TESIS
KORELASI UPPER LIP BITE TEST (ULBT) DENGAN MALLAMPATI SEBAGAI PREDIKTOR KESULITAN INTUBASI DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR
RENOL HAMONANGAN SIMATUPANG
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
KORELASI UPPER LIP BITE TEST (ULBT) DENGAN MALLAMPATI SEBAGAI PREDIKTOR KESULITAN INTUBASI DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR
RENOL HAMONANGAN SIMATUPANG NIM 1014108104
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
KORELASI UPPER LIP BITE TEST (ULBT) DENGAN MALLAMPATI SEBAGAI PREDIKTOR KESULITAN INTUBASI DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Biomedik pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana
` RENOL HAMONANGAN SIMATUPANG NIM 1014108104
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 5 JANUARI 2015
Pembimbing I,
Pembimbing II,
dr. IB. Gde Sudjana, SpAn, KAO, M.Si NIP. 19550711 198312.1.001
dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, SpAn.KAR NIP .19730123 200801.1.006
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana
Prof.Dr.dr.Wimpie I Pangkahila, SpAnd,FAACS Sudewi, SpS(K) NIP. 194612131971071001
Prof.Dr.dr.A.A. Raka NIP. 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 5 Januari 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, Nomor 029/ UN. 14.4/ HK/ 2014 Tertanggal 2 Januari 2015
Pembimbing I
:
dr. Ida Bagus Gde Sudjana, SpAn, MSi
Pembimbing II
:
dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, SpAn. KAR
Penguji
:
1. Prof. Dr. dr. Made Wiryana, SpAn, KIC, KAO 2. dr. I Ketut Sinardja, SpAn, KIC 3. dr. I Made Subagiartha, SpAn, KAKV. SH
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas anugerah-Nya, tugas penyusunan tesis ini dapat terselesaikan. Karya tulis ini selain merupakan suatu karya akhir juga dilatarbelakangi suatu keinginan dan harapan bagi perkembangan keilmuan di bidang Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif. Kepada Prof. Dr. dr.Ketut Suastika, SpPD, KEMD, selaku Rektor Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas perkenannya memberikan kesempatan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialis di Universitas Udayana. Kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT(K), MKes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas perkenannya memberikan kesempatan menjalani dan menyelesaikan pendidikan spesialis di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Kepada dr. I Nyoman Semadi, SpB, SpBTKV,selaku Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis mampu menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis ini. Kepada dr. Anak Ayu Sri Saraswati, MKes, selaku Direktur Utama RSUP Sanglah, penulis menyampaikan terimakasih atas kesempatan yang diberikan untuk menjalani pendidikan dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar.
Kepada Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, SpS(K), selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, penulis menyampaikan terima kasih karena telah diberikan kesempatan untuk menjalani program magister pada program studi ilmu biomedik, program pascasarjana Universitas Udayana. Kepada dr. I Ketut Sinardja, SpAn, KIC, selaku Kepala Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya atas bimbingan, inspirasi dan motivasi yang telah diberikan selama penulis mengikuti program pendidikan dokter spesiali sini. Kepada dr. Ida Bagus Gde Sujana, SpAn, MSi, selaku Sekretaris Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, serta selaku pembinbing satu, penulis mengucapkan terimakasih dan rasa hormat setinggi-tingginya atas bimbingan, semangat, inspirasi dan motivasi baik selama penulis menyusun karya akhir ini maupun selama penulis mengikuti program pendidikan dokter spesialis ini. Kepada Prof. Dr. dr. Made Wiryana, SpAn, KIC, KAO, selaku Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya atas keteladanan dan bimbingan yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan tesis dan menempuh program pendidikan dokter spesialis ini. Kepada dr. I Made Gede Widnyana, SpAn, MKes, KAR, selaku Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima
kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya atas bimbingan yang telah diberikan selama penulis menempuh program pendidikan dokter spesialis ini. Kepada dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, SpAn.KAR, selaku pembimbing dua, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya atas bimbingan, semangat, inspirasi dan motivasi yang telah diberikan dalam penulisan dan penyusunan karya akhir ini. Kepada dr. I Wayan Sukra, SpAn, KIC, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kemurahan hatinya dengan tidak mengenal lelah memberikan bimbingan dan landasan berpikir tentang ilmu dasar anestesi. Kepada semua guru: dr. I Made Subagiartha, SpAn, KAKV, SH; dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen, SpAn, KAR; dr. I Gede Budiarta, SpAn, KMN; Dr. dr. I Wayan Suranadi, SpAn, KIC; Dr. dr.I Putu Pramana Suarjaya, SpAn, MKes, KNA, KMN; dr.Putu Agus Surya Panji, SpAn, KIC; dr. I Wayan Arya biantara, SpAn, KIC; dr. I Ketut Wibawa Nada, SpAn, KAKV; dr. Dewa Ayu Mas Shintya Dewi, SpAn; dr. I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa, SpAn, KAR; dr. IGAG Utara Hartawan, SpAn, MARS; dr.Pontisomaya Parami, SpAn, MARS; dr. I Putu Kurniyanta, SpAn; dr. Kadek Agus Heryana Putra, SpAn; dr. Cynthia Dewi Sinardja, SpAn, MARS; dr. Made Agus Kresna Sucandra, SpAn; dr. Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan, SpAn, MKes dan dr. Tjahya Aryasa EM, SpAn, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya atas bimbingan yang telah diberikan selama menjalani program pendidikan dokter spesialis ini. Kepada dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid, selaku pembimbing statistik, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan statistik dalam penyusunan penelitian ini. Kepada semua senior dan rekan–rekan residen anestesi, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kerjasama yang baik selama penulis menjalani program pendidikan dokter spesialis ini. Kepada Ibu Ni Ketut Santi Diliani, SH dan seluruh staf karyawan di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima kasih atas semua bantuannya selama menjalani program pendidikan dokter spesialis ini, kepada segenap penata anestesi, paramedis dan seluruh karyawan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu selama proses pendidikan ini. Kepada kedua orang tua, Bapak A. Simatupang dan Ibu St. N. br. Simanungkalit (Alm.) yang telah merawat dan membesarkan penulis dengan kasih sayang yang tanpa pamrih serta penuh kesabaran memberikan dukungan semangat dan doa supaya penulis dapat menjalani dan menyelesaikan studi ini dengan baik, penulis menghaturkan terima kasih dan rasa hormat yang sebesar-besarnya. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Istri tercinta, Lestari Naomi Lydia Pandiangan, S.si, M.si serta anakku terkasih Maleakhi Joseph Samuel Simatupang atas pengertian dan pengorbanan yang diberikan selama penulis menjalani masa pendidikan. Serta terima kasih dan rasa hormat yang sebesar-besarnya kepada seluruh pasien yang menjadi “sumber ilmu” selama penulis menjalani proses pendidikan spesialisasi ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan berkat dan rahmat-Nya kepada semua pihak yang tertulis di atas maupun yang tidak tertulis, yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis selama proses pendidikan dan penyusunan tesis ini. Denpasar, Desember 2014 dr. Renol Hamonangan Simatupang
ABSTRAK KORELASI UPPER LIP BITE TEST (ULBT) DENGAN MALLAMPATI SEBAGAI PREDIKTOR KESULITAN INTUBASI DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR Renol Hamonangan Simatupang Penyebab terbanyak dalam kasus kesulitan intubasi diakibatkan oleh karena kesulitan dalam memvisualisasi laring. tidak adanya faktor anatomi tunggal yang dapat menentukan kemudahan dalam melakukan laringoskopi sehingga diperlukan kombinasi beberapa tes atau prediktor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akurasi dari kombinasi upper lip bite test (ULBT) dengan mallampati untuk memprediksi sulit visualisasi laring (DVL, difficult visualization of the larynx) yang menjadi faktor utama kesulitan intubasi. Metode: penelitian ini menggunakan uji diagnostik yang dilaksanakan di Instalasi Bedah Sentral (IBS) dan Instalasi Rawat Darurat (IRD) RSUP sanglah Denpasar periode November sampai Desember 2014. Dua jenis pemeriksaan praanestesi pada subyek penelitian ini dikorelasikan dengan skor CormackLehane sebagai baku emas. Data dianalisis dengan uji diagnostik menggunakan tabel 2x2 dan kurva ROC (Receiver Operating Characteristic). Kami mengkorelasikan secara paralel dua prediktor sulit intubasi pada 322 pasien dewasa yang menjalani anestesi umum. Pada analisis data di dapat korelasi yang baik dari ULBT dan Mallampati dengan nilai sensitivitas 73,51%, Spesifisitas 96,5%, Nilai Prediksi Positif (NPP) 84,7% dan Nilai Prediksi Negatif (93,2%). Nilai AUC pada kurva ROC didapatkan 85% (95% IK; 79,6% - 90,4%). Kesimpulan: ULBT dan Mallampati memiliki korelasi yang baik sebagai prediktor kesulitan intubasi. Kata kunci: ULBT, skor Mallampati, Cormack-Lehane, prediktor sulit intubasi
ABSTRACT CORRELATION OF UPPER LIP BITE TEST ( ULBT ) WITH MALLAMPATI AS A PREDICTOR OF DIFFICULT INTUBATION IN SANGLAH HOSPITAL Renol Hamonangan Simatupang The most common cause of difficult intubation because of difficulty in visualizing of the larynx . the absence of a single anatomic factors that can determine to do Laryngoscopy easily, so it needs combination some tests or predictors . This study aims to determine the accuracy of a combination of the upper lip bite test ( ULBT ) with Mallampati to predict difficult visualization of the larynx (DVL) , difficult visualization of the larynx is a major factor difficult intubation . Methods : This study used a diagnostic test that is carried out in the Central Operating Installation ( IBS ) and the Emergency installation of Sanglah Hospital period November to December 2014. Two types praanestesi examination on the subject of this study correlated with the Cormack - Lehane score as the gold standard . Data were analyzed by using a diagnostic test 2x2 table and ROC curve (Receiver Operating Characteristic). We correlate the two predictors in parallel difficult intubation in 322 adult patients undergoing general anesthesia . In the data analysis, there are good correlation of ULBT and Mallampati with sensitivity 73.51 %, specificity 96.5 %, positive predictive value ( NPP ) 84.7 % and a negative predictive value (93.2 %). AUC values from ROC curve obtained 85 % ( 95 % CI ; 79.6 % - 90.4 % ). Conclusion : ULBT and Mallampati have good correlation as a predictor of difficult intubation. Keywords : ULBT , Mallampati score , Cormack - Lehane , Predictor of difficult intubation.
DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM ..........................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ....................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................... .......
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT.............................................................. .
v
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................
vi
UCAPAN TERIMA KASIH.............................................................................
vii
ABSTRAK .......................................................................................................
xii
ABSTRACT.....................................................................................................
xiii
DAFTAR ISI ....................................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xix
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xx
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................
xxi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xxiii BAB I
.
PENDAHULUAN ............................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...........................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................
5
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................
5
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................
5
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................
5
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................
6
1.4.1 Bagi Peneliti ....................................................................
6
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan ................................................
6
1.4.3 Bagi Pelayanan Masyarakat ............................................
6
BAB II KAJIAN PUSTAKA .........................................................................
7
2.1 Anatomi Jalan Napas Atas............................................... ..........
10
2.1.1 Hidung Dan Mulut................................................ ..........
11
2.1.2 Faring................................................................... ...........
11
2.1.3 Laring...............................................................................
12
2.1.4 Persarafan ........................................................................
18
2.1.5 Suplai Darah ....................................................................
20
2.2 Evaluasi Jalan Napas .................................................................
21
2.2.1 Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik .................................... 21 2.2.2 Ruang Orofaringeal ........................................................... 22 2.2.3 Sub Mandibular Complience ........................................... 23 2.2.4 Body Hiatus ....................................................................... 23 2.2.5 Membran Krikoid Dan Krikotirotomi ............................... 24 2.3 Prediktor Kemungkinan Sulit Intubasi ........................................ 25 2.3.1 LEMON atau MELON...................................................... 25 2.3.2 LM-MAP ........................................................................... 28 2.3.3 Fours D (4D) ..................................................................... 29 2.3.4 Wilson Risk Score ............................................................. 29 2.3.5. Magboul 4MS ................................................................... 30 2.4 Skor Cormack-Lehane ................................................................. 30 2.5 Upper Lip Bite Test (ULBT) ....................................................... 31
2.6 Laringoskop Macintosh ............................................................... 32 2.7 Posisi Pemeriksaan ...................................................................... 35 2.8 Penelitian Diagnostik ................................................................... 35 2.8.1 Desain Penelitian Diagnostik ............................................ 36 2.8.2 Baku Emas (Gold Standard) ............................................. 37 2.8.3 Indeks ................................................................................ 38 2.8.4 Analisa Penelitian Diagnostik ........................................... 38 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN .................................................................. 40 3.1 Kerangka Berpikir ....................................................................... 40 3.2 Kerangka Konsep ........................................................................ 42 3.3 Hipotesis Penelitian ..................................................................... 42 BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................... 43 4.1 Rancangan Penelitian .................................................................. 43 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 43 4.3 Penentuan Sumber Data............................................................... 43 4.3.1 Populasi Target.................................................................. 43 4.3.2 Populasi Terjangkau .......................................................... 43 4.3.3 Tehnik Pengambilan Sampel............................................. 44 4.4 Perhitungan Besar Sampel ........................................................... 44 4.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ....................................................... 46 4.5.1 Kriteria Inklusi .................................................................. 46 4.5.2 Kriteria Eksklusi................................................................ 46
4.6 Alat Dan Bahan Kerja.................................................................. 47 4.6.1 Alat yang Digunakan......................................................... 47 4.6.2 Bahan Yang Digunakan .................................................... 47 4.7 Cara Kerja .................................................................................... 47 4.8 Alur Penelitian ............................................................................. 49 4.9 Definisi Operasional Variabel ..................................................... 50 4.10 Analisis Data................................................................................ 52 4.11 Etika Penelitian ........................................................................... 53 BAB V HASIL PENELITIAN ......................................................................... 54 5.1 Data Karakteristik sampel ........................................................... 54 5.2 Analisis Uji Diagnostik ............................................................... 55 5.2.1 Analisis Skor ULBT Sebagai Prediktor Kesulitan Intubasi .............................................................................. 58 5.2.2 Analisis Skor Malampati Sebagai Prediktor Kesulitan Intubasi .............................................................................. 59 5.2.3 Analisis Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara Paralel .................................................................... 61 5.2.4 Analisis Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara Seri ......................................................................... 63 BAB VI PEMBAHASAN ................................................................................. 65 6.1 ULBT sebagai prediktor kesulitan intubasi.................................. 65 6.2 Mallampati sebagai prediktor kesulitan intubasi.......................... 67 6.3 Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara Paralel .. 68
6.4 Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara Seri ....... 69 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 72 7.1 Simpulan ...................................................................................... 72 7.2 Saran ........................................................................................... 72 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 73 LAMPIRAN
........................................................................................... 76
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Algoritme Kesulitan Jalan Napas ASA .........................................
9
Gambar 2.2 Anatomi Jalan Napas Atas ............................................................ 11 Gambar 2.3 Struktur Pembentuk Laring ........................................................... 14 Gambar 2.4 Jaras Sensorik Jalan Napas ............................................................ 19 Gambar 2.5 Derajat Skor MallampatI ............................................................... 27 Gambar 2.6 Skor Derajat Cormack-Lehane ...................................................... 31 Gambar 2.7 Kelas Upper Lip Bite Test (ULBT)............................................... 32 Gambar 2.8 Blade Laringoskop macintosh ....................................................... 34 Gambar 3.1 Kerangka Konsep .......................................................................... 42 Gambar 4.1 Alur Penelitian............................................................................... 49 Gambar 5.1 Kurva ROC Skor ULBT Terhadap Skor Cormack-Lehane .......... 59 Gambar 5.2 Kurva ROC Skor Mallampati Terhadap Skor Cormack-Lehane .. 61 Gambar 5.3 Kurva ROC Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara Paralel Terhadap Skor Cormack-Lehane............................ 62 Gambar 5.4 Kurva ROC Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara Seri Terhadap Skor Cormack-Lehane ................................. 64
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Skor Magboul 4 MS .......................................................................... 30 Tabel 5.1 Gambaran karakteristik sampel ......................................................... 55 Tabel 5.2 Kategori korelasi prediktor secara paralel ........................................ 56 Tabel 5.3 Rekategori korelasi prediktor secara paralel ..................................... 56 Tabel 5.4 Kategori korelasi prediktor secara seri.............................................. 57 Tabel 5.5 Gambaran karakteristik sampel ......................................................... 57 Tabel 5.6 Tabel 2 x 2 Skor ULBT..................................................................... 58 Tabel 5.7 Analisis ROC Skor ULBT ................................................................ 59 Tabel 5.8 Tabel 2 x 2 Skor Mallampati............................................................. 60 Tabel 5.9 Analisis ROC Skor Mallampati ........................................................ 61 Tabel 5.10 Tabel 2 x 2 Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara Paralel ............................................................................................... 62 Tabel 5.11 Analisis ROC Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara Paralel Terhadap Skor Cormack-Lehane ........................................... 63 Tabel 5.12 Tabel 2 x 2 Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara Seri .................................................................................................... 63 Tabel 5.13 Analisis ROC Korelasi Skor ULBT Dengan Skor Mallampati Secara Seri Terhadap Skor Cormack-Lehane ................................................ 64
DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA
SINGKATAN 4D
:
Dentition Distortion Disproportion Dysmobility
4MS
:
Mallampati Measurement Movement Malformation
ASA
:
American Society of Anesthesiologist
AUC
:
Area Under the Curve
BB
:
Berat Badan
CI
:
Confidence Interval
dkk
:
dan kawan-kawan
DVL
:
Difficult Visualization of the Larynx
EKG
:
Elektrokardiografi
EVL
:
Easy Visualization of the Larynx
FRC
:
Functional residual Capacity
G
:
Gauge
HNM
:
Head and Neck Movement
IIG
:
Inter-Incisor Gap
IL
:
Internal Laringeal
IMT
:
Indeks Massa Tubuh
KG
:
Kilogram
LEMON
:
Look Evaluate Mallampati Obstruction Neck
LITBANG :
Penelitian dan Pengembangan
LMA
Laringeal Mask Airway
:
LM-MAP
:
Look Mallampati Measure Atlanto Pathological
MAC
:
Minimal Aleveoli Consentration
Mg
:
Milligram
MMT
:
Modified Mallampati Test
N
:
Besar Sampel
NPP
:
Nilai Prediksi Positif
NPN
:
Nilai Prediksi Negatif
p
:
Presisi
RL
:
Recurrent Laringeal
RHTMD
:
Ratio of height to thyromental distance
ROC
:
Receiver Operating Characteristic
RSUP
:
Rumah Sakit Umum Pusat
SD
:
Standar Deviasi
Sen
:
Sensitivitas
SL
:
Superior Laringeal
TMD
:
Thyromental Distance
ULBT
:
Upper Lip Bite Test
VB
:
Variabel Bebas
Zα
:
Tingkat Kemaknaan
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 : Surat Keterangan Kelaikan Etik ............................................
76
Lampiran 2 : Surat Ijin Uji Klinik ..............................................................
77
Lampiran 3 : Jadwal Penelitian ...................................................................
78
Lampiran 4 : Rincian Informasi ..................................................................
79
Lampiran 5 : Formulir Persetujuan Tindakan .............................................
81
Lampiran 6 : Pencatatan Hasil Evaluasi Penelitian.....................................
82
Lampiran 7 : Tabulasi Data Penelitian ........................................................
89
Lampiran 8 : Hasil Analisis Data ................................................................
