Kritik Proses dan Hasil Komisi Konstitusi
1
KRITIK TERHADAP PROSES DAN HASIL KOMISI KONSTITUSI
A. PENGANTAR Proses perubahan konstitusi menuju konstitusi baru yang demokratik di Indonesia nampaknya masih melalui jalan panjang. Lanjutan dari ‘drama’ empat babak amandemen UUD 1945 adalah MPR membentuk Komisi Konstitusi. Pembentukan Komisi Konstitusi ini sebagai politik akomodatif yang dilakukan MPR dikarenakan proses dan hasil amandemen yang dilakukan telah menuai banyak kritik dan persoalan. Diantara kritik dan protes yang muncul itu adalah rumusannya yang banyak kelemahan, sulit dipahami, tidak sistematis, tidak konsisten dan tidak ada paradigma yang jelas serta prosesnya yang penuh diwarnai kepentingan sesaat. Pilihan alternatif yang didesakkan kepada MPR adalah untuk membentuk Komisi Konstitusi yang independen dan legitimate untuk membuat dan merumuskan Konstitusi Baru. Namun, Komisi Konstitusi yang dibentuk oleh MPR pada Sidang Tahunan MPR 2002 juga tidak terlalu memuaskan. Alasannya, pertama Komisi Konstitusi dibentuk dengan dasar hukum yang lemah, hanya berdasarkan Ketetapan MPR (TAP MPR No. I/MPR/2002). Kedua, kewenangannya sangat terbatas yakni hanya melakukan pengkajian secara komprehensif terhadap seluruh perubahan UUD 1945. Dalam hal ini, kewenangan itu menandakan MPR telah mereduksi keberadaan Komisi Konstitusi seperti sebuah lembaga kajian dan pengedit hasil rumusan konstitusi. Ketiga, posisinya kemudian menjadi lemah dikarenakan proses pembentukan Komisi Konstitusi melalui Badan Pekerja MPR
(BP MPR), demikian pula hasilnya harus disampaikan kepada BP MPR sebelum disahkan. Setelah bekerja selama kurang lebih 7 (tujuh) bulan dan sebentar lagi Komisi Konstitusi akan menyerahkan hasilnya kepada BP MPR, tergambar bahwa 31 orang anggota Komisi Konstitusi tidak bisa memenuhi harapan yang diinginkan. Hal ini sebagaimana telah diduga sebelumnya berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas. Secara umum, Komisi Konstitusi memang telah menghasilkan naskah akademis dan rumusan perubahan-perubahan yang diusulkan. Namun, hasil ini tidak menampakkan suatu konsolidasi naskah yang utuh, baik antara naskah akademis dengan rumusan perubahan maupun diantara pasal-pasal perubahan yang diusulkan. Hasil semacam ini memang tidak bisa dilepaskan dari proses yang terjadi di Komisi Konstitusi, yang nampaknya tidak lebih baik dari proses di MPR. Disamping kelemahan secara umum itu, ada kelemahan-kelemahan lain yang secara spesifik dan elementer menunjukkan kelemahan Komisi Konstitusi. Kritik yang menunjukkan kelemahan-kelemahan ini secara sistematis di bagi menjadi dua bagian; kelemahan proses dan hasil usulan perubahan Komisi Konstitusi. B. KRITIK PROSES DAN SUBSTANSI 1. Proses Komisi Konstitusi
Waktu 7 (tujuh) bulan yang dimiliki Komisi Konstitusi tidak dapat
KOALISI ORNOP UNTUK KONSTITUSI BARU
Kritik Proses dan Hasil Komisi Konstitusi
2
dimanfaatkan secara maksimal dikarenakan minimnya tingkat kehadiran, partisipasi dan intensitas dari anggota Komisi Konstitusi sendiri.
Partisipasi masyarakat yang terlibat dalam proses di Komisi Konstitusi sangat minim. Hal ini dapat terlihat dari lemahnya inisiatif Komisi Konstitusi untuk mengundang segenap komponen masyarakat terlibat dalam mengusulkan dan memberikan penilaian. Masyarakat tidak mendapatkan tempat dan waktu yang cukup memadai untuk berpartisipasi. Termasuk dalam proses uji sahih yang hanya dilakukan di tiga tempat (Jakarta, Medan dan Denpasar) dilakukan Komisi Konstitusi menjelang akhir tugas Komisi Konstitusi. Jelas uji sahih ini kemudian menjadi tidak sahih lagi untuk memperoleh legitimasi yang memadai terhadap hasil Komisi Konstitusi. Lemahnya konsolidasi dan managemen pembahasan di Komisi Konstitusi membuat naskah yang dihasilkan menjadi tidak jelas arahnya. Dalam hal ini, secara teknis pembahasan Komisi Konstitusi membagi dirinya menjadi dua sub komisi yakni untuk pembuatan naskah akademis dan usulan perubahan. Selanjutnya dibentuk tim penyelaras dan perumus untuk menyelaraskan dan merumuskan hasil yang diinginkan. Namun pembagian seperti ini terlihat tidak begitu efektif, dikarenakan masih terdapat perbedaan dan inkonsistensi dalam naskah akademik dengan usulan perubahan. Sebagaimana diakui sendiri oleh Komisi Konstitusi bahwa pembahasan tim perumus yang beranggotakan 9 orang tidak pernah bertemu secara terpadu, sehingga pembahasan diubah dengan mem-
bentuk tim perumus [Naskah Akademik UUD RI Tahun 1945 Usulan Komisi Konstitusi, Bab I Bagian Keempat hal 10]. Tim ini pun nampaknya tidak solid dalam merumuskan hasil akhirnya. Terlihat dari beberapa gagasan, ide dan rumusan yang masih berbeda dan tidak konsisten dalam menjelaskan suatu masalah, serta beberapa usulan perubahan yang tidak mendapatkan alasan atau penjelasannya dalam naskah akademik.
