Kriteria Sertifikasi Makanan Halal Dalam Perspektif Ibnu Hazm dan MUI
Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Hasyim Asy’ari NIM : 106043101297
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING …………………………... ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ………………………………... iii KATA PENGANTAR …………………………………………………... iv DAFTAR ISI…………………………………........................................... vi
BAB I : PENDAHULUAN A.
Latar Belakang………………..………………….. 1
B.
Pembatasan dan Rumusan Masalah……………… 8
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian.………………….. 8
D.
Kajian Pustaka……………………………………. 9
E.
Metode Penelitian…………………. …………….. 11
F.
Sistematika Penulisan…………………………….. 13
BAB II : BIOGRAFI UMUM IBN HAZM DAN MUI A. Sketsa- Biografi dan Metode Ibn Hazm……………. 14 1. Riwayat Hidup Ibn Hazm…………………… 14 2. Karya-karya Ibn Hazm………………………. 16 3. Kondisi Sosial, Politik, dan Intelektual Pada Masa Ibn Hazm……………………………… 18 4. Metode Ijtihad Ibn Hazm……………………. 24
viii
B. Biografi Majelis Ulama Indonesia…………………... 33 1. Sejarah Pembentukan MUI…………………. 33 2. Metode Fatwa MUI…………………………. 38 3. Mekanisme Kerja Komisi Fatwa MUI……… 41
BAB III : KRITERIA MAKANAN HALAL MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian Makanan Halal Menurut Hukum Islam…45 B. Syarat-syarat
Makanan
Halal
Menurut
Hukum
Islam………………………………………………… 54
BAB IV
:
ANALISIS KRITERIA SERTIFIKASI MAKANAN
HALAL MENURUT IBNU HAZM DAN MUI A. Pengertian Sertifikasi Makanan Halal Menurut Ibnu Hazm dan MUI……………………………………... 56 B. Syarat-syarat Sertifikasi Halal Menurut Ibnu Hazm dan MUI………………………………………………… 60 C. Analisis Kriteria Makanan Halal Menurut Ibn Hazm dan MUI…………………………………………… 65 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………… 70
ix
B. Saran………………………………………………. 72 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. 74 LAMPIRAN............................................................................................... 75
x
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam kehidupan, manusia selalu membutuhkan makanan sehariharinya. Mereka membutuhkan makanan untuk perkembangan jasmani dan rohani. Dalam memilih makanan yang baik, hendaknya sebagai umat muslim memilih makanan yang sehat menurut Islam. Dalam ajaran Islam banyak peraturan yang berkaitan dengan ’’makanan’’, dari mulai mengatur makanan yang halal dan haram, etika (adab) makanan, sampai mengatur idealitas dan kuantitas makanan di dalam perut. Salah satu peraturan yang terpenting ialah larangan menkonsumsi makanan atau minuman yang haram. Menkonsumsi yang haram atau belum di ketahui kehalalannya akan berakibat serius, baik di dunia maupun di akhirat kelak sebagaimana hadis Nabi yang artinya, “Setiap daging yang tumbuh yang di peroleh dari kejahatan (jalan haram),maka neraka lebih layak baginya.’’ (HR.Imam Ahmad) Seruan Allah kepada umat manusia agar menkomsumsi makanan yang halal lagi baik dan menyehatkan tidak lain adalah demi tercapainya kemaslahatan bagi umat manusia itu sendiri.
1
2
Artinya; “Hai sekalian umat manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,dan janganlah kamu mengikuti langkahlangkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagimu’’.(Al-Baqarah:168) Dan hadis Nabi:
انّ اﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻃﯿّﺐ ﻻ ﯾﻘﺒﻞ اﻻ ﻃﯿّﺎ: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ: ﻋﻦ اﺑﻰ ھﺮﯾﺮة ﻗﺎل Artinya; “Sesungguhnya Allah itu baik dan menyukai hal-hal yang baik-baik saja”. (HR. Muslim). Hikmah di balik perintah itu adalah agar agama, jiwa, akal serta keturunan, dan harta dapat terjaga dan terpelihara dengan baik. Dengan terjaganya kemaslahatan tersebut seorang mukallaf diharapkan akan sanggup menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi dan akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Perkembangan globalisasi, ilmu pengetahuan, dan perkembangan di bidang perekonomian, perindustrian dan perdagangan telah menghasilkan
3
berbagai varian dalam hal barang dan jasa yang dapat diperoleh dan dikonsumsi secara cepat dan mudah. Dampak dari perkembangan tersebut terutama sekali terlihat pada hal makanan dengan berbagai cara pengelolaan dan pembuatannya. Agar hasil olahannya terlihat baik, tahan lama, dan unggul dari kompetitifnya dunia perdagangan tetapi praktis dan dengan biaya murah, banyak dari pengelola makanan menggunakan dan mencampur zat adiktif berupa pewarna, perasa, dan pengawet makanan, tanpa banyak berpikir dan memperhatikan dampak dari campuran bahan kimiawi tersebut bagi kesehatan. Beberapa
hari
belakangan
masyarakat
di
hebohkan
dengan
pemberitaan seputar di temukannya sejumlah bahan makanan yang mengandung formalin. Formalin yang
sebenarnya di gunakan sebagai
pengawet mayat ternyata juga di gunakan oleh masyarakat sebagai pengawet makanan. Departemen Kesehatan dan BPOM menjelaskan bahwa akibat dari menkonsumsi formalin menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan, muntahmuntah, batuk kronis, pusing-pusing dan rasa terbakar pada tenggorokan, sukar konsentrasi, mudah lupa. Apabila digunakan secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kanker, kerusakan hati, jantung otak, limpa, dan ginjal.
4
Dari penjelasan di atas, persoalan formalin bukanlah persoalan yang bisa dianggap ringan. Karena dampaknya yang sangat besar terhadap kesehatan manusia. Kemungkinan besar formalin sudah bersemayam di sebagian besar tubuh rakyat Indonesia mengingat terungkapnya kasus baru ini sekarang. Setelah sekian lama produsen nakal ini tanpa pengawasan telah menyebarkan hasil produksinya ke seluruh wilayah Indonesia. Dalam konteks Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga keagaman, sudah mencoba memfungsikan perannya di tengah kehidupan masyarakat yang beragama sebagai penjaga nilai moral, baik secara horizontal maupun secara vertikal. Peranan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagaimana tujuan awal pendiriannya adalah sebagai penyambung lidah masyarakat kepada pemerintah, dan pemerintah kepada masyarakat. Selain Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai organisasi para ulama yang merupakan warosat al-anbiya harus memiliki optimisme kearah tersebut. Seperti misalnya, dalam mengeluarkan fatwa mengenai produk makanan yang akan dikonsumsi oleh umat muslim Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempunyai lembaga independen yaitu LP POM Majelis Ulama Indonesia (MUI) (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia). Lembaga ini semenjak didirikan sampai sekarang sudah diakui otoritasnya sebagai lembaga yang paling berhak mengeluarkan
5
sertifikat halal pada setiap produk makanan di Indonesia. (bagi produsen yang mengajukan permohonan). Terlepas dari latar belakang, LP POM Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah membuktikan kepercayaannya kepada umat Islam, dan yang paling penting adalah kepada produsen makanan yang mengajukan permohonan sertifikat halal. LP POM Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempercayakan kepada berbagai pakar yang berbeda latar belakangnya, yaitu: kalangan ulama, para fukoha, ahli pangan dan ahli kesehatan.dalam mekanisme kerjanya, para pakar tersebut akan mengadakan pemeriksaan terhadap bahan dan proses produksi bahan-bahan makanan, minuman dan kosmetik yang meliputi: penelitian jenis-jenis bahan dan substansi bahan yang mengandung unsur haram, termasuk didalamnya membahas status hukum bahan-bahan yang akan diteliti karena proses kimiawi dan biologi strukturnya berubah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menentukan hukum halal dan haramnya suatu permasalahan, dilakukan melalui proses ijtihad yang panjang dengan segala perangkat hukum yang ada. Sudah barang tentu konsep penerapannya pun berbeda. Hanya saja yang jadi permasalahan ini adalah bagaimana Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam mencetuskan hukum suatu masalah dapat diketahui secara transparan dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral maupun hukum.
6
Dalam syari’at Islam, Allah SWT menghalalkan semua makanan yang mengandung mashlahat dan manfaat, baik yang kembalinya kepada ruh maupun jasad, baik kepada individu maupun masyarakat. Demikian pula sebaliknya Allah SWT mengharapkan semua makanan yang memudharatkan atau lebih besar mudharat daripada manfaatnya. Terkait dengan makanan yang haram dalam Islam ada dua jenis: 1. Ada yang diharamkan karena dzatnya. Maksudnya asal dari makanan tersebut memang sudah haram, seperti: bangkai, darah, babi, anjing dan selainnya. 2. Ada yang diharamkan karena suatu sebab yang tidak berhubungan dengan dzatnya. Maksudnya asal makanannya adalah halal, akan tetapi dia menjadi haram karena adanya sebab yang tidak berkaitan dengan makanan tersebut. Misalnya: makanan dari hasil mencuri, upah perzinaan dan lain sebagainya. Berkenaan dengan makanan halal dan haram dalam Islam, ulama juga banyak yang mengomentarinya. Salah satunya adalah pernyataan Ibnu Hazm dalam kitabnya (al-Muhalla) “Setiap binatang yang diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada sembelihan baginya, karena Rasul
7
melarang dari menyia-nyiakan harta dan tidak halal membunuh binatang yang dimakan”.1 Ibnu Hazm adalah ulama yang kebetulan minhaj yang ditempuhnya sama dengan minhaj yang ditempuh oleh Daud al-Dzahiri yang di dalam meletakkan hukum banyak berbeda dengan ulama pada umumnya. Hal ini disebabkan karena Ibnu Hazm mempunyai metode tersendiri dalam memahami nash al-Qur’an maupun al-Hadis, yaitu minhaj al-Dzahiri yang jauh berbeda dengan kebanyakan Ushuliyin.2 Ringkasnya dalam menetapkan hukum, beliau berpegang kepada Kitabullah, Sunah Rasul dan ijma’ (harus semua sepakat).3 Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas dan untuk meneliti tentang perilaku konsumsi yang baik dalam pandangan Islam dan secara khusus dalam pandangan Ibnu Hazm, maka dari itu penulis tertarik untuk menulis skripsi yang berjudul “Kriteria Sertifikasi Makanan Halal dalam Perspektif Ibnu Hazm dan MUI”.
1
Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Andalusi, al-Muhalla bi al-
Atsar, (Beyrut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, TT), h. 63. 2
H. M. Al-Hamid al-Husaini, Riwayat Sembilan Imam Fiqh, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), H. 562 3
237-238
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.
8
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalah dalam skripsi ini berkisar tentang perilaku konsumsi makanan dan minuman yang halal berhubungan dengan sertifikasi halal dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pandangan Ibnu Hazm tentang sertifikasi halal dalam konsumsi, serta kajian persamaan dan perbedaan sertifikasi halal menurut MUI dan Ibnu Hazm. Berdasarkan latar belakang yang telah di jelaskan sebelumnya, penulis membatasi pembahasannya dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pandangan dan metode istinbath hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang sertifikasi makanan halal? 2. Bagaimanakah pandangan dan metode istinbath hukum Ibnu Hazm tentang sertifikasi makanan halal? 3. Bagaimanakah perbedaan pandangan dan metode istinbath hukum Ibnu Hazm dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang sertifikasi makanan halal?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dari pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
9
1. Untuk mengetahui pandangan dan metode istinbath hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang sertifikasi halal. 2. Untuk mengetahui pandangan dan metode istinbath hukum Ibnu Hazm tentang sertifikasi halal. 3. Untuk mengetahui perbedaan pandangan dan metode istinbath hukum Ibnu Hazm dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang sertifikasi halal. Penulis pun berharap, dengan penulisan skripsi ini maka akan mampu memberi manfaat, yakni: 1.
Secara teoritis yaitu untuk menambah wawasan sekaligus pengembangan ilmu pengetahuan mengenai pemikiran Ibnu Hazm tentang sertifikasi halal dan juga metode-metode istinbath hukum yang digunakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
2. Secara praktis, dapat dijadikan sebagai dasar atau bandingan bagi para peminat studi ini untuk mengkajinya lebih mendalam lagi dan menambah khazanah kepustakaan.
