Edisi Oktober 2016
PENELITI IKP -- Koordinator peneliti daerah Indek Kemerdekaan Pers (IKP) berfoto bersama seusai melakukan kegiatan Diskusi Kelompok Terarah - Focus Group Discussion (FGD), National Assessment Council (NAC) IKP, di Ruang Rapat Utama Dewan Pers, Jakarta, Selasa (11/10/ 2016)
Kemerdekaan Pers Diintervensi Aspek Ekonomi Quo Vadis Kemerdekaan Pers Indonesia?
Koran Tumbang, Jurnalisme Bertahan Etika | Oktober 2016 Ilustrasi: gaming-tools.com
1
Berita Utama
Kemerdekaan Pers Diintervensi Aspek Ekonomi
SERIUS – Suasana serius dalam FGD NAC IKP, di ruang Rapat Utama Dewan Pers, Selasa (11/10/2016)
D
ewan Pers menyatakan aspek ekonomi merupakan hal yang paling besar mengintervensi kemerdekaan pers di Indonesia sepanjang tahun 2015. “Aspek ekonomi lebih besar memberikan intervensi ke ruangruang redaksi dibandingkan aspek politik dan lain-lain,” ujar anggota Dewan Pers Ratna Komala, dalam konferensi pers Indeks Kemerdekaan Pers 2015, di Jakarta, Rabu (19/10/2016). Ratna mengatakan berdasarkan hasil penelitian Indeks Kemerdekaan Pers yang dilakukan
2
Etika | Oktober 2016
Dewan Pers di 24 provinsi pada 2015, diketahui bahwa media massa di daerah banyak yang hidupnya sangat tergantung dari sumber dana iklan pemerintah daerah. “ Aspek ekonomi ini akhirnya memp engaruhi keputusankeputusan editorial media massa. “Ini menjadi salah satu kendala khas media daerah,” kata Ratna. Ketua D ewan Pers Yos ep Adi Pras etyo mengemukakan pihaknya akan mendorong asosiasi perusahaan media baik televisi, cetak maupun elektronik untuk segera membenahi persoalan ini.
Dewan Pers akan meminta seluruh asosiasi untuk mendorong perusahaan media yang menjadi a n g g o t a ny a m e mb u at s u at u kebijakan untuk menghindari p enc emaran kebijakan ruang redaksi oleh hal-hal yang bersifat advetorial atau iklan. “Dewan Pers tentu tidak bisa mengintervensi pemilik media, namun Dewan Pers bisa mendesak ruang redaksi melalui asosiasi media,” kata Yosep yang akrab disapa Stanley.
Berita Agak Bebas Sementara itu berdasarkan data Indeks Kemerdekaan Pers yang dilansir Dewan Pers di Jakarta, Rabu, kebebasan pers di tanah air pada 2015 secara umum dapat dikatakan berstatus agak bebas. Menurut peneliti sekaligus p enanggung jawab Indeks Kemerdekaan Pers 2015 Anton
Prajasto, status ini tidak buruk namun juga tidak baik. “Posisi agak bebas ini artinya tidak buruk namun juga tidak baik. Posisi agak bebas terjadi karena kebebasan dari negara relatif terlembaga namun persoalan akses sejumlah komunitas terhadap media masih buruk,” jelas Anton.
Dari segi kualitasnya kemerdekaan pers masih dibayangi p ers oalan kemandirian dari kep entingan kuat, intervensi p emilik bisnis p ers terhadap rapat redaksi dan tata kelola perusahaan termasuk didalamnya tingkat kesejahteraan wartawan yang rendah. (netralnews.com/ antaranews.com)
Peliputan Terorisme Harus Dilengkapi Pengamanan
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo – yang akrab disapa Stanley -- mengatakan, peliputan peristiwa terorisme harus dilengkapi alat pengamanan karena peristiwa itu cukup berbahaya bagi keselamatan jiwa. “Bahkan dalam aturan Dewan Pers, wartawan dalam peliputan harus mengutamakan keselamatan,” k at a S t a n l e y p a d a d i s k u s i “Diseminasi Pedoman Peliputan Te ro r i s m e d a n Pe n i n g k at a n Profesionalisme Media Massa Pers Dalam Meliput Isu-Isu Terorisme”, di Palembang, Kamis (27/10/2016)
Stanley menambahkan, s e s e o ra n g w a r t a w a n h a r u s mengutamakan kepentingan publik dalam pemberitaan terorisme. “Hal ini karena bisa saja wartawan menjadi “teroris” berita yang disampaikan justru membuat masyarakat ketakuta”, ujar dia. Oleh karena itu, pemberitaan
disampaikan harus dip eroleh dari narasumber yang tepat agar informasi tidak salah. “Selain itu dalam pemberitaan terorisme jurnalis wajib mengutamakan praduga atau diduga, karena wartawan bukan hakim”. kata dia seraya menambahkan “hal ini untuk menghindari rusaknya nama baik seseorang bila tidak akurat dalam memberitakan mereka yang terduga teroris”. Memang, lanjut dia, diseminasi yang dilakukan merupakan bagian dari kerja sama antara Dewan Pers dan Badan Nasional P e n a n g g u l a n g a n Te r o r i s m e (BNPT). Sementara Wakil Direktur Intelkam Polda Sumsel AKBP Heri Widagdo mengatakan, terorisme memang sangat berbahaya karena dampaknya cukup besar termasuk i mb a s ny a m a s a l a h e ko n o m i masyarakat. “Oleh karena itu terorisme harus dicegah bersama-sama”, pungkasnya. (antarasumsel.com)
