PENGARUH PERGANTIAN KEPALA DAERAH TERHADAP PENGELOLAAN KEUANGAN KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA Ghea Utari Mahar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Program Studi Akuntansi
[email protected]
Emil Bachtiar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Program Studi Akuntansi ABSTRAK: Tujuan dari pembuatan skripsi ini adalah melihat pengaruh pergantian kepala daerah terhadap pengelolaan keuangan. Untuk mengukur kinerja pengelolaan keuangan, penelitian ini menggunakan proksi realisasi anggaran belanja berupa realisasi belanja semester pertama atas belanja total, barang dan jasa, dan modal, serta proksi hasil pemeriksaan BPK berupa pertumbuhan opini audit, jumlah temuan atas kelemahan sistem pengendalian internal, serta jumlah dan nilai temuan atas ketidakpatuhan regulasi. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan pengujian hipotesisnya dilakukan dengan menggunakan regresi data panel untuk tahun anggaran 2011 dan 2012. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pergantian kepala daerah hanya berpengaruh negatif dan signifikan terhadap realisasi belanja barang dan jasa pada semester pertama. Ketika diinteraksikan dengan jumlah partai politik, pergantian kepala daerah juga tidak memiliki pengaruh signifikan, walaupun jumlah partai politik sebagai variabel bebas memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah dan nilai kasus ketidakpatuhan regulasi. Berdasarkan uji statistik berikutnya, terdapat cukup bukti bahwa pergantian kepala daerah yang diinteraksikan dengan tingkat kemenangan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap realisasi belanja modal semester satu dan pertumbuhan opini audit. Kemudian ketika diinteraksikan dengan lama masa jabatan, pengaruhnya menjadi positif dan signifikan terhadap realisasi belanja barang dan jasa semester satu, namun negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan opini audit.
Kata Kunci: pergantian kepala daerah, realisasi anggaran belanja semester satu, hasil pemeriksaan BPK, partai politik, tingkat kemenangan, lama masa jabatan ABSTRACT: The purpose of this thesis is to understand the regional head change effect on financial management. To measure financial management performance, it uses a proxy of half term realization of budget of total spending, goods and services spending, and capital expenditures spending, and proxy of BPK audit report, which consist of audit opinion growth, number of findings on internal control systems weakness, and number and value of findings on regulatory non-compliance. This study uses quantitative methods and the hypothesis testing is done by panel data regression for fiscal year 2011 and 2012. The results of this study indicate that head region change only effects negatively on the one half term of good and service budget realization. When it is moderated with bearer politic partij, it still has no effect on financial management although the amount of bearer politic partij as an independent variable has positive and significant effect on the amount and value of regulatory noncompliance findings. Then, there is enough evidence that head region change which is moderated with voting number has significant and positve effect on one half term capital spending realization and BPK audit opinion growth. When it is moderated with how long he/she became region head, the effect is positive and significant on one half term capital expenditures realization, but negative and significant on BPK audit opinion growth.
Pengaruh pergantian…, Ghea Utari Mahar, FE UI, 2014
Keywords : Leader change, one half budget realization, BPK audit report, party, number of voting, the length of take on office I. PENDAHULUAN Berdasarkan PP No. 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah, penguasa pengelolaan keuangan adalah kepala daerah. Beberapa kewenangan penguasa pengelola keuangan daerah antara lain menetapkan bendahara penerimaan dan/atau bendahara pengeluaran, dan menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan daerah, pengelolaan utang dan piutang daerah, pengelolaan barang milik daerah, dan pejabat yang melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran. Peraturan ini menimbulkan peluang terpilihnya pejabat yang kurang kompeten karena pemilihan pejabat ini sepenuhnya merupakan wewenang penguasa pengelola keuangan (dengan asumsi bahwa kepala daerah baru yang terpilih belum dapat mengenal lingkungan kerjanya dan belum memahami benar siklus pengelolaan keuangan). Dengan adanya temuan bahwa masih banyak terdapat permasalahan dalam penunjukkan pejabat pengelola keuangan (Miliasih, 2011; Priatno, 2013), muncul dugaan bahwa terdapat pengaruh pergantian kepala daerah di sini. Hampir semua kepala daerah berasal dari luar lingkungan pemerintahan sehingga ketika mereka terpilih dan masuk ke dalam pemerintahan, mereka belum mengenal sumber daya manusia di dalamnya. Dalam kondisi ini, kemungkinan memilih pejabat pengelola keuangan yang tidak kompeten menjadi besar. Namun, jika dugaan itu salah dan yang terjadi sebaliknya, bahwa kepala daerah baru yang terpilih memang kepala daerah pilihan masyarakat dan memiliki strategi khusus untuk mengatasi masalah ini, pergantian kepala daerah justru akan meningkatkan kualitas pejabat pengelola keuangan terpilih yang nantinya dapat membantu memaksimalkan realisasi anggaran dan mengurangi tingkat penyimpangan. Realisasi anggaran merupakan ukuran dari pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan, dan tingkat penyimpangan merupakan output dari hasil pemeriksaan BPK yang merupakan unsur pemeriksaan dalam siklus pengelolaan keuangan. Untuk membuktikan dugaan-dugaan inilah, penelitian ini mengangkat judul mengenai “Pengaruh Pergantian Kepala Daerah terhadap Pengelolaan Keuangan”. II. TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tata Kelola Pemerintahan PP No. 58 tahun 2005 mengenai Pengelolaan Keuangan Daerah beserta undangundang induknya bertujuan untuk menegakkan Good Public Governance (Hoesada, 2013).
