TESIS
KORELASI KUALITAS TIDUR DENGAN NYERI KEPALA PRIMER PADA SISWA-SISWI SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 AMLAPURA KABUPATEN KARANGASEM
AGUS ANTARA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
KORELASI KUALITAS TIDUR DENGAN NYERI KEPALA PRIMER PADA SISWA-SISWI SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 AMLAPURA KABUPATEN KARANGASEM
AGUS ANTARA NIM : 1014068103
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
i
KORELASI KUALITAS TIDUR DENGAN NYERI KEPALA PRIMER PADA SISWA-SISWI SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 AMLAPURA KABUPATEN KARANGASEM
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
AGUS ANTARA NIM : 1014068103
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 3 MARET 2015
Pembimbing I,
Pembimbing II,
dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S (K) NIP 195610101983121001
Dr. dr. D. P. G. Purwa Samatra, Sp. S (K) NIP 195503211983031004
Mengetahui
Ketua Program Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp. And, FAACS NIP 194612131971071001
Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K) NIP 195902151985102001
iii
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 3 Maret 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No.: 402/UN 14.4/HK/2015, Tanggal 3 Februari 2015
Ketua
: dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S (K)
Anggota
: 1. Dr. dr. D. P.G. Purwa Samatra, Sp. S (K) 2. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K) 3. Dr. dr. A. A. A. Putri Laksmidewi, Sp. S (K) 4. dr. I Putu Eka Widyadharma, M. Sc, Sp. S (K)
iv
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya akhir ini. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan besar sehingga penulis dapat menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) I Neurologi dan Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada pembimbing karya akhir ini, dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S (K) dan Dr. dr. D. P. G. Purwa Samatra, Sp. S (K) atas segala bimbingan, masukan dan sarannya khususnya terkait penyusunan karya akhir ini. Kepada dr. I Putu Eka Widyadharma, M. Sc, Sp. S (K) penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan bimbingannya khususnya yang berkenaan dengan statistik. Terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Putu Astawa, M. Kes, Sp. OT (K) atas izin dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana dan kepada Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp. And, FAACS selaku Ketua Program
vi
Studi Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana, atas izin dan fasilitas yang diberikan kepada penulis saat mengikuti dan menyelesaikan PPDS I Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah dan Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana FK UNUD/RSUP Sanglah. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar dr. Anak Ayu Sri Saraswati, MARS dan mantan Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar, dr.Wayan Sutarga, MPHM atas izin, tempat dan fasilitas yang sudah diberikan. Terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ketua TKP PPDS I FK UNUD/ RSUP Sanglah, dr. Nyoman Semadi, Sp. BTKV dan mantan Ketua TKP PPDS I FK UNUD/RSUP Sanglah, dr. I Wayan Kondra, Sp. S (K) atas kesempatan mengikuti pendidikan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para penguji, dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S (K), Dr. dr. D. P. G. Purwa Samatra, Sp. S (K), Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K), dr. I. G. N. Purna Putra, Sp. S (K), Dr. dr. A. A. A. Putri Laksmidewi, Sp. S (K) dan dr. I Putu Eka Widyadharma, M. Sc, Sp. S(K) atas bimbingan, saran dan koreksi dari tahap praproposal, ujian proposal, seminar hasil penelitian, ujian hasil penelitian dan ujian akhir tesis. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. dr. D. P. G. Purwa Samatra, Sp. S (K) selaku Kepala Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah pada periode 20062014 dan dr. A. A. B. N. Nuartha Sp. S (K) selaku Kepala Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah periode 2014-2019, yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan ini. Kepada dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S
vii
(K), selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana pada saat penulis diterima sebagai peserta PPDS I Neurologi dan Dr. dr. A. A. A. Putri Laksmidewi, Sp. S (K) selaku Plt. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, atas kesempatan, fasilitas yang diberikan serta dorongan yang tiada henti kepada penulis untuk mengikuti dan segera menyelesaikan pendidikan ini. Kepada dr. Desak Ketut Indrasari Utami, Sp. S sebagai pembimbing akademik, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala bimbingan, didikan, nasehat, motivasi dan petunjuk yang diberikan selama proses pendidikan. Kepada seluruh supervisor sekaligus guru penulis di Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah, dr. I Wayan Kondra, Sp. S (K), dr. A. A. B. N. Nuartha, Sp. S (K), Dr. dr. D. P. G. Purwa Samatra, Sp. S (K), dr. I. G. N. Budiarsa, Sp. S, dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S (K), Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K), Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp. S (K), dr. I. G. N. Purna Putra, Sp. S (K), Dr. dr. A. A. A. Putri Laksmidewi, Sp. S (K), Dr. dr. Anna Marita G. Sinardja, Sp. S (K), dr. A. A. A. Meidiary, Sp. S, dr. I Komang Arimbawa, Sp. S, dr. I. B. Kusuma Putra, Sp. S, dr. Desak Ketut Indrasari Utami, Sp. S, dr. I Putu Eka Widyadharma, M. Sc, Sp. S (K), dr. Kumara Tini, Sp. S, FINS, dr. Ketut Widyastuti, Sp. S, dr. Ni Made Susilawathi, Sp. S, dr. I. A. Sri Indrayani, Sp. S, dr. Ni Putu Witari, Sp. S, dr. I. A. Sri Wijayanti, M. Biomed, Sp. S dan dr. Sri Yenni Trisnawati, M. Biomed, Sp. S penulis ucapkan terima kasih tak berhingga atas segala bimbingan dan saran selama penulis mengikuti pendidikan.
viii
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Luh Putu Lina Kamelia, Sp. S, dr. Yosi P. Silalahi, Sp. S, dr. Ni Putu Witari, Sp. S, dr. I Dewa Ngurah Agung Satriawan, Sp. S, dr. Desie Yuliani, Sp. S dan dr. I Gusti Martin Widanta, M. Biomed, Sp. S yang selalu memberi bimbingan dan dorongan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan karya akhir ini. Terima kasih kepada semua teman sejawat PPDS I Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar atas kerjasama, dorongan semangat, dan pengertian teman-teman selama penulis mengikuti pendidikan ini, khususnya kepada dr. I Nyoman Darsana, M. Biomed, Sp. S, dr. Bhaskoro A. W. Nugroho, dr I. A. Sri Wijayanti, M. Biomed, Sp. S, dr. Sri Yenni Trisnawari, M. Biomed, Sp. S dan dr. I Wayan Widyantara, M. Biomed, Sp. S. Terima kasih kepada dr. Octavianus Darmawan, dr. Ni Made Dwita Pratiwi, dr. Ni Putu Ayu Putri Mahadewi dan dr. Putri Ayuna Sundari atas bantuannya dalam karya akhir ini. Terima kasih kepada tenaga administrasi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah I Wayan Sika Priantha, Ni Putu Oka Swardani, Ni Kadek Arie Ardhiani, Amd, Akun., Ni Made Febriyanti, S. E. dan Ni Wayan Ayu Sukyartini, S. E. atas kerjasama dan bantuannya selama penulis mengikuti pendidikan. Pada kesempatan ini secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh siswa-siswi SMA Negeri 1 Amlapura dan Bapak Wakasek Drs. I Nyoman Kanten atas bantuan dan kerjasamanya selama melaksanakan karya akhir ini. Akhirnya penulis menyampaikan terima kasih yang tidak ternilai kepada kedua orang tua tercinta I Wayan Sujana dan Ni Wayan Suasti yang selalu memberikan
ix
kasih sayang, doa, nasihat, semangat dan dorongan. Terima kasih kepada saudarasaudara tercinta dan seluruh keluarga besar atas doa dan bantuannya. Penulis menyadari bahwa karya akhir ini jauh dari kata sempurna baik dari aspek materi maupun penyajiannya, sehingga tetap mengharapkan kritik dan saran dalam perbaikan karya akhir ini. Terakhir penulis menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak, bila dalam proses pendidikan maupun dalam pergaulan sehari-hari ada tutur kata dan sikap yang kurang berkenan dihati. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih selalu melimpahkan berkat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian karya akhir ini. “Ilmu pengetahuan adalah antidot dari segala ketakutan”
Denpasar, Februari 2015
Agus Antara
x
KORELASI KUALITAS TIDUR DENGAN NYERI KEPALA PRIMER PADA SISWA-SISWI SMA NEGERI 1 AMLAPURA KABUPATEN KARANGASEM ABSTRAK Nyeri kepala primer (NKP) dan gangguan tidur merupakan penyakit yang sering dijumpai pada remaja. Keduanya berhubungan secara resiprokal. Prevalesi NKP pada remaja cukup tinggi. Beberapa faktor yang berhubungan dengan timbulnya NKP antara lain kualitas tidur yang buruk, obesitas, depresi, kecemasan, stres dan kelelahan. Gangguan tidur pada remaja sering dikaitkan dengan penurunan prestasi belajar di sekolah dan rendahnya angka kelulusan siswa. Kabupaten Karangasem menempati peringkat kedua tertinggi angka ketidaklulusan siswa dari seluruh kabupaten/kota di Bali. Masih sedikitnya data mengenai hubungan gangguan tidur dengan NKP khususnya di Bali melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini. Penelitian ini merupakan analitik observasional potong lintang dengan pengambilan sampel secara simple random sampling. Kualitas tidur dinilai dengan The Pitssburg Sleep Qualiy Index (PSQI). Analisis deskriptif untuk menentukan karakteristik subyek sedangkan korelasi antara kualitas tidur dengan NKP dilakukan dengan uji koefisien kontingensi. Data dianalisis dengan program SPSS 16.0 for windows. Sampel sebanyak 96 orang siswa ini diambil pada bulan September 2014 di SMA Negeri 1 Amlapura didapatkan proporsi kualitas tidur buruk dan NKP yang tinggi (71,87% dan 85,41%) sedangkan kualiatas tidur yang buruk dengan NKP berkorelasi sedang (p< 0,01 dan r = 0,421). Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kualitas tidur buruk akan meningkatkan kemungkinan menderita NKP. Kata kunci : kualitas tidur, nyeri kepala primer, remaja.
xi
CORRELATION BETWEEN SLEEP QUALITY AND PRIMARY HEADACHE IN AMLAPURA 1st PUBLIC SENIOR HIGH SCHOOL STUDENTS AT KARANGASEM REGENCY ABSTRACT
Primary headache and sleep disturbance are common in adolescent. This two phenomenon has resiprocal relationship. Primary headache prevalence in adolescent is high. There are several factor related to primary headache such as: poor sleep quality, obesity, depression, anxiety, psychological stress and fatique. Sleep disturbance in adolescent assosiated with their low achievement and take an efect to low passing grade in school. The rate of high school unpassing grade students in Karangasem Regency taking second place in Bali. There are lack of data about the correlation between sleep disturbance and primary headache in adolescent especially in Bali. This research background is to determine relationship between sleep quality and primary headache. This is an observasional study with cross sectional design and use simple random sampling. Sleep quality has been assessed by The Pitssburg Sleep Qualiy Index (PSQI). Descriptive analysis was performed to determine the correlation between sleep quality and primary headache. We collected data from 96 students in Amlapura1st Public Senior High School during September 2014. The reseach found that high proportion of poor sleep quality and primary headache (71,87% and 85,41%), showing significantly moderate positive correlation between poor sleep quality and primary headache (p<0,01; r = 0,421). This study showed that subject with poor sleep quality more likely suffering primary headache. Keyword : sleep quality, primary headache, adolescent.
xii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL DALAM......................................................................
i
PRASYARAT GELAR..................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI.............. ................................................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT...............................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ..........................................................................
vi
ABSTRAK .....................................................................................................
xi
ABTRACT ......................................................................................................
xii
DAFTAR ISI....................................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xvi
DAFTAR SINGKATAN..................................................................................
xvii
DAFTAR TABEL............................................................................................
xx
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xxi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................
1
1.1.
Latar Belakang .........................................................................
1
1.2.
Rumusan Masalah .....................................................................
7
1.3.
Tujuan Penelitian .....................................................................
7
1.3.1. Tujuan Umum ................................................................
7
1.3.2. Tujuan Khusus ...............................................................
7
Manfaat Penelitian ....................................................................
7
1.4.1. Manfaat Akademis...................................................... ....
7
1.4.2. Manfaat Praktis...............................................................
8
BAB II KAJIAN PUSTAKA.. ........................................................................
9
1.4.
2.1.
Kronobiologi dan Irama Sirkadian.............................................
9
2.2.
Arsitektur, Anatomi dan Fisiologi Tidur...................................
12
2.2.1 Arsitektur tidur................................................................
12
xiii
2.3
2.4
2.2.2 Substrat anatomi yang terlibat dalam fisiologi tidur........
14
Gangguan Tidur pada Remaja…………………………………
20
2.3.1 Prevalensi dan insidensi gangguan tidur pada remaja......
20
2.3.2 Pola dan kualitas tidur remaja…………………………..
22
Hubungan NKP dengan Gangguan Tidur……………………...
29
2.4.1 Faktor-faktor pencetus dan prevalensi NKP pada remaja
29
2.4.2 Prevalensi gangguan tidur pada remaja penderita NKP..
34
2.4.3 Peranan SCN dan melatonin pada patofisiologi NKP….
37
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN ............................................................
46
3.1. Kerangka Berpikir ...................................................................
46
3.2. Konsep Penelitian ...................................................................
48
3.3. Hipotesis Penelitian .................................................................
48
BAB IV METODE PENELITIAN …………………………………………..
49
4.1. Rancangan Penelitian ………………………………………..
49
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian ……………………………….
49
4.3. Ruang Lingkup Penelitian …………………………………..
49
4.4. Penentuan Sumber Data ..........................................................
50
4.4.1. Populasi target .............................................................
50
4.4.2. Populasi terjangkau ......................................................
50
4.4.3. Kriteria inklusi ..............................................................
50
4.4.4. Kriteria eksklusi ........................................................ ....
50
4.5. Sampel .................................................................................. ....
51
4.5.1. Besar sampel ................................................................
51
4.5.2. Teknik pengambilan sampel .................................... ....
51
4.6. Variabel Penelitian ............................................................... ....
51
4.6.1. Identifikasi variabel .................................................. ....
51
4.6.2. Definisi operasional variabel .......................................
52
4.7. Instrumen Penelitian .................................................................
57
4.8. Prosedur dan Alur Penelitian ...................................................
59
xiv
4.9. Analisis Data .............................................................................
60
BAB V HASIL PENELITIAN .......................................................................
61
BAB VI PEMBAHASAN.................................................................................
67
6.1 Karakteristik Subyek Penelitian ................................................
67
6.2 Prevalensi NKP dan Kualitas Tidur Remaja ............................
69
6.3 Korelasi Kualitas Tidur dengan NKP .......................................
74
6.4 Korelasi Faktor-Faktor Lain dengan NKP..................................
78
6.5 Limitasi dan Kelebihan Penelitian ...........................................
80
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
81
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
83
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...............................................................................
92
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman 2.1 Substrat anatomi pada fisiologi tidur …………....................... 15 2.2 Sirkuit bangun-tidur : (A) jalur dorsal dan ventral ARAS; (B) jalur inhibisi ARAS………................................................ 17 2.3
Skema sirkadian manusia…………………………………….. 18
2.4
Jalur antara retina, SCN dan badan pineal…...........................
19
2.5
Patofisiologi sistem trigeminovaskular....................................
34
3.1. Bagan kerangka berpikir.......................................................... 46 3.2. Bagan konsep penelitian........................................................... 48 4.1. Bagan rancangan penelitian...................................................... 49 4.2. Bagan alur penelitian................................................................ 59
xvi
DAFTAR SINGKATAN
ARAS
: Ascending Reticular Activating System
ATP
: Adenosin Triphosphat
cAMP
: cyclic Adenosin Monophosphat
BPS
: Badan Pusat Statistik
CDH
: Chronic Daily Headache
CGRP
: Calcitonin Gene Related Peptide
CSD
: Cortical Spreading Depression
DASS
: Depression Anxiety Stress Scale
Disdikpora
: Dinas Pendidikan dan Olahraga
DMH
: Dorsomedial Hypothalamic
DSM
: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder
DSP
: Delayed Sleep Phase
DSPS
: Delayed Sleep Phase Syndrome
EDS
: Excessive Daytime Sleepiness
EEG
: Elektroensefalografi
EOG
: Elektrookulografi
EMG
: Elektromiografi
ESS
: Epworth Sleepness Scale
xvii
GABA
: Gamma Aminobutyric Acid
HARS
: Hamilton Anxiety Rating Scale
HPA
: Hypothalamus Pituitary Adrenal
ICSD
: International Classification of Sleep Disorder
IL
: Interleukin
IMT
: Indeks massa tubuh
LC
: Locus Coeruleus
LDT
: Lateral Dorsal Tegmental
MCH
: Melanin Concentrating Hormone
MSLT
: Multiple Sleep Latency Test
NKK
: Nyeri kepala klaster
NKP
: Nyeri kepala primer
NREM
: Non Rapid Eye Movement
OSA
: Obstructive Sleep Apnea
PAG
: Periaquductal Greymatter
PP
: Pedunculopontine Tegmental
PSQI
: Pittsburg Sleep Quality Index
REM
: Rapid Eye Movement
NPRS
: Numeric Pain Rating Scale
NREM
: Non Rapid Eye Movement
SCN
: Suprachiasmatic Nucleus
SD
: Sleep Deprivation
xviii
SLD
: Sub Lateral Dorsal
SMA
: Sekolah Menengah Atas
SPDH
: Skala Penilaian Pepresi Hamilton
SPZ
: Subparaventrikular Zone
STIKES
: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
SST
: The Subjective Symptoms Test
SWA
: Slow Wave Activity
SWS
: Slow Wave Sleep
TMN
: Tuberomamillary Nucleus
TNC
: Trigeminal Nucleus Caudalis
TTH
: Tension Type Headache
VBM
: Voxel Based Morphometry
VIP
: Vasoactive intestinal polypeptide
VLPAG
: Ventrolateral Peri-aquaductal Graymatter
VLPO
: Ventrolateral Preoptic
xix
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1. Kriteria tingah laku dan fisiologi fase bangun dan tidur…..
14
2.2. Faktor-faktor yang mencetuskan NKP…………….. …….
31
2.3. Struktur anatomi yang terlibat dalam nyeri kepala...............
32
2.4
Klasifikasi nyeri kepala terkait dengan komponen tidur .....
36
2.5 Beberapa peranan melatonin dalam patofisiologi NKP.......
43
5.1
Karakteristik subyek penelitian ……………………………. 61
5.2
Kualitas tidur berdasarkan jenis kelamin ……………………. 62
5.3
Kualitas tidur berdasarkan IMT ……………………………. 63
5.4
Proporsi NKP berdasarkan jenis kelamin ………………….. 63
5.5
Korelasi kualitas tidur dengan NKP ……………………….. 64
5.6
Korelasi faktor-faktor lain dengan NKP..............................
xx
65
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1
Kelaikan Etik.......................................................
92
Lampiran 2
Surat Izin Penelitian.............................................
93
Lampiran 3
Amandemen Perubahan Judul.............................
94
Lampiran 4
Informasi Pasien..................................................
95
Lampiran 5
Formulir Persetujuan Tertulis...............................
97
Lampiran 6
Lembar Pengumpulan Data..................................
98
Lampiran 7
Hasil Penelitian.....................................................
107
xxi
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Nyeri kepala primer (NKP) dan gangguan tidur merupakan dua fenomena yang
sering dialami pada segala usia dalam praktik sehari-hari. Gangguan tidur dan nyeri kronik, salah satunya nyeri kepala, telah lama mendapatkan perhatian. Kedua hal tersebut berhubungan secara resiprokal. Nyeri kepala dapat timbul karena pola tidur yang tidak sehat, sedangkan gangguan tidur bisa terjadi karena nyeri kepala (Doufas dkk., 2012). Data prevalensi NKP di Indonesia menunjukkan bahwa NKP merupakan salah satu keluhan tersering yang dialami di praktik klinik. Adapun pengamatan terhadap jenis penyakit pasien yang berobat jalan di praktik klinik selama tahun 2003, nyeri kepala menempati peringkat teratas dengan proporsi sekitar 42% dari seluruh pasien neurologi (Sjahrir, 2009). Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sebanyak 237,6 juta jiwa dengan 26,67% di antaranya adalah remaja. Sedangkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 di daerah Bali sendiri jumlah penduduk remaja adalah sekitar 611,03 ribu dari 3.890.757 juta jiwa (atau sekitar 15,70%). Kabupaten Karangasem merupakan wilayah dengan luas daerah nomor tiga di Bali dan memiliki penduduk 408,7 ribu jiwa. Besarnya penduduk remaja akan berpengaruh pada pembanguan dari aspek sosial, ekonomi maupun demografi pada saat ini dan yang akan mendatang. Remaja perlu mendapat perhatian serius karena remaja termasuk dalam usia sekolah dan usia
1
2
kerja serta berisiko terhadap masalah-masalah kesehatan dan sosial (BPS, 2010; Wahyuni dan Rahmadewi, 2011). Masalah kesehatan yang sering dialami remaja adalah nyeri kepala. Pada penelitian besar berbasis populasi anak dan remaja menunjukkan tingginya prevalensi nyeri kepala pada golongan tersebut, yaitu sekitar 23-51%. Tingginya prevalensi nyeri kepala pada remaja tentunya berdampak pada kehidupan remaja tersebut dan pada akhirnya menurunkan kualitas hidup. Salah satu indikator yang dapat dinilai pada remaja adalah dengan melihat prestasi belajar di sekolah (Falafigna dkk., 2010; King dkk., 2011). Lewis (2002) melakukan penelitian epidemiologi terhadap 9000 orang anak-anak dan remaja, mendapatkan prevalensi nyeri kepala anak usia 7 tahun sekitar 37%-51% dan prevalensi pada remaja usia 15 tahun sekitar 57%-82%. Suatu penelitian observasional mengenai chronic daily headache (CDH) di Kanada terhadap 70 orang remaja laki-laki dan perempuan berusia kurang dari 18 tahun menunjukkan bahwa 77% mengalami rekurensi nyeri kepala sebelum berkembang menjadi CDH. Migren dan tension tipe headache (TTH) kronik merupakan 2 jenis NKP terbanyak dialami pada penelitian tersebut (Seshia dkk., 2008). Penelitian mengenai nyeri kepala pada usia remaja yang dilakukan di Medan oleh Sjahrir dan Nasution (2003) terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara menunjukkan perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki (88% dan 78%).
3
Prevalensi migren mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) di Bali adalah 23,7%, lebih tinggi daripada prevalensi nyeri kepala pada populasi umum (Adnyana, 2012). Nyeri kepala primer pada remaja dapat bersifat kronik dan berkaitan dengan luaran yang tidak menguntungkan. Suatu studi kohort yang dilakukan terhadap 103 subjek dengan waktu pengamatan selama 8 tahun menyimpulkan bahwa remaja yang mengalami perubahan menjadi CDH memiliki angka disabilitas lebih tinggi (Wang dkk., 2009). Penelitian di Denmark memberikan data mengenai
faktor-faktor yang
mencetuskan migren dan TTH diantaranya awitan umur, menstruasi, kehamilan, penggunaan obat-obat kontrasepsi hormonal, gaya hidup yang meliputi aktivitas fisik, merokok, konsumsi kopi, alkohol, stres mental dan pola tidur. Pada penelitian tersebut stres mental, konsumsi alkohol dan pola tidur berkorelasi sangat signifikan dengan timbulnya migren dan TTH. Sedangkan studi di Brazil pada 200 orang responden yang mengalami kekambuhan migren, sekitar 81% memiliki masalah tidur (Rassmusen, 1993; Fukui dkk., 2008). Tidur merupakan salah satu kebutuhan fisiologis manusia. Tidur yang tidak adekuat dan berkualitas buruk dapat menyebabkan gangguan keseimbangan fisiologis dan psikologis (Craven dan Hirnle, 2000). Dampak fisiologis dan psikologis yang muncul akibat buruknya kualitas tidur meliputi penurunan aktivitas sehari-hari, kelelahan, respon motorik terganggu, penurunan daya tahan tubuh, stres, depresi dan kecemasan (Moldolfsky, 2001).
