I S A S I L A N I M I KR Disusun Oleh:
PSHK, LeIP, LBH Jakarta, KontraS, Mappi, YLBHI,KPA, LBH Masy,Walhi (2015)
I S A IS L A IN IM R K G N TENTA Pengantar Istilah “kriminalisasi” kembali mencuat sejak dua komisioner KPK, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad, dijadikan tersangka oleh Bareskrim Polri [Maret, 2015]. Penetapan tersangka tersebut ditetapkan tidak lama setelah Budi Gunawan dijadikan tersangka kasus korupsi oleh KPK. Kasus BW dan AS ini diduga merupakan upaya ‘kriminalisasi’ terhadap KPK karena telah menetapkan BG sebagai calon pesakitan. Istilah ini memang bukan istilah baru. Istilah ini sendiri pada dasarnya merupakan terminologi ilmu Kriminologi dan ilmu Hukum Pidana yang artinya penentuan suatu perilaku yang sebelumnya tidak dipandang sebagai suatu kejahatan menjadi suatu perbuatan yang dapat dipidana. Dalam pengertian ini, proses kriminalisasi dilakukan melalui langkah legislasi dengan mengatur suatu perilaku atau perbuatan tertentu sebagai tindak pidana dalam undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya yang diperbolehkan mengatur ketentuan pidana. Contoh konkrit kriminalisasi dalam pengertian ini adalah penetapan kejahatan pencucian uang pada tahun 2002. Sebelumnya, perbuatan menerima hasil kejahatan bukanlah sebuah kejahatan. Namun istilah “kriminalisasi” yang populer di masyarakat memiliki makna yang berbeda dengan istilah “kriminalisasi” yang ada dalam ilmu kriminologi maupun ilmu hukum pidana tersebut. Jika dalam krimonologi dan ilmu hukum pidana terminologi “kriminalisasi” merupakan istilah biasa, maka “kriminalisasi” dalam pengertian populer memiliki makna yang negatif. Sayangnya, pengertian “kriminalisasi” dalam pengertian populer ini sendiri sepertinya belum terlalu konkrit. Pencarian definisi ini penting agar lebih jelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan “kriminalisasi” dalam pengertian populer. Dan bagi perkembangan ilmu Hukum Pidana, kriminalisasi harus dilihat lebih mendalam, apakah ini merupakan permasalahan hukum atau bukan, dan apakah ada solusi terhadap permasalahan ini. Sekalipun istilah ini belum ada pengertian yang jelas, namun setidaknya istilah ini sudah digunakan sekitar awal tahun 2000. Istilah ini muncul saat seorang aktivis buruh yang dilaporkan melakukan tindak pidana dan diproses perkaranya. Tindak pidana yang dilaporkan cukup janggal, mencuri sendal jepit. Pelaporan dan pengusutan pencurian sendal jepit tersebut diduga dilakukan sebagai upaya untuk meredam aktivitasnya di serikat buruh yang dipandang menganggu kepentingan pengusaha. Pengusutan perkara pencurian sendal jepit yang nilainya tak seberapa itu kemudian diistilahkan sebagai “kriminalisasi kasus perburuhan”. Sejak saat itu istilah “kriminalisasi” sering digunakan.
ARTI “KRIMINALISASI” Tentu tak ada yang membantah bahwa hukum harus ditegakkan. Tiap kejahatan harus diberikan sanksi, tiap terjadi dugaan tindak pidana harus dapat diusut oleh aparat penegak hukum, dan oleh karenanya penegak hukum harus diberikan wewenang yang cukup untuk mampu mengusutnya. Namun, apa yang akan terjadi jika kewenangan yang diberikan kepada penegak hukum disalahgunakan untuk kepentingan lain selain untuk menegakan hukum itu sendiri? “Kriminalisasi” pada dasarnya adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat atas penegakan hukum yang dilakukan bukan untuk tujuan penegakan hukum itu sendiri. Penggunaan kewenangan-kewenangan penegakan hukum yang seolah-olah bertujuan untuk menegakan hukum namun sebenarnya tidak. Ada motif lain dibaliknya, atau ada udang di balik batu, yang semata-mata hanyalah untuk merugikan tersangka atau orang yang dikehendaki untuk menjadi tersangka. Sedemikian terasanya itikad buruk tersebut sehingga penegakan hukum tersebut bukannya mendapatkan dukungan dari masyarakat, namun justru kecaman dan perlawanan.
