KORBAN BERJUANG, PUBLIK BERGERAK: MENDOBRAK STAGNANSI SISTEM HUKUM RINGKASAN EKSEKUTIF
Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2012 memuat informasi data kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima dan ditangani oleh sejumlah lembaga mitra pengada layanan di hampir semua provinsi di Indonesia, dan pengaduan langsung yang diterima oleh Komnas Perempuan lewat Unit Pengaduan dan Rujuan (UPR) serta pengaduan kasus lewat surat (imel) Komnas Perempuan. Total jumlah kasus KTP pada tahun 2012 adalah 216.156 kasus yang dilaporkan dan ditangani oleh lembaga-lembaga mitra pengada layanan, yang terdiri dari 329 PA (browsing laman BADILAG), 87 PN dan PM (browsing laman BADILUM) dan 2 UPPA (browsing laman UPPA) ditambah dengan kasus yang ditangani oleh 225 lembaga mitra pengada layanan yang merespon formulir KP dengan tepat waktu dan dapat diolah serta dianalisis datanya. Jumlah angka KTP ini menjadi hampir 2 kali lipat dari angka tahun sebelumnya (181%).Seperti telah dijelaskan terdahulu, 94% data CATAHU Tahun 2013 ini bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh PA, yaitu mencapai 203.507 kasus (dengan akta cerai). Sisanya sebanyak 6% - 12.649 kasus KTP dari lembaga-lembaga mitra pengada layanan yang merespon dengan mengembalikan formulir KP (yaitu sejumlah 225 lembaga mitra). Seperti tahun sebelumnya, mencatat kekerasan di ranah personal mencapai 8.315 kasus (66%) merupakan kekerasan yang paling banyak terjadi. Meski demikian, kekerasan di ranah komunitas tercatat mengalami peningkatan signifikan dibanding tahun lalu yakni 4,35% atau sebesar 4.293 kasus. Jenis dan bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi ialah kekerasan seksual (2.521 kasus), diantaranya perkosaan (840 kasus) dan pencabulan (780 kasus). Temuan CATAHU 2012 mencatat 14 kasus kekerasan di ranah komunitas yang paling menonjol adalah kasus perkosaan berkelompok (gang rape). Usia korban di ranah komunitas mayoritas antara 13 – 18 tahun atau dikategorikan sebagai usia anak, dengan latar belakang pendidikan menengah. Salah satu kasus yang diangkat ialah gang rape dan pembunuhan atas seorang mahasiswi perguruan tinggi Islam di Jakarta. Kasus lainnya yakni ancaman perkosaan bersifat verbal terhadap ibu-ibu dari kelompok minoritas agama, eksploitasi seksual di tahanan terhadap seorang model yang foto-fotonya disebar dalam kondisi tidak berpakaian lengkap, kekerasan terhadap istri berbentuk perdagangan orang, perkosaan terhadap perempuan pekerja migran di Malaysia, dan kekerasan seksual di transportasi publik di Jakarta yang masih terus berlangsung. CATAHU 2012 juga mencatat Kejahatan Perkawinan oleh pejabat publik yang mengangkat kejahatan perkawinan antara lain poligami dan praktek kawin yang tidak tercatat yang dilakukan oleh Bupati Lombok Tengah, Wakil Walikota Magelang, Walikota Palembang, dan Bupati Garut. Termasuk pula pengaduan 102 kasus ke Komnas Perempuan yang pelakunya adalah PNS, aparat kepolisian, anggota militer, pejabat pemerintahan daerah seperti Walikota dan Gubernur, kepala dinas, anggota DPRD, kepala badan, guru, dosen, tokoh agama, dan pengurus Parpol. Bentukbentuk kekerasan terbesar yang dilakukan oleh pejabat dan tokoh publik tersebut adalah KDRT atau kekerasan dalam ranah personal. Komnas Perempuan menegaskan bahwa tidak mencatatkan perkawinan, tidak memutuskan ikatan perkawinan melalui pengadilan, serta tidak memenuhi alasan, syarat dan prosedur bagi laki-laki untuk beristri lebih dari satu sebagaimana diatur di dalam berbagai perundang-undangan, adalah tindak kejahatan terhadap perkawinan dan turut melanggengkan tindak kekerasan terhadap perempuan.
1
Sepanjang 2012 tercatat pula pernyataan pejabat publik tentang perempuan yang diskriminatif sebagaimana yang disampaikan oleh Marzuki Ali terkait larangan menggunakan rok mini di DPR, dan pernyataan Muhammad Nuh tentang siswi korban kekerasan seksual. Serta 207 kebijakan di daerah yang diskriminatif terhadap perempuan atas nama moralitas dan agama. Sehingga Komnas Perempuan mencatat total kebijakan di daerah yang diskriminatif menjadi 282 kebijakan hingga Desember 2012. Di tengah pelbagai kondisi sebagaimana yang disebut di atas, Komnas Perempuan mengapresiasi sistem pendokumentasian Pengadilan Agama yang sangat baik; cepat, akurat dan mudah diakses (browsing laman BADILAG), sehingga penting mendorong lembaga peradilan lainnya melakukan hal yang sama. Komnas Perempuan mengapresiasi pula sejumlah terobosan hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Agung yang mengabulkan usulan DPRD Kabupaten Garut, untuk memberhentikan Bupati Garut, Aceng HM. Fikri karena tindakannya melakukan perceraian melalui pesan singkat (SMS) kepada isterinya FO yang dinikahi hanya dalam empat hari. Serta terobosan hukum dalam kasus Anand Krisna, dimana MA menggunakan kewenangannya untuk menciptakan keadilan bagi perempuan korban. Komnas Perempuan juga mengapresiasi pernyataan yang kondusif tentang perempuan yang disampaikan oleh Rusdy Mastura, Walikota Palu tentang reparasi bagi korban pelanggaran HAM masa lalu di Sulawesi Tengah dan pernyataan Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta menambah jumlah kendaraan umum untuk mencegah pelecehan seksual.
2
M E TO D O L O G I : K O M P I L A S I DA TA DA R I L E M B A G A M I T R A P E N G A DA L AYA NA N
Data kuantitatif catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan merupakan data kompilasi dari kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima dan ditangani oleh sejumlah lembaga mitra pengada layanan di hampir semua provinsi di Indonesia, dan pengaduan langsung yang diterima oleh Komnas Perempuan lewat Unit Pengaduan dan Rujuan (UPR) serta pengaduan kasus lewat surat (imel) Komnas Perempuan. Di penghujung setiap akhir tahun (biasanya bulan Oktober atau November tahun bersangkutan), Komnas Perempuan mengirimkan Formulir Data CATAHU kepada lembaga-lembaga mitra di daerah (lihat Daftar Lembaga Pengada Layanan yang Berpartisipasi dalam CATAHU Tahun 2013). Lembaga mitra pengada layanan mengisi data kasus (berdasarkan jumlah korban) yang ditangani masing-masing lembaga pada formulir pendataan ini dan dikirimkan kembali kepada Komnas Perempuan kira-kira bulan Januari atau/dan Februari tahun berikut agar semua data yang diterima dapat dikompilasi dan dianalisis tepat pada waktunya. adalah data pengadilan agama (PA) dan Pengadilan negeri (PN) yang dapat dengan mudah diakses lewat laman(website) BADILAG(Badan Peradilan Agama) dan BADILUM (Badan Peradilan Umum). Pengadilan Agama lebih rapi dan tepat waktu dalam mendokumentasikan data, sehingga data dari hampir seluruh PA di tingkat kabupaten/kota di 30 provinsi dapat diperoleh dengan mudah. Kondisi ini ditunjukkan dengan jauh lebih banyaknya jumlah kasus yang ditangani oleh PA dibandingkan dengan lembaga layanan lain, termasuk Pengadilan Negeri (PN). Komnas perempuan berhasil mengunduh data lewat Badilum dari sejumlah kecil PN. Penjelasan tentang kurangnya data PN di antaranya disebutkan karena kendala SDM dan waktu untuk mengunggah (upload) data. Dengan demikian, semakin diyakinkan bahwa pendokumentasian/pendataan kasus memang sebaiknya dilakukan secara terus-menerus dan ditangani oleh satu tim data yang secara khusus memperhatikan dengan seksama. SALAH SATU SUMBER DATA CATAHU TAHUN 2013 INI
dengan mengisikan data kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh masing-masing lembaga bersangkutan merupakan sumbangan nyata dan paling berharga dalam penyusunan catatan tahunan Komnas Perempuan. Besaran atau jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdata dan dilaporkan dalam setiap catatan tahunan bergantung pada: 1) kesediaan lembaga mitra merespon permintaan pengisian formulir pendataan Komnas Perempuan, 2) kinerja masing-masing lembaga mitra pengada layanan, khususnya dalam upaya mendokumentasikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan secara tepat dan cermat, 3) ketersediaan SDM khusus untuk pendokumentasian data (pendataan), dan 4) kurangnya pemahaman lembaga mitra akan pentingnya satu pangkalan data nasional tentang kasus-kasus riil (kasus yang ditangani) kekerasan terhadap perempuan yang selalu mutakhir. PARTISIPASI LEMBAGA MITRA PENGADA LAYANAN
belum dapat dihindari seratus persen selama pemahaman tentang kebutuhan data kasus riil secara nasional (untuk kepentingan advokasi) belum benar-benar terbangun. Namun demikian, Komnas Perempuan dari tahun ke tahun meminimalisasi double counting dengan sejumlah cara berikut: 1) memastikan lembaga mitra mencantumkan wilayah kerja sebagai data lembaga; 2) mengupayakan lembaga mitra mengisi dengan benar jumlah kasus yang diterima, kasus yang ditangani oleh lembaga itu sendiri dan kasus yang dirujuk ke lembaga lain; 3) menuliskan kerja sama (dalam bentuk MOU) yang dibangun di wilayah kerja masing-masing, khususnya relasi kerja sama dengan Kepolisian (UPPA), Pengadilan (baik PA maupun PN), Rumah Sakit, dan lembaga bantuan hukum (LBH). Berdasarkan pengalaman lebih dari sepuluh tahun Komnas Perempuan menangani isu KTP, jalur mekanisme dan prosedur kerja sama seperti ini yang dibangun oleh DOUBLE COUNTING KASUS/KORBAN YANG DITANGANI LEMBAGA PENGADA LAYANAN
3
lembaga pengada layanan. Dengan demikian, beberapa titik potensi overlapping bisa dipetakan dan diminimalisasikan data yang terhitung dua kali. Penyebaran (distribusi) formulir pendataan dan tingkat respon PENGIRIMANFORMULIR PENDATAAN CATAHU TAHUN 2013 dilakukan lewat pos, imel, dan diterimakan langsung kepada lembaga layanan ketika Komnas Perempuan melakukan kegiatan di sejumlah daerah. Pada tahun ini, Komnas Perempuan mengirimkan formulir pendataan keapada sejumlah 593 lembaga layanan yang tersebar di semua provinsi.
Pengembalian formulir dengan data yang dapat diolah mencapai 38% (sejumlah 225), ini berarti ada sejumlah 225 lembaga mitra mengembalikan formulir tepat waktu sehingga datanya masih dapat diolah untuk dimasukkan dalam Catatan Tahunan pada tahun ini. Seperti terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, pada tahun ini juga ada sejumlah 48 lembaga yang terlambat mengirimkan kembali formulir pendataan sehingga data lembaga bersangkutan tidak dapat diolah dan ditampilkan pada CATAHU tahun ini. Grafik berikut menunjukkan respon dari lembaga mitra pengada layanan:
4
Berdasarkan tingkat respon lembaga mitra pengada layanan diketahui bahwa lembaga pengada layanan pemerintah dan WCC menunjukkan tingkat respon di atas 30%, bahkan di antaranya merespon lebih dari 50%, yaitu: UPPA, RS, WCC, BPPKB, PT dan P2TP2A. Ini dapat diartikan, ada „gairah‟ dan perhatian untuk menyelenggarakan pendokumentasian dari lembaga-lembaga pengada layanan pemerintah, sebagai contoh konkret PA yang berhasil mengunggah data kasusnya dengan tepat waktu dan cermat, serta mudah diakses.
G A M B A R A N U M U M : J U M L A H P E R E M P UA N K O R B A N K E K E R A S A N TA H U N 2 0 1 2
Jumlah Kasus KTP Tahun 2012
Seperti telah dijelaskan terdahulu, 94% data CATAHU Tahun 2013 ini bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh PA, yaitu mencapai 203.507 kasus (dengan akta cerai). Sisanya sebanyak 6% - 12.649 kasus KTP dari lembaga-lembaga mitra pengada layanan yang merespon dengan mengembalikan formulir KP (yaitu sejumlah 225 lembaga mitra). Total jumlah kasus KTP pada tahun 2012 adalah 216.156 kasus yang dilaporkan dan ditangani oleh lembaga-lembaga mitra pengada layanan, yang terdiri dari 329 PA (browsing laman BADILAG), 87 PN dan PM (browsing laman BADILUM) dan 2 UPPA (browsing laman UPPA) ditambah dengan kasus yang ditangani oleh 225 lembaga mitra pengada layanan yang merespon formulir KP dengan tepat waktu dan dapat diolah serta dianalisis datanya. Jumlah angka KTP ini menjadi hampir 2 kali lipat dari angka tahun sebelumnya (181%). Seperti pada tahun-tahun yang lalu, angka ini merupakan fenomena gunung es. Masih sangat banyak perempuan korban tidak mampu dan tidak berani menceritakan pengalaman kekerasannya, apalagi berani mendatangi lembaga pengada layanan untuk meminta pertolongan. Keengganan dan ketidakmampuan ini lebih banyak disebabkan oleh stigma yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan korban kekerasan justru dianggap sebagai pihak yang bersalah, „perempuan penggoda‟ atau tidak mempunyai akhlak yang baik dan oleh karenanya sudah sepantasnya mendapat tindakan kekerasan seperti yang dialaminya. Kondisi seperti ini diperparah dengan pernyataan-pernyataan pejabat publik yang seharusnya memberi pengayoman dan menjadi model, tetapi justru mengeluarkan pernyataan yang melemahkan korban, seperti “... sudah sepantasnya perempuan menjadi korban karena penampilannya atau pakaiannya ...” 5
Di pihak lembaga pengada layanan sendiri, sejumlah faktor menjadi kendala dalam menyediakan layanan: keterbatasan sumber daya manusia (SDM), keterbatasan dana, dukungan masyarakat sekitar, dukungan dari pihak pemerintah (daerah maupun pusat). Sejak beberapa tahun terakhir, sejumlah lembaga pengada layanan mengalami kesulitan dalam melakukan layanan dikarenakan berkurangnya dukungan dana baik dari pihak pemerintah maupun dari lembaga dana.
Data Pengadilan Agama (+ Pengadilan Tinggi Agama) dari Tahun ke Tahun Sejak dikeluarkannya Keputusan Ketua MA Nomor 144/KMA/SK/ VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Lingkungan Pengadilan, dapat dilihat adanya kemajuan dan kesungguhan pengadilan agama dalam melakukan pendokumentasian kasuskasus yang ditangani oleh lembaga tersebut dalam kurun waktu lima tahun terakhir, seperti dapat dilihat pada grafik di samping. Komnas Perempuan mengunduh data PA dan PN sejak tahun 2008 dan grafik ini menunjukkan kesungguhan PA dalam menerapkan kebijakan Keputusan Ketua MA dimaksud. Sejak tahun 2009, data dari PA menyumbang lebih dari 70 – 90 persen dari total jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) yang diunduh oleh Komnas Perempuan (KP), yaitu berturut-turut: tahun 2008 – 77%, tahun 2009 – 90%, tahun 2010 – 89%, tahun 2011 – 85%, dan tahun 2012 – 94%. Dan data kasus PA dimasukkan secara utuh ke dalam Catahan Tahunan Komnas Perempuan ini dikarenakan kemudahan akses serta kerapihan PA dalam menggunggah datanya di laman BADILAG. Artinya, data PA di laman BADILAG ini juga akan mudah diakses oleh siapa pun yang memerlukannya. Pada tahun ini (per 8 Februari 2013), Komnas Perempuan berhasil mengakses data dari 329 Pengadilan Agama (PA) di tingkat kabupaten/kota yang tersebar di 30 Provinsi di Indonesia, seperti grafik berikut:
Kasus yang Diproses oleh PA selama Tahun 2012
6
Data perkara/kasus PA yang diakses per 8 Feb 2013 mencapai 304.983 kasus, yang dikategorikan menjadi: ijin poligami (850), cerai talak (95.287), dan cerai gugat (208.846). Semua perkara yang masuk kemudian diproses untuk diputuskan apakah kasus akan ditolak, diterima dan dibatalkan. Pada akhirnya, dari seluruh perkara yang diproses ini ada 203.507 kasus (67%) telah mendapatkan putusan (akta cerai). Jumlah inilah yang diolah untuk Catatan Tahunan. Berdasarkan penjelasan dari pihak BADILAG, PA membuat kategori perkara untuk diputus (diproses), termasuk penyebab perceraian dengan merujuk pada penjelasan/ketentuan dari Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dengan PP No. 9 Tahun 1975. Jadi, misalnya kasus-kasus ijin poligami diajukan oleh suami yang memohon untuk mendapatkan kesahihan perkawinan poligami yang akan dijalaninya, kasus cerai talak diajukan oleh suami, sedangkan kasus cerai gugat diajukan oleh istri dengan alasan penyebab masing-masing. PP No. 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksana dari UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 memberikan penjelasan berikut: Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: (1) salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan (=krisis akhlak); (2) salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya (=tidak ada tanggung jawab); (3) salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung (=dihukum); (4) salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain (=kekejaman jasmani, kekejaman mental); (5) salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri (=cacat tubuh); dan (6) antara suami istri terus-menerus terjadi perelisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (=tidak harmonis)
Berdasarkan peraturan pelasanaan UU Perkawinan ini dan KHI, maka PA membuatkategorisasi perkara perceraian yang sudah mendapatkan akta cerai berdasarkan penyebab perceraian, yaitu: poligami tidak sehat, krisis akhlak, cemburu, kawin paksa, ekonomi, tidak ada tanggung jawab, kawin di bawah umur, kekejaman jasmani, kekejaman mental, dihukum, cacat biologis, politis, gugatan pihak ketiga, tidak ada keharmonisan, dan kategori lain-lain – tidak ditemukan penjelasan kategori lain-lain ini mencakup apa saja.
