UNIVERSITAS INDONESIA Etika Jurnalisme pada Koran Kuning: Sebuah Studi Mengenai Koran Lampu Hijau
MAKALAH NON SEMINAR Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
Keyza Pratama Widiatmika 1206204853
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI PROGRAM STUDI JURNALISME DEPOK DESEMBER 2015
Etika Jurnalisme pada Koran Kuning: Sebuah Studi Mengenai Koran Lampu Hijau
Keyza Pratama Widiatmika Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak Jurnal ini membahas bagaimana koran kuning menerapkan Etika Jurnalisme dalam pemberitaannya. Koran Lampu Hijau dipilih sebagai obyek bahasan karena Lampu Hijau adalah salah satu Koran Kuning Indonesia yang masih bertahan hingga saat ini. Selain itu, penulis merasa penulisan berita di Lampu Hijau dapat dikatakan paling sensasional diantara Koran Kuning Indonesia lainnya. Dengan membahas Lampu Hijau, penulis berharap media di Indonesia dapat selayaknya menjadi jembatan yang kuat yang mampu mengedukasi dan memberikan informasi yang layak bagi masyarakat Indonesia. Kata kunci: jurnalisme; etika; media; koran; kuning The Ethics of Journalism on Yellow Paper: A Study of Lampu Hijau Newspaper Abstract This article explains how yellow papers apply the ethics of journalism in all of their news. Writers choose ‘Lampu Hijau’ as the object of research because thus far it’s still existed as one of Indonesian Yellow Papers. Moreover, in writer’s opinion how ‘Lampu Hijau’ writes their news is the most sensational between all of Indonesian Yellow Papers. By critizing ‘Lampu Hijau’, writer hopes Indonesian Media could become a bridge that would educate and give the right of information for all Indonesian people in particular. Key words: journalism, ethic, media, newspaper, yellow
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Koran kuning atau yang dapat juga disebut dengan jurnalisme kuning bukanlah sesuatu yang baru saja hangat ditelinga masyarakat Indonesia. Koran kuning adalah suatu koran yang menampilkan berita dengan penuh sensasional. Asep Syamsul M Romli dalam Kamus Jurnalistik menuliskan bahwa jurnalisme kuning adalah ‘jurnalisme got’ yang menonjolkan pemberitaan tentang dunia hitam atau dunia kotor, yakni seks dan kejahatan (Romli, 2010).
Pada awal tahun 1970,
kepopuleran koran kuning ditandai dengan lahirnya Koran Pos Kota. Saat itu, Harmoko sebagai pendiri ingin membuat sebuah koran dengan gaya bahasa berbeda yang mampu diterima oleh segala golongan masyarakat. Keberanian Pos Kota untuk berbeda, membuat koran lainnya menilai Pos Kota sebagai saingan surat kabar yang berat pada saat itu (Yusuf, 2010). Era reformasi membuat media semakin gencar untuk menyebarkan suatu berita dengan berbagai bentuk dan menyebabkan sepak terjang yang tinggi untuk kebebasan bermedia. Karena di masa orde baru kebebasan pers waktu itu ternyata tidak berhasil mendorong perubahan politik menjadi tatanan masyarakat yang demokratis, namun malah mendorong resistensi atau sebagai penghalang represi Negara. Pemerintah memaksa pemilik media saat itu untuk menandatangani perjanjian untuk tidak mengkritik