1
TESIS
PERILAKU OPORTUNISTIK PENYUSUN ANGGARAN DI KABUPATEN/KOTA SE-BALI
SAYU MADE PARWATI NIM. 1NI391661035
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI AKUNTANSI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
2
TESIS
PERILAKU OPORTUNISTIK PENYUSUN ANGGARAN DI KABUPATEN/KOTA SE-BALI
SAYU MADE PARWATI NIM 1391661039 NIM. 1NI391661035
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI AKUNTANSI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
3
PERILAKU OPORTUNISTIK PENYUSUN ANGGARAN DI KABUPATEN/KOTA SE-BALI
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Akuntansi, Program Pascasarjana Universitas Udayana
SAYU MADE PARWATI NIM 1391661039 NIM. 1NI391661LEH 035
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI AKUNTANSI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
4
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 25 MEI 2015
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. I Gusti Ayu Nyoman Budiasih, SE, M.Si NIP. 19690115 199402 2 001
Dr. Ida Bagus Putra Astika, SE, M.Si.,Ak. NIP 19580817 198601 1 001
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Akuntansi Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Dr. Dewa Gede Wirama, SE., MSBA., Ak. NIP 19591202 198702 1 001
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP 19590215 198510 2 001
iii
5
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 25 Mei 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, Nomor :1452/UN14.4/HK/2015, Tanggal 21 Mei 2015
Ketua
: Dr. I Gusti Ayu Nyoman Budiasih, SE, M.Si
Sekretaris
: Dr. Ida Bagus Putra Astika, SE, M.Si.,Ak.
Anggota
:
1. Prof. Dr. I Ketut Yadnyana, SE, M.Si.Ak. 2. Dr. I Ketut Budiartha, SE, M.Si.Ak. 3. Dr. A.A.N.B. Dwirandra, SE, M.Si. Ak.
iv
6
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH MAHASISWA
Yang bertanda tangan di bawah ini Nama
: Sayu Made Parwati
NIM
: 1391661039
Program Studi
: Magister Akuntansi
Judul Tesis
: Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran di Kabupaten/Kota se-Bali
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah saya merupakan hasil karya sendiri dan bebas dari plagiasi. Apabila kelak di kemudian hari terbukti terdapat plagiasi dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 25 Mei 2015 Mahasiswa
Sayu Made Parwati NIM 1391661039
v
7
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama – tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung kerta wara nugraha-Nya, tesis ini yang berjudul “Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran di Kabupaten/Kota se-Bali” dapat diselesaikan tepat waktu. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia c.q. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Bali yang telah memberikan bantuan finansial dalam bentuk beasiswa penuh melalui program STAR-BPKP.
2.
Pemerintah Kabupaten Tabanan atas ijin dan dukungan material dalam bentuk dana penunjang penyusunan tesis sehingga meringankan beban penulis dalam menyelesaikan studi ini.
3.
Dr. I Gusti Ayu Nyoman Budiasih, SE, M.Si, pembimbing utama yang dengan sabar memberikan motivasi, bimbingan dan saran selama persiapan dan pelaksanaan penelitian serta penyelesaian penyusunan tesis.
4.
Dr. Ida Bagus Putra Astika, S.E., M.Si., Ak., pembimbing pendamping yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah membimbing dan mengarahkan penulis.
5.
Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Akuntansi di Universitas Udayana.
6.
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
vi
8
7.
Prof. Dr. I Gusti Bagus Wiksuana, S.E., M.S., Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program Magister.
8.
Dr. A.A.G.P. Widanaputra, S.E., M.Si., Ak., Ketua Jurusan Akuntansi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis serta Dr. Dewa Gede Wirama, SE, MSBA., Ak., Ketua Program Studi Magister Akuntansi atas dukungan, arahan dan bimbingannya selama mengikuti perkuliahan.
9.
Prof. Dr. I Ketut Yadnyana, SE, M.Si.Ak., Dr. I Ketut Budiartha, SE, M.Si.Ak., dan Dr. A.A.N.B. Dwirandra, SE, M.Si. Ak., selaku penguji tesis yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini.
10. Seluruh dosen yang telah membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan dan staf administrasi yang telah membantu kelancaran pelaksanaan kuliah serta rekan-rekan mahasiswa MAKSI STAR-BPKP Angkatan I atas kebersamaan, kekeluargaan serta dukungannya selama perkuliahan. 11. Kedua orang tua yang telah mengasuh dan membesarkan penulis, (alm) bapak mertua dan ibu mertua atas dukungan morilnya kepada penulis. 12. Suami tercinta I Made Ariono, S.Kom serta kedua putraku tersayang I Gede Krisnha Kusuma Mahayana dan I Made Pramana Adinata, yang dengan segala kesabaran, pengorbanan dan ketulusan serta dukungan sepenuh hati sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu melimpahkan kebahagiaan kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.
vii
9
ABSTRAK
PERILAKU OPORTUNISTIK PENYUSUN ANGGARAN DI KABUPATEN/KOTA SE-BALI
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan proses politis yang melibatkan legislatif dan eksekutif. Fenomena perilaku penyusun anggaran yang memasukkan self-interest serta kepentingan kelompoknya dalam alokasi belanja APBD menjadi hal yang menarik untuk diteliti dari sudut pandang teori keagenan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris pengaruh PAD, DAU dan SiLPA pada perilaku oportunistik penyusun anggaran di Kabupaten/Kota se-Bali. Penelitian dilakukan di 9 (sembilan) Kabupaten/Kota se-Bali dengan menggunakan data sekunder runtut waktu (time series) dari APBD Kabupaten/Kota tahun 2010 sampai 2014 dengan menggunakan alat analisis regresi linier berganda. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa variabel PAD, DAU dan SiLPA berpengaruh positif pada perilaku oportunistik penyusun anggaran. Perubahan jumlah PAD, DAU dan SiLPA akan mempengaruhi peningkatan perilaku penyusun anggaran yang dilihat dari perubahan spread belanja sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, hibah dan bansos. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah daerah untuk perbaikan dalam penyusunan anggaran. Selanjutnya disarankan bagi penelitian mendatang agar menambah variabel independen seperti pinjaman daerah yang belum dapat.dikembangkan pada penelitian ini karena keterbatasan data serta mengembangkan kuesioner untuk mendalami persepsi pihak yang terlibat pada penyusunan anggaran. Kata Kunci : PAD, DAU, SiLPA, Perilaku Oportunistik.
viii
10
ABSTRACK OPORTUNISTIC BEHAVIOUR-BUDGETING IN THE REGENCY/MUNICIPAL IN BALI
Preparation of APBD is a political process that involves legislative and executive. Budgeting behavioral phenomena that includes self-interest and group interest in the allocation of budget expenditures be an interesting to be examined from the perspective of agency theory. The objectives of this research are to get the empirical evidence related to the influence of PAD, DAU and SiLPA on opportunistic behavior of the budget framer in the Regency/Municipal of Bali. The research was conducted in 9 (nine) Regency/Municipal in Bali by using time series data obtained from the Regency/Municipal APBD from 2010 to 2014, analyze by multiple linear regression. The research results shows that the variable PAD, DAU and SiLPA has positive influenced opportunistic behavior budgeting. Changes the amount of PAD, DAU and SiLPA influence increased budgeting behavior seen from a particular sector expenditure spread of education, health, infrastructure, grant and social assistance. This research suggested that local government can improve infrastructure of local financial management. It is suggested for subsequent researchers could add independent variables such as loan that cannot be explore in this research because the limited of data and use questionnaire to measure the perception of budgeting framer. Keyword : PAD, DAU, SiLPA and Opportunistic Behavior Budgeting, Agency Theory.
ix
11
RINGKASAN PERILAKU OPORTUNISTIK PENYUSUN ANGGARAN DI KABUPATEN/KOTA SE- BALI
Proses penyusunan APBD merupakan tahapan politis yang melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) selaku legislatif dan Kepala Daerah beserta jajarannya selaku eksekutif. Implikasi penerapan teori keagenan pada penyusunan anggaran dapat menimbulkan hal positif dalam bentuk efisiensi, tetapi lebih banyak yang menimbulkan hal negatif dalam bentuk perilaku opportunistik (Latifah, 2010). Permasalahan pada penyusunan anggaran timbul ketika pihak – pihak yang terlibat berupaya untuk memanfaatkan peluang agar kepentingan pribadi dan kelompoknya dapat diakomodir dalam APBD. Kebijakan anggaran menjadi menjadi ajang perebutan kepentingan oleh berbagai pihak, baik pemerintah, legislatif, partai politik, pengusaha, organisasi masyarakat, maupun rakyat kecil (Sujaie, 2013). Fenomena perilaku penyusun anggaran sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut, karena meskipun aturan formal tentang mekanisme penyusunan APBD telah dirancang sedemikian rupa, namun pada prakteknya masih terjadi beberapa penyimpangan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris terdapat pengaruh positif PAD, DAU dan SiLPA pada perilaku oportunistik penyusun anggaran di Kabupaten/Kota se-Bali. Penelitian dilakukan di 9 (Sembilan) Kabupaten/Kota se-Bali dengan menggunakan data sekunder runtut waktu (time series) dari tahun 2010-2014 yang bersumber dari Biro Keuangan Sekretariat Daerah Provinsi Bali, Badan Pusat Statistik (BPS) Bali dan situs Direktorat Jendral Keuangan Daerah Kementerian Keuangan. Data tersebut meliputi PAD, DAU, SiLPA, belanja sektoral untuk belanja pendidikan, kesehatan, PU, hibah dan bansos. Adapun variabel penelitian terdiri dari PAD (X1), DAU(X2), SiLPA(X3) dan Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran (Y). Alat analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda dengan model Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + e. Sebelum melakukan analisis regresi linier berganda, terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi klasik untuk mengetahui hasil estimasi regresi yang dilakukan terbebas dari gejala multikoloniearitas, heteroskedastisitas, autokorelasi serta model regresi memiliki distribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji ketepatan model (goodness of fit) dengan melihat nilai koefisien determinasi (R2), hasil uji F dan uji t. Uji asumsi klasik menyatakan bahwa model regresi yang digunakan berdistribusi normal, tidak terjadi multikoloniearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi. Hasil pengujian goodness of fit menunjukkan bahwa model sudah fit dilihat dari koefisien determinasi (R2) sebesar 0,834 yang berarti bahwa 83,4 % variasi OPA dijelaskan oleh variasi PAD, DAU dan SiLPA, sedangkan sisanya sebesar 16,6% dijelaskan faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model. Hasil uji F memiliki nilai signifikansi sebesar 0,000 < α = 0,05, serta uji t pada nilai signifikansi dibawah α (0,05). Persamaan regresi yang diperoleh adalah Y = -4938,880 + 0,277 X1 + 0,446 X2 + 0,308 X3, yang mempunyai makna: (1) x
12
konstanta sebesar -4938,880 berarti bahwa apabila variabel PAD (X1), DAU (X2) dan SiLPA (X3) konstan maka OPA cenderung menurun sebesar nilai konstanta 4938,880; (2) koefisien X1 sebesar 0,277 berarti bahwa apabila variabel PAD (X1) meningkat sebesar satu satuan (dengan asumsi variabel lain konstan), maka OPA akan meningkat sebesar 0,277; (3) koefisien X2 sebesar 0,446 berarti bahwa apabila variabel DAU (X2) meningkat sebesar satu satuan (dengan asumsi variabel lain konstan), maka OPA akan meningkat sebesar 0,446; (4) koefisien X3 sebesar 0,308 berarti bahwa apabila variabel SiLPA (X3) meningkat sebesar satu satuan (dengan asumsi variabel lain konstan), maka OPA akan meningkat sebesar 0,308. Hipotesis pertama menguji pengaruh positif PAD pada perilaku oportunistik penyusun anggaran. Nilai koefisien beta (β1) sebesar 0,277 dengan nilai signifikansi 0,000, menunjukkan bahwa PAD berpengaruh positif dan signifikan pada OPA. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa H1 tidak dapat ditolak yaitu PAD berpengaruh positif pada perilaku oportunistik penyusun anggaran. Pengujian hipotesis kedua yaitu terdapat pengaruh positif DAU pada perilaku oportunistik penyusun anggaran menunjukkan nilai koefisien beta (β2) sebesar 0,446 dengan nilai signifikansi 0,000. Simpulan yang dapat diambil sesuai hasil analisis tersebut adalah H2 tidak dapat ditolak yaitu DAU berpengaruh positif pada perilaku oportunistik penyusun anggaran. Hipotesis ketiga menguji pengaruh positif SiLPA pada perilaku oportunistik penyusun anggaran. Nilai koefisien beta (β3) untuk variabel SiLPA sebesar 0,308 dengan nilai signifikansi 0,004. Nilai signifikansi yang dihasilkan lebih kecil dari α = 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis ketiga tidak dapat ditolak yaitu SiLPA berpengaruh positif pada perilaku oportunistik penyusun anggaran. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa PAD, DAU dan SiLPA berpengaruh pada perilaku oportunistik penyusun anggaran. Pemerintah Daerah hendaknya lebih meningkatkan kualitas penyusunan anggaran dengan mengutamakan alokasi belanja sesuai kebutuhan masyarakat, transparansi anggaran serta menerapkan pengawasan mulai dari proses perencanaan anggaran. Disarankan bagi penelitian selanjutnya untuk meneliti faktor lain yang berpengaruh terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran, seperti pinjaman daerah yang belum dapat dikembangkan pada penelitian ini karena keterbatasan data yang tersedia serta mengembangkan suatu daftar pertanyaan lengkap (kuisioner) yang dapat mengukur persepsi pihak - pihak yang terlibat pada penyusunan anggaran. Memperbaiki pengukuran nilai OPA dengan lebih fokus pada sektor yang memiliki belanja langsung dengan nilai yang besar, mengingat kecenderungan OPA terjadi pada belanja langsung dibandingkan belanja tidak langsung.
xi
13
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DALAM....................................................................................... PRASYARAT GELAR................................................................................. LEMBAR PERSETUJUAN.......................................................................... PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................................. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS ........................................... UCAPAN TERIMA KASIH......................................................................... ABSTRAK .................................................................................................... ABSTRACK ................................................................................................... RINGKASAN ............................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................ DAFTAR TABEL......................................................................................... DAFTAR GAMBAR .................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................
i ii iii iv v vi viii ix x xii xiv xv xvi
BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................ 1.2 Rumusan Masalah ........................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................ 1.4 Manfaat Penelitian ..........................................................
1 1 8 9 9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA................................................................... 2.1 Teori Keagenan (Agency Theory) ................................... 2.1.1 Hubungan Keagenan Antara Eksekutif dan Legislatif ... 2.1.2 Hubungan Keagenan Antara Legislatif dan Publik ........ 2.1.3 Problem Keagenan (Agency Problem) ............................ 2.2 Aspek Keperilakuan dalam Penganggaran...................... 2.3 Perilaku Oportunistik pada Penyusunan Anggaran......... 2.4 Konsep Anggaran Sektor Publik..................................... 2.5 Penelitian Terdahulu .......................................................
10 10 12 13 14 15 16 18 20
BAB III
RERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ............................................................................. 3.1 Rerangka Berpikir ........................................................... 3.2 Rerangka Konsep Penelitian .......................................... 3.3 Hipotesis Penelitian.........................................................
23 23 25 26
METODE PENELITIAN............................................................ 4.1 Rancangan Penelitian ..................................................... 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................... 4.3 Ruang Lingkup Penelitian............................................... 4.4 Penentuan Sumber Data ..................................................
29 29 30 30 31
BAB IV
xii
14
4.5
Variabel Penelitian .......................................................... 4.5.1 Variabel Dependen ............................................ 4.5.2 Variabel Independen.......................................... Analisis Data ................................................................... 4.6.1 Pengujian Asumsi Klasik................................... 4.6.1.1 Uji Normalitas Residual ........................ 4.6.1.2 Uji Multikoloniearitas............................ 4.6.1.3 Uji Heteroskedastisitas .......................... 4.6.1.4 Uji Autokorelasi .................................... 4.6.2 Analisis Regresi................................................. 4.6.3 Uji Goodness of fit dan Pengujian Hipotesis .... 4.6.3.1 Uji Koefisien Determinasi ..................... 4.6.3.2 Uji F....................................................... 4.6.3.3 Uji t ........................................................
31 31 33 34 34 34 34 35 36 36 37 37 37 38
HASIL DAN PEMBAHASAN................................................... 5.1 Gambaran Umum APBD Kabupaten/Kota se-Bali......... 5.2 Deskripsi Statistik ........................................................... 5.3 Uji Asumsi Klasik ........................................................... 5.3.1 Uji Normalitas Residual .................................... 5.3.2 Uji Multikoloniearitas........................................ 5.3.3 Uji Heteroskedastisitas ...................................... 5.3.4 Uji Autokorelasi ................................................ 5.4 Uji Goodness of fit dan Pengujian Hipotesis................... 5.4.1 Uji Koefisien Determinasi ................................. 5.4.2 Uji F.................................................................. 5.4.3 Uji t .................................................................... 5.4.4 Persamaan Regresi............................................. 5.4.5 Uji Hipotesis ..................................................... 5.5 Pembahasan..................................................................... 5.5.1 PAD Berpengaruh Positif pada Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran ..................... 5.5.2 DAU Berpengaruh Positif pada Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran...................... 5.5.3 SiLPA Berpengaruh Positif pada Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran......................