KRIMINALISASI ADALAH: 1. Pengunaan kewenangan penegakan hukum dengan tujuan/itikad buruk 2. Bentuk penyalahgunaan kewenangan penegak hukum, pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat yang diberikan kepada penegak hukum
KARAKTERISTIK KRIMINALISASI: “Kriminalisasi” memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut: 1. Melibatkan aparat penegak hukum, khususnya penyidik; 2. Menggunakan proses hukum acara pidana oleh aparat penegak hukum 3. Proses hukum acara pidana dilakukan tanpa adanya bukti permulaan yang cukup atau “probable cause”, atau bukti yang diada-adakan; dan 4. Dilakukan dengan itikad buruk, atau improper motive atau improper purpose.
MOTIF “KRIMINALISASI” Secara garis besar motif “Kriminalisasi” pada dasarnya adalah untuk merugikan korban secara tidak sah atau tidak patut. Motif ini bisa beragam, mulai dari sekedar merusak reputasi korban, menghalang-halangi korban melakukan aktivitasnya, teror kepada pihak lain, kepentingan politik, hingga motif ekonomi. Pihak yang memiliki motif utama tersebut tidaklah harus aparat penegak hukum, namun bisa saja pihak tersebut adalah pihak lain, seperti pelapor atau orang lain yang menyuruh pihak penegak hukum. Unsur motif merupakan unsur yang paling penting untuk menentukan apakah ini “Kriminalisasi” atau bukan. Pihak yang mengklaim bahwa kasusnya adalah “Kriminalisasi” haruslah bisa membuktikan adanya motif yang tidak patut ini dari aparat penegak hukum (penyidik) ini.
INDIKATOR UNTUK MEMBUKTIKAN “KRIMINALISASI” Untuk membuktikan adanya motif “kriminalisasi” hal yang paling utama untuk diketahui adalah latar belakang perkara, khususnya hubungan antara Korban (pihak yang dilaporkan kepada penegak hukum) dan Pelapor atau pihak lain yang diduga berada dibelakang Pelapor, atau hubungan antara Korban dengan pihak Penegak Hukum itu sendiri. Hal yang perlu ditunjukan dari latar belakang ini adalah: 1. Apakah ada sengketa/konflik sebelumnya antara Korban dengan Pelapor, atau dengan pihak penegak hukum, dan 2. Apakah ada keuntungan yang tidak wajar yang akan diterima oleh pihak Pelapor dan atau penegak hukum tersebut dengan diusutnya pelaporan tersebut. Selain latar belakang, indikator lain yang dapat digunakan untuk menunjukan dugaan terjadinya “kriminalisasi” antara lain: a. Adanya ketidakwajaran proses penanganan perkara, termasuk adanya diskriminasi dalam penanganan perkara maupun keberpihakan yang berlebihan atau tidak wajar kepada pelapor. b. Penggunaan pasal-pasal pidana yang berlebihan, atau tidak tepat dengan peristiwa yang digambarkan, terutama pasal-pasal yang dapat dikenakan penahanan. c. Penggunaan upaya paksa yang berlebihan, ada kekerasan dalam proses hukum d. Adanya kesengajaan untuk tidak mempercepat penanganan perkara atau undue delay, e. Ketidakwajaran siapa yang menjadi pelapor tindak pidana,
PETANI BURUH AKTIVIS
KRIMINA LISASI
CONTOH “KRIMINALISASI”
1. “Kriminalisasi” dalam Sengketa Tanah, Lahan Pertanian,
Perkebunan atau Hutan
eta tanah, baik tanah untuk pertanian atau “Kriminalisasi” diduga kerap terjadi dalam masalah sengk nya masih terdapat ketidakjelasan tentang perkebunan, maupun hutan. Dalam kasus seperti ini umum Para pihak bukannya menyelesaikan siapa yang sebenarnya memiliki hak atas tanah tersebut. kepada Kepolisian dengan berbagai sengketa tersebut secara perdata namun melaporkannya surat. sangkaan, mulai dari penyerobotan tanah hingga pemalsuan dianggap terjadi jika pihak kepolisian Dalam kasus terkait sengketa tanah ini, “Krimininalisasi” dapat mengetahui bahwa hak kepemilikan atas menetapkan pihak Terlapor sebagai tersangka sementara dipersengketakan. tanah/ lahan tersebut pada dasarnya belum jelas dan masih 2. “Kriminalisasi” dalam Sengketa Perdata jian perdata. Dalam kasus seperti ini “Kriminalisasi” diduga juga kerap terjadi dalam sengketa perjan a bahwa pihak lawannya melakukan salah satu pihak yang terlibat dalam perjanjian yang meras uan dan atau penggelapan. Memang tak wanprestasi melaporkan ke kepolisian dengan alasan penip Kapan suatu penyidikan dalam kasus jarang penipuan dilakukan dengan berkedok pada perjanjian. penegakan hukum atas dugaan penipuan seperti ini dapat dikatakan sebagai “kriminalisasi” atau murni indikator dapat digunakan, antara lain: memang harus dilihat kasus-per kasus. Namun, beberapa yang disembunyikan pihak Terlapor a. Apakah ada informasi-informasi penting dalam perjanjian ut sebelumnya diketahui oleh kepada Pelapor sebelumnya, yang mana jika informasi terseb n Terlapor. misalnya identitas diri, Pelapor maka Pelapor tidak akan melakukan perjanjian denga tujuan perjanjian dll; b. Apakah antara Pelapor dan Terlapor telah mengenal cukup memiliki riwayat perjanjian sebelumnya;
baik sebelumnya, dan telah
menetapkan Terlapor sebagai c. Apakah ada ancaman dari pihak penyidik/kepolisian akan jika tidak memenuhi tuntutan Pelapor; tersangka, dan atau ancaman akan dilakukan penahanan 3. “Kriminalisasi” dalam Sengketa Perburuhan
alami “Kriminalisasi”. Tujuan “Kriminalisasi” Buruh merupakan salah satu kelompok yang rentan meng alasan bagi pihak majikan untuk memterhadap buruh bisa beraneka ragam, mulai dari agar ada -upaya perjuangan hak-hak buruh yang PHK-an buruh tersebut, hingga untuk melemahkan upaya sedang dilakukan oleh para buruh.