pemerintah dan bisnis keluarga presiden. Pers sayangnya berfungsi sebagai instrumen pembangunan yang memelihara ketertiban, harmoni dan keamanan. Hal tersebut terlihat ketika terjadi pembredelan pada beberapa media masa nasional yang sempat memberitakan politisasi negara. Ketika beberapa media nasional yang sempat dibredel oleh pemerintah, Persatuan Wartawan Indonesia yang seharusnya menggugat dan memberi dukungan sepenuhnya kepada media masa tersebut, justru memberi pernyataan bahwa ia menyetujui keputusan yang sewenang-wenang itu dan menghimbau kepada pemimpin redaksi untuk memecat wartawannya yang ‘bersuara nyaring’ terhadap pemerintah (Surbakti, 1997). Secara singkat dapat ditarik kesimpulan bahwa pers pada masa itu mendapatkan perlakuan yang otoriter oleh pemerintah untuk tidak mengungkapkan kebenaran yang ada. Banyak media masa cetak yang dilarang terbit, seperti Pelita, Kompas, Tempo, Sinar
Harapan, Merdeka, dan lain-lain. Maka dari itu setelah jatuhnya orde baru di tahun 1998 dan dan diganti dengan era reformasi, di tahun setelahnya muncul UndangUndang no 40 tahun 1999 yang mengatur tentang pers. Dan Pos Kota tidak memberitakan pemerintah era orde baru saat itu dengan bahasa ‘koran kuning’ (Sitepu, 2011). Salah satu contoh koran kuning yang masih bertahan hingga saat ini adalah Lampu Hijau. Sebelumnya, nama koran ini adalah Lampu Merah. Namun, karena masyarakat menilai koran ini hanya menampilkan berita seksualitas, Lampu Merah mengganti nama menjadi Lampu Hijau pada hari Minggu, 20 Oktober 2008. Nama baru yang digunakan Lampu Merah ibaratkan lampu lalu lintas yang menandakan merah sebagai berhenti dan hijau untuk kembali melajukan kendaraan. Hijau dirasa sebagai warna dan nama yang tepat karena cita-cita segenap jajaran Koran Lampu Merah ingin membuat Lampu Merah menjadi koran yang lebih teduh. Adapun motto Lampu Hijau adalah ‘Lebih Dekat, Makin Bersahabat’. Lampu Hijau menambah materi berita-berita politik yang selalu dikaitkan dengan kriminalitas dan tentunya masih dengan teknik pengemasan dan penyajian yang sama dengan Lampu Merah. Namun belakangan, Lampu Hijau kembali marak dengan menyajikkan berita seputar seksualitas. Seperti misalnya pada edisi Selasa, 27 April 2010 tertera berita dengan judul dengan ukuran yang tidak beraturan terpampang dengan menggunakan font berwarna putih namun dengan latar belakang merah, ‘Cowok Ditelanjangi, Digorok, KAKINYA DIBUNTUNGIN, OTONGNYA DIPOTONG’.
1.2 Permasalahan Lampu Hijau adalah sebuah koran kuning yang berdiri dari inisiatif Direksi Gruup Rakyat Merdeka untuk membuat satu koran yang berfokus pada masalah kriminal, namun bergaya ‘nyleneh’. Seorang mantan wartawan berita kriminal di harian Rakyat Merdeka, Gatot Wahyu menjadi salah satu pendiri koran ini. Pada saat itu, direksi tidak memberikan begitu banyak arahan mengenai konten dan desain, Gatot dan kawan-kawan berkreasi sendiri dan membuat suatu keunikan dari Lampu Hijau itu sendiri (Yusuf, 2010). Kreasi Gatot dan kawan-kawan membuat keunikan tersendiri dalam penyajian berita koran Lampu Hijau. Dengan mengkonsepkan segala aspek diberitakan dari segi