39 39 42 43 43 44 45 46 46 47 47 47 48 49 50
4.6
BAB V
BAB VI
50 53 55
SIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 6.1 Simpulan.......................................................................... 6.2 Saran ................................................................................
57 57 58
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. LAMPIRAN……..........................................................................................
60 64
xiii
15
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 5.1 Statistik Deskriptif......................................................................
42
Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas Berdasarkan Kolmogorov Smirnov Test...
44
Tabel 5.3 Hasil Uji Multikoloniearitas.......................................................
45
Tabel 5.4 Hasil Uji Glejser.........................................................................
45
Tabel 5.5 Hasil Analisis Regresi ................................................................
47
xiv
16
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.1
Fluktuasi Anggaran Hibah dan Bansos Kabupaten/Kota di Bali Tahun 2010 – 2014 .................................................
4
Gambar 3.1.
Rerangka Berpikir ...............................................................
25
Gambar 3.2
Rerangka Konsep Penelitian ...............................................
26
Gambar 4.1
Rancangan Penelitian ..........................................................
30
Gambar 5.1
Peningkatan PAD, DAU dan SiLPA Kabupaten/Kota se- Bali Tahun 2010 – 2014 ...............................................
39
Gambar 5.2
Fluktuasi Rasio Belanja Pendidikan pada APBD Kabupaten/Kota se- Bali Tahun 2010 – 2014 ....................
Gambar 5.3 Gambar 5.4
40
Fluktuasi Rasio Belanja Infrastruktur pada APBD Kabupaten/Kota se- Bali Tahun 2010 – 2014 ....................
41
Scaterplot ............................................................................
46
xv
17
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1
Ringkasan Penelitian Terdahulu ........................................
64
Lampiran 2
Data PAD, DAU dan SiLPA Kabupaten/Kota se-Bali Tahun 2010 - 2014 ..............................................................
66
Data Belanja Sektor Pendidikan, Kesehatan, PU, Hibah dan Bansos Kabupaten/Kota se-Bali Tahun 2010 - 2014 .........
67
Lampiran 4
Perhitungan Spread PAD, DAU, SiLPA dan OPA.............
69
Lampiran 5
Data Rasio Belanja Kabupaten/Kota se-Bali Tahun 2010 - 2014..............................................................
71
Lampiran 6
Data Spread APBD Kabupaten/Kota Tahun 2010-2014 ....
72
Lampiran 7
Statistik Deskriptif ..............................................................
73
Lampiran 8
Hasil Uji Asumsi Klasik .....................................................
74
Lampiran 9
Hasil Analisis Regresi.........................................................
76
Lampiran 10
Tabel Durbin Watson ..........................................................
79
Lampiran 3
xvi
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang memuat program – program yang direncanakan
pemerintah
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat.
Anggaran merupakan alat utama bagi pemerintah untuk melaksanakan semua kewajiban dan kebijakannya yang dituangkan dalam bentuk rencana - rencana konkrit dan terintegrasi (Kamaliah dkk., 2010). Rencana kebutuhan yang harus diakomodir dalam APBD relatif banyak, sementara sumber daya yang tersedia relatif terbatas. Kondisi ini membutuhkan ketelitian dan ketepatan
penyusun
anggaran untuk memilih prioritas kebutuhan yang lebih mendesak untuk dianggarkan diantara sekian banyak kebutuhan yang ada. Mekanisme penyusunan APBD mengacu pada ketentuan perundangan yang telah ditetapkan pemerintah. Implementasi Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang–Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah membawa perubahan yang cukup besar pada tata kelola pemerintahan di daerah. Perubahan ini juga berimbas pada proses penyusunan anggaran daerah. Proses penyusunan APBD merupakan tahapan politis yang melibatkan DPRD selaku legislatif dan Kepala Daerah beserta jajarannya selaku eksekutif (Mardiasmo, 2005).
1
2
Ditinjau dari teori keagenan, proses penyusunan APBD merupakan tindak lanjut dari kontrak antara principal dan agents. DPRD selaku agen dari masyarakat yang telah memilih (voters), diberikan mandat untuk memperjuangkan kebutuhan masyarakat guna peningkatan kesejahteraan, agar dapat diakomodir dalam APBD (Lupia and McCubbins, 2000; Andvig et al., 2001, Hagen, 2002). Demikian pula eksekutif selaku agen dari legislatif diharapkan mengusulkan anggaran sesuai kebutuhan riil dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tujuan akhir kesejahteraan rakyat (Halim dan Abdullah, 2006; Latifah, 2010; Abdullah, 2012). Implikasi penerapan teori keagenan pada penyusunan anggaran dapat menimbulkan hal positif dalam bentuk efisiensi, tetapi lebih banyak yang menimbulkan hal negatif dalam bentuk perilaku oportunistik (Latifah, 2010). Adanya asimetri informasi antara eksekutif dengan legislatif dan legislatif dengan pemilih menyebabkan terbukanya ruang bagi terjadinya perilaku oportunistik dalam proses penyusunan anggaran (Halim dan Abdullah, 2006; Bartolini and Santolini, 2009; Maria, 2009; Sularso dkk., 2014). Permasalahan pada penyusunan anggaran timbul ketika pihak – pihak yang terlibat berupaya untuk memanfaatkan peluang agar kepentingan pribadi dan kelompoknya dapat diakomodir dalam APBD (Raghunandan et al., 2012; Suryarini, 2012; Radebe and Radebe, 2014). Kebijakan anggaran menjadi ajang perebutan kepentingan oleh berbagai pihak, baik pemerintah, legislatif, partai politik, pengusaha, organisasi masyarakat, maupun rakyat kecil (Sujaie, 2013). Berbagai modus perilaku oportunistik yang sering terjadi seperti menetapkan
3
alokasi anggaran yang dimodifikasi untuk memenuhi kepentingan politik dan kepentingan
individu,
memasukkan
usulan
proyek-proyek
besar
yang
menguntungkan salah satu pihak dalam perencanaan anggaran, serta sikap cenderung lebih memperjuangkan realisasi penetapan anggaran atas proyekproyek yang mudah dikorupsi dengan harapan mendapatkan kompensasi fee project yang cukup besar (Jumaidi, 2014). Penelitian Sujaie (2013) menunjukkan bahwa praktek perilaku oportunistik eksekutif dalam kebijakan anggaran terjadi karena dua faktor pendorong: Pertama, anggapan bahwa eksekutif merupakan pelaksana semua fungsi pemerintah daerah yang telah berhubungan langsung dengan masyarakat dalam waktu sangat lama; dan Kedua, eksekutif mempunyai akses informasi yang besar dalam konteks penyusunan anggaran. Sedangkan perilaku oportunistik legislatif didorong oleh adanya keunggulan kekuasaan (discretionary power) dalam konteks memutuskan anggaran. Faktor inilah yang mendorong legislatif untuk melakukan; Pertama, berusaha memengaruhi eksekutif untuk memaksimumkan anggaran pada program-program tertentu yang dapat memuluskan jalan bagi seorang legislator untuk dapat terpilih kembali dalam pemilu berikutnya; Kedua, mendorong eksekutif untuk mengajukan anggaran yang dapat dengan mudah diserap oleh konstituennya dan tidak melalui prosedur birokrasi yang rumit. Fenomena perilaku penyusun anggaran sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut, karena meskipun aturan formal tentang mekanisme penyusunan APBD telah dirancang sedemikian rupa, namun pada prakteknya masih terjadi beberapa penyimpangan. Meningkatnya kasus korupsi merupakan salah satu indikasi
4
terjadinya perilaku oportunistik yang dilakukan penyusun anggaran (Mauro, 1998). Sejalan dengan hal tersebut, Sujaie (2013) menegaskan bahwa peningkatan belanja hibah dan bantuan sosial juga menunjukkan telah terjadi perilaku oportunistik penyusun anggaran.
Sumber : Data Biro Keuangan Sekretariat Daerah Provinsi Bali (diolah), 2014. Gambar 1.1 Fluktuasi Anggaran Hibah dan Bansos Kabupaten/Kota di Bali Tahun 2010-2014
Berdasarkan data keuangan Kabupaten/Kota di Bali pada kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir sebagaimana terlihat pada Gambar 1.1, terjadi fluktuasi perubahan jumlah anggaran hibah dan bansos yang cukup signifikan menjelang dan sesudah Pemilihan Umum (Pemilu). Anggaran belanja hibah dan bansos terbesar dialokasikan pada tahun 2010 sebesar Rp.426.782.000.000,- (Empat ratus dua puluh enam milyar tujuh ratus delapan puluh dua juta rupiah), yang bertepatan dengan pelaksanaan Pemilu Legislatif. Jumlah anggaran menurun pada tahun berikutnya, namun menjelang Pemilu Legislatif 2014, terjadi peningkatan jumlah anggaran belanja hibah dan bansos yang cukup signifikan.
5
Peningkatan belanja hibah yang terjadi pada tahun menjelang Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye (Ritonga dan Alam, 2010). Kondisi ini rentan menimbulkan kasus pidana apabila tidak dipergunakan sesuai ketentuan. Kasus penyalahgunaan dana hibah terjadi di beberapa daerah termasuk pada Kabupaten/Kota di Bali. Deretan panjang kasus korupsi APBD yang terjadi di Bali melibatkan anggota dan pimpinan DPRD sampai Kepala Daerah. Fakta ini menunjukkan bahwa political corruption terjadi ketika politisi atau birokrat tingkat atas memanfaatkan kedudukan mereka demi kepentingan pribadi atau kalangan dekat mereka (Martinez et al., 2004). Ditinjau dari perspektif teori keagenan, asimetri informasi serta besarnya kekuasaan yang dimiliki legislatif dalam pembahasan anggaran, telah menjadi pendorong terjadinya perilaku oportunistik penyusun anggaran yang akan memaksimalisasi
kepentingan
pribadi
dan
kelompoknya
dengan
mengesampingkan kepentingan publik (Halim dan Abdullah, 2006; Faria and Silva, 2013). Hal ini menimbulkan korupsi dan rent-seeking activities di pemerintahan yang berpengaruh terhadap jumlah dan komposisi pengeluaran pemerintah (Suryarini, 2012). Alokasi anggaran ditingkatkan untuk belanja infrastruktur (Abdullah dan Asmara, 2006) dan belanja hibah serta bansos (Ritonga dan Alam, 2010) sementara di sisi belanja kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan tidak terjadi peningkatan yang signifikan (Abdullah, 2012).
6
Pengeluaran daerah baik untuk belanja maupun pengeluaran pembiayaan didanai dari Pendapatan Daerah. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006,
Pendapatan Daerah bersumber dari Pendapatan Asli
Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah serta penerimaan pembiayaan. Penelitian terdahulu (Abdullah dan Asmara, 2006; Abdullah, 2012; Maryono, 2013; Sularso dkk., 2014) menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan daerah berpengaruh terhadap perilaku oportunistik penyusun anggaran. PAD adalah salah satu sumber penerimaan daerah untuk membiayai pembangunan daerah dan pelayanan kepada masyarakat (Oktriniatmaja, 2011). Legislatif akan mendorong eksekutif untuk meningkatkan target pendapatan sehingga dapat meningkatkan alokasi anggaran untuk program yang mendukung kepentingannya (Sularso dkk., 2014). Peningkatan jumlah PAD akan memberi peluang bagi penyusun anggaran untuk mengalokasikan dana yang lebih besar untuk bidang – bidang tertentu sesuai preferensinya. Sumber penerimaan lain untuk membiayai pengeluaran daerah adalah Dana Alokasi Umum (DAU). Sesuai ketentuan Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Penggunaan DAU cukup fleksibel dan tidak terikat dengan program pengeluaran tertentu, sehingga penyusun anggaran
7
memanfaatkan kondisi ini untuk mengusulkan kegiatan yang memberikan manfaat meningkatkan self-interest-nya (Maryono, 2013). SiLPA merupakan penerimaan pembiayaan yang dapat dipergunakan untuk menutup defisit anggaran dalam APBD. Besaran angka SiLPA tahun sebelumnya diketahui secara pasti setelah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun sebelumnya disahkan. Kondisi ini menjadi alasan bagi legislatif dan eksekutif untuk mengalokasikan kembali (rebudgeting) dana tersebut melalui mekanisme perubahan APBD (Asmara, 2010) serta memberi ruang bagi penyusun anggaran untuk melakukan perilaku oportunistik dalam mengalokasikan SiLPA tersebut (Sularso dkk., 2014). Penelitian sebelumnya (Abdullah dan Asmara, 2006; Abdullah, 2012; Oktririniatmaja, 2011; Suryarini, 2012; Sularso dkk., 2014) menunjukkan bahwa PAD, DAU dan SiLPA berpengaruh positif terhadap perilaku oportunistik penyusunan anggaran. Penelitian tentang perilaku oportunistik penyusun anggaran sebelumnya, lebih fokus pada perilaku legislatif yang cenderung mempengaruhi alokasi anggaran untuk kepentingan politik dengan meningkatkan anggaran untuk belanja infastruktur dan belanja DPRD. Namun mengamati fenomena yang terjadi terkait proses penyusunan APBD yang merupakan proses bersama antara legislatif dan eksekutif, peneliti tertarik untuk meneliti perilaku oportunistik yang terjadi akibat interaksi antara kedua pihak yang didasari adanya hubungan keagenan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya (Abdullah dan Asmara, 2006; Asmara,2010; Suryarini, 2012, Abdullah, 2012 dan Sularso dkk., 2014) dalam pengukuran perilaku oportunistik penyusun anggaran, dimana
8
peneliti memasukkan peningkatan belanja hibah dan bansos dari tahun sebelumnya ke tahun berjalan. Fenomena peningkatan alokasi belanja hibah dan bansos yang semakin meningkat menunjukkan perilaku oportunistik penyusun anggaran (Ritonga dan Alam, 2010). Berdasarkan uraian di atas, maka penting untuk diteliti pengaruh PAD, DAU dan SiLPA pada perilaku oportunistik penyusun anggaran di Kabupaten/Kota se-Bali. 1.2 Rumusan Masalah Perilaku oportunistik penyusun anggaran dapat dilihat dari kecenderungan pengalokasian anggaran dalam jumlah besar untuk belanja daerah yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan tertentu yang bersifat pribadi atau kelompok. Peningkatan alokasi anggaran untuk belanja infrastruktur,
belanja hibah dan
bansos diduga menjadi alat pemenuhan janji – janji politik serta kerap menjadi sasaran korupsi. Sumber – sumber pendapatan daerah baik yang berasal dari pendapatan sendiri maupun dana transfer dan penerimaan pembiayaan diduga berpengaruh terhadap peningkatan alokasi belanja daerah.
Berdasarkan hal
tersebut, maka peneliti merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 1) Apakah terdapat pengaruh positif PAD pada Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran ? 2) Apakah terdapat pengaruh positif DAU pada Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran ? 3) Apakah terdapat pengaruh positif SiLPA pada Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran ?
9
1.3 Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan : 1) Untuk mendapatkan bukti empiris pengaruh PAD pada Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran. 2) Untuk mendapatkan bukti empiris pengaruh DAU pada Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran. 3) Untuk
mendapatkan
bukti
empiris
pengaruh
SiLPA pada
Perilaku
Oportunistik Penyusun Anggaran.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian untuk pengembangan teori keagenan dalam penganggaran sektor publik serta menjadi bahan bacaan bagi penelitian lebih lanjut dengan topik yang sama. 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil kajian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk menilai dan memahami perilaku penyusun anggaran dan selanjutnya informasi tersebut dapat menjadi rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk melakukan perbaikan dalam penyusunan anggaran.
10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Penggunaan teori keagenan telah dipergunakan secara luas baik di sektor privat maupun sektor publik. Para ekonom menggunakan struktur hubungan prinsipal dan agen untuk menganalisis hubungan antara perusahaan dengan pekerja (Faria and Silva, 2013). Sementara di sektor publik, teori keagenan dipergunakan untuk menganalisis hubungan prinsipal-agen dalam kaitannya dengan penganggaran sektor publik (Latifah, 2010; Abdullah, 2012). Teori keagenan menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit dengan pihak lain (agents) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan principal (Jensen and Meckling, 1976). Eisenhardt (1989) menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia guna menjelaskan tentang teori keagenan yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut, manajer sebagai manusia kemungkinan besar akan bertindak mengutamakan kepentingan pribadinya. Hal ini menimbulkan adanya konflik kepentingan antara principal dan agent. Principal memiliki kepentingan untuk
10
11
memaksimalkan keuntungan mereka sedangkan agent memiliki kepentingan untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya. Konflik akan terus meningkat karena principal tidak dapat mengawasi aktivitas agent sehari-hari untuk memastikan bahwa agent telah bekerja sesuai dengan keinginan dari principal. Permasalahan dalam hubungan antara prinsipal dan agen bersumber dari adanya perbedaan tujuan dan pilihan risiko yang dihadapi seperti regulasi dan kepemimpinan (Eisenhardt, 1989). Adanya asimetri informasi juga menyebabkan terjadinya persoalan dalam hubungan prinsipal-agen, bilamana agen memiliki informasi lebih tentang kinerja aktual, motivasi dan tujuan yang berpotensi menciptakan moral hazard dan adverse selection (Latifah, 2010). Adverse selection terjadi karena adanya perbedaan jumlah informasi yang dimiliki oleh principal dan agent sehingga principal tidak mampu membedakan apakah agen melakukan sesuatu yang baik atau tidak (Faria and Silva, 2013). Dalam konteks ini agen cenderung menyembunyikan informasi untuk memperoleh manfaat yang lebih demi keuntungan pribadi. Teori keagenan telah dipraktekkan pada sektor publik khususnya pemerintah pusat maupun daerah.
