BAB II KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Tentang Komisi Pemilihan Umum 1. Definisi Komisi Pemilihan Umum Dalam UU Nomor 15 tahun 2011 Pasal 1 ayat (6) dijelaskan bahwa Komisi Pemilihan Umum adalah lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan pemilu. Dalam pasal ini juga dijelaskan mengenai KPU Provinsi dan KPU Kabupaten atau Kota. Ayat (7) pasal ini menjelaskan bahwa KPU Provinsi adalah penyelenggara pemilu yang bertugas melaksanakan pemilu di provinsi, sedang KPU Kabupaten/Kota adalah penyelenggara pemilu yang bertugas melaksanakan pemilu di kabupaten/kota (ayat (8)). KPU merupakan salah satu lembaga negara yang bersifat independen. Lembaga independen adalah lembaga negara di Indonesia yang dibentuk oleh pemerintah pusat, namun bekerja secara independen. Lembaga-lembaga lain yang bersifat independen antaralain seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan lain sebagainya. KPU merupakan suatu komisi negara yang berposisi sebagai penunjang atas lembaga utama. Kedudukan KPU dengan demikian tidak dapat disejajarkan dengan lembaga-lembaga negara yang telah ditentukan
17
18
dalam UUD 1945. Lembaga negara penunjang disebut pula auxiliary state body, sedang lembaga negara utama disebut pula main state organ. Dalam
penyelenggaraan
pemilu
KPU
bertugas
dalam
melaksanakan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sebelum Pemilu 2004, anggota-anggotanya dapat diisi oleh unsur-unsur partai politik, namun setelah dikeluarkannya UU No. 4 tahun 2000 anggota KPU diharuskan non-partisipan. Seiring berjalannya waktu, untuk meningkatkan kualitas pemilu salah satunya penyelenggaraan pemilu. KPU sebagai penyelenggara pemilu dituntut untuk independen dan non-partisipan. Untuk itulah terjadi beberapa revisi undang-undang tentang pemilu pasca Orde Baru. Sebelumnya penyelenggaraan pemilu diatur dengan UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, UU No. 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian muncul UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Menjelang pemilu 2009 dibuat pula UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disertai revisi undang-undang pemerintahan daerah yaitu UU No. 32 tahun 2004 direvisi dengan UU No. 12 tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah. Terakhir DPR dan Pemerintah mensyahkan UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Dalam UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu diatur lebih lanjut mengenai badan-badan lain yang bertugas dalam mewujudkan pemilu
19
yang Jurdil dan Luber. Badan-badan tersebut yaitu: (1) Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). (2) Badan Pengawas Pemilu Provinsi (Bawaslu Provinsi). (3) Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota (4) Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan (Panwaslu Kecamatan). (5) Panitia Pengawas Pemilu Lapangan. (6) Pengawas Pemilu Lapangan. (7) Pengawas Pemilu Luar Negeri. (8) Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKKP). (9) Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). (10) Panitia pemungutan Suara (PPS). (11) Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN). (12) Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). (13) Kelompok Pnyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri 2. Visi dan Misi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Komisi Pemilihan Umum memiliki Visi: ―Terwujudnya Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan dan akuntabel, demi terciptanya demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia‖. Visi tersebut kemudian dijabarkan menjadi 5 (lima) misi (www.kpu.go.id), yaitu: a. Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki
kompetensi,
kredibilitas
dan
kapabilitas
dalam
menyelenggarakan Pemilihan Umum; b. Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan
20
Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif dan beradab; c. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang bersih, efisien dan efektif; d. Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara konsisten sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; dan e. Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang demokratis. 3. Dinamika Komisi Pemilihan Umum Indonesia sudah sejak awal kemerdekaan melaksanakan pemilihan umum, sehingga tak heran jika pada tahun 1946 sudah dibentuk suatu lembaga penyelenggaraan pemilu. Kendati pemilu 1955 merupakan pemilu pertama di Indonesia, lembaga penyelenggara pemilu dibentuk tahun 1946 ketika Presiden Soekarno membentuk Badan Pembaharuan Susunan Komite Nasional Pusat. BPS yang diketahui memiliki cabang-cabang di daerah ternyata tidak pernah menjalankan tugasnya melakukan pemilihan anggota parlemen. Setelah revolusi kemerdekaan reda pada 7 November 1953 Presiden Soekarno menandatangani Keputusan Presiden No. 188 Tahun 1955
21
tentang Pengangkatan Panitia Pemilihan Indonesia. Panitia inilah yang bertugas menyiapkan, memimpin penyelenggaraan Pemilu 1955 untuk memilih anggota Konstituante dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. PPI memiliki payung hukum UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan rakyat. Undang-undang ini mengatur bahwa perangkat-perangkat lain dalam penyelenggaraan pemilu, adalah: Panitia Pemilihan yang berkedudukan di setiap daerah pemilihan, Kabupaten
yang
berkedudukan di
setiap
Panitia
Pemilihan
Kabupaten,
Panitia
Pemungutan berkedudukan di setiap desa, dan Panitia Pemilihan Luar Negeri. Pemilihan anggota PPI maupun perangkat pendukungnya juga diatur dalam undang-undang ini, yang kesemuanya melalui mekanisme penunjukan langsung. PPI ditunjuk oleh Presiden, Panitia Pemilihan ditunjuk oleh Menteri Kehakiman, dan Panitia Pemilihan Kabupaten ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri. Pada masa Rezim Orde Baru PPI diganti dengan LPU (Lembaga Pemilihan Umum). LPU dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970. LPU diketuai oleh Menteri Dalam Negeri yang keanggotaannya terdiri atas Dewan Pimpinan, Dewan Pertimbangan, Sekretariat Umum LPU dan Badan Perbekalan dan Perhubungan. Struktur organisasi penyelenggara di pusat, disebut Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), di provinsi disebut Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I), di kabupaten/kotamadya disebut
22
Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II, di kecamatan disebut Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan di desa/kelurahan disebut Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Untuk melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Bagi warga negara RI di luar negeri dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri (PPSLN), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) yang bersifat sementara (ad hoc). LPU inilah yang kemudian bermetaformosis menjadi KPU yang dikenal saat ini. Pasca runtuhnya rezim Orde Baru pelaksanaan pemilihan umum menjadi tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum (KPU). Komisi ini bertanggungjawab untuk menyelenggarakan pemilu, baik untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kepala Daerah Provinsi (Gubernur) dan Kabupaten (Bupati) atau Kota (Walikota), dan pemilihan pejabat publik lain yang diatur oleh undang-undang. KPU pertama kali menyelenggarakan pemilu pada tahun 1999. Saat itu KPU diisi oleh wakil-wakil pemerintah dan wakil-wakil peserta pemilu 1999. Setelah pemilu 1999 usai KPU pertama ini dirubah lagi untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang menginginkan KPU lebih independen dan akuntabel. Anggota-anggota KPU tidak
23
lagi unsur dari wakil-wakil pemerintah dan wakil-wakil peserta, melainkan dari unsur nonpartisipan. Untuk
meningkatkan
kualitas
pemilu
KPU
sebagai
penyelenggara pemilu dituntut untuk independen dan non-partisipan. Untuk itulah terjadi beberapa revisi undang-undang tentang pemilu pasca Orde Baru. Sebelumnya penyelenggaraan pemilu diatur dengan UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, UU No. 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian muncul UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Menjelang pemilu 2009 dibuat pula UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disertai revisi undang-undang pemerintahan daerah yaitu UU No. 32 tahun 2004 direvisi dengan UU No. 12 tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah. Kemudian terakhir UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu. 4. Fungsi, Wewenang, dan Tugas Komisi Pemilihan Umum KPU memiliki tugas pokok sebagai penyelenggara pemilihan umum. Tugas ini diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 22 E ayat (5), disana diatur bahwa. ―Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri‖. Dalam melaksanakan tugas pokoknya, KPU memiliki tugastugas dan wewenang-wewenang yang diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum perubahan
24
dari UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Adapun tugas, wewenang, dan kewajiban KPU yang diatur dalam UU No. 15 Tahun 2011 Pasal 8, yaitu: a. Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, seperti: 1) merencanakan program dan anggaran serta menetapkan jadwal; 2) mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan Pemilu; 3) melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang KPU kepada masyarakat. b. Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, seperti: 1) merencanakan program dan anggaran serta menetapkan jadwal; 2) melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang KPU kepada masyarakat; 3) melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu.