D. Kajian pustaka Dalam penelitian yang telah lalu, ada penulisan skripsi yang terkesan mirip dengan penulisan skripsi yang dipilih oleh penulis yakni:
10
1. Skripsi yang ditulis oleh Nopianto, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah Dan Hukum, Jurusan Perbandingan Madzhab Dan Hukum Tahun 2006 yang berjudul “Penerapan Fatwa MUI Dalam Melahirkan Produk Halal (Studi Kasus McDonald Indonesia)”. Pada penulisan skripsi ini, penulis membahas tentang lahirnya label halal yang dikeluarkan MUI terhadap McDonald, sehingga objek dari penelitian ini adalah McDonald yang ada di Indonesia. 2. Tinjauan Hukum Islam Tentang Penggunaan Formalin Sebagai Pengawet Bahan Makanan, skripsi ini ditulis oleh Kholid Hidayatullah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah Dan Hukum, Jurusan Perbandingan Madzhab Dan Hukum Tahun 2006. Dalam skripsi ini, penulis lebih membahas kepada hukum Islam secara keseluruhan tentang penggunaan formalin sebagai bahan pengawet makanan. Berbeda dengan skripsi-skripsi tersebut, dalam penulisan skripsi penulis “Kriteria Sertifikasi Makanan Halal Dalam Perspektif Ibnu Hazm dan MUI.” penulis lebih mendiskripsikan tentang metode istinbath hukum yang digunakan oleh Ibnu Hazm dan MUI dalam menetapkan hukum, khususnya berkenaan dengan sertifikasi halal dalam makanan.
11
E. Metode Penelitian Metode penelitian yang akan di gunakan oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah metode-metode yang dapat mempermudah dan berlaku dalam penelitian, yaitu: 1. Jenis penelitian Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang di maksudkan data yang setiliti mungkin.4 2. Pendekatan Penelitian Mengingat penelitian yang bersifat kualitatif, maka pendekatan yang akan di gunakan adalah pendekatan doktrinal atau normatif. Pendekatan hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. 3. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder, yaitu data-data yang memberikan penjelasan yang mengenai data primer yang mencakup buku-buku, literatur-literatur yang berhubungan dengan sertifikasi makanan halal menurut pandangan Ibnu Hazm dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
4
Sudarman Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif (Bandung: Pusaka Setia, 2002), h. 51
12
4. Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
study
dokumen
(Library
Research).
Penulis
melakukan
pengumpulan data dengan cara menelusuri buku-buku dan literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. 5. Pengelolaan dan Analisa data Setelah data tersebut diolah dengan cara dikumpulkan, dibaca, dikaji, dan dikelompokkan, lalu penulis menganalisanya dengan metode-metode sebagai berikut: a. Metode induktif; yaitu suatu cara dalam menganalisa yang bertitik tolak dari data yang bersifat khusus kemudian ditarik atau diambil kesimpulan yang bersifat umum. b. Metode deduktif; yaitu logika yang bertitik tolak dari pengetahuan yang bersifat umum, kemudian dijadikan titik tolak dalam menilai suatu fakta yang bersifat khusus dan konkrit. 6. Teknik Penulisan Sedangkan teknik yang digunakan dalam menyusun skripsi ini, penulis memakai acuan dari ”Pedoman menulis skripsi, yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.
13
F. Sistematika Penulisan Supaya mudah dipahami, maka penulis membagi bahasan ini menjadi lima bab, yaitu sebagai berikut: Bab I ; Bab ini mengenai pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II ; Bab ini tentang biografi umum tentang Ibn Hazm dan MUI. Diawali dengan riwayat hidup Ibn Hazm, karya-karya Ibn Hazm, situasi politik, intelektual dan sosial pada masa Ibn Hazm, metode Ibn Hazm, sejarah terbentuknya MUI, matode fatwa MUI, serta mekanisme Kerja Komisi Fatwa MUI. Bab III ; Penyusun mencoba menerangkan study kepustakaan yang memaparkan tentang konsep makanan dalam Islam untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, kemudian diperinci dengan penjelasan-penjelasan mengenai hukum Islam tentang perilaku menkonsumsi makanan, definisi dan kriteria halal dan haram, dampak makanan halal dan haram terhadap perilaku konsumsi. Bab IV ; Menerangkan tentang analisis kriteria sertifikasi makananan halal pemikiran Ibnu Hazm dan MUI. Bab V ; Penutup yang disertai kesimpulan dan saran yang dibagian akhir terdapat daftar pustaka.
14
BAB II BIOGRAFI UMUM IBNU HAZM DAN MUI
A. Sketsa Biografi dan Metode Ibnu Hazm 1. Riwayat Hidup Ibnu Hazm Ibnu Hazm lahir pada hari terakhir bulan ramadhan 384 H / 994 M di Manta Lisyam (Cordova). Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad ‘ali Ibn Ahmad Ibn Sa’id Ibn Hazm Ibn Galib Ibn Saleh Ibn Khalaf Ibn Mu’az Ibn Sufyan Ibn Yazid.1 Ibn Hazm merupakan keturunan Persia dari nenek moyangnya yaitu Maula Yazid Ibn abi Sufyan al-Umawi.2 Masa lahir beliau adalah masa yang tragis dan krisis bagi umat Islam di Spanyol. Meskipun pada masa itu budaya dan ilmu pengetahuan sudah cukup maju. Cordova sebagai tempat kelahiran Ibnu Hazm sebagai Ibu Kota Spanyol telah berkembang menjadi kota administrasi dan pusat perkembangan ilmu pengetahuan dengan berkembangnya perpustakaan dan universitas Cordova. Pada masa kanak-kanak Ibnu Hazm menamatkan pendidikan di lingkungan keluarga yang serba kecukupan baik dari harta, kehormatan, dan kedudukan, karena ayahnya adalah seorang wazir (menteri) terkemuka dibawah Khalifah al-Mansur dan al-Muhaffar. Dengan didasari semangat yang tinggi Ibnu 1
Faruq Abdul Mu’ti,Ibnu Hazm az-zhahiri (Beirut: Dar al-kutub al-‘Ilmiyyah, 1992),
2
Ibn Kasir, Al-Bidayah wa an-Nihayah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), Juz 1, h. 2-3.
h.7.
14
15
Hazm diarahkan untuk menjadi pengarang yang handal. Setiap ilmu selalu diperosesnya dengan pemahaman dan hafalan yang sedalam-dalamnya.3 Pada masa remajanya, ia mendapat didikan di lingkungan istana dan lingkungan harem. Di lingkungan ini ia mendapat pendidikan agama seperti alQur’an, menghafal sya’ir, sastra, menulis ilmu mantik, dan filsafat. Sampai dengan usia 14 tahun ia menikmati keadaan aman, tentram dan penuh kebahagiaan.4 Tetapi setelah itu di Spanyol terjadi peristiwa-peristiwa politik membuat kehidupan keluarga Ibnu Hazm berganti suasana, yakni terjadi bentrokan antara pribumi Spanyol, Barbar dan Siav. Dalam huru-hara politik itu, itulah dinasti ‘Amiri yang kemudian di gantikan oleh Hisyam II ( Muhammad al-Mahdi 366-399 H / 976-1009 M ) dari keturunan Umayyah, hingga jatuhlah kekuasaan Ahmad (ayah Ibnu Hazm). Dalam situasi itu. Ayahnya berjuang di pihak al-Mahdi untuk mengusir orang-orang Siav sambil berusaha mempertahankan istananya yang terletak di Madinah Zahira. Tetapi keadaan ini tidak dapat dibendung lagi, karena keluarganya mendapat tekanan politik sehingga ayahnya meninggal dunia (402 H/ 1012 M). Di saat itulah Ibnu Hazm menempuh kehidupan yang keras.5 Dalam kaitannya dengan pendidikan, keluarganya mulai mengarahkan Ibnu Hazm pada majlis ilmu yang terdapat di masjid Cordova. Beliau bertatap 3
Ibn Hazm az-zahiri, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
t.t.h.) Juz I, h.2-3. 4
Ibn Hazm, An-Nubz fi Usul al-Fiqh az-Zahiri (ttp.: Dar Ibn Hazm, 1993), h. 8.
5
Harun nasution, Ensklopedi Islam, (Jakarta: Depag, 1933), h. 391.
16
muka dan berdialog dengan beberapa gurunya.6 Berbagai macam disiplin ilmu dan berbagai orang guru telah membentuk kerangka berfikir Ibnu Hazm yang dilaluinya dengan berpindah-pindah kota yakni seperti Cordova, Murcia, Jativa, dan Valencia. Keadaan inilah yang membentuk dan mengubah karakter Ibnu Hazm menjadi sangat keras. Adapun anak-anak Ibnu Hazm adalah Abu Rafi’ al-Fadl, Abu Usamah Ya’qub, abu Sulaiman al-Mus’ab, mereka ini telah belajar kepada ayahnya berbagai macam ilmu. Mereka termasuk sebagai orang yang alim dan termasuk musannif yang tersebar ke berbagai pelosok penjuru dunia. Adapun muridmuridnya yang terkenal yakni Muhammad Ibn Futuh bin ‘Aid dan Abu “Abdullah al-Hamidi al-Andalusi, dia adalah pengarang kitab al-Jam’u baina as-Sahihain.7 Ibnu Hazm meninggal pada tahun 454 H/ 1064 M di Manta Lisyam.
2. Karya-karya Ibnu Hazm Mengenai karya-karya Ibnu Hazm dalam muqaddimah kitab al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwa’ an-Nihal yang ditulis oleh Ibnu Khalikan, dinyatakan bahwa 6
Adapun guru-guru Ibn Hazm yairu: Abu Qasim ‘Abdurrahman ibn Abi Yazid al-Azdi,
beliau guru dalam bidang ilmu hadis, nahwu, cara menyusun kamus, logika, dan ilmu kalam. Sedangkan Abu Khiyar al-Lugawi adalah gurunya dalam bidang fiqh dan peradilan. Kemudian Abu Sa’id al-Fata al-Ja’fari adalah gurunya mengenai komentar atau usulan sya’ir. Dibidang hadis beliau belajar kepada Ahmad bin Muhammad Ibn al-Jasar, mengenai tafsir ia membaca tafsir yang ditulis Abi Abdurrahman Baqi ibn Muqallid, baik dalam bidang filsafat, purbakala dan masih banyak lagi ilmu yang dipelajari oleh Ibn hazm, ibid. 7
Ibn Hazm, Juz I, h. 4.
17
jumlah karangan Ibnu Hazm meliputi bidang fiqh, ushul fiqh, hadis, mustala alhadis, aliran-aliran agama, agama-agama, sejarah, sastra, silsilah, dan karya apologetik yang berjumlah sekitar 400 jilid yang terdiri dari 80.000 lembar yang ditulis dengan tangan sendiri.8 Tetapi karya-karya Ibnu Hazm tidak dapat diketahui semuanya, sebab sebagian besar karyanya musnah terbakar oleh penguasa dinasti al-Mu’tadi al-Qadi ‘An al-Qasim Muhammad Ibn Isma’il Ibn ‘Ibad. Ada tiga alasan pembakaran karya-karya Ibnu Hazm, pertama, bahwa mazhab resmi yang di akui oleh pemerintah Spanyol pada waktu itu adalah mazhab Maliki, sedangkan Ibnu Hazm seorang pelopor mazhab az-Zahiri, oleh karena itu Ibnu Hazm dan pengikut-pengikutnya tidak restui di kalangan penguasa pada masa itu. Dan secara politis Ibnu Hazm dan karya-karyanya tidak dapat hak hidup dan berkembang di Spanyol. Kedua, secara politik Ibnu Hazm pendukung utama dinasti Umayyah dan berkali-kali menjabat menteri, keadaan ini yang mengundang kecurigaan berat dari penguasa baru (al-Mu’tadi). Ketiga, Ibnu Hazm dikenal sebagai sejarawan, tulisan-tulisannya yang menyangkut peristiwaperistiwa politik Spanyol pada waktu itu dinilai sangat berbahaya karena peristiwa-peristiwa tersebut dapat diketahui oleh umum dan generasi berikutnya.9 Adapun karya-karya Ibnu Hazm yang dapat diketahui antara lain: 1. Tauq al-Hamamah 8
Ibn Hazm, al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwa’wa an-Nihal (Beirut: t.p., 1897), Juz I, h. 1.
9
Harun Nasution, h.392.