101
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Manejemen jalan napas merupakan suatu tugas yang sangat penting dan
menjadi tanggung jawab dasar bagi seorang anesthesiologis. Pertukaran gas yang tidak adekuat akibat kegagalan mempertahankan jalan napas dapat berakibat fatal bagi keselamatan pasien. Hingga saat ini dalam manejemen jalan napas, intubasi endotrakea dengan menggunakan laringoskop menjadi gold standard untuk mempertahankan keadekuatan jalan napas. Tehnik intubasi endotrakea ini dapat membahayakan keselamatan pasien bila tidak dilakukan antisipasi yang baik dan benar sebelumnya (Stringer KR,dkk, 2002). Kesulitan dalam memvisualisasi laring (DVL, Difficult visualization of the larynx) selama proses laringoskopi merupakan salah satu hal yang dapat menggagalkan intubasi endotrakea (Benumof JL, 1991). Penyebab terbanyak dalam kasus kesulitan intubasi diakibatkan oleh karena kesulitan dalam memvisualisasi laring. Hingga saat ini, pengklasifikasian untuk memvisualisasi laring masih menggunakan skor dari Cormack-Lehane. Telah dilaporkan bahwa insiden kesulitan laringoskopi ataupun intubasi endotrakea pada pasien yang akan menjalani pembiusan bervariasi dari 1,5% sampai 8% (Mohan K. dkk, 2013). dimana dilaporkan untuk kesulitan intubasi sebesar 1-4% pada Cormack Lehane derajat III, sedangkan kegagalan intubasi sebesar 0,05-0,35% pada derajat III dan IV (Benumof JL, 1994).
Sementara Insiden terjadinya kesulitan dalam visualisasi laring (DVL) pada penelitian yang dilakukan Eka, 2014 di RSUP sanglah didapatkan angka sebesar 15,7%. Lebarnya variasi yang didapatkan mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya umur dan perbedaan etnis atau penggunaan laringoskop yang berbeda (Eka, 2014). American Society of Anesthesiologist (ASA) tahun 2005 telah melaporkan masalah kerusakan otak permanen dan kematian pada anestesi paling banyak disebabkan oleh masalah pada jalan napas (32% dari seluruh kerusakan otak permanen dan kematian yang terkait anestesi) dimana kesulitan intubasi menjadi penyebab terbesar pertama dari seluruh masalah pada jalan napas (26%) (Lohom G, 2003). Adanya data yang melaporkan besarnya biaya yang ditimbulkan oleh masalah yang terjadi akibat kesulitan intubasi menjadi tantangan yang harus benar-benar diperhatikan oleh anesthesiologis. Dari data tahun 1961-1996 Domino melaporkan pada ASA Closed Claims Database terdapat 266 kasus (6%) yang berkaitan dengan jalan napas dengan rerata klaim pembayaran sebesar $26.250 dimana 103 kasus (39%) diantaranya merupakan masalah kesulitan intubasi. Besarnya biaya ini menjadi masalah baru bagi kita bila kita tidak mengantisipasi dengan baik sebelumnya (Cheney, FW, 2002). Meskipun telah banyak kemajuan yang sudah dibuat, dan telah banyak metode yang
telah teruji digunakan untuk menjawab teka-teki kesulitan
laringoskopi intubasi, dimana diantaranya : tes mallampati (MMT, Modified Mallampati Test), inter-incisor gap (IIG), thyromental distance (TMD), head and
neck movement (HNM), ratio of height to thyromental distance (RHTMD) dan upper lip bite test (ULBT), namun semuanya itu tidak boleh dipercaya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh latar belakang dari karateristik populasi, ras, suku, budaya serta negara yang berbeda-beda dimana studi tersebut dilakukan. Kerangka wajah dan jaringan lunak pada berbagai ras di dunia memiliki variasi susunan yang berbeda. Hal ini diperkirakan berpengaruh terhadap hasil prediktor yang baik untuk suatu ras. Sehingga prediksi intubasi yang dilakukan di berbagai negara juga menghasilkan variasi yang sangat banyak. Saat ini penilaian dengan mallampati dan upper lip bite test (ULBT) dipercaya sebagai tehnik yang mudah dan sederhana dilakukan untuk memprediksi kesulitan laringoskopi intubasi endotrakeal (ZH Khan, dkk, 2009). Penilaian mallampati telah banyak digunakan sebagai prediktor kesulitan intubasi.
Penilaian berdasarkan struktur anatomi rongga mulut ini dipercaya
sebagai penilaian yang cukup mudah dalam meprediksi kesulitan laringoskopi intubasi (Lee A,dkk, 2006). Namun dari beberapa studi menyimpulkan nilai dari skrining tes mallampati sebagai prediktor kesulitan intubasi adalah terbatas apabila digunakan sebagai prediktor tunggal. Pada tahun 2011, Lundstrom dkk. Mempublikasikan sebuah penelitian meta-analisis, yang telah menganalisa 55 studi dan melibatkan 177.088 pasien, dimana didapatkan hanya 35% pasien dengan kesulitan intubasi yang diidentifikasi sebagai mallampati III atau IV. Nilai sensitivitas dari penelitan meta-analisis ini 0,35 dan nilai spesifisitas 0,39 dengan area dibawah kurva ROC (receiver operating characteristic) sebesar 0,75 (LH.Lundstrom,dkk, 2011). Pada penelitian meta-analisis lainnya, yang
dipublikasikan pada tahun 2005, Shiga telah menganalisa 31 studi dengan melibatkan 41.193 pasien terhadap uji Mallampati dan mendapatkan
nilai
sensitivitas 0,49 dan nilai spesifisitas 0,86 dan area di bawah kurva ROC (receiver operating characteristic) 0,82, dengan prevalensi sulit intubasi 5,7 % (IK 95%, OR 2,0) (Toshiya Shiga, 2005). Upper lip bite test (ULBT) dipercaya sebagai tehnik terbaru yang sangat sederhana. Tehnik ini diperkenalkan oleh Khan pada tahun 2003. Timbulnya tehnik ini didasari pada jarak dan keleluasaan daripada pergerakan mandibula dengan komposisi daripada gigi yang memiliki peranan yang sangat penting dalam memfasilitasi laringoskopi intubasi (ZH Khan, dkk, 2009). Salimi pada tahun 2008 mempublikasikan hasil penelitian terhadap 350 pasien, dan menemukan bahwa upper lip bite test (ULBT) merupakan prediktor yang baik untuk kesulitan laringoskopi intubasi dengan sensitivitas 70,0% dan spesifisitas 93,3%, positive predivtive value 39,0% dan negative predictive value 98,1% serta accuracy mencapai 92,6%. Sementara itu Jain Shah dkk. pada tahun 2013 telah mempublikasikan hasil penelitian terhadap 480 pasien dewasa dan menemukan upper lip bite test (ULBT) sebagai prediktor yang memiliki sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value, negative predictive value, dan likehood ratio yang sangat tinggi (74,63%; 91,53%; 58,82%; 95,7%; 31,765) dibandingkan dengan multivariasi airway assessment test lainnya (P.Jain Shah, 2013). Dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya didapat kesimpulan bahwa nilai dari tes skrining untuk sulit intubasi adalah terbatas bila hanya menggunakan satu tes tunggal, dengan kata lain tidak ada faktor anatomi tunggal yang dapat
menentukan kemudahan dalam melakukan laringoskopi sehingga diperlukan kombinasi beberapa tes atau prediktor untuk menambah nilai diagnosis (Rudim Domi, 2009). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akurasi dari kombinasi upper lip bite test (ULBT) dengan skor mallampati untuk memprediksi sulit visualisasi laring (DVL, difficult visualization of the larynx) yang nantinya akan diterapkan pada pasien-pasien di RSUP Sanglah Denpasar
1.2
Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka rumusan
masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Apakah ULBT dan Mallampati secara sendiri-sendiri akurat digunakan sebagai model diagnostik prediktor sulit intubasi? dan Apakah Korelasi ULBT dan Mallampati akurat digunakan sebagai model diagnostik prediktor sulit intubasi?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui tingkat akurasi indikator dari korelasi ULBT dan mallampati sebagai prediktor dalam menilai kesulitan visualisasi laring pada pasien-pasien yang menjalani pembedahan di RSUP Sanglah Denpasar. 1.3.2 Tujuan Khusus 1.
Mengetahui sensitifitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif dan luas daerah di bawah kurva ROC (Receiver Operating Characteristic) dari ULBT dan mallampati sebagai prediktor sulit
visualisasi laring pada laringoskopi direk pada pasien-pasien yang akan menjalani proses pembedahan di RSUP Sanglah Denpasar. 2.
Mengetahui pertambahan nilai diagnostik prediktor bila dilakukan penggabungan antara prediktor ULBT dengan mallampati.
3.
Mengetahui model diagnostik yang dianjurkan untuk memprediksi sulit visualisasi laring
1.4
Manfaat penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti Penelitian ini akan menambah pengetahuan dan pengalaman melakukan penelitian, sekaligus menambah kemampuan manajerial serta komunikasi interpersonal dengan masyarakat pada umumnya. 1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan Diharapkan dapat menunjukkan data dan informasi yang berharga tentang pemeriksaan praanesthesi rutin yang akurat dalam mengantisipasi kemungkinan sulit intubasi terhadap pasien-pasien yang akan menjalani pembedahan dengan anestesi umum di RSUP Sanglah Denpasar. Data yang dihasilkan juga bisa menjadi data dasar atas penelitian-penelitian selanjutnya yang memiliki hubungan dengan penelitian ini. 1.4.3 Bagi Pelayanan Masyarakat Diharapkan dapat meningkatkan antisipasi kemungkinan sulit intubasi dan mencegah kejadian komplikasi akibat ketidaksiapan menghadapi kegagalan intubasi sehingga kualitas pelayanan anestesia pada umumnya dan keamanan pada pasien khususnya dapat ditingkatkan.
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA
Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anestesi umum diperlukan teknik intubasi endotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah suatu tehnik memasukkan suatu alat berupa pipa ke dalam saluran pernafasan bagian atas. Tujuan dilakukannya intubasi endotrakeal untuk mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi, mencegah terjadinya aspirasi lambung pada keadaan tidak sadar, tidak ada refleks batuk ataupun kondisi lambung penuh, sarana gas anestesi menuju langsung ke trakea, membersihkan saluran trakeobronkial. Untuk menjalankan anesthesia yang aman maka kompetensi yang paling penting adalah pengelolaan jalan napas (Hagberg dkk., 2005). Menurut ASA, Jalan nafas sulit (difficult airway) adalah dimana seorang ahli anesthesiologi yang berpengalaman dalam sebuah situasi klinis mengalami kesulitan dalam memberikan ventilasi sungkup muka dan kesulitan melakukan intubasi trakea ataupun mengalami situasi keduanya. Terjadinya morbiditas akibat anestesi (kerusakan gigi, aspirasi paru, trauma jalan nafas, trakeostomi tanpa antisipasi sebelumnya, anoxic brain injury, cardiopulmonary arrest dan kematian) merupakan akibat serius dari kesulitan atau kegagalan dalam manejemen jalan napas (Benumof, 1991; Cheney,2002; Hagberg dkk., 2005). Kesulitan ventilasi sungkup muka adalah suatu keadaan dimana seorang ahli
anesthesiologi
yang
tidak
didampingi
oleh
asisten
gagal
dalam
mempertahankan SpO2 lebih dari 90% dengan menggunakan oksigen 100% serta
ventilasi sungkup muka dengan tekanan positif dengan SpO2 lebih dari 90% sebelum dilakukan tindakan anesthesia atau keadaan dimana seorang ahli anesthesiologi tidak mampu untuk mencegah atau mengembalikan ventilasi yang tidak adekuat pada saat ventilasi sungkup muka tekanan positif tanpa didampingi asisten (Gal, 2005). Defenisi dari sulit intubasi (difficult tracheal intubation) itu sendiri adalah suatu keadaan dimana dibutuhkannya 3 kali kesempatan untuk berhasil memasukkan pipa endotrakea dengan laringoskop konvensional atau bila menggunakan satuan waktu maka sulit intubasi adalah keadaan dimana keberhasilan memasukkan pipa endotrakea memerlukan waktu lebih dari 10 menit (Latto, 1997). American Society of Anesthesiologist (ASA) tahun 2005 telah melaporkan masalah kerusakan otak permanen dan kematian pada anestesi paling banyak disebabkan oleh masalah pada jalan napas (32% dari seluruh kerusakan otak permanen dan kematian yang terkait anestesi) dimana kesulitan intubasi menjadi penyebab terbesar pertama dari seluruh masalah pada jalan napas (26%) (Lohom G, 2003). Adanya data yang melaporkan besarnya biaya yang ditimbulkan oleh masalah yang terjadi akibat kesulitan intubasi menjadi tantangan yang harus benar-benar diperhatikan oleh anesthesiologist.
Gambar 2.1. Algoritme kesulitan jalan napas (ASA, 2003).
Dari data tahun 1961-1996 Domino melaporkan pada ASA Closed Claims Database terdapat 266 kasus (6%) yang berkaitan dengan jalan napas dengan rerata klaim pembayaran sebesar $26.250 dimana 103 kasus (39%) diantaranya merupakan masalah kesulitan intubasi. Besarnya biaya ini menjadi masalah baru bagi kita bila kita tidak mengantisipasi dengan baik sebelumnya (Cheney, FW, 2002). Oleh karena itu, pengelolaan jalan napas yang baik merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan demi keselamatan pasien dalam menjalani operasi. Sehingga diperlukan pengetahuan anatomi dan fisiologi jalan napas dengan sebaik-baiknya serta kemampuan yang baik dalam mengevaluasi kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan jalan napas. Begitu juga dibutuhkan kemampuan yang baik dalam menggunakan alat-alat untuk tatalaksana jalan napas serta pemahaman untuk mengaplikasikan algorithm difficult airway management dari ASA.
2.1
Anatomi Jalan Napas Atas Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung
yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (parsoralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring.
Gambar 2.2. Anatomi jalan napas atas (Morgan, 2006).
2.1.1. Hidung dan mulut Hidung dan mulut merupakan jalan pertama udara memasuki tubuh. Dengan panjang dari lubang hidung ke nasofaring sekitar 10-14 cm pada orang dewasa. Fossa nasal dibatasi oleh konka inferior, media dan superior. Konka inferior membatasi ukuran tube yang dapat masuk ke lubang hidung bila dilakukan intubasi nasal. Setiap fossa nasal memiliki 60 cm area untuk menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk. (Applegate, 2004; Larson 2006).
2.1.2. Faring Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian
anterior kolum vertebra (Arjun S Joshi, 2011). Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007). Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring) (Arjun S Joshi, 2011). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, selaput lendir (mukosa blanket) dan otot (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007).
2.1.3. Laring Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas dan terletak setinggi vertebra cervicalis IV-VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi. Bentuk laring menyerupai limas segitiga terpancung dengan bagian atas lebih terpancung dan bagian atas lebih besar dari bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring sedangkan batas kaudal kartilago krikoid. Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang (os hioid) dan beberapa tulang rawan, baik yang berpasangan ataupun tidak. Komponen utama pada struktur laring adalah kartilago tiroid yang berbentuk seperti perisai dan
kartilagokrikoid. Os hioid terletak disebelah superior dengan bentuk huruf U dan dapat dipalpasi pada leher depan serta lewat mulut pada dinding faring lateral. Dibagian bawah os hioid ini bergantung ligamentum tirohioid yang terdiri dari dua sayap / alae kartilago tiroid. Sementara itu kartilago krikoidea mudah teraba dibawah kulit yang melekat pada kartilago tiroidea lewat kartilago krikotiroid yang berbentuk bulat penuh. Pada permukaan superior lamina terletak pasangan kartilago aritinoid ini mempunyai dua buah prosesus yakni prosesus vokalis anterior dan prosesus muskularis lateralis (Boies, 1997). Pada prosesus vokalis akan membentuk 2/5 bagian belakang dari korda vokalis sedangkan ligamentum vokalis membentuk bagian membranosa atau bagian pita suara yang dapat bergetar. Ujung bebas dan permukaan superior korda vokalis suara membentuk glotis. Kartilago epiglotika merupakan struktur garis tengah tunggal yang berbentuk seperti bola pimpong yang berfungsi mendorong makanan yang ditelan kesamping jalan nafas laring. Selain itu juga terdapat dua pasang kartilago kecil didalam laring yang mana tidak mempunyai fungsi yakni kartilago kornikulata dan kuneiformis (Boies, 1997)
2.1.3.1 Kartilago laring Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu : 1. Kelompok kartilago mayor, terdiri dari : Kartilago Tiroidea, 1 buah
Kartilago Krikoidea, 1 buah
Kartilago Aritenoidea, 2 buah
2. Kartilago minor, terdiri dari : Kartilago Kornikulata Santorini, 2 buah
Kartilago Kuneiforme Wrisberg, 2 buah
Kartilago Epiglotis, 1 buah (Ballenger, 1993)
Gambar 2.3. Struktur pembentuk laring (Morgan, 2006).
•
Kartilago Tiroidea Kartilago Tiroidea merupakan suatu kartilago hyalin yang membentuk
dinding anterior dan lateral laring, dan merupakan kartilago yang terbesar. Terdiri dari 2 sayap(alaetiroidea)berbentuk seperti perisai yang terbuka dibelakangnya tetapi bersatu di bagian depan dan membentuk sudut sehingga menonjol ke depan disebut Adam’s Apple.
Sudut ini pada pria dewasa kira-kira 90 derajat dan pada wanita 120 derajat. Diatasnya terdapat lekukan yang disebut thyroid notch atau ineiseura tiroidea, dimana di belakang atas membentuk kornu superior yang dihubungkan dengan os hyoid oleh ligamentum tiroidea, sedangkan di bagian bawah membentuk kornu inferior yang berhubungan dengan permukaan posterolateral dari kartilago krikoidea dan membentuk artikulasio krikoidea.Dengan adanya artikulasio ini memungkinkan kartilago tiroidea dapat terangkat ke atas. Di sebelah dalam perisai kartilago tiroidea terdapat bagian dalam laring, yaitu : pita suara, ventrikel, otot-otot dan ligamenta,kartilago aritenoidea, kuneiforme serta kornikulata (Ballenger, 1993). Permukaan luar ditutupi perikondrium yang tebal dan terdapat suatu alur yang berjalan oblik dari bawah kornu superior ketuberkulum inferior. Alur ini merupakan tempat perlekatan muskulus sternokleidomastoideus, muskulus tirohioideus danmuskulus konstriktor faringeus inferior (Ballenger, 1993). Permukaan dalamnya halus tetapi pertengahan antara incisura tiroidea dan tepi bawah kartilago tiroidea perikondriumnya tipis, merupakan tempat perlekatan tendokomisura
anterior.
