KEWENANGAN KOMISI FATWA MUI DALAM PENYELESAIAN SERTIFIKASI HALAL LP.POM MUI Oleh: M. Amir Langko Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone Abstract Religious problems that can be stated by MUI (Indonesian Ulama Council) through the Fatwa Committee are those occur in the region of ijtihadiyah or khilafiyah problem, whereas in those problems that do not need ijtihad decisions the Indonesian Ulema Council (MUI) state them as written in the texts. LPPOM MUI in the provinces are entitled agencies issuing halal certificates, while the LP-POM in local areas can cooperate in the processing of raw materials, processed materials and additional material by the auditors in their respective areas and may issue a halal fatwa for existing products in local area as a cornerstone for issuing the halal certificate. Keywords: LP-POM MUI, Halal Certificate
A. Pendahuluan Keberadaan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dipandang sangat penting bagi kehidupan beragama khususnya bagi umat Islam di Indonesia. Dapat dikatakan juga menurut K.H. Ma’ruf Amin bahwa ruh dari lembaga MUI itu adalah pada komisi fatwa itu sendiri. Komisi fatwa dan komisi-komisi lain yang ada di MUI, diharapkan senantiasa berkoordinasi dalam menyatuhi fenomena dan kondisi masyarakat yang terus berkembang, sehingga segala macam bentuk keresahan, keraguan membuat masyarakat bingung dan jika tidak segera dicari solusi dan jalan pemecahannya dikhawatirkan akan timbul perpecahan, perselisihan di kalangan masyarakat yang dampaknya kekuatan islam menjadi lemah. Lembaga yang telah mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat, karena dinilai telah mampu memecahkan mencari
solusi dan menjawab setiap permasalahan sosial keagaman yang timbul di masyarakat melalui fatwa-fatwa yang dikeluarkan. Tugas yang di emban komisi fatwa ini bukankah pekerjaan mudah yang dapat dilakukan setiap orang, melainkan pekerjaan berat dan sulit, karena mengandung resiko yang besar, yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Rabbul Jalil dikemudian hari.1 Dikatakan mengandung resiko yang besar dikarenakan pekerjaan tersebut menjelaskan hukum-hukum Allah kepada masyarakat yang akan dijadikan pedoman sekaligus untuk diamalkan. Padahal yang paling berhak menjelaskan dan menetapkan hukum itu adalah Allah SWT. dan Rasul-Nya.2 Oleh sebab itu, tidaklah heran dan berlebihan jika kitab-kitab Ushul Fiqh secara umum membicarakan masalah komisi fatwa dan menetapkan sejumlah peraturan adab (kode etik) serta persyaratan-persyaratan tertentu, ketat dan berat yang harus dimiliki dan dipegang teguh oleh setiap orang yang akan memberikan fatwa. Dengan demikian seorang mufti (orang yang akan memberikan fatwa) tidak semua dan sembarang orang dapat diangkat dan diberi amanah menjadi mufti. Tetapi seorang mufti harus memahami bahwa dirinya yang lebih tahu, apakah dia benar-benar mampu melaksanakan tugas tersebut. Dia dapat merasakan bahwa dalam dirinya ada kemampuan untuk dapat berfatwa, dengan ilmu yang dimilikinya. Kemampuan dimaksudkan disini adalah bahwa setiap mufti (pemberi fatwa) wajib mengetahui hukum-hukum Islam secara mendalam dan menguasai dalil-dalil yang menjadi landasan terhadap hukumhukum yang akan difatwakan.3 Baik dalil al-Qur’an, hadis maupun dalil-dalil lainnya. tidak dibenarkan seorang mufti berfatwa karena adanya kepentingan dan keinginan tertentu dari fatwanya. Atau fatwa yang ditetapkan hanya sekedar dugaan semata, tidak dilandasi 1
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis dan Sosial (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), h. 39 2 M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, Hidup Bersama alQur’an (Bandung: Mizan, 20002), h. 52 3 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Membahas Ekonomi Islam) (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 92
