Langkah-Langkah Reformasi Menuju Transformasi
BAB
V
LANGKAH-LANGKAH REFORMASI MENUJU TRANSFORMASI KRISTALISASI PEMIKIRAN
6
ektor pertanian Indonesia saat ini berada dalam kondisi kritis yang apabila kecenderungan tersebut dibiarkan akan menyebabkan krisis yang lebih parah dimasa yang akan datang. Situasi tersebut dicerminkan oleh: (a) degradasi sumber daya lahan dan air, (b) konversi lahan pertanian ke non-pertanian yang terus berlangsung hingga saat ini, (c) waduk dan jaringan irigasi banyak mengalami kerusakan dan fungsinya semakin menurun, (d) penguasaan lahan masih didominasi oleh petani skala gurem, (e) pangsa pendapatan rumah tangga dari usaha pertanian semakin berkurang, (f) minat generasi muda untuk bekerja di usaha pertanian berkurang, (g) otonomi daerah semakin meminggirkan sektor pertanian, (h) produk hukum yang mengatur sektor pertanian semakin banyak namun kurang bersinergi, (i) lembaga riset pertanian pemerintah mengalami sindrom “banyak tapi sedikit” (teknologi banyak dihasilkan namun sedikit yang diadopsi pengguna), dan (j) keterpaduan program (baik di dalam Kementerian Pertanian maupun antar kementerian/lembaga non-kementerian) belum terwujud dengan baik. Kompleksitas tantangan pembangunan pertanian ke depan akan semakin bertambah apabila dinamika lingkungan strategis, khususnya yang bersifat global, juga kita cermati, seperti: (a) dinamika perubahan iklim yang masih sulit di prediksi, (b) perubahan preferensi konsumen yang mengarah pada pangan fungsional dan aman
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
563
Langkah-Langkah Reformasi Menuju Transformasi
dikonsumsi, (c) implementasi sertifikasi Praktek Pertanian yang Baik (Good Agricultural Practices-GAP) yang semakin meluas namun menghadapi berbagai kendala, (d) tuntutan budidaya pertanian ramah lingkungan yang semakin meningkat, (e) implementasi kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MAE) 2015, (f) perubahan kebijakan pengelolaan pangan dengan kecenderungan pengutamaan pengamanan ketersediaan pangan domestik, (g) fenomena peningkatan jumlah penduduk berpendapatan menengah yang mendorong perubahan pola konsumsi pangan yang belum dapat didukung oleh kemampuan petani dalam penyediaannya, dan (h) fenomena land grabbing generasi kedua. Perkembangan yang terjadi dewasa ini dengan berbagai persoalan seperti yang disebutkan diatas tidak dengan sendirinya muncul tetapi merupakan resultante dari berbagai faktor yang saling terkait satu dengan lainnya yang disebabkan oleh warisan politik masa lalu, maupun kebijakan-kebijakan kontemporer yang tidak mendukung keberlanjutan pembangunan, dan tantangan yang dihadapi dalam memenuhi visi pembangunan pertanian di masa yang akan datang. Ada tiga isu yang telah diulas dalam buku ini yang mencakup (1) politik pertanian dari perspektif sejarah, politik pertanian masa depan, dan pergeseran paradigma dan kecenderungan politik, (2) Manajemen dan kinerja pembangunan pertanian, dan (3) pendekatan pembangunan dan sumber daya pertanian. Pokok-pokok bahasan yang dituangkan menurut tiga komponen isu tersebut mencerminkan kristalisasi pemikiran yamg muncul pada setiap komponen dan selanjutnya dijadikan acuan dalam menetapkan langkah-langkah reformasi menunjang transformasi pembangunan pertanian jangka panjang.
Politik Pertanian Perkembangan sejarah politik pertanian di Indonesia sejak era VOC hingga saat ini telah memberikan beberapa pembelajaran penting. Pertama, tekanan politik dapat merubah politik dan kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, politik tanam paksa (cultuurstelsel) pada 1830 dilatarbelakangi tekanan politik untuk mengatasi kerugian yang disebabkan oleh peperangan; dan politik agraria (Agrarische Wet) pada 1870 dilatarbelakangi oleh tekanan pengusaha swasta untuk dapat membangun bisnis pertanian di wilayah koloni. Kedua, suatu keputusan politik akan mempunyai dampak jangka panjang (tidak hanya pada kurun waktu politik tersebut dilaksanakan). Untuk itu, penetapan politik dan kebijakan pembangunan pertanian harus mempertimbangkan dampak jangka pendek dan panjang, baik positif maupun negatif. Ketiga, berakhirnya suatu kebijakan selalu dilengkapi dengan upaya reformasi yang diperlukan untuk mendukung kebijakan selanjutnya. Keempat, adanya pengulangan kebijakan yang sama, namun dengan modus yang berbeda. Sebagai contoh, land grabbing pada era Hindia Belanda terjadi karena kolonialisme; dan saat ini terulang kembali melalui pembukaan investasi asing secara besar-besaran untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit dan karet di Indonesia.