Tangkai
epiglotis
melekat
1
cm
diatasnya
olehligamentum tiroepiglotika. Kartilago ini mengalami osifikasi pada umur 20– 30 tahun (Ballenger, 1993). •
Kartilago Krikoidea Kartilago ini merupakan bagian terbawah dari dinding laring. Merupakan
kartilago hialin yang berbentuk cincin stempel (signet ring) dengan bagian alasnya terdapat di belakang. Bagian anterior dan lateralnya relatif lebih sempit daripada
bagian posterior. Kartilago ini berhubungan dengan kartilago tiroidea tepatnya dengan kornu inferior melalui membrana krikoidea (konus elastikus) dan melalui artikulasio krikoaritenoidea. Di sebelah bawah melekat dengan cincin trakea I melalui ligamentum krikotiroidea. Pada keadaan darurat dapat dilakukan tindakan trakeostomi, krikotomi atau koniotomi pada konus elastikus (Ballenger, 1993). Kartilago krikoidea pada dewasa terletak setinggi vertebra servikalis VIVII dan pada anak-anak setinggi vertebra servikalis III-IV. Kartilago ini mengalami osifikasi setelah kartilago tiroidea. •
Kartilago Aritenoidea Kartilago ini juga merupakan kartilago hyalin yang terdiri dari sepasang
kartilago berbentuk piramid 3 sisi dengan basis berartikulasi dengan kartilago krikoidea, sehingga memungkinkan pergerakan ke medio lateral dan gerakan rotasi. Dasar dari piramid ini membentuk 2 tonjolan yaitu prosesus muskularis yang merupakan tempat melekatnya muskulus krikoaritenoidea yang terletak di posterolateral, dan di bagian anterior terdapat prosesus vokalis tempat melekatnya ujung posterior pita suara. Pinggir posterosuperior dari konus elastikus melekat ke prosesus vokalis. Ligamentum vokalis terbentuk dari setiap prosesus vokalis dan berinsersi pada garis tengah kartilago tiroidea membentuk tiga per lima bagaian membranosa atau vibratorius pada pita suara. Tepi dan permukaan atas dari pita suara ini disebut glottis (Scott, 1997). Kartilago aritenoidea dapat bergerak ke arah dalam dan luar dengan sumbu sentralnya tetap, karena ujung posterior pita suara melekat pada prosesus vokalis dari aritenoid maka gerakan kartilago ini
dapat menyebabkan terbuka dan tertutupnya glotis. Kalsifikasi terjadi pada dekade ke 3 kehidupan (Ballenger, 1993). •
Kartilago Epiglotis Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk dinding
anterior aditus laringeus tangkainya disebut petioles dan dihubungkan oleh ligamentum tiroepiglotika ke kartilago tiroidea di sebelah atas pita suara. Sedangkan bagian atas menjulur di belakang korpus hyoid ke dalam lumen faring sehingga membatasi basis lidah dan laring. Kartilago epiglotis mempunyai fungsi sebagai pembatas yang mendorong makanan ke sebelah laring (Ballenger, 1993). •
Kartilago Kornikulata Kartilago ini merupakan kartilago fibroelastis, disebut juga kartilago
Santorini dan merupakan kartilago kecil di atas aritenoid serta di dalam plika ariepiglotika (Ballenger, 1993). •
Kartilago Kuneiforme Merupakan kartilago fibroelastis dari Wrisberg dan merupakan kartilago
kecil yang terletak di dalam plika ariepiglotika (Ballenger, 1993).
2.1.3.2 Pita suara Pita suara menonjol dari dinding lateral laring ke arah tengah glottis. Pita suara ini diregangkan dan diatur posisinya oleh beberapa otot spesifik yang ada pada laring. Tepat disebelah dalam setiap pita terdapat ligament elastik yang kuat yang disebut sebagai ligamen vokalis. Ligamen ini melekat disebelah anterior dari kartilago tiroid yang besar. Disebelah posterior, ligamen vokalis terlekat pada
prosesus vokalis dari kedua kartilago krikoid. Pita suara dapat direganggkan baik oleh rotasi kartilago tiroid kedepan maupun oleh rotasi posterior dari kartilago aritenoid, yang diaktivasi oleh otot-otot yang meregang dari kartilago tiroid dan kartilago aritenoid ke kartilago krikod (Guyton and Hall, 2007). . 2.1.4
Persarafan Jalur saraf sensoris saluran nafas atas berasal dari saraf kranialis. Selaput
mukosa hidung bagian anterior diinervasi oleh cabang ophtalmikus (V1) dari saraf trigeminus (nervus ethmoidalis anterior) dan pada bagian posterior oleh cabang maxillaris (V2) (nervus sphenopalatina). Nervus palatina memberikan jaras sensoris dari nervus trigeminus pada permukaan superior and inferior palatum durum dan palatum molle. Nervus lingualis (cabang mandibularis (V3) nervus trigeminus) dan nervus glossofaring (saraf kranial kesembilan) menginervasi 2/3 anterior dan sepertiga posterior dari lidah. Cabang dari nervus facialis (VII) dan glossofaring memberikan sensasi rasa ke daerah lidah tersebut. Nervus glossofaring juga menginervasi atap faring, tonsil, dan permukaan bawah dari palatum molle. Nervus vagus (saraf kranial kesepuluh) menginervasi daerah jalan nafas di bawah epiglotis. Cabang nervus laringeus superior dari nervus vagus terbagi menjadi jaras eksternal (motorik) dan jaras internal (sensoris) yang memberikan saraf sensoris ke daerah laring antara epiglotis dan pita suara. Cabang lain dari nervus vagus, nervus laringeus rekurent, menginervasi daerah laring di bawah pita suara dan trachea (Morgan, 2006).
Gambar 2.4. Jaras sensorik jalan nafas (Morgan, 2006) Otot-otot laring diinervasi oleh nervus rekurent laringeus kecuali otot krikotiroid, yang diinervasi nervus laringeus eksternal (motorik), cabang dari nervus laringeus superior. Otot krikoaritenoid posterior berfungsi sebagai abduktor pita suara, sedangkan krikoaritenoid sebagai adduktor. Fonasi merupakan suatu proses yang berlangsung simultan dan kompleks dari beberapa otot laring. Kerusakan pada saraf motorik yang menginervasi laring mengakibatkan berbagai jenis gangguan bicara. Denervasi unilateral pada otot krikotiroid mengakibatkan gejala klinis yang susah ditemukan. Bilateral palsy pada nervus laringeus superior mengakibatkan suara serak dan pita suara yang mudah lelah. Tetapi hal ini tidak mengganggu kontrol jalan nafas.
Paralisis unilateral dari nervus laringeus rekurent mengakibatkan terjadinya paralisis pada daerah pita suara ipsilateral, yang ditandai dengan adanya penurunan dari kualitas suara. Dengan asumsi bahwa nervus laringeus superior berfungsi dengan baik, paralisis akut dari nervus laringeus rekurent bilateral mengakibatkan terjadinya stridor dan distress pernafasan, akibat dari menetapnya tekanan oleh otot krikotiroid. Masalah jalan nafas jarang terjadi pada kerusakan kronis dari nervus laringeus rekurent bilateral, karena adanya berbagai mekanisme kompensasi (misalnya, atrofi dari otot-otot laring) Cedera nervus vagus bilateral mempengaruhi baik nervus laringeus superior dan nervus laringeus rekurent. Oleh karena itu, denervasi nervus vagus bilateral mengakibatkan flasiditas dan midposisi dari pita suara, hal yang sama terjadi pada pemberian suksinil kolin. Pada pasien ini, jarang terjadi masalah pada jalan nafas walaupun terjadi gangguan berat pada proses fonasi (Morgan, 2006).
2.1.5. Suplai darah Suplai darah pada laring berasal dari cabang-cabang arteri tiroid. Arteri krikotiroid berasal dari arteri tiroid superior yang merupakan cabang pertama dari arteri karotis eksternal, arteri ini berjalan melintasi membran krikotiroid atas, yang memanjang dari kartilago krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroid superior berjalan sepanjang tepi lateral membran krikotiroid. Ketika akan melakukan krikotirotomi, anatomi arteri tiroid dan arteri krikotiroid harus diperhatikan dengan baik tetapi hal ini jarang mempengaruhi saat pelaksanaannya. Cara yang
terbaik adalah tetap berada pada garis tengah, yaitu di antara kartilago tiroid dan kartilago krikoid.
2.2.
Evaluasi jalan napas
2.2.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Riwayat jalan nafas pasien harus dievaluasi untuk menentukan ada tidaknya faktor medis, bedah maupun anestesi yang berpengaruh terhadap manajemen jalan nafas. Pasien yang sebelumnya memiliki masalah dengan manjemen jalan nafas harus diinformasikan kepadanya masalah jalan nafas yang dialaminya, alasan mengapa itu terjadi, bagaimana intubasi trakheal dilakukan, serta bagaimana implikasinya terhadap anestesi selanjutnya. Catatan anestesi sebelumnya harus berisi deskripsi permasalahan jalan nafas yang dihadapi. Teknik manjemen jalan nafas apa yang digunakan dan apakah teknik tersebut sukses atau tidak dikerjakan. Penelitian mengenai variabel anatomis dan implikasinya untuk manajemen jalan nafas sulit, menunjukkan bahwa tes ini jika dikerjakan sendiri – sendiri memiliki sensitivitas, spesifitas dan postive predictive value yang rendah. Korelasi akan lebih baik jika sejumlah tes ini dikombinasikan. Sejumlah tes ini didasarkan
pada
pemeriksaan
oropharyngeal
space,
mobilitas
leher,
submandibular space, dan submandibular compliance. Sejumlah penyakit kongenital dan dapatan memiliki korelasi dengan manajemen jalan nafas (Latto,1997).
2.2.2 Ruang orofaringeal (oropharyngeal space) Mallampati menyarankan sebuah sistem klasifikasi (Mallampati Score) untuk menghubungkan antara tampilan oropharyngeal space dengan kemudahan laringoskopi direk (direct laryngoscopy) dan intubasi trakeal. Pemeriksaan ini dilakukan dengan kepala pasien dalam posisi netral, membuka mulut maksimal, dan menjulurkan lidah tanpa fonasi. Jika Mallampati yang dijumpai selain I dan II, pasien diperintahkan untuk melakukan fonasi. Terdapat korelasi antara skor malampati dengan apa yang terlihat saat dilakukan laringoskopi direk, dan kemudahan dilakukan intubasi. Penampakan saat dilakukan laringoskopi diklasifikasikan berdasarkan skor Cormack dan Lehane. Bersama dengan klasifikasi Mallampati, jarak antar gigi seri, ukuran dan posisi gigi pada maksila dan mandibula serta bentuk palatum harus dievaluasi. Jarak antar gigi seri yang kurang dari 3 cm berkorelasi dengan kesulitan untuk mendapatkan gambaran yang jelas saat laringoskopi direk. Mandibula yang menonjol atau mundur juga berkaitan dengan tampilan laringoskopi yang kurang baik. Overbite juga berakibat pada pengurangan celah antar gigi seri yang efektif ketika kepala dan leher pasien telah diposisikan secara optimal untuk dilakukan laringoskopi direk. Rahang yang kecil akan mengurangi pharyngeal space (lidah terposisikan lebih posterior) dan akan mengurangi ruang yang akan ditempati jaringan lunak yang akan digeser selama laringoskopi direk. Ini menyebabkan struktur glotis akan lebih anterior pada pandangan saat dilakukan laringoskopi direk. Sejumlah sindrom genetik dan penyakit dapatan dapat mengurangi
pharyngeal space dan akan sulit dievaluasi pada pemeriksaan fisik (Morgan, 2006).
2.2.3
Submandibular Complience Submandibular space merupakan area dimana jaringan lunak faring akan
digeser untuk mendapatkan gambaran saat dilakukan laringoskopi direk. Segala sesuatu yang mengurangi ukuran space ini atau mengurangi compliance jaringan akan menurunkan jumlah pergeseran ke anterior yang dapat dicapai, Angina Ludwig’s, tumor, radiasi, jairngan ikat, luka bakar, dan operasi daerah leher sebelumnya merupakan kondisi – kondisi yang dapat menurunkan compliance submandibular (Morgan, 2006).
2.2.4
Body Hiatus Obesitas
sering
dikaitkan
dengan
peningkatan
insiden
kesulitan
pengelolaan jalan nafas, Pengaturan posisi yang benar, dengan meletakkan wedgeshaped bolster (bantal guling berbentuk baji) di punggung pasien, dapat menciptakan sniffing position yang lebih optimal. Meskipun demikian, masalah penurunan functional residual capacity (FRC) dengan makin menyempitnya rentang waktu untuk terjadinya desaturasi oksigen arteri serta kesulitan ventilasi dengan sungkup muka hingga penurunan compliance masih dapat djumpai (Morgan, 2006).
2.2.5 Membran Krikotiroid Dan Krikotirotomi Ketika akses jalan napas dari mulut atau hidung gagal atau tidak tersedia (contoh, trauma maksilofacial, faringeal, laringeal, patologis atau deformitas), akses emergensi via ekstrathoracic trakhea adalah rute yang mungkin terhadap jalan napas. Klinisi harus terbiasa dengan teknik alternative oksigenasi dan ventilasi ini. Krikotirotomi
adalah
membentuk
saluran
napas
melalui
membran
krikotiroid. Membran krikotiroid memberikan perlindungan di ruang krikotiroid. Membran ini, berukuran 9 mm x 3mm, terdiri dari jaringan kekuningan yang elastis yang terletak tepat di bawah jaringan subkutan kulit dan di daerah wajah. Membran ini terletak di daerah anterior leher, yang berbatasan dengan kartilago tiroid di superior dan kartilago krikoid di inferior. Membran ini dapat dirasakan 1-1,5 jari di bawah tonjolan laringeal (thyroid notch, atau Adam’s apple). Sebagai alternatif pada pasien dengan kartilago tiroid yang tidak menonjol, identifikasi kartilago tiroid bisa dilakukan dengan melakukan palpasi pada sternal notch kemudian susuri ke arah leher atas hingga teraba kartilago yang lebih lebar dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan kartilago yang teraba sebelumnya. Dua pertiga atas dari membran ini dilalui oleh anastomosis dari arteri krikothiroid superior kiri dan kanan yang berjalan secara horisontal. Di tengah membran terdapat suatu tonjolan yang disebut conus elasticus, dan dua tonjolan besar lainnya yang terletak di daerah lateral, yang lebih tipis dan melekat di mukosa laring. Akibat adanya variasi anatomis terhadap jalannya pembuluh vena dan arteri serta letaknya yang berdekatan dengan plika vokalis ( yaitu 0,9 cm di atas
ligamen teratas), maka disarankan bahwa segala bentuk insisi dan pungsi terhadap membran ini, dapat dilakukan pada sepertiga bawah dan diarahkan ke posterior (Stoelting, 2007). Walaupun krikotirotomi adalah prosedur pilihan pada situasi emergensi, ini juga dapat diterapkan pada situasi tertentu ketika adanya akses terbatas ke trakhea (contoh kyphoscoliosis cervical yang berat).
2.3
Prediktor Kemungkinan Sulit Intubasi Setelah anamnesis maka dilakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik
dapat membantu mengidentifikasi pasien yang berpotensial untuk terjadinya kesulitan intubasi. Ada beberapa cara dalam mengidentifikasi sebanyak mungkin resiko akan terjadinya kesulitan intubasi dan laringoskopi yaitu dengan teknik : a.
LEMON atau MELON
b.
LM MAP
c.
4D
d.
Wilson Rick Scale
e.
Magboul 4M
2.3.1 L E M O N atau MELON L (Look externally) Yang dievaluasi adalah dengan melihat seluruh bagian wajah. Apakah ada hal-hal yang dapat menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi maupun intubasi
seperti trauma pada wajah, lidah yang besar, protrusi gigi, leher pendek, mandibula yang kecil. E (Evaluate 3-3-2) Ditemukan oleh Patil pada tahun 1983 yang menemukan jarak thyromental Langkah ini merupakan gabungan dari buka mulut dan ukuran mandibula terhadap posisi laring.
Normalnya 65 mm, namun bila kurang dari 60 mm,
kemungkinan sulit untuk dilakukan intubasi. Evaluasi buka mulut juga penting. Pasien normal bisa membuka mulutnya dengan jarak 3 jari antara gigi seri. Jarak thyromental direpresentasikan dengan 3 jari pasien antara ujung mentum dan tulang hioid dan 2 jari antara tulang hioid dan takik tiroid. Dalam aturan 3-3-2 :
Angka 3 yang pertama adalah kecukupan akses oral
angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang mandibula untuk memuat lidah ketika laringoskopi. Kurang atau lebih dari 3 jari dapat dikaitkan dengan peningkatan kesulitan.
Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan dasar lidah. Bila lebih dari 2 jari maka letak laring lebih jauh dari dasar lidah, sehingga mungkin menyulitkan dalam hal visualisasi glotis.
M (Mallampaty score) Penilaian Mallampati merupakan sebuah sistem klasifikasi (Mallampati Score) untuk menghubungkan antara tampilan oropharyngeal space dengan kemudahan laringoskopi direk (direct laryngoscopy) dan intubasi trakeal. Skor Mallampati merupakan rasio ukuran lidah terhadap faring. Pemeriksaan ini dilakukan dengan kepala pasien dalam posisi netral, membuka mulut maksimal,
dan menjulurkan lidah tanpa fonasi. Oleh Samsoon dan Young skor mallapati telah dimodifikasi menjadi 4 kategori berdasarkan struktur faring menjadi: 1.
Kelas I
: tampak palatum molle, palatum durum, uvula, pillar tonsil anterior dan posterior.
2.
Kelas II
: tampak palatum molle, palatum durum dan uvula
3.
Kelas III
: tampak palatum molle dan dasar uvula
4.
Kelas IV
: tak tampak palatum molle
Kelas I dan II dihubungkan dengan kemudahan dalam intubasi, sedangkan kelas III dan IV dikaitkan dengan tingkat kesulitan intubasi, bahkan kelas IV mempunyai rasio kegagalan melebihi 10%.
Gambar 2.5. Derajat skor Mallampati (Mallampati dkk., 1985)
O (Obstruction) Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu kita pertimbangkan sebagai akibat adanya obstruksi pada jalan napas. 3 tanda utama adanya obstruksi yaitu muffled voice (hot potato voice), adanya kesulitan menelan ludah (karena nyeri atau obstruksi) dan adanya stridor. N (Neck mobility) Keterbatasan mobilisasi leher harus dipertimbangan sebagai suatu kesulitan dalam intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan Ekstensi sendi atlanto-oksipital yaitu posisi leher fleksi dengan menyuruh pasien memfleksikan kepalanya kemudian mengangkat mukanya, hal ini untuk menguji ekstensi daripada sendi atlanto-oksipital. Aksis oral, faring dan laring menjadi satu garis lurus dikenal dengan posisi Magill. Nilai normalnya adalah 35 derajat (Magboul M, 2004).
2.3.2
LM-MAP
L (Look for external face deformities) M (Mallampati) M (Measure 3-3-2-1 fingers) A (Atlanto-occipital extension) P (Pathological obstructive conditions) (Magboul M, 2004).
2.3.3
Fours D (4D)
D (Dentition, evaluasi keadaan gigi-geligi) D (Distortion, evaluasi apakah ada edema, darah, muntahan, tumor, infeksi) D (Disproportion, evaluasi dagu pendek, leher gemuk, mulut kecil, lidah besar) D (Dysmobility, evaluasi tyromental joint, cervical spine) (Magboul M, 2004).
2.3.4
Wilson Risk Score
Weight (0 = <90 kg, 1 = 90-110 kg, 2 = >110 kg) Head and neck movement (0 = >90°, 1 = 90°, 2 = <90°) Jaw movement (0=IG >5 cm, SL >0 ; 1=IG <5 cm, SL=0 ; 2=IG <5 cm ,SL <0) Receding mandible (0=normal, 1=moderate, 2=severe) Buck teeth (0=normal, 1=moderate, 2=severe) Total maximum 10 points (Magboul M, 2004).