Organisasi sektor publik bertujuan untuk
memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat atas sumber daya yang digunakan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Pemerintah tidak dapat melakukan pengelolaan dan pengalokasian sumber daya secara sendirian, sehingga pemerintah memberikan wewenang kepada pihak lain untuk mengelola sumber daya. Pembuatan anggaran menjadi mekanisme yang penting untuk alokasi sumber daya karena adanya keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah.
12
Implikasi teori keagenan muncul dalam proses penyusunan anggaran dilihat dari dua perspektif yaitu hubungan antara rakyat dengan legislatif, dan legislatif dengan eksekutif. Ditinjau dari perspektif hubungan keagenan antara legislatif dengan eksekutif, eksekutif adalah agent dan legislatif adalah principal (Halim dan Abdullah, 2006). Apabila dilihat dari perspektif hubungan keagenan legislatif dengan rakyat, pihak legislatif adalah agent yang membela kepentingan rakyat (principal), akan tetapi tidak ada kejelasan mekanisme dan pengaturan serta pengendalian dalam pendelegasian kewenangan rakyat terhadap legislatif. Hal inilah yang seringkali menyebabkan adanya distorsi anggaran yang disusun oleh legislatif sehingga anggaran tidak mencerminkan alokasi pemenuhan sumber daya kepada masyarakat, melainkan cenderung mengutamakan self-interest para pihak legislatif tersebut. Jika hal ini terjadi, besar kemungkinan anggaran yang disahkan adalah alat untuk melancarkan aksi pencurian hak rakyat atau sering dikenal dengan istilah korupsi (Mauro, 1998; Keefer and Khemani, 2003).
2.1.1 Hubungan Keagenan Antara Eksekutif dan Legislatif Hubungan keagenan di pemerintahan antara legislatif dan eksekutif menunjukkan posisi legislatif sebagai prinsipal dan eksekutif adalah agen (Halim dan Abdullah, 2006; Latifah, 2010; Abdullah, 2012). Hubungan antara prinsipal dan agen senantiasa menimbulkan masalah keagenan yang disebut agency problems (Lupia and McCubbins, 2000). Johnson (1994) dalam Abdullah dan Asmara (2006) menyebut hubungan eksekutif atau birokrasi dengan legislatif atau kongres dengan nama self-interest model. Dalam hal ini, legislators ingin dipilih
13
kembali, birokrat ingin memaksimumkan anggarannya, dan konstituen ingin memaksimumkan utilitasnya. Agar terpilih kembali, legislators mencari program dan proyek yang membuatnya populer di mata konstituen. Birokrat mengusulkan program-program baru karena ingin agency-nya berkembang dan konstituen percaya bahwa mereka menerima manfaat dari pemerintah tanpa harus membayar biayanya secara penuh. Hal ini menunjukkan bahwa baik eksekutif maupun legislatif berupaya untuk memaksimalkan dan memanfaatkan perannya dalam penyusunan anggaran demi memperoleh keuntungan individual maupun kepentingan kelompok yang cenderung akan menimbulkan kerugian bagi rakyat.
2.1.2 Hubungan Keagenan Antara Legislatif dan Publik (Voters) Lupia and McCubbins (2000) menyatakan bahwa warganegara adalah principal yang menunjuk perwakilannya untuk melayani mereka sebagai agen di parlemen, sementara Andvig et al. (2001) menyebutkan voters adalah prinsipal dari parlemen.
Dalam hal pembuatan kebijakan, Hagen (2002) berpendapat
bahwa hubungan prinsipal-agen yang terjadi antara pemilih (voters) dan legislatif pada dasarnya menunjukkan bagaimana voters memilih politisi untuk membuat keputusan-keputusan tentang belanja publik untuk mereka dan mereka memberikan dana dengan membayar pajak. Ketika legislatif kemudian terlibat dalam pembuatan keputusan atas pengalokasian belanja dalam anggaran, maka mereka diharapkan mewakili kepentingan atau preferensi prinsipal atau pemilihnya. Pada kenyataannya legislatif sebagai agen bagi publik tidak selalu memiliki kepentingan yang sama dengan publik (Abdullah dan Asmara, 2006).
14
Menurut Hagen (2002), politisi yang terpilih bisa saja berlaku oportunistik dan karenanya voters berkeinginan menghilangkan peluang untuk mendapat keuntungan pribadi dengan membuat politisi terikat pada suatu aturan yang menentukan apa yang dapat atau harus mereka lakukan pada kondisi tertentu. Akan tetapi, membuat aturan untuk sesuatu yang tidak jelas dan kompleksitas situasi yang dihadapi menyebabkan kontrak yang sempurna tidak mungkin dibuat. Politisi juga tidak akan dapat memenuhi semua janji yang dibuatnya selama kampanye pemilihan. Oleh karena itu, seperti halnya dalam bentuk hubungan keagenan yang lain, hubungan keagenan antara pemilih dengan politisi dapat dipandang sebagai incomplete contract (Seabright, 1996).
2.1.3 Problem Keagenan (Agency Problem) Timbulnya problem keagenan berawal dari adanya perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen, seperti yang terjadi pada hubungan keagenan antara pemerintah daerah (eksekutif) dengan DPRD (legislatif). Kewenangan yang dimiliki legislatif menyebabkan tekanan kepada eksekutif menjadi semakin besar. Posisi eksekutif yang sejajar dengan legislatif membuat eksekutif sulit menolak rekomendasi legislatif dalam pengalokasian sumber daya yang memberikan keuntungan kepada legislatif, sehingga menyebabkan outcome anggaran dalam bentuk pelayanan publik mengalami distorsi dan merugikan publik. Menurut Eisenhardt (1989), meskipun penganggaran merupakan bagian dari sistem informasi yang dapat digunakan untuk mengurangi oportunisme agen, kenyataannya dalam proses pengalokasian sumber daya selalu muncul konflik
15
kepentingan di antara pelaku (Abdullah dan Asmara, 2006). Permasalahan yang terjadi biasanya didasarkan atas kepentingan masing-masing pribadi yang berdampak pada timbulnya permasalahan keagenan antara pihak tersebut.
2.2 Aspek Keperilakuan dalam Penganggaran Aspek keperilakuan dalam penganggaran mengacu pada perilaku manusia yang muncul dalam proses penyusunan anggaran dan perilaku manusia yang didorong
ketika manusia mencoba hidup dengan anggaran (Suartana, 2010).
Aspek keperilakuan dalam penganggaran dibedakan atas dua unit analisis yaitu organisasi dan individu. Menurut Belkaoui (1989) dalam Suartana (2010) ada kecenderungan dari organisasi dan individu untuk tidak mengoptimalkan sumber daya yang tersedia dan tidak melakukan efisiensi yang sering disebut slack atau senjangan. Perilaku oportunistik penyusun anggaran dapat dilihat dari peningkatan alokasi belanja pada sektor tertentu yang termasuk perilaku disfungsional yang timbul pada penganggaran. Elias (2013) menyebutkan bahwa perilaku oportunistik akan mendorong individu berperilaku tidak etis untuk meningkatkan self interestnya.
2.3 Perilaku Oportunistik pada Penyusunan Anggaran Istilah oportunistik berasal dari kata opportunity yang berarti kesempatan. Perilaku oportunistik mengacu pada pribadi, sifat atau dinamika kelompok dalam menghadapi suatu kondisi dimana dalam posisi tertentu merasa mempunyai kesempatan atau peluang lebih untuk melakukan sesuatu sesuai keinginan.
16
Perilaku oportunistik merupakan perilaku yang berusaha mencapai keinginan dengan segala cara bahkan cara ilegal sekalipun (Maryono, 2013). Lebih jauh Maryono (2013) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku oportunistik adalah kekuatan (power) dan kemampuan (ability). Perilaku oportunistik anggaran (fiscal opportunism), yaitu perilaku oportunistik dalam pembuatan keputusan alokasi belanja dan preferensi yang mengarah pada alokasi belanja yang dapat memberikan keuntungan pribadi juga keinginan untuk aman secara fiskal, yakni anggaran bisa terealisasi tepat waktu dan tepat jumlah, memiliki peluang untuk menambah alokasi saat perubahan APBD, dan kemungkinan variansi (selisih anggaran dan realisasi sampai akhir tahun) yang rendah (Romarina dan Makfatih, 2010). Perilaku oportunistik mengarah pada terjadinya adverse selection (menyembunyikan informasi) dan moral hazard (penyalahgunaan wewenang). Ada dua kondisi yang dimanfaatkan oleh eksekutif untuk merealisasi perilaku oportunistiknya dalam proses penyusunan anggaran. Pertama, secara eksplisit berhubungan dengan anggaran legislatif dan kedua, melalui anggaran untuk pelayanan publik dalam bentuk “titipan”. Pada kondisi pertama, legislatif mengusulkan anggaran yang meningkatkan penghasilannya sehingga dapat memenuhi self-interestnya dalam jangka pendek. Hal ini memunculkan political corruption atas anggaran (Garamfalvi, 1997), sementara pada kondisi kedua, selfinterest dalam jangka panjang ingin dicapai. Usulan anggaran yang diperjuangkan adalah yang mengharumkan nama politisi di wilayah tertentu, sehingga cenderung pada usulan yang targetable atau hasilnya kelihatan jelas oleh masyarakat.
17
Akibatnya, pembangunan cenderung lebih diarahkan pada daerah yang merupakan wilayah pemilihan politisi yang powerful di legislatif. Martinez et al. (2004) menyatakan bahwa political corruption terjadi ketika politisi atau birokrat tingkat atas memanfaatkan kedudukan mereka demi keuntungan pribadi ataupun kalangan dekat mereka. Menurut Mauro (1998) salah satu contohnya yaitu dengan mengalokasikan khusus
dan
berteknologi
belanja untuk barang-barang
tinggi karena merupakan belanja yang mudah
dikorupsi sebab tidak banyak orang yang memahami barang tersebut. Insentif korupsi dalam sisi belanja anggaran pemerintah menurut Martinez et al. (2004) adalah kurangnya
standar etika dan moral, kemungkinan terdeteksi yang
rendah, pengawasan dan sanksi yang lemah, atau ketidakcukupan gaji dan insentif lainnya. Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan bentuk pelayanan publik yang paling mendasar dan karenanya menjadi fokus utama pembelaan legislatif di pemerintahan. Namun, belanja untuk pendidikan dan kesehatan bukanlah area yang dapat memberikan peluang untuk korupsi sehingga anggaran pendidikan, kesehatan, dan sosial akan diperkecil (Mauro, 1998). Studi Mauro (1998) menunjukkan bahwa jenis-jenis belanja pemerintah membuka peluang terjadinya perilaku oportunistik, karena itu akan dipilih belanja barang atau pelayanan untuk program-program dan kegiatan yang sulit untuk dimonitor orang lain. Hasil penelitian ini dikuatkan oleh Tanzi and Davoodi (2002) yang mengemukakan bahwa belanja investasi publik lebih disukai legislatif karena dapat memberikan komisi lebih besar daripada
18
belanja untuk pelayanan sosial, pendidikan, dan kesehatan. Dengan kata lain preferensi legislatif mengarah pada alokasi belanja yang dapat memberikan keuntungan pribadi lebih besar dan memiliki dampak politik jangka panjang. Keefer and Khemani (2003) juga menemukan bahwa pengalokasian anggaran akan lebih banyak diarahkan untuk proyek infrastruktur karena lebih mudah digunakan sebagai bentuk pemenuhan janji legislatif kepada pemilihnya. Legislatif akan merekomendasi eksekutif untuk menaikkan alokasi pada sektorsektor yang mendukung kepentingannya dan mengusulkan pengurangan alokasi anggaran untuk pendidikan, kesehatan, dan belanja publik lainya yang tidak bersifat job programs dan targetable. Preferensi legislatif ini memiliki tiga kemungkinan konsekuensi pada alokasi anggaran untuk sektor lain, yaitu : (1) mengurangi alokasi untuk belanja lain apabila jumlah belanja secara keseluruhan tidak bertambah, (2) tidak merubah alokasi sektor lain jika jumlah belanja bertambah, atau (3) kombinasi keduanya, yakni alokasi untuk sektor lain berkurang walaupun jumlah belanja secara keseluruhan bertambah (Abdullah dan Asmara, 2006).
2.4 Konsep Anggaran Sektor Publik Mardiasmo (2002) menyatakan anggaran merupakan pernyataan estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial dan merupakan artikulasi dari perumusan strategi
dan
perencanaan strategik yang telah dibuat. Sementara Abdullah dan Asmara (2006) menyatakan bahwa anggaran yang ditetapkan dapat dipandang sebagai
19
suatu kontrak kinerja antara legislatif dan eksekutif. Terbatasnya dana yang dimiliki pemerintah menyebabkan penganggaran menjadi mekanisme terpenting dalam mengalokasikan sumber daya. Ada masalah politis ketika berbicara mengenai masalah prioritas alokasi atas sumber daya yang tersedia, dan ada masalah ekonomi ketika berbicara mengenai sumber pendanaannya. Konsekuensi yang muncul adalah penganggaran publik menjadi adu kekuatan relatif antara pihak- pihak yang
terlibat
dalam
penganggaran,
di mana
semua
pihak
memiliki
kepentingan berbeda terhadap outcome anggaran. Penganggaran menurut Hagen (2002) terbagi ke dalam empat tahapan, yaitu executive planning, legislative approval, executive implementation, dan ex post accountability. Tahapan executive planning dan legislative approval melibatkan interaksi antara eksekutif dan legislatif dimana politik anggaran paling mendominasi, sementara pada tahap ketiga dan keempat hanya melibatkan eksekutif sebagai agen. Aspek penganggaran bersifat prospective atau anticipatory (perencanaan di masa yang akan datang) sehingga manajer publik harus memahaminya sebagai isu sentral (Mardiasmo, 2005 : 69). APBD merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Proses penyusunan APBD melibatkan dua pihak yaitu eksekutif dan legislatif, masing-masing melalui sebuah tim atau panitia anggaran. Sebelum penyusunan APBD dilakukan, terlebih dahulu dibuat kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang Kebijakan Umum Anggaran (selanjutnya disebut KUA) dan prioritas anggaran, yang akan menjadi pedoman untuk penyusunan anggaran pendapatan dan anggaran belanja. Eksekutif membuat
20
rancangan APBD sesuai dengan KUA dan prioritas anggaran, yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai Peraturan Daerah (Perda). Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak, yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif.