18
2. Naqt al-‘Arusi fi Tawarikh al-Khulafa’ 3. Jumrat al-Ansab 4. Al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal 5. Tabdil al-Yahud wa an-Nasara fi al-Taurat wa al-Injil 6. An-Naskh al-Murji’ah min al-Fadaikh al-Mukhziyah wa alQabaikh al-Murdiyah min Aqwali Ahli al-Bida’i min al-Firaq alArba’ 7. Al-Abt al berisi argumentasi mazhab az-Zahiri 8. At-Talkhis wa at-tarikh 9. As-Sadi’ wa ar-Radi 10. Ar-Rad’ala Ibn al-Nugirilyah al-Yahudi wa Rasaika Ukhra 11. Al-Muhalla bi al-Asar 12. Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam 13. Fadl al-Andalusi 14. Risalat fi Fadl al-Andalus 15. Al-Akhlaq wa as-Sair fi Mudawamat an-Nufus 16. Al-Imam ah wa al-Khilafah al-Fihrasah 17. Jamharat an-Nasab al-‘Arabi
3. Situasi Politik Pada Masa Ibnu Hazm Kaum muslimin di bawah pimpinan ‘Abdurrahman ad-Dakhil mulai memasuki Spanyol. Di bawah kekuasaannya, kekuatan Islam tertanam kokoh di Spanyol. Puncak kejayaan Islam di negeri itu tercapai di bawah kepemimpinan keturunannya yaitu ‘Abdurrahman an-Nasir yang mendirikan kekhalifahan Umayyah di Andalusia di awal abad ke-14 H. Pada masa kekuasaan an-Nasir ini
19
kekuasaan Islam Spanyol meluas sampai ke Negara-negara Barat (Eropa), termasuk Perancis yang juga tunduk dan takut kepada kekuatan Islam Spanyol.10 Abdurrahman an-Nasir kemudian digantikan oleh putranya yaitu Hakam yang mengikuti segala jejak dan metode pemerintahan ayahnya, meskipun ia hanya memerintah 16 tahun, tidak seperti ayahnya yang menjadi raja dan khalifah selama 50 tahun. Setelah al-Hakam wafat, ia digantikan oleh putranya yang masih berusia 9 tahun yaitu Hisyam al-Muayyad. Penasehatnya adalah al-Mansur Ibn Abi ‘Amir yang sering kali memerintah secara sewenang-senang. Al-Mansur memiliki keahlian dan kecakapan yang tinggi dalam mengendalikan jalannya pemerintah, sehingga khalifah Hisyam yang masih muda tidak mempunyai kekuasaan apapun. Pada masa inilah kedua orang tua Ibnu Hazm hidup. Setelah alMansur wafat, mulailah Spanyol dilanda kekacauan politik. Salah satu sebab kekacauan ini adalah kepercayaan orang-orang muslim terhadap kaum Nasrani ketika mereka baru pertama kali menaklukan Spanyol. Kaum Kristen yang dilindungi dan dipercaya tersebut seperti duri terpendam dalam pemerintahan Bani Umayyah, sehingga ketika kondisi pemerintahan melemah, barulah kekuatan Kristen muncul. Kaum Kristen senantiasa mengamati umat Islam dan setiap ada kesempatan digunakan sebaik-baiknya yakni setelah Abu Mansur wafat.
10
Faruq ‘Abdul Mu’ti, h. 52-54.
20
Ketika Hisyam al-Muayyad dinobatkan menjadi khalifah, yang menjadi panglima perang adalah Ibnu Abi Mansur al-‘Amin ( putra Abu Mansur ). Ibnu Mansur sewenang-wenang seperti ayahnya, hanya saja ayahnya seorang politikus yang cerdik dan bijaksana. Ibnu Mansur mempunyai ambisi merebut kekuasaan dari Hisyam al-Muayyad. Kemudian terjadi pemberontakan Barbar sehingga Cordova jatuh ke tangan Barbar. Tentara Barbar yang telah menguasai Cordova membai’at al-Mahdi sebagai khalifah. Ulah mereka tidak berhenti sampai disini, mereka juga mengangkat al-Musta’in sebagai khalifah dan meminta putra Advent (Pembesar Nasrani) untuk mendukung al-Musta’in, sedangkan al-Mahdi ada dalam dukungan tentara Barbar sendiri. Perbuatan Barbar ini bertujuan untuk memecah belah dinasti Umayyah. Kemudian al-Musta’in diusir dari Cordova dan begitu pula alMahdi dikucilkan dan dibunuh, sehingga pemerintahan kembali ke tangan Hisyam al-Muayyad. Keadaan semakin kacau, ketika al-Musta’in kembali ke Cordova beserta orang-orang Barbar pada tahun 403 H. dan membunuh Hisyam secara diam-diam. Sejak itu kekuasaan Islam Andalusia terbagi-bagi dalam bentuk kerajaan-kerajaan kecil, yang didasarkan pada suku dan etnis.11 Ibnu Hazm hanya sedikit menikmati masa kejayaan, kekuasaan politik umat Islam di Andalusia. Masa mudanya dipenuhi dengan kekacauan dan bencana
11
Ibid., h. 57.
21
politik sampai dia wafat. Meskipun demikian, karena rasa cinta dan tanggung jawab terhadap Negara ia pernah terjun dalam bidang politik (seperti orang tuanya), sekitar tahun 408 H. Ia menjadi menteri pada masa kepemimpinan Abdurrahman al-Mustazhar dan Hisyam al-Mu’indubillah, tetapi kemudian ia berhenti dari kiprah politiknya dan menyibukkan diri dalam bidang ilmu. Dan pada tahun 422 H berakhirlah dinasti Umayyah.
4. Situasi Intelektual Pada Masa Ibnu Hazm Bidang keilmuan mengalami masa kebangkitan yang pesat pada masa Ibnu Hazm meskipun terjadi krisis politik. Masa Ibnu Hazm merupakan masa kejayaan ilmu di Andalusia. Pada masa itu muncul pakar-pakar yang berwawasan luas yang tidak membatasi kajian pada mazhab-mazhab fiqh, disamping itu mereka menguasai sastra dan sejarah seperti Abu ‘Amr Ibn Abdul Bar (sahabat Ibnu Hazm) dan Abu al-Wal’id al-Baji (musuh Ibnu hazm dalam perdebatan ilmiah). Faktor lain yang mempengaruhi kebangkitan pemikiran di Andalusia adalah
diterjemahkannya
ilmu-ilmu
filsafat.
Gerakan
penerjemahan
ini
berkembang pada masa al-Ma’mun dan mencakup semua bidang ilmu Yunani, setelah itu muncul banyak filosof Islam seperti Ibnu Rusyd dan Ibnu Bajah. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah kekuasaannya semakin luas, banyak ulama-
22
ulama timur yang migrasi ke Andalusia untuk menyebarkan ilmu pengetahuan mereka, begitu pula ulama-ulama Andalusia pergi ke timur untuk menuntut ilmu.12 Kondisi keilmuan yang kondusif ini dipengaruhi oleh Abdurrahman anNasir yang memerintah selama 50 tahun (300-350) dia dijuluki Amir al-Mu’minin, juga dipengaruhi oleh Al-Hakam yang sangat memperhatikan ilmu. Mereka memanggil ulama-ulama dari timur, mendirikan sekolah-sekolah, mendatangkan buku-buku dari timur, mengumpulkan buku-buku dalam berbagai bidang ilmu yang khalifah sebelumnya belum pernah melakukan hal tersebut, membangun pasar untuk ilmu dan ulama, yang barang dagangannya didatangkan dari berbagai penjuru. Ulama Anadalusia pada masa itu merupakan kumpulan ulama pada abad ke-4 dan ke-5 H dan mereka mengadakan forum-forum ilmiah dan menyatukan antara aqli, naqli, ilmu salaf dan ilmu khalaf.13 Hal ini mendukung Ibnu Hazm menjadi seorang yang alim, ia tumbuh dan berkembang diantara sumber-sumber ilmu. Sejak kecil dia bergaul dengan syehsyeh dan menimba ilmunya.
5. Kondisi Sosial Pada Masa Ibnu Hazm Masyarakat pada zaman Ibnu Hazm heterogen yang terdiri dari berbagai macam agama dan bangsa. Terjadi pula akulturasi dan interaksi sosial antara orang Muslim dan Nasrani. Masing-masing bangsa memiliki kekhususan seperti orang 12
Faruq Abdul Mu’ti, h. 62-63.
13
Ibid., h. 63-66.
23
Arab dengan peradabannya, mereka memunculkan seorang ahli sastra dan pemikir. Bangsa Barbar mempunyai watak yang keras yang terkadang menimbulkan keributan, tetapi yang terdidik ada pula yang menjadi satrawan. Interaksi Muslim dan Nasrani semakin kuat, ketika pemerintah Muslim melemah. Orang muslim meminta pertolongan kepada orang Nasrani dan bersama-sama mencegah kekacauan. Interaksi tersebut menimbulkan akulturasi pemikiran dan perdebatan. Penduduk Andalusia terdiri dari berbagai macam kelompok yang mempunyai sifat dan kekhasan yang berbeda-beda. Orang Arab terkenal dengan kehormatan dan kemuliaan nashabnya, tinggi cita-citanya, fasih lisannya, baik jiwanya, murah hati, dan mencegah diri dari hal-hal yang rendah. Orang-orang Hindia terkenal dengan perhatiannya yang besar terhadap ilmu, mereka menekuni dan menyebarkannya. Orang-orang Baghdad terkenal dengan kebersihannya, keteraturan, kehalusan akhlak, kemuliaan, kecerdasan, keindahan rupa, kebagusan, kehalusan hati, dan ketajaman pikirannya. Orang-orang Yunani terkenal dengan sistem irigasinya, penanaman (buah-buahan dan pohon), dan pengaturan kebunnya. Mereka adalah orang-orang yang ahli dalam bidang pertanian, orang yang paling sabar dalam menekuni pekerjaan untuk menghasilkan yang terbaik, paling pandai bermain kuda, dan paling sabar dalam menghadapi cobaan. Orang China terkenal dengan perindustriannya, dan orang Turki terkenal dengan keahliannya dalam bidang militer. Perbedaan dan interaksi yang terjadi antara mereka menyebabkan peradaban yang gemilang. Mereka membangkitkan sastra, seni, dan ilmu-ilmu
24
lain, tetapi mereka membuat lemah bidang politik, sehingga politik pada masa itu mengalami krisis, meskipun dalam bidang ilmu, seni, perindustrian dan agama meningkat. Bahasa Arab menjadi alat pemersatu kelompok tersebut. Penduduk fasih lidahnya, ke’ajamannya tidak mempengaruhi kemampuan mereka dalam berbahasa Arab. Hal yang unik di Andalusia adalah banyaknya sastrawan dan penyair perempuan.
6. Metode Ijtihad Ibnu Hazm Sebagian orang menganggap bahwa Ibnu Hazm tidak berpegang pada akal dalam kajan-kajiannya14 sebenarnya Ibnu Hazm menggunakan akal sebagai dasar pemahaman dalam bidang-bidang ilmu Islam dan pengetahuan-pengetahuan hakiki Islam. Dalam kitabnya al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, ia mengatakan bahwa untuk mengetahui harus menggunakan akal dan panca indera, akal berfungsi memahami perintah dan larangan Allah SWT, menetapkan kebenaran Allah dan kebenaran risalah Nabi Muhammad dan kemu’jizatannya.15 Tetapi semuanya itu tetap berpegang pada nas dan Ibnu Hazm memahaminya secara tekstual (zahir). Ia
14
Hal ini disebabkan karena Ibn Hazm menolak qiyas, az-Zari’ah istihsan, istinbat
dengan ra’yu dan ta’wil. 15
H. 29-65.
Ibn Hazm, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah t.t), Jilid 1.
25
tidak memperbolehkan ta’wil.16 Pada nas-nas yang bersifat aqidah ataupun ta’lil17 Pada nas-nas Syar’i.18 Istinbath yang dilakukan Ibnu Hazm berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul (nya), dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” ( Q.S. An Nisa/4 : 59) Ayat tersebut mengandung arti bahwa ada tiga sumber hukum bagi manusia yaitu Al-Qur’an ( )أﻃﯿﻌﻮا اﷲkhabar dari Rasulullah ( )و أﻃﯿﻌﻮا اﻟﺮﺳﻮلdan
16
Ta’wil adalah menafsirkan dengan lafaz tidak sesuai dengan teks zahirnya dan
mengalihkannya pada makna lain. Jika pena’wilan yang dilakukan sahih dengan argumen-argumen tertentu maka bisa dikatakan benar, tetapi jika salah maka berarti salah, Ibid, h. 24. 17
Ta’lil adalah mencari persamaan ‘illat antara peristiwa atau kejadian yang salah satu
dari keduanya mempunyai dalil nasnya, sedangkan yang lainnya tidak. Ta’lil berkaitan dengan Qiyas, Ibid, Jilid 2, h. 616. 18
Faruq Abdul Mu’ti, h. 89.