2.3.5
Magboul 4 MS Tabel 2.1. skor Magboul 4 MS (Magboul M, 2004). Score
Mallampati Measurement Movement Malformation
Total
2.4
1
2
3
4
Grade 1
Grade 2
Grade 3
Grade 4
3 mouth open
3 thyromental
2 hypomental
1 sublaxation
Left
Right
Flexion
extension
Skull : hidro and microcephalus
Teeth : buck, protruded, loose teeth and macromicro mandibles
Obstruction : due to obesity, short bull neck and swelling around the head and neck
Pathplogy : Craniofacial abnormalities and syndrome : treacher Collins, Goldenhars, Pierre Robin, Waardenburg syndromes
4
4
4
4
Skor Cormack - Lehane Pada tahun 1984 Cormack dan Lehane membuat suatu skala dengan
memakai visualisasi yang masih terlihat dengan laringoskop. Derajat CormackLehane berdasarkan visualisasi laringoskopi : Grade 1
: Semua bukaan pita suara terlihat
Grade 2
: Hanya posterior glotis yang terlihat
Grade 3
: Hanya ujung epiglotis yang dapat terlihat
Grade 4
: Epiglotis tidak terlihat, hanya palatum molle yang terlihat
Gambar 2.6. Skor derajat Cormack-Lehane (Cormack and Lehane, 1985.) Dikatakan bahwa Cormack-Lehanne derajat 2 atau 3 memerlukan beberapa kali upaya intubasi atau penggantian bilah dengan insiden 100 sampai dengan 1800 dari 10.000 pasien atau 1%-8%. Sedangkan derajat 3 CormackLehanne memiliki insiden 100-400 dari 10.000 pasien atau 1%-4%. Insiden terjadinya kegagalan intubasi pada Cormack-Lehanne derajat 3 atau 4 berkisar 5 sampai 35 dari 10.000 pasien atau 0,05%-0,35% (Benunof, 1991).
2.5
Upper Lips Bite Test (ULBT) Upper lip bite test (ULBT) dipercaya sebagai tehnik terbaru yang sangat
sederhana. Tehnik ini diperkenalkan oleh Zahid Hussain Khan pada tahun 2003. Timbulnya tehnik ini didasari pada jarak dan keleluasaan daripada pergerakan mandibula dengan komposisi daripada gigi yang memiliki peranan yang sangat penting dalam memfasilitasi laringoskopi intubasi (Khan, 2009).
Upper lip bite test adalah menilai kemampuan pasien untuk menutupi mukosa atas bibir dengan incisor bawah. Dibagi menjadi tiga kelas :
Kelas I
: Lower incisors dapat menjangkau bibir atas, diatas vermilion line.
Kelas II
: Lower incisors dapat menjangkau bibir atas, dibawah vermilion line.
Kelas III
: lower incisors tidak dapat menjangkau bibir atas
Gambar 2.7. Kelas upper lip bite test (ULBT) (Khan 2009).
2.6
Laringoskop Macintosh Laringoskop adalah alat yang digunakan untuk mengangkat lidah dan
epiglotis supaya glotis dapat terlihat. Alat ini terbagi atas gagang dan bilah. Gagang berisi batere yang berguna untuk menyalakan sumber penerangan. Sedangkan bilah mempunyai bola lampu di sepertiga ujungnya.
Bentuk bilah sebenarnya terbagi atas 2 bentuk yaitu bentuk melengkung (laringoskop Macintosh) dan bentuk lurus (laringoskop Miller). Diantara 2 bentuk bilah ini yang paling sering dipakai adalah bentuk Macintosh, dikatakan bahwa bentuk ini paling gampang digunakan bahkan oleh seseorang yang mempunyai pengalaman intubasi orotrakeal yang sedikit. Banyak mengatakan bahwa bentuk ini memerlukan lebih sedikit kekuatan lengan bawah dibandingkan dengan yang bentuk lurus. Cara pakai laringoskop Macintosh ini adalah dengan menempatkan ujung bilah Macintosh pada valekula sehingga secara tidak langsung akan mengangkat epiglotis sehingga pita suara akan tampak. Bilah laringoskop Macintosh terdapat beberapa ukuran dari mulai nomor 2 sampai nomor 4. Ukuran bilah nomor 2 digunakan untuk usia 3 sampai 6 tahun. Bilah nomor 3 digunakan untuk anak-anak mulai usia 6 tahun, untuk wanita, dan laki-laki ukuran sedang. Bilah nomor 4 digunakan untuk laki-laki ukuran besar. Kekurangan atau kelemahan dari laringoskop Macintosh ini adalah bahwa pada beberapa keadaan seperti pasien dengan tulang servikal yang tidak stabil, pasien dengan gerakan sendi temporo mandibular yang terbatas atau yang mempunyai kelainan jalan napas atas, laringoskopi direk dengan laringoskop konvensional sukar atau bahkan tidak mungkin dilakukan.
Gambar 2.8. Blade laringoskop Macintosh (Dorsch, 2007). Dalam melakukan intubasi, waktu yang tepat sangat menentukan dalam mulusnya intubasi yang kita lakukan. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila kedalaman anestesia yang telah tercapai. Kedalaman anestesia yang telah tercapai, ditandai dengan tidak terjadinya respon terhadap jaw thrust. Sedangkan tanda lain seperti relaksasi rahang, henti napas, dan mudah dilakukan ventilasi dengan facemask, merupakan tanda yang tidak pasti. Kehilangan kontak verbal dan reflek bulu mata adalah tanda-tanda yang dapat diandalkan. Laringoskopi yang dilakukan oleh orang yang belum berpengalaman akan berpengaruh pada visualisasi pita suara dan berpengaruh pada waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
visualisasi
berpengalaman.
yang diharapkan seperti
pada orang yang telah
2.7
Posisi Pemeriksaan Pada penelitian awal dengan menggunakan Mallampati skor, pemeriksaan
dilakukan dengan cara pasien duduk. Kemudian pemeriksaan ULBT dilakukan dengan cara pasien berbaring terlentang diatas alas yang datar. Pertimbangan dari pemilihan pasien dengan cara baring terlentang berdasarkan beberapa alasan. Pertama, mengevaluasi jalan napas dengan posisi seperti akan melaksanakan intubasi dengan memakai laringoskop adalah cara yang ideal, hal ini dikarenakan sifat tulang hioid yang bebas bergerak, kemungkinan untuk terjadinya perubahan dimensi dan posisi oleh karena efek gravitasi menjadi suatu pertimbangan (Sutthiprapaporn, 2008). Skor Mallampati di nilai dengan menggunakan klasifikasi Mallampati. Pasien duduk dengan mulut terbuka maksimal, lidah menjulur dan tanpa fonasi. Kelas 1 dan 2 diperkirakan mudah dilakukan laringoskopi. Kelas 3 dan 4 diperkirakan sulit untuk dilakukan laringoskopi (Mallampati dkk., 1985). Upper lip bite test (ULBT) dinilai dengan menggunakan skor ULBT. pasien berbaring terlentang diatas alas yang datar, kemudian dinilai kemampuan pasien untuk menutupi mukosa atas bibir dengan incisor bawah. Kelas 1 dan 2 diperkirakan mudah untuk dilakukan laringoskopi, sedangkan kelas 3 diperkirakan sulit untuk dilakukan laringoskopi (Khan, 2009).
2.8
Penelitian Diagnostik Penelitian diagnostik meneliti tentang bagaimana cara mendiagnosis
penyakit, cara mudah untuk memahaminya adalah dengn mengingat prinsip utama
penelitian diagnositik tersebut, yaitu “pelaksanaan penelitian diagnostik meniru praktek dokter sehari-hari ketika melakukan langkah-langkah untuk mendiagnosis pasien”. Dalam praktek sehari-hari seorang dokter memutuskan untuk memilih suatu pemeriksaan jika pemeriksaan tersebut mempunyai keunggulan relatif terhadap pemeriksaan lain. Keunggulan tersebut dapat berupa nilai diagnostic yang lebih tinggi, harga yang lebih terjangkau, tidak memerlukan keahlian khusus, tersedia dengan mudah, pemeriksaan lebih sederhana, pemeriksaan lebih tidak beresiko, atau hasil pemeriksaan lebih cepat. Salah satu atau lebih dari alas an tersebut harus menjadi latar belakang mengapa suatu penelitian diagnostik dilakukan (M.Sopyudin, 2009).
2.8.1
Desain penelitian diagnostik Desain penelitian diagnostik adalah desain potong lintang (cross
sectional), dimana pengambilan data untuk setiap subjeknya dilakukan pada satu unit waktu. Dari segi desain, terdapat dua kesalahan yang sering terjadi. Pertama, menamakan desain uji diagnostik sebagai desain kohort/prospektif. Kedua, menggunakan desain kasus control (case control) untuk penelitian diagnostik. Kesalahan pertama disebabkan karena persepsi bahwa rangkaian pemeriksaan diagnostic dilakukan pada waktu yang berbeda sehingga dinamakan sebagai desain kohort. Pendapat ini dapat diluruskan dengan dua cara. Pertama, seandainya persepsi tersebut benar, maka tidak aka nada penelitian potong lintang (cross sectional) karena tidak aka nada data yang benar-benar diambil pada waktu yang sama. Kedua, yang dimaksud dengan waktu yang sama pada penelitian
potong lintang adalah “satu unit waktu”. Unit waktu bias saja detik, menit, jam, hari bahkan bulan. Kesalahan kedua. Desain kasus kontrol berpengaruh pada prior probability dari penelitian. Satu-satunya faktor yang mempengaruhi prior probability pada penelitian diagnostic adalah prevalensi penyakit. Semakin tinggi prevalensi penyakit, semakin tinggi pula prior probability nya. Apabila desain kasus kontrol digunakan pada penelitian diagnostic, maka prevalensi penyakit ditentukan oleh perbandingan kasus dengan kontrol. Apabila perbandingan kasus dengan kontrol 1:1 maka prevalensi penyakit menjadi sebesar 50%. Padahal fakta sebenarnya bisa saja prevalensi penyakit bukan 50%. Apabila perbandingan kasus dengan control 1:3 maka prevalensi penyakit menjadi sebesar 25%. Padahal fakta sebenarnya bias saja prevalensi penyakit bukan 25% (M.Sopyudin, 2009).
2.8.2
Baku emas (Gold standard) atau reference standard Pada setiap penelitian diagnostik, harus ada baku emas atau reference
standard. Baku emas adalah pemeriksaan yang dijadikan sebagai rujukan akhir untuk menentukan apakah pasien menderita suatu penyakit atau tidak. Bila hasil pemeriksaan adalah positif, maka kita menerima bahwa hasil pemeriksaan adalah positif. Bila hasil pemeriksaan negative, maka kita menerima bahwa hasil pemeriksaan adalah negative. Baku emas harus independen terhadap hasil pemeriksaan indeks. Artinya tidak boleh ada komponen indeks. Misalnya, jika pada suatu penelitian baku emasnya adalah hasil pemeriksaan darah, maka pada indeks tidak boleh ada pemeriksaan gula darah (M.Sopyudin, 2009).
2.8.3
Indeks Dalam penelitian diagnostik, pemeriksaan yang sedang diteliti dinamakan
sebagai indeks. Syarat dari sebuah indeks adalah mempunyai nilai diagnostik yang lebih rendah daripada baku emas, bukan salah satu komponen dari baku emas, dan mempunyai kelebihan relative terhadap indeks lain atau terhadap baku emas. Kelebihan relatif tersebut dilihat dari segi nilai diagnostik, kemudahan, kemampulaksanaan, kecepatan, atau harga/biaya yang lebih rendah (M.Sopyudin, 2009).
2.8.4
Analisa penelitian diagnostik Terdapat tiga cara untuk menganalisis penelitian diagnostik yaitu analisis
tabel 2x2, analisis kurva Receiver Operatung Characteristic (ROC), dan analisis multivariat berjenjang. Dengan tabel 2x2 kita akan memperoleh nilai sensitivitas, sfesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif, rasio kemungkinan negative, dan akurasi. Dengan metode ROC, akan diperoleh area under the curve (AUC), serta titik potong yang direkomendasikan. Dengan titik potong tersebut, kita dapat memperoleh keluaran seperti yang diperoleh analisa tabel 2x2. Analisa berjenjang dilakukan dengan menggunakan analisa multivariat regresi logistik. Titik potong (Cut off point) adalah nilai batas antara normal dan abnormal, atau nilai batas hasil uji positif dan hasil uji negatif. Dalam menentukan titik potong ini harus dilakukan tawar-menawar, karena peningkatan sensitivitas akan menyebabkan penurunan spesifisitas dan sebaliknya. Dalam tawar-menawar ini peneliti harus memperhatikan kepentingan uji diagnostik tersebut, apakah uji
tersebut lebih dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis penyakit ataukah untuk menyingkirkan penyakit. Receiver Operating Characteristic (ROC) merupakan suatu cara untuk menentukan titik potong dalam suatu uji diagnostik, berupa grafik yang menggambarkan tawar menawar antara sensitivitas dan spesifisitas. Sensitivitas digambarkan pada ordinat Y sedangkan (1-spesifisitas) digambarkan pada aksis X. garis diagonal terdiri atas titik dengan nilai sensitivitas = 1-spesifisitas. Makin dekan kurva ROC ke garis diagonal, makin buruk hasilnya. Titik potong yang terbaik adalah titik terjauh di sebelah kiri atas garis diagonal. Setelah hasil uji diagnostik diketahui normal atau abnormal, maka langkah selanjutnya adalah menentukan ada atau tidak adanya penyakit. Nilai prediksi positif adalah probabilitas seseorang menderita penyakit apabila uji diagnostiknya positif. Sedangkan nilai prediksi negatif adalah probabilitas seseorang tidak menderita penyakit apabila uji diagnostiknya negatif. Setelah itu dilanjutkan dengan analisis berjenjang untuk melihat model diagnostik yang bermakna serta variabel demografi dan prediktor yang independen terhadap variabel terikat. Ini dilakukan dengan menggunakan analisis multivariat regresi logistik dengan hasil keluaran berjenjang (M.Sopyudin, 2009).
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1.
Kerangka Berpikir Kerangka wajah dan jaringan lunak pada berbagai ras di dunia memiliki
variasi susunan yang besar. Hal ini diperkirakan memiliki pengaruh terhadap hasil prediktor yang baik untuk suatu ras. Sehingga prediksi intubasi yang dilakukan di berbagai negara juga menghasilkan variasi yang sangat banyak. Intubasi (pemasangan pipa endotrakea) adalah salah satu cara untuk mempertahankan keadekuatan pertukaran gas. Teknik ini
merupakan bentuk
manajemen jalan napas yang juga bermanfaat untuk mencegah aspirasi dan memberikan ventilasi mekanik. Namun, jika prosedur intubasi yang dilakukan tiba-tiba mengalami kesulitan dan tidak diantisipasi sebelumnya dapat membahayakan nyawa pasien dan bahkan menyebabkan kematian. Salah satu hal yang dapat
menggagalkan
intubasi endotrakea
adalah
kesulitan
dalam
memvisualisasikan laring dengan laringoskop. Sulit intubasi adalah suatu keadaan dimana dibutuhkannya 3 kali kesempatan untuk berhasil memasukkan pipa endotrakea dengan laringoskop konvensional atau bila menggunakan satuan waktu maka sulit intubasi adalah keadaan dimana keberhasilan memasukkan pipa endotrakea memerlukan waktu lebih dari 10 menit
Sulit visualisasi laring (DVL) adalah penyebab terbanyak kesulitan intubasi. Klasifikasi untuk memvisualisasi laring yaitu dengan memakai skor Cormack–Lehane. Oleh Cormack-Lehanne derajat 1 dan 2 diasosiasikan sebagai intubasi yang mudah sedangkan derajat 3 dan 4 diasosiasikan sebagai intubasi yang sulit. Penelitian-penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa nilai dari tes skrining untuk sulit intubasi adalah terbatas bila hanya menggunakan satu tes saja secara tunggal, dengan kata lain tidak ada faktor anatomi tunggal yang dapat menentukan kemudahan dalam melakukan laringoskopi sehingga diperlukan kombinasi beberapa tes atau prediktor untuk menambah nilai diagnosis. Upper lip bite test (ULBT) merupakan prediktor terbaru sebagai teknik yang sangat sederhana untuk memprediksi kesulitan intubasi. Upper lip bite test (ULBT) adalah menilai kemampuan pasien untuk menutupi mukosa atas bibir dengan incisor bawah. Skor Mallampati menilai rasio ukuran lidah atau faring, dinilai dengan cara pasien duduk dengan posisi wajah menghadap ke depan, mulut dibuka maksimal dan lidah dijulurkan keluar tanpa mengeluarkan suara, untuk memprediksi kesulitan visualisasi laring. Belum ada satu landasan anatomi yang dilaporkan memiliki akurasi untuk prediktor kesulitan intubasi, sehingga menyebabkan tidak adanya indeks multifaktorial yang diperoleh dengan satu pengukuran.
3.2
Kerangka Konsep
Skor
Skor
ULBT
Mallampatiati
Laringoskopi
Demografi : - Usia - Tinggi badan - Berat badan - Indeks massa tubuh
Visualisasi Laring Baku emas: Cormack-Lehane
Kesulitan Intubasi
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
3.3.
Hipotesis Penelitian ULBT dan mallampati memiliki Korelasi yang baik bila dikombinasikan
sebagai model diagnostik prediktor sulit intubasi pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi di RSUP Sanglah Denpasar.
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1.
Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan uji diagnostik terhadap dua jenis pemeriksaan
preoperasi yang dibandingkan dengan standar emas pemeriksaan laringoskopi direk untuk memprediksi kesulitan visualisasi laring.
4.2.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral dan Instalasi Rawat Darurat
RSUP Sanglah, dari bulan November 2014 sampai Desember 2014, setelah mendapat persetujuan panitia tetap penilai etik penelitian FK UNUD RSUP Sanglah dan persetujuan tertulis dari pasien yang telah mendapat penjelasan mengenai tujuan dan manfaat penelitian.
4.3.
Penentuan Sumber Data
4.3.1
Populasi Target Target Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien dewasa yang akan
menjalani operasi berencana dengan anestesia umum di ruang operasi Instalasi Bedah Pusat, yang memenuhi kriteria penerimaan. 4.3.2.
Populasi Terjangkau Populasi terjangkau adalah semua pasien dewasa yang akan menjalani
operasi berencana dengan anestesia umum dengan pemasangan pipa endotrakeal
di ruang operasi Instalasi Bedah Pusat RSUP Sanglah Denpasar dari bulan November 2014 sampai Desember 2014. 4.3.3
Tehnik Pengambilan Sampel Dari populasi terjangkau diambil sampel penelitian secara consecutive
sampling.
4.4.
Perhitungan Besar Sampel Jumlah sampel minimal pada penelitian diagnostik berjenjang ini dihitung
menggunakan rumus besar sampel untuk analisis diagnostik dengan keluaran model berjenjang. 1.
Role of thumb N = 10-50 x VB, dimana VB adalah variabel bebas. N = 10-50 x 2 = 20 -100 subjek
2.
Rule of thumb dengan faktor koreksi N = 10 x VB/p Jumlah variabel bebas adalah 2 variabel. Nilai p ditentukan dari prevalensi kesulitan penilaian laring yaitu berdasarkan penelitian Eka 15,7%, sehingga N = 10 x 2/0.157 = 128 subjek
3. Tiap variable dihitung dengan pendekatan bivariat, dengan menggunakan rumus keluaran tabel 2 x 2. untuk mallampati :
Keterangan: n
: besar sampel
sen
: sensitivitas yang didapatkan pada penelitian sebelumnya, dimana Jain Shah (2013), mendapatkan sensitivitas mallampati 70,15%.
Zα
: tingkat kemaknaan, ditetapkan sebesar 1,96
d
: presisi penelitian, ditetapkan sebesar 0,05
Dari perhitungan didapatkan jumlah sampel : 322 subjek. Dengan cara yang sama untuk ULBT :
Keterangan: n
: besar sampel
sen
: sensitivitas yang didapatkan pada penelitian sebelumnya, dimana Jain Shah (2013), mendapatkan sensitivitas ULBT 74,63%
Zα
: tingkat kemaknaan, ditetapkan sebesar 1,96
d
: presisi penelitian, ditetapkan sebesar 0,05
Didapatkan jumlah sampel : 291 subyek.