MEREKA YANG DIKRIMINALISASI
NGADINAH
adalah seorang buruh yang bertransformasi menjadi pendamping hukum buruh. Sejak 1986 ia mulai bekerja sebagai buruh di Tangerang dan melihat berbagai ketidakadilan dan eksploitasi yang membuatnya geram dan marah. Ia melihat dan merasakan secara langsung pemberlakuan jam kerja dan upah murah, pembatasan hak untuk berserikat, beribadah serta cuti haid.
Photo: Gepenk Hukum Online, Indonesia
Pada September 2000, saat bekerja sebagai buruh dan sekretaris umum Perkumpulan Buruh Pabrik Sepatu PT Panarub, ia memimpin aksi menuntut pelaksanaan aturan tentang penghargaan masa kerja yang tidak dilaksanakan oleh perusahaan yang menyebabkan perusahaan lumpuh. Ia dikriminalisasi atas tindakan pencemaran nama baik, penghasutan dan perbuatan tidak menyenangkan karena wawancaranya di TV swasta. Ia kemudian dimasukkan dalam tahanan LP Wanita Tangerang tanpa melalui proses pengadilan. Saat dihadapkan ke pengadilan, ia mengajukan penangguhan penahanan dan di kabulkan oleh majelis hakim hingga akhirnya ia menjadi tahanan rumah dengan jaminan aktivis HAM, termasuk Munir. Solidaritas sesama buruh dan pembela yang memberikan dukungan membuatnya divonis bebas oleh PN Tangerang. Kemudian ia aktif di berbagai organisasi sambil menyelesaikan sekolah di SMP dan menggapai mimpi hingga menjadi sarjana hukum. Saat ini ia menjabat Ketua Departemen Hukum dan HAM Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI). Perjuangan Ngadinah bertujuan mulia, meminta agar kaum buruh dimanusiakan. Kisah Ngadinah tersebut merupakan salah satu potret bagaimana perjuangan dan perlawanan yang dilakukan kaum buruh dalam menuntut kesejahteraan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Intimidasi, teror dan kriminalisasi kerap diberlakukan kepada buruh dan situasi ini masih terus berlangsung hingga kini.
KHOE SENG SENG
adalah seorang pedagang di Jakarta yang menulis surat pembaca di koran untuk mengkritik pembelian kios dan dikriminalisasi dengan sangkaan pencemaran nama baik. Ia divonis penjara dan digugat perdata, namun tetap konsisten melakukan berbagai upaya hukum untuk menuntut haknya.
Photo: Doc KontraS Jakarta, Indonesia
Pada 2003, ia membeli salah satu kios di ITC Mangga Dua, Jakarta. Berdasarkan perjanjian, pengembang mengatakan bahwa para pedagang akan diberikan sertifikat murni hak guna bangunan, namun dalam kenyataannya mereka hanya mendapatkan sertifikan hak guna bangunan di atas pengelolaan lahan. Ia meminta penjelasan kepada pengembang ITC Mangga Dua, namun tidak diindahkan dan justru mendapatkan ancaman. Ia kemudian menulis keluhan di surat pembaca Koran Nasional. Ia dilaporkan oleh pengembang ke Mabes Polri 2006 dengan sangkaan melakukan pencemaran nama baik. Khoe Seng Seng divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 6 bulan. Ia juga digugat secara perdata dan Mahkamah Agung memutuskan ia harus membayar denda sebesar 1 milyar rupiah. Masyarakat dan konsumen kerap diposisikan sebagai pihak yang lemah. Dalam dunia bisnis, norma hukum dan aturan kerap dimodifikasi sesuai keinginan dan kebutuhan pengusaha,tanpa peduli hal tersebut mengabaikan akal sehat serta nilai nilai HAM. Di sisi lain, kebebasan pers termasuk didalamnya pemanfaatan produk pers - sebagai sarana dalam mengungkap berbagai problem yang terjadi, masih menjadi persoalan. Tidak sedikit warga masyarakat, terutama jurnalis menjadi korban atas karya jurnalistik yang mereka hasilkan bila karya tersebut tersebut dianggap ‘mengganggu’ kepentingan penguasa dan atau pengusaha.
