KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI HALAL PASCA BERLAKU NYA UU NO. 33 TAHUN 2014
Oleh: M. ADE SEPTIAWAN PUTRA NIM : 1110043200010
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM (PH) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013/2014 M - 1435/1436 H
ABSTRAK M.Ade Septiawan putra , NIM (1110043200010). “Kewenangan LPPOM MUI Dalam Penentuan Sertifikasi Halal Pasca Berlaku nya UU No.33 Tahun 2014 “. Konsentrasi Perbandingan Hukum, Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum , Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015. Skripsi ini menjelaskan mengenai perubahan wewenang Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam penetapan jaminan produk halal dan Prospek kedepan dalam penentuan sertifikasi halal setelah lahir dan berlakunya Undang-Undang No.33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wewenang LPPOM dalam penetapan produk halal pasca berlakunya UU No.33 Tahun 2014. Metode Penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu metode penelitian hukum terhadap aturan hukum yang tertulis, dimana perundangan yang menjadi objek penelitian dan sumber data primer dalam penelitian yang dilakukan yang kemudian dianalisis oleh penulis. Berdasakan hasil penelitian maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa terdapat perubahan wewenang LPPOM MUI sebelum dan sesudah berlakunya UU No.33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Sebelum berlakunya UndangUndang No.33 Tahun 2014 atau selama 23 tahun semenjak berdirinya LPPOM MUI, LPPOM MUI berwenang penuh atas penetapan sertifikasi halal namun pasca lahir dan berlakunya Undang-Undang No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal LPPOM MUI tidak lagi memiliki hak penuh atas pengeluaran dan penetapan sertifikasi jaminan produk halal, melainkan hanya sebagai mitra. Tidak bisa dipungkiri ,bahwa kebutuhan sertifikasi halal atau label halal sangat dibutuhkan di Indonesia ,terlebih masyarakat awam dan khususnya masyarakat muslim di Indonesia .karena dengan tersedia nya produk makanan halal, setidaknya konsumen,khususnya konsumen muslim tidak lagi khawatir akan adanya campuran bahan bahan yang mengandung zat berbahaya yang dilarang baik secara hukum negara maupun agama . Kata kunci : Kewenangan, LPPOM MUI, sertifikasi halal, UU No.33 Tahun 2014 Pembimbing : Dr.H.Ahmad Mukri Aji, MA Datar Pustaka : Tahun 1987 s/d Tahun 2011
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, inayah dan taufiknya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas akhir dalam menempuh studi di Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang berhasil menyampaikan risalahnya kepada umat manusia di seluruh dunia, pendobrak revolusi akbar dalam peradaban sosial kehidupan kita yang kita harapkan syafaatnya kelak di akhirat. Selanjutnya dalam proses penyusunan skripsi ini, penyusun tidak berdiri sendiri. Dalam arti, penyusunan banyak mendapatkan kontribusi dari pihak-pihak lain. Untuk itu, penyusun menghaturkan ribuan terima kasih kepada: 1. Allah SWT dan Rasul Nya yang selalu memberikan nikmat dan hidayahNya kepada seluruh hamba nya, serta menjadi tauladan bagi ummat Nya. 2. Kepada orang tua penulis, ayahanda Abu Hasan dan ibunda Suryani beserta kedua adik ku tercinta (A,Chandrika Jaya Kusuma dan Intan Kesuma Ayu), Abang, saudara, serta semua keluarga besar penulis Di lampung, terima kasih atas do’a, dukungan serta motivasi nya baik secara moril maupun materil. dengan do’a yang kalian panjatkan akhirnya penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik.
v
3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.si Selaku pembimbing Akademik yang selalu memberikan inspirasi dan motivasi penuh kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik. 4. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar ,MA Selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Bapak Dr. Khamami Zada ,MA dan ibu Siti Hana MA ,Selaku Kepala Jurusan Dan sekretaris jurusan Pebandingan Madzhab dan Hukum yang telah membantu banyak hal kepada penulis. 6. Bapak Dr.H.Ahmad Mukri Aji ,MA Selaku dosen pembimbing dalam penyusunan skripsi ini, yang telah memberikan banyak masukan dan arahan kepada penulis. serta ikhlas meluangkan waktunya untuk membimbing serta memberikan arahan dan masukan yang bersifat membangun kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. semoga apa yang telah diberikan dapat bermanfaat dan mendapat ganjaran dari allah swt,amin ya rabbal alamin. 7. Pimpinan , Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum Unuversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas bagi penulis untuk mengadakan studi kepustakaan. 8. Para dosen Fakultas Syaria’ah dan Hukum, para Guru. Asatidz dan asatidzah yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, namun tidak mengurangi rasa hormat penulis kepada antum semua selaku pendidik
vi
kami. yang telah mendidik penulis baik secara langsung atau tidak, terimakasih telah membantu pemahaman penulis selama study. 9. Kepada pihak Lembaga Pengkajian Pangan Obat Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) atau Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat beserta stafnya dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dan Dewan Perwakilan Rakyat( MPR & DPR ) yg telah meluangkan waktu dan mengizinkan, serta memberi kemudahan penulis untuk melakukan Penelitian dalam Tugas Akhir ini . 10. Kanda Asep sholahuddin selaku senior saya di fakultas syari’ah dan hukum sekaligus Ketua umum HMI cabang CIPUTAT periode 2013/2014, Kanda Ridho Akmal Nasution Direktur LKBHMI cabang CIPUTAT Periode 2010/2011,yg selalu menjadi inspirasi untuk penulis pribadi atas kepribadian mereka berdua. Terima kasih kanda , telah mengajarkan saya arti kekeluargaan, pengorbanan, perjuangan dan solidaritas yang tinggi terhadap sesama . 11. Kakanda Humaedullah Irpan ,kakanda Ismail Fadilah (imung) ,kanda Abiyuddin S.H ,kanda irpan pasaribu, kanda Ahmad Masyhud (Dimas) direktur LKBHMI Periode 2015 ,kanda Fariz Abdurrahman, kanda Muhammad Roies, kanda A.Zaki Al Fajri Nas ,kanda Kevin Dea Putra ,kanda Husnul Qari,yunda Sena Siti Arafiah S.sy ,Alan Novandi ,Abdul Gopur ,Lisanul Fikri ,Muhammad irfan ,Asmu’I S.sy ,Taslim Aditiya ,A.Chaesal Regia, serta kawan kawan seperjuagan lainnya ,yg tidak bisa saya sebutkan satu persatu ,namun tidak mengurangi rasa hormat saya
vii
kepada kawan kawan semuanya . terimakasih kawan kawan ,Kebersamaan dan perjuangan kita selama ini akan menjadi SEJARAH yang tak ternilai Harga nya . 12. Kawan-kawan dan Adik-adik Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Khususnya Komisariat Fakultas Syari’ah dan Hukum,dan umum nya HMI se-CABANG CIPUTAT, pengurus Badan Pengelola Latihan (BPL) HMI Cabang Ciputat ,kanda Muhammad Adam ,kanda Aco ,kanda Wawan , kanda bryan, kanda Fikri Abdillah, kanda Andri, yang selalu membuat penulis menjadi bersemangat dalam segala hal, dari kalian saya belajar militansi dan solidaritas yang tinggi terhadap organisasi dan sesama. Semoga Kita dipertemukan kembali dilain waktu dan kesempatan . Salam INSTRUKTUR . 13. Kepada Puakhi Himpunan Mahasiswa Lampung (HML) tangerang Selatan ,abang juned ,abang dayat, abang uchal ,abang indra hadi ,Saudara Abdurrahman (bhe’el) selaku Ketua umum periode 2013/2014,adinda Rahmat Ramdhani, (ketua umum HML terpilih 2015) Muhammad Afif ,Glamora
lionda
,Pakuan
,Meiriza
,Rahmalia,
Redno,
Azriyani,
Nursolehah ,Lely , Syifa Conita, hanny , Zekha, Ilham Harsya ,suhendra , Zakia Nisa ,Libom, ipul, Radi , Merina Tri Okta ,Ecil , Mar’atu Sholehah ,Brilliant Al Tamin Al Deri,ibnu Nugraha Aris ,ryan dan puakhi yang lain nya yg tidak bisa penulis sebutkan satu persatu .terimakasih telah memberi semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. dari kalian saya belajar arti persaudaraan .Semoga Allah SWT mengizinkan semua mimpi-
viii
mimpi kita menjadi nyata puakhi, dan semoga kita dipertemukan kembali di mana tempat dan suasananya yang berbeda . amien yaa rabbal ‘alamin . 14. Kepada kawan kawan HMI,PMII ,IMM ,GMNI beserta Organ ekstra dan organ intra kampus UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA , terimakasih telah menjadi warna dalam dunia kampus di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perbedaan bukan lah kendala untuk kita menjadi Organisatoris sejati . dari perbedaan kita bisa bertukar fikiran dan argument, Terimakasih telah memberi pelajaran kepada penulis pribadi tentang apa itu DEMOKRASI . semoga kita dapat berjumpa kembali di lain kesempatan dan waktu . 15. Kepada kawan-kawan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum (BEM-FSH) diaz islami noor (presiden dema FSH periode 2015),dan Humaidi (Selaku wakil dema FSH periode 2015), Ketua HMPS ,fawwazul haqqie, ella lazim,Avicenna, Nurul Rizkillah pomalingo, Muhammad Yusuf, Rhomi Prayoga , Kamilina khidmati ,budiarti ,budiman, adik adik Ilmu Hukum ,PMH ,SJS ,SAS,dan MUAMALAT Angkatan 2014 ,yg selalu ada saat penulis membutuhkan sesuatu , terimakasih kawan kawan. Pertemanan kita tidak sampai disini . semoga kita berjumpa dilain waktu dan tempat yang berbeda . 16. Terimakasih kepada Annisa fauziah yg selalu memberi semangat kepada penulis dalam penulisan skripsi ini . 17. Semua teman-teman Perbandingan Hukum angkatan 2010, laka ramadhan Mubarok,Ramdhani, ilyas , wiwin ,dayat, Aidz , fanny , ramdhani dan
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..............................................
i
LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN ...........................................................................
iii
ABSTRAK ......................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................
v
DAFTAR ISI ...................................................................................................
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................................
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah............................................................
5
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ...........................................
6
D. Metode Penelitian.................................................................................
7
E. Review Studi Terdahulu .......................................................................
12
BAB II PENGERTIAN HALAL DALAM ISLAM A. Halal dan Haram dalam Islam ..............................................................
15
B. Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk Perlindungan Ummat Islam ............
25
C. Penentuan Kehalalan dalam Hukum Islam ..........................................
33
BAB III PROFILE LEMBAGA A. Sejarah LPPOM MUI...........................................................................
35
B. Tugas dan Fungsi LPPOM MUI ..........................................................
42
C. Sistem dan Prosedur Sertifikasi Halal MUI ........................................
46
D. Kewenangan Penentuan Jaminan Produk Halal ...................................
48
xi
BAB IV LEMBAGA SERTIFIKASI HALAL PASCA UU NO. 33/ 2014 A. Lembaga Sertifikasi Halal dalam UU No.33 tahun 2014 ....................
53
B. Kewenangan dan Kedudukan LPPOM MUI Pasca UU No. 33 Tahun 2014 ......................................................................................................
68
C. Prospek Sertifikasi Halal di Indonesia .................................................
73
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ..........................................................................................
82
B. Saran ....................................................................................................
83
DAFTAR PUSATAKA ..................................................................................
84
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan, manusia membutuhkan makanan sehari-harinya. Mereka membutuhkan makanan untuk kebutuhan dan kesehatan jasmani serta rohaninya. Sejak dahulu ummat dan bangsa-bangsa ini berbeda-beda dalam persoalan makanan dan minuman ,apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.1Dalam memilih makanan yang baik, hendaknya sebagai ummat muslim memilih makanan yang sehat menurut Islam. Dalam ajaran islam banyak peraturan yang berkaitan dengan “makanan”, dari mulai mengatur makanan yang halal dan haram, etika makanan, sampai mengatur idealitas dan kuantitas di dalam perut. Salah satu peraturan yang terpenting adalah larangan menkonsumsi makanan atau minuman yang haram. Mengonsumsi yang haram atau belum diketahui kehalalannya akan berakibat serius, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Sebagaimana hadis yang artinya,” setiap daging yang tumbuh yang diperoleh dari kejahatan (jalan haram), makan neraka lebih layak baginya.” (HR. Imam Ahmad)2 Seruan Allah kepada umat manusia agar menkonsumsi makananan yang halal lagi baik dan menyehatkan tidak lain adalah demi tercapainya kemaslahatan bagi umat manusia itu sendiri dalam Al Qur’an dituliskan:
1
.Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram (Jakarta: Rabbani Pers,2002), h.45 Ahmad bin Hambal, Kitab Musnad Ahmad, Muassasah Qurthubah, Kairo, Jilid: 3 hal. 399, No hadits : 15319 2
1
2
ٌعدُ ٌّو مُبِين َ ن إِّنَ ُه َل ُك ْم ِ ت الّشَ ْيطَا ِ خطُوَا ُ يَا أَيُهَا الّنَاسُ كُلُوا مِّمَا فِي األرْضِ حَالال طَيِّبًا ّوَال تَّتَ ِبعُوا ٢ )٨٦١ : : ُ)الْبَقَ َرةُ سُوْرَة Artinya : ”Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkahlangkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”(QS Al-Baqarah: 2 :168). Hikmah dibalik perintah itu adalah agar agama, jiwa, akal serta keturunan dan harta dapat terjaga dan terpelihara dengan baik. Dengan terjaganya kemaslahatan tersebut seorang mukallaf diharapkan akan sanggup menjalankan tugasnya sebagai khalifah dimuka bumi ini dan akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dewasa ini, isu tentang produk makanan dan minuman yang diharamkan dan berbahaya sedang mendapatkan perhatian masyarakat. Produk-produk makanan instan, makanan cepat saji, restoran sampai jajanan pasar merupakan hal yang rawan dicemari oleh jenis makanan yang tidak halal baik dari segi bahan, maupun prosesnya.3 Tuntutan konsumen akan produk halal belakangan memang semakin kritis, mereka tidak sekedar menuntut produk yang higienis dan terjamin kandungan gizinya, tetapi bagi yang muslim, salah satu yang menjadi konsen mereka adalah juga kehalalannya dan label halal pun menjadi ketentuan ,makanan tersebut dapat dikonsumsi atau tidak.
3
Diana Candra Dewi, Rahasia Dibalik Makanan Haram (Malang: UIN-Malang,2007), h. iii
3
Melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Agama RI Nomor 518 tanggal 30 November 2001 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal, pemerintah kembali berusaha menerapkan labelisasi halal pada produk makanan dan minuman. Keputusan tersebut disusul dengan SK 519 Tahun 2001 yang menunjuk Majelis Ulama Indonesia (MUI)4 sebagai lembaga pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal dan dikemas untuk diperdagangkan. Selain itu, melalui SK Nomor 525 Tahun 2001, Menteri Agama juga menunjuk peran percetakan Uang Republik Indonesia (PERURI) untuk mencetak label halal yang nantinya akan diberikan kepada produk yang dinyatakan halal oleh MUI.5 Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam.6 Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk mencantumkan label halal sehingga suatu produk layak untuk dikonsumsi oleh konsumen muslim . Pelaku usaha harus memenuhi syarat tertentu dan melewati serangkaian proses yang telah ditetapkan oleh MUI untuk memperoleh sertifikat halal. Setelah memperoleh sertifikat
halal,
pelaku usaha memperoleh label halal dari MUI untuk kemudian dicantumkan pada label produknya. Sertifikat halal ini hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu dan pelaku usaha harus melakukan perpanjangan untuk memperoleh sertifikasi kehalalan produknya kembali.
4
Selanjutnya penulis menggunakan singkatan MUI untuk menyebutkan Majelis Ulama Indonesia 5 Diana Candra Dewi, Rahasia Dibalik Makanan Haram (Malang: UIN-Malang,2007), h.iii 6 Wiku Adi sasmito Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam Labeling Obat dan Makanan” dalam Studi Kasus: Analisis Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008, hlm. 14.
4
Dalam proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh MUI dalam menentukan makanan mana yang dapat dan tidaknya di konsumsi, maka makanan tersebut harus memenuhi syarat kehalalanya. Selain itu juga dalam sertifikasi halal ini MUI menerapkan tarif untuk setiap makanan yang akan diberikan sertifikat halal. Biaya tarif yang diterapkan oleh MUI dalam setiap sertifikasi produk berkisar antara 3/4 juta rupiah. Biaya ini dirasakan cukup mahal untuk dikeluarkan terutama bagi kalangan menengah ke bawah. Predikat halal yang pada dasarnya merupakan ketentuan hukum islam yang memiliki tujuan untuk melindungi dan menjaga kemaslahatan umat dari perbuatan diluar hukum Islam. Namun sayang nya hal tersebut telah dijadikan peluang untuk meraih keuntungan dengan dijadikannya sebagai objek bisnis. Oleh karena itu kewenangan MUI ini telah menjadi bahan perbincangan yang serius di Parlemen. Peraturan Perundang Undangan di Indonesia menjamin Setiap konsumen berhak untuk memperoleh informasi tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan suatu produk. Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 4 butir c UU Perlindungan Konsumen; bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Hak atas informasi ini sangat penting karena jika informasi yang diberikan kepada konsumen tentang suatu produk tidak memadai, maka dapat
5
merupakan salah satu bentuk cacat produk, yakni disebut dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai7. Untuk itu penulis ingin memaparkan dalam skripsi ini tentang undang undang sertifikasi halal yang sudah di sahkan oleh pemerintah, UU No.33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), kesesuaian ndengan hukum Islam, Serta Kewenangan lembaga penjamin produk halal menurut ketentuan Undang Undang No. 33 tahun 2014. Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis ingin meneliti dan membahasnya dalam skripsi yang berjudul: “KEWENANGAN LPPOM MUI
DALAM
PENENTUAN
SERTIFIKASI
HALAL
PASCA
BERLAKU NYA UU NO. 33 TAHUN 2014’’ B. Batasan dan Rumusan Masalah Untuk menghindari terlalu luasnya pembahasan dalam skripsi ini, penulis hanya memokuskan pada masalah Undang-Undang Sertifikasi halal yang sudah di sahkan di DPR RI pada tahun 2014 dalam kajian hukum islam dan kewenangan LPPOM MUI dalam UU No. 33 Tahun 2014.serta Prospek sertifikasi halal di Indonesia. Oleh karena itu rumusan masalah yang dikaji dalam perumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Kewenangan LPPOM MUI pasca Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 ? 2. Bagaimana Prospek Sertifikasi halal di Indonesia ? 7
Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet ke-7, Edisi ke-1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 41.
6
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun Tujuan penelitian ini, adalah sebagai berikut: a. Untuk mendeskripsikan halal dan haram dalam pandangan agama islam. b. Untuk menjelaskan
kewenangan LPPOM MUI dalam Undang-
Undang No. 33 tahun 2014. c. Untuk mengetahui bagaimana prospek sertifikasi halal di Indonesia. 2. Manfaat Penelitian Penulis berharap penulisan skripsi ini dapat memberi manfaat sebagai berikut: a. Bagi
penulis
yaitu
untuk
menambah
wawasan
sekaligus
pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan produk halal. b. Secara
praktis
yaitu
untuk
mengetahui
batasan-batasan
pengkonsumsian yang benar dan halal untuk menambah keyakinan kepada konsumen terutama terhadap umat Islam dalam mengonsumsi sesuatu. c. Secara teoritis untuk mengetahui kewenangan LPPOM MUI dalam Undang Undang No.33 tahun 2014. d.
Bagi akademisi, yaitu upaya menambah khazanah pengetahuan bidang hukum Islam, khususnya yang berkenaan dengan lembaga penjamin produk halal .
7
D. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah metode-metode yang dapat mempermudah dalam penelitian yaitu sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan Penelitian Hukum Normatif Tertulis,Metode Penelitian Hukum Normatif
Tertulis adalah metode penelitian hukum
terhadap aturan hukum yang tertulis. Pada penelitian hukum Normatif, peraturan perundangan yang menjadi objek penelitian menjadi sumber data primer dalam penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian hukum tertulis yang dilakukan peneliti adalah melakukan pengumpulan bahan-bahan baik yang terpublikasi atau tidak yang berkenaan dengan bahan hukum positif yang dikaji dengan terkumpulnya bahan-bahan tersebut maka akan mudah melakukan sistematisasi dan analisis selanjutnya. Bahan pustaka lain yang merupakan berhubungan dengan tema walaupun menjadi dasar yang dalam ilmu hukum digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi ,buku-buku harian, bukubuku, UU JPH, SK kemenag, LPPOM MUI, UU Perlindungan Konsumen, buku buku yang berkenaan tentang halal dalam islam, Risalah Sidang, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. adapun data sekunder, sebagai berikut: 1.