Implikasi dari persoalan ketiga di atas, Komisi Konstitusi yang sedari awal mencoba memulai dengan memperbaiki sistematika hasil amandemen UUD 1945 disertai usul perubahan hal-hal baru, namun kembali lagi ke dalam kerangka dan sistematika UUD 1945 hasil amandemen di saat akhir tugasnya. Hal itu menunjukkan tidak adanya konsistensi dan posisi yang jelas dari Komisi Konstitusi terhadap proses perubahan konstitusi yang hendak di capai.
2. Hasil Komisi Konstitusi a. Naskah Akademik UUD 1945
Naskah akademik yang disusun oleh Komisi Konstitusi tidak menggambarkan dan menjelaskan secara komprehensif bagaimana perubahan konstitusi dalam konteks transisi demokrasi. Penjelasan yang bisa menggambarkan realitas transisi bisa diabstraksikan dan disolusikan dalam konstitusi. Seperti halnya bagaimana seharusnya relasi yang harus dibangun antara negara dan warga negara, agama dan negara. Bagaimana menempatkan posisi militer, pemberantasan korupsi, kejahatan HAM dan penempatan lembagalembaga state auxiliary bodies seperti Komnas HAM, KPK, Ombudsman
KOALISI ORNOP UNTUK KONSTITUSI BARU
Kritik Proses dan Hasil Komisi Konstitusi
dan beberapa konstitusi.
3 lainnya
dalam
Naskah akademik yang dibuat Komisi Konstitusi tidak menjelaskan posisi politik yang diambil oleh Komisi Konstitusi terhadap proses perubahan Konstitusi. Apakah mau keluar dari batasan kewenangan yang ada atau hanya sebatas menjalankan kewenangan yang diberikan TAP MPR. Penegasan Posisi ini penting untuk bisa menjelaskan dan menggambarkan kerangka dan proses kerja hasil Komisi Konstitusi. Karena terlihat di satu sisi Komisi konstitusi berusaha keluar dari kewenangan yang ada dengan mencoba memberikan usulan perubahan baru, namun di sisi lain banyak memberikan sekedar evaluasi dan telaah kritis terhadap rumusan yang telah ada.
Secara umum, naskah akademik yang dibuat dan dihasilkan Komisi Konstitusi tidak selaras dengan materi perubahan yang diusulkan. Naskah akademik yang dibuat hanya bersifat akademik, sekumpulan dari bermacam teori namun tidak menjelaskan terhadap pilihan yang diambil yang menjadi kerangka dasar pasal perubahan yang diusulkan. Naskah akademik ini lebih mengesankan merupakan pembenaran saja dari hasil amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan MPR. Dengan demikian sangat partial dan tidak menjangkau secara komprehensif substansi atau materi yang layak menjadi muatan konstitusi.
Dalam naskah akademik Komisi Konstitusi masih terdapat kontradiksi antara gagasan dan penjelasan satu sama lain. Misalnya, salah satu konklusif pembahasan yang dihasilkan KK adalah Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD
bermakna, bahwa loci of soveregnity adalah rakyat, maka kedaulatan tidak ‘ditubuhkan’ (instititusionalisasi) pada lembaga negara, apalagi satu lembaga [bab III Naskah Akademik hal 33]. Konklusif ini sejalan dengan semangat perubahan yang sudah dan diakomodir dalam perubahan UUD 1945 versi MPR. Dalam hal ini MPR tidak lagi menjadi lembaga super body dan seluruh anggota dipilih melalui pemilu tanpa ada lagi yang diangkat. Namun, dalam pembahasannya Komisi Konstitusi menyatakan bahwa hilangnya kata “MPR” dalam rumusan UUD 1945 sangat naif dan menganggap penghilangan kata MPR itu mengandung konsekuensi hilangnya subjek pelaksana kedaulatan rakyat dengan sistem perwakilan [naskah akademik UUD 1945 hal 52-53] Perubahan pada posisi dan fungsi MPR seperti yang sudah diakomodir dalam perubahan ketiga UUD 1945 oleh MPR merupakan cerminan dari semangat dan paradigma baru yang menempatkan sebenar-benarnya kedaulatan rakyat. Pengejawantahan kedaulatan rakyat sudah tidak bisa ditempatkan lagi pada suatu lembaga, dalam hal ini perubahan UUD 1945 telah membagi pelaksanaan kedaulatan rakyat oleh semua lembaga sebagai representasi negara dalam sistem perwakilan. Penjelasan dalam pembahasan naskah akademik Komisi Konstitusi itu mengesankan, perubahan UUD akan dikembalikan dalam paradigma lama, yang menempatkan MPR menjadi lembaga yang supreme.