Pengaruh pergantian…, Ghea Utari Mahar, FE UI, 2014
Untuk menciptakan sebuah tata kelola sektor publik yang baik, terutama dalam pemerintahan, teori New Public Management (NPM) menawarkan sebuah paradigma baru. Hood (1995b) dalam Watkins dan Arrington (2007) menyatakan bahwa NPM memiliki dua doktrin, yakni menghilangkan perbedaan antara sektor publik dan sektor privat, dan mengganti paradigma yang hanya menekankan akuntabilitas dari “proses” kepada akuntabilitas pada “hasil”. Atau dengan kata lain, pemikiran NPM menginginkan adanya transformasi administrasi publik dan birokrasi yang tadinya memiliki struktur tradisional menjadi berorientasi terhadap tingkat ekonomi (Hughes, 2003). Namun, perkembangan penerapan NPM di Asia Tenggara berbeda dari negara-negara lainnya karena budaya masyarakatnya yang sulit mengubah budaya birokrasi tradisional menjadi birokrasi yang berorientasi ekonomi (Haque 2007 dalam Adzani 2013). Salah satu budaya tersebut adalah budaya sungkan yang menyulitkan penerapan NPM di Indonesia (Rajiani 2011 dalam Adzani 2013). Selain karena masalah budaya, beberapa peneliti mencoba membangun model untuk memecahkan masalah pelaksanaan NPM dengan menggunakan teori keagenan (Ferris dan Grady 1998; Hood 2000). 2.2 Teori Keagenan Jika selama ini kita mengenal bahwa teori keagenan hanya melibatkan dua entitas, prinsipal dan agen, hubungan keagenan ini dalam konteks pemerintahan bisa melibatkan banyak prinsipal (Ferris dan Graddy 1998) dengan masyarakat sebagai prinsipal ultimat (Moe 1984 dalam Ferris dan Graddy 1998). Contoh hubungan keagenan pertama adalah antara pemerintah pusat (prinsipal) dan pemerintah daerah (agen). Dalam otonomi daerah, pemerintah pusat akan mempercayai kemampuan pemerintah daerah untuk mencapai tujuan perbaikan layanan publik. Namun, pemerintah daerah mungkin saja memiliki tujuan yang berbeda dan memiliki informasi asimetri. Misalnya saja, pemerintah daerah mengetahui potensi di daerahnya yang dapat memberikan pemasukan ke kas daerah, namun hal itu tidak diketahui oleh pemerintah pusat. Contoh konflik keagenan tersebut sama seperti contoh yang diberikan oleh Ferris dan Graddy (1998). Selain antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, hubungan keagenan juga terjadi antara pemerintah dan masyarakat. Masyarakat menginginkan pemerintah dapat bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun pemerintah, yang juga merupakan pembuat kebijakan, mungkin lebih mementingkan kepentingan pribadi dengan meningkatkan kekayaannya selama menjabat di pemerintahan (Zimmerman 1977; Adsera et al. 2003). Menurut Barro (1973) dan Ferejohn (1986) dalam Adsera et al. (2003), masalah keagenan tersebut dapat diatasi melalui mekanisme kontrol dari masyarakat, misalnya dengan
Pengaruh pergantian…, Ghea Utari Mahar, FE UI, 2014
diadakannya pemilihan umum secara berkala. Jika masyarakat memilih pemimpin secara retrospektif, pemilihan umum dapat membuat pembuat kebijakan menjadi lebih bertanggung jawab kepada publik. Proses bagaimana masyarakat memilih pemerintah tersebut dapat dikaji dengan teori public choice. 2.3 Teori Public Choice McLean (1989) dalam Shomad (2010) mendefinisikan public choice sebagai studi ekonomi yang menggunakan alat ekonomi untuk mempelajari keputusan nonpasar dan diaplikasikan ke dalam perlengkapan politik. Sebagaimana metode pada ilmu ekonomi, dalam public choice terdapat pasar yang merupakan tempat pertemuan antara penawaran dan permintaan (Shomad 2010). Dari sisi penawaran (supplier), terdapat dua subjek, yakni pusat kekuasaan yang dipilih dan tidak dipilih. Sementara dari sisi permintaan (demand), subjeknya dapat dikelompokkan menjadi pemilih (voter) dan kelompok-kelompok penekan. Untuk mendapatkan kebijakan yang diinginkan, pemilih nantinya akan mengontrol suara mereka, sementara untuk mendapatkan keuntungan yang diharapkan, kelompok penekan akan mengelola sumber daya yang dimiliki (Streeton dan Orchard dalam Yustika 2009 dan Shomad 2012). Dalam konsep rent seeking, setiap kelompok kepentingan tersebut diasumsikan berupaya mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dengan usaha sekecil-kecilnya sehingga berbagai hal dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, seperti dengan melakukan lobi (Yustika, 2009). Buchanan dalam Rachbini (2002) dan Shomad (2010) menjelaskan terdapat dua pokok perspektif public choice, yakni catallaxy dan homo economicus. Catallaxy menurut F.A. Hayek dalam Shomad (2012) merupakan pendekatan ekonomi dan subjek pencarian dan gambaran perhatian langsung dari proses pertukaran. Proses pertukaran menjadi akan kompleks jika proses pertukaran melibatkan lebih dari dua individu. Untuk menjelaskan pertukaran antara partai politik dengan pemilih, dan antara pemerintah yang berkuasa dengan rakyatnya, kita dapat menggunakan konsep dari pasar politik. Di dalam proses pertukaran pada pasar tersebut, keputusan yang diambil merefleksikan pertukaran yang kompleks di antara anggota-anggota yang relevan. Namun, teori impossibility Kenneth Arrow dalam Shugart II menjelaskan bahwa tidak ada mekanisme yang akan membuat pilihan secara kolektif tercapai. Keputusan yang diambil tidak terlepas dari konflik yang disebabkan oleh elemen ke dua dari public choice, yakni homo economicus. Konsep homo economicus menjelaskan bahwa karena keterbatasan sumber daya, manusia berkecenderungan memaksimalkan utilitas atau manfaat untuk dirinya. Untuk itu, secara rasional, masing-masing individu dalam pasar politik juga akan memasimumkan
Pengaruh pergantian…, Ghea Utari Mahar, FE UI, 2014
keuntungan dan utilitas: pemilih atau voters serta partai politik akan memaksimumkan kesejahteraan yang diharapkan (Shomad, 2012). 