Pokok Bahasan 7
KOTA, SISTEM KOTA-KOTA, KOTA DAN WILAYAH BELAKANGNYA
TUJUAN INSTRUKSIONAL
Tujuan Umum: Peserta mampu menjelaskan peran kota dalam suatu wilayah dan hubungannya dengan wilayah belakangnya Tujuan Khusus: 1. Peserta mampu menjelaskan peran kota dalam suatu sistem pembangunan; 2. Peserta mampu menjelaskan hubungan di dalam kota dan antar kota-kota dalam suatu wilayah; 3. Peserta mampu menjelaskan hubungan antara pusat sebagai inti dengan wilayah belakangnya yang merupakan wilayah yang dipengaruhinya
PENDAHULUAN
Kota merupakan tempat bergabungnya berbagai hal dan merupakan kumpulan keanekaragaman banyak hal. Berbagai strata masyarakat bergabung dalam satu tempat yang sama, yakni kota. Begitu juga dengan kegiatan ekonomi. Begitu banyak kegiatan ekonomi saling melengkapi dan saling bergantung. Kota juga merupakan simbol dari kesejahteraan, kesempatan berusaha dan dominasi terhadap wilayah sekitarnya. Namun kota juga merupakan sumber polusi, kemiskinan dan perjuangan untuk berhasil. Gejala kota yang seperti ini telah terjadi sejak munculnya pusat-pusat permukiman yang kemudian dikenal sebagai kota. Saat ini, apa yang istimewa pada sebuah kota?
Pengaruh globalisasi adalah faktor utama yang membuat keadaan berbeda dari masa yang lampau. Globalisasi menyebabkan tekanan pada kota di suatu wilayah menjadi lebih keras daripada sebelumnya (Massey, Allen dan Pile, 1999). Dunia saat ini telah ‘tenggelam’ dan menyebabkan hanya dua hal yang muncul (Allen, Massey, dan Pryke, 1999). Yang pertama adalah jaringan aktivitas yang sifatnya mendunia. Sebagai contoh, sebuah perusahaan transnasional bisa memiliki jaringan produksi di berbagai negara, berlakunya nilai-nilai global yang berlaku di berbagai belahan dunia, dan juga penggunaan berbagai produk dunia yang diakibatkan oleh promosi yang gencar, seperti minuman Coca Cola dan computer IBM. Yang kedua adalah lebih kerapnya kontak di antara berbagai tempat. Pada saat ini kegiatan di suatu tempat tidak dapat dipisahkan dari kejadian yang berlangsung di tempat yang lain. Peristiwa ditabraknya gedung WTC di New York menghancurkan harga saham di berbagai perusahaan, ledakan bom di kereta bawah tanah Kota London meningaktkan kesibukan seluruh petugas bandar udara di berbagai kota dunia, naiknya harga minyak bumi memperparah keadaan ekonomi negara yang masih sangat bergantung pada pasokan minyak bumi dari luar negeri, dan berbagai kejadian lain. Kedua gejala ini sudah sangat nyata mempengaruhi kota-kota tua seperti London, Tokyo, Singapura, ataupun Jakarta. Di kota-kota tua, percampuran berbagai jenis kegiatan industri, kelompok sosial dan pergerakan manusia, serta barang dan informasi, sudah lama berlangsung dan telah menjadi karakteristik kota-kota tersebut. Namun gejala tersebut saat ini juga mulai nampak di kota-kota lain, yang bukan merupakan pusat pertumbuhan negara, seperti Bristol ataupun Semarang. Mengapa gejala ini juga berpengaruh pada kota-kota menengah? Jaringan aktivitas yang mendunia dan kerapnya kontak dengan tempat-tempat lain merupakan gejala yang muncul. Gejala ini dalam bentuk tingginya perjalanan masuk dan ke luar tempat-tempat tersebut, adanya migrasi, menyebarnya informasi melalui televisi, dan promosi guna meningkatkan pola hidup konsumtif. Dengan kemajuan teknologi, kota-kota menengah tidak dapat terlepas dari pengaruh berbagai media, baik elektronik maupun media cetak. Perjalanan antar tempat juga tidak mengalami kendala lagi. Teknologi transportasi saat ini telah mampu mengatasi jarak fisik antar tempat yang berjauhan. Bahkan komunikasi tidak perlu lagi dilakukan dalam bentuk tatap muka, tetapi secara maya.
