TESIS
LIDOKAIN 2% INTRACUFF PIPA ENDOTRAKEA MENGURANGI NYERI TENGGOROKAN PASCA INTUBASI DI RSUP SANGLAH DENPASAR
ARI YUDHA SANJAYA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
LIDOKAIN 2% INTRACUFF PIPA ENDOTRAKEA MENGURANGI NYERI TENGGOROKAN PASCA INTUBASI DI RSUP SANGLAH DENPASAR
ARI YUDHA SANJAYA NIM 1014108101
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
LIDOKAIN 2% INTRACUFF PIPA ENDOTRAKEA MENGURANGI NYERI TENGGOROKAN PASCA INTUBASI DI RSUP SANGLAH DENPASAR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Biomedik pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana
` ARI YUDHA SANJAYA NIM 1014108101
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 5 JANUARI 2015
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr.dr. Made Wiryana,SpAn.KIC. KAO SpAn.KMN NIP. 19540504198103.1.004
dr. I Gede Budiarta, NIP.19640114198903.1.002
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr.Wimpie I Pangkahila, SpAnd,FAACS Sudewi, SpS(K) NIP. 194612131971071001
Direktur Program Pascasarjana
Prof.Dr.dr.A.A. Raka NIP. 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 5 Januari 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, Nomor 029/ UN. 14.4/ HK/ 2014 Tertanggal 2 Januari 2015
Pembimbing I
:
Prof. Dr. dr. Made Wiryana, SpAn, KIC, KAO
Pembimbing II
:
dr. I Gede Budiarta, SpAn, KMN
Penguji
: 1. dr. I Ketut Sinardja, SpAn, KIC 2. dr. I Made Subagiartha, SpAn, KAKV, SH 3. dr. Tjok Gde Agung Senapathi, SpAn, KAR
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung kerta wara nugraha-Nya, tugas penyusunan tesis ini dapat terselesaikan. Kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD, KEMD, selaku Rektor Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas perkenannya memberikan kesempatan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialis di Universitas Udayana. Kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT(K), MKes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas perkenannya memberikan kesempatan menjalani dan menyelesaikan pendidikan spesialis di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Kepada dr. I Nyoman Semadi, SpB, SpBTKV, selaku Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis mampu menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis ini. Kepada dr. Anak Ayu Sri Saraswati, MKes, selaku Direktur Utama RSUP Sanglah, penulis menyampaikan terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk menjalani pendidikan dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar. Kepada Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, SpS(K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, penulis menyampaikan terima kasih karena
telah diberikan kesempatan untuk menjalani program magister pada program studi ilmu biomedik, program pascasarjana Universitas Udayana. Kepada dr. I Ketut Sinardja, SpAn, KIC, selaku Kepala Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya atas bimbingan, inspirasi dan motivasi yang telah diberikan selama penulis mengikuti program pendidikan dokter spesialis ini. Kepada dr. Ida Bagus Gde Sujana, SpAn, MSi, selaku Sekretaris Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya atas bimbingan, semangat, inspirasi dan motivasi selama penulis mengikuti program pendidikan dokter spesialis ini. Kepada Prof. Dr. dr. Made Wiryana, SpAn, KIC, KAO, selaku Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya atas keteladanan dan bimbingan yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan tesis dan menempuh program pendidikan dokter spesialis ini dan selaku pembimbing satu yang telah memberikan bimbingan, masukan dan motivasi dalam penulisan dan penyusunan tesis ini. Kepada dr. I Made Gede Widnyana, SpAn, MKes, KAR, selaku Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya atas bimbingan yang telah diberikan selama penulis menempuh program pendidikan dokter spesialis ini.
Kepada dr. I Gede Budiarta, SpAn, KMN, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya atas bimbingan, semangat, inspirasi dan motivasi selama penulis mengikuti program pendidikan dokter spesialis ini dan khususnya selaku pembimbing dua dalam penyusunan tesis ini. Kepada dr. I Wayan Sukra, SpAn, KIC, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kemurahan hatinya dengan tidak mengenal lelah memberikan bimbingan dan landasan berpikir tentang ilmu dasar anestesi. Kepada semua guru : dr. I Made Subagiartha, SpAn, KAKV, SH; dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen, SpAn, KAR; Dr. dr. I Wayan Suranadi, SpAn, KIC; Dr. dr. I Putu Pramana Suarjaya, SpAn, MKes, KNA, KMN; Dr. dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, SpAn, KAR; dr. Putu Agus Surya Panji, SpAn, KIC; dr. I Wayan Aryabiantara, SpAn, KIC; dr. I Ketut Wibawa Nada, SpAn, KAKV; dr. Dewa Ayu Mas Shintya Dewi, SpAn; dr. I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa, SpAn, KAR; dr. I G.A.G. Utara Hartawan, SpAn, MARS; dr. Pontisomaya Parami, SpAn, MARS; dr I Putu Kurniyanta, SpAn; dr. Kadek Agus Heryana Putra, SpAn; dr. Cynthia Dewi Sinardja, SpAn, MARS; dr. Made Agus Kresna Sucandra, SpAn; dr. Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan, SpAn, MKes; dr. Tjahya Aryasa EM, SpAn, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya atas bimbingan yang telah diberikan selama menjalani program pendidikan dokter spesialis ini. Kepada dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid, selaku pembimbing statistik, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan statistik dalam penyusunan penelitian ini. Kepada semua senior dan rekan – rekan residen anestesi, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kerja sama yang baik selama penulis menjalani program pendidikan dokter spesialis ini. Kepada Ibu Ni Ketut Santi Diliani, SH dan seluruh staf karyawan di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima kasih atas semua bantuannya selama menjalani program pendidikan dokter spesialis ini, kepada segenap penata anestesi, paramedis dan seluruh pasien serta kepada semua karyawan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu selama proses pendidikan ini. Kepada Bapak Nyoman Sukayasa dan Ibu Ni Made Puspawati Duarsa selaku orang tua yang telah merawat dan membesarkan penulis dengan kasih sayang yang tanpa pamrih serta penuh kesabaran memberikan dukungan semangat dan doa supaya penulis dapat menjalani dan menyelesaikan studi ini dengan baik. Serta terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pasien yang menjadi “sumber ilmu” selama penulis menjalani proses pendidikan spesialisasi ini. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan berkat dan rahmat-Nya kepada semua pihak yang tertulis di atas maupun yang tidak tertulis, yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis selama proses pendidikan dan penyusunan tesis ini. Denpasar, Desember 2014 dr. Ari Yudha Sanjaya
ABSTRAK LIDOKAIN 2% INTRACUFF PIPA ENDOTRAKEA MENGURANGI NYERI TENGGOROKAN PASCA INTUBASI DI RSUP SANGLAH DENPASAR Nyeri tenggorokan merupakan salah satu komplikasi penggunaan pipa endotrakea pada pelaksanaan anestesi umum. Inflasi cuff, volume cuff, tekanan cuff mempunyai hubungan paling erat terhadap nyeri tenggorokan. Tujuan penelitian ini mengetahui efektifitas pemberian lidokain 2% intracuff pipa endotrakea untuk mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Randomized double blind controlled trial pada pasien yang menjalani tindakan pembedahan dengan anestesi umum di kamar operasi instalasi bedah sentral RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian ini mengambil sampel 64 pasien yang dibagi menjadi dua kelompok (n = 32), kelompok A menggunakan inflasi lidokain 2% intracuff dan kelompok B menggunakan inflasi NaCl 0,9% intracuff. Derajat nyeri tenggorokan dievaluasi menggunakan instrumen Visual Analog Scale (VAS) pada jam ke 1, jam ke 2 dan jam ke 24 pasca ekstubasi. Uji statistik menggunakan Chi square, Mann-Whitney Test, dan independent sample T-test (dengan derajat kemaknaan < 0,05). Analisis data menggunakan program SPSS v. 17,0 for windows (Statistical Package for the Social Sciences Inc, USA). Pada penelitian ini didapatkan rerata nyeri tenggorokan dievaluasi menggunakan VAS dalam milimeter (mm) kelompok lidokain 2% pada jam 1 pasca ekstubasi 4,0 ± 5,7 mm, pada kelompok NaCl 0,9% adalah 10,1 ± 5,0 mm, didapatkan beda rerata VAS 6,1 ± 0,7 mm yang secara statistik dianggap bermakna (p <0,001). Evaluasi VAS nyeri tenggorokan 2 jam pasca ekstubasi pada kedua kelompok perlakuan juga secara statistik bermakna dengan beda rerata VAS 3,2 ± 0 mm (p=0,004). Penilaian VAS 24 jam pasca ekstubasi pada kedua kelompok menunjukkan nilai VAS 0 sehingga tidak ada perbedaan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lidokain 2% intracuff pipa endotrakea mengurangi nyeri tenggorokan pada pasien yang menjalani anestesi umum pasca intubasi di RSUP Sanglah Denpasar sehingga lidokain 2% intracuff, dapat digunakan sebagai alternatif pilihan dalam mengurangi nyeri tenggorokan.
Kata kunci : lidokain 2%, intracuff, nyeri tenggorokan.
ABSTRACT INTRACUFF LIDOCAINE 2% IN ENDOTRACHEAL TUBE REDUCE POST INTUBATION SORE THROAT AT SANGLAH HOSPITAL
Sore throat is one of complication related with endotracheal tube insertion in general anesthesia. Cuff inflation, cuff volume, and cuff pressure are most related to the sore throat. This study research the effectiveness of intracuff lidocaine 2% in endotracheal tube to reduce post-intubation sore throat. The study is a randomized, double-blind controlled trial in patients undergoing surgery with general anesthesia in the central operating theatres at Sanglah Hospital. A number of 64 samples were divided into two groups (n = 32), group A used intracuff lidocaine 2% inflation and group B used intracuff 0.9% NaCl inflation. The severity of sore throat was evaluated using Visual Analogue Scale (VAS) at 1 hour, 2 hours, and 24 hours after extubation. Chi-square test, Mann-Whitney test, and independent sample T-test (with significance level <0.05) used as statistical analysis tests, with SPSS v. 17.0 for Windows (Statistical Package for the Social Sciences Inc., USA). The mean sore throat was evaluated using the VAS in millimeters (mm). The 2% lidocaine group showed that at 1 hour post-extubation VAS was 4.0 ± 5.7 mm, compared to in 0.9% NaCl group 10.1 ± 5.0 mm, showed a mean difference of 6.1 ± 0.7 mm, classified as statistically significant (p <0.001). Evaluation of sore throat VAS at 2 hours after extubation in both treatment groups was also statistically significant with a mean difference of 3.2 ± 0 mm VAS (p = 0.004). VAS assessment 24 hours after extubation in both groups showed VAS value 0 so that there is no difference. From these results it can be concluded that lidocaine 2% intracuff endotracheal tube reduces sore throat in patients underwent general anesthesia in post-intubation at Sanglah Hospital, so it can be used as an alternative in reducing post-extubation sore throat. Keywords: lidocaine 2%, intracuff, sore throat.
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DALAM ……………………………………………………
i
PRASYARAT GELAR ……………………………………………….
ii
LEMBAR PERSETUJUAN …………………………………………..
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ….……………….…….
v
PENETAPAN PANITIA PENGUJI …………………………………..
vi
UCAPAN TERIMA KASIH ………………………………………….
vii
ABSTRAK ……………………………………………………………
xi
ABSTRACT …………………………………………………………..
xii
DAFTAR ISI ………………………………………………………….
xiii
DAFTAR TABEL …………………………………………………….
xviii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………….
xix
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG.…………...…………….
xxi
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………….….
xxiv
BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………….
1
1.1 Latar Belakang …….………………………………………
1
1.2 Rumusan Masalah ………………………….……………..
6
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………..
6
1.3.1 Tujuan umum ………………….…………………….
6
1.3.2 Tujuan khusus …………………….………...……….
7
1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………...
7
1.4.1 Aplikasi klinis ……………………….………………..
7
1.4.2 Pengembangan akademik …………………….…….
7
BAB II. KAJIAN PUSTAKA ……………………………..…………..
8
2.1 Lidokain …………………………………..………………..
8
2.1.1 Sejarah ………………………………………………..
8
2.1.2 Struktur dan Mekanisme Kerja Anestesi Lokal ………………………………………..
10
2.1.2.1 Struktur Anestesi Lokal…….……………………
10
2.1.2.2 Mekanisme Kerja Anestesi L.okal ….…………..
13
2.1.3 Konsentrasi minimum .………….……………………
14
2.1.4 Farmakokinetik… ….………….……….…………….
15
2.1.4.1 Absorbsi ….………………..……….…………….
15
2.1.4.2 Distribusi…….……………………………………
16
2.1.4.3 Metabolisme dan ekskresi……...……………….
17
2.1.5 Anestesi Lokal Liposomal …….….………………….
19
2.1.6 Alkalinisasi Larutan Anestesi Lokal …….…………..
20
2.1.7 Indikasi…………………………………………. ……
20
2.1.8 Farmakodinamik……… ….………………………….
21
2.1.8.1 Efek lidokain pada sistem organ …….…………
21
2.1.8.1.1 Sistem Saraf Pusat…………. …….………..
21
2.1.8.1.2 Sistem kardiovaskular …………………..…
23
2.1.8.1.3 Sistem respirasi..…………………………….
24
2.1.8.1.4 Alergi…………………………………………
24
2.1.9 Respon inflamasi……………………………………… 2.1.9.1 Efek Anestesi Lokal pada Proses Inflamasi……. 2.2 Pipa Endotrakea………………………………………………
24 27 28
2.2.1 Cuff pipa endotrakea………………………………….
28
2.2.2 Difusi lidokain melintasi cuff pipa endotrakea……..
30
2.3 Nyeri…………………………………………………………
32
2.3.1 Definisi nyeri………………………………………….
32
2.3.2 Fisiologi nyeri…………………………………………
33
2.3.3 Patofisiologi nyeri…………………………………….
34
2.3.3.1 Transduksi……………………………………….
34
2.3.3.2 Transmisi…………………………………………
35
2.3.3.3 Modulasi…………………………………………
36
2.3.3.4 Persepsi…………………………………………..
36
2.3.4 Penilaian Nyeri………………………………………..
36
2.3.4.1 Instrumen penilaian nyeri……………………….
38
2.3.5 Nyeri tenggorokan pasca anestesi umum pipa Endotrakea…………………………………………….
41
BAB III. KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN …………………………………
44
3.1 Kerangka Berpikir …………….…………………………….
44
3.2 Kerangka Konsep ………..…………………………………
46
3.3 Hipotesis Penelitian …………………………………….…..
46
BAB IV. METODE PENELITIAN ……………………………………
47
4.1 Rancangan Penelitian ………………………………….…..
47
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………..
48
4.3 Penentuan sumber data……….. ……………………………
48
4.3.1 Populasi penelitian ………….…………….…………
48
4.3.2 Sampel penelitian ….……………….…….…………..
49
4.3.3 Kriteria inklusi ……………………………………….
49
4.3.4 Kriteria eksklusi ……..……………………………….
49
4.3.5 Besar sampel …………………..…..…………………
50
4.3.6 Teknik pengambilan sampel….………………………
51
4.3.7 Alokasi sampel…………………….. ………..……….
51
4.3.8 Teknik Blind ………………………………………….
52
4.4 Variabel Penelitian ………………………………………….
53
4.5 Definisi Operasional variabel.……………………………..
53
4.6 Instrumen penelitian……. …………………………………
55
4.7 Prosedur penelitian………………………………………….
56
4.7.1 Persiapan Penelitian …………………………………
56
4.7.2 Penapisan pasien………………………………………
56
4.7.3 Pelaksanaan penelitian…………………………………
57
4.7.3.1 Cara kerja…………………………………………
57
4.7.4 Alur penelitian………………………………………..
60
4.8 Pengolahan dan Penyajian Data Analisis Statistik…………
61
4.8.1 Analisis Statistik Deskriptif………………………….
61
4.8.2 Uji Normalitas………………………………………..
61
4.8.3 Uji Homogenitas Varian…………………………….
61
4.8.4 Analisa Perbedaan Mean……………………………..
61
BAB V. HASIL PENELITIAN …………………………………….......
62
BAB VI. PEMBAHASAN ……………………………………………...
75
6.1 Keterbatasan penelitian……………………………………….
85
BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN …………………………………
86
7.1 Simpulan ……………………………………………………
86
7.2 Saran ………………………………………………………..
86
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………..
87
LAMPIRAN ……………………………………………………………
91
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Farmakologi Anestetik Lokal Lidokain .......................................
20
Tabel 2.2 Tabel Perbandingan pH Lidokain ................................................
32
Tabel 5.1 Data karakteristik subjek penelitian kedua kelompok perlakuan………………………………………………………
62
Tabel 5.2 Perbedaan rerata tekanan intracuff berdasarkan kelompok perlakuan…………………………………………..
64
Tabel 5.3 Volume intracuff pada kedua kelompok perlakuan ……………………………………………………..
66
Tabel 5.4 Derajat nyeri tenggorokan dinilai dengan Visual Analog Scale (VAS) pada kedua
kelompok
perlakuan….………………………………………………….
67
Tabel 5.5 Hasil analisis regresi linier pengaruh selisih volume cuff terhadap nilai VAS jam 1…………………………………..
70
Tabel 5.6 Hasil analisis regresi linier pengaruh selisih volume cuff terhadap nilai VAS jam 2.………………………………….
71
Tabel 5.7 Hasil analisis regresi linier pengaruh tekanan intracuff akhir terhadap nilai VAS jam 1……………………………..
72
Tabel 5.7 Hasil analisis regresi linier pengaruh tekanan intracuff akhir terhadap nilai VAS jam 2……………………………..
73
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Struktur Kimia Lidokain ..............................................................
9
Gambar 2.2 Struktur Dasar Anestetik Lokal ....................................................
10
Gambar 2.3 Struktur Anestesi Lokal Golongan Ester dan Amide ...................
11
Gambar 2.4 Metabolisme Lidokain..................................................................
19
Gambar 2.5 Peran Respon Inflamasi Lokal .....................................................
26
Gambar 2.6 Patofisiologi Nyeri .......................................................................
37
Gambar 2.7 Instrumen Visual Rating Scale (VRS) .........................................
39
Gambar 2.8 Instrumen Numerical Rating Scale (NRS) ...................................
39
Gambar 2.9 Instrumen Visual Analog Scale (VAS) ........................................
41
Gambar 3.1 Kerangka Konsep .........................................................................
46
Gambar 5.1 Grafik tekanan intracuff kedua kelompok perlakuan…………....
65
Gambar 5.2 Grafik perbandingan rerata tekanan intracuff menit akhir kedua kelompok perlakuan …………...…………...
65
Gambar 5.3 Grafik volume intracuff kedua kelompok perlakuan …….……..
67
Gambar 5.4 Grafik VAS nyeri tenggorokan kedua kelompok perlakuan...….
68
Gambar 5.5 Grafik Perbandingan VAS kedua kelompok perlakuan ………..
69
Gambar 5.6 Kurve linier pengaruh selisih volume cuff terhadap nilai VAS jam 1 ……….. ...........................................................
70
Gambar 5.7 Kurve linier pengaruh selisih volume cuff terhadap nilai VAS jam 2 ……….. ...........................................................
71
Gambar 5.7 Kurve linier pengaruh tekanan intracuff akhir terhadap VAS jam 1 ……….. ...................................................................
72
Gambar 5.7 Kurve linier pengaruh tekanan intracuff akhir terhadap VAS jam 2 ……….. ...................................................................
74
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
ASA
:American Society of Anesthesiology
ATP
: Adenosin Tri Phospate
BB
: berat badan
C
: Carbon
CNS Cm Cmax
: Central Nervous System : Konsentrasi minimum : konsentrasi maksimum
EMLA : Euthetic Mixture Local of Anesthesia G
: Gauge
GPCR : G Protein – Coupled Receptor HPLV : High Pressure – Low Volume HVLP :High Volume – Low Pressure IASP
: International Association for The Study of Pain
IMT
: Indeks Massa Tubuh
JCAHO
: Joint Commision on Accreditation of Healthcare Organizations
K
: Kalium
kg
: kilogram
kg/m2 : kilogram per meter kubik kgBB l
: kilogram berat badan : Left
LAST : Local Anesthetic Systemic Toxicity L-HCl : Lidokain hidrochloride LMA
: Laryngeal mask airway
m
: meter
mL
: mililiter
mm
: milimeter
mg
: miligram
mmHg : milimeter air raksa mV
: milivolt
MAC
: Minimum Alveolar Concentration
MPQ
: McGill Pain Questionaire
NaHCO3
: Sodium bicarbonat
Na
: Natrium
NaCl
: Natrium Chloride
NPA
:Nasopharyngeal airway
NRS
: Numerical Rating Scale
N2O
: Nitrous oxide
O2 OPA
: Oksigen :Oropharyngeal airway
PABA : p-aminobenzoic acid PACU : Post Anesthesia Care Unit pH p-450
pKa yang tak
: Derajat keasaman : enzim p-450
: pH saat obat anestesi lokal yang terionisasi sama dengan
terionisasi PET
:Pipa endotrakea
PMN
: Poli Morfo Nuklear
PVC
: Polyvynil chloride
r RAR
: Right : Rapid Adapting stretch Receptor
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat TNF
: Tumor Necrosis Factor
VDS
: Verbal Descriptive Scale
VRS
: Visual Rating Scale
VAS
: Visual Analogue Scale
5HT
: 5-hydroksi triptamin
%
: persen
µg
: microgram
<
: kurang dari
>
: lebih dari
=
: sama dengan
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 : Surat Keterangan Kelaikan Etik ............................................
83
Lampiran 2 : Surat Ijin Uji Klinik ..............................................................
84
Lampiran 3 : Jadwal Penelitian ...................................................................
85
Lampiran 4 : Rincian Informasi ..................................................................
86
Lampiran 5 : Formulir Persetujuan Tindakan .............................................
89
Lampiran 6 : Lembar Penelitian..................................................................
94
Lampiran 7 : Pencatatan Hasil Evaluasi......................................................
98
Lampiran 8 : Tabulasi Data Penelitian ........................................................ 100 Lampiran 9 : Hasil Analisis SPSS .............................................................. 102
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pembebasan jalan nafas merupakan tindakan pertama dan terpenting yang
harus dilakukan pada saat melakukan anestesi umum. Pembebasan jalan nafas tersebut dapat dilakukan tanpa alat atau dengan menggunakan alat-alat seperti oropharyngeal airway (OPA), nasopharyngeal airway (NPA), laryngeal mask airway (LMA), dan intubasi dengan pipa endotrakea (PET). (Larson, 2002) Intubasi dengan pipa endotrakea menjadi bagian yang rutin dalam pelaksanaan anestesi umum. Intubasi bukan merupakan prosedur yang tanpa komplikasi, bagaimanapun juga tidak semua pasien yang mendapatkan anestesi umum membutuhkan intubasi trakea, pipa endotrakea umumnya digunakan untuk memproteksi jalan nafas atau untuk akses jalan nafas. Pipa endotrakea dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi langsung ke dalam trakea dan memungkinkan dilakukannya kontrol terhadap ventilasi dan oksigenasi (Morgan, 2006) Pemakaian pipa endotrakea juga memiliki komplikasi yang dapat terjadi mulai dari saat intubasi memasukkan pipa endotrakea sampai dengan ekstubasi melepaskan pipa dari saluran nafas pasien. Salah satu komplikasi penggunaan pipa endotrakea terjadi akibat rangsangan iritasi dan regang pada mukosa saluran nafas sehingga menimbulkan respon seperti suara serak, nyeri tenggorokan, batuk, peningkatan tekanan darah, dan peningkatan laju nadi.