Etika | Oktober 2016
3
Kegiatan
Jurnalis Perempuan Lebih Memiliki Sensitifitas
K
etua Dewan Pers Yosep “Sanley” Adi Pras etyo mengatakan jurnalis p e re m p u a n l e b i h m e m i l i k i sensitifitas dalam peliputan berita dibandingkan junalis pria, sehingga hasil liputannya lebih memiliki rasa. “Dalam peliputan suatu berita memang sudah seharusnya memiliki sensitifitas pada objek liputan, terlebih pada jenis liputan kekerasan pada anak dan perempuan,” katanya pada pelatihan jurnalis perempuan dengan tema ‘Peliputan Daerah Konflik, Bencana Alam, Anak dan Perempuan Korban Pemerkosaan’ di Padang, Selasa (18/10/2016). Pelatihan ini diikuti oleh s ejumlah jurnalis p erempuan yang merupakan wartawan media cetak, jurnalis televisi dan penyiar radio yang berasal dari berbagai media di Sumatera Barat, serta 25 jurnalis perempuan yang berasal dari Lembaga Pers Mahasiswa dari berbagai kampus di Padang dan Asosiasi Pers Mahasiswa Sumatera Barat.
4
Etika | Oktober 2016
Stanley menambahkan, jurnalis perempuan sangat ditekankan untuk lebih berkontribusi dalam meningkatkan kualitas berita yang mengedukasi namun tidak melanggar kode etik jurnalistik. Sementara itu, anggota Dewan Pers Ratna Komala mengatakan sebelum turun melakukan peliputan seorang jurnalis haruslah memiliki ideologi atau cara berpikir yang tidak melenceng dari kode etik jurnalistik. Khususnya kepada jurnalis perempuan harus mengetahui dan paham terhadap keberadaannya ketika dihadapkan dalam situasi dimana perempuan sebagai objek berita. “Selama ini anak dan perempuan menjadi sangat rentan sebagai korban kekerasan, di sini peran j u r n a l i s p e re m p u a n d e n g a n sensitifitas dan empatinya dapat berperan,” ujarnya. Kemudian dampak dari sebuah berita akan dipengaruhi oleh pilihan kata dan latar belakang dari si
Suasana pelatihan jurnalis perempuan di Padang.
jurnalis. Maka dari itu penempatan kata dan mengolah kata harus lebih hati-hati khususnya dalam penulisan berita kekerasan anak dan perempuan, sehingga dapat meminimalisir kesalahan, ujarnya. Walaupun tidak menutup kemungkinan jurnalis laki-laki dapat melakukan hal yang sama, tetapi lebih baiknya jurnalis perempuan yang mengambil alih hal itu, kata dia. Tampil juga sebagai narasumber, Maria Hasugian seorang praktisi majalah. Maria menjelaskan dan berbagi pengalamannya mengenai teori dan praktik peliputan di daerah konflik. Di p enghujung acara, dideklarasikan lahirnya Forum Jurnalis Perempuan Sumatera Barat yaitu sebuah forum yang dibuat khusus bagi jurnalis perempuan. Forum ini diharapkan menjadi sarana bagi jurnalis perempuan untuk menampung isu-isu mengenai perempuan dan anak. (antaranews/ wawasanproklamator.com)
Sorot
Konsolidasi Pemangku Kepentingan:
Quo Vadis Kemerdekaan Pers Indonesia? Dewan Pers telah selesai melakukan riset untuk mengukur Indeks Kemerdekaan Pers [IKP] di 24 provinsi. Tiga ratus tiga (303) ahli dari berbagai provinsi tersebut diwawancarai secara langsung dan memberi pandangannya atas kondisi kemerdekaan pers di daerah masing-masing, dengan memberi skor dengan skala 0 – 100 atas puluhan pertanyaan yang telah disediakan. Jumlah yang cukup untuk memperoleh gambaran kemerdekaan pers secara obyektif. Mereka berasal dari akademisi, pejabat pemerintah daerah, hakim, jaksa, kepolisian, organisasiorganisasi masyarakat sipil dan tentunya wartawan serta pemimpin redaksi. Bagian Pertama National Assessment Council Sebagai langkah akhir dari penelitian IKP diselenggarakanlah pertemuan nasional yang kami sebut National Assessment Council [Dewan Penyelia Nasional], yang diharapkan dapat menjadi sebuah forum yang memungkinkan para pemangku kepentingan pers saling membagi dan memperbaharui agenda pemajuan Kemerdekaan Pers di Indonesia. Maka dari tanggal 11 hingga 14 Okober 2016, Dewan Pers menjadi tuan rumah bagi tidak kurang dari 70 orang dalam pertemuan ini. Sejumlah ahli pers, pejabat publik antara lain dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional [Bappenas], Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia [Dephukam], Pemerintah Daerah, akademisi s ejumlah perguruan tinggi di berbagai provinsi, b eb erapa p emimpin redaksi media, wartawan dan