Naskah akademik tidak secara lengkap mengkaji dan mengkritisi amandemen UUD 1945 oleh MPR. Dalam hal ini misalnya, naskah akademik tidak meninjau lebih jauh persoalan sistematika dan struktur
KOALISI ORNOP UNTUK KONSTITUSI BARU
Kritik Proses dan Hasil Komisi Konstitusi
4
bahasa konstitusi hasil amandemen. Yang dikemukakan dalam naskah akademik adalah sejumlah teori dan prinsip yang digunakan dalam bahasa konstitusi. namun tidak menegaskan secara eksplisit apakah sistematika dan penggunaan struktur bahasa dalam amandemen UUD 1945 telah sesuai, dalam pengertian mudah dipahami.
Naskah akademik, khususnya dalam pembahasan revisi terhadap Amandemen UUD 1945 tidak menjelaskan apa alasan dan dasar argumentasi, ketika sejumlah pasalpasal dalam UUD 1945 diusulkan diubah. Misalnya, apa alasan dalam pemilihan presiden dua kali putaran harus dihapus, demikian pula dalam beberapa pasal-pasal soal HAM. Apa alasannya pula, hakim konstitusi berjumlah sekurang-kurangnya sembilan orang.
b. Materi/ Substansi UUD 1945
Perubahan
(1) Lembaga/Komisi Negara
Dalam merumuskan Majelis Permusyawaratan Rakyat Komisi Konstitusi mengusulkan : Majelis Permusyawaratan Rakyat Komisi terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah ( Pasal 2 ayat 1). Perlu ada kejelasan mengenai status MPR sebagai joint session antara DPD dan DPR dalam ayat di atas sehingga ada kejelasan mengenai semua keputusan MPR yang harus diambil dalam Joint Session seperti keputusan untuk impeachment dll. Saat ini, dengan adanya Pasal 2 UUD, seakan-akan Indonesia menganut “Trikameral” daripada “bikameral” (walau sering dibahasakan juga sebagai “weak bicameral”), karena MPR menjadi
lembaga permanen yang berdiri sendiri di samping DPR dan DPD.
MPR bukan lagi lembaga permanen, melainkan gabungan DPR dan DPD yang terjadi pada saat-saat tertentu di mana MPR harus menjalankan wewenangnya. Argumentasi : (i) Pasal 1 ayat (2) UUD menimbulkan penafsiran yang jelas untuk meniadakan posisi MPR yang lama sebagai lembaga tertinggi yang bekerja terusmenerus karena ia menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat. MPR yang sekarang hanya akan bekerja di waktu-waktu tertentu, yaitu wewenang rutinnya untuk melantik presiden dan wakil presiden terpilih sekaligus sidang pertama setelah Pemilu berlangsung yang secara konvensi ketatanegaraan merupakan waktu di mana seluruh anggota disumpah dan Peraturan Tata Tertib dibuat. Ini dilaksanakan hanya sekali dalam lima tahun. Di luar itu, wewenang lainnya bersifat tidak tetap dan hanya dalam keadaan luar biasa, yaitu bila terjadi dakwaan terhadap presiden/wakil presiden, pemilihan presiden/wakil presiden apabila presiden/wakil presiden terpilih berhalangan tetap, dan perubahan UUD. Wewenang ini seharusnya tidak dilihat sebagai wewenang MPR sebagai lembaga tersendiri, tapi justru wewenang bersama DPR dan DPD yang sifatnya istimewa. (ii) Terkait dengan uraian di atas, terlihat jelas bahwa baik dakwaan terhadap presiden/wakil presiden, pemilihan presiden/wakil presiden apabila presiden/wakil presiden terpilih berhalangan tetap, maupun perubahan UUD adalah wewenang bersama DPR
KOALISI ORNOP UNTUK KONSTITUSI BARU
Kritik Proses dan Hasil Komisi Konstitusi
5
dan DPD, bukan wewenang MPR sebagai lembaga tersendiri.
ditetapkan dengan suara terbanyak“ (Pasal 2 ayat (3)).
Ini bisa dilihat jelas dalam 7B UUD yang mengatur mengenai pemberhentian presiden/wakil presiden di mana DPR pada dasarnya berperan sebagai penuntut, di hadapan MPR yang terdiri dari DPR dan DPD.
Penambahan untuk prosedur pengambilan keputusan tidak terlalu penting, yang jauh lebih penting adalah susunan MPR yang harus diperjelas. Musyawarat untuk mufakat pada prakteknya di masa lalu merupakan dalih untuk memaksakan posisi dari fraksi yang dominan di MPR sehingga tidak dimungkinkan adanya suara oposisi dalam pengambilan keputusan. Keputusan berdasarkan mufakat pada dasarnya diarahkan pada suara bulat. Padahal dalam keputusan MPR seharusnya dibiarkan adanya pluralisme opini untuk menunjukkan pada masyarakat adanya perbedaan pendapat dalam MPR mengenai suatu keputusan.
(iii) Karena MPR hanya bekerja lima tahun sekali ditambah pada keadaan luar biasa, dari segi teknis kelembagaan akan menjadi tidak efisien dan membingungkan bila MPR dianggap lembaga tersendiri di luar DPR dan DPD. Akan muncul masalah-masalah teknis seperti: apa nantinya tugas sekretariat MPR, karena tidak lagi punya tugas sehari-hari? Akan terjadi banyak inefisiensi penggunaan anggaran negara di sini.
Idealnya Pasal mengenai MPR sekurang-kurangnya mengatur bahwa: (i) Majelis Permusyawaratan merupakan sebuah gabungan antara Perwakilan Rakyat dan Perwakilan Daerah.