2.5 Penelitian Terdahulu Penelitian terkait perilaku oportunistik dalam penyusunan anggaran yang telah dilakukan selama ini lebih fokus pada peranan legislatif dalam proses penyusunan anggaran. Sementara di sisi lain penyusunan anggaran di Indonesia merupakan proses bersama antara eksekutif dan legislatif. Adanya asimetri informasi dalam hubungan keagenan antara legislatif dan eksekutif membuka peluang terjadinya perilaku oportunistik (Latifah, 2010). Abdullah dan Asmara (2006) meneliti perilaku oportunistik legislatif dalam pengalokasian sumberdaya dalam anggaran belanja. Penelitian ini menguji pengaruh pendapatan sendiri terhadap perilaku oportunistik legislatif (OL) dengan menggunakan jenis dan letak pemerintahan sebagai variabel kontrol. Perilaku oportunistik dihitung dengan menjumlahkan spread anggaran pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan anggaran legislatif yang merupakan selisih angka antara RAPBD dan APBD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan PAD berpengaruh terhadap perilaku oportunistik legislatif, sedangkan jenis dan letak pemerintahan tidak berpengaruh. Penelitian Maria (2009) juga menunjukkan bahwa PAD dan SiLPA berpengaruh signifikan terhadap perilaku oportunistik legislatif
21
kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam pengalokasian anggaran daerah saat perubahan APBD. Penelitian Riharjo dan Isnadi (2010) menguji pengaruh perilaku oportunistik pejabat eksekutif atas penggunaan penerimaan sumber daya alam dalam penyusunan APBD. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data APBD dari 31 propinsi seluruh Indonesia dengan menggunakan teknik regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku oportunistik pejabat eksekutif mendorong pengaruh belanja pegawai langsung, belanja barang dan jasa, serta belanja modal terhadap meningkatnya slack anggaran dalam penetapan alokasi belanja untuk kemakmuran rakyat yang berasal dari pendapatan sumber daya alam. Oktririniatmaja (2011) meneliti pengaruh PAD, DAU dan DAK terhadap alokasi belanja modal dalam APBD Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi berganda untuk menguji pengaruh antar variabel serta uji beda untuk menilai perbedaan pengaruh antar wilayah. Data yang diteliti yaitu APBD Kabupaten/Kota sebanyak 147 dengan rentang waktu 2004 – 2008. Hasil penelitian menemukan bahwa PAD, DAU dan DAK berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal, sedangkan uji beda menunjukkan bahwa belanja modal dan PAD di Pulau Jawa lebih tinggi dari daerah di luar Pulau Jawa. Penelitian Suryarini (2012) tentang pengaruh PAD terhadap perilaku oportunistik legislatif dengan menggunakan jenis pemerintahan dan letak pemerintahan sebagai variabel kontrol. Penelitian ini menggunakan teknik
22
analisis regresi dan hasilnya menunjukkan bahwa PAD berpengaruh positif terhadap perilaku oportunistik legislatif, sedangkan jenis dan letak pemerintahan tidak berpengaruh. Lebih lanjut Sularso dkk. (2014) menguji pengaruh PAD, DAU dan SiLPA terhadap perilaku oportunistik penyusunan anggaran di Kabupaten/Kota se-Jawa Tengah. Analisis dilakukan untuk data APBD Tahun 2010 – 2012 dengan jumlah pengamatan sebanyak 135, menggunakan alat analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar PAD, DAU dan SiLPA maka semakin besar perilaku oportunistik penyusunan anggaran. Ringkasan penelitian terdahulu disajikan pada Lampiran 1.
23
BAB III RERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Rerangka Berpikir Proses penyusunan anggaran merupakan tahapan yang rumit dan penuh dengan nuansa politis. Proses penganggaran pada organisasi sektor publik khususnya pemerintah daerah adalah proses politik yang sangat didominasi oleh politik anggaran yang dilakukan oleh pihak – pihak yang terlibat. Nuansa politik anggaran semakin menguat karena pemerintah memiliki sumber daya yang terbatas sementara rencana kebutuhan relatif banyak. Sumber pendapatan dalam APBD berasal dari PAD, Dana Perimbangan dan penerimaan pembiayaan yang dipergunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang telah direncanakan pada tahun bersangkutan. Secara konseptual perubahan pendapatan dalam APBD akan berpengaruh terhadap
belanja. Perubahan PAD berpengaruh secara signifikan terhadap
perilaku oportunistik legislatif (Abdullah dan Asmara, 2006; Maria, 2009). Sumber pendapatan daerah berupa DAU adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan
dengan
tujuan
pemerataan
untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya
keuangan
antar
daerah
dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. DAU memiliki proporsi yang paling besar pada penerimaan daerah, dimana seharusnya pemerintah daerah secara leluasa dapat menggunakan dana ini untuk memberi pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Keleluasaan tersebut berpotensi membuka ruang terjadinya perilaku oportunistik baik pada
23
24
legislatif maupun eksekutif. Maryono (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dana alokasi umum dengan perilaku oportunistik penyusun anggaran. SiLPA merupakan penerimaan daerah yang bersumber dari sisa kas tahun anggaran sebelumnya untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja. Penelitian Sularso dkk. (2014) menemukan bahwa SiLPA berpengaruh positif terhadap belanja modal pada periode anggaran selanjutnya, yang berarti dapat berpengaruh pada alokasi belanja tahun berikutnya sehingga hal ini memberi ruang bagi penyusun anggaran untuk mengalokasikan free cash flow tersebut untuk melakukan perilaku oportunistik. Perilaku oportunistik merupakan perilaku yang berusaha mencapai keinginan dengan segala cara bahkan cara ilegal sekalipun yang dipengaruhi oleh adanya kekuatan (power) dan kemampuan (ability) (Maryono, 2013). Perilaku oportunistik anggaran (fiscal opportunism), yaitu perilaku oportunistik dalam pembuatan keputusan alokasi belanja dan preferensi yang mengarah pada alokasi belanja yang dapat memberikan keuntungan pribadi (Romarina dan Makfatih, 2010). Fenomena perilaku oportunistik penyusun anggaran dapat dilihat dari pengalokasian anggaran yang lebih mengarah pada preferensi yang menguntungkan pihak tertentu, sehingga kebutuhan masyarakat tidak menjadi prioritas utama. Berdasarkan hal tersebut, maka
Rerangka Berpikir dalam
penelitian ini dapat digambarkan seperti pada Gambar 3.1.
25
Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran di Kabupaten / Kota se-Bali Kajian Teoritis
Kajian Empiris
Teori Keagenan Aspek Keperilakuan dalam penganggaran
Masalah
Seabright (1996), Mauro (1998), Lupia and McCubbins (2000), Hagen (2002), Keefer and Khemani (2003), Abdullah dan Asmara (2006), Halim dan Abdullah (2006), Bartolini and Santolini (2007), Riharjo dan Isnadi (2010), Asmara (2010), Latifah (2010), Kamaliah dkk (2010), Oktririniatmaja (2011), Suryarini (2012), Faria and Silva (2013), Maryono (2013), Sujaie (2013), Sularso dkk (2014).
Hipotesis
Pengujian Statistik
Hasil Penelitian
Pembahasan
Simpulan dan Saran
Gambar 3.1 Rerangka Berpikir
3.2 Rerangka Konsep Penelitian Penelitian ini dilaksanakan untuk menunjukkan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Berdasarkan rerangka berpikir diatas, maka dapat kami susun konsep penelitian seperti pada Gambar 3.2.
26
(+)
PAD (X1)
(+)
DAU (X2)
Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran (Y)
(+)
SiLPA (X3)
Gambar 3.2 Rerangka Konsep Penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian Penyusunan anggaran merupakan tahapan yang kompleks, dan perilaku menjadi salah satu faktor kunci di dalamnya (Raghunandan et al., 2012) Keberhasilan pencapaian tujuan organisasi dapat terwujud apabila pihak – pihak yang terlibat pada penyusunan anggaran memberikan kontribusi maksimum. Sebaliknya, perilaku oportunistik terjadi ketika pihak-pihak yang terlibat pada penyusunan
anggaran
lebih
mengutamakan
self
interest-nya
sehingga
menimbulkan korupsi yang merugikan kepentingan umum (Mauro, 1998; Martinez et al., 2004). Studi Abdullah (2012) menemukan adanya perbedaan preferensi antara eksekutif dan legislatif dalam pengalokasian spread PAD ke dalam belanja sektoral. Alokasi untuk infrastruktur dan DPRD mengalami kenaikan, tapi alokasi untuk pendidikan dan kesehatan justru mengalami penurunan. Abdullah (2012) menemukan bahwa power legislatif yang sangat besar menyebabkan diskresi atas penggunaan PAD tidak sesuai dengan preferensi publik. Penelitian Sularso dkk.
27
(2014) serta Abdullah dan Asmara (2006) menunjukkan bahwa semakin besar PAD maka perilaku oportunistik penyusunan anggaran akan semakin besar. Berdasarkan kajian empiris di atas, maka peneliti merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: H1
: Terdapat pengaruh positif PAD pada Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran.
Tujuan dari dana alokasi umum adalah untuk pemerataan keuangan antar daerah. Penerimaan DAU membuka ruang bagi legislatif untuk memaksimalkan utilitasnya dengan merekomendasikan eksekutif agar mengalokasikan anggaran untuk kegiatan atau proyek-proyek yang menguntungkan legislatif (Abdullah, 2012). Transfer dari pemerintah
pusat memiliki
keterkaitan
sangat erat
dengan belanja pemerintah daerah. Oktririniatmaja (2011) menyatakan bahwa DAU berpengaruh positif terhadap peningkatan alokasi belanja modal. Kecenderungan perilaku oportunistik yang dilakukan politisi pada level pemerintah daerah tidak dapat dilakukan pada sisi pendapatan, karena pendapatan daerah sebagian besar bersumber dari dana transfer pemerintah pusat (Bartolini and Santolini, 2007). Lebih lanjut disebutkan bahwa kondisi ini menyebabkan perilaku oportunistik yang dilakukan politisi hanya dapat memengaruhi sisi belanja dalam APBD. DAU yang diterima daerah dapat mengakibatkan perubahan alokasi anggaran dalam APBD (Maryono, 2013). Berdasarkan kajian empiris di atas, maka peneliti merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: H2 : Terdapat pengaruh positif DAU pada Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran
28
Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan bentuk pelayanan publik yang paling mendasar, namun jenis belanja tersebut tidak dapat memberikan peluang untuk korupsi, sehingga anggaran pendidikan, kesehatan, dan sosial akan diperkecil (Mauro, 1998). Studi Mauro (1998) menunjukkan bahwa jenis-jenis belanja pemerintah berupa belanja barang atau pelayanan untuk program-program dan kegiatan yang sulit untuk dimonitor orang lain, membuka peluang terjadinya perilaku oportunistik. Hasil penelitian ini dikuatkan oleh Tanzi and Davoodi (2002) yang mengemukakan bahwa belanja investasi publik lebih disukai karena dapat memberikan komisi
lebih
besar daripada belanja untuk pelayanan sosial, pendidikan, dan kesehatan. SiLPA tahun anggaran sebelumnya memiliki pengaruh pada pengalokasian APBD periode selanjutnya (Sularso dkk., 2014). Lebih lanjut dijelaskan bahwa SiLPA berpengaruh positif pada alokasi belanja pada tahun berikutnya sehingga hal ini memberi peluang bagi penyusun anggaran untuk mengalokasikan free cash flow tersebut untuk berperilaku oportunistik. Berdasarkan kajian empiris di atas, maka peneliti merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: H3 : Terdapat pengaruh positif SiLPA pada Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran.
29
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penyusunan rancangan penelitian didasarkan pada fenomena atau topik penelitian dengan memperhatikan aktivitas serta waktu. Rancangan penelitian merupakan rencana dari struktur penelitian yang mengarahkan proses dan hasil riset sedapat mungkin menjadi valid, obyektif, efisien dan efektif (Jogiyanto, 2004). Rancangan penelitian mengarahkan pada pemilihan sumber – sumber daya dan tipe informasi yang diperlukan untuk menunjukkan hubungan antar variabel yang diteliti dan menggariskan langkah – langkah dalam setiap aktivitas penelitian. Penelitian ini menguji pengaruh variabel independen yaitu PAD, DAU dan SiLPA terhadap variabel dependen yaitu perilaku oportunistik penyusun anggaran. Berdasarkan fenomena yang terjadi serta kajian teoritis dan empiris, maka dirumuskan masalah penelitian serta hipotesis. Pengujian dilakukan secara statistik dengan menggunakan data sekunder yang akan dianalisis dengan teknik analisis regresi linier berganda. Hasil analisis kemudian akan diinterpretasikan untuk menjawab permasalahan penelitian sehingga diperoleh suatu simpulan penelitian. Rancangan penelitian dapat digambarkan seperti Gambar 4.1.
29
30
Kajian Teoritis Kajian Empiris
Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran di Kabupaten/Kota se- Bali
Rumusan Masalah
Hipotesis
Variabel Penelitian
Pengolahan dan Analisis Data
Pembahasan Hasil Penelitian
Simpulan dan Saran
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di 9 (sembilan) Kabupaten/Kota se-Bali untuk menganalisis data APBD pada kurun waktu 2010 – 2014. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2015.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian adalah perilaku oportunistik penyusun anggaran yang dilihat dari alokasi anggaran yang disusun dalam APBD Kabupaten/Kota se-
31
Bali yang dipengaruhi oleh PAD, DAU dan SiLPA. Alokasi belanja yang diamati yaitu sektor pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, hibah dan bansos.
4.4 Penentuan Sumber Data Data yang digunakan untuk mendukung penelitian ini adalah data sekunder berupa data APBD Kabupaten/Kota se-Bali yang diperoleh dari Biro Keuangan Sekretariat Daerah Provinsi Bali, Badan Pusat Statistik (BPS) Bali dan situs Direktorat Jendral Keuangan Daerah Kementerian Keuangan. Populasi yang digunakan adalah seluruh APBD Kabupaten/Kota se- Bali yang berjumlah 9 (sembilan) Kabupaten/Kota untuk kurun waktu 2010 – 2014.
Metode
pengambilan sampel yang digunakan adalah sampel jenuh (sensus) dimana seluruh populasi akan dijadikan sampel.
4.5 Variabel Penelitian Agar
konsep-konsep
dapat
diteliti
secara
empiris,
maka
harus
dioperasionalisasikan dengan cara mengubahnya menjadi variabel, yang berarti sesuatu yang mempunyai variasi nilai. Variabel-variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel dependen yaitu perilaku oportunistik penyusun anggaran dan variabel independen yaitu PAD, DAU dan SiLPA.
4.5.1 Variabel Dependen Variabel dependen pada penelitian ini adalah Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran (OPA). OPA menunjukkan perubahan (spread) alokasi
32
anggaran belanja tertentu dari APBD tahun sebelumnya ke APBD tahun berjalan. Spread terjadi karena perbedaan preferensi dalam pengalokasian sumberdaya antara principal dan agents (Abdullah, 2012). Nilai OPA menunjukkan adanya perilaku penyusun anggaran yang memanfaatkan kekuasaan dan kewenangannya untuk mempengaruhi kebijakan pengalokasian anggaran sesuai dengan preferensi diri atau kelompoknya, sehingga nilai OPA menggambarkan besaran self-interest penyusun anggaran (Abdullah, 2012). Pengukuran OPA dikembangkan dari penelitian Abdullah (2012), dengan tahap pengukuran sebagai berikut: 1) Menghitung spread alokasi anggaran belanja dari APBD tahun berjalan ke tahun sebelumnya. Perhitungan spread(Δ) = APBD tahun tahun sebelumnya (t-1).
berjalan (t)
– APBD
Sektor yang diamati adalah pendidikan, kesehatan, pekerjaan
umum, hibah dan bansos, yaitu : a) ΔPdk yaitu penurunan alokasi untuk belanja pendidikan b) ΔKes yaitu penurunan alokasi untuk belanja kesehatan c) ΔPU yaitu kenaikan alokasi untuk belanja PU d) ΔHibah yaitu kenaikan alokasi untuk belanja hibah e) ΔBansos yaitu kenaikan alokasi untuk belanja bansos Semua kenaikan dan penurunan alokasi tersebut dinyatakan dalam satuan rupiah dan bertanda positif, namun jika yang terjadi sebaliknya atau tidak terjadi perubahan seperti di atas maka diberi nilai 0 (nol). 2) Mengagregasi atau menggabungkan spread yang menunjukkan OPA secara keseluruhan. Perhitungan OPA= ΔPdk + ΔKes + ΔPU + ΔHibah + ΔBansos
33
4.5.2 Variabel Independen Variabel independen pada penelitian ini yang mempengaruhi OPA terdiri dari tiga variabel yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA). 1) Pendapatan Asli Daerah (PAD) PAD merupakan pendapatan daerah yang terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Pendapatan dari Laba Perusahaan Daerah dan lain-lain. Pengukuran PAD menggunakan spread PAD (Δ PAD) adalah perubahan naik atau turunnya PAD dari APBD tahun berjalan (t) ke APBD tahun sebelumnya (t-1) (Abdullah, 2012). PAD = PADAPBD (t) – APBD (t-1)……………………………………………………1) 2) Dana Alokasi Umum (DAU) DAU adalah transfer yang bersifat umum dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk menunjang pelaksanaan desentraliasi (Halim, 2004). Jumlah keseluruhan DAU untuk masing-masing Kabupaten/Kota dapat dilihat dari pos dana perimbangan dalam APBD. Pengukuran DAU dengan menggunakan spread Dana Alokasi Umum (DAU) dari APBD APBD tahun sebelumnya (t-1)
tahun berjalan (t)
ke
(Sularso dkk., 2014).
DAU= DAUAPBD (t) – APBD (t-1)……………………………………………………2) 3) Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) SiLPA mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun terselesaikan dan sisa dana kegiatan
34
lanjutan, yang ditanggung dalam perubahan APBD. SiLPA diukur dengan spread SiLPA (ΔSiLPA) dari APBD
tahun sebelumnya (t-1)
ke APBD 2 tahun sebelumnya (t-2)(Sularso
dkk., 2014) SiLPA = SiLPAAPBD (t-1) – APBD (t-2)………………………………………………..3)
4.6 Analisis Data 4.6.1 Pengujian Asumsi Klasik Pengujian asumsi klasik bertujuan untuk mengetahui dan menguji kelayakan atas model regresi yang digunakan dalam penelitian supaya hasilnya BLUE atau Best Linear Unbiased Estimator (Ghozali, 2011).