564
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Langkah-Langkah Reformasi Menuju Transformasi
Berbagai kebijakan pertanian yang pernah ditetapkan pemerintah Hindia Belanda seperti tanam paksa, pelibatan swasta dalam usaha pertanian, dan politik Etika (ethische politiek) yang terdiri atas irigasi, edukasi (termasuk penyuluhan), dan migrasi (transmigrasi); telah meninggalkan warisan pembelajaran yang sangat penting untuk digunakan sebagai bahan penyusunan agenda reformasi pembangunan pertanian ke depan. Politik pembangunan pertanian ke depan yang diusulkan adalah politik etika generasi kedua yang memberikan penekanan dan lingkup kebijakan yang lebih luas dibandingkan dengan politik etika generasi pertama. Sebagai contoh, kegiatan penyuluhan yang selama ini cenderung instruktif perlu diubah menjadi lebih persuasif, dan pendekatan komoditas diubah ke arah pendekatan wilayah. Lingkup materi penyuluhannya juga diperluas tidak hanya aspek teknologi, namun juga mencakup aspek sosial ekonomi. Reformasi politik pertanian Indonesia harus mendasarkan pada UUD 1945, khususnya pasal 33 ayat 3 yang berbunyi: “Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”; dan ayat 4 yang berbunyi: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Dengan mendasarkan pada UUD 1945 tersebut, aspek yang dicakup dalam reformasi politik pertanian antara lain: (a) sumber daya lahan dan air, (b) sistem budidaya tanaman, (c) perlindungan/kesehatan tanaman/ternak, (d) panen, pasca panen dan pengolahan hasil, (e) penggunaan energi, penanganan limbah, dan sistem sertifikasi; serta (f)Biodiversities (Wildlife) dan penataan tata ruang (Landscape). Pembangunan pertanian yang menekankan pada target produksi, pada umumnya kurang memperhatikan pemeliharaan dan pelestarian sumber daya lahan pertanian. Pertanian modern ekologis dan berkelanjutan adalah pertanian modern yang mengintegrasikan teknologi produksi maju adaptif yang produktif dan efisien dengan tindakan pelestarian lingkungan dan sumber daya lahan pertanian guna menjamin keberlanjutan sistem produksi. Berbagai konsep tentang pertanian ekologis dan konservasif telah tersedia, namun perlu kesepakatan perumusan nasional agar dapat dioperasionalkan. Salah satu konsep pertanian ekologis dan konservasif yang ditawarkan adalah sistem pertanian modern, ekologis, dan berkelanjutan. Konsep ini perlu dikedepankan untuk merespon tekanan sumber daya alam (lahan dan air) yang semakin besar akibat jumlah penduduk yang terus bertambah dan sektor ekonomi yang terus bertumbuh. Kombinasi keduanya telah meningkatkan kompetisi penggunaan sumber daya lahan dan air antara sektor pertanian, industri, perumahan, dan infrastruktur. Kondisi ini tentu akan sangat mengancam pertumbuhan usaha pertanian yang berkelanjutan. Sistem pertanian modern, ekologis, dan berkelanjutan dapat diimplementasikan melalui konsep Program Intensifikasi Baru (PIB). Penerapan PIB dilakukan melalui dua tahapan, yaitu (1) tahapan penyuluhan untuk penyadaran dan peningkatan pemahaman oleh petani, agar PIB dapat diadopsi secara sadar dan
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
565
Langkah-Langkah Reformasi Menuju Transformasi
sukarela dan (2) penerapan sistem sertifikasi proses produksi yang sesuai dengan ketentuan Good Agriculture Practices (GAP). Komponen PIB mengadopsi Teknologi Revolusi Hijau Lestari, yaitu: (i) pengembalian limbah hasil panenke dalam tanah dan/atau penambahan pupuk organik secara teratur setiap musim tanam, (ii) rotasi pertanaman, (iii) sanitasi lahan dan lingkungan dari tanaman inang hama-penyakit, (iv) penanaman varietas unggul yang adaptif lokasi dan musim spesifik, serta berbeda antar wilayah, (v) usahatani polikultur atau mix farming, tanaman, ternak, ikan, (vi) monitoring kandungan haratanah, guna menentukan dosis pupuk optimal sesuai target produksi, (vii) pengelolaan lingkungan yang mendasarkan pada keseimbangan ekologis biota (PHT), (viii) mencegah cemaran limbah kimiawi dan fisik lahan, (ix) pemeliharaan, penyediaan sumber pengairan dan prasarana irigasi, serta pemanfaatan air secara efisien. Konsep pertanian ekologis dan konservasif yang lain adalah Sistem PertanianBioindustri Berkelanjutan. Pemikiran sistemik dari perspektif Sistem PertanianBioindustri Berkelanjutan ialah bagaimana memperoleh sebesar-besarnya energi elektro magnetik matahari yang tersedia melimpah di Indonesia sebagai kawasan tropik melalui pertanian. Tumbuhan adalah adalah organisme yang mampu mentransformasi energi elektromagnetik matahari menjadi energi kimiawi dalam biomassanya dengan menggunakan air, karbon dioksida dan zat hara melalui proses fotosintesa. Biomassa tanaman itulah selanjutnya menjadi sumber energi atau makanan bagi organisme lainnya dalam komponen sub-sistem pertanian. Selain diproses dalam jejaring rantai makanan sub-sistem pertanian, sebagian biomassa dialirkan ke subsistem bioindustri untuk diolah menjadi beragam produk pangan, pakan, energi, pupuk, pestisida dan bioproduk bernilai tinggi lainnya. Pakan, pupuk, pestisida dan energi selanjutnya di daur ulang ke sub-sistem pertanian. Dengan demikian terciptalah suatu sistem siklus tertutup antara sub-sistem pertanian dan subsistem bioindustri. Prinsip dasar proses produksi yang dipandang sesuai untuk mewujudkan sistem pertanian-bioindustri berkelanjutan itu ialah: (a) mengurangi input eksternal tanpa berdampak pada pengurangan, atau bahkan dapat meningkatkan produksi (Reduce), (b)menggunakan ulang sisa proses atau hasil ikutan produksi (Reuse) (c) mendaur ulang produk akhir, sisa, dan/atau bekas pakai produk akhir (Recycle). Prinsip pertama merupakan kunci untuk peningkatan efisiensi dan nilai tambah ekonomi. Prinsip kedua juga bermanfaat untuk peningkatan nilai tambah ekonomi, namun utamanya dimaksudkan untuk mengurangi eksternalitas negatif terhadap lingkungan. Prinsip ketiga utamanya dimaksudkan untuk menciptakan siklus bio-geokimia tertutup dalam rangka mengurangi kebocoran hara. Prinsip ketiga inilah penentu keberlanjutan jangka panjang kemandirian dalam menghasilkan feedstock atau input primer.