Trauma pada mukosa trakea dapat menimbulkan keluhan nyeri tenggorokan pasca bedah. Beberapa keluhan yang berkaitan dengan penggunaan pipa endotrakea tersebut sangat bervariasi mulai dari yang ringan seperti rasa gatal, serak, batuk, nyeri ringan sampai keluhan yang serius seperti laserasi, ruptur trakea, obliterasi/ stenosis, atau fistula trakeo-esofageal.
Insiden nyeri
tenggorokan (sore throat) pasca intubasi berkisar antara 24-90%. Reaksi merugikan tersebut diatas umumnya dapat ditoleransi dengan baik pada pasien sehat tanpa disertai komorbiditas, namun demikian reaksi tersebut dapat menjadi permasalahan terutama pada pasien yang sebelumnya dengan riwayat hipertensi, penyakit jantung iskemik, peningkatan tekanan intrakranial, atau trauma okular. (Gilles Dollo, dkk. 2001) Keadaan diatas dapat disebabkan oleh banyak faktor, tetapi salah satu yang mempunyai hubungan paling erat adalah keadaan cuff pipa endotrakea, diantaranya meliputi: luas kontak cuff dengan mukosa, tekanan cuff, bentuk, diameter, bahan, serta ketebalan dinding cuff. Kebanyakan PET yang digunakan untuk orang dewasa memiliki cuff pengembang, dan terdiri dari katup, pilot balon, pipa pengembang, dan cuff. Katup berfungsi untuk mencegah bocornya udara setelah cuff dikembangkan. Pilot balon merupakan tempat untuk mengisi udara untuk mengembangkan cuff. Pipa pengembang menghubungkan katup dengan cuff dan terletak pada dinding PET. Dengan menciptakan sebuah segel trakea, PET mampu digunakan untuk memberikan ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan terjadinya
aspirasi.
PET
tanpa
cuff
biasanya
digunakan
pada
anak-anak
untuk
meminimalisasi resiko cedera dan batuk pasca intubasi. Tekanan
cuff
bergantung
pada
beberapa
faktor:
volume
udara
pengembang, diameter cuff dalam hubungannya dengan trakea, compliance cuff dan trakea, tekanan intrathoraks (tekanan cuff meningkat saat batuk). Tekanan cuff dapat meningkat pada saat pemberian anestesi umum sebagai hasil dari difusi nitrous oksida (N2O) dari trakea ke dalam cuff PET. Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi endotrakea, antara lain mengganti pipa endotrakea dari bahan karet ke polyvynil chloride (PVC), menggunakan pelumas, pemberian krim topikal kortikosteroid pada PET, inflasi cuff PET dengan salin atau campuran N2O dan O2, serta cuff bertekanan rendah sehingga aliran darah mukosa tidak terganggu. Pemberian lidokain intravena dan topikal telah digunakan untuk mengurangi stimulus noksius pada saat intubasi endotrakea. Lidokain topikal atau spray pada PET digunakan untuk mengurangi kejadian nyeri tenggorokan pasca intubasi, namun diperlukan alat khusus untuk tujuan ini. Untuk memberi lubrikasi pipa endotrakea digunakan lidokain dosis besar mencapai 100-250 mg baik dengan menggunakan spray, ointment, gel atau jelly untuk mencapai konsentrasi plasma 1,5 µg/ ml. Untuk pemberian lidokain intravena dosis yang direkomendasikan 1,5 mg/ kilogram berat badan untuk mencapai konsentrasi plasma 2 µg/ ml. Beberapa metode tersebut memiliki kelemahan, antara lain duration of action terbatas pasca aplikasi lidokain karena cepat terabsorbsi
mukosa trakeobronkial sehingga tidak efektif pada periode ekstubasi. (Gilles Dollo, dkk. 2001) Selama anestesia pengisian cuff dengan udara dapat menyebabkan hiperpressure cuff pada mukosa trakea disebabkan peningkatan temperatur dan penggunaannya bersama nitrous oxide (N2O) yang berdifusi lebih cepat ke dalam cuff dibandingkan kemampuan nitrogen berdifusi keluar cuff. Keadaan overinflasi cuff pipa endotrakea ini yang dihubungkan dengan kerusakan mukosa pharyngeal dan terjadinya recurrent laryngeal nerve palsy. (Gilles Dollo, dkk. 2001). Banyak studi membahas berbagai aspek dari insersi pipa endotrakea, namun hanya sedikit yang meneliti pada proses akhirnya yaitu pada saat ekstubasi pipa endotrakea. Pada keadaan pasien sudah sadar, terdapat beberapa komplikasi yang mungkin terjadi meliputi hipertensi, takikardia, batuk, bucking, menahan nafas, dan bronkospasme. Keadaan tersebut dapat merugikan terutama pada pasien bedah saraf berkaitan dengan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial atau pada pembedahan bola mata yang berisiko terjadinya ruptur jahitan operasi. Sebaliknya ekstubasi yang dilakukan saat pasien berada pada level anestesia stadium pembedahan dapat mengurangi kejadian tersebut diatas, namun berisiko terjadinya aspirasi, laringospasme, dan hilangnya penguasaan jalan nafas. (Gilles Dollo, dkk. 2001) Untuk menghindari overinflasi cuff pipa endotrakea penggunaan liquid dapat diberikan dibandingkan inflasi udara. Lidokain sebagai suatu larutan dapat menjadi pilihan terhadap permasalahan diatas. Beberapa penelitian in vitro maupun in vivo melaporkan bahwa lidokain hidrochloride yang dimasukkan ke
dalam cuff dapat berdifusi melintasi cuff pipa endotrakea yang bersifat hydrophobic membrane, karena cuff dibuat dari bahan polyvynil chloride dan bertindak sebagai membran yang semipermeabel. (Sconzo, JM, 1990) Hirota (2000) melaporkan pemberian lidokain pada cuff PET mengurangi nyeri tenggorokan yang dievaluasi menggunakan Visual Analog Scale. Dari 16 pasien yang dipasang pipa endotrakea dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok pertama mendapat inflasi cuff lidocain 4% sedangkan kelompok lainnya inflasi dengan 0,9%. Evaluasi VAS (mm) lebih rendah pada kelompok inflasi lidokain 25,1 ±9,8 berbanding 53,5 ±10,6 pada kelompok inflasi saline 0,9% (p<0,01). Penelitian Navarro (1997) pada pemberian anestetik lokal lidokain 2% intracuff terdapat perbedaan insidensi nyeri tenggorokan secara signifikan pada evaluasi 24 jam pasca operasi yaitu 59% pada kelompok inflasi udara dan 32% pada kelompok inflasi lidokain (p=0,01). Severity nyeri tenggorokan dievaluasi menggunakan VAS lebih rendah pada kelompok inflasi lidokain, evaluasi 1 jam pasca operasi 18,7 ± 27.0 berbanding 7,90 ± 18.1 (p=0,02). Sedangkan evaluasi 24 jam pasca operasi 25,6 ± 27,5 berbanding 14,5 ± 24.8 (p=0,03). Alkalinisasi dengan penambahan sodium bikarbonat (NaHCO3) 8,4% terhadap lidokain hidroklorida menyebabkan difusi 65% neutral base form (lidokain-HCl) melalui struktur hidrofobik cuff PET dalam periode waktu 6 jam, sehingga memungkinkan jumlah obat yang lebih sedikit dibandingkan penelitian sebelumnya (lidokain 20-40 mg berbanding 200-500 mg), disamping mengurangi kemungkinan efek samping terjadi absorbsi ke sirkulasi dalam dosis besar bila terjadi ruptur dari cuff PET. (Dollo, 2001; Estebe, 2005)
Namun
studi
Estebe
(2002)
melaporkan
pemberian
lidokain
hidrochloride dosis kecil 40 mg tanpa alkalinisasi terhadap kejadian nyeri tenggorokan pasca operasi bermakna secara signifikan (p<0,001). Hal tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Bennett (2000). Estebe (2005) melaporkan bahwa difusi lidokain pada akalinisasi dengan NaHCO3 8,4% menyebabkan konsentrasi maksimal lidokain-HCl dalam plasma Cmax <0,08 µg/ ml, masih lebih kecil konsentrasinya bila pemberian lidokainHCl secara topikal yang mencapai Cmax 0,43-1,5 µg/ ml, atau secara intravena yang mencapai 2-3 µg/ ml. Penggunaan lidokain 200-500 mg menyebabkan Cmax 167 ±30 ƞg/ ml. Penelitian ini diharapkan akan menambah data tentang kemampuan difusi lidokain melintasi cuff pipa endotrakea untuk mengurangi kejadian nyeri tenggorokan pasca anestesi umum intubasi endotrakea.
1.2
Rumusan Masalah Dari latar belakang yang dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan
masalah penelitian: apakah lidokain 2% intracuff pipa endotrakea mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi di RSUP Sanglah Denpasar?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan umum Untuk mengetahui efektifitas lidokain 2% intracuff pipa endotrakea dalam
mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi di RSUP Sanglah Denpasar.
1.3.2
Tujuan khusus Untuk membandingkan efek antara lidokain 2% dengan NaCl 0,9%
intracuff pipa endotrakea dalam mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi di RSUP Sanglah Denpasar.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Aplikasi klinis Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai manfaat klinis
lidokain 2% intracuff pipa endotrakea untuk mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi, sehingga dapat dipakai sebagai alternatif yang praktis, murah dan efek samping yang minimal. 1.4.2
Pengembangan akademik Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkuat bukti bahwa
lidokain 2% intracuff dapat digunakan untuk mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi dengan dosis dan komplikasi yang minmal. Serta sebagai dasar penelitian lebih lanjut yaitu membandingkannya dengan lidokain alkalinisasi intracuff.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
LIDOKAIN
2.1.1
Sejarah Anestesi lokal pertama kali disintesa dari Cocain dan diperkenalkan
sebagai obat lokal anestesi pertama kali tahun 1884 oleh Kollar untuk digunakan dalam ophthalmology. Halsted mengakui kemampuan dari cocain injeksi untuk menghambat konduksi impuls saraf, yang penting untuk diperkenalkan pada anestesia blok saraf tepi dan spinal anestesia. Sebagai ester dari asam benzoic, cocaine dalam jumlah banyak terdapat pada tumbuhan Erythroxylon coca, sejenis tumbuhan yang tumbuh di pegunungan Andes dimana kualitasnya dalam merangsang otak diketahui dengan baik. Keistimewaan yang unik lainnya dari cocaine adalah kemampuannya menimbulkan vasokonstriksi lokal, membuat dia berguna untuk mengerutkan mukosa hidung pada saat proses rhinolaryngologic dan intubasi nasothrakeal. Potensial penyalahgunaan dari cocaine membatasi keabsahan penggunaannya secara medis, selain itu sifat iritasi dari cocaine membatasi obat tersebut digunakan sebagai anestesi topikal pada kornea atau bentuk injeksi lainnya yang menyebabkan anestesi. (Stoelting, 2006) Obat anestesi lokal sintetik pertamakali dibuat dari turunan ester yaitu procaine, diperkenalkan oleh Einhorn tahun 1905. Lidokain disintesa sebagai
anestesi lokal golongan amide oleh Lofgren tahun 1943. Lidokain (Xylocaine/ Lignocaine) adalah obat anestesi lokal yang digunakan secara luas baik melalui pemberian topikal atau intravena. Lidokain menimbulkan blok saraf lebih cepat, lebih kuat dan durasinya lebih lama dibandingkan dengan procaine. Tidak seperti procaine, lidokain efektif digunakan secara topical dan sangat poten untuk obat antidisritmia jantung. Untuk alasan ini, lidokain digunakan sebagai standar pembanding dari obat anestesi lainnya. Lidokain dapat menimbulkan blok yang reversible terhadap konduksi impuls saraf pusat dan perifer setelah anestesia regional ataupun blok saraf tepi. Dengan meningkatnya konsentrasi dari obat-obat lokal anestesi di sekitar serat saraf akan menyebabkan transmisi saraf otonom, saraf sensorik, dan saraf motorik dihentikan sehingga menimbulkan blok sistem saraf otonom, sensoris dan paralysis dari otot-otot skeletal yang dipersarafi oleh saraf yang diblok. Berkurangnya konsentrasi anestesi lokal di daerah injeksi akan diikuti oleh kembalinya fungsi konduksi saraf secara spontan dan komplit, tanpa ditandai kerusakan struktur serat saraf sebagai akibat dari efek obat. Tiap mililiter lidokain mengandung: 2 – (Dietilamino) – N – (2,6 – dimetilfenil) asetamida hidroklorida. (Stoelting, 2006)
Gambar 2.1 Struktur kimia lidokain
2.1.2
Struktur dan Mekanisme Kerja Anestesi Lokal
2.1.2.1 Struktur Anestesi Lokal Anestesi lokal terdiri dari bagian lipophilik dan hydrophilik yang dihubungkan oleh rantai hydrocarbon (gambar 2.2). Bagian hydrophilik disusun oleh amine tersier seperti: diethylamine, dimana bagian yang lipophilik disusun oleh cincin aromatik yang tidak jenuh seperti paraaminobenzoic acid. Bagian lipofilik ini berperanan penting dalam menentukan aktifitas anestetik dari obat tersebut.
Berdasarkan
strukturnya
tersebut,
obat
anestesi
lokal
dapat
diklasifikasikan menjadi golongan amino-ester dan amino-amide. Pembagian menjadi golongan ester dan amide ini erat kaitannya dengan metabolisme dan reaksi alergi yang ditimbulkannya. (Stoelting, 2006)
Gambar 2.2 Struktur dasar anestetik lokal Modifikasi struktur kimia dari obat lokal anestesi ini berpengaruh pada efek farmakologi. Lidokain mirip dengan etidokain tetapi penggantian grup ethyl
dari lidokain dengan propyl dan penambahan ethyl pada alpha atom karbon di rantai hydrocarbon menyebabkan etidokain 50 kali lebih larut dalam lemak dan durasi 2-3 kali lebih lama. Anestesi lokal pipecoloxylidide (mepivacaine, bupivacaine, ropivacaine dan levobupivacaine) memiliki struktur chiral karena adanya atom karbon yang asimetris. Struktur ini menyebabkan obat tersebut memiliki konfigurasi l ( left ) danr ( right ) enantiomer. Perbedaan konfigurasi ini erat kaitannya dengan efek neurotoksisitas dan kardiotoksisitas, dimana l enantiomer (ropivacaine, levobupivacaine) memiliki toksisitas yang lebih rendah dari r enantiomer. (Stoelting, 2006)
Gambar 2.3. Struktur anestesi lokal golongan ester dan amide Potensi, onset dan durasi lokal anestesi sangat dipengaruhi oleh struktur dari obat ini. (Morgan, 2006)
Potensi sangat berhubungan dengan kelarutannya di dalam lemak, karena hal ini berpengaruh terhadap kemampuan obat lokal anestesi dalam menembus membran sel neuron (epineurium, perineurium dan endoneurium). Secara umum kelarutan dalam lemak dan potensi dari lokal anestesi meningkat bila jumlah atom C (karbon) yang menyusun molekul obat tersebut bertambah banyak. Cara yang sering dipergunakan untuk mengukur potensi dari obat anestesi lokal adalah Cm (konsentrasi minimum dari lokal anestesi yang dapat memblok konduksi impuls saraf). Tetapi pengukuran ini juga dipengaruhi beberapa faktor: ukuran, tipe dan myelin serat saraf, pH (pH asam mengurangi potensi blok saraf), frekuensi rangsangan saraf dan kadar elektrolit (hipokalemia dan hiperkalemia akan mengurangi blok saraf). Onset dari anestesi lokal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: kelarutan dalam lemak, pKa (pH saat obat lokal anestesi yang terionisasi sama dengan yang tak terionisasi). Obat yang memiliki pKa mendekati pH fisiologis, konsentrasi obat yang tak terionisasi lebih besar sehingga lebih mudah menembus membran sel saraf, sehingga onset lebih cepat. Disamping itu, pH dari jaringan juga berpengaruh terhadap onset anestesi lokal, seperti pada infeksi lokal pH jaringan lebih asam, shingga onset anestesi lokal akan lebih lambat. Penambahan epinephrine akan membuat pH larutan lebih asam (karena molekul epinephrine lebih stabil pada suasana asam) sehingga onset maupun durasi dari anestesi lokal lebih lama. Sedangkan penambahan sodium bikarbonat (alkalinisasi 1 ml 8,4% sodium bikarbonate per 10 ml 1% lidokain) akan meningkatkan pH larutan
anestesi lokal sehingga onset dari lokal anestesi lebih cepat dan durasinya lebih lama. Durasi dari anestesi lokal sangat tergantung pada kelarutan obat dalam lemak. Semakin besar kelarutannya dalam lemak semakin lama durasinya oleh karena pembersihan oleh aliran darah menurun. Kelarutannya dalam lemak juga menunjukkan kekuatan ikatan antara obat dengan protein plasma (alpa 1glikoprotein dan albumin). Derajat ikatan obat dengan protein plasma berbanding lurus dengan kecepatan eliminasi dari obat.
2.1.2.2 Mekanisme Kerja Anestesia Lokal Anestesi lokal mencegah transmisi impuls saraf dengan menghambat aliran ion natrium melalui saluran natrium pada membran sel saraf (neuron). Saluran ion natrium memiliki resptor khusus untuk molekul anestesi lokal. Pada keadaan potensial istirahat, neuron mempertahankan potensial negatif (- 70 mV) di dalam sel neuron dibandingkan dengan di luar sel. Pompa Na – K secara aktif mempertahankan potensial ini tetap terpelihara. Pompa aktif ini menggerakkan natrium (Na+) keluar dari sel neuron dan membawa Kalium (K+) masuk kedalam sel sehingga terjadi perbedaan konsentrasi ion Na+ dan K+ di dalam dan diluar sel (Na+ lebih tinggi di ektrasel dan K+ lebih tinggi di dalam sel). Untuk pergerakan pasif, sel neuron lebih permeabel terhadap ion K daripada ion Na sehingga potensial listrik intraseluler lebih negatif dari ektrasel. Dengan adanya rangsangan potensial listrik pada neuron maka akan terjadilah fase depolarisasi sepanjang
akson dan aktivasi kanal natrium di membran sel yang menyebabkan refluk ion natrium ke dalam sel sehingga terjadi perubahan potensial membran dari -70 mV menjadi +35 mV. Molekul anestesi lokal masuk kedalam sel dan menutup kanal ion Na dari dalam sel, sehingga potensial aksi dicegah dan transmisi impuls sepanjang saraf tidak terjadi. (Rathmell, 2004) Tidak semua serat-serat saraf dapat dipengaruhi oleh obat anestesi lokal, oleh karena sensitivitasnya sangat ditentukan oleh diameter dari akson, ada tidaknya myelin sehingga pada penggunaan blok spinal urutan saraf yang terblok adalah autonom, sensorik dan motorik. Sebalikannya pemulihannya dimulai dari saraf motorik, sensorik, terakhir adalah autonom. (Morgan, 2006)
2.1.3
Konsentrasi Minimum (Cm) Konsentrasi minimum dari obat anestesi lokal yang dibutuhkan untuk
memblok konduksi saraf disebut dengan Cm (Concentration minimum), analog dengan Minimum Alveolar Concentration (MAC) untuk zat anestetik inhalasi. Cm dipengaruhi oleh diameter dari serat saraf, semakin besar serat saraf dibutuhkan konsentrasi obat yang makin besar pula. Meningkatnya pH atau frekuensi rangsangan saraf akan menurunkan Cm. Sistem saraf motorik memiliki Cm dua kali dari sistem saraf sensori, hal ini menyebabkan anestesia sensorik tidak selalu disertai paralisis otot skeletal. Meskipun tidak ada perbedaan Cm, dosis obat anestetik lokal akan lebih sedikit dibutuhkan pada regional subarakhnoid dari
pada epidural oleh karena seraf saraf dalam subarakhnoid lebih sedikit lapisan proteksinya. (Stoelting, 2006) 2.1.4
Farmakokinetik Anestesi lokal adalah basa lemah dengan pKa sedikit diatas pH fisiologi.
Pada pH fisiologis kurang dari 50% obat anestesi lokal terlarut dalam lemak dan tak mengalami ionisasi. Anestesi lokal yang memiliki pKa mendekati pH fisiologis memiliki onset yang lebih cepat karena rasio obat yang terionisasi dan dengan yang tak terionisasi optimal. Disamping itu efek vasodilator dari obat anestesi lokal itu sendiri, dimana efek lidokain lebih besar daripada mepivacaine mempercepat absorbsi sistemik dari obat sehingga mempercepat durasi dari obat tersebut. Sedangkan bupivacaine dan etidocaine memiliki efek vasodilator intrinsik
yang
serupa,
namun
konsentrasi
plasma
bupivacaine
setelah
pemberiannya pada ruang epidural lebih tinggi daripada etidocaine. (Stoelting, 2006)
2.1.4.1 Absorbsi Absorbsi anestesi lokal dari tempat injeksi ke dalam sirkulasi darah dipengaruhi oleh beberapa hal: (Stoelting, 2006)
Tempat injeksi dan dosis
Penggunaan vasokonstriktor
Karakteristik/ farmakologi dari obat tersebut
Membran mukosa (konjungtiva, mukosa trakea) memiliki barier yang lemah terhadap anestesi lokal dibandingkan dengan kulit yang intak sehingga pemberian melalui mukosa akan memberikan efek yang lebih cepat. Pada infiltrasi yang dalam (3- 5 mm) akan memberikan durasi + 1-2 jam. Absorbsi secara sistemik tergantung dari proporsi vaskular dari jaringan (intravena > trakeal > intercotal > caudal > paraservikal > epidural > pleksus brachialis > skiatik > subcutan ). Lidokain mudah diserap dari tempat suntikan, dan dapat melewati sawar darah otak. Kadarnya dalam plasma fetus dapat mencapai 60 % kadar dalam darah ibu. Penggunaan
vasokonstriktor
(epinephrine
1:200.000)
menimbulkan
vasokonstriksi pada tempat injeksi sehingga jumlah obat yang diabsobsi ke sirkulasi menurun sedangkan pengambilan oleh sel saraf akan meningkat sehingga meningkatkan kualitas analgesia dan durasi dari blok saraf serta mengurangi efek samping (semakin banyak yang diabsorbsi semakin besar resiko keracunan obat). Disamping itu epinephrine juga dapat memperpanjang durasi analgesia dengan perangsangan reseptor Alpha-2 adrenergik. Penambahan epinephrine pada lidokain akan memperpanjang durasi dari lidokain sampai 50%. Sedangkan penambahan epinephrine pada bupivacaine kurang bermanfaat karena durasinya tergantung pada ikatannya dengan protein (protein binding). Sifat dari obat itu sendiri juga berpengaruh terhadap absorbsi obat tersebut. Lidokain yang memiliki efek vasodilatasi akan lebih cepat diabsorbsi sehingga durasinya lebih pendek. (Morgan, 2006)
2.1.4.2 Distribusi Distribusi tergantung ambilan dari masing-masing organ, dimana ambilan organ ditentukan oleh: (Morgan, 2006) Perfusi jaringan, pada organ yang memiliki perfusi yang tinggi (otak, paru, hati, ginjal dan jantung) obat ini akan cepat didistribusikan. Paru-paru mengekstraksi sebagian besar dari anestesi lokal. Kondisi ini menyebabkan ambang toksisitas anestesi lokal lebih rendah bila disuntikkan intra-arterial dari pada intra-vena.