4
Gangguan tidur sudah lama dikaitkan dengan nyeri, termasuk nyeri kepala. Namun demikian belum banyak penelitian yang memberikan informasi mengenai prevalensi gangguan tidur pada penderita NKP (Houle dkk., 2012). Sancisi dkk. (2010) melakukan penelitian kasus kontrol terhadap 105 orang dengan NKP episodik. Prevalensi gangguan tidur terutama insomnia cukup tinggi pada penderita nyeri kepala tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara gangguan tidur dan nyeri kepala pada populasi umum. Namun penelitian yang memberikan informasi mengenai hubungan gangguan tidur dengan NKP pada populasi remaja masih terbatas. Tidur yang tidak adekuat merupakan masalah kompleks yang dialami oleh remaja. Tidur yang tidak adekuat meliputi berkurangnya durasi tidur, kualitas dan konsistensi tidur yang rendah. Berdasarkan penelitian mengenai kecukupan tidur pada anak dan remaja, waktu tidur yang adekuat untuk usia remaja adalah sekitar 9-10 jam tiap malamnya untuk mendapatkan fungsi optimal di sekolah, regulasi mood, proses kognitif yang meliputi ketangkasan reaksi dan atensi serta kesehatan secara menyeluruh (Moran dan Everhart, 2012). Dampak dari tidur yang tidak adekuat apabila berlangsung terus menerus dapat menurunkan prestasi belajar dan angka kelulusan remaja di sekolah. Berdasarkan data ujian akhir nasional dari Disdikpora pada tahun 2014, Kabupaten Karangasem menempati peringkat kedua setelah Kabupaten Buleleng untuk angka ketidaklulusan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) di Bali, yaitu 16%.
5
Faktor psikososial pada pubertas merupakan stresor eksternal yang mempengaruhi kehidupan usia remaja misalnya meningkatnya keinginan untuk mandiri, tanggung jawab akademik dan meningkatnya aktivitas sosial pada remaja akan menyebabkan pengurangan durasi tidur. Secara internal, terjadi pula perubahan biologis yang mempengaruhi
durasi
tidur
remaja.
Keterlambatan
fase
sirkadian
selama
perkembangan usia remaja menyebabkan memanjangnya latensi tidur remaja (Carskadon dkk., 1998; Moran dan Everhart, 2012). Inkonsistensi dan pengurangan durasi tidur pada remaja mengakibatkan gangguan sosial, pekerjaan dan fungsi lain sehingga dapat digolongkan sebagai suatu Delayed Sleep Phase Syndrome (DSPS) yang merupakan gangguan irama sirkadian menurut International Classification of Sleep Disorder (ICSD-Revised). Akibat durasi tidur tidak adekuat dan kualitas tidur buruk akan menyebabkan berbagai efek mulai dari rasa kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan kesulitan untuk mempertahankan perhatian, kemampuan kognitif menurun khususnya untuk melakukan aktivitas yang kompleks. Beberapa penelitian mengatakan menurunnya fungsi eksekutif terjadi pada remaja yang lebih sering mengalami rasa kantuk. Pembatasan durasi tidur dan buruknya kualitas tidur yang kronik dapat berpengaruh buruk pada kesehatan remaja secara menyeluruh selain dampaknya pada fungsi kognitif (El Gendy dkk., 2009; Moran dan Everhart, 2012). Nyeri kepala dan gangguan tidur sering terjadi pada usia remaja dan bisa muncul bersamaan pada satu individu. Nyeri kepala bisa timbul saat tidur maupun setelah tidur dan diduga berhubungan dengan beragam fase tidur. Penelitian di Italia, seperti yang
6
dikutip oleh Linawaty dkk. (2013) menunjukkan anak-anak dan remaja dengan migren diketahui memiliki kualitas tidur yang lebih buruk dibandingkan dengan anak-anak dan remaja yang tidak menderita migren. Hubungan antara kedua fenomena ini membuat beberapa peneliti mengajukan hipotesis peranan faktor kronobiologis pada nyeri kepala khususnya migren. Keterlibatan hipotalamus diduga sangat berperan dalam hubungan keduanya. Serangan migren dapat berpola sesuai dengan perubahan waktu sirkadian. Hal tersebut yang melandasi kemungkinan keterlibatan mekanisme kronobiologi pada migren. Beberapa instrumen pengukuran telah digunakan untuk menilai kualitas tidur pada berbagai kelompok populasi. Salah satu yang lazim digunakan adalah The Pittsburg Sleep Quality Index (PSQI) dengan pemeriksaan 7 komponen tidur yaitu latensi, durasi, kualitas, efisiensi kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan gangguan fungsi tubuh di siang hari. Instrumen ini mengukur kualitas tidur secara subjektif dan memberikan dua luaran yaitu kualitas tidur baik dan buruk (Buysse, 1989). Berdasarkan data yang telah disebutkan sebelumnya, maka perlunya dilakukan suatu penelitian untuk mencari masalah kesehatan yang mungkin menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan menurunnya prestasi belajar remaja di Karangasem. Terlebih lagi, daerah Bali, khususnya Karangasem, belum memiliki data mengenai masalah kesehatan pada remaja. Tingginya prevalensi nyeri kepala dan gangguan tidur pada remaja serta kurangnya penelitian yang memberikan informasi mengenai
7
hubungan tidur dengan nyeri kepala primer melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah
sebagai berikut : 1.2.1
Apakah terdapat korelasi antara kualitas tidur dengan NKP pada remaja?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan umum Mengetahui adanya korelasi kualitas tidur dengan NKP pada remaja.
1.3.2
Tujuan khusus
1.
Mengetahui proporsi NKP siswa-siswi SMA Negeri 1 Amlapura.
2.
Mengetahui proporsi kualitas tidur siswa-siswi SMA Negeri1 Amlapura.
3.
Mengetahui korelasi kualitas tidur dengan NKP siswa-siswi SMA Negeri 1 Amlapura.
4.
Mengetahui korelasi faktor-faktor lain dengan NKP siswa-siswi SMA Negeri 1 Amlapura.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dasar proporsi kualitas tidur dan NKP pada remaja, korelasi antara keduanya serta faktor-faktor lain yang berhubungan dengan NKP, sehingga dapat diketahui besarnya masalah untuk pengembangan penelitian di masa yang akan datang.
8
1.4.2 Manfaat praktis Dengan mengetahui adanya korelasi antara kualitas tidur dan faktor-faktor lain dengan NKP pada remaja diharapkan dapat membantu tenaga kesehatan khususnya dokter dalam menangani NKP yang berhubungan dengan masalah tidur dengan jalan memberikan informasi kepada remaja mengenai pola tidur yang baik. Dalam bidang pendidikan dapat dipakai sebagai data dasar untuk mengambil kebijakan dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa di sekolah.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Kronobiologi dan Irama Sirkadian Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, memiliki mekanisme jam biologis.
Irama biologis tidak hanya meliputi waktu istirahat dan waktu beraktivitas makhluk hidup tersebut, namun kehidupan itu sendiri merupakan proses fisiologi yang memainkan peranan penting dalam proses tersebut (Bohm, 2012). Kronobiologi menjelaskan mengenai ritme biologi dan meliputi irama atau siklus tahunan, siklus lunar atau 29,5 hari, siklus harian atau pun siklus yang berulang di bawah 24 jam. Tubuh manusia memiliki kemampuan internal mengukur waktu dalam tubuh. Sistem sirkadian ini terorganisasi secara pola hirarki dan pacemaker sentral yang mensinkronisasi osilator sirkadian seluler pada badan-badan sel paling perifer. Jam biologis ini meliputi pengaturan irama fungsi-fungsi tubuh seperti tekanan darah, kadar hormonal, temperatur tubuh, dan tentu saja siklus bangun tidur. Osilator sirkadian terdiri dari kurang lebih 20.000 neuron-neuron jam biologis yang terletak di daerah ventrolateral suprachiasmatic nucleus (SCN). Nukleus ini merupakan “master clock” dalam tubuh manusia yang berlokasi secara bilateral di bagian anterior hipotalamus, di atas kiasma optikum. Bila terjadi kerusakan pada SCN maka irama sirkadian bangun tidur menjadi tidak teratur lagi (Mahdi dkk, 2011; Bohm, 2012). Selain berfungsi sebagai pengatur fungsi-fungsi fisiologis, SCN juga berperanan penting dalam mensinkronisasi tubuh dengan waktu eksternal, memberikan respon terhadap “zeitgeber” utama, yaitu matahari, yang silih berganti dengan keadaan gelap.
9
10
Setiap manusia memiliki waktu tersendiri, yaitu waktu sirkadian endogen yang mengalami sinkronisasi dengan waktu harian selama 24 jam. Hal ini disebut sebagai kronotipe dan dipengaruhi oleh faktor genetik serta karakteristik individu, misalnya umur dan jenis kelamin. Penting untuk diketahui bahwa kronotipe masing-masing individu menentukan durasi tidur seseorang, sehingga sering didapati orang dengan waktu tidur lama atau sebaliknya. Siklus gelap terang, irama biologis tubuh, dan lingkungan sangat berpengaruh terhadap kronotipe seseorang (Bohm, 2012). Fungsi sistem waktu sirkadian adalah untuk mengkoordinasikan mekanisme humoral, fisiologis, dan tingkah laku tidur-bangun. Regulasi ini dimodulasi oleh 2 faktor yang saling bertolak belakang, yaitu : (1) drive homeostatik untuk tidur yang meningkatkan kecenderungan untuk mengantuk dan (2) irama sirkadian yang mempromosikan status terjaga (wakefulness). Faktor sirkadian berarti variasi fisiologis dalam hal tidur-bangun (waktu, durasi, dan karakteristik lain) menurut siklus tertentu seharian. Pada pagi hari setelah bangun pagi, drive homeostatik untuk tidur, secara nyata menjadi sangat rendah bahkan nol, luaran SCN rendah seperti yang terlihat dalam rekaman intracerebral firing rate. Drive homeostatik secara gradual meningkat sepanjang hari dan perkembangannya dihambat oleh meningkatnya luaran SCN. Saat pagi, drive homeostatik yang mulai menurun dibatasi oleh pengaruh circadian arousal yang menyebabkan kita terbangun. Terdapat dua periode yang sangat rentan untuk mengantuk yaitu pukul 2 dini hari sampai pukul 6 pagi dan pukul 2 siang sampai pukul 6 sore. Periode yang pertama jauh lebih kuat daripada yang kedua (Chokroverty, 2010).
11
Cahaya mempengaruhi tubuh untuk memproduksi berbagai substansi yang erat kaitannya dengan dengan pola sirkadian tubuh seperti misalnya kortisol, serotonin dan terutama melatonin. Kortisol adalah hormon penanda stres yang produksinya mengikuti irama sirkadian. Kortisol meningkat saat pagi hari dan menurun di malam hari. Namun dengan adanya perubahan fungsi aksis hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA) berpengaruh terhadap produksi kortisol. Pada beberapa keadaan gangguan aksis HPA, misalnya fibromyalgia, produksi kortisol diurnal cenderung tidak mengalami peningkatan namun terjadi lonjakan kadar kortisol pada malam harinya. Sedangkan pada sleep deprivation (SD) juga terjadi perubahan kadar kortisol. Kadar kortisol meningkat secara perlahan sepanjang paruh kedua tidur dengan kenaikan tajam sebelum waktu bangun fisiologis (Mahdi dkk, 2011, Bohm, 2012). Beberapa sitokin dihasilkan secara konsisten mengikuti irama diurnal dengan kadar puncak sepanjang malam terutama dini hari, kadar kortisol saat itu paling rendah dan melatonin dalam kadar paling tinggi. Interleukin (IL)-6 merupakan sitokin proinflamasi yang kadarnya meningkat pada orang dengan kualitas tidur yang buruk. Kualitas tidur yang buruk dapat menyebabkan aktivitas inflamasi melalui reaktivasi stres. Gangguan fungsi aksis HPA menyebabkan peningkatann kadar IL-6. Sleep deprivation yang terjadi selama 36 jam meningkatkan kadar IL-6. Peningkatan kadar sitokin ini diduga berhubungan dengan kondisi mengantuk dan kelelahan setelah SD (Mahdi dkk, 2011; Prather dkk., 2014). Produksi melatonin biasanya terjadi di malam hari. Produksi melatonin mengaktivasi hipotalamus yang pada akhirnya menyebabkan penurunan histamin dan
12
oreksin, dua substansi yang meningkatkan kewaspadaan. Melatonin merupakan mediator antara stimulus cahaya eksternal dengan adaptasi fisilogis tubuh sepanjang siang dan malam serta memfasilitasi kecenderungan untuk tidur pada malam hari dan terbangun pada siang hari (Mahdi dkk, 2011). Kronotipe remaja cenderung terlambat untuk memulai tidur. Remaja yang berumur 12 tahunan, yang memulai awitan akil balik, mulai mengalami keterlambatan fase tidur dan akan mencapai puncak keterlambatan saat berumur 20 tahun. Roennerberg dan Kuehnle (2004) memperkirakan perubahan irama internal ini sebagai suatu “marker biologis pertama yang menunjukkan akhir fase remaja”. Remaja perempuan cenderung mengalami puncak keterlambatan tidur saat berusia sekitar 19, 5 tahun, sedangkan remaja laki-laki saat umur 20, 9 tahun. Keterlambaan fase tidur laki-laki dibandingkan perempuan akan terjadi sampai umur 50 tahunan. 2.2
Arsitektur, Anatomi dan Fisiologi Tidur
2.2.1
Arsitektur tidur
Tidur merupakan proses aktif, repetitif, dan reversibel yang dibutuhkan oleh berbagai fungsi seperti misalnya untuk perbaikan dan pertumbuhan, konsolidasi memori, dan proses restoratif. Proses tingkah laku (behavioral), fisiologi, dan neurokognitif terlibat dalam tidur, seperti halnya fungsi imunologis (Curcio dkk, 2006; Lange dan Born, 2011). Pada saat tidur terdapat pergeseran antara keseimbangan sintesis dan degradasi protein, yang lebih bergeser ke arah proses sintesis. Sintesis protein otak, asam nukleat
13
di seluruh tubuh, dan sintesis adenosin triphosphate (ATP) mencapai tingkat yang lebih tinggi pada saat tidur (Lumbantobing, 2008). Mitosis sel aktif, termasuk ginjal, usus, dan kulit terjadi secara aktif saat tidur. Hormon anabolik (hormon pertumbuhan, kortikosteroid, gonadotropin) lebih banyak dijumpai saat tidur (Lumbantobing, 2008). Berdasarkan tiga rekaman fisiologis yang dilakukan sewaktu tidur, yaitu elektroensefalografi (EEG), elektrookulografi (EOG), dan elektromiografi (EMG), tidur dibagi menjadi 2 tahapan nyata yang berlangsung sesuai dengan pola siklus, yaitu : 1. Tidur Non- Rapid Eye Movement (REM), dibagi menjadi 4 stadium, yaitu : - Tingkat 1 (tidur ringan) - Tingkat 2 (tidur terkonsolidasi) - Tingkat 3 dan 4 (tidur dalam atau tidur gelombang lambat) 2. Tidur REM Siklus akan berulang sebanyak 4-6 kali tiap tidur secara normal pada orang dewasa, dan setiap siklus berlangsung sekitar 90-110 menit (Lumbantobing, 2008; Chokroverty, 2010). Pada manusia dewasa, sepertiga bagian awal tidur didominasi oleh tidur gelombang lambat atau slow wave sleep (SWS) sedangkan sepertiga bagian akhir tidur didominasi oleh tidur REM. Tidur NREM berlangsung sekitar 75%-80 % dari setiap waktu tidur pada orang dewasa dan dibagi menjadi 4 stadium, stadium 1-4 sesuai dengan kriteria manual skoring tradisional Rechtschaffen dan Kales (R-K). Sedangkan
14
berdasarkan rekaman EEG, stadium tidur dibagi menjadi 3, yaitu N1, N2 dan N3. Waktu tidur REM berkisar antara 20%-25% dari total waktu tidur keseluruhan. Petanda spesifik tidur REM adalah adanya gerakan mata cepat ke segala arah dan ketiadaan aktivitas otot yang dapat direkam oleh EMG (Chokroverty, 2010). Tabel 2.1 berikut ini menunjukkan kriteria spesifik tingkah laku dan fisiologi yang terjadi sepanjang fase terjaga, tidur NREM, dan REM. Tabel 2.1 Kriteria Tingah Laku dan Fisiologi Fase Bangun Tidur (Chokroverty, 2010) Kriteria Postur Mobilitas
Fase Bangun Berdiri, duduk Normal
Respon terhadap stimulasi Tingkat kewaspadaan Kelopak mata Gerakan mata
Normal
EEG EMG (tonus otot)
EOG
2.2.2
Waspada Terbuka Waking eye movement Gelombang alfa, desinkronisasi Normal
Waking eye movement
Tidur NREM Berbaring Postural shift, immobile Menurun Tidak sadar tapi reversibel Tertutup Slow rolling eye movement Sinkronisasi Sedikit menurun
Slow rolling eye movement
Tidur REM Berbaring Immobile, myoclonic jerks Menurun, bahkan tidak berespon Tidak sadar tapi reversibel Tertutup Rapid eye movement Thetha, saw tooth wave Desinkronisasi Menurun bahkan tidak ada, Rapid eye movement
Substrat anatomi yang terlibat dalam fisiologi tidur Temuan-temuan
genetik
terbaru
mengindikasikan
bahwa
mekanisme
molekulerlah yang mengontrol irama sirkadian dan mengatur stadium tidur terkonservasi secara filogenetik. Gangguan tidur dalam jangka lama mempengaruhi pengaturan temperatur tubuh, metabolism dan fungsi imunologi. Pada susunan saraf
15
manusia, instruksi genetik diekspresikan secara progresif pada level transkripsi genetik yang lebih tinggi, sintesis protein dan hubungan dinamis antar bagian neuronal subkortikal yang terlibat dalam membentuk substrat anatomi tidur seperti yang dijelaskan oleh gambar dibawah ini (Pace-Schott dan Hobson, 2002).
Gambar 2.1 Substrat Anatomi pada Fisiologi Tidur (Pace-Schott dan Hobson, 2002) Jam sirkadian molekuler secara genetik diekspresikan oleh 20.000 sel-sel SCN yang berlokasi secara bilateral di hipotalamus, tepat di atas kiasma optikum. Sel-sel tersebut mengandung mekanisme “master clock” yang mengatur ritme fisiologis tubuh terhadap siklus siang malam selama 24 jam (Pace-Schott dan Hobson, 2002). Setelah lama ditemukannya sirkadian spesifik dan mekanisme kontrol banguntidur, ternyata mekanisme irama biologis juga melibatkan struktur selain SCN yang
16
berlokasi dekat dengan nukleus tersebut. Struktur tersebut antara lain nukleus paraventrikular pada subparaventrikular zone (SPZ), daerah hipotalamus yang menerima sebagian besar proyeksi dari SCN, dan nukleus dorsomedial hypothalamic (DMH) yang menerima proyeksi dari SPZ (Pace-Schott dan Hobson, 2002). Substrat neuroanatomi tidur dan fisiologi bangun tidur terdiri dari mekanisme kompleks yaitu jalur aktivasi dan inhibisi yang bersifat umpan balik antara berbagai pusat yang terletak di rostral batang otak dan korteks seperti yang dijelaskan pada gambar 2.2 di bawah. Mekanisme bangun tidur dimediasi oleh ascending reticular activating system (ARAS) dan jalur inhibisinya yang berproyeksi melalui nukleusnukleus formasio retikularis batang otak dan rostral batang otak ke talamus dan basal forebrain (BF). Terdapat dua jalur proyeksi yang terlibat dalam mekanisme tersebut. Jalur pertama melalui bagian dorsal, yaitu neuron-neuron kolinergik pedunculopontine tegmental atau lateral dorsal tegmental (PPT/LDT) yang mengeksitasi neuron-neuron retikular dan talamokortikal. Jalur kedua adalah melalui bagian ventral yang meliputi hipotalamus dan BF. Proyeksi jalur tersebut bermula dari nukleus locus coeruleus (LC) yang bersifat noradrenergik, nukleus rafe dorsalis yang bersifat serotonergik, nucleus di daerah ventral periaquductal
greymatter (PAG)
yang bersifat
dopaminergik, tuberomamillary nucleus (TMN) yang bersifat histaminergik, serta hipotalamus bagian lateral yang menghasilkan oreksin dan melanin-concentrating hormone (MCH). Kelompok neuron-neuron tersebut lebih aktif saat fase bangun dibandingkan tidur non-REM dan tidak menunjukkan aktivitas selama tidur REM (gambar 2.2 A)
17
Ventrolateral preoptic nucleus (VLPO) diperkirakan berperanan dalam sirkuit inhibisi ARAS. Mekanisme inhibisi oleh nukleus preoptik dan aktivasi oleh ARAS disebut “flip-flop switch design”. Sistem ini secara indirek distabilisasi oleh neuronneuron oreksin dan neuron yang mengandung MCH di daerah lateral hipotalamus, yang mencegah mekanisme aktivasi atau inhibisi secara spontan, seperti halnya pada kondisi narkolepsi. Neuron-neuron VLPO yang aktif saat tidur menghasilkan neurotransmiter gamma-aminobutyric acid (GABA) dan galanin (gambar 2.2 B) (Saper dkk., 2005, Fuller dkk., 2006).
Gambar 2.2 Sirkuit Bangun Tidur : (A) Jalur Dorsal dan Ventral ARAS, (B) Jalur Inhibisi ARAS (Fuller dkk., 2006)
Lesi eksitotoksik pada SPZ menyebabkan gangguan irama sirkadian tidur, aktivitas lokomotor dan temperatur tubuh. Proyeksi SPZ adalah pada VLPO yang berperan dalam regulasi tidur NREM. Target proyeksi SPZ yang lain adalah DMH yang mengandung banyak neuron oreksin, yang pada akhirnya berproyeksi menuju
18
VLPO. Lesi pada daerah DMH menyebabkan penurunan amplitudo sirkadian dan temperatur tubuh pada binatang coba. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa terdapat hubungan daerah tersebut dengan SCN. Terdapat aliran impuls transinaptik retrograd yang menunjukkan adanya proyeksi indirek dari SCN melalui DMH. Proyeksi ini kemudian diteruskan ke nukleus VLPO di hipotalamus kemudian ke nukleus noradrenergik di LC. Oreksin meningkat pada aktivitas LC (Pace-Schott dan Hobson, 2002). Gambar 2.3 dan 2.4 di bawah ini menunjukkan skema sirkadian manusia saat siang dan malam serta jalur yang terlibat dalam pengontrolan bangun-tidur mulai dari retina ke hipotalamus (traktus retinohipotalamus).
Gambar 2.3 Skema Sirkadian Manusia (Culebras dkk., 2007)
Serat-serat saraf retinal postgalionik membentuk traktus retinohipotalamik menuju ke SCN. Kemudian ke ganglion servikalis superior yang akhirnya mencapai badan
19
pineal. Sistem neuronal di retina distimulasi oleh situasi gelap dan dapat diinhibisi oleh cahaya (Culebras dkk., 2007).
Gambar 2.4 Jalur antara Retina, SCN dan Badan Pineal (Shneerson, 2005) Impuls lainnya dari sel ganglion retina mencapai daerah pretektum, kolikulus superior, dan SPZ. Nukleus kolinergik PPT atau LDT juga berproyeksi ke SCN. Jalur ini dipengaruhi oleh melatonin yang menginhibisi aktivitas SCN dan menyebabkan tidur (Shneerson, 2005). Aktivasi reseptor α-1 dan β-1 adrenergik di badan pineal meningkatkan konsentrasi cyclic adhenosin monophosphat (c-AMP) dan kalsium serta mengaktivasi arylalkilamine N-acetyltransferase yang mengawali sintesis dan produksi melatonin. Irama harian sekresi melatonin dikontrol oleh “master pacemaker” endogen yang berlokasi di SCN. Gambar 2.3 juga menjelaskan hubungan temporal antara aktivitas SCN dengan sekresi melatonin dalam periode 24 jam (Culebras dkk., 2007).