7
Dari grafik di samping, dapat diketahui dari 15 kategori penyebab perceraian dan di antaranya ada 5 kategori penyebab perceraian yang terbanyakdibandingkan dengan penyebab lain dari total kasus, yaitu: poligami tidak sehat (23% atau 47.259 kasus), tidak ada keharmonisan (18% atau 38.801 kasus)), (faktor) ekonomi (16% atau 32.627 kasus), tidak ada tanggung jawab dan penyebab lainlain (masing-masing mencapai 15%). Ada pula sejumlah kasus diputus yang relatif sedikit dibandingkan dengan penyebab lain, yaitu: kekejaman mental (337 kasus), cacat biologis (414 kasus), dihukum (430 kasus), kawin di bawah umur (498 kasus). Tabel berikut memperlihatkan prosentase kategori penyebab perceraian terbanyak menurut provinsi: Tabel: Prosentase Empat (4) Penyebab Perceraian terbanyak menurut Provinsi NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
PROVINSI
Poligami tidak sehat
Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Babel Bengkulu Bandar Lampung DKI Jabar Banten Jateng Jatim Yogyakarta Bali & NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Gorontalo Sulteng Sultra Sulsel Maluku Maluku Utara Papua
27 14 22 18 6 13 40 7 15 18 20 11 8 39 22 47 78 13 2 37 33 23 47 18 15 10 3 5 6
Tidak ada tanggung jawab
Tidak ada keharmonisan
Ekonomi 23 18 20 10 26 9 17 19 9 10 12 13 27 11 22 7 9 11 8 9 6 5 5 9 10 14 19 24 22
2 5 6 2 11 4 5 1 30 3 42 11 14 13 3 5 0 3 4 4 4 1 1 4 4 6 2 3 2
32 34 28 23 31 34 15 50 26 21 10 25 14 15 26 16 7 45 29 33 26 34 35 29 20 33 42 27 48
*Sumber Data: browsing laman BADILAG per 8 Februari 2013
8
Ada 7 provinsi yang menunjukkan penyebab perceraian poligami tidak sehat lebih sari 30% dari total kasus perceraian di provinsi masing-masing, yaitu: NTT – 78%, Bali&NTB dan Gorontalo – 47%, Babel – 40%, Jatim – 39%, Kalsel 37% dan Kaltim – 33%. Untuk penyebab tidak ada tanggung jawab ada 6 provinsi yang menunjukkan prosentase lebih dari 20% dari total kasus cerai di masing-masing provinsi, yaitu: Jateng- 27%, Jambi – 26%, Maluku Utara – 24%, Yogyakarta 22%, Papua – 22%, dan Sumatera Barat 20%. Provinsi Jawa Barat dan Lampung merupakan 2 provinsi yang menunjukkan penyebab perceraian dengan alasan (faktor) ekonomi dengan prosentase cukup tinggi (42% dan 30%). Sedangkan untuk alasan tidak ada keharmonisan ada 13 provinsi yang mempunyai perkara di atas 30% dari total kasus cerai masing-masing provinsi, seperti dapat dilihat pada tabel berikut: Namun demikian, meskipun jumlahnya kurang dari 5% dari total kasus perceraian, penyebab perceraian seperti kawin paksa, kawin di bawah umur, cacat biologis, dan alasan politis, perlu mendapat perhatian lebih seksama karena patut diduga korban perceraiannya melibatkan anak perempuan dan perempuandari kelompok rentan. Jumlah Korban KTP Tahun 2012 menurut Provinsi berdasarkan catatan lembaga mitra Data kasus seperti pada grafik di samping diperoleh dari 225 lembaga mitra pengada layanan di 33 provinsi di Indonesia. Jumlah kasus KTP yang didokumentasikan oleh seluruh lembaga pengada layanan tersebut adalah 12.649 kasus. Ada 5 provinsi dengan jumlah kasus KTP yang menonjol di antara provinsi lain, yaitu: DKI Jakarta (1.699 kasus), Jawa Timur (1.593 kasus), Jawa Barat (1.352 kasus), Jawa Tengah (1.052 kasus), dan Sumatera Barat (902). Di kelima provinsi tersebut terdapat sejumlah lembaga mitra pengada layanan yang mencatat kasus KTP terbanyak, yaitu: DKI Jakarta – P2TP2A (1.429 kasus) dan UPPA (222 kasus); JaTim – P2TP2A (613 kasus), RS (609 kasus), dan UPPA (117 kasus); JaBar – P2TP2A (373 kasus), BPPKB (348 kasus), UPPA (289 kasus), OMS (216 kasus); JaTeng – OMS (683 kasus), BPPKB (130 kasus), UPPA (116 kasus); SumBar – UPPA (767 kasus).
9
Jika dilihat menurut lembaga layanan, pada tahun 2012 ini kasus paling banyak datang ke UPPA (3.992), OMS (2.286), dan P2TP2A (2.897). Lembaga yang juga banyak menerima kasus adalah BPPKB dan WCC. Mencermati data kasus dari lembaga pengada layanan ini, maka alasan yang dikemukakan oleh sebagian besar lembaga pengada layanan, khususnya OMS atau NGO berkaitan dengan keterbatasan dana penanganan kasus patut mendapat perhatian serius. P O L A K T P TA H U N 2 0 1 2 : K E K E R A S A N D I R A NA H K OM U N I TA S M E N I N G K A T
Diagram di samping menunjukkan pola KTP pada tahun 2012 yang ditangani oleh lembaga pengada layanan (225 lembaga yang mengirim data ke KP, n = 12.649 kasus) Seperti tahun lalu, kekerasan yang terjadi di ranah KDRT/RP paling tinggi (66% - 8.315). Dan kekerasan di ranah komunitas tercatat sejumlah 34% (4.293). Prosentase kekersan di ranah komunitas ini meningkat cukup signifikan dibandingkan dengan tahun lalu (4,35%). Dan prosentase kekerasan di ranah negara kurang dari 1% (41 kasus).
Kekerasan Dalam Rumah Tangga / Relasi Personal Kasus KDRT/RP yang ditangani oleh lembaga mitra pengada layanan berjumlah 8.315 kasus. Dari jumlah tersebut, kekerasan psikis merupakan bentuk KDRT/RP paling tinggi (46%), bentuk kekerasan fisik mencapai 28%, kekerasan seksual 17%, dan kekerasan ekonomi sejumlah 8%. Dibandingkan dengan data Catahu tahun lalu ditengarai ada pergeseran jenis KDRT/RP ini. Pada tahun lalu kekerasan psikis juga menempati urutan pertama, 10
Kekerasan terhadap perempuan di Ranah Komunitas (KOM) Jenis dan bentuk KTP di ranah Komunitas (Kom) dapat dilihat seperti grafik di samping. Ada empat (4) jenis kekerasan di ranah Komunitas, yaitu seksual, psikis, fisik, dan jenis yang dikategorikan sebagai lainlain. Jenis kekerasan seksual mengambil bentuk: pencabulan, perkosaan, percobaan pencabulan, persetubuhan, pelecehan seksual, melarikan anak perempuan, dan kekerasan seksual lain. Di antara bentuk kekerasan seksual yang paling banyak tercatat adalah perkosaan (840) dan pencabulan (780). Ada pula persetubuhan yang tercatat sebanyak 207 kasus serta pelecehan seksual 118 kasus. dan kekerasan seksual lain sejumlah 564 kasus. Kekerasan psikis mencakup pengancaman – 2 kasus, dan kekerasan psikis lain – tercatat sejumlah 413 kasus. Dan kekerasan fisik meliputi penganiayaan, pemukulan, pembunuhan, kekerasan fisik lain. Penganiayaan merupakan bentuk kekerasan fisik yang tercatat paling tinggi (597 kasus) dan pemukulan (199). Sedangkan jenis kekerasan ranah komunitas dikategorikan dalam jenis lain-lain yang mencakup trafiking (403) dan buruh migran (3).
Seperti dapat dilihat pada tabel di atas, kekerasan seksual di ranah Komunitas dicatat dan ditangani oleh semua lembaga pengada layanan di wilayah masing-masing, dan lembaga yang paling banyak menerima kasus kekerasan seksual ini adalah UPPA – 1.037 kasus, P2TP2A – 433 kasus, dan OMS – 307 kasus. Oleh karena kekerasan seksual membutuhkan penanganan yang khusus dan seksama, kiranya segenap lembaga pengada layanan perlu menyiapkan SDM dan fasilitas layanan yang memadai.
11
Di antara kekerasan seksual terebut juga ada data mengenai gang rape, yang ditangani oleh PN (Pengadilan Negeri) di sejumlah daerah – lihat tabel berikut. No
Provinsi
Gang Rape
Nama PN
1
Aceh
PN Meulaboh
1
2
Sumut
PN Kisaran
1
3
Sumbar
PN Painan
1
4
Lampung
PN Kotabumi
1
5
Jateng
PN Cilacap
1
PN Magelang
1
PN Klaten
1
6
Jatim
PN Sumenep
1
7
Kalsel
PN Kandangan
2
PN Pelaihari
1
PN Merauke
1
8
Papua
Gang rape termasuk kekerasan seksual di ranah komunitas (menurut data kasus pada tahun ini), dimana korban diperkosa oleh lebih dari satu orang – dan merupakan tim atau gang (biasanya pelaku saling mengenal dan melakukan tindak perkosaan dengan perencanaan). Jumlah pelaku antara 2 – 7 orang seperti dicatat oleh PN. Kiranya lembaga pengada layanan perlu mewaspadai kejadian gang rape ini yang telah dicatat oleh 13 PN di 9 provinsi. Perlu juga dikembangkan kesiapan lembaga dalam rangka menangani kasus- kasus gang rape demikian.
Secara khusus juga perlu dikaji lebih lanjut PN Biak 1 kaitan gang rape dengan kondisi wilayah konflik, karena data dalam tabel Total Gang Rape 14 menunjukkan kejadian di sejumlah wilayah yang ditengarai masih terjadi konflik, seperti: Papua, Papua Barat, Kalimantan Selatan, dan Aceh. 9
Papua Barat
PN Sorong
1
Kekerasan terhadap perempuan di Ranah (yang menjadi tanggung jawab) Negara Provinsi Sumbar
WCC
OMS
3
Jumlah 3
DKI
1
1
Jateng
37
37
38
40
Jumlah
3
Lembaga pengada layanan yang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan yang menjadi tanggung jawab Negara adalah mereka yang berada di Provinsi Sumatera Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah. Jumlah kasus yang ditangani pada tahun 2012 untuk kekerasan di ranah Negara tercata 40 kasus, yang terbanyak di Jawa Tengah dan ditangani oleh OMS (37 kasus).
K A R A K T E R I S T I K K O R B A N DA N P E L A K U
Usia Korban & Pelaku Berdasarkan data yang masuk ke lembaga pengada layanan, usia korban dapat dilihat seperti grafik di samping. Untuk KTP di ranah KDRT/RP tercatat usia korban paling banyak di kategori usia 25-40 tahun. Korban juga ditengarai berusia antara 13 – 18 tahun dan antara 19 – 24 tahun. Meskipun juga terdapat korban dengan usia balita dan usia SD, serta usia di atas 40 tahun. Sedangkan untuk ranah Komunitas, usia korban paling banyak di kategori usia 13-18 12
tahun, meskipun di kategori usia seperti dilihat dalam grafik juga terlihat ada korban. Artinya, perempuan usia anak (13-18 tahun) rentan mengalami kekerasan di ranah komunitas, entah ketika menuju ke sekolah, di dalam angkutan kota (angkot), di sekolah, atau di tempat-tempat lain dimana usia remaja berkumpul. Di pihak pelaku untuk ranah KDRT/RP, yang paling banyak pelaku di kategori usia 25-40 tahun, dan di atas 40 tahun. Ada pula pelaku usia 19-24 tahun. Ini berarti, usia pelaku di ranah KDRT/RP rata-rata usia dewasa. Sedangkan pelaku di ranah komunitas yang terbanyak tercatat usia di atas 40 tahun, lalu kedua terbanyak kategori usia 19-24 tahun dan 25-40 tahun. Kasus gang rape yang dicatat oleh PN masuk di ranah Komunitas dan berusia antara 13-18 tahun (19 orang), 19-24 tahun (5 orang), 25-40 tahun (4 orang), dan 7 orang di atas 40 tahun. Tingkat Pendidikan Korban & Pelaku Berkaitan dengan data mengenai tingkat pendidikan korban, grafik di samping menunjukkan bahwa tingkat pendidikan korban KTP baik di ranah KDRT/RP maupun di ranah Komunitas paling banyak di tingkat SLTA, dan SLTP. Ini selaras dengan usia korban yang telah dijelaskan terdahulu. Artinya, korban memang di usia-usia dengan tingkat pendidikan SLTA dan SLTP. Ada pula korban dengan tingkat pendidikan SD. Data di samping juga menunjukkan bahwa korban di ranah KDRT/RP banyak di antaranya yang memiliki tingkat pendidikan perguruan tinggi (PT). Dan dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa korban „kebanyakan‟ adalah mereka yang pernah atau sedang mengikuti pendidikan formal – korban mempunyai pendidikan tingkat tertentu, karena hanya sedikit di antara korban yang tidak sekolah atau tidak lulus SD. Dan dari tabel di samping yang memperlihatkan tingkat pendidikan pelaku KTP di ranah KDRT/RP dan Komunitas dapat disimpulkan bahwa:
Pelaku KTP di ranah KDRT/RP dan Komunitas ternyata kebanyakan berpendidikan tingkat SLTA Pola tingkat pendidikan antara korban dan pelaku KTP di ranah KDRT/RP dan Komunitas ternyata sama Kekurangsiapan satuan pendidikan, khususnya tingkat SLTA dalam memberikan materi berkaitan dengan KTP (isunya sendiri dan respon terhadap KTP) 13
Profesi Korban & Pelaku Dari aspek pekarjaan atau profesi tercatat bahwa korban paling banyak adalah ibu rumah tangga (IRT), pelajar, dan buruh di sektor informal (misalnya tukang cuci). Juga tercatat korban dengan pekerjaan sebagai guru, PNS dan petani, serta anggota POLRI Sedangkan profesi atau pekerjaan pelaku kebanyakan dicatat sebagai wirausaha, karyawan swasta, PNS, POLRI, pelajar, dan petani. Meskipun tidak tercatat dalam jumlah banyak, di pihak pelaku ada pula tokoh agama (4), DPR/D (3), dan guru (22). P E N G A D UA N L A N G S U N G K E K OM N A S P E R E M P UA N
Komnas Perempuan membangun dua mekanisme pengaduan di bawah koordinasi Sub Komisi Pemantauan, yaitu 1. Unit Pengaduan untuk Rujukan (UPR), yang didirikan sejak tahun 2003 untuk menerima pengaduan korban baik datang langsung maupun melalui telepon. Sesuai dengan mandat, KP akan merujuk setiap kasus yang datang langsung ke lembaga mitra pengada layanan sesuai dengan kebutuhan korban; 2. Mekanisme dukungan (langsung ke Divisi Pemantauan), bagi kasus KTP yang bersifat politis seperti: pelaku adalah pejabat publik/tokoh masyarakat, korbannya massal, dan/atau kasus yang sedang menjadi perhatian nasional/internasional, dan pengaduan lewat surat (elektronik, pos, fax, facebook) menemui kesulitan dalam proses penyelesaian perkara serta membutuhkan dukungan Komnas Perempuan terutama dalam proses hukum. Tabel: Jumlah Pengaduan ke KP Tahun 2012
Sepanjang tahun 2012, UPR menerima 739 pengaduan: 354 pengaduan datang langsung, UPR KDRT/RP 590 385 melalui telepon. Dari 739 kasus tersebut, Komunitas 101 sejumlah 680 ditindaklanjuti dan 59 kasus Negara 38 tidak ditindaklanjuti karena kasus tidak Trafiking 10 berbasis gender, pelapor yang mengalami Pekerja migran 5 Perburuhan gangguan jiwasehingga kasus tidak bisa WHRD diidentifikasi, dan surat masuk yang Lain-lain 59 membutuhkan informasi saja. Sementara TOTAL 803 jumlah kasus masuk melalui Divisi Pemantauan sepanjang tahun 2012 sejumlah 284 kasus. Sehingga total kasus yang masuk ke UPR dan Divisi Pemantauan yakni 1.023 kasus. Divisi Pemantauan 193 44 150 11 33 52 5 488
Total Korban 783 145 188 21 38 52 5 59 1.291
Pola KTP yang pengaduannya diterima langsung oleh KP pada tahun 2012 sebagai berikut: KTI - 549 kasus, KDP – 101 kasus, kekerasan mantan suami (KMS) - 55 kasus, kekerasan mantan pacar (KMP) 9 kasus, KTAP - 28 kasus, KDRT - 32 korban, relasi personal (RP) 5 kasus, dan pekerja rumah tangga (PRT) 4 kasus.
14
Tujuan Kepolisian Kejaksaan Negeri Kejaksaan Tinggi Pengadilan Negeri Pengadilan Tinggi Pengadilan Agama Pengadilan Tinggi Agama Mahkamah Agung Panglima TNI Kemenlu, Kemenakertrans, BNP2TKI Organisasi Agama Perusahaan Lembaga Pemasyarakatan Pelaku (Pejabat Publik) Sekolah Dinas Tenaga Kerja TOTAL
Institusi Kepolisian Kepolisian Republik Indonesia Kepolisian Daerah Sumatera Utara Kepolisian Daerah Sumatera Barat Kepolisian Daerah Bengkulu Kepolisian Daerah Sumatera Selatan Kepolisian Daerah Lampung Kepolisian Daerah Metro Jaya Kepolisian Daerah Jawa Barat Kepolisian Daerah Bali Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Kepolisian Daerah Ambon Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan Kepolisian Daerah Kalimantan Timur TOTAL
Jumlah Surat 43 4 1 8 2 1 1 1 5 4 2 7 1 1 1 1 83
KP merespon pengduan masuk ke Divisi Pemantauan dengan memberikan dukungan sesuai kebutuhan korban, berupa surat dukungan dan pendapat mengenai kasus bersangkutan. Surat dukungan biasanya ditujukan untuk mendorong penanganan kasus yang menimpa korban di berbagai tingkatan aparat penegak hukum, kementerian, maupun institusi/lembaga lain. Sepanjang tahun 2012, surat dukungan Komnas Perempuan mayoritas ditujukan kepada pihak Kepolisian (khususnya POLDA Metro Jaya) karena banyak korban mengalami kesulitan dalam proses hukum di tingkat penyidikan.
