JURNAL ILMU SOSIAL, Vol. 11, No. 1, April 2013
WACANA PEMILIHAN KEPALA DAERAH OLEH ANGGOTA DPRD PROVINSI DAN DPRD KABUPATEN/KOTA Terianus L. Safkaur* *Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP UNCEN Jayapura
Abstract : The process of political recruitment and Regional Head for the Legislature to be a problem in an effort to uphold democracy at the local level. Various multidimensional crisis that hit the Indonesian nation, since enacted reforms of 1998 total demand improved quality of democracy climatic conditions as mandated Good Governance. Through this article would like to participate in solving the problem of reconstructing the Indonesian nation in the face of democracy as well as a portrait of an open market, analyzing the process of development, implementation, as well as the recruitment of candidates for the Executive and Legislative politics in Indonesia. Democratic process in the State of Indonesia is not running perfectly. The first indication of the cause of professionalism and recruitment issues such as politics, the second issue of elections, the third issue of political education for the community, the fourth issue of money politics, the fifth issue of regional expansion. Analysis of the factors causing a perfect implementation of democracy runs less imbalance caused by the quality of human resources capabilities between the legislature and the executive. Thereby impacting the practice of money politics, lack of response of the Legislature to the public vote, lack of professionalism due to political recruitment is not based on a clear platform, so that the tendency of politicians to control orientation.
Abstrak : Proses rekruitmen politik Kepala Daerah dan Legislatif selama ini menjadi satu persoalan dalam upaya menegakan kehidupan demokrasi ditingkat lokal. Berbagai krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia, sejak diberlakukan reformasi total Tahun 1998 menuntut perbaikan keadaan iklim demokrasi yang berkualitas sesuai amanat Good Governance. Melalui artikel ini kiranya dapat berpartisipasi dalam memecahkan persoalan Bangsa Indonesia dalam menata ulang demokrasi dalam menghadapi pasar terbuka serta mengambarkan, menganalisa proses perkembangan, pelaksanaan, serta proses rekrutmen politik calon Eksekutif dan Legislatif diIndonesia. Proses demokrasi di Negara Indonesia tidak berjalan sempurna. indikasi penyebab pertama diantaranya isu profesionalisme dan rekrutmen politik, kedua isu penyelenggaraan pemilu, ketiga isu pendidikan politik bagi masyarakat, keempat isu money politic, kelima isu pemekaran wilayah. Analisa faktor penyebab pelaksanaan demokrasi kurang berjalan sempurna disebabkan oleh ketidak seimbangan kualitas kemampuan Sumber Daya Manusia antara Legislatif dan eksekutif. Sehingga berdampak praktek money politic, kurang tanggapnya Legislatif terhadap suara publik, kurang profesionalisme akibat rekrutmen politik yang tidak berdasarkan platform yang jelas, sehingga kecendrungan orientasi politisi kepada kekuasaan.