20
Substrat neuroanatomi tidur REM dan NREM berlokasi pada bagian susunan saraf pusat yang berbeda. Tidak ada pemisahan antara keduanya dengan pusat pengaturan bangun tidur, namun kedua fase tidur ini dihasilkan oleh perubahan pada sistem interkoneksi neuronal yang dimodulasi oleh neurotransmiter dan neuromodulator. Substrat neuroanatomi tidur REM diperkirakan adalah pada area kecil di tegmentum pontin dorsolateral yaitu sublaterodorsal (SLD) yang berhubungan dengan dorsal subcoeruleus atau perilocus coeruleus alpha. Selama tidur NREM dan fase terjaga, neuron pada SLD akan diinhibisi (hiperpolarisasi) oleh input GABA-ergik dari neuron REM-off GABA-ergik REM yang berlokasi di SLD, mesensefalon dan nukleus retikularis pontin, serta ventrolateral periaquaductal graymatter (VLPAG) seperti halnya dengan neuron REM-off monoaminergik. Neuron-neuron GABA-ergik dan glutaminergik memainkan peranan penting dalam tidur REM. Neuron GABA-ergik bertanggung jawab terhadap inaktivasi neuron monoaminergik selama tidur REM. Neuron kolinergik tidak memainkan peranan dalam aktivasi REM (Chokroverty, 2010). 2.3
Gangguan Tidur pada Remaja
2.3.1
Prevalensi dan insidensi gangguan tidur pada remaja
Fase remaja adalah fase tumbuh kembang dengan karakteristik berupa perubahan penting dalam fungsi kognitif, perilaku, sosial, emosional sesuai perkembangan biologis serta adanya fungsi dan tuntutan baru dalam lingkungan keluarga maupun sosial. Pada remaja terdapat perubahan besar dalam pola bangun-tidur meliputi durasi tidur berkurang, waktu tidur tertunda serta perbedaan pola tidur pada hari kerja dan
21
akhir pekan sehingga kualitas tidur remaja cenderung berkurang (Mindell dan Owens, 2003). Dalam beberapa dekade terakhir, penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa jumlah remaja yang mengalami gangguan tidur semakin meningkat. Ohida dkk. (2004) menunjukkan prevalensi gangguan tidur pada siswa sekolah menengah bervariasi yaitu 15,3%-39,2%. Sedangkan menurut hasil penelitian Bruni dkk. (1996), prevalensi gangguan tidur pada remaja adalah 73,4%. Uji tapis gangguan tidur pada anak dilakukan oleh Haryono dkk. (2009) pada remaja usia 12-15 tahun di Jakarta Timur mendapatkan prevalensi gangguan tidur sebesar 62,9% dengan jenis gangguan berupa gangguan transisi bangun-tidur. Suatu analisis terhadap 28 studi epidemiologi menunjukkan bahwa insomnia berhubungan dengan gangguan psikologis yang menjadi faktor risiko untuk terjadinya depresi, gangguan cemas, alkohol, penyalahgunaan obat, penurunan imunitas tubuh dan percobaan bunuh diri. Gangguan tidur bahkan disebutkan merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler (Leger dkk., 2008). Gangguan tidur pada remaja dapat berupa kurangnya durasi, kualitas dan kuantitas tidur. Terdapat kesepakatan antara peneliti mengenai kebutuhan tidur remaja yaitu kurang lebih 9-10 jam setiap malam agar tercapai fungsi biologis tubuh yang optimal seperti misalnya regulasi mood dan fungsi kognitif yang baik. Menurut suatu survei nasional mengenai pola tidur remaja di Amerika Serikat, ternyata hanya 20% remaja berumur 11-17 tahun yang memenuhi kebutuhan tidur malam selama 9 jam sedangkan 45% tidur kurang dari 8 jam (Moran dan Everhart, 2012).
22
Suatu penelitian epidemiologi skala besar yang dilakukan di Eropa menunjukkan bahwa 30% remaja berumur 15-18 tahun mengeluhkan setidaknya satu keluhan gangguan tidur. Hampir 20% mengeluh mengantuk sepanjang siang hari (daytime sleepiness), 13,8% mengalami tidur non restoratif, 12,4% mengeluh sulit untuk jatuh tertidur, sedangkan 9,25% mengeluh kesulitan mempertahankan tidur (Moran dan Everhart, 2012). Studi epidemiologi memperkirakan bahwa 14%-33% remaja mengalami masalah tidur, sedangkan 10%-40% siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) mengalami SD sesaat dan SD skala menengah (Liu dkk., 2008). Kebiasaan tidur erat kaitannya dengan transmisi genetik. Penelitian mengenai berbagai aspek tidur yang dilakukan pada populasi anak kembar, memberikan hasil yang menarik. Heritabilitasnya diperkirakan 20%-57% dalam aspek waktu mulai tidur malam, durasi tidur, kualitas tidur secara menyeluruh dan parameter polisomnografi. Kontribusi genetik diperkirakan sekitar 40%-70% (Liu dkk., 2008). 2.3.2
Pola dan kualitas tidur remaja
Masa remaja ditandai dengan adanya perubahan biologis, kognitif dan emosional. Perubahan waktu tidur yang nyata misalnya, tidur malam terlambat, bangun terlalu cepat, pola tidur yang tidak teratur, insufisiensi tidur dan mengantuk di siang hari. Remaja juga rentan terhadap gangguan tidur seperti insomnia, excessive daytime sleepiness (EDS), dan gangguan irama sirkadian (Liu dkk., 2008). Remaja (usia 12-17 tahun) sangat rentan mengalami gangguan tidur yang pada akhirnya akan menyebabkan SD. Faktor intrinsik dan lingkungan memainkan peranan
23
dalam menentukan pola tidur remaja. Fase pubertas yang dialami remaja secara biologis akan menyebabkan perubahan fase sirkadian yang cenderung akan terjadi keterlambatan waktu tidur dan onset bangun. Secara fisiologis remaja memang mengalami kesulitan untuk tidur lebih awal. Beberapa faktor ekternal seperti kebiasaan minum kopi, penggunaan alat elektronik pada saat malam hari membuat keterlambatan fase tidur lebih berat. Demikin pula dengan kegiatan sosial remaja di sekolah yang membutuhkan waktu bangun lebih cepat menyebabkan kecenderungan remaja untuk mengantuk pada siang harinya lebih besar (Lund dkk., 2010). Perkembangan tidur pada remaja tidak terlalu pesat jika dibandingkan pada anakanak. Perubahan pola tidur pada remaja disebabkan oleh perubahan hormonal dan pergeseran irama sirkadian. Rata-rata durasi tidur harian menurun dari 11 jam di usia 6 tahun menjadi 10 jam di usia 9 tahun dan sekitar 8-9 jam saat usia 16 tahun. Maturasi arsitektur tidur ditandai dengan penurunan secara bertahap proporsi tidur dalam NREM dan sebagai kompensasi adalah meningkatnya proporsi stadium tidur ringan NREM. Kantuk di siang hari yang dialami remaja dapat diukur dengan multiple sleep latency test (MSLT). Hasilnya adalah meningkatnya nilai MLST yang mencerminkan adanya efek berkurangnya durasi tidur secara relatif terhadap kebutuhan tidur remaja. Terlebih lagi, kebanyakan remaja sehat menunjukkan tendensi keterlambatan fase sirkadian, yaitu waktu tidur malam mengalami keterlambatan secara progresif (Hoban, 2010). Lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap perubahan pola tidur remaja. Para remaja mulai bisa memutuskan sendiri mengenai jadwal tidurnya sendiri yang
24
menyebabkan terjadinya pola tidur yang tidak teratur dan insufisiensi tidur kronik. Penggunaan komputer atau internet, game video dan telepon, lazim digunakan oleh remaja, mengganggu waktu tidur dan meningkatkan risiko mengantuk pada saat siang hari. Paparan media elektronik seperti televisi (3 jam per hari), penggunaan fasilitas internet (2,5 jam per hari) akan meningkatkan latensi tidur dan mengurangi waktu tidur anak dan remaja (Hoban, 2010; Schochat dkk., 2010). Pola tidur remaja dipengaruhi juga dengan erat oleh keterlambatan fase tidur sirkadian secara alami. Seseorang didiagnosis mengalami gangguan irama sirkadian terutama tipe delayed sleep phase (DSP) apabila tendensi ini mengakibatkan gangguan memulai tidur dan bangun pada saat yang tepat. Kebiasaan untuk tidur larut malam dan bangun terlambat saat waktu libur sekolah menyebabkan kecenderungan terjadinya DSP (Hoban, 2010). Kualitas tidur merupakan gambaran secara subjektif yang menjelaskan tentang kemampuan untuk mempertahankan waktu tidur serta tidak adanya gangguan yang dialami selama periode tidur. Komponen-komponen kualitas tidur dapat diukur secara objektif dengan polisomnografi, sedangkan pengukuran kualitas tidur secara subjektif dapat dilakukan dengan beberapa kuesioner misalnya dengan menggunakan PSQI (Pilcher dkk., 1997). Kualitas tidur meliputi beberapa aspek kebiasaan tidur seseorang, termasuk kuantitas tidur, latensi tidur, efisiensi tidur, dan gangguan tidur. Penurunan kualitas tidur berkorelasi dengan perasaan cemas, depresi, marah, kelelahan, kebingungan, mengantuk di siang hari dan kekecewaan menyeluruh terhadap kehidupan. Kualitas
25
tidur yang diukur melalui instrumen PSQI berkorelasi dengan kualitas hidup dibandingkan dengan kuantitas tidur semata (Pilcher dkk., 1997). Menurut Grose dan Engelke, seperti dikutip oleh Arifin (2011), SD merupakan gangguan tidur atau keadaan tidur dengan jumlah waktu normal tapi kualitas tidur tidak adekuat yang ditandai dengan tidur sering terbangun. Gangguan ini dapat mempengaruhi aktivitas fungsi sistem saraf pusat yang selama periode tidur. Dampak dari SD dapat bersifat individual. Gangguan yang berlangsung dalam waktu lama dapat mempengaruhi respon emosional, kemampuan kognitif, daya ingat, perhatian, pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan (Dinges dkk., 2011). Bila SD terjadi dalam 60-200 jam, manusia akan tambah mengantuk, lelah, lekas marah, sulit berkonsentrasi dan berkurangnya kemampuan aktivitas motorik terutama yang membutuhkan kecepatan. Ekskresi katekolamin sebagai hormon katabolik meningkat karena SD. Keseimbangan nitrogen yang negatif berarti bahwa kekurangan tidur menyebabkan hilangnya protein atau pergeseran ke arah katabolisme (Lumbantobing, 2008). Tanda dan gejala neurologi yang dapat tercapai bila SD terjadi secara persisten adalah adanya nistagmus ringan, gangguan gerak bola mata sakadik, gangguan akomodasi, tremor di tangan, ptosis, wajah tanpa ekspresi, bicara pelo, pengucapan salah dan memilih kata yang salah (Lumbantobing, 2008). Sleep deprivation memberikan konsekuensi berat terhadap perkembangan fisik dan mental remaja. Suatu penelitian berbasis populasi dilakukan terhadap anak
26
sekolah yang tergolong remaja (usia 11-17) tahun menilai kualitas tidur dan faktorfaktor prediktor gangguan tidur pada remaja menggunakan beberapa parameter yaitu PSQI dan Epworth Sleepness Scale (ESS) dan lain-lain. Hasil penelitian tersebut menunjukkan hubungan yang kuat antara restriksi tidur kronik dengan kecemasan, depresi, kelelahan dan nyeri somatik. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa rata-rata waktu tidur anak sekolah adalah sekitar 7,02 jam. Hanya 29,4% dari responden penelitian yang tidur lebih dari 8 jam dalam sehari. Kualitas tidur yang buruk (skor PSQI ≥8) berhubungan signifikan dengan peningkatan mood negatif (kemarahan, kecemasan, depresi, kelelahan dan ketegangan). Responden dengan kualitas tidur buruk juga berkorelasi signifikan dengan penyakit fisik. Faktor-faktor predisposisi kualitas tidur yang buruk pada remaja yang ditunjukkan oleh penelitian tersebut antara lain mood (ketegangan dan stres), konsumsi alkohol dan kopi, keteraturan jadwal tidur dan paparan alat-alat elektronik seperti telepon, televisi dan komputer atau internet (Lund dkk., 2010; Dinges dkk., 2011; Moran dan Everhart, 2012). Stres merupakan faktor predisposisi yang paling signifikan mempengaruhi kualitas tidur remaja. Terdapat beberapa alasan mengenai hal tersebut. Pertama, gaya hidup remaja merupakan faktor presipitasi yang meningkatkan tekanan pada mental remaja. Kedua, adanya perubahan karena maturasi neuroendokrin. Perkembangan aksis HPA saat remaja menyebabkan sekresi kortisol sepanjang waktu tidur meningkat. Hiperaktivitas neuroendokrin berperan terhadap kondisi hyperarousal seperti halnya peningkatan perasaan negatif seperti kecemasan dan depresi pada
27
remaja. Ketiga, remaja belum memiliki strategi “coping” untuk mengelola kejadiankejadian pemicu stres (Lund dkk., 2010; Moran dan Everhart, 2012). Gangguan tidur irama sirkadian tipe DSP merupakan tipe gangguan tidur yang paling sering dialami oleh remaja. Gejala sindrom DSP berupa adanya keterlambatan waktu tidur sebanyak 2 jam atau lebih dari waktu tidur yang diinginkan dan adanya pertentangan dengan aktivitas harian remaja (sekolah, pekerjaan dan jadwal aktivitas lain). Gejala klinis sindrom DSP yang paling utama adalah adanya keluhan terbangun terlalu dini yaitu sekitar pukul 3 atau 4 dini hari dan kemudian sangat sulit untuk bangun saat pagi hari. Keluhan kesulitan tidur sebelum tengah malam dan sangat sulit bangun sebelum pukul 10 di pagi hari juga sering dialami. Hal ini terjadi akibat waktu tidur remaja yang tidak konsisten dengan waktu biologis internalnya. Sindrom DSP merupakan gangguan multi komponen yang dipengaruhi oleh faktor genetik, biologis dan psikososial (Mindell dan Meltzer, 2008). Stadium tidur yang mengalami perubahan sesuai umur adalah stadium SWS. Stadium tidur ini maksimal pada usia anak-anak dan menurun sekitar 40% saat dekade kedua dalam kehidupan. Remaja umur 11-17 tahun mengalami penurunan gelombang delta dan teta pada stadium tidurnya dan secara simultan tidur stadium 2 meningkat. Penurunan gelombang EEG pada seluruh stadium tidur terjadi secara signifikan. Perubahan pola ini diperkirakan disebabkan oleh reorganisasi atau maturasi otak secara fundamental sepanjang masa remaja (Bohm, 2012).
28
Keterbatasan data dan penelitian mengenai DSP menyebabkan prevalensi sindroma DSP tidak diketahui secara pasti namun diperkirakan antara 7%-16% pada populasi remaja (Tikotzky dan Sadeh, 2012). Remaja dengan sindrom DSP mengalami SD secara kronik dan akan menimbulkan “mabuk tidur” pada pagi hari yang ditandai dengan kesulitan untuk bangun secara cepat dan kebingungan. Sekresi melatonin yang terlambat pada fase ini merupakan salah satu faktor yang diperkirakan mendasari sindrom ini, disamping adanya disregulasi sistem waktu sirkadian endogen dengan lingkungan. Remaja dengan DSP gagal mensinkronisasikan waktu sirkadian internal karena penurunan sensitivitas terhadap siklus gelap terang (Tikotzky dan Sadeh, 2012). Gangguan tidur yang dialami remaja selain DSP adalah insomnia. Menurut Diagnostic and Statistical Manual (DSM)-V seperti yang dikutip oleh Tikotzky dan Sadeh (2012), insomnia ditandai dengan adanya kesulitan memulai tidur, mempertahankan tidur atau tidur nonrestoratif yang berlangsung minimal satu bulan dan menyebabkan gangguan harian dan distres yang signifikan. Suatu penelitian berbasis populasi menunjukkan bahwa sekitar 10,7% remaja usia 13-16 tahun pernah mengalami insomnia sepanjang hidupnya dan 9,4% masih tetap mengalami insomnia. Insomnia juga disebutkan sebagai faktor paling berpengaruh dari kualitas tidur yang buruk. Selain faktor genetik, faktor psikososial remaja juga berperan menimbulkan insomnia pada remaja.
29
Berbagai gangguan tidur pada remaja seperti sindrom DSP, insomnia dan sleeprelated breathing disorder berkorelasi kuat dengan timbulnya nyeri kepala saat pagi hari (Calhoun dan Ford, 2007). 2.4
Hubungan NKP dengan Gangguan Tidur
2.4.1
Faktor-faktor pencetus dan prevalensi NKP pada remaja
Nyeri kepala adalah suatu rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada daerah kepala termasuk meliputi daerah wajah, tengkuk dan leher (PERDOSSI, 2013). Beberapa bentuk nyeri kepala yang digolongkan sebagai NKP adalah migren (umum dan aura), TTH, nyeri kepala klaster (NKK), dan yang tergolong NKP lainnya (PERDOSSI, 2013): Beberapa mekanisme dikemukakan sebagai dasar patofisiologi migren kronik meliputi inflamasi neurogenik kronik, sensitisasi sentral, defek pada modulasi nyeri sentral, disfungsi hipotalamus dan kombinasi keempat mekanisme tersebut (Gilman dkk., 2007). Insiden NKP meningkat dan mencapai puncak di usia 13 tahun pada kedua jenis kelamin. Pada penelitian berbasis populasi pada remaja umur 11-12 tahun, lebih dari 90% mengalami keluhan NKP jenis apapun dalam setahun (Gilman dkk., 2007). Nyeri kepala merupakan keluhan yang paling sering dialami pada populasi umum, demkian pula pada anak dan remaja. Prevalensi nyeri kepala pada populasi usia sekolah berdasarkan 50 penelitian berbasis populasi di Amerika dan Eropa bahwa sekitar 58,7% anak sekolah mengalami nyeri kepala dalam satu bulan. Terdapat tendensi meningkatnya prevalensi NKP pada anak dan remaja umur 11 tahun sampai
30
17 tahun yaitu 45,2%-78,7%. Nyeri kepala primer yang dialami oleh remaja usia sekolah menunjukkan prevalensi yang tinggi, yaitu sebanyak 66%-71% mengalami NKP sebanyak satu kali dalam seminggu (Straube dkk., 2013). Prevalensi migren pada mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Bali adalah 23,7%, lebih tinggi daripada prevalensi nyeri kepala yang didapatkan pada populasi umum (Adnyana, 2012). Berbagai laporan mengenai faktor predisposisi timbulnya NKP yaitu stres, kecemasan, kelelahan, menstruasi, gangguan tidur, relaksasi setelah stres, melewatkan waktu makan, perubahan cuaca, kelembaban yang tinggi, ketinggian, paparan sinar yang berkedip atau cahaya yang benderang, suara yang keras, aroma minyak wangi dan bahan kimia, perubahan postural, aktivitas fisik, batuk, faktor makanan (coklat, keju, minuman beralkohol khususnya anggur merah, jeruk, makanan yang mengandung monosodium glutamat, nitrat atau aspartat), pemakaian dan efek putus obat kokain (Silberstein, 2002; Fragoso, 2003). Menurut Kutlu dkk. (2010) yang meneliti faktor-faktor pencetus NKP terutama migren di Turki, terdapat berbagai faktor lain sebagai pencetus. Faktor stres psikologis, suara, gangguan tidur dan kelelahan merupakan faktor pencetus NKP yang paling umum. Tidur merupakan faktor pencetus yang unik karena di satu sisi kekurangan tidur dapat memprovokasi nyeri kepala, di sisi lain tidur dapat meredakan nyeri kepala. Kualitas tidur yang menurun berhubungan langsung dengan timbulnya serangan migren dan seringkali tidak dapat dijelaskan secara terpisah dengan komorbiditasnya,
31
seperti depresi atau gangguan cemas pada individu yang sama. Terbangun saat malam hari yang terjadi secara kronik dan pola timbulnya nyeri kepala saat pagi hari merupakan hal yang mendasari pemikiran bahwa gangguan tidur memicu timbulnya nyeri kepala. Hipotalamus sebagai pusat otonom mengatur homeostatik tubuh dan mengontrol nyeri. Hipotalamus dan area pada batang otak yang terhubung secara anatomi berperan terhadap gejala kronobiologi pada beberapa jenis nyeri kepala primer. Pada penelitian di Turki ini, gangguan tidur merupakan faktor pemicu NKP tersering setelah stres psikologis dan faktor lingkungan (Alstadhaug, 2006). Tabel berikut ini mengklasifikasikan faktor-faktor pencetus timbulnya NKP. Tabel 2.2 Faktor-Faktor yang Mencetuskan NKP (Silberstein, 2002) Faktor-Faktor Pencetus Nyeri Kepala Primer 1. Faktor internal : - Genetik - Hormonal - Stres - Kecemasan - Kelelahan - Gangguan tidur - Perubahan pola atau kebiasaan (misalnya pola makan, kebiasaan kerja) - Perubahan postural - Aktivitas fisik - Batuk 2. Faktor eksternal : - Makanan (coklat, keju, jeruk, alkohol) dan rokok - Perubahan cuaca - Kelembaban yang tinggi - Ketinggian - Paparan cahaya yang berkedip dan benderang - Suara keras - Aroma tertentu atau bahan kimia
32
Beberapa teori telah dikemukakan para ahli untuk menjelaskan patofisiologi nyeri kepala primer khususnya migren. Demkian pula perubahan NKP episodik yang berkembang menjadi NKP kronik. Adapun mekanisme yang diperkirakan mendasari proses ini yakni inflamasi neurogenik kronik, sensitisasi sentral, gangguan modulasi nyeri sentral, disfungsi hipotalamus dan kombinasi seluruh mekanisme tersebut (Peres dkk., 2001). Keterlibatan hipotalamus dalam patofisiologi NKK telah diketahui sejak lama. Hipotalamus diperkirakan pula memiliki peranan dalam terjadinya NKP lainnya seperti migren terutama dalam bentuk migren kronik. Beberapa jalur dan sistem seperti jalur hipotalamik-tuberoinfundibular (prolaktin dan hormon pertumbuhan), aksis HPA yang memproduksi kortisol dan peranan badan pineal dalam patofisiologi migren (Peres dkk., 2001). Secara umum struktur neuroanatomi yang terlibat dalam patofisiologi NKP dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.3 Struktur Anatomi yang Terlibat dalam Nyeri Kepala (Silberstein dkk., 2002) Orde Pertama Kedua
Ketiga Final
Struktur Ganglion trigeminalis
Keterangan Berlokasi di fossa cranii media Kompleks trigeminoservikal (melalui Trigeminal Nucleus Caudalis traktus kuintotalamik) (TNC) dan kornu dorsal C1, C2 medula spinalis servikalis (lamina I/II) Talamus Kompleks ventrobasal dan nukleus medialis Korteks
33
Selama serangan migren, serabut saraf sensoris melepaskan peptida-peptida yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Serabut saraf yang berasal dari ganglion trigeminovaskular mengandung substansi P, calcitonin gene-related peptide (CGRP) dan neurokinin A yang diproduksi apabila sistem trigeminovaskular distimulasi. (Silberstein dkk, 2002). Peptida-peptida ini muncul sebagai respon inflamasi steril pada duramater dan menyebabkan sensitisasi pada serabut saraf sensoris terhadap stimulus nonnoksius terdahulu (misalnya pulsasi pembuluh darah atau perubahan tekanan vena). Sensitisasi tersebut bermanifestasi sebagai peningkatan mekanosensitivitas intrakranial dan hiperalgesia yang diperberat dengan batuk atau gerakan kepala yang mendadak. Kadar CGRP ditemukan meningkat pada vena jugularis selama serangan migren berlangsung dan normal kembali setelah pemberian sumatriptan yang kemudian meredakan nyeri kepala. Vasoactive intestinal polypeptide (VIP) dan CGRP merupakan petanda aktivasi saraf parasimpatis intrakranial yang banyak ditemukan pada penderita NKP kronik (Silberstein dkk., 2002). Nukleus batang otak termasuk di antaranya PAG, LC, dan nukleus rafe dorsalis tidak aktif sebagai respon terhadap timbulnya nyeri kepala. Nukleus noradrenergik dan serotonergik berpartisipasi dalam respon stres, kecemasan dan depresi. Pada penderita migren
menunjukkan
terjadinya
hipersensitivitas
sentral
terhadap
stimulasi
dopaminergik yang berhubungan dengan tingkah laku yang terjadi selama serangan migren (menguap, iritabilitas, hipereaktivitas, gastroparesis, mual dan muntah) (Silberstein dkk., 2002).
34
Berikut ini adalah ilustrasi secara anatomi sistem trigeminovaskular yang terlibat dalam patofisiologi nyeri kepala primer dalam hal ini migren.