Berdasarkan dari seluruh perhitungan diatas, besar sampel yang diperlukan adalah 322 subyek, karena merupakan hasil perhitungan sampel terbesar, yaitu sampel yang dihasilkan oleh rumus ketiga.
4.5.
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.5.1. Kriteria Inklusi a.
Pasien yang menjalani operasi berencana dengan anestesia umum pemasangan pipa endotrakea.
b.
Pasien berusia 16-65 tahun.
c.
Pasien status fisik ASA 1 atau 2.
d.
Setuju mengikuti penelitian dan menandatangani informed consent.
4.5.2. Kriteria Eksklusi a.
Pasien dengan kemungkinan sulit ventilasi.
b.
Pasien dengan resiko terjadinya perdarahan yang tinggi akibat tindakan laringoskopi.
c.
Pasien dengan trauma jalan napas.
d.
Adanya keterbatasan membuka mulut < 3 cm.
e.
Adanya tumor pada jalan nafas.
f.
Pasien luka bakar akut dengan trauma inhalasi
g.
Pasien dengan gangguan gerakan daerah leher.
h.
Pasien dengan gigi depan atas menonjol.
i.
Pasien dengan ketebalan bibir atas >14 mm.
j.
Pasien dengan infeksi saluran napas atas.
k.
Pasien dengan kelainan anatomi/ sindrom (lidah besar, leher pendek, micrognathia, prognatishme).
4.6.
Alat dan Bahan Kerja
4.6.1. Alat yang Digunakan a. Alat monitor EKG b. Alat pemantauan tekanan darah non invasif otomatis, c. Alat monitor oksimeter d. Spuit 2,5 cc, 5 cc dan 10 cc. e. Sarung tangan f. Set laringoskopi (Macintosh) dan bilah nomor 3 dan nomor 4 g. Alat tulis dan formulir penelitian h. Selang infus, kanula vena ukuran 20 G atau 18 G
4.6.2. Bahan Yang Digunakan a. Cairan infus Ringer Laktat b. Obat premedikasi Midazolam c. Analgetik Fentanyl d. Obat induksi Propofol e. Obat pelumpuh otot Atracurium
4.7.
Cara Kerja a. Penelitian ini sudah mendapatkan persetujuan dari komite etik penelitian kedokteran FK UNUD dan RSUP Sanglah b. Pasien yang terseleksi diberikan penjelasan tentang tata cara penelitian dan diminta menandatangani surat persetujuan penelitian
c. Dilakukan penilaian pasien berdasarkan kriteria penerimaan dan pengeluaran. d. Pasien dinilai skor Mallampati dan skor ULBT pada saat kunjungan praanesthesi diruangan. e. Pasien dinilai skor Mallampati dengan posisi duduk, menjulurkan lidah tanpa mengeluarkan suara dengan pandangan lurus ke depan. f. Penilaian ULBT dengan posisi berbaring terlentang. g. Setelah penderita berbaring di atas meja operasi, dipasang monitor tekanan darah, EKG dan oksimeter, pemasangan jalur infus jika belum terpasang. h. Diberikan premedikasi midazolam 0,05 mg/kg BB, analgetik fentanil 23 mcg/kgBB. Satu menit kemudian dilakukan induksi dengan Propofol 2-3mg/kgBB. Setelah reflex bulu mata hilang, dilakukan bantuan ventilasi dengan oksigen 100 % Anestesia volatil memakai isofluran dengan MAC 1%. Kemudian diberikan atracurium 0,5 mg/kg BB. Laringoskopi dilakukan setelah dinilai kedalaman anestesia telah adekuat yaitu rahang lemas dan tidak ada respon motorik pada pengangkatan rahang atau 3 menit setelah pemberian Atracurium. i. Laringoskopi dilakukan oleh residen anestesiologi semester 5-6 (pin hijau), dengan memakai laringoskop Macintosh nomor yang sesuai sampai ujung bilah pada valekula dan kemudian diangkat hingga pita suara terlihat. j. Dilakukan penilaian skor Cormack Lehane tanpa menekan krikoid.
4.8.
Alur penelitian
Pasien dengan anastesia umum yang memenuhi kriteria penerimaan, dan telah mendapat inform consent
Preoperasi di ruang rawat atau triase Bedah
Penilaian skor Mallampati
Penilaian skor Upper lip Bite test (ULBT) Di kamar bedah - Pemasangan alat monitor (EKG, Saturasi O2, Tensimeter) Pemasangan jalur intravena ; - Persiapan mesin anesthesia dan obat obatan darurat Induksi anestesia Sedasi Midazolam 0,05 mg Fentanil 2-3 mcg / Kg BB Induksi dengan Propofol 2 mg/Kg BB Setelah pasien tertidur diberikan Atracurium 0,5 mg/KgBB, Oksigenasi 100% dengan isofluran atau sevofluran dengan MAC 1%
Setelah 3 menit Visualisasi laring dengan laringoskopi direk menggunakan bilah Macintosh ukuran yang sesuai tanpa penekanan krikoid Intubasi pipa endotrakea Analisis data
Gambar 4.1. Alur Penelitian
4.9.
Definisi Operasional Variabel a.
Laringoskopi
adalah
tindakan
yang
dilakukan
untuk
memvisualisasikan pita suara dengan memakai laringoskop b.
Intubasi adalah suatu tindakan untuk memasang pipa endotrakea
c.
Kesulitan intubasi adalah adanya kesulitan dalam memasukkan pipa endotrakea ke dalam trakea setelah dilakukan usaha sebanyak 3 kali. Atau atau lebih 10 menit usaha percobaan dengan menggunakan laringoskop konvensional yang dilakukan oleh dokter anestesiologi yang berpengalaman. Kesulitan intubasi didasarkan atas kesulitan visualisasi laring yang diwakili oleh Cormack-Lehane derajat 3 dan 4.
d.
Posisi laringoskopi dengan sniffing position yaitu posisi pada saat laringoskopi dengan kepala berada diatas bantal (leher fleksi terhadap dada) dengan kepala ekstensi terhadap leher, akan membuat semua aksis (aksis oral, aksis faring dan aksis laring) dalam 1 garis lurus.
e.
Pelaku laringoskopi adalah residen anestesiologi anestesiologi minimal semester 5-6 (pin hijau)
f.
Status fisik : ASA I adalah pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik dan biokimia, sedangkan ASA II adalah pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
g.
Upper lip bite test adalah menilai kemampuan pasien untuk menutupi mukosa atas bibir dengan incisor bawah. Dibagi menjadi tiga :
Kelas I
: Lower incisors dapat
menjangkau bibir atas, diatas vermilion line
Kelas II
: Lower incisors dapat
menjangkau bibir atas, dibawah vermilion line
Kelas III : Lower incisors tidak dapat menjangkau bibir Atas
Prediksi kesulitan intubasi di asosiasikan pada Skor III. h.
Skor Mallampati yang merupakan rasio ukuran lidah atau faring, dinilai dengan cara pasien duduk dengan posisi wajah menghadap ke depan, mulut dibuka maksimal dan lidah dijulurkan keluar tanpa mengeluarkan suara, terdiri atas :
Kelas I
: Tampak palatum molle, palatum durum, uvula, pillar tonsil anterior dan posterior
Kelas II
: Tampak palatum molle, palatum durum dan uvula
Kelas III
: Tampak palatum molle dan dasar uvula
Klas IV
: Tak tampak palatum molle
Prediksi kesulitan intubasi di asosiasikan pada kelas III dan IV.
i.
Status fisik : ASA I adalah pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik dan biokimia, sedangkan ASA II adalah pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
j.
Skor Cormack-Lehane adalah skor yang membagi gambaran laring atas pada saat laringoskopi :
Derajat 1 : Pita suara terlihat semua
Derajat 2 : Tampak sebagian glotis atau aritenoid
Derajat 3 : Hanya terlihat epiglotis
Derajat 4 : Tidak terlihat epiglotis bahkan glotis
k.
Umur adalah usia yang tercatat di Rekam Medis.
l.
Jenis kelamin adalah jenis kelamin yang tercatat di Rekam Medis.
m.
Berat badan adalah berat badan yang tercatat pada evaluasi praanastesi dalam satuan kilogram.
n.
Indeks massa tubuh adalah perhitungan berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter.
4.10. Analisis Data Hasil pengamatan dicatat pada formulir, yang selanjutnya ditabulasi dan dianalisis. Langkah-langkah analisis dimulai dengan melakukan analisis terhadap variabel demografis yang ada dengan hasil berupa rerata dan nilai median, kemudian dilanjutkan dengan analisis masing-masing variabel utama dengan keluaran sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan nilai duga negatif.
Selanjutnya juga akan dianalisis dengan kurva ROC dengan keluaran berupa area under the curve (AUC) dan titik potong (cutoff point). Selanjutnya dilakukan analisa hubungan antar variabel. Hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk tabel dan diagram dan dianalisis menggunakan program stata SE 12.1.
4.11.
Etika Penelitian Penelitian ini telah mendapat ijin dan kelaikan etik atau ethical clearance
dari Unit Penelitian dan Pengembangan atau Litbang Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar No: 1471/UN.14.2/Litbang/2014 tertanggal 03 Desember 2014. Penelitian ini juga telah mendapat ijin dari Rumah Sakit Pusat Sanglah Denpasar untuk melakukan penelitian di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar tertanggal 08 Desember 2014 No: LB.02.01/II.C5.D12/17548/2014.
BAB V HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan uji diagnostik bertingkat pada pasien dengan rentang usia 16-65 tahun yang menjalani operasi dengan anestesia umum pemasangan pipa endotrakeal yang dilaksanakan di ruang operasi Instalasi Bedah Sentral dan Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Penilaian ULBT dan Mallampati dilakukan pada saat preoperasi di ruangan rawat dan penilaian Cormack-Lehane dilakukan pada saat laringoskopi di kamar operasi. Total sampel yang diambil sebanyak 322 pasien yang memenuhi kriteria inklusi sebagai subyek penelitian, serta bersedia mengikuti penelitian dan setuju menandatangani informed consent. Pengambilan sampel berlangsung pada periode November 2014 sampai Desember 2014.
5.1 Data Karakteristik Sampel Total sampel 322 orang, terdiri atas 153 (47,5%) orang laki-laki dan 169 (52,4%) orang perempuan dengan rerata usia + SD adalah 42,2 +13,8 tahun, rerata berat badan + SD adalah 59,3 + 10,3 kg, rerata tinggi badan + SD adalah 161,1 + 7,4 cm dan rerata indeks massa tubuh + SD adalah 22,7 + 3,0 kg/m2. Gambaran karakteristik sampel ditunjukkan pada tabel 5.1. Dimana data kuantitatif disajikan dalam bentuk rerata + SD dan data kualitatif disajikan dalam bentuk frekuensi (persentase). Umur, berat badan, tinggi badan dan indeks massa
tubuh merupakan data kuantitatif, sedangkan yang digolongkan sebagai data kualitatif adalah jenis kelamin. Tabel 5.1 Gambaran karakteristik sampel Karakteristik sampel
Nilai
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
153 (47,5%) 169 (52,4%)
Usia Berat badan Tinggi badan Indeks massa tubuh
42,2 +13,8 59,3 + 10,3 161,1 + 7,4 22,7 + 3,0
5.2 Analisis Uji Diagnostik Pada penelitian ini Skor ULBT 1 dan 2 dianggap sebagai prediktor mudah intubasi, sedangkan ULBT 3 dianggap sebagai prediktor sulit intubasi. Pada penelitian ini kelompok skor ULBT 1 dan 2 didapatkan EVL sebanyak 254 orang (78,9%), sedangkan DVL sebanyak 49 orang (15,2%). Pada kelompok skor ULBT 3 tidak didapatkan EVL (0 orang) sedangkan DVL sebanyak 19 orang (5,9%). Skor Mallampati 1 dan 2 dianggap sebagai prediktor mudah intubasi, sedangkan 3 dan 4 dianggap sebagai prediktor sulit intubasi. Pada kelompok skor Mallampati 1 dan 2 didapatkan EVL sebanyak 245orang (76,1%), sedangkan DVL sebanyak 21 orang (6,5%). Pada kelompok skor Mallampati 3 dan 4 didapatkan EVL sebanyak 9 orang (2,8%) sedangkan DVL sebanyak 47 orang (14,6%). Pada penelitian ini didapatkan skor Cormack-Lehane yang terbanyak adalah Cormack-Lehane 1 sebanyak 132 orang (40,9%), Cormack-Lehane 2 sebanyak 122 orang (37,9%), Cormack-Lehane 3 sebanyak 54 orang (16,8%) dan
Cormack-Lehane 4 sebanyak 14 orang (4,3%). Mudah dalam visualisasi laring (EVL) didefinisikan sebagai skor Cormack-Lehane 1-2 didapatkan 254 orang (78,8%), sedangkan sulit dalam visualisasi laring (DVL) didefinisikan sebagai skor Cormack-Lehane 3-4 sebanyak 68 orang (21,1%). Pada korelasi secara paralel yang menjadi kategori inti adalah apabila ditemukan salah satu prediktor sulit dalam visualisasi laring (ULBT 3 atau Mallampati 3 dan 4) maka kesimpulannya adalah sulit dalam visualisasi laring (Cormack-Lehane 3 dan 4). Kategori korelasi prediktor secara paralel dapat dilihat pada tabel 5.2. Tabel 5.2 Kategori korelasi prediktor secara paralel Kategori
ULBT
Mallampati
Cormack-Lehane
0
EVL
EVL
EVL
1
EVL/DVL
DVL/EVL
DVL
2
DVL
DVL
DVL
Untuk mendapatkan cutoff point, kategori ini harus di sederhanakan kembali menjadi 2 kategori, sehingga kategori yang hasilnya sama (kategori 1 dan kategori 2) digabung menjadi satu, sehingga didapatkan kategori korelasi secara paralel seperti pada table 5.3. Tabel 5.3 Rekategori korelasi prediktor secara paralel Kategori
ULBT
Mallampati
Cormack-Lehane
0
EVL
EVL
EVL
1
EVL/DVL/DVL
DVL/EVL/DVL
DVL
Pada penelitian ini, pada kelompok Kategori 0 didapatkan EVL sebanyak 245orang (76,1%), sedangkan DVL sebanyak 18 orang (5,6%). Pada kelompok kategori 1 didapatkan EVL sebanyak 9 orang (2,8%) sedangkan DVL sebanyak 50 orang (15,5%). Pada korelasi secara seri yang menjadi kategori inti adalah apabila ditemukan salah satu prediktor mudah dalam visualisasi laring (ULBT 1 dan 2 atau Mallampati 1 dan 2) maka kesimpulannya adalah mudah dalam visualisasi laring (Cormack-Lehane 1 dan 2). Kategori korelasi prediktor secara seri dapat dilihat pada tabel 5.4. Tabel 5.4 Kategori korelasi prediktor secara seri Kategori
ULBT
Mallampati
Cormack-Lehane
0
EVL
EVL
EVL
1
EVL/DVL
DVL/EVL
EVL
2
DVL
DVL
DVL
Untuk mendapatkan cutoff point, kategori ini harus di sederhanakan kembali menjadi 2 kategori, sehingga kategori yang hasilnya sama (kategori 0 dan kategori 1) digabung menjadi satu menjadi kategori 0, dan kategori 2 menjadi kategori 1, sehingga didapatkan kategori korelasi secara seri seperti pada tabel 5.5. Tabel 5.5 Rekategori korelasi prediktor secara seri Kategori
ULBT
Mallampati
Cormack-Lehane
0
EVL/EVL/DVL
EVL/DVL/EVL
EVL
1
DVL
DVL
DVL
Pada korelasi secara seri ini, pada kelompok skor korelasi 0 didapatkan EVL sebanyak 254 orang (78,9%), sedangkan DVL sebanyak 52 orang (16,1%). Pada kelompok skor korelasi 1 tidak didapatkan EVL (0 orang) sedangkan DVL sebanyak 16 orang (5%).
5.2.1 Analisis skor ULBT sebagai prediktor kesulitan intubasi Skor ULBT 1 dan 2 dianggap sebagai prediktor mudah intubasi, sedangkan ULBT 3 dianggap sebagai prediktor sulit intubasi. Pada kelompok skor ULBT 1 dan 2 didapatkan EVL sebanyak 254 orang (78,9%), sedangkan DVL sebanyak 49 orang (15,2%). Pada kelompok skor ULBT 3 tidak didapatkan EVL (0 orang) sedangkan DVL sebanyak 19 orang (5,9%). Melalui uji diagnostik dengan tabel 2 x 2 didapatkan hasil sensitivitas sebesar 27,9% (95% CI: 17,7-40,1%), spesifisitas 100% ( 95% CI: 98,6-100%), NPP 100% (95% CI: 82.4-100%) dan NPN 83,8% ( 95% CI: 79,2-87.8%). Tabel 2x2 dari skor ULBT digambarkan pada tabel 5.5 Tabel 5.6 Tabel 2 x 2 skor ULBT Klasifikasi Cormack-Lehane Sulit Tidak sulit 19 0 Skor ULBT Sulit Tidak sulit 49 254 Total 68 254 Nilai sensitivitas : 27,9% (95% CI: 17,7-40,1%) Nilai spesifisitas : 100% ( 95% CI: 98,6-100%) Nilai prediksi positif (NPP) : 100% (95% CI: 82.4-100%) Nilai prediksi negatif (NPN) : 83,8% ( 95% CI: 79,2-87.8%)
Total 19 303 322
Dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 63,9% (95% CI: 58,6-69.3%). Kurva ROC skor ULBT terhadap skor Cormack-Lehane digambarkan pada gambar 5.1.
Gambar 5.1 Kurva ROC skor ULBT terhadap skor Cormack-Lehane
Tabel 5.7 Analisis ROC skor ULBT Objects 322
ROC Area 0,6397
Asymtotic Normal (95% CI )
Std. Error
Lower bound
Upper bound
0,0274
0,58598
0,69343
5.2.2 Analisis skor Mallampati sebagai prediktor kesulitan intubasi Skor Mallampati 1 dan 2 dianggap sebagai prediktor mudah intubasi, sedangkan 3 dan 4 dianggap sebagai prediktor sulit intubasi. Pada kelompok skor Mallampati 1 dan 2 didapatkan EVL sebanyak 245orang (76,1%), sedangkan
DVL sebanyak 21 orang (6,5%). Pada kelompok skor Mallampati 3 dan 4 didapatkan EVL sebanyak 9 orang (2,8%) sedangkan DVL sebanyak 47 orang (14,6%). Melalui uji diagnostik dengan tabel 2 x 2 didapatkan hasil sensitivitas sebesar 69,1% (95% CI: 56,7-79,8%), spesifisitas 96,5% ( 95% CI: 93,4-98,4%), NPP 83,9% ( 95% CI: 71,7-92,4%) dan NPN 92,1% (95% CI: 88,2-95%). Tabel 2x2 dari skor mallampati digambarkan pada tabel 5.5 Tabel 5.8 Tabel 2 x 2 skor Mallampati Klasifikasi Cormack-Lehane Sulit Tidak sulit Sulit 47 9 Skor Mallampati Tidak sulit 21 245 Total 68 254 Nilai sensitivitas : 69,1% (95% CI: 56,7-79,8%) Nilai spesifisitas : 96,5% ( 95% CI: 93,4-98,4%) Nilai prediksi positif (NPP) : 83,9% ( 95% CI: 71,7-92,4%) Nilai prediksi negatif (NPN) : 92,1% (95% CI: 88,2-95%)
Total 56 266 322
Dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 82,8% (95% CI: 77,1-88,4%). Kurva ROC skor Mallampati terhadap skor Cormack-Lehane digambarkan pada gambar 5.2.