Surat Kabar .
8
2.
Opini yang Berhubungan Tentang Halal / JPH di indonesia
3.
LPPOM MUI Dengan adanya data sekunder tersebut ,seorang peneliti tidak perlu
melakukan penilaian sendiri. Metode penelitian Hukum Normatif dapat berupa : a.
Sinkronisasi Hukum Penelitian normatif memiliki 2 (dua) bentuk ,yaitu horizontal dan Vertikal. Dalam kedua bentuk penelitian tersebut, penelitian sinkronisasi hukum meneliti bagaimana hukum positif tertulis yang ada dalam peraturan perundangan yang ada di Indonesia sesuai. Hal itu dapat ditinjau secara vertical, yakni apakah perundangundangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan, apabila ia dilihat dari segi hirarki perundangundangan tersebut. Mengenai penelitian ini, dapat di pergunakan sebagai titik tolak tata urutan peraturan perundangan Republik Indonesia:
9
Bagan No. 01Tentang Dasar Hukum
UU DASAR TAHUN 1945 UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPU) Peraturan Daerah Propinsi Peraturan Daerah Kabupaten/kota Peraturan pemerintah desa
Hirarki
peraturan
perundangan
yang
ada
di
Indonesia
sebagaimana yang termaktub dalam UU No.12 Tahun 2012, Pasal 7 ayat 1. Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan tersebut adalah
sesuai dengan hirarki. Dengan kata lain tidak boleh ada
pertentangan dari bawah .inti kajian pada sinkronisasi vertical ada pada taraf peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan di atasnya, misalnya UU dengan UUD 1945. Hal ini sesuai dengan sistem konstitusi Indonesia yang menjelaskan bahwa peraturan perundang-undangan yang tertinggi menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan perundangan yang ada dibawahnya . Berbeda dengan sinkronisasi Horizontal, dimana yang dikaji adalah
perundang-undangan
yang
setingkat
dengan
tingkatan
peraturan perundangan. Dengan kata lain penelitian sinkronisasi horizontal, yang ditinjau adalah perundang-undangan yang sederajat yang mengatur bidang yang sama atau bidang yang bersentuhan.
10
misalnya, antara UU perlindungan konsumen dan jaminan produk halal. b.
Perbandingan Hukum Kemajemukan hukum yang ada di Indonesia dimana ada Hukum islam , Hukum Adat ,dan tentunya hukum positif . hal ini Sangat menarik untuk dikaji dengan metode perbandingan hukum menjadi suatu alternatif kajian.Kajian perbandingan hukum ini dapat dilakukan terhadap sistem hukum yang mencakup 3 unsur pokok8
1. Struktur hukum yang mencakup lembaga-lembaga Hukum 2. Substansi hukum yang mencakup perangkat kaidah prilaku 3. Budaya hukum yang mencakup ,bagaimana hukum itu diperlakukan . Dengan melihat pokok system hukum tersebut maka penelitian perbandingan hukum tidak hanya dilakukan secara normatif belaka. Karena membutuhkan kajian sosial lain untuk memahami mengapa perbedaan itu terjadi dan dampak yang di akibatkan.9 2. Sumber Data Penelitian Dalam penulisan skripsi ini penulis memperoleh data penelitian dari berbagai sumber, sebagai berikut : a.
Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yaitu sumber penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli. Sumber bahan hukum primer dapat
8
Fahmi Muhammad Ahmadi,M.Si, Dr.jaenal Aripin, M.Ag Metode Penelitian Hukum, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet ke-1, Jakarta tahun.2010 9 Fahmi Muhammad Ahmadi,M.Si, Dr.jaenal Aripin, M.Ag Metode Penelitian Hukum, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet ke-1, Jakarta tahun. 2010 hal. 38-41
11
berupa opini subjek (orang) secara individu atau kelompok, hasil observasi atau kegiatan dan hasil pengujian. Dalam hal ini peneliti mengambil sumber hukum primer melalui: 1). Pedoman sertifikasi halal MUI 2). Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal b.
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan
kepustakaan.10
Bahan
hukum
terdiri
atas
buku-buku
(textbooks), jurnal-jurnal hukum dan hasil-hasil simposium yang berkaitan dengan topik penelitian ini.11 Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia UU Perlindungan Konsumen . c.
Bahan Hukum Terster Bahan hukum terster adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.12
3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan studi pustaka (Library Research) yaitu penulis melakukan
10
Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),
h. 94 11
Amirudin, H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) , h.30 12 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Noormatif (Malang : Bayu Media Publishing, 2008), h.294
12
pengumpulan data dengan cara menelusuri buku-buku dan literaturliteratur yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. 4. Pengolahan dan Analisa Data a.
Metode Induktif yaitu suatu cara menganalisa yang bertitik tolak dari data yang bersifat khusus kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
b. Metode deduktif, yaitu logika yang bertitik tolak dari pengetahuan yang bersifat umum, kemudian dijadikan titik tolak yang menilai suatu fakta yang bersifat khusus atau konkrit. 5. Teknik Penulisan Penulisan skripsi ini berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta 2012.
E. Riview Study Terdahulu No 1.
Identitas Mahwiyah, Konsentrasi Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum. 2010. “Pengaruh Labelisasi Halal Terhadap Terhadap Keputusan Pembelian Konsumen.”
Subtansi Skripsi ini membahas bagaimana persepsi atau pandangan masyarakat (konsumen) terhadap label halal pada suatu prodak makanan dan juga membahas mengenai pengaruh label halal terhadap keputusan konsumen (dosen Fakultas Syariah dan Hukum) dalam membeli produk makanan.
Perbedaan Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan, penulisn membahas mengenai bagaimana prosedur dan persyaratan sertifikasi halal oleh MUI dan bagaimana kesesuaian sertifikasi halal MUI dengan ketentuan pada Maqasid Syariah.
13
2.
3.
Hasyim As’ari, Konsentrasi Perbandingan Mahzab Fikih Fakultas Syariah dan Hukum. 2011. “Kriteria Sertifikasi Makanan Halal Dalam Perspektif Ibn Hazm dan MUI.” Zuriah binti Semoni, Konsentrasi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum.2013. ”Implementasi Aturan Produk Halal di Malaysia Berdasarkan Akta 730 Perihal Dagangan 2011”
Skripsi ini membahas mengenai kriteria atau persyaratan dalam pemberian halal oleh MUI dan kriteria halal menurut pendapat ibn Hazm.
Skripsi ini membahas mengenai peranan Jakim di Malaysia dan Bagaimana Pelaksanaan dan Penerapan Akta 730 Perihal Dagangan 2011.
Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan, penulisn membahas mengenai bagaimana prosedur dan persyaratan sertifikasi halal oleh MUI dan bagaimana kesesuaian sertifikasi halal MUI dengan ketentuan pada Maqasid Syariah. Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan, penulisan membahas mengenai bagaimana prosedur dan persyaratan sertifikasi halal oleh MUI dan bagaimana kesesuaian sertifikasi halal MUI dengan ketentuan pada Maqasid Syariah.
F. Sistematika Penulisan Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terarah, maka penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab, setiap bab terdiri dari sub-sub bab sebagai berikut: BAB I Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penulisan. BAB II Dasar hukum diantaranya membahas Halal dan haram dalam Islam. Sertifikasi halal sebagai bentuk perlindungan umat Islam. Penentuan Kehalalan dalam hukum Islam. BAB III Tinjauan umum mengenai Sejarah LPPOM MUI, Tugas dan Fungsi LPPOM MUI. Kewenangan penentuan jaminan produk halal.
14
BAB IV lembaga sertifikasi pasca Undang-Undang No. 33 Tahun 2014: Lembaga Sertifikasi Halal dalam UU No. 33 Tahun 2014, Kewenangan dan Kedudukan LPPOM MUI Pasca UU No 33 Tahun 2014, Prospek Sertifikasi Halal Di Indonesia, Lembaga Sertifikasi Halal dalam Undang Undang No. 33 tahun 2014, kewenangan dan kedudukan LPPOM MUI Pasca Undang Undang No. 33 Tahun 2014. BAB V Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
BAB II PENGERTIAN HALAL DAN HARAM DALAM ISLAM A. Halal Dan Haram Dalam Islam Halal adalah sesuatu yang (diperkenankan) atau boleh dikonsumsi, yang terlepas dari ikatan larangan, dan dizinkan oleh pembuat syari‟ah untuk dilakukan.1 Halal juga diartikan sesuatu yang jika digunakan tidak mengakibatkan mendapat siksa (dosa).2 Sedangkan, haram adalah sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari‟at dengan larangan yang pasti, dimana orang yang melanggarnya akan dikenai hukuman di akhirat, dan ada kalanya dikenai hukuman juga di dunia.3 Hukum Islam mencakup berbagai dimensi abstrak dan dimensi konkret. Dalam wujud memola yang bersifat ajeg dikalangan orang Islam sebagai upaya untuk melaksanakan Titah Allah dan Rasulnya itu lebih konkret lagi, dalam wujud prilaku manusia (amaliah), baik individual maupun kolektif, hukum Islam juga mencakup substansi yang terinternalisasi ke dalam berbagai pranata sosial. Dimensi dan substansi hukum Islam itu dapat disilang yang kemudian disebut hukum islam dan pranata sosial 4 . Terdapat catatan berkenaan dengan pengidentifikasian hukum Islam dengan fiqh, atau sebaliknya. Hal itu mengundang berbagai komentar, bahkan kecaman, terutama dari kalangan sarjana hukum yang memiliki kepedulian
1
Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram (Jakarta: Rabbani Pers, 2002), h.13 Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas Jakarta, 2011) Cet. Ke3. h. 313 3 Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram(Jakarta: Rabbani Pers, 2002), h.13 4 Cik Hasan Bisri, Pilar Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2004), h.38 2
15
16
terhadap perkembangan hukum Islam di Indonesia. Sebagai contoh seperti dikemukakan Mohammad Daud dan Yahya Harahap, ketika membahas tentang beberapa masalah hukum Islam, yang berkenaan dengan diundangkan dan berlakunya Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,5 menyatakan, bahwa manakala membicarakan hukum Islam, apakah yang dimaksud syari‟at Islam itu adalah fiqih Islam?. Syari‟at Islam adalah hukum islam yang berlaku abadi sepanjang masa. Sedangkan fiqh adalah perumusan konkret syari‟at Islam untuk diterapkan pada suatu kasus tertentu pada tempat dan suatu masa. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Hal yang serupa dikemukakan oleh Harahap, ketika menyampaikan informasi tentang latar belakang penyusunan dan perumusan hukum Islam (KHI), yang menyatakan adanya kerancuan pemahaman dan penghayatan masyarakat Islam Indonesia selama ini. Kerancuan itu tidak terbatas pada masyarakat awam tetapi meliputi kalangan ulama dan lingkungan pendidikan serta perguruan– perguruan tinggi Islam. Mereka selalu mengindentikan “fiqih” dengan “syariah” atau “hukum Islam”. Pengindentikan fiqih dengan hukum Islam telah melahirkan kekeliruan penerapan yang sangat keterlaluan. Dalam menghadapi penyelesaian kasus-kasus perkara di lingkungan peradilan agama, para hakim menoleh pada kitab – kitab fiqih.6 Rujukan utama mereka pada kitab-kitab fiqih ulama mazhab.7
5
Dapat dibaca tulisan Muhammad Daud Ali 1990 : 28 , dalam buku Cik hasan bisri, PilarPilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta : PT. Raja grafindo persada 2004) 6 Cik hasan bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta : PT. Raja grafindo persada 2004), h.39 7 Tulisan M. Yahya Harahap, Cara lengkap, dapat dibaca dalam Cik Hasan Bisri (Penyunting), Komplikasi Hukum Islam Tentang Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Logos Wacana Ilmu, 1999, hal 21-97
17
Catatan kedua, berkenan dengan fiqih sebagai salah satu dimensi hukum Islam dan sebagai Ilmu hukum. Secara umum fiqh didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum syara‟ yang bersifat amaliah yang diperoleh melalui dalil – dalil yang rinci
8
Namun juga diartikan sebagai kumpulan hukum tentang hal yang
bersifat praktis yang digali dari dalil yang rinci9, sebagaimana dikemukakan oleh „Abd Wahab Kallaf. Apabila fiqih didefinisikan sebagai ilmu, maka dinyatakan secara deskriptif. Bahwa Ia merupakan wacana intelektual dengan menggunakan cara
berfikir
tertentu,
tentang
penataan
kehidupan
manusia.
Apabila
diindentifikasi sebagai hukum merupakan kumpulan hukum, atau sebagai salah satu dimensi hukum Islam. Yakni produk pemikiran fuqoha yang dijadikan salah satu dalam penataan kehidupan manusia .10 Menurut Asaf Fyzee, syariah dapat diartikan kedalam bahasa inggris sebagai canon law of Islam, keseluruhan perintah Allah. Perintah itu dinamakan hukm (jamaknya ahkam). Sedangkan fiqih atau ilmu hukum Islam adalah pengetahuan tentang hak-hak dan kewajiban seseorang seagaimana diketahui dalam Al-Qur‟an dan sunah, atau yang disimpulkan dari keduanya, atau tentang apa yang telah disepakati oleh kaum cerdik pandai. Sementara itu menurut „Abd Al-„Ati, hukum Islam mempunyai fungsi ganda, yaitu fungsi syariah dan fungsi fiqih. Syariah merupakan fungsi kelembagan yang diperintahkan Allah untuk dipatuhi sepenuhnya, atau saripati petunjuk Allah untuk perseorangan dalam
8
Al-ilmu bil ahkam assyar‟iyah al-amaliyyah al-mukhtasabu minn adillatiha al tafshiliyah al majmu‟atu al- akhkami assyariyati al-amaliyyati al-mustafaadatu min adillatiha atafshiliyah 10 Dapat dibaca Tulisan Mohammad Daud Ali dan Yahya Harahap ,dalam buku Cik hasan bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta : PT. Raja grafindo persada 2004) 9
18
mengatur hubunganya dengan Allah, sesama manusia dan dengan semua mahluk didunia ini. Sedangkan fiqih produk daya pikir manusia, fiqih merupakan usaha manusia yang dengan daya intelektualnya mencoba menafsirkan penerapan prinsip-prinsip syariah secara sistematis. Berkenaan dengan hal itu, maka fiqih merupakan produk daya nalar fuqaha, yang di deduksi dari sumber yang autentik kemudan dijadikan patokan kehidupan yang dikembangkan secara berkelanjutan dalam rentang waktu yang sangat panjang. Ia disosialisasikan dan memberikan makna Islami terhadap pranata sosial yang tersedia atau, bahkan, menjadi cikal bakal pranata sosial yang baru. Produk pemikiran para fuqaha ini sangat besar pengaruhnya di kalangan umat Islam sehingga terdapat kecendrungan dikalangan mereka bahwa fiqih indentik dengan hukum Islam dan dapat ditemukan dalam berbagai kitab fiqih dari berbagai aliran mazhab.11 Dalam tradisi pemikiran fuqaha, pemilahan fiqih memilki dasar yang kuat dan jelas. Pada awal perumusannya, fiqih mencakup 4 bidang yakni, Rubu‟ibadah, rubu‟ munakahah, rubu‟ muamalah, dan rubu‟ jinayah. Ia kemudian dikembangkan kebidang lain, diantaranya fiqih siyasah dan fiqih qadha‟. Selanjutnya fiqih dijadikan salah satu sasaran pengkajian dalam “pohon ilmu” agama Islam, dalam lingkungan sekolah, madrasah, pesantren, dan unit penyelenggara pengkajian Islam diluar penyelenggaraan pendidikan. Bahkan dalam lingkungan perguruan tinggi agama islam, khususnya pada lingkungan Fakultas Syariah, fiqih menjadi salah satu bidang keahlian yang dikembangkan 11
Tulisan M. Yahya Harahap, Cara lengkap, dapat dibaca dalam Cik Hasan Bisri (Penyunting), Komplikasi Hukum Islam Tentang Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Logos Wacana Ilmu, 1999, hal 21-97
19
dalam beberapa program studi (Akhwal Syaksiyyah, Muamalah, Jinayah dan Siyasah,serta perbandingan mazhab dan hukum). Berkenaan dengan kedua catatan di atas diharapkan kedudukan dan posisi masing-masing menjadi jelas. Dimensi dan subtansi hukum Islam, bagaikan bentuk dan isi. Gabungan keduanya dipandang sebagai aspek statis hukum Islam. Sedangkan aspek dinamisnya terlihat dalam proses pemikiran dan interaksi pengguna hukum Islam dalam kehidupan masyarakat yang amat luas dan rumit, terutama dalam sistem masyarakat bangsa, baik dalam perspektif masa lalu dan masa kini maupun prospeknya pada masa datang. Hukum Islam berpangkal dari keyakinan dan penerimaan terhadap sumber ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Al-Qur‟an dan kitab-kitab hadist. Kedua sumber itu kemudian dijadikan patokan dalam menata hubungan antar hubungan sesama manusia dan antar manusia dan mahluk lainnya. Hukum, sebagai unsur normatif dalam penataan kehidupan, dalam bentuk dan jenis apapun, berkenaan dengan pengaturan dan kekuasaan. Sedangkan kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi atau mengarahkan manusia untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan sesuai dengan kehendak (perintah atau larangan) yang berkuasa. Berkenaan dengan hal itu, kekuasaan melekat pada Tuhan, melekat pada manusia dan melekat pada organisasi masyarakat yaitu negara. Hal itu menunjukan bahwa kekuasaan itu bervariasi baik graduasinya maupun kawasannya. Oleh karena itu, daya atur, daya ikat dan daya paksa hukum dalam penataan kehidupan manusia tergantung pada graduasi kekuasaan yang memproduknya. Ada hukum yang memiliki daya
20
atur dan daya ikat yang longgar dan adapula yang kuat. Disamping itu ada yang memiliki daya paksa walaupun dalam batas-batas tertentu. Prinsip dan fungsi hukum Islam dan Hubungannya dengan keyakinan dan kekuasaan, pada penjelasan diatas, menjukan bahwa hukum, dalam hal ini hukum Islam, dibangun atas prinsip tawhid „l-lah.
dengan prinsip itu, ia memiliki
beberapa fungsi. Pertama fungsi transformasi keyakinan terhadap kekuasaan (alqudrah) dan kehendak (al-iradah) Allah dan Rasulnya kedalam nilai-nilai etik dan moral yang dijadikan rujukan perilaku manusia, baik secara individual maupun secara kolektif. Prinsip itu menjadi dasar dan landasan dalam rumusan kaidah hukum yang mnegatur tentang apa yang harus dilakukan (al-„awamir) dan apa yang dilarang dan mesti ditinggalkan (al-nawahi) oleh manusia. Kedua, fungsi mengatur berbagai kehidupan manusia yang diinternalisasikan kedalam pranata sosial yang tersedia, atau menjadi cikal bakal pranata sosial baru. Ketiga, fungsi mengikat manakala melakukan transaksi (al-„uqud) diantara manusia, baik antara individu (al akhwal al syakhshiyyah), maupun antar individu dengan masyarakat termasuk yang berkenaan dengan hak-hak kebendaan (al-madaniyah), dengan berpatokan dengan hukum. Keempat, fungsi memaksa manakala ditetapkan oleh kekuasaan kolektif yang memiliki kelengkapan alat, dalam hal ini penyelenggara dan aparatur negara, seperti badan peradilan (al- qadha‟). Berkenaan dengan graduasi dan kawasan hukum Islam dapat dipilah menjadi beberapa dimensi. Ia merupakan wujud hukum yang relatif konkret, dibandingkan dengan nilai dan kaidah, dan berhubungan dengan yang
21
memproduknya. Dimensi-dimensi hukum Islam itu adalah: syari‟ah, ilmu, fiqh, fatwa, nizham, qanun, idarah, qadha, dan adat.12 1.