Gambar 2.5 Patofisiologi Sistem Trigeminovaskular Nyeri Kepala (Silberstein dkk., 2002) Disamping teori vaskuler dan inflamasi steril tersebut, serotonin diduga memainkan peranan penting pada patofisiologi migren. Metabolit utama serotonin, 5hydroxyindoleacetic ditemukan meningkat dalam urin penderita migren. Pada kondisi lain, kadar serotonin platelet menurun dengan cepat pada serangan migren akut. Penurunan kadar serotonin diduga justru dapat memicu serangan migren (Silberstein dkk., 2002). 2.4.2
Prevalensi gangguan tidur pada remaja penderita NKP
Beberapa perbedaan jenis hubungan antara tidur dan nyeri kepala yang biasa ditemukan dalam praktik sehari-hari, yaitu (Paiva dkk., 1997) :
35
1. Gangguan tidur bersifat primer sedangkan nyeri kepala adalah bagian dari gejalanya. 2. Sindrom nyeri kepala bersifat primer yang menyebabkan terjadinya gangguan tidur. 3. Gangguan tidur dan nyeri kepala merupakan gejala dari suatu entitas patologi yang berbeda. 4. Gangguan tidur dan sindrom nyeri kepala terjadi pada satu individu, tanpa ada interaksi antara kedua fenomena tersebut. Prevalensi gangguan tidur pada penderita nyeri kepala cukup besar. Pada penelitian Paiva dkk. (1997) menunjukkan bahwa 26 dari 49 sampel (53%) yang teridentifikasi mengalami gangguan tidur merupakan penderita nyeri kepala primer. Boardman dkk. (2005) menunjukkan data bahwa penderita dengan NKP kronik memiliki kemungkinan 17 kali lebih besar mengalami gangguan tidur dibandingkan dengan populasi normal. Meningkatnya kecenderungan gangguan tidur juga berkorelasi dengan derajat keparahan NKP pada penelitian lainnya (Rain dkk., 2008). Pada remaja penderita NKP, gangguan tidur merupakan fenomena klinis. Beberapa penelitian yang memfokuskan pada hubungan antar kedua fenomena ini melaporkan adanya variasi bentuk gangguan tidur seperti misalnya kesulitan untuk jatuh tertidur, frekuensi terbangun malam hari yang sering, terbangun terlalu pagi dan mengantuk hebat pada siang hari. Data mengenai hubungan antara tidur dan NKP, karakteristik NKP yang timbul, intensitas, durasi dan frekuensi NKP yang dihubungkan dengan kebiasaan tidur pada remaja sangat minimal. Beberapa penelitian
36
yang ada dengan metode yang beda-beda sehingga sulit untuk dibandingkan. National Sleep Foundation di Amerika pada tahun 2006 memberikan data bahwa 45% remaja tidak mencapai kebutuhan tidur dalam semalam. Suatu penelitian terhadap 69 remaja berumur 13-17 tahun dengan NKP menunjukkan bahwa 65,7% peserta penelitian tersebut mengalami masalah tidur dengan pemenuhan kebutuhan tidur yang tidak mencukupi (Gilman dkk., 2007). Sahota dan Dexter mengajukan klasifikasi kompleks mengenai NKP yang berhubungan dengan gangguan tidur seperti yang dikutip oleh Dodick dkk. (2003) pada Tabel 2.4 berikut ini. Tabel 2.4 Klasifikasi Nyeri Kepala Terkait dengan Komponen Tidur (Dodick dkk, 2003) Hubungan antara Nyeri Kepala dan Tidur Nyeri kepala yang berkaitan dengan tidur (selama atau setelah tidur) Nyeri kepala yang berkaitan dengan fase-fase tidur Fase III, IV, fase REM : migren Fase REM: nyeri kepala klaster, hemikrania paroksismal kronik Durasi tidur dan nyeri kepala Tidur dalam yang berlebihan Kurangnya waktu tidur Kekacauan pola tidur Nyeri kepala yang diredakan dengan tidur Migren dan jenis nyeri kepala lainnya Gangguan tidur dan nyeri kepala Sleep apnea dan nyeri kepala Somnambulisme dan nyeri kepala Parasomnia lainnya dan nyeri kepala Efek nyeri kepala pada tidur Gangguan pola tidur yang ringan hingga berat Mimpi dan nyeri kepala
37
Paiva dkk. (1997) mengajukan klasifikasi mengenai hubungan antara gangguan tidur dan NKP sebagai berikut : a. Gangguan tidur yang disebabkan oleh nyeri kepala. b. Nyeri kepala yang diinduksi oleh gangguan tidur. c. Nyeri kepala dan gangguan tidur timbul tumpang tindih misalnya TTH dan insomnia yang diinduksi oleh gangguan mood. d. Nyeri kepala dan gangguan tidur muncul pada satu individu namun tidak ada interaksi antara keduanya. 2.4.3
Peranan SCN dan melatonin pada patofisiologi NKP
Hubungan antara gangguan tidur dan NKP secara umum memiliki dasar struktur neuroanatomi dan mekanisme neurofisiologi yang sama, meliputi hipotalamus, serotonin dan melatonin. Aktivasi ARAS di batang otak menyebabkan kondisi terjaga. Pengaruh neurotransmiter kortikal seperti epinefrin, dopamine dan asetilkolin berperan mempertahankan kewaspadaan selama terjaga. Tidur fase NREM dikontrol oleh neuron-neuron GABA di basal otak depan (basal forebrain). Sedangkan generator fase REM terletak di daerah dorsolateral tegmentum pontin. Fase REM diawali oleh pelepasan asetilkolin yang diaktivasi oleh neuron pontin tersebut. Serotonin yang berasal dari nukleus di daerah rafe dorsalis telah diketahui memegang peranan pada migren (Alberti, 2003) Kadar melatonin menurun pada beberapa jenis NKP terutama migren, NKK dan nyeri kepala hipnik. Melatonin memiliki efek terapeutik terhadap nyeri kepala primer melalui efek antioksidan, antiinflamasi dan antinosiseptik. Mekanisme yang mendasari
38
efek protektif melatonin terhadap nyeri kepala belum sepenuhnya jelas. Efek beta endorfin yang mungkin dimiliki oleh melatonin diperkirakan berperanan penting selain mekanisme oksida nitrit dan jalur GABA, glutamat dan opiat endogen. Efek protektif tersebut memungkinkan melatonin digunakan sebagai terapi farmakologi prevensi migren (Bhasyar dkk., 2009). Melatonin berperanan dalam ritme sirkadian dan mungkin memiliki efek terapeutik terutama pada NKK. Nukleus noradrenergik LC dan nukleus serotonergik rafe dorsalis mengontrol siklus bangun tidur dan modulasi nyeri. Serotonin terlibat dalam regulasi tidur dan memegang peranan penting dalam patofisiologi migren. Namun demikian, belum ada penjelasan yang memuaskan mengenai bagaimana kedua hal tersebut saling mempengaruhi (Alberti, 2006; Rain dkk., 2008). Badan pineal adalah organ fotoneuroendokrin yang berbentuk cemara, berada pada pusat otak di belakang ventrikel ketiga. Organ yang kaya vaskular ini menghasilkan
melatonin, peptida (seperti arginin vasotosin) dan sel neuroglial.
Stimulus eksternal dikonversi oleh badan pineal dengan jalan menghasilkan hormon melatonin sebagai respon terhadap sinkronisasi homeostasis internal dan lingkungan (Teron, 2002; Peres, 2005). Lokasi SCN di bagian posterior hipotalamus berhubungan dengan aktivitas korteks oksipital dan nukleus rafe di batang otak sebagai penghasil serotonin. Aktivitas serotonin memiliki ritme sirkadian dan sirkanual dibawah kontrol SCN sebagai pacemaker. Jalur serotonergik seperti traktus serotonergik basal forebrain yang bersifat asenden bermula pada nukleus rafe dan berakhir pada area otak yang
39
berbeda termasuk pada SCN di hipotalamus. Stimulasi nukleus rafe akan menginduksi pengeluaran serotonin pada SCN dan memulai ritme aktivitas sirkadian. Adanya eksistensi
komunikasi
anatomi
antara
SCN
dengan
nukleus
rafe
melalui
neurotransmisi serotonin mungkin dapat menerangkan hubungan antara tidur dengan NKP (Teron, 2002; Peres dkk., 2006). Nyeri kepala primer yang seringkali dihubungkan dengan tidur pada berbagai penelitian adalah migren. Serangan migren pada fase prodromal diawali oleh gangguan fungsional neuronal pada hipotalamus. Gangguan periodisitas sentral di hipotalamus ini dapat dilihat sesuai dengan periodisitas serangan migren dan adanya perubahan emosional oleh mekanisme jalur sistem limbik yang berhubungan dengan hipotalamus. Gangguan fisiologi bioritmik hipotalamus seperti perubahan hormonal, gangguan tidur dan perubahan nafsu makan merupakan beberapa faktor yang sering memicu serangan migren (Teron, 2002). Migren dipicu oleh perubahan siklus internal atau eksternal, misalnya perubahan bioritmik hormonal (menstruasi), siklus bangun tidur dan fase tidur, jet lag, giliran kerja (shift), faktor geoklimatik (siklus musim, perubahan temperatur tekanan barometri, perubahan siklus gelap terang), gangguan afektif atau emosional, perubahan kebiasaan rutin (pola waktu makan, aktivitas istirahat dan akhir pekan). Hal ini menyokong teori gangguan sirkuit serebral dengan mekanisme adaptasi homeostatik (Dodick, 2003). Trigeminal nucleus caudalis di pons dan mesensefalon yang diperkirakan sebagai “generator migren” mengaktivasi struktur vaskuler yang memvaskularisasi nukleus ini
40
selama serangan migren. Gejala migren yang berhubungan dengan fase prodromal dan aura kemungkinan disebabkan oleh aktivitas hipotalamus atau kortikal, misalnya menguap, peningkatan rasa lapar, kelelahan, perubahan mood, distorsi visual dan sensoris. Hipotalamus terhubung dengan sistem limbik, sel-sel melatonin neuronal di badan pineal dan nukleus di batang otak yang mengatur control eferen otonom oleh nukleus traktus solitarius, kontrol motorik dan fase tidur oleh LC dan modulasi nyeri oleh PAG (Alberti, 2006). Berdasarkan polisomnografi yang dilakukan pada penderita migren, terdapat hubungan antara nyeri kepala di malam hari dengan fase REM. Migren yang terjadi saat terjaga, disebabkan oleh pemanjangan fase 3, 4 dan REM. Suatu studi observasional yang dilakukan oleh Kelman dan Rain (2005) menunjukkan adanya keluhan gangguan tidur pada 1283 penderita migren. Penderita TTH kronik mengalami pengurangan waktu tidur tapi tidak spesifik pada fase tertentu, pemanjangan latensi tidur, seringkali terjaga, peningkatan aktivitas motorik di malam hari dan penurunan tidur gelombang lambat. Kecemasan dan depresi komorbid dengan TTH sehingga gangguan tidur khususnya insomnia yang menjadi salah satu gejala depresi juga sering dialami terutama oleh penderita TTH kronik. Hal ini menyokong hipotesis adanya hubungan antara NKP, gangguan tidur dan gangguan psikiatri (Alberti, 2006; Rain dkk., 2008). Bukti-bukti klinis dasar mendukung hubungan tidur, NKK dan jam biologis tubuh. Penelitian lain menunjukkan bahwa pasien NKK dengan obstructive sleep apnea (OSA) akan berisiko mengalami serangan nyeri kepala lebih sering. Perubahan
41
irama sirkadian dan pola sirkanual memicu serangan NKK tersebut. Polisomnogram menunjukkan serangan klaster biasanya timbul antara pukul 9 malam hingga 10 pagi pada sekitar 75% kasus (Dodick dkk., 2003; Rain, 2008; Alberti, 2006). Gejala klinis paling khas dari NKK ini adalah adanya episode alami. Penderita menggambarkan nyeri kepalanya bermula dan berhenti seperti jam, mengikuti irama sikadian, muncul pada pukul tertentu tiap harinya (Rain dkk., 2008). Nyeri kepala hipnik adalah NKP idiopatik dan sangat jarang, hanya sekitar 0,07%0,1% dari seluruh penderita NKP, wanita 1,2-1,7 kali lebih sering daripada laki-laki dengan rata-rata umur dekade 60 tahunan. Serangan nyeri kepala terjadi pada waktu yang sama tiap malam sehingga disebut sebagai “alarm clock headache”. Karakteristik nyeri kepala hipnik adalah nyeri kepala tumpul, bilateral dan intensitasnya sedang. Durasinya sekitar 15-80 menit dengan frekuensi serangan 1-2 kali tiap malam. Fenomena yang menarik terjadi pada penderita nyeri kepala hipnik. Penderita akan menampakkan tingkah laku motorik saat nyeri kepala tersebut muncul, misalnya membaca, menonton televisi, makan, minum, berjalan-jalan adn mandi karena berusaha menghilangkan nyeri kepalanya. Akan tetapi, nyeri kepala tersebut tidak sampai menyebabkan agitasi atau kegelisahan (Alberti, 2006; Diener, 2012). Patofisiologi
nyeri
kepala
hipnik belum
jelas. Serangannya
seringkali
dihubungkan dengan tidur fase REM dengan bukti-bukti polisomnogram. Beberapa faktor yang berperanan dalam mekanisme terjadinya nyeri kepala hipnik, salah satunya adalah OSA. Indeks apnea/hipopnea meningkat pada penderita nyeri kepala hipnik berkorelasi dengan penurunan saturasi oksigen. Voxel Based Morphometry
42
(VBM) memberikan gambaran penurunan kuantitas substansia grisea hipotalamus posterior. Hal ini mempengaruhi fungsi hipotalamus sebagai regulator bangun tidur sekaligus pemroses nyeri sentral. Gangguan kronobiologi pada manusia dibagi menjadi dua jenis, yaitu : (1) gangguan eksternal karena gaya hidup misalnya pekerja bergilir (shift), sindroma jet lag; (2) gangguan internal atau endogen seperti depresi, kelelahan kronik, fibromialgia dan migren (Peres, 2005). Tidur yang baik memainkan peranan penting dalam fungsi restoratif bagi tubuh. Pada manusia, irama sirkadian secara normal muncul pada malam hari bersama-sama dengan sekresi melatonin. Hal ini memunculkan teori bahwa melatonin merupakan fasilitator tidur internal pada manusia yang menginhibisi drive terjaga/bangun dari SCN. Melatonin meningkatkan kecenderungan untuk tidur. Berbagai gangguan neurologi erat kaitannya dengan irama tubuh, harian atau siklus musiman. Malaadaptasi terhadap irama tersebut dikaitkan dengan fungsi badan pineal dan sekresi melatonin. Badan pineal adalah organ fotoendokrin yang merubah stimulus luminasi eksternal menjadi pelepasan hormon yang bertanggung jawab terhadap sinkronisasi antara homeostasis internal dengan lingkungan (Peres, 2005). Gejala klinis nyeri kepala seringkali berfluktuasi. Beberapa penderita melaporkan nyeri kepala yang dialami spesifik pada periode tertentu dalam sehari. Penderita migren episodik (55%) maupun kronis (62,5%) melaporkan NKP yang dialami saat bangun pagi atau terbangun oleh munculnya nyeri kepala di malam hari. Distribusi
43
serangan migren seringkali sesuai dengan siklus estrogen tiap bulannya. Migren yang berhubungan dengan menstruasi mencapai sekitar 55% kasus (Peres, 2005). Penelitian Brun dkk. (1995) menunjukkan penurunan kadar melatonin dalam urin pada wanita penderita migren saat serangan bila dibandingkan pada wanita menstruasi yang tidak mengidap migren. Hal inilah yang mendasari pemikiran bahwa melatonin terlibat dalam patofisiologi migren, terutama migren kronis. Peranan melatonin dalam patofisiologi NKP kronik dimungkinkan oleh adanya efek melatonin seperti yang dipaparkan pada Tabel 2.5 berikut ini. Tabel 2.5 Beberapa Peranan Melatonin dalam Patofisiologi NKP (Peres, 2005) Efek Melatonin Efek anti inflamasi Scavenging radikal bebas toksik Inhibisi aktivitas oksida nitrit sintase Inhibisi pelepasan dopamin Stabilisasi membran Potensiasi GABA dan analgesik opoid Proteksi neurotoksisitas glutamat Regulasi neurovaskular Modulasi serotonin
Melatonin adalah molekul yang bertanggung jawab terhadap sinkronisasi internal tubuh dengan lingkungan. Dalam hubungannya dengan NKP, dalam hal ini migren, melatonin diperkirakan berperan dalam terjadinya cortical spreading depression (CSD) melalui efeknya terhadap sistem oksida nitrit, GABA dan glutamatergik. Mekanisme lain berupa keterlibatan melatonin dalam patofisiologi migren dan
44
gangguan psikiatri yang komorbid mungkin melalui sistem serotonergik dan dopaminergik (Peres, 2005). Migren kronik merupakan sindrom kompleks yang berhubungan dengan berbagai kondisi termasuk gangguan cemas menyeluruh (70%), insomnia (71%), dan depresi mayor (80%). Penyebab dan mekanisme migren kronik masih belum jelas. Sejumlah mekanisme diduga bertanggung jawab terhadap timbulnya migren kronik, yaitu sensitisasi sentral, adanya gangguan pada modulasi nyeri sentral, disfungsi hipotalamus, serta kombinasi keempat mekanisme tersebut (Bruera dkk., 2008). Sekresi melatonin oleh badan pineal secara substansial ditekan oleh paparan cahaya. Penderita migren akan lebih rentan terhadap serangan sepanjang musim panas saat siang hari dan berlangsung hampir sepanjang hari selama beberapa bulan. Disfungsi hipotalamus juga diduga berperanan dalam timbulnya TTH kronik (Bruera dkk., 2008). Hampir 50% serangan migren timbul saat pukul 4 dan 9 pagi mengikuti irama sirkadian. Namun serangan migren dikatakan tidak memiliki hubungan dengan stadium tidur. Penderita mungkin saja terbangun karena serangan migren di luar tidur fase REM atau serangan tersebut muncul pada stadium 3 dan 4 tidur NREM. Enam puluh persen pasien dengan migren melaporkan adanya rasa gembira yang berlebihan (euforia patologis), iritabilitas, depresi, lapar, haus dan mengantuk sepanjang 24 jam mendahului munculnya serangan nyeri kepala. Gejala-gejala tersebut merupakan gejala yang berasal dari disfungsi hipotalamus. Kemunculan migren yang dipicu oleh siklus alami tubuh atau siklus lingkungan (perubahan hormonal saat menstruasi, siklus
45
bangun tidur) mengindikasikan mekanisme hipotalamus, sehingga migren diduga merupakan gangguan sirkuit serebral dengan mekanisme homeostatik adaptif (Bruera dkk., 2008). Suatu penelitian yang dilakukan pada penderita NKK yang mengalami serangan nyeri kepala melaporkan adanya penurunan konsentrasi melatonin secara bermakna. Kadar melatonin nokturnal menurun pada saat serangan bila dibandingkan dengan kadar melatonin saat remisi (Bruera dkk., 2008). Penurunan kadar melatonin mencapai level terendah pada saat tidur REM pukul 2 dan pukul 3 dini hari dimana pada waktu-waktu tersebut terjadi serangan nyeri kepala. Nyeri yang diinduksi oleh stres tidak dapat menjelaskan bagaimana kadar melatonin menurun saat serangan karena di lain pihak stres memicu pengeluaran norepinefrin endogen yang sebenarnya meningkatkan produksi melatonin. Dari sudut pandang biokimia, kadar melatonin yang rendah mungkin disebabkan oleh penurunan kadar serotonin yang diperlukan untuk sintesis hormon tersebut (Bruera dkk., 2008). Serangan NKK timbul pada musim semi dan musim gugur saat siklus gelap dan terang mengalami perubahan. Berbagai indikator yang memungkinkan sebagai petunjuk keterlibatan hipotalamus pada NKP adalah dengan melihat efek terapi litium pada pasien NKK, perubahan sekresi kortisol dan perubahan regulasi aksis HPA (Bruera dkk., 2008).
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1
Kerangka Berpikir Diagram di bawah ini menunjukkan landasan teori hubungan antara gangguan
tidur (gangguan kualitas, kuantitas, dan bentuk-bentuk gangguan tidur seperti insomnia, dan lain-lain) dengan nyeri kepala primer (NKP).
Gambar 3.1 Bagan Kerangka Berpikir
46
47
Kerangka teori di atas menberikan gambaran bagaimana tidur berpengaruh terhadap NKP terutama pada remaja. Maturasi sel-sel yang berkembang pada remaja, ketidakseimbangan hormonal, dan faktor eksternal/sosial sangat mempengaruhi pola kronobologi remaja. Remaja cenderung mengalami disinkronisasi pola diurnal dan nokturnal lingkungan dengan irama sirkadian tubuhnya sehingga terjadi perubahan atau gangguan pola kronobiologi yang menyebabkan timbulnya sleep deprivation (SD). Menurunnya kualitas dan kuantitas tidur serta beberapa jenis bentuk gangguan tidur merupakan akibat dari adanya SD jangka panjang yang berdampak pada berbagai sistem organ sehingga terjadi gangguan dalam tubuh. Hipotalamus, khususnya SCN yang berfungsi sebagai pengatur siklus bangun-tidur diduga memiliki peranan penting dalam mencetuskan berbagai NKP, terutama NKK, migren dan TTH kronik. Adanya disfungsi hipotalamus, dan munculnya serangan migren yang berpola sesuai siklus tertentu (misalnya serangan migren yang muncul saat siklus menstruasi) mendasari teori bahwa SCN memliki peranan penting dalam menimbulkan NKP. Penurunan plasma melatonin terjadi pada penderita NKP yang juga semakin menyebabkan bertambah beratnya gangguan tidur. Hiperaktivitas aksis HPA sebagai penghasil kortisol yang merupakan hormon stres diduga memiliki peranan pula dalam hal memperberat terjadinya SD pada remaja. Sleep deprivation juga mempengaruhi fungsi nukleus-nukleus serotonergik dan adrenergik pada midbrain dan batang otak, seperti misalnya nukleus rafe dorsalis, LC, serta nukleus pada PAG yang juga diketahui merupakan struktur anatomi yang berperanan dalam jalur nyeri kepala.
48
3.2
Konsep Penelitian Diagram di bawah ini menunjukkan hubungan antar variabel yang tertuang dalam
konsep penelitian. Variabel terikat adalah nyeri kepala primer, sedangkan variabel bebas adalah kualitas tidur, jenis kelamin, obesitas, kelelahan, stres, depresi dan kecemasan. Variabel pengganggu terdapat dalam kotak dengan garis putus-putus. Variabel pengganggu dieksklusi melalui rancangan penelitian. Variabel terkendali dikendalikan melalui analisis penelitian.
Gambar 3.2 Bagan Konsep Penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan masalah penelitian dapat dibuat hipotesis sebagai berikut : Terdapat korelasi antara kualitas tidur yang buruk dengan NKP pada siswa-siswi SMA Negeri 1 Amlapura.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1
Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangan
potong lintang. Pengambilan subjek berdasarkan probability sampling yaitu simple random sampling. Kerangka penelitian dapat digambarkan dalam diagram berikut :
Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian
4.2
Dinilai pada satu periode waktu
Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel dilakukan di SMA Negeri 1 Amlapura di Kabupaten
Karangasem pada minggu pertama bulan September 2014. 4.3
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup penelitian di bidang neurologi
khususnya subdivisi nyeri kepala dan gangguan tidur.
49
50
4.4
Penentuan Sumber Data Subjek penelitian diambil dari populasi target dan populasi terjangkau. Sumber
data dikumpulkan langsung dari subjek penelitian (sebagai data primer). Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan lembar pengumpulan data atau kuesioner dan pemeriksaan klinis. Sampel terpilih (eligible sample) pada penelitian ini adalah subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 4.4.1 Populasi target Siswa-siswi semua SMA di Kabupaten Karangasem. 4.4.2 Populasi terjangkau Siswa-siswi SMA Negeri 1 Amlapura. 4.4.3 Kriteria inklusi Subjek yang memenuhi kriteria eligibilitas kasus dari penelitian ini yaitu siswasiswi SMA Negeri 1 Amlapura kelas 1, 2 dan 3. 4.4.4 Kriteria eksklusi 1. Menderita demam karena infeksi sistemik maupun intrakranial. 3. Riwayat trauma kepala ringan hingga berat setidaknya 3 bulan sebelumnya. 4. Menderita masalah atau gangguan sekitar kepala (gigi geligi, sendi temporomandibular, leher, telinga hidung tenggorokan, mata). 5. Telah didiagnosis menderita tumor otak, penyakit autoimun, gangguan vaskular. 6. Mengkonsumsi alkohol, kopi dan/atau minuman yang mengandung kafein, maupun obat-obatan yang dapat menginduksi nyeri kepala
51
4.5
Sampel
4.5.1 Besar sampel Penghitungan besar sampel pada penelitian ini memakai rumus besar sampel untuk penelitian analitik korelatif sebagai berikut (Dahlan, 2009) : n = (Zα)2 P Q d2 Keterangan : Zα =
= (1,96)2X 0,45 X (1-0,45) 0,12
Kesalahan tipe I ditetapkan 5 % = 1,96
d=
Tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki ditetapkan sebesar 10%
Q=
1-P
P =
Proporsi gangguan tidur pada remaja dengan NKP yaitu 65,7% (Gilman dkk, 2007).