Rakyat sidang Dewan Dewan
(ii) Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah mengadakan sidang gabungan sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat sedikitnya sekali dalam satu tahun di ibukota negara, untuk menetapkan jadwal kerja DPR dan DPD serta pada saat menjalankan wewenang tertentu sebagaimana diatur dalam UUD.
Oleh karena itu lebih baik mengembalikan rancangan kepada hasil amandemen UUD 1945 yang menyatakan bahwa : “Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan berdasarkan suara terbanyak”.
Selain itu dalam pengambilan putusan di Majelis Permusyawaratan Rakyat Komisi Konstitusi mengusulkan : “Segala Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan berdasarkan musyawarah untuk mufakat dan apabila mufakat tidak tercapai, keputusan
Komisi Konstitusi melakukan penambahan pada Pasal 22D ayat (2). Aslinya berbunyi: “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undangundang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.”. Berubah menjadi: “Dewan Perwakilan Daerah ikut menyetujui dan/atau menolak rancangan undangundang yang berkaitan dengan otonomi daerah...”
KOALISI ORNOP UNTUK KONSTITUSI BARU
Kritik Proses dan Hasil Komisi Konstitusi
6
Penambahan ini sudah bagus karena berarti sudah ada peningkatan kewenangan DPD dari hanya “ikut membahas” menjadi “ikut menyetujui dan/atau menolak”. Tetapi yang ideal adalah untuk membuat bikameral yang lebih kuat dalam konstitusi, yaitu dengan menguatkan wewenang DPD. Argumentasinya: (i) Gagasan awal gagasan bikameral di Indonesia adalah untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat daerah. Sebab, Indonesia memiliki kondisi geografis dengan wilayah yang sangat luas dan penduduk yang sangat beragam dari segi etnik dan latar belakang, sehingga menghaislkan kepentingan yang berbeda-beda. Untuk itulah, wewenang kamar di parlemen yang mewakili daerah harus lebih besar. (ii) Diperkenalkannya bikameral juga karena perlunya checks and balances di dalam parlemen itu sendiri. Dengan demikian, apabila wewenang DPD masih jauh dari DPR, tujuan untuk menghasilkan checks and balances ini tidak akan tercapai.
Idealnya pasal mengenai DPD sekurang-kurangnya mengatur bahwa: (i) DPD juga mempunyai wewenang membahas dan ikut memutuskan mengenai seluruh RUU yang dibahas di DPR. (ii) Namun wewenang untuk mengajukan RUU, hanya terbatas pada RUU bidang tertentu yang berkaitan dengan otonomi daerah. (iii) Harus diatur ketentuan yang lebih jelas untuk prosedur pembahasan RUU antara DPR dan DPD. Nantinya RUU harus dibahas di salah satu kamar yang
mengajukan terlebih dulu (DPR atau DPD). Apabila sudah disetujui di kamar yang satu, baru dikirim ke kamar yang lainnya. Apabila terjadi ketidaksepakatan di antara dua kamar, diadakan Sidang Gabungan antara DPD dan DPR. (Lihat usul konkrit dalam Bivitri Susanti dkk, Semua Harus Terwakili: Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga Kepresidenan, (Jakarta: PSHK, 2000)).
Komisi Konstitusi melakukan penambahan ayat (2) pada Pasal 20, berbunyi: “Anggota DPR berhak mengajukan usul RUU” serta beberapa perubahan redaksional lainnya. Selain itu, yang signifikan adalah penambahan ayat (6) dan (7): “RUU yang tidak mendapat pengesahan Presiden dikembalikan kepada DPR untuk dibahas kembali” dan “Presiden mengesahkan RUU yang telah dibahas kembali oleh DPR, apabila mendapat persetujuan 2/3 dari anggota DPR”. Penambahan ini baik karena mengadopsi mekanisme hak “veto” Presiden dan “penolakan veto” oleh DPR dalam proses pembuatan UU. Akan tetapi seharusnya, mekanisme ini dibuat dengan syarat ada ketentuan bahwa: (i) UU dibuat oleh DPR dan DPD (lembaga legislatif), bukan berdasarkan “persetujuan bersama” antara DPR dan Presiden. Sebab, seharusnya pembuatan UU merupakan wujud utama checks and balances antara eksekutif dan legislatif, di sini mereka harus “bertarung” secara politik. Jadi, ketentuan dalam Pasal 20 ayat (2) bahwa RUU mendapat “persetujuan bersama” DPR dan Pemerintah harus dihapus. Dan DPD harus diakui
KOALISI ORNOP UNTUK KONSTITUSI BARU
Kritik Proses dan Hasil Komisi Konstitusi
juga sebagai lembaga legislatif, tidak hanya DPR. Ini konsisten pula dengan pasal mengenai DPD yang menyatakan bahwa DPD juga berhak menyetujui dan/atau menolak suatu RUU. (ii) “Veto diam-diam” (pocket veto) presiden tetap dikenal seperti sekarang, di mana presiden berhak tidak menandatangani suatu RUU dan RUU dianggap tetap sah dan berlaku. (iii) harus ada ketentuan bahwa dalam melakukan veto dan penolakan veto, baik lembaga legislatif (DPR dan DPD) maupun presiden harus menyatakan alasannya dan menyatakannya dalam sidang terbuka. Dengan demikian, mekanisme checks and balances dapat benar-benar tercapai, jangan sampai terjadi lagi kondisi di mana presiden tidak pernah menjelaskan argumen politiknya mengapa ia tidak menyetujui suatu RUU.