Dimensi syariah Berdasarkan prinsip dan fungsi di atas, sumber hukum (mashadir al ahkam
atau al-adillah al-syari‟ah) yakni ayat-ayat Al-Qur‟an (kalam Ilahi) mencakup ayat akidah dan ayat hukum kemudian diimplementasikan dalam sunah rasulullah (yang didokumentasikan dalam berbagai kitab hadist), dipahami sebagai hukum Islam. Ia dideduksi dari kedua sumber itu, dengan dasar pandangan bahwa Allah dan Rosulnya memilki kekuasaan dan bentuk mengatur kehidupan manusia (AlSyar‟i) dalam berbagai aspeknya. Hukum yang didasarkan pada kedua sumber itu dikenal sebagai syari‟ah. Ia merupakan dimensi hukum Islam yang utama, yang menjadi sumber dalam pembentukan dan pengembangan hukum Islam dimensi lainnya, dan menjadi patokan dalam mengarahkan dan memberi makna terhadap berbagai pranata sosial. Ia bersifat universal dan abadi, memilki daya atur dan daya ikat terhadap orang-orang yang beriman dan ia menjadi rujukan serta tolak ukur bagi dan terhadap hukum Islam dalam dimensi lainnya. 2.
Dimensi Ilmu Upaya untuk mengeluarkan hukum (istinbath al-ahkam) dari kedua
sumber diatas, disusun berbagai perangkat dengan menggunakan cara berpikir tertentu, terutama cara berpikir logis. Dengan mengacu kepada kedua sumber hukum diatas, disusun dan metode dan alat memahami ayat dan hadis hukum. 12
Sebagai Bahan Perbandingan: menurut Sunayati Hartono (1997: 246-247). Terdapat arti tentang hukum yakni: 1.Peristiwa hukum, 2.Kaidah Hukum 3.Pranata Hukum 4.Lembaga Hukum 5.Badan hukum 6.Keputusan Hukum (Pengadilan) 7.Petugas hukum 8.Profesi hukum.
22
Oleh karena itu, dikenal hukum Islam dalam dimensi pengetahuan ilmiah (al-„ilm) postulat yang digunakan bahwa ulama yang menyusun dan merumuskannya, memiliki kekuasaan (baca: otoritas atau kompetensi) ilmiah di bidang hukum Islam. Oleh karena dimensi hukum Islam sangat lentur, maka daya atur dan daya ikat amat longgar. Hukum Islam dalam dimensi pengetahuan ilmiah memiliki unsur-unsur subtansi, informasi dan metode sebagai penyangga utamanya. Ia menjadi bagian sistem keilmuan yang bersifat universal dan otonom, tanpa terikat oleh sistem sosial manapun. Ia seolah-olah anti struktur, dan hanya menjadi konvensi dikalangan komunitas ilmiah (ulama). Termasuk dalam dimensi ini, falsafah hukum, ilmu ushul fiqh,13 ilmu fiqh dan tarikh tasyri‟ yang belakangan ini dapat diindentikan dengan apa yang disebut sebagai sejarah sosial hukum islam. 3.
Dimensi Fiqh Salah satu hukum islam yang dikenal di masyarakat, baik umat Islam
maupun komunitas ilmiah adalah fiqh. Ia merupakan produk penalaran fuqaha yang dideduksi dari sumber (ayat Al-Qur‟an dan teks hadis) yang otentik. Produk pemikiran mereka didokumentasikan dalam berbagai kitab fiqih yang disusun secara tematik dan mencakup berbagai bidang kehidupan. Mulai dari thaharah sampai jihad. Ia dapat diidentifikasi sebagai kumpulan hukum
yang bersifat
praktis (amaliah atau terapan).
13
Mahdi Fadhl„i-Lah(1987:5) mengindentikan ilmu ushul fiqh dengan ilmu mantiq syar‟I dengan mengadaptasi ilmu mantiq Aristoteles.
23
Sementara
itu,
menurut
al-„Asymawi,
fiqih
memiliki
beberapa
karakteristik. Pertama, selalu disajikan sebagai suatu yang unik, yang tidak dapat dibandingkan dengan kebudayan-kebudayan lain. Tetapi sebetulnya fiqih sangat dipengaruhi oleh hukum yurisprudensi Romawi-Bizantium. Kedua, mula-mula fiqih berkembang secara kasuistis, tanpa rencana dan sistem, karena itu tidak mempunyai teori tentang hukum, politik atau ekonomi selain yang dikembangkan oleh imam syafi‟i. Ketiga, fiqih kurang memberi kebebasan kepada fuqaha karena situasi-situasi politik sepanjang sejarah Islam. Keempat, ada kekurangan indenpendensi ijtihad, disebabkan oleh banyak faktor luar. Keadaan ini memaksa fuqaha untuk tidak mencari pendapat baru tetapi mencari hilah. Kelima, pembaruan hanya terbatas pada pemilihan terhadap pendapat-pendapat dalam berbagai mazhab, pandangan yang mengindentikkan fiqih dengan hukum Islam. Pandangan yang mengindentikan fiqih dengan hukum Islam, sebagaiman dikemukakan di atas, ditunjang oleh beberapa hal: a)
Berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadis yang terantum secara eksplisit dan otentik.
b) Tersusun secara tematik. Mencakup unsur hukum taklifi dan hukum wadh‟i. c)
Mencakup berbagai bidang kehidupan manusia, disertai dengan kaifah masing-masing dalam berbagai hal pararel dengan pertumbuhan dan perkembangan pranata sosial.
24
d) Bersifat praktis („amaliyah) sehingga mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Fiqh dijadikan rujukan dalam menghadapi maslah hukum yang memerlukan pemecahan segera.14 e)
Terdokumentasi dalam kitab-kitab fiqih, yang tersebar pada berbagai mazhab.
f)
Diajarkan dalam berbagai lingkungan.
4.
Dimensi Fatwa Dimensi lain dari hukum Islam itu adalah fatwa ulama (al ifta). Ia
merupakan respon ulama atas pertanyaan yang diajukan. Salah satu ciri fatwa adalah kasuistis dan parsial. Berkenaan dengan hal itu, fatwa tidak memiliki daya ikat bagi penataan kehidupan manusia, termasuk bagi pemohon fatwa itu sendiri, hanya mengikat secara moral. Namun demikian, kebutuhan terhadap fatwa semakin meningkat berkenaan dengan munculnya berbagai masalah dalam kehidupan masyarakat. Fatwa-fatwa
MUI
misalnya,
merupakan
respon
ulama
terhadap
perkembangan pranata-pranata sosial di Indonesia, berkenaan dengan perubahan sosial yang dirancang secara nasional
15
. Penelitian tentang fatwa Muhamadiyyah
dan Nadlatul Ulama dapat disimak dalam tulisan Rifyal Ka‟bah16. Sedangkan penelitian tentang fatwa Persatuan Islam dalam tulisan Dede Rosyada17. Disamping itu dikenal berbagai himpunan dan pembahasan tentang fatwa, diantaranya dihimpun dalam Muhimmat al-Nafais fi Bayan As‟ilat Al hadits.18
14
Yusuf Qhardawi ,Halal dan Haram , cetakan 1995 Lihat tulisanMuhammad Atho Mudzhar. 1993:83-84 16 Lihat Tulisan Rifyal Ka‟bah 1999 17 Lihat tulisan Dede Rosyada (1999) 18 Lihat tulisan Nico Kaptein : 1997 15
25
Dewasa ini, ketika produk industri makanan, minuman, dan kosmetika dilakukan secara besar-besaran dan bervariasi, serta dipromosikan secara gencar, MUI bekerja sama dengan Kementrian Kesehatan RI dan didukung oleh kalangan perguruan tinggi, melakukan pengujian terhadap produk industri itu. Dalam bidang pangan, makanan dan minuman kemudian didirikan sebuah Lembaga yang menangani hal tersebut, yaitu Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM). Dalam proses tersebut dilakukan kerjasama oleh MUI, pemerintah, dan pengusaha atau pelaku usaha (produsen). Berdasarkan hasil pengujian itu dikeluarkan fatwa ulama tentang kehalalan produk, yang kemudian disertifikasi halal bagi produk itu. Fatwa yang dikeluarkan hanya memiliki daya atur setelah dilegalisasi oleh MUI dalam kedudukannya sebagai satuan administrasi Islam. 5.
Dimensi Nizham Dimensi lainnya adalah tatanan atau sistem hukum (al-nizham). Ia
merupakan suatu kompleks hukum Islam yang tumbuh dan bekembang didalam kehidupan masyarakat. Mencakup materi hukum, bagaimana penerapan hukum, institusi dan badan penyelenggara penerapan hukum, dan sarana penunjang dalam penerapannya.
B. Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk Perlindungan Umat Islam Menurut ajaran Islam, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu tidak dapat didasarkan hanya pada asumsi atau rasa suka atau rasa tidak suka. Sebab, tindakan demikian dipandang sebagai tindakan membuat-buat hukum atau
26
tahakkum dan perbuatan dusta atas nama Allah yang sangat dilarang Agama. Perhatikan firman Allah berikut:
(٣٣: ٧: ) االَٔعْزَاف Artinya:“Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar (mengharamkan,) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S al a‟raf: 7 :33) Imam ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin mas‟ud bahwa rasulullah saw ,bersabda
َنَب اَحَدَ اًغيَزُ يٍَِ اهللِ فَهِذَ نِكَ حَزَوَ انفَىَاحِشَ يَب ظًهَزَ يِنهَب وَيَب بَطًٍَ َو نَب اَحَدَاَحَّب (ُاِنَيوِ انًَدحُ يٍَِ اهللِ )رَوَاهُ نْبُخَبرٌِْ وَيُسْهِى Artinya : “Tiada Yang lebih cemburu dari pada allah .oleh karena itu ,dia mengharamkan perbuatan yang keji baik yang tampak maupun yang tersembunyi. dan tiada yang lebih menyukai pujian selain allah .” (HR Bukhari dan Muslim) Hadits ini dikemukakan dalam shahihain. Pembicaraan ihwal perkara yang berkaitan dengan aneka perbuatan keji , baik yang tampak maupun yang tersembunyi telah dikemukakan dalam surat al an‟am ayat 151. Firman Allah Ta‟ala “perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar .”Alitsm berarti aneka kesalahan yang berkaitan dengan si pelaku itu sendiri. AlBaghyu berarti menzalimi manusia tanpa alasan yang benar. Firman Allah Ta‟ala “Mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu ” yakni kamu menetapkan sekutu baginya
27
dalam menyembahnya” dan mengada adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui” berupa perbuatan mengada ada dan dusta seperti menetapkan anak kepada Nya dan hal lain yang tidak kamu ketahui. Ayat ini seperti ”maka jauhilah berhala berhala yang najis itu.”19 Dalam Firman-Nya yang lain secara tegas melarang tahakkum (penetapan hukum tanpa didasari argument, dalil) ini dapat dipahami dari ayat berikut:
)٦٦١ :٦١ : ُحم ْ َ( انن Artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orangorang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung.(Q.S an nahl: 16 :116) Allah ta‟ala memerintahkan kepada hamba hamba nya agar memakan rezekinya yang halal lagi baik dan mensyukurinya. Selanjutnya Allah Ta‟ala menerangkan makanan yang diharamkan kepada mereka karena membahayakan mereka, baik bahaya yang menyangkut agama maupun dunia. Makanan yang diharamkan itu diantara nya bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembeih dengan menyebut nama selain Allah. Kemudian
Allah
melarang
hambanya
untuk
menghalalkan
dan
mengharamkan makanan hanya berdasarkan penjelasan mereka semata dan mengharamkan nama nama yang mereka istilahkan sendiri, seperti bahirah, 19
Muhammad Nasib ar-Rifa‟I “Taisir Al-Aliyyul Qadir Li Ikhishari Tafsir Ibnu Katsir,jilid 2”(Gema Insani Press, 1999)h.356-357
28
sa‟ibah, washilah dan haam yang mereka ciptakan pada masa jahiliah. Maka Allah berfirman “ dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut sebut oleh lidahmu secara dusta „ini halal ini haram‟ , untuk mengada adakan kebohongan terhadap Allah .” termasuk dalam kategori ini maka apa yang mereka ciptakan sebagai bid‟ah dengan Menghalalkan yang haram dan Mengharamkan yang halal20. Atas dasar itu penentuan halal haram hanyalah hak Prerogatif Allah. Dengan kata lain, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu termasuk bidang pangan, harus didasarkan pada Al-Qur‟an, sunnah dan kaidah-kaidah hukum.Dari sini timbul pertanyaan, dapatkah setiap orang mengetahui mana pangan yang halal dan mana pangan yang haram dengan hanya mencukupkan diri merujuk pada AlQur‟an dan Sunnah?. Jika pada saat ini kehalalan pangan merupakan suatu persoalan yang rumit, karena jenis dan bahan pangan yang halal dan mudah dikenali, serta cara pemerosesannya pun bermacam-macam. Produk-produk pangan olahan, dengan menggunakan bahan dan peralatan yang canggih, kiranya dapat dikategorikan kedalam kelompok pangan yang tidak mudah diyakini kehalalannya. Apalagi jika produk tersebut berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas non-muslim, sekalipun bahan bakunya berupa bahan suci atau tercampur, menggunakan atau bersentuhan dengan bahan-bahan yang tidak suci atau tercampur dengan bahan haram. Dari paparan diatas kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak setiap orang (muslim) akan dengan mudah dapat mengetahuinya secara pasti halal 20
Muhammad Nasib ar-Rifa‟I “Taisir Al-Aliyyul Qadir Li Ikhishari Tafsir Ibnu Katsir”, jilid 2”(Gema Insani Press, 1999)h.1073-1074
29
tidaknya suatu produk pangan, obat-obatan maupun kosmetika. Karena untuk mengetahui hal tersebut diperlukan pengetahuan yang cukup memadai tentang pedoman atau kaidah-kaidah syariah Islam, itulah kiranya apa yang jauh-jauh hari telah disinyalir oleh Nabi SAW, dalam sebuah hadist popular :
ٍانحالل بيٍ و انحزاو بي Artinya: “Halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas. Hadis ini menunjukan bahwa segala sesuatu itu ada yang sudah jelas kehalalannya dan ada pula yang sudah jelas keharamkannya. Disamping itu, dalam hadis tersebut disebutkan juga cukup banyak hal yang samar-samar (syubhat) status hukumnya, apakah ia halal ataukah haram, tidak diketahui oleh banyak orang. Bagi umat Islam, hal tersebut yakni hal atau pangan kategori syubhat, tidak dipandang sebagai persoalan yang mendapat perhatian besar dan serius. Oleh karena tidak setiap orang dapat dengan mudah mengetahui kehalalan atau keharaman suatu pangan sebagiamana dikemukakan diatas, maka peranan ulama sebagai kelompok orang yang dipandang memiliki pengetahuan memadai tentang hal tersebut sangat diperlukan untuk memberikan penjelasan (fatwa) kepada masyarakat luas mengenai status hukum pangan tersebut. Fatwa produk halal adalah fatwa yang ditetapkan oleh komisi fatwa MUI mengenai produk pangan, minuman, obat-obatan dan kosmetika. Fatwa tersebut ditetapkan setelah dilakukan serangkaian pembahasan dalam rapat komisi fatwa yang didahului dengan laporan hasil auditing oleh LPPOM. jika rapat memandang bahwa produk dimaksud tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, baik dari
30
aspek bahan maupun dalam proses produksinya. Setelah akan ditetapkan kehalalannya, serta dibuat satu keputusan fatwa untuk produk-produk yang diputuskan dalam rapat secara tertulis. Selanjutya, untuk setiap produk dari suatu produsen dibuatlah satu sertifikat yang disebut dengan sertifikat halal. Sertifikat halal ini berlaku untuk jangka waktu dua tahun dengan syarat produk tersebut tetap memenuhi standar atau kriteria sebagaimana dilaporkan pada saat rapat komisi fatwa. Setelah dua tahun, atau jika ada perubahan bahan, produk bersangkutan harus diproses kembali untuk memperoleh setifikat baru. Hal ini demi terciptanya kenyamanan konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk makanan minuman dan obat obatan. Semua peraturan yang ada untuk kenyamanan konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk. Sebagaimana dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada Bab III pasal 4 ayat (a). bahwa pengkonsumsi makanan, minuman dan obat-obatan mempunyai hak dilindungi, memiliki hak kenyamanan dalam mengkonsumsi suatu produk, khususnya masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama islam. Oleh sebab itu, bagaimana sinergisitas antara pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dapat berjalan beriringan untuk mengontrol pelaku usaha yang ada di Indonesia. Telaah atas perlindungan konsumen muslim atas produk barang dan jasa menjadi sangat penting setidaknya disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: Pertama, bahwa konsumen Indonesia mayoritas merupakan konsumen beragama Islam yang sudah selayaknya mendapatkan perlindungan atas segala jenis produk barang dan dan jasa yang sesuai dengan kaidah-kaidah dalam hukum Islam.
31
Berdasarkan hal tersebut, maka konsumen muslim harus mendapatkan perlindungan atas kualitas mutu barang dan jasa serta tingkat kehalalan suatu barang dan jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Kedua, bahwa Pemerintah Indonesia sudah harus melakukan upaya aktif untuk melindungi konsumenkonsumen yang mayoritas beragama Islam. Perlindungan konsumen merupakan hak warga negara yang pada sisi lain merupakan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya khususnya atas produk yang halal dan baik. Perintah Allah untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan baik telah terdapat dalam Al-Qur‟an Surah Al-Baqarah (2) ayat 168:
ن ٌ عدبوٌم ُبِي َ خطبىَاتم الّشَ ْيطَانم إّنَهبم َل بكمْم يَام أَيُهَام الّنَاسبم كبلبىام ُّمَام فيم األرْضم حَالالم طَيًِّام وَالم تَّتَِعبىام ب )م٨٦١ م م: ٢: ) سبىْ َرةبم الَِْقَرَةب Artinya: “Wahai manusia makanlah dari makanan yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan. Sungguh setan itu adalah musuh yang nyata bagimu”( QS AlBaqarah : 2 : 168) Berdasarkan ayat tersebut di atas, maka terdapat garis hukum, yaitu: Pertama, bahwa perintah ditujukan bagi manusia, tidak saja kaum muslim. Kedua, bahwa manusia diwajibkan memakan makanan yang halal dan baik. Ketiga, bahwa mengikuti langkah-langkah setan yang merupakan musuh utama manusia. Konsep makanan berdasarkan ayat itu tidak sekedar halal, baik dari cara memperolehnya, mengolahnya, hingga menyajikannya. Tetapi makanan juga harus baik, baik secara fisik yang diharapkan tidak mengganggu kesehatan yang mengkonsumsinya. Hal menarik adalah bahwa konsep makanan juga terkait dengan nilai ketuhanan, bahwa ketika kita menolak memakan-makanan yang halal dan baik, maka Allah menganggap telah mengikuti jejak langkah setan, padahal
32
setan adalah musuh nyata manusia. Allah menyatakan tentang kehalalan pangan tertuang dalam Al-Qura‟n Surah Al Maidah (5) ayat: 3.