25
c. Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota, seperti: 1) menyusun dan menetapkan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah; 2) mengoordinasikan dan memantau tahapan pemilihan; 3) melakukan evaluasi tahunan penyelenggaraan pemilihan. 5. Peranan KPU dalam Melaksanakan Pendidikan Politik Peranan KPU dalam melaksanakan pendidikan politik bisa dipahami sebagai pelaksanaan tugas/wewenang sosialisasi politik yang diembannya. Baik KPU pusat, KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten/Kota,
memiliki
tugas
melakukan
sosialisasi
penyelenggaraan pemilu dan/atau terkait dengan tugas dan wewenang KPU kepada masyarakat. Sosialisasi disini tidak sekadar sosialisasi yang menyentuh aspek-aspek prosedural seperti tahapan-tahapan pemilu dan teknis pemilu, tapi juga aspek-aspek substantif seperti menjelaskan mengenai manfaat dan pentingnya suatu pemilu, juga pembentukan pemilih-pemilih yang cerdas. Aturan mengenai tugas dan wewenang sosialisasi ini diatur didalam UU Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Pada KPU pusat diatur di Pasal 8 ayat (1) huruf p, dan ayat (2) huruf o. KPU Provinsi diatur di Pasal 9 ayat (1) huruf m, Pasal (2) huruf j, dan Pasal (3) huruf p. Sedang KPU Kabupaten/Kota diatur di Pasal 10
26
ayat (1) huruf n, ayat (2) huruf k, dan ayat (3) huruf q. Kesemuanya tadi mengatur mengenai tugas dan wewenang untuk melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang KPU Kabupaten/Kota kepada masyarakat. KPU secara empirik telah melaksanakan tugas sosialisasi politik/pendidikan politik. Sebagai contoh yang dilakukan KPU Provinsi DIY pada pemilu 2004 silam. Pada saat itu berbagai media massa dan beberapa sarana lain digunakan untuk sosialisasi politik dan pendidikan pemilih mengenai manfaat dan pentingnya Pemilihan Umum. Sekilas dapat disebutkan bahwa data kumulatif sosialisasi Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden putaran pertama dan kedua; sosialisasi di media elektronik 205 paket, sosialisasi di media cetak 37 paket, sosialisasi melalui tatap muka 5 paket, dan kerjasama dengan pihak lain 4 paket (KPU, 2005:49). Diantaranya sebagai berikut: a. Sosialisasi di televisi: Rublik ‗gagasan‘ TVRI; berlangsung seminggu sekali tiap hari Rabu, merupakan segmen dalam berita sore jam 16.00-17.00, berlangsung sekitar 15 menit, dalam format dialog interaktif dengan materi seputar tahap-tahap Pemilu. b. Sosialisasi di radio
27
Dialog interaktif; merupakan upaya untuk berdialog dengan masyarakat dalam penyampaikan informasi tentang sistem Pemilu dan prosedur teknis Pemilu serta sekaligus menggali persoalan dan pertanyaan dari masyarakat menyangkut penyelenggaraan Pemilu. Berlangsung di enam stasiun radio; RRI Stasiun Yogyakarta, Radio UNISI FM, Radio SWA FM, Radio RB FM, Radio Global FM, dan Radio SONURA FM. c. Sosialisasi di media cetak/ koran Penulisan artikel; untuk memberikan informasi secara ekploratif kepada masyarakat tentang sistem dan prosedur teknis Pemilu 2004. Dimuat di HU Radar Jogja Jawa Pos tiap Senin dan HU Kedaulatan Rakyat tiap Kamis. d. Sosialisasi lewat penerbitan barang cetakan Penerbitan
buletin;
untuk
memberikan
informasi
secara
komprehensif tentang pelaksanaan Pemilu di DIY. e. Sosialisasi melalui pertemuan tatap muka 1) Sosialisasi pada kelompok masyarakat terfokus; kegiatan ini menghadirkan
kelompok-kelompok
masyarakat
secara
terfokus seperti pimpinan LSM, Ormas, Organisasi Profesi, Perguruan Tinggi, Tokoh Agama dll untuk mensosialisasikan sistem dan prosedur pemilu 2004. Peserta juga dimotifasi untuk
turut
berpartisipasi
dalam
sosialisasi
dalam
pelaksanaan Pemilu, khususnya mengangkut sosialisasi pada
28
komunitas masing-masing serta mendorong terwujudnya situasi kondusif bagi pelaksanaan Pemilu. 2) Sosialisasi pada masyarakat basis; aktifitas ini merupakan kerjasama antara KPU Provinsi DIY dengan kelompokkelompok masyarakat, seperti pesantren, perguruan tinggi, LSM, ormas dll. Materi sosialisasi meliputi informasi tentang sistem Pemilu, prosedur teknis Pemilu dan simulasi pemungutan suara. 6. Profil KPU Kabupaten Sleman a. Visi & Misi Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sleman memiliki sebuah visi yang ditetapkan mencerminkan gambaran peran dan kondisi yang ingin diwujudkan KPUD Sleman dimasa depan. Sedangkan misi yang ditetapkan merupakan ―the chose track‖ atau peran strategis yang diinginkan Komisi Pemilihan Umum untuk mencapai misi tersebut. 1) Visi Komisi
Pemilihan
Umum
menjadi
penyelenggara
Pemilihan Umum yang mandiri, non partisipan, tidak memihak, transparan, dan professional, berdasarkan asas-asas Pemilihan Umum Demokratis, dengan melibatkan partisipasi rakyat seluasluasnya, sehingga hasilnya dipercaya masyarakat.
29
2) Misi 1) Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Wakil Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan pejabat-pejabat public lain yang ditentukan Undang-undang. 2) Meningkatkan pemahaman tentang hak dan kewajiban politik rakyat Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam Pemilihan Umum dilaksanakan secara Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif, dan beradab. 3) Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4) Melakukan
evaluasi
penyelenggaraan
secara
Pemilihan
menyeluruh Kepala
Daerah
terhadap untuk
peningkatan kualitas Pemilihan Kepala Daerah berikutnya. b. Komisioner KPU Kabupaten Sleman 1) Djajadi
:
Ketua KPU Sleman 2) Hamdan Kurniawan, S.IP
:
Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Data Informasi 3) Suryatiningsih Budi Lestari, SH
:
30
Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Kabupaten Sleman 4) Hazwan Iskandar Jaya
:
Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Hupmas, dan SDM. 5) Lukmanul Hakim
:
Divisi Umum, Rumah Tangga, dan Organisasi B. Pendidikan Politik 1. Definisi Pendidikan Politik Istilah pendidikan politik adalah gabungan dari dua kata, yaitu pendidikan dan politik. Dalam KBBI (2008: 353) pendidikan adalah proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Sedangkan politik (dalam KBBI, 2008: 1201) bermakna (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tata sistem pemerintahan, dasar pemerintahan). Jadi dari definisi pendidikan dan politik dapat disimpulkan bahwa pendidikan politik merupakan suatu proses untuk membentuk dan memberikan pengetahuan seseorang atau sekelompok orang mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti sistem pemerintahan, dasar negara). Alfian (1986: 245) mendefinisikan pendidikan politik sebagai sosialisasi politik dalam arti kata yang longgar. Dia menambahkan bahwa: Pendidikan politik (dalam ati ketat) dapat diartikan sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang
31
terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Dari kedua definisi di atas ada dua hal penting, yang pertama sosialisasi politik bisa dikatakan sebagai pendidikan politik dalam arti yang longgar. Sosilasisasi memiliki arti yang berdekatan atau hampir sama sehingga dapat digunakan secara bergantian. Hal ini juga merujuk pada pengertian pendidikan politik, Rush dan Althoff (1986: 22) yang menganggap bahwa sosialisasi politik ialah sebagai suatu proses, oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem politik serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Selain itu juga dapat dicermati dari pendapat dari Gabriel A. Almond (dalam Mochtar Mas‘oed & Colim Mac Andrews, 2001: 34), dia mengatakan: Ahli-ahli ilmu sosial menggunakan istilah sosialisasi untuk menunjukkan cara bagaimana anak-anak diperkenalkan pada nilainilai dan sikap-sikap yang dianut masyarakat mereka, serta bagaimana mereka memperlajari peranan-peranan yang diharap akan mereka jalankan kelak bila sudah dewasa. Sosialisasi politik adalah bagian dari proses sosialisasi yang khusus membentuk nilainilai politik, yang menunjukkan bagaimana seharusnya masingmasing anggota masyarakat berpartisipasi dala sistem politiknya. Kedua, dari definisi Alfian tentang pendidikan politik (dalam arti ketat) terlihat bahwa tujuan akhir dari pendidikan politik adalah agar masyarakat memahami dan menghayati betul nilai-nilai dalam sistem politik yang hendak dibangun. Definisi lebih tegas lagi disampaikan oleh M. Panggabean (1984: 58), menurutnya ―pendidikan politik ialah cara bagaimana suatu bangsa mentranfer budaya politiknya dari generasi yang satu ke generasi yang lain‖. Lebih lanjut dia menambahkan yang dimaksud
32
budaya politik ialah keseluruhan nilai, keyakinan empirik, dan lambang ekpresif yang menentukan terciptanya situasi di tempat ke giatan politik terselenggara. Dalam konteks Indonesia nilai tersebut adaah nilai-nilai dalam Pancasila dan UUD 1945. Terkait dengan sosialisasi politik sendiri, menurut Cheppy Haricahyono (1986: 177) istilah sosialisasi pada umumnya digunakan oleh ahli-ahli ilmu sosial untuk menunjukkan cara bagaimana anak-anak atau generasi yang lebih muda diperkenalkan dengan nilai-nilai dan sikap-sikap yang dianut oleh masyarakat, serta bagaimana mereka mempelajari peranan-peranan yang diharapkan mereka jalankan kelak jika sudah dewasa. Sedangkan sosialisasi politik merupakan bagian dari proses sosialisasi yang khusus membentuk nilai-nilai politik yang menunjukkan begaimana seharusnya masing-masing anggota masyarakat berpartisipasi dala sistem politik. Cheppy Haricahyono (1986: 178) juga menambahkan sosialisasi politik dalam arti luas seringkali diidentikkan dengan pendidikan politik yang juga merupakan bagian langsung dari kehidupan masyarakat seharihari. Tidak jarang usaha-usaha mensosialisasikan masyarakat ke dalam bidang politik diarahkan ke tujuan-tujuan tertentu, misalnya kepada perkembangan sikap dan perilaku politik yang demokratis. Kalua usahausaha tersebut dilakukan secara sadar oleh penguasa terhadap warga masyarakatnya, maka proses itulah yang disebut pendidikan politik.
