Korupsi Pengadaan alat Simulasi Mengemudi Pasca Intervensi Presiden Oleh : Kombes Iktut Sudiharsa.S.H.,mSi.
A. U M U M Semua pendapat hukum mengenai rebutan kewenanganan antara polri dan kpk telah dikeluarkan, kesimpulan dari semua pendapat itu pun sudah jelas, demikian pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dalam Kompas hal 2, hari Minggu 5 Agustus 2012. Kenyataannya masih belum jelas, karena dasar hukum yang dimaksud mengacu kepada pasal 11 Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi selanjutnya disebut UU KPK, yang berbunyi : Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi (kpk) berwenang melakukan Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang : a. Melibatkan aparat penegak hokum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hokum atau penyelenggara Negara ; b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat dan/atau c. Menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal ini jelas merupakan penjabaran dari pasal 6 huruf c UU KPK tentang salah satu Tugas KPK yang menimbulkan wewenang KPK. Namun demikian Pasal ini juga menunjukkan tentang kewenagan KPK dibatasi oleh 3 (tiga) syarat tersebut yang bersifat kumulatif alternative.
Syarat-syarat tersebut bukan pembatasan kepada Penegak Hukum lainnya ( baca instansi yang berwenang). Hal ini dimaksudkan sesuai dengan alasan pembentukan KPK, sebagaimana bunyi konsiderans UU KPK pada huruf b, “bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi”.
Hal ini
menunjukkan pada saat itu pembentuk Undang-Undang menyadari bahwa pemerintah belum professional dalam menangani tindak pidana korupsi, sehingga perlu dibentuk lembaga ad hoc, yang diharapkan mampu membantu penyidik dan penuntut tindak pidana korupsi menjadi professional. Hal ini dituangkan dalam pasal 6 UU KPK yang mengatur tentang 5 (lima) Tugas Pokok KPK. Kelima tugas KPK tersebut antara lain fungsi koordinasi penyidik Korupsi, supervisi dalam rangka perbaikan proses penyidikan dan penuntutan, penegakan hukum sendiri dengan syarat sebagaimana ketentuan pasal 11 UU KPK, serta pencegahan korupsi melalui pembuatan system atau kebijakan anti korupsi dan melakukan monitoring melalaui LHKPN. Selanjutnya pembentuk Undang-Undang juga merumuskan pasal 38 UU KPK, yang dengan tegas menyebutkan tentang berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, selanjutnya disingkat KUHAP berkaitan dengan kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK. Hal ini dengan penegasan bahwa penyidik Korupsi di KPK hanya Penyidik Polri, tidak PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang hanya berlaku untuk Tindak Pidana Tertentu. Dalam pasal 39 ditentukan dasar hukumnya adalah KUHAP dan Undang-Undang No. 31 sebagaimana telah dirobah oleh Undang-Undang Nomor 20 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam UU KPK, dan tidak menunjuk Undang-Undang Kejaksaan, sehingga tidak juga Penyidik Kejaksaan yang diatur oleh Undang-Undang Kejaksaan. Kemandirian penyidik polri di KPK ditentukan dengan pengaturan yang lugas agar penyidik polri yang bertugas di KPK wajib dinonaktifkan, namun kenyataannya penyidik polri di KPK masih aktif, terbukti mereka bisa naik pangkat. Pelanggaran ketentuan inilah yang memicu terjadinya perseteruan polri dan KPK terkait penyidik yang ditarik oleh polri dengan alas an habis masa tugasnya dan dengan kemenangan opini, maka KPK selalu dimenangkan dan citra polri semakin terpuruk, menjadi kegagalan KPK memperbaiki kinerja dan citra penegak hokum lainnya. Berbeda dengan penyidikan, maka penyelidik di KPK diatur sendiri oleh pasal 43 UU KPK, yaitu diangkat dan diberhentikan oleh KPK serta tugas dan wewenangnya diatur dalam pasal 44