kriminalitasnya dan menitikberatkan pada konten seksualitas, akan menarik perhatian pembaca sehingga mereka merasa ‘terpanggil’ untuk membelinya. Tagline ‘Lebih Dekat, Makin Bersahabat’ yang dimiliki koran lampu hijau tidak luput dari ide Gatot dan kawan-kawan bahwa bahasa yang digunakan merupakan bahasa yang nyaman pada masyarakat Indonesia. Hal ini karena masyarakat tidak terbiasa mengunakan Bahasa Indonesia dengan aksen ejaan yang disempurnakan (EYD) yang kental dan kaku. Gaya bahasa yang digunakan adalah bahasa santai sehingga menghasilkan berita yang tidak kaku namun seperti bercerita atau novel. Konsep bahasa yang santai diharapkan akan meningkatkan frekuensi pembaca dibandingkan dengan bahasa yang serius. Lampu Hijau juga menampilkan beberapa foto atau parade foto untuk satu peristiwa guna lebih menarik perhatian pembaca. Seperti yang telah dijelaskan di atas, era reformasi membuat media masa semakin gencar untuk memberitakan suatu kejadian karena pada era sebelumnya, yakni orde baru. Kebebasan pers dinilai kurang begitu sepihak terhadap wartawan lantaran dilarangnya pemberitaan yang membahas tentang keburukan sistem pemerintahan pada masa itu. Meningkatnya peran pembaca koran Lampu Hijau mengalami masa gemilangnya ketika pada tahun 2004 yang mengait pembaca hingga mencapai 1,3 juta orang dan bahkan pada titik break even point kurang dari satu tahun. Peningkatan terus berlangsung, mulai dari 100 ribu eksemplar dan meningkat drastis lebih dari 100% yakni sebanyak 225 ribu eksemplar di tahun 2005. Sungguh angka yang fantastis bagi sebuah koran kuning yang awalnya dinilai begitu buruk oleh masyarakat dan tidak mendapat perhatian yang begitu meyakinkan. Namun sangat disayangkan ketika kenaikan harga Bahan Bakar Minyak dari tahun ke tahun, produksi Koran Lampu hijau menurun drastis menjadi sekitar 125 ribu eksemplar (Yusuf, 2010). Terdapat sembilan rubrik yang dikemas sedemikian rupa oleh Koran Lampu Hijau yang sudah dirancang sebelumnya yang tidak lepas dari ‘bahasa jalanan’. Rubrik tersebut antara lain adalah PORTAL (Reportase Kriminal), POLTAK (Politik, Kota, & Hukum), LapGa (Laporan Warga), Dewasa Only, Geliat Bisnis, ADVETORIAL, ILC (Indonesia Lamjo Club), Misteri Channel, dan POLITIKE (Politik Kite). Sebagian besar dari rubrik tersebut dapat dikatakan tidak menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahkan, berita kriminalitas dan pelecehan seksual seringkali dibuat menjadi lelucon oleh Lampu Hijau.
Selain itu, Koran Lampu Hijau menarik minat pembacanya dengan gaya tersendiri yaitu menulis judul headline yang begitu panjang hingga 20 kata. Judul umumnya ditulis dalam ukuran besar dengan huruf kapital, namun pada edisi tertentu Koran Lampu Hijau memiliki anak judul yang ditulis lebih kecil yang ditempatkan di atas atau di bawah judul utama. Judul-judul itupun terkadang tidak memperhatikan tanda baca. Contohnya adalah ‘Polisi Boncengan Ama Temen, Lagi Ngebut, Ada Motor Nongol dari Gang, Nggak Sempet Ngerem Motor Dihajar, Polisi Ama yang Ditabrak Mati, Satu Sekarat’.