33
Dari beberapa definisi dari para ahli di atas terlihat bahwa para ahli mengindentikan pendidikan politik dengan sosialisasi politik. Sehingga istilah pendidikan politik dengan sosialisasi politik sering digunakan secara bergantian. 2. Tujuan Pendidikan Politik Joko J. Prihatmoko (2003: 180) mengatakan bahwa sosilasisasi politik bertujuan memberikan pendidikan politik, yaitu membentuk dan menumbuhkan kepribadian politik dan kesadaran politik, serta partisipasi politik rakyat. Pendidikan politik menjadi sangat penting untuk menumbuhkan budaya demokratis di masyarakat. Tujuan akhir dari pendidikan politik untuk membentuk budaya politik juga diungkapkan oleh Alfian, dan bahkan dia lebih memberi pemahaman bagaimana budaya politik itu terbentuk dari proses pendidikan politik/sosialisasi politik. Alfian (1986: 243) mengatakan bahwa: Semua anggota masyarakat, secara langsung ataukah tidak langsung, mengalami apa yang disebut sebagai proses sosialisasi politik. Melalui proses sosialisasi politik ini anggota-anggota masyarakat mengenal, memahami, dan menghayati nilai-nilai politik tertentu yang oleh karena itu mempengaruhi sikap dan tingkah laku politik mereka sehari-hari. Nilai-nilai politik yang terbentuk dalam diri seseorang bisanya berkaitan erat dengan atau adalah bagian dari nilai-nilai lain yang hidup dalam masyarakat itu, seperti nilai-nilai sosial-budaya dan agama. Dari situ lahirlah kebudayaan politik sebagai pantulan langsung dari keseluruhan sistem sosial-budaya masyarakat itu dalam arti luas. Dari pendapat Alfian di atas dapat disimpulkan bahwa terjadi suatu tahapan tertentu dalam pembentukan budaya politik atau kebudayaan politik.
34
Pertama sosialisasi politik menjadikan masyarakat mengenal, memahami, dan menghayati nilai-nilai politik tertentu kemudian mempengaruhi sikap dan tingkah laku politik (perilaku politik) dan akhirnya membentuk budaya politik sebagai pantulan dari proses tadi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 1. Skema terbentuknya budaya politik
Sosialisasi Politik/
Pengenalan, Pemahaman, Penghayatan
Pendidikan Politik
Nilai-nilai Politik Tertentu
Perilaku Politik
Budaya Politik
Budaya politik yang dimaksud dalam hal ini adalah sebagaimana dijelaskan oleh Gabriel A. Almond dan Sidey Verba (1984) , yaitu merupakan suatu sikap orientasi yang khas dari warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu. Dengan orientasi ini, mereka menilai serta mempertanyakan tempat-tempat peranan mereka di dalam sistem politik. Zamroni (2001: 25) sendiri mengatakan suatu sistem politik akan bisa langgeng jikalau mendapatkan dukungan dari warga negara masyarakat. Oleh karena itu, bangsa, atau lebih tepatnya penguasa, baik yang memiliki sistem politik kapitalis, komunis, sosialis atau apapun sistem politik yang dianut penguasa tersebut, perlu melaksanakan
35
sosialisasi politik, khususnya dikalangan remaja. Hal ini bertujuan agar mereka memiliki pengetahuan politik, kesadaran politik, nilai, sikap dan orientasi politik; dan mampu berpartisipasi dalam politik, sehingga aktif memberi dukungan dan kelak bisa melanggengkan sistem politik yang dianut selama ini. Tanpa adanya keberhasilan dalam sosialisasi politik akan muncul gejolak politik yang berkepanjangan yang merupakan pencerminan tidak adanya dukungan warga masyarakat terhadap sistem politik yang ada, yang akan membawa akibat sistem politik runtuh atau diganti. Dari pendapat Zamroni di atas terlihat bahwa tujuan dari sosialisasi politik atau pendidikan politik adalah masyarakat khususnya remaja memiliki: (1) pengetahuan politik; (2) kesadaran politik; (3) nilai, sikap dan orientasi politik, dan (4) mampu berpartisipasi politik. Kesemua tujuan tadi bermuara untuk mendidik warga negara yang aktif memberi dukungan dalam melanggengkan sistem politik yang dianut selama ini. Ruud Veldhuis (1997:
8)
sendiri secara
tidak
langsung
menyebutkan ada tiga tujuan (goals) pokok dalam pendidikan politik yang merupakan bagian dari empat dimensi citizenship (social dimention, cultural dimention, dan economic dimension), yaitu (1) knowledge of the political system atau memberikan pengetahuan tentang sistem politik; (2) democratic attitude atau mengembangakan perilaku demokratis; dan (3) participatory skills atau mengembangkan warga negara yang memiliki kemampuan berpartisipasi. Berpartisipasi dalam hal ini berkaitan dengan
36
partisipasi aktif baik dalam pemilu maupun dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan (in political decetion-making). Veldhuis juga menambahkan
mengenai definisi political citizenship education yang
digunakan untuk memperjelas tujuan dari pendidikan politik tadi. Menurut Ruud Veldhuis (1997: 11): Political citizenship education is process that enables individuals and/or groups to obtain knowledge, enables them to analyse experiences, promotes insight, stimulates attitudes and trains skills that give the individuals and/or group (better) oportunities to influence political decision-making processes. Dari definisi tentang political citizenship education dari Veldhuis terlihat bahwa pendidikan politik (atau political citizenship education— dalam bahasa Veldhuis), memberikan seseorang atau masyarakat pengetahuan,
kemampuan
menganalisis
pengalaman,
wawasan,
pembentukan perilaku dan pelatihan keterampilan yang bermuara pada pemberian kesempatan yang lebih baik dalam memperngaruhi proses pembuatan kebijakan. 3. Aspek-aspek dalam Pendidikan Politik Byron G. Massialas (dalam Cholisin, 2004: 27-28), menyatakan Political socialization may be measured throught the use of indexes, the most important of wich are: (1) Political efficacy; (2) Political trust; (3) Citizen duty; (4) Expectations for political participation; (5) Political knowledge; and (6) Other nation or world concept. Political
efficacy,
adalah
kemampuan
memahami
fungsi
pemerintah dan adanya perasaan bahwa ia atau warga negara yang lain memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi keputusan politik. Political
37
trust, adalah perasaan yakin atau kurang yakin terhadap pemerintah dan pejabat-pejabatnya akan mampu mengembangkan warga negara. Sedangkan yang dimaksud citizen duty, adalah adanya perasaan memiliki kewajiban terhadap pemerintahnya, yang diekpresikan lewat pemberian suara dalam pemilihan, menjalankan hukum dan peraturan. Political participation, dimaksudkan menyangkut kegiatan seperti melakukan diskusi politik atau mengikuti pertemuan rapat umum politik. Political knowledge, dimaksudkan adalah pengetahuan akan pemahaman mengenai pelaksanaan sistem politik serta kemampuan menilai secara kritis efektivitas sistem politik. Other nation or world concept, dimaksudkan adanya persepsi mengenai hubungan antara suatu bangsa dengan bangsa lainnya dalam masyarakat dunia. Sedang John J. Patrick (Rudd, 1997: 41-42) menyatakan, effective education for democration citizenship satisfactorily treats four basic component: (1) knowledge of citizenship and government in democracy, (2) cognitive skill of democratic citizenship, (3) participatory skill of democratic citizenship, and (4) virtues of disposition of democratic citizenship. Jadi dia mengatakan bahwa pendidikan demokrasi setidaknya mencakup empat aspek mendasar, yaitu (1) pengetahuan tentang kewarganegaraan dan pemerintaran demokratis, (2) keterampilan kognitif bagi warga negara demokratis, (3) keterampilan partisipatif bagi warga negara demokratis, dan (4) karakter warga negara demokratis. Lebih lanjut dia menjabarkan 4 komponen dasar tadi.
38
Figure 2. Component of Education for Democratic Citizenship (Komponen Pendidikan untuk Warganegara Demokrasi) 1. Knowledge of citizenship and government in democracy (pengetahuan tentang kewarganegaraan dan pemerintahan demokrasi) a. Concepts on the substance democracy (konsep sustantif demokrasi) b. Ongonging tensions that raise public issues (membicarakan tentang isu publik) c. Constitutions of democratic government (konstitusi pemerintahan demokratis) d. Functions of democratic institutions (fungsi lembaga-lembaga demokratis) e. Practices of democratic citizenship and the roles of citizens (praktekpraktek warga negara demokratis dan peran warga negara) f. Contexts of democracy: cultural, social, political, and economic (konteks demokrasi: budaya, sosial, politik, dan ekonomi) g. Hitory of democracy in particular states and throughout the world (sejarah demokrasi di negara-negara tertentu dan di seluruh dunia) 2. Cognitive skill of democratic citizenship (kemampuan kognitif warga negara demokratis) a. Identifying and describing phenomena or events of political and civic life (mengidentifikasi dan mendiskripsikan fenomena atau peristiwa politik dan kehidupan sipil)
39
b. Analizing and explaning phenomena or events of political and civic life (menganalisis dan menjelaskan fenomena atau peristiwa politik dan kehidupan sipil) c. Evaluating, taking, and defending positions on public events and issues (mengevaluasi, mengambil, dan teguh pendirian pada peristiwaperistiwa publik dan isu-isu) d. Making decisions on public issues (membuat keputusan pada masalah publik) e. Thinking critically about conditions of political and civic life (berfikir kritis tentang kondisi politik dan kehidupan sipil) f. Thinking constuctively about how to improve political and civic life (berpikir kontruktif tentang bagaimana meningkatkan kehidupan politik dan sipil) 3. Participatory skill of democratic citizenship (keterampilan partisipatif warga negara demokratis) a. Interacting wich other citizens to promote personal and common interests (berinteraksi dengan warga negara lain untuk menjelaskan kepentingan pribadi dan umum) b. Monitoring public events and issues (memantau peristiwa publik dan isu-isu publik) c. Influencing policy decisions on public issues (mempengaruhi pengambilan kebijakan tentang isu-isu publik)
40
d. Implementing policy decisions on public issues (melaksanakan keputusan kebijakan tentang isu-isu publik) 4. Virtues of disposition of democratic citizenship (karakter warga negara demokrasi) a. Promoting the general welfare or common good of the community (mempromosikan kesejahteraan umum atau kebaikan bersama pada masyarakat) b. Recognizing the equal moral worth and dignity of each person (menyadari kesamaan nilai moral dan kesamaan martabat pada setiap orang) c. Respecting and protecting rights possessed equally by each person (menghormati dan melindungi hak yang dimiliki oleh semua orang) d. Partipating responsibly and effectively in political and civic life (berpartisipasi dengan bertanggung jawab dan efektif dalam kehidupan politik dan sipil) e. Taking responsibility for government by consent of the governed (meminta pertanggungjawaban pemerintah dengan persetujuan rakyat) f. Becoming a self-governing persont by practicing civic virtues (menjadi
pejabat
publik
dengan
mempraktekan
nilai-nilai
kewarganegaraan) g. Supporting and maintaining democratic prinsiples and pratices (mendukung dan memelihara prinsip-prinsip demokrasi dan juga mempraktekannya)
41
Aspek-aspek pendidikan politik atau education for democratic citizenship yang dinyatakan John J. Patrick di atas terlihat begitu komplek. Hal ini dapat dipahami karena komponen ini sejak awal memang diperuntukan untuk pendidikan politik formal yang dilakukan di sekolah, yaitu melalui civic education. Lebih lanjut John J. Patrick menambahkan: A well-designed and well-taught curriculum on democratic citizenship will include the four component of Figure 2. This kind of education for democracy can yield citizens with deep understanding of the essential concepts or principles of democracy, strong commitment to them based on reason, and high capacity for using them to analyze, appraise, and decide about phenomena of their political world (Ruud, 1997:35). Pada intinya John J. Patrick mengatakan bahwa sebuah desain dan kurikulum
terbaik
pada
pendidikan
kewarganegaraan
demokratis
mencakup empat komponen. Dengan keempat komponen ini pendidikan demokrasi dapat menghasilkan warga negara dengan pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep esensial atau prinsip-prinsip demokrasi, mempunyai komitmen kuat berdasarkan rasionalitas, dan kapasitas yang tinggi untuk menganalisa, menilai, dan memutuskan tentang fenomena yang terjadi di dunia politik. 4. Metode Pendidikan Politik Richard E. Dawson, Kenneth Prewitt, dan Karen S. Dawson dalam buku mereka Political Socialization (1977: 95) menyatakan: Two very general formulations of political socialization have been identifield in the literature on political socialization. These include (1) direct and (2) indirect forms of political learning. These two formulations constitute the first and basic distinction we make between different modes of political learning.