ANWAR SADAT adalah Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Selatan yang aktif memperjuangkan isu lingkungan hidup, HAM dan demokrasi sejak awal tahun 2000. Ia setia melakukan pendampingan terhadap para petani di Sumatera Selatan untuk menuntut hak-hak mereka.
Photo: Doc Walhi Indonesia
Saat memperingati Hari Agraria Nasional, September 2012, ia bergabung dengan sekitar 1000 petani yang berasal dari berbagai daerah di Sumatera Selatan untuk menuntut Badan Pertanahan Nasional dan Gubernur menyelesaikan konflik agraria di seluruh Sumatera Selatan. Di tengah massa aksi, ia dikepung, dikeroyok dan dianiaya oleh ajudan Gubernur, Satpol PP, aparat kepolisian dan mengalami luka di bagian kepala. Ia melaporkan penyerangan tersebut ke polisi, namun tidak ditindaklanjuti. Pada Januari 2013, ia kembali melakukan pendampingan kepada para petani Ogan Ilir di depan Markas Polda Sumatera Selatan. Ia dituduh merobohkan pagar Polda, sehingga aparat kepolisian kembali memukul, menginjak dan menyeretnya. Bersama dengan Dede Chaniago dan Kamaludin, ia ditahan serta dituduh melakukan perusakan dan penganiayaan kemudian diproses secara hukum. Ia dikriminalisasi dan dipenjarakan. Sementara pelaku pemukulan terhadap dirinya tak pernah diadili. Peristiwa ini adalah wajah kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian, pamong praja, pejabat publik kepada para aktivis dan masyarakat yang membela lingkungan hidup. Ini terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Ancaman, teror, kriminalisasi hukum bahkan pembunuhan adalah pola kekerasan yang berulang bagi para pembela HAM yang selama ini mendorong pemenuhan lingkungan hidup yang layak dan sehat.
PALTI PANJAITAN Photo: Opak Pewarta Foto Indonesia
adalah seorang pendeta dan pemimpin jemaat di Gereja Filadelfia, Bekasi. Sekitar tahun 2000, ia aktif memperjuangkan hak konstitusional jemaat Filadelfia untuk beribadah meski mendapatkan teror dan intimidasi dari kelompok-kelompok yang menolak pendirian gereja. Padahal putusan hukum menguatkan hak mereka untuk beribadah. Ia bahkan mengalami ancaman pembunuhan hingga dikriminalisasi dengan tuduhan melakukan penganiayaan kepada orang yang menghadang ibadah mereka. Saat ini, Pendeta Palti Panjaitan tengah menjalani proses hukum atas kriminalisasi yang dituduhkan oleh Polres Bekasi. Peristiwa diskriminasi pembatasan terhadap kebebasan berkeyakinan, beragama dan beribadah semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Sejumlah korban diskriminasi tersebut membangun solidaritas dalam Sahabat Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama, yang terdiri dari jamaah Ahmadyah, jemaat Gereja Yasmin, jamaah Syiah Sampang, Sunda Wiwitan dan berbagai kelompok kepercayaan lainnya dan bersama-sama memperjuangkan hak konstitusional mereka untuk berkeyakinan, beribadah dan beragama. Sejak 2011, Jemaah Gereja Filadelfia dan Gereja Yasmin melaksanakan ibadah minggu di depan Istana Negara karena tidak dapat beribadah dengan aman di Bekasi dan Bogor.