) ٣:٥: ُ انًَْب ئِدَة:( Artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini[397] orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Q.S Al-Maidah :5 : 3) Berdasarkan ayat tersebut maka dapat kita klasifikasikan atas segi fisik hewan, meliputi: bangkai, darah, dan daging babi. Serta klasifikasi atas cara atau proses, meliputi: hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, hewan yang tercekik, hewan dipukul, hewan yang jatuh, hewan yang ditanduk dan hewan yang diterkam binatang buas. Tujuan pelaksanaan konsumsi yang harus diperhatikan, yaitu dilarangnya mengkonsumsi pangan yang ditujukan untuk berhala. Secara
33
fisik hewan: bangkai, darah, dan daging babi merupakan zat yang secara tegas diharamkan. Zat pangan yang halal akan menjadi haram jika proses serta tujuan konsumsi tidak sesuai dengan norma hukum yang tertuang dalam Surah AlMaidah ayat 3 tersebut. Menarik untuk dikaji secara mendalam adalah berkaitan pula dengan peranan negara untuk melindungi masyarakat muslim dalam kaitan dengan hakhak konsumen. Undang-undang Perlindungan Konsumen di Indonesia masih belum menyentuh permasalahan ini, mengingat fokus masih terbatas pada sisi fisik barang serta jasa dan masih belum menyentuh pada kehalalan. Tingkat kehalalan rupanya diatur oleh lembaga tersendiri yaitu LPPOM MUI padahal sesungguhnya ini merupakan hal yang harus terintegrasi. Konsumen Muslim yang sangat besar di Indonesia seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah membentuk sebuah lembaga perlindungan konsumen muslim.21 C. Penentuan Kehalalan Dalam Hukum Islam Islam menetapkan bahwa asal segala sesuatu dan kemanfaatan yang diciptakan Allah adalah halal, dan tidak ada yang haram kecuali apa yang telah disebutkan oleh nash yang shahih dan tegas dari pembuat syari‟at yang mengharamkannya. Apabila tidak terdapat penunjukan-Nya kepada yang haram maka tetaplah sesuatu itu pada hukum asalnya, yaitu mubah ) 22( االصم فٍ االبب حت Di dalam menetapkan prinsip bahwa pada asalnya segala sesuatu yang bermanfaat itu mubah. Allah sama sekali tidak menciptakan segala sesuatu ini dan 21
http://uai.ac.id/2011/04/13/opini-ilmiah-hukum/ , jum‟at ,6 maret 2015 jam . 11.58 02 : الحالوالحرام في االسالم يوسوف القرضاوي
22
34
menundukkannya untuk kepentingan manusia dan memberikannya sebagai nikmat bagi mereka, kemudian mengharamkan semuanya buat mereka. Bagaimana mungkin Dia menciptakannya untuk mereka, menundukannya buat mereka, dan memberi mereka nikmat dengannya, lantas semuanya diharamkan-Nya?, Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan beberapa bagian saja karena suatu sebab dan hikmah tertentu sebagaimana yang termaktub dalam al qur‟an dan sunnah . Dengan demikian wilayah haram dalam Syari‟at Islam sangat sempit, sedang wilayah halal sangat luas. Hal itu disebabkan nash-nash yang secara shahih dan tegas mengharamkan itu jumlahnya amat sedikit, sedangkan mengenai sesuatu yang tidak terdapat nash yang menghalalkan atau mengharamkannya berarti tetap pada hukum asalnya yaitu mubah, dan termasuk dalam wilayah yang dimaafkan Allah. Diriwatkan pula oleh Salman Al-Farisi: Rasulullah SAW ditanya tentang mentega, keju, dan keledai liar, lalu beliau menjawab:
ٍ عٍ انسًٍ و انجب: سئم رسىل اهلل صهً اهلل عهيو وسهى:وعٍ سهًب ٌ انفزس وانحالل يب احم اهلل فٍ كتببو ويب سكٍ عنو فهىيًب عفب نكى: وانفزاء فقبل
23
“Yang halal ialah apa yang dihalalkan oleh Allah didalam kitab-Nya, dan yang haram adalah apa yang diharamkan Allah di dalam kitab-Nya, sedang apa yang didiamkan oleh-Nya berarti di maafkan untukmu.” Rasulullah memberi jawaban secara parsial terhadap para penanya ini, melainkan dijawab dengan kaidah yang dapat mereka jadikan rujukan untuk mengetahui halal dan haram. Keharaman dpat diketahui dengan nash, Al-Qur‟an dan Hadits.
23
02-02: الحالوالحرام في االسالم يوسوف القرضاوي
BAB III PROFILE LEMBAGA
A. Sejarah LPPOM MUI 1. Sejarah MUI MUIadalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri, pada Tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.1 Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama, zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI”, yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
1
http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html, Rabu, 11 maret 2015, 21.50
35
36
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris tugas-tugas para Nabi, maka mereka terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penjajahan dan perjuangan kemerdekaan. Disisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri. Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam.2
2
http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html, Rabu, 11 maret 2015, 21.50
37
Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun MUlI sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah swt memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta; menjadi penghubung antara ulama, pemerintah dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional; meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik. Dalam khittah pengabdian MUI telah dirumuskan lima fungsi dan peran utamanya yaitu: 1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya) 2. Sebagai pemberi fatwa (mufti) 3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah) 4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid 5. Sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar MUI bertujuan untuk terwujudnya masyarakat yang berkualitas (khaira ummah), dan negara yang aman, damai, adil dan makmur rohaniah dan jasmaniah yang diridhai Allah Swt (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Untuk
38
mencapai tujuannya, MUI melaksanakan berbagai usaha, antara lain memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat, merumuskan kebijakan dakwah Islam, memberikan nasehat dan fatwa, serta merumuskan pola hubungan keumatan, dan menjadi penghubung antara ulama dan umara. Sampai saat ini MUI mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal Maffudh. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.3 Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, MUI adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, MUI tidak berbeda dengan organisasiorganisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian, dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi. Keterkaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, MUI tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra struktur yang membawahi
3
21.50
organisasi-organisasi
kemasyarakatan
tersebut.
MUI
harus
http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html, diakses Rabu, 11 maret 2015,
39
memosisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam. MUI, sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam. Kemandirian MUI tidak berarti menghalanginya untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri, Terbinanya kerjasama yang dijalin atas dasar saling menghargai posisi masingmasing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi MUI. Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran MUI, bahwa organisasi ini hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan bekerjasama antar komponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa.4 2. Sejarah LPPOM MUI a.
LPPOM MUI, Pelopor Standar Halal & Pendiri Dewan Pangan Halal Dunia Dalam sejarahnya, LPPOM MUI yang kini memasuki usia ke-23, mencatat
sejumlah prestasi yang membanggakan. Dalam negeri, kiprah pelayanan LPPOM MUI semakin meningkat. Sejak tahun 2005 hingga Desember 2011, LPPOM MUI telah mengeluarkan sedikitnya 5896 sertifikat halal, dengan jumlah produk mencapai 97.794 item dari 3561 perusahaan. Angka tersebut tentu akan meningkat jika ditambah dengan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LPPPOM MUI daerah yang kini tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim mencapai 200 juta jiwa, Indonesia sudah seharusnya
4
http://mui.or.id/sekilas-mui, selasa, 17 maret 2015, 18.57
40
melakukan langkah-langkah proaktif dalam mengoptimalkan posisi Indonesia sebagai pasar sekaligus penyedia produk halal bagi konsumen. Berkaitan dengan itu, pada 24 Juni 2011, Menteri Koordinator Perekonomian Republik Indonesia, Dr. Ir. M. Hatta Rajasa telah mendeklarasikan Indonesia sebagai Pusat Halal Dunia. Deklarasi tersebut sejalan dengan berbagai langkah yang dilakukan oleh LPPOM MUI, antara lain dengan mendesain dan menyusun Sistem Sertifikasi Halal (SH) dan Sistem Jaminan Halal (SJH) yang telah diadposi lembaga-lembaga sertifikasi halal luar negeri. LPPOM MUI adalah pelopor dalam Sertifikasi Halal dan Sistem Jaminan Halal secara internasional. Diadopsinya standar halal Indonesia oleh lembaga luar negeri tentu sangat menguntungkan Indonesia, baik bagi konsumen maupun produsen. Sebab, konsumen terlindungi dari produk-produk yang tidak dijamin kehalalannya. Selain itu, dengan standar yang telah diakui bersama, kalangan pelaku bisnis juga memperoleh kepastian tentang persyaratan halal yang harus mereka penuhi sebelum memasarkan produk mereka. Sejarah perkembangan sertifikasi halal di Indonesia tak luput dari merebaknya kasus lemak babi pada tahun 1988. Kasus yang berasal dari temuan peneliti dari Universitas Brawijaya, Malang itu tidak hanya menghebohkan umat Islam, tapi juga berpotensi meruntuhkan perekonomian nasional karena tingkat konsumsi masyarakat terhadap produk pangan olahan menurun drastis.5 Menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi masyarakat, maka MUI pada 6 Januari 1989 mendirikan LPPOM MUI sebagai bagian dari upaya untuk 5
http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/go_to_section/2/31/page/1, Selasa, 17 Maret 2015, 19.44
41
memberikan ketenteraman batin umat, terutama dalam mengkonsumsi pangan, obat-obatan dan kosmetika. Sejak kehadirannya hingga kini, LPPOM MUI telah berulang kali mengadakan seminar, diskusi dengan para pakar, termasuk pakar ilmu syari’ah, dan kunjungan-kunjungan yang bersifat studi perbandingan serta muzakarah. Semua dikerjakan agar proses dan standar Sistem Sertifikasi Halal dan Sistem Jaminan Halal yang terus dikembangkan oleh LPPOM MUI senantiasa sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kaidah agama. Berkaitan dengan itu, MUI telah meneguhkan sikap bahwa konsumen muslim Indonesia sebagai penduduk mayoritas harus dilindungi hak-haknya dalam memperoleh kepastian tentang kehalalan produk pangan, minuman, obat obatan, kosmetika, produk rekayasa genetik, dan barang gunaan lain, atau yang sering disebut produk halal yang beredar di Indonesia. Oleh karena itu, keberadaan ketentuan undang-undang yang mengatur produk halal merupakan sebuah tuntutan yang tidak bisa dielakkan lagi. Sebab undang-undang tersebut diperlukan untuk menjamin kepastian penegakan hukum bagi para pelanggarnya. Inilah esensi negara hukum yang sesungguhnya, yang menjunjung tinggi hak-hak warga negaranya atas prinsip keadilan (fairness). Untuk membangkitkan kesadaran masyarakat dalam mengkonsumsi produk halal, LPPOM MUI merancang program sosialisasi dan informasi publik antara lain melalui seminar, workshop, kunjungan ke produsen halal, penerbitan majalah, pengelolaan media informasi online serta penyelenggaraan pameran produk halal Indonesia Halal Expo (INDHEX) yang digelar secara rutin setiap tahun.
42
Selain itu, demi meningkatkan pelayanan pelanggan, LPPOM MUI membangun Management Information System (MIS), yang memudahkan masyarakat, khususnya para pelaku usaha yang hendak mengajukan sertifikasi halal bisa melakukannya secara online melalui situs www.halalmui.org. Berbagai langkah dan kebijakan LPPOM MUI di bidang sertifikasi halal dimaksudkan untuk terus meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam memperoleh produk halal. Oleh karena itu adanya sebuah undang-undang yang menjamin tersedianya produk halal bagi konsumen muslim di Indonesia menjadi sebuah keharusan agar implementasi Sertifikasi Halal semakin diperkuat oleh payung hukum yang jelas.6 Seiring dengan perkembangan teknologi dan tuntutan masyarakat yang semakin tinggi, tantangan yang dihadapi oleh MUI dan LPPOM MUI juga semakin besar. Salah satunya menyangkut keberadaan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU NO.33 Tahun 2014 tentang JPH) yang di godok dan disahkan oleh DPR-RI Pada tahun 2014. Dari paparan diatas, jelas bahwa undang undang jaminan produk halal (UU No.33 Tahun 2014) sebagai payung hukum. Agar masyarakat Indonesia terhindar dari bahaya produk produk yang mengandung zatzat berbahaya, dan terhindar dari oknum pelaku usaha yang ingin meraup untung sebanyak banyak nya tanpa mengeluarkan biaya yang besar. B. Tugas dan Fungsi LPPOM MUI Dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara di era reformasi, muncul indikasi adanya keinginan kuat untuk membangun suatu masyarakat 6
http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/go_to_section/2/31/page/1, Selasa, 17 Maret 2015, 19.44
43
yang adil, sejahtera, demokratis dan berakhlak mulia. Menyikapi fenomena tersebut, MUI mempunyai obsesi menempatkan dirinya pada posisi berperan aktif dalam membangun masyarakat baru. Peran aktif MUI yang dimaksud adalah peran sertanya dalam melaksanakan visi dan misinya, yaitu : 1.
Visi Terciptanya
kondisi
kehidupan
kemasyarakatan,
kebangsaan dan
kenegaraan yang baik, memperoleh ridho dan ampunan Allah SWT
menuju
masyarakat berkualitas demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin dalam wadah NKRI sebagai manifestasi dari rahmat bagi seluruh alam . 2.
Misi Mengerahkan kepemimpinan dan kelembagaan Islam secara efektif,
sehingga mampu mengarahkan dan membina umat Islam dalam menanam dan memupuk akidah Islamiyah, serta menjalankan syari’at Islamiyah ,dan menjadikan ulama sebagai panutan dalam mengembangkan
akhlak karimah,
agar terwujud masyarakat yang berkualita 7 Untuk
merealisasikan
peran
ini
MUI
memerlukan
program-
program riil yang dalam pelaksanaannya diharapkan dapat menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan ormas Islam yang berada di Indonesia agar dinamis dan efektif, di mana MUI akan menempatkan diri sebagai motifator, dinamisator, katalisator dan akan menjadi lembaga penegak Amar ma’ruf Nahi Munkar serta menjadi panutan dalam mengembangkan akhlak Mulia.
7
Himpunan Keputusan Musyawarah Daerah VII Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Tengah, Semarang: Majelis Ulama Indonesia, 2006, hal.117
44
Salah satu program yang dilaksanakan oleh MUI dalam bidang Penetapan Fatwa dan Nasehat Hukum Islam adalah mengoptimalkan LP POM.8 LP POM MUI merupakan sebuah lembaga yang dibentuk menjalankan
fungsi
oleh
MUI
dengan
tugas
MUI untuk melindungi konsumen muslim dalam
mengkonsumsi makanan, minuman, obat-obatan maupun kosmetika9 penggunaan berbagai jenis bahan bagi pengolahan pangan, obat-obatan dan kosmetika yang dipergunakan oleh masyarakat, khususnya umat Islam agar terjamin halal.10 Lembaga ini beranggotakan para ahli di bidang pangan, kimia, biokimia, teknologi dan lain-lain. Dalam menjalankan fungsinya, LPPOM melakukan pengkajian dan pemeriksaan dari tinjauan sains terhadap produk yang akan disertifikasi. Jika berdasarkan pendekatan sains telah didapatkan kejelasan maka hasil pengkajian dan pemeriksaan tersebut dibawa ke Komisi Fatwa untuk dibahas dari tinjauan syari’ah. Pertemuan antara sains dan syari’ah inilah yang menjadi dasar penetapan oleh Komisi
Fatwa, yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk
sertifikat halal oleh MUI.11 Komisi Fatwa MUI baik pusat atau Daerah. Fatwa memberikan jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan dan berlaku untuk umum. Keputusan Fatwa 8
adalah
fatwa
MUI
tentang
suatu
masalah
Himpunan Keputusan Musyawarah Daerah VII Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Tengah, Semarang: Majelis Ulama Indonesia, 2006, hal.29 9 Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LP POM MUI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2008, h. 9-10. 10 Lukmanul Hakim, “Sertifikasi Halal MUI Sebagai Upaya Jaminan Produk Halal” dalam Ichwan Sam, et. al., Ijma’ Ulama Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se- Indonesia III Tahun 2009, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet. ke-1, 2009, h. 279-280 11 . Lukmanul Hakim, “Sertifikasi Halal MUI Sebagai Upaya Jaminan Produk Halal” dalam Ichwan Sam, et. al., Ijma’ Ulama Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se- Indonesia III Tahun 2009, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet. ke-1, 2009, h. 279-280
45
keagamaan yang disetujui oleh anggota Komisi dalam rapat.12 Komisi Fatwa MUI adalah salah satu komisi dalam MUI yang bertugas memberikan nasehat hukum Islam dan ijtihad untuk menghasilkan suatu hukum terhadap persoalanpersoalan yang sedang dihadapi umat Islam. Kenggotaan komisi fatwa mewakili seluruh organisasi Islam yang ada di Indonesia.13 Adapun kewenangan dan wilayah k o m i s i fatwa MUI Adalah sebagai berikut : a.
Menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan secara umum, terutama masalah hukum (fiqh) dan masalah akidah
yang
menyangkut
kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam. b.
Menetapkan
fatwa
mengenai
masalah-masalah keagamaan
seperti
tersebut pada nomor 1 yang menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional atau masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat meluas ke daerah lain. c.
Terhadap masalah yang telah ada keputusan fatwa MUI, MUI Daerah hanya berhak melaksanaannya.
d.
MUI Daerah boleh menetapkan fatwa yang berbeda setelah berkonsultasi dengan MUI Pusat.
e.
Dalam hal belum ada keputusan fatwa MUI, MUI Daerah berwenang menetapkan fatwa.
12
Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, Jakarta: Departemen Agama RI.,2003, hal. 59. 13 Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, loc. cit.
46
f.
Khusus
mengenai
masalah-masalah
yang
musykil
dan
sensitif,
sebelum menetapkan fatwa, MUI Daerah diharapkan terlebih dahulu melakukan konsultasi dengan MUI.14 Komisi
Fatwa bertugas
mengkaji
dan memberikan keputusan hukum
terhadap persoalan yang tidak secara (nyata) terdapat dalam Al-Quran maupun Sunnah. Lembaga fatwa ini merupakan lembaga yang independen yang terdiri dari para ahli ilmu dan merupakan kelompok yang berkompeten yang memiliki otoritas yang memadai untuk memberikan keputusan-keputusan ilmiah15. C. Sistem dan Prosedur Sertifikasi Halal MUI Sertifikat halal bertujuan untuk memberikan kepastian kehalalan suatu produk sehingga dapat menenterampkan batin yang mengkonsumsinya.16 Produk halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan syari’at Islam, yaitu : 1. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi. 2. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan lain sebagainya. 3. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tatacara syari’at Islam.
14
Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, op. cit., hal. 64. 15 Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Modul Pelatihan Auditor Internal Halal,Jakarta: Departemen Agama RI. 2003, hal.56-57 16 Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Sertifikasi Halal, Jakarta: Departemen Agama RI, 2003, hal.1
47
4. Semua
tempat
transportasinya
penyimpanan, tidak
boleh
tempat
penjualan,
digunakan
untuk
pengolahan
babi.
Jika
dan
pernah
digunakan untuk babi barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tatacara yang diatur dalam syari’at Islam. 5. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.17 Dengan
kata
lain
produk
halal
adalah
produk
pangan, obat,
kosmetika dan produk lain yang tidak mengandung unsur atau barang haram atau dilarang untuk dikonsumsi, digunakan atau dipakai umat Islam baik yang menyangkut bahan baku, bahan tambahan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan produksi yang diolah melalui proses rekayasa
genetika
dan
iradiasi
yang
pengolahannya
dilakukan sesuai
dengan syariat Islam18. Proses, prosedur dan mekanisme penetapan fatwa produk halal pada prinsipnya sama dengan penetapan fatwa pada umumnya. Hanya saja, rapat penetapan fatwa dilakukan bersama antara Komisi Fatwa dengan LP POM yang sebelumnya terlebih dahulu melakukan penelitian dan audit ke
pabrik
(perusahaan) yang telah mengajukan permohonan seretifikasi halal. Hasil audit setelah dibahas di LP POM dituangkan dalam “Laporan Hasil Auditing” yang selanjutnya dibawa ke dalam rapat Komisi Fatwa.19
17
Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Sertifikasi Halal, Jakarta: Departemen Agama RI, 2003, hal.2 18 Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal Jakarta: Departemen Agama RI, 2003, h. 131 19 Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, op. cit., h. 33-34
48
Setelah ditetapkan kehalalanya dalam rapat, dibuat keputusan fatwa untuk produk-produk yang diputuskan dalam rapat secara tertulis sebagaimana keputusan fatwa pada umumnya. Selanjutnya dikeluarkan “Sertifikat Halal”. Pemegang sertifikat halal MUI bertanggung jawab untuk memelihara kehalalan produk yang diproduksinya dan sertifikat halal tersebut tidak dapat dipindah tangankan. Sertifikat halal yang sudah berakhir masa berlakunya termasuk fotokopinya tidak boleh digunakan atau dipasang untuk maksud-maksud tertentu.20 D. Kewenangan Penentuan Jaminan Produk Halal 1.
Proses Sertifikasi halal Sebelum mencantumkan label halal suatu produk, produsen harus
mengajukan sertifikat halal bagi produknya. Dalam mengajukan sertifikat halal, produsen terlebih dahulu diisyaratkan mempersiapkan Sistem Jaminan Halal seperti diuraikan dibawah ini: a.
Sistem Jaminan Halal harus didokumentasikan secara jelas dan rinci serta merupakan kebijakan dari manajemen perusahaan.
b.
Dalam sistem pelaksanaannya, sistem jaminan halal ini diuraikan dalam bentuk panduan halal yang memberikan uraian sistem manajemen halal yang dijalankan
prudosen,
serta
berfungsi
sebagai
rujukan
tetap
dalam
melaksanakan dan memelihara kehalalan produk tersebut.
20
Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Sertifikasi Halal, op. cit., h. 2.
49
c.
Produsen menjabarkan panduan halal secara tekhnis dalam bentuk prosedur baku pelaksanaan untuk mengawasi setiap proses yang kritis agar kehalalan produknya tetap terjamin.
d.
Baik panduan halal maupun prosedur baku pelaksanaan yang disiapkan harus disosialisasikan dan diuji coba pada lingkungan produsen. Sehingga seluruh jajaran manajemen dari tingkat direksi sampai karyawan memahami betul bagaimana cara memproduksi produk yang halal dan baik.
e.
Sistem jaminan halal dalam pelaksanaannya dimonitor dan dievaluasi oleh sistem audit halal internal yang ditetapkan oleh perusahaan.
f.
