadi karena adanya pengaruh dari faktor-faktor lainnya yang menekan pertumbuhan jamur sehingga dalam kelembaban yang tinggi belum tentu akan menyebabkan kenaikan jumlah konsentrasi jamur secara drastis. 9.3 Analisis Spearman Rank Dari Pengaruh Temperatur Terhadap Jumlah Jamur Dalam perhitungan Spearman Rank antara temperatur dengan jumlah konsentrasi jamur di udara ini didapatkan nilai r = -0,095. Adapun hasil dari hasil perhitungan analisis
Kualitas fisik …, M Syafaat Nur, FT UI, 2014
regresi linear didapatkan nilai r = -0,192. Hal ini menunjukkan bahwa antara tingkat temperatur dengan jumlah konsentrasi jamur di udara lebih memiliki hubungan linear daripada kecenderungan peningkatan secara peringkat dan tanda minus berarti keduanya memiliki hubungan yang saling berbanding terbalik, yakni semakin tinggi tingkat temperatur maka jumlah konsentrasi jamur di udara cenderung makin berkurang. Namun, nilai Spearman Rank yang terlalu rendah ini juga bermakna bahwa jumlah peningkatan secara total hampir sama dengan jumlah penurunannya walaupun jumlah penurunannya lebih banyak daripada peningkatannya. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh korelasi kurva yang berbentuk parabola lebih besar daripada nilai korelasi linearnya. Dengan demikian, korelasi Spearman Rank yang bernilai rendah ini membuktikan bahwa adanya kenaikan jumlah konsentrasi jamur ketika temperatur menuju titik optimum pertumbuhan dan adanya penurunan jumlah konsentrasi jamur ketika temperatur menjauhi titik optimum. 10. Analisis Regresi Berganda Dengan 3 Prediktor 10.1 Analisis Regresi Berganda Bakteri Dengan 3 Prediktor Dari perhitungan analisis regresi berganda dengan 3 prediktor ini, didapatkan nilai r = 0,037 dengan persamaan Y = -0,01 X1 -13,13X2 -79,49X3 + 3844,72. Y adalah jumlah konsentrasi bakteri di udara, X1 adalah variabel intensitas cahaya, X2 adalah variabel kelembaban, dan X3 adalah variabel temperatur. Nilai korelasi r yang sangat rendah ini menunjukkan bahwa kondisi ruangan yang berupa intensitas cahaya, kelembaban, dan temperatur memiliki hubungan yang sangat rendah terhadap tingginya konsentrasi bakteri di udara. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan bahwa masih banyak faktor-faktor lainnya yang menjadi penyebab meningkatnya jumlah konsentrasi bakteri di udara ruang ICU. 10.2 Analisis Regresi Berganda Jamur Dengan 3 Prediktor Dari perhitungan analisis regresi berganda dengan 3 prediktor ini, didapatkan nilai r = 0,075 dengan persamaan Y = -0,04 X1 - 0,07 X2 -10,36X3 + 532,95. Y adalah jumlah konsentrasi jamur di udara, X1 adalah variabel intensitas cahaya, X2 adalah variabel kelembaban, dan X3 adalah variabel temperatur. Nilai korelasi r yang sangat rendah ini menunjukkan bahwa adanya kondisi faktor-faktor lainnya yang menjadi penyebab meningkat dan berkurangnya jumlah konsentrasi jamur di udara. Kondisi fisik ruangan yang berupa intensitas cahaya, kelembaban, dan temperatur bukanlah faktor paling utama yang mempengaruhi peningkatan jumlah konsentrasi jamur.