UU KPK yang isinya ; Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada KPK. Selanjutnya penyimpangan dari ketentuan KUHAP tersebut ditegaskan dengan wewenang KPK untuk menghentikan penyelidikan dalam hal penyelidik tidak menemukan bukti permulaan yang cukup. Jika perkara tersebut diteruskan, KPK melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan. Penyimpangan lain nampak dari pasal 40 UU KPK yang tidak memberi wewenang kepada KPK untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan. Dengan demikian jelaslah bawa penyelidikan di KPK terpisah dari penyidikan, sebagaimana penyelidik wajib lapor ke KPK dan pimpinan KPK yang akan menentukan apakah perkara akan dihentikan penyelidikannya atau akan dilanjutkan melalui proses penyidikan oleh KPK. Sedangkan Penyidik Polri yang berdasarkan KUHAP khususnya Bab XIV tentang Penyidikan yang didalamnya terkandung proses Penyelidikan, sehingga Penyidik polri dalam melakukan penyidikan dimulai sejak proses penyelidikan. Dalam rangka pelaksanaan tugas KPK sebagaimana ditentukan oleh pasal 6 UU KPK, maka KPK berinisiatif untuk membuat MoU dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, yang salah satunya adalah Penyidik Polri, sehingga terbitlah MoU antara KPK yang diwakili oleh Ketua KPK, sedang Polri yang diwakili oleh Kapolri. MoU tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan tugas KPK tidak berbenturan dengan Penyidik polri, karena dengan tegas-tegas UU KPK tidak menghapus kewenangan penyidikan oleh penyidik polri maupun penyidik kejaksaan, bahkan tidak membatasi dan mempersaratkan. Dengan adanya MoU tersebut, maka pelaksanaan kewenangan KPK yang timbul dari tugas KPK bisa berjalan dengan baik dan mendapat dukungan sepenuhnya dari instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Untuk lebih jelasnya disampaikan bunyi pasal 6 UU KPK, adalah sebagai berikut : Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas : a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi ;
b. Sepervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi ; c. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi dan ; e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Penyusunan tugas KPK ini dengan kata sambung DAN, dimaksudkan agar KPK wajib menjalankan seluruhnya (kumulatif), dan penegakan hukum sendiri sengaja dimasukkan pada nomor c atau tepat paling tengah, untuk menunjukkan tindakan dimaksud agar benar-benar bertanggung jawab sejalan dengan ketentuan pasal 40 UU KPK tentang tidak berwenang mengeluarkan surat printah penghentian penyidikan. Sehingga dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK harus sudah mendapatkan alat bukti yang sempurna, melalui koordinasi dan supervisi, data hasil monitoring dan pelaksanaan system pencegahan korupsi yang baik.
B. PENYELESAIAN POLITIK Melalui pidato Presiden Republik Indonesia tanggal 8 Oktober 2012, penegakan hukum harus ditengahi dengan keputusan politik, yaitu dengan memberikan arahan kepada KPK dan Kapolri agar kasus Simulator Ditlantas Polri yang ditangani Bareskrim Polri diserahkan kepada KPK. Keputusan politik yang tidak ada dasar hukumnya, baik Undang-Undang KPK maupun KUHAP, tapi Kapolri wajib melaksanakannya yang konon independen. Masyarakat bersorak, karena punya presiden yang tidak takut membuat keputusan politik yg bernyali, kpk menepuk dada karena berhasil memaksa presiden membuat keputusan berani, kapolri lega karena beban tekanan politik dan masyarakat dari segala penjuru berakhir sudah. Namun mereka semua lupa penegakan hukum tidak boleh ditenggarai oleh kekuatan politik ataupun kekuasaan berani selain prosedur hukum yang ditentukan oleh hukum itu sendiri. Keputusan presiden didasari oleh ketentuan pasal 50 ayat (3) dan ayat (4) UU KPK yang mengenyampingkan penyidik yang berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, dalam hal KPK sudah mulai melakukan penyidikan, bahkan jika waktunya bersamaan,
maka penyidik polri atau kejaksaan harus segera dihentikan, karena hanya KPK yang berwenang melakukan penyidikan perkara dimaksud. Untuk lebih jelasnya kita baca bunyi pasal 50 ayat (3) dan ayat (4) UU KPK, sebagai berikut : Ayat (3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Ayat (4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan. Kedua ketentuan ini mengatur hal yang berbeda, karena ayat (3) berkaitan dengan ayat (1), yaitu jika penyidik selain penuyidik KPK lebih dahulu melakukan penyidikan, dan dari hasil koordinasi dan supervisi KPK, dilakukan pengambil alihan, sehingga kewenangan yang tadinya melekat pada penyidik selain penyidik KPK beralih