HUBUNGAN DI DALAM KOTA
Hubungan Sosial dan Ekonomi
Gambar 7.1. Kehidupan Masyarakat di Kawasan Kumuh tengah Kota Jakarta
Apa yang bisa diceritakan dari Gambar 7.1. di atas? Gedung tinggi yang berada di Jalan Jenderal Sudirman Jakarta merupakan sebuah gedung perkantoran dengan kegiatan jasa sebagai kegiatan utama. Ratusan juta rupiah uang dikelola oleh perusahaan-perusahaan yang berada di gedung tersebut. Karyawan yang bekerja di gedung tersebut berpenghasilan tinggi, mencapai puluhan juta rupiah. Mereka makan di restoran mahal dengan sajian menu dari berbagai negara, bepergian ke mencanegara dengan menggunakan fasilitas perjalanan terbaik, tinggal di apartemen atau perumahan mewah di seputar Jakarta, serta bergaul hanya dengan teman-teman yang memiliki pola kehidupan yang serupa, baik yang ada di Indonesia maupun di negara lain. Sementara itu di sisi gedung perkantoran tersebut terdapat bangunan sederhana dan tampak kumuh. Mereka yang tinggal di bangunan tersebut hidup dengan penghasilan yang hanya cukup
untuk makan, menu makanannyapun sangat sederhana dan hanya berfungsi untuk mengganjal perut. Mereka tidak pernah melakukan perjalanan jauh, tidak juga makan di restoran. Pergaulan mereka hanya seputar teman kerja dan tetangga di sekitar tempat tinggal. Itulah kehidupan perkotaan. Mereka yang dekat di mata belum tentu menjadi teman dekat. Kehidupan yang bersisian tersebut tidak berarti mereka saling kenal, apalagi berteman. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan perkotaan memiliki berbagai bentuk yang bisa saling tidak saling bersinggungan.
Gambar 7.2. Kehidupan Dua Kelompok Masyarakat dari Kelas Sosial yang Berbeda
Gambar 7.2. juga merupakan gambaran kehidupan di perkotaan. Kedua kelompok sosial masyarakat dalam gambar menampakkan hubungan yang ‘akrab’ dan sepertinya saling mengenal. Satu kelompok sosial adalah mereka yang berkecukupan dengan kehidupan yang sudah mapan. Sedang kelompok yang satu lagi adalah mereka yang berpenghasilan secukupnya dan tidak punya jaminan apapun bagi hidupnya. Kedua kelompok ini saling tergantung, yang satu membutuhkan yang lain. Tanpa kelompok yang berada, tidak akan tercipta kebutuhan pelayanan seperti yang dilakukan oleh kelompok sosial yang kedua. Sedangkan kelompok sosial yang pertama, walau berkecukupan secara ekonomi, tetapi tidak mungkin melakukan segala sesuatu sendiri. Karena saling membutuhkan inilah maka tercipta keakraban di antara mereka, walaupun sesungguhnya mereka tidak saling mengenal.