566
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Langkah-Langkah Reformasi Menuju Transformasi
Manajemen dan kinerja Pembangunan Pertanian Salah satu reformasi penting yang terjadi pada era Reformasi adalah perubahan manajemen pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik melalui otonomi daerah. Perubahan manajemen pemerintahan tersebut ternyata membutuhkan masa transisi yang relatif lama untuk mengkondisikan terjadinya proses pembangunan spesifik wilayah yang mampu memberikan kesejahteraan masyarakatnya dengan lebih baik. Dari berbagai sektor ekonomi, sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang masih mencari bentuk manajemen pengelolaan yang paling optimal untuk mensinergikan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah serta antar pemangku kepentingan di daerah. Untuk itu, berbeda dengan proses penyusunan kebijakan pembangunan pertanian dan manajemennya di masa lalu, paradigma yang harus dianut masa ini adalah paradigma grass-root approach dengan mengacu pada kebijakan makro yang berfungsi sebagai kebijakan payung yang dalam implementasinya memiliki fleksibilitas sesuai dengan kondisi lingkungan strategis yang bersifat spesifik lokasi. Upaya pelibatan kelompok pemangku kepentingan pembangunan sektor hendaknya dilakukan secara proporsional, namun mampu memberikan masukan yang bersifat aspiratif. Salah satu fenomena menarik pada era Reformasi adalah banyaknya produk hukum Undang-Undang (UU) yang terkait dengan sektor pertanian yang ditetapkan pemerintah. Idealnya penetapan berbagai UU tersebut semakin memperkuat pertumbuhan sektor pertanian, namun yang terjadi justru sebaliknya. Sebagai contoh, penetapan UU untuk masing-masing subsektor pertanian (Hortikultura, Perkebunan, dan Peternakan) faktanya tidak mudah diimplementasikan, dan bahkan semakin memperkuat terjadinya ego sektoral. Contoh lain kurang bersinerginya UU sektor pertanian dengan UU sektor yang lain adalah antara UU No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan dan UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Ketidakselarasan antara kedua UU sektor pertanian dengan UU Pemerintah Daerah telah mengakibatkan revitalisasi penyuluhan berjalan lamban dan lahan pertanian beririgasi banyak dikorbankan demi atas nama pembangunan daerah. Untuk itu, perlu ada upaya penyelerasan, baik dalam bentuk amandemen maupun penghapusan, terhadap berbagai UU yang ada saat ini. Dalam era otonomi sekarang ini, pembangunan wilayah menjadi penting sehingga diperlukan pendekatan pembangunan terpadu dan terintegrasi. Kondisi seperti ini menuntut sikap akomodatif sektor dalam mengejar tujuan yang sama: pembangunan wilayah otonom secara berimbang antar sektor dan kelembagaan. Dalam hal ini diperlukan integrasi paradigma kebijakan pembangunan ke dalam konteks otonomi daerah dengan memanfaatkan seluruh celah peluang, antara lain kondisi lingkungan sosial (social atmosphere) dan tatanan sosial (social setting) kemasyarakatan, kondisi kelembagaan norma dan etika hubungan kerja, serta eksistensi kelembagaan tata peraturan dan hukum formal. Terkait dengan pelibatan pemangku kepentingan dalam proses merancang kebijakan reformatif, perlu dilakukan pentahapan dalam fase-fase berikut: (a) tahap inventing yang bersifat deskriptif atau
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
567
Langkah-Langkah Reformasi Menuju Transformasi
diagnostik, dan merupakan tahap inventori dan identifikasi sumber daya dan permasalahan, (b) fase pengembangan rancangan kebijakan, dan (c) tahap fine tuning (penyesuaian) setiap tindakan yang diarahkan pada pencapaian sasaran dan tujuan. Hasil kajian secara mendalam menunjukkan bahwa kinerja pembangunan pertanian selama periode 2004-2014 semakin menurun. Penyebabnya antara lain: (a) lemahnya perencanaan atau “organisasi perencana kurang mumpuni”, (b) kurangnya dukungan data dan informasi statistik yang reliable dan relevan, (c) tujuan kurang realistis dan sesuai kondisi spesifik wilayah, (d) sasaran dan prioritas tidak ditetapkan berdasarkan skala pencapaian tujuan dan waktu, (e) lemahnya mobilisasi sumber daya, (f) sistem administrasi kurang efisien dan efektif, (g) perencanaan dan implementasi tidak didasarkan atas kebijakan pembangunan yang tepat, (h) lemahnya kompetensi sumber daya manusia dalam perencanaan pembangunan pertanian Analisis lebih mendalam terhadap kurang optimalnya perencanaan pembangunan pertanian yang disinyalir sebagai salah satu penyebab utama menurunnya kinerja pembangunan pertanian; disebabkan antara lain: (a) dokumen perencanaan umumnya merupakan dokumen politik mengenai cita-cita pembangunan yang dikehendaki atau yang diinginkan dan bukan seharusnya, (b) kurang terjalinnya hubungan dan koordinasi antara penyusun rencana dengan pelaksana, (c) adanya kepentingan pihak tertentu yang mempengaruhi penetapan alternatif program dan kegiatan, sehingga seringkali cenderung menguntungkan pihak tertentu, (d) dokumen perencanaan kurang memanfaatkan data statistik, hasil penelitian, dan informasi lain yang relevan, (e) kapasitas SDM perencanaan masih perlu ditingkatkan, (f) belum dimanfaatkannya secara optimal berbagai teknik perencanaan untuk mengatasi kompleksitas proses perencanaan, dan (g) birokrasi pemerintahan masih merupakan kendala untuk menghasilkan perencanaan pembangunan yang baik. Untuk mengatasi penurunan kinerja pembangunan pertanian, diusulkan suatu program pembangunan pertanian dengan pendekatan kawasan. Ada dua pola dasar pengembangan kawasan pertanian yang ditawarkan. Pertama, pola pengembangan kawasan yang sudah ada (existing). Pola ini ditujukan bagi kawasan pertanian yang sudah ada dan berkembang, untuk memperluas skala produksi, serta melengkapi/memperkuat simpul-simpul agribisnis yang belum berfungsi optimal. Kedua, pola pengembangan kawasan baru. Pola ini ditujukan untuk kawasan komoditas unggulan pada wilayah baru/potensial yang belum dikembangkan. Pengembangan kawasan pertanian dilaksanakan melalui pentahapan sebagai berikut: (a) fase start-up, (b) fase pilot atau percontohan, dan (c) fase diffusi atau perluasan dan pengembangan. Salah satu penyebab keterpurukan sektor pertanian Indonesia adalah kurang optimalnya pengembangan nilai tambah produk pertanian. Ketidakoptimalan tersebut disebabkan karena kemampuan yang rendah dalam melakukan transformasi produk (diindikasikan oleh masih dominannya ekspor produk pertanian berupa bahan mentah). Untuk itu, pengolahan lanjutan menjadi tuntutan bagi perkembangan industri pengolahan hasil pertanian. Teknologi yang digolongkan sebagai teknologi industri pengolahan hasil pertanian juga sangat beragam dan sangat luas yang mencakup