42
Dari pernyataan mereka terlihat bahwa dibanyak literatur tentang sosialisasi politik, terdapat 2 macam metode dalam pendidikan politik yaitu: (1) direct (langsung), dan (2) indirect (tidak langsung. a. Tipe sosialisasi langsung Dalam tipe sosialisasi langsung mencakup, (1) imitation, (2) anticipatory political socialization, (3) political education, and (4) political experiences (Richard, Kenneth, and Karen, 1977: 105). 1) Imitation (meniru), Richard, Kenneth, and Karen, (1977: 106) menyatakan: Imitation is the most extensive and persistent mode of social learning known to man. Young and old, the inteligent and those less so, depend on imitative learning. Imitative learning is applicable to a wide array of values, behaviors, skills, expectations, and attitudes. The importance imitation in social learning obvious by watching a child learn to walk and talk. The most basic skills the individuals acquires, mobility and communication, are acquired by child in large part by imitating what he or she sees and hears. Dari pendapat mereka di atas terlihat bahwa belajar politik dengan model meniru ini paling banyak dilakukan. Yang ditiru dapat berupa tingkah laku politik, keterampilan politik, harapan-harapan politik dan sikap politik. Modal dasar untuk dapat melakukan metode meniru adalah mobilisasi dan komunikasi, tanpa kedua itu maka sulit dilakukan. 2) Anticipatory socialization (sosialisasi antisipatori), model ini diperkenalkan oleh Robert Merton dalam bukunya ―Social Theory
43
and Social Structure‖, Richard, Kenneth, and Karen (1977: 108) menyatakan: This type of socialitation is less obvious in the analysis of political learning, but it undobtedly occurs. Student activists often begin to prepare themselves for elective office before they are old enaugh to vote. In anticipation of holding a position of power in the future, they begin to take on mannerisms and styles they considered appropriate for the politician. Inti dari belajar politik dengan metode ini adalah dengan cara menyiapkan diri tentang peranan politik yang diinginkan. Yang salah satunya menyiapkan diri sedini mungkin sebelum memiliki hak suara dalam pemilihan umum. 3) Political education (pendidikan politik), Richard, Kenneth, and Karen (1977: 109) menyatakan: The term political education is applied to direct, deliberate attempts to trasmit political orientations. Instruction in politics in carried on by the family, the schools, political or govermental agencies, and innumerable groups and organizations. Dari pendapat mereka terlihat bahwa model ini pada dasarnya mentranmisikan atau mentranfer orientasi politik. Model ini dapat dilakukan oleh keluarga, sekolah, agen-agen politik atau pemerintah (seperti partai politik dan KPU), dan kelompok dan organisasi lainnya. Di sekolah sendiri model ini diimplementasikan lewat PKn arahnya pada menumbuhkan good citizenship atau anak
44
menjadi efektif bagi bangsanya. Kegiatan informasi-informasi politik misalnya dengan membaca buku-buku teks, mengikuti perkembangan melalui media massa melakukan diskusi-diskusi tentang lembaga-lembaga politik dan sebagainya. 4) Politic experience (pengalaman politik), Richard, Kenneth, and Karen (1977: 110) menyatakan: ―Although the notion of political experience to some estent ovelaps the concept of political education, the emphasis here is more on the person being socialized rather tahan socializer.” Dari pernyatakan mereka terlihat bahwa metode ini sering ditafsirkan secara tumpang tindih dengan konsep pendidikan politik, pada pengalaman politik penekanannya
pada
orang
yang
sedang
belajar
politik
(disosialisasikan), sedang pada pendidikan politik pada orang yang mensosialisasikan. Inti dari metode ini adalah partisipasi politik atau keterlibatan dalam proses politik, hal ini terlihat dari pendapat Richard, Kenneth, and Karen (1977: 110) berikut: Political experience is not randomly or evelly distributed within society. Some people participate more than others. Some people choose to be more actively and directly involved in politics. The student who runs for class office, the person who manages a friend’s political campaign, the activist who makes a run for political office, have all demonstrated direct interest and involvement in the political prosess. b. Sosialisasi tipe tak langsung meliputi: (1) interpersonal tranference, (2) appreticeship, and (3) generalization formulations of indirect political learning (Richard, Kenneth, and Karen, 1977: 99).
45
1) Interpersonal tranference (pengalihan hubungan pribadi). Tipe ini dikenalkan oleh Robert Hess and Judith Torney dalam buku mereka The Development of Political Attitudes, menurut mereka: This model assumes that the cild approaches explicit political socialization already prossessing a fund of experince in interpersonal relationships and gratifications. By virtue of his experience as a child in the family and as a pupil in the school, he has developed multifaceted relationships with figure of authority, he will establish modes of interaction which are similar to those he has experinenced with persons in his early life (Richard, Kenneth, and Karen, 1977: 99). Pada intinya tipe ini menghubungkan antara hubungan anak dalam keluarga dan sebagai pelajar di sekolah, dengan penguasa. 2) Apperenticeship (magang). Menurut Richard, Kenneth, and Karen, (1977:98), “Apprenticeship, as in the case of interpersonal tranference, etials tranferring developmental experiences from non-political to the political world”. Pada intinya tipe ini menyatakan aktivitas-aktivitas non-politik dipandang sebagai praktek/magang untuk aktivitas politik. Contohnya, organisasi yang berorientasi pada pembentukan kepribadian seperti Pramuka, organisasi siswa (osis), Pencinta Alam merupakan bentuk-bentuk yang penting dalam pembelajaran politik. 3) Generalization. Verba (dalam Richard, Kenneth, and Karen, 1977: 104) menyatakan: This basic belief and value patterns of a culture—those general values that have no reference to specific political objects—usually play major role in the structuring of political culture. Such basic belief dimentions as the view of man’s relation to nature, as time perspective, as the view
46
human nature and of the proper way to orient toward one’s fellow man, as well as orientations towards activity and activism in general would be crearly interpendent with specifically political attitudes. Pada intinya menurut tipe ini, kepercayaan dasar, pola-pola nilai budaya yang merupakan nilai umum (general value), bukan sebagai
referensi
kearah
objek
politik
tertentu,
biasanya
memainkan peranan yang besar dalam menentukan struktur atau pola-pola budaya politik. 5. Agen-agen Pendidikan Politik Istilah agen pertama kali diperkenalkan oleh seorang sosiolog terkemuka, Anthony Giddens. Dalam buku The Constitution of Society: Outline of the Theory Structuration (1984), Giddens menjelaskan mengenai konsep agen dalam masyarakat. Menurutnya, ―menjadi seorang manusia berarti menjadi seorang agen dengan tindakan disengaja, memiliki alasan-alasan atas aktivitasnya, dan mampu jika diminta mengelaborasi secara diskursif (berdasarkan pemikiran logis) alasanalasan itu‖ (Maufur dan Daryatno, 2010: 4). Dia menambahkan bahwa, ―menjadi seorang agen harus mampu menggunakan (secara terus-menerus di dalam kehidupan sehari-hari) sederet kekuasaan kausal, termaksud mempengaruhi kekuasaan-kekuasaan yang dijalankan oleh orang lain‖ (Maufur dan Daryatno, 2010: 23). Jadi seorang agen itu melakukan tindakan secara sengaja, dengan didasari alasan-alasan tertentu, dan memiliki kapasitas untuk menjelakan alasan-alasan tersebut. Disamping itu, agen juga dituntut dapat mempengaruhi kekuasaan di sekitarnya.