Jumlah Surat 1 5 1 1 3 2 21 2 1 2 1 1 1 1 43
Tabel di samping memperlihatkan jumlah surat dukungan kepada institusi kepolisian di berbagai daerah yang dikeluarkan KP sepanjang tahun 2012. Surat dukungan ini dimintakan oleh korban untuk membantu melancarkan proses penyidikan yang sedang dijalani. Sepanjang tahun 2012 ini total jumlah surat dukungan yang ditujukan kepada institusi kepolisian. Dan yang paling banyak surat ditujukan kepada Kepolisian Daerah Polda Metro Jaya pada tahun 2012 - 21 surat dukungan.
15
KE KE R A S AN S E KS UA L
Sepanjang tahun 2012, kekerasan seksual menjadi salah satu persoalan kekerasan terhadap perempuan yang mencuat, bukan saja dalam hal intensitas pelaporan tetapi juga dalam kompleksitas persoalan dan dampaknya, sebagaimana tampak pada kasus-kasus berikut ini. Masing-masing kasus perlu mendapat perhatian lebih khusus untuk memastikan advokasi pada kasus kekerasan seksual memperhatikan lapisan kerentanan perempuan korban
Kasus Perkosaan Berkelompok (gang rape) atas Mahasiswi Perguruan Tinggi Islam di Jakarta Almarhum IN (usia 24 tahun) mahasiswi Universitas Islam di Jakarta, telah menjadi korban perkosaan, dan pembunuhan. Kepolisian Resort Tangerang Kota berhasil mengungkap peristiwa ini dan segera mengamankan 6 orang pelaku.Salah satu pelaku yakni Muhammad Solehalias Oleng dikenal oleh korban. Sementara 5 pelaku lainnya adalah teman Oleng. Media massa ramai membicarakan pelaku Oleng adalah pacar korban, sehingga berbagai pemberitaan cenderung menyalahkan korban. Padahal serangkaian pembuktian telah mengarahkan bahwa dalam kurun waktu yang lama korban telah menjadi target pemalakan dan pemerasan oleh pelaku Oleng. Kekerasan yang dialami oleh IN mematahkan pandangan bahwa perkosaan terjadi kepada perempuan dengan berpakaian minim, karena IN berkerudung. Juga meneguhkan perkosaan kerap terjadi di mana korban mengenal pelaku yang merupakan orang dekat korban Setelah proses hukum kasus ini berjalan selama 8 bulan, pada 19 Desember 2012 melalui putusan No.1501/Pid.B/2012/PN.TNG, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman mati terhadap pelaku Oleng karena terbukti melakukan pembunuhan berencana dan perkosaan, sementara kelima pelaku lainnya dituntut hukuman 20 tahun penjara. Komnas Perempuan mengapresiasi aparat penegak hukum yang bekerja sama sejak tahap penyidikan hingga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan putusan, meski dalam berbagai kesempatan, Komnas Perempuan menyayangkan hukuman mati yang masih saja berlaku di Indonesia, padahal kita sudah mempunyaiUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). Menanggapi berulangnya peristiwa kekerasan seksual yang terjadi para pelajar/mahasiswi, Komnas Perempuan mendorong lembaga pendidikan untuk memberi jaminan perlindungan pada mahasiswi/pelajar dan perempuan pada umumnya untuk bermobilitas dan membangun kebijakan sistemik menjaga keamanan mahasiswi/pelajar. Misalnya, menyediakan ruang belajar, sarana transportasi, dan fasilitas kampus/sekolah yang aman bagi anak didik, serta pusat pengaduan peristiwa kekerasan seksual di tingkat kampus/sekolah
Ancaman Perkosaan dalam serangan terhadap jemaah Filadelphia Pada kasus penyegelan gereja dan pelarangan ibadah bagi Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia, ancaman perkosaan menjadi salah satu bentuk intimidasi. Minggu, 6 Mei 2012, dua orang perempuan; S, dan R, mengalami berbagai intimidasi, termasuk ancaman perkosaan ketika tengah meliput peristiwa pembubaran paksa ibadah jemaat HKBP Filadelfia, di Desa Jejayen, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, oleh sekelompok massa. S dan R awalnya dicecar dengan pertanyaan menyelidik tentang identitas mereka. S dan R bukan jemaat HKBP. Namun karena dianggap sebagai bagian dari jemaat, S dan R kemudian menjadi sasaran caci-maki. Sebagian cemooh yang ditujukan pada mereka menyinggung identitas Batak, sebagian lagi pada 16
penampilan dan bentuk tubuh (pelecehan seksual secara verbal). Tubuh S dan R juga didorongdorong dari belakang, dilempar dengan air kemasan dalam gelas plastik, dikerubuti, dan dipaksa menunjukkan kartu identitas (KTP). Puncak dari intimidasi yang dialami S dan R adalah ketika beberapa perempuan dari kelompok tersebut meneriaki mereka dengan teriakan ”Perkosa, perkosa saja”. Meskipun tidak sampai terjadi aksi perkosaan, Komnas Perempuan mengkategorikan intimidasi ancaman perkosaan tersebut merupakan bentuk kekerasan seksual. Tindakan ini, dilakukan baik secara langsung maupun tidak, menghadirkan rasa takut atau derita psikis pada perempuan korban. Kerentanan perempuan terhadap kekerasan pada situasi konflik adalah fakta yang banyak terekam dalam catatan sejarah kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan seksual tak bisa dilepaskan dalam pengalaman pahit perempuan korban setiap pecah konflik. Pola yang menjadi seperti lazim. Bahwa perempuan dan tubuhnya, telah, dan selalu menjadi sasaran penyerangan. Hal ini dikarenakan dalam masyarakat patriarkhi, konsep kesucian dilekatkan pada tubuh perempuan. Seksualitas perempuan juga menjadi simbol bagi martabat kelompok masyarakat tertentu. Ketika terjadi konflik, hancurnya tubuh perempuan sama artinya dengan hancurnya kehormatan dari masyarakat dimana dia berasal.
Eksploitasi Seksual di Tahanan Oktober 2012, terjadi eksploitasi seksual kepada perempuan yang berada di dalam tahanan, di Jakarta. Kejadian itu dialami oleh NA seorang model, yang menjadi tersangka kasus kecelakaan lalu lintas di Jakarta Barat. NA menabrak tujuh orang pejalan kaki dan seorang anggota polisi dan ditahan di Mapolsek Metro Taman Sari. Selama dalam tahanan tersebut terjadi eksploitasi seksual dan menyebarnya foto-foto NA di jejaring sosial dalam kondisi tidak berpakaian lengkap, padahal saat kecelakaan terjadi NA masih mengenakan pakaian. Foto-foto tersebut berasal dari ruang tahanan Polsek Metro Taman Sari. Kepolisian Daerah Metro Jaya (25/10/2012) mengeluarkan hasil penyelidikan dan menemukan 3 pelaku/ tersangka yang menyebarkan foto-foto tersebut, yakni dua anggota polisi Polsek Taman Sari berinisial HS dan DI, dan seorang lainnya adalah wartawan berinisial WO. Komnas Perempuan menyatakan agar Institusi Penegak Hukum dalam melakukan penahanan mengacu pada KUHAP dan situasi di tahanan belum mempertimbangkan kondisi khusus bagi perempuan. Sistem penahanan bagi tersangka/terdakwa perempuan masih mengandung diskriminasi bagi perempuan. Selama ini pengaturan penahanan terhadap perempuan diterapkan aturan normatif dan subjektif disamakan dengan tersangka/ terdakwa laki-laki tanpa infrastruktur memadai. Inilah yang mengakibatkan perempuan memiliki kerentanan mengalami pelanggaran hak perempuan dalam tahanan.
Kekerasan terhadap Istri berbentuk perdagangan orang untuk tujuan seksual AW (40) penduduk Depok, sebagai suami dan ayah seharusnya memenuhi kebutuhan nafkah dan melindungi istri dan anak-anaknya, yang terjadi justru sebaliknya. AW yang pengangguran sejak di PHK oleh perusahaan, membuat istrinya, R (30) terpaksa menjadi tulang punggung keluarga. R tidak hanya mengurusi pekerjaan domestik tetapi juga mencari nafkah. Meski telah berlelah mencari nafkah dan mengurusi pekerjaan rumah tangga, R beserta kedua anaknya kerap mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh AW suaminya. R dan AW sering terlibat pertengkaran, bahkan AW tega menjual R istrinya untuk melayani lakilaki lain dengan imbalan 300 ribu rupiah. Uang hasil menjual isterinya digunakan untuk 17
bersenang-senang dengan perempuan lain1. AW tidak hanya sekali saja menjual isterinya, tetapi setiap kali ia tidak punya uang ia meminta R untuk melayani laki-laki lain. Sampai akhirnya, kejadian pada Sabtu 3 November 2012 membuat tetangganya marah pada AW. Pada malam itu, R menolak permintaan suaminya untuk melayani laki-laki lain karena sudah dua kali suaminya menjual dirinya. Ia pun melarikan diri ke rumah Ketua RT setempat. Saat mengejar R dengan menggunakan sepeda motor, AW melindas anak mereka hingga menyebabkan kaki dan tangan anak itu lebam. Hal ini kemudian membuat warga menangkap dan menyerahkan AW ke kantor polisi. 2, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Semestinya AW, juga bisa dikenakanUndang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Komnas Perempuan melihat bahwa kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi di semua lapisan sosial-ekonomi masyarakat. Di kalangan masyarakat kelas ekonomi atas pun kekerasan dapat terjadi. Untuk kasus yang menimpa R ini justru memperlihatkan betapa kemiskinan menambah tingkat kerentanan perempuan mendapatkan kekerasan. Ditambah lagi dengan budaya patriarkhi. Kemiskinan di Indonesia dari masa pemerintahan Soeharto sampai sekarang lebih merupakan dampak dari kebijakan pembangunan yang selama puluhan tahun tidak memikirkan pemerataan, sebaliknya yang terjadi kerap adalah pencerabutan sumber kehidupan dari kaum miskin khususnya perempuan. Sehingga buah akhir dari satu kebijakan pembangunan justru melanggengkan kekerasan terhadap perempuan dan mengukuhkan budaya patriarkhi dalam masyarakat.
Kekerasan Seksual di Transportasi Publik Teror kekerasan seksual di angkutan umum, khususnya di angkutan kota (Angkot), yang menghantui perempuan pada tahun 2011, tidak kunjung surut pada tahun 2012. Berulangnya kasus-kasus kekerasan seksual, terutama perkosaan; yang terjadi di Jakarta, Tangerang dan Depok, membuat masyarakat resah, dan jaminan rasa aman bagi perempuan perkotaan terus menurun. Pada tahun 2011, sedikitnya ada 6 kasus perkosaan di angkot yang terjadi dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama.Mayoritas pelakunya berkelompok, dan ada satu perempuan korban yang kemudian dibunuh.Pada tahun 2012, Berdasarkan data yang tercatat di Humas Polda Metro Jaya, angka kriminalitas di angkutan umum sebanyak 31 kasus, 16 kasus di antaranya dialami oleh Perempuan (Inilah.com, 31 Desember 2012). Komnas Perempuan mengapresiasi berbagai upaya Dinas Perhubungan dalam merespon isu ini, misalnya, dengan memastikan standar pelayanan minimal keamanan dan keselamatan. Juga, upaya lainnya yaitu tentang aturan kaca film (tembus pandang hingga 80%), aturan seragam pengemudi, lengkap dengan kartu pengenal pengemudi (KPP) dan kartu pengenal anggota (KPA),yang bertujuan untuk meniadakan kendaraan tidak berizin dan sopir tembak. Namun Komnas Perempuan berharap tidak saja fokuskepada hal fisik, tetapi juga kelayakan bagi pengemudi, seperti test psikologi dalam proses rekrutmen dan evaluasi berkala. kebijakan tersebut bukan sekedar langkah insidental, namun menjadi kebijakan yang melembaga.
1
http://metro.news.viva.co.id/news/read/365272-suami-tega-jual-istri-rp300-ribu-di-depok
2
http://jakarta.okezone.com/read/2012/11/06/501/714379/ari-wibowo-jual-istri-rp300-ribu
18
Perkosaan terhadap perempuan pekerja migran Salah satu kasus kekerasan seksual yang menyita perhatian publik adalah kasus pemerkosaan pekerja migran perempuan Indonesia asal Batang Jawa Tengah, di Malaysia. Pelakunya adalah dua orang anggota Polisi Diraja Malaysia di Bukit Mertajam Penang. Peristiwa pemerkosaan terjadi pada hari Jum‟at 9 November 2012. Korban yang sedang menumpang taksi dihentikan oleh dua orang polisi yang menanyakan kelengkapan dokumen sebagai pekerja migran, dengan alasan hanya membawa salinan paspor, korban kemudian dibawa ke pos polisi dan diperkosa oleh dua anggota polisi tersebut. Kasus pemerkosaan ini merupakan salah satu bukti kerentanan pekerja migran khususnya mereka yang tidak berdokumen. Berdasarkan pemantauan yang pernah dilakukan Komnas Perempuan, selain rentan menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual lain, pekerja migran tidak berdokumen juga rentan mengalami penangkapan semena-mena, perampasan harta benda dan dokumen pribadi, dan tindak kekerasan lainnya. KE JA H ATA N P ER K AW INA N OLE H P E JA BAT PU BL I K
Poligami dan praktek kawin tidak dicatat oleh Pemda dan DPR di NTB, Magelang, Garut, dan Palembang Perkawinan tidak tercatat tengah marak dilakukan oleh pejabat publik. Diantaranya Bupati Lombok Tengah (Loteng), HM Suhaili FT dengan BLM. Pernikahan kedua Bupati Loteng ini diungkapkan oleh Drs Lalu Suhardi BE selaku perwakilan LSM saat hearing dengan anggota DPRD Loteng. BLM adalah adik salah seorang anggota DPRD fraksi PBR, dan yang mejadi saksi pernikahan tersebut adalah anggota Badan Kehormatan DPRD Loteng. Prinsipnya masyarakat yang melakukan hearing ini meminta anggota DPRD Loteng memanggil Bupati Loteng untuk mempublikasi apakah pernikahan siri ini terjadi atau tidak. (Sumbawa News, 10 Januari 12) . Perkawinan tidak tercatat lainnya dilakukan oleh Wakil Wali Kota Magelang Joko Prasetyo dengan SZN setahun lalu. Menurut Isteri Wakil Walikota SR, suaminya mengakui telah menikah siri dengan seorang perempuan yang berasal dari desanya di Magelang tanggal 18 Oktober 2012. SR juga mengakui sejak menikah dengan Joko Prasetyo tanggal 18 Juni 1998, suami sering diketahui berselingkuh, sering marah-marah, dan melakukan pemukulan. Dari perkawinannya, mereka memiliki 2 orang anak Bella (usia 12 tahun) dan Aulia (6 tahun). Perkawinan tidak tercatat juga dilakukan oleh Walikota Palembang, Eddy Santana Putra. Walikota Palembang melakukan perkawinan tidak tercatat dengan seorang perempuan bernama ESP tanpa sepengetahuan isterinya, SM. Setelah melakukan kawin tidak tercatat, Walikota Palembang ini tidak lagi tinggal bersama keluarga dan tidak memberikan nafkah secara rutin. Meski SM dan kedua anaknya masih tinggal di rumah dinas Walikota Palembang namun mereka tidak lagi menerima seluruh tunjangan, fasilitas dan tenaga pengurus rumah dinas pun telah dicabut. SM juga mengalami penderitaan psikologis karena saat ini telah beredar publikasi Walikota Palembang pelaku dan ESP sebagai pasangan suami-istri Walikota pada surat kabar, televisi, baliho, maupun papan reklame resmi milik Pemerintah Kota Palembang. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut, Jawa Barat, mengusulkan pemberhentian jabatan Bupati Garut, Aceng HM. Fikri karena dianggap tidak menjalankan sumpah jabatan sebagi pejabat publik yang berkomitmen dan patuh pada UUD dan perundangundangan lainnya ke Mahkamah Agung (MA) untuk dilakukan pengujian. MA mengabulkan 19
usulan pemakzulan atas Bupati Garut ini, dan berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 17/P Tahun 2013 tentang Pengesahan Pemberhentian Bupati Garut, Aceng HM Fikri mengakhiri masa jabatannya sebagai Bupati Garut dalam Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Garut, 26 Februari 2013. Usulan pemberhentian Bupati Garut ini bermula dari tindakan Bupati Garut melakukan talak melalui pesan singkat telepon seluler (SMS) kepada isterinya FO. Pernikahan yang hanya berlangsung empat hari itu tanpa memberikan alasan. Ketika dimintai pertanggung jawaban, Bupati menteror dan mencaci maki FO melalui SMS. Peristiwa ini menunjukkan kekerasan yang dilakukan oleh pejabat publik berupa pengingkaran, dengan pernyataannya di berbagai media bahwa korban dan keluarganya berusaha untuk memeras pelaku. Kemudian pelaku, Bupati Garut ini juga melakukan pembungkaman, yaitu menceraikan korban dengan memberikan sejumlah uang damai. Komnas Perempuan mengapresiasi keputusan Mahkamah Agung dalam mengabulkan permohonan pemakzulan Bupati Garut. Keputusan tersebut merupakan preseden hukum yang penting dalam kerangka perbaikan sistem otonomi daerah dan tata kelola pemerintahan yang baik, serta untuk memastikan supremasi hukum di Indonesia. Juga, dalam kerangka perlindungan hak warga negara, khususnya perempuan, atas jaminan rasa aman, bebas kekerasan dan diskriminasi, terutama di dalam institusi perkawinan. Komnas Perempuan menegaskan bahwa tidak mencatatkan perkawinan, tidak memutuskan ikatan perkawinan melalui pengadilan, serta tidak memenuhi alasan, syarat dan prosedur bagi laki-laki untuk beristri lebih dari satu sebagaimana diatur di dalam berbagai perundang-undangan, adalah tindak kejahatan terhadap perkawinan dan turut melanggengkan tindak kekerasan terhadap perempuan. Hasil pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan kerap merupakan cara bagi suami/laki-laki menghindari tanggungjawab hukum atas istri dan anak yang lahir dari perkawinannya itu. Tindakan melawan hukum ini dimungkinkan karena masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui kewajiban pencatatan perkawinan dan tidak menyadari pentingnya pencatatannya tersebut, juga dengan bujuk rayu dari pihak suami/laki-laki. Komnas Perempuan juga mengamati kasus-kasus perceraian sepihak, dengan ucapan ataupun praktik cerai gantung, dan tanpa keputusan pengadilan menimbulkan penderitaan terhadap perempuan/istri juga anak. Sepanjang semester pertama tahun 2012 saja, Komnas Perempuan menerima setidaknya 96 kasus tindak kejahatan perkawinan. Diantara 96 kasus tersebut, sebanyak 61 istri melaporkan bahwa tindakan suaminya berselingkuh (41 kasus) dan menikah secara sembunyi-sembunyi tanpa izinnya (20 kasus) telah menyebabkan penderitaan fisik, psikis, seksual juga penelantaran ekonomi. Sepuluh istri kedua dan dua istri keempat melaporkan bahwa mereka sama sekali tidak tahu bahwa suaminya telah berkeluarga. Empat diantara sepuluh istri kedua yang melapor menyebutkan adanya penipuan status perkawinan dengan pemalsuan kartu identitas dengan mencantumkan tidak kawin dalam kartu Tanda Penduduknya, dan buku nikah seolah telah bercerai. Selain itu, ada tiga kasus dimana istri pertama dikriminalisasi karena tidak mau memberikan izin atau bercerai agar suaminya dapat menikah lagi. Tindakan perkawinan kedua dan seterusnya yang tidak memenuhi persyaratan dalam UU No. 1 thn 1974 tentang Perkawinan adalah kejahatan perkawinan sebagimana ditetapkan dalam pasal 279 KUHP. Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur bahwa sesorang dapat dihukum pidana paling lama lima tahun apabila mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi 20