Berdasarkan penghitungan dengan menggunakan rumus di atas ditetapkan jumlah sampel minimal sebesar 96 orang. 4.5.2 Teknik pengambilan sampel Pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan probability sampling yaitu simple random sampling. 4.6
Variabel Penelitian
4.6.1 Identifkasi variabel 1. Variabel tergantung : NKP. 2. Variabel bebas : kualitas tidur, jenis kelamin, obesitas, kelelahan, stres, depresi dan kecemasan.
52
3. Variabel penganggu : konsumsi alkohol, konsumsi kopi dan/atau minuman berkafein, tumor otak, demam, trauma kapitis, gangguan vaskularisasi otak dan penyakit otoimun. 4.6.2 Definisi operasional variabel 1. Jenis kelamin adalah jenis kelamin penderita berdasarkan yang tercatat pada kartu pelajar, yaitu laki- laki dan perempuan. Data berskala kategorikal nominal. 2. Usia remaja adalah usia peralihan antara kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan biologik, psikologik, dan sosial, yang dimulai saat terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun (Soetjiningsih, 2004; Notoatmodjo, 2007). Data disajikan dalam skala non kategorikal. 3. Kualitas tidur merupakan gambaran subjektif tentang kemampuan untuk mempertahankan waktu tidur serta tidak adanya gangguan yang dialami sepanjang waktu tidur yang diukur dengan menggunakan kuesioner standar (Van Cauter dkk, 2007; Agustin, 2012). Kualitas tidur diukur secara subjektif diukur dengan PSQI dengan pemeriksaan 7 komponen yaitu latensi, durasi, kualitas, efisiensi kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan gangguan fungsi tubuh di siang hari (Buysse, 1989). Validitas instrumen PSQI pada penelitian yang dilakukan oleh Cunha dkk. (2008) adalah 0,89, sedangkan reliabilitas 0,88 (Cueller dkk., 2008). Data disajikan dalam skala kategorikal nominal. - Kualitas tidur baik bila skor PSQI < 5 - Kualitas tidur buruk bila skor PSQI > 5
53
4. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala tanpa disertai adanya penyebab struktural organik, yang dapat digolongkan menjadi migren, TTH, NKK, dan NKP lainnya (PERDOSSI, 2013). Migren adalah nyeri kepala berulang dengan manifestasi serangan selama 4-72 jam. Karakteristik nyeri kepala unilateral, berdenyut, intensitas sedang-berat, bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin dan diikuti oleh nausea dan/atau fotofobia dan fonofobia (PERDOSSI, 2013). Tension type headache adalah nyeri kepala episodik yang infrequen berlangsung beberapa menit sampai beberapa hari. Nyeri bilateral, rasa menekan atau mengikat dengan intensitas ringan sampai sedang. Nyeri tidak bertambah pada aktivitas fisik rutin, tidak didapatkan mual tapi bisa ada fotofobia atau fonofobia (PERDOSSI, 2013). Nyeri kepala klaster (NKK) adalah nyeri kepala yang hebat, unilateral di orbita, supraorbita, temporal atau kombinasi dari tempat-tempat tersebut, berlangsung 1180 menit dan terjadi dengan frekuensi sekali sehari tiap 2 hari sampai 8 kali dalam sehari. Serangannya disertai satu atau lebih sebagai berikut : semuanya ipsilateral: injeksi konjungtival, lakrimasi, kongesti nasal, rinoroea, berkeringat di kening dan wajah, miosis, ptosis, udem palpebra. Selama serangan sebagian besar pasien gelisah atau agitasi (PERDOSSI, 2013). Nyeri kepala primer tipe lainnya adalah NKP selain golongan migren, TTH dan klaster, misalnya nyeri kepala yang digolongkan pada diagnosis sebagai berikut : primary stabbing headache, primary cough headache, primary exertional
54
headache, NKP sehubungan dengan aktivitas seksual, HH, primary thunderclap headache, hemikrania kontinua, new daily persistent headache (PERDOSSI, 2013). Data disajikan dalam bentuk skala kategorikal nominal. 5. Obesitas adalah suatu kondisi abnormal atau penumpukan lemak berlebihan dari yang diperlukan untuk fungsi tubuh yang normal. Obesitas ditentukan dengan menghitung nilai indeks massa tubuh (IMT) (WHO, 1998). Rumus IMT adalah sebagai berikut : IMT = Berat Badan (BB) dalam (kg) Tinggi Badan (TB)2 dalam (m2) - Iya
: bila IMT ≥ 30,0 kg/m2
- Tidak
: bila IMT < 30,0 kg/m2
Data disajikan dalam skala kategorikal nominal. 6. Kelelahan adalah suatu perasaan yang menyebar yang disertai dengan adanya penurunan kesiagaan dan kelambanan pada setiap aktivitas yang ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk bekerja yang disebabkan oleh monotoni, intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan, sebab-sebab mental, status kesehatan, dan keadaan gizi. Kelelahan secara subjektif diukur dengan kuesioner The Subjective Symptoms Test (SST). Jawaban untuk kuesioner SST dibagi menjadi empat kategori dengan nilai yaitu sangat sering (3), sering (2), kadangkadang (1), tidak pernah (0)
55
Interpretasi tingkat kelelahan menurut kuesioner : -
Nilai ≤ 30
-
Nilai 31-60 : kelelahan ringan
-
Nilai 61-90 : kelelahan sedang
-
Nilai 91-120 : kelelahan berat (Tarwaka, 2009).
: tidak ada kelelahan
Data disajikan dalam bentuk skala kategorikal nominal ya (ada kelelahan dengan nilai SST ≤ 30, dan bila ada kelelahan dengan nilai SST >30). 7. Stres adalah tekanan psikis akibat adanya tuntutan dalam diri dan lingkungan, misalnya tuntutan belajar menjelang ujian, menghadapi masalah keluarga atau hubungan antar teman (Rathus dan Nevid, 2002). Depresi adalah suasana hati (afek) atau hilang minat atau kesenangan dalam semua aktivitas selama sekurang-kurangnya 2 minggu, disertai beberapa gejala berhubungan (Maslim, 2004). Kecemasan adalah suatu keadaan patologis yang ditandai oleh perasaan ketakutan disertai tanda somatik pertanda sistem saraf otonom yang hiperaktif (Kaplan dan Saddock, 1997). Depresi, kecemasan dan stres diukur dengan Depression Anxiety Stress Scale (DASS) 42 (Lovibond, 1995; Crowford dan Henry, 2003; Kholifah, 2013). Data disajikan dalam bentuk skala kategorikal nominal. -
Depresi (ada) : bila skor DASS 42 untuk depresi >9 Tidak ada : bila skor DASS untuk depresi 0-9
-
Kecemasan (ada) : bila skor DASS 42 untuk kecemasan >7
56
Tidak ada : bila skor DASS 42 untuk kecemasan 0-7 -
Stres (ada) : bila skor DASS 42 untuk stress >14 Tidak ada : bila skor DASS 42 untuk stres 0-14
8. Konsumsi kopi dan/atau minuman mengandung kafein lainnya adalah kebiasaan mengkonsumsi kopi dan/atau minuman yang mengandung kafein sejumlah 3-4 cangkir selama tiga bulan terakhir (Shirlow dan Mathers, 1984; Hagen, 2009). Data disajikan dalam bentuk data berskala kategorikal nominal. - Iya
: bila mengkonsumsi kopi dan/atau minuman yang mengandung kafein sejumlah 3-4 cangkir sehari, selama 3 bulan terakhir.
-Tidak : bila tidak mengkonsumsi kopi dan/atau minuman yang mengandung kafein sejumlah 3-4 cangkir dalam sehari, selama 3 bulan terakhir. 9. Konsumsi alkohol yaitu konsumsi minuman yang mengandung alkohol dalam waktu paling lama 24 jam sebelum timbulnya serangan nyeri kepala. Data disajikan dalam bentuk skala kategorikal nominal ya dan tidak. 10. Tumor otak merupakan lesi ekspansif yang bersifat jinak atau ganas yang membentuk massa dalam ruang tengkorak otak (intra kranial) dan menyebabkan meningkatnya tekanan intra kranial. Manifestasi klinik tumor otak adalah nyeri kepala yang disertai dengan perubahan status mental, kejang atau bangkitan, muntah, vertigo, kelemahan separuh tubuh, pandangan kabur atau ganda (Price dan Wilson, 2006). 11. Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas normal, diukur secara aksila >37,5oC (High dkk., 2009).
57
12. Trauma kapitis adalah cedera mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (PERDOSSI, 2006). 13. Gangguan vaskularisasi otak merupakan gangguan fungsional otak akibat adanya gangguan pada aliran darah atau pembuluh darah intrakranial yang disebabkan oleh stroke, trombosis vena serebral, artery-venous malformation, vaskulitis dengan manifestasi klinis berupa defisit neurologis fokal ataupun global. 14. Penyakit otoimun adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya respon imun terhadap antigen spesifik yang dihasilkan oleh tubuh sendiri yang menyebabkan berlangsungnya kerusakan jaringan. Manifestasi klinis penyakit otoimun dalam hal ini Lupus serebri adalah adanya gangguan neuropsikiatri berupa nyeri kepala, kejang, kelemahan separuh tubuh, gangguan gerak, gangguan visual dan sebagainya (Wallace, 2008). 4.7
Instrumen Penelitian Data primer diperoleh dari penderita melalui wawancara aktif menggunakan
lembar pengumpulan data atau kuesioner. Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengukur kualitas tidur subjek penelitian adalah PSQI. Instrumen ini merupakan suatu kuesioner yang mengukur kualitas tidur yang telah banyak digunakan pada penelitian-penelitian yang menilai kualitas tidur di luar maupun dalam negeri. Kuesioner PSQI terdiri dari 7 kelompok dengan total 19 buah pertanyaan tentang kebiasaan-kebiasaan tidur seseorang dalam
58
sebulan terakhir. Untuk menilai efisiensi tidur pada komponen nomor 4 berdasarkan hasil penjumlahan dan pembagian nilai yang diperoleh dari skor item pertanyaan nomor 1, 3, 4. Penghitungannya adalah dengan menjumlahkan lamanya waktu tidur (dalam jam) dibagi waktu lamanya di atas tempat tidur kemudian dikalikan 100%. Jika hasilnya >85% diberi skor 0, 75-84% diberi skor 1, 65-74% diberi skor 2, dan <65% diberi skor 3. Total skor kuesioner PSQI diperoleh dengan menjumlahkan skor 1-7 dengan rentang 0-21. Skor tinggi menunjukkan kualitas tidur yang buruk (Buysse, 1989). Pertanyaan-pertanyaan tersebut dikelompokkan ke dalam 7 sub bagian yaitu : 1.
Kualitas tidur subjektif
2.
Latensi tidur
3.
Durasi tidur
4.
Efisiensi kebiasaan tidur
5.
Gangguan tidur
6.
Penggunaan obat-obat tidur
7.
Gangguan fungsi harian Berdasarkan respon terhadap pertanyaan tersebut, masing-masing sub bagian akan
dikalkulasi dalam skala Likert 0 sampai 3. Angka 0 menunjukkan tidak adanya kebiasaan tersebut, sedangkan angka 3 menunjukkan presentasi yang tinggi dari kebiasaan tersebut. Semua subbagian dijumlahkan untuk mendapatkan nilai total dengan rentang nilai 0-21. Instrumen ini telah mengalami uji reliabilitas, dengan koefisien korelasi interclass (r)=0,87. Uji validitas PSQI yang dilakukan pada
59
penelitian kualitas tidur di Indonesia pada 30 orang responden mendapatkan hasil nilai Cronbach alpha 0,766 ( Buysse dkk, 1989; Backhaus dkk, 2002, Agustin, 2012). Instrumen lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah DASS 42 menilai ada tidaknya depresi, kecemasan, dan stres sedangkan untuk mengukur ada tidaknya kelelahan menggunakan instrumen SST. Instrumen DASS 42 terdiri dari 42 item pertanyaan yang terdiri dari 3 subvariabel yaitu fisik, psikologi dan perilaku. Nilai depresi, kecemasan, dan stres ditentukan oleh nilai dari komponen DASS yang relevan untuk
masing-masing
kriteria.
Komponen
DASS
untuk
depresi
adalah
3,5,10,13,16,17,21,24,26,31,34,37,38,42. Kecemasan diukur oleh komponen nomor 2,4,7,9,15,19,20,23,25,28,30,36,40,41. Sedangkan stres ditunjukkan oleh komponen 1,6,8,11,12,14,18,22,27,29,32,33,35,39 Instrumen ini telah melalui uji reliabilitas dan validitas berdasarkan penilaian Cronbach’s alpha sebesar 0,91 (Lovibond, 1995; Crawford dan Henry, 2003; Kholifah, 2013). 4.8
Prosedur dan Alur Penelitian
Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian
60
4.9
Analisis Penelitian Analisis hasil penelitian akan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut
di bawah ini : 1. Analisis deskriptif digunakan untuk menentukan karakteristik subjek penelitian berdasarkan umur, jenis kelamin, ,obesitas, kelelahan, kecemasan, stres dan depresi. 2. Korelasi antara kualitas tidur dengan NKP dianalisis dengan uji korelasi koefisien kontingensi karena kedua variabel berskala nominal setara.
Uji korelasi akan
menunjukkan hasil kekuatan korelasi (r) dengan interpretasi sangat lemah (r=0,000,199), lemah (r=0,20-0,399), sedang (r=0,40-0,599), kuat (r=0,60-0,799), dan sangat kuat (r=0,80-1,00). Korelasi dikatakan bermakna antara kedua variabel yang diuji apabila nilai p<0,05. Arah korelasi searah apabila nilai r positif (Dahlan, 2009). 3. Seluruh data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisis dengan program SPSS 16.0 for windows.
BAB V HASIL PENELITIAN
Dari 150 siswa kelas 2 SMA Negeri 1 Amlapura, 96 subjek memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sedangkan siswa kelas 1 dan 3 tidak terlibat karena mengikuti ujian semester. Berikut merupakan tabel karakteristik subjek penelitian. Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Karakteristik
Jumlah N
%
Umur - 15 tahun - 16 tahun - 17 tahun
5 80 11
5,20 83,30 11,50
Jenis kelamin - Laki-laki - Perempuan
51 45
53,10 46,90
IMT -
89 7
92,70 7,30
Kelelahan - Tidak ada - Ada
1 95
1,05 98,95
Depresi - Tidak ada - Ada
56 40
58,34 41,66
Kecemasan - Tidak ada - Ada
44 52
45,84 54,16
Stres - Tidak ada - Ada Jumlah total subjek
49 47 96
51,05 48,95 100
Tidak obesitas Obesitas
61
62
Berdasarkan Tabel 5.1 di atas maka dapat diketahui bahwa subjek penelitian merupakan remaja dengan rentang umur 15 tahun sampai 17 tahun. Kelompok terbesar adalah subjek dengan umur 16 tahun yaitu 83,30%. Subjek penelitian adalah remaja siswa-siswa SMA Negeri 1 Amlapura yang diambil dari kelas 1, 2, maupun kelas 3. Perbandingan persentase subjek laki-laki dan perempuan pada penelitian ini adalah 53,10% : 46,90%. Jumlah subjek laki-laki dan perempuan pada penelitian ini tidak jauh berbeda. Penelitian ini juga menggolongkan subjek berdasarkan IMT. Sebagian besar peserta tidak tergolong obesitas, hanya sekitar 7,30% subjek penelitian dengan IMT sesuai obesitas. Hampir seluruh subjek penelitian mengalami kelelahan (98,95%), demikian pula sebanyak 54,16% subjek penelitian mengalami kecemasan. Subjek penelitian sebagian besar tidak mengalami depresi (58,34%) dan stres ( 51,05%). Tabel 5.2 berikut ini menunjukkan gambaran kualitas tidur subjek penelitian sesuai dengan jenis kelamin. Tabel 5.2 Kualitas Tidur Berdasarkan Jenis Kelamin Kualitas Tidur Baik Buruk Total
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan n % N % 17 33,33 10 22,22 34 66,67 35 77,78 51 100,00 45 100,00
Total n (%) 27 (28,13) 69 (71,87) 96 (100,00)
63
Tabel 5.2 di atas menunjukkan kualitas tidur subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin. Persentase subjek penelitian dengan kualitas tidur buruk hampir sama antara laki-laki dan perempuan yaitu 66,67% dan 77,78%. Sedangkan perbandingan persentase subjek penelitian laki-laki dan perempuan dengan kualitas tidur baik adalah 33,34% dan 22,24%. Tabel 5.3 Kualitas Tidur Berdasarkan IMT Kualitas Tidur Baik Buruk Total
IMT Obesitas n 1 6 7
% 14,28 85,72 100,00
Tidak Obesitas n % 26 29,21 63 70,79 89 100,00
Total n (%) 27 (28,13) 69 (71,87) 96 (100,00)
Tabel 5.3 diatas menunjukkan bahwa hampir seluruh subjek penelitian dengan obesitas mengalami tidur kualitas buruk (85,72%), sedangkan 70,79% subjek penelitian dengan IMT normal juga mengalami kualitas tidur yang buruk. Tabel 5.4 berikut memberikan gambaran mengenai proporsi NKP yang dialami oleh remaja subjek penelitian ini. Tabel 5.4 Proporsi NKP Berdasarkan Jenis Kelamin Nyeri kepala Tidak ada Ada Total
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan n % n % 9 17,64 5 11,11 42 82,35 40 88,89 51 100,00 45 100,00
Total n (%) 14 (14,58) 82 (85,42) 96 (100,00)
64
Sejumlah 82 orang (85,42%) subjek penelitian mengalami NKP. Empat puluh dua orang diantaranya (82,35%%) adalah subjek laki-laki, sedangkan sisanya adalah perempuan (88,89%). Korelasi antara kualitas tidur dengan NKP dapat dilihat pada Tabel 5.5 berikut ini. Sedangkan nilai korelasi faktor-faktor lain dengan NKP dapat dilihat pada Tabel 5.6 berikutnya. Tabel 5.5 Korelasi Kualitas Tidur dengan NKP Kualitas Tidur
NKP
Total n (%)
Baik
Tidak Ada n % 11 40,74
Ada N 16
% 59,26
27 (100,00)
Buruk
3
4,35
66
95,65
69 (100,00)
Total
14
14,58
82
85,42
r
p
0,421 <0,001
96 (100,00)
Tabel 5.5 di atas memberikan informasi mengenai jumlah subjek penelitian dengan kualitas tidur baik ataupun buruk yang mengalami NKP. Enambelas orang subjek penelitian dengan kualitas tidur baik mengalami NKP (59,26%) demikian pula 66 orang subjek penelitian dengan kualitas tidur yang buruk mengalami NKP (95,65%). Sebelas orang subjek penelitian dengan kualitas tidur baik (40,74%) tidak mengalami NKP, sedangkan sisanya sebanyak 3 orang subjek penelitian (4,35%) dengan kualitas tidur yang buruk tidak mengalami NKP. Berdasarkan uji korelasi koefisien kontingensi antar dua variabel nominal yang setara maka terdapat korelasi yang signifikan antar kedua variabel tersebut (p<0,05) dengan besaran nilai korelasi antar keduanya adalah 0,421 (r=0,400-0,599) yang
65
menunjukkan kekuatan korelasi sedang (Dahlan, 2004). Kesimpulan data di atas adalah kualitas tidur yang buruk berkorelasi cukup erat dengan adanya NKP pada remaja pada subjek peserta penelitian ini. Tabel berikut menunjukkan korelasi jenis kelamin, obesitas, depresi, kecemasan, stres dan kelelahan dengan NKP. Tabel 5.6 Korelasi Faktor-Faktor Lain dengan NKP NKP Faktor-faktor lain
r
p
51 (53,12) 45 (46,88) 96 (100)
0,365
0,092
91,46 8,54 100
89 (92,70) 7 (7,70) 96 (100)
0,115
0,256
48 34 82
58,54 41,46 100
56 (58,33) 40 (41,67) 96 (100)
0,010
0,922
57,14 42,86 100
36 46 82
43,90 56,10 100
44 (45,83) 52 (54,17) 96 (100)
0,358
0,093
9 5 14
64,28 35,72 100
40 42 82
48,78 51,22 100
49 (51,04) 47 (48,96) 96 (100)
0,109
0,283
0 14 14
0,00 100 100
1 81 82
1 (1,05) 95 (98,95) 96 (100)
0,402
0,678
Tidak Ada n %
Ada N
%
Jenis kelamin - Laki-laki - Perempuan Total
9 5 14
64,28 35,72 100
42 40 82
51,21 48,79 100
IMT - Tidak obesitas - Obesitas Total
14 0 14
100 0 100
75 7 82
Depresi - Tidak ada - Ada Total
8 6 14
57,15 42,85 100
Kecemasan - Tidak ada - Ada Total
8 6 14
Stres - Tidak ada - Ada Total Kelelahan - Tidak ada - Ada Total
1,22 98,78 100
Total n (%)
66
Tabel 5.6 di atas menunjukkan nilai korelasi (p) dan besarnya korelasi (r) antara beberapa faktor lain dengan NKP. Masing-masing faktor tersebut menunjukkan korelasi yang tidak bermakna dengan NKP.
BAB VI PEMBAHASAN
6.1
Karakteristik Subjek Penelitian Nyeri kepala merupakan masalah kesehatan yang sering timbul pada remaja.
Nyeri kepala primer (NKP) yang berulang merupakan faktor risiko terjadi nyeri kepala kronik di kemudian hari. Berbagai jenis NKP menurunkan kualitas hidup remaja dan merupakan penyebab utama ketidakhadiran siswa di sekolah. Namun demikian penelitian berbasis populasi yang menilai prevalensi NKP pada remaja masih terbatas. Prevalensi NKP memiliki rentang yang sangat luas yaitu sekitar 0,9% sampai 72,3% (Fendrich dkk., 2007). Penelitian ini mengambil sampel subjek remaja usia sekolah menengah atas (SMA) dengan rentang umur 15-17 tahun. Kelompok terbesar adalah subjek dengan umur 16 tahun yaitu 83,30%. Perbandingan persentase laki-laki dan perempuan pada penelitian ini tidak terpaut jauh yaitu 53,10% : 46,90%. Suatu penelitian berbasis populasi di Swedia dengan 237 sampel remaja sekolah menengah pertama dan lanjut dengan rentang usia 12-18 tahun. Jumlah sampel dengan usia 15-16 tahun sekitar 26,6%, dengan jumlah subjek perempuan lebih banyak daripada laki-laki dengan perbandingan 57% : 43% (Larsson dan Fichtel, 2014). Penelitian ini mengambil data karakteristik subjek sesuai dengan IMT. Sebagian besar subjek penelitian (92,70%) tidak mengalami obesitas, sedangkan subjek penelitian yang mengalami obesitas hanya 7,30%.
67
68
Seperti halnya nyeri kepala dan masalah tidur, obesitas juga merupakan masalah yang sering dialami oleh remaja. Data yang diambil dari tahun 2003-2006 menunjukkan bahwa sekitar 16,3% remaja memiliki IMT sesuai dengan kriteria obesitas. Angka tersebut diperkirakan akan terus bertambah. Obesitas dihubungkan dengan berbagai kondisi medis pada anak dan remaja diantaranya masalah psikologis, hipertensi pada anak dan remaja, diabetes melitus, gangguan tidur dan meningkatnya risiko gangguan serebrovaskular dan kardiovaskular (Palkanis dan Kring, 2012). Data mengenai efek obesitas terhadap kejadian nyeri kepala masih terbatas. Suatu penelitian yang berfokus pada IMT dan nyeri kepala pada anak dan remaja menunjukkan bahwa prevalensi obesitas pada remaja sebanyak 17,1%. Semakin meningkat IMT semakin meningkat pula frekuensi nyeri kepala dan disabilitas yang disebabkan oleh nyeri kepala. Risiko terjadinya nyeri kepala meningkat empat kali lipat pada remaja perempuan dengan obesitas (Palkanis dan Kring, 2012). Menurut Bellini dkk. (2013) melaporkan berbagai gangguan psikiatri yang merupakan komorbidi dari suatu NKP kronik pada remaja dan diperkirakan dapat menjelaskan bagaimana hubungan antara status psikiatri penderita dengan memberatnya gejala NKP. Hasil penelitiannya menunjukkan 29,6% subjek dengan NKP memenuhi kriteria paling tidak mengalami satu diagnosis gangguan psikiatri. Gangguan cemas merupakan gangguan psikiatri tersering yaitu sekitar 16,6%. Sedangkan hanya sekitar 9,46% penderita NKP kronis yang memenuhi kriteria diagnosis gangguan depresi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan angka kecemasan, stres dan depresi cukup tinggi.