Koefisien partial dari jaringan dan darah, kekuatan ikatan protein plasma akan mempertahankan anestesi lokal didalam darah, sedangkan kelarutannya dalam lemak akan memudahkan pengambilan oleh organ.
2.1.4.3 Metabolisme dan Ekskresi Metabolisme dan ekskresi anestesi lokal tergantung dari struktur molekul yang menyusunnya. (Morgan, 2006) Ester, golongan ini dimetabolisme terutama oleh pseudocholinesterase (plasma cholinesterase atau butyrylcholinesterase) dengan reaksi hidrolisis. Reaksi ini sangat cepat dan metabolitnya mudah larut dalam air sehingga dapat diekskresikan
lewat
urin.
Metabolisme
procaine
dan
benzocaine
akan
menghasilkan p-aminobenzoic acid (PABA) yang berperan dalam timbulnya reaksi alergi pada penggunaan anestetik lokal golongan ester ini. Amide, dimetabolisme oleh enzym p-450 mikrosomal di dalam hati (Ndealkylation dan hydroxylation). Kecepatan dari metabolisme dari golongan ini tergantung
pada
masing-masing
anestesi
lokal
(prilocane>
lidokain>
mepivacaine> ropivacaine> bupivacaine) tetapi secara keseluruhan lebih lambat dari golongan ester. Menurunnya fungsi hepar (chirrosis) atau penurunan aliran darah hepar/ portal (kongestif heart failure, vasopressor, atau bloker H2 reseptor) akan mengurangi kecepatan metabolisme dari anestesi lokal ini, sehingga kemungkinan toksisitas sistemik akan meningkat. Sebagai contoh, eliminasi waktu paruh dari lidokain akan meningkat 5 kali pada pasien dengan disfungsi hepar dibandingkan dengan pasien normal. Penurunan metabolisme lidokain oleh hepar harus dapat diantisipasi terutama bila pasien mendapat anestesia dengan zat volatil anestesia. (Stoelting, 2006) Lidokain termasuk anestesi lokal golongan amide, dan di dalam hati, lidokain mengalami dealkilasi oleh enzim oksidase fungsi ganda (mixed-function oxidase) membentuk monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid, yang kemudian dapat dimetabolisme lebih lanjut menjadi monoetilglisin dan xilidid. Kedua metabolit monoetilglisin xilidid maupun glisin xilidid ternyata masih memiliki efek anestetik lokal. Pada manusia 75% dari xilidid akan diekskresi bersama urin dalam bentuk metabolit akhir, 4 hidroksi-2-6 dimetil-anilin. (Morgan, 2006; Stoelting, 2006)
Paru mampu mengekstraksi anestetik lokal seperti lidocaine, bupivacaine, dan prilocaine dari sirkulasi (Jorfeldt et al., 1980). Setelah pemasukan anestetik lokal secara cepat ke dalam sirkulasi vena, pengeluaran oleh paru akan membatasi konsentrasi obat yang mencapai sirkulasi sistemik yang didistribusikan ke arteri koroner dan ke sirkulasi serebral. Untuk bupivacaine, pengeluaran oleh paru merupakan hal yang tergantung pada dosis, sehingga proses ambilan menjadi tersaturasi secara cepat. (Stoelting, 2006)
Gambar 2.4. Metabolisme Lidokain
2.1.5
Anestesi Lokal Liposomal Obat seperti lidokain, tetracaine dan bupivacaine telah dimasukkan ke
dalam liposome untuk memperpanjang durasi dan mengurangi toksisitas. Liposome adalah sebuah vesikel yang berisi massa encer dan dilapisi oleh dua lapisan pospholipid. Pospholipid ini dapat berfungsi sebagai tahanan untuk difusi obat dari liposome, dengan efektif melepaskan obat secara perlahan sehingga
durasinya lebih panjang. Memanjangnya durasi lokal anestesi dapat dipergunakan untuk memperpanjang analgesia pasca operatif dan penanganan nyeri kronik dengan infiltrasi atau topikal. Tidak seperti analgesia sistemik, anestesi lokal dapat digunakan untuk mengurangi rasa nyeri tanpa diikuti efek samping sistemik seperti yang ditunjukkan oleh opioid. Bupivacaine mengalami degradasi dalam mikrokapsul yang menyebabkan analgesia sampai 96 jam setelah infiltrasi subkutan. (Stoelting, 2006)
Tabel 2.1 Farmakologi anestetik lokal lidokain
2.1.6
Alkalinisasi Larutan Anestetik Lokal Alkalinisasi larutan anestetik lokal memperpendek onset dari blokade
neural, memperdalam blokade sensorik dan motorik, dan meningkatkan penyebaran blokade epidural. pH dari sediaan anestetik lokal berkisar 3,9 - 6,5 dan bila dikemas dengan epinephrine akan bersifat asam (meningkatkan asam
memperpanjang umur epinephrine). pKa dari anestetik lokal yang digunakan secara klinis mendekati 8, sehingga hanya sebagian kecil (sekitar 3%) yang merupakan sediaan larut dalam lemak. Alkalinisasi meningkatkan persentase anestetik lokal sediaan larutan larut dalam lemak yang terdifusi melewati barrier lemak seluler. Menambahkan sodium bicarbonate mempercepat onset blokade saraf perifer dan blokade epidural selama 3-5 menit. (Stoelting, 2006)
2.1.7
Indikasi
Lidokain dipergunakan untuk menimbulkan anestesi lokal dan regional dengan berbagai teknik: (Katzung, 2004)
Teknik topikal seperti: EMLA salep kulit, lidokain spray (mukosa).
Teknik infiltrasi seperti: injeksi perkutaneus dan anestesia regional intravena.
Teknik blok saraf tepi seperti: blok pleksus dan intercostalis blok.
Teknik neuroaxial blok seperti: lumbar dan caudal epidural blok.
2.1.8
Farmakodinamik
2.1.8.1 Efek Lidokain Pada Sistim Organ Efek pada berbagai sistim organ yang timbul setelah pemberian lidokain pada prisipnya adalah sama dengan efek yang ditimbulkan oleh anestesi lokal golongan amide lainnya. Timbulnya efek samping pada sistim organ ini
berhubungan dengan dosis dan konsentrasi obat yang berlebihan dalam plasma (absorbsi yang cepat, obat secara langsung masuk intra vaskular). Efek samping lainnya mungkin disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terutama terhadap obat adjuvant, zat pengawet, antiseptik dan pH dari obat.
2.1.8.1.1 Sistem Saraf Pusat Sistem saraf pusat sangat peka terhadap toksisitas anestesi lokal sehingga gejala yang timbul dapat dipakai sebagai pertanda overdosis terutama pada pasien sadar. Kelebihan dosis atau masuknya anestesi lokal secara langsung ke intravaskuler akan memberikan gejala awal berupa mati rasa pada bibir, kesemutan pada lidah, dan pusing. Gejala eksitasi sistem saraf pusat yang ditandai dengan gejala-gejala: gelisah, agitasi, ketakutan, gembira yang berlebihan biasanya mendahului gejala depresi yaitu: pusing, mengantuk, tinnitus, penglihatan kabur (diplopia), mual-muntah, menurunnya sensitivitas, gemetar, kejang, tidak sadar, depresi pusat nafas dan cardiac arrest. Kejang tonik-klonik biasanya didahului oleh twitching dari otot rangka. Pemberian benzodiazepine dan hiperventilasi akan menurunkan aliran darah cerebral dan meningkatkan ambang rangsang kejang oleh anestesi lokal. Disamping itu, pemberian thiopental ( 1-2 mg/kgbb) dapat menghentikan kejang cepat, tetapi ventilasi dan oksigenasi harus adekuat. Lidokain intravena (dosis 1,5 mg/kgBB) akan menurunkan aliran darah otak dan mencegah meningkatnya tekanan intrakranial yang sering terjadi pada saat melakukan tindakan intubasi.
Dibandingkan dengan bupivacaine, lidokain lebih potensial menimbulkan neurotoksisitas terutama pada konsentrasi yang tinggi dan kontak yang relative lama. Lidokain dengan konsentrasi 5% (hiperbarik) dikatakan berhungan dengan kejadian cauda equine syndrome pada pemberian secara kontinyu. Disamping itu penggunaan jarum yang relatif kecil (25 – 32 G) juga berperan, karena akan membatasi kecepatan kita dalam menyuntikkan obat, sehingga terjadi pooling obat hanya pada daerah suntikan. Transient neurogical symptoms yang ditandai dengan kesemutan, rasa terbakar dan nyeri pada ektremitas bawah menjalar sampai ke pantat, sering terjadi pada spinal anestesia (single shot). Gejala yang timbul adalah sebagai akibat dari perangsangan saraf pada radik dorsalis, biasanya sembuh sendiri pada hari ke 3 – 7. (Morgan, 2006; Stoelting, 2006)
2.1.8.1.2 Sistem Kardiovaskuler Secara umum semua obat anestesi lokal (bupivacaine >lidokain) menekan automatisitas dari otot jantung (spontaneous phase 4 depolarisasi) dan mengurangi durasi dari fase refrakter. Kontraktilitas dan konduksi dari otot jantung juga ditekan oleh obat anestesi lokal pada konsentrasi yang lebih besar. Efek ini timbul karena perubahan pada membran sel otot jantung (sodium chanel blockade) dan penghambatan sistem saraf otonom. Kombinasi ini akan menimbulkan bradikardi, blok jantung, hipotensi dan akhirnya gagal jantung.
Stimulasi yang singkat pada sistem kardiovaskuler (takikardi, hipertensi) mungkin terjadi lebih awal sebagai akibat eksitasi pada sistem saraf pusat. Konsentrasi lidokain yang rendah berguna untuk menangani beberapa tipe dari ventricular arrytmia. Kontraktilitas otot jantung dan tekanan darah arteri tidak dipengaruhi oleh anestesi lokal bila diberikan dengan dosis yang tepat (intravena). Hipertensi yang terjadi pada saat laryngoskopi-intubasi dapat dicegah dengan pemberian lidokain 1,5 mg/kgBB intravena 1-3 menit sebelumnya. Injeksi bupivacaine intravaskuler yang tidak diharapkan dapat terjadi pada saat anestesi regional. Hal ini dapat menimbulkan reaksi kardiotoksik yang berat (arrhythmia yang mengancam nyawa; ventricular takikardi dan fibrilasi). Kehamilan, hipoksemia dan asidosis respiratorik merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya efek samping. Untuk menghindari hal ini aspirasi terlebih dahulu sebelum memberikan obat injeksi harus dilakukan. (Morgan, 2006; Stoelting, 2006; Rathmell, 2004) 2.1.8.1.3 Sistem Respirasi Lidokain menurunkan respon ventilasi terhadap penurunan tekanan oksigen (hypoxic drive). Apnea dapat terjadi karena paralisis dari nervus phrenikus dan intercostae atau depresi pada pusat nafas akibat kontak langsung dari obat anestesi lokal. Anestesi lokal menimbulkan relaksasi otot polos pada bronchus, sehingga pemberian lidokain 2% 1,5 mg/kgBB dapat mencegah refleks kontraksi bronkus pada saat melakukan laryngoskopi-intubasi.
2.1.8.1.4 Alergi Reaksi alergi biasanya berupa lesi kulit, urtikaria, edema atau reaksi anafilaktoid. Reaksi alergi muncul tidak hanya karena sensitivitas terhadap anestesi lokal tetapi dapat juga ditimbulkan oleh bahan pengawet obat tersebut (methylparaben).
2.1.9
Respon inflamasi Inflamasi akut merupakan respon khas imunitas non-spesifik yaitu berupa
respon cepat terhadap kerusakan sel, berlangsung cepat (beberapa jam-hari) dan dipacu oleh berbagai stimulan seperti benda asing yang masuk tubuh, invasi mikroorganisme, trauma, bahan kimiawi yang berbahaya, faktor fisik dan alergi. Tujuan inflamasi akut adalah untuk me-eradikasi bahan atau stimulan yang memacu respon awal. Pada beberapa keadaan, eradikasi tidak efektif atau tidak lengkap sehingga menimbulkan fase inflamasi kronis. (Karnen, 2012). Pada umumnya respon inflamasi akut menunjukkan awitan cepat dan berlangsung singkat. Inflamasi akut biasanya disertai reaksi sistemik yang disebut respon fase akut yang ditandai oleh perubahan cepat kadar beberapa protein plasma. Reaksi dapat menimbulkan reaksi berantai dan rumit yang berdampak terjadinya vasodilatasi, kebocoran mikrovaskular dengan eksudasi cairan dan protein serta infiltrasi lokal sel-sel inflamasi. Reaksi inflamasi diawali dengan
pelepasan mediator vasoaktif dari sel mast (histamin, leukotrien), juga pelepasan dari platelet dan komponen plasma (bradikinin), menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular yang selanjutnya memicu timbulnya tanda inflamasi klasik yaitu kemerahan (rubor), panas (calor), edema (tumor) dan nyeri (dolor) yang timbul akibat interaksi mediator inflamasi dengan sistem sensorik. (Karnen, 2012) Proses inflamasi lokal dapat memicu respon sistemik, disebut dengan reaksi fase akut dimana terjadi peningkatan protein fase akut (C-reactive protein, complement factor C3, fibrinogen dan serum albumin), diikuti dengan aktivasi beberapa sistem mediator (sistem kinin, sistem komplement, mediator lipid dan sitokin). Pada pembedahan, sitokin memiliki peran penting dalam meregulasi respon inflamasi. Pelepasan sitokin lokal (interleukin-1, IL-8, interleukin-6 dan tumor necrosis factor (TNF) mengatur respon inflamasi pada area kerusakan jaringan dengan cara menginduksi kemotaksis netrofil ke jaringan inflamasi dan menstimulasi proliferasi limfosit untuk selanjutnya menyebabkan pelepasan sitokin (Hollman et al, 2000).
Dalam rangkaian stress response, selain perubahan respon metabolik tubuh akibat pelepasan hormon katabolik, juga terjadi perubahan fungsi imunologi yang berperan meregulasi luasnya reaksi inflamasi. Pada fase akut, kerusakan jaringan memicu pelepasan mediator inflamasi seperti sitokin, peningkatan jumlah leukosit netrofil dan proliferasi limfosit. Sitokin dilepaskan oleh leukosit, fibroblas dan sel endotelial, sebagai respon awal terhadap kerusakan jaringan serta berperan penting dalam proses inflamasi dan imunitas. (Desborough, 2000; Karnen, 2012)
Gambar 2.5. Peran respon inflamasi lokal. Mediator tersebut memiliki peran untuk mencegah terjadinya kerusakan jaringan berlanjut. Tapi proses inflamasi dapat berlanjut dan memperberat kerusakan jaringan akibat pelepasan mediator yang kontinyu. Pada kondisi dimana proses inflamasi lokal tidak dapat me-eradikasi kerusakan jaringan yang
terjadi maka proses inflamasi berlanjut menjadi sistemik. Keseluruhan respon sistemik ini merupakan mekanisme proteksi terhadap luasnya kerusakan jaringan. Selain itu, respon inflamasi berperan untuk memperbaiki fungsi dan struktur jaringan rusak. Namun, stimulasi berlebihan terhadap kaskade inflamasi mungkin memperberat kerusakan jaringan. Aktivitas berlebihan sitokin pro-inflamasi dan anti-inflamasi memperberat kerusakan jaringan dan atau menekan fungsi imun. Sel imun merupakan sumber produksi sitokin dan produk yang dihasilkan memiliki efek autokrin serta aktivitas sistemik. Kemampuan untuk mengubah fungsi sel imun melalui peranan hormonal ekstraseluler atau dengan manipulasi mekanisme signaling intraseluler merupakan strategi potensial untuk mengatur respon inflamasi sitokin selama injuri. (Lin E et al, 2006; Karnen, 2012)
2.1.9.1 Efek Obat Anestesi Lokal Pada Proses Inflamasi Beberapa studi menyatakan bahwa obat anestesi lokal mencegah terjadinya stimulasi berlebihan terhadap respon inflamasi. Obat anestesi lokal memodulasi respon inflamasi in vivo sehingga mengurangi proses inflamasi tanpa meningkatkan kecenderungan terjadinya infeksi dan mencegah kejadian trombotik postoperatif tanpa meningkatkan risiko perdarahan. Hollman dkk (2000) memaparkan beberapa efek alternatif anestesi lokal adalah pengaruhnya pada respon
antiinflamasi
dan
terutama
pada
polimormonuklear (PMN), makrofag dan monosit).
sel
inflamasi
(granulosit
Pelepasan sitokin akibat proses aktivasi netrofil terganggu pada pemberian lidokain. Hal ini menyebabkan berkurangnya kerusakan seluler akibat sitokin melalui mekanisme yang melibatkan kanal kalium bergantung ATP. Lidokain memiliki efek analgesia, antihiperalgesia dan antiinflamasi dan mampu mengurangi kebutuhan analgesia intra dan postoperatif dan waktu lama rawat. Efek ini lebih menonjol pada pemberian secara intravena selama periode intraoperatif dan dapat dilanjutkan selama beberapa hari atau minggu disesuaikan dengan waktu infus dan waktu paruh plasma, mengindikasikan bahwa obat ini memiliki target lain dan bukan hanya kanal natrium tergantung voltage dan diduga mencegah hipersensitivitas sistem saraf pusat, perifer atau keduanya. (Stoelting, 2006) Lidokain mempengaruhi beberapa proses inflamasi melalui G proteincoupled receptor (GPCR), seperti sensitisasi netrofil dan degranulasi lysosomal, produksi radikal bebas dan sekresi sitokin oleh sel makrofag dan sel glial. (Watkins et al, 2001)
2.2
PIPA ENDOTRAKEA
2.2.1 Cuff pipa endotrakea Fungsi utama cuff PET adalah mengamankan jalan nafas sehingga dapat mencegah aspirasi dan mencegah kebocoran udara nafas saat dilakukan tekanan positif, hal ini dapat terjadi setelah cuff dikembangkan sampai tidak terdengar lagi suara nafas tetapi pengembangan ini tidak boleh berlebihan karena dapat memberikan tekanan yang besar pada mukosa trakea terutama pada dinding depan
karena terdapat tulang rawan yang kaku, sedangkan pada bagian belakang lebih bersifat elastis. Pada posisi ekstensi, tekanan pada bagian posterior lebih besar disebabkan karena dorongan dari tulang vertebra servikal. (Black AM, 1981; Khine HH, 1997; Brimacombe, 1999) Pada tahun 1960 PET dengan cuff terbuat dari bahan karet berwarna merah dan termasuk pada kelompok High Pressure - Low Volume (HPLV). Pada jaman modern ini HPLV dengan cuff terbuat dari bahan silikon nondisposable. Sedangkan cuff High Volume – Low Pressure (HVLP) terbuat dari bahan polyvinyl chloride (PVC) atau polyurethane. Cuff HPLV memiliki diameter lebih kecil pada ujungnya dan residual volume lebih kecil. Untuk menimbulkan sealing trakea memerlukan tekanan intracuff yang tinggi untuk mengatasi low compliance dari cuff tersebut. Cuff membuat area kontak yang sedikit dengan trakea. Hal yang diperhatikan pada penggunaan cuff tipe ini dalam penggunaannya yang lama kemungkinan terjadinya iskemik pada mukosa trakea. Keuntungan yang diberikan yaitureusability sehingga biaya akhir lebih murah. (Spiegel, 2010) Hasil studi oleh McHardy (1999) dikemukakan pada pemakaian PET dengan jenis cuff HPLV yang diinflasikan lebih dari 30 mmHg (39 cmH2O) menyebabkan mukosa trakea yang kontak dengan cuff yaitu yang menutupi kartilago trakea menjadi iskemia. Keadaan ini diperkirakan memberikan kontribusi terhadap kejadian stenosis trakea dan trakeomalasia. Sedangkan pada penggunaan cuff High Volume – Low Pressure tidak menyebabkan aliran darah pada mukosa trakea terhenti selama tekanan intracuff
berada pada kisaran 80-120 mmHg. Hal ini berkaitan karena tekanan intracuff tersebut dapat didistribusikan lebih luas pada mukosa yang kontak dengan cuff. Namun demikian tekanan intracuff yang direkomendasikan sebaiknya <20 mmHg (26 cmH2O). Dari data disebutkan penggunaan PET yang terbuat dari PVC dengan cuff HVLP menurunkan insidensi dan severity nyeri tenggorokan bila digunakan ukuran yang adekuat dengan pasien. (McHardy, 1999; Ali,2009) Besarnya tekanan cuff ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya: volume yang diinflasikan, diameter cuff relatif terhadap trakea, kelenturan trakea dan cuff, dan tekanan intra toraks termasuk tekanan jalan nafas. (Larson CP, 2002) Tekanan cuff yang cukup untuk mencegah kebocoran udara nafas dari berbagai jenis pipa endotrakea adalah antara 20-25 cmH2O dibawah tekanan perfusi mukosa trakea 25-30 cmH2O. Tekanan cuff dapat meningkat selama anestesi umum sebagai akibat dari difusi N2O dari trakea ke dalam cuff pipa endotrakea (Brimacombe, 1999; Stone DJ, 2000)
2.2.2
Difusi lidokain melintasi cuff pipa endotrakea Cuff pipa endotrakea umumnya terbuat dari Polyviyl chloride (PVC)
bersifat hidrofobik terhadap sebagian besar substansi kimia. Oleh karena itu, mekanisme difusi lidokain melintasi membran cuff pipa endotrakea kemungkinan mirip dengan yang terjadi di dalam ruang epidural. (Navarro, 2007)
Cuff PET memiliki lapisan filtrasi pada permukaannya berfungsi untuk menyaring sekresi mukosa sebelum memasuki intracuff dan paru-paru. Lapisan filtrasi ini adalah ukuran diameter masing-masing celah pori pada membran cuff PET. Karakteristik lapisan filtrasi ini berupa pori-pori berukuran kecil untuk menyaring mikroba yaitu dalam skala mikron lebih kecil daripada mikroba yang umumnya berukuran antara 0,2-20 mikron. Rata-rata ukuran mikroba pada kisaran 3-5 mikron, contoh mikroba tersebut antara lain: Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Enterobacter spp, Haemophilus influenza, Streptococcus spp, Candida albicans, MRSA, dan virus lainnya. Berdasarkan hal tersebut maka lapisan filtrasi seharusnya berukuran lebih kecil dari mikroba tersebut yaitu 2 mikron, walapun idealnya memiliki ukuran yang lebih kecil lagi yaitu 0,2 mikron pada rentang terluas. Lapisan filtrasi ini berada pada bagian yang kontak dengan mukosa trakea yang memproduksi sekret, selanjutnya disaring sebelum akhirnya masuk ke trakea dan paru-paru. Pori-pori lapisan filtrasi yang berukuran kecil mencegah partikel yang lebih besar dari sekret mukosa namun tetap memungkinkan liquid phase untuk berdifusi. Pilot baloon dapat bisa diinflasikan larutan yang selanjutnya mengalami proses pada cuff yang kontak dengan mukosa trakea. Solution golongan amide monomer seperti lidokain dapat berdifusi melalui membran cuff. Anestesia lokal pada membran saraf berada dalam 2 bentuk: basa bebas non ionisasi dan kation terionisasi. Jumlah tiap bentuk tergantung dari pH larutan dan pKa obat, sesuai dengan persamaan Henderson-Hasselbach:
Log
Kation terionisasi = pKa – pH Basa bebas non ionisasi
Peningkatan fraksi non-ionisasi anestesia lokal menambah kemampuan penetrasi ke dalam saraf. Hal tersebut dapat diasumsikan bahwa meningkatkan fraksi non-ionisasi meningkatkan kecepatan difusi anestesi lokal melintasi membran cuff pipa endotrakea. Pemberian sodium bikarbonat meningkatkan pH larutan dan meningkatkan persentase bentuk non-ionisasi. (Sconzo JM, 1990)
Tabel 2.2 Tabel perbandingan pH Lidokain dengan berbagai volume dan konsentrasi sodium bicarbonate (Estebe, 2005)
2.3
NYERI
2.3.1
Definisi Nyeri The
International
Association
for
the
Study
of
Pain
(IASP),
mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan (Morgan, 2006). Berdasarkan definisi tersebut, nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen obyektif (aspek fisiologik sensorik nyeri) dan komponen subyektif (aspek emosional dan psikologis). Rasa nyeri memberikan informasi dengan
stimulus noksius yang memungkinkan tubuh merespons terhadap kerusakan jaringan yang terjadi. Rasa nyeri ini bersifat individualisme sehingga sulit dinilai secara obyektif dan harus dilakukan observasi serta penilaian secara rutin dengan menggunakan alat bantu. (Steeds, 2009). Setiap kali jaringan terluka oleh trauma bedah, bermacam mediator kimia akan dilepaskan dari sel-sel yang meradang dan rusak. Nyeri akut disebabkan oleh stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu penyakit atau akibat fungsi otot atau viseral yang terganggu. Nyeri tipe ini berkaitan dengan stres neuroendokrin yang sebanding dengan intensitasnya. Nyeri akut akan disertai hiperaktifitas saraf otonom dan umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan (Stoelting 2006)
2.3.2
Fisiologi Nyeri Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan
informasi tentang ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri tersebut dinamakan nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus pada jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral pada otak. Sistem nyeri mempunyai beberapa komponen (Avidan 2003) : a. Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada sistem saraf perifer, mendeteksi dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious. b. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus noxious ke CNS.
c. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara serat aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara lokal eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus desenden inhibitor dari otak. d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada CNS. e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis. f. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif nyeri, ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris (termasuk withdrawal respon). g. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level medulla spinalis.
2.3.3
Patofisiologi Nyeri Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti
pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain, seperti metabolit eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator ini dapat menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik (Stoelting dan Hillier, 2006; Morgan dkk, 2006).
Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis yang disebut nosisepsi. Ada 4 proses yang mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu (Stoelting dan Hillier 2006 ; Morgan dkk, 2006) : 2.3.3.1 Transduksi Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat afferent A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf afferent A delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifir ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.
2.3.3.2 Transmisi Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut yang menyusul proses tranduksi. Oleh serat afferent A-delta dan C impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis. Serat aferent A-delta dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta mempunyai diameter lebih besar
dibanding dengan serat C. Serat A-delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron di medulla spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat aferent A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornua antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornua anterior medulla spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis dengan segala efek yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornua anterior medulla spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan segala akibatnya.
2.3.3.3 Modulasi Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT) dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medula
spinalis
tidak
semuanya
diteruskan
ke
sentral
lewat
traktus
spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek
sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel nyeri.
2.3.3.4 Persepsi Impuls yang diteruskan ke korteks sensorik akan mengalami proses yang sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan sensibel nyeri.
2.3.4
Penilaian Nyeri Nyeri merupakan suatu keadaan yang multidimensional sebagai akibat dari
kombinasi rangsang nyeri atau nociception dan kerusakan jaringan, pengalaman nyeri sebelumnya, kepercayaan pasien, budaya, dan kepribadian pasien. Rasa nyeri ini bersifat individualisme sehingga sulit dinilai secara obyektif dan harus dilakukan observasi serta penilaian rutin dengan menggunakan alat bantu. Hal ini menjelaskan mengapa pasien dengan tingkat stimulus nyeri dan kerusakan jaringan yang sama akan merasakan pengalaman nyeri dengan sangat berbeda. Oleh karena tidak terdapat suatu alat obyektif, maka kita harus mempercayai laporan pasien tentang tingkat nyeri yang mereka alami (Ballantyne, 2008).
Gambar 2.6. Patofisiologi Nyeri (Dikutip dari Salerno, 2006). 2.3.4.1 Instrumen penilaian nyeri Menurut JCAHO (Joint Commision on Accreditation of Healthcare Organizations) pada tahun 2001, penilaian nyeri merupakan tanda vital yang kelima yang harus kita nilai pada setiap pasien. Penilaian nyeri yang teratur dan berulang harus dilakukan untuk menilai keadekuatan terapi analgesia yang sedang
berjalan. Frekuensi penilaian nyeri tergantung dari durasi dan beratnya nyeri, kebutuhan serta respon pasien serta jenis obat dan intervensi yang digunakan. Penilaian rasa nyeri pada pasien pascaoperasi harus meliputi penilaian pada kondisi statik (saat istirahat, tidak bergerak) dan pada kondisi dinamis (saat bergerak, duduk, batuk). Secara garis besar, penilaian nyeri dibagi menjadi dua, yaitu penilaian uni dimensional dan penilaian multi dimensional (Cousin, 2005). Penilaian unidimensional merupakan skala untuk menilai intensitas nyeri ataupun tingkat berkurangnya nyeri setelah suatu intervensi obat analgesia. Dalam menilai respon terhadap suatu terapi biasanya dipakai skala penurunan nyeri dan bukan intensitas nyerinya (Cousin, 2005). Skala kategori menggunakan kata-kata untuk mendeskripsikan intensitas nyeri atau derajat penurunan nyeri. Verbal descriptive scale (VDS) biasanya menggunakan kata tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat atau sangat nyeri. VDS pertama kali disampaikan oleh Keele pada tahun 1948. VDS lebih sulit digunakan pada pasien pascaoperasi dibandingkan dengan skala numerikal dan kurang sensitif untuk menilai hasil terapi analgesia dibandingkan dengan VAS (Ballantyne, 2008). Skala kategori mempunyai keuntungan karena sederhana, mudah, dan cepat dilakukan, dan berguna pada pasien tua atau pasien dengan gangguan penglihatan. Akan tetapi terbatasnya pilihan kategori dibandingkan dengan numerical scales membuat skala kategori lebih sulit untuk mengetahui adanya perbedaan terhadap hasil terapi analgesia yang diberikan (Cousin, 2005; Deloach dkk., 1998).
Gambar 2.7 Instrumen Visual Rating Scale (VRS) Skala numerikal terdapat dalam bentuk sebagai kalimat verbal ataupun tertulis. Skala numerikal dalam kalimat verbal dikenal sebagai numerical rating scale (NRS), disampaikan oleh Downie pada tahun 1978, dimana pasien diminta untuk menyatakan tingkat nyeri dalam skala numerikal, biasanya antara 0-10 dimana 0 sebagai tidak nyeri, dan 10 sebagai sangat nyeri. NRS merupakan salah satu instrumen pengukur nyeri yang sering digunakan dalam penelitian.
Gambar 2.8 Instrumen Numerical Rating Scale (NRS) Skala numerikal dalam bentuk tertulis dikenal sebagai VAS dan saat ini merupakan pengukur nyeri yang paling luas digunakan dalam praktek klinis maupun dalam penelitian. VAS berupa suatu garis lurus horizontal dengan panjang 100 mm, pada ujung kiri ditandai dengan tidak ada nyeri sedangkan pada ujung kanan ditandai dengan sangat nyeri, kemudian pasien diminta untuk
memberi tanda pada garis tersebut yang kemudian akan diukur jaraknya dari sebelah kiri. Jarak tersebut dihitung dalam satuan milimeter (mm) dan mencerminkan tingkat nyeri yang dialami pasien. Selain dalam posisi horizontal, VAS juga dapat diposisikan vertikal dan hasilnya tetap valid. Interpretasi nilai VAS sangat bervariasi tergantung dari definisi yang digunakan, akan tetapi interpretasi nilai VAS yang paling banyak digunakan yaitu nilai <40 mm sebagai nyeri ringan, 41-70 mm sebagai nyeri sedang, dan >71 mm sebagai nyeri berat. Hasil dari penilaian VAS ini dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam menyesuaikan dosis obat anti nyeri yang diberikan (Aubrun dkk., 2003; Bodian dkk., 2001). Skala ini mempunyai keuntungan oleh karena sederhana, mudah dan cepat menggunakannya, memungkinkan pasien menentukan sendiri tingkat nyerinya dalam rentang yang cukup lebar. Akan tetapi dalam menentukan skala ini diperlukan konsentrasi dan koordinasi yang cukup baik sehingga tidak dapat dipergunakan pada anak-anak (Cousin, 2005). Perubahan nilai VAS juga mempengaruhi tingkat kepuasan pasien. Penurunan nilai VAS kira-kira 10 mm atau 15% dikatakan sebagai nyeri sedikit menurun, penurunan nilai 20-30 mm atau 33% dianggap sebagai penurunan nyeri yang bermakna dari sudut pasien dan penurunan VAS hingga 66% dianggap sebagai menghilangnya nyeri yang substansial.
Gambar 2.9 Instrumen Visual Analog Scale (VAS) Penilaian multidimensional tidak hanya menilai intensitas nyeri, tapi juga menghasilkan informasi tentang karakteristik nyeri dan dampaknya terhadap individu pasien. Salah satu penilaian multidimensional yang sering dipakai adalah theMcGill Pain Questionaire (MPQ). MPQ dikembangkan oleh Melzack pada tahun 1987 untuk memperoleh penilaian kualitatif dan kuantitatif dari nyeri yang dirasakan oleh pasien. MPQ menghasilkan dua nilai global, yaitu pain rating index dan intensitas nyeri terkini. MPQ terbukti sebagai penilaian nyeri yang valid dan dapat dipercaya. Pain rating index diperoleh dari jumlah nilai dari 20 pertanyaan yang dijawab oleh pasien yang mendeskripsikan segi sensoris, afektif, dan dimensi nyeri. Intensitas nyeri terkini berupa skala nyeri dari 0-5, dimana 0 = tidak nyeri, 1 = nyeri ringan, 2 = merasa tidak nyaman, 3 = terganggu oleh nyeri, 4 = sangat terganggu oleh nyeri, 5 = sangat tersiksa oleh nyeri.
2.3.5
Nyeri Tenggorokan Pasca Anestesi Umum Pipa Endotrakea Nyeri tenggorokan pasca anestesi umum dengan pemasangan pipa
endotrakea mencapai 90% kasus dan biasanya merupakan keluhan utama yang
berkaitan dengan airway selain keluhan lainnya seperti dysphagia dan hoarseness. Beberapa keadaan yang dipertimbangkan sebagai etiologi nyeri tenggorokan tersebut meliputi: trauma intubasi, dehidrasi mukosa dan edema pharyngeal airways. Faktor lain yang diperkirakan berpengaruh antara lan: teknik intubasi, teknik suctioning, ukuran PET, jenis PET, contour cuff, tekanan cuff PET terhadap mukosa trakea. (Ali N.P, 2009; Porter, 1999; Edomwonyi, 2006) Ukuran PET sebagai faktor penting yang berperan terhadap nyeri tenggorokan. Dari penelitian diketahui penggunaan PET ukuran kecil mengurangi insidensi nyeri tenggorokan, hal ini disebabkan berkurangnya tekanan yang ditimbulkan oleh PET terhadap mukosa trakea.(Edomwonyi, 2006) Meskipun mekanisme patofisiologi nyeri tenggorokan yang pasti belum dapat dijelaskan, diperkirakan kerusakan mukosa yang berkaitan dengan cuff PET menjadi faktor penting terhadap morbiditas trakea. Penurunan perfusi mukosa trakea terjadi bila tekanan cuff melebihi 30 cmH2O, hal ini diduga sebagai tahap awal dari perkembangan kerusakan mukosa trakea. Penggunaan nitrous oxida (N2O) dalam balance anesthesia juga memberikan peran karena N2O yang dapat berdifusi melalui membran cuff PET. Kekurangan dalam mengontrol tekanan intracuff selama periode perioperatif juga berperan terhadap tekanan yang berlebihan pada mukosa trakea. (Combes, 2001) Beberapa cara mengatasi kenaikan tekanan yang berlebihan dalam cuff pipa endotrakea adalah dengan beberapa cara: dikempiskan secara periodik atau menyesuaikan kembali tekanan cuff, mengisi cuff dengan NaCl fisiologis atau
campuran gas anestetik, memakai pipa endotrakea yang dilengkapi dengan pengatur tekanan pada pilot baloon. ((Larson CP, 2002) Keuntungan dari pemberian lidokain intracuff adalah keberadaan lidokain dalam cuff bersifat sebagai reservoir, lidokain akan terus menerus berdifusi seiring berjalannya waktu. Sebagai anestetik lokal berefek memblok reseptor batuk dan rapidly adapting stretch receptor (RAR) di mukosa trakea secara kontinyu dan meningkatkan toleransi terhadap pipa endotrakea. Efek anestetik lokal tersebut tidak menekan refleks menelan sehingga kemampuan pasien memproteksi jalan nafas pasca ekstubasi tetap terjaga (Jaichandran, 2008; Rao, 2013). Penilaian nyeri tenggorokan bisa menggunakan berbagai instrumen yang bersifat numerikal maupun kategorikal. Skala numerikal dalam bentuk tertulis dikenal sebagai VAS. Instrumen penilaian lainnya yang bersifat katagorikal menggunakan Melzack’s Present Pain Intensity Scale of McGill Pain Questionnaire (MPQ) yang selanjutnya menghasilkan dua nilai global, yaitu pain rating index dan intensitas nyeri terkini. Pain rating index diperoleh dari jumlah nilai dari 20 pertanyaan yang dijawab oleh pasien yang mendeskripsikan segi sensoris, afektif, dan dimensi nyeri. Sedangkan penilaian intensitas nyeri bersifat kategorikal dimana 0 = tidak nyeri, 1 = nyeri ringan, 2 = merasa tidak nyaman, 3 = terganggu oleh nyeri, 4 = sangat terganggu oleh nyeri, 5 = sangat tersiksa oleh nyeri.
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir 1. Intubasi dengan pipa endotrakea menjadi bagian yang rutin dalam pelaksanaan anestesi umum, pipa endotrakea pada umumnya digunakan untuk memproteksi jalan nafas atau akses jalan nafas dalam pemberian ventilasi. Intubasi endotrakea bukan merupakan prosedur yang tanpa komplikasi. 2. Salah satu komplikasi penggunaan pipa endotrakea terjadi akibat rangsangan iritasi dan regang pada mukosa saluran nafas yang disebabkan pipa endotrakea maupun cuff sehingga menimbulkan respon seperti suara serak, nyeri tenggorokan, batuk, peningkatan tekanan darah, dan peningkatan laju nadi. 3. Lidokain intravena atau topikal umumnya digunakan untuk untuk menekan respon jalan nafas yang disebabkan intubasi endotrakea pada pasien dengan anestesi umum. Lidokain intravena dapat menekan refleks batuk, hal ini terjadi bila konsentrasi lidokain plasma berkisar 3 µg/ ml. Untuk mencapai hal tersebut diberikan dosis lidokain 1-2 mg/ kilogram berat badan. Namun lidokain intravena memiliki kelemahan karena menyebabkan efek sedasi dan pemanjangan pemulihan dari anestesia. Sedangkan secara topikal, diperlukan dosis lidokain 100-250 mg baik diberikan melalui lubrikasi cuff pipa endotrakea dengan lidokain gel atau spray untuk mencapai konsentrasi lidokain plasma 1,5 µg/ ml. Namun hal tersebut dihubungkan dengan
peningkatan
morbiditas
pada
penatalaksanaan
anestesi
umum
yang
disebabkan adherence (perlengketan) pipa endotrakea dengan mukosa trakea dan berisiko menyebabkan ruptur cuff. 4. Diketahui bahwa nyeri tenggorokan disebabkan karena terjadi rangsangan iritasi dan regang pada reseptor nyeri di trakea. Pemberian anestesi lokal secara kontinyu untuk memblok reseptor nyeri dapat menurunkan kejadian nyeri tenggorokan. 5. Pemberian lidokain 2% intracuff pipa endotrakea menyebabkan difusi lidokain melalui membran cuff. Cuff pipa endotrakea berperan sebagai reservoir untuk melepaskan anestesi lokal terhadap mukosa trakea di sekeliling cuff. 6. Lidokain 2% intracuff pipa endotrakea menurunkan pressure cuff terhadap mukosa trakea sehingga berperan menurunkan kejadian nyeri tenggorokan. Peningkatan pressure cuff pada anestesi umum yang menggunakan nitrous oksida (N2O) disebabkan absorbsi N2O ke dalam cuff, sedangkan pada lidokain 2% intracuff terjadi counter balance disebabkan difusi lidokain 2% melalui membran hidrofobik cuff ke dinding mukosa trakea meskipun tetap terjadi absorbsi N2O ke dalam cuff.
3.2 Kerangka Konsep
PIPA ENDOTRAKEA
INTERNAL : 1. 2. 3. 4. 5.
EKSTERNAL :
Umur Jenis kelamin Berat badan Tinggi badan IMT
-
Jenis PET Ukuran PET Anestesi umum Durasi pembedahan
NACL 0,9%
LIDOKAIN 2%
VOLUME CUFF
TEKANAN INTRACUFF NYERI TENGGOROKAN
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
3.2 Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah lidokain 2% intracuff pipa endotrakea mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi di RSUP Sanglah Denpasar.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1
Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah uji klinik dan alokasi subyek
penelitian dilakukan dengan randomisasi acak tersamar ganda (double blind randomized controlled trial) yang membandingkan 2 kelompok penelitian yaitu kelompok yang mendapat lidokain 2% intracuff dan kelompok yang mendapat NaCl 0,9% intracuff. Rancangan penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:
S
P
P1
O1
O2
O3
P2
O4
O5
O6
R
Gambar 4.1 Skema rancangan penelitian Keterangan: P = populasi S = sampel R = randomisasi P1 = pemberian lidokain 2% intracuff P2 = pemberian NaCl 0,9% intracuff O1 = penilaian VAS 1 jam setelah ekstubasi pada kelompok perlakuan pemberian lidokain 2% intracuff
O2 = penilaian VAS 2 jam setelah ekstubasi pada kelompok perlakuan pemberian lidokain 2% intracuff O3 = penilaian VAS 24 jam setelah ekstubasi pada kelompok perlakuan pemberian lidokain 2% intracuff O4 = penilaian VAS 1 jam setelah ekstubasi pada kelompok perlakuan pemberian NaCl 0,9% intracuff O5 = penilaian VAS 2 jam setelah ekstubasi pada kelompok perlakuan pemberian NaCl 0,9% intracuff O6 = penilaian VAS 24 jam setelah ekstubasi pada kelompok perlakuan pemberian NaCl 0,9% intracuff
4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di ruang operasi RSUP Sanglah Denpasar dari
bulan November 2014 sampai dengan bulan Desember 2014.
4.3
Penentuan Sumber Data
4.3.1
Populasi Penelitian
1. Populasi target adalah pasien yang menjalani pembedahan dengan anestesi umum pemasangan pipa endotrakea 2. Populasi terjangkau adalah pasien yang akan menjalani pembedahan dengan anestesi umum pemasangan pipa endotrakea di ruang operasi RSUP Sanglah Denpasar periode November 2014 sampai dengan Desember 2014.
4.3.2
Sampel Penelitian Sampel penelitian adalah pasien yang akan menjalani pembedahan dengan
anestesi umum pemasangan pipa endotrakea di ruang operasi RSUP Sanglah Denpasar periode November 2014 sampai dengan Desember 2014 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.3.3
4.3.4
Kriteria Inklusi 1.
Pasien jenis kelamin laki- laki dan perempuan.
2.
Pasien dengan umur 18 - 60 tahun.
3.
Pasien status fisik ASA I dan ASA II
4.
Mallampati derajat I – II
5.
Pasien dengan IMT normal (18-24 kg/m2).
6.
Lama operasi > 1 jam
Kriteria Eksklusi 1. Pasien yang menolak menjadi sampel penelitian. 2. Pasien yang memiliki reaksi alergi terhadap obat lidokain 2% 3. Kesulitan intubasi 4. Lama operasi < 1 jam 5. Mengalami infeksi jalan nafas atas 6. Menjalani operasi daerah kepala, mulut, dan atau leher 7. Pemasangan pipa lambung 8. Cuff pipa endotrakea bocor atau terlepas durante operasi
4.3.5
Besar Sampel
Untuk menentukan besar sampel, digunakan rumus : ( (
)
)
dimana : S
: estimasi standar deviasi nilai VAS pada kelompok kontrol
Zα
: nilai Z untuk α tertentu (1.96 untuk tingkat kemaknaan α = 0.05).
Zß
: nilai
Z untuk power (1- ß) tertentu (1.282 untuk power 90%).
X1-X2 :perbedaan klinis yang dianggap bermakna antara dua kelompok perlakuan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Estebe (2001) didapatkan acuan nilai rata- rata Visual Analog Scale (0-100mm) adalah 25±10. Perbedaan VAS rerata yang dianggap bermakna antara dua kelompok adalah 8. Standar deviasi yang digunakan adalah 10; dengan tingkat kesalahan tipe I, α ditetapkan sebesar 0,05 sehingga nilai Zα adalah 1,96 sedangkan kesalahan tipe II, β ditetapkan sebesar 10% sehingga power adalah 90% dan nilai Zβ adalah 1,282; maka didapatkan besar sampel pada masing-masing kelompok adalah 32 orang, maka total besar sampel yang diperlukan pada penelitian ini adalah 64 orang. ( *
)
+
4.3.6
Teknik Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik konsekutif sampling dan
dirandomisasi dengan tehnik permutted block menjadi kelompok lidokain 2% intracuff dan kelompok NaCl 0,9% intracuff. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dipilih sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi.