2.4 Pengelolaan Keuangan Daerah Pengelolaan keuangan daerah merupakan seluruh kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. PP 58 tahun 2005 menyatakan bahwa pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah tertinggi adalah kepala daerah. Brenden dan Drazen (2013) menemukan bahwa ada kurva pembelajaran yang dialami oleh seorang pemimpin baru sehingga pengaruhnya dalam mengubah komposisi anggaran baru terlihat pada tahun ke empatnya menjabat. Oleh karena itu, dengan menggunakan intuisi ini, bahwa terdapat kurva pembelajaran yang dialami oleh kepala daerah baru, ada kemungkinan pemimpin yang baru tidak memiliki pengaruh dalam mengelola keuangan daerah pada tahun pertama dan keduanya menjabat. Proses pemilihan kepala daerah di Indonesia dilakukan dengan pemilihan langsung oleh masyarakat. Namun sebelumnya, kandidat pasangan calon kepala daerah dan wakilnya diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Wardani (2007) menemukan faktor yang paling berpengaruh terhadap terbentuknya koalisi partai politik dalam pemilihan kepala daerah adalah peran DPP partai dan peran figur bakal calon kepala daerah. Faktor figur kepala daerah juga tidak terlepas dari adanya fenomena dinasti politik di Indonesia. Dinasti politik memiliki ikatan yang kuat atas mayoritas kursi di legislatif (Adzani, 2013). Selain itu, dinasti politik cenderung memiliki sumber finansial yang kuat. Dugaan mengenai keberadaan pengaruh partai politik terhadap aktivitas pemerintah daerah juga diperkuat dengan adanya kasus percaloan izin resmi dalam pelaksanaan proyek pemerintah yang berlandaskan prinsip kongkalikong politisi (Sanit, 2012). Jika hal ini benar terjadi, di satu sisi, partai politik kemungkinan akan meningkatkan tingkat realisasi anggaran belanja semester pertama karena adanya pemulusan tender proyek pemerintah, namun di sisi lain kemungkinan akan meningkatkan tingkat penyimpangan. Walaupun begitu, seperti yang disebutkan oleh Barro (1973) dan Ferejohn (1986) dalam Adsera et al. (2003), masyarakat dapat mengontrol pemerintah dengan menggunakan hak suaranya dalam pemilihan umum. Jika ada perilaku yang menyimpang dari kepala daerah, masyarakat tidak akan memilihnya kembali dalam pemilihan berikutnya. Hal ini juga diperkuat dengan temuan Costas-Perez et al. (2012) bahwa kepala daerah (local government) akan kehilangan persentase suara hingga 14% pada pemilihan berikutnya ketika ia terlibat dalam kasus korupsi dan pemberitaan media mengenai hal ini sangat aktif. Untuk itu,
Pengaruh pergantian…, Ghea Utari Mahar, FE UI, 2014
pengaruh negatif kepala daerah terhadap pengelolaan keuangan seharusnya dapat diminimalisasi dengan adanya mekanisme kontrol dari masyarakat semacam ini. 2.5 Model Penelitian
Gambar 2.1 Model Penelitian
III. METODE PENELITIAN Daerah yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah daerah yang melakukan pemilihan kepala daerah tahun 2010, sementara tahun anggaran LKPD yang digunakan adalah tahun 2011 dan 2012 (yang berasal dari Laporan Realisasi Anggaran tahun 2011 dan 2012, serta Laporan Hasil Pemeriksaan BPK 2012 dan 2013 atas LKPD 2011 dan 2012). Data yang menggunakan dalam penelitian ini berbentuk data panel. Tiga pendekatan yang biasanya digunakan dalam data panel adalah PLS, RE, dan FE. Namun, dikarenakan beberapa variabel utama dalam penelitian ini berbentuk time constant variable, pendekatan FE (fixed effect) tidak dianjurkan. Oleh karena itu, penelitian ini hanya menguji apakah pendekatan yang tepat digunakan adalah PLS atau RE. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tujuh model yang diajukan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan RE. Model penelitian dibagi dalam dua kelompok besar, yakni model untuk realisasi anggaran belanja dan model untuk hasil pemeriksaan BPK. RSP = α + β1CHG + β2PARTY + β3CHG*PARTY + β4VOTE + β5CHG*VOTE + β6YEAR + β7CHG*YEAR + β8AGE + β9TYPE + β10APBD + β11INTGOV + β12∆SP + β13PAD + β14DAU + β15DAK + ɛit ...................................................(3.1) BPK = α + β1CHG + β2PARTY + β3CHG*PARTY + β4VOTE + β5CHG*VOTE + β6YEAR + β7CHG*YEAR + β8AGE + β9TYPE + β10INTGOV + β11RSPEND + β12RGS + β13RCS + ɛit ....................................................................................(3.2) Keterangan: RSP CHG
: RSPEND untuk realisasi belanja total; RGS untuk realisasi belanja barang dan jasa; RCS untuk realisasi belanja modal : Variabel dummy pergantian kepala daerah
Pengaruh pergantian…, Ghea Utari Mahar, FE UI, 2014
PARTY : VOTE : YEAR : AGE : TYPE : APBD : INTGOV : ∆SP :
PAD DAU DAK BPK
: : : :
Jumlah partai pendukung Jumlah suara peroleh/ rata-rata suara perolehan Tahun jabatan Umur administratif daerah Jenis daerah Selisih tanggal penetapan APBD dan tanggan akhir tahun anggaran t-1 Tingkat ketergantungan daerah ∆SPEND untuk peningkatan anggaran belanja total (t – t-1)/t-1; ∆GS untuk peningkatan anggaran belanja barang dan jasa (t – t-1)/t-1; ∆CS untuk peningkatan anggaran belanja moda (t – t-1)/t-1 Realisasi PAD semester I Realisasi DAU semester I Realisasi DAK semester I dOPINI untuk pertumbuhan nilai opini audit; LOSS untuk nilai atas kasus ketidakpatuhan regulasi; UU untuk jumlah temuan atas kasus ketidakpatuhan regulasi; SI untuk jumlah temuan atas kasus kelemahan sistem pengendalian V. PEMBAHASAN
5.1 Realisasi Belanja 5.1.1 Pergantian Kepala Daerah Tabel 4.1 menunjukkan tidak terdapat cukup bukti bahwa pergantian kepala daerah berpangaruh terhadap realisasi anggaran belanja total dan belanja modal semester satu. Walaupun tidak sesuai dengan hipotesis, namun koefisiennya adalah negatif. Ini menandakan pergantian kepala daerah memiliki pengaruh negatif terhadap realiasi belanja total dan modal, tetapi pengaruhnya tidak signifikan. Berdasarkan hipotesis, jika mengikuti intuisi yang digunakan dalam penelitian Brender dan Drazen (2013), pengaruh negatif ini dikarenakan kurva pembelajaran. Namun, interaksi pergantian kepala daerah dengan masa jabatan tidak menunjukkan bahwa pengaruh masa jabatan memiliki cukup bukti untuk memperlemah pengaruh negatif dari pergantian kepala daerah terhadap realisasi belanja total dan belanja modal semester I. Itu berarti, pengalaman menjabat yang seharusnya dapat meningkatkan tingkat pengetahuan kepala daerah bukanlah alasan dibalik tidak berpengaruhnya pergantian kepala daerah terhadap realisasi belanja total dan belanja modal semester I. Interaksi antara pergantian kepala daerah dengan jumlah partai juga tidak menunjukkan pengaruh signifikannya. Namun, koefisiennya adalah positif atau jumlah partai pengusung ternyata dapat memperlemah pengaruh negatif pergantian kepala daerah terhadap realisasi belanja secara total, belanja barang, dan belanja modal semester I walaupun tidak signifikan. Implikasi dari temuan ini adalah ada kemungkinan kontrak di bawah tangan antara kepala
Pengaruh pergantian…, Ghea Utari Mahar, FE UI, 2014
daerah dengan partai-partai pengusungnya, misalnya untuk memenangkan tender proyek pemerintah daerah kepada perusahaan dari salah satu anggota partai (Sanit, 2012). Mulusnya kemenangan tender inilah yang mungkin dapat meningkatkan realisasi belanja, terutama untuk belanja barang dan modal. Pengaruhnya yang tidak signifikan menunjukkan bahwa hal ini tidak dapat digeneralisasi untuk semua daerah, tetapi temuan ini dapat menjadi indikasi terjadinya pemulusan kemenangan tender proyek pemerintah daerah di beberapa daerah oleh anggota partai pengusung kepala daerah. 4. HASIL PENELITIAN
H CHG
1
PARTY CHG*PARTY
2
VOTE CHG*VOTE
3
YEAR
RSPEND (a)
Tabel 4.1 Rangkuman Hasil Regresi RGS RCS dOPINI (b)
-0.054
-0.306
-0.001
(c) *
(d)
LOSS
UU
SI
(e)
(f)
(g)
-0.134