Dari contoh di atas, sesungguhnya ada tiga kunci suatu kota. 1. As sites of proximity and co-presence 2. As mix of space/times 3. As meeting places
Hubungan Secara Fisik Sejak dahulu kala, hubungan antar bagian-bagian sudah dilakukan dengan menggunakan berbagai macam media fisik yang dikenal sebagai jalur. Jalur-jalur yang menjadi penghubung antar ruang di gedung-gedung dibentuk oleh selasar. Selasar ini dibatasi oleh pintu sehingga dapat dikatakan bahwa selasar adalah penghubung antar pintu Antara satu gedung dengan gedung yang lain dihubungkan dengan jalur jalan. Antar bagian kota dihubungkan, selain dengan jalur jalan pejalan kaki atau jalur mobil, dapat juga dihubungkan dengan jalur rel kereta. Penghubung antar bagian di dalam kota dilakukan melalui jalur pergerakan dalam berbagai bentuknya. Jalur-jalur tersebut memungkinkan komunikasi antar bagian di dalam gedung, di dalam kota, bahkan dengan tempat-tempat yang berjauhan. Hubungan fisik ini memudahkan hubungan antara tempat tinggal manusia, tempat bekerjanya, tempat rekreasi dan berbagai tempat dengan karakteristiknya masing-masing. Dengan kemajuan teknologi, hubungan antar tempat tidak harus selalu dilakukan secara fisik. Hubungan antar individu atau antar lembaga dapat dilakukan dengan cara surat menyurat, atau berkomunikasi melalui telepon. Untuk mengetahui keadaan suatu tempat yang jauh, atau bahkan tempat yang kita tidak ketahui keberadaannya, kita dapat mengunjungi World Wide Web (www) yang dilakukan melalui internet. Layanan ini menyajikan halaman-halaman penuh informasi dalam berbagai bentuk seperti narasi, table, gambar, grafik, peta, maupun foto-foto. Informasi ini juga dapat dengan segera diperbaharui saat ada perubahan informasi. Dan untuk mendapatkan informasi tersebut kita tidak perlu mengenal atau berkomunikasi dua arah dengan sumbernya.
HUBUNGAN ANTAR KOTA-KOTA
HUBUNGAN KOTA DAN DAERAH BELAKANGNYA Dari penjelasan di atas, hubungan di dalam kota, atau antara kota dengan daerah sekitarnya, dapat dipilah dari segi sosial ekonomi dan dari segi fisik. Kedua hal tersebut saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Salah satu teori yang dapat menjelaskan hubungan sosial-ekonomi dan fisik yang berkait erat dan saling mempengaruhi adalah Teori Central Place (Central Place Theory). Sebuah kota atau pusat merupakan inti dari berbagai kegiatan pelayanan, sedangkan wilayah di luar kota atau pusat tersebut adalah daerah yang harus dilayaninya, atau daerah belakangnya (hinterland). Sebuah pusat yang kecil akan memberikan penawaran pelayanan yang lebih terbatas jika dibandingkan dengan pusat yang lebih besar. Jarak wilayah yang dilayaninyapun relatif lebih dekat dengan luasan yang kecil (Knox, 1994). Guna mengetahui kekuatan dan keterbatasan hubungan ekonomi dan fisik suatu kota atau pusat dengan wilayah sekelilingnya, seorang ahli geografi, Walter Christaller, melakukan sebuah penelitian. Penelitian ini dilakukan di Jerman bagian selatan, di daerah perdesaan (Hartshorn, 1980). Penelitian Christaller menghasilkan sebuah teori yang kemudian dikenal sebagai Central Place Theory. Teori ini menjelaskan peran sebuah kota sebagai pusat pelayanan, baik pelayanan barang maupun jasa bagi wilayah sekitarnya (tributary area).
Kepusatan Menurut Christaller, tidak semua kota dapat menjadi pusat pelayanan. Sebuah pusat pelayanan harus mampu menyediakan barang dan jasa bagi penduduk di daerah sekitarnya. Christaller menyatakan bahwa dua buah pusat permukiman yang mempunyai jumlah penduduk yang persis sama tidak selalu menjadi pusat pelayanan yang sama
pentingnya. Istilah kepusatan (centrality) digunakan untuk menggambarkan bahwa besarnya jumlah penduduk dan pentingnya peran sebagai tempat terpusat (central place).