BAB II TINJAUAN TEORI Jurnalisme dalam pemberitaanya selalu bergantung dan mengacu pada kepentingan masyarakat umum (McQuails, 2000). Hal ini juga serupa dengan apa yang dipaparankan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel yang mengatakan bahwa ada sepuluh macam elemen jurnalisme yang berorientasi profesionalisme, akuntabilitas, dan pertanggungjawaban untuk masyarakat umum (Kovach & Rosenstiel, 2014). Sepuluh elemen tersebut antara lain: •
Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran
•
Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara
•
Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
•
Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya
•
Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan
•
Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi
•
Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan
•
Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional
•
Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka
•
Masyarakat pun punya hak dan kewajiban ketika berhadapan dengan berita Di Indonesia, segala bentuk pengkajian untuk pengembangan kehidupan
jurnalisme juga diatur oleh Dewan Pers. Salah satu fungsi Dewan Pers sebagaimana dituliskan pada pasal 15 ayat (2) Undang-undang Pers yakni memfasilitasi organisasiorganisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Adapun Kode Etik Jurnalistik adalah sebagai berikut: Pasal 1 Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Penafsiran a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain. Pasal 2 Wartawan
Indonesia
menempuh
cara-cara
melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran Cara-cara yang profesional adalah: a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
yang
profesional
dalam
b. menghormati hak privasi; c. tidak menyuap; d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang; f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara; g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri; h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik. Pasal 3 Wartawan
Indonesia
selalu
menguji
informasi,
memberitakan
secara
berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Penafsiran a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masingmasing pihak secara proporsional. c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang. Pasal 4 Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Penafsiran a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan. d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara. Pasal 5 Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Penafsiran a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah. Pasal 6 Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Penafsiran a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. Pasal 7 Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan. Penafsiran
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber. c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya. d. Off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan. Pasal 8 Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Penafsiran a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas. b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan. Pasal 9 Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Penafsiran a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10 Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar. b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok. Pasal 11 Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Penafsiran a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki. Selain itu, McQuail mengatakan bahwa ada enam syarat dan ketentuan dimana berita jurnalistik harus disajikan pemberitaannya secara obyektif, antara lain: (i)
Factualness, berita yang disajikan haruslah bersifat fakta dan sesuai dengan kondisi yang terjadi. Hal tersebut berupa nilai informasi, readability atau dapat dibaca dengan mudah, dan checkability yaitu berita dapat diuji kapan saja kebenarannya.
(ii)
Accurate, berita yang disajikan haruslah tepat dan akurat dalam verifikasi fakta. Keakuratan berita dapat dipercayai jika diidukung dengan foto kejadian, tabel, dan berbagai bukti fakta lainnya.
(iii)
Completeness, berita dilengkapi dengan unsur 5W+1H untuk mendukung akurasi dan kebenaran dari berita tersebut.
(iv)
Relevance, berita pada media jurnalistik haruslah relevan atau sebanding dengan informasi apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan nilai-nilai berita yang memiliki tujuan pada penyampaiannya.
(v)
Balance, keseimbangan berita diperlukan agar berita tidak bias atau timpang pada satu sisi dan pembaca merasa nyaman untuk mendapatkan informasi darinya.
(vi)
Neutrality, berita yang dilaporkan bersifat netral dan tidak memihak pada hal apapun karena tujuan berita adalah untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat luas. Perdebatan antara pemahaman bahwa koran kuning adalah produk jurnalisme
atau jurnalistik menjadikan adanya sebuah implikasi atau keterlibatan dalam suatu pendekatan teoritik. Jika berita dalam koran kuning dianggap sebagai produk jurnalistik, maka besar kemungkinannya tidak begitu banyak kritik yang akan dilontarkan dari berbagai golongan. Akan tetapi, jika dianggap sebagai produk jurnalisme dan menentukan titik pijak pada profesionalisme jurnalis, maka akan ditemukan adanya relevansi dalam pendekatan yang dilakukan pada uraian tentang makalah ini. Argumentasi ini penting untuk disampaikan karena dalam beberapa sudut pandang, terdapat pihak yang mengkategorikan koran kuning bukanlah bagian dari pers itu sendiri.