penghalang yang sah untuk itu. Seorang dapat dihukum pidana penjara paling lama tujuh tahun bila ia menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Penghalang yang sah adalah ketika tidak dipenuhinya alasan, syarat dan prosedur sah yang ditetapkan di dalam UU Perkawinan, sebagaimana dijelaskan di atas. Dengan semakin terungkapnya kejahatan perkawinan yang pelakunya adalah pejabat negara, sementara pejabat negara seharusnya melindungi warga negara, khususnya perempuan. Karena itu, Komnas Perempuan mendorong agar dalam Pakta Integritaspejabat publik salah satu syaratnya adalah bukan pelaku kejahatan perkawinan. PE KE R JA MIG R AN
Paska Ratifikasi Konvensi Migran Kondisi Pekerja Migran (Perempuan) Indonesia tetap Mengalami Kerentanan, Ancaman Hukuman Mati, dan Menjadi Kurir Narkoba Tahun 2012, masih terdapat 31.528 pekerja migran bermasalah dari 494.609 pekerja migran Indonesia di 173 negara. Tujuan negara terbesar adalah Malaysia, Taiwan, Hongkong, Singapura dan Arab Saudi, dengan jenis pekerjaan terbesar sebagai Pekerja Rumah Tangga, disusul sebagai Perawat/ Perawat Orang Tua (Data BNP2TKI). Versi Kemenakertrans terdapat 507.399 pekerja migran, 275.739 perempuan dan 205.240 laki-laki. Kendati Indonesia sudah Ratifikasi Konvensi Migran 90, namun belum ada langkah sistemik untuk reformasi kebijakan perlindungan migran. Sehingga Pekerja migran masih dalam kerentanan tinggi, antara lain terancam Hukuman Mati, dan rentan dijadikan kurir narkoba. Berdasarkan laporan Satgas TKI pada akhir masa kerjanya 7 Juli 2012, Satgas membebaskan 72 WNI/TKI dari hukuman mati, terdiri dari 42 perempuan dan 30 Laki-laki, yang berarti masih tersisa 163 orang pekerja migran/WNI yang terancam hukuman mati dan hukuman berat lainnya. Dari temuan Komnas Perempuan, menelusur akar persoalan tersebut, salah satunya karena telah habis masa kontrak, dokumen dipegang majikan, sehingga sulit kembali ke tanah air atau terjebak dalam recycle traficking, termasuk dijebak menjadi penyelundup atau kurir narkoba. Pada akhirnya, menjadi rentan terancam hukuman mati. Parahnya lagi, pembelaan atas hukuman mati di negara tujuan semakin sulit, karena Indonesia masih menerapkan hukuman mati, padahal sudah meratifikasi Konvenan Sipil Politik dan Konvensi anti penyiksaan. Selain itu, persolan krusial yang terus berulang dihadapi migran antara lain kekerasa seksual yang masih tinggi, kecenderungan korban dijadikan pelaku, bahkan terancam hukuman mati, padahal untuk membela diri dari ancaman kekerasan seksual. Hak berespresi dan menjalankan agama juga menjadi persoalan serius. Pola lain yang terkuak pada akhir Oktober 2012 oleh Migran Care, terdapat iklan penawaran PRT migran Indonesia di Malaysia yang menyerupai praktek jual beli barang melalui media. Praktek tersebut juga ditemukan di Singapura. Problem yang perlu ditilik, masih ada persoalan kontrak mandiri yang sulit di lakukan di beberapa wilayah antara lain Hongkong, Singapura, dll. Hal ini mensituasikan pekerja migran untuk diikat oleh agen pengiriman atas nama perlindungan. Kebijakan ini penting dikritisi untuk mendapatkan solusi yang meletakkan kepentingan hak asasi. Adapun proses migrasi dalam negeri juga bermasalah, kecompang-campingan kordinasi antar institusi negara yang menangani isu ini, tumbuhnya perda-perda tentang TKI namun justeru 21
membuat sekat pembatasan perlindungan pada warga daerahnya tetapi abai pada migran non warganya, justeru memperparah situasi. Penarikan pajak dan biaya didaerah, mengundang pembebanan pada migran. Sejumlah pengaduan terkait pekerja migran maupun perdagangan orang, juga masih menyisakan impunitas. Pengaduan korban disampaikan paling banyak pada proses hukum di kepolisian yang tidak menahan pelaku yang menyebabkan korban trauma dan dalam tekanan. Sementara, kebijakan pemerintah daerah belum memberikan layanan yang merata. Pelanggaran hak Pekerja Migran yang dilaporkan kepada Pemerintah, sejauh dari pengalaman kerja Komnas Perempuan, baru Kementrian Luar Negeri yang relatif lebih responsif memberikan tanggapan dari Komnas Perempuan. Sementara BNP2TKI, Kemenakertrans bahkan PTKIS sama sekali tidak merespon surat yang dikirimkan Komnas Perempuan. Surat tersebut guna mendorong kementrian/lembaga, terkait perlindungan pekerja migran melakukan tindakan perlindungan bagi korban. Pengabaian terhadap masukan Komnas Perempuan menunjukkan lemahnya kesadaran kinerja kementrian/lembaga dan lemahnya pengawasan terhadap tanggung jawab Pemerintah. Komnas Perempuan mendorong Negara melindungi pekerja migran, baik yang berdokumen maupun tidak, sebagaimana dijamin dalam Konvensi Migran. Selain itu mendorong Indonesia menghapuskan hukuman mati dan OP-Cat, agar situasi tahanan dan serupa tahanan bisa dipantau untuk keseriusan perlindungan pekerja migrant. K E K E R A S A N T E R H A DA P P E R E M P UA N D I L E M BA G A P E N D I D I K A N
Dunia pendidikan yang seyogyanya mengajarkan tentang perilaku etis dalam kaitan hubungan laki-laki dan perempuan dan mengajarkan keluhuran budi justru dirusak oleh perilaku guru yang menjadi panutan dengan tindakan tidak berbudi terutama yang menjadi korban adalah perempuan.Ditambah dengan kebijakan sekolah yang tidak konsisten untuk memenuhi hak pendidikan bagi warga negara.
Mengalami kekerasan seksual dari Guru Tiga santri pondok pesantren di Tangerang Selatan, SER (16), AL (14) dan AK (17) yang mengalami pelecehan seksual oleh ustadz dan sekaligus pengurus pesantren yaitu MM (29). Perbuatan cabul atau pelecehan seksual yang dilakukan MM yang terjadi ada sekitar Januari – Februari 2012 bertempat di kantor dengan cara menghipnotis para korban. Dalam kondisi korban di tak sadar, MM melakukan berbagai bentuk pencabulan. Para korban merasa tak berdaya dan tak berani membantah perintah MM karena takut dan segan pada MM sebagai gurunya. Perbuatan MM ini akhirnya dilaporkan ke Hs sebagai pendiri yayasan oleh Ri salah satu guru yang dilapori oleh para korban. Saat dipanggil oleh Hs untuk memberi 2 pilihan ke MM, minta maaf atau diselesaikan ke jalur hukum, MM mambantah dan balik menuduh para santri memfitnah dirinya. Akhirnya Hs mengundang para orang tua korban dan memutuskan untuk melaporkan MM ke Polres Metro jakarta Selatan pada 9 Oktober 2012. Pada 5 Juni 2012 Komnas Perempuan juga menerima pengaduan dengan kasus pelecehan seksual dan perkosaan oleh gurunya. Korban bernama Mai dan saat melapor berusia 27 tahun. Kasusnya terjadi saat korban masih di SMP di Brebes. Pelaku adalah guru bernama MS (45). Korban mengalami perkosaan sejak kelas 2 sampai kelas 3. Korban tak menceritakan kejadian itu kepada siapapun termasuk orang tua. Kejadian tersebut berlanjut sampai korban melanjutkan ke SMU. Korban sempat hamil dan digugurkan saat kelas 3 SMU. Saat korban sudah menikah, MS masih mencoba mencari korban dan menteror suami korban melalui inbox Facebook dengan 22
menceritakan masa lalu Mai. Suami korban akhirnya melaporkan ke Diknas Brebes dan Kepala Sekolah, tetapi tidak ada respon positif. Kasus serupa juga terjadi pada siswi SMK di Medan yang dilakukan oleh guru karatenya yakni Sdr. Hadi Semar M. Noor. Percobaan perkosaan serta percabulan terhadap korban telah berlangsung lama sejak korban duduk di bangku SMP hingga SMK (usia 15 tahun) dan terjadi peristiwa perkosaan. Kasus ini telah dilaporkan di Kepolisian Resort Kota Medan.
Mengalami Intimidasi dari Sekolah UT (18) adalah siswi SMK Negeri, Indramayu tingkat akhir yang hamil kemudian dinikahkan siri dengan pacarnya oleh keluarganya. Pacar UT adalah adik kelas UT yang masih berusia 17 tahun. Ketika mengetahui UT hamil, pihak sekolah menyarankan pihak orang tua untuk membuat surat pengunduran diri dan pindah sekolah karena sekolah tidak mau menanggung malu. Pihak orang tua sudah melakukan lobi pihak sekolah agar UT tetap bersekolah sampai ujian akhir pada Maret 2013. Namun, sekolah tetap menyarankan UT tetap pindah dan membuat surat pengunduran diri. Kemudian pihak sekolah mendatangi rumah keluarga korban serta meminta Ibu korban menandatangani surat pengunduran diri korban dan surat pernyataan pelanggaran tata tertib, tetapi Ibu korban tidak mau. Sejak tanggal 7 Januari 2013 UT sudah tidak masuk sekolah dan usia kehamilannya 5 bulan.
Siswi di Depok yang Diculik dan Diperkosa kemudian Dikeluarkan dari Sekolah ASS, siswi SMP di Depok adalah korban penculikan oleh sindikat perdagangan manusia untuk seks komersial yang justru mengalami penolakan dan tuduhan pencemaran nama baik sekolah oleh pihak sekolahnya (Kompas, 8 Oktober 2012). Tindakan pemecatan oleh pihak sekolah terhadap ASS merupakan cermin kekurangpahaman para guru atas hak pendidikan dan masa depan ASS sebagai anak bangsa yang berhak mendapat pendidikan dan kehidupan yang layak. Dapat dikatakan bahwa kasus yang menimpa ASS merupakan cermin buramnya dunia pendidikan kita yang seringkali menyudutkan siswa korban kekerasan dengan tuduhan melakukan tindakan tak bermoral. Ketidakadilan dan diskriminasi juga menimpa Her (17 th) siswi SMKN Bengkulu yang diperkosa oleh pacarnya. Ketika pihak sekolah mengetahui kasusnya yang sedang dalam penyidikan Polres Kota Bengkulu sejak Maret 2012, Her justru dikeluarkan oleh pihak sekolah dengan alasan telah membuat aib bagi sekolah dan melanggar tata tertib kesusilaan di lingkungan sekolah. Atau siswi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Plered, Bantul yang mengalami pencabulan oleh guru olahraga. Guru sebagai pelaku tidak mendapat sanksi dari sekolah, tapi korban justru dinikahkan berdasarkan solusi dari Kemenag DIY. Dan akhirnya siswi yang bersangkutan mengundurkan diri karena malu serta mendapat intimidasi dari pihak sekolah. Banyaknya kasus siswi yang tidak dapat melanjutkan pendidikan karena mengalami kekerasan dan pelecehan seksual atau kehamilan merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945 pasal 31 yang menjamin setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. UU Perlindungan Anak Nomor. 23 Tahun 2002 juga menegaskan bahwa anak-anak di bawah 18 tahun berhak mendapatkan pendidikan formal. Apalagi kasus kehamilan atau perkosaan siswi sangat erat berkaitan dengan fungsi reproduksi perempuan yang mestinya mendapat penghormatan dan perlindungan yang baik, bukannya malah mendapat perlakuan diskriminasif dan hukuman karena kekerasan terhadap fungsi reproduksi yang dialaminya. Bagi Indonesia yang telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW dengan UU No 7 tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap 23
Perempuan), mestinya kasus pengeluaran siswi karena menjadi korban pelecehan seksual, perkosaan atau hamil tidak perlu terjadi. IN TO LE R AN SI B ER A G A M A DA N PE N YE R A NG AN T ERH A DAP K E BE BA S A N BE RE K SP RE SI
Tahun 2012 masih diwarnai dengan berbagai tindak intoleransi terhadap kelompok minoritas agama, sejumlah diantaranya berujung pada tindak kekerasan. Perempuan, sebagai bagian tidak terpisahkan dari komunitas mengalami dampak berlapis akibat dari tindak intoleransi tersebut. Komnas Perempuan mengamati bahwa negara cenderung menyangkal adanya persoalan intoleransi, sehingga penanganan menjadi tidak efektif, bahkan terkesan membiarkan terus berlanjut dan berkembangnya tindak intoleransi. Sementara sejumlah banyak kasus penyerangan terhadap kelompok minoritas agama tidak diproses hukum secara tuntas dan akutabel, melalui perangkat hukum negara justru mengkriminalisasi ttokoh-tokoh dari komunitas yang diserang.Hal ini menunjukkan bahwa negara belum mampu menjamin, bahkan cenderung melalaikan tanggungjawabnya – dalam beberapa kasus aktif melakukan tindak pelanggaran- atas hak warga negara atas kemerdekaan beragama dan berkeyakinan serta beribadat sesuai dengan agama dan keyakinannya itu.
Kekerasan berulang terhadap kelompok Syiah di Sampang Pasca peristiwa pembakaran tiga rumah milik tokoh kelompok Syiah pada 29 Desember 2011, intimidasi dialami kelompok muslim syiah di Dusun Nangkrenang, Desa Karang Gayam, Kabupaten Sampang, Madura sepanjang tahun 2012.Puncaknya, pada 26 Agustus 2012 pagi hari, terjadi serangan terhadap kelompok Syiah saat mereka berusaha melindungi anak-anak Syiah yang hendak berpergian untuk melanjutkan sekolah mereka di pesantren Syiah di luar Sampang. Serangan ini mengakibat satu orang meninggal dunia (Hamama, laki-laki, 50 Thn) 10 orang menderita luka kritis, serta puluhan orang mengalami luka-luka. Tercatat 49 rumah warga Syiah dirusak dan dibakar. Sebanyak 276 orang penganut Syiah yang terdiri dari anak-anak, perempuan dan lak-laki dewasa serta lansia mengungsi ke gedung olah raga (GOR) Sampang. Ditenggarai bahwa pelaku serangan adalah sama dengan pelaku penyerangan sebelumnya. Untuk penanganan peristiwa 29 Desember 2011, Kepolisian Sampang telah membentuk 3 tim dan sudah menetapkan 1 orang tersangka dan kasus sudah P21. Persidangan pertama digelar pada 12 maret 2012 di Pengadilan Negeri Sampang. Polisi juga menetapkan 1 orang tersangka lainnya, namun tidak ditahan. Pihak kepolisian juga tidak menahan individu-individu yang dikenali memimpin atau menyemangati serangan tersebut. Sebaliknya, Pengadilan Negeri Sampang melalui putusan No. 69/Pid.B/2012/PN.Spg tertanggal 12 Juli 2012 memvonis Ustad Tajul Muluk, tokoh pimpinan Syiah Sampang, 2 (dua) tahun penjara karena dianggap terbukti “melakukan tindak pidana perbuatan yang pada pokoknya bersifat penodaan terhadap agama Islam.” Dalam putusan banding, Pengadilan Tinggi Jawa Timur memperberat menjadi empat tahun dalam berkas putusan No. 481/Pid/2012.PT Sby. 17 September 2012. Untuk peristiwa tanggal 26 Agustus 2012, Penyidik Polda Jawa Timur telah menetapkan 8 (delapan) orang tersangka atas peristiwa tersebut, dan memerika 42 orang saksi. Namun demikian hanya 3 (tiga) orang tersangka yang telah diproses dan ditahan, salah satunya adalah Rois, saudara Tajul Muluk yang ditenggarai memimpin penyerangan. Ada pula sejumlah tersangka masih dalam pencarian penyidik. Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa 22 Januari 2013, memutuskan vonis 8 bulan penjara terhadap salah satu pelaku penyerangan, yaitu Salikin Saripin karena melanggar Pasal 170 ayat 1 KUHP dan pasal 187 24
KUHP, yang secara terang-terangan dan bersama-sama melakukan perusakan terhadap rumah Tajul Muluk dan keluarganya.