47
Proses mempengaruhi itu dilakukan dengan tindakan-tindakan dari agen tersebut. Agen dewasa ini sering digunakan dalam berbagai bidang. Misalnya bidang ekonomi dan militer. Dalam bidang ekonomi agen dimaksudkan untuk menyebut seseorang yang menjadi perantara penjualan bagi perusahaan lain atas nama pengusaha (KBBI, 2008: 18). Sedangkan dalam bidang militer atau polisi, agen disebut mata-mata (KBBI, 2008: 18). Dalam bidang politik Gabriel A. Almond, menggunakan istilah agen dalam menjelaskan pelaku sosialisasi politik. Menurutnya agen sosialisasi politik ada 6 yaitu, (1) keluarga, (2) kelompok bergaul, (3) pekerjaan, (4) media massa, (5) kontak-kontak politik langsung, (6) sekolah (dalam Mochtar Mas‘oed&Colim Mac Andrews, 2001: 37-40). Agen-agen tersebut yang menurut Almond dapat mempengaruhi budaya politik. Selanjutnya dalam membahas agen pendidikan politik dapat dilakukan dengan menggunakan dasar klasifikasi pendidikan secara umum. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa ada tiga klasifikasi, yaitu pendidikan formal, non-formal, dan informal. Ketiganya saling mengisi sebagai kebutuhan memenuhi pendidikan sepanjang hayat. Maksudnya pendidikan itu suatu kebutuhan seseorang dari dilahirkan sampai meninggal dunia. Disamping itu masyarakat tidak akan berkembang pesat kalau hanya mengandalkan pendidikan formal saja. Pendidikan non-formal dan informal hadir untuk melengkapi pendidikan seseorang agar lebih lengkap.
48
Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan non-formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pada pasal 26 diatur enam hal penting dari pendidikan non-formal, yaitu: (1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai penganti, penambah,
dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka
mendukung pendidikan sepanjang hayat. (2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaaan
pengetahuan
dan
keterampilan
fungsional
serta
pengembangan sikap dan kepribadian profesional. (3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan,serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. (4), Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan sejenis. (5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan
49
hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekera, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. (6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Seperti halnya pendidikan pada umumnya, pendidikan politik juga memiliki agen formal, non-formal dan informal. Agen formal yaitu yang dilakukan di sekolah, perguruan tinggi, atau lembaga pendidikan lain yang memiliki kurikulum. Kedua, non-formal yang dalam pelaksanaannya dengan kurikulum yang relatif lebih singkat dan sederhana, misal kursus atau penataran. Kursus menurut KBBI (2008: 784), merupakan pelajaran tentang suatu pengetahuan atau kepandaian yang diberikan dalam waktu singkat. Sedang, penataran (KBBI, 2008: 1459) adalah suatu proses untuk mengajar (memberikan pendidikan, pelatihan, kursus, dsb) tambahan untuk meningkatkan mutu (kemampuan, pengetauan, keterampilan). Dan ketiga, informal yang dilakukan tanpa kurikulum, misalnya pendidikan di lingkungan keluarga, praktek dalam kehidupan masyarakat termasuk ormas, dan partai politik. 6. Agen Pendidikan Politik Informal Agen pendidikan politik informal dilakukan tanpa menggunakan kurikulum. Gabriel A. Almond (dalam Mochtar Mas‘oed&Colim Mac Andrews, 2001: 37-40) menyebutkan beberapa agen dalam melakukan
50
sosialisasi politik yang masuk dalam agen pendidikan politik informal yaitu, (1) keluarga, (2) kelompok bergaul, (3) pekerjaan, dan (4) media massa. Keluarga. Pengaruh kehidupan baik yang langsung maupun yang tidak langsung—yang merupakan struktur sosialisasi pertama yang dialami seseorang—sangat kuat dan kekal. Yang paling jelas pengaruh dari keluarga ini adalah dalam hal pembentukan sikap terhadap wewenang kekuasaan (authority). Keluarga biasanya membuat keputusan bersama, dan bagi si anak keputusan-keputusan yang dibuat itu bisa otoritatif, dalam arti, keengganan untuk mematuhinya dapat mengundang hukuman. Keluarga juga membentuk sikap-sikap politik masa depan menempatkan individu dalam dunia kemasyarakatan luas; dengan membentuk nilai-nilai dan prestasi kultural dan pendidikannya. Kelompok bergaul. Meskipun sekolah dan keluarga merupakan sarana yang jelas terlibat dalam proses sosialisasi politik, ada juga beberapa unit sosial lain yang bisa membentuk sikap-sikap politik seseorang. Salah satunya adalah kelompok pergaulan, termasuk kelompok bermain dimasa kanak-kanak, kelompok persahabatan, dan kelompok kerja yang kecil, dimana setiap anggota mempunyai kedudukan yang relatif sama dan saling memiliki ikatan-ikatan yang erat. Pekerjaan. Pekerjaan—dan organisasi-organisasi formal maupun non-formal yang dibentuk berdasar lingkungan pekerjaan itu, seperti serikat buruh, klub sosial, dan yang semacam itu—juga merupakan saluran komunikasi informasi dan keyakinan yang jelas. Individu-individu
51
mengidentifikasikan diri dengan suatu kelompok tertentu, seperti serikat buruh, dan menggunakan kelompok itu sebagai ―acuan‖ (refence) dalam kehidupan politik. Berpartisipasi dalam suatu tawar-menawar kolektif atau dalam suatu demonstrasi dapat merupakan pengalaman sosialisasi yang berkesan mendalam baik bagi pihak buruh maupun pihak majikan. Media massa. Masyarakat modern tidak dapat hidup tanpa komunikasi yang luas, cepat, dan secara umum seragam. Informasi tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di mana saja di dunia segera menjadi pengetahuan umum dalam beberapa jam saja. Sebagian besar masyarakat dunia—terutama bagian-bagiannya yang modern—telah menjadi satu kelompok penonton tunggal, yang tergerak hatinya oleh peristiwa-peristiwa yang sama dan dirangsang oleh selera yang sama. Diketahui bahwa media massa— suratkabar, radio, televisi, majalah—memegang peran penting dalam menularkan sikap-sikap dan nilai-nilai modern kepada bangsa-bangsa baru merdeka. 7. PKn sebagai Pendidikan Politik PKn (pendidikan kewarganegaraan) merupakan salah satu dari agen
pendidikan politik.
Gabriel
A.
Almond
(dalam
Mochtar
Mas‘oed&Colim Mac Andrews, 2001: 37), sendiri menyebutkan bahwa ―pelajaran
kewarganegaraan
di
sekolah-sekolah,
dengan
sengaja
dirancangkan demi tujuan sosialisasi politik, disamping juga untuk tujuan lain‖. Jadi PKn memiliki tujuan melakukan sosialisasi politik di sekolah. PKn sebagai pendidikan politik berarti program pendidikan ini
52
memberikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan kepada siswa agar mampu hidup sebagai warga negara yang memiliki tingkat kemelekan politik (political literacy) dan kesadaran berpolitik (political awareness), serta kemampuan berpartisipasi politik (political participation) yang tinggi. Atau sering juga dikatakan dalam paradigma baru PKn, PKn mendorong warga negara untuk memiliki pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skill) dan pada akhirnya terbentuknya karakter kewarganegaraan (civic disposition). Menurut Cholisin (2000: 62) pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan politik yang dilakukan melalui sekolah merupakan bagian dari sosialisasi politik. Dalam prakteknya PKn sebagai pendidikan politik di sekolah mengutamakan orientasi politik yang bersifat eksplisit, diprogram sebagaimana yang tercermin dalam kurikulum, pola belajar politik yang bersifat terbuka, rasional, dan arahnya untuk mewujudkan warga negara yang baik (good citizen). Pkn sebagai bagian dari sosialisasi politik merupakan sosialisasi langsung. PKn sebagai pendidikan politik juga memiliki peran sebagai system maintance atau system persistence bagi sistem politik nasional yaitu sistem politik Demokrasi Pancasila. Maka dari itu PKn memiliki fungsi sebagai nation and character building dan sebagai pendukung representative government under the rule of law (Cholisin, 2006: 6-19). Nation and character building dapat diartikan bahwa suatu warga negara patuh terhadap negaranya dengan penuh keikhlasan dan kesadaran, karena
53
diantara warganegara telah memiliki kesepakatan untuk mengutamakan ikatan-ikatan yang bersifat nasional/ budaya nasional, sudah tidak lagi mengutamakan ikatan-ikatan primodial yang menimbulkan disintegrasi bangsa. Pkn yang memiliki visi untuk nation and character building, sangat penting. Karena menyangkut upaya strategis untuk menjamin eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara (Cholisin, 2005:4). Sedang PKn sebagai representative government under the rule of law artinya bahwa PKn penting bagi upaya mewujudkan pemerintahan yang demokratis berdasarkan hukum. C.