BAB III PEMBAHASAN Dari berbagai uraian penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa Lampu Hijau sebagai koran kuning adalah surat kabar yang kurang mengindahkan kaidah dan etika-etika jurnalistik. Kamusbesar.com mengatakan bahwa jurnalisme kuning adalah surat kabar atau majalah yang dengan sengaja mengeksploitasi sesuatu untuk merebut perhatian dan minat pembaca dengan muslihat yang membangkitkan emosi tanpa disertai fakta. Membuat segala macam berita menjadi sesuatu yang menghebohkan tak luput dari pijakan Lampu Hijau pada imajinasi, ilusi, dan fantasi para wartawannya saat menuliskan berita. Unsur sensasionalisme yang begitu kuat, membuat Lampu Hijau memiliki gaya tersendiri alam penyajian beritanya. Dengan mengacu pada sepuluh elemen jurnalisme, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Lampu Hijau bertolak belakang dengan profesionalisme pada jurnalistik yang menjunjung tinggi objektivitas atau kebenaran, bukan subjektivitas atau suatu hal yang bersifat personal. Tuntutan untuk sebuah objektivitas karena berita
yang disebarkan oleh media masa, haruslah dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (McQuail, 1992). Pada Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik tertulis bahwa Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Gambar 1: Salah Satu Judul Headline pada Koran Lampu Hijau Edisi 7 April 2009 Sumber: http://iphinsimekanik.blogspot.co.id/2014/10/pelanggaran-kode-etik-jurnalistik.html
Koran Lampu Hijau jelas seolah tidak mempedulikan hal tersebut. Salah satu contohnya adalah pada edisi Selasa, 7 April 2009. Headline Lampu Hijau pada saat itu adalah ‘Cowok ‘Main’ Ama 2 Bencong, Nggak Kuat Ngimbangin, Mati’. Diskriminasi
Lampu Hijau terlihat karena prasangka dengan menuliskan kata
‘bencong’ pada headline tersebut. Bahkan, pada edisi yang berbeda, Lampu Hijau tak segan untuk menulis headline ‘Pelukis Cacat Kenal Cowok Diajak ke Hotel, Diperkosa’.
Gambar 2: Salah Satu Judul Headline pada Koran Lampu Hijau Sumber: http://kancut-beringas.blogspot.co.id/2010/10/koran-kuning-biasanya-menampilkan.html
Poin ke-empat pada sepuluh elemen jurnalisme tertulis bahwa jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya. Lampu Hijau seakan tidak mengindahkan elemen ini. Salah satu judul berita pada tanggal 26 November tertulis “Tuhan Tidak Akan Memberikan Cobaan Melebihi Batas Kemampuan Umatnya Tapiii… Bos Selalu Memberikan Kerjaan Melebihi Kemampuan Gaji Karyawannya”. Pada isi berita penulis seakan tidak menjaga independensi dan terkesan memihak. Hal ini karena pada judul tertulis bahwa adanya peran ‘Sang Bos’ yang mempengaruhi perilaku pegawainya. Namun, berita hanya mengambil sudut pandang dari pegawai yang mencuri motor Sang Bos. Sama sekali tidak mengindahkan kaidah jurnalistik yakni cover both side, dimana dalam penulisan berita hanya mengambil satu sudut pandang yakni dari pegawai yang mencuri motor.
Gambar 3: Salah Satu Berita pada Koran Lampu Hijau Edisi Kamis 26 November 2015 Sumber: dokumentasi pribadi penulis
Selain itu, pada poin ke-delapan tertulis ‘Jurnalis harus membuat berita yang komperhensif dan proporsional’. Komperhensif berarti bersifat mampu menangkap (menerima) dengan baik. Hal ini sama sekali tidak dilakukan pada Lampu Hijau. Pada headline edisi Kamis, 26 November 2015 tertulis judul ’Ibu Kerja di Luar Kota Bapak Malah Pacaran Mulu. Anak (Siswi SMK) Gerah SMS ’Sephia’ Bapak: Guk-Guk. Sephia + Bapak Marah, Siswi Dipukulin & Dijedotin’.