Pembatasan Ibadat yang dialami Jemaat Gereja Kristen Yasmin, Bogor Walaupun dari segi hukum, Mahkamah Agung RI telah menetapkan pembatalan Surat Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor di tahun 2010 yang mencabut izin pendirian rumah ibadah GKI Yasmin, namun penyegelan lokasi gereja Yasmin oleh Pemkot Bogor terus berlangsung hingga sekarang. Karenanya, jemaat GK Yasmin menjalankan ibadat di trotoar dengan setip waktunya harus berhadapan dengan aksi kelompok yang menolak pendirian gereja Yasmin. Jemaat perempuan GK Yasmin menyampaikan bahwa setiap menjelang ibadat mereka mengalami ketakutan dan tidak tenang karena membayangkan akan menghadapi ancaman dan tekanan selama ibadat hari minggu. Selain mengurus advokasi status gereja, para perempuan juga berhadapan dengan situasi anak-anak mereka yang mengalami trauma karena sering menyaksikan kekerasan dan tekanan terhadap jemaat. Perempuan juga menyampaikan kesedihan mereka karena tidak dapat menjalankan ibadah sebagai keluarga utuh, sebab anak-anak tidak bisa beribadat bersama orang tuanya karena alasan keamanan.
Penyegelan dan Pelarangan Ibadah Gereja HKBP Filadelfia Walaupun sejak Maret 2011 telah mengantongi putusan pengadilan Tata Usaha Negara untuk pencabutan SK Bupati yang menghalangi hak mendirikan rumah ibadah, Gereja Filadelfia beralamat di Rt 01 Rw 09 Dusun III Kelurahan Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat masih terus mengalami kesulitan menjalankan ibadah. Bahkan pembubaran paksa kegiatan ibadah berturut-turut terus terjadi, disertai dengan kekerasan dan intimidasi terhadap jemaat HKBP baik perempuan maupun anak-anak. Gangguan terhadap ibadah mingguan HKBP Filadelfia terus terjadi, misalnya pada tanggal 25 Maret 2012, massa yang membangkang pada keputusan pengadilan memasang pengeras suara dan musik dilokasi ibadah jemaat. Aparat pemerintahan setempat justru menguatkan intimidasi terhadap kelomk HKBP Filadelfia. Misalnya saja, pihak Kecamatan Tambun Bekasi seolah-olah mengajak berunding pihak HKBP Filadelpia, tanggal 30 Maret 2012, namun dalam pertemuan itu pihak HKBP Filadelfia mendapat tekanan untuk menandatangani kesepakatan agar mereka tidak lagi beribadah di lokasi gereja HKBP Filadelfia. Aparat kepolisian yang bertugas di lapangan tidak tampak tanggap dalam menghadapi massa yang terus mengintimidasi, bahkan terkesan membiarkan. Kekerasan juga dialami oleh anggota masyarakat sipil yang hadir untuk menyatakan dukungannya bagi negara utuk menegakkan perlindungan bagi hak kebebasan beragama dan beribadat, serta kepada polisi. Komnas Perempuan mencatat dan menaruh perhatian serius pada intimidasi bernuansa seksual, termasuk ancaman perkosaan, yang diarahkan kepada perempuan dalam insiden tersebut.
Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Komunitas Ahmadiyah Tujuh Tahun Tinggal di Pengungsian Serangan terhadap kelompok Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat pada tahun 2005 menyisakan pengungsian warga Ahmadiyah dari Sumbawa di Lokasi Pengungsian Transito, Mataram.Sementara para penyerang tidak mendapat tindakan hukum karena belum diproses, para pengungsi dibiarkan terkatung-katung berada di pengungsian tanpa status kependudukan 25
yang jelas sampai sekarang. Sebagai usaha warga atau pengungsi untuk mendapatkan KTP tidak pernah dipenuhi pemerintah terkesan saling lempar tanggung jawab dengan alasan tidak jelas. Walaupun ada program E-KTP namun warga pengungsi tidak dapat diberikan E-KTP karena lurah, kepala desa dan kepala lingkungan tidak memberikan pengantar identitas kependudukan mereka. Bagi perempuan, hal ini sangat menyulitkan karena mereka tidak dapat mengakses layanan publik yang tersedia dan sangat mereka butuhkan, seperti bantuan kesehatan, termasuk untuk masa kehamilan dan persalinan. Pemaksaan Pindah Agama dan Pelarangan Melakukan Perkawinan Meskitelah ada kebijakan Bupati Kuningan, Aang Hamid Suganda tahun 2012 yang membolehkan warga Ahmadiyah di Manis Lor untuk mendapatkan KTP, namun warga Ahmadiyah masih kesulitan untuk mencatatkan pernikahan. Sejak tahun 2000 hingga Maret 2012 terdapat 400 pasangan jemaat Ahmadiyah yang tidak bisa mencatatkan pernikahan mereka di KUA Kabupaten Kuningan. Untuk bisa mencatatkan pernikahan mereka terpaksa pindah penduduk ke daerah lain.
Agama Leluhur dan Penghayat Diskriminasi terhadap penganut agama leluhur dan penghayat kepercayaan masih terjadi, diantaranya adalah hak untuk mendapatkan identitas kependudukan. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 64 ayat 2,menyatakan bagi penghayat kepercayaan tetap dilayani dalam pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) namun untuk kolom agama dikosongkan, diberi tanda minus (-). Kesulitan mendapatkan KTP berakibat diskriminasi berlipatganda; perkawinan mereka tidak dapat dicatat, dan anak yangdilahirkan dari perkawinan berdasarkan agama leluhur/ penghayat dianggap tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya karena nama ayah tidak tercantum di akte kelahiran. Mereka juga sulit mengakses program pemerintah dengan identitasnya, seperti mendapat layanan kesehatan serta pengurusan perizinan pemakaman. Merekatidak mendapatkan hak menikmati kepercayaannya, sulit beribadah karena tidak dapat membangun rumah ibadah. Juga, tidak adanya materi pendidikan agama leluhur dan kepercayaan bagi anak-anak mereka di sekolah. Komnas Perempuan menyatakan bahwa semua praktik di atas tidaklah sejalan dengan Pasal 29 Ayat 2Pasal 28EAyat 1UUD 1945, yang menegaskan jaminan kemerdekaan beragama dan berkeyakinan dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu bagi semua warga negara. Juga, dengan Pasal 28I ayat 3 tentang identitas budaya dan masyarakat adat, serta Pasal 28I ayat 2 UUD 1945 tentang bebas dari diskriminasi. Karenanya, Komnas Perempuan merekomendasikan pemerintah melakukan perbaikan sistem pencatatan administrasi penduduk, termasuk pemutihan pencatatan perkawinan bagi para penganut agama leluhur/ penghayat yang telah dilakukan secara adat ataupun sesuai dengan kepercayaannya itu, sehingga dalam akta kelahiran anak penganut agama leluhur/penghayat dapat mencantumkan nama kedua orangtuanya, bukan hanya ibu.
Penyerangan Diskusi Irshad Manji di Salihara dan LKIS Jogjakarta Serangan dan pembubaran diskusi buku berjudul Allah, Liberty, and Love (IMAN, CINTA DAN KEBEBASAN)bersama sang penulis, Irshad Mandji, mencoreng kewibawaan hukum Indonesia. Serangan dan pembubaran ini terjadi di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada hari Jumat, 4 Mei 2012. Polisi yang membubarkan acara tersebut karena adanya intimidasi dari Front Pembela Islam (FPI). Juga, di Jogja atas intimidasi dari Majelis Mujahidin Indonesia, dan Gerakan Anti Maksiat. 26
Atas peristiwa ini, Komnas Perempuan menyayangkan sikap dari aparat kepolisian yang tidak melakukan tugasnya secara obyektif dan profesional dalam hal memberikan perlindungan hukum pada warga negara yang menyelenggarakan kegiatan damai. Sikap ini juga meresikokan masa depan demokrasi di Indonesia. Buku adalah ruang untuk menyampaikan pendapat, dan dialog publik adalah media untuk bersilang pendapat secara damai. Sikap aparat kepolisian ini sebaliknya bertentangan dengan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, terutama Pasal 8 yang menyebutkan”Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemernitah,” dan Pasal 71 tentang “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia.” K E K E R A S A N T E R H A DA P P E R E M P UA N YA N G D I L A K U K A N P E J A B A T P U B L I K DA N TOKOH P U B L I K
Gambaran kasus Sepanjang tahun 2012 ada sejumlah 56 kasus kekerasan terhadap perempuan yang pelakunya adalah Pejabat maupun Tokoh publik yang diadukan ke Komnas Perempuan. Pejabat dan tokoh publik tersebut melingkupi PNS, aparat polisi, anggota tentara, pejabat pemerintahan/pengambil kebijakan seperti Walikota, Gubernur, Kepala Dinas, anggota DPRD, kepala badan; lembaga pendidik, guru, dosen, tokoh agama, dan pengurus Parpol. Bentuk-bentuk kekerasan yang terbesar dilakukan oleh pejabat publik adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terdiri dari pengingkaran terhadap anak yang lahir dari hubungan perkawinan, penelantaran anak dan kekerasan ekonomi sehingga isteri terpaksa menjadi orangtua tunggal yang menanggung biaya kehidupan anak-anaknya, kawin siri serta kejahatan perkawinan yakni suami melakukan poligami tanpa seijin korban sebagai isteri pertama. Kasus KDRT ini antara lain pelakunya adalah Walikota Palembang, Bupati Bogor, dan juga Gubernur Sulawesi Tenggara. Pemiskinan atau pencerabutan sumber kehidupan dari perempuan, yakni konflik sumber daya alam yang terjadi di Bima, Nusa Tenggara Barat dan Ogan Ilir, Sumatera Selatan, serta penggusuran perempuan pedagang di Lampung, dan sepanjang jalur Kereta Api Listrik (KRL) Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), serta penggusuran tempat tinggal. Sementara, ada 46 kasus kekerasan terhadap perempuan yang pelakunya adalah aparat keamanan, dalam hal ini Polisi dan militer/tentara, 32 orang diantaranya pelakunya adalah polisi, dan 14 orang militer/tentara dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Kasus KDRT merupakan bentuk kekerasan terbanyak yang dilakukan oleh aparat keamanan, utamanya penelantaran keluarga dikarena pelaku berpoligami tanpa seijin isteri pertama, perzinahan, kawin sirih, perselingkuhan, kekerasan psikis, dan fisik, serta penceraian sepihak. Berikutnya kekerasan seksual, 5 di antaranya adalah kekerasan seksual terhadap anak, yakni perkosaan, serta kekerasan dalam pacaran.Secara umum korban mengalami korban berlapis, kehilangan hak asuh atas anak, menderita tekanan psikis, ditelantarkan, bahkan ada yang mengalami kriminalisasi dan dibunuh.
Proses Hukum Dan Penjatuhan Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Dari 46 kasus tersebut, ada 14 kasus yang pelakunya mengingkari bahwa pelaku melakukan tindak kekerasan sebagaimana yang dilaporkan oleh korban atau keluarga korban. Selanjutnya ada 30 kasus yang terjadi pengabaian dan pembungkaman terhadap korban, antara lain mengintimidasi, janji akan dikawini,berjanji kembali kepada istri pertama, korban dinikahkan 27
dengan pelaku sehingga pengaduan korban/keluarga korban tidak ditindak lanjuti oleh kepolisian atau Propam; bahkan ada 3 kasus yang korbannya mengalami kriminalisasi diproses oleh polisi sementara pengaduan korban tidak ditindak lanjuti. Tragisnya, institusi keamanan baik kepolisian maupun tentara/militer seolah melakukan pembiaran terhadap pelaku. Hal ini terlihat dari minimnya pelaku yang dikenakan sanksi hukum yang tegas dan yang dapat memberikan efek jera, selain itu institusi nyaris tak peduli akan pentingnya pemulihan bagi korban. Pemenuhan hak korban atas keadilan dan kebenaran juga diabaikan oleh institusi-institusi keamanan. Seolah-oleh semua bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pelaku itu adalah merupakan hal yang lumrah terjadi. Oleh karena itu Komnas Perempuan mendorong adanya reformasi di sektor keamanan (security sector reform), agar membangun mekanisme pencengahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang menggunakan perspektif HAM dan gender. Sehingga akses korban terhadap kebenaran, keadilan dan pemulihan dapat terpenuhi. Selain itu juga mendorong mendorong penerapan Sistem Penanganan Pidana Terpadu untuk menghindari terjadinya kriminalisasi terhadap korban. P E R N Y A TA A N P E J A B A T P U B L I K
Pernyataan diskriminatif Pernyataan Marzuki Ali terkait Larangan Menggunakan Rok Mini di DPR Awal Maret 2012 lalu, Ketua DPR RI menuding perempuan yang mengenakan rok mini sebagai penyebab laki-laki berbuat „sesuatu‟. Dalam wawancaranya dengan beberapa wartawan di gedung DPR RI, Marzuki Ali mengungkapkan: “DPR ini nggak urusi rok mini. Tetapi, kita
tahu, banyak sekali terjadinya perkosaan,
kasus-kasus asusila, karena perempuannya tidak berpakaian yang pantas sehingga membuat hasrat laki-laki itu menjadi berubah. Itu yang harus dihindari. Namanya laki-laki, ada pakaian yang tidak pantas, itu yang menarik lakilaki itu akhirnya berbuat sesuatu,” (Selasa, 6 Maret 2012 dikutip dari Tribunnews.com) Ungkapan Marzuki Ali ini langsung diprotes oleh anggota komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Nurul Arifin.Dia merasa pernyataan seperti itu tidak layak diucapkan oleh seorang Ketua DPR.Artinya Marzuki Ali merendahkan sendiri kelompoknya.Pelarangan ini malah memperburuk citra DPR. Sebaiknya DPR fokus pada tugasnya, utang legislasi begitu banyak (Selasa, 6 Maret 2012 dikutip dari Detik.com) Komnas Perempuan berpendapat bahwa pernyataan Marzuki Ali menempatkan korban perkosaan berada dalam posisi yang dipersalahkan dan mengakibatkan korban kembali dikorbankan (reviktimisasi).Padahal korban juga harus berhadapan dengan dampak dari perkosaan, terutama trauma berkepanjangan, difungsi seksual maupun rusaknya organ reproduksi, dan juga stigma „kehilangan kesucian‟ Korban perkosaan seharusnya mendapat jaminan dari Negara dalam memperoleh keadilan atas peristiwa yang dialaminya. Bahkan Negara sepatutnya menganggarkan pembiayaan bagi perempuan korban perkosaan atas pemulihan fisik dan psikisnya, agar dapat pulih.
28
Pernyataan Muhammad Nuh Tentang Siswi Korban Kekerasan Seksual Pada Oktober 2012, dunia pendidikan di Indonesia mengalami titik nadir keprihatinan dengan pernyataan Menteri Pendidikan M Nuh terkait kasus kekerasan seorang siswi sebuah SMP di Depok. ASS adalah korban penculikan oleh sindikat perdagangan manusia untuk seks komersial yang justru mengalami penolakan dan tuduhan pencemaran nama baik sekolah oleh pihak sekolahnya (Kompas, 8 Oktober 2012). Kasus yang menimpa ASS ini mencapai klimaks yang mengundang kemarahan banyak pihak dengan pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh yang mengatakan bahwa siswi korban perkosaan „’kadang-kadang sama-sama senang, tetapi ngakunya diperkosa’’ seperti dikutip oleh Republika, 11/10/12. Kalimat yang terucap oleh Menteri Mendikbud tersebut bukanlah sekedar kata semata, tetapi mencerminkan cara pandang seorang laki-laki yang tidak memiliki keperpihakan pada korban perkosaan dan masih bias gender. Lebih memprihatinkan adalah lakilaki itu adalah justru memiliki jabatan Menteri Pendidikan yang bisa menjadi preseden buruk bagi jajaran palaku pendidikan pada instansi di bawah strukturnya.
Pernyataan yang Kondusif Terhadap Perempuan Reparasi bagi korban pelanggaran HAM masa lalu di Sulawesi Tengah Indonesia, dalam berbagai peristiwa kekerasan yang menimbulkan terjadinya kasus-kasus pelanggaran HAM berat, hingga kini masih menemui jalan buntu dalam mewujudkan keadilan bagi warga negaranya yang menjadi korban. Political will pemerintahdengan pemberian berbagai bantuan reparasi serta wacana permintaan maaf oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono belumlah sepenuh hati untuk mewujudkan rasa keadilan bagi mereka yang telah rusak dan dirampas hak-haknya. Ditengah-tengah keputusasaan ini, saat peringatan hari Hak Atas Kebenaran dan Martabat Korban Pelanggaran HAM di Palu – Sulawesi Tengah tanggal 24 Maret 2012, Walikota Palu Rusdy Mastura menyampaikan permohonan maaf pada korban 1965 atas nama pribadi dan pemerintah Kota Palu. Walikota Palu juga mengagendakan rehabilitasi mendesak bagi korban berupa, jaminan kesehatan, biaya pendidikan, dan santunan pensiun. Kebijakan ini terbatas baru di wilayah administrasi Kota Palu– Sulawesi Tengah Pengakuan terhadap pelanggaran HAM masa lalu adalah prasyarat pintu masuk untuk rehabilitasi bagi korban. Komnas Perempuan mengapresiasi langkah yang ditempuh oleh Walikota Palu, dan berharap inisiatif ini akan juga terjadi di wilayah-wilayah konflik di Indonesia, dan mendorong pemerintah pusat untuk mengambil langkah yang sama. Menambah Jumlah Kendaraan Umum untuk Mencegah Pelecehan Seksual Sepanjang tahun 2012 tindak kriminal masih terjadi di dalam angkutan umum mulai dari pencopetan hingga pelecehan seksual bagi para penumpang (terutama) perempuan. Menyikapi persoalan tersebut Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta, berpendapat bahwa kasus pelecehan seksual tetap harus ditindak sesui hukum yang berlaku. Selanjutnya, ia menawarkan solusi praktis untuk mengurangi pelecehan yaitu menambah armada angkutan, termasuk 200 armada bus Trans-Jakarta pada Januari 2013 dan 600 bus pada Juni 2013, : “Solusinya tambah Bus, kalo bisa ditambah, tidak akan berdesak-desakan, kalau gitu ya enggak akan terjadi pelecehannya. Itu saja udah,” (Okezone, 5/12/12)
29
Komnas Perempuan menyambut baik sikap ini karena sejak awal telah mengingatkan bahwa penyikapan tindak kekerasan seksual di angkutan umum perlu pendekatan sistemik perbaikan sistem transportasi, menghentikan kebijakan pemisahan ruang publik antara laki-laki dan perempuan sebab akan meneguhkan sikap menyalahkan perempuan korban atas kekerasan yang ia alami, dan membangun infrastruktur layanan agar perempuan korban dapat mengakses keadilan melalui proses hukum. P E R E M P UA N P E M B E L A H A M
Intimidasi pada Peringatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2012 Pada tanggal 9 Desember 2012, 22.30 WIT, kantor YABIKU dibakar oleh sejumlah orang yang tidak dikenal. Pembakaran diduga terkait bincang-bincang (talkshow) di radio setempat tentang kekerasan seksual dan mengakibatkan Rumah Baca YABIKU habis terbakar. Talkshow tersebut merupakan kegiatan yang dilakukan oleh YABIKU dalam rangka peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K16HAKTP).Pada peringatan K16HAKTP sebelumnya (2010 dan 2011) setelah menyelesaikan talkshow di radio, kantor YABIKU dilempari oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Tidak hanya itu, teror dan ancaman melalui telefon gelap pun sering dialami YABIKU. Intimidasi yang terjadi merupakan intimidasi berulang yang kerap didapat oleh YABIKU ketika mendampingi korban kekerasan (kekerasan seksual) yang pelakunya pejabat publik, penegak hukum atau aparat keamanan. Intimidasi yang didapat oleh YABIKU memperlihatkan lemahnya perlindungan bagi para perempuanpembelaHAM dalam memperjuangkan kerja-kerja kemanusiaannya, padahal perlindungan bagi perempuanpembelaHAM merupakan jaminan bagi perempuan korban kekerasan untuk memperoleh hak keadilan dan pemulihan. Pada saat yang bersamaan keberadaan pembela HAM, khususnya pendamping bagi perempuan korban kekerasan menjadi rentan terhadap kekerasan. Melihat hal ini pemerintah sudah seharusnya menyelenggarakan perlindungan bagi individu maupun lembaga yang bekerja untuk penegakan HAM.