organisasi masyarakat sipil serta perwakilan UNESCO terlibat dalam berbagai diskusi yang berlangsung. Pertemuan ini dihadiri pula oleh para koordinator peneliti di ke 24 wilayah dan sejumlah informanahli yang telah diwawancarai. Pertemuan diawali dengan melakukan assesment terhadap kemerdekaan pers Indonesia pada tahun 2016 yang melibatkan 3 ahli pers nasional dan 24 koordinator peneliti. Bersama sama mereka melihat kembali skor terhadap 20 indikator-utama Kemerdekaan Pers yang penelitiannya telah berlangsung s elama 6 bulan. Kemudian ketiga ahli tersebut memberi penilaian atas kondisi kemerdekaan pers dalam perspektif nasional. Gabungan penilaian ahli-dengan perspektif nasional dan skor rata-rata ahli dengan perspektif provinsi menjadi indeks kemerdekaan pers Indonesia 2016.
Mendasarkan pada berbagai temuan pokok ini peserta membahas berbagai isu strategis yang perlu mendapat p erhatian b ersama para p emangku kep entingan [stakeholder] Kemerdekaan Pers – untuk memajukan hak fundamen ini s e cara substansial. Hasil penelitian dan konsolidasi para pemangku kepentingan ini dalam rencanya dipublikasikan dalam sebuah seminar di hari terakhir. IKP 2016 Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia untuk tahun 2016 yang menggambarkan kondisi p ers Indonesia pada tahun sebelumnya, 2015, adalah agak bebas [62.81]; tidak buruk tetapi juga tidak baik. Posisi ‘agak bebas’ mengandung b a h a y a ke m e r d e k a a n p e r s Indonesia tergelincir menjadi ‘buruk’ jika persoalan-persoalan pokok yang berkaitan dengannya tidak diselesaikan. Kebebasan pers ini terjadi terutama karena aspek-aspek kemerdekaan pers yang menyangkut ‘kebebasan dari intervensi Negara’ relatief terlembaga namun p ers oalan ‘akses’ berbagai lapisan masyarakat terhadap media masih buruk atau bahkan buruk sekali. Indikatorindikator yang menyangkut kebebasan dari campur tangan Negara misalnya keb ebasan dari kriminalisasi, intimidasi, sensor, bredel serta kebebasan berorganisasi/berserikat tersedia
Etika | Oktober 2016
5
Sorot dan relatif terlembaga. Kualitas Kemerdekaan Pers ‘agak bebas’ ini dibayang-bayangi persoalan kemandirian media dari kepentingan kuat, intervensi pemilik bisnis pers terhadap rapat redaksi, tata kelola perusahaan media termasuk di dalamnya tingkat kesejahteraan wartawan yang rendah. Problem-problem ini berhadapan dengan profesionalisme w a r t a w a n /e t i k a p e r s y a n g kualitasnya tidak merata dan dinilai cenderung kurang baik. Kencendrungan ini tercermin pula pada perbandingan antara 3 [tiga] lingkungan yaitu lingkungan bidang politik, lingkungan ekonomi dan lingkungan hukum dari Kemerdekaan Pers – yang menggambarkan dimensi kemerdekaan pers di ketiga lingkungan ters ebut. Jika dibandingkan lingkungan Politik paling baik disusul bidang Hukum dan yang paling buruk adalah dalam lingkungan bidang Ekonomi. Artinya dimensi-dimensi kemerdekaan secara ekonomi dari media dipandang paling problematis dibanding kemerdekaan dalam dimensi politis maupun hukum. Ketika ditelusuri lebih dalam, yang menjadi tantangan bagi Kemerdekaan Pers dalam dimesi ekonomi mencaku ketergantungan perusahaan media di provinsi terhadap sumber-sumber dana / iklan p emerintah daerah juga bentuk-bentuk kerjasama yang saling-tergantung antara p e m e r i n t a h d a e ra h d e n g a n perusahaan media sedemikian ruga sehingga membuat media kurang independen. Kendala lain di lingkungan ekonomi adalah independensi ruang redaksi dari
6
Etika | Oktober 2016
pemilik media terutama yang berafiliasi dengan kekuatan politikekonomi dan tata kelola perusahaan media. Dalam hal yang terakhis ini menyangkut transparansi media dan kesejahteraan wartawan. Problem independensi media secara ekonomis di satu sisi dan profesionalisme wartawan di sisi lain merupakan tegangan yang harus dihadapi dan diselesaikan oleh stakeholders pers, untuk meningkatkan Kemerdekaan Pers di Indonesia. Perlu pula dicatat bahwa kebebasan dari intervensi Negara ini belum sempurna karena adanya UU Informasi dan Transaksi Elektronik [UU ITE] yang dalam draf perbaikan UU ITE memungkinkan Negara melakukan sensor atas berita, publikasi media dan karya jurnalistik jika ada keberatan atas sebuah konten.