Ambang Batas Istilah ekonomi lain yang juga digunakan oleh Christaller adalah ambang batas (threshold). Ambang batas didefinisikan sebagai jumlah minimum kegiatan perdagangan (dalam satuan moneter) yang dibutuhkan oleh seorang wiraswastawan untuk mempertahankan kegiatan bisnisnya. Seorang pelaku bisnis, setidaknya harus mengeluarkan uang untuk membayar biaya tetap kegiatannya (overhead cost), yang antara lain adalah untuk membayar sewa tempat kegiatan. Pembelian yang dilakukan oleh pelanggan, paling sedikit (minimum) dapat memenuhi kebutuhan pembayaran biaya tetap tersebut. Itulah yang disebut sebagai ambang batas. Beberapa barang dibeli secara tetap (rutin) oleh pelanggan, seperti kebutuhan sehari-hari. Untuk barang jenis ini, toko kecil dapat memenuhinya, walaupun jumlah yang disediakan sedikit dan terbatas. Untuk barang-barang yang sering dibeli seperti ini, disebut sebagai low-order goods. Warung di sekitar perumahan, atau toko modern dengan skala kecil, merupakan pusat pelayanan penyediaan low-order goods. Barang-barang yang lebih khusus fungsinya, seperti perlengkapan rumah tangga, asesoris dan onderdil kendaraan, barang elektronik ataupun furnitur rumah tidak mungkin mencapai ambang batasnya jika skala penjualannya hanya sebatas lokasi permukiman. Barang-barang jenis ini tergolong high-order goods, dan membutuhkan ambang batas wilayah yang lebih luas. High-order goods merupakan barang yang dibeli tidak sesering low-order goods dan hanya dibeli oleh mereka yang memiliki penghasilan, kemampuan, dan kebutuhan yang lebih tinggi. Karena itu penyediaan barang jenis ini berada di kota atau pusat yang lebih luas. Tidaklah mudah untuk mengukur ambang batas dan kepusatan. Ambang batas seharusnya diukur dengan menggunakan satuan moneter, tetapi tidak mudah mendapatkan angkanya. Karena itu, untuk mengukur ambang batas digunakanlah jumlah orang yang membutuhkannya.
Jangkauan Pelayanan Jangkauan pelayanan suatu pusat dikenal sebagai range of a good. Jangkauannya (range) digambarkan sebagai area pasar (luas jangkauan area yang dilayani) dari satu jenis barang dagangan. Atau dapat juga dianalogikan sebagai asal pembeli, yang diukur dari jarak tempat tinggal pembeli menuju ke pusat pelayanan tempat pelanggan membeli barangnya.. Jangkauan pelayanan dipengaruhi oleh harga barang, biaya transportasi, tingkat kebutuhan terhadap barang yang akan dibeli, selera konsumen, dan kesempatan memilih. Jangkauan pelayanan bagian dalam (inner range of the good) adalah perwujudan secara spasial dari konsep ambang batas, yang bukan merupakan konsep spasial. Ini merupakan bentuk wilayah belakang (hinterland) atau area perdagangan yang dibutuhkan untuk memenuhi ambang batas pembelian. Jangkauan pelayanan bagian luar ada juga yang ideal, yang kemudian dikenal sebagai ideal outer range of the good. Ini merupakan areal perluasan paling luar, yang tidak mendapatkan pelayanan dari pusat manapun. Penduduk di area ini tidak dapat dilayani karena biaya untuk menuju ke pusat pelayanan terlalu tinggi. Area ini mewujudkan adanya keterbatasan geografi dan ekonomi bagi suatu pusat pelayanan. Guna memenuhi kebutuhan, penduduk menciptakan penggantinya, atau hidup dengan tidak bergantung pada barang yang tidak mampu mereka produksi sendiri. Bila ideal outer range of the good kemudian, karena perkembangan teknologi, dapat dilayani oleh suatu pusat, maka area ini menjadi real outer range of the good. Jangkauan pelayanan bagian luar yang nyata (real outer range of the good) adalah perluasan area dari jangkauan pelayanan bagian dalam, yang bisa dilayani tidak hanya oleh satu pusat pelayanan. Bila pusat pelayanan tidak mendapatkan pesaing guna melayani ideal outer range of the good, maka pusat pelayanan tersebut mendapatkan ideal outer rangenya sepenuhnya menjadi bagian dari real outer range of the good. Namun bila terdapat pesaing, maka ideal outer rangenya dilayani secara bersama sehingga real outer rangenya mengecil. Bagian luar ini dilayani secara bersama dan merupakan area perpotongan lebih dari satu pusat pelayanan (perhatikan Gambar 7.3).