Tinjauan Tentang Pemilih Pemula Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1182) mendefinisikan pemilih sebagai orang yang memilih. Sedangkan pemula (KBBI, 2008: 1050) adalah adalah orang yang mulai atau mula-mula melakukan sesuatu. Jadi pemilih pemula dapat diartikan seseorang yang baru memulai atau pertama memilih, memilih dalam bahasan ini adalah memilih para pejabat publik melalui pemilihan umum (pemilu). Secara tingkatan umur pemilih pemula berumur kisaran 17 – 21 tahun. Dalam Pasal 1 ayat (22) UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan juga pada Pasal 1 ayat (21) UU No. 48 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, ―pemilih adalah warga negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin‖. Kemudian dalam Pasal 19 ayat (1 dan 2) UU No. 10 Tahun 2008 mengatur bahwa ―pemilih yang mempunyai hak memilih
54
adalah warga negara Indonesia yang didaftar oleh penyelenggara pemilu dalam daftar pemilih dan pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah menikah‖. Dari pasal-pasal tentang pemilih yang dikutip di atas dapat diambil kesimpulan mengenai pengertian pemilih pemula yaitu warga negara yang terdaftar oleh penyelenggara pemilu dalam daftar pemilih dan baru mengikuti pemilihan umum untuk pertama kalinya sejak pemilu yang diselenggarakan di Indonesia, dengan rentang usia 17-21 tahun. Firmanzah (2008) sendiri mengartikan ―pemilih sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan‖. Dari definisi Firmanzah ini terlihat bahwa pendekatan yang dilakukan adalah pendektan dari sisi kontestan pemilu. Dalam pemilihan umum pemilih pemula dinilai menjadi pemilih yang strategis dan potensial untuk mendongkrak tingkat partisipasi warga negara. Menurut data dari KPU jumlah pemilih pemula cukup besar yaitu sebanyak 20%, sehingga hak warga negara dala menggunakan hak pilihnya janganlah sampai tidak berarti akibat kesalahan-kesalahan yang tidak diharapkan, misalnya jangan sampai sudah memiliki hak pilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena tidak terdaftar atau juga masih banyak kesalahan dalam menggunakan hak pilihnya, dan lain-lain (KPU, 2010). Disamping kendala teknis di atas yang cukup dikawatirkan dari pemilih pemula adalah mengenai sikap politiknya. Pemilih pemula khususnya
55
remaja (berusia 17-18 tahun) mempunyai karakter yang santai, bebas, dan mempunyai kecenderungan pada hal-hal yang bersifat informal dan kebiasaan mencari kesenangan semata, implikasinya hal-hal yang tidak menyenangkan akan dihindari atau dijauhi. Remaja mudah dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan tertentu, terutama oleh orang terdekat seperti keluarga, mulai dari orangtua hingga kerabat dan teman sebaya. Sehingga pilihan politiknya cenderung tidak berdasarkan rasionalitas namun ikut-ikuttan belaka. Disamping itu, media massa pun turut mempengaruhi pilihan-pilihan politik mereka tanpa diimbangi dengan sikap korektif atau afirmatif dari informasi lain. Padahal semua informasi yang didapat dari keluarga maupun teman sebaya belum tentu sesuai gambaran kondisi politik pada saat tertentu. Pemilih harus memiliki informasi-informasi alternatif yang dapat diakses misalnya media massa untuk melakukan komparasi sebelum menentukan pilihannya. Disamping itu secara psikologis pemilih pemula juga rentan. Perilaku memilih mereka masih sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor emosional daripada rasional, dan lebih pada pengaruh-pengaruh ekternal. Terkait dengan perilaku pemilih pemula berdasarkan atas penelitian Jennings dan Nieni (1990) yang menyatakan bahwa anak-anak pada usia SMU cenderung menyokong calon politik yang sama seperti orangtua mereka. Ditambah lagi kecendrungan para remaja yang biasanya akan mudah terpengaruh dengan sebayanya. Peer group akan menjadi penentu keputusan dalam perilaku memilih pemilu pemula. Hal ini dikarenakan kelompok sebaya merupakan
56
salah satu hal yang terpenting dalam penentuan sikap selain media massa dan kelompok lembaga sekolah, dan keagamaan (Ahmadi, 1990 dalam Mukti Sitompul, 2005: 2). D. Tinjauan Tentang Perilaku Politik 1. Definisi Perilaku Pemilih Menurut Miriam Budiarjo (2008: 156), perilaku politik atau political behavior dapat didefinisikan sebagai perilaku yang dilakukan oleh seorang atau kelompok untuk memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan politik. Konstitusi negara mewajibkan seseorang atau kelompok untuk melakukan hak dan kewajibannya seabgai manifestasi perilaku politiknya, sebagai contoh adalah sebagai berikut: a. Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat/pemimpin. b. Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai politik atau parpol, mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat. c. Ikut serta pesta politik. d. Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas. e. Berhak untuk menjadi pimpinan politik. f. Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya seabgai insan politik guna melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh undang-undang dasar dan perundangan hukum yang berlaku.
57
2. Pendekatan-pendekatan Perilaku Pemilih Dalam memahami perilaku politik ada beberapa pendekatan. Menurut Ramlan Surbakti (2010: 145-146) ada lima pendekatan untuk menjelaskan mengapa pemilih memilih kontestan tertenu, yaitu: (1) Pendekatan Stuktural, (2) Pendekatan Ekologis, (3) Pendekatan Rasional, (4) Pendekatan Sosiologis, dan (5) Pendekatan Psikologis. Pendekatan Struktural cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Kongkretnya, pilihan seseorang dalam pemilu dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti misalnya jenis kelamin, tempat tinggal, pendidikan, kelas maupun agama. Dalam pendekatan ekologis hanya relevan apabila dalam suatu daerah pemilihan terdapat perbedaan karakteristik pemilih berdasarkan unit teritorial, seperti desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten. Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan untuk memilih sebagai produk dari segi keuntungan dan rugi. Dalam pendekatan ini, pemilih mempertimbangkan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang keputusan partai atau kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak dalam pemilu
.
Pendekatan Sosiologis atau Mazhab Colombia lebih menekankan pada faktor sosiologis didalam membentuk perilaku masyarakat dalam melakukan pilihan dalam pemilu. Mazhab ini melihat bahwa masyarakat sebagai satu kesatuan kelompok yang bersifat vertikal dari tingkat yang terbawah hingga yang teratas. Menurut paham ini, kelompok – kelompok
58
yang membentuk persepsi, sikap politik dari masing – masing individu. Oleh karenanya, segala kelakuan politik masyarakat merupakan bentuk dari masing – masing sifat status sosial mereka. Dan pada Pendekatan Psikologis atau Mazhab Michigan menekankan pada faktor psikologis dari pemilih. Menurut paham ini, masyarakat dalam menentukan pilihannya dalam proses pemilu lebih banyak dipengaruhi oleh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sendiri, yang kesemuanya merupakan hasil dari proses sosialisasi politik. Melalui sosialisasi inilah terbentuk suatu ikatan antara individu dengan partai yang berwujud sebuah simpati terhadap partai politik tersebut. Perilaku politik seseorang erat hubungannya dengan sosialisasi politik. Gabriel A. almond & Sidney Verba mengungkapkan hal ini dalam bukunya The Civic Culture yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul Budaya Politik (tingkah laku politik dan demokrasi di lima negara). Gabriel A. Almond & Sidney Verba (1984: 325) menyatakan ada tiga
anggapan
tentang
sosialisasi
dalam
pembentukan
perilaku
politik/tingkahlaku politik: ―(1) pengalaman sosialisasi yang akan mempengaruhi tingkahlaku politik di kemudian hari yang terjadi sebelumnya dalam kehidupan, (2) pengalaman ini bukan pengalaman yang bersifat politik, tetapi memiliki berbagai konsekuensi politik laten yaitu yang tidak dimaksudkan melahirkan impak politik sedang impak tersebut tidak teroganisir adanya, dan (3) proses sosialisasi selalu bersifat unidireksional: dimana pengalaman-pengalaman mendasar di dalam
59
keluarga mempunyai pengaruh penting terhadap struktur politik tetapi sebaliknya tidak dipengaruhi politik‖. Pada tiga anggapan di atas Gabriel & Almond fokus pada sosialisasi politik yang dilakukan oleh keluarga yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku politik seseorang. 3. Tipe-tipe Pemilih Menurut Firmanzah (2008) tipologi pemilih ada empat (4), yaitu: a. Pemilih rasional Dalam konfigurasi pertama terdapat pemilih rasional (rational voter). Dalam konfigurasi ini, pemilih memiliki orientasi tinggi pada ―policy-problem-solving‖ dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program kerjanya. Program kerja atau ‗platform‘ partai yang berorientasi ke masa depan, tetapi juga menganalisis apa saja yang telah dilakukan partai tersebut di masa lampau. Kinerja partai atau calon kontestan biasanya termanifestasikan pada reputasi dan ‗citra‘ yang berkembang di masyarakat. Pemilih tipe ini memiliki ciri khas yang tidak begitu mementingkan ikatan ideologi kepada suatu partai politik atau seorang kontestan. Mereka ingin melepaskan dari hal-hal yang bersifat dogmatis, ‗tradisional‘, dan ikatan lokasi dalam kehidupan politiknya. b. Pemilih Kritis Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada
kemampuan partai politik atau
seorang
kontestan dalam
menyelesaikan permasalahan dengan maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis
60
membuat loyalitas pemilih pada sebuah partai atau seorang kontestan cukup tinggi dan tidak semudah ‗rational voter‘ untuk berpaling ke partai lain. Proses untuk menjadi pemilih jenis ini bisa terjadi melalui dua mekanisme; pertama jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai politik mana mereka akan berpihak dan selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau telah dilakukan. Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya, pemilih tertarik dulu dengan program kerja yang ditawarkan sebuah partai/kontestan, baru kemudian
mencoba
memahami
nilai-nilai
dan
paham
yang
melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan. Pemilih jenis ini adalah pemilih yang kritis, artinya mereka akan selalu menganalisis kaitan antara sistem nilai partai (ideologi) dengan kebijakan yang dibuat. c. Pemilih tradisional Pemilih dalam jenis ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial budaya, nilai, asalusul, paham dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik.