Barat dan 18 sisanya berkualitas ‘sedang’. Masing-masing memiliki tantangan yang berbeda-beda, yang tentunya belum tentu sama dengan tantangan secara nasional. Dalam penelitian ini persepsi Pemerintah dan Bisnis tidak berbeda jauh dan berpandangan optimis daripada persepsi masyarakat sipil yang lebih kritis. Artinya ahli-ahli dari pemerintah dan bisnis menilai kemerdekaan pers di Indonesia lebih baik, daripada penilaian ahli-ahli dari masyarakat sipil. Memang lebih banyak indikatorindikator Kemerdekaan Pers yang dinilai ‘baik’ oleh pemerintah dan bisnis daripada masyarakat sipil. Informan-informan ahli pemerintah memandang bahwa lingkungan politik dari kemerdekaan pers sudah dalam tingkat ‘baik [71.63]’; dan lingkungan ekonomi paling p ro b l e m at i s d i b a n d i n g d u a lingkungan yang lain.
S e c a ra g e o g ra f i s k u a l i t a s Kemerdekaan Pers ini tidak merata. Empat, [4] provinsi dianggap oleh ahli berkualitas ‘baik’ yaitu Kalimantan Barat, Aceh, Kepulauan Riau dan Kalimantan Selatan; sedangkan dua provinsi dinilai ‘buruk’ yaitu Bengkulu dan Papua
Agenda Strategis Dalam pertemuan selama 3 hari ini peserta mendiskusikan berbagai persoalan strategis dan krusial bagi pemajuan kemerdekaan pers Indonesia, yaitu menyangkut:
Sorot -------
Pluralisme kepemilikan dan pandangan Akses masyarakat pada media Kekerasan dan pemulihannya Independensi ruang redaksi Media massa publik Media Cyber
Keragaman Keragaman dalam media adalah prinsip penting yang mengalir d a r i ke m e r d e k a a n e k s p re s i dari media. Kemerdekaan pers mensyaratkan ‘tidak boleh ada individu atau kelompok yang tereksklusi dari akses pada media’. Karena keragaman dalam media menjaga alasan-adanya media yaitu untuk menggali kebenaran dan memajukan demokrasi. Untuk menjaga keragaman perspektif maka kepemilikan media tidak b oleh dimonop oli di tangan segelintir orang. Riset IKP Indonesia 2015 menemukan bahwa secara umum keragamanan kepemilikan tidak serta merta menghasilkan ke a n e k a ra g a m a n p e r s p e k t i f. Indikator-indikator yang menunjuk keragaman p ersp ektif masih rendah. Sehubungan dengan hal ini pertemuan intensif di NAC memberi sejumlah catatan: Pertama, media belum memberi tempat bagi ‘the voice of the voiceless’. Belum semua kelompok masyarakat memiliki akses pada media untuk didengar suaranya dan mendapat informasi dengan akurat. Berbagai isu krusial seperti intoleransi, kekerasan terhadap perempuan dan anak, diskriminasi terhadap masyarakat adat, minoritas, miskin kota serta penyandang disabilitas yang perlu diketahui oleh publik
adalah sebagian dari kelompok masyarakat yang suaranya sering diabaikan. Kalaupun diangkat tidak semua perspektif ditemukan dalam media-media mainstream. Perspektif perempuan dan akhirakhir ini p ersp ektif korban gusuran sering diabaikan. Berbagai perkara yang dihadapi perempuan cenderung memberi stigma pada kaum perempuan. Kedua Peraturan perundangundangan memb eri p eluang untuk menciptakan konglomerasi m e d i a e l e k t ro n i k . M e n u r ut undang-undang Penyiaran No. 32/2002 perusahaan media hanya dibolehkan memiliki stasiun TV/ Radio beroperasi di satu kota. Namun dalam prakteknya pemilik stasiun siaran mensiasati peraturan d e n g a n m e mb e n t u k h olding company. Dengan begitu mereka bisa memiliki lebih dari satu stasiun pada satu tempat. Dalihnya setiap stasiun dikelola oleh perusahaan yang berbeda; padahal perusahaanperusahaan tersebut sesungguhnya bernaung di satu atap. Ketiga, lemahnya keragaman dalam perspektif dapat terjadi karena: (a) wartawan kurang menggali informasi dan mengangkat b erita s e cara b erimbang; (b) kebijakan dari redaksi itu sendiri yang perspektifnya tidak plural, (c) pengetahuan dan sensitifitas wartawan terhadap korban yang masih terbatas. Sementara itu (d) media publik seperti TVRI / RRI kurang berkembang. Keempat, kerisauan bahwa me dia menjadi bagian dari kelompok tertentu [misalnya, partai politik] hendaknya dihadapi dengan menguatkan kehadiran mediamedia independen.