Koordinasi pelaksanaan sistem jaminan halal dilaksanakan oleh Tim Auditor Halal Internal yang mewakili seluruh bagian terkait dengan produksi halal yang ditetapkan oleh perusahaan. Koordinator Audiit Halal Internal harus beragama Islam.
g.
Penjelasan Rinci Sistem Jaminan Halal dapat merujuk pada Buku Panduan Sistem Jaminan Halal, yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI. Setelah proses Sistem Jaminan Halal yang diajukan produsen disetujui,
maka produsen dapat menjalankan Prosedur Sertifikasi Halal sebagai berikut: 1.
Setiap produsen mendaftarkan seluruh produknya yang diproduksi dalam satu lokasi dan mendaftarkan seluruh pabrik dengan lokasi yang berbeda yang menghasilkan produk dengan merek yang sama.
2.
Setiap produsen yang mengajukan sertifikasi halal bagi produknya, harus mengisi formulir yang telah disediakan. Formulir tersebut berisi informasi
50
tentang data perusahaan, jenis dan nama produk serta bahan-bahan yang digunakan dengan melampirkan: a. Spesifikasi dan sertifikasi bahan baku, bahan pembantu dan bahan penolong serta bagan alur proses. b. Sertifikat halal atau Surat Keterangan Halal dari MUI dari daerah (Produk Lokal) atau sertifikat halal dari lembaga Islam yang diakui oleh MUI (produk Impor) untuk bahan yang berasal dari hewan dan turunan c. Sistem jaminan halal yang diuraikan dalam panduan halal beserta prosedur baku pelaksanaanya. d. Tim Auditor LPPOM MUI melakukan pemeriksaan/ audit ke lokasi produsen setelah formulir beserta lampiran-lampirannya dikembalikan ke LPPOM MUI dan diperiksa kelengkapannya. e. Hasil pemeriksaan audit dan hasil pemeriksaan laboratorium dievaluasi dalam Rapat Tenaga Ahli LPPOM MUI. Jika telah memenuhi persyaratan maka dibuat laporan hasil audit untuk diajukan kepada siding Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalannya. f. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan. g. Sertifikat Halal dikeluarkan oleh MUI setelah ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI. h. Perusahaan yang produknya telah mendapatkan sertifikat halal, harus mengangkat Auditor Halal Internal sebagai bagian dari sistem jaminan halal. Jika kemudian ada perbahan dalam penggunaan bahan baku, bahan
51
tambahan dan bahan penolong pada proses produksinya, Auditor Halal internal
diwajibkan
segera
melaporkan
untuk
mendapatkan
“ketidakberatan penggunaannya”. Bila ada perusahaan terkait produk halal hasil dikonsultasikan dengan LPPOM MUI oleh Auditor Halal Internal. Tim Auditor LPPOM MUI akan melakukan pemeriksaan/ audit ke lokasi produsen untuk memastikan apakah semua bahan yang digunakan dalam proses pembuatan produk memenuhi syarat yang sesuai syariah. Adapun Tata Cara auditnya adalah sebagai berikut: 1.
Surat resmi akan dikirim oleh LPPOM ke perusahaan yang akan diperiksa, yang memuat jadwal audit pemeriksaan audit dan persyaratan administrasi lainnya.
2.
LPPOM MUI menerbitkan Surat Perintah.
3.
Pada waktu yang telah ditentukan oleh Tim Auditor yang telah dilengkapi dengan surat tugas dan indentitas diri, akan melakukan pemeriksaan atau (auditing) ke perusahaan yang mengajukan permohonan sertifikat halal.
4.
Pemeriksaan (Audit) produk halal mencakup: a.
Manajemen produsen dalam menjamin kehalalan produk.
b.
Observasi lapangan dan pengambilan contoh hanya untuk bahan yang dicuriga mengandung babi atau turunannya, yang mengandung alkohol dan yang dianggap perlu. Dengan demikian, LPPOM MUI
sudah memiliki sistem dan kinerja
operasi nya sendiri. Hanya saja LPPOM MUI hanya butuh pengakuan dari
52
Pemerintah terkait labelisasi halal ini. Dengan kata lain LPPOM membutuhkan payung hukum, agar pemberlakuan sertifikasi halal dapat diterapkan menyeluruh. 2.Bagan Proses Sertifikasi Halal 21
Bagan Proses sertifikasi halal dalam bentuk diagram alir : Persiapan Sistem Jaminan Halal Pendaftaran / Penyerahan Dokumen Sertifikasi Halal
Pemeriksaan Kecukupan Dokumen
Pembiayaan
Lunas?
Tidak
Dapat diaudit ?
Tidak
Ya
Ya
Audit
Pre Audit Memorandum
Produk berbasis daging
Rapat Auditor
Perlu Analisis Lab?
Penyerahan Dokumen Sertifikasi Halal
Ya
Analisis Lab
Tidak
Audit Memorandum
Tidak
Persyaratan terpenuhi ? (Status SJH A/B)
Tidak
Ya
Ya
Rapat Komisi Fatwa
Tidak
Perusahaan LP POM MUI
Mengandung bahan haram?
Tidak dapat disertifikasi
Persyaratan terpenuhi? Ya
Penerbitan Sertifikat Halal
Untuk menjamin kehalalan suatu produk yang telah mendapat sertifikat halal, selain menunjuk Auditor Internal di setiap perusahaan yang bertugas mengawasi kehalalan produknya, MUI menetapkan dan menekankan bahwa jika sewaktu-waktu ternyata diketahui produk-produk tersebut mengandung unsurunsur barang haram, MUI berhak mencabut
sertifikat
halal
produk
bersangkutan.22
21
Data di ambil dari LPPOM MUI atau MUI JAKARTA Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, Op. Cit., Hal.53-54 22
BAB IV LEMBAGA SERTIFIKASI HALAL PASCA UU NO 33 TAHUN 2014
A. Lembaga sertifikasi halal dalam UU No.33 Tahun 2014 Tanggal 25 September 2014 menjadi hari bersejarah bagi Indonesia dengan disahkannya UU Jaminan Produk Halal.UU ini digagas sejak UU Pangan Nomor 7 Tahun 1996 dan sampai UU Pangan yang baru, UU No 18/2012, keluar belum juga terselesaikan. Beragam kontroversi muncul meski telah "diketok palu" oleh DPR. Padahal, jaminan halal sangat penting bagi umat Muslim sebagai bagian dari keamanan pangan rohani. Pada pembukaan UU ini, dalam Paragraf a, disebutkan , "UUD 1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu". Esensinya adalah jaminan kemerdekaan memeluk agama masing-masing, termasuk penyediaan pangan sesuai dengan agama dan kepercayaannya. UU Pangan No 8/2012 menyebutkan dalam Pasal 1 Ayat (5), "Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi".
53
54
Pasal 69 (g) menyebutkan, "Penyelenggaraan keamanan pangan dilakukan melalui jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan". Demikian juga Pasal 101 Ayat (1) menyebutkan, "Setiap orang yang menyatakan dalam label bahwa pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan bertanggung jawab atas kebenarannya". Inilah asas sukarela halal: yang menyatakan halal wajib mengajukan sertifikasi halal. Hal ini sesuai dengan kelaziman internasional yang diatur dalam General Guidelines for Use of the Term "Halal" Codex Alimentarius Commission (CAC/GL 24-1997) bahwa penggunaan label halal merupakan klaim dan apabila produsen klaim produknya halal, harus memenuhi ketentuan sesuai dengan hukum Islam. Namun, dalam UU JPH Pasal 4 disebutkan, "Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal". Hal ini merupakan ketentuan wajib halal, yang bertentangan dengan paragraf pembukaan UU Pangan serta kelaziman internasional di atas. Juga Indonesia menjadi satusatunya negara yang menerapkan wajib halal. Pasal 4 ini juga tidak sinkron dengan pasal lain, seperti Pasal 26 (1) yang berbunyi "Pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal". Dalam Pasal 1.1, definisi "Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan masyarakat". Jelas bahwa semua produk wajib halal tidak terbatas hanya produk konsumsi. Ini tidak konsisten dengan Pasal 17-20 tentang bahan,
55
yang tersirat bahwa halal hanya untuk produk konsumsi yang dikemas (obat, makanan, dan minuman). Padahal, makanan dan minuman bukan hanya yang kemasan; ada pangan segar, olahan rumah tangga, olahan siap saji yang juga diedarkan dan diperdagangkan. Penyelenggaraan JPH menjadi wewenang pemerintah cq Kementerian Agama, sesuai dengan Pasal 5 (3), "Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH dibentuk BPJPH (Badan Penyelenggara JPH) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri". Selanjutnya, salah satu kewenangan BPJPH adalah melakukan akreditasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), yang dalam Pasal 10c dikerjasamakan dengan MUI. Ini jelas bertentangan dengan UU Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian (SPK) yang baru disahkan DPR, 26 Agustus 2014, yaitu Pasal 9(2), "Tugas dan tanggung jawab di bidang akreditasi LPK (Lembaga Penilaian Kesesuaian) dilaksanakan oleh KAN (Komite Akreditasi Nasional), di mana KAN berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden melalui Kepala Badan Standardisasi Nasional" (catatan: LPH adalah salah satu bentuk LPK). Mengubah tatanan UU JPH ini akan mengubah tatanan akreditasi standar nasional sekaligus menyalahi good governance: penyelenggara sertifikasi sekaligus berfungsi sebagai pelaksana akreditasi dan dikhawatirkan fungsi kontrol rancu. Seharusnya pemerintah berfungsi sebagai regulator saja serta fokus sebagai pengawas. Fungsi sertifikasi bisa dijalankan lembaga kredibel seperti saat ini: LPPOM MUI. Fungsi akreditasi dilaksanakan KAN sesuai dengan UU SPK dan jika halal dianggap lex specialis, bisa dikoordinasikan kepakarannya dengan MUI.
56
Dengan demikian, fungsi kontrol dan harmonisasi regulasi bisa berjalan dengan baik. Saat ini pengajuan sertifikasi ke LPPOM MUI selaku LPH dan setelah fatwa MUI, sertifikat juga dikeluarkan LPPOM MUI. Namun, dalam UU JPH, pengajuan ke BPJPH, kemudian BPJPH menetapkan LPH. Selanjutnya LPH melakukan pemeriksaan dan melaporkan ke BPJPH dan BPJPH menyerahkan ke MUI untuk mendapat keputusan penetapan halal produk (fatwa). Fatwa diserahkan kembali ke BPJPH untuk diterbitkan sertifikat halal. Penambahan rantai proses menambah waktu, tenaga, dan biaya. Ujung-ujungnya beban konsumen tambah, daya saing produk Indonesia turun. Pasal 37 menyebutkan BPJPH menetapkan bentuk "label Halal" yang berlaku nasional. Saat ini LPPOM MUI telah melakukan terobosan dengan Sertifikasi Halal Online (CEROL SS23000), tetapi belum bisa memuaskan semua pemohon. Tenaga auditor seluruh Indonesia yang 737 orang (LPPOM MUI, 2014) hanya mampu
melayani
1.270
perusahaan
selama
Januari-Juli
2014.
Angka
ini sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya melayani 832 perusahaan. Padahal, jumlah industri makanan dan minuman 6.190 perusahaan menengah-besar serta 1.054.398 kecil dan mikro (BPS, 2013), belum termasuk yang tak terdaftar. Perbandingan angka ini menggambarkan bahwa masih banyak yang harus disiapkan dalam menerapkan jaminan halal bagi semua. Sertifikat dan label hanya sebagian kecil dari Sistem Jaminan Halal. Hal terpenting yang ada dalam proses produksi sehari-hari adalah tanggung jawab yang melibatkan semua pelaku internal dan eksternal, pengawasan oleh penyelia
57
yang profesional, serta penerapan hukum oleh pemerintah selaku agen regulasi. Juga tantangan terbesar adalah membangun sistem beserta kelengkapan sarana dan prasarana, serta penegakan hukum yang berkeadilan tak diskriminatif. UU JPH perlu disempurnakan agar tak jadi kendala dalam menjamin kehalalan produk yang didambakan umat Muslim, terjangkau, dan tidak menjadikan Indonesia terkucil dari dunia global yang kian menurunkan daya saing Indonesia. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 kian dekat. Mari bersiap diri. Mitra kita adalah pasar global, bukan pihak yang bertikai di dalam negeri dan menyulitkan diri sendiri. Pada dasarnya setiap manusia ingin mengkonsumsi produk-produk makanan dan minuman yang sehat dan bermanfaat untuk kesehatan. Mengonsumsi produk halal merupakan hak asasi ummat Islam sebagai ibadah dan penerapan syari’ah.1 Dalam hal ini Indonesia melalui MUI telah memenuhi kewajibannya dalam menjamin penyediaan produk halal bagi umat Islam sejak tahun 1989, MUI mengeluarkan fatwa tentang sertifikasi halal, dalam rangka untuk melindungi masyarakat Indonesia, khususnya ummat Islam agar terhindar dari produk makanan dan minuman yang mengandung bahan-bahan yang haram. Hal ini juga tidak luput dari pada perlindungan Konsumen dalam mengkonsumsi produk makanan dan minuman. Pada Undang-Undang No.88 Tahun 1999 pasal 4 tentang hak dan kewajiban konsumen telah dijelaskan : a.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta
1
http://doa-bagirajatega.blogspot.com/2014/10/kontroversi-uu-jaminan-produk-halal.html , DI unduh pada senin 9 juni 2015
58
mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; b.
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
c.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
d.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
e.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
f.
Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
g.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
h.
Hak hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.2
Dalam pasal ini sudah jelas dipaparkan bahwa konsumen memiliki hak-hak dan kewajiban nya.perlindungan konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk sangat penting, sebab menyangkut baik atau tidak produk tersebut untuk di konsumsi bagi manusia. Indonesia telah memiliki teknologi pemindai kemasan produk halal. regulasi halal hendaknya tidak merusak tatanan jaminan produk halal yang sudah ada di
2
UU No.88 Tahun 1998 Pasal 4, Tentang Perlindungan Konsumen.
59
Indonesia. sejak tahun 1989 telah membangun sistem yang diterima secara sains maupun syari’ah dan menjadi rujukan lembaga sertifikasi halal dunia. Peran MUI dalam masalah pangan adalah melakukan sertifikasi halal, meliputi penetapan standar, pemeriksaan, penetapan fatwa, dan penerbitan sertifikasi halal. Pada tahun 2014 telah disahkannya Undang-Undang No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) tepatnya pada tanggal 25 September 2014 di sahkannya UU NO.33 Tahun 2014 Oleh pemerintah dan DPR RI, lahirnya Undang-Undang tersebut adalah sebagai payung hukum bagi MUI yang diharapkan dapat menjadi pegangan dan untuk melindungi umat terhadap ketersediaan produk halal. namun demikian masih belum bisa menyerap aspirasi ulama dan umat islam Indonesia. Sebelum terbentuknya undang undang, masa berlaku sertifikasi halal adalah 2 tahun setelah dikeluarkan atau diterbitkan sertifikat halal. Sedangkan Dalam Undang Undang No.33 tahun 2014 bagian ke tujuh pasal 42 yang berbunyi “sertifikasi halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan Oleh BPJPH Kecuali terdapat Perubahan Komposisi bahan ”. Hal ini artinya telah terjadi perubahan dalam segi perpanjangan (umur) sertifikat. Perpanjangan ini bersifat wajib bagi pelaku usaha, termasuk didalam nya apabila terdapat perubahan maupun penambahan pengurangan bahan dalam produk . Pemberitaan di Majalah Tempo, mengenai pengakuan lembaga sertifikasi halal luar negeri yang sebagian besar atau secara keseluruhan mengandung ketidaksesuaian tersebut dapat menimbulkan kegaduhan di masyarakat dan dapat memicu ekses yang lebih besar dalam memelihara ketentraman batin umat Islam,
60
khususnya terhadap produk halal. Oleh karena itu, Dewan Pimpinan MUI perlu menyampaikan sikap mengenai proses sertifikasi halal dan pengakuan lembaga sertifikasi halal luar negeri sebagai berikut: 1.
Proses Sertifikasi Halal dan Labelisasi Halal yang selama ini dijalankan merupakan sistem mulai pendaftaran melalui online CEROL SS-23000, proses preaudit, audit, dan pasca audit.
a. Tahapan proses sertifikasi halal.
Pendaftaran melalui online CEROL SS-23000. Mekanisme pendaftaran dengan sistem elektronik ini dilakukan secara lebih efisien dan meningkatkan akurasi data.
Proses Pre Audit, meneliti kelengkapan dokumen bahan dan sistem jaminan halal perusahaan.
Proses Audit dengan melihat langsung proses produksi. Audit ke lokasi produksi dilakukan oleh auditor LPPOM untuk melihat langsung mengenai bahan (bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong) dan proses produksi.
Proses Pasca Audit. Hasil audit dilaporkan dalam Rapat Auditor yang terdiri dari tenaga ahli untuk memutuskan dari sisi keilmuan. Selanjutnya laporan auditor yang sudah memperoleh pertimbangan ilmiah dan disusun berdasarkan temuan lapangan dilaporkan dalam rapat Komisi Fatwa MUI untuk ditetapkan status kehalalan suatu produk dari aspek pertimbangan syariah.
61
Dari tahapan yang diatur di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa, proses sertifikasi halal yang ada sudah memenuhi kriteria pembuatan sekrtifikasi halal, hanya saja harus di sediakan juga bagi pelaku usaha menengah ke bawah yang jarang, atau bahkan tidak pernah sekalipun menyentuh dunia maya. b. Pembiayaan sertifikasi halal Biaya sertifikasi halal dilakukan melalui akad biaya yang mencakup biaya pendaftaran, administrasi audit, honor auditor, rapat auditor dan rapat komisi fatwa, serta penerbitan sertifikat halal. Pembiayaan sertifikasi halal ditetapkan berdasarkan suatu pedoman yang sudah sangat jelas, sehingga tidak dimungkinkan
adanya
pembiayaan
lain
yang
tidak
jelas
(invisibility
cost). Pembiayaan sertifikat halal didasarkan pada banyaknya produk, bahan dan fasilitas produksi yang akan disertifikasi. Pembiayaan dikenakan sekali saat pendaftaran, MUI tidak mengenakan biaya bulanan berdasarkan kuota produk yang diperdagangkan. Persoalan pembiayaan adalah masalah krusial yang jika tidak seimbang akan menjadi konflik, menurut penulis ada baiknya jika pembiayaan tidak disesuaikan dengan banyaknya produk yang akan di produksi, akan tetapi mencakup biaya pendaftaran, administrasi audit, honor auditor, rapat auditor dan rapat komisi fatwa saja. c. Penerbitan Sertifikat halal Sertifikat halal diterbitkan berdasarkan penetapan status kehalalan produk dalam sidang Komisi Fatwa MUI. Masa berlaku sertifikat halal tersebut selama 2 (dua) tahun. Permasalahan penerbitan sertifikasi halal, ini juga harus menjadi
62
pertimbangan bagi para auditor dan MUI dalam sidang komisi fatwa, khusus nya permasalahan umur sertifikasi halal. Artinya masa berlaku juga harus disesuaikan dengan pemasaran produk yang akan di produksi, karena tidak ada yang bisa menjamin akan banyaknya konsumen yang memakai produk tersebut. d. Pencantuman logo halal atau ijin labelisasi halal Pencantuman logo halal pada kemasan adalah wewenang Badan POM RI. Badan POM RI akan menerbitkan ijin labelisasi halal bagi perusahaan berdasarkan penerbitan Sertifikat Halal MUI. Berdasarkan hal ini, bagaimana apa bila ada pemalsuan Logo oleh pelaku usaha, pemerintah harus mencantumkan larangan dalam pemalsuan logo, dan menindak pelaku usaha yang memalsukan logo berupa sanksi pidana. 2.