26
Ijma’ ( )و أوﻟﻰ اﻻﻣﺮIbnu Hazm menambahkan satu sumber hukum lagi yaitu dalil, sehingga menurutnya ada empat sumber hukum bagi umat Islam.19 Menurutnya Al-Qur’an adalah petunjuk Allah SWT yang harus diyakini dan diamalkan kandungan isinya, yang diriwayatkan secara shahih dan tidak diragukan lagi, telah ditulis dalam mushaf, dan wajib dijadikan pedoman. Perintah dan larangan yang ada dalam Al-Qur’an harus dipahami secara tekstual dan memahaminya sebagai hukum wajib tidak pada pena’wilan lain seperti sunnah. Dengan kata lain, pengambilan kandungan al-Qur’an harus melalui pengertian lahir karena mustahil ada ayat yang mempunyai pengertian bathin tanpa ada penjelasan dari Rasul, sebab berarti Rasul belum menyampaikan risalahnya sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT. Sumber hukum yang kedua adalah khabar berupa sunnah-sunnah yang diriwayatkan Rasulullah. Menurutnya khabar terbagi dua yakni: a. Khabar mutawatir yakni khabar yang diriwayatkan oleh sekelompok (banyak) pada setiap tingkatan periwayat sampai kepada Nabi, khabar ini wajib dijadikan pegangan tanpa diperdebatkan lagi. b. Khabar ahad, yang diriwayatkan oleh satu orang pada tiap tingkatan. Jika khabar ahad itu bersambung sanadnya sampai kepada Rasul dan periwayatnya adil dan siqat, maka wajib diamalkan. Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saling bersesuaian. Keduanya adalah sesuatu yang
19
Ibn Hazm, Juz I, h. 95 dan 70
27
satu, yang berasal dari Allah SWT, dan keduanya tidak saling bertentangan. Sunnah dapat mentakhsis Al-Qur’an, karena Sunnah adalah penjelasan bagi Al-Qur’an. Pandangan Ibn Hazm yang menerima khabar ahad ini menyebabkan ia menetapkan wajibnya mengimani banyaknya hal-hal yang ghaib yang ditetapkan berdasarkan hadis ahad dan tidak berdasarkan hadis muttawatir, seperti tentang azab kubur, turunnya Isa, adanya al-Masih dan Dajjal, jembatan di hari kiamat dan syafa’at. Sumber hukum yang ketiga adalah ijma’, menurut Ibn Hazm ijma’ hanya dapat diterima melalui tauqif, dan arena para sahabat tersebut mencakup orangorang mukmin pada masa itu tidak ada satu mukmin pun selain mereka. Maka dapat dikatakan bahwa ijma’ mereka adalah ijma’ orang-orang mukmin. Adapun ijma’ yang terjadi pada masa setelah para sahabat adalah kesepakatan sebagian orang-orang mukmin saja tidak seluruhnya, maka kesepakatan sebagian orang mukmin tersebut tidak dikatakan sebagai ijma’. Lebih lanjut Ibn Hazm bahwa ijma’ terbagi dua yakni: (1). Ijma’ dalam sesuatu yang tidak diragukan lagi meskipun dalam satu orang Islam, bagi yang tidak sepakat dalam hal tersebut maka berarti ia bukan orang muslim, seperti bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, wajibnya shalat lima waktu, puasa ramadhan, haramnya bangkai, darah, dan babi, meyakini Al-Qur’an dan wajibnya zakat. (2). Segala sesuatu yang disaksikan oleh seluruh sahabat tentang perilaku
28
Rasulullah atau diyakini bahwa Rasulullah telah memberikan sikap beliau kepada orang-orang yang tidak menyaksikan langsung peristiwanya.20 Sumber hukum yang keempat adalah dalil21 yang digunakan untuk memahami nas (Al-Qur’an dan Sunnah) dan Ijma’, sebenarnya dalil-dalil tersebut adalah makna-makna teks yang tunduk tidak keluar dari teks. Menurutnya dalil yang diambil dari nas terbagi tujuh yakni.22 1. Dua pernyataan yang menghasilkan suatu kesimpulan yang secara tekstual tidak eksplisit dalam dua pernyataan tersebut, sebagaimana contoh sabda Rasulullah23 ( )ﻛﻞ ﻣﺴﻜﺮ ﺧﻤﺮ و ﻛﻞ ﺧﻤﺮ ﺣﺮامkesimpulannya adalah ( ﻛﻞ ﻣﺴﻜﺮ )ﺣﺮام Artinya: “setiap yang memabukan adalah khamar dan setiap khamar itu adalah haram”.(HR.Muslim) Sabda rasul terdiri dari dua pernyataan tersebut merupakan dalil burhani bahwa segala sesuatu yang memabukan itu haram. 2. Syarat yang dihubungkan dengan sifat maka sesuatu yang dihubungkan dengan syarat tersebut menjadi wajib, seperti firman Allah :
20
Ibid, h. 555.
21
Dalam hal ini Ibn Hazm menolak istilah Isthilal ( )ﻃﻠﺐ اﻟﺪﻟﯿﻞkarena isthilal bukanlah
dalil karena terkadang orang melakukan isthilal tidak berdasarkan dalil ( artinya malah keluar dari dalil itu sendiri), Ibid, h.102 22
Ibid, h. 100-101.
23
Muslim, Sahih Muslim., (Beirut : Dar al-fikr, 1983), Juz 7, h. 172.
29
... ......
Artinya :…”Jika mereka berhenti (dari kekafirannya) niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang telah lalu”… (Q.S. Al-Anfal/8 : 38) 3. Makna yang difahami dari suatu lafadz, maka makna tersebut dapat ditunjukan dengan lafadz lain, misalnya dalam Firman Allah: ... ......
Artinya: …“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun”… (Q.S. At-Taubat/9 : 114) Maka dari sini dapat dipahami bahwa Ibrahim bukanlah orang yang jelek akhlaknya. 4. Segala sesuatu hanya punya satu hukum. Sesuatu yang diharamkan maka haram hukumnya, sesuatu yang diwajibkan maka hukumnya wajib, dan sesuatu yang tidak haram dan tidak wajib maka hukumnya mubah. 5. Ketetapan-ketetapan yang disusun bertingkat-tingkat maka berarti menunjukan hukum yang tertinggi ada di alas derajat yang dibawahnya, meskipun secara tekstual tidak dinyatakan, misalnya: “Abu Bakar lebih
30
utama dari Umar dan Umar lebih utama dari Usman”. Maka berarti Abu Bakar lebih utama dari Usman. 6. Kita menetapkan bahwa segala sesuatu yang memabukan adalah haram, maka ini juga berarti bahwa sebagian yang haram adalah memabukan. 7. Suatu lafadz dapat mengandung makna banyak, contohnya Firman Allah: ...
Artinya: “Segala sesuatu yang bernyawa akan merasakan mati”… (Q.S. Ali Imron/ 3 : 185) Maka berarti Zaid, Hindun dan segala sesuatu yang beryawa akan mati. Ibnu Hazm juga mengecam orang-orang yang menetapkan suatu hukum berdasarkan keragu-raguan, kehati-hatian yang ekstrim, dan tidak meyakininya, atau menetapkannya karena takut terjerumus ke dalam kejelekan. Maka ia berarti telah menetapkannya dengan perasangka dan menetapkannya atas kebohongan dan kebatilan. Menurutnya yang halal dan yang haram itu sudah jelas dan hal-hal yang syubhat bukanlah berarti haram, dan yang bukan haram berarti halal.24 Ini merupakan penafsirannya terhadap hadits nabi yang berbunyi:
24
Ibid., h. 183.
31
ﻋﻦ اﻟﻨﻌﻤﺎن ﺑﻦ ﺑﺸﯿﺮ ﻗﺎل ﺳﻤﻌﺘﮫ ﯾﻘﻮل ﺳﻤﻌﺖ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﯾﻘﻮل إن اﻟﺤﻼل ﺑﯿﻦ و إن اﻟﺤﺮام ﺑﯿﻦ و ﺑﯿﻨﮭﻤﺎ ﻣﺸﺘﺒﮭﺎت ﻻ ﯾﻌﻠﻤﮭﻦ ﻛﺜﯿﺮ ﻣﻦ اﻟﻨﺴﺎء ﻓﻤﻦ اﺗﻘﻰ اﻟﺸﺒﮭﺎت اﺷﺘﺒﺮأ ﻟﺪﯾﻨﮫ و ﻋﺮﺿﮫ و ﻣﻦ وﻗﻊ ﻓﻰ اﻟﺸﺒﮭﺎت وﻗﻊ ﻓﻰ اﻟﺤﺮام ﻛﺎﻟﺮاﻋﻰ ﺣﻮل اﻟﺤﻤﻰ ﯾﻮﺷﻚ أن ﯾﺮﺗﻊ ﻓﯿﮫ اﻻوان ﻟﻜﻞ ﻣﻠﻚ ﺣﻤﻰ اﻷوان ﺣﻤﻰ اﷲ 25 (ﻣﺤﺎرﻣﮫ ) أﺧﺮﺟﮫ ﻣﺴﻠﻢ Artinya: “Dari Nu’man Bin Basyir berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya yang halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas. Diantara keduanya itu ada beberapa perkara yang belum jelas (Syubhat), banyak orang yang tidak tahu, apakah dia itu masuk bagian yang halal ataukah yang haram?, maka barang siapa yang menjauhinya karena hendak membersihkan agama dan kehormatannya maka dia akan selamat, dan barang siapa yang mengerjakan sedikit pun daripadanya hampir-hampir dia akan jatuh kedalam haram, sebagaimana orang menggembala kambing disekitar daerah larangan, dia hampir-hampir akan jatuh kepadanya. Ingatlah bahwa tiap-tiap raja mempunyai daerah larangan, ingat pula bahwa daerah larangan Allah itu semua yang di haramkan”. (HR. Muslim)
Oleh karena itu, ia menentang penetapan hukum dengan metode Ihtiyat dan Sadz az-Zari’ah. Ibnu Hazm juga menolak penetapan hukum dengan metode istihsan seperti yang dilakukan oleh Malikiyah dan Hanafiah. Karena menurutnya segala sesuatu harus berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah (yang ini merupakan ijma’ yang diyakini oleh setiap orang muslim), dan istihsan tidaklah diperintahkan Allah SWT.26 Begitu pula ia menolak metode qiyas, menurutnya dalam agama hanya ada hukum wajib, haram, dan mubah, semua hukum agama adalah ushul bukan furu’ 25 26
Muslim, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi (Beirut: Dar al-Fikr, 983), juz 4, h. 228. Ibn Hazm, Juz 2, h. 232.
32
yang semuanya telah ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Ia juga mengecam ikhtilaf dan taqlid, karena menurutnya segala sesuatu hukum ada dalam Al-Qur’an, setiap muslim wajib mengikuti Al-Qur’an dan as-Sunnah bukan pada perbedaan pendapat ulama yang ada.27 Ibnu Hazm mempunyai corak fiqh yang membedakannya dari imamimam lain misalnya pendapatnya tentang: (1). Bahwa orang yang sakit keras mempunyai kewajiban yang sama seperti orang sehat. (2). Seorang istri boleh bersedekah dengan harta suaminya. (3). Hakim boleh melaksanakan wasiat kepada sebagian kerabat yang lemah dari orang yang meninggal yang mereka tidak mempunyai hak waris. Ibnu Hazm (seperti yang dijelaskan diatas) juga berbeda dengan imam-imam empat mazhab yang lain dalam metode istidlal.28 Seperti diketahui selain kesepakatan terhadap sumber hukum al-Qur’an, sunnah, dan ijma’, asy-Syafi’I menggunakan qiyas, Abu Hanifah, Malik dan Ibnu Hanbal menggunakan istihsan,’urf dan qiyas.
B. Biografi Majelis Ulama Indonesia (MUI) 1. Sejarah Pembentukan MUI Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan suatu wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim yang mempunyai tugas sebagai
109
27
Ibid, h. 61 dan 233.
28
Faruq Abdul Mu’ti, Ibn Hazm az-Zahiri, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t). h. 108-
33
pengayom bagi seluruh umat muslim Indonesia untuk menjawab setiap masalah sosial keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi oleh masyarakat. Selain itu juga, Majelis Ulama Indonesia merupakan lembaga yang mewakili umat Islam Indonesia bila ada pertemuan-pertemuan ulama-ulama internasional, atau bila ada tamu dari luar negeri yang ingin bertukar pikiran dengan ulama Indonesia. Disisi lain, Majelis Ulama Indonesia adalah sebuah organisasi kemasyarakatan yang bersifat keagamaan dan independen, dalam arti terikat atau menjadi bagian dari pemerintah atau kelompok manapun. Selanjutnya, sejarah pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sangat erat kaitannya dengan peran para ulama pada waktu itu. Pada masa revolusi (1945-1949) para ulama menjalankan peranan yang sangat penting dalam aksi mobilisasi masa untuk bertempur melawan Belanda. Banyak diantara para komandan kaum gerilya yang bertempur berasal dari para ulama dari berbagai tingkatan. Di bawah sistem demokrasi parlementer yaitu pada masa 1950-1959, peranan politik para ulama menjadi makin penting, karena sebagian besar partai politik berdasarkan keagamaan dan dipimpin oleh para prmuka agama. Jadi, rapat dikatakan bahwa dalam kurun waktu tersebut, para ulama bukan hanya sebagai pemimpin dalam soal keagamaan saja tetapi juga dalam soal politik. Begitu juga pada masa pemerintahan Soeharto, peranan ulama semakin dibatasi hanya persoalan keagamaan. Bahkan partai politik yang masih berasaskan keagamaan tidak diperbolehkan lagi, sebaliknya seluruh partai politik harus berdasarkan kepada ideologi negara yaitu, Pancasila. Sehingga hal
34
ini telah menghambat para ulama dari kepemimpinan partai politik dan membuat mereka mundur dari kegiatan politik. Mereka pun lebih memilih kembali ke pesantren masing-masing untuk kembali mengajar ilmu agama dan sebagian lagi ada yang mengubah kegiatannya menjadi seorang mubaligh.29 Dengan semakin berkurangnya peranan ulama dalam politik formal, timbulah sebuah gagasan untuk mencari bentuk peranan baru bagi para ulama dalam masyarakat. Gagasan ini bermula pada konferensi para ulama di Jakarta yang diselenggarakan oleh Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII)30 pada tanggal 30 september – 4 oktober 1970 yang mengajukan saran untuk memejukan kesatuan kaum muslimin dalam kegiatan sosial dengan membentuk sebuah majelis bagi para ulama Indonesia yang akan diberi tugas untuk memberikan fatwa-fatwa. Namun, saran tersebut baru mendapat tanggapan pada tahun 1974 ketika Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII) mengadakan letak nasional bagi juru dakwah muslim Indonesia. Dari pertemuan itu disepakati bahwa pembentukan majelis ulama harus diprakasai ditingkat daerah. Dan hal ini mendapat 29
Mudzar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Penerjemah Soedarso Soekarno, (Jakarta: INIS, 1993), h. 54. 30
Lembaga ini berdiri tanggal 8 september 1969 di Jakarta dengan ketua Letnan Jenderal
Sudirman, Badan ini merupakan badan setengah resmi di mana tokoh-tokohnya berasal dari pemerintah, organisasi Islam serta ilmuwan. Dibentuk atas dasar keputusan suatu seminar da’wah bulan Juni 1969 di Fakultas Ushuludin IAIN Jakarta. Lih. Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1983), h. 135.