4.3.7
Alokasi sampel Penentuan alokasi sampel yang masuk ke dalam kelompok perlakuan (A)
atau kelompok kontrol (B) dilakukan dengan metode Quickcalcs (Graphpad, Software,Inc) dengan hasil sebagai berikut: 1
B
17
A
33
B
49
A
2
A
18
B
34
A
50
A
3
B
19
B
35
A
51
A
4
B
20
A
36
B
52
B
5
B
21
B
37
A
53
A
6
A
22
B
38
A
54
A
7
B
23
A
39
A
55
A
8
A
24
B
40
B
56
A
9
B
25
B
41
B
57
A
10
A
26
B
42
B
58
A
11
B
27
B
43
A
59
B
12
B
28
A
44
A
60
B
13
B
29
A
45
B
61
B
14
A
30
A
46
A
62
B
15
A
31
B
47
B
63
A
16
B
32
A
48
A
64
B
4.3.8. Tehnik blind Persiapan blind obat di apotek yaitu dengan membuat cairan yang identik untuk kedua jenis obat. Kelompok A mendapatkan lidokain 2% 5 ml intracuff, sedangkan kelompok B mendapatkan NaCl 0,9 % dengan volume yang sama dengan cairan pada kelompok A. Setiap pasien baru yang memenuhi kriteria dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi. Penentuan sampel yang mendapat intervensi dilakukan secara random menggunakan computer generated permutted block randomization of graphpad quickcalcs software untuk menentukan subyek penelitian masuk ke kelompok perlakuan A atau kelompok perlakuan B. Digunakan amplop tertutup yang berisi kelompok intervensi mana yang akan diberikan, nomor sampel, dan instruksi pelaksanaan. Pada pagi hari sebelum operasi, seorang dokter residen anestesi pertama yang membantu penelitian akan membuka amplop tersebut, membaca isinya, dan menyiapkan intervensi yang diberikan sesuai instruksi dalam amplop. Kemudian dokter residen anestesi kedua akan memberikan obat yang telah disiapkan oleh dokter residen anestesi pertama tanpa mengetahui apa isi cairan tersebut. Kedua dokter residen anestesi ini kemudian tidak ikut terlibat dalam evaluasi dan pengumpulan data selanjutnya.
4.4
Variabel Penelitian 1. Variabel bebas adalah pemberian lidokain 2% intracuff dan NaCl 0,9% intracuff. 2. Variabel tergantung adalah nyeri tenggorokan pasca anestesi umum intubasi pipa endotrakea. 3. Variabel perancu adalah umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh (IMT), durasi operasi.
4.5
Definisi Operasional Variabel 1. Pemberian lidokain 2% intracuff adalah pemberian lidokain 2% volume 5 ml ke dalam cuff pipa endotrakea. 2. Pemberian NaCl 0,9% intracuff adalah pemberian NaCl 0,9% volume 5 ml ke dalam cuff pipa endotrakea. 3. Nyeri tenggorokan pasca anestesi umum intubasi pipa endotrakea adalah nyeri yang dirasakan penderita pada tenggorokan pasca anestesi umum intubasi pipa endotrakea. Penilaian nyeri tenggorokan menggunakan instrumen Visual Analog Scale (VAS). Dilakukan pengamatan dan wawancara terhadap pasien tentang adanya nyeri tenggorokan dengan menggunakan penggaris skala sepanjang 100 mm, pada ujung kiri (0 mm) tertulis tidak nyeri dan pada ujung kanan (100 mm) tertulis sangat nyeri, pasien diminta memberi tanda pada penggaris VAS tersebut tentang nyeri yang dirasakannya. Penilaian dilakukan dalam keadaan pasien diam dan bergerak. Kemudian
dilakukan pengukuran dari sebelah kiri dan intensitas nyeri dinyatakan dengan skala mm. Evaluasi nyeri tenggorokan dilakukan 1 jam pasca ekstubasi, 2 jam pasca ekstubasi, dan 24 jam pasca ekstubasi. 4. Anestesi umum pemasangan pipa endotrakea adalah tindakan melakukan anestesi dengan menggunakan obat-obat anestesi seperti: premedikasi
midazolam
0,05
mg/
kgbb,
suplemen
analgesia
menggunakan Fentanyl dosis 2 mcg/kgbb, induksi dengan Propofol dosis 2,5 mg/kgbb. Fasilitas intubasi dengan obat pelumpuh otot Atrakurium dengan dosis 0,5 µg/kgbb. Dilakukan laringoskopi intubasi dengan memasang pipa endotrakea PVC merk Sumi dengan cuff High Volume – Low Pressure sesuai ukuran pasien, yaitu internal diameter 6,5 mm untuk perempuan dan 7,0 mm untuk laki-laki. Dilanjutkan dengan maintenance inhalasi N2O : O2 (50%:50%) dan isofluran. 5. Umur adalah umur resmi pada saat akan dilakukan operasi, yang diketahui dari tanggal lahir yang didapat dari wawancara atau dari dokumen resmi, misalnya KTP atau SIM (tahun). 6. Jenis kelamin dilihat berdasarkan fenotip dari tanda-tanda kelamin sekunder. 7. Berat Badan (BB) diukur dengan alat timbangan injak dalam posisi berdiri memakai busana seminimal mungkin, dengan satuan kilogram (kg). 8. Tinggi badan (TB) diukur dengan alat ukur tinggi badan dalam posisi berdiri tegak tanpa alas kaki, dengan satuan meter (m).
9. Indeks masa tubuh (IMT) adalah salah satu pemeriksaan antropometri untuk menentukan status gizi yang dinilai dengan cara membagi berat badan dengan pangkat dua tinggi badan (IMT=BB/TB2), dengan satuan kg/m2. 10. Status fisik ASA adalah suatu sistem penilaian status fisik pasien praoperasi menurut klasifikasi berdasarkan American Society of Anesthesiologists, dikatakan status fisik ASA I jika pasien tanpa penyakit sistemik, status fisikASA II jika pasien dengan penyakit sistemik ringan tanpa pembatasan fungsional (Morgan et al., 2006). 11. Durasi operasi adalah waktu yang dihitung mulai dari insisi kulit sampai penutupan luka operasi.
4.6
Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan adalah: 1. Kuesioner dan data dari status pasien. 2. Penggaris pengukuran VAS dengan skala 0-10 cm. 3. Lembar monitoring VAS pasien. 4. Lembar pengumpulan data penelitian. 5. Laringoskop merk Riester 6. Pipa endotrakea PVC merk Sumi disertai cuff high volume – low pressure ukuran internal diameter 6,5; 7,5 mm. 7. Spuite 10 ml 8. Infus set dan kateter intravena ukuran 18 G
9. Midazolam 0,1% 10. Ondansentron 11. Propofol 1% 12. Atracurium 13. Ketorolac 14. Isoflurane, N2O, O2 15. NaCl 0,9% 16. Lidokain hidroklorida (Lidokain-HCl 2%) 17. Pressure cuff Mallinckrodt, Seelscherf, Germany 18. Stetoskop
4.7
Prosedur Penelitian
4.7.1
Persiapan penelitian Penelitian ini dapat dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan
penelitian (ethical clearence) dari Komisi Etika Penelitian dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan RSUP Sanglah Denpasar.
4.7.2
Penapisan pasien Seleksi dilakukan pada saat kunjungan pra-anestesia pada pasien yang
akan menjalani pembedahan dengan tehnik anestesi umum pemasangan pipaendotrakea. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi ditetapkan sebagai sampel. Setelah mendapatkan penjelasan dan pasien setuju dilanjutkan dengan menandatangani informed consent.
4.7.3
Pelaksanaan penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan dalam tahapan-tahapan yang ditentukan
sebelumnya dengan harapan perlakuan lain yang tidak diteliti diberikan sama ke semua subyek. 4.7.3.1 Cara kerja Cara kerja dalam melakukan penelitian dan pengumpulan data adalah sebagai berikut : 1.
Seleksi dilakukan pada pasien yang akan menjalani prosedur pembedahan dengan tehnik anestesi umum pemasangan pipa endotrakea di ruang operasi RSUP Sanglah Denpasar berdasarkan kriteria inklusi. Selanjutnya diberi penjelasan mengenai penelitian ini dan dimohon kesediaannya untuk berpartisipasi pada penelitian.
2.
Setelah dijelaskan, bila pasien setuju maka surat persetujuan tindakan dan surat persetujuan berpartisipasi dalam penelitian ditandatangani.
3.
Sampai di ruang persiapan kamar operasi dilakukan pencatatan identitas kembali, kemudian dilakukan pemasangan infus dengan cairan kristaloid, kecepatan pemberian sesuai kebutuhan cairan pemeliharaan sesuai berat badan pasien.
4.
Setelah itu pasien dibawa ke ruang operasi, kemudian dipindahkan ke meja operasi.
5.
Pasang monitor tekanan darah non invasif, EKG, pulse oxymetry, dilakukan pencatatan hasil.
6.
Pasien diberikan premedikasi midazolam 0,05 mg/kgbb, ondansentron 0,15 mg/kgbb, suplemen analgesia dengan fentanyl dosis 2 mcg/kgbb dan induksi propofol 2,5 mg/kgbb serta fasilitas intubasi dengan obat pelumpuh otot atrakurium dosis 0,5 mg/kgbb kemudian dilakukan laringoskopi dan intubasi pemasangan pipa endotrakea sesuai ukuran. Selanjutnya dilakukan pengembangan cuff: kelompok A inflasi cuff menggunakan lidokain 2% volume 5 ml. Kelompok B inflasi cuff menggunakan NaCl 0,9% 5 ml. Masing- masing kelompok telah disiapkan sebelumnya dalam sebuah spuite10 ml.
7.
Pengukuran tekanan dalam cuff dengan menggunakan instrumen Pressure cuff Mallinckrodt, Seelscherf, Germany. Tekanan awal dalam cuff dievaluasi tidak melebihi 30 cmH2O. Bila masih terjadi kebocoran udara, pada kelompok A ditambahkan lidokain 2% volume 1 ml, sedangkan pada kelompok B ditambahkan NaCl 0,9% volume 1 ml. Inflasi cuff pipa endotrakea tersebut dilakukan hingga tercapai minimal occlusive volume. Pemantauan tekanan dalam cuff secara intermittent dilakukan tiap 30 menit dan akhir anestesi, dievaluasi tidak melebihi 30 cmH2O.
8.
Maintenance anestesia dengan N2O:O2 (50%: 50%); isofluran 1-1,5 volume%, atracurium intermitent, fentanyl intermitent, dan pemberian NSAID ketorolac 0,5 mg/kgbb
9.
Setelah
operasi
selesai,
agen
anestesia
dihentikan,
dipertahankan nafas spontan dengan oksigen 100%
pasien
10. Ekstubasi pipa endotrakea dilakukan bila: - Pasien bernafas spontan adekuat - Pasien mampu mengikuti perintah verbal (membuka mata atau tangan menggenggam) atau kecendrungan untuk mencabut pipa endotrakea. 11. Penilaian nyeri tenggorokan dengan menggunakan instrumen Visual Analog Scale (VAS) dengan nilai 0 – 100 mm. Dilakukan pengamatan dan wawancara terhadap pasien tentang adanya nyeri tenggorokan. Evaluasi dilakukan 1 jam pasca ekstubasi, 2 jam pasca ekstubasi, dan 24 jam pasca ekstubasi. 12. Catat efek samping yang muncul pada kedua kelompok.
4.7.4
Alur Penelitian Pasien yang akan menjalani pembedahan dengan anestesi umum intubasi pipa endotrakea Kriteria inklusi Informed consent Populasi terjangkau Kriteria eksklusi ELIGIBLE SAMPEL
PREMEDIKASI Midazolam 0,05 mg/kg Ondansentron 0,15 mg/kgbb
INDUKSI Propofol 2,5 mg/kg, Fentanyl 2 µg/kg, Atracurium 0,5 mg/ kg
INTUBASI PIPA ENDOTRAKEA Ukuran PET sesuai pasien
RANDOMISASI
KELOMPOK A Inflasi cuff dengan Lidokain 2%
KELOMPOK B Inflasi cuff dengan NaCl 0,9%
RUMATAN N2O,O2, Isofluran, Atracurium
Ekstubasi Pipa Endotrakea
Nyeri tenggorokan pasca ekstubasi (Penilaian VAS)
ANALISIS STATISTIK
4.8
Pengolahan dan Penyajian Data Analisis Statistik
4.8.1
Analisis statistik deskriptif Analisis deskriptif bertujuan untuk menggambarkan karakteristik subjek
penelitian berdasarkan kelompok perlakuan. Karakteristik umur, berat badan, tinggi badan, dan indeks massa tubuh, digambarkan dalam rerata dan simpang baku. Sedangkan jenis kelamin, jenis pembedahandan status fisik ASA digambarkan dalam distribusi frekuensi. 4.8.2
Uji normalitas Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui sebaran data variabel (nilai
VAS)pada masing-masing kelompok perlakuan. Uji normalitas menggunakan Shapiro-Wilk. Data dinyatakan berdistribusi normal bila p> 0,05 dan dinyatakan tidak berdistribusi normal bila nilai p≤ 0,05 4.8.3
Uji homogenitas varian Uji homogenitas varian digunakan untuk menilai apakah varian variabel
homogen pada masing-masing kelompok perlakuan.Digunakan Levene’s test. Bila nilai p> 0,05 maka varian antar kelompok perlakuan dinyatakan homogen. Sedangkan bila nilai p ≤ 0,05 varian antar kelompok perlakuan tidak homogen. 4.8.4
Analisa perbedaan mean Analisa perbedaan mean dipresentasikan dalam rerata ± simpang baku.
Karakteristik ini dianalisis dengan menggunakan uji t tidak berpasangan (uji parametrik) jika memenuhi syarat, jika tidak memenuhi syarat digunakan uji Mann-Whitney (uji nonparametrik).
BAB V HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian uji klinik pada pasien yang menjalani tindakan pembedahan dengan anestesi umum di kamar operasi instalasi bedah sentral RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian dilakukan pada 64 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan. Kelompok A terdiri dari 32 sampel yang mendapatkan inflasi lidokain 2% intracuff dan kelompok B terdiri dari 32 sampel yang mendapatkan inflasi NaCl 0,9% intracuff. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektifitas pemberian lidokain 2% intracuff pipa endotrakea untuk mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi. Tabel 5.1 Data karakteristik subjek penelitian kedua kelompok perlakuan
Variabel Usia (tahun) Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan Berat badan (kg) Tinggi badan (cm) IMT (kg/m2) Durasi pembedahan (menit)
Kelompok Lidokain 2% ( n = 32 ) 37,3 ± 11,6
Kelompok NaCl 0,9% ( n = 32 ) 38,2 ± 13,0
8 (25,0) 24 (75,0) 55,9 ± 7,1 160,4 ± 6,5 21,7 ± 1,8 166,3 ± 80,6
11 (34,4) 21 (65,6) 59,1 ± 8,7 162,8 ± 8,1 22,2 ± 1,7 177,8 ± 68,9
p 0,762a
0,412b 0,114a 0,305b 0,142b 0,542a
Keterangan : Uji statistik : a. Uji independent sample T-test: berbeda tidak bermakna; b. Uji Mann-Whitney: berbeda tidak bermakna
Data yang bersifat numerik seperti umur, berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh, durasi pembedahan dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk rerata ± SD. Data bersifat kategorikal seperti jenis kelamin dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam distribusi frekwensi dan proporsi. Kedua kelompok diuji normalitasnya dengan uji Kolmogorov –Smirnov. Untuk perbandingan karakteristik sampel dianalisis sesuai untuk analisis komparatif numerik tidak berpasangan 2 kelompok yaitu uji t bila distribusi datanya normal, bila distribusi data tidak normal menggunakan uji Mann Whitney. Berdasarkan tabel 5.1 terlihat bahwa karakteristik subjek meliputi umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, IMT, dan durasi pembedahan antar kelompok perlakuan tidak berbeda bermakna. Berdasarkan gambaran karakteristik variabel tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok perlakuan sudah sebanding (comparable). Data rerata tekanan intracuff berdasarkan kelompok perlakuan pada pengukuran interval waktu dapat dilihat pada Tabel 5.2 berikut ini
Tabel 5.2 Perbedaan rerata tekanan intracuff berdasarkan kelompok perlakuan
Tekanan Intracuff Menit ke 0 Menit ke 30 Menit ke 60 Menit ke 90 Menit ke 120 Akhir anestesia
Kelompok Lidokain 2% ( n = 32 ) 19,3 ± 3,8
Kelompok NaCl 0,9% ( n = 32 ) 19,3 ± 1,6
19,2 ± 3,8 18,9 ± 3,9 18,7 ± 3,7 18,7 ± 3,8 17,9 ± 3,8
Beda Rerata
95% CI
Nilai P
0 ± 2,2
-1,4 – 1,5
0,966
19,4 ± 1,6 20,3 ± 1,4 20,9 ± 1,7 21,5 ± 1,6
-0,2 ± 2,2 -1,4 ± 2,5 -2,2 ± 2,0 -2,8 ± 2,2
22,2 ± 1,8
-4,3 ± 2,0
-1,7 – 1,2 -2,8 – 0,1 -3,7 – (-0,7) -4,4 – (-1,3) -5,7 – (-2,8)
0,733 0,066 0,004 0,001 < 0,001
Keterangan : Uji statistik menggunakan independent sample T-test, dinyatakan dalam rerata ± simpang baku.
Tabel 5.2 menunjukkan tekanan intracuff menit ke 0 pada kedua kelompok tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05). Kelompok lidokain 2% menunjukkan penurunan tekanan intracuff pada pengukuran menit ke 30 dan menit ke 60, namun penurunan ini tidak bermakna secara statistik. Penurunan bermakna terjadi mulai menit ke 90, menit 120, sampai menit akhir sebelum ekstubasi dengan nilai p<0,05). Sebaliknya pada kelompok NaCl 0,9% pengukuran tekanan intracuff pada menit ke 30 dan menit 60 menunjukkan peningkatan dibandingkan menit ke 0, namun secara statistik tidak bermakna. Peningkatan tekanan intracuff ini dianggap bermakna pada pengukuran menit ke 90, 120, dan menit akhir (p<0,05).
Gambar 5. 1 Grafik tekanan intracuff kedua kelompok perlakuan
Gambar 5.2 Grafik perbandingan rerata tekanan intracuff menit akhir kedua kelompok perlakuan
Data rerata volume intracuff berdasarkan kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5.3 berikut ini. Tabel 5.3 Volume intracuff pada kedua kelompok perlakuan
Variabel Volume cuff awal Volume cuff akhir Selisih volume cuff
Kelompok Lidokain 2% ( n = 32 ) 6,2 ± 1,1
Kelompok NaCl 0,9% ( n = 32 ) 6,1 ± 0,8
4,6 ± 1,3 1,6 ± 0,6
Beda Rerata
Nilai P
0,1 ± 0,3
0,983
6,1 ± 0,8
1,46 ± 0,5
<0,001
0±0
1,6 ± 0,6
<0,001
Keterangan : Uji statistik dilakukan dengan independent sample T-test dan Mann-
Whitney Test. Volume cuff awal pada kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan bermakna dengan nilai p=0,983. Volume cuff yang diukur pada akhir ekstubasi pada kedua kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05). Pada kelompok lidokain 2% didapatkan rerata selisih volume intracuff sebesar 1,6 ± 0,6 ml sedangkan pada kelompok NaCl 0,9% tidak ada perbedaan selisih volume intracuff di awal dan akhir.
Gambar 5.3 Grafik volume intracuff kedua kelompok perlakuan Tabel 5.4 Derajat nyeri tenggorokan dinilai dengan Visual Analog Scale (VAS) pada kedua kelompok perlakuan
Variabel VAS jam ke 1 VAS jam ke 2 VAS jam ke 24
Kelompok Lidokain 2% ( n = 32 ) 4,0 ± 5,7
Kelompok NaCl 0,9% ( n = 32 ) 10,1 ± 5,0
2,1 ± 3,9 0±0
Beda Rerata
Nilai P
6,1 ± 0,7
<0,001
5,3 ± 3,9
3,2 ± 0
0,004
0±0
0±0
1,0
Keterangan :Uji statistik dilakukan dengan menggunakan independent sample Ttest dan Mann-Whitney Test.
Rerata nyeri tenggorokan yang dievaluasi menggunakan instrumen Visual Analog Scale (VAS) dalam millimeter untuk kelompok lidokain 2% pada jam 1 pasca ekstubasi adalah 4,0 ± 5,7. Sedangkan pada kelompok NaCl 0,9% adalah 10,1 ± 5,0, didapatkan beda rerata 6,1 ± 0,7 yang secara statistik dianggap bermakna (p<0,05). Evaluasi VAS nyeri tenggorokan 2 jam pasca ekstubasi pada kedua kelompok perlakuan juga secara statistik bermakna dengan beda rerata 3,2 ± 0 (p=0,004). Namun penilaian VAS 24 jam pasca ekstubasi pada kedua kelompok menunjukkan nilai VAS 0 sehingga tidak ada perbedaan.
Gambar 5.4 Grafik VAS kedua kelompok perlakuan
10 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
5 4 2 0 VAS JAM 1
VAS JAM 2
0
VAS JAM 24
VISUAL ANALOG SCALE (VAS) LIDOKAIN 2%
NACL 0,9%
Gambar 5.5 Perbandingan VAS kedua kelompok perlakuan
Selanjutnya penting dicari seberapa besar pengaruh selisih volume cuff serta pengaruh tekanan cuff akhir terhadap nyeri tenggorokan yang dievaluasi dengan VAS. Analisa tambahan yang dilakukan untuk mengetahui hubungan kedua variabel tersebut adalah dengan uji regresi linier. Adapun hasil uji regresi linier pengaruh selisih volume cuff terhadap nilai VAS jam 1 ditampilkan dalam tabel 5.5 dan gambar 5.6 dibawah ini.
Tabel 5.5 Hasil analisis regresi linier pengaruh selisih volume cuff terhadap nilai VAS jam 1 Variabel Selisih volume cuff Konstanta
Β
95% CI
Nilai p
-3,12
-4,67 – (-1,58)
<0,001
9,49
-7,66 – 11,34
<0,001
Uji Regresi Linier. Interval Kepercayaan 95%, *signifikan p< 0,05
Selisih volume cuff sebesar 1 ml atau dengan kata lain setiap penurunan volume cuff 1 ml dibandingkan volume cuff awal akan menyebabkan penurunan nilai VAS sebesar 3,12 mm. Dan pengaruhnya secara statistik bermakna (p<0,05).
Gambar 5.6 Kurve linier pengaruh selisih volume cuff terhadap nilai VAS jam 1
Dari kurva linier tersebut dapat disimpulkan bahwa selisih volume cuff yang lebih tinggi akan menyebabkan penurunan nilai VAS. Dimana setiap selisih volume cuff 1 ml akan diikuti penurunan nilai VAS sebesar 3,12 mm.