Gambar 5.2 Kurva ROC skor Mallampati terhadap skor Cormack-Lehane Tabel 5.9 Analisis ROC skor Mallampati Asymtotic Normal (95% CI ) Objects 322
ROC Area 0,8279
Std. Error 0,0288
Lower bound
Upper bound
0,77140
0,88435
5.2.3 Analisis Korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara paralel Pada penelitian ini, pada kelompok skor korelasi 0 didapatkan EVL sebanyak 245orang (76,1%), sedangkan DVL sebanyak 18 orang (5,6%). Pada kelompok skor korelasi 1 didapatkan EVL sebanyak 9 orang (2,8%) sedangkan DVL sebanyak 50 orang (15,5%). Melalui uji diagnostik dengan tabel 2 x 2 didapatkan hasil sensitivitas sebesar 73,5% (95% CI: 61,4-83,5%), spesifisitas 96,5% ( 95% CI: 93,4-98,4%), NPP 84,7% ( 95% CI: 73-92,8%) dan NPN 93,2% (95% CI: 89,4-95,9%). Tabel
2x2 dari korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara paralel digambarkan pada tabel 5.7 Tabel 5.10 Tabel 2x2 korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara paralel
Skor korelasi parallel
Sulit Tidak sulit
Klasifikasi Cormack-Lehane Sulit Tidak sulit 50 9 18 245
Total
68 254 Nilai sensitivitas : 73,5% (95% CI: 61,4-83,5%) Nilai spesifisitas : 96,5% ( 95% CI: 93,4-98,4%) Nilai prediksi positif (NPP) : 84,7% ( 95% CI: 73-92,8%) Nilai prediksi negatif (NPN) : 93,2% (95% CI: 89,4-95,9%)
Total 59 263 322
Dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 85% (95% CI: 79,6-90,4%). Kurva ROC korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara paralel terhadap skor Cormack-Lehane digambarkan pada gambar 5.3.
Gambar 5.3 Kurva ROC korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara paralel terhadap skor Cormack-Lehane
Tabel 5.11 Analisis ROC korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara paralel terhadap skor Cormack-Lehane Objects 322
ROC Area 0,8499
Asymtotic Normal (95% CI )
Std. Error
Lower bound
Upper bound
0,0276
0,79590
0,90396
5.2.4 Analisis Korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara seri Pada penelitian ini, pada kelompok skor korelasi 0 didapatkan EVL sebanyak 254 orang (78,9%), sedangkan DVL sebanyak 52 orang (16,1%). Pada kelompok skor korelasi 1 tidak didapatkan EVL (0 orang) sedangkan DVL sebanyak 16 orang (5%). Melalui uji diagnostik dengan tabel 2 x 2 didapatkan hasil sensitivitas sebesar 23,5% (95% CI: 14,1-35,4%), spesifisitas 100% ( 95% CI: 98,6-100%), NPP 100% ( 95% CI: 79,4-100%) dan NPN 33% (95% CI: 78,3-87%). Tabel 2x2 dari korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara seri digambarkan pada tabel 5.7 Tabel 5.12 Tabel 2 x 2 korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara seri
Skor korelasi parallel
Sulit Tidak sulit Total
Klasifikasi Cormack-Lehane Sulit Tidak sulit 16 0 52 254
68 254 Nilai sensitivitas : 23,5% (95% CI: 14,1-35,4%) Nilai spesifisitas : 100% ( 95% CI: 98,6-100%) Nilai prediksi positif (NPP) : 100% ( 95% CI: 79,4-100%) Nilai prediksi negatif (NPN) : 33% (95% CI: 78,3-87%)
Total 16 306 322
Dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 61,8% (95% CI: 56,7-66,8%). Kurva ROC korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara seri terhadap skor Cormack-Lehane digambarkan pada gambar 5.4.
Gambar 5.4 Kurva ROC korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara seri terhadap skor Cormack-Lehane Tabel 5.13 Analisis ROC korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara seri terhadap skor Cormack-Lehane Objects 322
ROC Area 0,6176
Asymtotic Normal (95% CI )
Std. Error
Lower bound
Upper bound
0,0259
0,56686
0,66843
BAB VI PEMBAHASAN
Sensitivitas dan nilai prediksi positif pada suatu prediktor sulit intubasi seharusnya memiliki nilai yang tinggi, sehingga memiliki tingkat akurasi yang tinggi juga untuk mengidentifikasi semua pasien-pasien yang diduga akan mengalami kesulitan intubasi. Pada penelitian ini didapatkan Insiden terjadinya kesulitan dalam visualisasi laring (DVL) sebesar 21,1%, hasil ini sesuai dengan penelitian meta analisis yang dilakukan oleh Lee pada tahun 2006, dimana pada 9 penelitian yang melibatkan 14.438 pasien dan didapatkan insiden DVL sebesar 627% (Lee, 2006). Bila hasil ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Eka (2014) dapat disimpulkan angka insiden DVL di RSUP Sanglah Denpasar sebesar 15,7%. Lebarnya variasi yang didapatkan bias saja dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya karateristik sampel yang berbeda atau pelaksana laringoskopi yang berbeda-beda.
6.1 ULBT sebagai prediktor kesulitan intubasi Pada penelitian ini, cutoff point berdasarkan kriteria dari skor ULBT. Untuk prediksi EVL adalah skor ULBT 1 dan 2, sedangkan prediksi DVL adalah skor ULBT 3. Hasil penelitian ini, yang dilakukan melalui uji diagnostik dengan tabel 2 x 2 didapatkan hasil sensitivitas sebesar 27,9% (95% CI: 17,7-40,1%), spesifisitas 100% ( 95% CI: 98,6-100%), NPP 100% (95% CI: 82.4-100%) dan
NPN 83,8% ( 95% CI: 79,2-87.8%), sedangkan dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 63,9%. Hasil ini jauh berbeda dengan hasil penelitian Salimi pada tahun 2008 dan Jain Shah pada tahun 2013 dimana Salimi mempublikasikan hasil penelitian terhadap 350 pasien, dan menemukan bahwa upper lip bite test (ULBT) merupakan prediktor yang baik untuk kesulitan laringoskopi intubasi dengan sensitivitas 70,0% dan spesifisitas 93,3%, NPP 39,0% dan NPN 98,1%. Sementara itu Jain Shah dkk. telah mempublikasikan hasil penelitian terhadap 480 pasien dewasa dan menemukan upper lip bite test (ULBT) sebagai prediktor yang memiliki sensitivitas, spesifisitas, NPP, dan NPN (74,63%; 91,53%; 58,82%; 95,7%). Perbedaan hasil dari penelitian ini dibandingkan dengan hasil yang dilakukan Salimi dan Jain Shah dihubungkan dengan struktur kraniofasial yang berbeda dari populasi sampel. Susunan kerangka wajah dan jaringan lunak pada ras Melayu memiliki perbedaan dengan ras Kaukasus, Israel, Cina, Korea, India Utara dalam analisis sefalometrik (Munandar, 1992). Pada penelitian ini bila didapatkan hasil ULBT kelas 1 dan 2 yang masuk kategori EVL sebanyak 254 orang (78,9%), sedangkan DVL sebanyak 49 orang (15,2%), maka disarankan untuk menggunakan prediktor lain untuk meningkatkan keakuratan dalam visualisasi laring. Pada kelompok skor ULBT 3 tidak didapatkan EVL (0 orang) sedangkan DVL sebanyak 19 orang (5,9%), dengan pengertian bila didapatkan ULBT dengan skor 3 maka bisa di simpulkan bahwa memang benar akan didapatkan kesulitan visualisasi laring.
Dengan hasil uji diagnostik pada ULBT yang dilakukan pada penelitian ini, dimana didapatkan nilai sensitivitas sebesar 27,9%, spesifisitas sebesar 100% dan nilai NPP sebesar 100% serta dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 63,9%, maka dapat disimpulkan bahwa ULBT adalah prediktor yang lemah sebagai prediktor kesulitan intubasi di Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
6.2 Mallampati sebagai prediktor kesulitan intubasi Penilaian mallampati telah banyak digunakan sebagai prediktor kesulitan intubasi. Penilaian berdasarkan struktur anatomi rongga mulut ini dipercaya sebagai penilaian yang cukup mudah dalam meprediksi kesulitan laringoskopi intubasi Cut off point penelitian ini didapat berdasarkan kriteria dari skor Mallampati. Dimana untuk prediksi EVL adalah skor Mallampati 1 dan 2, sedangkan prediksi DVL adalah skor Mallampati 2 dan 3. Pada uji diagnostik dari skor Mallampati, penelitian sebelumnya yang dilakukan Jain Shah pada tahun 2013, mendapat hasil sensitivitas sebesar 70,4%, Spesifisitas sebesar 61%, NPP sebesar 22,6%, dan NPN sebesar 92,6%. Sementara penelitian ini mendapatkan nilai sensitivitas sebesar 69,1%, spesifisitas 96,5%, NPP 83,9% dan NPN 92,1%, sedangkan Dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 82,8%. Namun pada penelitian yang dilakukan Huh pada populasi Korea mendapatkan hasil dari nilai sensitivitas sebesar 12%, spesifisitas sebesar 94%, NPP sebesar 20% dan NPN sebesar 88%. Sedangkan penelitian yang dilakukan
oleh Salomo dan Efendi mendapatkan hasil dari sensitivitas sebesar 10,7%, spesifisitas sebesar 99,3%, NPP sebesar 60% dan NPN sebesar 91%. Adanya Hasil sensitivitas yang berbeda dari masing-masing penelitian kemungkinan dihubungkan dengan struktur kraniofasial yang berbeda masingmasing populasi sampel serta penentuan dari cut off point yang berbeda dari masing-masing penelitian. Dengan hasil uji diagnostik pada Mallampati yang dilakukan pada penelitian ini, dimana didapatkan nilai sensitifitas sebesar 69,1%, spesifisitas sebesar 96,5%, dan NPP sebesar 83,9% serta dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 82,8%, maka dapat disimpulkan bahwa Mallapati adalah prediktor yang baik sebagai prediktor kesulitan intubasi di Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
6.3 Korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara paralel Untuk ULBT sebagai prediktor kesulitan intubasi, penelitian ini mendapatkan hasil sensitivitas sebesar 27,9% (95% CI: 17,7-40,1%), spesifisitas 100% ( 95% CI: 98,6-100%), NPP 100% (95% CI: 82.4-100%) dan NPN 83,8% (95% CI: 79,2-87.8%), sedangkan Dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 63,9%. Sedangkan untuk Mallampati sebagai prediktor kesulitan intubasi, penelitian ini mendapatkan hasil sensitivitas sebesar 69,1%, spesifisitas 96,5%, NPP 83,9% dan NPN 92,1%, sedangkan Dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 82,8%.
Dari hasil analisa korelasi secara paralel didapatkan hasil dari sensitivitas sebesar 73,5%, spesifisitas sebesar 96,5%, NPP sebesar 84,7% dan NPN sebesar 93,2%, sedangkan dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 85%. Ini berarti terjadi penambahan nilai diagnostik terhadap ULBT dan Mallampati apabila dilakukan korelasi antara kedua prediktor kesulitan intubasi ini. Hal ini sangat sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rudim Domi, 2009, bahwa nilai dari tes skrining untuk sulit intubasi adalah terbatas bila hanya menggunakan satu tes tunggal, dengan kata lain tidak ada faktor anatomi tunggal yang dapat menentukan kemudahan dalam melakukan laringoskopi sehingga diperlukan kombinasi beberapa tes atau prediktor untuk menambah nilai diagnosis. Dengan hasil korelasi paralel pada uji diagnostik ULBT dengan Mallampati yang dilakukan pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa korelasi keduanya adalah prediktor yang baik sebagai prediktor kesulitan intubasi di Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
6.4 Korelasi skor ULBT dengan skor Mallampati secara Seri Dari hasil analisa korelasi secara seri didapatkan hasil dari sensitivitas sebesar 23,5%, spesifisitas sebesar 100%, NPP sebesar 100% dan NPN sebesar 33%, sedangkan dari kurva ROC didapat nilai AUC sebesar 61,8%. Dari hasil ini dapat dilihat bahwa terjadi penurunan nilai dari sensitivitas korelasi antara ULBT dengan Mallampati. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara
menentukan cut off point antara kedua bentuk korelasi yaitu korelasi secara paralel dan korelasi secara seri. Validitas diagnostik dari 2 prediktor sulit intubasi didapatkan Skor Mallampati lebih baik dibandingkan skor ULBT. Walaupun nilai sensitivitas mallampati tidak terlalu signifikan, namun dari hasil penelitian ini Mallampati masih lebih baik dari ULBT. Penilaian Mallampati merupakan sebuah sistem klasifikasi
(Mallampati
Score)
untuk
menghubungkan
antara
tampilan
oropharyngeal space dengan kemudahan laringoskopi direk (direct laryngoscopy) dan intubasi trakeal. Skor Mallampati merupakan rasio ukuran lidah terhadap faring. Sedangkan skor ULBT merupakan tehnik yang didasari pada jarak dan keleluasaan daripada pergerakan mandibula dengan komposisi daripada gigi yang memiliki peranan yang sangat penting dalam memfasilitasi laringoskopi intubasi. Disini struktur dari kraniofasial sari setiap suku bangsa maupun ras memiliki peranan yang sangat penting. ULBT sebagai prediktor kesulitan intubasi tidak terlalu signifikan berpengaruh pada susunan kerangka wajah dan jaringan lunak pada ras Melayu, tetapi kemungkinan mempunyai nilai lebih apabila digunakan sebagai prediktor kesulitan intubasi pada susunan kerangka wajah dan jaringan lunak pada ras yang ada di Asia selatan dan Timur tengah. Kurva ROC merupakan tawar menawar antara sensitivitas dan spesifisitas, dimana luas daerah dibawah kurva (AUC) berkisar antara 0 sampai 1. Nilai AUC mendekati 1 memiliki nilai validasi diagnostik yang paling baik.
Interpretasi nilai AUC dari kedua tes praanestesi untuk prediktor kesulitan intubasi, untuk ULBT dengan nilai AUC 63,9% adalah lemah sebagai prediktor sulit intubasi. Skor Mallampati dengan nilai AUC 82,8% adalah baik sebagai prediktor sulit intubasi. Sedangkan ketika kedua prediktor yaitu ULBT dan Mallampati dikorelasikan secara paralel didapatkan nilai AUC sebesar 85% yang berarti adalah sangat baik sebagai prediktor sulit intubasi. Sedangkan ketika ULBT dan Mallampati dikorelasikan secara seri didapatkan nilai AUC sebesar 61,8%, yang berarti adalah lemah sebagai prediktor intubasi. Kelebihan penelitian ini adalah didapatkannya hasil nilai validitas diagnostik yang baik dari hasil korelasi antara ULBT dengan Mallampati secara paralel. Dengan tingkat akurasi korelasi yang jauh lebih baik dari prediktor tunggal diharapkan model gabungan prediktor sulit intubasi ini nantinya dapat diterapkan pada populasi pasien di RSUP Sanglah Denpasar, dengan harapan dapat meningkatkan kualitas pelayanan anestesi pada umumnya dan patient safety khususnya. Pada penelitian ini didapatkan beberapa keterbatasan. Pertama, sebaran populasi sampel lebih di dominasi oleh pasien di RSUP Sanglah Denpasar, sehingga generalisasi ke populasi pasien
Indonesia masih membutuhkan
penelitian lebih lanjut. Kedua, memerlukan kerjasama dari relawan penelitian untuk melakukan ekstensi yang maksimal sehingga memperkecil kemungkinan kesalahan
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil dari penelitian ini maka dapat diambil simpulan bahwa ULBT dan mallampati memiliki nilai diagnostik yang kurang baik dan nilai diagnostik prediktor paling baik didapatkan bila dilakukan korelasi secara paralel antara prediktor ULBT dengan Mallampati.
7.2 Saran 1.
Diperlukan penelitian lebih lanjut yang bersifat multi center sehingga data yang diperoleh dapat dijadikan sebagai data yang dapat diterapkan untuk seluruh populasi yang ada di di seluruh Indonesia .
2.
Diperlukan penelitian dengan mengkombinasikan dengan prediktor kesulitan intubasi yang lain untuk memperbaiki prediktor kesulitan intubasi yang sudah ada.
DAFTAR PUSTAKA
Applegate R.L. 2004. Airway management. Dalam: Hines, R.L., penyunting. Adult Perioperative Anesthesia. Philadelphia: Elsevier Mosby. p. 168-82. Ballenger, J.J., 2009. Acute inflammation of the Nose and Face. Dalam: Ballenger, J.J. and Snow, J.B. (eds.) Otorhinolaryngology-Head and Neck. 15th ed.Baltimore, Philadelphia: Williams and Wilkins. p. 125-128. Benumof JL. 1991. Management of difficult airway – with special emphasis on awake tracheal intubation. Anesthesiology ; 75: p. 1087-1110. Benumof JL. 1994. Difficult laryngoscopy: obtaining the best view. Can J Anaesth ; 41 : 361–5. Boies L, Adams G, Higler P. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: p. 135-142. Cheney FW. 2002. Changing Trends in Anesthesia-Related Death and Permanent Brain Damage. ASA Newsletter; 66(6): p. 6-8. Cormack, R.S., Lehane, J. 1984. Difficult Tracheal Intubation in Obstetrics. Anaesthesia; 39: 1105-11. Dorsch Jerry A, Dorch Susan E. 2007. Understanding Anesthesia Equipment. Lippincott Williams And wilkins. Fifth Edition. P. 525.
Eka W. 2014. Uji Diagnostik Tinggi Tiromental Sebagai Prediktor sulit Intubasi Dibandingkan Dengan Skor Mallampat, Jarak Tiromental Dan Jarak Sternomental Pada Operasi Elektif. Universitas Udayana. p. 62. Gal, T.J. 2005. Airway Management. Dalam: Miller, R.D., penyunting. Miller’s Anesthesia. Edisi ke-6. Philadelphia: Churchill Livingstone. p. 1617-52. Guyton AC and JE Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9. Jakarta: EGC. p. Hagberg, C., Georgi, R., Krier, C. 2005. Complication of managing the airway. Best Practice & Reserch Clinical Anaesthesiology; 19 (4): 641-59.
Hussain, M. 2011. Cephalometric evaluation for Malaysian Malay by Steiner Analysis. Scientific Research and Essay. Volume 6(3); h.627-34.
Jain Shah P, Prasad Dubey K, Prakash Yadav J. 2013. Predictive Value of Upper Lip Bite test and ratio of height to Thyromental Distance compared to Other Multivariate Airway Assesment Test for Difficul Laringoscopy in Apparently Normal Patien. Journal of Anesthesiology Clinical Pharmacology; 29(2): p. 191-195. Khan ZH, Kashfi A, Ebrahimkhani E. 2003. A Comparison of the Upper Lip Bite Test (a Simple New Technique) with Modified Mallampati Classification in Predicting Difficulty in Endotracheal Intubation: A Prospective Blinded Styudy. Anesthesia and Analgesia; 96:595-9. Khan ZH, Mohammadi M, Rasouli MR, Farrokhnia F, Khan RH. 2009. The Diagnostic Value of the Upper Lip Bite Test Combined With Sternomental Distance, Thyromental Distance, and Interincisor Distance for Prediction of Easy Laryngoscopy and Intubation : Prospective Study. Anesthesia and Analgesia; 109 (3) : p.822-824. Larson C.P. 2006. Airway Management. Dalam: Morgan, G.E, Mikhail, M.S., Murray, M.J., penyunting. Clinical Anesthesiology. Edisi ke-4. New York: McGraw-Hill. p. 91-116. Latto IP, Vaughan, R.S. 1997. Management of Difficult Intubation. Dalam: Difficulties in Tracheal Intubation. New York: W.B. Saunders Company Ltd. p.107-60. Lee A Fischer, Ghatge S, Carin A H. 2006. Evidence-Based Practice of Anesthesiology; 2nd Ed. p.101-113. Lohom G. Ronayne. 2003. Prediction of Difficult Tracheal Intubation. European Journal of Anaesthesiology; p. 31-36. Lundstrom LH, Vester-Andersen M, Moller AM, Charuluxananan S. 2011. Poor Prognostic Value of the Modified Mallampati Score : A Meta-Analysis Involving 177.088 Patients. BJA; 107(5): p. 659-667. Magboul M. Ali. 2004. Magboul: The Dilemma of Airway Assessment and Evaluation. Journal of Anesthesiology. 10 (1).