0.363
-0.764
-0.002
-0.002
-0.007
0.084
0.001
0.004
0.002
0.011
-0.058
-0.282
-0.074
-0.008
-0.022
-0.033
***
-0.306
0.532
0.195
2.592
**
0.013
0.010
0.055
**
0.500
***
-0.114
-0.234
-3.569
**
-0.002
-0.046
*
0.002
0.294
**
-0.311
0.715
-0.585
**
-0.002
-0.243
**
0.166
-0.808
0.532
-0.225
1.540
0.607
-0.077
0.008
*
-0.882
**
CHG*YEAR
4
0.004
0.039
TYPE
5
0.004
-0.010
-0.030
**
-0.222
AGE
6
0.001
0.000
-0.001
**
-0.006
1- INTGOV
7
-0.033
-0.064
0.045
APBD
8
0.001
*
-0.001
PAD
9
0.032
**
0.013
0.024
10
0.000
0.000
0.000
DAK
11
-0.001
0.013
0.088
dBelanja
12
-0.063
RSPEND
*
***
-0.010
8.067 **
***
0.366
5.005 **
2.421
*
1.620
-9.890
13
2.688
**
-3.325
-9.228
-9.870
RGS
13
-0.998
***
0.166
3.687
3.705
RCS
13
0.439
1.276
3.611
7.007
DAU
-1
*
-0.058
*
*
0.001
***
0.124
*
**
-0.008
_cons
0.333
0.654
0.172
-1.195
9.120
10.931
8.492
Prob>chi2
0.000
0.000
0.001
0.001
0.016
0.018
0.602
R2
0.235
0.199
0.146
0.143
0.109
0.129
0.055
Keterangan: dBelanja = dSPEND untuk y=RSPEND; dRGS untuk y=RGS; dan dRCS untuk y=RCS; * signifikan pada tingkat keyakinan 99%; ** signifikan pada tingkat keyakinan 95%; *** signifikan pada tingkat keyakinan 90
Interaksi antara pergantian kepala daerah dengan tingkat kemenangan menunjukkan hasil yang positif tetapi tidak signifikan. Ini menunjukkan bahwa tingkat kemenangan dapat
Pengaruh pergantian…, Ghea Utari Mahar, FE UI, 2014
memperlemah pengaruh negatif pergantian kepala daerah. Temuan ini sejalan dengan apa yang dikatakan Shughart II bahwa ketika masyarakat memiliki kecenderungan yang signifikan terhadap salah satu kandidat, kepentingan publik dapat lebih terlindungi. Hal ini kemungkinan dikarenakan apa yang telah ditulis sebelumnya pada hipotesis, bahwa semakin mutlak tingkat kemenangan seorang kepala daerah, tingkat kepercayaan masyarakat bahwa kepala daerah yang mereka pilih dapat mensejahterakan mereka akan semakin tinggi. Dari hasil penelitian ini, nampak terdapat cukup bukti bahwa kepala daerah baru yang mendapatkan tingkat kemenangan lebih tinggi, atau dapat dikatakan mendapat kepercayaan yang lebih tinggi, akan lebih mampu meningkatkan kinerja pemerintah daerah dengan cara meningkatkan realisasi anggaran belanja semester satu. Namun, tingkat kemenangan sendiri memiliki pengaruh negatif terhadap realisasi belanja, dan memiliki pengaruh signifikan terhadap realisasi belanja modal. Hal ini menunjukkan bahwa ketika terjadi pergantian kepala daerah, terdapat cukup bukti bahwa tingkat kemenangan akan memperlemah pengaruh negatif dari pergantian kepala daerah walaupun tidak signifikan. Namun, ketika tidak terjadi pergantian kepala daerah, tingkat kemenangan memiliki pengaruh negatif terhadap realisasi belanja semester satu, terutama realisasi belanja modal. Yang perlu diingat adalah tingkat kemenangan di dalam penelitian ini tidak hanya diukur dari jumlah suara yang diperoleh, tetapi juga melihat seberapa banyak kompetitornya. Itu berarti, pada kondisi terjadi pergantian kepala daerah di mana ia mendapatkan jumlah suara yang tinggi dan dengan tingkat kompetisi yang tinggi (ditandai dengan banyaknya jumlah pesaing), kepala daerah tersebut memang bisa dikatakan memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mengelola keuangan (ditandai dengan realisasi belanja yang positif ketika kepala daerah dan tingkat kemenangan diinteraksikan), walaupun pengaruh kompetisi ini tidaklah signifikan pada realisasi belanja total dan belanja barang dan jasa semester I. Namun, pada kondisi di mana tidak terjadi pergantian kepala daerah, dan kepala daerah tersebut mendapatkan jumlah suara yang tinggi pada kondisi tingkat persaingan yang tinggi, tingkat kemenangan yang tinggi nampaknya harus dipertanyakan karena hasil temuan ini menunjukkan pengaruh kondisi ini negatif terhadap realisasi belanja semester I, terutama berpengaruh negatif dan signifikan terhadap realisasi belanja modal semester satu. Temuan ini menunjukkan tidak ada cukup bukti untuk menyimpulkan bahwa kepala daerah incumbent dengan tingkat kompetisi yang tinggi memiliki kemampuan yang baik untuk mengelola keuangan. Hal ini dapat menjadi indikasi adanya gejala politik dinasti di beberapa daerah di Indonesia dan gejala ini kemungkinan memiliki dampak negatif
Pengaruh pergantian…, Ghea Utari Mahar, FE UI, 2014
terhadap realisasi anggaran belanja. Dugaan ini diperkuat dengan temuan Adzani (2013) yang menemukan bahwa politik dinasti memiliki pengaruh negatif terhadap opini audit. 5.1.2 Karakteristik Daerah Berdasarkan hipotesis, dikarenakan pada penelitian sebelumnya ditemukan bahwa pada daerah yang memiliki umur administratif yang lama cenderung memiliki kelemahan dalam sistem internalnya, seharusnya umur administratif berpengaruh negatif terhadap realisasi anggaran belanja. Namun, ternyata umur administratif memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap realisasi belanja total semester I dan positif namun tidak signifikan terhadap realisasi belanja barang dan jasa. Mengingat sekitar 51% belanja daerah kabupaten/kota pada tahun anggaran 2012 adalah belanja pegawai, maka kemungkinan pengaruh positif umur administratif daerah terhadap belanja total dikarenakan adanya pengaruh positifnya terhadap belanja pegawai. Miliasih (2012) menemukan pada studi kasusnya di KPPN Blitar bahwa pengelola belanja pegawai telah secara tepat waktu mengajukan SPM Gaji ke KPPN Pekanbaru pada tanggal 10 setiap bulannya. Oleh karena itu, kemungkinan pengaruh umur administratif berpengaruh positif adalah karena kegiatan belanja pegawai dilakukan secara rutin dan pengalaman daerah selama puluhan untuk menangani hal ini membuat pemerintah daerah yang memiliki umur administratif lebih lama lebih mumpuni dalam hal realisasi belanja pegawai. Mengenai pengaruh umur administratif terhadap belanja barang dan jasa, terlihat bahwa ia tidak berpengaruh signifikan terhadap belanja ini. Kemungkinan pertama adalah sistem pengendalian yang kurang memadai. Pengadaan barang dan jasa, sama halnya dengan pengadaan belanja modal, memerlukan keterlibatan pihak ketiga seperti kontraktor atau distributor. Untuk itu, dalam mengelola belanja ini, tentu pengelola anggaran akan lebih berhati-hati. Namun, Miliasih (2011) dan Priatno (2013) menemukan bahwa prinsip kehatihatian ini terlalu berlebihan. Miliasih (2011) dalam studi kasusnya di KPPN Pekanbaru menemukan bahwa verifikasi dokumen SPP sebelum menerbitkan SPM terlalu lama sehingga terjadi keterlambatan atas penerbitan dokumen SPM. Selain itu, ada persepsi bahwa jabatan pengelola anggaran adalah jabatan sakral sehingga dalam penunjukkan jabatannya seringkali lebih dikarenakan faktor kepercayaan. Pada satuan kerja yang masih didominasi oleh bendahara yang dipercaya oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), proses perencanaan hingga realisasi anggaran hanya dapat dilakukan oleh bendahara. Dalam kondisi seperti ini, dalam merealisasikan anggaran, seringkali pejabat pengelola anggaran lainnya harus menunggu instruksi dari bendahara. Oleh karena itu, adanya ketidakpengaruhan umur administratif