Lembaga atau komisi negara telah diakui keberadaanya sebagai penunjang sistem dan penyelenggaraan pemerintahan, bahkan beberapa diantaranya telah ditempatkan pengaturannya dalam konstitusi. Hal ini juga dijelaskan dalam naskah akademik Komisi Konstitusi [hal 90-92] Dalam naskah akademis diakui bahwa adanya lembaga dalam bentuk komisi-komisi ini merupakan suatu yang wajar dan diperlukan. Namun Kajian dan usulan Komisi Konstitusi hanya berhenti pada komisi yang sudah ada dalam konstitusi, bagaimana dengan posisi komisi negara lainnya seperti, Komnas HAM, Ombudsman, KPK dan sebagainya, yang semestinya juga ditempatkan dalam konstitusi pengaturannya.
7 (2) Sistem Pemilu
Dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Komisi Konstitusi mengusulkan : “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara terbanyak dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden” (Pasal 6A ayat 3). Perubahan yang diusulkan oleh Komisi Konstitusi merubah Sistem Pemilihan Presiden yang sekarang yang mengharuskan calon Presiden dan Wapres untuk memenangkan suara mayoritas absolut (50% + 1) yang tersebar di sedikitnya separuh lebih jumlah provinsi di Indonesia dengan perolehan suara di setiap provinsi tersebut minimal 20%. Apabila tidak ada calon Presiden dan Wakil Presiden yang dapat memenuhi syarat tersebut, maka dilakukan pemilihan presiden tahap ke dua yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pada Pemiliihan Presiden tahap pertama. Pasangan calon yang memperoleh surat terbanyak dinyatakan menang sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Komisi Konstitusi tampaknya ingin menyederhanakan sistem Pemilu Presiden sehingga hanya menjadi satu tahapan. Argumentasinya sudah sering dilontarkan oleh mereka yang tidak setuju dengan sistem pemilu presiden sekarang, yaitu terlalu lama, terlalu memakan biaya, menimbulkan ketidakstabilan karena masa kampanye yang lama dll. Akan tetapi perlu dipikirkan pula dampak politik dari simplifikasi sistem Pemilu yang diajukan oleh Komisi Konstitusi. Meskipun lebih sederhana dan lebih cepat, namun besar kemungkinan bahwa sistem tersebut akan : (i) Banyaknya jumlah calon dari setiap parpol yang merasa dapat
KOALISI ORNOP UNTUK KONSTITUSI BARU
Kritik Proses dan Hasil Komisi Konstitusi
8
memperoleh suara terbanyak (mayoritas sederhana) sehingga tanpa berkoalisi dapat memenangkan pemilu Presiden. Sistem yang sekarang sedikit banyak mendorong para calon untuk bersikap realistis dalam pencalonan dan melakukan koalisi guna memperbesar peluang kemenangan pada pemilu Presiden tahap pertama.
terpilih agar tidak hanya didukung oleh wilayah-wilayah padat. (iv) Apabila terdapat kerisauan mengenai lamanya pelaksanaan Pemilu mulai dari Pemilu DPR sampai dengan pemilu Presiden, maka seharusnya Komisi Konstitusi mengusulkan penyelenggaraan Pemilu DPRdan DPD yang berbeda dengan Pemilu Presiden. Di banyak negara memang pelaksanaan Pemilu lembaga legislatif dengan Pemilu lembaga eksekutif jarang dilakukan pada tahun yang sama. Bahkan di AS, pemilihan untuk lembaga legislatifpun tidak seluruhnya dilakukan pada waktu yang bersamaan. Setiap dua tahun sekali 1/3 anggota Kongres AS mengalami pemilu. Jadi sejak awal memang masa jabatan anggota Kongres AS tidak jatuh pada waktu yang bersamaan.
(ii) Presiden terpilih mungkin hanya memenangkan kurang dari 50% suara, bahkan mungkin hanya 20% suara tetapi merupakan suara terbanyak dibandingkan perolehan suara dari pasangan calon Presiden lain. Akibatnya legitimasi Presiden terpilih akan rapuh karena ada mayoritas pemilih yang tidak memilihnya. Hal ini misalnya dialami oleh Presiden Estrada serta Presidenpresiden lain di negara Amerika Selatan yang menggunakan sistem mayoritas sederhana. Mayoritas pemilih yang tidak mendukung Presiden terpilih serta parpolparpol yang oposisi akan terus menerus menganggu dan menggoyahkan posisi Presiden terpilih. (iii) Di negara yang pluralis seperti Indonesia serta masih mengalami masa transisi, maka posisi Presiden yang rapuh sama sekali tidak dapat diterima karena mengganggu stabilitas pemerintahan. Persyaratan distribusi pada tahapan pertama juga ditujukan agar semua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebanyak mungkin mencari dukungan merata di hampir seluruh wilayah Indonesia, tidak hanya di wilayah yang berpenduduk padat. Hal ini penting bagi legitimasi Presiden
Penyelenggaraan Pemilu yang berbeda penting untuk mencegah adanya efek imbas dari Pemilu yang satu kepada Pemilu yang lain. Hal ini juga memberi peluang bagi masyarakat untuk berpikir ulang sebelum memberikan suara pada pemilu berikutnya. Namun masalahnya bila penyelenggaraan Pemilu legislative dan Pemilu presiden dipisahkan pada waktu atau tahun yang berbeda, maka salah satu lembaga harus diperpanjang masa jabatannya. Misalnya, bila Pemilu legislatif akan dilaksanakan pada tahun 2009 sedangkan Pemilu Presiden 2010, maka masa jabatan Presiden harus diperpanjang sampai tahun 2010. MPR harus memiliki kemauan politik untuk dapat melakukan hal ini.