4.6.1.1 Uji Normalitas Residual Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Seperti diketahui bahwa uji t dan F mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Kalau asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sampel kecil (Ghozali, 2011). Uji normalitas residual dilakukan dengan menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov dengan tingkat signifikansi 5%.
4.6.1.2 Uji Multikoloniearitas Uji multikoloniearitas bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (Ghozali, 2011). Multikoloniearitas terjadi dalam analisis regresi berganda apabila variabel-
35
variabel bebas saling berkorelasi yang dapat dilihat dari nilai tolerance dan lawannya Variance Inflation Factor (VIF). Kedua ukuran tersebut menunjukkan variabel independen mana yang dijelaskan
oleh variabel independen
yang
lainnya. Tolerance mengukur variabilitas variabel independen yang terpilih yang tidak dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF tinggi (karena VIF = 1/tolerance). Nilai cut off yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya multikoloniearitas adalah nilai Tolerance < 0.10 atau sama dengan nilai VIF > 10 (Ghozali, 2011).
4.6.1.3 Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah Homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali, 2011). Uji statistik yang digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dalam penelitian ini adalah Uji Glejser. Uji Glejser dilakukan dengan meregresikan variabel bebas terhadap nilai residual mutlaknya dengan probabilitas signifikansi 5%. Suatu model regresi dikatakan tidak mengandung adanya heteroskedastisitas, jika tidak ada satu pun variabel independen yang signifikan secara statistik mempengaruhi variabel dependen (Ghozali, 2011).
36
4.6.1.4 Uji Autokorelasi Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data time series, sehingga menggunakan pengujian autokorelasi. Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periodet dengan kesalahan pengganggu pada periodet-1(Ghozali, 2011). Untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi dapat dilihat dari nilai Durbin Watson pada output pengujian. Model regresi terbebas dari autokorelasi jika nila Durbin Watson hitung terletak di daerah no autocorrelation atau tidak terletak di daerah negative/positive autocorrelation. Penentuan letak tersebut dibantu dengan tabel dL dan dU, sesuai nilai K yang merupakan jumlah variabel (Ghozali, 2011).
4.6.2 Analisis Regresi Alat analisis data dalam penelitian ini menggunakan regresi linier berganda untuk melihat ketergantungan variabel dependen dengan satu atau lebih variabel independen. Persamaan regresi yang digunakan adalah (Sularso dkk. 2014): Y= α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + ε………………………………………..4) Keterangan : Y X1 X2 X3 α β ε
: Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran : Pendapatan Asli Daerah : Dana Alokasi Umum : Sisa Lebih Perhitungan Anggaran : Konstanta. : Koefisien Regresi. : Error.
37
4.6.3 Uji Goodness of Fit dan Pengujian Hipotesis Ketepatan fungsi regresi suatu sampel dalam menaksir nilai aktual dapat diukur dari goodness of fit-nya (Ghozali, 2011). Secara statistik, setidaknya ini dapat diukur dari nilai koefisien determinasi (R2), nilai statistik F dan nilai statistik t.
4.6.3.1 Uji Koefisien Determinasi Koefisien determinasi (R2) mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen (Ghozali, 2011). Nilai koefisien determinasi 2
adalah antara nol dan satu. Nilai R yang kecil berarti kemampuan variabelvariabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen (Ghozali, 2011). Secara umum, koefisien determinasi untuk data runtut waktu (time series) biasanya mempunyai nilai koefisien determinasi yang tinggi.
4.6.3.2 Uji F Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen atau bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen/terikat (Ghozali, 2011). Uji F dapat dilakukan dengan melihat nilai signifikansi F pada output hasil regresi menggunakan Stastistical Package for Social Science (SPSS) dengan significance level 0,05 (5%). Jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka hipotesis ditolak
38
(koefisien regresi tidak signifikan), yang berarti secara simultan variabel-variabel bebas tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat. Jika nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 maka hipotesis
tidak dapat ditolak (koefisien
regresi signifikan). Ini berarti bahwa secara simultan variabel-variabel bebas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat.
4.6.3.3 Uji t Pengujian ini bertujuan untuk
mengetahui
apakah
masing-masing
variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. Dasar pengambilan keputusannya dilakukan dengan melihat nilai signifikansi t masing – masing variabel pada output hasil regresi dengan SPSS dengan tingkat signifikansi 0,05. Jika hasil regresi menunjukkan nilai signifikansi < 0,05, maka kita menerima hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa suatu variabel independen secara individual mempengaruhi variabel dependen (Ghozali, 2011).
39
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum APBD Kabupaten/Kota se-Bali APBD disusun setiap tahun untuk dijadikan dasar pedoman pengelolaan keuangan daerah selama 1 periode anggaran. Secara umum struktur APBD terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah. Pendapatan Daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan yang Sah sedangkan Belanja Daerah terdiri Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung. APBD Kabupaten/Kota di Bali menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan selama kurun waktu 5 tahun terakhir. Gambar 5.1 menunjukkan peningkatan PAD, DAU dan SiLPA dari tahun 2010 -2014.
Sumber: Biro Keuangan Setda Prov. Bali, 2014 (diolah) Gambar 5.1 Peningkatan PAD, DAU dan SiLPA Kabupaten/Kota se-Bali Tahun 2010-2014
39
40
Berdasarkan Gambar 5.1 diatas dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan PAD yang cukup signifikan dari tahun ke tahun dengan rata – rata peningkatan sebesar 29% (Lampiran 2). Besaran DAU juga memiliki proporsi yang cukup besar dalam APBD, dan mengalami peningkatan rata – rata 15% setiap tahun. Besaran DAU akan berkurang apabila daerah telah mampu mewujudkan kemandirian dalam membiayai pembangunan daerah. Sedangkan untuk SiLPA mengalami fluktuasi peningkatan dan penurunan selama 5 tahun terakhir. Dilihat dari sisi belanja secara umum, terjadi fluktuasi alokasi belanja untuk bidang – bidang tertentu. Gambar 5.2 menunjukkan perubahan rasio belanja sektor pendidikan terhadap alokasi belanja keseluruhan untuk 9 Kabupaten/Kota di Bali.
Sumber: Biro Keuangan Setda Prov. Bali, 2014 (diolah) Gambar 5.2 Fluktuasi Rasio Belanja Pendidikan pada APBD Kabupaten/Kota se-Bali Tahun 2010-2014
41
Gambar 5.2 menunjukkan terjadi kecenderungan fluktuasi penurunan alokasi belanja untuk sektor pendidikan pada APBD Kabupaten/Kota di Bali, namun tetap mengikuti standar minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat yaitu sebesar 20% dari total belanja dalam APBD. Kondisi yang berbeda terjadi pada alokasi belanja untuk bidang infrastruktur, dimana secara total menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Belanja infrastruktur menjadi fokus penting dalam APBD, karena ditengarai dapat dimanfaatkan oleh legislatif maupun eksekutif untuk memenuhi janji politik pada saat pemilihan umum (Abdullah, 2012). Gambar 5.3 menunjukkan perubahan alokasi belanja infrastruktur pada APBD Kabupaten/Kota se-Bali untuk periode 2010-2014.
Sumber: Biro Keuangan Setda Prov. Bali, 2014 (diolah) Gambar 5.3 Fluktuasi Rasio Belanja Infrastruktur pada APBD Kabupaten/Kota se-Bali Tahun 2010-2014
42
5.2 Deskripsi Statistik Statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai rata – rata (mean), standar deviasi, varian, maksimum, minimum, sum, range, kurtosis, dan skewness (Ghozali, 2011:19). Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data APBD dari 9 Kabupaten/Kota di Bali untuk kurun waktu 2010-2014 dengan jumlah observasi sebanyak 36 (lihat data pada Lampiran 6). Hasil analisis data dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel. 5.1 Statistik Deskriptif Variabel PAD DAU SiLPA OPA
N 36 36 36 36
Minimum 3326.00 17381.34 (45309.87) 0.00
Maksimum 320099.48 196141.91 65219.70 189386.00
Rata-rata 49683.30 63060.47 5905.5272 38762.27
Deviasi Standar 63112.97 33641.54 23661.29 32261.78
Sumber : Lampiran 7
Nilai maksimum PAD (X1) adalah sebesar Rp.320.099.480.000,- terjadi pada APBD Kabupaten Badung pada tahun 2012-2011, sedangkan untuk nilai minimum sebesar Rp.3.326.000.000,- pada data APBD Kabupaten Klungkung periode 2011-2010. Rata – rata PAD sebesar Rp.49.683.300.000,- (simpangan baku sebesar Rp.63.112.970.000,-). Sedangkan nilai maksimum untuk data DAU (X2) sebesar Rp.196.141.910.000,- pada pengamatan APBD Kabupaten Badung Tahun 2012 - 2011, dengan nilai minimum sebesar Rp.17.381.340.000,- pada periode pengamatan APBD Kabupaten Gianyar Tahun 2014-2013. DAU yang dialokasikan untuk Kabupaten Gianyar pada periode ini mengalami peningkatan yang relatif kecil karena pada periode yang sama Pemerintah Kabupaten Gianyar berhasil
43
meningkatkan PAD dengan angka yang cukup signifikan. Rata - rata DAU sebesar Rp.63.060.470.000,- dengan simpangan baku Rp.33.641.540.000,Hasil analisis untuk data SiLPA (X3) menunjukkan
nilai
maksimum
sebesar Rp.65.219.700.000,- dan nilai minimum -Rp.45.309.870.000,- dengan rata - rata Rp.5.905.527.200 ( simpangan baku Rp.23.661.290.000,-). SiLPA terbesar terjadi pada pengamatan APBD Kabupaten Buleleng untuk periode 2013-2012, sedangkan nilai minimum terjadi pada APBD Kabupaten Badung periode 20112010. Analisis untuk variabel OPA (Y) menunjukkan nilai maksimum sebesar Rp.189.386.000.000 dan nilai minimum Rp.0,00,-
dengan rata-rata sebesar
Rp.38.762.270.000,- (simpangan baku Rp.32.261.780.000,-). Nilai OPA minimum terjadi pada pengamatan APBD Kabupaten Jembrana pada periode 2011-2010, karena pada tahun yang bersangkutan terjadi peningkatan untuk belanja pada sektor pendidikan dan kesehatan sedangkan untuk sektor pekerjaan umum, hibah dan bansos terjadi penurunan, sehingga berdasarkan asumsi pengukuran variabel diberikan nilai nol.
5.3. Uji Asumsi Klasik 5.3.1 Uji Normalitas Residual Uji normalitas residual pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Tabel 5.2 menunjukkan bahwa koefisien Asymp Sig (2tailed) adalah 0,372, ini berarti residual data yang dipergunakan berdistribusi normal karena nilai koefisien Asymp Sig (2-tailed) lebih besar dari α = 0,05.
44
Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas Berdasarkan Kolmogorov-Smirnov Test Unst. Residual N Normal parameters a.b Most Extreme Differences
Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp Sig (2-tailed)
36 .0000000 13151.981 .153 .153 -.081 .915 .372
Sumber : Lampiran 8 Normalitas residual juga dapat diketahui dari kurva histogram serta kurva normal P-P Plot. Pada lampiran 8 terlihat kurva histogram memiliki kemiringan yang seimbang, baik pada sisi kiri maupun sisi kanan, dan kurva berbentuk menyerupai lonceng. Pada kurva P-P Plot terlihat titik – titik data menyebar di sekitar garis diagonal, dan penyebaran titik – titik data searah mengikuti garis diagonal, yang berarti bahwa data berdistribusi normal.
5.3.2 Uji Multikoloniearitas Uji multikoloniearitas digunakan untuk mengetahui apakah ada korelasi diantara variabel independen yang satu dengan yang lainnya. Hasil uji multikoloniearitas dapat dilihat dari besarnya Tolerance Value dan Variance Inflation Factor (VIF). Hasil pengujian multikoloniearitas dapat dilihat pada Lampiran 9 dan secara ringkas dapat ditunjukkan pada Tabel 5.3.
45
Tabel 5.3 Hasil Uji Multikolonieritas Variabel
Tolerance
VIF
PAD DAU SiLPA
.780 .796 .978
1.282 1.257 1.023
Keterangan Bebas multikolonieritas Bebas multikolonieritas Bebas multikolonieritas
Sumber : Lampiran 9
Hasil perhitungan menunjukkan semua variabel bebas memiliki tolerance lebih dari 0,1 ( > 0,1) dan nilai VIF kurang dari 10 ( < 10), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada gejala multikolonieritas dalam model regresi (Ghozali, 2011).
5.3.3 Uji Heteroskedastisitas Berdasarkan hasil uji Glejser sebagaimana tersaji pada Tabel 5.4 terlihat bahwa nilai sig. uji t lebih besar dari 0,05 yang berarti bahwa model regresi tidak mengandung adanya heteroskedastisitas. Tabel 5.4 Hasil Uji Glejser Model
Unstandardized coefficient B
(Constant) PAD DAU SiLPA
11824.735 -.017 -.026 .114
Std. Error 2926.042 .025 .046 .059
Standardized coeficient Beta -.126 -.105 .323
t
Sig 4.041 -.673 -.568 1.938
.000 .506 .574 .062
Sumber : Lampiran 9
Selain itu pada Gambar 5.4 terlihat bahwa sebaran titik – titik pada scatterplot menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y dan tidak membentuk pola, sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi heteroskedastisitas.
46
Gambar 5.4 Scaterplot
5.3.4 Uji Autokorelasi Hasil pengolahan data dengan program SPSS versi 13.0 menunjukkan nilai Durbin Watson (DW) sebesar 2,099 (lihat lampiran 9). Setelah dibandingkan dengan nilai tabel dengan signifikansi 5%, jumlah sampel (T = 36) dan jumlah variabel independen (K=3), maka diperoleh nilai dL= 1,295; dU= 1,654; 4-dL= 2,705 dan 4-dU = 2,346. Nilai dL dan dU dapat dilihat pada Lampiran 10. Oleh karena nilai DW 2,099 lebih besar dari batas atas (dU) 1,654 dan kurang dari 4-dU (2,346), maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat autokorelasi.
5.4 Uji Goodness of fit dan Pengujian Hipotesis Hipotesis diuji dengan model analisis regresi linier berganda untuk memperoleh gambaran mengenai pengaruh variabel bebas (X) pada variabel
47
terikat (Y). Analisis dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS, hasilnya seperti ditunjukkan pada Tabel 5.5. Tabel 5.5 Hasil Analisis Regresi Model Variabel
Unstandardized coefficient
(Constant) PAD DAU SiLPA R2 = 0.834
B -4938.880 .277 .446 .308
Standardized coefficient Beta
Std. Error 4943.024 .042 .077 .099 F = 53.517
.541 .465 .226
t
Sig
-.999 6.630 5.759 3.102 Sig F = 0.00
.325 .000 .000 .004
Sumber : Lampiran 8 5.4.1 Uji Koefisien Determinasi (R2) Tabel 5.5 menunjukkan bahwa nilai R2 sebesar 0,834 berarti bahwa 83,4 % variasi OPA dijelaskan oleh variasi PAD, DAU dan SiLPA, sedangkan sisanya sebesar 16,6 % dijelaskan faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model. 5.4.2 Uji F Hasil analisis dengan bantuan program SPSS seperti pada Tabel 5.5 menunjukkan nilai signifikansi uji F adalah 0,000. Hal ini berarti bahwa variabel PAD, DAU dan SiLPA berpengaruh secara serempak/bersama-sama terhadap OPA.
5.4.3 Uji t Uji t dilakukan untuk menguji signifikansi pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Nilai uji t dapat dilihat dari p-value dari variabel independen. Tabel 5.5 menunjukkan bahwa masing – masing variabel independen
48
berpengaruh signifikan pada variabel dependen, yang ditunjukkan dengan nilai pvalue lebih kecil dari α = 0,05.
5.4.4 Persamaan Regresi Berdasarkan hasil output SPSS seperti ditunjukkan pada Tabel 5.5 maka persamaan regresinya adalah sebagai berikut: Y = -4938,880 + 0,277 X1 + 0,446 X2 + 0,308X3 Persamaan regresi tersebut mempunyai makna : 1) Konstanta sebesar -4938,880 berarti bahwa apabila variabel PAD (X1), DAU (X2) dan SiLPA (X3) konstan, maka OPA rata – rata sebesar -4938,880. Apabila variabel PAD, DAU dan SiLPA bernilai nol, maka OPA cenderung menurun sebesar nilai konstanta. 2) Koefisien X1 sebesar 0,277 berarti bahwa apabila variabel PAD (X1) meningkat sebesar satu satuan (dengan asumsi variabel lain konstan), maka OPA akan meningkat sebesar 0,277. 3) Koefisien X2 sebesar 0,446 berarti bahwa apabila variabel DAU (X2) meningkat sebesar satu satuan (dengan asumsi variabel lain konstan), maka OPA akan meningkat sebesar 0,446. 4) Koefisien X3 sebesar 0,308 berarti bahwa apabila variabel SiLPA (X3) meningkat sebesar satu satuan (dengan asumsi variabel lain konstan), maka OPA akan meningkat sebesar 0,308.