Pengaruh pergantian…, Ghea Utari Mahar, FE UI, 2014
terhadap realisasi belanja barang dan jasa, serta adanya pengaruh negatif terhadap belanja modal, kemungkinan dikarenakan pada umur administratif yang lebih lama tidak hanya terjadi kelemahan sistem pengendalian internal. Lebih dari itu, ada kemungkinan bahwa pengelola keuangan pada daerah yang umur administratif lebih lama cenderung memiliki sikap kehatihatian yang berlebihan dan masih mengandalkan kepercayaan dalam penunjukkan pejabat pengelola keuangannya. Jika hal ini benar adanya, tentu harus ada yang dievaluasi dari sistem penunjukkan pejabat pengelola keuangan ini. Mengenai jenis pemerintah daerah, temuannya sangat menyimpang dari hipotesis. Yang pertama, jenis pemerintah daerah tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap realisasi belanja total dan belanja barang, bahkan hubungannya negatif walau tidak signifikan terhadap belanja barang dan jasa, serta pengaruhnya negatif dan signifikan terhadap belanja modal. Jika dilihat dari sistem pengendalian internal, Wicaksono (2012) menemukan memang tidak ada pengaruh jenis pemerintah daerah terhadap sistem pengendalian internal. Hal itu menunjukkan bahwa sistem pengendalian internal daerah kota belum tentu lebih baik dibandingkan kabupaten. Namun, tidak ada cukup bukti bahwa kemampuan teknis pengelola anggaran kota tidak lebih baik dibandingkan kabupaten. Mengingat perputaran perekonomian di kota lebih baik, seharusnya kemampuan pengelola keuangan di kota lebih baik. Hal yang mungkin menjadi penyebab pengaruh negatif jenis pemerintah daerah kota terhadap realisasi belanja modal yang pertama adalah jumlah sampel kota pada penelitian yang cukup sedikit, yakni hanya 25 kota, sementara daerah dengan status kabupaten adalah 118. Kemungkinan yang kedua adalah terdapat permasalahan pada proses perencanaan di daerah kota dibandingkan dengan daerah kabupaten mengingat anggaran yang diberikan pada kota relatif lebih besar dibandingkan pada kabupaten. Argumen ini berbeda dengan temuan Kartiko (2011) bahwa pada daerah kota, penetapan APBDnya lebih cepat. Namun, argumen ini sesuai dengan Clarke (1998) dan Cummins (2010) dalam Kartiko (2011) bahwa konflik antara eksekutif dan legislatif lebih sering terjadi pada kota besar seperti New York, California, dan Washington. Perbedaan temuan antara argumen penelitian ini (yang didukung oleh temuan Clarke dan Cummins) dengan temuan Kartiko kemungkinan dikarenakan oleh tahun anggaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah tahun pertama dan tahun kedua setelah
pemilihan
umum
kepala
daerah
(pilkada),
sementara
Kartiko
tidak
mempertimbangkan tahun pilkada sebagai bahan pertimbangan utama. Pada tahun 2010, anggota DPRD yang menjabat juga baru menjalankankan tahun pertamanya menjabat setelah pemilihan legislatif tahun 2009. Ada kemungkinan, terdapat konflik antara pihak legislatif daerah dan pusat pada tahun-tahun pertama menjabat yang tidak terdeteksi dalam penelitian
Pengaruh pergantian…, Ghea Utari Mahar, FE UI, 2014
ini dan juga pada penelitian Kartiko (2011). Kemudian, perbedaan tesebut kemungkinan lain juga dikarenakan Kartiko menyamakan karakteristik provinsi dan kota, sementara penelitian ini tidak memasukkan sampel provinsi. Padahal, ada kemungkinan provinsi dan kota memiliki karakteristik yang berbeda. Dari hal anggaran belanjanya saja, provinsi memiliki anggaran belanja yang jauh lebih besar dari kota. Selain itu, perbedaan hasil penelitian dengan hipotesis yang diajukan kemungkinan lainnya dikarenakan adanya masalah pembebasan lahan yang lebih sulit dibandingkan di daerah kabupaten. Daerah kota memiliki kepadatan penduduk yang relatif lebih besar dibandingkan kabupaten sehingga mungkin saja lahan yang akan digunakan untuk pembangunan atau pelebaran jalan terkendala masalah sengketa tanah dengan penduduknya. 5.1.3 Permasalahan Anggaran dan Realisasi Pendapatan Terlihat bahwa tingkat ketergantungan daerah tidak dapat meningkatkan realisasi anggaran belanja. Realisasi Dana Alokasi Umum juga tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap realisasi belanja. Hanya realisasi DAK saja yang memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap realisasi belanja modal. Pengaruh positif ini kemungkinan dikarenakan anggaran untuk belanja modal daerah lebih didominasi oleh proyek-proyek pemerintah pusat, misalnya proyek Masterplan Perencanaan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang membuat daerah mengandalkan DAK untuk pembangunan infrastrukturnya. Dikarenakan MP3EI ini merupakan proyek nasional, kemungkinan pengawasannya lebih tinggi sehingga pengaruh realisasi DAK ini terhadap belanja modal lebih besar. Namun, yang harus diingat juga bahwa rata-rata belanja modal tidak sampai 10% pada semester I. Hal ini kemungkinan dikarenakan terjadi masalah yang kompleks dalam realisasi belanja modal. Pertama, ada kemungkinan permasalahan SDM dan sikap kehati-hatian yang berlebihan atas pelaksanaan belanja modal seperti yang disebutkan oleh Miliasih (2011) dan Priatno (2013). Kedua, belanja modal juga seringkali terhambat karena faktor cuaca, misalnya pengiriman barang-barang berat yang tertunda akibat longsor atau kondisi laut yang sedang berbahaya sehingga distribusinya terhambat. Masalah sengketa tanah juga kerapkali menjadi hal yang menghambat realisasi belanja modal (World Bank, 2013). 5.2. Hasil Pemeriksaan BPK 5.2.1 Pergantian Kepala Daerah Tabel 4.1 menunjukkan bahwa pergantian kepala daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan opini audit, maupun pengurangan jumlah kasus. Namun, pengaruhnya positif terhadap opini audit dan negatif terhadap nilai kasus ketidakpatuhan regulasi. Hal ini
Pengaruh pergantian…, Ghea Utari Mahar, FE UI, 2014