Nani Nurani, Perempuan Penyintas Tragedi 1965 Nani Nurani (71 thn), adalah mantan penari istana yang menjadi korban pemenjaraan sewenangwenang selama 7 tahun (1969-1976), tanpa proses pengadilan. Hingga saat ini kasus terus berlanjut, Nani Nurani terus menuntut tanggung jawab negara untuk pemenuhan hak-nya dengan mengajukan perkara banding No. 352/PDT/2012/PT.DKI. Sebelumnya, pada 28 Oktober 2011, Nani Nurani melakukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (Onrechtmatige Overheids Daad) dengan Perkara No. 439/PDT.G/2011/PN.JKT.PST, dan 11 April 2012, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin Amin Ismanto, SH., MH menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan Nani Nurani. Alasannya, gugatan kepada Presiden sebagai pejabat Negara seharusnya menjadi kewenangan peradilan administrasi, sehingga harus diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Meskipun jelas gugatan Nani Nurani adalah perkara perdata atas perbuatan melawan hukum. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolak gugatan itu merupakan bentuk pengabaian negara atas penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu dan reparasi secara komprehensif yang semestinya menjadi agenda prioritas pemerintah. Sesuai dengan Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) III ditegaskan bahwa, pemerintah Indonesia harus konsisten melanjutkan upaya pemajuan dan perlindungan HAM, khususnya bagi korban yang mengalami 30
pelanggaran HAM berlapis sebagaimana dialami Nani Nurani. Pemerintah Indonesia dalam forum UNIVERSAL PERIODIC REVIEW (UPR) di Jenewa beberapa waktu lalu telah menyatakan menyetujui beberapa langkah yang harus ditempuh diantaranya adalah perlindungan bagi perempuan pembela HAM dari segala bentuk diskriminasi/tekanan, serta segera ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Anti Penyiksaan (OP CAT) dan Konvensi Anti Penghilangan Paksa (CPED). Disisi lain, putusan ini juga bertentangan dengan konvensi CEDAW Pasal 2 huruf c yang menyatakan pengadilan nasional wajib menegakkan perlindungan hukum yang efektif bagi perempuan dari tindak diskriminasi. Laporan pemantauan Komnas Perempuan, KEJAHATAN
TERHADAP KEMANUSIAAN BERBASIS GENDER: MENDENGARKAN SUARA PEREMPUAN KORBAN PERISTIWA 1965 (2007) menyebutkan, perempuan mengalami pelanggaran HAM baik sebelum, saat
dan setelah tragedi 1965. Pelanggaran HAM tersebut berupa penculikan, penangkapan dan pemenjaraan sewenang-wenang tanpa proses peradilan termasuk kerja paksa selama penangkapan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lain seperti pemaksaan aborsi akibat perkosaan, perkosaan, penyiksaan dan perbudakan seksual.
Upaya Nani Nurani menempuh proses hukum ini bukan kali pertama. Sebelumnya, Nani Nurani memenangkan seluruh gugatan atas Camat Koja yang tidak menerbitkan KTP seumur hidup atas namanya (Juli 2003). Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 60/G.TUN/2003/PTUN-JKT jo. putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara No. 203/B/2003/PT.TUN.JKT jo. putusan Mahkamah Agung No. 400K/TUN/2004 menyatakan bahwa keputusan Kepala Pemerintahan Kecamatan Koja Jakarta Utara yang tidak menerbitkan Kantu Tanda Penduduk seumur hidup bagi Nani Nurani adalah batal/tidak sah dan melawan hukum. Faktanya, Nani Nurani telah diputuskan bebas penuh oleh Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada 1976, dan tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan dirinya terlibat organisasi terlarang.Putusan ini juga membuktikan adanya perbuatan intimidatif dan diskriminatif yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia kepada Nani Nurani. KO N D I S I P E R E M P UA N PA P UA DA N PA P UA B A R A T
Penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan HAM perempuan bukanlah prioritas Kepala Daerah tingkat Kabupaten. Sepanjang tahun 2011 dan 2012, Komnas Perempuan dan jaringan TIKI di sejumlah kabupaten melakukan advokasi penghapusan KtP dan pemenuhan HAM perempuan melalui mekanisme Dialog Kebijakan dengan pemerintah daerah setempat, antara lain di Biak, Merauke, Manokwari, Timika dan Wamena. Tak satu pun kepala daerah (Bupati, Wakil Bupati atau Sekda) kabupaten tersebut yang bersedia memberi waktu untuk dialog kebijakan tentang penghapusan KtP dan tanggungjawab pemenuhan HAM perempuan. Pejabat Badan/Biro PPPA kabupaten maupun Asisten pemda terkait yang pernah berdialog dengan Komnas Perempuan dan TIKI di sepanjang tahun 2010 hingga 2012 melaporkan terbatasnya kapasitas sumber daya manusia dan dana yang dimilikinya untuk melakukan tugas secara optimal. Akibatnya, tidak banyak yang dapat mereka lakukan jika dibandingkan dengan besarnya masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak di tanah Papua Dalam Dialog kebijakan tersebut Komnas Perempuan menyampaikan keprihatinannnya akan minimnya respons negara terhadap upaya pemulihan korban khususnya perempuan asli Papua. Bahkan cenderung membiarkan kekerasan terus berlanjut. Persaingan ekonomi yang sangat mikropun tak kunjung dieliminir oleh pemerintah daerah, misalnya perjuangan mama-mama pasar untuk mendapatkan tempat berjualan yang layak tak kunjung dipenuhi. Bahkan ada 31
sejumlah kasus kekerasan lainnya yang ditemukan saat berdiskusi dengan komunitas korban dan aktivis HAM perempuan, antara lain: Persaingan ekonomi berlapis, mengecilnya akses ekonomi perempuan, terampasnya sumber daya alam sekaligus simbol ekonomi perempuan dan melemahnya enterpreunership perempuan. Komunitas penyintas kekerasan dan aktivis HAM perempuan di kota Biak, Merauke dan Wamena melaporkan bahwa kelompok perempuan asli Papua penjual hasil kebun dan hasil hutan makin terhimpit dan kalah dalam persaingan ekonomi kecil di pasar. Para perempuan asli Papua di Merauke dan Wamena tidak hanya kalah bersaing dengan pedagang pendatang dari luar Papua yang mendominasi pasar-pasar tradisional, melainkan juga sering kesulitan bersaing dengan perempuan pedagang asal pegunungan yang dikenal lebih ulet dan trampil dalam berjualan hasil kebunnya. Pinang yang selama ini menjadi simbol kekuatan ekonomi perempuan asli Papua telah dimonopoli oleh pedagang dari luar Papua yang jauh lebih kuat dari segi modal dan ketrampilan dan telah menguasai bukan hanya jalur distribusi pinang, tapi juga tanaman pinang. Bagi para perempuan asli Papua pedagang pinang, hilangnnya akses pada perdagangan pinang bukan hanya berarti hilangnya sumber kekuatan ekonomi, melainkan sekaligus berarti terampasnya sumber daya alam (kebun) penghasil pinang dan terampasnya simbol identitas kultural mereka3. Selain itu, aktivis perempuan dan pemimpin perkumpulan perempuan adat dari Keerom, Abepura dan Manokwari melaporkan sejumlah kasus penjualan kios atau meja lokasi berdagang oleh perempuan pedagang asli Papua kepada pedagang pendatang. Meski masih harus diteliti alasan di balik “pelepasan hak atas kios dan meja berjualan” ini, aktivis dan tokoh perempuan Papua setempat menyesalkan fenomena tersebut dan memandangnya sebagai tanda melemahnya ketrampilan enterpreunership sebagian perempuan pedagang asli Papua. Pengabaian hak-hak dasar perempuan penyintas kekerasan negara. Perempuan penyintas kekerasan negara yang terdokumentasi dalam laporan HAM Komnas Perempuan dan mitramitranya bertajuk “Stop Sudah: Kesaksian Perempuan Papua korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM 1963-2009”, melaporkan bahwa sejak kasus mereka dilaporkan dan diadvokasi di tingkat kabupaten dan provinsi hingga menjelang akhir tahun 2012 belum ada tindak lanjut apapun dari pemerintah daerah untuk pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Kondisi para penyintas belum berubah, terabaikan, terstigma dan sebagian di antara mereka termakan penyakit serta usia yang makin renta. Hal ini dilaporkan oleh komunitas penyintas dan pembela HAM dari Biak, Genyem, Keerom, Manokwari, Merauke, Sarmi, Timika dan Wasior. Menjelang akhir tahun 2012, dua orang penyintas kekerasan negara dari Biak, yaitu penyintas kasus Biak Berdarah dan penyintas operasi militer di Biak tahun 1960an, yang masih terus berharap menerima kembali hak nya atas Kebenaran, Keadilan dan Pemulihan, telah meninggal dunia karena sakit yang dideritanya. Kekerasan terhadap perempuan pembela HAM. Aktivis perempuan dan pekerja HAM perempuan di Abepura, Timika dan Wamena melaporkan adanya intimidasi, penggeledahan dan pemukulan oleh aparat penegak hukum dan masyarakat terhadap perempuan, perempuan aktivis dan pembela HAM perempuan. Media Agustus dan September 2012 dari Wamena dilaporkan seorang perempuan advokat dan seorang laki-laki aktivis pembela HAM perempuan mengalami tindak kekerasan dan ancaman dari anggota kepolisian dan masyarakat karena aktivitas mereka membela HAM. Hal ini menimbulkan rasa takut dan cemas, sehingga salah seorang dari mereka meninggalkan Wamena untuk sementara waktu dan mencari rasa aman di kota lain. Pada 3
Masyarakat Papua umumnya baik dalam keseharian maupun dalam acara adat bersosialisasi dengan berbagi sirih pinang
32
November 2012 seorang perempuan di kota Timika melaporkan dirinya mengalami kekerasan verbal dan dipukul oleh aparat kepolisian yang menggeledah rumahnya dan mencari putranya yang diduga terkait kasus bom rakitan dan dengan aktivitas Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Seorang perempuan lainnya mengaku rumahnya digeledah pada tengah malam hingga menjelang dini hari oleh serombongan orang berseragam hitam, bertopeng dan bersenjata laras panjang yang mengeluarkan sinar berwarna merah. Rumah korban digeledah dan ditunggui beberapa jam, aparat tidak menemukan yang mereka cari di rumah itu lalu pergi meninggalkan penghuni rumah yang ketakutan. Sebelumnya, seorang perempuan aktivis mahasiswa di Abepura digerebek dan dibuntuti aparat penegak hukum karena diduga terkait dengan aktivitas (pemimpin) KNPB. Komunitas korban dan aktivis HAM perempuan mitra Komnas Perempuan di Wamena dan Timika melaporkan bahwa peristiwa kekerasan, penembakan dan pembunuhan yang melibatkan warga masyarakat biasa maupun aparat keamanan, yang terus terjadi tanpa teratasi secara baik dan tuntas di kedua kota itu telah melestarikan rasa takut, kecewa dan marah yang meluas di kalangan masyarakat. K E M A J UA N DA N K E M U N D U R A N H U K U M
Terobosan Hukum Komitmen dan langkah Negara Sidang HAM adalah mekanisme HAM nasional yang dibentuk bersama antara Komnas Perempuan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan Komisi Perlindungan Anak Inndonesia selaku institusi HAM nasional. Dalam Sidang HAM ke-dua, yang dilaksanakan Desember 2012 teridentifikasi pernyataan para pejabat publik mengenai usaha-usaha perlindungan hak-hak perempuan. Komnas Perempuan menyambut baik usaha-usaha tersebut sebagai salah satu langkah membangun standar layanan pemenuhan HAM warga, khususnya perempuan. Dalam Sidang HAM kedua ini terungkap komitmen institusi negara dalam perlindungan hak asasi perempuan, seperti Mahkamah Agung yang melakukan terobosan hukum dalam putusanputusannya dengan perspektif perlindungan terhadap hak-hak perempuan, seperti: 1. Menyatakan sebagai tindak pidana, seorang laki-laki yang mengajak untuk bersetubuh dan mengata-ngatai dengan kata-kata tidak senonoh terhadap mantan pacarnya melalui SMS. 2. Menyatakan sebagai kekerasan seksual, seorang laki-laki yang memaksa bersetubuh dengan istrinya yang dalam proses perceraian di tempat yang tidak layak,. 3. Menghukum dengan pidana percobaan dengan syarat khusus terhadap seorang suami untuk membayar Rp. 1 juta, setiap bulannya karena penelantaran ekonomi keluarga. Kementrian Agama yang Sosialisasi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mencakup 2 hal yaitu menyangkut Hak Asasi Perempuan dan Perlindungan anak. Menyangkut masalah anak, mencegah nikah siri pada anak-anak. Semua KUA sudah diinstruksikan untuk tidak menikahkan anak/di bawah umur. Mereka akan diberi sanksi pidana atau dipindah tugaskan. Kementrian Dalam Negeri, yang melakukan evaluasi terhadap Perda-Perda yang bias gender dan diskriminatif; bersama Kementerian Hukum dan HAM sedang menyusun finalisasi Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Dalam Negeri tentang Penyusunan Produk Hukum Daerah yang Berbasiskan HAM; bersama Kementerian Pemberdayaan 33
Perempuan dan Perlindungan Anak, telah menyusun parameter gender yang digunakan dalam penyusunan produk-produk hukum daerah. Mendorong Pemerintah Daerah melakukan pemulihan hak-hak para korban yang dilanggar. Di Papua, Kementrian Dalam Negeri menyelesaikan konsultasi tentang Perdasus Perlindungan bagi Perempuan Papua. Ini menjadi kebijakan afirmasi sekaligus tindakan afirmasi yang bisa didorong kepada seluruh perempuan yang ada di Papua. Memberikan pedoman serta rambu-rambu pada Satpol PP dalam penyelenggaraan kegiatannya, sehingga diharapkan Satpol PP di dalam melakukan kegiatannya dapat berbasis pada pemenuhan hak asasi manusia; Melakukan evaluasi Perda, terutama Perda APBD dapat memenuhi tercapainya kesejahteraan perempuan; serta mengakomodir perlindungan terhadap kaum penghayat dan aliran kepercayaan Mereka tidak boleh kesulitan di dalam pemakaman dan memperoleh hak-hak semasa hidupnya. Kementrian Hukum dan HAM, dari sisi legislasi Kementerian Hukum dan HAM sudah meluncurkan Pedoman Penulisan Perda yang mencakup Parameter HAM dan juga Parameter Gender. Juga, pada tanggal 10 Desember, Kemenhukham meluncurkan Catur Karya HAM: Pertama adalah Daerah Peduli HAM adalah elemen yang diharapkan dapat diterapkan di daerah untuk peduli HAM secara keseluruhan. Kedua yang dikaitkan dengan pengaduan dan pelanggaran HAM dalam masyarakat, juga meluncurkan Standar Operating Prosedure (SOP) untuk pelayanan komunikasi masyarakat yang pada dasarnya adalah satu pedoman bagi pemerintah pusat maupun daerah serta lembaga untuk menangani pengaduan dugaan pelanggaran HAM yang diajukan oleh masyarakat baik secara individu maupun kolektif. SOP ini juga menjadi salah satu program dari 7 program yang dirumuskan dalam Salaknas HAM yang saat ini sudah dilaksanakan baik, oleh pancaran HAM yang ada di daerah-daerah dan juga Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM. Keputusan Mahkamah Agung No. 691 K/Pid/2012 Tahun 2012 Dalam kasus kekerasan seksual yang dilaporkan korban dilakukan Anand Khrisna, Mahkamah Agung R.I pada akhirnya berani melakukan terobosan hukum, dengan menyimpangi pengaturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Mahkamah Agung RI menggunakan kewenangannya sebagai upaya menciptakan keadilan bagi masyarakat khususnya kelompok rentan perempuan dan anak. Hal tersebut juga menegaskan upaya menghapuskan diskriminasi pengadilan yang telah mengabaikan kepentingan dan kebutuhan korban menjadi perhatian utama Mahkamah Agung RI. Upaya tersebut sejalan dengan perlindungan hukum di pengadilan Nasional bagi perempuan dan anak korban yang ditegaskan dalam CEDAW. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengakomodir kebutuhan dan kepentingan perempuan korban secara spesifik dalam mendapatkan hak-haknya sebagai korban kekerasan. KUHAP belum beranjak dari pola lama yang memprioritaskan perlindungan terhadap hak tersangka dan terdakwa semata. Sementara perlindungan hak saksi dan korban pengaturannya masih dikonstruksikan secara parsial dan tidak menjadi pegangan bagi aparat penegak hukum dalam memeriksa perkara. Proses peradilan hanya tunduk pada KUHAP,termasuk pemenuhan alat bukti yang sah (pasal 184 KUHAP) saja. Bahkan seringkali, penggunaan dan pemahaman terhadap alat bukti yang sah masih berkutat pada saksi dan surat yang berupa visum. Hal tersebut kemudian digantungkan pada keyakinan hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Kondisi tersebut seringkali mempersulit akses keadilan terhadap korban. 34
Dalam pertimbangan hukum putusan Kasasi dimana Mahkamah Agung melihat dan mempertimbangkan argumentasi hukum alasan kasasi Jaksa penuntut Umum sebagai wakil Negara terhadap korban dalam memutus perkara ini. Menurut Jaksa Penuntut Umum, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya berdasarkan Pasal 253 KUHAP. Hakim tidak memperhatikan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan. Bahkan dalam proses pemeriksaan menimbulkan ketidakpastian hukum dengan mempengaruhi saksi dalam pelaksanaan sumpah yang dapat mempunyai kecenderungan berpihak pada Terdakwa, bukan pada terciptanya rasa keadilan bagi masyarakat. Bahkan, Saksi korban /pelapor dan saksi lainnya yang menjadi korban diperiksa kembali dengan diminta menjelaskan kembali kejadian kekerasan seksual yang dialaminya. Pemeriksaan demikian tidak memperhatikan kepentingan para korban dari perlindungan atas trauma yang dialaminya. Proses demikian menjadi salah satu indikasi Hakim persidangan tidak berperspektif gender. Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 12 April 2012 merupakan hari yang bersejarah bagi gerakan pekerja migran dan gerakan perempuan, setelah perjuangan panjang hampir 20 tahun, akhirnya pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi PBB 1990 mengenai Perlindungan Hak-hak seluruh pekerja migrant dan anggota keluarganya. Pada tanggal tersebut dalam sidang Paripurna DPR RI secara resmi mengesahkan Konvensi Migran 1990. Pada 5 Mei 2012 pemerintah menerbitkan melalui Undang-undang No 6 tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention On The Protection Of The Rights Of All Migrant Workers and Members Of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya). Pengesahan Konvensi Migran 1990 ini beriringan dengan pembahasan perubahan atas undang-undang 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar negeri (UU PPTKILN). Inisiatif perubahan tersebut berasal dari DPR yang kemudian menghasilkan rancangan undang-undang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (RUU PPILN). Namun demikian, berdasarkan kajian yang dilakukan Komnas Perempuan, RUU PPILN belum sepenuhnya merujuk pada Konvensi Migran 1990 yang telah disahkan. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2012 tentang Tata Cara Kepulangan Tenaga Kerja Indonesia dari Negara Penempatan secara Mandiri ke Daerah Asal Dengan terbitnya peraturan ini pekerja migran yang kembali ke tanah air diperbolehkan untuk kembali ke daerah asal secara mandiri. Kewajiban melapor saat kedatangan untuk tujuan pendataan, tidak lagi diikuti dengan kewajiban untuk menggunakan jasa transportasi (travel) yang disediakan di gedung pendataan kepulangan TKI (GPK TKI) Selapajang. Terobosan kebijakan lain yang lahir pada 2012 adalah perihal biaya keberangkatan (cost structur) menjadi pekerja migran. Beberapa kebijakan tersebut antara lain : Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor: Per 02/KA/I/2012 tanggal 24 Januari 2012 tentang biaya penempatan TKI Eks Hongkong SAR (yang sudah berpengalaman bekerja di Hongkong Sebelumnya), yaitu sebesar Rp 5.911.000. Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor Per.003/KA/I/2012 tanggal 24 Januari tentang biaya penempatan TKI ke Singapura sebesar Rp 10.933.000 dan bagi yang pernah bekerja sebelumnya (TKI Eks Singapura) sebesar Rp 5.448.00.