▲
▲
Keterangan : 1 = Inner range (threshold) ▲= Perkampungan
2 = Real outer range
3 = Ideal outer range Sumber: Hartshorn (1980 ; hal 108)
Gambar 7.3. Hubungan Antara range of a good dan batas area perdagangan
Asumsi Penelitian Chritaller diawali dengan menetapkan beberapa asumsi, yakni: 1. Asumsi dari sisi lingkungan fisik; Bahwa daerah yang akan menjadi wilayah penelitian merupakan wilayah yang homogen, datar, dan penduduk dapat mencapai semua arah tanpa hambatan. Daerah tersebut mempunyai karakteristik yang sama di semua bagiannya, tidak ada penghalang untuk melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain. Tidak ada sungai sebagai penghalang, tidak ada bukit yang harus didaki dan akses ke semua tempat sama mudahnya. Biasanya penduduk menyebar secara merata di area dengan karakteristik perdesaan seperti ini.
Sumber: Hartshorn (1980 ; hal 109)
Gambar 7.4. Persebaran hasil pertanian yang ideal berdasarkan Teori Central Place (membentuk segitiga samasisi)
2. Asumsi dari sisi perilaku pelanggan; Yang pertama adalah bahwa pelanggan hanya akan membeli barang dari pusat yang terdekat dari tempat tinggalnya. Asumsi yang ke dua, bahwa pusat pelayanan selalu dapat memenuhi kebutuhan barang sesuai dengan kebutuhan pelanggannya. Apabila permintaan menurun hingga di bawah ambang batas, maka barang tersebut tidak lagi tersedia.
Urutan Perkembangan Pusat Pelayanan Hasil penelitian Christaller menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan penduduk membentuk hirarkhi pelayanan, dengan sebuah pusat utama yang didukung oleh beberapa pusat pelayanan dengan skala yang lebih rendah. Pembentukan hirararki pusat pelayanan tersebut terdiri dari tiga tahapan. Adapun tahap tersebut adalah sebagai berikut:
Tahap 1. Pemenuhan Kebutuhan Sendiri (Self-Sufficiency). Pada tahapan awal, penduduk yang menempati area terpencil, mulai memenuhi kebutuhannya sendiri dengan cara membuat barang yang dibutuhkan. Selanjutnya, mereka yang memiliki naluri berdagang akan memproduksi barang melebihi kebutuhan keluarganya. Dengan mengembangkan naluri wiraswastanya, kelebihan barang
tersebut kemudian dijual pada para tetangga. Biasanya kegiatan ini diawali dengan pembuatan makanan, seperti nasi dan berbagai lauk pauknya. Jangkauan pasar si penjual dapat dianalogikan dengan ideal outer range dan inner range. Area pelayanan ini digambarkan melingkar karena disesuaikan dengan asumsi landscape yang homogen, akses dapat dicapai dari berbagai arah secara mudah. Biasanya tahap awal ini hanya menyediakan barang dan jasa low-order goods, seperti beras, telur, sayuran, sabun dan berbagai kebutuhan dasar sehari-hari. Persebaran pusat pelayanan ini dapat dilihat pada Gambar 7.5 berikut ini
Keterangan : ●
= Petani Perorangan (hasil panennya hanya untuk sendiri/self-sufficiency)
◙
= Petani Perorangan (hasil panennya dapat dijual) / Pusat Pelayanan = Inner Range of Good (threshold purchasing power) = Ideal OuterRange of Good (maximum extent of trevel) Sumber: Hartshorn (1980 ; hal 111) dan www.csiss.org