Proses Pengakuan Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri. MUI melakukan kerjasama dengan lembaga sertifikasi halal luar negeri (LSHLN). Adapun Tahapan proses pengakuan Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri oleh MUI dilakukan sebagai berikut : a. Kriteria Pengakuan MUI menetapkan 7 (tujuh) kriteria sebagai prasyarat yang harus dipenuhi oleh LSHLN yang ingin diakui oleh MUI. Pengakuan MUI terhadap LSHLN dilakukan berdasarkan permohonan dari LSHLN yang bersangkutan. b. Pemenuhan Data Kuesioner pengakuan Data pemenuhan 7 kriteria sebagai LSHLN yang dituangkan ke dalam kuesioner LPPOM MUI menitik beratkan pada kemampuan menerapkan standar dan prosedur sertifikasi halal LSHLN. Untuk dipelajari dan dikaji
63
mendalam, Hasil kajian dan verifikasi data oleh LPPOM MUI selanjutnya disampaikan kepada MUI. Kemudian dewan pimpinan MUI akan melakukan audit lapangan secara langsung.audit lapangan ini bertujuan untuk menetapkan status kelayakan LSHLN apakah sesuai dengan pedoman MUI atau tidak. c. Kunjungan pegakuan Kunjungan lapangan sebagai bentuk audit yang dilakukan oleh MUI juga bertujuan untuk membuktikan keberadaan LSHLN. Selain itu akan diverifikasi tentang kebenaran prosedur dan standar yang tertulis dalam data yang dikirim ke MUI. Audit ini dilakukan oleh suatu tim yang ditunjuk oleh dewan pimpinan MUI yang terdiri dari beberapa pakar dalam bidang sains dan syariah. d. Penetapan status pengakuan Setelah itu auditor melakukan kunjungan lapangan ke LSHLN, maka tim auditor yang mengajukan permohonan akan menetapkan status kesesuaian dan pemenuhan berdasarkan ketentuan MUI. Andaikata hasil audit lapangan sesuai dengan data yang diberikan, maka akan diterbitkan surat yang berisi pengakuan lembaga sertifikasi halal tersebut. Adapun kategori kategori pengakuan MUI terhadap LSHLN. LSHLN Difokuskan pada tiga hal, yaitu; pemotongan (slaughtering), industri pengolahan dan flavor. e. Masa Evaluasi pengakuan Setelah pengakuan LSHLN diberikan, MUI akan melakukan review atas pengakuan LSHLN setiap dua tahun sekali, sebagaimana yang tertulis dalam
64
pedoman sertifikasi pengakuan MUI terhadap LSHLN hanya dalam proses sertifikasi halal untuk bahan baku yang digunakan pada produk akhir saja. Pemberlakuan sertifikat tersebut hanya untuk produk yang diproduksi di wilayah negara dimana LSHLN tersebut berada. Misalnya LSHLN di Australia, hanya berlaku di daerah Australia saja, dan tidak berlaku untuk di luar negara tersebut. Sedangkan Pembiayaan pengakuan Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri, Penerbitan sertifikat pengakuan LSHLN diberikan secara gratis. Mengapa gratis ? Dalam proses pengakuan lembaga sertifikasi halal luar negeri (LSHLN), lembaga tersebut hanya memberikan biaya pengganti transport, yang meliputi; tiket, pembuatan visa, serta transportasi lokal di Indonesia, Viskal. Sedangkan honor auditor dari MUI, besarannya sesuai dengan kebijakan LSHLN masing masing. Sesuai kewenangan, atas dasar itu ketika Decree MUI diterbitkan tanpa dikenai biaya apapun ke MUI ,tetapi hsnya biaya ke audit saja. Hal ini bisa saja terjadi manipulasi atau transaksi suap. Dengan ketentuan ini bisa saja terjadi tindak pidana korupsi, Jika tidak ada nya pemantauan atau pengawasan, seperti kasus suap menyuap. Sistem
Monitoring
pada
Lembaga
Sertifikat
Halal
Luar
Negeri
Monitoring yang telah diakui MUI dilakukan dengan cara memastikan keabsahan (otentisitas) sertifikat halal yang diterbitkan. Komunikasi aktif antara MUI dan LSHLN dilakukan untuk
menelusuri, apakah
ada hal-hal
yang tidak
65
sesuai dengan standar dan prosedur MUI dan LPPOM MUI, pertemuan tahunan dilakukan untuk melakukan koordinasi antara MUI dan LSHLN.3 Setelah ada UU JPH kewenangan MUI “dibatasi”, dimana penyelenggara jaminan produk halal bukan lagi MUI, melainkan BPJPH (Pemerintah RI) untuk itu BPJPH bekerja sama dengan kementrian dan /atau lembaga terkait atau LPH, baik itu MUI, atau Ormas lain nya. Pasal 7 UU JPH, bahwa dalam pasal tersebut Menyatakan bahwa “Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, BPJPH Bekerja sama dengan : 1.Kementrian dan /atau lembaga terkait 2. LPH dan 3. MUI” secara jelas bahwa fungsi dan peran MUI yang selama ini dilakukan telah di ambil alih oleh BPJPH. Kewenangan BPJPH tertuang dalam pasal 6 yang menyatakan bahwa “Dalam penyelenggaraan JPH ,BPJPH berwenang : a. merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH b.menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH c. menerbitkan dan mencabut sertifikasi halal dan label halal pada produk d. melakukan registrasi sertifikasi halal pada produk luar negeri e. melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal f. melakukan akreditasi terhadap LPH g. melakukan registrasi Auditor Halal h. melakukan pengawasan terhadap JPH i.melakukan pembinaan auditor halal; dan j.melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.” Dalam pasal 10 dijelaskan kembali ,bahwa “ (1)kerjasama BPJPH dengan MUI sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf c dilakukan dalam bentuk : a. sertifikasi auditor halal b. penetapan kehalalan produk ;dan c.akreditasi LPH. (2) 3
http://mui.or.id/mui/homepage/berita/berita-singkat/pernyataan-sikap-majelis-ulamaindonesia-tentang-sertifikasi-halal-dan-pengakuan-lembaga-sertifikasi-halal-luar-negeri.html, di unduh, kamis 30 april 2015 ,10.24
66
penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikeluarkan MUI dalam bentuk keputusan penetapan halal produk.” Sudah jelas di paparkan dalam pasal 6 bahwa yang berwenang menerbitkan dan mencabut sertifikat halal pada produk adalah BPJPH. BPJPH kemudian yang menjalin kerjasama dengan instansi terkait dan atau lembaga terkait lain (MUI). Dalam pasal 7 dan 10 dijelaskan bahwa keterlibatan MUI hanya sebatas mitra, kerja sama antara BPJPH dan MUI. MUI hanya mengeluarkan fatwa setelah memeriksa kandungan pada produk tersebut, dan selanjutnya penerbitan sertifikat halal dikeluarkan oleh BPJPH. Pemberlakuan UU JPH sebagaimana termaktub dalam Pasal 61 “LPH yg sudah ada sebelum undang undang ini berlaku diakui sebagai LPH dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 13 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak BPJPH Dibentuk”. Dengan kata lain, pada tahun 2016 seluruh LPH yang ada di Indonesia, baik MUI atau Ormas lainnya wajib menaati UU JPH. Dalam hal auditor yang telah ada, Pasal 62 menyatakan bahwa “auditor halal yang sudah ada sebelum undang-undang ini berlaku diakui sebagai auditor halal dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 15 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak undang-undang ini di undangkan”. Status Hukum Auditor Halal yang telah ada tetap di Akui keberadaannya dan selanjutnya dibina Oleh BPJPH. Pembentukan BPJPH tidak saat UU ini disahkan namun menunggu 3 tahun kemudian ,yaitu pada tahun 2017. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 64
67
“pembentukan BPJPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak undang-undang ini di undangkan.4 Dalam penjelasan pasal di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga pemeriksa halal (LPH) yg sudah ada, masih tetap berjalan dan di akui kedudukannya sebagai lembaga pemeriksa halal, dengan ketentuan memenuhi syarat yang tertera dalam UU tersebut. LPH yang sudah ada harus memiliki persyaratan sebagaimana yang tertera dalam pasal 13 UU No.33 Tahun 2014. Penyelenggara UU tersebut adalah pemerintah sebagai eksekutor atau pelaksana Undang Undang. Hal tersebut tertulis pada Pasal 5 ayat 1, 2 dan 3 UU No.33 Tahun 2014 yang berbunyi: Pasal 5 ayat (1) “Pemerintah Bertanggung Jawab dalam Penyelenggaraan JPH”. Pemerintah, dalam hal ini kementrian agama yang bertanggung jawab pebuh atas pelaksanaan sertifikasi halal. Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 5 ayat (2) “Penyelenggaraan JPH Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri“. Pasal 5 ayat (3) “Untuk Melaksanakan Penyelenggaraan JPH Sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk BPJPH Yang Berkedudukan dibawah dan Bertanggung jawab Kepada Menteri”. Pasal ini menjelaskan bahwa, pemerintah yang bertanggung jawab atas terselenggaranya JPH, dalam hal ini pemerintahan disini adalah
kementrian
agama, sebagaimana dicantumkan pada ayat (2), dan dipertegas dalam ayat (3) bahwa untuk terbentuknya BPJPH berkedudukan atas tanggung jawab di bawah Kementrian Agama.
4
Undang-Undang No.33 Tahun 2014, Pasal 61, 62, 64.
68
Dari paparan diatas, secara jelas menyatakan, bahwa sertifikasi halal yang masih berjalan saat ini masih berlaku. Sertifikasi halal masih berjalan sebagaimana mestinya, dibentuknya BPJPH Sebagai lembaga dibawah tanggung jawab Kementrian Agama. Jika dalam batas waktu 3 tahun sampai dengan tahun 2017 pemerintah belum membentuk lembaga yang dimaksud, maka kewenangan sertifikasi halal yang sudah ada masih tetap berjalan sebagaimana adanya. B. Kewenangan dan Kedudukan LPPOM MUI Pasca Undang Undang No. 33 Tahun 2014 Dalam pembentukan Undang-Undang No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal ini, banyak terjadi perdebatan. Proses yang sangat panjang seperti yang diberitakan di media massa, karena menyangkut kehidupan masyarakat Indonesia yang notabene mayoritas muslim bahwa masalah pemberian sertifikasi halal menuai banyak sorotan. UU Jaminan Produk Halal yang diusulkan atas inisiatif DPR sejak 2006 belum juga diselesaikan pembahasannya hingga akhir masa tugas periode 2009-2014. Hingga akhirnya disahkan oleh presiden pada Tahun 2014 yang lalu. LPPOM MUI sebagai lembaga non pemerintah yang selama ni menangani setifikasi halal, atau bisa dikatakan sebagai penjamin kehalalan suatu produk. Harus beradabtasi Pasca lahirnya UU No.33 Tahun 2014, dalam Undang-Undang No.33 Tahun 2014 Pasal 1 ayat 6 yg berbunyi “Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang Selanjutnya disingkat BPJPH Adalah Badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk Menyelenggarakan JPH”. Dalam pasal di atas, telah jelas dipaparkan, bahwa badan penyelenggara Jaminan Produk Halal disini dibentuk
69
oleh pemerintah, pemerintah yang membentuk team work untuk pengesahan sertifikasi halal. Dalam pasal lain, tentang ketentuan jaminan produk halal. Dalam penjelasan Bab II mengenai penyelenggara jaminan produk halal, pada Pasal 5 ayat (1) dijelaskan bahwa “Pemerintah Bertanggung Jawab dalam Menyelenggarakan JPH”. Dalam hal ini dipertegas oleh Pasal 5 ayat (2) yg berbunyi “Penyelenggaraan JPH Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah”. Artinya, penyelenggaraan jaminan produk halal dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah kementrian agama. Jika melihat penjelasan dari pasal diatas Huruf (a-J) sudah jelas bahwa dalam pelaksanaan nya, perumusan dan penetapan Jaminan Produk Halal (JPH) dikerjakan oleh pemerintah, walaupun dalam Hal ini BPJPH belum terbentuk, karena tugas, fungsi dan susunan organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan pemerintah.5 Pada ayat selanjutnya pun demikian, penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Jaminan produk halal, menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk, melakukan registrasi sertifikasi halal pada produk luar negeri, melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal, melakukan akreditasi terhadap Lembaga Produk Halal, melakukan registrasi auditor halal, melakukan pengawasan terhadap JPH, melakukan pembinaan Auditor Halal dan melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH, dalam hal ini semua keterangan yang ada pada Pasal 6 UU
5
UU No.33 Tahun 2014 Bab II, Pasal 5 ayat (5)
70
No.33 Tahun 2014 tentang kewenangan BPJPH, menegaskan kewenangan BPJPH dalam mengurus sertifikasi halal, yang dalam hal ini belum ditentukan oleh pemerintah. Didalam pasal 6 tentan wewenang Badan penyelenggara jaminan produk halal sebagaimana termaktub “Dalam Penyelenggaraan JPH, BPJPH Berwenang: a.
Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH
b.
Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH
c.
Menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk
d.
Melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri
e.
Melakukan sosialisasi, edukasi dan publikasi produk halal
f.
Melakukan akreditasi terhadap LPH
g.
Melakukan registrasi auditor Halal
h.
Melakukan pengawasan terhadap JPH
i.
Melakukan pembinaan Auditor Halal dan
j.
Melakukan Kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH”. Selanjutnya dalam Pasal 7 UU No.33 Tahun 2014 dijelaskan bahwa dalam
melaksanakan tugas dan wewenang yang tercantum pada Pasal 6 UU No.33 Tahun 2014, BPJPH bekerja sama dengan : a.
Kementrian dan/ atau lembaga terkait ;
b.
LPH ;dan
c.
MUI
71
Kerja sama BPJPH dengan kementrian dan/atau lembaga terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf (a) dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi kementrian dan/ atau lembaga terkait. Pada pasal selanjutnya, kerja sama BPJPH dengan LPH sebagai mana dimaksud dalam Pasal 7 huruf (b) dilakukan pemeriksaan dan/ atau pengujian produk. Kerja sama BPJPH dengan MUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf (c) dilakukan dalam bentuk : a.
Sertifikasi Auditor Halal;
b.
Penetapan kehalalan produk dan
c.
Akreditasi LPH
Penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (b) dikeluarkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk. Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, pasal 9 dan Pasal 10 diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.6 LPH yang dijelaskan pasal 12 Undang Undang jaminan produk halal “(1) pemerintah dan/atau masyarakat dapat mendirikan LPH (2) LPH sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mempunyai kesempatan yang sama dalam membantu BPJPH Melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk ”. Pada pasal ini secara terang dijelaskan bahwa ,lembaga pemeriksa halal (LPH) dapat didirikan oleh Masyarakat ,guna membantu kinerja BPJPH dalam pelaksanaan jaminan Produk halal. Undang undang ini membatasi ruang gerak MUI yang selama ini berjalan, disisi lain memberikan ruang untuk masyarakat dalam membantu pemerintah . peran serta masyarakat dalam JPH ini adalah perwujudan
6
UU No.33 Tahun 2014, Pasal 7,8,9,10.
72
dari demokrasi yang telah dijalankan . selain itu, peran serta masyarakat menegakkan nilai utama dari menjadikan negara ini bagian dari good governence. Lembaga penjamin halal dapat didirikan oleh siapapun dengan memenuhi kriteria yang tertera dalam pasal 13 UU JPH. pertama , harus memiliki kantor sendiri dan perlengkapan yang menunjang kinerja BPJPH. kedua memiliki akreditasi dari BPJPH
ketiga memiliki auditor halal paling sedikit 3 orang dan ke empat
memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium . Selain itu, LPH Harus diajukan oleh lembaga keagamaan islam berbadan hukum, melihat kasus di indonesia tentunya banyak ormas yang berbadan hukum seperti NU dan MUHAMMADIYAH, maka ormas tersebut dapat mendirikan LPH sebagaimana yang dimandatkan dalam undang undang, agar tidak terjadinya bentrok antara ormas satu dengan ormas lainnya. Dengan penjelasan dalam pasal ini, bahwa MUI tidak sepenuhnya sebagai lembaga pemeriksa halal sebagaimana sebelum undang undang ini ada. Selanjutnya, tergantung kepada produsen makanan akan mengajukan pemeriksaan kehalalan produk ke lembaga manapun yang telah sejalan dengan undang undang tersebut. Ini berarti produsen bebas menentukan pilihannya. Dengan berdirinya banyak lembaga pemeriksa halal (LPH) dalam UU No.33 Tahun 2014, maka dengan ini akan terjadinya kompetisi yang sehat antar lembaga. dengan adanya persaingan ini maka perlu adanya pengendalian mutu atau kualitas oleh pemerintah terhadap Kinerja dan Sumber Daya Manusia LPH.
73
Dengan demikian proses sertifikasi halal berjalan dengan baik dan lancar ,serta terbentuk nya pemerintahan yang transparan C. PROSPEK SERTIFIKASI HALAL DI INDONESIA Indonesia dikenal sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim, juga bervariasi. Terlepas dari ranah yang ada tuntutan akan produkhalal selalu meningkat, seiring meningkatnya agama. Untuk itu Sertifikasi halal
sudah
berjalan sampai saat sekarang ini. Dengan demikian sertifikasi halal sangat diperlukan, guna memperjelas dan memberi info produk makanan dan minuman yang di konsumsi tidak mengandung zat-zat yang berbahaya dan dilarang dalam agama. Sertifikasi halal yang ada selama ini berjalan dengan baik semakin di kukuhkan dalam undang undang No.33 tahun 2014. Hadirnya UU No.33 Tahun 2014 ini, merupakan sebuah aturan yang cukup mendesak, dan memberikan keuntungan bukan hanya untuk melindungi umat Islam saja, tetapi juga melindungi konsumen Non-Muslim. Selain itu di beberapa agama selain islam babi juga turut diharamkan untuk di konsumsi. Dengan tujuan utama lainnya adalah barang yang tersedia di pasaran telah memenuhi standar kebaikan dan kesehatan konsumsi. Dalam ekonomi dalam negeri Undang-Undang JPH ini dapat meminimalisir keluar masuknya produk-produk impor dari luar Indonesia pada tahun ini dan seterusnya. Hal ini tentunya menggiatkan pasar dlam negeri yang sempat tergerus oleh produk luar negeri. Semakin tingginya permintaan pasar dalam negeri tentunya akan meningkatkan ekonomi dalam negeri. Tentunya ini dengan syarat
74
adanya sinergi antara penyelenggara dan mitra (LPH) satu sama lain, Sehingga produk-produk pangan dan minuman impor dapat di selidiki kelayakan untuk dikonsumsi di Indonesia. Saat ini permintaan akan produk-produk halal secara global terus mengalami peningkatan. Untuk Pasar Asia Tenggara, ekspor produk halal mencapai 100 juta dollar. Jumlah ini mengalami peningkatan 100% dibandingkan tahun sebelumnya, yang hanya mencapai 50 juta dolar. Sementara volume perdagangan produk halal dunia mencapai angka 200 miliar dolar. Data lain menyebutkan bahwa industri produk halal mencapai 547 milyar dolar, dan dalam waktu dekat mencapai 1 triliyun dollar7 Contoh Di Filipina yang merespon dari peningkatan permintaan produk-produk bersertifikat halal telah mendorong perusahaan untuk melakukan sertifikasi produknya. Saat ini sekitar 50 perusahaan telah mendapatkan sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh Dewan Dakwah Islam Filipina (IDCP). Jumlah ini terus mengalami peningkatan, dan saat ini jumlah makanan yang telah disertifikasi halal mencapai 450 jenis. Selain Filipina, negara minoritas Muslim yang saat ini tengah mempersiapkan diri untuk menjadi produsen produk halal adalah Thailand. Negara ini juga menyiapkan wilayahnya untuk menjadi sentra produk halal dunia. Selandia Baru, sebagai negara yang terkenal akan pengekspor daging keberbagai penjuru dunia, telah menggiatkan sertifikasi halal sejak lama. Hampir 80 persen dari perusahaan daging yang ada di Selandia Baru sudah mendapat sertifikasi halal. Hal ini karena tujuan ekspornya
7
www.republika.com di unduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48
75
sebagian besar adalah Timur Tengah. Bahkan saat ini tengah membidik pasar Asia Tenggara, dimana jumlah-jumlah penduduk muslim yang mayoritas. Malaysia
adalah
salah
satu
negara
yang
cukup
serius
dalam
mengembangkan produk-produk halal didunia. Beberapa usaha yang dilakukan dalam mengambangkan produk halal ini antara lain pendirian Halal Industry Development Corporation (HDC) dan pembangunan zona industri halal. Bahkan halal menjadi standard global bagi semua produk dan jasa8. Usaha Pemerintah Malaysia lainnya adalah dengan membuat portal internet sebagai mediasi dalam perdagangan produk-produk halal dan sertifikasi halal di seluruh dunia. Hal lain yang dilakukan adalah dengan membangun infrastruktur berteknologi tinggi. Untuk membangun infrstruktur ini, pemerintah Malaysia melakukan kerjasama dengan sejumlah pihak seperti perbankan, industri TI, ataupun sejumlah Universitas. Salah satu bentuk kerjasama yang telah dilakukan adalah dengan Microsoft Corporation, CIMB Islamic bank, Universitas Culalongkorn-Thailand dan Al Islami Foods perusahaan makanan yang berkedudukan di Dubai. Sejumlah produsen besar dunia saat ini telah melirik Malaysia sebagai tempat untuk berinvestasi produk halal. Salah satunya adalah Perusahaan Nestle. Nestle adalah salah satu perusahaan MNC pertama yang telah berinvestasi diMalaysia pada bulan September 20069. Selain Nestle, sejumlah perusahaan juga berniat untuk melakukan hal yang sama. Pertimbangannya sangat jelas, dengan memproduksi makanan halal di Malaysia, mereka dapat melakukan ekspansi pasar ke Timur Tengah yang saat ini merupakan tujuan utama dari pasar produk halal. 8 9
www.eramuslim.com di unduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48 www.halaljournal.com di unduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48
76
Tiga Alasan Utama mengapa Produk Halal diminati, Mengapa permintaan akan produk halal meningkat? Setidaknya, fenomena ini bisa dijelaskan dengan 3 hal. Faktor pertama, aspek halal dan thoyyib merupakan salah satu aspek yang diperhatikan bagi umat Islam dalam mengkonsumsi. 1.