35
dukungan dari presiden Soeharto bertepat pada tanggal 24 mei 1975 menemukakan alasan bahwa pemerintah menginginkan kaum muslimin bersatu dan adanya kesadaran bahwa masalah yang dihadapi bangsa tidak dapat diselesaikan tanpa keikutsertaan ulama. Sehingga, pada tahun 1975 majelis-majelis daerah telah terbentuk hampir seluruh daerah dari 26 propinsi di Indonesia.31 Akhirnya pada masa orde baru desakan untuk membentuk semacam majelis ulama nasional nampak sangat jelas. Pada tanggal 1 Juli 1975, pemerintah dengan diwakili Departemen Agama mengumumkan penunjukan sebuah panitia persiapan pembentukan majelis ulama tingkat nasional. Panitia itu terdiri dari Jenderal (Purn) H. Sudirman, selaku ketua, dan tiga orang ulama selaku penasihat, yitu : Dr. Hamka, K.H. Abdullah Syafi’i dan K.H. Syukri Ghazali. Tepat pada tanggal 21-27 Juli 1975/12-18 Rajab 1395, dilangsungkan Muktamar Nasional Ulama. Para peserta terdiri wakil-wakil majelis ulama daerah yang baru dibentuk, para wakil pengurus pusat sepuluh organisasi Islam yang ada di Indonesia, sejumlah ulam bebas (yang tidak mewakili organisasi tertentu) dan empat orang wakil rohaniawan Islam ABRI. Dan pada akhir Muktamar, tanggal 26 Juli 1975 terbentuk sebuah deklarasi yang ditandatangani oleh 53 peserta, yang
31
Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Penerjemah Soedarso Soekarn, h. 54-55.
36
mengumumkan terbentuknya MUI sebagai ketua pertama adalah seorang penulis Dr. Hamka.32 Ketika itu ada dua alasan mengapa Hamka menerima baik kedudukan sebagai ketua umum MUI. Pertama, Hamka untuk menghadapi ideologi komunis Indonesia, orang harus menggunakan ideologi yang lebih kuat, yakni Islam. Untuk mencapai hal ini, umat Islam seharusnya dapat bekerja sama dengan pemerintah Soeharto, yang juga bersikap antikomunis. Kedua, pemerintah telah senantiasa bersikap tidak percaya terhadap kaum muslimin, betapapun luhur maksud kaum muslimin. Menurut Hamka dengan terbentuknya MUI, maka keadaan demikian akan dapat diperbaiki. Akan tetapi pernyataan Hamka ini, tidak semua orang Islam setuju. Sehingga sejumlah pemuda Islam mendatangi kediaman Hamka dan menurut ia agar menolak pengakatannya sebagai ketua umum MUI, tetapi dia tetap kepada keputusannya.33 Sebelum terbentuknya MUI, sedikitnya telah terjadi tiga peristiwa politik penting di Indonesia. Pertama, pemilihan umum tahun 1971, yang dimenangkan oleh Golkar, telah mengecewakan umat Islam. Apalagi partai Islam terbesar yaitu Masyumi tidak diperkenankan pemerintah untuk dihidupkan kembali, akibat dari pemilu yang kurang sehat itu hanya memperoleh suara 26% dari 360 kursi, sedangkan Golkar mendapatkan 65 % dan ini menjadi pukulan yang amat berat bagi partai-partai Islam. Kedua, pengurangan jumlah partai-partai politik 32
Ibid, h. 56.
33
Ibid., h. 56-57.
37
Islam menjadi satu tanpa menyandang sebutan Islam. Ketiga, diajukannya rancangan Undang-undang Perkawinan pada tanggal 31 Juli 1973, yang pasalpasalnya dianggap bertentangan dengan doktrin-doktrin hukum Islam mengenai perkawinan yang umumnya diterima di Indonesia.34 Demikian peristiwa yang terjadi menjelang terbentuknya Majelis Ulama oleh pemerintah. Dengan mengikuti peristiwa-peristiwa yang mengiringi kemunculan Majelis Ulama itu dapat dimaklumi jika kemudian penolakan dan kecurigaan menjadi sebab kenapa umat sulit menerima kehadiaran mejelis tersebut.
2. Metode Fatwa MUI Dalam ilmu ushul fiqh, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau faqih atas jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Fatwa yang dikemukakan mujtahid atau faqih tidak mesti diikuti oleh orang yang meminta fatwa, dan fatwa tersebut tidak mempunyai daya ikat.35 Hal ini disebabkan, fatwa seorang mufti atau ulama di suatu tempat bisa saja berbeda darifatwa ulama lain di tempat yang sama. Fatwa biasanya cenderung dinamis karena merupakan tanggapan
34
Ibid., h. 58-62.
35
Abdul Azis Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedia Hukum Islam, jilid I, cet III, (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), h. 326.
38
terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat peminta fatwa. isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tetapi minimal responsif.36 Fatwa muncul karena adanya suatu perkara dan juga bisa disebabkan akibat dari perkembangan sosial yang dihadapi oleh umat. Karena itu, fatwa mensyaratkan adanya orang yang meminta atau kondisi yang memerlukan adanya pandangan atau keputusan fatwa.37 Pada dasarnya fatwa memberikan suatu reaksi terhadap isu-isu dalam mereflesikan intelektualisme dan politik pada masa itu.38 Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta’, suatu istilah yang merujuk pada frofesi pemberi nasehat. Pihak yang memberi fatwa disebut mufti, sedangkan pihak yang meminta disebut al-Mustfti. Peminta Fatwa bisa berupa perorangan, lembaga, ataupun siapa saja yang membutuhkannya.39 Mayoritas ulama ushul mengatakan bahwa mufti boleh saja memfatwakan pendapat mujtahid yang masih hidup, dengan syarat mufti tersebut mengetahui landasan hukum serta jalan pikiran yang dipergunakan mujtahid tersebut. Sejak berdirinya tahun 1975 sampai saat ini, MUI telah banyak mengeluarkan fatwa yang mencangkup bidang kehidupan, yaitu ibadah, 36
Kafrawi Ridwan, dkk, ed., Ensiklopedia Islam, jilid II cet. IV, (Jakarta: PT, Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2001), h. 16. 37
M. B. Hooker, Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial,
Penerjemah Iding Rosyidin Hasan, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 16. 38
Ibid., h. 21.
39
Kafrawi Ridwan, dkk, ed., Ensiklopedi Islam, jilid II cet. IV, (Jakarta: PT, Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2001), h. 16.
39
perkawinan dan keluarga, makanan, kebudayaan, soal hubungan antar agama, ilmu kedokteran, keluarga berencana, gerakan Islam dan lain sebagainya. Adapun metode yang digunakan oleh MUI dalam menetapkan fatwanya, seperti yang tercantum dalam dasar-dasar umum penetapan fatwa adalah sebagai berikut:40 a. Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu’tabbarah, serta tidak bertentangan dengan kemashlahatan umat. b. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1, keputusan fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma’, Qiyas, yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti Istihsan, Masalah Mursalah, dan sadd azZari’ah. c. Sebelum pengambilan keputusan fatwa hendaklah ditinjau pendapatpendapat para imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat. d. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangkan. 40
Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Himpunan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama, 2003), h. 4-5.
40
Dari dasar-dasar umum penetapan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, dapat diambil kesimpulan bahwa yang digunakan oleh MUI dalam menetapkan fatwanya adalah pertama dengan merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Apabila tidak ditemukan dalil-dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka MUI merujuk kepada ijma, qiyas, istihsan, mashalah mursalah, dan sadd azZari’at serta pendapat-pendapat para imam-imam mazhab terdahulu. Dalam masalah yang terjadi khilafiyyah di kalangan mazhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatikan fiqh muqaran dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran yang berhubungan dengan pentarjihan. Setelah melewati itu semua baru diambil pandangan tenaga ahlidalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya. Tenaga ahli yang dimaksud adalah para pakar dalam bidangnya masing-masing. Dari semua keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa MUI dengan Komisi Fatwanya ketika menetapkan fatwanya akan memutuskan suatu permasalahan berdasarkan kemaslahatan umat, dengan merujuk kepada metode para alim ulama terdahulu.
3. Mekanisme Kerja Komisi Fatwa MUI Seperti yang telah dijelaskan, bahwa sebuah fatwa akan dikeluarkan apabila individu, lembaga, maupun organisasi masyarakat tersebut memintanya atau sebagai refleksi dari perkembangan sosial pada masa itu. Sidang Komisi Fatwa juga akan diadakan, apabila terdapat permintaan atau pertanyaan dari
41
masyarakat yang oleh Dewan Pimpinan MUI dianggap perlu untuk dibahas dan diberikan fatwanya atau permintaan dari pemerintah, lembaga sosial kemasyarakatan, atau MUI sendiri.41 Mekanisme kerja Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, seperti yang tertuang dalam mekanisme kerja Komisi Fatwa MUI No. U634/MUI/X/199742, adalah sebagai berikut: PENYELEKSIAN MASALAH 1.
Setiap surat masuk ke Komisi Fatwa yang berisi permintaan fatwa atau masalah hukum Islam dicatat dalam buku surat masuk, dilengkapi dengan asal (pengirim) dan tanggal surat, serta pokok masalahnya.
2.
Semua surat masuk diseleksi oleh Tim Khusus untuk ditentukan klasifikasinya; a. Masalah yang layak dibawa ke dalam Rapat Komisi Fatwa. b. Masalah-masalah yang dikembalikan ke MUI Daerah Tingkat I. c. Masalah-masalah yang cukup diberi jawaban oleh Tim Khusus. d. Masalah-masalah yang tidak petlu diberikan jawaban.
3.
a). Masalah sebagaimana dimaksud dalam poin 2.a. dilaporkan kepada
Ketua
Komisi
Fatwa
untuk
ditetapkan
waktu
pembahasannya sesuai dengan hasil seleksi dari Tim Khusus.
41
Ibid., h. 6.
42
Ibid., h. 9-10.
42
b). Setelah mendapatkan kepastian waktu, masalah tersebut dilaporkan kepada secretariat MUI untuk dibuatkan undangan rapat. 4.
Masalah sebagaimana dimaksud dalam poin 2.b. dilaporka kepada Sekretariat MUI untuk dibuatkan pengirimannya.
5.
a). Masalah sebagaimana dimaksud dalam poin 2.c. dirimuskan jawabannya oleh Tim Khusus. b). Jawaban sebagaimana dimaksud dalam poin 5.a. dilaporkan/ dikirimkan kepada Sekretariat MUI untuk dibuatkan surat pengirimannya kepada yang bersangkutan.
6.
Tim Khusus terdiri dari ketua, sekretaris, dan anggota yang berasal dari unsur Pengurus Harian dan Pengurus Komisi Fatwa MUI, sebagaimana terlampir.
Setelah surat yang berisi permintaan fatwa masuk dan diseleksi oleh Komisi Fatwa MUI, maka diadakanlah rapat oleh Komisi Fatwa. Dalam hal ini, Ketua Komisi Fatwa, atau melalui rapat Komisi, berdasarkan pertimbangan dari tim khusus menetapkan prioritas masalah yang dibahas dalam rapat Komisi Fatwa serta menetapkan waktu pembahasannya. Ketua Komisi atau melalui rapat Komisi, dapat menunjuk salah seorang atau lebih anggota Komisi untuk membuat makalah mengenai masalah yang akan dibahas. Kemudian undangan rapat, pokok masalah yang akan dibahas,
43
serta makalah (jika ada) sudah harus diterima oleh anggota Komisi dan peserta rapat lain (jika ada) selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal rapat. Peserta rapat Komisi Fatwa terdiri atas anggota Komisi dan peserta lainnya yang dipandang perlu. Sedangkan rapat Komisi dipimpin oleh Ketua Komisi atau Wakilnya. Rapat Komisi dinyatakan sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya setengah dari peserta yang diundang rapat atau jika dipandang perlu telah memenuhi quarom oleh peserta yang hadir. Hasil rapat Komisi Fatwa dirumuskan menjadi Keputusan Fatwa oleh Tim Khusus. Keputusan Fatwa dilaporkan kepada Dewan Pimpinan/ Sekretariat MUI untuk kemudian ditanfizkan dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa MUI. Kemudian Surat Keputusan Fatwa (SKF) dikirim kepada pihak-pihak yang terkait dan seluruh anggota Komisi Fatwa, serta MUI daerah Tingkat I, Keputusan dipublikasikan melalui mimbar ulama dan penjelasannya dalam bentuk artikel.43 Secara singkat dapat dikatakan, bahwa mekanisme kerja MUI adalah Majelis
Ulama
Indonesia
dengan
Komisi
Fatwanya
memilih
dan
memprioritaskan masalah yang akan dikeluarkan fatwanya. Kemudian masalah tersebut dirapatkan oleh Ketua dan anggota Komisi Fatwa MUI dan para ahli dibidangnya (jika diperlukan). Estimasi peserta rapat, adalah dari peserta rapat.