Gambar …. : Perkembangan Pusat Pelayanan Tahap I; Perkembangan dari pemenuhan kebutuhan sendiri (self-sufficience) sehingga timbul pusat pelayanan
Tahap 2: Berkembangnya Pasar Bebas dan Adanya Area yang Tidak Terlayani. Dengan dimulainya kegiatan jual beli yang diawali oleh seorang petani, maka petani lain akan melakukan hal yang sama. Para petani pengikut ini akan memproduksi barang yang sama untuk memenuhi permintaan penduduk di lokasi yang belum dapat
dijangkau oleh penjual pertama. Dengan situasi pasar bebas yang tercipta, maka akan muncul lebih banyak penjual hingga akhirnya seluruh area terlayani. Namun, tidak semua area dapat dilayani oleh pusat-pusat pelayanan yang telah berkembang. Karena bentuk area pelayanan merupakan lingkaran, maka ada area yang tidak dilayani oleh satu pusatpun. Area tersebut kita kenal sebagai interstitial areas. Penduduk di interstitial areas harus memproduksi barang yang dibutuhkannya sendiri karena tidak ada pusat yang bisa melayaninya. Atau, hidup tanpa barang tersebut. Namun dalam perkembangnnya, area yang tidak terlayani ini mengundang penjual baru untuk melayani penduduknya. Penjual yang muncul adalah mereka yang memanfaatkan ideal outer range of the good, dan menjadikannya real outer range bila memperluas jangkauan pelayanan, atau inner range bila muncul dari bagian tengah interstitial areas. Perkembangan pada tahap 2 ini dapat dilihat pada Gambar 7.6 dibawah ini.
Keterangan :
◙
= = = =
Petani Perorangan (Hasil Panennya Dapat Dijual/Pedagang) / Pusat Pelayanan Inner Range of Good (threshold purchasing power) Ideal OuterRange of Good (maximum extent of trevel) Area yang tidak terlayani oleh satu pedagang / pusat pelayanan pun (interstitial area)
Sumber: Hartshorn (1980 ; hal 111) dan www.csiss.org
Gambar 7.6. Perkembangan Pusat Pelayanan Tahap II; Bertambahnya pusat pelayanan dan terdapatnya area yang tidak terlayani
Tahap 3: Kompetisi Spatial dan Penciutan Area Pasar Wiraswatawan baru dapat muncul di tengah area. Tindakan ini berakibat pada penciutan area pasar yang telah tecipta sebelumnya. Sepanjang penciutan pasar ini tidak mengganggu ambang batas yang harus dicapai, maka setiap saat dapat memunculkan wiraswastawan baru. Area pasar dapat semakin menciut dengan munculnya penjual baru. Dengan asumsi bahwa pembeli hanya akan datang ke pusat pelayanan yang terdekat, maka tidak ada area pasar yang saling tumpang tindih (overlapping). Namun ada area yang memang bisa diperebutkan oleh dua pusat pelayanan, yakni area yang memiliki jarak yang sama terhadap dua pusat. Dengan tumpang tindihnya area pasar, maka area pelayanan yang semula berupa lingkaran, kemudian mengalami penyesuaian sehingga berbentuk polygon. Bentuk polygon ini mewakili batas outer range of the good. Untuk memudahkan memahaminya, perhatikan Gambar 7.7 berikut ini.