TAJUL MULUK Photo: Doc Perkumpulan 6211 Indonesia
lahir tahun 1971 dengan nama Ali Murtadha adalah seorang pemuka agama beraliran Syiah asal Madura, Indonesia. Pada Desember 2011 pesantren miliknya dibakar oleh demonstran anti-Syiah. Bulan Maret 2012, ia dituduh melakukan penistaan agama; bulan berikutnya ia ditahan. Penahanannya membuat Amnesty International menetapkan Tajul Muluk sebagai prisoner of conscience (orang yang ditahan karena keyakinannya). Pada tanggal 29 Desember 2011, pesantren miliknya diserang oleh sekelompok pengunjuk rasa anti-Syiah bersenjata. Gedung pesantren dan rumah Tajul Muluk dan abangnya, Iklil, dibakar. Muluk dan anggota aliran lainnya diancam akan dibunuh. Dua bangunan lainnya, satu madrasah dan mushola juga dibakar habis. Iklil, yang saat itu sedang di tempat kejadian, bersaksi melihat dua anggota polisi berdiam saja di tengah kerumunan. Ia lalu menduga bahwa kepolisian sudah diperingatkan soal unjuk rasa yang akan terjadi, tetapi mereka tidak berusaha menghentikannya. Seorang pria bernama Muslika diidentifikasi dan ditahan oleh kepolisian karena ikut merencanakan serangan ini, namun Tajul yakin adiknya, Roisul, adalah pemimpin serangan yang sebenarnya. Pada tanggal 8 Maret 2012, tim advokat Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritik penanganan investigasi dan menyebut ancaman yang terus berlanjut terhadap kaum Syiah Sampang sebagai tindakan "diskriminatif". Pasca serangan ini, KontraS juga meminta Tajul dan 22 pengikutnya dilindungi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Pada 26 Agustus 2012, komunitas Tajul di Sampang kembali diserang oleh kurang lebih 500 orang. Satu orang, Muhammad Hasyim, tewas dan satu orang lainnya dilarikan ke Rumah Sakit
BAMBANG WIDJOJANTO Photo: Doc www.timorexpress.com
BW ditangkap pada 23 Januari 2015 di Depok, Jawa Barat. Terdapat sejumlah alasan kuat mengapa kasus BW adalah kriminalisasi. Diantaranya: BW dijadikan tersangka lebih dahulu padahal pasal (tindak pidana)nya tidak diketahui secara pasti, penangkapan BW dinilai sebagai reaksi dari ditetapkannya Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK, BW tiba-tiba saja ditangkap tanpa ada proses pemanggilan, adanya keterlibatan Kombes Viktor yang mana bukanlah penyidik Bareskrim dalam penangkapan BW, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) baru dikirimkan sore hari setelah BW ditangkap, Sugianto S pihak yang berlawanan dengan Ujang merupakan klien BW pernah melaporkan kasus ini ke polisi, namun baru setelah 5 tahun kasus ini tiba-tiba dibuka kembali. Kepolisian banyak diadukan dengan mayoritas kasus undue delay atau penundaan namun untuk kasus BW Polisi sangat gerak cepat. Polri menolak diadakannya Gelar Perkara Khusus bagi kasus BW, hampir berbarengan dengan BW dan sesudahnya sejumlah orang yang merupakan tokoh anti korupsi dilaporkan ke Bareksrim.
Photo: Doc www.beritasatu.com
NOVEL BASWEDAN Novel dibawa ke Bareskrim Polri pada 1 Mei 2015 dini hari dan menjalani pemeriksaan pada pagi buta tanpa didampingi kuasa hukum. Selang beberapa jam, Novel diboyong ke Markas Komando Brimob Kelapa Dua untuk melanjutkan pemeriksaan. Sore harinya, tiba-tiba penyidik Polri membawa dirinya ke Bengkulu untuk menjalani rekonstruksi. Namun, saat itu tak ada seorang pun kuasa hukum yang mendampinginya. Padahal rekonstruksi seharusnya didampingi penasehat hukum supaya lebih tepat, namun permintaan Novel untuk didampingi oleh Kuasa Hukumnya terlebih dahulu sebelum menjalani proses rekonstruksi tidak dipenuhi. Polisi tetap menggelar rekonstruksi imajiner yang tak berdasar pada Berita Acara Pemeriksaan dan tidak substansial. Kemudian, Novel diterbangkan kembali ke Jakarta pada keesokan harinya. Novel dijadikan tersangka pada 1 Oktober 2012 oleh Polres Bengkulu atas dugaan penganiayaan seorang pencuri sarang burung walet hingga tewas pada 2004. Saat ia menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu.