kepada KPK, sesuai dengan ketentuan pasal 6 huruf c UU KPK. Sedangkan pada ayat (4) merupakan pengecualian, dalam hal terjadi penyidikan yang bersamaan terhadap perkara yang sama, maka hukum wajib melindungi kepentingan tersangka dengan mengatur hanya salah satu penyidik yang berwenang, yaitu KPK, sehingga mewajibkan kepada penyidik selain penyidik KPK untuk menghentikan penyidikannya. Penyidik Polri menyebutkan telah melakukan penyidikan sejak tanggal 17 Juli 2012, sehingga berdasarkan ketentuan pasal 50 ayat (1) UU KPK, wajib memberitahukan kepada KPK dan melakukan koordinasi lanjutan terhadap tindak lanjut penanganannya sesuai pasal 50 ayat (2) UU KPK. Digunakannya istilah memberitahukan, bukan Melapor, menunjukkan bahwa KPK dan Polri berkedudukan sejajar, yang satu tidak lebih tinggi dari yang lainnya. Atas Laporan polri tersebut maka KPK dengan jelas telah tahu bahwa penyidik polri telah melakukan penyidikan, sehingga proses koordinasi harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK. Untuk jelasnya bunyinya adalah sbb: Ayat (1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian ataukejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan. Ayat (2) Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Proses koordinasi yang dimaksudkan disini adalah sebagaimana ketentuan pasal 6 huruf a jo pasal 7 UU KPK. Selanjutnya KPK dapat juga melakukan proses supervisi sebagaimana ketentuan pasal 6 huruf b jo pasal 8 UU KPK dan pengambilalihan penyidikan sebagaimana ditentukan oleh pasal 9 jo pasal 10 UU KPK. Dalam hal pelaksanaan pengambil alihan perkara dimaksud, maka merupakan pelaksanaan pasal 50 ayat (3) UU KPK. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi penyidikan 2 (dua) kali terhadap tersangka yang sama untuk perkara yang sama pula, karena itu merupakan perbuatan sewenang-wenang dan pelanggaran terhadap Hak Azazi Manusia atau hak-hak warga negara yang juga berdampak kasus korupsi yang seharusnya bisa diungkap, malah tertutup kembali, yang ujungnya kasus menjadi “Nebis in idem”. Dari uraian tersebut, maka jelas dan terang berdasarkan hukum dan UU KPK, penyidik polri sepenuhnya berwenang untuk melakukan penyidikan kasus Simulator SIM Korlantas Polri, sedangkan KPK wajib melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk berkoordinasi dan supervisi yang dapat dilanjutkan melalui proses pengambil alihan perkara sesuai ketentuan pasal 9 dan 10 UU KPK. Jika KPK akan menggunakan pasal 50 ayat (4) UU KPK, merupakan pengecualian dari ketentuan ayat (1), sehingga tidak terjadi proses pengambilalihan perkara, namun yang terjadi adalah penghentian penyidikan oleh penyidik selain penyidik KPK. Memahami dan melaksanakan pasal 50 ayat (4) dimaksudkan bila pelaksanaannya bersamaan, yaitu dilihat dari tanggal pelaksanaan penyidikannya, artinya KPK belum mendapat laporan dari Penyidik lainnya, sehingga tidak dibutuhkan proses koordinasi dan supervisi, penyidik selain KPK wajib menghentikannya. Menghentikan penyidikan yang diperintahkan oleh UU KPK ini bukan dimaksudkan mengeluarkan SP 3 (Surat Printah Penghentian Penyidikan) sebagaimana ketentuan KUHAP, tetapi menghentikan karena penyidikannya telah dilakukan oleh penyidik lain, yaitu penyidik KPK. Namun KPK tidak dapat menggunakan proses Penyelidikan yang telah dilakukan jauh sebelum penyidik polri melakukan penyidikan yaitu sejak bulan Januari, sebab penyidikan KPK tidak termasuk Penyelidikan,. Namun kenyataannya presiden dengan kekuasaannya telah memerintahkan kepada kapolri untuk menyerahkan penyidikan kasus dimaksud kepada KPK, untuk kepantasan. Hal ini menjadi