Di tengah keringnya keragaman perspektif peserta juga melihat bahwa media massa publik [seperti TVRI DAN RRI], radio komunitas dan jurnalisme warga jika dikelola dengan profesional berpotensi untuk memberi akses pada media bagi masyarakat marginal. Independensi media. Independensi ruang redaksi merupakan salah satu persoalan yang paling dirasakan oleh j u r n a l i s . Te k a n a n - t e k a n a n dari p emilik kepada re daksi seringkali mengakibatkan sulitnya menghasilkan keragaman dalam berita. Pemimpin redaksi kerap tidak bisa menghindari tekanan dari pemilik media terutama karena kepentingan politik. Kode etik jurnalisme dan profesionalisme. Penerapak ko de etik dan profesionalisme wartawan bagaikan dua sisi dalam satu mata uang. Selama proses penelitian IKP ini ditemukan bahwa penerapan etik jurnalisme masih menghadapi tantangan yang serius. Pertemuan NAC ini mengidentifikasi berbagai bentuk pelanggaran etika, yaitu: Plagiasi. Wartawan alih-alih menjalankan kaidah-kaidah jurnalistik pencarian informasi dan verifikasi mengambil berita dari sumb er lain dan tanpa menunjukkan sumbernya. “Amplop” yaitu ketika wartawan menerima uang atau privilege untuk menentukan isi berita. bersambung edisi berikutnya
Etika | Oktober 2016
7
Opini
Koran Tumbang, Jurnalisme Bertahan Oleh: Ignatius Haryanto Pada tahun 2014, Serikat Perusahaan Pers (dahulu Serikat Penerbit Suratkabar – SPS) menerbitkan sebuah buku kecil berjudul Umur Koran Masih 100 tahun. Buku kecil ini berisikan wawancara dengan sejumlah tokoh surat kabar nasional dan lokal tentang masa depan media cetak dan hampir semua mengucapkan optimisme yang sama menghadapi situasi pada dekade kedua abad ke21. Saya tak tahu bagaimana rasanya penyusun dan mereka yang pernah diwawancarai untuk buku itu jika melihat fenomena persuratkabaran hari ini. Akhir tahun lalu sejumlah me dia c etak tutup, s ejumlah majalah gulung tikar, bahkan beberapa terbitan media online pun tutup. Apakah optimisme tersebut masih sebesar 1-2 tahun lalu? Peringatan Hari Pers Nasional 2016 di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, mengajak banyak pihak yang terlibat dalam industri media cetak harus berpikir keras bagaimana membuat dirinya tetap bertahan. Pelbagai seminar pernah dibuat sebelumnya membahas topik ini. Meski begitu, saya tak mau ikut meratapi pelbagai media cetak yang berguguran. Yang lebih penting adalah apakah era media digital seperti saat ini membuat esensi jurnalisme tetap terpelihara? Esensi jurnalisme di sini maksudnya adalah
8
Etika | Oktober 2016
mengangkat hal yang penting untuk diketahui masyarakat, menjadi lembaga kontrol sosial bagi pemerintah, perusahaan, dan masyarakat itu sendiri. Koran mungkin bisa berubah rupa, mungkin ada yang tetap mempertahankan format yang lama, mungkin nantinya ada inovasi baru dalam bentuk atau perwajahan surat kabar. Namun apa pun itu, jurnalisme sebagai kata benda dan kata kerja harus tetap ada di dalamnya. Bagaimanapun juga jurnalisme adalah hal penting yang dibutuhkan manusia: untuk mengetahui lingkungan sekitarnya berdasarkan informasi yang akurat dan dapat dipercaya. Tanpa situasi ini, ada ketidakseimbangan dalam
hidup manusia. Ia ibarat berjalan tanpa pedoman yang jelas. Kegiatan jurnalisme adalah hal yang esensial dalam hidup manusia. Lihat saja kegiatan ini sudah bertahan lebih dari 400 tahun, dengan segala evolusi yang melekat pada dirinya. Surat kabar awal di Hindia Belanda, Bataviasche Nouvelles, tak lebih dari surat kabar dagang yang isinya iklan-iklan tentang barang yang dibawa oleh kapal-kapal dagang asal Belanda. Unsur informasi baru muncul dalam dekade berikutnya. Itu pun awalnya hanya untuk mereka yang bisa baca tulis. Jangan lupa sebagian besar penduduk pribumi kala itu tak bisa baca tulis, dan mereka yang masuk sekolah pun