dengan dalil. Karena menetapkan fatwa hukum tanpa dalil disebut tahakkum (membuat-buat hukum) yang wajib dijauhi oleh mufti dan merupakan dosa besar baginya, sesuai firman Allah dalam QS. Al-Nahl (16):116:
Terjemhanya: Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.4 Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah melarang tahakkum (membuat-buat hukum) apalagi dilandasi hawa nafsu, hadis Rasulullah juga mengingatkan agar berhati-hati dalam berfatwa, tidak gegabah dan harus selektif dalam menggunakan dalil khususnya dalam menetapkan suatu hukum. Rasulullah SAW., bersabda:
.اﺟﺮؤﻛﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﻔﺘﻴﺎ اﺟﺮؤﻛﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺎر Artinya: Orang yang paling berani di antara kamu untuk berfatwa adalah orang-orang yang paling berani pula masuk neraka.5 Berdasarkan ayat dan hadis di atas, supaya dapat dipegang teguh oleh orang-orang yang duduk dikomisi fatwa setiap kali akan menetapkan satu fatwa. Ada kesan yang dirasakan oleh sebagian umat Islam yang meminta fatwa ke 4
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 2000), h. 398 5 Imam al-Turmudziy, Sunan al-Turmudziy (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h. 39
komisi fatwa, bahwa komisi fatwa tidak produktif, lamban dalam merespon permasalah yang telah merebak di tengahtengah masyarakat. Padahal pihak komisi fatwa berprinsip agar fatwa-fatwa yang akan dikeluarkan benar-benar membawa kemaslahatan bagi masyarakat luas yang harus sejalan dengan tujuan syariat Islam yakni al-Maqashid al-Syariah (kemaslahatan umum). Di tambah Lagi keharusan akan terkena ancaman Allah SWT. sebagai ayat dan hadis di atas, karenanya sikap kehati-hatian lebih diutamakan oleh komisi fatwa. Kemaslahatan umum yang dimaksudkan disini adalah menyangkut pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Adapun persoalan agama yang menjadikan ruang lingkup garapan dan pembahasan komisi fatwa adalah masalah khilafiyah dalam hidayah iftihadiyah, sedangkan persoalan yang hukumnya telah ditetapkan oleh nash qath’i, yaitu persoalan yang tidak dalam iftihadiah, maka komisi fatwa tidak menfatwakannya, tetapi hanya menyampaikan apa adanya sesuai yang ditetapkan oleh nash. Komisi fatwa hanya memfatwakan hal-hal yang berkenaan dengan masalah fiqhiyyah sebagai hasil ijtihad para ulama yang diperoleh dari nash-nash dzanniy, sehingga terjadi perbedaan pendapat (khilafiah) di antara para ulama.6 Di antara sekian banyak wilayah iftihadiyah yang dapat difatwakan oleh komisi fatwa adalah tentang penetapan halal dari produk-produk yang akan dipasarkan dan didagangkan baik makanan, minuman, obat-obatan kosmetik dan produk-produk lainnya, oleh pihak produsen atau pelaku usaha, kemudian dikemas untuk diperdagangkan kepada masyarakat muslim, setelah mendapatkan sertifikat halal dari LP. POM MUI, seberapa jauh kewenangan komisi fatwa dalam penyelesaian penetapan sertifikat halal akan dikemukakan dalam tulisan sederhana ini.
6
Departemen Agama RI, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal (Jakarta: Dirjen BIMAS Islam dan Penyelenggara HajI Departemen Agama RI, 2003), h. 24
B. Pembahasan 1. LP. POM MUI Telah dimaklumi bahwa penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam dan wajar jika kita berbangga dengan jumlah mayoritas tersebut. Namun disisi lain umat Islam di Indonesia sangat prihatin dengan kondisi yang ada saat ini khususnya menyangkut hak-hak utama umat Islam dalam kehidupan beragama, belum terjamin sebagaimana yang diharapkan apalagi dikaitkan dengan persoalan makanan dan minuman halal serta kebutuhan lainnya yang ada beredar di pasar-pasar tradisional dan swalayan. Seharusnya dengan mayoritas penduduk Indonesia muslim, makanan, minuman, dan kebutuhan lainnya yang akan dikomsumsi dan digunakan