rancu dan bias, karena prosedur hukum ditanggalkan, dikalahkan oleh kekuasaan. Independensi diinjak-injak, sehingga penyidik polri kehilangan pijakan, lalu berpaling ke Kejaksaan Agung, tapi Jaksa Agung cuci tangan dengan menolak, karena masih proses penyidikan. Buah simala kama harus ditelankah atau dibuang ? semua sama saja penegakan hukum sudah mati, proses penyidikan yang diatur oleh karya agung bangsa berupa KUHAP telah diabaikan. Kegamangan ini sebagai buah ketidak beranian mempertahankan independensinya, sehingga masyarakat yang dikorbankan, tidak jelas apakah penyidikan oleh polri itu sah atau tidak, dan pasti merupakan ladang pertarungan yang menarik dan menggairahkan bagi pengacara yang berwawasan. Ada beberapa hal yang perlu diperdebatkan sebagai akibat pidato dan printah presiden tentang penyerahan penanganan perkara Simulator Korlantas Polri kepada KPK, dari kewenangan polri sampai tindak lanjut oleh KPK. Dari uraian terdahulu, masalah kewenangan penyidik polri dalam penanganan kasus dimaksud, jawabannya adalah pasti berwenang, karena yang disebut penyidik yang berwenang menangani perkara korupsi oleh UU KPK, adalah penyidik polri dan penyidik kejaksaan. Namun karena polri sekalipun sudah independen, tapi pengalaman dibawah ABRI yang punya kata kunci “Siap Laksanakan” telah mengkebiri kemandiriannya. Karena kewenangannya itu maka pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan sesuai prosedur yang diatur oleh pasal 9 jo pasal 10 UU KPK, dengan asumsi penyidikan oleh penyidik polri dilakukan terlebih dahulu dan sesuai pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU KPK, diluar itu adalah tidak sah. Pengambilalihan diluar prosedur tersebut, yaitu akibat dari pidato dan printah presiden akan menyulitkan penyidik polri di KPK itu sendiri, termasuk kesulitan menentukan Laporan Polisi yang akan digunakan, apakah yang dibuat oleh polri atau yang ada di KPK. Disamping itu menyangkut juga masalah upaya paksa oleh penyidik polri yang telah dilakukan seperti Penangkapan, penahanan, penyitaan, pemeriksaan dan kegiatan lain yang pernah dilakukan. Apabila ini dinyatakan tidak sah, maka seluruh proses penyidikan, dan nanti penuntutan dan peradilan harus dibatalkan. Kegaduhan yang terjadi sebagai dampak pidato presiden yang menaikkan popularitas SBY dan partai democrat, pada akhirnya menjadi kendala besar penanganan kasus oleh KPK, karena tidak jelas akan memualinya dari mana. Apakah dari proses penyelidikan yang telah lama dimulai oleh KPK, ataukah dari proses penyidikan Polri, karena bisa jadi cara pandang,
focus perkara atau keterlibatan para pelaku, masing-maswing melihatnya dengan cara yang berbeda. Sebagai contoh, Saksi DS ternyata Tersangka di KPK, adalah perbedaan persepsi, bahkan mungkin latar belakang dan sudut pandang yang mereka lakukan. Disamping itu proses yang mana saja yang dijadikan titik awal, sangat rentan dengan pelanggaran prosedur, karena mau tidak mau, penyidikan itu harus berlandaskan pidato dan printah presiden, yang nyatanyata tidak ada aturan hukum acara pidananya, baik di UU Kpk, maupun dalam KUHAP.
REKOMENDASI Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis berpendapat, KPK wajib menindak lanjuti pidato presiden dengan melaksanakan UU KPK, yaitu melalui pelaksanaan pengambil alihan perkara berdasarkan pasal 50 ayat (3) UU KPK dan sesuai prosedur pasal 9 dan 10 jo pasal 6 huruf c UU KPK. Selanjutnya Kapolri melaksakan printah presiden sesuai pidato presiden setelah menerima surat permintaan pengambil alihan perkara oleh KPK sesuai prosedur UU KPK di atas, sehingga perjalanan kasus dimaksud menjadi sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku di negeri ini. Apabila KPK bersikukuh menggunakan pasal 50 ayat (4), maka kapolri mempunyai 2 (dua) pilihan, yaitu : 1. Mempertahankan independensinya dengan cara menolak printah presiden, walaupaun ini membutuhkan keberanian yang super, karena menyangkut loyalitas yang sudah tertanam dan pembinaan karier anggota polri, atau 2. Melaksanakan printah presiden dengan cara penghentian penyidikan dengan alasan printah presiden, tanpa menyerahkan berkas perkara, barang bukti dan para tersangka kepada KPK, sebaliknya membebaskan para tersangka demi hukum. Hal ini dimungkinkan karena printah presiden adalah penanganan kasus sepenuhnya dalam satu tangan yaitu KPK, dan tidak ada printah untuk menyerahkan Berkas Perkaranya kepada KPK.
sekian
IKTUT SUDIHARSA, SH, MSI./ Penulis merupakan Advokat Peradi Penulis adalah salah satu Tim perancang UU KPK dari unsur POLRI Penulis pernah menjabat sebagai Direktur Hukum PPATK dan Pimpinan LPSK Penulis sebelumnya adalah polisi dengan pangkat terakhir KOMBES POL