MODUS “KRIMINALISASI”
Seringkali dalam penanganan perkara pidana yang berujung pada kriminalisasi diiringi dengan tidak terpenuhinya hukum acara pidana yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum. Hukum acara pidana yang dilanggar disini merupakan hak-hak dasar dari seorang tersangka atau terdakwa namun kerap kali diabaikan oleh oknum aparat penegak hukum. Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: Bantuan Hukum yang tidak memadai, setiap tersangka atau terdakwa memiliki hak untuk di dampingi oleh penasehat hukum. Namun dalam kasus “kriminalisasi”, bantuan hukum tersebut seringkali ditunjuk secara sepihak oleh oknum aparat penegak hukum untuk sekedar formalitas, atau ditunda pemberiannya. Bahkan dalam beberapa kasus bantuan hukum sama sekali tidak diberikan oleh aparat penegak hukum. Tidak ada Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP), SPDP merupakan surat perintah yang harus dikirimkan oleh penyidik kepada penuntut umum untuk menandakan dimulainya penyidikan. Tujuan dari pemberian SPDP ini agar Penuntut Umum dapat memantau jalannya perkara yang tengah ditangani oleh penyidik. Dalam kasus kriminalisasi SPDP memang sengaja tidak diberikan oleh penyidik kepada penuntut umum agar perkara yang sedang ditanganinya tidak dapat di pantau oleh penuntut umum. Sehingga, penyidik dapat melakukan semacam “negosiasi” kepada tersangka terkait tindak pidana yang disangkakan tanpa campur tangan penuntut umum. Jika tenyata tersangka menolak untuk “bernegosiasi” barulah SPDP tersebut diberikan kepada penuntut umum bersamaan dengan permohonan perpanjangan penahanan. Mengingat untuk perpanjangan penahanan dalam tingkat penyidikan harus dengan persetujuan penuntut umum. Tidak ada/penundaan surat penangkapan dan penahanan, dalam KUHAP memang mengatur bahwa surat perintah penangkapan dan penahanan dapat diberikan kepada tersangka setelah dilakukannya penangkapan dan penahanan. Namun, hal tersebut hanya berlaku terhadap tindak pidana yang dilakukan dalam hal tertangkap tangan. Pada kasus yang dikriminalisasi, surat perintah penangkapan dan penahanan seringkali diberikan belakangan atau tidak sama sekali, padahal tersangka yang mengalami penangkapan atau penahanan tidak dalam keadaan tertangkap tangan. Pelapor tidak jelas, dalam tindak pidana tertentu mensyaratkan adanya laporan dari korban tindak pidana tersebut, misalnya tindak pidana pencemaran nama baik (delik aduan). Laporan tersebut seringkali digunakan oleh oknum penegak hukum untuk mengkriminalisasi seseorang, dan tak jarang pula laporan tersebut tidak diketahui siapa yang melaporkannya. Pasal yang disangkakan tidak jelas/dipaksakan, dalam kasus kriminalisasi pasal yang dikenakan sebagai dasar tindak pidana yang disangkakan kerap kali dipaksakan. Padahal, jika dilihat dalam sudut pandang akademisi hukum pasal yang disangkakan tidak ada hubungannya dengan perbuatan korban kriminalisasi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tidak diberikan, setiap hak seorang tersangka adalah untuk mendapatkan salinan atas BAP yang dilakukan atasnya. Dengan tidak diberikannya BAP tersebut praktis orang yang dilakukan BAP tidak dapat menguji apakah keterangan yang diberikan benarbenar sama dengan yang tertulis dalam BAP. Hal yang demikian tentu merupakan peluang bagi oknum aparat penegak hukum untuk merekayasa, mengubah, mengurangi, atau menambah-nambah keterangan yang diberikan pada saat BAP dibuat. Rekayasa rekonstruksi kasus, rekonstruksi kasus merupakan satu dari alat bukti yang sering digunakan untuk pembuktian dalam persidangan. Dengan adanya rekonstruksi kasus diharapkan hakim dapat melihat langsung bagaimana sebuah tindak pidana terjadi. Dalam kasus yang dikriminalisasi, seringkali rekonstruksi kasus di rekayasa dengan menambahkan atau menambahkan adegan yang sebenarnya tidak ada dalam kejadian sebenarnya sehingga seolah-olah memang telah terjadi tindak pidana.