menunjukkan bahwa kepala daerah baru berusaha memberikan perubahan terhadap daerah yang ia jabat, walaupun pengaruhnya pada tahun pertama dan kedua tidak signifikan. Pengaruh positifnya terhadap jumlah kasus ketidakpatuhan regulasi menunjukkan bahwa kepala daerah yang baru belum dapat mengurangi jumlah ketidakpatuhan regulasi pada tahun pertama dan keduanya menjabat. Ketika diinteraksikan dengan jumlah partai politik pengusung, pengaruhnya tetap positif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan opini audit, dan negatif (tidak signiikan) terhadap nilai dan jumlah kasus ketidakpatuhan regulasi. Yang menarik adalah ketika jumlah partai pengusung dijadikan variabel bebas, pengaruhnya adalah negatif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan opini audit, dan positif signifikan terhadap nilai dan jumlah kasus ketidakpatuhan regulasi. Hal ini menunjukkan bahwa ketika terjadi pergantian kepala daerah, partai pengusung tidak berpengaruh terhadap hasil pemeriksaan BPK. Namun, ketika tidak terjadi pergantian kepala daerah, jumlah partai pengusung berpengaruh positif terhadap peningkatan nilai dan jumlah kasus ketidakpatuhan regulasi. Temuan ini memperjelas temuan Wardani (2007) dan kajian dari Sanit (2012) bahwa selain memperkuat adanya indikasi keterlibatan partai politik atas proyek-proyek pemerintah daerah, keterlibatan partai politik itu juga kemungkinan yang menyebabkan tingkat kecurangan di daerah meningkat. Namun, kondisi tersebut paling berpotensi pada daerah di mana tidak terjadi pergantian kepala daerah di dalamnya. Pergantian kepala daerah yang didukung oleh tingkat kemenangan yang lebih tinggi terbukti memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan opini audit, serta pengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap nilai dan jumlah kasus ketidakpatuhan regulasi. Ketika tingkat kemenangan dijadikan variabel bebas, pengaruhnya menjadi tidak signifikan. Hal itu menunjukkan bahwa pengaruh pergantian kepala daerah dan tingkat kemenangan baru dapat terlihat jika kedua variabel tersebut saling berinteraksi. Dengan kata lain, pada daerah yang tidak terjadi pergantian kepala daerah, tingkat kemenangan tidak memiliki pengaruh apa-apa. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan pada kondisi di mana kepala daerah adalah incumbent, hasil pemeriksaan BPK daerah tersebut memang sudah baik sehingga kepala daerah tersebut terpilih kembali. Namun, interaksi antara variabel kepala daerah dan jumlah partai politik mematahkan argumen itu. Oleh karena itu, ada kemungkinan, tingkat kemenangan pada daerah di mana kepala daerahnya incumbent kemungkinan dikarenakan pada sebagian besar daerah tersebut terjadi gejala politik dinasti di mana terdapat kemungkinan kejanggalan dalam proses pemilihan kepala daerahnya. Misalnya saja bupati Seram bagian Timur yang dilaporkan terlibat kasus korupsi atas sejumlah kasus proyek
Pengaruh pergantian…, Ghea Utari Mahar, FE UI, 2014
daerah1. Bupati Seram bagian Timur periode 2010-2015 adalah bupati incumbent dengan jumlah partai pengusung sebanyak 24 partai. Namun, ini semua masihlah berupa indikasi yang harus diteliti lebih lanjut mengenai kebenarannya mengingat jumlah sampel dalam penelitian ini dirasa kurang untuk menggeneralisasi hasil temuan terhadap semua kabupaten/kota. Kemudian, ketika diinteraksikan dengan masa jabatan, pengaruh pergantian kepala daerah menjadi negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan opini audit, positif dan tidak signifikan terhadap nilai kasus ketidakpatuhan regulasi, serta negatif dan tidak signifikan terhadap jumlah kasus ketidakpatuhan regulasi. Sementara ketika masa jabatan dijadika variabel bebas, pengaruhnya positif dan signifikan terhadap pertumbuhan opini audit, negatif dan tidak signifikan terhadap nilai kasus ketidakpatuhan regulasi, serta positif dan tidak signifikan terhadap jumlah ketidakpatuhan regulasi. Hal ini menunjukkan bahwa ketika terjadi pergantian kepala daerah, masa jabatan justru memperlemah pengaruh positif tidak signifikan pergantian kepala daerah. Ketika masa jabatan lebih lama dalam kondisi terjadi pergantian kepala daerah, maka pergantian kepala daerah tersebut dilakukan oleh wakil kepala daerah. Dengan kata lain, pengalaman sebagai wakil kepala daerah tidak dapat menjamin kualitas opini audit daerah tersebut meningkat. 5.2.2 Karakteristik Daerah Umur administratif daerah memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan opini audit dan nilai kasus ketidakpatuhan regulasi, dan negatif (tidak signifikan) terhadap jumlah kasus ketidakpatuhan regulasi. Hal ini kemungkinan dikarenakan sikap kehati-hatian berlebihan yang diduga cenderung dimiliki oleh daerah yang memiliki umur administratif lebih lama. Sikap ini pada proses pengelolaan keuangan menyebabkan terjadinya keterlambatan realisasi belanja modal, namun sikap inilah yang nampaknya menyebabkan daerah dengan umur administratif lebih lama lebih dapat mengurangi nilai kasus ketidakpatuhan regulasi. Pengaruh negatifnya terhadap pertumbuhan opini audit juga kemungkinan dikarenakan sikap kehati-hatian ini, di mana dominasi pengelolaan anggaran dipegang oleh satu orang yang dipercaya sehingga setiap realisasi anggaran harus menunggu arahan dari orang tersebut. Hal tersebut mencerminkan rendahnya sistem pengendalian internal yang ada pada daerah. Mengenai rendahnya sistem pengendalian internal, Wicaksono (2012) menemukan bahwa jumlah kasus kelemahan sistem pengendalian internal pada daerah dengan umur administratif lebih lama lebih besar. Untuk itu, kemungkinan rendahnya 1
http://www.tribunnews.com/regional/2013/02/13/bupati-‐seram-‐bagian-‐timur-‐dilaporkan-‐komits-‐ke-‐kpk
Pengaruh pergantian…, Ghea Utari Mahar, FE UI, 2014
pertumbuhan opini audit ini disebabkan karena adanya kelemahan sistem pengendalian internal pada daerah yang memiliki umur administratif lebih lama. Kemudian, pengaruh jenis daerah terhadap hasil pemeriksaan BPK tidak terlihat dalam penelitian ini. Hal ini tidak sesuai dengan temuan Wicaksono (2012) bahwa jenis daerah memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap opini audit dan nilai kasus ketidakpatuhan regulasi. Namun, hasil temuan lainnya pada penelitian sesuai dengan temuan Wicaksono (2012), bahwa jenis daerah tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap jumlah kasus ketidakpatuhan regulasi dan jumlah kasus kelemahan sistem pengendalian internal. Hal ini kemungkinan dikarenakan sampel yang digunakan kurang atau dikarenakan variabel lain lebih mempengaruhi pertumbuhan opini audit dan nilai ketidakpatuhan regulasi dibandingkan dengan jenis pemerintah daerah. 