568
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Langkah-Langkah Reformasi Menuju Transformasi
teknologi perlakuan pascapanen (post harvest handling) dan teknologi pengolahan (processing/manufacturing). Perlakuan pascapanen meliputi: pembersihan, pengeringan, sortasi dan pengeringan berdasarkan mutu, pengemasan, penyimpanan, pemotongan/pengirisan, penghilangan biji, pengupasan dan lain-lain. Pengolahan menengah mencakup transformasi fisik antara lain: fermentasi, oksidasi, ekstraksi buah, ekstraksi rempah, distilasi dan lain-lain. Pengolahan lanjutan meliputi transformasi fisik dan kimiawi bentuk aseli dan sifat kimiawi telah mengalami perubahan secara signifikan. Secara ringkas, strategi peningkatan nilai tambah produk pertanian memerlukan keterpaduan dan sinergi kebijakan mulai hulu (penyediaan bahan baku), industri pengolahan, dan hilir (pemasaran). Penyebab keterpurukan sektor pertanian yang penting untuk diperhatikan adalah konversi lahan pertanian ke non-pertanian. Laju alih fungsi lahan pertanian hingga saat terus berlangsung meskipun sejumlah produk hukum sudah diterbitkan, seperti UU No. 26/2006 tentang Penataan Ruang, UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan PP No. 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Kemandulan berbagai produk hukum tersebut antara lain disebabkan karena kurang sejalan dengan produk hukum lainnya, seperti UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah, dimana para pemimpin daerah cenderung mengedepankan upaya-upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah dengan mengorbankan lahan pertanian pangan beririgasi yang produktif. Untuk itu, pengendalian alih fungsi lahan pertanian sebaiknya diawali dengan kejelasan kebijakan pembangunan ekonomi daerah dengan memerhatikan penataan ruang dan mengacu pada peraturan serta ketentuan yang berlaku yang selaras dan bersifat harmonis antara peraturan di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Efektifitas pengendalian lahan pertanian juga perlu diimbangi oleh program pembangunan ekonomi di daerah yang bersifat integratif diantara sektor-sektor ekonomi dan memperhitungkan dampak yang ditimbulkannya. Optimalisasi kebijakan perdagangan juga merupakan salah satu instrumen yang efektif untuk mendorong pengembangan sektor pertanian. Oleh karena Indonesia sudah meratifikasi kesepakatan liberalisasi perdagangan, maka kebijakan perwujudan ketahanan pangan diupayakan tidak melanggar ketentuan WTO. Aturan WTO tidak melarang negara anggota untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan nasional. Terkait dengan WTO, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah perlindungan dan pemberdayaan petani haruslah diarahkan untuk memfasilitasi petani agar dapat berproduksi secara efisien dan berdaya-saing. Untuk itu, kita perlu lebih serius dan konsisten dalam upaya peningkatkan efisiensi, produktivitas dan daya saing produk pangan. Kebijakan peningkatan pangan perlu terus didorong melalui intensifikasi dan ekstensifikasi, dan untuk meminimalkan gejolak harga pangan pemerintah perlu meningkatkan peran BULOG dan mengefektifkan instrumen perdagangan, seperti misalnya sistem resi gudang (SRG). Upaya perbaikan manajemen pembangunan pertanian, dengan mengambil contoh usaha peternakan sapi perah, dapat dilakukan dengan memperhatikan faktorfaktor pemicu daya saing pengembangan sapi perah di Indonesia, seperti teknologi,
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
569
Langkah-Langkah Reformasi Menuju Transformasi
produktivitas, struktur harga dan biaya input, struktur industri, serta jumlah susu dan produk turunan yang diminta, baik susu domestik maupun impor. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi: (a) faktor yang dapat dikendalikan oleh unit usaha, seperti strategi produk, teknologi, pelatihan, biaya penelitian dan pengembangan, (b) faktor yang dapat dikendalikan oleh pemerintah, seperti lingkungan bisnis (pajak, suku bunga, nilai tukar uang), kebijakan perdagangan, kebijakan penelitian dan pengembangan, pendidikan, pelatihan dan regulasi, (c) faktor semi terkendali, seperti kebijakan harga input dan kuantitas permintaan domestik dan impor, dan (d) faktor yang tidak dapat dikendalikan, seperti lingkungan alam. Jika pemerintah mampu memperbaiki faktor-faktor pemicu tersebut diatas, diharapkan komoditas susu lokal dapat berkembang sebagai komoditas subsitusi susu impor. Salah satu aspek penting terkait dengan upaya perbaikan manajemen pembangunan pertanian adalah membangun sinergi kebijakan dan program dengan kementerian/ lembaga non-kementerian terkait. Salah satu upaya yang perlu dirintis adalah sinergi kebijakan sektor pertanian dan kehutanan. Inisiasi yang dapat dilakukan adalah melalui sinergi pengelolaan kehutanan dengan pertanian, seperti: (a) pengembangan pengelolaan hutan bersama masyarakat pada hutan tanaman industri, (b) hutan tanaman rakyat, pada hutan tanaman industri, (c) hutan Desa, hutan yang dikelola oleh desa atau lembaga yang ditunjuk oleh desa. Upaya ini dapat dijadikan sebagai salah satu solusi mengatasi keterbatasan lahan yang dapat diusahakan untuk mengembangkan produk pertanian.
Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian Pendekatan pembangunan yang dibahas mencakup upaya-upaya memperkuat pendekatan wilayah yang direfleksikan oleh otonomi daerah dengan menterjemahkan pendekatan sektor yang dicerminkan oleh perencanaan yang selama ini dilakukan di tingkat pusat melalui upaya harmonisasi perencanaan baik dalam upaya melaksanakan tujuan pembangunan dalam melaksanakan komitmen internasional seperti MDG maupun dalam memperkuat kemandirian pangan nasional. Pendekatan wilayah juga perlu didukung melalui upaya memperkuat kelembagaan dan sumber daya pertanian seperti kelembagaan penyuluhan, dan pengelolaan sumber daya lahan dan air. Demikian pula kemampuan inovasi melalui penguatan sistem penelitian diperlukan untuk meningkatkan kompetensi dalam proses pembelajaran yang bersifat antisipatif dalam menghadapi berbagai perubahan yang terjadi yang apabila tidak diantisipasi dengan baik dapat menyebabkan berbagai krisis di masa yang akan datang.