43
Ibid., h. 12.
44
Hasil dari rapat tersebut, kemudian dipublikasikan kepada publik dalam bentuk artikel, media cetak, atau elektronik.
44
BAB III KRITERIA SERTIFIKASI MAKANAN HALAL
A. Pengertian Makanan Halal Menurut Hukum Islam Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta keberhasilan pembangunan akhir-akhir ini telah merambah seluruh aspek bidang kehidupan umat manusia, tidak saja membawa berbagai kemudahan, kebahagiaan dan kesenangan, melainkan juga menimbulkan sejumlah persoalan. Aktifitas yang beberapa waktu lalu tidak pernah dikenal, atau bahkan tidak pernah terbayangkan, kini hal itu menjadi kenyataan. Di sisi lain, kesadaran keberagamaan umat Islam di berbagai negeri, termasuk di Indonesia, pada dasawarsa terakhir ini semakin tumbuh subur dan meningkat. Sebagai konsekuensi logis, setiap timbul persoalan, penemuan, maupun aktifitas baru sebagai produk dari kemajuan tersebut, umat senantiasa bertanya-tanya, bagaimanakah
kedudukan hal tersebut dalam
pandangan ajaran hukum Islam. Salah satu persoalan cukup mendesak yang dihadapi umat adalah membanjirnya produk makanan dan minuman olahan, obat-obatan, dan kosmetika. Sejalan dengan ajaran Islam, menghendaki agar produk-produk yang akan dikonsumsi tersebut dijamin kehalalan dan kesuciannya. Menurut ajaran Islam, menkomsumsi yang halal, suci, dan baik merupakan perintah agama dan 44
45
hukumnya adalah wajib. Cukup banyak ayat dan hadis menjelaskan hal ini sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut:1
Artinya : ”Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 168).
Berdasarkan ayat tersebut, telah kita ketahui bahwa sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini, sebagai salah satu makhluk ciptaan Allah yang mempunyai akal sudah seharusnya kita memilih dan mengetahui makanan yang baik serta halal bagi jiwa, raga dan kesehatan kita sendiri. Dan janganlah kita memakan makanan yang haram dan tidak baik bagi jiwa maupun kesehatan kita, karena itu merupakan langkah syaitan dan tidak dianjurkan oleh sang pencipta,
1
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa majelis ulama indonesia (Jakarta: majelis ulama indonesia, 2010) hlm. 9-10 .
46
sebagaimana kita ketahui bahwa syaitan adalah makhluk halus yang tidak di ridho’i oleh Allah. Kata halalan, bahasa Arab, berasal dari kata halla, yang berarti ‘lepas’ atau ‘tidak terikat’ secara etimologi kata halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Atau diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. Sedang kata thayyib berarti ‘lezat’ ‘baik’ ‘sehat’ ‘menentramkan’ dan paling utama, dalm konteks makanan kata thayyib berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluarsa), atau tercampur benda najis. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan yang mengundang selera bagi yang akan menkonsumsinya yang tidak membahayakan fisik serta akalnya. Juga ada yang mengartikan sebagai makanan yang sehat, proporsional dan aman. Berbicara mengenai halal, di dalam Al-Qur’an selalu diikuti oleh kata thayyib. Karena itu dalam bab ini, terlebih dahulu akan dibahas makna halal dan thayyib dalam ayatayat Al-Qur’an, kemudian pengaruh teknologi terhadap kehalalan dan keharaman, dan berakhir dengan pengaruh halal dan thayyib terhadap rohani dan jasmani. Halal dan thayyib penting diketahui sebelum memasuki pengertian pengaruh teknologi terhadap keharaman makanan masa kini. 2
2
Prof. Dr. Hj. Aisjah Girindra, Dari sertifikasi Menuju Labelisasi Halal (Jakarta: pustaka Jurnal Halal, 2008), hlm. 13.
47
Menurut hukum Islam, secara garis, perkara (benda) haram terbagi menjadi dua, haram li-zatih dan haram li-gairih. Kelompok pertama, substansi benda tersebut diharamkan oleh agama; sedang yang kedua, substansi bendanya halal (tidak haram) namun cara penanganan atau memperolehnya tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. Dengan demikian, benda haram jenis kedua terbagi menjadi dua. Pertama, bendanya halal tapi cara penaganannya tidak dibenarkan oleh ajaran Islam; misalnya kambing yang tidak di potong secara syar’i; sedang yang kedua, bendanya halal tapi diperoleh dengan jalan atau cara yang dilarang oleh agama, misalnya hasil korupsi, menipu, dan sebagainya.3 Dalam sebuah sumber buku yang disusun oleh Kantor Menteri Negara Urusan Pangan Republik Indonesia menyatakan bahwa Islam telah menetapkan kriteria makanan yang dapat dikonsumsi oleh manusia. Secara umum dikatakan dalam al-Qur’an bahwa umat Islam hendaknya memakan makanan yang halal dan thayyib. Makanan dinyatakan halal apabila tidak dinyatakan secara jelas dalam alQur’an atau hadits bahwa makanan tersebut dilarang. Larangan itu dimaksudkan agar umat Islam tidak memakan makanan yang akan membawa dampak yang tidak baik bagi perkembangan fisik dan jiwanya. Dengan kata lain, Islam mengatur masalah makanan dengan maksud untuk kemaslahatan umat manusia. Penjelasan lain mengatakan bahwa ”makanan halal menurut hukum Islam yaitu makanan yang halal pada zatnya, halal dalam pengadaannya ataupun cara memperolehnya,
3
Majelus Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa majelis ulama indonesia (Jakarta: majelis ulama indonesia, 2010), hlm. 17.
48
dan halal dalam proses pengolahannya.” Dengan kata lain makanan itu harus halal mutlak. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut:4
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yag batil, kecuali dengan perniagaan/ perdagangan yang disetujui bersama.” (Q.S. An Nisa: 29)
Dari ayat diatas, dapat diketahui bahwa Allah SWT menganjurkan kepada umat Islam untuk memakan segala sesuatu (makanan) yang halal, yang perolehannya pun dengan cara yang halal bukan dengan cara yang bathil, salah satu cara untuk mendapatkannya yaitu dengan cara perdagangan/ perniagaan.
4
Prof. Dr. H. Masthu, MED, Makanan Indonesia dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Pangan Republik Indonesia, 1995), h. 55 dan 106.
49
Makanan halal dalam hukum Islam dapat diartikan pula sebagai makanan yang thayyib,yakni makanan yang mempunyai cita rasa yang lezat, bergizi cukup dan seimbang serta tidak membawa dampak yang buruk pada tubuh orang yang memakannya, baik fisik maupun akalnya. Adapun konsep thayyib dalam ajaran Islam sesuai dengan hasil penemuan dan penelitian para ahli ilmu gizi adalah sebagai berikut:5
1. Sehat; makanan sehat adalah makanan yang mempunyai zat gizi yang cukup, lengkap dan seimbang. 2. Proporsional; yaitu menkonsumsi makanan yang bergizi, lengkap dan seimbang bagi manusia yang berada dalam masa pertumbuhan manusia. Misalnya janin dan bayi atau balita serta remaja perlu diberikan makanan yang mengandung zat pembangun (protein). 3. Aman; makanan yang dikonsumsi oleh manusia akan berpengaruh terhadap kesehatan dan ketahanan fisiknya. Apabila makanan itu sehat, lengkap dan seimbang, maka kondisi fisik orang yang menkonsumsinya akan selalu sehat dan terhindar dari berbagai macam penyakit. Tetapi sebaliknya, apabila makanan itu tidak sehat atau tidak cocok dengan kondisi fisikya, maka makanan akan menjadi penyebab
5
Prof. Dr. H. Masthu, MED, Makanan Indonesia dalam Pandangan Islam,… h. 58-86
50
timbulnya berbagai penyakit, dan bahkan mungkin akan membawa kepada kematian. Menurut para ahli, di antara pengaruh makanan (dalam hal ini, termasuk juga minuman), bahkan juga kosmetika dan obat-obatan, terhadap kehidupan manusia, dapat dikemukakan, antara lain adalah sebagai berikut: 1. Mempengaruhi pertumbuhan tubuh dan kecerdasan akal Makanan yang dikonsumsi manusia mengandung zat-zat yang sangat dibutuhkan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti karbohidrat sebagai sumber energi;protein hewani maupun nabati untuk membangun jaringan tubuh, termasuk sel otak, serta memperbaiki bagian-bagian yang sudah aus maupun yang rusak. 2. Mempengaruhi sifat dan perilaku Badan manusia tersusun atas anggota tubuh, yang masingmasing anggota atau organ tubuh itu tersusun pula atas jaringanjaringan dan sel-sel. Pada lingkup sel tubuh, ada bagian yang disebut dengan gen, yang membawa dan membentuk sifat dan perilaku manusia. Selain itu, aktifitas tubuh manusia digerakkan dan koordinasikan oleh fungsi syaraf dan hormon. 3. Mempengaruhi perkembangan anak-keturunan Makanan dan minuma yang dikonsumsi seseorang juga juga akan mempengaruhi pertumbuhan sperma maupun ovum. Setelah
51
terjadi pembuahan, ovum yang telah dibuahi akan tumbuh menjadi janin yang bersemayam di dalam kandungan ini pun, makanan yang dikonsumsi oleh sang ibu akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan janin. 4. Mempengaruhi diterima atau ditolaknya amal ibadah dan doa Tujuan dan tugas hidup manusia yang pertama dan utama di muka bumi ini adalah untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah SWT;“dan tidaklah Aku (Allah) menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat [51]:56). Kemudian bagaimana mungkin ibadah dan doa munajat seseorang akan dapat diterima oleh Allah swt, jika makanan dan minumannya tidak suci dan baik. Yakni tidak halal dan thoyyib. Oleh karena itu, agar ibadah dan doa kita dapat diterima oleh Allah swt, maka jelas kita harus berusaha semaksimal mungkin agar makanan dan minuman yang dikonsumsi terjamin halal dan thoyyibnya, sebagian dari syarat diterimanya ibadah dan doa kita. 5. Mempengaruhi keselamatan di Akhirat Makanan dan minuman yang dikonsumsi seseorang akan mempengaruhi dan menentukan keselamatannya di alam akhirat yang pastikan tiba nanti. Jika makanan dan minuman yang dikonsumsinya
52
halal dan thoyyib, maka insya Allah ia akan selamat, dan di masukan dalam surga dengan perkenan Allah. Sebaliknya, kalau makanan dan minumannya haram, atau diperoleh dengan cara haram, maka ia pun akan disiksa di neraka. Sebagaimana disebutkan dalam hadist Rasulullah saw, berupa wasiat beliau kepada sahabatnya, ka’ab bin ‘Ujroh dengan makna: “Wahai ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya tidak tumbuh daging yang berasal dari makanan yang haram, kecuali neraka lebih berhak untuknya.” (H.R. At-Turmudzi). 6. Mengkonsumsi yang halal sebagai ibadah yang wajib Dalam Islam, seluruh kegiatan manusia bernilai sebagai ibadah bila diniatkan dengan penuh ikhlas karena Allah, demi mencapai dan memperoleh keridhoan-Nya serta dikerjakan menurut cara-cara yang telah disyariatkan-Nya, dan dicontohkan oleh Nabi-Nya. Islam tidak membatasi ruang lingkup ibadah kepada aktivitas tertentu saja. Tapi, seluruh kehidupan manusia adalah medan amal-ibadah dan persediaan bekalan bagi para mukmin sebelum mereka kembali bertemu Allah di hari pembalasan nanti, termasuk pula makan dan minum sebagai kebutuhan biologis yang mutlak bagi kita sebagai makhluk hidup. Jika makan maupun minum itu diniatkan sebagai aktivitas ibadah karena Allah, maka insya Allah kita pun akan memperoleh
53
ganjaran pahala yang dijanjikan oleh Allah dengan ibadah yang dilakukan itu.6 . B. Syarat-syarat Makanan Halal Menurut Hukum Islam Seperti penjelasan diatas, mengenai syarat-syarat makanan halal untuk memenuhi kehalalannya dalam pandangan hukum Islam yaitu: 1. Tidak mengandung babi dan bahan berasal dari babi. 2. Tidak mengandung khamar dan produk turunannya. 3. Semua bahan asal hewan harus berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syari’at Islam. 4. Tidak mengandung bahan-bahan lain yang diharamkan atau tergolong najis seperti: bangkai, darah, bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, kotoran dan lain sebagainya. 5. Semua tempat penyimpanan, penjualan, pengolahan, pengelolaan dan alat transportasi untuk produk halal tidak boleh digunakan untuk babi atau barang tidak halal lainnya. Jika pernah digunakan untuk babi atau tidak halal lainnya dan kemudian akan digunakan untuk produk halal, maka terlebih dahulu harus dibersihkan sesuai dengan cara yang diatur
6
Dr. Ir. M. Nadratunzzaman Hosen, Halal Sebagai Tema da’wah (Jakarta :Pustaka Jurnal Halal thn, 2008), hal. 7-13.