Keywords : Pilkada, Rekruitmen Politik, Profesionalisme DPRD Harus diakui bahwa ketika beberapa elemen kritis di negeri ini mendorong terjadinya reformasi demokrasi, tidak banyak dari mereka yang membayangkan bahwa perubahan ini akan membawa akibat yang sangat penting pada peran partai politik. Walaupun secara umum berkembang kepercayaan bahwa demokrasi memerlukan sebuah infrastruktur politik baru, kebanyakan orang di negeri ini kurang berhasil mengembangkan perspektif baru yang memadai selain dari pemilihan umum yang bebas. Adalah jelas bahwa pemilihan umum yang bebas merupakan syarat penting dalam demokrasi, sama pentingnya dengan itu tentu saja adalah membangun partai politik yang efektif. Sangat penting untuk dicatat disini bahwa dalam wacana dominan tentang “reformasi” yang merupakan fenomena elektrik disepanjang tahun 1997 dan sepanjang 1998 itu pada
umumnya mengasumsikan masalah pokok bagi sebuah perubahan di Indonesia terdapat pada negara (state) dan bukan pada masyarakat (civil society). Kekuasaan yang korup, sentralistis dan abai terhadap hak-hak sipil dan politik rakyat, misalnya dipandang sebagai sumber utama dari berbagai persoalan di Indonesia (Daniel Sparingga, 2006:6-8). Memasuki akhir abad kedua puluh, sebagian pengamat dunia menakbirkan aura optimisme dalam tahapan demokrasi. Mereka melihat kuartal abad kedua puluh ini merupakan periode demokrasi yang paling menjanjikan dalam sejarah peradaban modern. Aura optimisme ini tidak menyadarkan diri pada argumen-argumen profetik. Bahwa demokrasi adalah titik-titik akhir evolusi ekologi manusia dan bentuk final pemerintah, seperti yang pernah dilansir Francis Fukuyama. Tapi aura optimisme itu lebih 30
Terianus Safkaur – Pilkada Langsung oleh DPRD
disandarkan pada satu kenyataan bahwa memasuki kuartal abad kedua puluh ini, banyak negara yang menjadi demokratis. Undang-undang Dasar 1945 yang telah diamandemen selama periode 1999-2004 yang dihasilkan oleh pemilu 1999 mengubah banyak aspek dari hubungan ketatanegaraan kita. Perubahan yang terjadi itu ditandai oleh beberapa hal diantaranya, Pertama, parlemen terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kedua, seluruh anggota parlemen dipilih melalui pemilu yang berimplikasi pada akhirnya sistem pengangkatan dan penunjukan anggota TNI/ Polri dan perwakilan golongan sebagai anggota parlemen. Ketiga, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Keempat, dibentuknya lembaga independen penyelenggara pemilu yang bebas dari pengaruh pemerintah. Kelima, pembentukan Mahkamah Konstitusi yang diantaranya memiliki kewenangan judicial review. Keenam, hadirnya sistem kepartaian jamak (multy-party system). Demokrasi merupakan sistem nilai dan sistem politik telah teruji dan diakui sebagai yang paling realistik dan rasional untuk mewujudkan tatanan sosial, ekonomi dan politik yang adil, legalitas dan manusiawi. Begitu teruji dan tak terbantahkannya demokrasi, sehingga banyak penguasa-penguasa otoriter dan totalitas menyebut kekuasaan sebagai sistem yang dibangun sebagai kekuasaan yang demokratis. Ada 3 (tiga) asumsi yang membuat demokrasi diterima secara luas di dunia (Amien Rais, 1986). Pertama, demokrasi tidak saja merupakan bentuk vital dan terbaik pemerintah yang mungkin diciptakan, tetapi juga merupakan satu doktrin politik luhur yang akan memberikan manfaat bagi kebanyakan negara. Kedua, demokrasi sebagai sistem politik dan pemerintahan dianggap mempunyai akar sejarah yang panjang sampai zaman yunani kuno, sehingga ia tahan banting dan dapat menjamin terselenggaranya lingkungan politik yang stabil. Ketiga, demokrasi dipandang sebagai sistem yang paling alamiah dan manusiawi, sehingga semua warga negara manapun memilih demokrasi bila mereka diberi kebebasan untuk melakukan pilihannya.