Pembangunan Wilayah dan Sektor Pertanian Salah satu program pembangunan yang menjadi komitmen internasional, yaitu Millenium Development Goals (MDGs) dalam operasionalisasinya sangat terkait erat dengan sektor pertanian. Hal in tidak terlepas dari tujuan utama MDGs (setelah tahun 2015 dilanjutkan dengan Sustainable Developments Goals-SDGs) yang berupaya
570
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Langkah-Langkah Reformasi Menuju Transformasi
mengurangi jumlah penduduk miskin dan kelaparan. Pembangunan sektor pertanian dipandang merupakan salah satu kunci sukses pencapaian MDGs dan SDGs dalam mengatasi kemiskinan dan kelaparan, karena: (a) sebagian besar penduduk miskin (hampir 2/3) menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian, (b) ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan kerawanan pangan, (c) perubahan iklim merupakan tantangan terbesar sektor pertanian, sehingga penurunan produksi bahan pangan akan berkorelasi langsung dengan peningkatan jumlah penduduk miskin dan ancaman kelaparan, dan (d) sektor pertanian masih menjadi penyumbang terbesar kedua dalam pembentukan PDB, meskipun pangsanya cenderung menurun. Untuk meningkatkan peran sektor pertanian dalam pencapaian MDGs dapat dilakukan melalui kebijakan, seperti: (a) rehabilitasi dan perluasan lahan pertanian, (b) perbaikan infrastruktur fisik dan pengelolaan sistem irigasi pedesaan, (c) percepatan dan perluasan aplikasi teknologi adaptif terhadap iklim ekstrim melalui penerapan pola tanam dan sistem budidaya berwawasan lingkungan, dan (d) perbaikan sistem tataniaga pertanian. Namun demikian, berbagai kebijakan tersebut dalam implementasinya seringkali menghadapi kendala, dan salah satunya terkait dengan otonomi daerah. Permasalahan utama yang terkait dengan otonomi daerah adalah sulitnya melakukan koordinasi dan harmonisasi kebijakan pembangunan, termasuk perwujudan ketahanan pangan, antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Upaya strategis penyelarasan kebijakan ketahanan pangan nasional dan daerah dapat dilakukan melalui: (a) peningkatan pemahaman pimpinan dan aparat Pemda tentang pentingnya ketahanan pangan sebagai urusan wajib, (b) komitmen politik Pemda untuk memberikan prioritas bagi pembangunan ketahanan pangan, (c) meningkatkan kapasitas kelembagaan ketahanan pangan, (d) koordinasi dan sinkronisasi kebijakan ketahanan pangan daerah secara vertikal maupun horizontal, (e) menerapkan prinsip good governance, dan (f) pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara berjenjang dari pusat sampai ke daerah. Aspek pembangunan yang perlu mendapatkan prioritas dalam pembangunan ketahanan pangan di daerah adalah: (a) meningkatkan kapasitas produksi dan infrastruktur pertanian, termasuk alih fungsi lahan pertanian, (b) ketersediaan dan distribusi aset produktif, serta akses petani terhadap lahan dan sumber daya air, (c) meningkatkan produktivitas pangan dan sistem distribusinya, (d) diversifikasi usaha pertanian dan pengolahan pangan lokal, (e) meningkatkan peran sektor swasta dalam kegiatan riset maupun pengembangan infrastruktur, dan (f) transformasi struktural investasi dan pembangunan di desa dan kota. Salah satu penyebab sektor pertanian semakin terpinggirkan di era otonomi daerah adalah adanya klausul yang menempatkan posisi pertanian pada urusan pilihan pemerintah daerah bersama dengan urusan pembangunan ekonomi masyarakat. Kondisi ini menjadikan Pemerintah Pusat (Kementerian Pertanian) terlihat gamang dan ragu terhadap program pembangunan pertanian yang sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah, khususnya terkait bagaimana mengamankan pencapaian targettarget nasional. Ketidak-percayaan ini menimbulkan dampak terhadap intervensi
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
571
Langkah-Langkah Reformasi Menuju Transformasi
program pusat menjadi masih dominan. Di sisi lain Pemerintah Daerah seakan juga belum mau sepenuhnya mengambil tanggung jawab pelaksanaan pembangunan pertanian (diindikasikan oleh alokasi anggaran sektor pertanian yang relatif sangat kecil (sekitar 2%)). Untuk itu perlu dilakukan perubahan yang mendasar hingga pada tataran operasionalnya untuk beberapa aspek berikut: (a) perlu dilakukan reposisi pengelolaan pembangunan pertanian, dimana Pemerintah Pusat diberi kewenangan penuh untuk mengembangkan komoditas strategis, sementara pemerintah daerah fokus pada optimalisasi pemanfaatan sumber daya spesifik lokasi, (b) pemilahan tanggung jawab dan kewenangan yang jelas antara pusat dan daerah untuk mempermudah penyusunan dan pelaksanaan program, (c) pendekatan pembangunan pertanian perlu dirubah ke arah pemanfaatan sumber daya pertanian secara menyeluruh, (d) perlu disusunmasterplan dan roadmap pembangunan pertanian nasional dan daerah yang terintegrasi untuk dijadikan pedoman pelaksanaan pembangunan pertanian, (e) meningkatkan efektivitas penggunaan anggaran, baik pemerintah pusat maupun daerah, melalui sinergi perencanaan dan implementasi program pemerintah pusat dan daerah. Permasalahan klasik pembangunan ekonomi di banyak negara berkembang adalah terjadinya bias pembangunan yang lebih memperhatikan wilayah perkotaan dibandingkan perdesaan. Akibatnya, fenomena migrasi akibat daya tarik wilayah perkotaan semakin meningkat, disamping adanya faktor pendorong di perdesaan yang semakin sulit untuk mencari lapangan pekerjaan. Migrasi dari desa ke kota selama ini dinilai lebih banyak menimbulkan dampak negatif dibandingkan positifnya. Dengan kualitas sumber daya manusia yang relatif rendah, kaum migran umumnya akan berkutat pada pekerjaan informal dengan upah rendah, sehingga dalam jangka panjang justru menciptakan daerah kumuh dan kantong kemiskinan baru di perkotaan. Untuk itu perlu diciptakan upaya pembangunan wilayah perdesaan yang terintegrasi dengan wilayah perkotaan. Integrasi yang dimaksudkan adalah dengan tetap menjadikan wilayah perdesaan sebagai pemasok produk pertanian namun dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai; sementara wilayah perkotaan tetap dijadikan sebagai konsumen produk pertanian yang dihasilkan wilayah perdesaan.
Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian Pembangunan pertanian secara berkelanjutan memerlukan dukungan pengelolaan sumber daya pertanian dan kelembagaan pertanian yang baik. Kelembagaan yang strategis dalam mendukung pembangunan pertanian adalah kelembagaan penyuluhan dan pembiayaan pertanian. Kelembagaan penyuluhan sangat penting karena terkait dengan sistem inovasi nasional, karena berfungsi menjembatani antara lembaga riset dengan pengguna. Sementara kelembagaan pembiayaan pertanian berperan penting untuk mendorong terjadinya adopsi teknologi pertanian, sehingga upaya peningkatan produksi pertanian dapat berlangsung secara