49
5.4.5 Uji Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji t yaitu melihat nilai signifikansi dibandingkan dengan tingkat signifikansi yang ditetapkan. Hipotesis pertama menguji pengaruh positif PAD pada perilaku oportunistik penyusun anggaran. Nilai koefisien beta (β1) sebesar 0,277 dengan nilai signifikansi 0,000, menunjukkan bahwa PAD berpengaruh positif dan signifikan pada OPA. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa H1 tidak dapat ditolak yaitu PAD berpengaruh positif pada perilaku oportunistik penyusun anggaran. Pengujian hipotesis kedua yaitu terdapat pengaruh positif DAU pada perilaku oportunistik penyusun anggaran menunjukkan nilai koefisien beta (β2) sebesar 0,446 dengan nilai signifikansi 0,000 (lihat Tabel 5.5). Simpulan yang dapat diambil sesuai hasil analisis tersebut adalah H2 tidak dapat ditolak yaitu DAU berpengaruh positif pada perilaku oportunistik penyusun anggaran. Hipotesis ketiga menguji pengaruh positif SiLPA pada perilaku oportunistik penyusun anggaran. Tabel 5.5 menunjukkan bahwa nilai koefisien beta (β3) untuk variabel SiLPA sebesar 0,308 dengan nilai signifikansi 0,004. Nilai signifikansi yang dihasilkan lebih kecil dari α = 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis ketiga tidak dapat ditolak yaitu SiLPA berpengaruh positif pada perilaku oportunistik penyusun anggaran.
50
5.5
Pembahasan
5.5.1 Pendapatan Asli Daerah Berpengaruh Positif pada Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran Berdasarkan data APBD Kabupaten/Kota se-Bali Tahun 2014, PAD memiliki proporsi yang cukup signifikan dalam menunjang Pendapatan Daerah yakni sebesar 33,7% atau lebih besar dari rata – rata nasional sebesar 23,75 % (DJPK, 2014). Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berada pada angka 31,4 %. Hipotesis 1 pada penelitian ini yaitu terdapat pengaruh positif PAD pada perilaku oportunistik penyusun anggaran terbukti signifikan setelah dianalisis secara statistik. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien beta (β 1) sebesar 0,277 serta nilai signifikansi sebesar 0,000 < α = 0,05. Peningkatan PAD dari tahun sebelumnya ke tahun berjalan mempengaruhi alokasi belanja sektor – sektor tertentu yang dapat memberikan manfaat bagi penyusun anggaran. Hasil ini sejalan dengan penelitian Abdullah dan Asmara (2006) yang menemukan bahwa perubahan pendapatan sendiri berpengaruh positif terhadap perilaku oportunistik legislatif. PAD merupakan jalan
bagi
penyusun anggaran untuk melakukan political corruption dalam kerangka regulasi yang sah (legal corruption). Fenomena ini terlihat ketika perubahan atau kenaikan anggaran atau target PAD digunakan sebagai dasar untuk melakukan alokasi tambahan belanja (Sularso dkk., 2014). PAD sebagai komponen utama dari penerimaan daerah
akan sangat
menentukan besaran alokasi belanja. Beberapa studi terdahulu seperti Abdullah dan Asmara (2006), Oktririniatmaja (2011), Maryono (2013) dan Sularso dkk. (2014) membuktikan bahwa pendapatan berpengaruh terhadap belanja. Penerapan
51
desentraliasi fiskal telah memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur
dan
mengelola
sendiri
urusan
pemerintahan
yang
menjadi
kewenangannya termasuk keuangan daerah. Ketentuan pasal 19 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah secara tegas menyatakan bahwa dalam penyusunan APBD, penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup. Teori keagenan menjelaskan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran memiliki kecenderungan untuk memaksimalkan utilitasnya melalui pengalokasian sumberdaya dalam anggaran yang ditetapkan (Magner and Johnson, 1995). Eksekutif atau agency berperan sebagai pengusul anggaran sekaligus juga selaku pelaksana atau pengguna anggaran. Peran ganda ini mempengaruhi perilaku eksekutif untuk berupaya memaksimalkan jumlah anggaran yang diajukan (Smith and Bertozzi, 1998). Di sisi lain, legislatif yang dipilih publik untuk membuat keputusan tentang penggunaan sumberdaya bagi mereka di pemerintahan ternyata tidak melakukan perannya sesuai harapan publik. Padahal secara konsep belanja publik sesungguhnya adalah cerita tentang bagaimana politisi menghabiskan uang orang lain (publik) untuk kepentingan umum (Hagen, 2002). Martinez et al. (2004) memberikan argumen tentang motivasi/insentif dan peluang korupsi dalam sisi belanja anggaran pemerintah. Insentif korupsi adalah kurangnya standar
etika dan moral, kemungkinan terdeteksi yang rendah,
pengawasan dan sanksi yang lemah, atau ketidakcukupan gaji dan insentif
52
lainnya. Mereka menyatakan bahwa seorang politisi yang berpengaruh cenderung mendukung proyek tertentu bukan karena prioritas atas kegiatan tersebut, tetapi karena suap yang akan diperoleh atau keuntungan untuk dirinya sendiri. Sektor pendidikan dan kesehatan merupakan dua sektor pelayanan publik paling penting dipenuhi oleh pemerintah, sehingga alokasi anggaran untuk kedua sektor ini relatif besar dibanding sektor lain. Terjadinya alokasi dalam anggaran belanja pemerintah terkait dengan perilaku oportunistik politisi dan aparat pemerintah. Politisi memiliki preferensi atas alokasi yang mengandung lucrative opportunities dan memiliki dampak politik jangka panjang untuk merealisasikan kepentingan pribadinya. Legislatif akan merekomendasi eksekutif untuk menaikkan alokasi anggaran pada sektorsektor yang mendukung kepentingannya (Keefer and Khemani, 2003). Legislatif cenderung mengusulkan pengurangan atas alokasi untuk pendidikan, kesehatan, dan belanja publik lainnya yang tidak bersifat job programs dan targetable. Menurut Abdullah dan Asmara (2006), preferensi legislatif ini memiliki tiga kemungkinan konsekuensi pada belanja sektor lain, yakni: (1) mengurangi alokasi untuk belanja lain apabila jumlah belanja secara keseluruhan tidak bertambah; (2) tidak mengubah alokasi sektor lain jika jumlah belanja bertambah; atau (3) kombinasi keduanya, yakni alokasi untuk sektor lain berkurang walaupun jumlah belanja secara keseluruhan bertambah.
53
5.5.2 Dana Alokasi Umum Berpengaruh Positif pada Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran Pengujian berpengaruh positif
terhadap
hipotesis
kedua
menunjukkan
bahwa
DAU
pada perilaku oportunistik penyusun anggaran. Hasil uji
statistik menunjukkan nilai koefisien beta (β 2) sebesar 0,446 dengan nilai signifikansi 0,000 < α = 0,05. DAU memiliki proporsi yang cukup tinggi dalam APBD dengan rata – rata 45,4% dari total pendapatan daerah. Besaran nilai DAU yang diterima masing – masing daerah cenderung meningkat setiap tahun. Kondisi ini menjadi celah tersendiri bagi penyusun anggaran untuk mengalokasikan dana tersebut untuk membiayai belanja sesuai preferensi yang menguntungkan pihak tertentu. Hasil pengujian ini sejalan dengan hasil yang ditemukan pada penelitian Maryono (2013) bahwa terdapat pengaruh DAU pada perilaku oportunistik legislatif dalam penganggaran daerah di Provinsi Sumatera Barat. Semakin besar DAU yang diterima kabupaten/kota maka akan semakin besar pula perilaku oportunistik legislatif dalam anggaran daerah. Penelitian Sularso dkk. (2014) juga menunjukkan hasil yang sama bahwa DAU memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku oportunistik penyusunan anggaran pada Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah. DAU memiliki proporsi terbesar dalam penerimaan daerah dan Pemerintah Daerah memiliki keleluasaan untuk menggunakan dana transfer tersebut guna membiayai kegiatan pelayanan kepada masyarakat atau untuk kegiatan lain sesuai kepentingan politik legislatif maupun eksekutif. Keleluasaan ini memberi peluang bagi penyusun anggaran untuk berperilaku oportunistinik (Latifah, 2010).
54
Sejalan dengan hal tersebut, Bartolini and Santolini (2007) menjelaskan bahwa incumbent politicians melakukan modifikasi belanja untuk meningkatkan peluang agar terpilih kembali. Kecenderungan perilaku oportunistik yang dilakukan politisi pada level pemerintah daerah tidak dapat dilakukan pada sisi pendapatan, karena pendapatan daerah sebagian besar bersumber dari dana transfer pemerintah pusat dan hanya sebagian kecil berasal dari pendapatan pajak daerah. Kondisi ini menyebabkan perilaku oportunistik yang dilakukan politisi hanya dapat memengaruhi sisi belanja dalam APBD. Penelitian Sujaie (2013) menegaskan bahwa perilaku oportunistik perumus kebijakan anggaran dalam penyusunan kebijakan APBD terjadi pada penetapan target pendapatan, belanja daerah maupun pembiayaan daerah.
Perilaku
oportunistik juga terjadi dalam belanja hibah, dimana perumus kebijakan memanfaatkan besarnya anggaran belanja hibah sebagai sarana kampanye untuk mendapatkan dukungan pada pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) kepala daerah dan Pemilu legislatif. Selain itu perumus kebijakan juga mengambil keuntungan ekonomi dalam pelaksanaan belanja hibah dengan melakukan pemotongan anggaran, jual beli kuota anggaran serta duplikasi anggaran. Dalam proses penyusunan kebijakan APBD terjadi bargaining antara eksekutif dan legislatif dengan model soft negotiation, melalui tiga fase berurutan yaitu pembahasan KUA-PPAS, penyampaian nota keuangan dan RAPBD, serta dalam persetujuan bersama terhadap RAPBD (Sujaie, 2013).
55
5.5.3 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Berpengaruh Positif pada Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa SiLPA berpengaruh positif pada perilaku oportunistik penyusun anggaran yang ditunjukkan dengan nilai koefisien beta (β3) untuk variabel SiLPA sebesar 0,308 dan nilai signifikansi 0,004. Hasil ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan Oktririniatmaja (2011), Maryono (2013), Suryarini (2013) dan Sularso dkk. (2014) yang menemukan bahwa SiLPA memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku
oportunistik penyusun
anggaran. Hasil ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maria (2009) yang menyatakan bahwa SiLPA berpengaruh negatif pada perilaku oportunistik legislatif. Di satu sisi, SiLPA merupakan indikator efisiensi apabila bersumber dari penghematan belanja. Namun kondisi yang terjadi, ada kecenderungan penyusun anggaran melakukan mark-up belanja dan mark-down pendapatan, sehingga efisiensi yang ditunjukkan dari besaran SiLPA hanya bersifat semu ketika output anggaran tidak tercapai (Sularso dkk., 2014). Komposisi SiLPA pada APBD Kabupaten/Kota di Bali tahun 2014 mencapai 99,7 % dari seluruh penerimaan pembiayaan yang dapat digunakan untuk menutup defisit anggaran. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai angka 93,7 %. Selisih pengurangan pendapatan terhadap belanja pada realisasi APBD
merupakan sisa dana yang dapat bernilai minus ataupun positif. Apabila sisa dana tersebut bernilai minus disebut defisit, dan jika positif disebut surplus, yang dalam APBD dinamakan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA). Besaran SiLPA yang tercantum dalam APBD tahun anggaran 2014 merupakan perkiraan besaran
56
SiLPA yang akan terjadi pada akhir tahun anggaran berkenaan. Apabila terdapat nilai SiLPA yang sangat besar, hal ini mengindikasikan adanya kekurangcermatan dalam penyusunan anggaran maupun terdapat kendala dalam pelaksanaannya, sehingga penyerapan anggaran belanja berpotensi kurang optimal. Penyerapan yang kurang optimal akan mengakibatkan adanya saldo (SiLPA) yang merupakan dana idle yang belum dimanfaatkan. Raghunandan et al. (2012) menyatakan bahwa penyusunan anggaran merupakan tahapan yang kompleks, dan perilaku menjadi salah satu faktor kunci di dalamnya. Keberhasilan pencapaian tujuan organisasi dapat terwujud apabila pihak – pihak yang terlibat pada penyusunan anggaran memberikan kontribusi maksimum. Kondisi berbeda ditemukan pada penelitian Raghunandan et al. (2012) bahwa praktek perilaku disfungsional yang kerap terjadi pada penganggaran sektor publik yaitu spend it or lose it syndrome dimana agen akan berupaya memaksimalkan pengeluaran, agar realisasi pada akhir tahun terpenuhi. Perilaku ini terjadi karena ada ketakutan akan terjadi pengurangan anggaran di tahun berikutnya. Praktek seperti ini akan menunjukkan kinerja semu, dimana dari sisi anggaran akan terlihat baik, sementara outputnya kurang bermanfaat (Liza et al, 2013).
57
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis data yang didahului uji asumsi klasik menyatakan bahwa model regresi yang digunakan berdistribusi normal, tidak terjadi multikoloniearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi. Hasil pengujian goodness of fit menunjukkan model sudah fit dilihat dari nilai R2, uji F dan uji t. Koefisien determinasi (R2) sebesar 0,834 berarti bahwa 83,4 % variasi OPA dijelaskan oleh variasi PAD, DAU dan SiLPA, sedangkan sisanya sebesar 16,6 % dijelaskan faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model. Hasil uji F memiliki nilai signifikansi sebesar 0,000 < α = 0,05, serta uji t pada nilai signifikansi dibawah α (0,05). Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Terdapat pengaruh positif PAD pada perilaku oportunistik penyusun anggaran di Kabupaten/Kota se-Bali. Peningkatan PAD dari tahun sebelumnya ke tahun berjalan mempengaruhi alokasi belanja sektor – sektor tertentu yang dapat memberikan manfaat bagi penyusun anggaran. 2) Terdapat pengaruh positif DAU pada perilaku oportunistik penyusun anggaran di Kabupaten/Kota se-Bali. DAU memiliki proporsi yang cukup tinggi dalam APBD dengan rata – rata 45,4% dari total pendapatan daerah. Besaran nilai DAU yang diterima masing – masing daerah cenderung meningkat setiap tahun. Kondisi ini menjadi celah tersendiri bagi penyusun anggaran untuk
57
58
mengalokasikan dana tersebut untuk membiayai belanja sesuai preferensi yang menguntungkan pihak tertentu. 3) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa SiLPA berpengaruh positif pada perilaku oportunistik penyusun anggaran. SiLPA merupakan indikator efisiensi apabila bersumber dari penghematan belanja. Namun kondisi yang terjadi, ada kecenderungan penyusun anggaran melakukan mark-up belanja dan mark-down pendapatan,
sehingga efisiensi yang ditunjukkan dari besaran SiLPA hanya
bersifat semu ketika output anggaran tidak tercapai.
6.2 Saran Adapun saran yang dapat penulis berikan sehubungan dengan keterbatasan yang terdapat pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Pemerintah Daerah hendaknya lebih meningkatkan kualitas penyusunan anggaran dengan mengutamakan alokasi belanja sesuai kebutuhan masyarakat, transparansi anggaran serta menerapkan pengawasan mulai dari proses perencanaan anggaran. 2) Untuk menekan perilaku oportunistik pada belanja hibah dan bansos, disarankan agar mekanisme pengajuan diverifikasi lebih teliti dan pencairan dilakukan sesuai prosedur. 3) Berdasarkan nilai koefisien determinasi sebesar 0,834, menunjukkan bahwa masih terdapat 16,6 % pengaruh variabel lain yang mampu menjelaskan variasi variabel perilaku oportunistik penyusun anggaran, maka disarankan bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti faktor lain yang berpengaruh terhadap
59
perilaku oportunistik penyusun anggaran seperti pinjaman daerah yang belum dapat dikembangkan pada penelitian ini karena keterbatasan data yang tersedia. 4) Aspek metodologi pada penelitian ini belum mampu mengungkapkan sepenuhnya beberapa persoalan yang mungkin penting untuk menggambarkan perilaku penyusun anggaran, sehingga perlu dikembangkan suatu daftar pertanyaan lengkap (kuisioner) yang dapat mengukur persepsi pihak - pihak yang terlibat pada penyusunan anggaran. 5) Penelitian selanjutnya dapat memperbaiki pengukuran nilai OPA dengan lebih fokus pada sektor yang memiliki belanja langsung dengan nilai yang besar, mengingat kecenderungan OPA terjadi pada belanja langsung dibandingkan belanja tidak langsung.