54
menurut syari’at Islam. Penggunaan fasilitas produksi untuk produk halal dan tidak halal secara bergantian tidak diperbolehkan.7 Berdasarkan penjelasan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa syarat-syarat makanan halal dalam pandangan hukum islam yaitu makanan tersebut tidak mengandung babi, khamar, dan bahan-bahan lain yang diharamkan oleh agama islam, selain itu, makanan berasal dari hewan yang di sembelih sesuai ajaran agama islam, dan tempat proses makanan halal (penjualan, penyimpanan, pengelolaan, pengolahan dan alat tranportasinya) tidak boleh di gunakan untuk babi dan barang yang diharamkan lainnya. Ternyata dibalik aturan-aturan Islam itu terdapat hikmah yang luar biasa besar. Penyembelihan hewan yang sesuai dengan syariat Islam akan menghasilkan daging yang berkualitas, higenis, dan yang lebih penting lagi mendapatkan makanan halal yang diridhoi Allah swt.8
7
Prof. Dr. Hj. Aisjah Girindra, Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal (Jakarta: LP POM MUI, 1998), hlm. 124-125. 8 Prof. Dr. Hj. Aisjah Girinda “Dari Sertifikat Menuju Labelisasi Halal” (Jakarta:Pustaka Jurnal Halal, 2008), h. 25.
55
BAB IV ANALISIS KRITERIA SERTIFIKASI MAKANAN HALAL MENURUT IBN HAZM DAN MUI
A. Pengertian Sertifikasi Makanan Halal Menurut Ibn Hazm Sebagian orang menganggap bahwa Ibnu Hazm tidak berpegang pada akal dalam kajian-kajiannya.1 Karena menurutnya yang halal dan yang haram itu sudah jelas dan hal-hal yang shubhat bukanlah berarti haram, dan yang bukan haram berarti halal.2 Selain itu juga, ia mengatakan bahwa untuk mengetahuinya harus menggunakan akal dan pancaindra, akal berfungsi memahami perintah dan larangan Allah swt, menetapkan kebenaran Allah dan kebenaran risalah Nabi Muhammad dan kemujizatannya.3 Tetapi semuanya itu tetap berpegang pada Nas dan Ibnu Hazm memahaminya secara tekstual (dzahir), ia tidak memperbolehkan ta’wil pada Nas-Nas yang bersifat aqidah ataupun ta’lil pada Nas-Nas syar’i.4
Adapun Ibnu Hazm mengemukakan dalam kitab Al-muhalla bahwa suatu kehalalan makanan adalah berdasarkan teks-teks yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadist untuk menyatakan kehalalan makanan sebagai bukti yang sudah jelas,
1
Hal ini disebabkan karna Ibn Hazm menolak qiyas, az- zari’ah ihtisan, istinbath dengan ra’yu dan ta’wil. 2 Ibid., h. 183. 3 Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Usul Al-Ahkam , (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah t.t), Jilid 1. H. 29-65 4 Faruq Abdul Mu’ti, h. 89
55
56
karena sesuatu yang sudah jelas dan tampak halal, maka boleh untuk dikonsumsinya. Hal ini berdasarkan seperti penjelasan yang terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 3 juz 5:
57
Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir Telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa Karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S Al Maidah : 03)
Ibnu Hazm mengumakan dalam kitabnya yang berjudul Almuhalla Bil Atsar Juz 6 bahwa syarat-syarat makanan halal, yaitu:5 a. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi. b. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti; bahanbahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan lain sebagainya. c. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih harus di awali dengan membaca “Bismillahirrohmanirrohim”. d. Tidak halal memakan dari suatu makanan yang tampak darah mengalir ataupun tidak mengalir
5
Abu Muhammad Ali Ibn Ahmad Ibn Said Ibn Hazm Andalusi, Almuhalla Bil Atsar Juz 6 (Beirut: Libanon, Darul Kutub Al-A’lamiyah,) hlm. 55-56.
58
e. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi. Jika pernah digunakan untuk babi barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara yang diatur dalam Syari’at Islam. f. Semua makanan yang tidak mengandung khamar. g. Sertifikat yang sudah berakhir masa berlakunya, termasuk fotocopinya tidak boleh digunakan atau dipasang untuk maksud-maksud tertentu.
B. Pengertian Sertifikasi Halal Menurut MUI
Dalam upaya memenuhi harapan masyarakat Muslim Khususnya terhadap kepastian kehalalan produk makanan (POM), maka LP POM MUI mengeluarkan rekomendasi sertifikat halal bagi setiap produsen yang berniat mencantumkan label halal pada kemasan produknya.
Pada prinsipnya semua bahan makanan dan minuman adalah halal, kecuali yang diharamkan Allah adalah bangkai, darah, babi, dan hewan yang disembelih dengan nama selain Allah. Sedangkan minuman yang diharamkan Allah adalah semua bentuk khamar (minuman berakhohol)6
6
Prof. Dr. Hj. Aisjah Girinda “Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal” (Jakarta: Pustaka Jurnal Halal, 2008), h.99.
59
Adapun keberadaan fatwa sangat dibutuhkan oleh umat Islam karena fatwa memuat penjelasan tentang kewajiban agama, batasan-batasan, serta menyatakan tentang halal atau haramnya sesuatu. Menurut Ma’ruf Amin, ketua Komisi Fatwa MUI, “fatwa merupakan pedoman dalam melaksanakan ajaran agamanya. Demikian pula dengan fatwa kehalalan suatu produk. Melalui fatwa tersebut umat Islam memiliki panduan atau pedoman berbagai produk yang dapat ia konsumsi. Sehingga fatwa halal tentang suatu produk berperan sangat penting dalam memberikan perlindungan dan ketenangan bagi umat Islam dalam menkomsumsi suatu produk.”7 Namun hal yang terpenting adalah bahwa fatwa ini ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kompetensi untuk itu.
Adapun mengenai sertifikat halal adalah fatwa yang ditulis oleh Majelis Ulama Indonesia untuk menyatakan kehalalan suatu produk sesuai syari’at Islam. Sertifikat Halal ini merupakan syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang,. Tujuan pelaksanaan sertifikasi halal pada produk pangan, obat-obatan dan kosmetika adalah untuk memberikan kepastian kehalalan suatu produk, sehingga dapat menentramkan batin yang menkonsumsinya. Selain itu bagi produsen, sertifikasi
7
Ma’ruf Amin, “Pengurusan Fatwa di Indonesia,” dalam kolej Universitas Islam Malaysia, ed., Prinsip dan Pengurusan Fatwa di Negara-Negara ASEAN, cet I, (Institut Pengurusan dan Penyelidikan Fatawa Se-Dunia KUIM, 2006), h. 81.
60
halal akan dapat mencegah kesimpangsiuran status kehalalan produk yang dihasilkan.8
Dalam pratiknya penetapan fatwa produk halal dilakukan melalui rapat penetapan dilakukan bersama antara Komisi Fatwa MUI dengan lembaga pemeriksa yaitu LP POM MUI. Lembaga pemeriksa terlebih dahulu melakukan penelitian dan audit ke pabrik atau perusahaan yang telah mengajukan permohonan sertifikasi halal. Suatu produk yang masih mengandung bahan yang diragukan kehalalannya atau terdapat bukti-bukti pembelian bahan produk yang dipandang tidak transparan oleh rapat komisi, dikembalikan kepada lembaga pemeriksa untuk dilakukan penelitian atau auditing ulang ke perusahaan yang bersangkutan. Produk yang telah diyakini kehalalannya oleh rapat komisi, jelas ma’ruf, diputuskan fatwa halalnya oleh rapat komisi. Kemudian hasil rapat dituangkan dalam surat keputusan fatwa produk halal yang ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa. Setelah itu sertifikat halal yang ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa, Direktur LP POM MUI dan Ketua Umum MUI diterbitkan.9
Untuk lebih jelasnya, standarisasi MUI dalam menetapkan fatwa tentang makanan mengenai kehalalan suatu produk makanan menurut MUI harus sesuai dengan Syari’at Islam yaitu :
8
Prof. Dr. Hj. Aisjah Girindra,“Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal” (Jakarta: pustaka jurnal halal, 2008), h. 99-100. 9 http:/www.halalguide.info/content/view/401/138 . diakses pada 1 Juni 2008
61
1. MUI memberikan pembekalan pengetahuan kepada para auditor LP.POM tentang benda-benda haram menurut syari’at Islam , dalam hal ini benda haram li-zatih dan haram li-gairih yang karena cara penanganannya tidak sejalan dengan syari’at Islam. Dengan arti kata, para auditor harus mempunyai pengetahuan memadai tentang benda-benda tersebut. 2. Para auditor melakukan penelitian dan audit ke pabrik-pabrik (perusahaan) yang meminta sertifikasi halal. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi:
a. Pemeriksaan secara seksama terhadap bahan-bahan produk, baik bahan baku maupun bahan tambahan (penolong). b. Pemeriksaan terhadap bukti-bukti pembelian bahan produk. c. Tata cara memotong hewan untuk produk hewan atau mengandung unsur hewan.
3. Bahan-bahan tersebut kemudian diperiksa di laboratium, terutama bahanbahan yang dicurigai sebagai benda haram atau mengandung benda haram. 4. Pemeriksaan terhadap suatu perusahaan tidak jarang dilakukan lebih dari satu kali; dan tidak jarang pula auditor (LP. POM) menyarankan bahkan mengharuskan agar mengganti suatu bahan yang dicurigai atau diduga mengandung barang
yang haram
dengan
bahan
yang
diyakini
62
kehalalannya atau bersitifikat halal dari MUI atau lembaga yang lebih berkompenten. 5. Hasil dari pemeriksaan dan audit LP.POM tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah berita, dan kemudian Berita Acara itu diajukan ke Komisi Fatwa MUI untuk disidangkan. 6. Dalam sidang Komisi Fatwa, LP.POM menyampaikan dan menjelaskan isi Berita Acara, dan kemudian dibahas secara teliti dan mendalam oleh Sidang Komisi. 7. Suatu produk
yang
masih mengandung bahan
yang
diragukan
kehalalannya, atau terdapat bukti-bukti pembelian bahan produk yang dipandang tidak trnsparan oleh siding komisi, dikembalikan
kepada
LP.POM untuk dilakukan penelitian atau auditing ulang ke perusahaan bersangkutan. 8. Sedangkan produk yang telah diyakini kehalalannya oleh sidang komisi, diputuskan fatwa halalnya oleh sidang komisi. 9. Hasil sidang komisi yang berupa fatwa kemudian dilaporkan kepada Dewan pimpinan MUI untuk di tanfiz-kan dan keluarkan Surat Fatwa Halal dalam bentuk Sertifikat Halal.