Kebijakan
semisal
ekonomi,
kesejahteraan,
pemerataan
pendapatan dan pendidikan, dan pengurangan angka inflasi dianggap sebagai parameter kedua. Mereka tidak terlalu memusingkan diri pada kebijakan apa yang telah dilakukan dan apa yang akan dilakukan partai politik yang mereka dukung. Biasanya pemilih jenis ini lebih
61
mengutamakan figur dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah partai politik atau seorang kontestan. Salah satu karakteristik mendasar jenis pemilih ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif dalam memegang nilai serta paham yang dianut. d. Pemilih skeptis Pemilih ini adalah pemilih yang tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam suatu partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena ikatan ideologis mereka memang rendah sekali. Mereka juga kurang memperdulikan ‗platform‘ dan kebijakan sebuah partai politik. Golongan putih (golput) di Indonesia atau dimanapun sangat didominasi oleh pemilih jenis ini. Kalaupun berpartisipasi dalam pemungutan suara, biasanya mereka melakukan secara acak atau random. Mereka berkeyakinan bahwa siapapun atau partai manapun yang memenangkan pemilu tidak akan bisa membawa bangsa ke arah perbaikan yang mereka harapkan. Selain itu mereka tidak memiliki ikatan emosional dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan.
E. Tinjauan Tentang Partisipasi Politik 1. Definisi Partisipasi Politik Menurut Miriam Budiarjo (2008: 367) dalam analisis politik modern, partisipasi politik merupakan suatu masalah yang dianggap penting yang banyak dipelajari terutama dalam kaitannya dengan negara – negara berkembang. Pada awalnya studi mengenai partisipasi politik
62
memfokuskan diri pada partai politik sebagai pelaku utama, tetapi dalam perkembangannya, banyak muncul kelompok masyarakat yang juga ingin memengaruhi proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan umum. Miriam Budiarjo (2008: 367) mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintahan (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya. Sedang Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam buku Partisipasi Politik di Negara Berkembang mengatakan bahwa: Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisasi atau spontan, mantap atau sporadic, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidka efektif. Dari dua definisi di atas terlihat ada kesamaan antara Miriam Budiarjo dengan Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, mereka sama-sama mengatakan bahwa partisipasi itu dilakukan secara individual atau kolektif. Hanya saja definisi dari Miriam lebih operasional dengan memberikan contoh partisipasi seperti memberikan suara dalam pemilu dan menghadiri rapat umum. Sedang Huntington dan Nelson lebih
63
menekankan karakteristik dari partisipasi, seperti legal atau illegal dan damai atau melalui kekerasan. Tapi jelaslah dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa partisipasi politik merupakan kegiatan warga negara secara individual atau kolektif untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pembuatan keputusan atau kebijakan pemerintah. 2. Bentuk-bentuk Partisipasi Politik Charles Adrain dan James Smith (2006: 67) sebagaimana dikutip oleh Kacung Marijan (2010: 111) mengelompokkan tiga bentuk partisipasi, yaitu: Pertama adalah partisipasi yang lebih pasif. Didalam tipe pertama ini, partisipasi dilihat dari keterlibatan politik seseorang, yakni sejauh mana orang itu melihat politik sebagai suatu yang penting, memiliki minat terhadap politik, dan sering berdiskusi mengenai isu-isu politik dengan temannya. Kedua adalah partisipasi yang lebih aktif. Yang menjadi perhatian adalah sejauh mana orang itu terlibat di dalam organisasiorganisasi atau asosiasi-asosiasi sukarela (voluntary associations) seperti kelompok-kelompok
keagamaan,
olahraga,
pecinta
lingkungan,
oraganisasi profesi, dan organisasi buruh. Ketiga adalah partisipasi yang berupa kegiatan-kegiatan protes seperti ikut menandatangani petisi, melakukan boikot, dan demontrasi. Disamping ketiga bentuk partisipasi di atas ada bentuk lain yang dikatakan oleh Robert Dahl (dalam Kacung Marijan, 2010: 112-113),
64
menurutnya di dalam demokrasi perwakilan partisipasi itu lebih dimaksudkan sebagai keterlibatan warga negara di dalam pemilu. Hal ini, contohnya terlihat dari penjelasan dari Joseph Schumpeter, salah satu ilmuwan politik penganut demokrasi elitis (perwakilan). Dalam pandangan dia, peran politik warga negara adalah pada pemilu, sementara para pemimpin yang dipilih merupakan orang-orang kunci dalam proses pembuatan keputusan-keputusan. Sedang menurut Miriam Budiardjo (2008), partisipasi politik mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya. Ramlan Surbakti (1992: 142) mengatakan bahwa bentuk partisipasi antara lain partisipasi aktif mencakup kegiatan warga negara, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah. Mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan sara kebijaksanaan, membayar pajak dan ikut serta dalam kegiatan pemerintah daerah. Di pihak lain partisipasi aktif natara lain berupa kegiatan mentaati perintah/peraturan, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah. Contoh partisipasi aktif dan partisipasi pasif yang diungkapkan oleh Ramlan ini berbeda dengan partisipasi yang diungkapkan oleh Charles Adrian & Smith (2006), kendati demikian dua pendapat ini justru
65
memperkaya bentuk-bentuk partisipasi itu sendiri baik yang aktif maupun yang pasif. Dari contoh Ramlan Surbakti dan Charles Adrian & Smith dapat disimpulkan bentuk-bentuk partisipasi aktif dan pasif sebagai berikut: Tabel 3. Contoh Partisipasi Aktif dan Partisipasi Pasif Partisipasi Aktif Terlibat
dalam
Partisipasi Pasif
organisasi- Memiliki minat terhadap politik
organisasi atau asosiasi-asosiasi Mengajukan alternatif kebijakan
Berdiskusi tentang politik
Mengajukan kritik dab saran
Mentaati peraturan/perintah
Membayar pajak
Melaksanakan dan menerima begitu saja setiap keputusan pemerintah
Mengikuti
kegiatan
pemerintah
daerah Disamping bentuk-bentuk partisipasi politik yang telah dijelaskan di atas, karakteristik partisipasi politik di negara-negara barat dengan negara komunis dan negara berkembang perlu juga dicermati. Para sarjana yang mengamati masyarakat demokrasi Barat cenderung untuk berpendapat bahwa yang dinamakan partisipasi politik hanya terbatas pada kegiatan sukarela saja, yaitu kegiatan yang dilakukan tanpa paksaan atau tekanan dari siapapun. Naun beberapa sarjana yang mengamati negara komunis dan masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang, cenderung untuk berpendapat bahwa kegiatan yang tidak sukarelawan tercakup, karena sukar sekali untuk membedakan antara kegiatan yang benar-benar sukarela dan kegiatan yang secara terselubung
66
dipaksakan, baik oleh penguasa atau kelompok lain (Cholisin, dkk, 2007: 151). 3. Partisipasi Politik dalam Pemilu Pemberian suara melalui pemilu merupakan salah satu partisipasi aktif dari suatu masyarakat. Dahl sendiri secara khusus menyebutkan pentingnya pemberian suara dalam pemilu di sistem demokrasi perwakilan, menurut Robert Dahl (dalam Kacung Marijan, 2010: 112-113), ―di dalam demokrasi perwakilan partisipasi itu lebih dimaksudkan sebagai keterlibatan warga negara di dalam pemilu‖. Partisipasi dalam pemilu merupakan salah satu partisipasi yang mudah diukur untuk mengetahui tingkat legitimasi suatu rezim yang sedang berkuasa. Pemilihan umum dianggap suatu bentuk partisipasi yang mudah diukur intensitasnya, antara lain dengan perhitungan persentase orang yang menggunakan hak pilihnya (voter turnout) dibanding dengan jumlah seluruh warga negara yang berhak memilih (Miriam Budiardjo, 2008: 375). Di Indonesia sendiri partisipasi politik dalam pemilu sudah menjadi suatu kegiatan yang rutin—dan terus berkembang di era pasca Orde Baru ini. Dalam hajatan-hajatan pemilu rakyat sudah terbiasa menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon-calon yang akan duduk di eksekutif maupun legislatif. Pemilu yang diselenggarakan di Indonesia sendiri dapat dilihat pada BAB VIIB Pemilihan Umum UUD 1945, dalam Pasal 22E ayat (2) diatur bahwa ―pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Wakil Presiden
67
dan Dewan Perwakilan rakyat Daerah‖. Dari aturan Pasal 22 E ayat (2) terlihat bahwa dalam rezim pemilu di Indonesia dikenal empat pemilu, yaitu pemilu untuk memilih (i) DPR, (ii) DPD, (iii) Presiden dan Wakil Presiden, dan (iv) DPRD. Disamping empat pemilu tadi, pasca diundangkannya UU No. 12 tahun 2008 jo. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dikenal lagi satu pemilu yaitu pemilu kepala daerah yang sering disingkat dengan pemilukada. Dalam pemilukada terdapat dua pemilihan umum lagi yaitu pemilukada untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, dan pemilukada untuk memilih Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota. F. Tinjauan Tentang Pemilukada 1. Konsep Pemilukada Untuk mengetahui konsep pemilukada utamanya yang ada, berjalan dan terus berkembang di Indonesia, kiranya perlu kajian dinamika perkembangan pemilihan kepala daerah dalam sisi yuridis maupun politik. Dalam Pasal 18 UUD 1945 ayat (4) diatur bahwa: ―Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis‖. Pasal 18 ayat (4) ini lahir bersamaan dengan Pasal 18A dan Pasal 18B yaitu pada perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 tepatnya pada sidang Umum Tahunan MPR-RI tahun 2000. Dari aturan ini menurut Sarundajang (2012: 13) dapat ditafsirkan sebagai pemilihan kepala daerah bisa secara langsung atau tidak langsung, yang penting mekanisme demokratis tidak dikesampingkan. Pasal 18 ayatt (4) ini tidak
68
dimasukan dalam Pasal 22E (Bab VII B Pemilihan Umum, sehingga menurut Leo Agustino (2009: 80), ―pemilihan kepala daerah bukan termasuk dalam rezim pemilihan umum anggota DPR, DPD, Presiden, dan DPRD, karena Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih melalui Pasal 18 ayat (4) dapat melaui dua cara, yakni: (1) melalui pemilihan oleh DPRD atau (ii) dipilih langsung oleh rakyat‖. Tetapi karena tuntutan rakyat yang begitu besar untuk melaksanakan pemilihan langsung tidak saja pemilihan langsung untuk Presiden dan Wakil Presiden, tapi juga Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka Undang-undang No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah Daerah juga mengatur tentang hal pemilihan kepala daerah secara langsung. Belakangan UU No. 32 Tahun 2004 ini disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 jo. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun.2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pemilukada yang merupakan akronim dari pemilihan umum kepala daerah merupakan suatu pemilihan kepala daerah baik di tingkat provinsi (Gubernur dan Wakil Gubernur) maupun di tingkat kapupaten/kota (Bupati dan Wakil Bupati/ Walikota dan Wakil Walikota). Dalam prakteknya
pemilukada
mengalami
berbagai
perkembangan.