Gambar 4: Salah Satu Berita pada Koran Lampu Hijau Edisi kamis 26 November 2015 Sumber: dokumentasi pribadi penulis
Terdapat beberapa kata yang bersifat ’abu-abu’ pada judul tersebut. Seperti halnya pada kata ’Sephia’. Jika maksud reporter adalah warna, maka sephia adalah sebuah warna tua yang merupakan campuran coklat dan abu-abu. Tentu jika dikaitkan dengan kalimatnya, kata ini sama sekali tidak berkaitan sehingga menimbulkan kalimat yang rancu. Pembaca akan sulit mengetahui maksud dari judul tersebut. Dalam hal ini, penulis akan mengasumsikan kata ’Sephia’ tersebut sama halnya dengan judlu lagu dari salah satu grup musik Sheila on 7. Jika mengacu pada salah satu lagu grup musik Sheila on 7 yang berjudul ’Sephia’, kata ini bermakna seseorang yang menjadi idaman lain dalam sebuah hubungan (selingkuh). Jika memang maksud penulis adalah wanita idaman lain dari sang bapak, pembaca yang tidak mendengarkan lagu Sheila on 7 tidak akan mengetahui maksud judul tersebut. Selain itu, kata ’Guk-Guk’ juga dapat dikatakan sarat makna. Pembaca tidak akan mudah mengerti maksud penulis memberi judul tersebut. Sehingga dapat dikatakan berita tersebut tidak komperhensif. Pada poin ke sembilan dalam sepuluh elemen jurnalistik, tertulis bahwa jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka. Bulan Desember 2014 lalu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengkritik tayangan TV One yang
memperlihatkan jasad korban AirAsia QZ8501 di perarian Pangkalanbun, Kalimantan Tengah. Jasad korban yang mengapung tersebut menurut KPI sangatlah tidak mengindahkan kode etik jurnalistik. Hal ini serupa dengan yang ada pada koran Lampu Hijau. Pada edisi Kamis, 26 November 2015, salah satu judul berita tertulis ’Paha & Susu Palsu Ditusuk Shella Mati di Jembatan’. Berita yang berisikan tentang waria yang dibunuh tersebut dapat dikatakan sangatlah tidak etis. Hal ini karena foto mayat waria tersebut terpampang jelas dan dipenuhi oleh darah, tentu juga tanpa sensor gambar. Hal ini juga serupa dengan Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik Indonesia, yangtertulis bahwa Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Pada penafsiran tertulis bahwa sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan. Sayangnya, Lampu Hijau seakan tidak mengindahkan Kode Etik ini.
Gambar 5: Salah Satu Berita di Koran Lampu Hijau Edisi Kamis 26 November 2015 Sumber: dokumentasi pribadi penulis
Secara keseluruhan, Lampu Hijau mendramatisasi penyajiannya dalam menyampaikan berita dan memberikan berbagai aspek visual secara berlebihan. Seringkali aspek visual tersebut tidak sebanding dengan isi berita yang disampaikan. Menurut Conboy, aspek tersebut berupa: •
Scare-heads, headline dalam ukuran font yang tidak beraturan, terkadan dengan huruf kapital semua, atau anak dan induk kalimat secara bergantian menggunakan huruf kapital. Warnanya pun terkadang beragam, dari merah, hijau, dan warna mencolok lainnya.
•
Ilustrasi dan foto yang berlebihan bahkan tidak sesuai dengan kenyataannya.