Dalam Pemilihan Kepala Daerah Komisi Konstitusi telah memiliki
KOALISI ORNOP UNTUK KONSTITUSI BARU
Kritik Proses dan Hasil Komisi Konstitusi
pemikiran maju dengan mengusulkan : “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara langsung oleh rakyat“ (Pasal 18 ayat 4). Akan tetapi ketentuan tersebut belumlah cukup dan perlu ada penambahan pasal yang menentukan, bahwa mengenai penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan oleh Undang-undang kecuali di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang telah mempunyai aturan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota secara langsung dalam UU Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No.18/2001.
9 review dibawah terhadap konstitusi.
Usul perubahan pada jumlah hakim konstitusi sekurang-kurangnya 9 orang menjadi tidak jelas, berapa layaknya jumlah hakim konstitusi. Apa dasarnya nanti ketika ditentukan kemudian jumlah hakim konstitusi harus lebih dari 9 orang, apakah karena alasan kebutuhan, alasan anggaran atau apa. Hal ini akan berpengaruh pada kebijakan atau peraturan selanjutnya untuk menentukan soal jumlah tersebut harus didasarkan pada pertimbangan seperti yang sangat situasional sifatnya.
Penempatan unsur Kejaksaan menjadi materi baru dalam perubahan Komisi Konstitusi tidak jelas ditempatkan sebagai apa, apakah pelaksana kekuasaan kehakiman atau penegak hukum. Juga tidak secara lengakap memuat unsur-unsur lainnya, bagaimana dengan kepolisian dan advokat.
Selain ketentuan Pemilu diatas, perlu juga ditegaskan dalam Konstitusi, bahwa Pemilu tidak dapat diselenggarakan dibawah status darurat militer atau darurat sipil.
(3) Kekuasaan Kehakiman
Pada bagian bab Kekuasaan Kehakiman tidak dijelaskan terlebih dahulu siapa lembaga pelaksana/pelaku kekuasaan kehakiman. Sekalipun dirumuskan dalam pasal-pasalnya ada MA dan MK, namun perlu dijelaskan siapa pelaksana kekuasaan kehakiman.
Usul Penambahan wewenang Mahkamah Konstitusi menyangkut soal pengaduan pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara merupakan suatu hal yang positif. Namun, hal itu tidak dibarengi dengan wewenang lainnya yang bisa ditempatkan ke MK berkaitan dengan persoalan-persoalan konstitusi. Misalnya, bagaimana dengan judicial
undang-undang
(4) Hak Asasi Manusia
Dalam merumuskan Hak Asasi Manusia, Komisi Konstitusi telah mengambil putusan kontroversial dengan menghapus pasal-pasal yang dipandang fundamental. Komisi Konstitusi beralasan, penghapusan itu diambil karena adanya duplikasi pengaturan. Alasan itu ada benarnya, tapi ada pasal yang sangat penting, dihapus oleh Komisi Konstitusi. Dalam merumuskan pasal-pasal Hak Asasi Manusia, Komisi Konstitusi gagal membedakan antara hak asasi manusia dan hak warga negara. Komisi Konstitusi telah melakukan pendangkalan terhadap jaminan Hak Asasi Manusia dan kebebasan, sebagaimana mereka memperlakukan jaminan Hak Asasi Manusia dan
KOALISI ORNOP UNTUK KONSTITUSI BARU
Kritik Proses dan Hasil Komisi Konstitusi
10
kebebasannya hanya sekedar hak warga negara.
Seharusnya, Komisi Konstitusi membedakan pengaturan antara Hak Asasi Manusia dan hak warga negara, karena antara keduanya tidak sama. Hak Asasi Manusia harus diatur secara lengkap dalam Konstitusi, untuk memberikan jaminan bagi dihormatinya hak-hak dasar manusia. Perjalanan sejarah Konstitusi di Indonesia pernah memberlakukan pengaturan Hak Asasi Manusia yang cukup ideal yaitu Konstitusi RIS 1949 dan UUD 1950. Kedua Konstitusi tersebut dapat dikatakan telah mengacu pada Universal Declration of Human Raights. Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam UUD yang tidak lengkap di masa lalu, terbukti telah melahirkan penguasa yang represif dan otoriter dalam menjalankan kekuasaannya. Usulan Konstitusi oleh Komisi Konstitusi tidak memberikan jaminan yang tegas bagi kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran, karena segala yang terkait dengan ketentuan diatas ditetapkan dengan undang-undang. Sementara Komisi Konstitusi menghapus pasal 28E ayat (3) yang secara tegas memberikan jaminan bagi kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran. Karena tidak ada jaminan dalam Konstitusi, maka membuka peluang bagi pengekangan terhadapat kemerdekaan berfikir dan berekspresi melalui pengaturan undang-undang. Komisi Konstitusi tidak konsisten dalam merumuskan kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran, karena pada satu sisi hak tersebut di delegasikan pengaturannya melalui undangundang, tapi pada sisi yang lain ada
pasal-pasal yang mengatur terkait dengan hak-hak diatas.