PEMBAHASAN Istilah demokrasi yang menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa” atau government or rule by the people. Kata Yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/ berkuasa. Pada tahun 1863, negarawan Amerika “Abraham Lincoln” merumuskan suatu definisi yang sangat popular yaitu “government of the people by the people and for the people” pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Oleh Larry Diamond, Juan J Linz dan Seymour Marthin Lipset, memaknai demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan yang memenuhi tiga syarat pokok, yaitu; (1) kompetisi, yang sungguh-sungguh dan meluas diantara individu-individu dan kelompokkelompok organisasi (terutama partai politik) untuk merebutkan kekuasaan atau jabatanjabatan pemerintahan yang regular (teratur/ tetap) dan tidak melibatkan penggunaan daya paksa. (2) partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga negara dalam pemilihan pemimpin atau kebijakan, paling tidak melalui pemilihan umum yang diselenggarakan secara regular dan adil, sedemikian rupa sehingga tidak satupun kelompok sosial (warga negara dewasa) dikecualikan. (3) suatu tingkat kebebasan sipil dan politik, yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan untuk membentuk dan bergabung ke dalam organisasi, yang cukup untuk menjamin integritas kompetensi dan partisipasi politik. Dengan demikian demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih. Demokrasi juga bisa dimaknai sebagai bentuk masyarakat, menghargai kebebasan dan mendukung toleransi, khususnya terhadap pandangan-pandangan minoritas. Demokrasi itu memberi penghargaan setinggi-tingginya kepada rakyat. Rakyat adalah kata kunci dari demokrasi. Demokrasi ini harus dipahami dari dua dimensi sudut pandang yaitu dimensi normatife dan dimensi empirik. Dimensi pertama mengajarkan kepada kita apa yang seharusnya secara idiil dari demokrasi, dan dimensi empirik terjadi dalam kehidupan politik sebuah negara, bagaimana bentuk normatif-idiil tersebut diwujudkan dalam kehidupan politik sehari-hari (Afan Gaffar, 2000).
31
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol. 11, No. 1, April 2013
PENYELENGGARA PEMILU Freedom House (Didik Supriyanto, 2001:1) merumuskan empat indeks pokok demokrasi yang masing-masing di jabarkan menjadi subsub indeks. Keempat indeks pokok itu : pertama, adanya sistem pemilihan yang jujur dan adil (free and fair elections); kedua, adanya pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif (open, accountable, and responsive government); ketiga, adanya promosi dan perlindungan hak asasi manusia yang berkelanjutan terutama hak-hak sipil dan politik; keempat, adanya masyarakat sipil maupun lembaga-lembaga politik yang merefleksikan adanya masyarakat yang percaya diri (a society of self-confident citizens). Jika demokrasi dilihat berdasarkan indeks pokok pertama, yakni adanya sistem pemilihan yang jujur dan adil, maka demokrasi di Indonesia mengalami perkembangan signifikan sejak jatuhnya rezim orde baru. Ditengah kekhawatiran akan terjadinya kerusuhan sosial, pemilu 1999 terlaksana dengan lebih bebas, lebih jujur dan lebih adil dari pada penyelenggara pemilu sebelumnya. Sukses pemilu 1999 berulang lima tahun kemudian, yakni pemilu 2004 yang berhasil memilih anggota legislatif, presiden dan wakil presiden, dan terulang lagi sukses tersebut pada pemilu 2009 yang mengusung dua agenda besar yaitu pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden. Sehingga pada pemilu 2014 mendatang proses akan berjalan secara baik dan demokratis. Dalam konteks inilah Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus diposisikan, yakni sebagai penggerak proses demokratisasi lewat kegiatan pemilu. Kehadiran KPU mesti juga ditempatkan dalam arus sejarah di mana Indonesia membutuhkan lembaga penyelenggara pemilu yang independen. Komitmen untuk membangun negara demokrasi menyebabkan Sidang Tahunan MPR RI pada Agustus 2001 memasukan ketentuan tentang Pemilu dan Perubahan ketiga UUD 1945 sebagaimana tercantum pada Bab VII B Pemilihan Umum pasal 22 E yaitu : (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD. (3) Peserta Pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai politik.