69
Kelelahan merupakan suatu kondisi yang komorbid pula pada penderita NKP. Pada penelitian ini didapatkan bahwa hampir seluruh subjek mengalami kelelahan. Tingginya angka kelelahan pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh aktivitas di sekolah yang cukup padat dan sebagian siswa di luar waktu sekolah ikut membantu orang tuanya bekerja. Hal ini didukung oleh penelitian kasus kontrol oleh Spierings dan van Hoof (1997), setelah melakukan penyesuaian terhadap umur dan jenis kelamin, kelelahan ditemukan sekitar 70,3% pada kelompok kasus remaja dengan NKP dan sekitar 60% pada kelompok kontrol. 6.2
Prevalensi NKP dan Kualitas Tidur Remaja Prevalensi NKP pada penelitian ini adalah 85,41% atau sekitar 82 orang dari 96
subjek penelitian. Suatu penelitian tinjauan sistematik yang dilakukan di Kanada terhadap 185 penelitian di beberapa negara Amerika, Asia dan Eropa yang menilai nyeri pada remaja menunjukkan bahwa NKP merupakan keluhan yang tersering dialami oleh remaja dengan prevalensi bervariasi mulai dari 8% sampai 82,9% (King dkk., 2011). Larsson dan Fichtel (2014) memperoleh prevalensi yang cukup tinggi pula pada penelitiannya yaitu 58,4%. Hasil penelitian tersebut juga didukung oleh beberapa penelitian yang dilakukan di Skandinavia, Belanda dan Taiwan yang menunjukkan peningkatan prevalensi nyeri kepala pada remaja usia sekolah sepanjang dekade terakhir. Nyeri kepala primer yang terjadi secara frekuen berdampak pada kualitas hidup anak dan remaja dan menyebabkan peningkatan masalah emosional terutama kecemasan dan depresi serta beberapa keluhan somatik (Larsson dan Fichtel, 2014).
70
Dua penelitian berbasis populasi remaja yang dilakukan di Jerman Barat memperoleh angka prevalensi NKP sangat tinggi yaitu 90,0% dan 75,4% (Fendrich dkk., 2007). Suatu studi tinjauan sistematik lain yang dilakukan di Glasgow, Inggris terhadap 50 penelitian berbasis populasi anak dan remaja yang mengalami NKP dengan metode pengambilan sampel secara acak. Penelitian-penelitian yang dianalisis tersebut dilakukan di negara-negara Eropa dan Asia sepanjang rentang waktu 1 Januari 1990 hingga 31 Desember 2007. Prevalensi NKP yang didapatkan adalah 58,4% (AbuArafeh dkk., 2010). Penelitan lain yang memberikan data prevalensi NKP pada remaja adalah Lima dkk. (2014) di Brazil dengan angka yang cukup tinggi, yaitu 87,8%. Rentang angka prevalensi NKP yang berbeda antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya kemungkinan disebabkan karena perbedaan karakteristik populasi, instrumen atau kuesioner
yang digunakan berbeda dan kondisi
sosiogeografis yang berbeda pula (Lima dkk., 2014). Prevalensi NKP remaja perempuan pada penelitian ini adalah 88,89%. Angka ini lebih besar dibanding dengan prevalensi NKP pada remaja laki-laki yang hanya sekitar 82,35%. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian mengenai NKP yang mengambil populasi remaja melaporkan bahwa prevalensi NKP pada remaja perempuan memang lebih tinggi dibandingkan remaja laki-laki (Fendrich dkk., 2007). Abu-Arafeh dkk. (2010) menunjukkan bahwa prevalensi NKP pada remaja perempuan lebih tinggi dibanding remaja pria dengan rasio odds 1,53, 95% CI.
71
Pada beberapa penelitian menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi NKP pada remaja perempuan berkaitan dengan faktor psikososial yaitu adanya kecemasan dan depresi dan rendahnya kepercayaan diri yang sering menjadi masalah psikologis remaja perempuan (King dkk., 2011). Prevalensi NKP pada remaja perempuan dilaporkan secara bermakna lebih tinggi daripada remaja laki-laki. Perubahan hormonal diperkirakan menjadi salah satu faktor penyebabnya. Adanya perubahan kadar estradiol pada saat fase menstruasi dari siklus ovarium berhubungan dengan munculnya beberapa gangguan neurologi misalnya pada penderita migren (Fendrich dkk., 2007; Lima dkk., 2014). Tidur memainkan peranan penting dalam perkembangan remaja. Selama masa remaja pola tidur secara umum mengalami keterlambatan waktu memulai tidur tetapi remaja dituntut harus bangun lebih cepat untuk berangkat ke sekolah. Keterlambatan fase tidur merupakan akibat dari keterlambatan jam biologis irama sirkadian pada remaja dan adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi misalnya pola tidur orang tua atau aktivitas di sekitar lingkungannya (Sivertsent dkk., 2013). Masalah tidur pada remaja sangat sering terjadi dan dilaporkan memiliki prevalensi yang bervariasi mulai 5% sampai dengan 43% (Reigstad dkk., 2009). Penelitian ini mendapatkan data bahwa 69 dari 96 orang (71,87%) subjek penelitian memiliki kualitas tidur buruk. Remaja perempuan dengan kualitas tidur buruk mencapai 36,45% sedangkan remaja laki-laki 35,42% dari keseluruhan jumlah sampel penelitian. Kualitas tidur yang buruk pada penelitian ini sebagian besar terkait dengan pemanjangan latensi tidur subjek sehingga berdampak pada kualitas tidur
72
secara umum. Pemanjangan latensi tidur ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah aktivitas subjek sebelum tidur seperti bemain dengan telepon seluler dan berkomunikasi dengan teman baik verbal maupun tulisan (media sosial) sampai larut malam. Kemungkinan lain, seperti kecemasan yang dialami subjek menjelang tidur malam akibat beban atau tugas di sekolah yang akan dihadapi keesokan harinya, dapat juga menjadi faktor yang menyebabkan latensi tidur memanjang pada penelitian ini. Guo dkk. (2014) mempublikasikan hasil penelitian tentang gangguan tidur pada remaja di China yang memperoleh angka prevalensi 39,6%. Penelitian lain yang serupa mendukung penelitian tersebut dengan prevalensi 66%-90%. Hasil penelitian tersebut mendukung data-data yang diperoleh dari berbagai penelitian yang dilakukan negara-negara Barat dengan angka prevalensi sekitar 43%. Adanya variasi angka prevalensi mungkin disebabkan oleh perbedaan metode penelitian, populasi, besar sampel, intsrumen penelitian serta lokasi geografi tempat dilakukannya penelitian. Terdapat 2 faktor yang berperan terhadap kebiasaan yang mempengaruhi pola tidur yang baik pada remaja, yaitu ketidakadekuatan pengaturan waktu tidur meliputi waktu bangun tidur yang tidak teratur, terlambat tidur siang dan waktu tidur malam yang kurang sesuai. Faktor yang lain adalah meningkatnya waktu terjaga yang disebabkan oleh penggunaan media elektronik seperti televisi, game di dalam kamar tidur dan kebiasaan mengkonsumsi minuman berkafein. Efisiensi tidur malam yang tidak adekuat karena berbagai faktor tersebut dapat diperbaiki dengan mengambil waktu tidur siang 30-45 menit. Namun demikian perbedaan jadwal waktu tidur harian
73
tidak boleh melebihi 1-2 jam untuk mendapatkan pola tidur yang baik (Mindell dan Meltzer, 2008). Selama masa remaja, terjadi interaksi faktor biologis, psikologis dan sosial yang menyebabkan pemendekan durasi tidur. Hal ini pada akhirnya memberikan dampak terhadap kualitas hidup remaja yang dianalogikan sebagai “the perfect storm”. Durasi tidur yang pendek ini tidak disertai oleh kecukupan kebutuhan tidur sehingga terjadi insufisiensi tidur pada remaja. Masalah tidur yang berkepanjangan menyebabkan penurunan kemampuan remaja di sekolah, meningkatkan kecenderungan munculnya masalah-masalah mental dan berkaitan dengan terjadinya peningkatan insiden kecelakaan lalu lintas pada remaja (Carskadon, 2011; Hysing dkk., 2013). Karakteristik tidur remaja ditandai dengan ketidaksesuaian antara jadwal tidur harian dan pola tidur mingguan serta pergeseran waktu tidur menjadi lebih larut sekitar 1-2 jam pada saat akhir pekan. Sekitar
20%-26% remaja mengalami
pergeseran latensi tidur melebihi 30 menit. Suatu penelitian gangguan tidur pada remaja di Islandia menunjukkan pergeseran rerata latensi tidur sekitar 16,8 menit. Adanya pemanjangan latensi tidur menunjukkan adanya karakteristik suatu gangguan tidur insomnia yang sering dialami remaja sesuai dengan DSM-IV (Hysing dkk., 2013). Beberapa penelitian mengenai pola tidur remaja menunjukkan karakteristik tertentu, yaitu adanya keterlambatan waktu tidur, pemanjangan latensi tidur dan pemendekan durasi tidur, yang menyebabkan insufisiensi tidur sekitar 2 jam setiap harinya dari kebutuhan tidur normal remaja. Remaja wanita memiliki prevalensi lebih
74
tinggi terhadap kecenderungan gangguan tidur ini dibanding remaja laki-laki (Hysing dkk., 2013). 6.3
Korelasi Kualitas Tidur dengan NKP Prevalensi gangguan kualitas tidur dan NKP yang tinggi pada penelitian ini
menunjukkan pentingnya diketahui hubungan antara kedua hal tersebut. Penelitian ini menunjukkan sebanyak 95,65% subjek penelitian dengan kualitas tidur buruk mengalami NKP. Jumlah yang tinggi tersebut memperlihatkan kemungkinan bahwa kualitas tidur yang buruk berhubungan dengan timbulnya NKP pada remaja. Uji statistik menunjukkan adanya korelasi yang bermakna antara kualitas tidur dengan NKP. Nyeri kepala merupakan salah satu keluhan yang paling sering dialami oleh remaja. Menurut data National Health Interview Survey, lebih dari 90% remaja usia 11-21 tahun di Amerika Serikat sering mengeluh nyeri kepala dalam jangka waktu 12 bulan. Gangguan tidur merupakan keluhan yang sering pula dialami oleh remaja dan biasanya menyertai NKP. Nyeri kepala dapat timbul saat tidur maupun saat bangun tidur dan kemungkinan berhubungan dengan stadium tidur. Kualitas tidur buruk dan durasi tidur yang tidak adekuat seringkali mencetuskan nyeri kepala. Meskipun gangguan tidur sering terjadi pada remaja yang mengalami NKP, sangat sedikit penelitian terutama yang berbasis populasi yang memperlihatkan hubungan antara keduanya. Data-data mengenai karakteristik NKP meliputi intensitas, durasi dan
75
frekuensi yang berhubungan dengan kebiasaan tidur masih kurang (Gilman dkk., 2007). Suatu penelitian yang menilai hubungan antara insufisiensi tidur dengan NKP pada remaja melaporkan 65,7% remaja dengan NKP tidak tidur sesuai dengan kebutuhan tidur yang seharusnya. Hal ini didukung oleh laporan dari National Sleep Foundation tahun 2006 yang menunjukkan 45% remaja tidak berhasil mendapatkan tidur optimal tiap malam. Penelitian lain melaporkan bahwa 85% penderita NKP memilih tidur untuk meredakan nyeri kepalanya (Gilman dkk., 2007; Yagihara dkk, 2012). The Third Nord-Trøndelag Health Study yang merupakan penelitian berbasis populasi di Norwegia melaporkan adanya hubungan antara gangguan tidur dengan NKP. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa subjek dengan NKP kronik (terutama migren kronik) berisiko mengalami gangguan tidur 17 kali lebih besar daripada subjek tanpa NKP. Tetapi penelitian tersebut tidak dapat memberikan penjelasan hubungan sebab akibat antara gangguan tidur dengan NKP karena keterbatasan metode penelitian yang digunakan (Odegard dkk., 2012). Salah satu penjelasan yang dapat diterima mengenai hubungan antara gangguan tidur dengan NKP, yaitu nyeri (dalam hal ini NKP) menyebabkan tetap terjaga dan mencegah tidur serta mengubah arsitektur tidur menjadi lebih terfragmentasi sehingga durasi tidur menjadi lebih singkat dan timbul rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari.
76
Teori yang lain mengatakan bahwa kualitas tidur yang buruk dapat mengubah proses modulasi nyeri sehingga menjadi lebih peka terhadap nyeri. Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa sleep deprivation (SD) menyebabkan perubahan sesaat pada sistem kontrol inhibisi nyeri. Konsep hubungan antara gangguan tidur dan NKP tidak meniadakan satu sama lain tetapi menjadi hubungan yang saling mempengaruhi (resiprokal). Suatu penelitian mengenai NKP kronik mengemukakan suatu teori mengenai hubungan NKP dengan gangguan tidur merupakan suatu lingkaran yang tidak terputus. Hal ini dapat menjelaskan suatu NKP episodik dapat berkembang menjadi NKP kronik pada beberapa individu (Odegard dkk., 2012). Pendapat lain menyebutkan bahwa bukan gangguan tidur yang menyebabkan nyeri ataupun sebaliknya tetapi keduanya merupakan fenomena sekunder yang disebabkan oleh disfungsi neurobiologi secara umum. Hipotalamus diperkirakan sebagai tempat utama dimulainya disfungsi neurobiologi. Hipotalamus berhubungan dengan batang otak dalam proses regulasi nyeri dan tidur. Teori ini diperkuat oleh beberapa penelitian lain yang melaporkan adanya aktivasi batang otak serta hipotalamus yang dapat dinilai melalui MRI pada saat terjadi serangan nyeri kepala. Walaupun peranan hipotalamus selama serangan nyeri kepala belum terlalu jelas, beberapa hasil penelitian terakhir menunjukkan adanya hubungan yang kuat terhadap hipotalamus pada penderita NKP khususnya migren dibandingkan dengan penderita TTH. Hal ini diperkirakan karena adanya gangguan tidur dan kantuk yang berlebihan saat siang hari hamper di setiap penderita migren (Montagna, 2006; Alstadhaug, 2008; Odegard dkk., 2012).
77
Hipotalamus posterior mewakili pusat pengaturan utama fungsi otonom sentral, sehingga jika terjadi perubahan pada fungsi homeostatik akan menyebabkan perubahan pada kontrol nyeri. Hipotalamus posterior juga memiliki koneksi yang penting dengan sistem modulasi nyeri, menerima input dari korteks singulatus anterior, nuklues septal lateral, nukleus preoptik, nuklues ventromedial dan lateral talamus serta PAG. Hipotalamus posterior kemudian memproyeksikan serabutnya ke subtalamus, amigdala, dasar dari otak depan, regio limbik dan nukleus trigeminal kaudalis. Hipotalamus dapat menjelaskan hubungan neuroanatomi antara timbulnya NKP dengan gangguan tidur (Alstadhaug, 2008). Selain secara neuroanatomi, teori melatonin juga dapat menjelaskan hubungan antara keduanya. Kadar melatonin yang rendah terdapat pada subjek penderita NKP kronik.
Melatonin
itu
sendiri
merupakan
hormon
dengan
efek
hipnosis.
Ketidakteraturan secara sirkadian badan pineal yang menghasilkan kadar melatonin khususnya dalam jumlah rendah mendasari teori bahwa melatonin memainkan peranan penting terhadap cetusan NKP. Secara biokimia, rendahnya kadar melatonin disebabkan pula karena penurunan ketersediaan serotonin yang diperlukan untuk menghasilkan hormon tersebut (Bruera dkk., 2008). Faktor-faktor psikis dapat menjadi pemicu NKP kronik dan gangguan tidur karena berbagai penelitian yang dilakukan telah membuktikan adanya hubungan kedua kondisi tersebut dengan kecemasan dan depresi. Kecemasan, depresi dan faktor psikososial telah lama diketahui sebagai faktor-faktor pencetus TTH (Grieser, 2010; Odegard dkk., 2012).
78
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara kualitas tidur dengan NKP. Hal ini didukung oleh penelitian Odegard dkk.(2012), setelah melakukan penyesuaian terhadap faktor-faktor demografi (umur, jenis kelamin), latihan, penggunaan obat-obat tidur, status pekerjaan dan kelelahan. Kemudian melakukan analisis multivariat terhadap pengaruh kecemasan dan depresi. 6.4
Korelasi Faktor-Faktor Lain dengan NKP Pada penelitian ini dilakukan uji korelasi beberapa faktor-faktor lain dengan NKP.
Tidak seperti kualitas tidur, tidak terdapat korelasi yang bermakna antara jenis kelamin, obesitas, depresi, kecemasan, stress dan kelelahan dengan NKP. Kemungkinan adanya perbedaan letak geografis, besar sampel, populasi, metode serta instrumen penelitian yang digunakan menyebabkan hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian sebelumnya lebih banyak menggunakan metode kasus kontrol dan kohort untuk mencari hubungan antara nyeri kepala dengan kecemasan, depresi, stres dan kelelahan. Demikian pula kuesioner yang digunakan untuk menjaring subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi pun berbeda dengan penelitian sebelumnya. Suatu penelitian dengan hasil tidak bermakna secara statistik memang merupakan hasil perhitungan yang menunjukkan nilai secara obyektif, namun dari sisi praktis (practical significance) tidak selalu memiliki makna yang sejalan. Suatu penelitian dapat memiliki nilai kemaknaan praktis yang dilandasi oleh pertimbangan akal. Hal ini disebabkan karena bermakna atau tidaknya suatu hasil uji statistik tergantung antara
79
lain jumlah sampel (n) dan variabilitas data. Kemaknaan secara statistik merupakan pernyataan mengenai probabilitas keluaran spesifik (likehood) penelitian tersebut, bukan yang lain (Hays, 1973). Faktor-faktor komorbiditas NKP terutama migren, diantaranya depresi, gangguan cemas dan epilepsi. Suatu penelitian yang menilai hubungan antara depresi dengan meningkatnya insiden disabilitas termasuk diantaranya migren menunjukkan disabilitas yang sedang sampai berat terjadi pada depresi yang komorbid dengan migren (Brandes dan Roberson, 2002). Penelitian lain melaporkan adanya prevalensi gangguan mood dan cemas yaitu 2 samapi 10 kali lebih tinggi pada penderita NKP dibanding populasi normal. Penelitian berbasis populasi lainnya menunjukkan prevalensi depresi pada penderita migren mencapai 17%-42% sedangkan 16% penderita NKP kronik mengalami gangguan cemas. Kecemasan mempengaruhi frekuensi NKP dan kualitas hidup tetapi tidak mempengaruhi intensitas dan durasi NKP. Sedangkan depresi ikut berperan dalam menurunkan kualitas hidup penderita NKP (Penacoba-Puente dkk., 2008; Yavuz dkk., 2013). Stres psikologis yang berkepanjangan tidak hanya berperan sebagai pencetus NKP melainkan juga merupakan faktor penting dalam perkembangan suatu NKP episodik dapat menjadi kronik (Yavuz dkk., 2013). Suatu penelitian berbasis populasi skala besar dengan 798 subjek NKP episodik memperlihatkan subjek obesitas cenderung mengalami perubahan bentuk menjadi chronic daily headache (CDH) 5 kali lebih sering daripada subjek yang tidak obesitas.
80
Namun demikian penelitian tersebut tidak dapat menunjukkan hubungan yang bermakna antara NKP dengan obesitas (Evans dkk., 2012). Spierings dan van Hoof (1997) melakukan penelitian kasus kontrol terhadap 113 subjek dengan NKP kronik melaporkan sebanyak 70,3% subjek tersebut mengalami kelelahan. Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian terhadap 68 siswa SMA yang melaporkan bahwa kelelahan merupakan penyebab timbulnya nyeri kepala pada 67,7% peserta penelitian. 6.5
Limitasi dan Kelebihan Penelitian
6.5.1 Limitasi Penelitian memakai subjek pada populasi tertentu dan dilakukan tempat tertentu pula sehingga hasil penelitian ini belum tentu menggambarkan kondisi yang sama pada populasi dan tempat yang berbeda. Subjek penelitian tidak melibatkan semua siswa kelas 1, 2 dan 3 karena masalah teknis di lapangan sehingga mungkin tidak bisa mewakili seluruh siswa yang ada di SMA Negeri 1 Amlapura. 6.5.2 Kelebihan Belum banyak penelitian yang mencari korelasi antara kualitas tidur dan faktorfaktor lain dengan nyeri kepala primer khususnya pada remaja sehingga dapat dijadikan salah satu acuan untuk penelitian lebih lanjut. Subjek penelitian sudah diberikan penjelasan tentang cara pengisian kuesioner sebelumnya sehingga pengisian kuesioner lebih akurat. Selain itu, pada penelitian ini memakai instrumen yang sudah dilakukan uji reabilitas dan validitas dengan hasil yang cukup baik.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat dibuat simpulan sebagai berikut: 1. Proporsi gangguan tidur dan nyeri kepala primer (NKP) pada remaja cukup tinggi, yaitu 71,87% dan 85,42%. 2. Terdapat korelasi yang bermakna antara kualitas tidur yang buruk dengan NKP dengan kekuatan korelasi sedang. 3. Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara faktor-faktor lain seperti jenis kelamin, obesitas, depresi, kecemasan, stres dan kelelahan dengan NKP.
7.2 Saran 1.
Melakukan penelitian pada populasi yang lebih besar dengan lokasi yang berbeda pada sekolah-sekolah lain di seluruh wilayah Provinsi Bali untuk mendapatkan data yang lebih banyak mengenai proporsi gangguan tidur dan NKP pada remaja.
2.
Melakukan penelitian lanjutan dengan metode yang berbeda sehingga menjelaskan hubungan sebab akibat antara kualitas tidur yang buruk dan faktor-farktor lain dengan timbulnya NKP pada remaja.
81
82
3.
Melakukan penilaian kualitas tidur untuk mencari salah satu faktor pencetus timbulnya NKP pada siswa .
4.
Memberikan informasi megenai pola tidur yang baik (sleep hygiene) untuk mencegah timbulnya nyeri NKP dan meningkatkan kemampuan belajar siswa di antaranya dengan tidur dan bangun teratur pada jam yang sama tiap hari, tidur dengan waktu yang cukup, berolahraga setiap hari tetapi jangan sebelum tidur atau larut di malam hari, makan teratur, hindari gangguan fisik (suara berisik, cahaya terang, panas dan dingin) dan apabila biasa tidur siang lakukan pada waktu yang sama tiap hari (sebaiknya sesudah makan siang dan jangan melebihi 45 menit).
DAFTAR PUSTAKA Abu-Arafeh, I., Razak, S., Sivaraman, B., Graham, C. 2010. Prevalence of Headache and Migraine in Children and Adolescents: a Systematic Review of Population-Based Studies. Developmental Medicine and Child Neurology;52:10881097. Adnyana, O. 2012. Prevalensi, Karakteristik, dan Beberapa Faktor yang Berkaitan dengan Nyeri Kepala Migren pada Mahasiswa STIKES Bali. Neurona; 29(3):14-19. Agustin, D. 2012. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur pada Pekerja Shift di PT. Krakatau Tirta Industri Cilegon” (Skripsi). Jakarta: Universitas Indonesia. Alberti A. 2006. Headache and Sleep. Sleep Medicine Review;10(6):431-437. Alstadhaug, K. 2009. Migraine and Hypothalamus. Cephalalgia;29(8):809-817. Arifin, Z. 2011. “Analisis Hubungan Kualitas Tidur dengan Kadar Glukosa Darah Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Rumah Sakit Umum Propinsi Nusa Tenggara Barat”(tesis). Jakarta: Universitas Indonesia. Backhaus, J., Junghanns, K., Broock, A., Riemann, D., Hohagen, F. 2002. Test Re-Test Reliability and Validity of The Pittsburgh Sleep Quality Index In Primary Insomnia. J Psychosom Res;53(3):734-740. Bali Dalam Angka 2013. 2014. Penduduk Provinsi Bali Menurut Kelompok Usia Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali;[cited 2015 Peb 24]. Available from: www.bali.bps.go.id Bellini, B., Arruda, M., Cescut, A., Saulle, C., Persico, A., Carutenuto, M., Gatta, M., Nacinovich, R., Piazza, F., Termine, C., Tozzi, E., Lucchese, F., Guidetti, V. 2013. Headache and Comorbidity in Children and Adolescents.J Headache Pain;14(1):79-83. Bhavsar, B., Farooq, M., Bhatt, A. 2009. The Therapeutic Potential Of Melatonin In Neurological Disorders. Recent Patents on Endocrine, Metabolic & Immune Drug Discovery; 3: 60-64. Boardman, H., Thomas, E., Millson, D., Croft, P. 2005. Psychological, Sleep, Lifestyle, and Morbid Associations with Headache. Headache;45:657–69. Böhm, S. 2012. “Sleep and Chronotype in Adolescents” (Dissertation). Munich: Universität zu Mϋnchen.