60
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S. 2012. Perilaku Oportunistik Legislatif dan Faktor – Faktor Yang Mempengaruhinya: Bukti Empiris dari Penganggaran Pemerintah Daerah di Indonesia. Ringkasan Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Abdullah, S. dan Asmara, J.A. 2006. Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah: Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik. Jurnal Simposium Nasional Akuntansi 9. Padang 23-26 Agustus. Andvig, J.C., Fjeldstad, O.H., Amundsen,I., Sissener, T., and Søreide, T. 2001. Corruption: A review of contemporary research. Chr. Michelsen Institute Development Studies and Human Rights Report R 2001: 7. Asmara, J.A. 2010. Analisis Perubahan Alokasi Belanja Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBA) Provinsi Naggroe Aceh Darussalam. Jurnal Telaah & Riset Akuntansi Vol. 3. No. 2 . Juli 2010 Hal. 155-172. Bartolini, D., and Santolini, R. 2007. Fiscal Rules and The Opportunistic Behaviour of The Incumbent Politician: Evidence From Italian Municipalities. Working Paper. Institute of Local Public Finance February 2007. Cioffi, M., Messina, G., and Tommasino, P. 2012. Parties, Institutions and Political Budget Cycles at Municipal Level: Evidence from Italy. Working paper at Meeting of the Public Choice Society Januari 2012. Eisenhardt, K.M. 1989. Agency theory: An assessment and review. Academy of Management Review 14(1): 57-74. Elias, R. Z. 2013. The Impact of Machiavellianism and Opportunism on Business Students’ Love of Money. Southwestern Business Administration Journal (SBAJ) Volume 13 Issue 1&2, 2013, pp.1-22. Faria, J.A., dan Silva, S.M.G. 2013 The Effects of Information Asymmetry on Budget Slack: An Experimental Research. African Journal of Business Management vol 7(13),pp.1086-1079. Garamfalvi, L. 1997. Corruption in The Public Expenditure Management Process. Paper presented at 8th International Anti-Corruption Conference, Peru 7-11 September. Ghozali, I. 2011. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS : Cetakan IV. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
61
Gilardi, F. 2001. Principal-agent models go to Europe: Independent regulatory agencies as ultimate step of delegation. Paper presented at the ECPR General Conference, Canterbury (UK), 6-8 September 2001. Hagen, J.V. 2002. Fiscal rules, fiscal institutions, and fiscal performance. The Economic and Social review 33(3): 263-284. Halim, A. dan Abdullah, S. 2006. Hubungan dan Masalah Keagenan di Pemerintahan Daerah: Sebuah Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi. Jurnal Akuntansi Pemerintah 2(1): 53-64. James, W. 2006. A processual view of institutional change of the budget process within an Australian government–owned electricity corporation. International Journal of Public Sector, 19(1), 5-39. Jensen, M.C. and W.H. Meckling. 1976. Theory of The Firm: Managerial Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial Economics.Vol.3.No.4.pp.305-360. Jogiyanto. 2004. Metodologi Penelitian Bisnis. Yogyakarta: BPFE. Jumaidi, L.T. 2014. Perilaku Legislatif dalam Praktik Penganggaran dengan Pendekatan Nilai – Nilai Kearifan Lokal. Jurnal Simposium Nasional Akuntansi 17 Mataram Lombok 24 -27 September 2014. Kamaliah, D., Edfan dan Viorita, V. 2010. Pengaruh Perilaku Oportunistik terhadap Hubungan Partisipasi Anggaran dengan Kinerja Manajerial (Studi Empiris pada Pegawai Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi di Provinsi Riau). Jurnal Ekonomi Volume 18, Nomor 2 Juni 2010. Keefer, P. and Khemani, S. 2003. The political economy of public expenditures. Background paper for WDR 2004: Making Service Work for Poor People. The World Bank. Latifah, N.P. 2010. Adakah Perilaku Oportunistik dalam Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik ?. Fokus Ekonomi Vol. 5 No. 2 Desember 2010 : 85 – 94. Liza, N.B.A.Jamil. C.Z.M and Nor, N.A.M. 2013. Ethical Antecedents of Dysfunctional Behaviour in Performance Measurement and Control System. Asian Social Science ( 9)1. Lupia, A. and McCubbins, M. 2000. Representation or abdication? How citizens use institutions to help delegation succeed. European Journal of Political Research 37:291-307. Magner, N. and G.G. Johnson. 1995. Municipal officials’ reactions to justice in budgetary resource allocation. Public Administration Quarterly: 439-456.
62
Magner, N.R., Johnson, G.G., Little, H.T. Staley, A.B. and Welker, R.B. 2006. The case of fair budgetary procedures. Managerial Auditing Journal, 21(4), 408419. Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi. Maria, F.T. 2009. Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah: Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik. E-Jurnal UGM. Martinez, J.V., Arze, J. and Boex, J. 2004. Corruption, Fiscal Policy, and Fiscal Management. Working Paper. Georgia State University. http://www.fiscalreform.net. Maryono, R. 2013. Pengaruh Perubahan Dana Alokasi Umum TerhadapPerilaku Oportunistik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah. E-Jurnal UNP. Mauro, P. 1998. Corruption and the composition of government expenditure. Journal of Public Economics 69: 263-279. Oktririniatmaja, R. 2011. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. E-Journal Universitas Sebelas Maret. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Radebe, L.Z and Radebe, P.Q. 2014. Behavioural factors as determinants of effective budgeting process in public secondary schools. Mediterranian Journal of Social Science 5(23). Raghunandan, M. Ramgulam,N and Raghunandan, K. 2012. Examining the behavioural aspects of budgeting with particular emphasis on public sector/ service budgets. International Journal of Business and Social Science 3(14). Riharjo, I.B. dan Isnadi. 2010. Perilaku Oportunistik Pejabat Eksekutif dalam Penyusunan APBD ( Bukti Empiris atas Penggunaan Penerimaan Sumber Daya Alam). Jurnal Ekuitas Vol.14 No. 3 September:388-410. Ritonga, I.T. dan M.I. Alam.2010. Apakah Incumbent Memanfaatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk Mencalonkan Kembali dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Jurnal Simposium Nasional Akuntansi XIII. Purwokerto. Romarina, A. dan A. Makfatih. 2010. Faktor – Faktor Risiko Fiskal dam Penganggaran Daerah. Jurnal BPPK Volume I.
63
Seabright, P. 1996. Accountability and decentralisation in government: An incomplete contracts models. European Economic Review 40:61-89. Smith, R.W. and M. Bertozzi. 1998. Principals and agents: An explanatory model of public budgeting. Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial Management: 325-353. Suartana, I.W. 2010. Akuntansi Keperilakuan: Teori dan Implementasi. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Sujaie, A.F. 2013. Oportunisme Perumus Kebijakan Anggaran dalam Penyusunan APBD Provinsi Jawa Timur Tahun 2013: Fenomena dalam Pelaksanaan Belanja Hibah dan Bansos. E-Journal UGM. Sularso, H., Restianto, Y.E. dan Istiqomah, A.E. 2014. Determinan Perilaku Oportunistik Penyusunan Anggaran (Studi pada Kabupaten/Kota di Jawa Tengah). Jurnal Simposium Nasional Akuntansi 17 Mataram Lombok 24 -27 September 2014. Suryarini, T. 2012. Perilaku Oportunistk Legialtaif dalam Penganggaran Daerah: Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik. Jurnal Review Akuntansi dan Keuangan Vol. 2 No. 1 April 2012. Tanzi, V. and Davoodi, H. 2002. Corruption, public investment, and growth, Governance, Corruption, & Economic Performance. Washington, D.C.: International Monetary Fund. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437). Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438).
64
Lampiran 1 Ringkasan Penelitian Terdahulu No
Penulis
Judul
Variabel Penelitian
Hasil
1.
Abdullah dan Asmara (2006)
Perilaku Oportunistik Legislatif dalam Penganggaran Daerah
Var. Dependen Perilaku oportunistik Legislatif (OL) Var. Independen PAD. Variabel control Jenis Pemerintahan dan Letak Pemerintahan
1. Legislatif berperilaku oportunistik dalam pengalokasian sumberdaya di anggaran belanja 2. Perubahan pendapatan sendiri berpengaruh positif terhadap perilaku oportunistik legislative 3. Jenis pemerintah dan letak pemerintah tidak berpengaruh terhadap perilaku oportunistik legislatif
2.
Riharjo dan Isnadi (2010)
Perilaku Oportunistik Pejabat Eksekutif dalam Penyusunan APBD ( Bukti Empiris atas Penggunaan Penerimaan Sumber Daya Alam)
Var. Dependen Slack Anggaran untuk belanja kemakmuran rakyat dari pendapatan SDA
1. Belanja pegawai langsung dan belanja modal yang ditetapkan dalam APBD berpengaruh terhadap slack anggaran untuk kemakmuran rakyat yang berasal dari pendapatan sumber daya alam 2. Belanja barang dan jasa yang ditetapkan dalam APBD, tidak berpengaruh terhadap slack anggaran dalam penetapan alokasi belanja untuk kemakmuran rakyat yang berasal dari pendapatan sumber daya alam 3. Perilaku oportunistik pejabat eksekutif mendorong pengaruh belanja pegawai langsung dan belanja modal yang ditetapkan dalam APBD terhadap meningkatnya slack anggaran 4. Perilaku oportunistik pejabat eksekutif mendorong pengaruh belanja barang, jasa, modal yang ditetapkan dalam APBD terhadap meningkatnya slack anggaran
Var. Independen Belanja Pegawai, Belanja Barang Jasa, Belanja Modal Variabel Moderasi yaitu perilaku oportunistik
3.
Asmara (2010)
Analisis Perubahan Alokasi Belanja Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBA) Provinsi Naggroe Aceh Darussalam
Belanja Pegawai, Belanja Barang Jasa, Belanja Modal dan Plafons SILPA
1.Perubahan Belanja Pegawai berkorelasi dengan Belanja Barang Jasa 2.Perubahan Belanja Pegawai dan Belanja Barang Jasa tidak berkorelasi dengan Belanja Modal 3.Pengaruh SILPA tahun sebelumnya terhadap Plafon SKPA dan Jenis Belanja SKPA tidak dapat dibuktikan dalam penelitian ini. Meskipun SILPA tahun sebelumnya merupakan alasan utama dilakukannya perubahan APBA, ternyata penelitian ini menemukan hasil yang berbeda
65
No
Penulis
Judul
4.
Latifah (2010)
Adakah Perilaku Oportunistik dalam Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik ?
5.
Oktriniatmaja (2011)
Pengaruh PAD, DAU dan DAK terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal dalam APBD Pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara
Var. Dependen Alokasi Belanja Modal Var. Independen PAD, DAU dan DAK
1. PAD, DAU dan DAK berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal baik secara parsial maupun simultan. 2. Belanja modal dan PAD di Jawa lebih tinggi dari daerah di luar Pulau Jawa
6.
Maryono (2013)
Pengaruh Perubahan Dana Alokasi Umum terhadap Perilaku Oportunistik Legislatif dalam Penganggaran Daerah
Var. Dependen Perilaku Oportunistik Legislatif dalam penganggaran daerah
1.
7
Sularso dkk. (2014)
Determinan Perilaku Oportunistik Penyusunan Anggaran (Studi pada Kabupaten/Kota di Jawa Tengah)
Variabel Penelitian
Hasil Adanya asimetri informasi di antara eksekutif-legislatif dan legislatifpemilih menyebabkan terbukanya ruang bagi terjadinya perilaku oportunistik dalam proses penyusunan anggaran.
Var. Independen DAU Var. Dependen Perilaku Oportunistik Penyusunan Anggaran Var. Independen PAD, SILPA, DAU
Perubahan DAU berpengaruh signifikan positif terhadap perilaku oportunistik legislative dalam penganggaran daerah
1. Semakin besar PAD maka semakin besar perilaku oportunistik penyusunan anggaran. 2. Semakin besar SILPA semakin besar OPA 3. Semakin besar DAU semakin besar OPA
66
Lampiran 2 Data PAD, DAU dan SiLPA Kabupaten/Kota se-Bali Tahun 2010-2014 (dalam jutaan rupiah) NO 1
2
3
URAIAN PAD 2010 2011 2012 2013 2014 DAU 2010 2011 2012 2013 2014 SILPA 2010 2011 2012 2013 2014
BADUNG
BANGLI
BULELENG
GIANYAR
799,860 1,000,811 1,320,910 1,874,766 2,197,959
17,000 22,000 31,000 42,000 55,200
69,626 94,600 111,569 128,000 176,134
127,824 159,348 210,193 238,559 312,160
131,919 156,926 353,068 372,625 324,816
292,695 321,578 396,943 450,813 486,381
512,748 568,403 687,698 796,419 854,532
260,918 215,609 261,082 479,097 464,922
43,000 49,847 30,000 35,282 63,639
47,000 90,380 55,158 120,378 145,000
JEMBRANA
KARANGASEM
KLUNGKUNG
TABANAN
DENPASAR
22,068 40,074 51,067 54,775 65,680
47,808 55,630 124,306 140,991 160,008
28,833 32,159 35,604 48,542 69,749
93,685 113,372 137,108 182,799 212,932
197,045 287,807 352,511 513,062 610,267
387,493 435,103 532,883 609,293 626,675
308,567 339,721 396,762 450,920 484,826
374,537 410,037 503,029 563,982 614,793
285,662 319,814 387,340 444,174 474,428
429,919 463,294 574,346 663,157 719,622
336,125 381,538 512,666 580,808 615,962
7,770 64,836 35,000 50,000 105,000
45,142 40,100 32,100 29,483 36,232
52,272 61,672 48,168 46,046 66,389
51,828 57,304 37,535 37,535 44,683
48,492 57,099 42,000 37,000 32,095
90,000 90,000 71,931 89,980 100,000
67
Lampiran 3 Data Belanja Sektor Pendidikan, Kesehatan, PU, Hibah dan Bansos Kabupaten/Kota se-Bali Tahun 2010-2014 (dalam jutaan rupiah) NO 1
2
3
4
URAIAN PENDIDIKAN 2010 2011 2012 2013 2014 KESEHATAN 2010 2011 2012 2013 2014 PU 2010 2011 2012 2013 2014 HIBAH 2010 2011 2012 2013 2014
BADUNG
BANGLI
BULELENG
GIANYAR
JEMBRANA
KARANGASEM
KLUNGKUNG
TABANAN
DENPASAR
329,230 343,721 438,683 558,555 643,598
143,276 208,801 199,595 232,292 325,671
354,776 566,305 577,837 673,738 737,482
280,562 387,365 425,515 465,877 451,536
94,075 153,250 233,110 269,578 281,793
297,974 401,053 400,782 431,205 509,895
164,857 207,724 232,853 215,135 225,209