35
Peraturan Kepala BNP2TKI nomor Per.07/KA/II/2012 tanggal 28 Februari 2012 tentang biaya penempatan TKI ke Macau SAR sebesar Rp. 12.243.000 dan bagi yang pernah bekerja sebelumnya (eks) sebesar Rp. 4.903.000. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI nomor 98 tahun 2012 tentang Komponen dan Besarnya biaya penempatan Calon tenaga kerja Indonesia sektor Domestik Negara tujuan Hongkong SAR, tanggal 24 Mei 2012. Biaya penempatan sebesar Rp. 14.780.400. Adanya kebijakan dan payung hukum mengenai standar biaya keberangkatan bagi pekerja migran patut diapresiasi mengingat persoalan ketiadaan standar biaya menyebabkan praktek eksploitasi dan pembebanan biaya berlapis hingga praktek bondage labour kepada pekerja migran dan keluarganya. Komnas Perempuan memandang, dilihat dari muatan peraturan tersebut, besaran biaya yang begitu besar dan komponen pembiayaan seperti biaya akomodasi dan konsumsi di penampungan selama 110 hari sebesar Rp. 5.500.000 dan biaya peralatan dan bahan praktek sebesar Rp. 3.000.000 yang tidak jelas peruntukannya, harus dikaji ulang secara komprehensif. Sistem Pengadilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) dan Pengadilan Khusus sebagai Upaya Mendekatkan Akses Keadilan bagi Perempuan Korban Sebagai tindak lanjut dari MOU yang ditandatangani Komnas Perempuan dengan KPPPA, Kapolri, Kejagung, MA dan Peradi pada akhir tahun 2010, maka di tahun 2012 telah dikeluarkan SK DPN Peradi Nomor:KEP.299/Peradi/DPN/XII/2012 yang mewajibkan Materi Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak masuk dalam kurikulum Wajib dalam Pelaksanaan PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat) Peradi. Sampai saat ini upaya membangun pemahaman bersama pentingnya sinergi penanganan kasus dan monitoring evaluasi akses keadilan bagi perempuan korban antara penegak hukum, pemerintah dan pendamping terus diupayakan, diharapkan akan segera muncul kebijakan bersama yang mengatur keduanya, baik melalui kurikulum pendidikan Penegak Hukum, maupun mekanisme kerja bersama yang sistemik. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2012 MK tentang Hubungan Keperdataan Anak dengan Ayah Putusan Bulan Februari 2012, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 46/PUUVIII/2010 menetapkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan tetap memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya, yang sepanjang 38 tahun sebelumnya telah dinegasikan oleh UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.” Putusan ini meneguhkan pelaksanaan jaminan hak konstitusional bagi anak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebelum hadirnya Putusan MK ini, perempuan atau ibu dalam perkawinan tidak tercatat rentan menanggung beban stigma dari masyarakat dan menanggung beban orang tua tunggal dalam perawatan anak. Anak pun tumbuh dalam stigma sebagai anak haram. Hadirnya Putusan ini selain memulihkan hak keperdataan anak, diharapkan juga dapat meminimalkan kekerasan berlapis pada perempuan atau 36
ibu yang terjebak dalam perkawinan tidak tercatat. Putusan ini diharapkan dapat menjerakan para pelaku perkawinan tidak tercatat yang selama ini dengan mudah menghindar dari kewajibannya terhadap anak yang dilahirkan karena tidak tercatatnya perkawinan tersebut. Dengan demikian, Putusan ini juga menegaskan urgensi negara mewajibkan pencatatan perkawinan sebagai jaminan perlindungan bagi para pihak yang terikat dalam perkawinan. Sepanjang Tahun 2012 juga telah terbit hukum yang melindungi anak, yaitu: Undang Undang Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pengesahan Optional Protocol To The
Convention On The Rights Of The Child On The Involvement Of Children In Armed Conflict (Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata)
Konvensi Hak Anak yang selanjutnya disebut KHA adalah kesepakatan PBB tentang hak-hak anak yang telah diratifikasi Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 dimana KHA ini menyatakan bahwa anak merupakan potensi sumber daya insani bagi pembangunan nasional karena itu pembinaan dan pengembangannya dimulai sedini mungkin agar dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara dan pembinaan kesejahteraan anak termasuk pemberian kesempatan untuk mengembangkan haknya, pelaksanaannya tidak saja merupakan tanggung jawab orang tua, keluarga, bangsa, dan negara melainkan diperlukan pula kerjasama internasional. Oleh karena itu Pengesahan Protokol Opsional ini merupakan bagian yang memperkuat perlindungan bagi anak di Indonesia yang rentan dalam situasi konflik. Undang Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Optional Protocol To The
Convention On The Rights Of The Child On The Sale Of Children, Child Prostitution And Child Pornography (Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, Dan Pornografi Anak)
Pengesahan Protokol Opsional ini merupakan langkah maju Pemerintah Indonesia dalam upaya memberikan perlindungan pada anak karena Protokol optional ini memperkuat pelaksanaan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan mengkoreksi UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang telah melakukan perlindungan hak anak dari tindak pidana perdagangan orang dan objek pornografi. Undang-Undang Nomor 11 Tahun tentang 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang disahkan pada bulan Juli 2012 berpijak pada prinsip perlindungan bagi anak sebagai pelaku atau korban tindak pidana. Prinsip ini dalam implementasinya harus dipastikan peletakannya secara tepat ketika berhadapan dengan kepentingan korban, terutama anak perempuan sebagai korban. Sebagai salah satu cara dalam menerjemahkan prinsip restorative justice, UU SPPA ini mewajibkan dilakukannya Diversi mulai dari tingkat penyelidikan sampai peradilan. Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Artinya, kasus yang di-Diversi tidak akan diselesaikan melalui proses peradilan pidana. UU SPPA menggariskan bahwa Diversi hanya dilakukan terhadap tindak pidana yang ancaman pidana penjaranya di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Artinya, hanya tindak pidana ringan yang wajib dilakukan Diversi. Adapun terhadap tindak pidana berat -dimana ancaman hukumannya di atas 7 (tujuh) tahunmaka UU SPPA mengkategorikannya sebagai tindak pidana yang tidak dapat di-Diversi. Merujuk 37
kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kejahatan perkosaan -sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual dari 15 bentuk yang diidentifikasi oleh Komnas Perempuan- adalah tindak pidana yang diancam pidana penjara 9 (sembilan) sampai 12 (dua belas) tahun. Walaupun KUHP masih sangat terbatas menyebutkan jenis dan unsur perbuatan yang dikategorikan sebagai delik perkosaan, UU SPPA setidaknya tetap dapat menjadi instrumen hukum bagi perempuan korban untuk mengakses keadilan, mengingat tindak pidana tersebut jika dilakukan oleh Anak tidak di-Diversi namun harus tetap diproses melalui peradilan pidana. Hal ini juga akan menjadi pendorong untuk membangun komitmen negara agar menyusun peraturan perundang-undangan yang secara komprehensif mengakomodir bentuk-bentuk kekerasan seksual yang sampai saat ini belum terdapat payung hukum pengaturan deliknya. Bantuan medis dan psikososial dari LPSK tanpa adanya putusan pengadilan Dalam rangka menjalankan amanat pasal 6 UU Nomor 13/2006, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengeluarkan Peraturan Nomor. 4 Tahun 2009 Tentang Standar Operasional Prosedur Pemberian Bantuan Medis dan Psikososial. Peraturan ini dikeluarkan untuk pemenuhan hak atas pemulihan bagi saksi korban untuk mendukung proses penegakan hukum pidana, khususnya dalam proses penegakan hukum bagi pelanggaran HAM berat di Indonesia. Prosedur pengajuan bantuan sudah diatur dalam syarat formal permohonan. Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon adalah surat keterangan dari Komisi Nasional Hak Asasi manusia yang menunjukkan pemohonan sebagai korban atau keluarga korban pelanggaran HAM yang berat. Awalnya mekanisme surat keterangan dari Komnas HAM ini cukup menyulitkan bagi kasus pelanggaran HAM yang belum melalui proses peradilan atau sekurang-kurangnya penyidikan Komnas HAM. Tetapi dengan pertimbangan kebutuhan mendesak dari korban maka sejak tahun 2012 LPSK membangun strategi untuk memperlancar perolehan surat dari Komnas HAM. Yaitu. Bagi korban yang telah melalui proses penyidikan secara otomatis bisa langsung mengakses bantuan ke LPSK karena datanya sudah di Komnas HAM dan sudah dinyatakan sebagai korban Pelanggaran HAM Berat. Sementara bagi korban yang belum melalui proses penyidikan Komnas HAM, pemohon dapat melampirkan surat rekomendasi dari lembaga pendamping disertai bukti-bukti pendukung, seperti surat keterangan dari RT/RW, Saksi dan kronologi yang memberikan penjelasan bahwa dia benar sebagai korban pelanggaran HAM Berat. Dokumen-dokumen tersebut yang kemudian dibawa oleh LPSK ke Komnas HAM untuk dimintakan surat keterangan bahwa pemohon benar sebagai korban Pelanggar HAM Berat. Kemudahan akses bantuan medis dan psikologis bagi korban Pelanggaran HAM Berat dapat dilihat pada data kasus yang masuk ke LPSK. Di tahun 2011 dari 106 korban yang mendapatkan layanan medis dan psikologis, baru satu korban Pelanggaran HAM Berat yang ditangani. Namun, di tahun 2012 kasus pelanggaran HAM berat yangditangani melonjak tajam, yaitu 127 korban, 125 korban mendapatkan layanan medis dan 122 korban mendapatkan layanan psikologis (Laporan Tahunan LPSK, 2012). Kebijakan tentang Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan Komnas Perempuan melakukan pemutakhiran database kebijakan terkait dengan pemenuhan hak-hak konstitusional perempuan dengan mengirimkan surat kepada kepala daerah yang ada di seluruh Indonesia, baik di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota untuk meminta masing-masing kepala daerah guna mengirimkan berbagai bentuk kebijakan baik berupa Peraturan 38
Daerah/Peraturan Kepala Daerah/Surat Keputusan/Surat Perintah maupun MoU terkait dengan perempuan. Hasil korespondensi Komnas Perempuan kepada seluruh kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, tercatat ada peningkatan jumlah kebijakan baik yang sifatnya kondusif maupun diskiriminatif terhadap pemenuhan hak-hak konstitusional perempuan. Komnas Perempuan mengapresiasi peningkatan jumlah kebijakan kondusif terkait dengan layanan perempuan dan anak korban kekerasan yang ada di Indonesia. Jumlah kebijakan kondusif ini meningkat dari 73 kebijakan di tahun 2011 menjadi 252 kebijakan pada tahun 2012 ini. Namun demikian dari kebijakan tentang Layanan yang kondusif bagi pemenuhan hak-hak konstitusional perempuan Komnas Perempuan menyayangkan, karena dari 252 kebijakan tentang layanan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan tersebut, hanya ada 44 kebijakan saja yang mengatur tentang substansi dari pemberian layanan dan perlindungan bagi perempuan korban, sementara ada 174 kebijakan yang hanya mengatur struktur kelembagaan P2TP2A, 16 kebijakan tentang SOP & SPM pemberian layanan dan 18 kebijakan tentang kerjasama antar instansi untuk pemberian layanan. Kebijakan ini berupa 155 surat Edaran, 45 Peraturan Kepala Daerah, 25 Peraturan Daerah/Desa, Perjanjian Kerjasama 22 kebijakan, Surat Edaran 3, serta Rencana Strategis dan instruksi kepala daerah masing-masing
Kemunduran Hukum Undang Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tidak berbeda dengan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU No. 8 Tahun 2012) tidak memuat perubahan pasal yang menguatkan tindakan afirmasi untuk keterwakilan perempuan di parlemen. Walaupun Pasal 53 dan 55 yang mengatur keterwakilan perempuan tetap ada, namun dengan dianulirnya Pasal 216 oleh Mahkamah Konstitusi, membuat Pasal 53 dan Pasal 55 hanya memberi ruang afirmasi dalam pencalonan anggota legislatif, tidak ada landasan hukum bagi jaminan afirmasi dalam penetapan calon terpilih. Maka tidak ada kewajiban bagi Partai Politik untuk mematuhi ketentuan itu; tidak ada sanksi pula bagi Partai Politik yang tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut; tidak ada ketentuan bagi Partai Politik untuk menempatkan perempuan pada nomor urut jadi; tidak ada upaya paksa bagi Partai Politik untuk memenuhi sekurang-kurangnya 30% perempuan dalam daftar bakal calon di setiap daerah pemilihan (dapil), dan di setiap tingkatan dari nasional, provinsi hingga kabupaten/kota. Artinya, UU No. 8 Tahun 2012 tidak dapat memastikan terpenuhinya keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% di DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang akan dipilih oleh publik melalui Pemilu 2014 mendatang. Perempuan dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan PengesahanUndang-UndangNomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, tidak cukup memberikan jaminan dalam pemenuhan hak atas pangan bagi warga Negara khususnya pada perempuan. Substansi Undang-Undang ini masih bersifat netral gender, Pengakuan dan perlindungan bagi perempuan yang berperan dan terlibat di dalam proses produksi pangan, dari hulu sampai hilir tidak terpapar jelas di dalam aturan pasal undang-undang ini. Padahal dilihat dari kuantitas dan kualitas pada produksi pangan hampir 80% dilakukan oleh perempuanyang berprofesi sebagai petani (pertanian, perkebunan), nelayan (pengumpul ikan dan lain-lain) yang terlibat dalam setiap 39
proses produksi, distribusi dan konsumsi pangan.Dalam Ketentuan Umum, definisi mengenai petani ataupun nelayan sebagai produsen pangan tidak disebutkan laki-laki dan perempuan. Peran perempuan disimplifikasi dan seolah-olah menjadi bagian yang secara otomatis mendapat tempat dan manfaat yang sama dengan laki-laki. Salah satu dampaknya adalah seringkali dalam proses pengambilan keputusan, perempuan sudah dianggap cukup terwakili oleh kerabatnya yang lakilaki. Sehingga ia tidak bisa mengartikulasikan apa yang menjadi kepentingannya. Dampak lainnya adalah pengalaman dan pengetahuan perempuan tidak menjadi rujukan dalam sistem pengelolaan pangan4.Selain itu UU Pangan yang baru disahkan ini tidak memuat asas kesetaraan, keadilan gender sebagai prinsip pemenuhan hak-hak perempuan. Undang Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan diharapkan akan memberikan landasan hukum yang jelas mengenai Industri Pertahanan terkait dengan aspek Kelembagaan, Penyelenggaraan, KKIP, Pengelolaan dan Ketentuan Pidana. UU tentang Industri Pertahanan ini mendorong pemerintah, pengguna, kalangan industri pertahanan untuk mengembangkan industri pertahanan yang mandiri dan berkesinambungan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.5 Dibidang keamanan dan pertahanan negara, pengesahan Undang-Undang ini menjadi suatu kemajuan dalam upaya mengembangkan industri pertahanan dalam negeri, demi meminimalisir pembengkakan anggaran negara untuk pengadaan Alutsista dan mengurangi pembelian melalui agen. Namun hal ini menjadi sebuah kemunduran bagi penegakkan hukum di Indonesia, mengingat masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang seharusnya menjadi prioritas pembahasan dan pengesahannya, seperti perubahan KUHP dan KUHAP, amandemen UndangUndang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Rancangan Undang-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), dan sebagainya yang merupakan payung hukum dalam perlindungan seluruh warga negara Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial pada 11 April 2012, disahkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 (selanjutnya disebut UU PKS). Namun sayangnya di dalam Pasal 1 Definisi Konflik Sosial hanya memuat cakupan perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional. Definisi konflik sosial hanya mengenal benturan fisik dengan kekerasan, tidak memuat kekerasan psikis, kekerasan seksual yang faktanya banyak dialami oleh perempuan korban juga anak-anak. Dan pelaku yang diatur dalam UU ini hanyalah konflik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat atau lebih, yang artinya UU ini tidak mengakomodir atau mengatur pelaku konflik adalah negara. Kekerasan terhadap perempuan dan peran negara mencakup semua tindak kekerasan yang terjadi karena adanya perangkat hukum/kebijakan, penegak hukum, dan budaya penegakan hukum yang tidak berperspketif gender serta kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik. 4Kertas
Kebijakan “Sembilan Catatan dari Konferensi Nasional Undang-Undang Pangan” Undang-Undang No. 18/2012 tentang Pangan : Tanggung Gugat Negara penuhi Hak Atas Pangan Rakyat, Jakarta/09 Januari 2013, Koalisi Hak Atas Pangan. 5 Makalah Penyusunan RUU Tentang Industri Pertahanan, M. Fachruddien, S.H., M.H.(DIRKUM STRAHAN KEMHAN), disampaikan pada Forum Komunikasi Kehumasan, tanggal 26 September 2012.