Halal disini tidak saja dilihat dari zat yang dikonsumsi namun juga halal dalam perolehannya. Dalam hal ini uang yang digunakan untuk mendapatkan barang atau jasa itu pun harus halal, misalkan hasil dari kerja yang halal, bukan mencuri, bukan uang atas riba dan bukan pula uang hasil dari korupsi.
2.
Selain memperhatikan masalah kehalalan, dalam mengkonsumsi ummat Islam juga harus memperhatikan masalah toyyib. Toyyib merupakan bahasa arab yang jika di Indonesia berarti baik. Baik dalam hal ini bagi yang mengkonsumsi juga dampaknya bagi lingkungan sekitar. Misalkan es, ini merupakan suatu yang halal, namun bagi orang yang sakit bisa jadi es ini bukan sesuatu yang thoyyib, karena tidak baik untuk kesehatan kita. Dalam lingkup yang lebih besar, thoyyib tidak hanya mencakup kebaikan bagi individu namun juga mencakup kebaikan yang lebih besar. Misalkan ketika suatu barang diproduksi menimbulkan dampak yang lebih besar untuk kerusakan lingkungan, maka barang tersebut bukan termasuk yang thoyyib.
Faktor kedua yang meningkatkan permintaan produk halal adalah meningkatnya preferensi masyarakat Non-Muslim untuk mengonsumsi produkproduk berlabel halal. Fenomena ini terlihat di Filiphina, negara dengan penduduk
77
Muslim minoritas (hanya 10 persen dari total penduduk sebanyak 84 juta jiwa). Fenomena ini juga terjadi di Prancis dan negara-negara Eropa lainnya. Preferensi akan produk-produk halal ini salah satunya terkait dengan masalah kualitas yang lebih terjamin dan hiegienitas produk-produk halal10. Faktor ketiga, yang menyebabkan meningkatnya produk-produk halal ini tidak terlepas dari meningkatnya harga minyak dunia. Beberapa saat lalu harga minyak dunia mencapai 82 $ dollar per barelnya. Suatu harga yang belum pernah dicapai sebelumnya. Meningkatnya harga minyak dunia ini, berarti meningkat pula pendapatan masyarakat Timur Tengah yang secara tidak langsung akan meningkatkan daya beli dan konsumsi masyarakat mereka. Hal ini mendorong negara-negara pengekspor makanan ke Timur Tengah sangat giat dalam melakukan sertifikasi halal sebagai upaya peningkatan kualitas produknya. Termasuk salah satunya New Zealand, negara pengekspor daging terbesar di dunia. Bagaimana Peluang pasar bagi Indonesia?, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Dengan melihat pasar ini, tentunya sertifikasi halal merupakan suatu hal
yang niscaya.
Karena
memproduksi, dan mendistribusikan produk-produk halal berarti melindungi konsumen yang mayoritasnya Muslim. Potensi pasar ini sudah menjadi perhatian banyak negara. Sehingga jika Indonesia tidak jeli dalam melihat peluang ini, maka pasar produk halal di dalam negeri akan dimasuki oleh produk-produk halal dari luar negeri. Sehingga untuk
10
www.muallaf.com di unduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48
78
bisa menjadi eksportir produk halal dunia, dan untuk menjadi raja di negeri sendiri, maka yang harus dilakukan adalah sertifikasi produk halal. Diharapkan sertifikasi tidak hanya dilakukan untuk perusahaan-perusahaan yang berskala besar namun juga usaha menengah dan kecil bahkan kalau bisa untuk usaha-usaha rumah tangga. Mahalnya biaya dalam proses sertifikasi halal, menjadi peluang khusus bagi bank syariah. Karena sebagaimana diketahui bahwa bank syariah hanya memberikan pembiayaan untuk usaha-usaha yang halal, dan tidak untuk yang haram (misalkan pabrik minuman keras, dll). Dengan sertifikasi halal ini, bisa mengajukan pinjaman ke bank syariah sehingga bank syariah yang saat ini cenderung over likuiditas karena sulit untuk mencari nasabah juga jadi dapat menyalurkan pembiayaannya. Upaya ini telah dilakukan oleh bank-bank syariah di Malaysia, yang salah satunya adalah CIMB Islamic Bank Bhd yang memberikan pembiayaan untuk sertifikasi produk, dan membangun infrastruktur untuk proses sertifikasi halal. Bahkan mereka juga melengkapinya dengan sejumlah kebijakan seperti biaya yang lebih murah dibandingkan dengan perbankan konvensional, membuka jaringan kantor cabang yang lebih banyak sehingga mudah diakses masyarakat. Bank Islam ini juga memfasilitasi bagi sejumlah usaha kecil untuk masuk dalam suatu pasar11. Untuk usaha-usaha mikro, usaha yang dilakukan antara lain dengan mencantumkan komposisi bahan baku dari produk-produknya secara transparan. Sehingga dengan demikian masyarakat dapat melihat apakah produknya halal dan
11
www.republika.co.id , di unduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48
79
baik untuk dikonsumsi atau tidak. Produk-produk dari industri rumah tangga ini minimal dapat memenuhi pasar produk halal di dalam negeri. Sedangkan untuk usaha yang lebih besar dapat meluaskan pangsa pasarnya sampai kepada pasar luar negeri.12 Bersamaan dengan Undang-Undang No.33 Tahun 2014 , BPJPH harus bekerja sama dengan ormas islam yang ada di Indonesia, agar dapat berkesinambungan untuk menjalani amanat rakyat dan ummat. Terkait dengan kehalalan suatu produk. pemerintah juga harus melihat peluang bisnis dunia, yang mana negara lain pun mengadopsi sertifikasi halal dari Indonesia. Kendali ini harus tetap berjalan, karena pelopor keberadaan sertifikasi halal adalah Indonesia. Harapan masyarakat Indonesia agar pemerintah dapat menjalankan amanah Undang-Undang No.33 Tahun 2014 dengan ekstra kerja keras. memperbanyak SDM dalam masing masing bidang keilmuan terkait dengan keahlian masing masing bidang. Selanjutnya, indonesia sebagai negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam membutuhkan sistem akreditasi dan sertifikasi produk halal sebagai bentuk perlindungan kepada masyarakat. hal itu untuk mendukung tumbuhnya produk halal di dunia, sistem tersebut harus dapat diterima secara internasional dengan akreditasi internasional. Oleh karenanya, pemerintah Republik Indonesia meluncurkan Skema Akreditasi dan Sertifikasi Halal.
12
Komunitas Peduli Halal, alalcare.blogspot.com/2011/07/produk-halal-perkembanganprospek-dan.htm, di unduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48
80
Peluncuran dilaksanakan pada acara Tasyakur Milad LPPOM MUI ke-26 di Jakarta, Selasa (13/01/2015)13. Kepala BSN Bambang Prasetya dalam kesempatan tersebut mengatakan, BSN yang telah menetapkan lebih dari 8000 Standar Nasional Indonesia (SNI), dan KAN yang saat ini telah mengakreditasi lebih dari 1200 laboratorium, lembaga sertifikasi, dan lembaga inspeksi di seluruh wilayah tanah air, dan telah mendapatkan pengakuan internasional dari seluruh dunia, telah bekerja sama dengan berbagai pihak terkait, khususnya bersama dengan LPPOM MUI dalam mengembangkan Standar Nasional persyaratan Halal dan skema akreditasi untuk lembaga pemeriksa halal. Skema Akreditasi dan Sertifikasi Halal ini, lanjut Prof. Bambang, telah disusun dengan melibatkan pihak-pihak terkait dan mensinergikan peran setiap pihak sesuai dengan tanggung-jawab, kewenangan, tugas dan fungsinya masing-masing untuk secara bersama-sama mewujudkan Sistem Jaminan Produk Halal yang terpercaya. Bagan Standar Nasional Persyaratan Halal dan Skema Akreditasi LPH
13
http://www.kan.or.id/?p=3399&lang=id ,di unduh pada ,20 april 2015 ,11.57
81
Prof. Bambang yang juga Ketua KAN menambahkan, di awal tahun 2015 ini, khususnya setelah penetapan Undang-Undang No, 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, dan beberapa saat sebelumnya Undang-Undang No. 20 tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, KAN akan memulai pengoperasian Skema Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal sebagai langkah awal dari realisasi sistem Jaminan Produk Halal di Indonesia. Sistem ini, kata Prof. Bambang, tentu saja masih jauh dari sempurna dan memerlukan masukan dari seluruh pihak agar ke depan sistem ini dapat mencapai tujuannya secara efektif untuk menjamin kehalalan produk bagi muslim di Indonesia, dan sekaligus mampu menjalankan fungsinya untuk meningkatkan daya saing produk halal dari Indonesia dalam pasar global, dan menjaga kedaulatan Bangsa Indonesia.14
14
http://www.kan.or.id/?p=3399&lang=id ,di unduh pada ,20 april 2015 ,11.57
BAB V PENUTUP
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan yang telah ditulis dalam penulisan sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat ditarik oleh penulis adalah sebagai berikut: A. Kesimpulan 1. Sesuai dengan undang undang No.33 Tahun 2014 tentang jaminan Produk Halal bahwa kewenangan LPPOM MUI adalah sebagai LPH (Lembaga Pemeriska Halal) dan mitra. Penjelasan selanjutnya dalam pasal 10, bahwa kerja sama BPJPH dengan MUI /LPPOM MUI dilakukan dalam bentuk : sertifikasi auditor Halal, penetapan kehalalan produk dan akreditasi LPH (Lembaga Pemeriksa Halal). Dan penetapan kehalalan produk dikeluarkan dalam bentuk keputusan penetapan halal produk. Dengan adanya wewenang LPPOM MUI/ MUI dalam undang undang no.33 tahun 2014 sebagai mitra . Sebelum ada implementasi pada 2019, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan LPPOM-nya masih akan bertanggung jawab sebagai penyelenggara jaminan halal dimasyarakat. 2. Dengan ada nya Undang Undang No.33 tahun 2014 JPH maka peluang untuk turut serta berparsitifasi dalam penanganan sertifikasi halal terbuka bagi ormas islam yang berbadan hukum .dengan ini akan terwujud perlindungan konsumen muslim di Indonesia terkait dengan kehalalan sebuah produk .
82
83
3.
Saran 1. Dengan disahkannya UU dan hadirnya BP JPH, penulis secara pribadi berharap perdebatan dan polemik lembaga terkait sertifikasi halal pun dapat terselesaikan. Dengan demikian, tuduhan terkait penyalah gunaan kewenangan sertifikasi ini pun dapat diselesaikan dan tidak menyebabkan fitnah. MUI dan pemerintah (Kemenag) serta aparat keamanan harus mampu mengawal implementasi UU No.33 tahun 2014 ini. Proses yang transparan pun menjadi keharusan agar tidak kembali memunculkan tuduhan dan fitnah bagi instansi yang berwenang, dan perlu juga dibentuknya yayasan konsumen muslim . 2. Diharapkan UU ini dapat mewajibkan para produsen mendapatkan sertifikasi halal.Konsekuensi dari hal itu dalam implementasinya, pemerintah atau BP JPH perlu menekankan pada pembukaan akses sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk mendapatkan sertifikasi halal. Pembukaan akses ini, menurut penulis , penting agar aturan ini seolah tidak merugikan para produsen kelas menengah kebawah yang minim informasi. UU ini harus dapat mengakomodir segala kepentingan, tidak hanya bagi umat Islam Indonesia, tapi juga seluruh konsumen di Tanah Air, dan Efek kemanfaatannya pun harus segera terlihat. 3. Dalam penyusunan skripsi ini mungkin ada banyak hal yang belum sepenuhnya terselesaikan dengan baik, mengingat keterbatasan ruang dan waktu. untuk itu, diharapkan untuk penelitian selanjutnya yang serupa dihrapkan dapat menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi Muhammad Fahmi, M.Si, Dr. Aripin Jaenal, M.Ag, Metode Penelitian Hukum, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, cet Ke-1, Desember 2010. AL-Qur‟an Al Karim (ayat dan Tarjamah) Amin Ma‟ruf, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas Jakarta, 2011) Cet. Ke-3. h.313 Ar-Rifa‟I Nasib Muhammad “TAISIR AL-ALIYYUL QADIR LI IKHTISHARI TAFSIR IBNU KATSIR,jilid 2”(Gema Insani Press, 1999 Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Modul Pelatihan Auditor Internal Halal,Jakarta: Departemen Agama RI. 2003 Bisri hasan Cik , Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004) Danim Sudarman, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia,2002) Gabriel Amin Silalahi, Metode Penelitian Studi Kasus, (Sidoarjo : CV Mitra Media, 2003) Dewi Candra Diana, Rahasia dibalik Makanan Haram, (Malang: UINMalang,2007), Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram, (Jakarta: Rabbani Pers, 2002) Fadhl „I-Lah Mahdi (1987:5) Mengindentikan Ilmu Ushul Fiqh dengan Ilmu Mantiq Syar‟i dengan Mengadaptasi Ilmu Mantiq Aristoteles. Hakim Lukmanul ,“Sertifikasi Halal MUI Sebagai Upaya Jaminan Produk Halal” dalam Ichwan Sam, et. al., Ijma’ Ulama Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se- Indonesia III Tahun 2009, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet. ke-1, 2009 Hambal bin Ahmad, Kitab Musnad Ahmad, Muassasah Qurthubah, Kairo, Jilid : 3 Himpunan Keputusan Musyawarah Daerah VII Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Tengah, Semarang: Majelis Ulama Indonesia, 2006, Ibrahim Johnny, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Noormatif, (Malang : Bayu Media Publishing, 2008), h.2
84
85
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LP POM MUI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2008 Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, loc. Cit Miru Ahmad & Yodo Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet. ke-7, edisi ke-1, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011 Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, op. cit Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, Jakarta: Departemen Agama RI., 2003 Qaradhawi Yusuf, Halal dan Haram (Jakarta: Rabbani Pers,2002 Sugono Bambang, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003) Sasmito Adi Wiku, “Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam Labeling Obat dan Makanan” dalam Studi Kasus: Analisis Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008, Tulisan Harahap yahya M, Cara lengkap, dapat dibaca dalam Cik Hasan Bisri (Penyunting), Kompilasi Hukum Islam Tentang Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Logos Wacana Ilmu, 1999 a, Zainal Asikin ,Amirudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) ,
الحالوالحرام في االسالم يوسوف القرضاوي WEBSITE http://alalcare.blogspot.com/2011/07/produk-halal-perkembangan-prospekdan.html http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profilmui.html http://mui.or.id/sekilas-mui http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/go_to_section/2/31/page/11
86
http://uai.ac.id/2011/04/13/opini-ilmiah-hukum/ http://mui.or.id/mui/homepage/berita/berita-singkat/pernyataan-sikap-majelisulama-indonesia-tentang-sertifikasi-halal-dan-pengakuan-lembaga-sertifikasihalal-luar-negeri.html http://www.kan.or.id/?p=3399&lang=id http://doa-bagirajatega.blogspot.com/2014/10/kontroversi-uu-jaminan-produkhalal.html
SALINAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :
a. bahwa
Undang-Undang
Indonesia
Tahun
1945
Dasar
Negara
Republik
mengamanatkan
negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya
masing-masing
dan
untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu; b. bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat; c. bahwa
produk yang beredar di masyarakat belum
semua terjamin kehalalannya; d. bahwa pengaturan mengenai kehalalan suatu produk pada saat ini belum menjamin kepastian hukum dan perlu diatur dalam suatu peraturan perundangundangan; e. bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal; Mengingat :
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), Pasal 28J, dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan . . .
-2Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.
Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
2.
Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.
3.
Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH adalah
rangkaian
kegiatan
untuk
menjamin
kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan,
penyimpanan,
pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk. 4.
Bahan
adalah
unsur
yang
digunakan
untuk
membuat atau menghasilkan Produk. 5.
Jaminan
Produk
Halal
yang
selanjutnya
disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal. 6. Badan . . .
-36.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat BPJPH adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan JPH.
7.
Majelis
Ulama
Indonesia
yang selanjutnya
disingkat MUI adalah wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim. 8.
Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan Produk.
9.
Auditor
Halal
kemampuan
adalah
melakukan
orang
yang
memiliki
pemeriksaan
kehalalan
Produk. 10. Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI. 11. Label Halal adalah tanda kehalalan suatu Produk. 12. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha di wilayah Indonesia. 13. Penyelia Halal adalah orang yang bertanggung jawab terhadap PPH. 14. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. 15. Menteri
adalah
menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang agama.
Pasal 2 . . .
-4Pasal 2 Penyelenggaraan JPH berasaskan: a.
pelindungan;
b.
keadilan;
c.
kepastian hukum;
d.
akuntabilitas dan transparansi;
e.
efektivitas dan efisiensi; dan
f.
profesionalitas. Pasal 3
Penyelenggaraan JPH bertujuan: a.
memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan
kepastian
ketersediaan
Produk
Halal
bagi
masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk; dan b.
meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal. Pasal 4
Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
BAB II PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL Bagian Kesatu Umum Pasal 5 (1)
Pemerintah
bertanggung
jawab
dalam
menyelenggarakan JPH.
(2) Penyelenggaraan . . .
-5(2)
Penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
(3)
Untuk
melaksanakan
penyelenggaraan
JPH
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk BPJPH
yang
berkedudukan
di
bawah
dan
bertanggung jawab kepada Menteri. (4)
Dalam hal diperlukan, BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah.
(5)
Ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden. Bagian Kedua
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Pasal 6 Dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH berwenang: a.
merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
b.
menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;
c.
menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk;
d.
melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri;
e.
melakukan
sosialisasi,
edukasi,
dan
publikasi
Produk Halal; f.
melakukan akreditasi terhadap LPH;
g.
melakukan registrasi Auditor Halal;
h.
melakukan pengawasan terhadap JPH;
i.
melakukan pembinaan Auditor Halal; dan
j.
melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.
Pasal 7 . . .
-6Pasal 7 Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BPJPH bekerja sama dengan: a.
kementerian dan/atau lembaga terkait;
b.
LPH; dan
c.
MUI. Pasal 8
Kerja
sama
BPJPH
dengan
kementerian
dan/atau
lembaga terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian dan/atau lembaga terkait. Pasal 9 Kerja sama BPJPH dengan LPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dilakukan untuk pemeriksaan dan/atau pengujian Produk. Pasal 10 (1)
Kerja
sama
BPJPH
dengan
MUI
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan dalam bentuk:
(2)
a.
sertifikasi Auditor Halal;
b.
penetapan kehalalan Produk; dan
c.
akreditasi LPH.
Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikeluarkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk.
Pasal 11 . . .
-7Pasal 11 lebih
Ketentuan
lanjut
mengenai
kerja
sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Lembaga Pemeriksa Halal Pasal 12 (1)
Pemerintah dan/atau masyarakat dapat mendirikan LPH.
(2)
LPH
sebagaimana
dimaksud
mempunyai
kesempatan
membantu
BPJPH
pada
yang
ayat
sama
melakukan
(1)
dalam
pemeriksaan
dan/atau pengujian kehalalan Produk. Pasal 13 (1)
Untuk
mendirikan
LPH
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 12, harus dipenuhi persyaratan: a.
memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya;
b.
memiliki akreditasi dari BPJPH;
c.
memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan
d.
memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama
dengan
lembaga
lain
yang
memiliki
laboratorium. (2)
Dalam hal LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didirikan oleh masyarakat, LPH harus diajukan oleh lembaga keagamaan Islam berbadan hukum.