Tabel 5.6 Hasil analisis regresi linier pengaruh selisih volume cuff terhadap nilai VAS jam 2 Variabel Selisih volume cuff Konstanta
Β
95%CI
Nilai p
-1,49
-2,62 – (-0,36)
0,01
4,83
3,49 – 6,18
<0,001
Uji Regresi Linier. Interval Kepercayaan 95%, *signifikan p< 0,05
Selisih volume cuff sebesar 1 ml atau dengan kata lain setiap penurunan volume cuff 1 ml dibandingkan volume cuff awal akan menyebabkan penurunan nilai VAS sebesar 1,49 mm. Dan pengaruhnya secara statistik bermakna (p=0,01).
Gambar 5.7 Kurve linier pengaruh selisih volume cuff terhadap nilai VAS jam 2
Dari kurva linier tersebut dapat disimpulkan bahwa selisih volume cuff yang lebih tinggi akan menyebabkan penurunan nilai VAS. Dimana setiap selisih volume cuff 1 ml akan diikuti penurunan nilai VAS sebesar 1,49 mm. Tabel 5.7 Hasil analisis regresi linier pengaruh tekanan intracuff akhir terhadap nilai VAS jam 1 Β
95% CI
Nilai p
Tekanan intracuff akhir
0,47
0,06 – 0,89
0,03
Konstanta
-2,46
-10,83 – 5,91
0,559
Variabel
Uji Regresi Linier. Interval Kepercayaan 95%, *signifikan p< 0,05 Pada tekanan intracuff akhir yang lebih tinggi 1 mmHg dari nilai rerata tekanan intracuff akhir maka nilai VAS jam 1 bertambah sebesar 0,47 mm. Sebaliknya pada tekanan intracuff akhir yang lebih rendah 1 mmHg dibandingkan rerata tekanan intracuff akhir maka diikuti penurunan nilai VAS jam 1 sebesar 0,47 mm. Dan pengaruhnya secara statistik bermakna (p=0,03).
Gambar 5.8 Kurve linier pengaruh tekanan intracuff akhir terhadap VAS jam 1
Dari kurva linier tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tekanan intracuff akhir sebesar 1 mmHg dari rerata tekanan intracuff akhir maka nilai VAS jam 1 akan bertambah sebesar 0,47 mm. Sebaliknya semakin rendah tekanan intracuff akhir sebesar 1 mmHg dari rerata tekanan intracuff akhir maka nilai VAS jam 1 akan berkurang sebesar 0,47 mm Tabel 5.8 Hasil analisis regresi linier pengaruh tekanan intracuff akhir terhadap nilai VAS jam 2 Β
95% CI
Nilai p
Tekanan intracuff akhir
0,21
-0,08 – 0,50
0,14
Konstanta
-0,59
-6,47 – 5,28
0,84
Variabel
Uji Regresi Linier. Interval Kepercayaan 95%, *signifikan p< 0,05
Pada tekanan intracuff akhir yang lebih tinggi 1 mmHg dari nilai rerata tekanan intracuff akhir maka nilai VAS jam 2 bertambah sebesar 0,21 mm. Sebaliknya pada tekanan intracuff akhir yang lebih rendah 1 mmHg dibandingkan rerata tekanan intracuff akhir maka diikuti penurunan nilai VAS jam 2 sebesar 0,21 mm. Dan pengaruhnya secara statistik tidak bermakna (p>0,05).
Gambar 5.9 Kurve linier pengaruh tekanan intracuff akhir terhadap VAS jam 2
Dari kurva linier tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tekanan intracuff akhir sebesar 1 mmHg dari rerata tekanan intracuff akhir maka nilai VAS jam 2 akan bertambah sebesar 0,21 mm. Sebaliknya semakin rendah tekanan intracuff akhir sebesar 1 mmHg dari rerata tekanan intracuff akhir maka nilai VAS jam 2 akan berkurang sebesar 0,21 mm. Namun pengaruhnya secara statistik tidak bermakna (p>0,05).
BAB VI PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan ini untuk mengetahui efek lidokain 2% intracuff pipa endotrakea dalam mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi di RSUP Sanglah Denpasar. Intubasi dengan pipa endotrakea menjadi bagian yang rutin dalam pelaksanaan anestesi umum, namun intubasi bukan merupakan prosedur yang tanpa komplikasi. Salah satu komplikasi penggunaan pipa endotrakea terjadi akibat rangsangan iritasi dan regang pada mukosa saluran nafas sehingga menimbulkan respon seperti suara serak, nyeri tenggorokan, batuk, peningkatan tekanan darah, dan peningkatan laju nadi. (Gilles Dollo, dkk. 2001) Keadaan diatas dapat disebabkan oleh banyak faktor, tetapi salah satu yang mempunyai hubungan paling erat adalah keadaan cuff pipa endotrakea, diantaranya meliputi: luas kontak cuff dengan mukosa, tekanan cuff, bentuk, diameter, bahan, serta ketebalan dinding cuff. Tekanan cuff dapat meningkat pada saat pemberian anestesi umum sebagai hasil dari difusi nitrous oksida (N2O) dari trakea ke dalam cuff PET. Selama anestesia umum dengan N2O akan terjadi peningkatan tekanan intracuff sesuai peningkatan waktu disebabkan difusi N2O karena adanya gradien tekanan parsial diantara membran cuff pipa endotrakea tersebut. Pada mukosa trakea trakea terdapat Rapidly Adapting Stretch Receptors (RAR) merupakan reseptor iritan yang sangat sensitif terhadap stimulus mekanis seperti sentuhan,
regangan dan tekanan. Intubasi pipa endotrakea dengan inflasi udara menyebabkan hiperinflasi cuff yang akan merangsang reseptor di mukosa tadi. Bila tekanan intracuff melebihi tekanan perfusi kapiler mukosa trakea yaitu 30-40 cmH2O berisiko terjadi erosi dan iskemia mukosa trakea, dan pasca operasi dapat menimbulkan keluhan nyeri tenggorokan. Penelitian ini membuktikan bahwa dengan mengganti inflasi udara dengan liquid baik berupa salin maupun lidokain dapat mencegah hiperinflasi cuff. Penelitian ini membagi 2 kelompok perlakuan yaitu inflasi lidokain 2% dan inflasi NaCl 0,9% didapatkan gambaran rerata tekanan intracuff berdasarkan interval waktu. Tekanan intracuff menit ke 0 pada kedua kelompok tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) dimana tekanan intracuff kelompok lidokain 2% 19,3 ± 3,8 dan kelompok NaCl 0,9% yaitu 19,3 ± 1,6. Pada kelompok lidokain 2% menunjukkan tekanan intracuff menurun pada pengukuran menit ke 30 yaitu 19,2 ± 3,8 dan menit ke 60 tekanan intracuff yaitu 18,9 ± 3,9, namun penurunan ini tidak bermakna secara statistik. Sebaliknya pada kelompok NaCl 0,9% pengukuran tekanan intracuff pada menit ke 30 sebesar 19,4 ± 1,6 dan menit 60 tekanan yaitu 20,3 ± 1,4. Kedua interval pengukuran menunjukkan peningkatan dibandingkan menit ke 0, namun secara statistik tidak bermakna. Selanjutnya pada kelompok lidokain 2% tekanan intracuff menurun bermakna terjadi mulai menit ke 90 yaitu 18,7 ± 3,7, menit ke 120 yaitu 18,7 ± 3,8 sampai menit akhir sebelum ekstubasi yaitu 17,9 ± 3,8 dengan nilai p <0,05. Sebaliknya pada kelompok NaCl 0,9% terjadi peningkatan tekanan intracuff yang dianggap bermakna (p<0,05) pada pengukuran menit ke 90 yaitu sebesar 20,9 ± 1,7, menit ke 120 yaitu 21,5 ±
1,6, dan menit akhir sebesar 22,2 ± 1,8. Hal ini sejalan dengan penelitian Jaichandran (2009) dimana pada kelompok inflasi salin tekanan awal intracuff 22,0 ± 2,36 dan tekanan akhir intracuff yaitu 23,88 ± 2,36, sedangkan pada kelompok inflasi lidokain tekanan awal intracuff 22,52 ± 2,42 dan tekanan akhir intracuff sebesar 23,64 ± 2,67. Bila dibandingkan dengan kelompok inflasi udara didapatkan tekanan intracuff awal sebesar 24,92 ± 2,89 dan tekanan akhir sebesar 56,68 ± 10,59. Hal ini membuktikan pada penelitian ini bahwa penggantian inflasi udara intracuff dengan liquid yaitu salin dan lidokain 2% dapat mencegah hiperinflasi cuff yang berlebihan pada inflasi udara intracuff terhadap mukosa trakea seperti ditunjukkan penelitian Jaichandran. Untuk menghindari hiperinflasi cuff pipa endotrakea penggunaan liquid dapat diberikan dibandingkan inflasi udara. Lidokain sebagai suatu larutan dapat menjadi pilihan terhadap permasalahan diatas. Beberapa penelitian in vitro maupun in vivo melaporkan bahwa lidokain hidrochloride (L-HCl) yang dimasukkan ke dalam cuff dapat berdifusi melintasi cuff pipa endotrakea yang bersifat hydrophobic membrane, hal ini disebabkan karena cuff dibuat dari bahan polyvynil chloride dan bertindak sebagai membran yang semipermeabel. (Gilles Dollo, dkk. 2001). Penelitian ini pada 2 kelompok perlakuan yaitu lidokain 2% dan NaCl 0,9% masing-masing diberikan sebanyak volume 5 ml dan diukur tekanan intracuff dengan target tidak melebihi tekanan perfusi kapiler mukosa trakea yaitu 30 cmH2O. Selanjutnya volume ditambahkan bila minimal occlusive volume
belum tercapai untuk mencegah kebocoran udara saat diberikan tekanan ventilasi positif melalui pipa endotrakea. Volume cuff awal pada kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan bermakna dengan nilai p=0,983. Rerata volume cuff awal pada kelompok lidokain 2% yaitu 6,2 ± 1,1 ml, sedangkan pada kelompok NaCl 0,9% volume cuff awal sebesar 6,1 ± 0,8 ml. Sedangkan volume cuff akhir yang diukur pada pasca ekstubasi pada kedua kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05). Pada kelompok lidokain 2% volume cuff akhir sebesar 4,6 ± 1,3 ml dan didapatkan rerata selisih volume sebesar 1,6 ± 0,6 ml. Sedangkan pada kelompok NaCl 0,9% tidak ada perbedaan selisih volume intracuff di awal dan akhir. Hal ini sejalan dengan yang dikemukan oleh penelitian Sconzo (1990) dan Hirota (2000) bahwa lidokain mengalami difusi melalui membran cuff PET, dimana pada penelitian in vitro diketahui efek difusi lidokain bersifat time dependently mulai terlihat sejak menit ke 30 sejak inflasi lidokain dan difusi berlangsung terus seiring dengan waktu. Namun demikian selama pengamatan pada penelitian ini tidak ditemukan kebocoran udara melalui seal cuff PET karena terjadi counter balance disebabkan difusi lidokain 2% melalui membran hidrofobik cuff ke dinding mukosa trakea dan sebaliknya terjadi absorbsi N2O ke dalam cuff. Penelitian
ini
mengukur
derajat
nyeri
tenggorokan
dievaluasi
menggunakan instrumen Visual Analog Scale (VAS) dalam milimeter yang diukur 1 jam, 2 jam, dan 24 jam pasca ekstubasi pada 2 kelompok perlakuan didapatkan rerata nyeri tenggorokan untuk kelompok lidokain 2% pada jam 1
pasca ekstubasi adalah 4,0 ± 5,7 mm. Sedangkan pada kelompok NaCl 0,9% adalah 10,1 ± 5,0 mm, didapatkan beda rerata VAS 6,1 ± 0,7 mm yang secara statistik dianggap bermakna dengan nilai p<0,05. Evaluasi VAS nyeri tenggorokan 2 jam pasca ekstubasi pada kedua kelompok perlakuan juga secara statistik bermakna dengan beda rerata VAS 3,2 ± 0 mm (p=0,004). Hal ini sejalan dengan penelitian Hirota (2000) dimana evaluasi VAS didapatkan lebih rendah pada kelompok yang diberikan inflasi lidokain 25,1 ± 9,8 mm berbanding 53,5 ±10,6 mm pada kelompok saline 0,9% intracuff (p<0,01) Bila dibandingkan nilai VAS nyeri tenggorokan pada kelompok inflasi udara seperti dikemukakan Estebe (2002) didapatkan nilai VAS jam 1 pasca ekstubasi lebih tinggi pada kelompok inflasi udara yaitu 30 ± 13 mm dibandingkan kelompok inflasi lidokain 14 ± 15 mm. Evaluasi VAS 2 jam pasca ekstubasi juga lebih tinggi pada kelompok inflasi udara yaitu 25 ± 10 mm dibandingkan kelompok inflasi lidokain 17 ± 14 mm. Pada penelitian ini penilaian VAS 24 jam pasca ekstubasi pada kedua kelompok menunjukkan nilai VAS 0 sehingga tidak ada perbedaan. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Estebe (2001) kejadian nyeri tenggorokan pasca operasi dengan anestesi umum intubasi PET pada 2 kelompok perlakuan tersebut ditemukan VAS menurun signifikan hanya pada 2 jam awal pasca operasi, namun tidak berbeda pada evaluasi 24 jam pasca operasi. Efek
alternatif
anestesi
lokal
adalah
pengaruhnya
pada
respon
antiinflamasi dan terutama pada sel inflamasi (granulosit polimormonuklear
(PMN), makrofag dan monosit). Pelepasan sitokin akibat proses aktivasi netrofil terganggu pada pemberian lidokain. Hal ini menyebabkan berkurangnya kerusakan seluler akibat sitokin melalui mekanisme yang melibatkan kanal kalium bergantung ATP. (Hollman dkk, 2000) Lidokain juga mempengaruhi beberapa proses inflamasi melalui G protein-coupled receptor (GPCR), seperti sensitisasi netrofil dan degranulasi lysosomal, produksi radikal bebas dan sekresi sitokin oleh sel makrofag dan sel glial. (Watkins et al, 2001) Mekanisme lidokain dalam mengurangi derajat nyeri tenggorokan diperkirakan melalui efeknya sebagai anestesi lokal dan anti inflamasi. Sebagai anestetik lokal berefek memblok reseptor rapidly adapting stretch receptor (RAR) di mukosa trakea secara kontinyu dan meningkatkan toleransi terhadap pipa endotrakea. (Jaichandran, 2008; Rao, 2013). Keuntungan dari pemberian lidokain intracuff adalah keberadaan lidokain dalam cuff bersifat sebagai reservoir, sehingga lidokain akan terus menerus berdifusi terhadap mukosa trakea seiring berjalannya waktu. Adanya difusi dari lidokain yang diinflasikan intracuff pipa endotrakea akan mengurangi volume intracuff, hal ini terbukti dengan adanya selisih volume lidokain di awal dan akhir pengamatan. Pada anestesi umum dengan pemberian nitrous oksida (N2O) terjadi absorbsi N2O dari trakea ke dalam cuff pipa endotrakea disebabkan gradien tekanan parsial antara trakea dan membran cuff pipa endotrakea, sehingga terjadi mekanisme counter balance yaitu difusi lidokain 2% melalui membran hidrofobik
cuff ke dinding mukosa trakea sehingga meskipun volume lidokain intracuff akhir pada penelitian ini berkurang namun adanya mekanisme counter balance tadi menyebabkan fungsi seal PET tetap terjaga. Pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya kebocoran seal cuff PET selama pemberian ventilasi tekanan postif, serta tidak ada ruptur dari cuff. Sesuai hukum Pascal tentang sifat fisika pada zat cair maupun zat gas dikemukakan bahwa tekanan yang diberikan zat cair dalam ruang tertutup diteruskan ke segala arah dan sama besar. Berlaku pula pada zat gas di dalam ruang tertutup akan menimbulkan tekanan pada dinding ruang itu. Sehingga volume intracuff yang berkurang akan menyebabkan penurunan tekanan terhadap mukosa trakea di sekeliling cuff tersebut. Sebaliknya peningkatan volume intracuff akan menimbulkan peningkatan tekanan terhadap mukosa trakea di sekeliling cuff. Tekanan cuff yang cukup untuk mencegah kebocoran udara nafas dari berbagai jenis pipa endotrakea adalah antara 20-25 cmH2O, dibawah tekanan perfusi mukosa trakea 25-30 cmH2O. Tekanan yang berlebihan akan menimbulkan rangsangan iritasi dan regangan pada RAR di mukosa trakea yang berhubungan dengan derajat nyeri tenggorokan pasca intubasi. Tekanan cuff dapat meningkat selama anestesi umum sebagai akibat dari difusi N2O dari trakea ke dalam cuff pipa endotrakea (Brimacombe, 1999; Stone DJ, 2000) Pada penelitian ini volume cuff awal pada kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan bermakna. Rerata volume cuff awal pada kelompok lidokain 2% yaitu 6,2 ± 1,1 ml, sedangkan pada kelompok NaCl 0,9% volume
cuff awal sebesar 6,1 ±0,8 ml. Volume cuff akhir yang diukur pasca ekstubasi pada kedua kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05). Pada kelompok lidokain 2% volume cuff akhir sebesar 4,6 ± 1,3 ml dan didapatkan rerata selisih volume sebesar 1,6 ± 0,6 ml. Sedangkan pada kelompok NaCl 0,9% tidak ada perbedaan selisih volume intracuff di awal dan akhir. Volume cuff akhir yang lebih besar pada kelompok inflasi NaCl 0,9% disebabkan karena tidak terjadi difusi NaCl 0,9% melalui membran cuff, berbeda halnya dengan kelompok inflasi lidokain 2% dimana lidokain berdifusi sehingga volume cuff akhir lebih sedikit dan tekanan cuff yang ditimbulkan terhadap mukosa trakea lebih kecil sesuai dengan berjalannya waktu sejak lidokain diinflasikan sampai tekanan akhir intracuff sebelum ekstubasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada akhir anestesi volume cuff akhir berkurang sebesar 1,6 ± 0,6 ml namun tekanan intracuff akhir lebih rendah daripada tekanan intracuff awal. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan difusi lidokain melalui cuff lebih besar daripada kecepatan difusi N2O dari trakea ke dalam cuff. Tekanan intracuff menit ke 0 pada kedua kelompok perlakuan tidak menunjukkan perbedaan bermakna, yaitu 19 ± 3,4 ml. Penurunan tekanan intracuff pada kelompok lidokain 2% dianggap bermakna secara statistik mulai menit 90, menit 120, dan menit akhir sebelum ekstubasi. Sebaliknya pada kelompok NaCl 0,9% peningkatan tekanan intracuff dianggap bermakna secara statistik mulai menit ke 90, menit 120, dan menit akhir sebelum ekstubasi. Hal ini menunjukkan hubungan antara volume intracuff dan tekanan intracuff yang ditimbulkannya terhadap mukosa trakea. Pada kelompok lidokain 2% didapatkan
volume cuff akhir lebih sedikit karena mengalami difusi melalui membran intracuff, selanjutnya lidokain bekerja sebagai anestesi lokal dan efek antiinflamasi lokal pada mukosa trakea, sehingga pada pengukuran tekanan intracuff juga lebih rendah dibandingkan kelompok NaCl 0,9%. Sebaliknya pada kelompok NaCl 0,9% tidak terjadi difusi sehingga pada pengukuran volume cuff akhir tidak berubah. Pada anestesi umum dengan pemberian N2O menyebabkan absorbsi N2O ke dalam intracuff sehingga tekanan intracuff pada kelompok NaCl 0,9% ditemukan terus bertambah sampai menit akhir sebelum ekstubasi.. Tekanan intracuff akhir pada kelompok NaCl 0,9% lebih tinggi yaitu 22,2 ± 1,8 mmHg dibandingkan pada kelompok lidokain 2% yaitu 17,9 ± 3,8 mmHg. Perbedaan tekanan intracuff yang ditemukan pada kedua kelompok tersebut menimbulkan rangsangan iritasi dan regangan yang lebih besar pada kelompok NaCl 0,9% terhadap reseptor RAR di mukosa trakea dan selanjutnya berhubungan dengan VAS nyeri tenggorokan pasca intubasi yang juga lebih tinggi. Untuk dapat menjelaskan mekanisme lidokain 2% intracuff pipa endotrakea dalam mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi, harus dievaluasi variabel perantara yang terjadi di dalam perjalanan lidokain tersebut, yaitu: volume cuff dan tekanan intracuff. Data yang diperoleh mengenai volume cuff dan tekanan intracuff tersebut sebagai bukti yang memperkuat kemampuan difusi lidokain, yang selanjutnya berpengaruh terhadap volume cuff dan tekanan intracuff, serta efek akhirnya dalam mengurangi VAS nyeri tenggorokan pasca intubasi.
Pada penelitian ini didapatkan perbedaan nilai VAS pada kedua kelompok perlakuan yaitu lidokain 2% dan NaCl 0,9% pada jam 1 dan jam 2 pasca ekstubasi. Secara statistik nilai VAS tersebut menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05). Namun bila dilihat secara klinis, rerata nilai VAS pada jam 1 pada kelompok lidokain 2% sebesar 4,0 ± 5,7 mm sedangkan pada kelompok NaCl 0,9% 10,1 ± 5,0 mm. Dengan klasifikasi nilai VAS 0-40 mm termasuk nyeri intensitas ringan sehingga didapatkan kesimpulan bahwa VAS nyeri tenggorokan pada kedua kelompok tersebut secara klinis tidak berbeda. Hal tersebut juga berlaku pada penilaian VAS jam 2 pada kedua kelompok yang sama-sama berada pada klasifikasi nyeri tenggorokan intensitas ringan. Namun hasil VAS pada kedua kelompok liquid tersebut menjadi bermakna bila dibandingkan dengan VAS yang didapatkan pada kelompok inflasi udara, dimana dari penelitian sebelumnya oleh Vipin (2007) pada jam 1 pasca ekstubasi sebesar 59,6 ± 1,47 mm dan VAS nyeri tenggorokan 2 jam pasca ekstubasi 48,6 ± 1,36 mm. Hasil penelitian ini secara klinis menjadi bermakna terhadap penurunan VAS nyeri tenggorokan bila dibandingkan dengan kelompok inflasi udara intracuff. VAS nyeri tenggorokan pada kelompok udara tersebut baik pada jam 1 dan 2 termasuk klasifikasi intensitas nyeri sedang yaitu diantara 41-70 mm. Penelitian ini tidak menunjukkan efek samping obat yang ditimbulkan akibat pemberian lidokain 2% dan NaCl 0,9%. Efek samping obat yang berhubungan dengan gejala Local Anesthetic Systemic Toxicity (LAST) pada berbagai sistem organ yang terjadi akibat toksisitas anestesi lokal pada penelitian ini tidak terjadi. Hal ini oleh karena pemberian lidokain 2% dalam dosis yang
aman dan direkomendasikan, jauh dari dosis toksik anestesia lokal. Selama perlakuan dilakukan pemantauan secara intermiten terhadap tekanan intracuff pipa endotrakea supaya tidak melebihi tekanan perfusi kapiler mukosa trakea yaitu 30 cmH2O dengan menggunakan intracuff pressure, disamping monitor lain seperti EKG, tekanan darah, denyut jantung, saturasi oksigen untuk mengevaluasi bila terjadi efek samping terhadap sistem organ lain.