Komisi Konstitusi telah menghapus pasal yang penting yaitu pasal 28 H ayat (2) : “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan“. Penghapusan tersebut diambil dengan argumentasi pasal tersebut sudah terakomodir dalam pasal 27 ayat (1) : “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya“. Pasal 27 ayat (1) yang selalu disebutsebut sebagai ketentuan yang menjamin adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan, sesungguhnya bukan merupakan pengakuan atas prinsip persamaan laki-laki dan perempuan melainkan pengakuan prinsip persamaan dimuka hukum (equality before the law). Masalah kebijakan affirmative/tindakan khusus sementara harus mendapat jaminan konstitusional dalam UUD. Kebijakan affirmative/tindakan khusus sementara dilakukan untuk memastikan bahwa kelompokkelompok yang selama ini tertinggal/termarginalkan, baik karena adanya perbedaan biologis, gander, maupun adanya ketidaksetaraan sosial, dan perbedaan-perbedaan lain, dapat terwakili di lembaga-lembaga pengambil keputusan. Konstitusi harus memberikan jaminan bahwa kondisi diskriminatif dan eksploitatif itu harus segera diakhiri dengan tindakan yang bersifat affirmative, sehingga kebijakan yang dikeluarkan tidak saja memungkinkan mereka mendapat kesempatan dan
KOALISI ORNOP UNTUK KONSTITUSI BARU
Kritik Proses dan Hasil Komisi Konstitusi
perlakuan yang sama (equality of opportunity) tapi juga mendapat manfaat dan hasil yang sama pula (equality of result). Dengan dihapuskannya ketentuan diatas, akan mempersulit kelompok-kelompok marginal untuk mendapatkan hak-hak konstitusionalnya.
11 yang signifikan. Karena asumsinya penguasaan oleh negara sebenarnya merupakan penguasaan dalam pengelolaannya, yaitu melalui pengaturan yang berkeadilan.
Perubahan besar dalam ayat (3) sebenarnya tidak terlalu diperlukan karena esensinya sama saja. Yang terpenting adalah ketentuan bahwa kekayaan alam dan lingkungan dikuasai oleh negara untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Dan ini sudah dicakup dalam ketentuan yang lama.
Penghilangan “prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” merupakan suatu kemunduran. Sebab, hanya mencantumkan “demokrasi ekonomi” tanpa adanya prinsip-prinsip tersebut, pernyataan bahwa “Perekonomian diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi ekonomi” bisa ditafsirkan bermacam-macam. Tidak ada ketentuan yang memagari kebijakan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah, yang bisa menjadi prinsip yang dapat digunakan dalam mempertanyakan kebijakan ekonomi pemerintah berdasarkan prinsipprinsip dalam konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi (dalam konteks justisiabiliti) dan masuknya ayat (5) merupakan langkah yang baik.
Idealnya ketentuan mengenai perekonomian dan kesejahteraan sosial sekurang-kurangnya harus mencakup:
(5) Pertahanan dan Keamanan
Pasal 16 dinyatakan : “Presiden dapat membentuk suatu Dewan Keamanan Nasional, yang bertugas memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden mengenai kemanan Negara”. Apa yang menjadi dasar dan pertimbangan Dewan Keamanan Nasional dimasukkan dalam rumusan Konstitusi. Tidakkah itu melekat dalam kewenangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah ataupaun pemegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Laut. Tidak ada urgensi maupun relevansi rumusan diatas dimasukkan dalam Konstitusi.
(6) Ekonomi
Dalam pengaturan Ekonomi Komisi Konstitusi menambahkan kata “untuk sebesar-besar kemamuran rakyat” pada ayat (1) Pasal 33, perubahan kata “dikuasai” menjadi “diatur” dalam ayat (2), perubahan ayat (3), penghilangan prinsip-prinsip asas demokrasi ekonomi dalam ayat (4), dan penambahan ayat (5) yang berbunyi: “Negara memajukan dan memberdayakan semua pelaku ekonomi secara seimbang dan berkelanjutan.” Penambahan frasa “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” dalam ayat (1) sudah cukup baik. Penggantian kata dikuasai menjadi “diatur” sudah tepat walaupun sebenarnya tidak punya arti
(i) Sesuai dengan ketentuan Pasal 33 hasil amandemen, dengan perubahan kata “dikuasai” menjadi “diatur” dalam ayat (2) dan penyesuaian beberapa frasa
KOALISI ORNOP UNTUK KONSTITUSI BARU
Kritik Proses dan Hasil Komisi Konstitusi
12
dalam ayat (4). Sehingga ayat (4) secara keseluruhan berbunyi: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan” (ii) Ditambah dengan ayat (5) usulan Komisi Konstitusi.
kewenangan yang hanya bertugas melakukan pengkajian secara komprehensip terhadap perubahan UUD dan bertanggungjawab kepada BP MPR. Keadaan tersebut, berimplikasi terhadap hasil-hasil rumusan usulan perubahan Konstitusi.
C. Prosedur Perubahan UUD
Usulan Komisi Konstitusi telah menempatkan Komisi Konstitusi untuk melakukan pengkajian dalam setiap perubahan. Namun hal ini tidak disertai dengan kewenangan yang jelas dan lengkap. Usul Komisi Konstitusi untuk mengajukan usul perubahan melalui referendum kepada rakyat akan menyulitkan perubahan itu sendiri. Dalam hal ini menjadi tidak jelas, siapa kemudian yang berwenang untuk menetapkan hasil perubahan. Bagaimana kemudian MPR jika menolak.
C. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Kesimpulan
Sejak awal, Komisi Konstitusi yang dibentuk oleh MPR memiliki banyak kelemahan, khususnya menyangkut
Meskipun Komisi Konstitusi telah berhasil merumuskan perubahan Konstitusi, namun konsep rumusan Konstitusi yang dihasilkan belum dapat dijadikan sebagai rumusan konstitusi ideal guna membangun negara demokratis.
2. Rekomendasi Dengan fakta dan argumentasi diatas, maka dengan ini kami merekomendasikan :
Dalam merespon hasil Komisi Konstitusi, BP MPR cukup memberikan second opinion tanpa memutuskan menerima atau menolak, dan menyerahkan putusan itu pada anggota MPR terpilih hasil Pemilu 2004..
Mendesak MPR terpilih hasil Pemilu tahun 2004 untuk membentuk Komisi Konstitusi yang independent dan representative serta memiliki kewenangan untuk melakukan perubahan konstitusi secara menyeluruh, transparan, partisipatif dan akuntabel.***
KOALISI ORNOP UNTUK KONSTITUSI BARU CETRO, KONTRAS, KRHN, AJI, Bina Desa, ELSAM, Forum Rektor, YPSDM, Gandi, ICW, INFID, INSE, KIPP Indonesia, DEMOS, Koalisi Perempuan, LBH APIK, LBH Jakarta, UPC, LeIP, MTI, IMLPC, PBHI, PSHK, Solidaritas Perempuan, NOVICO, Walhi, Yappika, Imparsial, Kalyana Mitra, Mitra Perempuan, LSPP, PMKRI
KOALISI ORNOP UNTUK KONSTITUSI BARU
Kritik Proses dan Hasil Komisi Konstitusi
KOALISI ORNOP UNTUK KONSTITUSI BARU
13
Kritik Proses dan Hasil Komisi Konstitusi
14
Lampiran : Tabel Perbandingan KK di Indonesia dan di Afrika Selatan Perihal Latar belakang pembentuka n
Indonesia
Afrika Selatan
Karena ada kesimpang siuran Pemerintahan baru yang non rasis hasil pemilu dan tidak komprehnsifnya hasil 1994 (Presiden Nelson Mandela) berkeinginan untuk melakukan reformasi secara keseluruhan Amandemen UUD 1945 dan memulai masa transisinya dengan membuat Sebagai jalan tengah kompromi konstitusi sementara (Interim constitution atas dua kelompok besar yang 1994) dan membentuk Majelis Konstitution menyetujui amandemen dengan (Constitution Assembly) untuk memnbuat kelompok yang tidak setuju Konstitusi yang baru amandemen
Proses Terdiri dari 31 orang, dengan pembentuka rumus 17+45 : 2 n dan Tidak terdapat unsur daerah keanggotaan Tidak ada fit and proper test, hanya dinilai dari paper yang dibuat
Terdiri dari 400 orang anggota Parlemen dan 90 orang anggota senat. Anggota Majleis Konstitusi kemudian diperintahkan oleh konstitusi sementara untuk membentuk komite independen yang terdiri dari para ahli konstitusi
KK dibentuk oleh MPR berdasarkan TAP MPR dan TUS MPR Kewenangan
Melakukan pengkajian secara Memiliki kewenangan penuh untuk menyeluruh terhadap UUD 1945 menghimpun pendapat masyarakat serta melakukan penyusunan draft konstitusi baru
Jangka waktu
7 bulan
Konstitusi sementara menetapkan 2 tahun (sejak 1994). Majelis konstitusi kemudian berhasil menyelesaikan daraft pada 6 September 1996. namun Mahkamah Konstitusi tidak meloloskan draft karena dianggap bertentangan prinsip-prinsip yang ditegaskan sejak awal. Kemudian dibuat darft kedua pada 11 Oktober 1996 dan disahkan pada 7 Februari 1997
Cara kerja
Di bagi dalam sub Komisi
Melakukan kampanye media menumbuhkan kesadaran masyarakat
Melakukan dialog beberapa pihak
dengan
untuk
Membuat forum untuk menampung aspirasi masyarakat. Forum ini melibatkan pertisipasi Merumuskan hasil kajiannya, masyarakat secara penuh dengan berfokus pada tetapi tidak diketahui apa bentuk masyarakat pedesaan dan komunitas marginal. hasil kerjanya; naskah akademis Dari pedesaan, majelis konstitusi menerima atau draft Konstitusi? kira-kira dua juta masukan dan petisi Sebelum disahkan oleh majelis konstitusi, masyarakat diundang untuk memberikan komentar terhadap draft terakhir. Proses pengesahan
Hasil kerja diserahkan ke Badan Draft akhir konstitusi harus disetujui oleh Pekerja MPR majelis konstitusi dengan minimal 60 % suara dan terakhir disahkan oleh Presiden BP MPR kemudian akan menyerahkan ke MPR, untuk disahkan atau tidak disahkan
KOALISI ORNOP UNTUK KONSTITUSI BARU
Kritik Proses dan Hasil Komisi Konstitusi
KOALISI ORNOP UNTUK KONSTITUSI BARU
15