“
Bagaimanapun juga jurnalisme adalah hal penting yang dibutuhkan m a n u s i a : u n t u k m e n ge ta h u i lingkungan sekitarnya berdasarkan informasi yang akurat dan dapat dipercaya. Tanpa situasi ini, ada ketidakseimbangan dalam hidup manusia. Ia ibarat berjalan tanpa pedoman yang jelas
“
Opini masih dalam hitungan jari. Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah awal fajar menyingsing surat kabar ketika jumlah mereka yang terpelajar semakin banyak. Politik Etis Belanda membuat lebih banyak orang Hindia bisa menuntut ilmu hingga ke negeri Belanda. Faktor yang tak diperhitungkan oleh pemerintah kolonial adalah bahwa pendidikan yang mereka berikan kepada kelompok Hindia membuat mereka menjadi cerdas, kritis, dan mampu mengartikulasikan kehendak u n t u k m e r d e k a . Ta k s a l a h jika almarhum Ben Anderson kemudian mengaitkan kemunculan nasionalisme di kalangan pemuda Hindia (atau Indonesia) akibat kapitalisme media cetak yang menyebar ke mana-mana. Uraian dalam surat kabar kala itu terbang ke pelbagai penjuru Nusantara dan menggemakan suara “Merdeka”, dan muncullah founding fathers Indonesia yang seluruhnya adalah para penulis dan pengelola surat kabar. Di sinilah kita menemukan fenomena “p ers
perjuangan” ketika pers menjadi sarana menggemakan keinginan menentukan nasib sendiri. Ketika masa revolusi berlangsung, sejumlah surat kabar Indonesia awal kemerdekaan pun terus menggemakan Indonesia Merdeka, s ementara pasukan Sekutu dan Belanda hendak mengambil kembali wilayah jajahan mereka dari tangan kolonial Jepang. Dengan peralatan seadanya, kertas sedapatnya, percetakan sederhana, koran-koran di sejumlah daerah muncul dan melawan pasukan Sekutu. Para wartawan ini tak melawan dengan bambu runcing atau senapan pampasan perang, tetapi dengan pena yang tajam. Mereka menorehkan keyakinan kepada para penduduk Indonesia bahwa mereka berhak merdeka dan harus mempertahankan kemerdekaan itu. Demikianlah etos sebagai pers politik, pers perjuangan terus merasuk dalam dunia pers hingga ke akhir 1970-an dan pertengahan 1980-an Ketika industri menjadi kata
PENGURUS DEWAN PERS PERIODE 2016-2019: Ketua: Yosep Adi Prasetyo Wakil Ketua: Ahmad Djauhar Anggota: Anthonius Jimmy Silalahi, Imam Wahyudi, Nezar Patria, Hendry Chairudin
Bangun, Ratna Komala, Reva Dedy Utama, Sinyo Harry Sarundajang Sekretaris (Kepala Sekretariat): Lumongga Sihombing
REDAKSI ETIKA:
Penanggung Jawab: Yosep Adi Prasetyo Redaksi: Herutjahjo, Chelsia, Lumongga Sihombing, Ismanto,
Dedi M Kholik, Wawan Agus Prasetyo, Reza Andreas (foto)
Surat dan Tanggapan Dikirim ke Alamat Redaksi:
Gedung Dewan Pers, Lantai 7-8, Jl. Kebon Sirih 34, Jakarta 10110. Tel. (021) 3521488, 3504877, 3504874 - 75, Faks. (021) 3452030 Surel:
[email protected] Twitter: @dewanpers Laman: www.dewanpers.or.id / www.presscouncil.or.id (ETIKA dalam format pdf dapat diunduh dari website Dewan Pers: www.dewanpers.or.id)
baru untuk disandingkan bersama dengan “pers”, maka kita melihat fenomena ekspansi sejumlah grup media di Indonesia. Walau secara bisnis berkembang, ketakutan mereka pada pemerintah tetap b esar. Ketika televisi swasta mulai muncul, surat kabar juga harus menyesuaikan dirinya. Ia jadi lebih memanjakan visual, menampilkan foto yang lebih atraktif, menampilkan infografis, dan lain-lain. Inovasi memang kata yang melekat dengan industri pers. Dan ketika media online pun b ermunculan, p ers menc oba mengikuti p erkembangan ini, d a n t e r ny at a d u n i a d i g i t a l memberikan dampak perubahan yang tak terbayangkan s eb elumnya. Sejumlah me dia