40
Parahnya Paradigma penanganan konflik dalam Undang-Undang ini dianggap akan mengarah pada pola militeristik, apalagi dalam hal bantuan penanganan konflik sosial UU PKS telah mengamanatkan adanya keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pelibatan militer dalam penanganan konflik sosial adalah cermin peniadaan terhadap fakta kekerasan yang dialami perempuan di wilayah konflik, di mana aparat keamanan berpotensi menjadi pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan, yang pada akhirnya pencapaian dalam pemenuhan hak-hak perempuan korban seperti asas penghormatan hak asasi manusia dan kesetaraan gender tidak terwujud. UU PKS telah memasukan rekonsiliasi di dalam pemulihan pascakonflik, namun perlu digarisbawahi adanya perbedaan pemahaman dalam UU dengan usulan yang diajukan. Rekonsiliasi menurut DPR adalah perundingan secara damai, pemberian restitusi dan/atau pemaafan, di mana hal ini berpotensi melahirkan impunitas (Pemaafan) bagi pelaku pelanggaran HAM, yang akan meniadakan kepastian hukum dan keadilan bagi korban maupun keluarga korban6. Sedangkan usulan yang diajukan, adalah bahwa rekonsiliasi dilakukan dengan cara mengedepankan pengungkapan kebenaran dan pemenuhan hak korban. UU ini tidak memuat penanganan dalam hal pencegahan konflik berulang. UU PKS ini nampaknya bergerak hanya sampai batas pemulihan pascakonflik. Padahal dengan model penanganan demikian, dapat dipastikan penyelesaian konflik tidaklah menyeluruh dan tidak menuntaskan sampai akar permasalahannya. Di samping itu, peran serta masyarakat dalam UU PKS ini hanya sebatas pada pembiayaan, bantuan teknis, penyediaan kebutuhan dasar minimal bagi korban konflik; dan/atau bantuan tenaga dan pikiran. UU ini tidak melibatkan masyarakat dalam penanganan konflik sosial pada tahap membangun sistem peringatan dan tanggap dini, yang bertujuan agar konflik sosial tidak berulang. Juga tidak terlihatnya peran komunitas di dalam pemulihan pascakonflik. Pemantauan kinerja Satuan Tugas Penyelesaian Konflik yang di dalamnya terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat, dengan tetap memperhatikan keterwakilan perempuan sekurangkurangnya 30% perlu dibuktikan, sebagai implementasi Rencana Aksi Nasional tentang Pencegahan, Perlindungan dan Pemberdayaan perempuan di Daerah Konflik (RAN P4DK). Hal ini sebagai pelaksanaan dari Resolusi PBB 1325 tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan pada paragraph 57, di mana telah menggariskan mengenai pentingnya peran perempuan dalam penanganan konflik. Satuan Tugas lain, dalam Undang-Undang ini juga menyertakan Pranata Adat dan Pranata Sosial dalam penyelesaian konflik. Namun patut dipantau, bahwa pelibatan Pranata Adat dalam penyelesaian konflik semestinya diletakkan dalam rangka memastikan negara untuk tidak melepaskan tanggung jawabnya dalam menyelesaikan konflik, termasuk mencegah terjadinya konflik sosial baru. Sementara dalam hal penyelesaian konflik sumber daya alam untuk kepentingan bisnis, ditekankan harus melalui jalur hukum.
6
Korban yang seringkali menjadi kaum rentan dari berbagai bentuk konflik baik konflik berbasis agama, berbasis ras/etnis, agama, konflik bersenjata, konflik sumber daya alam serta konflik sosial lainnya, adalah Kelompok yang dikategorikan sebagai penyandang cacat, anak, lansia, perempuan dalam konflik bersenjata, kelompok miskin. 7Resolusi 1325 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan, pada Paragraf 5 telah menegaskan mengenai pentingnya peranan perempuan dalam pencegahan dan resolusi konflik, dan penciptaan perdamaian, serta menekankan pentingnya kesetaraan dalam berpartisipasi dan keterlibatan penuh mereka dalam semua usaha untuk menjaga dan mendorong perdamaian dan keamanan, dan perlunya meningkatkan peran mereka dalam pengambilan keputusan terkait pencegahan dan resolusi konflik.
41
Kondisi Kebijakan di Daerah Kebijakan diskriminatif atas nama moralitas dan agama Terkait dengan kebijakan yang mendiskriminasikan hak-hak konstitusional perempuan atas nama agama dan moralitas, dari tahun ke tahun Komnas Perempuan melihat penambahan yang cukup signifikan jumlahnya. Dari awal mula berjumlah 154 kebijakan ditahun 2009, Komnas Perempuan mencatat bahwa jumlah kebijakan diskriminatif tersebut total berjumlah 282 kebijakan di tahun 2012. Kebijakan diskriminatif di tingkat daerah tersebar di lebih seratus kabupaten di 28 provinsi seluruh Indonesia. Provinsi Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur masih tetap menjadi 6 provinsi yang kabupatennya paling banyak menerbitkan kebijakan daerah yang diskriminatif. Lebih dari setengah kebijakan daerah yang diskriminatif itu (178 kebijakan) diterbitkan nyaris serentak, yaitu di antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2009. Pencitraan diri melalui kebijakan atas nama agama dan moralitas oleh elit politik untuk memobilisasi dukungan publik jelang pemilu dan pemilukada ditengarai sebagai faktor pemicu situasi ini. Sebanyak 207 dari 282 kebijakan daerah tersebut secara langsung diskriminatif terhadap perempuan melalui pembatasan hak kemerdekaan berekspresi (60 kebijakan mengatur cara berpakaian), pengurangan hak atas perlindungan dan kepastian hukum karena mengriminalkan perempuan (96 kebijakan tentang prostitusi dan pornografi), penghapusan hak atas perlindungan dan kepastian hukum (10 kebijakan tentang larangan khalwat dan 3 kebijakan tentang pemisahan ruang publik antara laki-laki dan perempuan), dan 38 kebijakan daerah terkait dengan aturan jam keluar malam. Selebihnya ada 7 kebijakan tentang ketenagakerjaan yang berakibat pada pengabaian hak atas perlindungan dan diskriminasi terhadap perempuan. 126 kebijakan yang memuat tentang aturan umum terkait politik pencitraan khususnya aturan tentang agama yang dikeluarkan oleh daerah sekalipun sesungguhnya merupakan kewenangan pusat. 31 Kebijakan lainnya adalah terkait dengan pembatasan hak atas kebebasan beragama yang mengakibatkan pengucilan kelompok minoritas, yang terdiri dari 27 kebijakan pembatasan bagi kelompok Ahmadiyah, 2 kebijakan pembatasan terhadap kelompok nasrani (HKBP & Gereja Jasmin), 1 kebijakan pelarangan bagi penganut kepercayaan Millata Abraham di Aceh dan 1 kebijakan lainnya tentang Penodaan Agama yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Kesemua kebijakan diskriminatif ini terdiri dari 189 Peraturan Daerah, 1 Peraturan Desa, 1 Undang-undang, 6 Surat Himbauan Kepala Daerah, 8 Instruksi Kepala Daerah, 18 Peraturan Kepala Daerah, 24 Surat Edaran Kepala Daerah, 28 Surat Keputusan Kepala daerah dan 7 Surat Keputusan Bersama. No.
Jenis Kebijakan
Irisan Pengaturan Terkait Langsung Perempuan
Juml ah
Prostitusi
Pornografi
Busan a
Khalwat
Pemisaha n Ruang Publik
Aturan Jam Malam
1
Kriminalisasi
71
11
6
9
3
35
135
2
Kontrol Tubuh
1
0
37
1
0
0
39
3
Pencitraan
13
0
17
0
0
3
33
85
11
60
10
3
38
Jumlah
42
Beberapa langkah konkrit sudah mulai dilakukan oleh pemerintah baik di tingkat nasional maupun lokal untuk merespons kelahiran kebijakan diskriminatif ini. Salah satu respon positif yang telah dilakukan oleh pemerintah di tingkat nasional adalah melalui program harmonisasi kebijakan yang masuk dalam agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 20102014. Kementerian Dalam Negeri bersama-sama dengan Komnas Perempuan telah merampungkan sebuah Indikator Kebijakan Diskriminatif yang diharapkan dapat menjadi alat bagi Kemendagri untuk melakukan pembatalan terhadap ke-282 kebijakan diskriminatif tadi. Dalam perkembangan terakhir, Kementerian Dalam Negeri saat ini juga sudah mulai melakukan langkah harmonisasi dengan membuat surat klarifikasi yang merekomendasikan pembatalan terhadap 3 buah kebijakan diskriminatif yang berasal dari Provinsi Gorontalo, Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tangerang. Aceh Komnas Perempuan sangat kuatir dengan perkembangan situasi di Aceh terkait penerbitan dan pelaksanaan kebijakan yang merintangi pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara atas nama agama, moralitas dan otonomi khusus. Komnas Perempuan mendapatkan laporan8 bahwa sampai dengan Mei 2012 lalu terdapat 19 rumah ibadah yang telah ditutup, yaitu 10 Gereja Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD), 4 Gereja Katholik, 3 Gereja GMII, 1 Gereja HKI, 1 Gereja JKI dan 1 Rumah Ibadah Pambi-Agama Local penganut Kepercayaan Parmalim. Selain di Aceh Singkil, juga terjadi penutupan rumah ibadah berupa 9 gereja, 5 vihara dan 1 kuil di Banda Aceh pada tanggal 15 Oktober 2012. Sebelumnya pada Agustus 2012, pemerintah daerah Banda Aceh melarang adanya narasumber dari pihak non muslim dan ekspresi budaya Tionghoa (Barongsai dan Lion dance) dalam rangkaian peringatan perdamaian Aceh yang digagas oleh kelompok masyarakat sipil. Akibat pelarangan ini, pihak penyelenggara membatalkan seluruh kegiatan. Masih dalam isu kebebasan beragama, pada 16 November 2012 lalu, terjadi penyerangan terhadap sebuah aliran yang di anggap sesat yang dipimpinan Tengku Ayub di Desa Jambo Dalam, Kecamatan Plimbang, Bireuen, Aceh. Bentrokan ini kemudian mengakibatkan tiga orang tewas dan sembilan luka. Komnas Perempuan juga mendapat catatan adanya 50 kasus kekerasan yang terjadi dalam pelaksanaan Syariat Islam di Aceh (Kontras Aceh), antara 23 kasus kekerasan yang terjadi dalam kasus khalwat (mesum), 11 kekerasan saat terjadi razia oleh petugas wilayatul hisbah, dan 6 kasus penerapan hukuman cambuk. Komnas Perempuan mengamati bahwa penerapan peraturan tentang khalwat dan busana kerap menempatkan perempuan sebagai pihak yang dihakimi moralitasnya, disudutkan dan dikriminalisasi. Penghakiman pada moralitas ini, diikuti dengan publikasi pada kasus ia hadapi, ditenggarai memicu seorang remaja putri P yang baru berusia 16 tahun memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Dalam surat yang diduga ditulis sebelum kematiannya, P menyatakan bahwa ia tidak mampu menanggung bersalah karena ayahnya sangat malu dan ia dianggap telah mencemarkan nama baik keluarga setelah dituduh sebagai pekerja seks dan melanggar aturan tentang larangan khalwat. Komnas Perempuan berpendapat bahwa pemerintah Aceh dan pemerintah perlu segera meninjau ulang kebijakan dan praktik diskriminatif terhadap perempuan atas nama agama, moralitas dan otonomi khusus guna memastikan terselenggaranya mandat Konstitusi di Aceh atas jaminan rasa aman, bebas dari kekerasan dan diskriminasi.
8
Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh Aliansi Sumut Bersatu (ASB)
43
KESIMPULAN DAN REKOM ENDASI KESIMPULAN 1.
2.
3.
4.
5.
Ketersediaan data nasional tentang Kekerasan terhadap Perempuan sangat penting sebagai basis untuk membangun mekanisme perlindungan korban, penanganan kasus, dan pemajuan HAM perempuan. Ketersediaan dan kemudahan mengakses data sangatlah membantu proses penyediaan data nasional. Namun disayangkan bahwa kesadaran akan pentingnya data nasional tersebut belum merata. Sistem pendokumentasian yang dilakukan oleh Pengadilan Agama sangat bagus dan dengan mudah dapat diakses di web site, sehingga penting mendorong lembaga peradilan lainnya melakukan hal yang sama. Kekerasan di lembaga pendidikan, mengeluarkan perempuan korban, siswi dari sekolah. Usia Korban semakin muda 13-18 tahun untuk kekerasan ranah komunitas. Mereka umumnya menjadi korban kekerasan seksual (perkosaan, perkosaan yang pelakunya lebih dari seorang [gank rape], percabulan). Pelakunya adalah orang-orang yang dekat dengan korban, pacar, teman, guru, dan ayahnya. Penegakan hukum kerap mengalami hambatan dan atau tidak memenuhi rasa keadilan korban, utamanya kasus Kekerasan terhadap perempuan yang pelakunya pejabat publik dalam hal ini tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pejabat lembaga negara terjadi di ranah privat, komunitas, dan juga di ranah negara. Bahkan ada korban yang justru dikriminalisasi. Meski demikian dalam penegakan hukum setidaknya ada 3 putusan pengadilan yang diapresiasi sebagai terobosan hukum yang kondusif bagi perempuan korban, dua putusan Mahkamah Agung (MA), dan satu putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Keputusan Mahkamah Agung No. 691 K/Pid/2012 dalam kasus kekerasan seksual yang dilaporkan korban dilakukan Anand Khrisna, MA mengabulkan permohonan Kasasi yang diajukan oleh Jaksa penuntut Umum atas putusan bebas yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan putusan MA atas kasus Perkawinan tidak dicatatkan oleh Bupati Garut, Aceng Fikri yang mengabulkan pemakzulan yang diusulka oleh DPRD Kabupaten Garut. Kemudian, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 MK tentang Hubungan Keperdataan Anak dengan Ayah. Ini member jaminan pada perempuan yang menginginkan kejelasan status hukum anaknya yang lahir dari hubungan diluar perkawinan yang sah. Kelompok beragama merasakan gagalnya negara melindungi hak mereka menikmati dan menjalankan ibadahnya sesuai agama dan kepercayaannya bahkan terkesan terjadi pembiaran. Kehadiran aparat keamanan dalam lebih pada meminta korban untuk meninggalkan tempat tingggalnya dan atau lokasi rumah ibadahnya. Adanya kriminalisasi terhadap korban. Kebijakan dan penegakan hukum masih diskriminatif, bahkan negara gagal untuk memastikan dipatuhinya putusan pengadilan (Mahkamah Agung) yang mengakui hak-hak korban. Pencerabutan akses ekonomi perempuan dalam konflik sumberdaya alam menjadi salah satu akar yang menjadikan perempuan mengalami kekerasan berlapis. Selain perempuan kehilangan akses ekonomi untuk dapat bertahan hidup mereka ada yang alih profesi, dan merubah pola konsumsi.
44
REKOMENDASI 1. Agar KPPA membangun mekanisme pengadaan data nasional terkait kekerasan terhadap perempuan . 2. Dengan meningkatnya kekerasan terhadap anak, maka: 2.1. Agar Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak untuk membangun system pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak serta mensosialisasikan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 2.2. MENDORONG Kementerian Pendidikan Nasional memberikan pendidikan kesehatan reproduksi dan hak seksualitas di sekolah. Serta membuat mekanisme pengaduan dan layanan di institusi pendidikan yang ramah terhadap perempuan. Apabila mencermati data kasus mengenai usia korban dan pelaku ini, kiranya perlu dikembangkan semacam program berkaitan dengan pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan di lingkungan sekolah dan kelompok-kelompok masyarakat. 2.3. Mendorong aksesibilitas layanan terhadap korban kekerasan terhadap perempuan pada remaja dan mendorong lembaga layanan yang ramah terhadap perempuan. 3. Agar Mahkamah Agung mendorong peradilan dijajarannya untuk melakukan penegakan hukum yang melindungi dan memenuhi rasa keadilan korban. 4. Agar DPR-RI, Kementerian dalam Negeri dan Kementerian reformasi dan reformasi menjadikan bukan pelaku kekerasan terhadap perempuan, dan bukan pelanggar HAM menjadi unsur pakta integritas pejabat negara dan pejabat publik.
45