5.2.3 Permasalahan Anggaran dan Realisasi Pendapatan Terdapat cukup bukti bahwa invers dari tingkat ketergantungan berpengaruh positif dan signifikan terhadap opini audit, negatif dan signifikan terhadap nilai kasus ketidakpatuhan regulasi, dan negatif (tidak signifikan) terhadap jumlah kasus ketidakpatuhan regulasi. Hal ini menandakan bahwa tingkat ketergantungan jusrtu berpengaruh negatif terhadap opini audit dan berpengaruh positif terhadap nilai dan jumlah kasus ketidakpatuhan regulasi. Hal ini sesuai dengan hipotesis sebelumnya. Tingkat ketergantungan mendorong pemerintah daerah untuk membuat laporan pertanggungjawaban fiktif jika realisasi anggaran belum mencapai target pada waktu yang ditentukan. Temuan ini sesuai dengan temuan Wicaksono (2012) mengenai opini audit dan jumlah kasus ketidakpatuhan regulasi, namun tidak sesuai dengan temuannya yang justru memiliki hasil berkebalikan, bahwa tingkat ketergantungan memiliki pengaruh negatif dan siginfikan terhadap nilai kasus ketidakpatuhan regulasi. Perbedaan ini kemungkinan dikarenakan proksi yang digunakan dalam penelitian ini berbeda dengan yang digunakannya. Pada penelitian ini, nilai kasus ketidakpatuhan regulasi tidak dibagi dengan jumlah pendapatan dan belanja sehingga nilainya bukanlah nilai relatif terhadap sesuatu yang menyebabkan nominalnya menjadi sangat kecil. Kemudian, terdapat cukup bukti bahwa realisasi belanja total semester satu memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan opini audit, namun realisasi belanja barang dan jasa berpengaruh negatif dan signifikan terhadap opini audit. Sementara itu, pengaruh realisasi belanja modal semester satu adalah positif namun tidak signifikan terhadap pertumbuhan opini audit. Hal ini mengindikasikan bahwa ketika realisasi barang dan jasa dilakukan lebih cepat, justru timbul indikasi adanya kecurangan dalam prosesnya. Temuan ini juga sesuai dengan temuan BPK pada IHPS 2012 bahwa jumlah kasus kelemahan sistem
Pengaruh pergantian…, Ghea Utari Mahar, FE UI, 2014
pengendalian internal terutama terjadi pada proses pelaksanaan anggaran, dan jumlah kasus ketidakpatuhan terbesar terjadi pada belanja barang dan jasa. Tidaklah mengherankan jika banyak pejabat pemerintah daerah yang enggan menerima jabatan sebagai panitia pengadaan barang karena potensinya menjadi tertuduh dalam kasus korupsi lebih besar dibandingkan penghargaan yang diterima (Miliasih, 2011; Priatno, 2013). Sayangnya, temuan tersebut tidak didukung dengan hasil penelitian selanjutnya yang menemukan tidak ada pengaruh signifikan atas realisasi semester satu belanja total, belanja barang dan jasa, dan belanja modal terhadap nilai dan jumlah kasus ketidakpatuhan regulasi. Hal ini kemungkinan dikarenakan proksi realisasi semester satu kurang tepat digunakan. Setelah bulan Juni, banyak daerah yang melakukan revisi anggaran sehingga kemampuan daerah untuk melakukan realisasi belanja setelah melakukan revisi menjadi tidak dapat diperbandingkan karena prosesnya yang berbeda-beda. Namun, realisasi belanja semester I dapat menjadi indikasi bahwa semakin banyak belanja selain barang, jasa, dan modal yang terserap pada kuartal ke 3 akan berpeluang mengurangi tingkat kecurangan, namun ketika realisasi belanja barang dan jasa serta belanja modal banyak terserap, yang terjadi adalah sebaliknya, potensi kecurangan justru meningkat. Dengan melihat kompleksitas realisasi belanja barang dan jasa serta belanja modal, agaknya dua jenis belanja ini, memiliki karakteristik yang berbeda dengan belanja lainnya. Dua jenis belanja ini membutuhkan ikatan dengan pihak ke tiga yang mungkin saja melibatkan tokoh-tokoh politik dengan perjanjian politik di belakangnya. Sementara itu, belanja lainnya cenderung tidak terlalu melibatkan pihak ke tiga sehinga karakteristik kecurangannya pun berbeda, misalnya adalah belanja bantuan sosial atau honorarium pegawai diluar gaji pokok pegawai. Contoh dari adanya penyimpangan di luar belanja barang dan jasa serta belanja modal adalah maraknya kegiatan “menghabiskan anggaran” di akhir tahun oleh sekelompok pegawai dengan cara misalnya pergi ke luar negeri untuk dinas2. Itu mengapa kemungkinan potensi kecurangan untuk belanja barang dan jasa justru terjadi di tengahtengah tahun, sementara potensi kecurangan untuk belanja selain belanja barang, jasa, dan modal cenderung terjadi di akhir tahun. Kemungkinan lainnya adalah justru kecurangan itulah yang membuat realisasi anggaran belanja banyak dilakukan di tengah-tengah tahun. Hal ini didasari pada temuan dari model realisasi anggaran belanja di mana jumlah partai politik dapat meningkatkan realisasi anggaran belanja dan anggapan dibalik temuan itu adalah partaipartai politik ini melakukan kecurangan-kecurangan dalam proses pemenangan tender. 2
http://www.tempo.co/read/news/2012/02/22/090385709/BPK-‐PNS-‐Kerap-‐Manipulasi-‐Perjalanan-‐Dinas
Pengaruh pergantian…, Ghea Utari Mahar, FE UI, 2014
VI. KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pergantian kepala daerah tidak berpengaruh terhadap realisasi belanja semester satu dan kualitas hasil pemeriksaan BPK. Ketika diinteraksikan dengan jumlah partai politik pengusung, pengaruhnya juga tidak nampak. Namun, jumlah partai politik pengusung sebagai variabel independen memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap nilai dan jumlah kasus ketidakpatuhan regulasi. Artinya, ketika terjadi pergantian kepala daerah, jumlah partai politik pengusung tidak memiliki pengaruh. Namun, ketika tidak terjadi pergantian kepala daerah, jumlah partai politik memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah dan nilai ketidakpatuhan regulasi. Ketika diinteraksikan dengan tingkat kemenangan pengaruhnya tetap tidak signifikan terhadap realisasi belanja dan kualitas hasil pemeriksaan BPK, kecuali terhadap realisasi belanja modal semester satu dan pertumbuhan opini audit di mana pengaruhnya sama-sama positif dan signifikan. Variabel tingkat kemenangan sebagai variabel bebas memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap realisasi belanja modal semester satu, serta berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan opini audit. Hal ini menunjukkan terdapat cukup bukti bahwa tingkat kemenangan memperkuat pengaruh positif pergantian kepala daerah terhadap realisasi belanja modal semester satu. Namun, ketika tidak terjadi pergantian kepala daerah, justru tingkat kemenangan memiliki pengaruh negatif terhadap realisasi belanja modal. Sementara itu, temuan ini juga menunjukkan terdapat cukup bukti bahwa tingkat kemenangan memperkuat pengaruh positif pergantian kepala daerah terhadap pertumbuhan opini audit. Namun, ketika tidak terjadi pergantian kepala daerah, tingkat kemenangan tidak memiliki pengaruh apa-apa. Ketika diinteraksikan dengan masa jabatan, terdapat cukup bukti bahwa masa jabatan memperlemah pengaruh negatif pergantian kepala daerah terhadap realisasi belanja total dan barang semester I dan II. Namun, ia tidak memperlemah pengaruh negatif tersebut terhadap realisasi belanja modal. Bahkan, terdapat cukup bukti bahwa masa jabatan memperlemah pengaruh positif pergantian kepala daerah terhadap pertumbuhan nilai opini audit dan pengurangan nilai ketidakpatuhan regulasi. VII. KETERBATASAN PENELITIAN DAN SARAN 1.