•
Adanya komik berwarna dengan alur cerita yang tidak jelas. Teknik penulisan yang digunakan pada penyajian koran kuning, yaitu berbagai jenis peniruan dan penipuan, contohnya adalah alur cerita dan wawancara palsu, judul yang membingungkan dan menyesatkan, dan bahkan terkadang dari judul berita di koran kuning adalah sebuah kebohongan yang akan merembet pada isi beritanya itu sendiri. Selain menggunakan teknik-teknik yang telah dijelaskan di atas, Lampu Hijau
juga menitikberatkan pemberitaannya pada isu-isu kontroversial yang mampu memancing gosip dan perdebatan. Bahkan jika tidak kontroversial, Lampu Hijau dengan sengaja mengangkat berita yang biasa dan membuatnya menjadi seolah-olah berita kontroversial dengan bahasa hiperbola. Isu-isu kontroversial tersebut dengan sengaja diangkat untuk menarik perhatian pembaca sebanyak-banyaknya, terutama pembaca yang berasal dari masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah. Isuisu tersebut antara lain isu yang tidak jauh dari unsur seks, konflik, dan kriminal atau dengan kata lainnya dapat disingkat menjadi HVS-9g, dibaca: ha-vi-es sembilan gram, kepanjangan dari horror, violence, sex, ghost, and glamour (Yusuf, 2010). Emery (dalam Conboy, 2003) mengomentari jurnalisme kuning sebagai jurnalisme yang tanpa jiwa (Yusuf, 2010). Jurnalisme kuning, yang paling buruk, adalah jurnalisme baru tanpa jiwa. Hal Ini ternyata drama hidup yang tinggi menjadi melodrama murah. Bukannya memberikan kepemimpinan yang efektif, jurnalisme kuning menawarkan paliatif dosa, seks, dan kekerasan (Conboy, 2003). Nilai berita yang mendasar seperti signifikansi, kepentingan masyarakat, dan besaran suatu berita cenderung diabaikan. Karena Lampu Hijau sebagai koran kuning cenderung menonjolkan sensasionalime daripada fakta yang terjadi sebenarnya, maka sebagian masyarakat menganggap berita yang disajikan tidak penting. Sehingga mereka yang menentang kehadiran koran kuning memberi julukan sebagai ‘koran sampah’. Lebih lanjut lagi, pensortiran media masa secara lebih akurat di antara media jurnalisme dengan media jurnalistik yang melahirkan koran kuning sebagai media hiburan ini menjadi sebuah landasan dalam menindak lanjuti adanya kebebasan pers dengan kepentingan publik. Kebebasan pers adalah sebuah hak masyarakat untuk mendapatkan kebenaran atas fakta yang diberitakan oleh media jurnalisme. Oleh karena itu, kode utama dalam sebuah kebebasan pers adalah menunjukkan kebenaran atau fakta yang memang benar demikian terjadi. Sementara media hiburan bertujuan
untuk kesenangan individu yang bersifat subyektif, tidak mesti dikaitkan dengan berita tentang kebenaran yang bersifat faktual. Pada dasarnya media yang bersifat hiburan adalah berbeda dari media jurnalisme dan pemberitaan lainnya karena jurnalisme memiliki kode etiknya sendiri untuk menyampaikan berita dan berita yang disampaikan tidaklah boleh berbeda dari kenyataan yang terjadi di lapangan (Siregar, 2000).
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Penampilan Lampu Hijau sebagai koran kuning dalam menyajikan berita dengan berbagai ‘bahasa jalanan’ ataupun ‘bahasa nyleneh’ akan membuat perspektif yang berbeda dari sudut pandang masyarakat sebagai pembacanya. Media yang seharusnya dapat lebih memberikan informasi dibandingkan hiburan menjadi kurang kredibilitasnya sebagai media jurnalistik. Masyarakat akan mendefinisikan berita yang disuguhkan oleh Lampu Hijau adalah sesuatu yang berbeda dari kenyataan yang terjadi di lapangan karena bahasa penyajian yang dicampur adukkan. Lampu Hijau sangatlah tidak mengindahkan kaidah jurnalistik seperti yang telah dijelaskan oleh McQuail bahwa salah satu prinsip objektivitas adalah bersifat netral. Netralitas didefinisikan sebagai tidak adanya sensasionalisme, stereotip, dan prasangka dalam pemberitaan. Sangat berbeda dengan penampilan Lampu Hijau yang membuat berita kriminal menjadi suatu sensasi yang dapat menghebohkan karena pemilihan kata dan bahasa yang cenderung vulgar dan menganggap kasus yang diangkat adalah sebuah lelucon. Media, sebagai penghubung antara berita atau peristiwa dengan masyarakat, seharusnya mampu menjadi jembatan yang kuat, yang mampu memberikan informasi yang layak kepada masyarakat. Informasi yang dapat mencerdaskan rakyat, sehingga masyarakat menjadi lebih kaya dan mengetahui akan informasi terkini yang terjadi di sekitarnya. Kekerasan yang marak terjadi di negeri ini seharusnya disampaikan dalam berita yang baik, yang membuat masyarakat menjadi lebih tanggap dan waspada terhadap kekerasan yang mungkin terjadi, bukan menjadi lawakan dengan kondisi negara yang digambarkan sudah sangat tidak aman.