Perkembangan ini terjadi seiring perubahan payung hukumnya karena dorongan dari demokratisasi yang berjalan sampai aras lokal. Sebelum era reformasi kepala daerah pemilihannya sempat dipilih oleh Presiden berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974. Kemudian di tahun
69
1999 kepala daerah dipilih oleh DPRD, seiring dengan digantinya UU No. 5 Tahun 1974 dengan UU No. 22 Tahun 1999. Berdasarkan UU tersebut DPRD memiliki wewenang untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati/ Walikota dan Wakil Walikota. Seiring dengan tuntutan demokratisasi sampai ke aras lokal pemilihan kepala daerah tidak lagi merupakan wewenang DPRD tapi sudah dilakukan secara langsung melalui pemilu kepala daerah—yang kemudian populer dengan akronim Pemilukada. UU No. 22 Tahun 1999 dirubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 24 UU No. 32 Tahun 2004 diatur bahwa: ―Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan‖. 2. Penyelenggaraan Pemilukada Dalam prakteknya pemilukasa diselenggarakan oleh KPUD. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah mengatur tentang hal ini. Pasal 57 undang-undang tersebut mengatur bahwa: (1) Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD; (2) Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan laporan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan kepada DPRD. Selanjutnya dalam UU No. 15 Tahun 2011 diatur mengenai penyelenggaraan pemilukada ditingkat Provinsi dan Kapubapten/kota. Dalam Pasal 1 diatur
70
bahwa: ayat (7) Komisi Pemilihan Umum Provinsi, selanjutnya disingkat KPU Provinsi, adalah penyelenggara Pemilu yang bertugas melaksanakan Pemilu di provinsi; ayat (8) Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, selanjutnya disingkat KPU Kabupaten/Kota, adalah Penyelenggara Pemilu yang bertugas melaksanakan Pemilu di kabupaten/kota. Berdasarkan aturan dalam undang-undang tersebut jelas bahwa praktek pilkada provinsi (Gubernur dan Wakil Gubernur) yang notabene-nya dilaksanakan di provinsi merupakan tugas yang diselenggarakan oleh KPU Provinsi, sedang
pilkada
Kabupaten/kota
diselenggarakan
oleh
KPU
Kabupaten/kota. Dalam praktek penyelenggaraan pemilihan gubernur KPU Provinsi memiliki tugas dan wewenang diantaranya (Pasal 9 ayat (3) UU No. 15 Tahun 2011): a. merencanakan program, anggaran, dan jadwal pemilihan gubernur; b.
menyusun dan menetapkan tata kerja
KPU Provinsi,
KPU
Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS dalam pemilihan gubernur dengan memperhatikan pedoman dari KPU; c. menyusun dan menetapkan pedoman teknis untuk setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan gubernur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; d. mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan penyelenggaraan pemilihan gubernur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan pedoman dari
71
KPU; e.
menerima
daftar
pemilih
dari
KPU
Kabupaten/Kota
dalam
penyelenggaraan pemilihan gubernur; f. memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan data Pemilu
dan/atau
pemilihan
gubernur,
bupati,
dan
walikota
terakhir dan menetapkannya sebagai daftar pemilih; g. menetapkan calon gubernur yang telah memenuhi persyaratan; Sedangkan tugas dan wewenang KPU Kabupaten/kota dalam pemilu Bupati dan Wakil Bupati/ Walikota dan Wakil Walikota diantaranya (Pasal 10 ayat (3) UU. No. 15 Tahun 2011): a.
merencanakan
program,
anggaran,
dan
jadwal
pemilihan
bupati/walikota; b. menyusun dan menetapkan tata kerja KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS dalam pemilihan bupati/walikota dengan memperhatikan pedoman dari KPU dan/atau KPU Provinsi; c. menyusun dan menetapkan pedoman teknis untuk setiap penyelenggaraan
tahapan
pemilihan bupati/walikota berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan; d. membentuk PPK, PPS, dan KPPS dalam pemilihan gubernur serta pemilihan bupati/walikota dalam wilayah kerjanya; e. mengoordinasikan,
menyelenggarakan, dan mengendalikan semua
tahapan penyelenggaraan pemilihan bupati/walikota berdasarkan ketentuan
72
peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan pedoman dari KPU dan/atau KPU Provinsi; f. menerima daftar pemilih dari PPK dalam penyelenggaraan pemilihan bupati/walikota; g. memutakhirkan data pemilih berdasarkan data
kependudukan yang
disiapkan dan diserahkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan data pemilu dan/atau pemilihan gubernur dan bupati/walikota terakhir dan menetapkannya sebagai daftar pemilih; 3. Perbedaan Pemilu dengan Pemilukada Pemilu dengan pemilukada memiliki perbedaan yang cukup krusial. Pertama, pada awalnya pemilukada bukan menjadi bagian dari rezim pemilu. Hal ini dapat dicermati dari sisi yuridisnya. Dalam Pasal 18 UUD 1945 ayat (4) diatur bahwa: ―Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis‖. Pasal 18 ayat (4) ini lahir bersamaan dengan Pasal 18A dan Pasal 18B yaitu pada perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 tepatnya pada sidang Umum Tahunan MPR-RI tahun 2000. Dari aturan ini menurut Sarundajang (2012:13) dapat ditafsirkan sebagai pemilihan kepala daerah bisa secara langsung atau tidak langsung, yang penting mekanisme demokratis tidak dikesampingkan. Pasal 18 ayatt (4) ini tidak dimasukan dalam Pasal 22E (Bab VII B Pemilihan Umum, sehingga menurut Leo Agustino (2009:80), ―pemilihan kepala daerah bukan termasuk dalam
73
rezim pemilihan umum anggota DPR, DPD, Presiden, dan DPRD, karena Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih melalui Pasal 18 ayat (4) dapat melaui dua cara, yakni: (1) melalui pemilihan oleh DPRD atau (ii) dipilih langsung oleh rakyat‖. Setelah dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum pemilukada dimasukkan dalam rezim pemilu. Melalui UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, terminologi pemilihan kepala daerah dirubah menjadi pemilihan umum kepala daerah. Bab I Pasal 1 UU No. 22 tahun 2007 mempunyai maksud bahwa Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Nazriyah, tanpa tahun diakses dari https://www.pshk.law.uii.ac.id). Kedua, momentum pemilu dengan pemilukada berbeda. Pemilu dilakukan secara serempak secara nasional untuk memilih anggota DPR, DPRD, DPD, dan Presiden beserta wakilnya, sedang pemilukada dilakukan
secara
terpisah.
Masing-masing
daerah
melaksanakan
pemilukada pada waktu yang berbeda. Bahkan untuk pemilihan Gubernur dengan pemilihan Bupati/Waki Kota saja di suatu daerah sudah berbeda waktunya.
74
G. Kerangka Berpikir Pendidikan politik atau sosialisasi politik merupakan sebuah kebutuhan bagi para pemilih. Pendidikan politik dapat memberikan pengetahuan politik, kesadaran politik, sikap dan orientasi politik, dan sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam dunia politik seperti ikut pemilihan umum, dan kegiatan politik lainnya. Bagi pemilih pemula terlebih remaja (umur: 17-21 tahun) pendidikan politik penting karena kecenderungan mereka untuk memilih sama dengan orangtunya. Ditambah lagi kecendrungan para remaja yang biasanya mudah terpengaruh dengan sebayanya. Peer group akan menjadi penentu keputusan dalam perilaku memilih pemilu pemula. Hal ini dikarenakan kelompok sebaya merupakan salah satu hal yang terpenting dalam penentuan sikap selain media massa dan kelompok lembaga sekolah, dan keagamaan (Ahmadi, 1990 dalam Mukti Sitompul, 2005: 2). Jadi pemilih pemula perlu diarahkan agar menjadi seorang pemilih ideal. Pemilih ideal memiliki dua tingkatan, yaitu pemilih kritis dan pemilih rasional. Keduanya merupakan pemilih yang memilih berdasarkan alasan-alasan rasional, hanya saja bagi pemilih rasional ikatan ideologisnya sangat lemah jika dibandingkan dengan pemilih kritis. Komisi Pemilihan Umum memiliki salah satu peran untuk melakukan pendidikan politik. Hal bisa dilihat dari fungsi KPU yang salah satunya melakukan sosialisasi terhadap pemilih berkaitan dengan tugas dan wewenang KPU atau yang berkaitan dengan hal itu. Sosialisasi yang demikian sangat berarti bagi pemilih pemula melihat fakta bahwa pemilih
75
pemula berjumlah kisaran 20 %. Kehadiran pemilih pemula yang kemudian melek politik (politic literacy) akan meningkatkan kualitas suatu pemilihan umum dan meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu. Kerangka berpikir ini dapat digambarkan sebagai berikut: KPU Kabupaten Sleman
Fungsi Sosialisasi Politik
Dilaksanakan dengan Pendidikan Politik
Dalam Bentuk Program-program khusus
Target Pemilih Pemula