Tahun yang digunakan dalam penelitian ini dirasa masih sangat kurang. Penggunaan
masa jabatan yang hanya dua tahun dikhawatirkan membuat peningkatan kinerja kepala
Pengaruh pergantian…, Ghea Utari Mahar, FE UI, 2014
daerah menjadi belum terlihat. Untuk itu, penelitian ini dapat dikembangkan hingga tahun anggaran 2013 dan 2014 untuk melihat perkembangan kinerja kepala daerah pada tahun ke 3 dan ke 4-nya. 2.
Kabupaten/kota hanya terbatas pada pilkada tahun 2010. Jika menggunakan sampel
penelitian pilkada tahun 2008 saja atau 2009 saja, hasil penelitian bisa menjadi berbeda karena pilkada tahun 2008 diselenggarakan satu tahun sebelum pemilihan umum legislatif dan pada tahun 2009 diselenggarakan pada tahun legislatif. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena pada tahun 2008, mungkin saja ada hubungan antara calon legislatif yang akan maju di tahun 2009 dengan kemenangan kepala daerah tahun 2008. Kemudian, pada tahun 2009, mungkin saja ada hubungan antara legislatif terpilih dengan kepala daerah terpilih. Kemungkinan hubungan ini juga menarik untuk dijadikan penelitian berikutnya. 3.
Realisasi belanja yang digunakan adalah realisasi belanja semester I. Dikarenakan
hampir semua daerah melakukan perubahan APBD setelah semester I, penggunaan penyerapan belanja pada kuartal tiga dikhawatirkan menimbulkan bias karena perbedaan tanggal penetapan perubahan APBD, ada daerah yang sudah melakukan perubahan APBD sebelum kuartal tiga berakhir, ada juga yang setelahnya, sehingga penyerapan belanja kuartal tiga menjadi tidak bisa dibandingkan antara daerah. Di lain sisi, hal ini juga yang mungkin menyebabkan realisasi anggaran belanja semester I pada penelitian ini tidak dapat memiliki pengaruh terhadap hasil pemeriksaan BPK karena mungkin ada daerah yang sangat berusaha mengejar ketertinggalan penyerapan belanja pada kuartal tiga sehingga tidak terjadi penumpukan di kuartal empat, namun ada juga daerah yang tidak berusaha. Untuk itu, penelitian perubahan APBD, penyerapan belanja kuartal tiga, dan pengaruhnya terhadap hasil pemeriksan BPK nampaknya cukup menarik untuk diteliti pada penelitian berikutnya. 4.
Temuan dalam penelitian ini mengenai pengaruh signifikan dan positif jumlah partai
pengusung terhadap nilai dan jumlah kasus ketidakpatuhan regulasi sedikit memberikan bukti empiris keterlibatan partai dalam proyek-proyek pemerintah daerah yang tidak sehat. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan proksi jumlah kursi partai pengusung di DPRD untuk melihat pengaruhnya terhadap hasil pemeriksaan BPK namun bukan dalam konteks fungsi pengawasan DPRD, melainkan dalam konteks keterlibatan anggota DPRD dalam setiap proyek pemerintah daerah. KEPUSTAKAAN
Pengaruh pergantian…, Ghea Utari Mahar, FE UI, 2014
Adsera, A., C. Boix, dan M. Payne. “Are You Being Served? Political Accountability and Quality of Government” The Journal of Law,Economics, and Organization 19: 2 (2003); 445-490. Adzani, A. H. (2013). Analisis Pengaruh Kesejahteraan Masyarakat, Faktor Politik, dan Hasil Pemeriksaan Audit BPK terhadap Opini Audit LKPD Tahun 2009-2011. Depok: Skripsi Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Brender, A. dan A. Drazen. “Election, Leaders, and the Composition of Government Spending” Journal of Public Economics 97 (2013); 18-31. Costas-Perez, E., A. Sole-Olle, dan Sorribas-Novaro. “Corruption Scandals, Voter Information, and Accountability” European Journal of Political Economy 28 (2012); 469-484. Ferris, M. J. dan Graddy, E. A. “A Contractual Framework for New Public Management Theory” International Public Management Journal 1: 2 (1998); 225-240 Hood C. “Paradoxes of Public-Sector Managerialism, Old Public Management and Public Service Bargains” International Public Management Journal 3 (2000); 1-22. Hughes, O. E. (2003). Public management and administration. New York: Palgrave Macmillan. Kartiko, S. W. (2011). Pengaruh Ketidakmayoritasan Partai Politik Kepala Daerah dalam DPRD (Divided Government) terhadap Keterlambatan Penetapan APBD (Budget Delay) Berdasarkan Perspektif Ekonomi Politik. Jakarta: Tesis Program Perencanaan dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia Miliasih, R. (2012). Analisis Keterlambatan Penyerapan Anggaran Belanja Satuan Kerja Kementrian Negara/Lembaga TA 2010 di Wilayah Pembayaran KPPN Pekanbaru. Jakarta: Tesis Program Perencanaan dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Priatno, P. A. (2013). Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyerapan Anggaran pada Satuan Kerja Lingkup Pembayaran KPPN Blitar. Malang: Skripsi Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya.
Pengaruh pergantian…, Ghea Utari Mahar, FE UI, 2014
Rachbini, Didik J. (2002). Ekonomi Politik; Paradigma dan Teori Pilihan Publik. Jakarta: Ghalia Indonesia Sanit, A. “Anatomi Korupsi Politik di Indonesia” Jurnal Ilmu Pemerintahan 39 (2012); 1-23. Shomad, A. (2010). Program Bantuan Langsung Tunai dalam Perspektif Public Choice di Kota Bekasi (Studi Analisis Kebijakan Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Wakil Presiden Jusuf Kalla). Jakarta: Tesis Departemen Ilmu Administrasi Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia. Wardani, S. B. E. Koalisi Partai Politik dalam Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung: Kasus Pilkada Provinsi Banten tahun 2006. Jakarta: Tesis Program Pascasarjana Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Watkins, A. L. dan C. E. Arrington. “Accounting, New Public Management and American Politics: Theoretical Insights into the National Performance Review” Critical Perspectives on Accounting 18 (2007); 33-58. Wicaksono, P. T. (2012). Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Opini dan Temuan Audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2008-2009. Depok: Skripsi Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. World Bank. Perkembangan Triwulanan Perekonomian Indonesia: Tekanan Meningkat. Maret 2013. Depok, 19 Juni 2013.
Yustika, Ahmad Erani. 2009. Ekonomi Politik: Kajian Teoretis dan Analisis Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Zimmerman, J. L. (1977). The Municipal Accounting Maze: An Analysis of Political incentives. Journal of Accounting Research, 15, 107-144. -----------PP No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Pengaruh pergantian…, Ghea Utari Mahar, FE UI, 2014