(4) Peserta Pemilihan umum untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. (5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. (6) Ketentuan lebih lanjut dengan pemilihan umum diatur dengan undang-undang. Demikianlah sejarah dan konstitusi telah memposisikan KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Sedangkan fungsi KPU adalah menyelenggarakan pemilu legislatif (untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD) dan Pemilu Presiden (untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden) setiap lima tahun sekali. Sehubungan dengan hal tersebut, tugas dan wewenang KPU tentu berbeda-beda tergantung pada jenis pemilu. Mengenai tugas, wewenang dan kewajiban KPU diatur pada pasal 8 paragraf 1 untuk KPU, pasal 9 paragraf 2 untuk KPU Provinsi dan pasal 10 paragraf 3 untuk KPU Kabupaten/Kota, dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Meskipun rincian tugas dan wewenang KPU/KPUD terdiri atas begitu banyak item, namun secara umum tugas dan wewenang KPU/KPUD itu bisa dipilah menjadi 6 (enam) kelompok; Pertama, menyusun peraturan pelaksana, tatakerja lembaga dan standarisasi logistik. Kedua, membuat perencanaan dan jadwal. Ketiga, melaksanakan tahapan-tahapan pemilu. Keempat, menetapkan hasil setiap tahapan pemilu. Kelima, menangani pelanggaran peraturan pemilu dan kode etik. Keenam, menindak petugas pemilu yang melanggar peraturan dan kode etik. STANDAR PENYELENGGARA Pemilu adalah salah satu syarat berlangsungnya demokrasi. Namun tidak semua pemilu berlangsung secara demokratis. Robert A. Dahl (Didik Supriyanto, 2007:22-23) memberikan ukuran-ukuran yang harus dipenuhi agar suatu pemilu memenuhi prinsip-prinsip demokrasi. Pertama, inclusiviness, artinya setiap orang yang sudah dewasa harus diikutkan dalam pemilu. Kedua, equal vote, artinya setiap suara mempunyai hak dan nilai yang sama. Ketiga, effective participation, artinya setiap orang mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan pilihannya. Keempat, enlightened understanding, dalam rangka mengekspresikan pilihan politiknya secara akurat, setiap orang 32
Terianus Safkaur – Pilkada Langsung oleh DPRD
mempunyai pemahaman dan kemampuan yang kuat untuk memutuskan pilihannya. Kelima, final control of agenda, artinya pemilu dianggap demokratis apabila terdapat ruang untuk mengontrol atau mengawasi jalannya pemilu. Pemilu sesungguhnya merupakan syarat mutlak (condition sine qua non) bagi terselenggaranya pemerintahan yang berdasar-kan prinsip perwakilan. Karena itu pemilu yang demokratis memerlukan sejumlah persyaratan, yaitu : a. Adanya penguatan terhadap hak pilih universal b. Adanya keleluasaan untuk membentuk tempat penampungan bagi pluralitas aspirasi masyarakat pemilih c. Adanya mekanisme rekruitment politik bagi calon-calon wakil rakyat yang terbuka d. Adanya kebebasan bagi pemilih untuk mendiskusikan dan menentukan pilihannya e. Adanya keleluasaan bagi peserta pemilu untuk berkompetisi secara sehat f. Adanya netralitas birokrasi g. Adanya lembaga penyelenggara pemilihan yang independen. PRO DAN KONTRA Menjelang pemilihan umum Kepala Daerah, timbul isu yang cukup hangat diperdebatkan oleh berbagai kalangan yaitu wacana pemilu kepala daerah oleh Anggota DPRD. Bukan mustahil bahwa hal ini akan mengembalikan paham demokrasi ke masa sebelum reformasi, dalam konteks ini UU No. 32 tentang Pemerintahan Daerah perlu diubah/di revisi. Apa bila dipandang bahwa Pemilukada dilaksanakan oleh DPRD, ada beberapa hal yang bisa dipandang sebagai sebuah dukungan, yaitu pertama dari aspek penyelenggaraan Pemerintahan khususnya efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, Pemilukada yang dilakukan oleh DPRD bisa mengurangi jarak pelaksanaan pemilukada tersebut dilihat dari sudut pandang perwakilan masyarakat dalam kelembagaan DPRD. Kedua, dari aspek financial, penggunaan anggaran bagi pelaksanaan pemilukada akan diminimalisir sehingga pembiayaan yang besar dalam pelaksanaan pesta demokrasi tersebut bisa dialihkan untuk hal-hal lain dari kebutuhan masyarakat, dan ketiga dari aspek keterwakilan masyarakat akan tergambar pada lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan. Artinya, dalam demokrasi perwakilan rakyat secara keseluruhan tidak ikut menentukan jalannya pemerintahan, tetapi