Kualitas fisik …, M Syafaat Nur, FT UI, 2014
Kesimpulan Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian kali ini adalah sebagai berikut: 1. Hampir semua jenis variabel dari penelitian ini telah melebihi baku mutu yang telah ditetapkan. 2. Intensitas cahaya, kelembaban, dan temperatur terhadap konsentrasi bakteri memiliki korelasi Spearman Rank sebesar -0,043; 0,033; -0,194 dan korelasi analisi regresi linear sebesar -0,115; 0,017; -0,168. Intensitas cahaya, kelembaban, dan temperatur terhadap konsentrasi jamur memiliki korelasi Spearman Rank sebesar -0.231; 0,062; 0,095 dan korelasi analisi regresi linear sebesar -0,265; 0,072; -0,192 3. Nilai korelasi berganda 3 prediktor untuk bakteri adalah nilai r = 0,037 dan untuk jamur nilai r = 0,075. Nilai korelasi r yang sangat rendah ini menunjukkan bahwa kondisi ruangan yang berupa intensitas cahaya, kelembaban, dan temperatur memiliki hubungan yang sangat rendah terhadap tingginya konsentrasi bakteri dan jamur di udara. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan bahwa masih banyak faktor-faktor lainnya yang menjadi penyebab meningkatnya jumlah konsentrasi bakteri dan jamur di udara ruang ICU. Saran Pengendalian dari sumber kontaminasi lebih disarankan daripada melakukan tindakan desinfeksi pada ruangan karena akan membuat mikroorganisme menjadi lebih kebal terhadap desinfektan. Kebersihan harus diperhatikan supaya tidak meningkatkan mikroorganisme yang dapat lepas ke udara. Hal-hal yang disarankan adalah sebagai berikut: 1. Membersihkan WC secara berkala karena WC dapat menjadi tempat berkembang biaknya mikroorganisme jika tidak sering dibersihkan. 2. Sesuai dengan Kepmenkes 1204/Menkes/SK/X/2004 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, mengurangi kadar kuman dalam udara ruang (indoor) 1 (satu) kali sebulan harus disinfeksi dengan menggunakan aerosol (resorcinol, trietylin glikol), atau disaring dengan elektron presipitator atau menggunakan penyinaran ultra violet. 3. Menjaga kelembaban dalam rentang 35-60% dan suhu 22-23°C sesuai dengan Permenkes 1204 tahun 2002, serta jumlah pengunjung pasien di dalam ruangan tidak boleh lebih dari satu orang untuk mengurangi infeksi nosokomial.
Kualitas fisik …, M Syafaat Nur, FT UI, 2014
Daftar Referensi Aboul-Nasr, M.B., Abdel-Naser, A. & Enas M. A. (2012). Indoor Airborne Mycobiota of Intensive Care Units in Assiut University Hospital. Journal of Environmental Studies [JES] 2011. 7: 61-66 Adams, M. R. & Moss, M. O. (2000). Food Microbiology: Second Edition. Guildford: Royal Society of Chemistry BAPEDAL (1999). Kursus Pengelolaan Kualitas Udara. Jakarta: Proyek Pelaksanaan Pengendalian Pencemaran (PCI) BAPEDAL dan Jawa Timur Betty, B.S. (2012). Infeksi Nosokomial. Yogyakarta: Nuha Medika Castle, M. & Ajemian, E. (1987). Hospital Infection Control: Principal and Practice (Second Edition). USA: John & Wiley, Inc. Doyle, M. P. & Beuchat, L. R. (2007). Food Microbiology: Fundamental and Frontiers, Third Edition. Washington: ASM Press. Dwidjoseputro, D. (2010). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit Djambatan Ekhaise, F.O., Ighosewe, O.U., & Ajakpovi, O.D. (2008). Hospital Indoor Airborne Microflora in Private and Government Owned Hospitals in Benin City, Nigeria. World Journal of Medical Sciences 3 (1): 19-23, 2008 Jaffal, A.A., Nsanze, H., Bener, A., Ameen, A.S., Banat, I.M., El Mogheth, A.A. (1997). Hospital Airborne Microbial Pollution in a Desert Country. Environment International, Vol. 23, No. 2, pp. 167-172 Karden E. S. M. (2009). Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Djambatan Lilienfeld, Abraham M. (1980). Foundations of Epidemiology (Second Edition). New York: Oxford University Press Lucia Lianawati & Ketut Lasmi (2005). Bimbingan Pemantapan Kimia. Bandung: CV. Yrama Widya MacMahon, B. & Pugh, T.F. (1970). Epidemiology: Principles and Methods. USA: Department of Epidemiology Harvard University School of Public Health Mayhall, C. Glen (1996). Hospital Epidemiology and Infection Control. Baltimore: Williams & Wilkins. Michael J.P. & Chan, E.C.S. (1986). Dasar-Dasar Mikrobiologi I dan II (terjemahan). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press) Ronald, E. W. (1982). Pengantar Statistika, edisi ke-3. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Pütsep, Ervin (1981). Modern Hospital: International Planning Practices. London: Lloyd-Luke Sarles, W.B., Frazier, W.C., Wilson, J.B., & Knight, S.G. (1956). Microbiology. New York: Harper & Brother Spengler, J.D., Samet, J.M., & McCarthy, J.F. (2001). Indoor Air Quality Handbook. USA: McGraw-Hill Sri, S. (2003). Mikrobiologi Dasar. Yogyakarta: UPN Veteran Sugiyono (2009). Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta Tim redaksi kamus besar bahasa Indonesia (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka Willey, J.M., Sherwood, L.M., & Woolverton, C.J. (2008). Prescott, Harley, Klein’s Microbiology (Seventh Edition). New York: McGraw-Hill
Kualitas fisik …, M Syafaat Nur, FT UI, 2014