Individu sebagai anggota dalam masyarakat tentunya membutuhkan informasi dari berbagai media ataupun individu lainnya agar dapat mengetahui segala situasi ataupun kejadian yang telah berlangsung disekitarnya untuk dapat menjadi pedoman bagaimana masyarakat seharusnya bertindak. Seperti yang dijelaskan oleh Karl Weick dalam teori informasi organisasi yang menjelaskan mengenai pentingnya penyebaran informasi dalam organisasi untuk menjaga kelangsungan hidup organisasi tersebut. Masyarakat harusnya dapat memilah mana berita yang layak untuk dibaca sebagai suatu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupannya, dan mana sesuatu yang bersifat humor untuk menjadi bahan tertawaan. Hal ini menyangkut moralitas dan etika dari masyarakat karena berita seputar bencana, kriminalitas, dan diskiminasi ataupun kejahatan lainnya bukanlah sesuatu yang bersifat lelucon untuk membuat kita semua tertawa, namun sebagai pedoman bagaimana kita dapat mengantisipasi segala bentuk kriminalitas yang dapat terjadi, dan bisa menumbuhkan rasa simpati dan empati terhadap masyarakat yang menjadi korban dari segala kasus kejahatan atau bencana lainnya.
Daftar Pustaka Cahyamurti, L. (2010, June 9). Perbandingan Bahasa Dalam Penyampaian Berita Oleh Koran Kompas, Pos Kota Dan Lampu Hijau. Diakses dari http://lusycahyamurti.blogspot.com/: http://lusycahyamurti.blogspot.com/2010/06/blog-post_09.html Conboy, M. (2003). The Press and Popular Culture. London: SAGE. Endah, Y. K. (2009, September 25). Berita Kekerasan dalam Koran Kuning (Bad Journalism). Diakses dari http://kyuannita.blogspot.com/: http://kyuannita.blogspot.com/2009/09/indonesian-communication-system.html Kovach, B., & Rosenstiel, T. (2014). The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect. Crown Publishing Group. McQuail. (1992). a Performance: Mass Communication and the Public Interest. London: SAGE. McQuails. (2000). Mass Communication Theory. London: Sage Publication. Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers Romli, A. S. (2010). Kamus Jurnalistik: Daftar Istila Penting Jurnalistik Cetak, Radio, dan Televisi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Siregar, A. (2000). Eksplorasi Gender di Ranah Jurnalisme dan Hiburan. Yogyakarta: LP3Y. Sitepu, V. (2011, June). Rezim Soeharto: Kebebasan Pers Gelang Karet. Diakses dari http://vinsensius.info/: http://vinsensius.info/index.php/2011/06/rezim-soehartokebebasan-pers-gelang-karet/ Surbakti, R. (1997). Ilusi Sebuah Kekuasaan. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi & Pusat Hak Asasi Manusia, Universitas Surabaya. Yusuf, I. A. (2010, April 30). Menelisik Sejarah Koran Kuning di Indonesia. Diakses dari http://bincangmedia.wordpress.com/: https://bincangmedia.wordpress.com/2010/04/30/menelisik-sejarah-koran-kuning-diindonesia/ Yusuf, I. A. (2010, Mei 1). Koran Kuning, Jurnalisme atau Bukan? Diakses dari http://bincangmedia.wordpress.com/: http://bincangmedia.wordpress.com/2010/05/01/koran-kuning-jurnalisme-atau-bukan/ Yusuf, I. A. (2009, November 22). Menyikapi "Jurnalisme Kuning". Diakses dari http://bincangmedia.wordpress.com/: https://bincangmedia.wordpress.com/2009/11/22/menyikapi-jurnalisme-kuning/