rakyat menguasakan kepada wakil-wakilnya yang duduk di lembaga perwakilan untuk menentukan jalannya pemerintahan. Namun wacana pemilukada yang dilakukan oleh DPR bisa dipandang sebagai pembekuan demokrasi (frozen democracies) atau demokrasi lemah atau demokrasi tidak solid (Tadjudin Noer Efendi, 2003:xiii). Sekurang-kurangnya ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi : Pertama, proses demokrasi mengalami pembusukkan karena ketidakmampuan pemerintah yang berkuasa untuk melakukan perubahanperubahan sosial, politik dan ekonomi yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat (tuntutan reformasi). Kedua, bila pemerintah gagal menciptakan tata tertib untuk mendorong terciptanya iklim kondusif bagi kelangsungan proses demokrasi. Ketiga, bila proses konsolidasi, yakni praktek-praktek demokrasi tidak berkembang dan tidak menjadi bagian dari sebuah budaya politik. Semua variasi model perwakilan harus tetap berpegang pada prinsip kedaulatan rakyat, dimana konstitusi negara harus menetapkan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat karena peradaban yang sejati adalah mengembalikan apa yang menjadi hak rakyat. PENUTUP Kesimpulan dan rekomendasi dalam menata ulang demokrasi ada beberapa hal yang menjadi masukan untuk memperbaiki kualitas pelaksanaan demokrasi di Negara Indonesia yaitu pertama Sistim proses rekruitmen politik harus berjenjang dengan mengedepankan profesionalitas dan seleksi kader-kader politisi harus dilakukan melalui uji kemampuan dan kepatutan dengan melibatkan akar rumput (masyarakat) sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Dalam memperoleh public figure berkualitas yang akan duduk dikursi Legislatif dan Eksekutif (Kepala Daerah) dan harus dibuat aturan main mengenai standarisasi jabatan politik. Kedua, Indikasi maraknya KKN ditubuh Legislatif dan Eksekutif disebabkan oleh dampak sistim rekruitmen politik yang tidak berdasarkan platform yang jelas serta faktor penyebab sehingga legislatif tidak tanggap terhadap suara publik. Hal tersebut disebabkan oleh ketidakseimbangan kualitas Sumber Daya Manusia sehingga menimbulkan indikasi bargaining politic . dalam meloloskan produk politik, sehingga bertentangan dalam etika moral yang merugikan publik yang akan
33
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol. 11, No. 1, April 2013
menerima dampak kebijakan yang dibuat oleh para elit politik tersebut. Ketiga, Perlu memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, tentang cara berdemokrasi yang tepat dalam berpolitik, sehingga tindakan-tindakan anarkis yang merugikan dapat dihilangkan yang berdasarkan etika moral. Dengan jalan para politisi memberikan bimbingan dan pembelajaran mengenai kehi-
dupan berpolitik sehingga tidak terjadi defisit demokrasi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sekarang ini. Keempat, meletakan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai salah satu ideologi (alat pemersatu) dalam perbedaan pandangan ideologi politik dalam membangun demokrasi yang berkualitas dimasa mendatang untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Afan Gaffar, 2000, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Amien Rais, 1986, Demokrasi dan Proses Politik, LP3ES, Jakarta. Daniel Sparingga, 2006, (Pengantar), Peran Partai Politik Dalam Sebuah Sistem Demokrasi: Sembilan Tesis, Fredrich-Ebert-Stiftung Indonesia Office, Jakarta. Didik Supriyanto, 2007, Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu, Perludem, Jakarta. George Sorensen, 2003, Demokrasi dan Demokratisasi, Proses dan Prospek dalam sebuah Dunia yang sedang berubah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. UU Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilu
34