Keterangan :
◙
= Petani Perorangan (Hasil Panennya Dapat Dijual/Pedagang) / Pusat Pelayanan = Inner Range of Good (threshold purchasing power) = Ideal OuterRange of Good (maximum extent of trevel) = OuterRange of Good
Sumber: Hartshorn (1980 ; hal 111) dan www.csiss.org
Gambar 7.7. Perkembangan Pusat Pelayanan Tahap III; Terjadinya kompetisi yang menyebabkan area pemasaran tertekan menjadi berbentuk
Bentuk Geometri Pusat Pelayanan Dengan asumsi bahwa pusat pelayanan berlokasi di puncak-puncak segitiga sama kaki (jarak maksimum yang dicapai) dan pelanggan hanya berbelanja di pusat yang terdekat dengan tempat tinggalnya, maka real outer range of the good akan menciptakan bentuk heksagon. Bentuk segi enam ini tidak menyisakan area yang tidak terlayani, dan tidak membentuk area pelayanan yang saling tumpang tindih (Gambar 7.8). Bentuk segienam ini juga menciptakan jarak yang sama dari setiap bagian untuk menuju ke pusat pelayanannya. Bentuk heksagon inilah yang merupakan daerah belakang dari suatu pusat pelayanan.
Keterangan : A. Area perdagangan yang berbentuk lingkaran, dimana terdapat beberapa area yang tidak terlayani B. Area perdagangan yang berbentuk lingkaran, dimana terdapat beberapa area yang saling beririsan (terlayani ganda) C. Area Perdagangan berbentuk segi enam, dimana tidak ada area yang tidak terlanyai maupun area yang terlayani ganda Sumber: Hartshorn (1980 ; hal 111) dan www.csiss.org
Gambar 7.8. Betuk Hekasagonal yang Terbentuk dari Pertemuan Beberapa Area Perdagangan dari Pusat Perdagangan yang Berbeda
KELEMAHAN TEORI CENTRAL PLACE
Beberapa ahli telah menyampaikan kritik terhadap Teori Central Place ini, antara lain yaitu (Pacione, 2001): 1. Teori ini tidak dapat diterapkan di semua bentuk permukiman. Walaupun diterapkan bagi pusat pelayanan, namun tidak dapat digunakan pada pusat yang mempunyai kegiatan utama industri manufaktur, yakni kegiatan yang menghasilkan penduduk sekaligus pekerja. 2. Kondisi ekonomi yang dibentuk tidak mempertimbangkan faktor sejarah yang ikut mempengaruhi pola permukimannya. 3. Informasi yang dimiliki penduduk dan berbagai kondisi mental, seperti selera, diabaikan. Dengan demikian asumsi yang digunakan tidak realistis. Pengambilan keputusan yang berkait dengan kegiatan ekonomi tidak dapat mengabaikan unsur informasi walaupun secara umum perilaku ekonomi mengarah pada keinginan untuk mendapatkan keuntungan yang tertinggi. 4. Asumsi bahwa keadaan penduduk adalah homogen, termasuk tindakan yang mengabaikan kebutuhan individu. 5. Model yang diciptakan oleh Christaller mengabaikan peran pemerintah. Padahal di sisi lain, peran pemerintah saat ini sangat kuat dalam menentukan lokasi berbagai pusat kegiatan, termasuk pusat perdagangan. 6. Teori Central Place merupakan sebuah teori yang statis dan menganggap bahwa pelanggan akan datang pada pusat pelayanan terdekat. Dengan berjalannya waktu, membeli sudah merupakan kegiatan rekreasi, yang dikenal sebagai rekreasi belanja. Rekreasi jenis ini tidak mengabaikan jarak sebagai kendala. Membeli barang dapat dilakukan di tempat yang tidak dekat dengan tempat tinggal karena dilakukan sambil belanja (shopping). Walaupun nampaknya begitu banyak kelemahan pada teori Central Place, namun tidak berarti bahwa teori ini tidak memberikan sumbangan yang berarti untuk memahami pola dan keteraturan keruangan serta hirarkhi pusat pelayanan, baik barang maupun jasa. Teori ini menjadi sulit diterapkan manakala teknologi transportasi sudah demikian maju.
REFERENSI
Allen, J., D. Massey, M. Pryke. 1999. Unsettling cities. Open University Press. Routledge. New York. Hartshorn, T.A. 1980. Interpreting the city: An urban geography. John Wiley & Sons. Canada Knox, P. 1994. Urbanization, an introduction to urban geography. Prentice Hall International. London. Pacione, M. 2001. Urban geography, a global perspective. Routledge. London.