Pada bagian Alat Bukti, dapat dilihat adanya sejumlah hal dibawah ini sebagai ciri adanya kriminalisasi; ktian dalam Penyiksaan untuk pengakuan, alat bukti yang digunakan untuk pembu jarang tak kasus kriminalisasi adalah menggunakan pengakuan terdakwa. Dan ut dalam pengakuan tersebut didapatkan dengan cara menyiksa terdakwa terseb pernah tidak yang han kesala kui pemeriksaan sehingga secara terpaksa menga dilakukannya. uk dalam Alat bukti dan barang bukti palsu, pemalsuan alat bukti disini termas palsu didapat saksi ngan ketera palsu. yang keterangan saksi palsu dan alat bukti surat oknum oleh sa rekaya di yang dengan memaksa saksi untuk memberikan keterangan kan melaku benar penegak hukum, sehingga orang yang dikriminalisasi seolah-olah kali Sering tindak pidana. Hal yang demikian juga terjadi pada barang bukti palsu. tersebut tidak bukti al padah angan persid ke oknum penegak hukum mengajukan bukti pernah ada di tempat kejadian perkara. pidana yang dikrimiHanya menggunakan saksi penyidik, untuk membuktikan tindak dari pihak nalisasi oknum penegak hukum biasanya hanya menggunakan saksi an dalam ntungk mengu t sanga penyidik. Dengan menggunakan saksi ini tentu akan diberikannya yang tahap pembuktian sebab akan dengan mudah mengatur keterangan benar-benar mengdalam tahap persidangan nanti. Terlepas apakah penyidik tersebut etahui betul bagaimana tindak pidana tersebut terjadi atau tidak. pidana yang Saksi dari tersangka kasus yang sama, untuk membuktikan tindak n saksi dari dikriminalisasi oknum penegak hukum biasanya hanya menggunaka unakan saksi ini mengg n Denga sama. yang tersangka lain yang ditangkap dalam kasus dengan akan sebab ktian tentu akan sangat menguntungkan dalam tahap pembu tahap dalam mudah mengatur keterangan, hasil intimidasi, yang diberikannya an saksi dalam persidangan nanti. Bahkan terkadang, tersangka-tersangka yang dijadik aan kasusnya di kasus yang sama ini, baru saling mengenal atau mengetahui kesam dalam sel saat ditahan. sebagai Sementara pada bagian akhir, Vonis, terdapat ciri-ciri kriminalisasi, berikut; dilan yang menyatakan Maksud vonis dalam kriteria ini lebih mengacu kepada putusan penga ini tidak hanya seseorang bersalah melakukan sebuah tindak pidana. bagian dari kriteria itu pertimbangan baik ruhan mencakup dari amar putusan, melainkan putusan secara keselu adalah: maupun proses pengambilan keputusan. Kriteria terebut antara lain , Sudah menjadi hak Saksi meringankan (a de charge) tidak dipertimbangkan oleh Hakim meringankan yang ngan dari terdakwa untuk menghadirkan saksi untuk memberikan ketera tidak mempertimbangkan perkaranya. Namun kerap kali dalam kasus yang dikriminalisasi hakim dalam memutus sebuah saksi yang meringankan ini. Dapat dilihat dari pertimbangan hakim an oleh penuntut umum. perkara yang hanya berpatokan pada saksi dan alat bukti yang di hadirk t, dalam memutuskan Hakim mengabaikan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dicabu Tersangka ataupun Saksi sebuah perkara hakim tidak mempertimbangkan ketidakkonsistenan persidangan. yang mencabut BAP yang sebelumnya ditandatangani dan melanjutkan dalam memutuskan sebuah Pertimbangan Hakim tidak sinkron dengan bukti yang diterima, kan ke dalam persidangan, perkara hakim seharusnya mengacu kepada bukti-bukti yang dihadir wa. baik itu bukti yang dihadirkan oleh penuntut umum maupun oleh terdak a hakim di dalam Kesalahan penerapan hukum, dalam memutuskan sebuah perkar ian, bukti-bukti dsb. Akan persidangan sudah secara tepat mempertimbangkan setiap kesaks kemanusiaan atas secara adil tetapi, Hakim mengambil vonis yang berbeda atau tidak pertimbangannya.
AKIBAT KRIMINALISASI Kerugian akibat dari “kriminalisasi” dapat ditinjau dari berbagai sisi, baik itu bagi individu, golongan, kelompok, organisasi, institusi negara, dan kerugian bagi Hukum Pidana itu sendiri. Dalam sudut pandang sebagai individu, kerugian yang ditimbulkan adalah tidak terpenuhinya hak-hak dasar di mata hukum. Jika seseorang dikriminalisasi atas sebuah tindak pidana dengan serta merta hak-nya sebagai warga negara akan hilang sebagian, misalnya hak kebebasan jika dilakukan penahanan, hak untuk mencari pekerjaan, hak untuk menduduki posisi di pemerintahan jika dijadikan tersangka, hak untuk bepergian ke luar negeri jika dikenakan cekal kepadanya, dan yang pasti untuk merasakan kebebasan akan hilang. Bagi individu tertentu, penetapan tersangka dapat berdampak langsung pada jabatan/kedudukan yang dimilikinya. Misalnya, dalam kasus BW, yang menjabat sebagai komisioner KPK yang mensyaratkan bahwa