83
84
Brandes, J., Roberson, S. 2002. The Relationship Between Comorbid Depression And Migraine Disability: Preliminary Insights From A Specialist Headache Clinic. Advanced Studies in Medicine;2(16):578-581. Bruera, O., Sances, G., Levin, G., Cristina, S., Medina, C., Nappi, G., Figuerola, ML. 2008. Plasma Melatonin Pattern in Chronic and Episodic Headaches: Evaluation during Sleep and Waking. Functional Neurology; 23(2):77-81. Brun, J., Claustrat, B., Saddier, P., Chazot, G. 1995. Nocturnal Melatonin Excretion is Decreased in Patient with Migraine without Aura Attacks associated with Menses. Cephalalgia;15:136-139. Bruni, O., Ottaviano, S., Guidetti, V., 1996. The Sleep Disturbances Scale for Children (SDCS) Construction and Validation of an Instrument to Evaluate Sleep Disturbances in Childhood and Adolescence. J Sleep Rrs;5:251-261. Buysse, D., Reynold, C., Monk, T., Berman, S., Kupfer, D.1989. The Pittsburgh Sleep Quality Index : A New Instrument for Psychiatric Practice and Research. Psychiatry Res; 28(2):193-213. Calhoun, A., Ford, S. 2007. Behavioral Sleep Modification may Revert Transformed Migraine to Episodic Migraine. Headache;47:1178-1183. Carskadon, M., Wolfson, A., Acebo, C., Tzischinsky, O., Seifer, R. 1998. Adolescent Sleep Patterns, Circadian Timing, and Sleepiness at A Transition to Early School Days. Sleep;21(8):871-881. Carskadon, M. 2011. Sleep in Adolescents: The Perfect Storm. Pediatr Clin North Am.;58: 637–647. Chokroverty, S. 2010. Overview of Sleep and Sleep Disorder. Indian J Med Res;131:126-140. Craven, R., Hirnle, C. 2000. Fundamental of Nursing : Human Health and Function. 3rdEd. Philadelphia : Lippincott William&Wilkins. Crawford, J., Henry, J. 2003. The Depresson Anxiety Stress Scale (DASS): Normative Data and Latent Structure in A Large Non-Clinical Sample. Br J Clin Psychol;42(Pt 2):111-31. Cunha, da B., Zanetti, L., Hass, J. 2008. Sleep Quality in Type 2 Diabetics. Rev Latino-am Enfermagem;16(5):850-855. Cueller, G., Ratcliffe, J. 2008. A Comparison Of Glycemic Control , Sleep, Fatique, and Depression, in Type 2 Diabetes with and without Restless Leg Syndrome. J clin sleep med;4(1):50-56.
85
Culebras, A., Ivanenko, A., Kushida, C., Watson, N. 2007. Insomnia and Circadian Dysrhythmias. In : Culebras, A., editor. Sleep Disorders and Neurologic Diseases. 2nd. Ed. New York: Informa Healthcare USA, Inc.p.39-53. Curcio, G., Ferrera, dkk. 2006. Sleep Loss, Learning Capacity and Academic Performance. Sleep Med Rev;10(5):323-337. Dahlan, M. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Ed II. Jakarta : Salemba medika. Dosi, C., Riccioni, A., dell Corte, M., Novelli, L., Ferri, R., Bruni, O. 2013. Comorbidities of Sleep Disorders in Childhood and Adolescence: focus on migraine. Nature and Science Sleep;5:77-85. Doufas, A., Panagiotou, O., Ioannidis, J. 2012. Concordance of Sleep and Pain Outcomes of Diverse Interventions: An Umbrella Review. PLoS One on line journal; 7(7), [cited 2013 Des. 22]. Available from: URL:http:/www.europepmc.org/article/PMC3398909. Dinges, D., Rogers, N., Baynard, M. 2011. Chronic Sleep Deprivation. In : Kryger, M., Roth, T., Dement, W, editors. Principles and Practice of Sleep Medicine. 5th.Ed. Missouri: Elsevier-Saunder.p.67-77. Diener H, Obermann M, Holle D. 2012. Hypnic Headache: Clinical Course and Treatment. Current Treatment Options in Neurology;14(1):15-26. Dodick D, Eross E, Parish J. 2003. Clinical, Anatomical, and Physiologic Relationship between Sleep and Headache. Headache;43:282-292. El-Gendy, A., El-Gendy, A., Colyar, M. 2009. Pediatric and Adolescent Sleep Disorders. Egyptian Journal of bronchology;3(2):157-164. Evans, R., Williams, M., Rapaport, A., Peterlin, B. 2012. The Association of Obesity With Episodic and Chronic Migraine. Headache;;52:663-671. ..
Falafigna, A., Telles, A., Velho, M., Vedana, V., da Silva R., Mazzocchin, T., Basso, M., de Braga, G. 2010. Prevalence and Impact Headache in Undergraduate Students in Southern Brazil. Arq neuropsiquiatr;68(6):873-877. Fendrich, K., Vennemann, M., Pfaffenrath, M., Evers,S., May, A., Berger, K., Hoffmann, W. 2007. Headache Prevalence Among Adolescents -- The German DMKG Headache Study. Cephalalgia;27:347-354.
86
Fukui, P., Goncalves, T., Strabelli, C., Lucchino, N., Matos, F., dos Santos, J., Zukerman, E., Zukerman-Guendler, V., Mercante, J., Masruha, M., Viera, D., Peres, M. 2008. Trigger factors in migraine patients. Arq neuropsiquiatr;66(3-A):494-99. Fuller,P., Gooley, J., dkk. 2006. Neurobiology of Sleep-Wake Cycle: Sleep Architecture, Circadian Regulation, and Regulatory Feedback. J Biol Rhythms;21(6):482-493. Gilman, D., Palermo, T., Kabbouche, M., Hershey, A., Powers, SC. 2007. Primary Headache and Sleep Disturbance in Adolescent. Headache;47:1189-1194. Guo, L., Deng, J.,He, Y., Deng, X., Huang, J., Huang, G., Gao, X., Lu, C. 2014. Prevalence and Correlates of Sleep Disturbance and Depressive Symptoms among Chinese Adolescents: A Cross-Sectional Survey Study. Bmj Open;4. Hagen, K., Thoresen, K., Stovner, L., Zwart, J-A. 2009. High Dietary Caffeine Consumption is Associated with a Modest Increase in Headache Prevalence : Result from The Head-HUNT Study. J Headache Pain;10:153-159. Haryono, A., Rindiarti, A., Arianti, A., Pawitri, A., Ushuluddin, A., Setiawati, A., Reza, A., Wawolumaja, CW. 2009. Prevalensi Gangguan Tidur pada Remaja Usia 1215 Tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Sari Pediatri;11(3):149-154. Hays, W. 1973. Statistics for The Behavioral Sciences. 2ed. New York:Holt Rinehart and Winston Inc. High, K., Bradley, S., Gravenstein, S., Mehr, D., Quagliarello, V., Richard, C.,Yoshikawa, T. 2009. Clinical Practice Guideline for the Evaluation of Fever and Infection in Older Adult Residents of Long-Term Care Facilities: 2008 Update by the Infectious Disease Society of America. Clinical Infectious Diseases;48:149-71. Hoban, T. 2010. Sleep Disorder in Children. Ann N Y Acad Sci;1184:1-14. Houle, T., Butschek, R., Turner, D., Smitherman, T., Rains, J., Penzien, D. 2012. Stress and Sleep Duration Predict Headache Severity in Chronic Headache Sufferers. Pain;153(12): 2432-2440. Hysing, M., Pallesen, S., Stormark, K., Lundervold, A., Si Vertsen. B. 2013. Sleep Patterns And Insomnia Among Adolescents: A Population-Based Study. J Sleep Res; 22: 549–556. Kelman, L., Rain, J. 2005. Headache and Sleep : Examination of Sleep Pattern and Complaint in A Large Clinical Sample of Migraineurs. Headache;45:904-910.
87
Kholifah, A. 2013. “Gambaran Tingkat Stres pada Anak Usia Sekolah Menghadapi Menstruasi Pertama (Menarche) di Sekolah Dasar Negeri Gegerkalong Girang 2” (Skripsi). Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia. King, S., Chambers, C., Huquet, A., MacNevin, R., McGrath., Parker, L., MacDonald, A. 2011. The Epidemiology of Chronic Pain in Children and Adolescents Revisited: A Systematic Review. Pain;152:2729–2738. Kutlu, A., Yalug, I., muyalim, S., Obuz, O., Selekler, M. 2010. Triggers Factors of Migraine. Noropsikiyatri Arsivi;47(1):58-63. Larsson, B., Fichtel, A. 2014. Headache prevalence and characteristics among adolescents in the general population: a comparison between retrospect questionnaire and prospective paper diary data. The Journal of Headache and Pain;15(8). Lange, T., Born, J. 2011. The Immune Recovery Function of Sleep-Tracked by Neutrophil Counts. Brain Behave Immune;25(1):14-15. Leger, D., Porsain, B., Neubauer, D., Uchiyama, M. 2008. An International Survey of Sleeping Problems in The General Population. Current Medical research and Opinion; 24(1): 307-317. Lewis, D. 2002. Headaches in Children and Adolescents. Am Fam Physician, 15;65(4): 625-633. Lima, A., de Araujo., Gomes, M., de Almeida, L., de Souza, Gabriely., Cunha, S., Pitangu, A. 2014. Prevalence Of Headache and its Interference in The Activities Of Daily Living in Female Adolescent Students. Rev Paul Pediatr ;32(2):256-61. Lina Waty, Supriatmo, Saing, B. 2013. Relationship between Migraine and Sleep Disorders in Adolescents. Paediatrica Indonesiana;53(4):214-17. Liu, X., Zhao, Z., Jia, C., Buysse, D. 2008. Sleep Pattern and Problems among Chinese Adolescent. Pediatrics;121(6):1165-1173. Lovibond, S., Lovibond, P. 1995. Manual for the Depression Anxiety Stress Scale 2ndEd. Sydney: Psychology Foundation. Lumbantobing. 2008. Gangguan Tidur. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Lund, H., Reider, B., Whiting, R., Prichard, J. 2010. Sleep Patterns and Predictors of Disturbed Sleep in A Large Population of College Students. Journal of Adolescent Health.
88
Mahdi, A., Fatima, G., Kumar Das, S., Verma, N. 2011. Abnormality of Circadian Rhythm of Serum Melatonin and Other Biochemical Parameters in Fibromyalia Syndrome. Indian Journal of Biochemistry & Biophysics;48:82-87. Mindell, J., Owens, J., 2003. A Sleep in The Pediatric Practice. In: Mindell J, editor. A Clinical Guide to Pediatric Sleep: Diagnosis and Management of Sleep Problems. Lippincott: Williams&Wilkins;1-10. Mindell, J., Meltzer, L. 2008. Behavioral Sleep Disorders in Children and Adolescents. Ann Acad med Singapore;37:722-728. Moldofsky, H. 2001. Sleep and Pain. Sleep Medicine Reviews;5(5):387–398. Moran, A., Everhart, D. 2012. Adolescent Sleep: Review of Characteristics, Consequences, and Intervention. Journal of sleep disorders: treatment&care;1(2). Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT. Rhineka Cipta. Ohida, T., Osaki, Y., Doi, Y., Tanihata, T., Minowa, M., Suzuki, K, dkk. 2004. An Epidemiologic Study of Self Reported Sleep Problems among Japanese Adolescent. Sleep.27;978-985. Pace-Schott, E., Hobson, J. 2002. The Neurobiology of Sleep: Genetics, Cellular Physiology and Subcortical Networks. Nature Review;(3):501-605. Palkanis, A., Kring, D. 2012. Chronic Daily Headache, Medication Overuse, and Obesity in Children and Adolescents. J Child Neurol; 27(5): 577–580. Paiva T, Farinha A, Martins A, Batista A, Guilleminault C. Chronic Headaches and Sleep Disorders. 1997. Arch Intern Med;157:1701-1705. Penacoba-Puente, C., Fernandez de las Penas, C., Gonzalles-Gutierrez, J., Miangolarra-Page, J., Pareja, J.2008. Interaction Between Anxiety, Depression, Quality Of Life And Clinical Parameters In Chronic Tension-Type Headache. European Journal of Pain;12(7):886-894. PERDOSSI, 2006. Konsensus Nasional : Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Dalam: Soertidewi L., Misbach J., Sjahrir H., Hamid A., Jannis J., Bustami M.. Editor. Kelompok Studi Traumatologi. Jakarta. Perdossi.
89
PERDOSSI. 2013. Konsensus Nasional IV: Diagnostik dan Penatalaksanaan Nyeri Kepala. Dalam: Sjahrir, H., Machfoed, H., Suharjanti, I., Basir, H., Surbakti, KP., Mutiawati, E., Basjiruddin, H., Gunawan, BI., Yuanita, A., Aninditha, T., dkk. Editor. Kelompok Studi Nyeri Kepala. Surabaya. Airlangga University Press. Peres, M. 2005. Melatonin, The Pineal Gland and Their Implications for Headache Disorders. Cephalalgia;25: 403-411. Peres M, Marusha M, Zulkerman E, Moreira-Filho J, Cavalheiro E. 2006. Potensial Therapeutics Use of Melatonin in Migraine and Other Headache Disorder. Exper OpinInvest Drugs; 15(4): 367-375. Pilcher, J., Ginter, D., Sadowsky, B. 1997. Sleep Quality Versus Sleep Quantity: Relationship Between Sleep and Measure of Health, Well-Being, and Sleepiness in College Students. J Psychosom Res;42(6):583-596. Prather, A., Puterman, E., Epel, E., Dhabar, F. 2014. Poor Sleep Quality Potentiates Stress-Indusced Cytokine Reactivity in Postmenopausal Women with High Visceral Abdominal Adiposity. Brain, Behavior, and Immunity;35:155-162. Price, A., Wilson, L. 2006. Pathophysiology : Clinical Concepts of Disease Processes. New York:Mosby. Rains J, Poceta J, Penzien D. Sleep and Headaches. 2008. Current Neurology and Neuroscience Reports;8:167–175. Rasmussen, B. 1993. Migrain and Tension Type Headache in a General Population : Precipitating Factors, Female Hormones, Sleep Pattern and Relation To Lifestyle (abstr). Pain; 53(1):65-72. Rathus, S., Nevid, J. 2002. Psychology and The Challenge of Life : Adjustment in The New Millennium. Eight edition. Danver; John Wiley&Sons, Inc. Reigstad, B., Jørgensen, K., Sund, A., Wichstrøm, L. 2009. Prevalences and correlates of sleep problems among adolescents in specialty mental health services and in the community: What differs? Nord J Psychiatry;00:1–9. Roennerberg, T., Kuehnle, T. 2004. A Marker for The End of Adolescence. Curr Biol; 14(24):1038-1039. Sancisi, E., Coveli, S., Vignatelli, L., Mariana, N., Pierangeli, G., Zanigni, S., Grimaldi, D., Cortelli, P., Montagna, P. 2010. Increase Prevalence of Sleep Disorders in Chronic Headache: A Case Control Study. Headache; 50(9):1464-1472.
90
Saper,C., Scammell, T. 2005. Hyphotalamic Regulation of sSeep and Circadian Rhythms. Nature;437(7063):1257-1263. Schochat, T., Bretler, O., Tzizchinsky, O. Sleep Pattern, Media Exposure, and Daytime Sleep-Related Behaviors among Israeli Adolescents. Acta Paediatrica;99:1396-13400. Seshia, S., Phillips, D., von Baeyer, C. 2008. Childhood Chronic Daily Headache : A Biopsychosocial Perspective. Dev med Child Neurol;50(7):541-545. Shirlow, M., Mathers, C. 1985. A Study of Coffee Consumption and Symptoms : Indigestion, Palpitations, Tremor, Headache and Insomnia. Int J Epidemiol;14(2):239249. Shneerson, J. 2005. Physiological Basis of Sleep and Wakefulness. Sleep Medicine : A Guide to Sleep and Its Disorder. Massachusetts. Blackwell Publishing Ltd:22-53. Silberstein, S., Lipton, R., Goadsby, P. 2002. Headache in Clinical Practice. 2 nd edition. Martin Dunitz Ltd. United kingdom:16-17. Sivertsen, B., Pallesen, S., Stormark, K., Bøe T., Lundervold, A., Hysing, M. 2013. Delayed Phase Syndrome in Adolescents: Prevalence and Correlates in a Large Population Based Study. BMC Public Health;13:1163 Sjahrir, H., Nasution, D. 2003.Prevalensi nyeri kepala paroksismal pada mahasiswa FK USU Medan. Naskah lengkap Bienial Meeting PNPNCh. Surabaya. Sjahrir, H. 2009. Insiden Jenis Penyakit Pasien yang Berobat Jalan di Klinik Saraf Klinik Spesialis Bunda. Cermin Dunia Kedokteran;36(6):399-402. Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: PT. Rhineka Cipta. Spierings, E., van Hoof, M. 1992. Fatique and Sleep in Chronic Headache Sufferers: An Age-and Sex-Controlled Questionnaire Study. Headache;37:549-552. Straube, A., Heinen, F., Ebinger, F., Kries, R. 2013. Headache in School Children : Prevalence and Risk Factors. Dtsch Arztebl Int;110(48):811-818. Tarwaka. 2004. Ergonomi untuk Produktivitas. UNIBA press. Surakarta.
Keselamatan,
Kesehatan
Kerja,
dan
91
Teron J. 2002. Is The 5-HT7 Receptor Involved in The Pathogenesis and Prophylactic Treatment of Migraine? European Journal of Pharmacology;439:1-11. Tikotzsky, L., Sadeh, A. 2012. Sleep Problems during Adolescence: Links with Daytime Functioning. In: Latzer, Y and Tzischinsky, O., editor. The Dance Of Sleeping And Eating Among Adolescents. Israel. Nova Science Publishers, Inc:109127. Van Cauter, E., Holmback, U., Knutson, K.,Leproult, R., Miller, A., Nedeltcheva, A., Pannain, s., Penev, P., Tasali, E., Spiegel, K. 2007. Impact of Sleep and Sleep Loss on Neuroendocrine and Metabolic Function. Horm Res;67[Suppl 1]2-9. Wang, S., Fuh, J., Lu, S. 2009. Chronic Daily Headache in Adolescent : an 8-year follow-up study. Neurology;73:416-422. Wallace, D. 2008. The Lupus Book: a Guide for Patients and Their Family.4 ed . New York: Oxford University Press. Wahyuni, D.,Rahmadewi. 2011. Kajian Profil Penduduk Remaja (10-24 Tahun): Ada Apa dengan Remaja? Policy Brieft Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan BKKBN;1(6):1-4. WHO. 1998. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Report of A WHO Consultation on Obesity. Geneva: World Health Organisation. Yagihara, F, Lucchesi, L, Smith, A, Speciali, J. 2012. Primary Headaches and Their Relationship with Sleep. Sleep Sci;5(1):28-32. Yavus, B., Aydinlar, E., Dikmen, P., Incesu, C. 2013. Association Between Somatic Amplification, Anxiety, Depression, Stress And Migraine. The Journal of Headache and Pain;14:53:
Lampiran 1
92
Lampiran 2
93
Lampiran 3
94
Lampiran 4
INFORMASI PASIEN
Kami mengharapkan partisipasi anak Bapak/Ibu/Saudara dalam penelitian ilmiah yang dilaksanakan oleh dr. Agus Antara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya korelasi
kualitas tidur
dengan nyeri kepala primer (NKP) pada siswa-siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Amlapura Kabupaten Karangasem. Gangguan tidur dan nyeri kepala merupakan 2 hal yang sering dialami oleh remaja. Penatalaksanaan kedua hal tersebut seringkali tidak memuaskan. Nyeri kepala yang timbul dengan frekuensi yang sering dapat menyebabkan penurunan konsentrasi dan kemampuan remaja beraktivitas dan tentu saja menurunkan prestasi remaja di sekolah. Bacalah/dengarkan dengan saksama informasi ini sebelum Bapak/Ibu/Saudara memutuskan apakah anak Bapak/Ibu/Saudara akan turut berpartisipasi atau tidak dan jangan ragu-ragu untuk bertanya jika ada hal-hal yang belum dimengerti. Bila anak Bapak/Ibu/Saudara memutuskan berpartisipasi, kami harapkan Bapak/Ibu/Saudara bersedia memberikan izin kepada kami untuk mewawancarai dan melakukan pemeriksaan fisik kepada anak Bapak/Ibu/Saudara. Dalam penelitian ini, peneliti atau petugas yang telah dilatih akan mewawancarai dan melakukan pememeriksaan fisik terhadap anak Bapak/Ibu/Saudara terutama menanyakan tentang masalah tidur dan nyeri kepala yang dialami oleh anak Bapak/Ibu/Saudara. Tidak ada efek samping pada penelitian ini karena hanya berupa wawancara dan pemeriksaan fisik luar saja. Selama penelitian ini, Bapak/Ibu/Saudara tidak dikenakan biaya.
95
96
Data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini akan disimpan dalam data komputer tanpa mencantumkan nama anak Bapak/Ibu/Saudara. Hanya peneliti yang mengetahui data-data anak Bapak/Ibu/Saudara. Hasil penelitian ini mungkin akan dipublikasikan di forum ilmiah terbatas tanpa menampilkan identitas anak Bapak/Ibu/Saudara. Sehubungan dengan penelitian ini, bila terdapat pertanyaan mengenai penelitian ini harap menghubungi : dr. Agus Antara, nomor telepon : 081316632400.
Lampiran 5
FORMULIR PERSETUJUAN TERTULIS Saya yang bertanda tangan di bawah ini selaku orang tua/wali dari : Nama
:
Umur
:
Jenis kelamin
:
Pekerjaan
:
Telah membaca dengan saksama keterangan/informasi yang berkenaan dengan penelitian ini dan setelah mendapat penjelasan saya mengerti dan mengizinkan anak kami untuk ikut serta dalam penelitian ini.
(
Menyetujui
Dokter/Petugas
Peserta
Yang memberikan penjelasan
)
(
Orang tua/wali peserta
(……………………..)