572
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Langkah-Langkah Reformasi Menuju Transformasi
berkelanjutan. Untuk itu reformasi dan revitalisasi kedua kelembagaan ini adalah suatu keniscayaan dalam strategi pembangunan pertanian berkelanjutan. Kelembagaan penyuluhan pertanian yang mengalami masa keemasan pada era Bimas (khususnya periode 1970-1980); sejak pertengahan 1980an mengalami kemunduran dan terus bertahan hingga saat ini, walaupun telah dikeluarkan UU No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Kemunduran tersebut disebabkan oleh perubahan struktur kelembagaan penyuluhan, sistem penyuluhan yang berubah-ubah, dan implementasi UU No. 16/2006 yang berjalan sangat lambat. Kondisi ini akan semakin berat manakala tantangan yang semakin kompleks sudah menghadang, seperti: (a) menurunnya minat generasi muda terhadap usaha pertanian, (b) menurunnya pangsa pendapatan rumah tangga dari usaha pertanian, (c) penetrasi perusahaan sarana produksi pertanian yang gencar telah merubah perilaku petani terhadap pola penyuluhan (dulu petani butuh penyuluh, sekarang penyuluh butuh petani), dan (d) program pemberdayaan masyarakat pendekatan proyek telah menjadikan petani tergantung terhadap bantuan dan keberlanjutan kegiatannya rendah. Selain itu, beberapa masalah mendasar yang ditengarai menjadi salah satu penghambat revitalisasi kegiatan penyuluhan antara lain: (a) kelembagaan yang ditetapkan dalam UU No. 16/2006 tentang SP3K tidak selaras dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, sehingga kelembagaan penyuluhan pertanian sangat beragam dengan kecenderungan kurang diperhatikan oleh pemerintah daerah, (b) tenaga penyuluhan masih kurang, namun pemerintah tidak menyediakan formasi pengangkatan tenaga penyuluhan secara memadai, dan (c) penyelenggaraan penyuluhan yang terdiri dari programa penyuluhan, mekanisme kerja dan metoda, materi, serta peranserta dan kerjasama; tidak terimplementasi dengan baik di lapangan. Untuk itu, apabila kelembagaan penyuluhan akan direvitalisasi perlu dilakukan penyelarasan terhadap beberapa produk hukum, yaitu UU No. 16/2006 tentang SP3K; UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah; dan UU No. 6/2014 tentang Desa. Tanpa dilakukan penyelerasan terhadap ketiga UU tersebut akan sulit rasanya untuk mewujudkan revitalisasi kelembagaan penyuluhan. Sistem penyuluhan yang dibutuhkan petani ke depan adalah semacam konsultan yang dapat membantu mereka memilih teknologi yang tepat untuk usahataninya. Revitalisasi kelembagaan penyuluhan semakin penting manakala kebutuhan anggaran untuk pembangunan pertanian semakin tinggi, namun ketersediaan anggarannya terbatas. Dalam konteks yang lebih luas, kondisi pembiayaan pemerintah untuk pembangunan pertanian yang semakin terbatas, membutuhkan upaya reformasi dalam pemanfaatannya agar lebih efektif dan tepat sasaran. Isu penting yang perlu diperhatikan untuk mereorientasi pembiayaan pertanian, antara lain: (a) melakukan pemusatan pembiayaan pada program dan kegiatan tertentu/refocusing, (b) menghindari berbagai bentuk program yang bersifat bansos dan memperluas program perlindungan (risk management) serta menyederhanakan jenis dan prosedur kredit program, (c) menyediakan subsidi (seperti benih, pupuk, bunga kredit) yang perlu terus diperbarui dengan meningkatkan efektivitas program, dan (d) rekayasa teknologi
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
573
Langkah-Langkah Reformasi Menuju Transformasi
pemuliaan tanaman pangan dan inovasi benih padi (pangan) diusulkan mendapat porsi pembiayaan yang memadai. Dalam kerangka pembangunan pertanian nasional, bantuan dan fasilitasi pemerintah masih terus dibutuhkan. Fasilitasi tersebut dapat berbentuk (a) sertifikasi lahan untuk memenuhi persyaratan agunan agar petani bankable, (b) pembinaan petani/kelembagaan petani yang lebih intensif untuk mencapai level “mampu” pada aspek manajerial usaha, c) introduksi inovasi teknologi (hulu-hilir) yang adaptif terhadap perubahan iklim, (d) pembangunan infrastruktur pertanian yang memadai, (e) ketersediaan sarana produksi tepat waktu dengan biaya terjangkau, (f) melakukan pengawasan dan pendampingan yang intensif dengan fungsi dan peran penyuluhan pertanian, serta (g) membantu kegiatan pemasaran dengan keterjangkauan pada lembaga keuangan. Salah satu faktor penentu usaha pertanian adalah ketersediaan air. Namun seperti telah diulas sebelumnya, ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian (maupun kebutuhan manusia) semakin terbatas. Untuk itu, pemerintah perlu memiliki plan and water efficiency strategy dalam pengelolaan sumber daya air. Hal ini sangat penting karena kompetisi penggunaan air bersih ke depan akan semakin meningkat. Pengabaian atau keterlambatan dalam membuat strategi pengelolaan air akan berdampak serius terhadap pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Reformasi pengelolaan sumber daya air ini didasarkan pada: (a)pengelolaan air yang berwawasan lingkungan, (b) perubahan peran pemerintah sebagai fasilitator bukan penyedia (provider), (c) desentralisasi kewenangan pengelolaan dan pengembangan, (d) mengakui HAM atas aksesibilitas air, dan (e) demokratisasi yang artinya semua stakeholder mempunyai hak dan kewajiban yang sama, dan selaras pada isu global. Reformasi sektor air (privatisasi) di Indonesia, harus dilihat dalam dua aspek terkait, yaitu: service management dan resources management. Service management mengacu pada the provision of infrastructure seperti jaringan pipa distribusi, fasilitas pengolahan air, dan sumber pasokan air (supply sources); sedangkan resources management mengacu pada pengalokasian air antara sektor pertanian, industri, rumah tangga, isu-isu polusi dan sebagainya.
Sistem Inovasi Pertanian Inovasi teknologi telah diyakini sebagai salah satu kunci utama untuk mengatasi kekhawatiran terhadap kekurangan penyediaan bahan pangan. Untuk itu, kelancaran alur inovasi teknologi dari lembaga riset hingga pengguna mendapat perhatian yang serius di banyak negara. Indonesia telah mempunyai pengalaman yang sangat baik (melalui program Bimas) dalam mengoperasionalkan sistem inovasi yang terdiri dari sistem penciptaan, penyampaian, dan penerimaan teknologi. Namun, sistem inovasi model Bimas mempunyai beberapa kelemahan, seperti diperlukannya kedisiplinan dan kekuatan komando, peran pemerintah yang sangat besar, dan kebutuhan anggaran yang besar. Hal ini terbukti, manakala pemerintah pada awal