jabatan/kedudukannya dapat dicopot bilamana ditetapkan sebagai tersangka. Dalam berorganisasi dan berkelompok juga memiliki dampak yang serupa. Berkaca pada kasus Hamdani (sendal jepit) dimana kriminalisasi dilakukan untuk meredam aktifitas Hamdani yang seringkali melakukan advokasi kepada perusahaan untuk pemenuhan hak rekan-rekannya sesama buruh. Akibat dikriminalisasinya Hamdani, secara tidak langsung akan memadamkan perjuangan buruh-buruh yang lain untuk menuntut hak-hak mereka. Dalam kasus ini kriminalisasi difungsikan sebagai alat untuk memberikan efek teror kepada sebuah organisasi/kelompok sehingga fungsi dan tujuan dari organisasi/kelompok tersebut tidak dapat berjalan lagi. Tidak sampai disana, institusi negara pun juga dapat menjadi korban dari kriminalisasi. Sebut saja KPK yang merupakan jelas-jelas contoh nyata dari dilakukannya kriminalisasi. Dengan ditetapkannya beberapa komisioner KPK menjadi tersangka, secara tidak langsung melumpuhkan KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia. Mengacu kepada hak-hak dasar warga negara nasional, kriminalisasi juga memiliki dampak yang cukup serius. Sebab jika kriminalisasi oleh aparat merajalela, hak warga negara atas kepastian hukum menjadi tidak dapat terpenuhi. Dengan kata lain, setiap orang sewaktu-waktu dapat menjadi tersangka jika berbenturan kepentingan dengan aparat atau orang-orang yang dekat dengan aparat. Untuk memulihkan ketertiban (social order) dan memberikan rasa aman kepada masyarakat, sekaligus untuk menjaga perilaku masyarakat agar tidak melakukan suatu perbuatan jahat yang dapat menimbulkan keresahan dan mengancam ketertiban. Sejatinya, tujuan adanya hukum di masyakarat adalah untuk menciptakan ketertiban sosial dan menciptakan rasa aman dalam kehidupan sehari-hari. Praktik “kriminalisasi” yang dilakukan oleh aparat penegak hukum justru akan menciptakan ketidakpercayaan masyarakat yang dapat berujung pada hilangnya rasa aman di masyarakat.
MITIGASI TERHADAP UPAYA KRIMINALISASI
Selama ini praktik “kriminalisasi” tidaklah dianggap sebagai suatu permasalahan hukum dan secara pragmatis dianggap dapat diselesaikan di pengadilan ketika kasus tersebut diadili. Namun hari ini, upaya tersebut tidaklah mencukupi terlebih jika sebelum masuk ke pengadilan telah timbul kerugian bagi korban “kriminalisasi”. Kendati kriminalisasi sangat mengancam hak-hak warga sipil, namun dengan menghapuskan setiap upaya paksa yang dimiliki oleh aparat juga merupakan hal yang sangat berbahaya. Penghapusan kewenangan yang demikian justru akan membuat penegakan hukum menjadi kendur. Oleh karena itu, agar dapat mengakomodir kedua kepentingan tersebut, setiap upaya paksa yang dilakukan oleh aparat harus dibarengi mekanisme kontrol yang optimal. Kontrol yang paling ideal untuk saat ini adalah harus disediakannya mekanisme bagi warga sipil untuk menguji setiap upaya paksa yang dilakukan oleh aparat apakah sudah dilakukan dengan patut dan semata-mata bertujuan untuk penegakan hukum. Dalam KUHAP sudah mengatur mekanisme Pra-Peradilan yang tujuannya untuk menguji upaya paksa oleh aparat. Akan tetapi, upaya paksa tersebut hanya terbatas pada penahanan dan penangkapan yang dilakukan oleh aparat. Padahal, dalam kasus-kasus kriminalisasi upaya paksa yang dilakukan oleh aparat menggunakan pelbagai kewenangan yang melekat didalamnya, termasuk mengenai penetapan tersangka oleh aparat. Terlepas dari perdebatan apakah penetapan tersangka termasuk dalam upaya paksa yang diatur dalam KUHAP, tetapi sebuah keniscayaan bila sebuah penetapan tersangka dapat merugikan warga sipil, sekurang-kurangnya adalah hak untuk merasa tenang. Tempo lalu, Hakim Sarpin melalui putusan pra-peradilan menyatakan bahwa penetapan tersangka merupakan suatu upaya paksa dan termasuk dalam objek perkara dalam praperadilan. Pendapat hakim tersebut diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 yang juga menyatakan bahwa objek Pra-Peradilan menjadi diperluas dengan dimasukkannya penetapan tersangka sebagai upaya paksa yang dapat dilakukan pemeriksaan.Sampai sejauh ini, selain Pra-Peradilan belum ada mekanisme yang bisa digunakan untuk mencegah terjadinya kriminalisasi. Bagaimanapun nanti perkembangan hukum Indonesia kedepannya, sudah seharusnya setiap wewenang yang dimiliki oleh aparat harus memiliki sistem kontrol yang transparan. Sehingga setiap warga negara memiliki akses terhadap sistem kontrol tersebut.
*** Kontak: Kantor KontraS Jl. Borobudur No.14 Menteng | Jakarta Pusat 10320 Tlp: 021-3926983, 3928564 | Fax: 021-3926821 | Email:
[email protected]
KRIMINALISASI