97
)
Lampiran 6
LEMBAR PENGUMPULAN DATA KORELASI KUALITAS TIDUR DENGAN NYERI KEPALA PRIMER PADA SISWA-SISWI SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 AMLAPURA DI KABUPATEN KARANGASEM 1. Nomor urut 2. Tanggal Pemeriksaan 3. Pemeriksa 4. Nama 5. Alamat
6. Nomor telepon 7. Tanggal lahir 8. Umur 9. Jenis kelamin
(1) Laki-laki (2) Perempuan
10. SMA (kelas) 11. Tinggi/BB
.........cm ...........kg
12. IMT
(1) Obesitas (2) Tidak obesitas
13. Riwayat cedera kepala
(1) Ya (2) Tidak
14. Riwayat kejang
(1) Ya (2) Tidak
15. Sinusitis
(1) Ya (2) Tidak
16. Sakit gigi dan tempromandibula
(1) Ya (2) Tidak
17. Pemeriksaan fisik - Tekanan darah
(1) Normal (2) Hipertensi
- Nadi
(1) < 60 kali/menit (2) 61-100 kali/menit
98
99
(3) > 100 kali/menit - Respirasi
(1) <12 kali/menit (2) 12-20 kali/menit (3) > 20 kali/menit
- Temperatur
(1) Normal (2) Di atas normal
18. Tanda perangsangan meningeal
(1) Ada (2) Tidak
19. Nervus kranialis
(1) Normal (2) Terganggu
20. Sistem motorik
(1) Normal (2) Tidak normal
21. Refleks fisiologis (APR)
(1) Normal (2) Menurun (3) Meningkat
22. Refleks patologis
(1) Ada (2) Tidak
23. Sistem sensorik -
Raba/tekan
(1) Normal (2) Menurun (3) Meningkat
-
Nyeri, suhu
(1) Normal (2) Menurun (3) Meningkat
-
Proprioseptif
(1) Normal (2) Menurun
-
Vibrasi
(1) Normal (2) Menurun
100
Kuesioner Nyeri Kepala 1. Apakah anda menderita nyeri kepala dalam tiga bulan terakhir? (1) Ya (2) Tidak 2. Jika ya, berapa lama nyeri kepala tersebut berlangsung setiap serangan ? (1) <30 menit (2) 30 menit – 7 hari (3) > 7 hari (4) Beberapa jam atau terus menerus 3. Frekuensi nyeri kepala dalam sebulan : (1) Sepuluh episode serangan dengan rerata < 1 hari/bulan (infrekuen) (2) Sepuluh episode serangan dalam 1-15 hari/bulan selama minimal 3 bulan (frekuen) (3) > 15 hari/bulan selama > 3 bulan (kronis) 4. Tipe nyeri kepala : (1) Berdenyut (2) Tidak berdenyut (menekan/mengikat) 5. Lokasi nyeri kepala (1) Bilateral (2 sisi) (2) Unilateral (satu sisi) 6. Gejala prodromal (muncul 2 jam – 2 hari sebelum sakit kepala perubahan suasana hati, mudah tersinggung, depresi, euforia, lemas, sangat ingin makanan tertentu, konstipasi/diare, makin sensitif bau/suara) : (1) Ada (2) Tidak ada 7. Aura (visual, sensoris, disfasia) : (1) Ada (2) Tidak 8. Gejala penyerta (mual, muntah, fotofobia, fonofobia, rinore, lakrimasi, edema palpebra, dahi/wajah berkeringat ipsilateral, ptosis ipsilateral) : (1) Ada (2) Tidak ada 9. Intensitas nyeri kepala yang paling sering dirasakan setiap kali serangan (1) Ringan : Numeric Pain Rating Scale (NPRS) 1-4 (2) Sedang : Numeric Pain Rating Scale (NPRS) 5-7 (3) Berat : Numeric Pain Rating Scale (NPRS) 8-10 10. Bertambah berat dengan aktivitas (1) Ya (2) Tidak 11. Ada faktor pencetus : (1) Ya (2) Tidak 12. Jika ada, berupa apa : makanan, cuaca, stres fisik, stres psikis, kurang tidur/tidur terganggu, perubahan pola/kebiasaan, menstruasi (sebutkan) : 13. Awitan pertama kali nyeri kepala yersebut muncul saat berumur (sebutkan) : 14. Tipe nyeri kepala primer yang diderita :
101
KUESIONER GANGGUAN TIDUR The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) Petunjuk : Petanyaan berikut berhubungan dengan kebiasaan tidur Anda selama satu bulan/ satu minggu terakhir. Jawaban anda harus menunjukkan jawaban yang paling akurat untuk menggambarkan sebagian besar malam dan hari selama seminggu/sebulan yang lalu. Kami berharap Anda menjawab semua pertanyaan dimana untuk pertanyaan nomor 1-4, jawablah dengan angka, sedangkan jawaban untuk pertanyaan nomor 5-9 cukup dengan memberi tanda (√) pada salah satu kolom pilihan jawaban yang ada. 1. Selama satu bulan terakhir, sekitar pukul berapa biasanya anda tidur di malam hari? (pukul …..) 2. Selama satu bulan terakhir, berapa lama (dalam menit) waktu untuk tertidur di malam hari? (…… menit) 3. Selama satu bulan terakhir, sekitar pukul berapa anda biasanya bangun di pagi hari ? (pukul ….. ) 4. Selama satu bulan terakhir, berapa jam anda dapat tidur nyenyak di malam hari? ( ini mungkin berbeda dengan jumlah waktu yang dihabiskan saat tidur ) (…. jam) 5. Selama sebulan terakhir , seberapa sering anda mengalami kesulitan tidur, yang disebabkan karena : A. Tidak dapat tertdur dalam waktu 30 menit B. Terbangun di tengah malam atau pagi-pagi sekali C. Terbangun karena ingin ke toilet D. Tidak dapat bernapas dengan nyaman E. Batuk atau mendengkur dengan keras F. Merasa sangat kedinginan G. Merasa sangat kepanasan H. Mimpi buruk
Tidak pernah (0)
1x seminggu (1)
2x seminggu (2)
≥ 3x seminggu (3)
102
I. Merasa nyeri J. Alasan lain:… 6. Selama satu bulan terakhir, seberapa sering anda mengkonsumsi obat untuk membantu anda agar dapat tertidur (resep ataupun dari toko obat)? 7. Selama satu bulan terakhir, seberapa sering anda mengantuk saat berkendaraan, makan, atau ketika melakukan aktivitas sosial?
8.
9.
Tidak menjadi masalah (0)
Hanya masalah kecil (1)
Agak menjadi masalah (2)
Masalah besar (3)
Sangat baik (0)
Baik (1)
Buruk (2)
Sangat buruk (3)
Selama satu bulan terakhir, seberapa berat anda untuk dapat tetap bersemangat dalam mengerjakan sesuatu?
Selama satu bulan terakhir, bagaimana anda menilai kualitas tidur anda secara keseluruhan?
103
KUESIONER TENTANG DEPRESI, KECEMASAN DAN STRES (DASS 42) Kuesoner ini terdiri dari berbagai pertanyaan yang mungkin sesuai dengan pengalaman anda dalam menghadapi situasi sehari-hari. Terdapat empat pilihan jawaban yang disediakan untuk setiap pertanyaan yaitu : 0 : Tidak pernah/tidak sesuai dengan saya sama sekali 1 : Kadang-kadang/sesuai dengan saya sampai tingkat tertentu 2 : Cukup sering/sesuai dengan saya sampai batas yang dapat dipertimbangkan 3 : Sering sekali/sangat sesuai dengan saya Nilai No 1
Pertanyaan
0
Saya merasa diri saya menjadi marah karena hal-hal sepele.
2
Saya merasa bibir saya sering kering.
3
Saya sama sekali tidak dapat merasakan perasaan positif
4
Saya
mengalami
kesulitan
bernapas
(misalnya
seringkali terengah-engah atau tidak dapat bernapas padahal tidak melakukan aktivitas fisik sebelumnya). 5
Saya sepertinya sudah tidak kuat lagi untuk melakukan suatu kegiatan.
6
Saya cenderung bereaksi berlebihan terhadap suatu situasi.
7
Saya merasa goyah (misalnya, kaki terasa terlepas)
8
Saya merasa sulit untuk bersantai.
9
Saya merasa diri saya berada dalam situasi yang membuat saya merasa sangat cemas dan saya akan merasa sangat lega jika semua ini berakhir.
10
Saya merasa tidak ada yang bisa diharapkan di masa depan.
11
Saya mudah merasa kesal.
12
Saya menghabiskan banyak energi karena cemas.
1
2
3
104
13
Saya merasa sedih dan tertekan.
14
Saya merasa tidak sabar saat mengalami penundaan (misalnya saat kemacetan lalu lintas, menunggu sesuatu).
15
Saya merasa lemas seperti mau pingsan.
16
Saya merasa kehilangan minat akan segala hal.
17
Saya merasa tidak berharga sebagai seorang manusia.
18
Saya merasa mudah tersinggung.
19
Saya
berkeringat
berlebihan
(misalnya
tangan
berkeringat padahal temperatur tidak panas dan tidak melakukan aktivitas sebelumnya). 20
Saya merasa takut tanpa alasan yang jelas.
21
Saya merasa bahwa hidup tidak bermanfaat.
22
Saya merasa sulit untuk beristirahat.
23
Saya merasa sulit menelan.
24
Saya merasa tidak bisa mendapatkan kesenangan dari aktivitas apapun yang saya lakukan.
25
Saya menyadari aktivitas jantung saya walaupun saya tidak sehabis melakukan aktivitas fisik (misalnya merasakan detak jantung meningkat).
26
Saya merasa putus asa dan sedih.
27
Saya merasa sangat mudah marah.
28
Saya merasa hampir panik.
29
Saya merasa sulit untuk tenang setelah sesuatu membuat saya kesal.
30
Saya takut akan ’terhambat’ oleh tugas-tugas sepele yang tidak biasa saya lakukan.
31
Saya tidak merasa antusias akan apapun.
32
Saya sulit untuk bersabar dalam menghadapi gangguan terhadap hal yang sedang saya lakukan.
33
Saya sedang merasa gelisah.
34
Saya merasa bahwa saya tidak berharga.
35
Saya tidak dapat memaklumi hal apapun yang
105
menghalangi saya untuk menyelesaikan hal yang sedang saya lakukan. 36
Saya merasa sangat ketakutan.
37
Saya melihat tidak ada harapan untuk masa depan.
38
Saya merasa hidup tidak berarti.
39
Saya merasa mudah gelisah.
40
Saya merasa khawatir dengan situasi dimana saya mungkin menjadi panik dan mempermalukan diri sendiri.
41
Saya merasa gemetar (misalnya pada tangan).
42
Saya merasa sulit untuk meningkatkan inisiatif dalam melakukan sesuatu.
106
KUESIONER TENTANG KELELAHAN
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Pertanyaan
Perasaan berat di kepala Lelah di seluruh tubuh Kaki terasa berat Menguap Merasa pikiran kacau Merasa kacau Merasa ada beban di kepala Kaku dan canggung dalam bergerak Tidak seimbang dalam berdiri Merasa ingin berbaring Merasa sulit untuk berpikir Lelah berbicara Menjadi gugup Tidak dapat berkonsentrasi Tidak dapat memusatkan perhatian Cenderung untuk lupa Kurang kepercayaan Cemas terhadap sesuatu Tidak dapat mengontrol sikap Tidak tekun bekerja Sakit kepala Merasa kaku di bagian bahu Merasa nyeri di pinggang Merasa pernapasan tertekan Haus Suara serak Merasa pusing Kelopak mata terasa berat Gemetar pada bagian tubuh tertentu Merasa kurang sehat
Nilai 1-30 = tidak lelah Nilai >30 = lelah
Sangat Sering (SS) 3
Sering (S) 2
Kadangkadang (K) 1
Tidak Pernah (TP) 0
Lampiran 7 HASIL PENELITIAN
Data Subjek Penelitian No
Umur (tahun)
Jenis kelamin
IMT
PSQI
SST
Depresi
Cemas
Stres
NKP
1
16.0
laki-laki
obesitas
buruk
Tidak
tidak
tidak
ya
2
16.0
laki-laki
tidak
baik
Tidak
tidak
tidak
ya
3
17.0
laki-laki
tidak
buruk
Tidak
tidak
tidak
ya
4
16.0
laki-laki
tidak
baik
Tidak
ada
ada
ya
5
16.0
laki-laki
tidak
buruk
Tidak
tidak
tidak
ya
6
16.0
perempuan
tidak
buruk
ada
ada
ada
ya
7
17.0
perempuan
tidak
buruk
ada
ada
ada
ya
8
16.0
perempuan
tidak
buruk
Tidak
ada
tidak
ya
9
16.0
perempuan
obesitas
buruk
Tidak
tidak
tidak
ya
10
16.0
laki-laki
tidak
buruk
Tidak
ada
ada
ya
11
17.0
laki-laki
tidak
buruk
tidak
tidak
tidak
tidak
12
16.0
laki-laki
tidak
baik
tidak
tidak
tidak
ya
13
16.0
laki-laki
tidak
baik
tidak
tidak
tidak
ya
14
16.0
perempuan
tidak
baik
tidak
ada
ada
ya
15
16.0
perempuan
tidak
buruk
tidak
tidak
tidak
ya
16
17.0
perempuan
tidak
buruk
ada
ada
ada
ya
17
17.0
perempuan
tidak
buruk
tidak
tidak
tidak
ya
18
16.0
perempuan
tidak
buruk
tidak
ada
ada
ya
19
15.0
perempuan
tidak
buruk
ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada
ada
ada
ada
ya
107
Lampiran 7
20
16.0
laki-laki
tidak
baik
21
16.0
perempuan
tidak
buruk
22
16.0
laki-laki
obesitas
buruk
23
16.0
perempuan
obesitas
buruk
24
16.0
perempuan
tidak
buruk
25
16.0
laki-laki
tidak
buruk
26
16.0
laki-laki
tidak
buruk
27
16.0
perempuan
tidak
buruk
28
16.0
perempuan
tidak
baik
29
16.0
perempuan
tidak
buruk
30
16.0
laki-laki
obesitas
buruk
31
16.0
laki-laki
tidak
buruk
32
16.0
laki-laki
tidak
buruk
33
16.0
laki-laki
tidak
buruk
34
16.0
perempuan
tidak
buruk
35
16.0
laki-laki
tidak
buruk
36
16.0
perempuan
tidak
buruk
37
16.0
laki-laki
tidak
buruk
38
16.0
laki-laki
tidak
buruk
39
16.0
laki-laki
tidak
buruk
40
17.0
laki-laki
tidak
buruk
41
16.0
perempuan
tidak
buruk
42
16.0
perempuan
tidak
baik 108
kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan tidak ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada
ada
ada
tidak
tidak
tidak
ada
ada
ya
tidak
ada
tidak
ya
ada
ada
ada
ya
tidak
ada
ada
ya
ada
ada
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
ada
ada
ya
ada
ada
ada
ya
ada
ada
ada
ya
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
ya
ada
ada
ada
ya
ada
ada
ada
ya
ada
ada
ada
ya
ada
ada
ada
ya
ada
ada
ada
ya
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
ya
ada
ada
ada
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
Lampiran 7
43
16.0
laki-laki
tidak
buruk
44
16.0
laki-laki
tidak
baik
45
16.0
perempuan
tidak
baik
46
16.0
perempuan
tidak
buruk
47
16.0
laki-laki
tidak
baik
48
16.0
laki-laki
tidak
buruk
49
16.0
perempuan
tidak
buruk
50
16.0
laki-laki
tidak
baik
51
17.0
laki-laki
tidak
buruk
52
16.0
perempuan
tidak
baik
53
16.0
perempuan
tidak
buruk
54
16.0
perempuan
tidak
buruk
55
16.0
perempuan
tidak
buruk
56
16.0
laki-laki
tidak
buruk
57
16.0
perempuan
tidak
buruk
58
16.0
perempuan
tidak
buruk
59
16.0
laki-laki
tidak
baik
60
16.0
laki-laki
tidak
baik
61
16.0
perempuan
tidak
buruk
62
16.0
laki-laki
tidak
buruk
63
16.0
laki-laki
tidak
buruk
64
16.0
laki-laki
tidak
baik
65
17.0
laki-laki
tidak
baik 109
kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada
ada
tidak
tidak
ya
ada
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ada
ada
ya
tidak
tidak
tidak
ya
ada
ada
ada
ya
tidak
tidak
tidak
ya
ada
ada
ada
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
ada
ada
ada
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
ya
ada
ada
ada
ya
tidak
tidak
tidak
ya
ada
ada
ada
ya
ada
ada
ada
ya
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
ada
ada
ada
ya
tidak
tidak
tidak
ya
ada
ada
ada
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ya
Lampiran 7
66
16.0
laki-laki
tidak
buruk
67
16.0
perempuan
tidak
baik
68
16.0
perempuan
tidak
baik
69
15.0
perempuan
obesitas
baik
70
16.0
perempuan
tidak
buruk
71
16.0
laki-laki
tidak
baik
72
16.0
laki-laki
tidak
buruk
73
17.0
laki-laki
tidak
buruk
74
16.0
perempuan
tidak
baik
75
16.0
laki-laki
tidak
buruk
76
16.0
perempuan
tidak
buruk
77
16.0
laki-laki
tidak
baik
78
16.0
perempuan
tidak
buruk
79
16.0
perempuan
tidak
buruk
80
15.0
perempuan
tidak
buruk
81
16.0
perempuan
tidak
buruk
82
16.0
perempuan
tidak
buruk
83
16.0
laki-laki
tidak
buruk
84
16.0
laki-laki
tidak
baik
85
17.0
laki-laki
tidak
buruk
86
15.0
perempuan
tidak
buruk
87
16.0
laki-laki
tidak
buruk
88
16.0
laki-laki
tidak
baik 110
kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada
ada
ada
ada
ya
ada
ada
ada
tidak
ada
ada
ada
ya
tidak
tidak
tidak
ya
ada
ada
ada
ya
ada
ada
ada
ya
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
ada
ada
ya
ada
ada
ada
ya
ada
ada
ada
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
ada
ada
ada
ya
ada
ada
ada
ya
ada
ada
ada
ya
ada
ada
ada
ya
tidak
tidak
tidak
ya
ada
ada
ada
ya
ada
ada
ada
tidak
ada
ada
ada
ya
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
Lampiran 7
89
16.0
laki-laki
tidak
baik
90
17.0
perempuan
obesitas
buruk
91
16.0
laki-laki
tidak
buruk
92
15.0
perempuan
tidak
baik
93
16.0
laki-laki
tidak
buruk
94
16.0
laki-laki
tidak
buruk
95
16.0
perempuan
tidak
buruk
96
16.0
laki-laki
tidak
buruk
111
kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan ada kelelahan
tidak
tidak
tidak
ya
ada
ada
ada
ya
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ada
tidak
ya
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
ada
ada
ya
tidak
ada
ada
ya
112
Data Analisis SPSS Jenis Kelamin Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 1
51
53.1
53.1
53.1
2
45
46.9
46.9
100.0
Total
96
100.0
100.0
Data Frekuensi Umur Statistics Umur N
Valid
96
Missing
0
Minimum
15
Maximum
17
Umur Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 15
5
5.2
5.2
5.2
16
80
83.3
83.3
88.5
17
11
11.5
11.5
100.0
Total
96
100.0
100.0
113
Data Frekuensi BB, TB, IMT
Tinggi_Badan
Berat_Badan
Valid
96
96
Missing
0
0
Mean
164.0417
54.1771
Median
163.0000
51.0000
Minimum
145.00
40.00
Maximum
180.00
86.00
N
IMT Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 1
7
7.3
7.3
7.3
2
89
92.7
92.7
100.0
Total
96
100.0
100.0
114
115
SST Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 1
95
99.0
99.0
99.0
2
1
1.0
1.0
100.0
Total
96
100.0
100.0
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 1
40
41.7
41.7
41.7
2
56
58.3
58.3
100.0
Total
96
100.0
100.0
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 1
52
54.2
54.2
54.2
2
44
45.8
45.8
100.0
Total
96
100.0
100.0
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 1
47
49.0
49.0
49.0
2
49
51.0
51.0
100.0
Total
96
100.0
100.0
DAS Depresi
DAS Cemas
DAS Stres
116
Directional Measures Asymp. Std. Approx. Approx. Value Errora Tb Sig. Nominal by Lambda Nominal
Symmetric
.068
.108
.603
.546
PSQI Dependent
.000
.000
.c
.c
DAS Stres .106 Dependent
.167
.603
.546
Goodman and Kruskal PSQI tau Dependent
.022
.030
.146d
DAS Stres .022 Dependent
.030
.146d
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Cannot be computed because the asymptotic standard error equals zero. d. Based on chi-square approximation
Symmetric Measuresa
Nominal Nominal N of Valid Cases
by Contingency Coefficient
Value
Approx. Sig.
.148
.144
96
a. Correlation statistics are available for numeric data only.
117
PSQI * DAS Stres Crosstabulation DAS Stres 1
2
Total
PSQI 1
10
17
27
2
37
32
69
47
49
96
1
2
Total
PSQI 1
11
16
27
2
41
28
69
52
44
96
Total
PSQI * DAS Cemas Crosstabulation DAS Cemas
Total
Directional Measures Asymp. Std. Approx. Approx. Value Errora Tb Sig. Nominal Nominal
by Lambda
Goodman and Kruskal tau
Symmetric
.070
.070
.967
.334
PSQI Dependent
.000
.000
.c
.c
DAS cemas .114 Dependent
.111
.967
.334
PSQI Dependent
.028
.034
.100d
DAS cemas .028 Dependent
.034
.100d
118
a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Cannot be computed because the asymptotic standard error equals zero. d .Based on chi-square approximation
Symmetric Measuresa
Nominal Nominal
by Contingency Coefficient
N of Valid Cases
Value
Approx. Sig.
.166
.099
96
a. Correlation statistics are available for numeric data only.
PSQI * DAS Depresi Crosstabulation DAS Depresi
PSQ Total
1
2
Total
1
9
18
27
2
31
38
69
40
56
96
119
Directional Measures Asymp. Std. Approx. Approx. Value Errora T Sig. Nominal Nominal
by Lambda
Goodman Kruskal tau
Symmetric
.000
.000
.b
.b
PSQI Dependent
.000
.000
.b
.b
DAS depresi .000 Dependent
.000
.b
.b
and PSQI Dependent
.011
.021
.303c
DAS depresi .011 Dependent
.021
.303c
a. Not assuming the null hypothesis. b.Cannot be computed because the asymptotic standard error equals zero. c. Based on chi-square approximation
Symmetric Measuresa
Nominal Nominal N of Valid Cases
by Contingency Coefficient
Value
Approx. Sig.
.105
.300
96
a. Correlation statistics are available for numeric data only.
120
PSQI, DAS dan SST dengan Nyei Kepala Nyeri_Kepala * PSQI Crosstabulation PSQI
Nyeri Kepala
1
2
Total
2
11
3
14
1
16
66
82
27
69
96
Total Symmetric Measuresa
Nominal Nominal
Value
Approx. Sig.
.421
.000
by Contingency Coefficient
N of Valid Cases
96
Correlation statistics are available for numeric data only. Directional Measures Asymp. Approx. Approx. Value Std. Errora Tb Sig. Nominal by Lambda Nominal
Goodman Kruskal tau
Symmetric
.195
.073
2.191
.028
Nyeri kepala Dependent
.000
.000
.c
.c
PSQI Dependent
.296
.116
2.191
.028
and Nyeri kepala Dependent
.215
.094
.000d
PSQI Dependent
.215
.088
.000d
121
Nyeri Kepala * Jenis_Kelamin Crosstabulation Jenis_Kelamin 1
2
Total
Nyeri Kepala 2
9
5
14
1
42
40
82
51
45
96
Total
Directional Measures Asymp. Std. Approx. Approx. Value Errora T Sig. Nominal Nominal
.000
.000
.b
.b
Nyeri kepala .000 Dependent
.000
.b
.b
Jenis kelamin Dependent
.000
.000
.b
.b
and Nyeri kepala .009 Dependent
.018
.368c
.018
.368c
by Lambda
Goodman Kruskal tau
Symmetric
Jenis kelamin Dependent
.009
a.Not assuming the null hypothesis. b.Cannot be computed because the asymptotic standard error equals zero. c.Based on chi-square approximation
122
Symmetric Measuresa
Nominal Nominal
by Contingency Coefficient
N of Valid Cases
Value
Approx. Sig.
.092
.365
96
a. Correlation statistics are available for numeric data only.
Nyeri Kepala dan Depresi Nyeri Kepala * DAS Depresi Crosstabulation DAS_Depresi
Nyeri Kepala
1
2
Total
2
6
8
14
1
34
48
82
40
56
96
Total
Symmetric Measuresa
Nominal Nominal N of Valid Cases
by Contingency Coefficient
Value
Approx. Sig.
.010
.922
96
a. Correlation statistics are available for numeric data only.
123
Nyeri Kepala dan Kecemasan Nyeri Kepala * DAS_Cemas Crosstabulation DAS_Cemas
Nyeri Kepala
1
2
Total
2
6
8
14
1
46
36
82
52
44
96
Total Symmetric Measuresa
Nominal Nominal
by Contingency Coefficient
Value
Approx. Sig.
.093
.358
N of Valid Cases
96
a. Correlation statistics are available for numeric data only. Nyeri Kepala dan Stres Nyeri_kepala * DAS_Stres Crosstabulation DAS_Stres
Nyeri Kepala
1
2
Total
2
5
9
14
1
42
40
82
47
49
96
Total Symmetric Measuresa
Nominal Nominal N of Valid Cases
by Contingency Coefficient
Value
Approx. Sig.
.109
.283
96
a. Correlation statistics are available for numeric data only.
124
Nyeri kepala dengan Stres Nyeri Kepala * DAS_Stres Crosstabulation DAS_Stres
Nyeri Kepala
1
2
Total
2
5
9
14
1
42
40
82
47
49
96
Total
Nyeri Kepala dengan Kelelahan Nyeri Kepala * SST Crosstabulation SST 1
2
Total
Nyeri Kepala 2
14
0
14
1
81
1
82
95
1
96
Total
Symmetric Measuresa
Nominal Nominal N of Valid Cases
by Contingency Coefficient
Value
Approx. Sig.
.042
.678
96
a. Correlation statistics are available for numeric data only.
125
Nyeri Kepala dengan Jenis Kelamin Nyeri Kepala * Jenis_Kelamin Crosstabulation Jenis Kelamin 1
2
Total
Nyeri Kepala 2
9
5
14
1
42
40
82
51
45
96
Total
Symmetric Measuresa
Nominal Nominal
by Contingency Coefficient
N of Valid Cases
Value
Approx. Sig.
.092
.365
96
a. Correlation statistics are available for numeric data only.
Nyeri Kepala dengan IMT Nyeri Kepala * IMT Crosstabulation IMT
Nyeri Kepala Total
1
2
Total
2
0
14
14
1
7
75
82
7
89
96
126
Symmetric Measuresa
Nominal Nominal N of Valid Cases
by Contingency Coefficient
Value
Approx. Sig.
.115
.256
96
a. Correlation statistics are available for numeric data only.