574
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Langkah-Langkah Reformasi Menuju Transformasi
1990an mulai mengurangi subsidi dan merestrukturisasi kelembagaan penyuluhan, laju pertumbuhan produksi tanaman pangan, khususnya padi, menurun drastis. Selain itu, dominasi pemerintah yang relatif besar telah mengakibatkan petani selaku pengguna, terkondisi menjadi pelaku yang pasif (menunggu inovasi yang ditawarkan/ditetapkan pemerintah). Diperlukan langkah reformasi terhadap sistem inovasi pertanian di Indonesia yang dapat mengkondisikan keterkaitan antara ketiga sistem utama dalam sistem inovasi pertanian. Keterkaitan tersebut harus diperkaya dengan hubungan yang sinergis, aktif, dan intens. Badan litbang harus dapat memotori terbangunnya konsep operasional pembangunan jangka panjang yang mengarah pada upaya mewujudkan pertanian modern, ekologis dan berkelanjutan, melalui penyediaan teknologi unggul dan berdaya saing. Untuk melaksanakan hal tersebut, perlu dilakukan perubahan mendasar terhadap manajemen penelitian Balitbangtan. Balitbangtan yang terbentuk sejak 1974 telah banyak menghasilkan teknologi, khususnya pada era revolusi hijau, sehingga Indonesia mampu meraih swasembada beras pada 1984. Pada awal berdirinya Balitbangtan dibawah Kementerian Pertanian (d/h Departemen Pertanian), manajemen pengembangan kelembagaan riset dilakukan melalui infrastructure driven dan human resources driven. Program penelitian yang dilakukan Balitbangtan pada prinsipnya diarahkan untuk mendukung kebijakan dan program Kementerian Pertanian; sehingga struktur kelembagaan Balitbangtan juga mengikuti struktur Kementerian Pertanian yang berbasis subsektor dan sumber daya pertanian (Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan, dan Peternakan). Kondisi ini dalam jangka panjang ternyata menimbulkan efek terkotak-kotaknya mandat penelitian. Pengkotakan manajemen penelitian, baik dalam pengelolaan program, anggaran, sarana dan prasarana, serta SDM, dengan mengejar indikator kinerja utama masing-masing UK/UPT, menyebabkan sinergi program penelitian sulit dilakukan. Ada sinyalemen kegiatan litbang pertanian terjebak dalam perangkap manajemen, yang diindikasikan antara lain: (a) rigiditas manajemen program dan sumber daya penelitian kurang memungkinkan adanya program penelitian lintas UK/UPT, apalagi lintas institusi penelitian di Indonesia, (b) pencapaian hasil penelitian secara kuantitatif yang sesuai dengan IKU dari UK/UPT sangat mungkin dicapai, tetapi kurangnya dukungan dari ahli yang dibutuhkan dari institusi penelitian lain, pencapaian kualitas hasil penelitian akan menjadi masalah, (c) kondisi ideal yang memungkinkan untuk menggerakkan program dan sumber daya penelitian adalah sistem “project”, namun hal ini memerlukan perubahan peraturan yang sangat mendasar baik dalam penetapan program maupun aturan penggunaan sumber daya, (d) program litbang koordinatif tidak ditentukan dari awal, sehingga hasilnya kurang optimal, dan (e) program penelitian masih disusun berbasis komoditas. Perubahan lingkungan strategis, baik internal maupun ekternal, memerlukan respon yang cepat dan tepat dalam perumusan kebijakan pembangunan pertanian, termasuk dalam penelitian dan pengembangan pertanian. Sebagai lembaga riset yang memiliki tugas utama mendukung program kementerian, Balitbangtan juga harus
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
575
Langkah-Langkah Reformasi Menuju Transformasi
mampu merespon tuntutan pembangunan pertanian, yang dihadapkan pada masalah degradasi dan kelangkaan sumber daya pertanian pada satu sisi dan peningkatan kebutuhan terhadap produk pertanian, khususnya pangan pada sisi lain, serta fenomena perubahan iklim global yang sangat besar dampaknya pada sektor pertanian. Untuk mewujudkan penelitian dan pengembangan pertanian sebagai pilar kebijakan dan program pembangunan pertanian nasional dibutuhkan transformasi yang utuh dan menyeluruh meliputi kepemimpinan (leadership), kebijakan (regulation), anggaran (budget), organisasi (organization), operasionalisasi (program), serta sumber daya manusia dan pola pikir (human resources and brain). Kelima transformasi di atas dapat dibagi ke dalam transformasi jangka menengah dan panjang. Pembagian jangka waktu transformasi didasarkan pada kecepatan pencapaian transformasi penelitian dan pengembangan pertanian itu sendiri. Transformasi jangka menengah terdiri dari kepemimpinan, kebijakan, operasional dan anggaran sementara transformasi jangka panjang adalah organisasi serta sumber daya manusia dan pola pikir. Transformasi kepemimpinan perlu dilakukan pada setiap level dan jenis jabatan, termasuk jabatan struktural dan fungsional. Transformasi kepemimpinan lembaga riset bertumpu pada kepemimpinan yang visioner yang memahami substansi tugas dan fungsi lembaga yang dipimpinnya, energik serta memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan segala lapisan dan pemangku kepentingan, tegas, jujur, cepat tanggap, dan cerdas dalam mengelola program dan anggaran. Transformasi sumber daya manusia dan pola pikir insan yang terlibat atau bekerja pada lembaga penelitian, sejak awal bekerja harus sudah dilakukan melalui penelusuran minat dan kemampuan individu.
LANGKAH-LANGKAH REFORMASI Pokok-pokok pikiran dikemukakan diatas yang mengulas berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi serta pembelajaran yang diperoleh dalam menghadapi tantangan memberi dorongan perlunya membangun kerangka reformasi kebijakan pembangunan pertanian secara menyeluruh untuk dijadikan acuan bagi transformasi pembangunan pertanian jangka panjang. Kerangka reformasi kebijakan tersebut hendaknya bertumpu pada suatu landasan yang kuat yang menjadikan masyarakat petani sebagai arus utama pembangunan pertanian. Pada hakekatnya terwujudnya landasan tersebut merupakan terjemahan politik etika generasi kedua yang karakternya lebih komprehensif dari politik etika generasi pertama yang berupaya mengatasi kemiskinan dalam lingkup kebijakan yang lebih sempit. Diperlukan kondisi atau enabling environment yang berupa perubahan pola pikir untuk mewujudkan paradigma tersebut. Pertama, pendekatan yang selama ini masih berorientasi sektoral yang merupakan warisan pola pikir lama yang sentralistik dan digerakan oleh kemampuan birokrasi atau bureaucratic driven policy harus berubah menjadi pendekatan wilayah dan bertumpu pada aspirasi masyarakat petani.