cetak bertumbangan dan media digital belum dapat menggantikan sepenuhnya peran media cetak sebelumnya. Bagaimanapun setiap zaman akan menunjukkan bagaimana penyesuaian dalam diri pers terjadi. Formatnya bisa berubah-ubah, medium bisa berganti-ganti, namun esensi jurnalisme harus tetap ada di situ. Oleh karena itu, ini tantangan terbuka: sanggupkah media digital yang muncul b elakangan ini menghasilkan kualitas jurnalistik yang tak kalah dengan media cetak lainnya? Sanggupkah mereka menghasilkan jurnalisme investigasi yang berdampak besar untuk publik dan perubahan kebijakan? Jika tantangan ini bisa dijawab oleh me dia-me dia baru tadi, mungkin koran-koran bisa mati dengan tenang. (artikel ini dikutip dari geotimes.co.id)
Etika | Oktober 2016
9
Opini
Dewan Pers Berhasil Memediasi 5 Pengaduan
Sebanyak 6 PPR Dikeluarkan
MEDIASI – Wakil Ketua Komisi Pengaduan, Hendry CH Bangun (tengah), Nihrawati AS dari Radar Bogor ( kiri – Teradu ) dan Gunawan Hasan (kanan- Pengadu) berfoto seusai mediasi di Dewan Pers, Senin (17/10/2016)
S
elama Oktober 2016 berhasil m e nye l e s a i k a n 5 ( l i m a ) pengaduan melalui mediasi dan ajudikasi, yang dituangkan dalam Risalah Penyelesaian Pengaduan (RPP). Disamping itu, terkait pengaduan lainnya, D ewan Pers mengeluaran 6 (enam) Pernyataan Pernilaian dan Rekomendasi (PPR). RPP menyangkut pengaduan Nasrul Ibnu HR (PT. Tri Manunggal Karya) terhadap me dia sib er mediat ransparanc y.com; Merah Johansyah Ismail (Koordinator Nasional JATAM) terhadap Harian Kompas; Pengaduan Gunawan Hasan terhadap Harian Radar Bogor; Pengaduan Redy Kuswandi terhadap rmoljakarta.com; Renny Erlina Fernandes dan Tsamara Amany terhadap War takota. tribunnews.com. Sedangkan PPR dikeluarkan
10
Etika | Oktober 2016
terkait dengan Pengaduan Saifuddin Zuhri terhadap Surat Kabar Harian Memo; Awan Puspa Sangga Yudistira terhadap Surat Kabar Harian Memo; Muhammad terhadap Surat Kabar Harian Memo; Drs. Sahid MM terhadap Surat Kabar Berita Trans‘9; Wiliyanto alias Halili terhadap Surat Kabar Radar Bangsa; Pemerintah Kabupaten Trenggalek terhadap Harian Pojok Kiri. Lima RPP Sebanyak 5 RPP s ebagai hasil gelar mediasi dan judikasi diinformasikan lebih rinci sebagai berikut: Dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi Pengaduan, Hendry CH Bangun, Dewan Pers mengelar sidang mediasi dan ajudikasi terkait Pengaduan Nasrul Ibnu HR (PT. Tri Manunggal Karya) tanggal 10 Oktober 2016 terhadap media
sib er me diatransparancy.c om berjudul “Pembangunan Kantor Kecamatan Cijeruk Diduga Tidak Sesuai Kontrak Kerja” yang dimuat 26 Agustus 2016. Dalam gelaran itu Dewan Pers menilai, mediatransparanc y.com melanggar Pasal 1 dan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) karena tidak melakukan uji informasi, tidak berimbang, dan memuat opini yang menghakimi. Karena itu, mediatransparancy.com wajib melayani Hak Jawab disertai perminttaan maaf. Masih tanggal yang sama, Dewan Pers juga menggelar sidang mediasi dan ajudikasi terkait p engaduan Merah Johansyah Ismail (Ko ordinator Nasional JATAM) terhadap Harian Kompas atas berita berjudul “Bencana dan Keberuntungan: 10 Tahun Lumpur