Mallampati, S.R., Gatt, S.P., Gugino, L.D., Desai, S.P., Waraksa, B., Freberger, D., Liu, P.L. 1985. A Clinical Sign to predict Difficult Tracheal Intubation: A Prospective Study. Can Anaesth Soc J; 32(4): 429-34. Mohan K, Mohana R. 2013. Comparison of Upper Lip Bite Test With Thyromental Distance For Predicting Difficulty In Endotracheal Intubation : A Prospective Study. Asian Journal of Biomedical and Pharmaceutical Sciences; 3(22), p. 62-65. Morgan GE. 2006. Airway Management In Clinical Anesthesiology, 4th ed, New York : Mcgraw hill: p. 91-115 Munandar, S. 1992. Cephalometric Analysis of Deutero-Malay Indonesian. Department of preventive dentistry faculty of dentistry university of Sydney.
Proops, D.W., 1997. The Mouth and Related Faciomaxillary Structures. Dalam : Scott Brown’s Otolaryngology. Vol 1. Basic Sciences. 6th Ed. ButterworthHeinemann. Oxford. p. 1-23. Roberts and Hedges. 2013.Clinical Procedures In Emergency Medicine, sixth edition. Elsevier Saunders, Philadelphia. p. 65 Rudin Domi. 2009. A Comparison of Wilson Sum Score and Combination Mallampati, Thyromental and Sternomental Distances for Predicting Difficult Intubation. Albania Macedonian Journal of Medical Sciences; 2(2):141-14. Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007. Dalam: Efiaty A.S., Nurbaiti I., Jenny B. dan Ratna D.R.. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta, 2007. Edisi ke-6: p. 212-215; 217-218. Sopyudin Dahlan M. 2009. Penelitian Diagnostik, Seri Evidence based medicine 5. Jakarta ; Salemba medika. p. 3-17
Stringer KR, Bajenov S, Yentis SM, 2002. Training in airway management. Anaesthesia; 57: p.967-983.
Sutthiprapaporn P, Tanimoto K, Ohtsuka M, Nagasaki T, Iida Y, Katsumata A. 2008. Positional changes of oropharyngeal structures due to gravity in the upright and supine positions. Dentomaxillofacial Radiology, 37: p.130‒ 136.
Toshiya Shiga. 2005. Predicting Difficult Intubation in Apparently Normal Patients. Anesthesiology 2005; 103:429–37.
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
JADWAL PENELITIAN
No
Kegiatan
Jul
Agu
2014
2014 2014 1.
Pembuatan Proposal
2.
Seminar Proposal
3.
Koreksi/Ijin Penelitian
4.
Pelaksanaan Penelitian
5.
Pengolahan data
6.
Seminar hasil
7.
Penyempurnaan hasil
8.
Ujian Tesis
Sep
Okt
Nov
Des
Jan
2014 2014 2014 2015
Penyempurnaan
9.
Tesis
Lampiran 4 INFORMASI
Penjelasan mengenai penelitian KORELASI UPPER LIP BITE TEST (ULBT) DENGAN MALLAMPATI SEBAGAI PREDIKTOR KESULITAN INTUBASI DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR
Di RSUP Sanglah Denpasar saat ini tengah dilakukan penelitian oleh tim peneliti dari Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Penelitian ini berjudul Korelasi Upper Lip Bite Test (ULBT) dengan Mallampati Sebagai Prediktor Kesulitan Intubasi Di Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Bapak/ Ibu/Saudara/ Saudari akan menjalani pembedahan di ruang instalasi bedah RSUP Sanglah Denpasar dengan prosedur standar untuk anestesi umum intubasi pipa endotrakea. Apabila bapak/ibu setuju, bapak/ibu akan ikut serta dalam penelitian ini, kami akan melakukan penilaian skor Upper Lip Bite Test (ULBT) dan penilaian skor Mallapati. Dimana pada penilaian Upper Lip Bite Test (ULBT), kami akan meminta bapak/ibu untuk menggigit/menjangkau bibir atas dengan menggunakan gigi bagian bawah. Sedangkan pada penilaian mallampati
kami akan meminta bapak/ibu untuk membuka mulut sambil menjulurkan lidah. Kedua pemeriksaan/penilaian diatas dilakukan sebelum bapak/ibu masuk kamar operasi dan bertujuan untuk memprediksi kesulitan memasukkan pipa endotrakeal pada saat proses anesthesia. Apabila bapak/ibu bersedia ikut serta dalam penelitian ini kami ucapkan terima kasih, tidak akan ada tambahan biaya diluar biaya perawatan yang seharusnya, dan kerahasiaan identitas bapak/ibu akan kami jaga dengan cara mencantumkan hanya inisial saja. Tidak ada paksaan untuk ikut atau menolak diikutsertakan dalam penelitian ini. Bila bapak/ibu bersedia diikutsertakan dalam penelitian ini, kami ucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya dan bila tidak bersedia, tidak akan mengurangi kualitas pelayanan yang kami berikan. Terima kasih.
Hormat kami, Peneliti
(dr. Renol H. Simatupang) Catatan: nomer telepon peneliti yang dapat dihubungi 081396533280
Lampiran 5
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN UJI KLINIK
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: ..................................................................................
Umur/Kelamin
: ..................................................................................
Alamat
: ..................................................................................
Pekerjaan
: ..................................................................................
Nomor telepon
: ..................................................................................
Nomor KTP/SIM
: ..................................................................................
Setelah memperoleh penjelasan selengkap-lengkapnya dari peneliti tentang tujuan, manfaat serta risiko penelitian ini serta semua pertanyaan saya telah dijawab dengan jelas oleh dokter peneliti, dengan ini memberikan:
PERSETUJUAN Untuk ikut serta/mengikutsertakan saya sendiri* /istri* /ibu* /mertua* /saudara*/ anak saya: Nama
: ..................................................................................
Umur/Kelamin
: ..................................................................................
Alamat
: ..................................................................................
Pekerjaan
: ..................................................................................
Nomer telepon
: ..................................................................................
Nomer KTP/SIM
: ..................................................................................
Dalam penelitian di kamar operasi RSUP Sanglah Denpasar, yang berjudul: Korelasi Upper Lip Bite Test (ULBT) dengan Mallampati Sebagai Prediktor Kesulitan Intubasi Di Rumah Sakit Sanglah Denpasar. . Demikian surat pernyataan ini kami buat dengan sesungguhnya tanpa paksaan dari pihak manapun.
Denpasar, ........................2014* Penanggung jawab penelitian,
Yang membuat pernyataan,
(dr. Renol H. Simatupang)
(................................................)
Saksi dari Rumah Sakit
Saksi dari keluarga pasien
(.........................................)
(..............................................)
*Lingkari & coret yang lain
Lampiran 6 LEMBAR PENELITIAN
KORELASI UPPER LIP BITE TEST (ULBT) DENGAN MALLAMPATI SEBAGAI PREDIKTOR KESULITAN INTUBASI DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR Data Umum 1. No sampel
: ...........................................................................................
2. No Rekam Medis
: ...........................................................................................
3. Nama
: ...........................................................................................
4. Umur
: ...........................................................................................
5. Jenis kelamin
: ............................................................................................
6. Tingkat pendidikan
: ...........................................................................................
7. Tanggal
: ...........................................................................................
Data Khusus 1. Diagnosis
: ...........................................................................................
2. Jenis Operasi
: ...........................................................................................
3. Berat Badan
: ............kg
4. Tinggi badan
: ............cm
5. IMT
: ............kg/m2
6. Status Fisik ASA
: ...........................................................................................
Prosedur kerja : 1. Penelitian ini sudah mendapatkan persetujuan dari komite etik penelitian kedokteran FK UNUD dan RSUP Sanglah. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi ditetapkan sebagai sampel. 2. Setelah mendapatkan penjelasan dan pasien setuju dilanjutkan dengan menandatangani persetujuan penelitian.
3. Dilakukan evaluasi penilaian skor Upper Lip Bite Test (ULBT) dan Skor Mallampati. 4. Upper Lip Bite test (ULBT) : berupa kemampuan lower incisor menjangkau bibir atas, dengan kalsifikasi :
Kelas I
: Lower incisors dapat menjangkau bibir atas, diatas
vermilion line.
Kelas II
: Lower Incisors dapat menjangkau bibir atas,
dibawah vermilion line.
Kelas III
: lower incisors tidak dapat menjangkau bibir atas
Gambar 1. Kelas Skor ULBT Posisi pemeriksaan untuk menilai Upper Lip bite test (ULBT) ini dapat dilakukan dengan posisi pasien berbaring. 5. Skor Mallampati : merupakan rasio ukuran lidah atau faring, dinilai dengan cara pasien duduk dengan posisi wajah menghadap ke depan,
mulut dibuka maksimal dan lidah dijulurkan keluar tanpa mengeluarkan suara, terdiri atas :
Kelas I: Tampak palatum molle, palatum durum, uvula, pillar tonsil anterior dan posterior
Kelas II : Tampak palatum molle, palatum durum dan uvula
Kelas III : Tampak palatum molle dan dasar uvula
Kelas IV : Tak tampak palatum molle
Posisi pemeriksaan : Pasien duduk dengan mulut terbuka maksimal, lidah menjulur dan tanpa fonasi 6. Subyek dipuasakan selama 8 jam. 7. Sampai di ruang persiapan instalasi bedah RSUP Sanglah Denpasar, dilakukan pencatatan identitas kembali, kemudian dilakukan pemasangan infus dengan cairan kristaloid, kecepatan pemberian sesuai kebutuhan cairan pemeliharaan sesuai berat badan pasien. 8. Setelah itu pasien dibawa ke ruang operasi, dipindahkan ke meja operasi. 9. Pasang monitor tekanan darah non invasif, EKG, pulse oxymetry. 10. Diberikan premedikasi midazolam 0,05 mg/kg BB, analgetik fentanil 2-3 mcg/kgBB. Satu menit kemudian dilakukan induksi dengan Propofol 23mg/kgBB. Setelah reflex bulu mata hilang, dilakukan bantuan ventilasi dengan oksigen 100 % Anestesia volatil memakai isofluran dengan MAC 1%. Kemudian diberikan atracurium 0,5 mg/kg BB. Laringoskopi dilakukan setelah dinilai kedalaman anestesia telah adekuat yaitu rahang
lemas dan tidak ada respon motorik pada pengangkatan rahang atau 3 menit setelah pemberian Atracurium. 11. Laringoskopi dilakukan oleh residen anestesi pin hijau, dengan memakai laringoskop Macintosh nomor yang sesuai sampai ujung bilah pada valekula dan kemudian diangkat hingga pita suara terlihat. 12. Dilakukan penilaian skor Cormack Lehane tanpa menekan krikoid. 13. Skor Cormack-Lehane adalah skor yang membagi gambaran laring atas pada saat laringoskopi :
Derajat 1 : Pita suara terlihat semua
Derajat 2 : Tampak sebagian glotis atau aritenoid
Derajat 3 : Hanya terlihat epiglotis
Derajat 4 : Tidak terlihat epiglotis bahkan glotis
PENCATATAN HASIL EVALUASI
Skor Mallampati
I
/
Skor ULBT
Skor Cormack-Lehane
II
I /
I
Efek samping yang timbul : ADA / TIDAK*
/
II
/
III
/
IV
II / III
/
III
/
IV
Observer
: ....................................
*Lingkari & coret yang lain
Lampiran 7
TABULASI DATA PENELITIAN : KORELASI UPPER LIP BITE TEST DENGAN MALLAMPA KESULITAN INTUBASI DI RSUP SANGLAH DENPASAR No
Inisial
Umur (th)
JK
Berat badan (kg)
Tinggi badan (m)
BMI
1
IMS
42
1
70
1.65
25.71
2
VPR
41
2
66
1.65
24.24
3
INS
28
1
60
1.7
20.76
4
IWN
59
1
60
1.65
22.04
5
Wt
47
1
52
1.6
20.31
6
JKS
21
2
50
1.5
22.22
7
IWM
41
1
45
1.6
17.58
8
IWK
56
1
80
1.68
28.34
9
YW
52
2
41
1.55
17.07
10
MR
42
1
62
1.7
21.45
11
DL
44
1
94
1.8
29.01
12
Jai
41
1
70
1.7
24.22
13
KMu
29
2
70
1.7
24.22
14
IDC
28
2
66
1.6
25.78
15
Bad
46
2
60
1.6
23.44
16
INW
49
2
65
1.65
23.88
17
NWA
24
2
50
1.5
22.22
18
AH
49
1
60
1.65
22.04
19
NMY
31
2
65
1.58
26.04
20
GAS
39
2
62
1.6
24.22
21
DAN
36
2
62
1.58
24.84
22
NNR
46
2
60
1.65
22.04
23
IWW
48
1
65
1.6
25.39
24
NMA
26
2
55
1.6
21.48
25
NNT
64
2
60
1.55
24.97
26
IKM
64
1
45
1.6
17.58
27
INy
32
1
50
1.6
19.53
28
GDS
32
1
50
1.6
19.53
29
NKN
20
2
60
1.65
22.04
30
NKR
21
2
42
1.5
18.67
31
SL
18
1
45
1.46
21.11
32
NNS
65
2
52
1.6
20.31
33
NWA
56
2
65
1.6
25.39
34
MR
39
1
60
1.65
22.04
35
IGL
64
1
60
1.7
20.76
36
Su
34
2
55
1.55
22.89
37
MdD
53
2
70
1.65
25.71
38
NKR
51
2
40
1.5
17.78
39
IWS
56
1
80
1.7
27.68
40
IGS
33
1
60
1.6
23.44
41
NWT
48
2
50
1.55
20.81
42
NKR
51
2
45
1.6
17.58
43
NWS
61
2
45
1.5
20.00
44
NKs
34
2
72
1.6
28.13
45
IPA
29
1
70
1.69
24.51
46
NNK
41
2
64
1.56
26.30
47
IMB
56
1
65
1.65
23.88
48
IWG
53
1
80
1.55
33.30
49
LSA
59
2
65
1.58
26.04
50
WA
55
1
75
1.65
27.55
51
IKY
49
1
70
1.7
24.22
52
NYY
47
2
65
1.65
23.88
53
NKS
35
2
40
1.5
17.78
54
IAK
43
2
51
1.55
21.23
55
NNW
57
2
55
1.6
21.48
56
NWa
51
1
60
1.65
22.04
57
Haf
23
2
35
1.4
17.86
58
NKA
27
2
53
1.61
20.45
59
CHS
32
1
97
1.78
30.61
60
DS
39
1
60
1.73
20.05
61
Sug
46
1
75
1.7
25.95
62
INT
61
1
65
1.75
21.22
63
INK
62
1
65
1.71
22.23
64
NNK
55
2
60
1.55
24.97
65
INL
60
1
60
1.65
22.04
66
PhL
65
1
58
1.6
22.66
67
RMa
22
2
55
1.6
21.48
68
BAJ
16
2
55
1.6
21.48
69
Dah
26
1
50
1.6
19.53
70
NKS
37
2
65
1.7
22.49
71
PDB
58
1
65
1.75
21.22
72
IGA
18
1
78
1.76
25.18
73
NNR
19
2
45
1.55
18.73
74
NWP
63
2
50
1.55
20.81
75
ASa
22
1
50
1.55
20.81
76
IGA
29
2
55
1.55
22.89
77
IWD
44
1
58
1.6
22.66
78
NKM
58
2
50
1.5
22.22
79
IKM
20
2
65
1.65
23.88
80
LPS
28
2
66
1.65
24.24
81
AUA
40
2
45
1.6
17.58
82
PtB
21
1
58
1.65
21.30
83
NSK
54
2
60
1.65
22.04
84
PtS
32
1
60
1.65
22.04
85
SRD
44
2
65
1.56
26.71
86
MdW
51
1
75
1.75
24.49
87
Sun
44
2
60
1.65
22.04
88
NMS
29
2
55
1.55
22.89
89
MeA
65
2
100
1.6
39.06
90
NNR
63
2
50
1.55
20.81
91
INR
43
1
70
1.7
24.22
92
Hal
55
2
50
1.6
19.53
93
IWW
19
1
50
1.64
18.59
94
DGG
17
1
65
1.65
23.88
95
JeA
35
2
55
1.55
22.89
96
INS
54
1
70
1.65
25.71
97
INK
54
1
60
1.65
22.04
98
IKK
42
1
60
1.65
22.04
99
NKA
41
2
60
1.6
23.44
100
InS
35
1
70
1.65
25.71
101
LuD
51
1
60
1.5
26.67
102
IWn
61
1
75
1.75
24.49
103
IWs
50
1
65
1.65
23.88
104
IMK
51
2
50
1.5
22.22
105
MB
54
1
60
1.7
20.76
106
KM
54
1
60
1.65
22.04
107
NNR
32
2
50
1.5
22.22
108
GAD
46
2
55
1.6
21.48
109
NG
55
1
70
1.7
24.22
110
MD
65
1
60
1.65
22.04
111
AW
19
1
65
1.5
28.89
112
TS
19
1
55
1.65
20.20
113
Sw
41
2
75
1.65
27.55
114
IWP
60
1
45
1.5
20.00
115
IKR
60
1
60
1.68
21.26
116
NWM
42
2
70
1.65
25.71
117
IKS
51
2
60
1.55
24.97
118
NAL
19
2
45
1.55
18.73
119
PYF
16
1
70
1.75
22.86
120
IMS
47
1
75
1.7
25.95
121
NLB
65
2
40
1.45
19.02
122
MV
35
2
50
1.55
20.81
123
Fl
46
2
60
1.65
22.04
124
NLS
29
2
55
1.55
22.89
125
NS
19
1
52
1.65
19.10
126
NKS
40
2
80
1.65
29.38
127
GTA
25
1
65
1.65
23.88
128
Wh
43
1
60
1.6
23.44
129
TDM
50
2
55
1.6
21.48
130
NNS
56
2
45
1.55
18.73
131
KGG
27
1
60
1.7
20.76
132
INM
64
1
55
1.7
19.03
133
PKS
20
1
55
1.65
20.20
134
ASK
25
2
65
1.6
25.39
135
KDW
29
1
65
1.68
23.03
136
Sd
32
1
56
1.7
19.38
137
WPS
30
1
55
1.67
19.72
138
INB
37
1
70
1.65
25.71
139
SKM
47
1
43
1.5
19.11
140
KS
59
1
55
1.6
21.48
141
NWP
61
2
80
1.6
31.25
142
NMW
64
2
50
1.55
20.81
143
MM
51
1
55
1.6
21.48
144
EP
28
1
55
1.65
20.20
145
MP
59
1
60
1.6
23.44
146
WM
62
1
60
1.65
22.04
147
WS
36
2
52
1.6
20.31
148
NLK
33
2
65
1.6
25.39
149
MI
48
2
65
1.6
25.39
150
MS
42
1
50
1.6
19.53
151
KA
41
2
50
1.6
19.53
152
INT
58
1
45
1.55
18.73
153
KDW
43
2
55
1.6
21.48
154
DNS
62
2
65
1.6
25.39
155
IGS
64
1
70
1.65
25.71
156
Sf
19
1
66
1.6
25.78
157
GKM
49
2
45
1.5
20.00
158
INS
51
1
50
1.6
19.53
159
INM
40
1
57
1.6
22.27
160
Sw
41
2
65
1.65
23.88
161
Mn
65
2