576
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Langkah-Langkah Reformasi Menuju Transformasi
Memang otonomi daerah telah merupakan kondisi bagi pelaksanaan pendekatan wilayah tetapi pendekatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah masih mewarisi pendekatan lama dalam lingkup daerah karena sumber daya manusia dan sistem birokrasi yang ada merupakan warisan lama. Diperlukan proses pembelajaran yang perlu dipercepat baik ditingkat pusat maupun daerah dalam mewujudkan paradigma tersebut. Kedua, sebagai akibat dari perubahan pola pikir pertama maka pola pikir yang berbasis pendekatan komoditi juga harus bergeser kearah pendekatan sistem pertanian yang berbasis pada ekosistem yang tersedia. Untuk mewujudkan pergeseran pola pikir tersebut pendekatan penyuluhan dan transfer inovasi dan teknologi yang bersifat linier dan top down menjadi pendekatan yang bersifat fasilitatif dan memperkuat terwujudnya jaringan kerjasama. Ketiga, pola pikir yang didasarkan pada pendekatan yang bersifat reaktif terhadap permasalahan yang muncul menuju pendekatan yang bersifat antisipatif. Dengan semakin menonjolnya masalah masalah global seperti perubahan iklim, krisis energi, dan krisis pangan, pendekatan antisipatif semakin besar peranannya dimasa yang akan datang. Untuk mewujudkan perubahan pola pikir tersebut diperlukan strategi kebijakan yang perlu dituangkan dalam berbagai program pemerintah dan pemangku kepentingan di pusat dan daerah. Strategi kebijakan tersebut perlu dipayungi oleh payung hukum berupa peraturan perundang-undangan dan kebijakan makro yang kondusif. Termasuk dalam penguatan kebijakan makro adalah harmonisasi undang-undang dan peraturan peraturan baik vertikal maupun horizontal dan langkah-langkah kebijakan yang memungkinkan terwujudnya proses keterpaduan antar sektor dan antar pemangku kepentingan di pusat dan daerah. Ditingkat mikro pemerintah daerah bersama-sama dengan berbagai pemangku kepentingan diharapkan dapat mendorong terwujudnya proses koinovasi dan komanajemen pengelolaan ekosistem yang dimiliki masyarakat petani dengan memanfaatkan kapital sosial yang sudah ada pada masyarakat petani dan memperluas skala operasional dalam suatu wilayah melalui penguatan jaringan kerjasama antar kelompok masyarakat petani. Gambar 1 menunjukan hubungan antar komponen dalam kerangka kebijakan yang terdiri dari dukungan kelembagaan makro, strategi kebijakan, prinsip-prinsip pendekatan, dan tujuan. Ada tiga prinsip pelaksanaan yang perlu diperhatikan dalam proses mencapai tujuan yaitu dalam mengelola wilayah harus memperhatikan keseimbangan dan keselarasan ekologis agar tidak terjadi proses degradasi ekosistem, kemudian setiap program yang dilaksanakan harus mampu memperkuat keterampilan individu dan kemampuan kolektif melalui pendekatan kemitraan, dan pada akhirnya prinsip kemitraan harus mampu mewujudkan inovasi bersama atau koinovasi dan manajemen bersama dalam mengelola sumber daya alam dalam suatu wilayah. Prinsip-prinsip tersebut sekaligus menjadi prakondisi bagi terwujudnya upaya memperkuat kemampuan petani sebagai arus utama pembangunan pertanian.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
577
Langkah-Langkah Reformasi Menuju Transformasi
Dukungan Kelembagaan Makro: Harmonisasi undang-undang, dan peraturan baik vertikal maupun horizontal Membangun forum keterpaduan antar sektor birokrasi pemerintahan di pusat dan daerah Membangun forum kemitraan pemerintah, swasta, petani dan lembaga swadaya masyarakat di pusat dan daerah
Strategi Kebijakan Kebijakan yang bersifat fasilitatif Kebijakan yang memperkuat kemampuan pembelajaran antisipatif Penguatan kelembagaan mikro dan pemberdayaan kapital sosial kerjasama
Pendekatan Pelaksanaan Keseimbangan dan keselarasan Pemanfaatan ketrampilan individu dan kemampuan kolektif Kemintraan menunjang proses ko-inovasi dan ko-manajemen
Tujuan: Memperkuat kemampuan masyarakat petani sebagai arus utama pembangunan pertanian dalam hal: (1). Kemampuan belajar antisipatif (2). Kemandirian Pengelolaan sumber daya dalam wilayah ekosistem. (3). Kemampuan membangun jaringan kerjasama.
Gambar 1. Kerangka Reformasi Kebijakan Pembangunan Pertanian
HARMONISASI LANGKAH-LANGKAH OPERASIONAL Berdasarkan kerangka kebijakan tersebut diatas diperlukan langkah-langkah operasional untuk proses harmonisasi sistem birokrasi baik vertikal (antar pusat dan daerah) maupun horisontal yaitu antar unit kerja pada setiap jenjang.
Pemerintah Pusat 1.
Integrasi pendekatan dan pelaksanaan berbagai program kerja Direktorat Jenderal Teknis dengan Badan Pengelola Penyuluhan, sehingga program kerja dapat terinformasikan dengan baik ke petani, selaku sasaran akhir yang utama;
2.
Program pembangunan pertanian hendaknya didasarkan pada usulan dari pemerintah daerah dan dalam proses interaksi selanjutnya kepentingan nasional dapat direfleksikan dalam progran daerah sehingga tidak perlu membuat program yang seragam untuk seluruh kabupaten/kota;
578
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Langkah-Langkah Reformasi Menuju Transformasi
3.
Meningkatkan kompetensi penguasaan teknologi dan sistem informasi pertanian bagi Kepala Dinas Teknis dan petugas penyuluh lapangan di daerah.
4.
Program bantuan sosial diganti dengan program penyediaan prasarana usaha pertanian, seperti irigasi mikro, jalan usahatani, fasilitas gudang/lantai jemur, serta alat dan mesin pertanian;
5.
Melakukan inventarisasi pembangunan sarana-prasarana terbengkalai atau belum beroperasi optimal.
pertanian
yang
Pemerintah Daerah 1.
Menekankan pentingnya perencanaan sesuai kebutuhan dan permasalahan aktual di daerah, sehingga program pembangunan pertanian tidak diseragamkan untuk semua wilayah di daerah yang bersangkutan;
2.
Meningkatkan peran aktif dan akuntabilitas pejabat pertanian di daerah, untuk memajukan pertanian di masing-masing daerah;
3.
Mengintegrasikan Dinas Teknis dengan Penyuluhan, agar petugas penyuluhan dapat lebih memahami dan bertanggung jawab terhadap program pembangunan pertanian yang disusun Dinas Teknis;
4.
Pembangunan pertanian di daerah hendaknya mengatasi permasalahan aktual yang dihadapi petani, memfasilitasi kebutuhan petani, serta mendukung proses kemajuan petani untuk mewujudkan pertanian maju, produktif, efisien, dan ramah lingkungan.
Dukungan inovasi baik yang bersifat kelembagaan maupun teknologi oleh lembaga penelitian diperlukan untuk mempercepat proses reformasi. Inovasi merupakan salah satu kunci untuk mewujudkan pertanian modern, ekologis, dan ramah lingkungan. Untuk itu, perlu dilakukan peningkatan kinerja Balitbangtan melalui: 1.
Pemberdayaan Kepala UK/UPT untuk mengidentifikasi topik-topik penelitian sesuai dengan masalah dan kebutuhan pengguna serta tidak menyerahkan evaluasi rencana kegiatan penelitian/pengkajian dan diseminasi ke “panel ahli” yang belum tentu menguasai bidang penelitian yang dievaluasi;
2.
Memperkuat kemampuan peneliti untuk menghasilkan informasi dan/atau inovasi yang benar-benar operasional mengatasi masalah atau memajukan pertanian dan untuk maksud tersebut peneliti harus dilengkapi dengan kemampuan memahami bisnis pertanian disamping penguasaan ilmu bidang keahlian untuk mewujudkan peneliti yang berkarya ilmiah tinggi;
3.
Sinergi dan kolaborasi penelitian dan pengembangan harus dimulai sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi;
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
579