6.1 Keterbatasan Penelitian Keterbatasan pada penelitian ini yaitu inflasi udara intracuff pipa endotrakea sebagai kontrol tidak diberikan pada kelompok perlakuan. Data derajat nyeri tenggorokan pada kelompok inflasi udara pasca intubasi didapatkan dari penelitian – penelitian lain sebelumnya. Hal ini dilakukan sesuai dengan rancangan penelitian yaitu randomisasi acak tersamar ganda, karena kedua perlakuan baik lidokain 2% maupun NaCl 0,9% memliki persamaan berbentuk liquid dan tidak berwarna, berbeda halnya dengan udara bila diberikan sebagai perlakuan. Evaluasi VAS nyeri tenggorokan pasca intubasi pada kedua kelompok perlakuan baik lidokain 2% dan NaCl 0,9% meskipun secara statistik menunjukkan perbedaan VAS yang bermakna (p<0,05) baik pada jam 1 dan 2 pasca ekstubasi namun secara klinis perbedaan VAS ini tidak bermakna karena sama-sama termasuk dalam klasifikasi nyeri intensitas ringan.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Lidokain 2% intracuff pipa endotrakea mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi di RSUP Sanglah Denpasar.
7.2 Saran Derajat nyeri tenggorokan pada pasien yang menjalani anestesi umum pasca intubasi dapat dikurangi dengan pemberian lidokain 2% intracuff, sehingga dapat digunakan sebagai alternatif pilihan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali N.P, Mulck T., Noor M.M., Mollick M.T., Ahmed M., Chowdhury M.R.A. 2009. Lidocaine as endotracheal tube cuff inflating agent. JAFMC Bangladesh..Vol 5 No 1: 25-28.. Avidan M. 2003. Pain Management, In: Perioperative Care, Anesthesia, Pain Management and Intensive Care, London:78-102 Ballantyne J.C. 2008. Management of Acute Postoperative Pain. In: Longnecker, D.E., Brown, D.L., Newman, M.F., Zapol W.M. New York: McGraw Hill.p. 1716-1736 Basuni A.S. 2013. Intracuff alkalinized lidocaine reduces sedative/ analgesic requirement for mechanically ventilated patients. Anaesth, Pain and Intensive Care; Vol.17(3): 228-232. Bernhard W.N., Yost L.C., Turndorf H., Cottrell J.E., Paegle R.D., 1978. Physical Characteristics of and rates of nitrous oxide diffusion into tracheal tube cuff. Anesthesiology. 48: 413-417. Biro P., Seifert B., Pasch T. 2005. Complaints of sore throat after tracheal intubation: a prospective evaluation. European Journal of Anaesthesiology. 22(4): 307-311. Brimacombe J., Keller C., Giampalmo M., Sparr H.J, Berry A. 1999. Direct measurement of mucosal pressures exerted by cuff and non-cuff portions of tracheal tubes with different cuff volumes and head and neck positions. British Journal of Anaesthesia. 82(5): 708-711. Cole D.J., Schlunt M. 2004. Local Anesthetic. In Adult Perioperative AnesthesiaThe requisites in anesthesiology. Philadelphia: Elsevier Mosby. 5:137144 Combes X., Schauvliege F., Peyrouset O. 2001. Intracuff pressure and tracheal morbidity – Influence of filling cuff with saline during nitrous oxide anesthesia. Anesthesiology. Vol 95. No 5: 1120-1124 Dollo G., Estebe J.P., LeCorre P., Chevanne F., Ecoffey C., Verge R.L. 2001. Endotracheal tube cuffs filled with lidocaine as a drug delivery system: in
vitro and in vivo investigations. European Journal of Pharmaceutical Sciences. 13: 319-323 Edomwonyi N.P., Ekwere I.T., Omo E., Rupasinghe A.2006. Postoperative throat complications after tracheal intubation. Annals of African Medicine. Vol 5 No 1: 28-32 Estebe J.P., Dollo G., Le Corre P. 2002. Alkalinization of intracuff lidocaine improves endotracheal tube induced emergence phenomena. Anesthesia Analgesia. 94: 227-230 Estebe J.P., Gentili M., Le Corre P. 2005. Alkalinization of intracuff lidocaine: Efficacy and safety. Anesthesia Analgesia. 101: 1536-1541 Fagan C., Frizelle H., Laffey J. 2000. The effects of intracuff lidocaine on endotracheal tube induced emergence phenomenon after general anesthesia. Anesthesia Analgesia. 91: 201-205 Gonzalez R.M., Bjerke R.J., Drobycki T. 1994. Prevention of endotracheal tube induced coughing during emergence from general anesthesia. Anesthesia Analgesia. 79: 792-795 Hirota W., Kobayashi W., Igarashi K. 2000. Lidocaine added to a tracheostomy tube cuff reduces tube discomfort. Canadian Journal Anesthesia. 47:412414 Jaichandran V.V., Bhanulakshmi I.M., Jagadeesh V. 2009. Intracuff buffered lidocaine versus saline or air – A comparative study for smooth extubation in patients with hyperactive airways undergoing eye surgery. SAJAA. 15(2):11-14 Jaichandran V.V., Angayarkanni N., Karunakaran C. 2008. Diffusion of lidocaine buffered to an optimal pH across the endotracheal tube cuff – an in vitro study. Indian Journal Anesthesia. 52(5):536-540 Kang S., Baik H.J., Kim Y.J., Kim J.H. 2005. Factors affecting the intracuff pressure of wire-reinforced endotracheal tubes during general anesthesia using nitrous oxide. Korean J Anesthesiology. Vol.50. No.61-7. Katzung G.B. 2004. Anestetik Lokal. In: Basic and Clinical Pharmacology. 9th ed. McGraw Hill. New York.
Larson C.P. 2002. Airway management. In: Clinical Anesthesiology. 3rd ed. New York: The Mc-Graw Hill Companies:59-85 Manissery J.J., Shenoy V., Ambareesha M. 2007. Endotracheal tube cuff pressures during general anesthesia while using air versus a 50% mixture of nitrous oxide and oxygen as inflating agents. Indian J. Anesthesia. 51(1):24-27. McHardy F.E., Chung F.1999. Postoperative sore throat: cause, prevention and treatment. Journal of the Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland. Vol 54: 444-453 Morgan G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J., 2006. Airway Management, In: Clinical Anesthesiology. 4th Ed. Mc-Graw Hill’s.. 5:91-116 Morgan G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J.. 2006. Pain Management, In: Clinical Anesthesiology. 4th Ed.Mc-Graw Hill’s. 18:359-373. Morgan G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J.. 2006. Local Anesthetics, In: Clinical Anesthesiology. 4th Ed.Mc-Graw Hill’s. 14:263-275. Navarro L.H., Braz J.R., Nakamura G. 2007. Effectiveness and safety of endotracheal tube cuff filled with air versus filled with alkalinized lidocaine: a randomized clinical trial. Sao Paulo Med J. 125(6): 322-328 Navarro L.H.C., Lima R.M., Aguiar A.S. 2012. The effect of intracuff alkalinized 2% lidocaine on emergence coughing, sore throat, and hoarseness in smokers. Rev assoc Med Bras. 58 (2): 248-253 Porter N.E, Sidou V., Husson J. 1999. Postoperative sore throat: Incidence and severity after the use of lidocaine, saline, or air to inflate the endotracheal tube cuff. Journal of the American Association Anesthetists. Vol 67 No 1: 49-52. Rao M., Snigdha, Alai T., Vijay K. 2013. Instillation of 4% lidocaine versus air in the endotracheal tube (ETT) cuff to evaluate post intubation morbidity-a randomized double blind study. Journal of Anesthesiology and Clinical Science:2-19 Rathmell J.P., Neal J.M., Viscomi C.M., 2004. Local Anesthetic. In: Regional Anesthesia – The requisites in Anesthesiology. Philadelphia: Elsevier Mosby.2:13-24
Sconzo J.M., Moscicki J.C., DiFazio C.A. 1990. In vitro diffusion of lidocaine across endotracheal tube cuffs. Regional Anesthesia.15:37-40 Seegobin R.D., Hasselt G.L.1984. Endotracheal cuff pressure and tracheal mucosal blood flow: endoscopic study of effect of four large volume cuff. British Medical Journal. Vol.288: 965-968. Spiegel J.E. 2010. Endotracheal tube cuff: Design and Function. Anesthesiology news guide to airway management. 51-58 Steeds C.E. 2009. The anatomy and physiology of pain. Elsevier Ltd. 507-511 Stewart S.L., Secrest J.A., Norwood B.R., Zachary R. 2003. A comparison of endotracheal tube cuff pressures using estimation techniques and direct intracuff measurement. AANA Journal. Vol.71. No.6: 443-447. Stoelting,R.K. Hillier,S.C.2006. Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Salerno A., Hermann R. 2006. Efficacy and safety of steroid use for postoperative pain relief. The Journal of Bone and Joint Surgery. Vol. 88 No 6: 13611372. Vipin N.K. 2007. Post intubation sore throat: a comparative study between intracuff alkalinized lignocaine and intracuff plain lignocaine. Bangalore: St. Johns Medical College and Hospital.
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3 JADWAL PENELITIAN
No Kegiatan
Jul
Agu
Sep
Okt
Nov
Des
Jan
2014 2014 2014 2014 2014 2014 2015 1.
Pembuatan Proposal
2.
Seminar Proposal
3.
Koreksi/Ijin Penelitian
4.
Pelaksanaan Penelitian
5.
Pengolahan data
6.
Seminar hasil
7.
Penyempurnaan hasil
8.
Ujian Tesis
9.
Penyempurnaan Tesis
Lampiran 4 RINCIAN INFORMASI Penjelasan mengenai penelitian lidokain 2% intracuff pipa endotrakea mengurangi nyeri tenggorokan pasca intubasi di RSUP Sanglah Denpasar
Di RSUP Sanglah Denpasar saat ini tengah dilakukan penelitian oleh tim peneliti dari Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek analgesia lidokain 2% intracuff terhadap nyeri tenggorokan pasca anestesi umum intubasi pipa endotrakea melalui evaluasi nilai VAS. Bapak/ Ibu/Saudara/ Saudari akan menjalani pembedahan di ruang operasi RSUP Sanglah Denpasar dengan prosedur standar untuk anestesi umum intubasi pipa endotrakea. Salah satu resiko dari penggunaan pipa endotrakea terjadi akibat rangsangan iritasi dan regang pada mukosa saluran nafas sehingga menimbulkan respon seperti suara serak, nyeri tenggorokan, batuk, peningkatan tekanan darah, dan peningkatan laju nadi. Trauma pada mukosa trakea dapat menimbulkan keluhan nyeri tenggorokan pasca bedah. Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi derajat nyeri tenggorokan pasca anestesi umum intubasi endotrakea. Pemberian lidokain intravena dan topikal telah digunakan untuk mengurangi stimulus noksius pada saat intubasi endotrakea. Namun dengan beberapa metode tersebut memiliki kelemahan, antara lain duration of action terbatas pasca aplikasi lidokain oleh karena cepat terabsorbsi mukosa trakeobronkial sehingga tidak efektif pada periode ekstubasi.
Pada penelitian ini akan diberikan lidokain 2% intracuff pada tindakan anestesi umum intubasi pipa endotrakea. Dua perlakuan berbeda yang akan diberikan kepada Saudara/Saudari adalah pemberian lidokain 2% intracuff (kelompok A) atau pemberian NaCl 0,9% intracuff dengan volume yang sama (kelompok B) setelah intubasi pipa endotrakea. Pemberian perlakuan kepada Saudara/Saudari dilakukan secara acak dan selama penelitian berjalan anggota penelitian tidak mengetahui salah satu dari kedua jenis perlakuan yang diberikan. Identitas Saudara/Saudari disimpan oleh peneliti utama secara rahasia dalam bentuk inisial. Anda diberikan kesempatan yang sebesar-besarnya untuk menanyakan semua hal yang belum jelas tentang penelitian ini kepada peneliti. Kelebihan dari penelitian ini adalah lidokain hidrochloride (Lidokain HCl) yang dimasukkan ke dalam cuff dapat berdifusi melintasi cuff pipa endotrakea yang bersifat hydrophobic membrane, hal ini disebabkan karena cuff dibuat dari bahan polyvynil chloride (PVC) dan bertindak sebagai membran yang semipermeabel. Biaya obat yang digunakan ditanggung oleh peneliti dan Saudara/Saudari tidak akan dikenakan biaya pembelian obat tersebut. Pasien akan dievaluasi, diawasi secara cermat sebelum, selama, dan sesudah tindakan oleh peneliti. Bila timbul efek samping akibat dari obat yang diteliti, maka akan ditangani sesuai dengan gejala yang timbul dan menjadi tanggung jawab peneliti. Tidak ada paksaan untuk ikut atau menolak diikutsertakan dalam penelitian ini. Bila Saudara/Saudari bersedia diikutsertakan dalam penelitian ini, kami
ucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya dan bila tidak bersedia, tidak akan mengurangi kualitas pelayanan yang kami berikan. Terima kasih.
Hormat kami,
Peneliti (dr. Ari Yudha Sanjaya) Catatan: nomer telepon peneliti yang dapat dihubungi 081338403663.
Lampiran 5. Formulir Persetujuan Tindakan
PERSETUJUAN BERPARTISIPASI DALAM PENELITIAN KLINIS AGREEMENT FOR CLINICAL RESEARCH PEMBERIAN INFORMASI Information Delivered Peneliti Researchers Penerima Informasi/pemberi persetujuan Recipient information/approved by No Jenis Informasi Information 1
Tujuan penelitian Aims of research
2
Manfaat penelitian The purpose of research
3
Prosedur Penelitian Research procedure
4
Risiko potensial dan rasa tidak enak yang akan dialami Potencial Risks and feeling discomfort Prosedur Alternatif alternative procedure
5
6
Menjaga kerahasiaan Confidentiality
7
Kompensasi bila terjadi kecelakaan dalam penelitian Compensation in the event of an accident in
Isi Informasi(oleh peneliti) Information detail(by researchers)
Tanda(√) Marked
8
9
10
11
12
13
14
the research Partisipasi berdasarkan kesukarelaan Based on voluntary participation Nama dan alamat peneliti yang bisa dihubungi bila terjadi kecelakaan atau subyek ingin bertanya Name and address of the researcher who can be contac in the event of accident or subject would like to ask Perkiraan jumlah subyek yang akan diikutsertakan dalam penelitian Estimated number of subjects to be included in the study Kemungkinan dapat timbul resiko yangdiketahui pada saat ini Possibility may arise risks known at this time Estimated cost Subyek dapat dikeluarkan dari penelitian Subject may excluded in the study Bahaya potensial bila ada bagi subyek yang mengundurkan diri sebelum penelitian selesai A potential danger(if any) for the subjects who withdrew before study completion Insentif bagi subyek
(bila ada) Incentives for the subject (if any) 15 Bila menolak/membatalkan untuk berpartisipasi, bahwa akses mereka terhadap proses pelayanan dijamin tidak terpengaruhi atau terganggu When refuse / cancel to participate, that their access to the service process is guaranteed not affected or impaired Dengan ini menyatakan bahwa saya telah menerangkan hal hal diatas secara benar dan jelas dan memberikan kesempatan untuk bertanya dan/atau berdiskusi Hereby declare that I have explained the above things are true and clear and provides an opportunity to ask and / or discuss
Saya sudah mendapatkan kesempatan untuk bertanya dan saya sudah mengerti dan puas dengan penjelasan yang diberikan sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan saya. Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa saya SETUJU untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian. I've had the opportunity to ask and I already understand and are satisfied with the explanation given in connection with my question. I hereby declare to the fact that I AGREE to participate in that research.
Tanda tangan peneliti Signature
Tanda tangan (Pasien/wali) Signature
SURAT PERSETUJUAN SUBYEK PENELITIAN
Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
:
_______________________________________________
Umur
:
_______________________________________________
Jenis Kelamin
:
_______________________________________________
Alamat
:
_______________________________________________
Pekerjaan
:
_______________________________________________
Setelah mendapat keterangan secukupnya serta menyadari manfaat dari risiko penelitian tersebut dibawah ini yang berjudul : ____________________________________________________________________ ____________________________________________________________________ Dengan sukarela menyetujui dikutsertakan dalam uji klinik di atas dengan catatan bila suatu waktu merasa dirugikan dalam bentuk apapun, berhak membatalkan persetujuan ini. Denpasar, ……………………………. 2014 Mengetahui :
Yang menyetujui
Penanggung Jawab penelitian
Peserta uji klinik
( _______________ )
( __________________ ) Saksi
( ___________________ )
SURAT PERSETUJUAN WALI SUBYEK PENELITIAN
Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : _______________________________________________ Umur
:
_______________________________________________
Jenis Kelamin
:
_______________________________________________
Alamat
:
_______________________________________________
Pekerjaan
:
_______________________________________________
Setelah mendapat keterangan secukupnya serta menyadari manfaat dari risiko penelitian tersebut dibawah ini yang berjudul : ____________________________________________________________________ Dengan sukarela menyetujui diikutsertakan : anak/ …………………………(hubungan keluarga terdekat dalam hal ini penderita tidak dapat memutuskan sendiri) Nama : _______________________________________________ Umur : _______________________________________________ Jenis Kelamin : _______________________________________________ Alamat : _______________________________________________ Pekerjaan : _______________________________________________ Dalam penelitian tersebut dengan catatan bila suatu waktu merasa dirugikan, berhak membatalkan persetujuan ini. Denpasar, …………………. 2014 Mengetahui : Yang menyetujui Penanggung Jawab penelitian
Wali peserta uji klinik
( _______________)
( ______________ ) Saksi
( ___________________ )
No Urut: Perlakuan: A / B
Lampiran 6 LEMBAR PENELITIAN LIDOKAIN 2% INTRACUFF PIPA ENDOTRAKEA MENGURANGI NYERI TENGGOROKAN PASCA INTUBASI DI RSUP SANGLAH DENPASAR
Data Umum 1. No sampel
: .................................................................................
2. No Rekam Medis
: .................................................................................
3. Nama
: .................................................................................
4. Umur
: .................................................................................
5. Jenis kelamin
: .................................................................................
6. Tingkat pendidikan
: .................................................................................
7. Tanggal
: ................................................................................
Data Khusus 1. Diagnosis
: .............................................................................
2. Jenis Operasi
: .............................................................................
3. Berat Badan
: ............kg
4. Tinggi badan
: ............cm
5. IMT
: ............kg/m2
6. Status Fisik ASA
: ………
Prosedur kerja : 1. Penelitian ini harus mendapatkan persetujuan dari komite etik penelitian kedokteran FK UNUD. Seleksi dilakukan pada saat kunjungan pra anestesi sebelum tindakan pembedahan. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi ditetapkan sebagai sampel. 2. Setelah mendapatkan penjelasan dan pasien setuju dilanjutkan dengan menandatangani informed consent. 3. Subyek dipuasakan selama 8 jam. 4. Sampai di ruang persiapan instalasi bedah RSUP Sanglah Denpasar, dilakukan pencatatan identitas kembali, kemudian dilakukan pemasangan infus dengan cairan kristaloid, kecepatan pemberian sesuai kebutuhan cairan pemeliharaan sesuai berat badan pasien. 5. Setelah itu pasien dibawa ke ruang operasi, dipindahkan ke meja operasi. 6. Pasang monitor tekanan darah non invasif, EKG, pulse oxymetry, dilakukan pencatatan hasil. 7. Pasien diberikan premedikasi midazolam 0,05 mg/kgbb, ondansentron 0,15 mg/kgbb, suplemen analgesia fentanyl dosis 2 mcg/kgbb dan induksi propofol 2,5 mg/kgbb serta fasilitas intubasi dengan obat pelumpuh otot atrakurium dosis 0,5 mg/kgbb kemudian dilakukan laringoskopi dan intubasi pemasangan pipa endotrakea sesuai ukuran. Selanjutnya dilakukan pengembangan cuff: kelompok A inflasi cuff menggunakan lidokain 2% volume 5 ml. Kelompok B inflasi cuff menggunakanNaCl
0,9% 5 ml. Masing- masing kelompok telah disiapkan sebelumnya dalam sebuah spuite10 ml. 8. Pengukuran tekanan dalam cuff dengan menggunakan instrumen Pressure cuff Mallinckrodt, Seelscherf, Germany. Tekanan awal dalam cuff dievaluasi tidak melebihi 30 cmH2O. Bila masih terjadi kebocoran udara, pada kelompok A ditambahkan lidokain 2% volume 1 ml, sedangkan pada kelompok B ditambahkan NaCl 0,9% volume 1 ml. Inflasi cuff pipa endotrakea tersebut dilakukan hingga tercapai minimal occlusive volume. Pemantauan tekanan dalam cuff secara intermittent dilakukan tiap 30 menit dan akhir anestesi, dievaluasi tidak melebihi 30 cmH2O. 9. Maintenance anestesia dengan N2O:O2 (50%:50%); isofluran 1-1,5 volume%, atracurium intermitent, fentanyl intermitent, dan pemberian NSAID ketorolac 0,5 mg/kgbb 10. Setelah operasi selesai, agen anestesia dihentikan, pasien dipertahankan nafas spontan dengan oksigen 100% 11. Ekstubasi pipa endotrakea dilakukan bila: a.
Pasien bernafas spontan adekuat
b.
Pasien mampu mengikuti perintah verbal (membuka mata atau tangan menggenggam) atau kecendrungan untuk mencabut PET
12. Penilaian nyeri tenggorokan dengan menggunakan instrumen Visual Analog Scale (VAS) dengan nilai 0 – 10. Dilakukan pengamatan dan wawancara terhadap pasien tentang adanya nyeri tenggorokan. Evaluasi
dilakukan 1 jam pasca ekstubasi, 2 jam pasca ekstubasi, dan 24 jam pasca ekstubasi. 13. Catat efek samping yang muncul pada kedua kelompok.
Lampiran 7 PENCATATAN HASIL EVALUASI 1. Waktu mulai anestesi umum pukul
:............... WITA
2. Waktu pemberian perlakuan pukul
:............... WITA
3. Mulai pembedahan pukul
:............... WITA
4. Selesai pembedahan pukul
:............... WITA
5. Lama pembedahan
:........jam........menit
6. Percobaan intubasi
: ........