Kegiatan Lapindo” yang dipublikasikan pada edisi 14 Juni 2016. Sidang ini dipimpin oleh Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo dan Ketua Komisi Pengaduan, Imam Wahyudi. D ewan Pers menilai, Komp as melanggar Pasal 3 KEJ karena memuat opini yang menghakimi. Kompas wajib melayani Hak Jawab dan minta maaf kepada pengadu dan masyarakat. Pada 17 Oktober 2016, Dewan Pers menggelar sidang mediasi dan ajudikasi untuk menyelesaikan p engaduan Gunawan Hasan terhadap Harian Radar Bogor. Dipimpin Wakil Ketua Komisi Pengaduan, Hendry CH Bangun, Dewan Pers menilai berita harian Radar Bogor berjudul “THM Tutup Atau Majelis Stop” yang dimuat pada 12 Oktober 2015, melanggar Pasal 1 dan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik karena tidak uji informasi dan tidak akurat. Harian Radar Bogor wajib melayani Hak Jawab dari Pengadu s e cara prop orsional dis ertai permintaan maaf kepada Pengadu dan masyarakat dalam pemberitaan tersebut. Pada tanggal yang sama, Dewan Pers menggelar sidang mediasi dan ajudikasi yang dipimpin oleh Wakil Ketua komisi Pengaduan Hendry CH Bangun terkait pengaduan Kuswandi terhadap rmoljakarta. com atas berita berjudul” Ketua RW 01 Kapuk Dituding Peras Warga” yang diunggah pada hari Senin 26 September 2016 pukul 08:29:00. Dewan Pers menilai, berita yang diadukan tersebut melanggar Pasal 1 dan 3 Kode Etik Jurnalistik, karena tidak independen, tidak uji informasi, tidak berimbang dan
memuat opini menghakimi. Karena itu rmoljakarta.com wajib melayani Hak Jawab disertai permintaan maaf kepada p engadu dan masyarakat. Kemudian pada 27 Oktober 2016, Dewan Pers menggelar sidang mediasi dan ajudikasi terkait pengaduan dari Renny Erlina Fernandes dan Tsamara Amany melalui Kantor Hukum Rio Ramabaskara & Co, tertanggal 12 September 2016, terhadap berita Wartakota.tribunnews.com berjudul “Ridwan Kamil Dibully Para Pembenci, Terbongkarnya Modus Buzzer Raup Uang Piknik Politisi” yang diunggah pada hari Sabtu, 10 September 2016 pukul 20.09 WIB. Dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi Pengaduan, Nezar Patria, Dewan Pers menilai, Wartakota. tribunnews.com melanggar Pasal 1 dan 3 Kode Etik Jurnalistik, karena tidak uji informasi, tidak berimbang dan memuat opini yang menghakimi. Wartakota.tribunnews.com melanggar Pedoman Pemberitaan Media Siber (Peraturan Dewan Pers No. 1/2012) karena mencabut berita yang diadukan oleh Pengadu yang tidak sesuai dengan ketentuan Pedoman Pemberitaan Media Siber. Wartakota.tribunnews.comwajib melayani hak jawab dis ertai permintaan maaf kepada pengadu dan masyarakat. Enam PPR Dalam pada itu terkait dengan 6 PPR yang dikeluarkan Dewan Pers pada Oktober 2016, terdapat hal-hal yang perlu digarisbawahi yaitu adanya media yang diadukan 3 pengadu sekaligus yakni Harian Memo masing-masing oleh Saifuddin
Zuhri; Awan Puspa Sangga Yudistira dan Muhammad. Perlu pula dijelaskan, bahwa Dewan Pers dalam pertimbangannya menyebutkan antara lain bahwa media ini terindikasi beritikad buruk, sehingga direkemendasikan kepada pengadu dan semua pihak yang merasa dirugikan untuk menempuh upaya hukum lain di luar Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers. Sedangkan pengaduan Drs. Sahid MM terhadap Surat Kabar Berita Trans‘9 terkait berita berjudul “Seorang Publik Figur, Pejabat Kemenag Kab. Mojokerto – Disinyalir Lakukan Perbuatan Asusila” (edisi 86/30 Mei- 15 Juni 2016), Dewan Pers dalam pertimbangannya juga menyatakan bahwa media ini terindikasi berintikad buruk. Dewan Pers merekomendasikan kepada Pengadu dan semua pihak yang merasa dirugikan untuk menempuh upaya hukum lain di luar Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers. Adapun menyangkut PPR terhadap Surat Kabar Radar Bangsa atas Pengaduan Wiliyanto alias Halili adalah terkait berita berjudul: “Arogan” Tindakan Kadus Kemenduran Picu Emosi Warga” (edisi 316/09-15 Mei 2016). Dewan Pers merekomendasikan kepada Pengadu dan semua pihak yang merasa dirugikan untuk menempuh upaya hukum lain di luar Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers. Sebagai informasikan dapat ditambahkan media ini juga dikeluarkan dari dari Data Perusahaan Pers di Dewan Pers. (red)
Etika | Oktober 2016
11
Surat Edaran
12
Etika | Oktober 2016