Pasal 14 . . .
-8Pasal 14 (1)
Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c diangkat dan diberhentikan oleh LPH.
(2)
Pengangkatan Auditor Halal oleh LPH sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1)
harus
memenuhi
persyaratan: a. b. c.
d.
e. f.
warga negara Indonesia; beragama Islam; berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi; memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam; mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan; dan memperoleh sertifikat dari MUI. Pasal 15
Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 bertugas: a. b. c. d. e. f. g. h.
memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan; memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk; memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan; meneliti lokasi Produk; meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan; memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk; memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH. Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB III . . .
-9BAB III BAHAN DAN PROSES PRODUK HALAL Bagian Kesatu Bahan Pasal 17 (1)
Bahan yang digunakan dalam PPH terdiri atas bahan baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan bahan penolong.
(2)
Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari: a.
hewan;
b.
tumbuhan;
c.
mikroba; atau
d.
bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik.
(3)
Bahan
yang
berasal
dari
hewan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a pada dasarnya halal, kecuali yang diharamkan menurut syariat. Pasal 18 (1)
Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi: a.
bangkai;
b.
darah;
c.
babi; dan/atau
d.
hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat.
(2)
Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan selain
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI. Pasal 19 . . .
- 10 Pasal 19 (1)
Hewan yang digunakan sebagai bahan Produk wajib disembelih sesuai dengan syariat dan memenuhi kaidah
kesejahteraan
hewan
serta
kesehatan
masyarakat veteriner. (2)
Tuntunan penyembelihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 20
(1)
Bahan yang berasal dari tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b pada dasarnya halal, kecuali yang memabukkan dan/atau membahayakan
kesehatan
bagi
orang
yang
mengonsumsinya. (2)
Bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau
proses
rekayasa
genetik
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan huruf d diharamkan jika proses pertumbuhan dan/atau pembuatannya tercampur, terkandung, dan/atau terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan. (3)
Bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI. Bagian Kedua Proses Produk Halal Pasal 21
(1)
Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan dengan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan, pengolahan,
penyimpanan,
pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk tidak halal. (2) Lokasi . . .
- 11 (2)
Lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
(3)
a.
dijaga kebersihan dan higienitasnya;
b.
bebas dari najis; dan
c.
bebas dari Bahan tidak halal.
Ketentuan lebih lanjut mengenai lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 22
(1)
Pelaku
Usaha
yang
tidak
memisahkan
lokasi,
tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
(2)
a.
peringatan tertulis; atau
b.
denda administratif.
Ketentuan
lebih
pengenaan
sanksi
lanjut
mengenai
administratif
tata
diatur
cara dalam
Peraturan Menteri.
BAB IV PELAKU USAHA Pasal 23 Pelaku Usaha berhak memperoleh: a.
informasi, edukasi, dan sosialisasi mengenai sistem JPH;
b.
pembinaan dalam memproduksi Produk Halal; dan
c.
pelayanan
untuk
mendapatkan
Sertifikat
Halal
secara cepat, efisien, biaya terjangkau, dan tidak diskriminatif.
Pasal 24 . . .
- 12 Pasal 24 Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal wajib: a.
memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;
b.
memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan,
penyimpanan,
pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak halal; c.
memiliki Penyelia Halal; dan
d.
melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada BPJPH. Pasal 25
Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib: a.
mencantumkan Label Halal terhadap Produk yang telah mendapat Sertifikat Halal;
b.
menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal;
c.
memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan,
penyimpanan,
pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak halal; d.
memperbarui Sertifikat Halal jika masa berlaku Sertifikat Halal berakhir; dan
e.
melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada BPJPH. Pasal 26
(1)
Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20 dikecualikan dari mengajukan permohonan Sertifikat Halal. (2) Pelaku . . .
- 13 (2)
Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada Produk. Pasal 27
(1)
Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenai sanksi administratif berupa:
(2)
a.
peringatan tertulis;
b.
denda administratif; atau
c.
pencabutan Sertifikat Halal.
Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa: a. b. c.
(3)
teguran lisan; peringatan tertulis; atau denda administratif.
Ketentuan
lebih
pengenaan
sanksi
lanjut
mengenai
administratif
tata
diatur
cara dalam
Peraturan Menteri.
(1)
(2)
Pasal 28 Penyelia Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c bertugas: a. mengawasi PPH di perusahaan; b. menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan; c. mengoordinasikan PPH; dan d. mendampingi Auditor Halal LPH pada saat pemeriksaan. Penyelia Halal harus memenuhi persyaratan: a. beragama Islam; dan b. memiliki wawasan luas dan memahami syariat tentang kehalalan.
(3) Penyelia . . .
- 14 (3) (4)
Penyelia Halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan dan dilaporkan kepada BPJPH. Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelia Halal diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB V TATA CARA MEMPEROLEH SERTIFIKAT HALAL Bagian Kesatu Pengajuan Permohonan Pasal 29 (1)
Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha secara tertulis kepada BPJPH.
(2)
Permohonan
Sertifikat
Halal
harus
dilengkapi
dengan dokumen:
(3)
a.
data Pelaku Usaha;
b.
nama dan jenis Produk;
c.
daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan
d.
proses pengolahan Produk.
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
pengajuan permohonan Sertifikat Halal
cara diatur
dalam Peraturan Menteri. Bagian Kedua Penetapan Lembaga Pemeriksa Halal Pasal 30 (1)
BPJPH
menetapkan
LPH
untuk
melakukan
pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk. (2) Penetapan . . .
- 15 (2)
Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dinyatakan lengkap.
(3)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
cara
penetapan LPH diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga Pemeriksaan dan Pengujian Pasal 31 (1)
Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan oleh Auditor Halal.
(2)
Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi.
(3)
Dalam
hal
pemeriksaan
Produk
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium. (4)
Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal. Pasal 32
(1)
LPH
menyerahkan
hasil
pemeriksaan
dan/atau
pengujian kehalalan Produk kepada BPJPH. (2)
BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada MUI untuk memperoleh penetapan kehalalan Produk. Bagian . . .
- 16 Bagian Keempat Penetapan Kehalalan Produk Pasal 33 (1)
Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI.
(2)
Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal.
(3)
Sidang Fatwa Halal MUI sebagaimana dimaksud pada
ayat
(2)
mengikutsertakan
pakar,
unsur
kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait. (4)
Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memutuskan kehalalan Produk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan
dan/atau
pengujian
Produk
dari
BPJPH. (5)
Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh MUI.
(6)
Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal. Bagian Kelima Penerbitan Sertifikat Halal Pasal 34
(1)
Dalam
hal
Sidang
Fatwa
Halal
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menetapkan halal pada Produk yang dimohonkan Pelaku Usaha, BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal. (2)
Dalam
hal
Sidang
Fatwa
Halal
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menyatakan Produk
tidak
halal,
BPJPH
mengembalikan
permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha disertai dengan alasan. Pasal 35 . . .
- 17 Pasal 35 Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) diterbitkan oleh BPJPH paling lama 7 (tujuh) hari kerja
terhitung
sejak
keputusan
kehalalan
Produk
diterima dari MUI. Pasal 36 Penerbitan Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 wajib dipublikasikan oleh BPJPH. Bagian Keenam Label Halal Pasal 37 BPJPH menetapkan bentuk Label Halal yang berlaku nasional. Pasal 38 Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib mencantumkan Label Halal pada: a. b. c.
kemasan Produk; bagian tertentu dari Produk; dan/atau tempat tertentu pada Produk. Pasal 39
Pencantuman Label Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak. Pasal 40 Ketentuan lebih lanjut mengenai Label Halal diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 41 . . .
- 18 Pasal 41 (1)
(2)
Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran lisan; b. peringatan tertulis; atau c. pencabutan Sertifikat Halal. Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Ketujuh Pembaruan Sertifikat Halal Pasal 42
(1)
Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan.
(2)
Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir.
(3)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pembaruan
Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 43 Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH wajib menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan oleh Pelaku Usaha.
Bagian . . .
- 19 Bagian Kedelapan Pembiayaan Pasal 44 (1)
Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal.
(2)
Dalam hal Pelaku Usaha merupakan usaha mikro dan kecil, biaya Sertifikasi Halal dapat difasilitasi oleh pihak lain.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya sertifikasi halal diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 45
(1)
BPJPH dalam mengelola keuangan menggunakan pengelolaan keuangan badan layanan umum.
(2)
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan BPJPH diatur dalam Peraturan Menteri. BAB VI KERJA SAMA INTERNASIONAL Pasal 46
(1)
Pemerintah
dapat
melakukan
kerja
sama
internasional dalam bidang JPH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2)
Kerja
sama
sebagaimana berbentuk
internasional dimaksud
dalam
pada
pengembangan
bidang
ayat JPH,
(1)
JPH dapat
penilaian
kesesuaian, dan/atau pengakuan Sertifikat Halal. (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Pasal 47 . . .
- 20 Pasal 47 (1)
Produk Halal luar negeri yang diimpor ke Indonesia berlaku
ketentuan
sebagaimana
diatur
dalam
Undang-Undang ini. (2)
Produk Halal, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak perlu diajukan permohonan Sertifikat Halalnya sepanjang Sertifikat Halal diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama saling pengakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2).
(3)
Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
diregistrasi
oleh
BPJPH
sebelum
Produk
diedarkan di Indonesia. (4)
Ketentuan
mengenai
tata
cara
registrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 48 (1)
Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa penarikan barang dari peredaran.
(2)
Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB VII PENGAWASAN Pasal 49 BPJPH melakukan pengawasan terhadap JPH.
Pasal 50 . . .
- 21 Pasal 50 Pengawasan JPH dilakukan terhadap: a.
LPH;
b.
masa berlaku Sertifikat Halal;
c.
kehalalan Produk;
d.
pencantuman Label Halal;
e.
pencantuman keterangan tidak halal;
f.
pemisahan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan,
penyimpanan,
pengemasan,
pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal; g.
keberadaan Penyelia Halal; dan/atau
h.
kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH. Pasal 51
(1)
BPJPH dan kementerian dan/atau lembaga terkait yang memiliki kewenangan pengawasan JPH dapat melakukan pengawasan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
(2)
Pengawasan JPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 52 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB . . .
- 22 BAB VIII PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 53 (1)
Masyarakat
dapat
berperan
serta
dalam
penyelenggaraan JPH. (2)
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a.
melakukan sosialisasi mengenai JPH; dan
b.
mengawasi Produk dan Produk Halal yang beredar.
(3)
Peran serta masyarakat berupa pengawasan Produk dan
Produk
dimaksud
Halal
pada
yang
ayat
(2)
beredar huruf
sebagaimana b
berbentuk
pengaduan atau pelaporan ke BPJPH. Pasal 54 BPJPH
dapat
memberikan
penghargaan
kepada
masyarakat yang berperan serta dalam penyelenggaraan JPH. Pasal 55 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dalam Peraturan Menteri. BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 56 Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 57 . . .
- 23 Pasal 57 Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH yang tidak menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 58 Sertifikat Halal yang telah ditetapkan oleh MUI sebelum Undang-Undang ini berlaku dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu Sertifikat Halal tersebut berakhir. Pasal 59` Sebelum BPJPH dibentuk, pengajuan permohonan atau perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan tata cara memperoleh Sertifikat Halal yang berlaku sebelum Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 60 MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi Halal sampai dengan BPJPH dibentuk. Pasal 61 LPH yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diakui sebagai LPH dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 13 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak BPJPH dibentuk. Pasal 62 . . .
- 24 Pasal 62 Auditor halal yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diakui sebagai Auditor Halal dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 14 dan Pasal 15 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 63 Penyelia Halal perusahaan yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diakui sebagai Penyelia Halal dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 28 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak UndangUndang ini diundangkan. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 64 BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 65 Peraturan
pelaksanaan
Undang-Undang
ini
harus
ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 66 . . .
- 25 Pasal 66 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan
Perundang-undangan
yang
mengatur
mengenai JPH dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UndangUndang ini.
Pasal 67 (1)
Kewajiban bersertifikat halal bagi Produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(2)
Sebelum kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku, jenis Produk yang bersertifikat halal diatur secara bertahap.
(3)
Ketentuan mengenai jenis Produk yang bersertifikat halal secara bertahap sebagaimana diatur pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 68
Undang-Undang diundangkan.
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
Agar . . .
- 26 Agar
setiap
orang
pengundangan penempatannya
mengetahuinya,
Undang-Undang dalam
Lembaran
memerintahkan ini Negara
dengan Republik
Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 2014 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 295
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL
I.
UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan
dan
jaminan
tentang
kehalalan
Produk
yang
dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Jaminan mengenai Produk Halal hendaknya dilakukan sesuai dengan asas pelindungan, keadilan,
kepastian
hukum,
akuntabilitas
dan
transparansi,
efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. Oleh karena itu, jaminan penyelenggaraan Produk Halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk
Halal
bagi
masyarakat
dalam
mengonsumsi
dan
menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal. Tujuan tersebut menjadi penting mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan, dan kosmetik berkembang sangat pesat. Hal itu berpengaruh secara nyata pada pergeseran pengolahan dan pemanfaatan bahan baku untuk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, serta Produk lainnya dari yang semula bersifat sederhana dan alamiah menjadi pengolahan . . .
-2pengolahan dan pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu pengetahuan. Pengolahan produk dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan percampuran antara yang halal dan yang haram baik disengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu, untuk mengetahui kehalalan dan kesucian suatu Produk, diperlukan suatu kajian khusus yang membutuhkan pengetahuan multidisiplin, seperti pengetahuan di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, dan pemahaman tentang syariat. Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya banyak Produk yang beredar
di
masyarakat
belum
semua
terjamin
kehalalannya.
Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dengan pengaturan Produk Halal belum memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat muslim. Oleh karena itu, pengaturan mengenai JPH perlu diatur dalam satu undang-undang yang secara komprehensif mencakup Produk yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, dan produk rekayasa genetik serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Pokok-pokok pengaturan dalam Undang-Undang ini antara lain adalah sebagai berikut. 1. Untuk menjamin ketersediaan Produk Halal, ditetapkan bahan produk yang dinyatakan halal, baik bahan yang berasal dari bahan baku hewan, tumbuhan, mikroba, maupun bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawai, proses biologi, atau proses rekayasa genetik. Di samping itu, ditentukan pula PPH yang merupakan rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk
yang
mencakup
penyediaan
bahan,
pengolahan,
penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.
2. Undang . . .
-32. Undang-Undang ini mengatur hak dan kewajiban Pelaku Usaha dengan memberikan pengecualian terhadap Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada kemasan Produk atau pada bagian tertentu dari Produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Produk. 3. Dalam
rangka
bertanggung
memberikan
jawab
dalam
pelayanan
publik,
menyelenggarakan
Pemerintah JPH
yang
pelaksanaannya dilakukan oleh BPJPH. Dalam menjalankan wewenangnya,
BPJH
bekerja
sama
dengan
kementerian
dan/atau lembaga terkait, MUI, dan LPH. 4. Tata cara memperoleh Sertifikat Halal diawali dengan pengajuan permohonan Sertifikat Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH. Selanjutnya,
BPJPH
melakukan
pemeriksaan
kelengkapan
dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh LPH. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi dari BPJH yang bekerjasama dengan MUI. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI dalam
bentuk
keputusan
ditandatangani oleh MUI.
Penetapan
Halal
Produk
yang
BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal
berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI tersebut. 5. Biaya sertifikasi halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan memperlancar
permohonan pelaksanaan
Sertifikat
Halal.
penyelenggaraan
Dalam JPH,
rangka Undang-
Undang ini memberikan peran bagi pihak lain seperti Pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah, perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan komunitas untuk memfasilitasi biaya sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil.
6. Dalam . . .
-46. Dalam rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan JPH, BPJPH melakukan pengawasan terhadap LPH; masa berlaku Sertifikat Halal; kehalalan Produk; pencantuman Label Halal; pencantuman keterangan tidak halal; pemisahan lokasi, tempat dan
alat
pengolahan,
penyimpanan,
pengemasan,
pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal; keberadaan Penyelia Halal; dan/atau kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH. 7. Untuk
menjamin
penegakan hukum terhadap pelanggaran
Undang-Undang ini, ditetapkan sanksi administratif dan sanksi pidana. II.
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan asas “pelindungan” adalah bahwa dalam
menyelenggarakan
JPH
bertujuan
melindungi
masyarakat muslim. Huruf b Yang dimaksud dengan asas “keadilan” adalah bahwa dalam penyelenggaraan JPH harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. Huruf c Yang dimaksud dengan asas “kepastian hukum” adalah bahwa
penyelenggaraan
JPH
bertujuan
memberikan
kepastian hukum mengenai kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal.
Huruf d . . .
-5Huruf d Yang
dimaksud
dengan
asas
“akuntabilitas
dan
transparansi” adalah bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari
kegiatan
penyelenggaraan
dipertanggungjawabkan pemegang
kedaulatan
kepada tertinggi
JPH
harus
masyarakat negara
sesuai
dapat sebagai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf e Yang dimaksud dengan asas “efektivitas dan efisiensi” adalah bahwa penyelenggaraan JPH dilakukan dengan berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna serta meminimalisasi penggunaan sumber daya yang dilakukan dengan cara cepat, sederhana, dan biaya ringan atau terjangkau. Huruf f Yang dimaksud dengan asas “profesionalitas” adalah bahwa penyelenggaraan JPH dilakukan dengan mengutamakan keahlian yang berdasarkan kompetensi dan kode etik. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas.
Pasal 7 . . .
-6Pasal 7 Huruf a Kementerian
dan/atau
lembaga
terkait
antara
lain
kementerian dan/atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, perdagangan, kesehatan, pertanian, standardisasi dan akreditasi, koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, serta pengawasan obat dan makanan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 8 Bentuk
kerja
sama
BPJPH
dengan
kementerian
yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian misalnya dalam hal pengaturan serta pembinaan dan pengawasan industri terkait dengan bahan baku dan bahan tambahan pangan yang digunakan untuk menghasilkan Produk Halal. Bentuk
kerja
sama
BPJPH
dengan
kementerian
yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan misalnya
dalam
pembinaan
kepada
Pelaku
Usaha
dan
masyarakat, pengawasan Produk Halal yang beredar di pasar, serta perluasan akses pasar. Bentuk
kerja
sama
BPJPH
dengan
kementerian
yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan misalnya dalam hal penetapan cara produksi serta cara distribusi obat, termasuk vaksin, obat tradisional, kosmetik, alat kesehatan, perbekalan kesehatan rumah tangga, makanan, dan minuman.
Bentuk . . .
-7Bentuk
kerja
sama
BPJPH
dengan
kementerian
yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian misalnya
dalam
hewan/unggas
hal dan
penetapan unit
persyaratan
potong
rumah
hewan/unggas,
potong
pedoman
pemotongan hewan/unggas dan penanganan daging hewan serta hasil ikutannya, pedoman sertifikasi kontrol veteriner pada unit usaha pangan asal hewan, dan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan hasil pertanian. Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang standardisasi dan
akreditasi
pemeriksaan,
misalnya
pengujian,
dalam
auditor,
hal
persyaratan
lembaga
untuk
pemeriksa,
dan
lembaga sertifikasi dalam sistem JPH sesuai dengan standar yang ditetapkan. Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi, usaha
mikro,
kecil,
dan
menengah
misalnya
dalam
hal
menyiapkan Pelaku Usaha mikro dan kecil dalam sosialisasi dan pendampingan sertifikasi kehalalan Produk. Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan misalnya dalam hal pengawasan produk pangan, obat, dan kosmetik dalam dan luar negeri yang diregistrasi dan disertifikasi halal. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 . . .
-8Pasal 12 Ayat (1) LPH yang didirikan pemerintah antara lain LPH yang didirikan oleh kementerian dan/atau lembaga atau LPH yang didirikan oleh perguruan tinggi negeri. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas.
Pasal 21 . . .
-9Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “keterangan tidak halal” adalah pernyataan
tidak
halal
yang
merupakan
bagian
tidak
terpisahkan dari Produk. Keterangan dapat berupa gambar, tanda, dan/atau tulisan. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas.
Pasal 29 . . .
- 10 Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas.
Pasal 39 . . .
- 11 Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kriteria “usaha mikro dan kecil” didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang usaha mikro dan kecil. Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain Pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah, perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan komunitas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 45 . . .
- 12 Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 13 Huruf b Pengawasan Produk dan Produk Halal yang beredar antara
lain
Sertifikat
pengawasan
Halal,
terhadap
pencantuman
masa
Label
berlaku
Halal
atau
keterangan tidak halal, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas.
Pasal 61 . . .
- 14 Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5604