50
1.55
20.81
162
GNS
57
2
50
1.55
20.81
163
NWB
64
2
50
1.5
22.22
164
IWK
47
2
55
1.55
22.89
165
NNS
46
2
50
1.45
23.78
166
Hs
47
2
50
1.55
20.81
167
WS
36
1
80
1.7
27.68
168
My
39
1
74
1.7
25.61
169
MU
22
2
40
1.5
17.78
170
DM
53
1
60
1.6
23.44
171
NMF
52
2
60
1.6
23.44
172
EN
38
2
45
1.55
18.73
173
NLR
45
2
50
1.6
19.53
174
Mj
31
2
55
1.6
21.48
175
IBW
57
1
55
1.6
21.48
176
NKE
38
2
60
1.65
22.04
177
NC
48
1
65
1.65
23.88
178
IMP
57
1
60
1.75
19.59
179
Pj
58
2
67
1.51
29.38
180
SNA
33
2
55
1.6
21.48
181
MW
57
2
60
1.55
24.97
182
Nn
39
2
53
1.65
19.47
183
NKS
41
2
50
1.48
22.83
184
Nj
39
2
51
1.65
18.73
185
MWt
57
2
60
1.55
24.97
186
SNA
33
2
55
1.6
21.48
187
Pd
58
2
70
1.51
30.70
188
IMP
57
1
60
1.75
19.59
189
INC
48
1
65
1.65
23.88
190
NKE
38
2
60
1.65
22.04
191
BW
37
1
55
1.6
21.48
192
Mj
31
2
55
1.6
21.48
193
NLR
45
2
50
1.6
19.53
194
EN
38
2
45
1.55
18.73
195
MMF
52
2
60
1.6
23.44
196
DM
53
1
60
1.6
23.44
197
MU
22
2
45
1.5
20.00
198
MD
39
1
74
1.7
25.61
199
WS
36
1
80
1.7
27.68
200
Hf
47
2
50
1.55
20.81
201
Mh
39
2
60
1.58
24.03
202
ING
31
1
60
1.65
22.04
203
NKD
34
2
55
1.6
21.48
204
NLD
22
2
50
1.6
19.53
205
IWS
51
1
66
1.72
22.31
206
GMO
50
1
60
1.65
22.04
207
Ht
54
2
50
1.55
20.81
208
MTD
52
1
85
1.73
28.40
209
NNS
34
2
66
1.6
25.78
210
INR
48
2
55
1.5
24.44
211
LWA
21
2
50
1.62
19.05
212
MD
18
1
45
1.5
20.00
213
RM
23
2
49
1.5
21.78
214
IWS
63
1
75
1.65
27.55
215
Gn
18
1
45
1.5
20.00
216
KR
48
1
68
1.65
24.98
217
DK
33
1
60
1.6
23.44
218
SH
31
1
60
1.65
22.04
219
GAM
33
2
55
1.6
21.48
220
TML
61
2
75
1.6
29.30
221
IAG
30
2
60
1.55
24.97
222
HRS
18
2
53
1.4
27.04
223
NYS
45
1
50
1.65
18.37
224
SrA
36
2
50
1.6
19.53
225
KmR
60
1
45
1.55
18.73
226
NRB
20
1
60
1.8
18.52
227
NNS
34
2
66
1.6
25.78
228
MdO
50
1
60
1.65
22.04
229
LAH
51
2
65
1.65
23.88
230
Nyr
28
1
70
1.75
22.86
231
DAY
39
2
67
1.67
24.02
232
PBP
18
1
55
1.6
21.48
233
NNP
40
2
50
1.55
20.81
234
RaL
41
2
70
1.65
25.71
235
KtS
26
1
70
1.7
24.22
236
NLG
41
2
55
1.65
20.20
237
ArS
63
2
50
1.55
20.81
238
KDP
18
2
40
1.5
17.78
239
TY
31
2
50
1.5
22.22
240
KtL
63
2
45
1.5
20.00
241
INL
44
1
50
1.6
19.53
242
JrM
48
1
60
1.65
22.04
243
ABA
27
1
75
1.65
27.55
244
WyH
36
2
50
1.55
20.81
245
NgS
31
1
65
1.71
22.23
246
Nya
39
1
80
1.78
25.25
247
MdU
48
1
70
1.6
27.34
248
KoW
22
1
60
1.7
20.76
249
AFC
41
1
70
170
0.00
250
GAS
36
2
50
1.6
19.53
251
GNA
43
2
52
160
0.00
252
DGS
57
1
75
1.75
24.49
253
Md
33
1
60
1.6
23.44
254
NWA
40
2
55
1.55
22.89
255
IPT
52
2
68
1.56
27.94
256
AR
50
2
60
1.6
23.44
257
PO
47
1
65
1.65
23.88
258
NJ
59
1
60
1.65
22.04
259
KMS
20
1
70
1.65
25.71
260
NKK
64
2
72
1.65
26.45
261
LA
24
2
55
1.55
22.89
262
IMA
39
1
85
1.75
27.76
263
NNT
48
2
60
1.55
24.97
264
IKA
38
2
55
1.6
21.48
265
WS
35
1
60
1.7
20.76
266
WM
65
2
40
1.5
17.78
267
Sw
46
2
50
1.5
22.22
268
NMS
58
2
45
1.5
20.00
269
NMD
40
2
75
1.65
27.55
270
NKD
40
2
42
1.43
20.54
271
NNW
64
2
56
1.5
24.89
272
INB
31
1
60
1.65
22.04
273
Mas
49
1
46
166
0.00
274
Kr
22
2
47
1.58
18.83
275
NMS
41
2
65
1.58
26.04
276
IMA
18
1
65
1.7
22.49
277
Sh
48
1
58
1.65
21.30
278
IWS
41
1
60
1.7
20.76
279
ASP
18
1
65
1.65
23.88
280
MDO
18
2
50
1.55
20.81
281
KtN
56
2
56
1.5
24.89
282
NiL
32
2
50
1.6
19.53
283
MaG
49
2
55
1.6
21.48
284
MdR
55
1
60
1.7
20.76
285
WyK
61
1
70
1.7
24.22
286
Nsu
57
2
45
1.5
20.00
287
Mis
45
1
70
1.65
25.71
288
NyS
54
1
70
1.65
25.71
289
WyR
38
2
70
1.6
27.34
290
NaP
45
2
60
1.55
24.97
291
PAA
17
2
55
1.6
21.48
292
KtW
43
1
60
1.6
23.44
293
DAY
39
2
67
1.67
24.02
294
INR
28
1
70
1.75
22.86
295
IWS
19
1
60
1.6
23.44
296
NWS
65
2
65
1.6
25.39
297
NKR
40
2
49
1.5
21.78
298
NRB
20
1
62
1.8
19.14
299
IWS
35
1
60
1.65
22.04
300
IMM
58
1
65
1.65
23.88
301
ASA
18
1
70
1.7
24.22
302
NNL
53
2
50
1.55
20.81
303
INO
57
1
75
1.68
26.57
304
Nh
39
2
50
1.5
22.22
305
NS
45
1
75
1.7
25.95
306
LI
40
2
50
1.55
20.81
307
NNS
47
2
45
1.55
18.73
308
Sp
25
1
60
1.65
22.04
309
NMD
18
2
45
1.55
18.73
310
NPN
19
2
55
1.7
19.03
311
IKP
46
1
60
1.7
20.76
312
NMN
63
2
59
1.55
24.56
313
INL
44
1
50
1.6
19.53
314
NKL
63
2
45
1.5
20.00
315
PIW
44
1
80
1.75
26.12
316
WyR
65
1
70
1.65
25.71
317
BeK
36
1
50
1.55
20.81
318
SuN
44
2
60
1.65
22.04
319
HjS
63
2
75
1.6
29.30
320
MdW
52
1
75
1.66
27.22
321
KtU
57
2
58
1.5
25.78
322
KtW
43
1
60
1.6
23.44
Lampiran 8 HASIL ANALISIS DATA . sum umurth Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+------------------------------------------------------umurth | 322 42.23913 13.7857 16 65
. tab jk JK | Freq. Percent Cum. ------------+----------------------------------Laki-laki | 153 47.52 47.52 Perempuan | 169 52.48 100.00 ------------+----------------------------------Total | 322 100.00 . sum beratbadankg Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+------------------------------------------------------beratbadankg | 322 59.3354 10.30044 35 100 . sum tinggibadanm Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+------------------------------------------------------tinggibadanm | 322 1.611894 .0746486 1.4 1.8 . . sum imt Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+------------------------------------------------------imt | 322 22.74476 3.053267 16.69328 39.0625 . tab ulbt ULBT | Freq. Percent Cum. ------------+----------------------------------1 | 114 35.40 35.40 2 | 189 58.70 94.10 3 | 19 5.90 100.00 ------------+----------------------------------Total | 322 100.00 . tab mallampati Mallampati | Freq. Percent Cum. ------------+----------------------------------1 | 85 26.40 26.40
2 | 181 56.21 82.61 3 | 52 16.15 98.76 4 | 4 1.24 100.00 ------------+----------------------------------Total | 322 100.00 . tab cormacklehane Cormack-Leh | ane | Freq. Percent Cum. ------------+----------------------------------1 | 132 40.99 40.99 2 | 122 37.89 78.88 3 | 54 16.77 95.65 4 | 14 4.35 100.00 ------------+----------------------------------Total | 322 100.00 . tab kat_ulbt kat_ulbt | Freq. Percent Cum. ------------+----------------------------------Mudah | 303 94.10 94.10 Sulit | 19 5.90 100.00 ------------+----------------------------------Total | 322 100.00 . tab kat_mp kat_mp | Freq. Percent Cum. ------------+----------------------------------Mudah | 266 82.61 82.61 Sulit | 56 17.39 100.00 ------------+----------------------------------Total | 322 100.00 . tab kat_cormack kat_cormack | Freq. Percent Cum. ------------+----------------------------------Mudah | 254 78.88 78.88 Sulit | 68 21.12 100.00 ------------+----------------------------------Total | 322 100.00 . tab kat_ulbt kat_cormack, col row +-------------------+ | Key | |-------------------| | frequency | | row percentage | | column percentage | +-------------------+
|
kat_cormack kat_ulbt | Mudah Sulit | Total -----------+----------------------+---------Mudah | 254 49 | 303 | 83.83 16.17 | 100.00 | 100.00 72.06 | 94.10 -----------+----------------------+---------Sulit | 0 19 | 19 | 0.00 100.00 | 100.00 | 0.00 27.94 | 5.90 -----------+----------------------+---------Total | 254 68 | 322 | 78.88 21.12 | 100.00 | 100.00 100.00 | 100.00 . diagt kat_cormack kat_ulbt kat_cormac | kat_ulbt k | Pos. Neg. | Total -----------+----------------------+---------Abnormal | 19 49 | 68 Normal | 0 254 | 254 -----------+----------------------+---------Total | 19 303 | 322 True abnormal diagnosis defined as kat_cormack = 1 (labelled Sulit) [95% Confidence Interval] -------------------------------------------------------------------------Prevalence Pr(A) 21% 17% 26% -------------------------------------------------------------------------Sensitivity Pr(+|A) 27.9% 17.7% 40.1% Specificity Pr(-|N) 100% 98.6% 100% ROC area (Sens. + Spec.)/2 .64 .586 .693 -------------------------------------------------------------------------Likelihood ratio (+) Pr(+|A)/Pr(+|N) . . . Likelihood ratio (-) Pr(-|A)/Pr(-|N) .721 .621 .836 Odds ratio LR(+)/LR(-) . 25.3 .
Positive predictive value Pr(A|+) 100% 82.4% 100% Negative predictive value Pr(N|-) 83.8% 79.2% 87.8% -------------------------------------------------------------------------Missing values or confidence intervals may be estimated using the -sf- or -sf0- options. . roctab kat_cormack kat_ulbt, detail graph Detailed report of sensitivity and specificity ----------------------------------------------------------------------------Correctly Cutpoint Sensitivity Specificity Classified LR+ LR----------------------------------------------------------------------------( >= Mudah ) 100.00% 0.00% 21.12% 1.0000 ( >= Sulit ) 27.94% 100.00% 84.78% 0.7206 ( > Sulit ) 0.00% 100.00% 78.88% 1.0000 ----------------------------------------------------------------------------ROC
-Asymptotic
Normal-Obs Area Std. Err. [95% Conf. Interval] ------------------------------------------------------322 0.6397 0.0274 0.58598 0.69343 . tab kat_mp kat_cormack, col row +-------------------+ | Key | |-------------------| | frequency | | row percentage | | column percentage | +-------------------+ | kat_cormack kat_mp | Mudah Sulit | Total -----------+----------------------+---------Mudah | 245 21 | 266 | 92.11 7.89 | 100.00
| 96.46 30.88 | 82.61 -----------+----------------------+---------Sulit | 9 47 | 56 | 16.07 83.93 | 100.00 | 3.54 69.12 | 17.39 -----------+----------------------+---------Total | 254 68 | 322 | 78.88 21.12 | 100.00 | 100.00 100.00 | 100.00 . diagt kat_cormack kat_mp kat_cormac | kat_mp k | Pos. Neg. | Total -----------+----------------------+---------Abnormal | 47 21 | 68 Normal | 9 245 | 254 -----------+----------------------+---------Total | 56 266 | 322 True abnormal diagnosis defined as kat_cormack = 1 (labelled Sulit) [95% Confidence Interval] -------------------------------------------------------------------------Prevalence Pr(A) 21% 17% 26% -------------------------------------------------------------------------Sensitivity Pr(+|A) 69.1% 56.7% 79.8% Specificity Pr(-|N) 96.5% 93.4% 98.4% ROC area (Sens. + Spec.)/2 .828 .771 .884 -------------------------------------------------------------------------Likelihood ratio (+) Pr(+|A)/Pr(+|N) 19.5 10.1 37.8 Likelihood ratio (-) Pr(-|A)/Pr(-|N) .32 .224 .457 Odds ratio LR(+)/LR(-) 60.9 26.5 140 Positive predictive value Pr(A|+) 83.9% 71.7% 92.4% Negative predictive value Pr(N|-) 92.1% 88.2% 95% --------------------------------------------------------------------------
. roctab kat_cormack kat_mp, detail graph Detailed report of sensitivity and specificity ----------------------------------------------------------------------------Correctly Cutpoint Sensitivity Specificity Classified LR+ LR----------------------------------------------------------------------------( >= Mudah ) 100.00% 0.00% 21.12% 1.0000 ( >= Sulit ) 69.12% 96.46% 90.68% 19.5065 0.3202 ( > Sulit ) 0.00% 100.00% 78.88% 1.0000 ----------------------------------------------------------------------------ROC
-Asymptotic
Normal-Obs Area Std. Err. [95% Conf. Interval] ------------------------------------------------------322 0.8279 0.0288 0.77140 0.88435 . tab pararel kat_cormack, col row +-------------------+ | Key | |-------------------| | frequency | | row percentage | | column percentage | +-------------------+ | kat_cormack pararel | Mudah Sulit | Total -----------+----------------------+---------Mudah | 245 18 | 263 | 93.16 6.84 | 100.00 | 96.46 26.47 | 81.68 -----------+----------------------+---------Sulit | 9 50 | 59 | 15.25 84.75 | 100.00 | 3.54 73.53 | 18.32 -----------+----------------------+---------Total | 254 68 | 322 | 78.88 21.12 | 100.00 | 100.00 100.00 | 100.00
. diagt kat_cormack pararel kat_cormac | pararel k | Pos. Neg. | Total -----------+----------------------+---------Abnormal | 50 18 | 68 Normal | 9 245 | 254 -----------+----------------------+---------Total | 59 263 | 322 True abnormal diagnosis defined as kat_cormack = 1 (labelled Sulit) [95% Confidence Interval] -------------------------------------------------------------------------Prevalence Pr(A) 21% 17% 26% -------------------------------------------------------------------------Sensitivity Pr(+|A) 73.5% 61.4% 83.5% Specificity Pr(-|N) 96.5% 93.4% 98.4% ROC area (Sens. + Spec.)/2 .85 .796 .904 -------------------------------------------------------------------------Likelihood ratio (+) Pr(+|A)/Pr(+|N) 20.8 10.8 40 Likelihood ratio (-) Pr(-|A)/Pr(-|N) .274 .185 .408 Odds ratio LR(+)/LR(-) 75.6 32.4 176 Positive predictive value Pr(A|+) 84.7% 73% 92.8% Negative predictive value Pr(N|-) 93.2% 89.4% 95.9% -------------------------------------------------------------------------. roctab kat_cormack pararel , detail graph Detailed report of sensitivity and specificity ----------------------------------------------------------------------------Correctly Cutpoint Sensitivity Specificity Classified LR+ LR-----------------------------------------------------------------------------
( >= Mudah ) 100.00% 0.00% 21.12% 1.0000 ( >= Sulit ) 73.53% 96.46% 91.61% 20.7516 0.2744 ( > Sulit ) 0.00% 100.00% 78.88% 1.0000 ----------------------------------------------------------------------------ROC
-Asymptotic
Normal-Obs Area Std. Err. [95% Conf. Interval] ------------------------------------------------------322 0.8499 0.0276 0.79590 0.90396 . tab seri kat_cormack, col row +-------------------+ | Key | |-------------------| | frequency | | row percentage | | column percentage | +-------------------+ | kat_cormack seri | Mudah Sulit | Total -----------+----------------------+---------Mudah | 254 52 | 306 | 83.01 16.99 | 100.00 | 100.00 76.47 | 95.03 -----------+----------------------+---------Sulit | 0 16 | 16 | 0.00 100.00 | 100.00 | 0.00 23.53 | 4.97 -----------+----------------------+---------Total | 254 68 | 322 | 78.88 21.12 | 100.00 | 100.00 100.00 | 100.00 . diagt kat_cormack seri kat_cormac | seri k | Pos. Neg. | Total -----------+----------------------+---------Abnormal | 16 52 | 68 Normal | 0 254 | 254 -----------+----------------------+---------Total | 16 306 | 322
True abnormal diagnosis defined as kat_cormack = 1 (labelled Sulit) [95% Confidence Interval] -------------------------------------------------------------------------Prevalence Pr(A) 21% 17% 26% -------------------------------------------------------------------------Sensitivity Pr(+|A) 23.5% 14.1% 35.4% Specificity Pr(-|N) 100% 98.6% 100% ROC area (Sens. + Spec.)/2 .618 .567 .668 -------------------------------------------------------------------------Likelihood ratio (+) Pr(+|A)/Pr(+|N) . . . Likelihood ratio (-) Pr(-|A)/Pr(-|N) .765 .67 .872 Odds ratio LR(+)/LR(-) . 20 . Positive predictive value Pr(A|+) 100% 79.4% 100% Negative predictive value Pr(N|-) 83% 78.3% 87% -------------------------------------------------------------------------Missing values or confidence intervals may be estimated using the -sf- or -sf0- options. . roctab kat_cormack seri , detail graph Detailed report of sensitivity and specificity ----------------------------------------------------------------------------Correctly Cutpoint Sensitivity Specificity Classified LR+ LR----------------------------------------------------------------------------( >= Mudah ) 100.00% 0.00% 21.12% 1.0000 ( >= Sulit ) 23.53% 100.00% 83.85% 0.7647 ( > Sulit ) 0.00% 100.00% 78.88% 1.0000
----------------------------------------------------------------------------ROC
-Asymptotic
Normal-Obs Area Std. Err. [95% Conf. Interval] ------------------------------------------------------322 0.6176 0.0259 0.56686 0.66843