oleh umat Islam sehari-hari, sudah distandarisasi sesuai ajaran dan hukum Islam, tidak hanya mengikuti dan menuruti hukum dagang yang hanya lebih mengutamakan komersialnya saja. Namun itulah yang terjadi dan dirasakan oleh umat Islam sampai saat ini. Umat Islam di negeri ini selalu menjadi obyek permainan perdagangan pihak kapitalis yang hanya mengutamakan kepentingan mereka sendiri, tanpa memikirkan perasaan umat beragama yang mayoritas adalah muslim. Umat Islam selalu saja korban permainan bisnis pada produsen yang tidak bertanggung jawab. Kasus lemak babi, kasus permen narkoba , kasus ajinomoto kasus bakso babi, dan kasus-kasus lainnya yang telah menzalami umat Islam, merupakan pengalaman pahit yang mesti disikapi dengan serius dengan mencari langkah-langkah hukum agar peristiwa tersebut tidak terulang kembali, dan umat Islam menjadi bulan-bulanan bagi produsen. Akibat dari kasus tersebut di atas umat Islam memboikot tidak lagi membeli produk-produk tersebut dampaknya dapat mengganggu stabilitas ekonomi secara nasional ketika itu dan nyaris lumpuh. Menyikapi kondisi seperti itu pada tahun 1989, Majelis Ulama Indonesia mengadakan pertemuan membicarakan masalah tersebut. Dari kasus-kasus tersebut Majelis
Ulama Indonesia diminta turun tangan agar dapat mententramkan situasi dan menyelesaikan masalah yaitu dengan mendirikan sebuah lembaga pengkajian obatobatan, makanan dan kosmetik (LP.POM) pada tanggal 6 Januari 1989 dengan tugas-tugas pokok yang diamanahkan oleh Majelis Ulama Indonesia sebagai berikut: a. Mengadakan inventarisasi, klarifikasi dan pengkajian terhadap makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik yang beredar di masyarakat. b. Mengkaji dan mengkonsep peraturan-peraturan penyelenggaraan rumah makan (restoran), perhotelan, hidangan dalam pelayaran atau penerbangan, pemotongan hewan, pengolahan pangan dan berbagai jenis bahan lainnya, agar semuanya dapat dijamin kehalalannya. c. Menerbitkan sertifikat halal, agar masyarakat merasa tentram dalam mengkonsumsi makanan dan minuman.7 Demikianlah sekelumit tentang lahirnya LP.POM MUI di Indonesia dimana saat ini telah banyak berkiprah bersama-sama MUI. Dalam hal ini komisi fatwa mengeluarkan sertifikat halal terhadap produk-produk lainnya yang akan dikonsumsi dan digunakan oleh umat Islam sebagai kebutuhan setiap harinya. 2. Proses Sertifikasi Halal, Status dan Masa Berlakunya. a. Setiap produsen dan pelaku usaha yang ingin mengajukan permohonan mendapatkan sertifikasi halal terhadap produksinya ke LP. POM MUI dan harus melampirkan hal-hal sebagai berikut: 1) Sertifikat halal bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong yang akan digunakan serta bagan aliran proses.
7
Departemen Agama RI, Modul Pelatihan Auditor Internal Halal (Jakarta: Dirjen BIMAS Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, 2003), h.28
b.
c.
d.
e.
f.
g.
8
2) Sertifikat halal atau surat keterangan halal dari MUI daerah (produk halal) atau sertifikat halal dari lembaga Islam yang telah diakui MUI (produk impor) untuk bahan yang berasal dari hewan atau turunannya. 3) Sistem jaminan. 8 Tim auditor LP.POM MUI melakukan pemeriksaan/audit ke lokasi produsen setelah formulir beserta lampirannya dikembalikan ke LP. POM MUI dan diperiksa kelengkapannya. Hasil pemeriksaan/audit dan hasil laboratorium dievaluasi melalui rapat tenaga ahli LP. POM MUI jika telah memenuhi persyaratan, maka dibuat laporan hasil audit untuk diajukan ke komisi fatwa untuk disidangkan, dibahas dan diputuskan status hukumnya. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak hasil audit jika dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan. Sertifikat halal dikeluarkan oleh MUI melalui LP. POM MUI setelah ditetapkan kehalalannya oleh komisi fatwa MUI. Perusahaan yang produknya telah mendapat sertifikasi halal harus mengangkat auditor halal internal sebagai bagian dari sistem jaminan halal, jika kemudian hari ada perubahan dalam penggaguan bahan baku, bahan tambahan, atau bahan penolong pada produksinya auditor halal internal wajib segera melaporkan untuk mendapatkan izin ketidakberatan penggunaannya. Masa berlakunya sertifikat halal selama 2 (dua) tahun dihitung dari sejak tanggal penerbitnya dengan ketentuannya. 1) Tiga bulan sebelum berakhir masa berlakunya LP. POM MUI akan mengirim surat pemberitahuan kepada pihak produsen.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang, Perlindungan Konsumen (Jakarta. Sinar Grafika, 2000), h. 4
2) Dua bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat pihak produsen harus mendaftar ulang untuk mendapatkan sertifikat yang baru. h. Produsen yang tidak memperbaharui sertifikat halalnya setelah berakhir masa berlakunya, maka tidak dibenarkan penggunannya, dan dihapus dari daftar majalah resmi LP. POM MUI, jurnal halal yang terbit dua bulan sekali. i. Sertifikat yang dikeluarkan oleh LP.POM MUI adalah milik MUI jika karena sesuatu hal diminta untuk dikembalikan oleh MUI maka pemegang sertifikat wajib menyerahkannya. j. Jika sertifikat hilang atau rusak maka pemegang sertifikat segera melaporkan ke LP. POM MUI.9 3. Kewenangan Komisi Fatwa MUI Majelis Ulama Indonesia melalui komisi fatwa sebagai lembaga yang berkompeten menetapkan fatwafatwa yang diputuskan melalui sidang komisi fatwa, memikul tanggung jawab yang besar dalam menentukan halal atau tidaknya sesuatu produk untuk dikonsumsi, dan digunakan oleh masyarakat Islam sebagai kebutuhan sehari-hari. Dengan demikian, agar fatwa halal tidak dikeluarkan berkali-kali (tumpang tindih) maka perlu dijelaskan tentang kewenangan dan ruang lingkup yang dapat difatwakan. Kewenangan disini adalah hak dan kekuasaan komisi fatwa MUI untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang akan difatwakan. Dalam Buku Himpunan Fatwa MUI Tahun 2003 pada ketentuan umum pasal 7 tentang kewenangan dan hirarki disebutkan: a. Majelis Ulama Indonesia berwenang mengeluarkan fatwa mengenai hal-hal atau masalah sebagai berikut: 1) Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara Nasional. 9
Modul Pelatihan Auditor Internal Halal, Dirjen BIMAS Islam dan Penyelenggaraan Haji Kementerian Agama RI 2003
b.
c.
d.
e.
2) Masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat menyebar luas ke daerahdaerah yang lain. Majelis Ulama Indonesia Daerah berwenang mengeluarkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan yang bersifat lokal, kasus-kasus di daerah, dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan MUI/Komisi Fatwa. Setiap Surat Keputusan fatwa di lingkungan MUI maupun MUI Daerah diputuskan dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam keputusan ini, mempunyai kedudukan sederajat dan tidak saling membatalkan. Jika MUI pusat telah menetapkan surat keputusan fatwa terhadap suatu permasalahan, maka MUI daerah tidak boleh menetapkan keputusan fatwa yang lain, dalam masalah yang sama, tetapi harus mengikuti dan tunduk pada keputusan MUI. Jika terjadi perbedaan keputusan fatwa MUI pusat dengan keputusan MUI daerah dalam masalah yang sama kedua dewan pimpinan MUI tersebut perlu mengadakan pertemuan untuk mencari solusi dan penyelesaian yang lebih baik.10
4. Wilayah Tempat Permohonan Fatwa Pada dasarnya seseorang yang ingin mengajukan permohonan fatwa tentang masalah keagamaan boleh saja dia bermohon ke MUI propinsi, atau MUI Kabuapaten/Kota sesuai keinginannya, mana yang menurut dia lebih mudah. Namun sebaliknya jika mungkin permohonan fatwa dilakukan sebagaimana dijelaskan berikut ini: a. Setiap orang atau lembaga (instansi) baik pemerintah ataupun swasta yang berdomisili di wilayah propinsi, maka permohonan fatwanya dilakukan di MUI Propinsi.