256,859 384,014 420,298 459,735 565,911
273,525 355,087 363,929 345,525 408,883
80,732 89,148 169,214 196,054 240,094
39,555 57,918 72,357 75,435 51,282
84,936 109,755 124,696 158,484 197,632
81,906 105,192 103,841 138,317 158,149
25,106 62,777 82,453 89,495 98,414
55,813 60,837 136,644 129,684 119,200
57,678 61,074 72,879 84,406 112,620
105,125 115,830 139,790 172,562 202,270
93,877 116,981 137,800 177,009 210,613
102,664 134,542 295,498 59,920 769,640
58,449 84,728 90,691 73,401 94,782
32,377 36,137 42,297 85,093 152,160
62,242 51,502 81,203 117,994 154,535
32,812 25,682 37,030 52,459 68,121
48,336 22,966 45,279 63,611 101,055
30,438 45,352 62,725 59,999 47,292
18,392 27,157 85,755 109,793 118,018
37,515 53,040 98,364 142,356 150,206
55,342 51,022 42,922 63,546 76,625
32,099 6,349 8,014 20,350 35,076
56,590 17,635 58,780 28,710 28,000
10,153 17,581 29,364 23,053 23,882
25,515 13,538 19,697 12,411 16,484
20,941 10,855 29,628 27,188 30,436
24,418 8,152 4,704 46,543 41,666
59,271 22,920 21,250 24,453 32,355
25,856 61,521 16,962 26,665 33,617
68
NO 5
6
URAIAN BANSOS 2010 2011 2012 2013 2014 TOTAL BELANJA 2010 2011 2012 2013 2014
BADUNG
BANGLI
BULELENG
GIANYAR
JEMBRANA
KARANGASEM
KLUNGKUNG
TABANAN
DENPASAR
20,533 20,933 49,363 55,002 34,150
17,452 6,311 768.0000 5,036 4,473
5,695 5,903 2,170 4,915 4,515
6,200 14,514 667 8,475 9,989
18,454 13,588 60 3,410 3,450
14,748 17,997 274 2,955 3,000
12,500 9,331 7,570 551 2,082
9,140 7,523 6,000 6,000
11,875 11,494 163 325
1,323,217 1,502,159 2,051,316 2,859,794 3,269,667
472,198 567,442 596,749 688,479 784,774
794,343 1,035,922 1,158,640 1,401,594 1,605,092
666,231 862,984 1,006,519 1,156,799 1,285,370
469,377 574,028 640,724 720,055 798,332
628,626 722,529 984,323 1,049,659 1,155,747
453,759 511,671 590,254 647,135 710,072
696,623 817,013 996,252 1,142,531 1,287,757
819,371 1,027,835 1,218,292 1,353,988 1,552,521
69
Lampiran 4 Perhitungan Spread PAD, DAU, SILPA dan OPA (dalam jutaan rupiah) URAIAN Δ PAD 2011-2010 2012-2011 2013-2012 2014-2013 ΔDAU 2011-2010 2012-2011 2013-2012 2014-2013 ΔSILPA 2011-2010 2012-2011 2013-2012 2014-2013 Δ PENDIDIKAN 2011-2010 2012-2011 2013-2012 2014-2013
BADUNG
BANGLI
BULELENG
GIANYAR
JEMBRANA
KARANGASEM
KLUNGKUNG
TABANAN
DENPASAR
200,951 320,099 553,856 323,193
5,000 9,000 11,000 13,200
24,974 16,969 16,431 48,134
31,524 50,845 28,366 73,602
18,006 10,993 3,708 10,905
7,822 68,676 16,685 19,017
3,326 3,445 12,938 21,208
19,687 23,736 45,691 30,132
90,762 64,704 160,550 97,205
25,007 196,142 19,557 (47,810)
28,883 75,365 53,870 35,568
55,655 119,295 108,722 58,113
47,610 97,780 76,410 17,381
31,154 57,041 54,157 33,906
35,500 92,992 60,953 50,812
34,152 67,526 56,834 30,254
33,375 111,052 88,810 56,465
45,413 131,128 68,141 35,154
(45,310) 45,474 218,014 (14,174)
6,847 (19,847) 5,282 28,357
43,380 (35,222) 65,220 24,622
57,066 (29,836) 15,000 55,000
(5,042) (8,000) (2,617) 6,749
9,400 (13,504) (2,122) 20,343
5,476 (19,768) 7,147
8,607 (15,099) (5,000) (4,905)
(18,069) 18,049 10,020
-
9,206 -
-
14,341
-
271 -
17,718 -
-
18,403 -
70
URAIAN
BADUNG
BANGLI
BULELENG
GIANYAR
JEMBRANA
KARANGASEM
KLUNGKUNG
TABANAN
DENPASAR
-
24,153
-
1,351 -
-
6,960 10,484
-
-
-
31,878 160,956 264,422 209,720
26,279 5,963 21,381
3,760 6,160 42,796 67,067
29,701 36,791 36,541
11,348 15,429 15,662
22,313 18,332 37,444
14,914 17,373 -
8,765 58,598 24,038 8,225
15,525 45,324 43,992 7,850
20,624 13,079
1,665 12,336 14,726
41,145 -
7,428 11,783 829
6,159 4,073
18,773 3,248
41,839 -
3,203 7,902
35,665 9,703 6,952
400 28,430 5,639 -
4,268 -
208 2,745 -
8,314 7,808 1,514
3,350 40
3,249 2,681 45
1,531
-
162
32,278 189,386 290,685 222,799
26,279 16,834 16,604 60,260
3,968 47,305 45,541 67,067
15,742 42,835 44,599 53,225
17,507 18,779 19,775
3,249 41,357 27,973 51,221
14,914 17,373 59,557 1,531
8,765 58,598 27,241 16,127
51,190 45,324 72,098 14,964
Δ KESEHATAN
2011-2010 2012-2011 2013-2012 2014-2013 Δ PU 2011-2010 2012-2011 2013-2012 2014-2013 Δ HIBAH 2011-2010 2012-2011 2013-2012 2014-2013 Δ BANSOS 2011-2010 2012-2011 2013-2012 2014-2013 OPA 2011-2010 2012-2011 2013-2012 2014-2013
71
Lampiran 5 Data Rasio Belanja Kabupaten/Kota se-Bali Tahun 2010-2014 (dalam perseratus) NO 1
2
3
4
5
URAIAN PENDIDIKAN 2010 2011 2012 2013 2014 KESEHATAN 2010 2011 2012 2013 2014 PU 2010 2011 2012 2013 2014 HIBAH 2010 2011 2012 2013 2014 BANSOS 2010 2011 2012 2013 2014
BDG
BGL
BLL
GNR
JBR
KRG
KLK
TBN
DPS
25 23 21 20 20
30 37 33 34 41
45 55 50 48 46
42 45 42 40 35
20 27 36 37 35
47 56 41 41 44
36 41 39 33 32
37 47 42 40 44
33 35 30 26 26
6 6 8 7 7
8 10 12 11 7
11 11 11 11 12
12 12 10 12 12
5 11 13 12 12
9 8 14 12 10
13 12 12 13 16
15 14 14 15 16
11 11 11 13 14
8 9 14 20 24
12 15 15 11 12
4 3 4 6 9
9 6 8 10 12
7 4 6 7 9
8 3 5 6 9
7 9 11 9 7
3 3 9 10 9
5 5 8 11 10
4 3 2 2 2
7 1 1 3 4
7 2 5 2 2
2 2 3 2 2
5 2 3 2 2
3 2 3 3 3
5 2 1 7 6
9 3 2 2 3
3 6 1 2 2
2 1 2 2 1
4 1 0 1 1
1 1 0 0 0
1 2 0 1 1
4 2 0 0 0
2 2 0 0 0
3 2 1 0 0
1 1 1 0
1 1 0 0
72
Lampiran 6 Data Spread APBD Kabupaten/Kota Tahun 2010-2014 NOMOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
URAIAN Badung 1 Bangli 1 Buleleng 1 Gianyar 1 Jembrana 1 Karangasem 1 Klungkung 1 Tabanan 1 Denpasar 1 Badung 2 Bangli 2 Buleleng 2 Gianyar 2 Jembrana 2 Karangasem 2 Klungkung 2 Tabanan 2 Denpasar 2 Badung 3 Bangli 3 Buleleng 3 Gianyar 3 Jembrana 3 Karangasem 3 Klungkung 3 Tabanan 3 Denpasar 3 Badung 4 Bangli 4 Buleleng 4 Gianyar 4 Jembrana 4 Karangasem 4 Klungkung 4 Tabanan 4 Denpasar 4
X1
X2
X3
Y
Δ PAD
Δ DAU
Δ SiLPA
OPA
200,951.00 5,000.00 68,231.69 31,524.00 18,006.00 7,822.00 3,326.00 19,687.00 90,762.00 320,099.48 9,000.00 16,969.02 50,844.68 10,992.99 68,675.93 3,444.69 23,735.83 68,231.69 68,231.69 11,000.00 16,430.98 28,366.24 3,708.12 16,685.30 12,938.00 45,691.28 160,550.30 68,231.69 68,231.69 48,133.80 73,601.52 10,905.13 19,017.14 21,207.76 30,132.49 68,231.69
25,007.00 28,883.00 59,510.25 47,610.00 31,154.00 35,500.00 34,152.00 33,375.00 45,413.00 196,141.91 75,364.91 119,294.70 97,780.00 57,041.34 92,991.93 67,526.10 111,052.24 59,510.25 59,510.25 53,869.78 108,721.52 76,410.27 54,157.39 60,952.86 56,833.92 88,810.35 68,141.26 59,510.25 59,510.25 58,113.03 17,381.34 33,906.08 50,811.68 30,253.78 56,464.94 59,510.25
-45,309.87 6,846.69 11,431.59 57,066.19 -5,042.11 9,400.05 5,475.95 8,607.11 0.00 45,473.64 -19,846.69 -35,222.20 -29,836.18 -8,000.00 -13,504.36 -19,768.25 -15,099.42 11,431.59 11,431.59 5,281.93 65,219.70 15,000.00 -2,617.21 -2,121.84 0.00 -5,000.00 18,049.04 11,431.59 11,431.59 24,622.49 55,000.00 6,749.16 20,343.43 7,147.38 -4,905.18 11,431.59
32,278.00 26,279.00 48,415.28 15,742.00 0.00 3,249.00 14,914.00 8,765.00 51,190.00 189,386.00 16,834.00 47,305.00 42,835.00 17,507.00 41,357.00 17,373.00 58,598.00 48,415.28 48,415.28 16,604.00 45,541.00 44,599.00 18,779.00 27,973.00 59,557.00 27,241.00 72,098.00 48,415.28 48,415.28 67,067.00 53,225.00 19,775.00 51,221.00 1,531.00 16,127.00 48,415.28
73
Lampiran 7 Statistik Deskriptif Statistics PAD N Mean Std. Error of Mean Median Mode Std. Deviation Variance Range Minimum Maximum Sum
Valid Missing
36 0
DAU 36 0
SiLPA 36 0
OPA
49683.30 10518.83
63060.47 5606.923
5905.5272 3943.548
38762.27 5376.964
26051.03 68231.69 63112.97
58811.64 59510.25 33641.54
6797.9247 11431.59 23661.29
42096.00 48415.28 32261.78
36 0
4E+009 1E+009 6E+008 1E+009 316773.48 178760.56 110529.58 189386.00 3326.00 320099.48
17381.34 196141.91
-45309.87 65219.70
.00 189386.00
1788599
2270177
212598.98
1395442
74
Lampiran 8 Hasil Uji Asumsi Klasik
NPar Tests-Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unst. Residual 36
N Normal Parameters a,b
Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative
Most Extreme Differences
.0000000 13151.98 .153 .153 -.081 .915 .372
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Regression-Uji Heteroskedastisitas
Variables Entered/Removedb
Model 1
Variables Entered SiLPA, a DAU, PAD
Variables Removed
Method .
Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: Abs. Unst. Residual
Coefficientsa
Model 1
(Constant) PAD DAU SiLPA
Unstandardized Coefficients B Std. Error 11824.735 2926.042 -.017 -.026 .114
.025 .046 .059
a. Dependent Variable: Abs. Unst. Residual
Standardized Coefficients Beta -.126 -.105 .323
t 4.041
Sig. .000
-.673 -.568 1.938
.506 .574 .062
75
76
Lampiran 9 Hasil Analisis Regresi Descriptive Statistics OPA PAD DAU SiLPA
Mean 38762.27
Std. Deviation 32261.78149
49683.30 63060.47 5905.5272
63112.96795 33641.54023 23661.28646
N 36 36 36 36
Correlations Pearson Correlation
Sig. (1-tailed)
N
OPA PAD DAU SiLPA OPA PAD DAU SiLPA OPA PAD DAU SiLPA
OPA 1.000
PAD .785
DAU .720
SiLPA .328
.785 .720 .328
1.000 .452 .148
.452 1.000 .047
.148 .047 1.000
. .000 .000
.000 . .003
.000 .003 .
.025 .195 .392
.025 36 36
.195 36 36
.392 36 36
. 36 36
36 36
36 36
36 36
36 36
Variables Entered/Removedb
Model 1
Variables Entered SiLPA, a DAU, PAD
Variables Removed
Method .
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: OPA
Enter
77
b Model Summary
Change Statistics Model 1
Adjusted Std. Error of R Square R R SquareR Squarethe Estimate Change F Change df1 a .913 .834 .81813754.66785 .834 53.517 3
Durbindf2 Sig. F Change Watson 32 .000 2.099
a.Predictors: (Constant), SiLPA, DAU, PAD b.Dependent Variable: OPA
ANOVAb
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 3E+010 6E+009
df
Mean Square 1.012E+010 189190887.7
3 32
4E+010
F 53.517
Sig. .000a
35
a. Predictors: (Constant), SiLPA, DAU, PAD b. Dependent Variable: OPA
a Coefficients
Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients 95% Confidence Interval Correlations for B Collinearity Statistics Model B Std. Error Beta t Sig. Lower Bound Upper Bound Zero-order Partial Part ToleranceVIF 1 (Constant) -4938.880 4943.024 -.999 .325 -15007.4915129.731 PAD .277 .042 .541 6.630 .000 .192 .362 .785 .761 .478 .780 1.282 DAU .446 .077 .465 5.759 .000 .288 .604 .720 .713 .415 .796 1.257 SiLPA .308 .099 .226 3.102 .004 .106 .511 .328 .481 .224 .978 1.023 a.Dependent Variable: OPA
Coefficient Correlationsa Model 1
Correlations
Covariances
SiLPA DAU PAD SiLPA DAU PAD
a. Dependent Variable: OPA
SiLPA 1.000 .022 -.142
DAU .022 1.000 -.450
PAD -.142 -.450 1.000
.010 .000 -.001
.000 .006 -.001
-.001 -.001 .002
78
a Collinearity Diagnostics
Model 1
Dimension 1 2 3 4
Eigenvalue 2.605 .887
Condition Index 1.000 1.713
(Constant) .03 .01
.404 .104
2.538 5.014
.13 .83
Variance Proportions PAD DAU .05 .02 .00 .01 .82 .13
SiLPA .02 .96
.02 .95
.01 .00
a. Dependent Variable: OPA
Residuals Statisticsa Predicted Value Residual Std. Predicted Value Std. Residual
Minimum 11443.54
Maximum 185131.4
Mean 38762.27
Std. Deviation 29459.26032
-26875.0 -.927 -1.954
35555.79 4.969 2.585
.00000 .000 .000
13151.97802 1.000 .956
a. Dependent Variable: OPA
N 36 36 36 36
71 79
Lampiran 10 Tabel Durbin Watson Signifinance points for dL and dU at 0,05 level of significance k=1 N
dL
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
0.6102 0.6996 0.7629 0.8243 0.8791 0.9273 0.9708 1.0097 1.0450 1.0770 1.1062 1.1330 1.1576 1.1804 1.2015 1.2212 1.2395 1.2567 1.2728 1.2879 1.3022 1.3157 1.3284 1.3405 1.3520 1.3630 1.3734 1.3834 1.3929 1.4019 1.4107 1.4190 1.4270 1.4347 1.4421
k=2 dU 1.4002 1.3564 1.3324 1.3199 1.3197 1.3241 1.3314 1.3404 1.3503 1.3605 1.3709 1.3812 1.3913 1.4012 1.4107 1.4200 1.4289 1.4375 1.4458 1.4537 1.4614 1.4688 1.4759 1.4828 1.4894 1.4957 1.5019 1.5078 1.5136 1.5191 1.5245 1.5297 1.5348 1.5396 1.5444
dL
0.4672 0.5591 0.6291 0.6972 0.7580 0.8122 0.8612 0.9054 0.9455 0.9820 1.0154 1.0461 1.0743 1.1004 1.1246 1.1471 1.1682 1.1878 1.2063 1.2236 1.2399 1.2553 1.2699 1.2837 1.2969 1.3093 1.3212 1.3325 1.3433 1.3537 1.3635 1.3730 1.3821 1.3908
Sumber : Ghozali, 2011: 433
k=3 dU
1.8964 1.7771 1.6993 1.6413 1.6044 1.5794 1.5621 1.5507 1.5432 1.5386 1.5361 1.5353 1.5355 1.5367 1.5385 1.5408 1.5435 1.5464 1.5495 1.5528 1.5562 1.5596 1.5631 1.5666 1.5701 1.5736 1.5770 1.5805 1.5838 1.5872 1.5904 1.5937 1.5969 1.6000
dL
0.3674 0.4548 0.5253 0.5948 0.6577 0.7147 0.7667 0.8140 0.8572 0.8968 0.9331 0.9666 0.9976 1.0262 1.0529 1.0778 1.1010 1.1228 1.1432 1.1624 1.1805 1.1976 1.2138 1.2292 1.2437 1.2576 1.2707 1.2833 1.2953 1.3068 1.3177 1.3283 1.3384
k=4 dU
2.2866 2.1282 2.0163 1.9280 1.8640 1.8159 1.7788 1.7501 1.7277 1.7101 1.6961 1.6851 1.6763 1.6694 1.6640 1.6597 1.6565 1.6540 1.6523 1.6510 1.6503 1.6499 1.6498 1.6500 1.6505 1.6511 1.6519 1.6528 1.6539 1.6550 1.6563 1.6575 1.6589
dL
0.2957 0.3760 0.4441 0.5120 0.5745 0.6321 0.6852 0.7340 0.7790 0.8204 0.8588 0.8943 0.9272 0.9578 0.9864 1.0131 1.0381 1.0616 1.0836 1.1044 1.1241 1.1426 1.1602 1.1769 1.1927 1.2078 1.2221 1.2358 1.2489 1.2614 1.2734 1.2848
k=5 dU
2.5881 2.4137 2.2833 2.1766 2.0943 2.0296 1.9774 1.9351 1.9005 1.8719 1.8482 1.8283 1.8116 1.7974 1.7855 1.7753 1.7666 1.7591 1.7527 1.7473 1.7426 1.7386 1.7352 1.7323 1.7298 1.7277 1.7259 1.7245 1.7233 1.7223 1.7215 1.7209
dL
0.2427 0.3155 0.3796 0.4445 0.5052 0.5620 0.6150 0.6641 0.7098 0.7523 0.7918 0.8286 0.8629 0.8949 0.9249 0.9530 0.9794 1.0042 1.0276 1.0497 1.0706 1.0904 1.1092 1.1270 1.1439 1.1601 1.1755 1.1901 1.2042 1.2176 1.2305
dU
2.8217 2.6446 2.5061 2.3897 2.2959 2.2198 2.1567 2.1041 2.0600 2.0226 1.9908 1.9635 1.9400 1.9196 1.9018 1.8863 1.8727 1.8608 1.8502 1.8409 1.8326 1.8252 1.8187 1.8128 1.8076 1.8029 1.7987 1.7950 1.7916 1.7886 1.7859