7. Intracuff pressure (cmH2O) selama prosedur pembedahan dicatat di tabel1 Tabel 1. Intracuff Pressure Waktu (menit setelah intubasi pipa endotrakea) T0 T 30 T 60 T 90 T 120 T end of anesthesia
Intracuff Pressure (cmH2O)
8. Volume intracuff (ml) saat awal pembedahan:...... 9. Volume intracuff (ml) saat akhir pembedahan:...... 10. Evaluasi kebocoran cuff pipa endotrakea: YA/ TIDAK* 11. Time of spontaneus ventilation sebelum ekstubasi (T0= waktu dimana volatile anesthesia isofluran dan N2O dihentikan=........menit Tabel 2. T0 Nafas spontan adekuat Ekstubasi
Pukul Pukul Pukul
12. Tercapainya Aldrette skor 10: pukul: ........Wita
WITA WITA WITA
13. Nilai VAS nyeri tenggorokan setelah Aldrette skor 10: ..........mm 14. Nilai VAS nyeri tenggorokan pada jam ke-1, ke-2, dan 24 jam pasca bedah dicatat di tabel 3. Tabel 3. Nilai VAS Sampel no.
Jam ke-1 Pk......... Wita
Nilai VAS (mm) Jam ke-2 24 jam Pk.......... Pk.......... Wita Wita
Keterangan
VAS
15. Kejadian efek samping diobservasi selama 24 jam dalam interval waktu pengamatan 0–4 jam, 4-8 jam, dan 8-24 jam. Efek samping: 1. Gejala eksitasi SSP (gelisah, agitasi, ketakutan, gembira berlebihan) : YA/TIDAK* 2. Gejala depresi SSP (pusing, mengantuk, tinnitus, penglihatan kabur) : YA/TIDAK* 3.
Depresi nafas
: YA/TIDAK*
4.
Kesemutan lidah : YA/TIDAK*
5.
Mual
: YA/TIDAK*
6.
Muntah
: YA/TIDAK*
7.
Lainnya
: ...................................(sebutkan)
Observer: .................................... *Lingkari & coret yang lain
Lampiran 9 HASIL ANALISIS SPSS
Kelompok Case Processing Summary Cases Valid Kelompok Umur (th)
BB
TB
BMI
Durasi (menit)
N
Missing
Percent
N
Total
Percent
N
Percent
Lidokain 2%
32
100.0%
0
.0%
32
100.0%
NaCl 0,9%
32
100.0%
0
.0%
32
100.0%
Lidokain 2%
32
100.0%
0
.0%
32
100.0%
NaCl 0,9%
32
100.0%
0
.0%
32
100.0%
Lidokain 2%
32
100.0%
0
.0%
32
100.0%
NaCl 0,9%
32
100.0%
0
.0%
32
100.0%
Lidokain 2%
32
100.0%
0
.0%
32
100.0%
NaCl 0,9%
32
100.0%
0
.0%
32
100.0%
Lidokain 2%
32
100.0%
0
.0%
32
100.0%
NaCl 0,9%
32
100.0%
0
.0%
32
100.0%
Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Kelompok Umur (th)
BB
TB
BMI
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Lidokain 2%
.094
32
.200
*
.964
32
.346
NaCl 0,9%
.113
32
.200
*
.947
32
.117
Lidokain 2%
.171
32
.018
.939
32
.069
NaCl 0,9%
.145
32
.087
.943
32
.092
Lidokain 2%
.211
32
.001
.936
32
.057
NaCl 0,9%
.230
32
.000
.915
32
.016
Lidokain 2%
.159
32
.039
.882
32
.002
Durasi (menit)
NaCl 0,9%
.264
32
.000
.817
32
.000
Lidokain 2%
.062
32
.200
*
.981
32
.827
NaCl 0,9%
.106
32
.200
*
.970
32
.493
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
Group Statistics Kelompok Umur (th)
BB
Durasi (menit)
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Lidokain 2%
32
37.25
11.604
2.051
NaCl 0,9%
32
38.19
13.035
2.304
Lidokain 2%
32
55.88
7.088
1.253
NaCl 0,9%
32
59.06
8.721
1.542
Lidokain 2%
32
166.28
80.588
14.246
NaCl 0,9%
32
177.78
68.910
12.182
Independent Samples Test t-test for Equality of Means
Std. Error Sig. (2-tailed) Umur (th)
Mean Difference
Difference
Equal variances assumed
.762
-.938
3.085
Equal variances not
.762
-.938
3.085
Equal variances assumed
.114
-3.188
1.987
Equal variances not
.114
-3.188
1.987
Equal variances assumed
.542
-11.500
18.744
Equal variances not
.542
-11.500
18.744
assumed BB
assumed Durasi (menit)
assumed
Group Statistics Kelompok TB
BMI
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Lidokain 2%
32
1.6037
.06494
.01148
NaCl 0,9%
32
1.6281
.08078
.01428
Lidokain 2%
32
21.6619
1.75210
.30973
NaCl 0,9%
32
22.1666
1.70899
.30211
Mann-Whitney Test Ranks Kelompok TB
BMI
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Lidokain 2%
32
30.17
965.50
NaCl 0,9%
32
34.83
1114.50
Total
64
Lidokain 2%
32
29.09
931.00
NaCl 0,9%
32
35.91
1149.00
Total
64
a
Test Statistics
TB
BMI
Mann-Whitney U
437.500
403.000
Wilcoxon W
965.500
931.000
-1.026
-1.468
.305
.142
Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: Kelompok
Case Processing Summary Cases Valid N
Missing
Percent
N
Total
Percent
N
Percent
Jenis Kelamin * Kelompok
64
100.0%
0
.0%
64
100.0%
ASA * Kelompok
64
100.0%
0
.0%
64
100.0%
DIVISI * Kelompok
64
100.0%
0
.0%
64
100.0%
Jenis Kelamin * Kelompok Crosstab Kelompok Lidokain 2% Jenis Kelamin
Laki-laki
Count % within Kelompok
Perempuan
Total
11
19
25.0%
34.4%
29.7%
24
21
45
75.0%
65.6%
70.3%
32
32
64
100.0%
100.0%
100.0%
Count % within Kelompok
Total
8
Count % within Kelompok
NaCl 0,9%
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
sided)
sided)
a
1
.412
.299
1
.584
.676
1
.411
.674 b
df
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
sided)
.585 .663
64
1
.415
Exact Sig. (1-
.292
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.50. b. Computed only for a 2x2 table
ASA * Kelompok Crosstab Kelompok Lidokain 2% ASA
1
Count % within Kelompok
2
Total
19
29
31.3%
59.4%
45.3%
22
13
35
68.8%
40.6%
54.7%
32
32
64
100.0%
100.0%
100.0%
Count % within Kelompok
Total
10
Count % within Kelompok
NaCl 0,9%
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
sided)
sided)
a
1
.024
4.035
1
.045
5.180
1
.023
5.107 b
df
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear
Exact Sig. (1sided)
.044 5.028
1
.025
Association N of Valid Cases
64
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.50. b. Computed only for a 2x2 table
.022
Kelompok
Case Processing Summary Cases Valid Kelompok Cuff Pressure menit 0
Cuff Pressure menit 30
Cuff Pressure menit 60
Cuff Pressure menit 90
Cuff Pressure menit 120
Cuff Pressure akhir
N
Missing Percent
N
Lidokain 2%
25
78.1%
7
NaCl 0,9%
28
87.5%
4
Lidokain 2%
25
78.1%
7
NaCl 0,9%
28
87.5%
4
Lidokain 2%
25
78.1%
7
NaCl 0,9%
28
87.5%
4
Lidokain 2%
25
78.1%
7
NaCl 0,9%
28
87.5%
4
Lidokain 2%
25
78.1%
7
NaCl 0,9%
28
87.5%
4
Lidokain 2%
25
78.1%
7
NaCl 0,9%
28
87.5%
4
Case Processing Summary Cases Missing Kelompok Cuff Pressure menit 0
Cuff Pressure menit 30
Cuff Pressure menit 60
Cuff Pressure menit 90
Percent
Total N
Percent
Lidokain 2%
21.9%
32
100.0%
NaCl 0,9%
12.5%
32
100.0%
Lidokain 2%
21.9%
32
100.0%
NaCl 0,9%
12.5%
32
100.0%
Lidokain 2%
21.9%
32
100.0%
NaCl 0,9%
12.5%
32
100.0%
Lidokain 2%
21.9%
32
100.0%
Cuff Pressure menit 120
Cuff Pressure akhir
NaCl 0,9%
12.5%
32
100.0%
Lidokain 2%
21.9%
32
100.0%
NaCl 0,9%
12.5%
32
100.0%
Lidokain 2%
21.9%
32
100.0%
NaCl 0,9%
12.5%
32
100.0%
Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Kelompok Cuff Pressure menit 0
Cuff Pressure menit 30
Cuff Pressure menit 60
Cuff Pressure menit 90
Cuff Pressure menit 120
Cuff Pressure akhir
Statistic
df
Lidokain 2%
.187
25
NaCl 0,9%
.182
28
Lidokain 2%
.175
25
NaCl 0,9%
.180
28
Lidokain 2%
.144
25
NaCl 0,9%
.151
28
Lidokain 2%
.165
25
NaCl 0,9%
.204
28
Lidokain 2%
.130
25
NaCl 0,9%
.171
28
Lidokain 2%
.146
25
NaCl 0,9%
.180
28
a. Lilliefors Significance Correction
Tests of Normality Kolmogorova
Smirnov Kelompok Cuff Pressure menit 0
Sig.
Shapiro-Wilk Statistic
df
Sig.
Lidokain 2%
.024
.930
25
.086
NaCl 0,9%
.019
.903
28
.014
Cuff Pressure menit 30
Cuff Pressure menit 60
Cuff Pressure menit 90
Cuff Pressure menit 120
Cuff Pressure akhir
Lidokain 2%
.047
.924
25
.063
NaCl 0,9%
.021
.923
28
.041
Lidokain 2%
.192
.915
25
.040
NaCl 0,9%
.100
.933
28
.074
Lidokain 2%
.079
.927
25
.076
NaCl 0,9%
.004
.935
28
.083
Lidokain 2%
.200
*
.936
25
.120
NaCl 0,9%
.034
.938
28
.098
Lidokain 2%
.177
.932
25
.097
NaCl 0,9%
.020
.950
28
.202
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
T-Test Group Statistics Kelompok Cuff Pressure menit 0
Cuff Pressure menit 30
Cuff Pressure menit 60
Cuff Pressure menit 90
Cuff Pressure menit 120
Cuff Pressure akhir
N
Mean
Std. Deviation Std. Error Mean
Lidokain 2%
32
19.34
3.773
.667
NaCl 0,9%
32
19.31
1.554
.275
Lidokain 2%
32
19.16
3.802
.672
NaCl 0,9%
32
19.41
1.604
.283
Lidokain 2%
32
18.88
3.908
.691
NaCl 0,9%
32
20.25
1.437
.254
Lidokain 2%
29
18.69
3.685
.684
NaCl 0,9%
29
20.93
1.668
.310
Lidokain 2%
25
18.68
3.848
.770
NaCl 0,9%
28
21.54
1.598
.302
Lidokain 2%
32
17.91
3.830
.677
NaCl 0,9%
32
22.16
1.780
.315
Independent Samples Test t-test for Levene's Test for Equality of
Equality of
Variances
Means
F Cuff Pressure menit 0
Equal variances
Sig. 17.951
t .000
.043
assumed Equal variances not
.043
assumed Cuff Pressure menit 30
Equal variances
16.392
.000
-.343
assumed Equal variances not
-.343
assumed Cuff Pressure menit 60
Equal variances
22.383
.000
-1.868
assumed Equal variances not
-1.868
assumed Cuff Pressure menit 90
Equal variances
15.628
.000
-2.984
assumed Equal variances not
-2.984
assumed Cuff Pressure menit 120 Equal variances
15.775
.000
-3.598
assumed Equal variances not
-3.454
assumed Cuff Pressure akhir
Equal variances
16.181
.000
-5.693
assumed Equal variances not assumed
-5.693
Independent Samples Test t-test for Equality of Means
Mean df Cuff Pressure menit 0
Equal variances assumed Equal variances not
Sig. (2-tailed)
Difference
62
.966
.031
41.227
.966
.031
62
.733
-.250
41.689
.734
-.250
62
.066
-1.375
39.230
.069
-1.375
56
.004
-2.241
39.007
.005
-2.241
51
.001
-2.856
31.301
.002
-2.856
62
.000
-4.250
43.795
.000
-4.250
assumed Cuff Pressure menit 30
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Cuff Pressure menit 60
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Cuff Pressure menit 90
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Cuff Pressure menit 120
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Cuff Pressure akhir
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Independent Samples Test t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Difference Cuff Pressure menit 0
Equal variances
Lower
Upper
.721
-1.411
1.473
.721
-1.425
1.488
.730
-1.708
1.208
.730
-1.723
1.223
.736
-2.846
.096
.736
-2.864
.114
.751
-3.746
-.737
.751
-3.761
-.722
.794
-4.449
-1.262
.827
-4.541
-1.170
.747
-5.742
-2.758
.747
-5.755
-2.745
assumed Equal variances not assumed Cuff Pressure menit 30 Equal variances assumed Equal variances not assumed Cuff Pressure menit 60 Equal variances assumed Equal variances not assumed Cuff Pressure menit 90 Equal variances assumed Equal variances not assumed Cuff Pressure menit 120 Equal variances assumed Equal variances not assumed Cuff Pressure akhir
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Kelompok Case Processing Summary Cases Valid Kelompok Volume Cuff Awal
Volume Cuff Akhir
Selisih Volume Cuff
N
Missing Percent
N
Lidokain 2%
32
100.0%
0
NaCl 0,9%
32
100.0%
0
Lidokain 2%
32
100.0%
0
NaCl 0,9%
32
100.0%
0
Lidokain 2%
32
100.0%
0
NaCl 0,9%
32
100.0%
0
Case Processing Summary Cases Missing Kelompok Volume Cuff Awal
Volume Cuff Akhir
Selisih Volume Cuff
Percent
Total N
Percent
Lidokain 2%
.0%
32
100.0%
NaCl 0,9%
.0%
32
100.0%
Lidokain 2%
.0%
32
100.0%
NaCl 0,9%
.0%
32
100.0%
Lidokain 2%
.0%
32
100.0%
NaCl 0,9%
.0%
32
100.0%
Case Processing Summary b
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Kelompok Volume Cuff Awal
Volume Cuff Akhir
Selisih Volume Cuff
Statistic
df
Lidokain 2%
.189
32
NaCl 0,9%
.223
32
Lidokain 2%
.209
32
NaCl 0,9%
.223
32
Lidokain 2%
.286
32
a. Lilliefors Significance Correction b. Selisih Volume Cuff is constant when Kelompok = NaCl 0,9%. It has been omitted.
b
Tests of Normality Kolmogorova
Smirnov Kelompok Volume Cuff Awal
Volume Cuff Akhir
Selisih Volume Cuff
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Lidokain 2%
.005
.822
32
.000
NaCl 0,9%
.000
.803
32
.000
Lidokain 2%
.001
.885
32
.003
NaCl 0,9%
.000
.803
32
.000
Lidokain 2%
.000
.860
32
.001
a. Lilliefors Significance Correction b. Selisih Volume Cuff is constant when Kelompok = NaCl 0,9%. It has been omitted.
Group Statistics Kelompok Volume Cuff Awal
Volume Cuff Akhir
Selisih Volume Cuff
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Lidokain 2%
32
6.16
1.139
.201
NaCl 0,9%
32
6.06
.801
.142
Lidokain 2%
32
4.5781
1.25151
.22124
NaCl 0,9%
32
6.0625
.80071
.14155
Lidokain 2%
32
1.5781
.61052
.10793
NaCl 0,9%
32
.0000
.00000
.00000
Mann-Whitney Test Ranks Kelompok Volume Cuff Awal
Volume Cuff Akhir
Selisih Volume Cuff
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Lidokain 2%
32
32.55
1041.50
NaCl 0,9%
32
32.45
1038.50
Total
64
Lidokain 2%
32
20.97
671.00
NaCl 0,9%
32
44.03
1409.00
Total
64
Lidokain 2%
32
48.50
1552.00
NaCl 0,9%
32
16.50
528.00
Total
64
a
Test Statistics
Volume Cuff Awal Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Volume Cuff Akhir
Selisih Volume Cuff
510.500
143.000
.000
1038.500
671.000
528.000
-.021
-5.046
-7.406
.983
.000
.000
a
Test Statistics
Volume Cuff Awal Mann-Whitney U Wilcoxon W
Volume Cuff Akhir
Selisih Volume Cuff
510.500
143.000
.000
1038.500
671.000
528.000
-.021
-5.046
-7.406
.983
.000
.000
Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: Kelompok
Kelompok Case Processing Summary Cases Valid Kelompok VAS Jam ke 1
VAS Jam ke 2
N
Missing
Percent
N
Total
Percent
N
Percent
Lidokain 2%
32
100.0%
0
.0%
32
100.0%
NaCl 0,9%
32
100.0%
0
.0%
32
100.0%
Lidokain 2%
32
100.0%
0
.0%
32
100.0%
NaCl 0,9%
32
100.0%
0
.0%
32
100.0%
32
100.0%
0
.0%
32
100.0%
32
100.0%
0
.0%
32
100.0%
VAS Jam ke 24 Lidokain 2% NaCl 0,9%
b,c
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Kelompok
Statistic
VAS Jam ke 1 Lidokain 2% NaCl 0,9% VAS Jam ke 2 Lidokain 2% NaCl 0,9%
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
.413
32
.000
.670
32
.000
.245
32
.000
.897
32
.005
.479
32
.000
.527
32
.000
.223
32
.000
.849
32
.000
a. Lilliefors Significance Correction b. VAS Jam ke 24 is constant when Kelompok = Lidokain 2%. It has been omitted. c. VAS Jam ke 24 is constant when Kelompok = NaCl 0,9%. It has been omitted.
Group Statistics Kelompok VAS Jam ke 1
VAS Jam ke 2
VAS Jam ke 24
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Lidokain 2%
32
4.00
5.742
1.015
NaCl 0,9%
32
10.06
5.041
.891
Lidokain 2%
32
2.06
3.983
.704
NaCl 0,9%
32
5.25
3.902
.690
Lidokain 2%
32
.00
.000
a
.000
NaCl 0,9%
32
.00
.000
a
.000
a. t cannot be computed because the standard deviations of both groups are 0.
NPar Tests Mann-Whitney Test Ranks Kelompok VAS Jam ke 1
VAS Jam ke 2
VAS Jam ke 24
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Lidokain 2%
32
24.42
781.50
NaCl 0,9%
32
40.58
1298.50
Total
64
Lidokain 2%
32
26.45
846.50
NaCl 0,9%
32
38.55
1233.50
Total
64
Lidokain 2%
32
32.50
1040.00
NaCl 0,9%
32
32.50
1040.00
Total
64
a
Test Statistics VAS Jam ke 1
VAS Jam ke 2
VAS Jam ke 24
Mann-Whitney U
253.500
318.500
512.000
Wilcoxon W
781.500
846.500
1040.000
-3.624
-2.851
.000
.000
.004
1.000
Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: Kelompok
Regression b
ANOVA Sum of Model 1
Squares Regression
df
Mean Square
F
501.637
1
501.637
Residual
1896.300
62
30.585
Total
2397.938
63
Sig.
16.401
.000
a
a. Predictors: (Constant), Selisih Volume Cuff b. Dependent Variable: VAS Jam ke 1
Standardized Unstandardized Coefficients
Model
1
B
(Constant)
Selisih Volume Cuff
Std. Error
Coefficients
Beta
9.496
.921
-3.124
.771
t
-.457
Sig.
10.310
.000
-4.050
.000
a. Dependent Variable: VAS Jam ke 1 Coefficients
a
95.0% Confidence Interval for B Model 1
Lower Bound (Constant) Selisih Volume Cuff
a. Dependent Variable: VAS Jam ke 1
Upper Bound 7.655
11.337
-4.666
-1.582
Curve Fit Model Summary and Parameter Estimates Dependent Variable:VAS Jam ke 1 Model Summary Equation Linear
R Square .209
F 16.401
df1
Parameter Estimates df2
1
The independent variable is Selisih Volume Cuff.
Sig. 62
.000
Constant 9.496
b1 -3.124
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression
df
Mean Square
F
189.030
1
189.030
Residual
2208.908
62
35.628
Total
2397.938
63
Sig.
5.306
.025
a
a. Predictors: (Constant), Cuff Pressure akhir b. Dependent Variable: VAS Jam ke 1
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
Std. Error
-2.460
4.188
.474
.206
Cuff Pressure akhir
Coefficients Beta
t
.281
Sig.
-.587
.559
2.303
.025
a. Dependent Variable: VAS Jam ke 1
Coefficients
a
95.0% Confidence Interval for B Model 1
Lower Bound (Constant) Cuff Pressure akhir
a. Dependent Variable: VAS Jam ke 1
Upper Bound
-10.831
5.911
.063
.885
Curve Fit
Model Summary and Parameter Estimates Dependent Variable:VAS Jam ke 1 Model Summary Equation Linear
R Square .079
F 5.306
df1
Parameter Estimates df2
1
The independent variable is Cuff Pressure akhir.
Sig. 62
.025
Constant -2.460
b1 .474
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression
df
Mean Square
114.271
1
114.271
Residual
1012.167
62
16.325
Total
1126.438
63
F
Sig.
7.000
.010
a
a. Predictors: (Constant), Selisih Volume Cuff b. Dependent Variable: VAS Jam ke 2
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) Selisih Volume Cuff
Std. Error
Coefficients Beta
4.833
.673
-1.491
.564
t
-.319
Sig.
7.182
.000
-2.646
.010
a. Dependent Variable: VAS Jam ke 2
Coefficients
a
95.0% Confidence Interval for B Model 1
Lower Bound (Constant) Selisih Volume Cuff
a. Dependent Variable: VAS Jam ke 2
Upper Bound 3.488
6.178
-2.618
-.364
Curve Fit
Model Summary and Parameter Estimates Dependent Variable:VAS Jam ke 2 Model Summary Equation Linear
R Square .101
F 7.000
df1
Parameter Estimates df2
1
The independent variable is Selisih Volume Cuff.
Sig. 62
.010
Constant 4.833
b1 -1.491
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression
df
Mean Square
F
37.924
1
37.924
Residual
1088.514
62
17.557
Total
1126.438
63
Sig.
2.160
.147
a
a. Predictors: (Constant), Cuff Pressure akhir b. Dependent Variable: VAS Jam ke 2
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) Cuff Pressure akhir
Std. Error -.595
2.940
.212
.144
Coefficients Beta
t
.183
Sig.
-.202
.840
1.470
.147
a. Dependent Variable: VAS Jam ke 2
Coefficients
a
95.0% Confidence Interval for B Model 1
Lower Bound (Constant) Cuff Pressure akhir
a. Dependent Variable: VAS Jam ke 2
Upper Bound
-6.471
5.281
-.076
.501
Curve Fit
Model Summary and Parameter Estimates Dependent Variable:VAS Jam ke 2 Model Summary Equation Linear
R Square .034
F 2.160
df1
Parameter Estimates df2
1
The independent variable is Cuff Pressure akhir.
Sig. 62
.147
Constant -.595
b1 .212