10
MUI Pusat, Buku Himpunan Fatwa MUI Tahun 2003 (Jakarta: MUI, 2003), h. 52
b. Setiap orang atau lembaga (instansi) baik pemerintah ataupun swasta yang berdomisili di wilayah Kabupaten/Kota maka tempat permohonan fatwanya dilakukan di MUI Kabupaten/Kota. c. Jika seseorang, atau lembaga (instansi) baik pemerintah atau swasta yang berdomisili di Kabupaten/Kota datang mohon ke MUI Propinsi, maka MUI Propinsi menganjurkan agar dimohonkan ke MUI Kabupaten/Kota. d. Jika terjadi sesuatu hal, maka MUI Kabupaten/Kota dapat melimpahkan permohonan fatwa Kabupaten/Kota tersebut ke MUI Propinsi. 5. Keterkaitan Komisi Fatwa dengan LP. POM MUI dalam Penyelesaian Sertifikasi Halal. LP. POM MUI adalah lembaga yang dibentuk oleh MUI dan berada dalam lingkungan MUI. Oleh karenanya, dalam hal mengeluarkan sertifikat halal antara komisi fatwa dan LP. POM MUI tidak dapat berjalan sendiri-sendiri, tetapi saling melaksanakan tugas masing-masing. LP. POM MUI tugas pokoknya adalah melakukan pemeriksaan. Audit ke lokasi produsen yang menyampaikan permohonan sertifikasi halal, sesuai dengan produk yang akan diaudit dengan mengirimkan petugas auditor sesuai dengan keahlian di bidangnya masing-masing. Hasil pemeriksanaan dirapatkan melalui rapat khusus dengan para auditor untuk mendengarkan penjelasan lebih lengkap dari hasil audit, rapat dipimpin oleh Ketua Direktur LP.POM MUI . Jika hasil rapat tidak ditemukan kekurangan-kekurangan dan semua syarat telah terpenuhi, maka LP. POM MUI melimpahkan semua berkas ke Komisi fatwa untuk dimintakan fatwa halalnya. Komisi fatwa memeriksa secara teliti berkas yang disampaikan oleh Direktur LP. POM MUI dan para auditor. Kemudian komisi fatwa bertanya tentang hal-hal yang kurang jelas. Setelah mendengarkan tanggapan dan masukan dari seluruh anggota Komisi Fatwa dan tidak ada kekurangan dari syarat-syarat yang diperlukan, maka komisi fatwa menetapkan kehalalannya.
Jika ditemukan kekurangan atau kesalahan dari apa yang harus dipenuhi, maka harus dilengkapi dan diperbaiki sesuai hasil pertemuan dengan komisi fatwa oleh pihak produsen. Setelah dilengkapi dan diperbaiki dibawa ke sidang komisi fatwa, untuk dicek kebenaran dan keabsahannya, setelah itu dapat ditetapkan kehalalannya dan dikeluarkan sertifikat halalnya oleh LP. POM MUI. Menurut ketentuan yang berlaku bahwa yang berhak mengeluarkan sertifikat halal adalah LP. POM MUI propinsi, sedangkan LP. POM Kabupaten/kota dapat bekerjasama dengan LP.POM MUI Propinsi dalam mengaudit produk-produk yang ada di daerah Kabupaten/Kota, dapat diterima dan digunakan untuk penyelesaian dan penerbitan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LP.POM MUI propinsi. Sertifikat halal sesuai dengan ketentuan yang berlaku dikeluarkan oleh LP. POM MUI Propinsi dan ditanda tangani oleh LP.POM MUI Propinsi, Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi dan Ketua Umum MUI Propinsi. C. Penutup Berdasarkan paparan yang penulis kemukakan di atas, maka kewenangan komisi fatwa dan ruang lingkup objek kajian dan pembahasannya adalah bahwa Komisi fatwa MUI, dalam menetapkan keputusan fatwa senantiasa menggunakan metode ijtihad jama’iy dan memilih pendapat yang mengandung mashlahah ammah (kemaslahatan umum) dan mengutamakan kehati-hatian dan selektif dalam memilih pendapat yang akan difatwakan. D. Daftar Referensi Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra, 2000. Departemen Agama RI. Modul Pelatihan Auditor Internal Halal. Jakarta: Dirjen BIMAS Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, 2003.
Departemen Agama RI. Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal. Jakarta: Dirjen BIMAS Islam dan Penyelenggara Haji, Departemen Agama RI, 2003. Modul Pelatihan Auditor Internal Halal, Dirjen BIMAS Islam dan Penyelenggaraan Haji Kementerian Agama RI 2003. MUI Pusat, Buku Himpunan Fatwa MUI Tahun 2003. Jakarta: MUI, 2003. Nawawi Ismail. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis dan Sosial). Bogor: Ghalia Indonesia, 2012. Shihab M. Quraish. Secercah Cahaya Ilahi, Hidup Bersama al-Qur’an. Bandung: Mizan, 2002. Suhendi Hendi. Fiqh Muamalah (Membahas Ekonomi Islam). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. al-Turmudziy, Imam. Sunan al-Turmudziy. Beirut: Dar al-Fikr, 1988. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang, Perlindungan Konsumen. Jakarta. Sinar Grafika, 2000.