Untuk menjamin kehalalan suatu produk yang telah mendapat Sertifikat Halal, MUI menetapkan dan menekankan bahwa jika sewaktu-waktu ternyata diketahui produk tersebut mengandung unsur-unsur barang haram (najis), MUI
63
berhak mencabut Sertifikat Halal produk bersangkutan.Disamping itu, setiap produk yang telah mendapat Sertifikat Halal diharuskan pula membaharui atau memperpanjang Sertifikat Halal.10
C. Analisis Kriteria Makanan Halal Menurut Ibnu Hazm dan MUI Sebenarnya Ibnu Hazm menggunakan akal sebagian besar pemahaman dalam bidang-bidang ilmu Islam dan pengetahuan-pengetahuan hakiki Islam. Dalam kitabnya Al-Ihkam fi Usul Al-Ahkam Mengenai dengan makanan halal, bahwa Ibnu Hazm berpendapat sesuatu yang tampak (dzahir) yang dianggap sudah najis, maka tidak boleh dikonsumsinya. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa metode istinbath Ibnu Hazm dan MUI tentang kriteria makanan halal terdapat persamaan yang signifikan, yakni Ibnu Hazm dan MUI sama-sama beristidlal kepada al-Quran, Sunnah dan Ijma dalam menetapkan hukum, begitu juga dalam hal penetapan kehalalan makanan. Perbedaannya adalah bahwa Ibnu Hazm menempatkan Dalil sebagai dalil keempat setelah al-Quran, Sunnah dan Ijma. Sedangkan MUI selain beristidlal kepada alQuran, Sunnah dan Ijma ulama juga beristidlal dengan qiyas, istihsan, mashalah mursalah, dan sadd az-Zari’at serta pendapat-pendapat para imam-imam mazhab terdahulu. Dalam masalah yang terjadi khilafiyyah di kalangan mazhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatikan fiqh muqaran dengan 10
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa majelis ulama indonesia (Jakarta, majelis ulama Indonesia, 2010) hlm. 19-20
64
menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran yang berhubungan dengan pentarjihan. Setelah melewati itu semua baru diambil pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya. Tenaga ahli yang dimaksud adalah para pakar dalam bidangnya masing-masing. Dari semua keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa MUI dengan Komisi Fatwanya ketika menetapkan fatwanya akan memutuskan suatu permasalahan berdasarkan kemaslahatan umat, dengan merujuk kepada metode para alim ulama terdahulu. Menurut penulis, metode istinbath yang ditetapkan oleh Ibnu Hazm tentang makanan halal tidak tepat dan bahkan mempunyai kecenderungan yang tidak akurat seiring dengan permasalahan kontemporer yang semakin kompleks. Permasalahan yang timbul tentang kehalalan makanan sering sekali tidak dapat terselesaikan dengan hanya beristidlal dengan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, dan dalil. Banyak persoalan tentang kehalalan makanan yang tidak tercantum serta dijelaskan secara eksplisit didalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka tidak hanya menetapkan hukum kehalalan makanan hanya berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan dalil. Hal ini sering menimbulkan kerancuan, dan dapat mengakibatkan makanan yang tidak dijelaskan secara terperinci dalam Nash yang tidak diketahui hukum yang pasti. Selain itu, penulis juga berpendapat bahwa ketika Ibnu Hazm tidak menggunakan Ta’wil dan Ta’lil dalam menetapkan hukum maka akan ditemukan banyak sekali kerancuan dan problematika tentang kehalalan makanan yang
65
semakin kompleks dan tidak dirumuskan secara ekplisit dalam al-Quran dan Sunnah. Ketika Ibnu Hazm hanya menghukumi sesuatu yang tampak saja dari makanan, maka penulis berpendapat bahwa hal itu akan menghasilkan pendapat hukum yang tidak tepat. Seperti makanan yang tampak halal tetapi bisa saja sebenarnya mengandung unsur-unsur yang haram. Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, terkadang penetapan hukum tidak hanya cukup dengan menggunakan sesuatu yang tampak saja tetapi sangat perlu menggunakan metode yang sistematis, terukur dan terarah seperti yang diterapkan oleh MUI sehingga Islam akan dapat beradaptasi dan relevan disetiap zaman. Penulis berpendapat, sikap Ibn Hazm yang menolak atau mengecam kehati-hatian ekstrim dalam konteks kekinian mengingat permasalahan tentang kehalalan makanan yang dihadapi sudah semakin canggih. Sebab itu, penulis berpendapat bahwa sikap kehati-hatian yang ekstrim sangat perlu dalam menetapkan kehalalan makanan yang sangat kompleks seperti yang dilakukan MUI. Penulis lebih cenderung sepakat dengan metode istinbath MUI tentang kehalalan makanan, permasalahan kontemporer tentang kehalalan makanan yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka diperlukan metode istinbath yang tersusun secara sistematis dan relevan dengan perkembangan zaman, sehingga permasalahan yang semakin kompleks dapat terselesaikan secara akurat dan memenuhi kemaslahatan ummat.
66
Perkembangan IPTEK serta perubahan sosial yang begitu cepat, terutama dikota-kota besar menyebabkan perubahan pula dalam jenis dan bentuk makanan yang diminta oleh konsumen. Di kota-kota besar dimana penduduknya padat dan terjadinya perubahan gaya hidup modern menyebabkan, konsumen ingin efisien dalam menyediakan makanan. Mereka membutuhkan makanan yang mudah disajikan, berpenampilan yang menimbulkan selera, bertahan segar dengan warna, aroma, rasa, dan tekstur yang diingini. Dengan IPTEK semua yang diingini tadi dapat disediakan. Dalam hal ini diperlukan berbagai “zat tambahan” untuk memperoses makanan. “zat tambahan” ini dapat dibuat secara kimiawi, atau secara bioteknologi tetapi dapat juga di ekstraksi dari tanaman atau hewan. Disinilah kemungkinan terjadi perubahan makanan dari halal menjadi tidak halal, yaitu jika bahan tambahan berasal dari ekstraksi hewan tidak halal atau dengan permentasi menggunakan media-media tidak halal. Pengaruh IPTEK ini juga dapat melanda makanan secara tradisional. Kue mangkok yang disajikan oleh orang tua kita sekian tahun yang lalu misalnya, tidak sama dengan kue mangkok yang diperoleh dipasar swalayan masa kini yang mungkin telah diberi pemanis buatan, pewarna yang tidak alami dan lain-lain, bahan yang sesuai permintaan konsumen. Lain dari pada yang diungkap diatas sering terjadi, beberapa zat pemberi aroma, zat pemberi rasa, zat pewarna, dan lain-lain sering tidak bisa larut dalam air, karena itu dilarutkan dalam alkohol. Pada produk akhir minuman, alkohol ini sering masih bisa terdeteksi, hal ini menjadikan minuman tadi tidak halal.
67
Dari pernyataan diatas, penulis berpendapat bahwa metode istinbath yang dirumuskan oleh MUI lebih efektif dan efisien dari pendapat Ibn Hazm tentang kehalalan makanan. Hal ini mengingat dalam arus IPTEK masa kini masalah kehalalan makanan banyak berubah dan sulit untuk dilacak. Bagi ummat Islam semua hal ini menyebabkan sukar membedakan antara yang halal dan yang haram. Apalagi jika makanan itu sudah mengalami proses setengah jadi atau siap untuk dimakan. Penulis berkeyakinan jika hanya menggunakan metode istinbath Ibnu Hazm maka akan dapat menghasilkan ketetapan hukum makanan yang tidak tepat dan bahkan cenderung hanya menampung aspirasi masyarakat saja. Oleh karena itu, umat Islam sangat berkepentingan untuk mendapat ketegasan tentang status hukum produk-produk tersebut, sehingga apa yang mereka konsumsi tidak akan menimbulkan keresahan dan keraguan bagi umat Islam.
69
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan analisis pada bab-bab sebelunnya tentang kriteria sertifikasi makanan halal dalam perspektif Ibnu Hazm dan MUI, maka penulis dapat memberikan kesimpulan, yaitu: 1. Pandangan dan metode istinbath hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang sertifikasi makanan halal yaitu sebagai berikut: a. Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu’tabbarah, serta tidak bertentangan dengan kemashlahatan umat. b. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1, keputusan fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma’, Qiyas, yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti Istihsan, Masalah Mursalah, dan sadd az-Zari’ah. c. Sebelum pengambilan keputusan fatwa hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat. d. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangkan.
69
70 2. Pandangan dan metode istinbath hukum Ibnu Hazm tentang sertifikasi makanan halal yaitu ada empat sumber hukum yang berdasarkan Al-Qur’an ( )أﻃﯿﻌﻮا اﷲ khabar dari Rasulullah ( )و أﻃﯿﻌﻮا اﻟﺮﺳﻮلIjma’ ( )و أوﻟﻰ اﻻﻣﺮdan dalil. 3. Perbedaan pandangan dan metode istinbath hukum Ibnu Hazm dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang sertifikasi makanan halal yaitu dalam pandangan Ibnu Hazm dalam mengistinbathkan hukum Ibnu Hazm tentang kehalalan makanan tidak menggunakan ta’wil. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa metode istinbath Ibnu Hazm dan MUI tentang kriteria makanan halal terdapat persamaan yang signifikan. Ibnu Hazm dan MUI sama-sama beristidlal kepada Al-Quran, Sunnah dan Ijma dalam menetapkan hukum, begitu juga dalam hal penetapan kehalalan makanan. Perbedaannya adalah bahwa Ibnu Hazm menempatkan Dalil sebagai dalil keempat setelah al-Quran, Sunnah dan Ijma. Sedangkan MUI selain beristidlal kepada al-Quran, Sunnah dan Ijma ulama juga beristidlal dengan qiyas, istihsan, mashalah mursalah, dan sadd az-Zari’at serta pendapat-pendapat para imam-imam mazhab terdahulu. Dalam masalah yang terjadi khilafiyyah di kalangan
mazhab, maka yang difatwakan
adalah hasil tarjih
setelah
memperhatikan fiqh muqaran dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran yang berhubungan dengan pentarjihan. Setelah melewati itu semua baru diambil pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya. Tenaga ahli yang dimaksud adalah para pakar dalam bidangnya masing-masing. Dari semua keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa MUI dengan Komisi Fatwanya ketika menetapkan fatwanya akan
71 memutuskan suatu permasalahan berdasarkan kemaslahatan umat, dengan merujuk kepada metode para alim ulama terdahulu.
B. SARAN-SARAN Adapun saran-saran ini di tujukan kepada beberapa kalangan yang hendak mengkaji persoalan tentang criteria sertifikasi makanan halal bagi umat muslim, diantara yaitu ditujukan kepada: 1. Para Ulama; Adanya perbedaan ulama dalam metode istinbath hukum menujukan bahwa ulama terkadang berbeda dalam memahami, merumuskan dan menetapkan hukum. Ini semua merupakan sebuah rahmat bagi umat muslim yang patut kita tiru. Perbedaan dalam menanggapi sebuah persoalan merupakan sebuah kenyataan yang selalu akan kita hadapi dalam hidup ini. Jadi, sikap yang elegan adalah bagaimana kita menghadapi perbedaan tersebut dengan bijaksana yakni dengan tidak menyalahkan bahkan dengan mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat dengan kita. Apalagi, mengklaim bahwa pendapatnya adalah paling benar dengan menafikan pendapat orang lain. Toleransi adalah solusi terbaik dalam menghadapi setiap perbedaan. 2. Umat muslim pada umumnya; sudah saatnya umat Islam dalam menetapkan hukum tentang kehalalan makanan tetap bersandar kepada metode yang baru, baik dan tidak bertentangan dengan syariat Islam dengan tetap mempertahankan halhal yang lama, sehingga hukum Islam tetap dinamis dan relevan disetiap zaman. Sikap jumud dan taklid buta hanya akan membuat umam Islam mundur dan terbelakang, sehingga tidak dapat bersaing ditengah era kemajuan di berbagai bidang yang semakin pesat disaat ini.
72
72
Daftar Pustaka
Al-Husaini M. Al-Hamid, Riwayat Sembilan Imam Fiqh. Bandung: Pustaka Hidayah, 2000. Ali, Abu Muhammad bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Andalusi, al-Muhalla bi alAtsar. Beyrut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, TT. Amin, Ma’ruf, “Pengurusan Fatwa di Indonesia,” dalam kolej Universitas Islam Malaysia, ed., Prinsip dan Pengurusan Fatwa di Negara-Negara ASEAN, cet I. Institut Pengurusan dan Penyelidikan Fatawa Se-Dunia KUIM, 2006. Dahlan, Abdul Azis, dkk, ed., Ensiklopedia Hukum Islam, jilid I, cet III. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993. Danim, Sudarman, Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pusaka Setia, 2002. Girindra, Aisjah, Dari sertifikasi Menuju Labelisasi Halal. Jakarta: pustaka Jurnal Halal, 2008. Girindra, Aisjah, Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal. Jakarta: LP POM MUI, 1998 Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 Hazm, Ibn, Al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwa’wa an-Nihal, Juz 1. Beirut: t.p., 1897. Hazm, Ibn, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah t.t. Hazm, Ibn, An-Nubz fi Usul al-Fiqh az-Zahiri. Beirut: Dar Ibn Hazm, 1993.
73
Hooker, M. B., Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial, Penerjemah Iding Rosyidin Hasan. Jakarta: Teraju, 2002. Hosen, M. Nadratunzzaman, Halal Sebagai Tema Da’wah. Jakarta : Pustaka Jurnal Halal thn, 2008. Kasir, Ibn, Al-Bidayah wa an-Nihayah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa majelis ulama indonesia. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2010. Masthu, Makanan Indonesia Dalam Pandangan Islam. Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Pangan Republik Indonesia, 1995. Mudzar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Penerjemah Soedarso Soekarno, Jakarta: INIS, 1993 Muslim, Sahih Muslim, Juz 7. Beirut : Dar al-fikr, 1983. Mu’ti, Faruq Abdul,Ibn Hazm az-zhahiri. Beirut: Dar al-kutub al-‘Ilmiyyah, 1992. Nasution, Harun, Ensklopedi Islam. Jakarta: Depag, 1933 Ridwan, Kafrawi, dkk, ed., Ensiklopedia Islam, jilid II cet. IV. Jakarta: PT, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001. http:/www.halalguide.info/content/view/401/138 . diakses pada 1 Juni 2008.
74