Aris Munandar Hardiansyah
KOORDINASI DALAM PELAYANAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR PADA SISTEM ADMINISTRASI SATU ATAP KOTA PALEMBANG 1 DI PALEMBANG
ARIS MUNANDAR HARDIANSYAH Abstract Public service to the community is one of the important tasks or functions. Public service is a very important element in governance because it involves aspects of life widely. One roof service office is an integrated system of cooperation between the police, the Provincial Revenue Office, and PTJasa Raharja insurance (Persero) in service for issuing vehicle registration numbers of motor vehicles and signs associated with the influx of money into the state treasury through the Motor Vehicle Tax (PKB), transfer duties of Motor Vehicles, and the contribution payer Road Traffic Accidents Fund (SWDKLJJ), and held at the office the so-called "call centers". In this case, the police have the function of issuance of vehicle registration; Provincial Revenue Service to determine the amount of vehicle tax (PKB) and Customs of Vehicle (BBN-KB); while PTJasa Raharja Insurance manage Donations Compulsory Road Traffic Accidents Fund (SWDKLLJ). Obviously with the merging of the three agencies in one roof management system require good coordination to avoid overlapping authority. For that matter the coordination of these services was named a study entitled Motor Vehicle Tax Service Coordination in SamsatPalembang 1. The method used is descriptive qualitative with interviews and observations as the main data source. While the indicators used to use indicators coordination of Sugandha (1991), among others/synchronization, the agreement and unity of understanding; obedience to the plane of the task; mutual exchange of information and the coordinator. Results of research produces information that services coordinationthat occurred in Samsat Palembang 1 has not met the expectations of society and yet also fulfill the minimum criteria as suggested by Permenpan Number 15 Year 2014 About Component Services Standards. While it was also revealed there are several factors inhibiting service coordination which include: Lack of coordination between police officers, with UPTD Revenue and PTJasa Raharja Insurance; Weak internal control to individual members; Lack of a sense of concern and sensitivity to the result and assurance services to the public; Ego sectoral every existing agency in Samsat. Key Word: One Roof System; Police, the Provincial Revenue Office, PT Jasa Raharja Insurance
Aris Munandar Hardiansyah
PENDAHULUAN Sebelum diadakannya reformasi pajak di Indonesia di tahun 1983, 1994 dan terakhir di tahun 1997, pembangunan nasional selalu mengandalkan sumber dana yang sebagian besar dari sektor minyak dan gas. Namun setelah tax reform, Pemerintah menjadikan sektor pajak sebagai sumber utama dalam menopang pembiayaan pembangunan nasional. Dan dalam kenyataannya penerimaan negara dari sektor pajak dari tahun ketahun semakin meningkat dan sejalan dengan hal tersebut peranan pajak sebagai penopang program pembangunan nasional juga semakin meningkat. Sektor pajak ini berdasarkan wewenang pemungutannya terbagi menjadi pajak pusat dan pajak daerah. Pajak daerah ini dikenal dengan nama Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Pajak Daerah, peranannya sangat penting sebagai sumber Pendapatan Daerah dan sebagai penopang Pembangunan Daerah, karena Pajak Daerah merupakan salah satu Sumber Pendapatan Asli Daerah. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan yang sangat penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah untuk memantapkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Jenis Pajak Daerah yang diatur dalam Undang–Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk Provinsi dan jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk Kabupaten/Kota. Dalam Undang–Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang–Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; khususnya pada pasal 2 ayat 1 diatur mengenai jenis Pajak Provinsi yaitu sebagai berikut : a. Pajak Kendaraan Bermotor ( PKB ). b. Pajak Kendaraan Bermotor Di Atas Air ( PKBDA ). c. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ( BBNKB ). d. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Diatas Air ( BBNKBDA ). e. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ( PBBKB ). f. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah ( P3ABT ). g. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air permukaan ( P2AP). Dari jenis–jenis Pajak Daerah tersebut diatas, penerimaan yang memberikan kontribusi cukup besar dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Sumatera Selatan adalah jenis pungutan Pajak Kendaraan Bermotor. Ada kecenderungan terjadinya peningkatan jumlah nominal realisasi penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) ini setiap tahun di semua kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan sebagaimana terlihat pada tabel 1 di bawah ini:
Aris Munandar Hardiansyah
Tabel 1. Target dan Realisasi Pajak Kendaraan Bermotor Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Selatan 2013-2014 No
Kabupaten Kota
1
Palembang 1
2
Palembang 2
3
MUBA 1
4 5
MUBA 2 Banyuasin
6
OKI 1
7 8
OKI 2 Ogan Ilir
9
OKU
10
OKU Selatan
11
OKU Timur 1
12
Oku Timur 2
13
Muara Enim
14
Prabumulih
15
Lahat
16
Pagar Alam
17
Musi Rawas
18
Lubuk Linggau
19
Empat Lawang
20 21 22
Muratara PALI Prov Sumsel Total
Tahun Target
2013 Realisasi
%
Target
2014 Realisasi
%
301,765,700,0 00. 54,200,000,00 0. 28,573,000,00 0.
304,884,610,57 5. 56,399,947,800 . 29,019,164,395 .
101 % 104 % 102 %
714.476.096.000,00
635,102,855,572.00
89%
121.699.948.000
120,339,302,747.00
99%
79.223.572.000,00
75,355,275,498.00
95%
25,960,000,00 0. 28,510,000,00 0.
27,368,556,630
105 % 97%
11.598.462.000 78.873.760.000
3,952,857,891.00 77,520,752,644.00
34% 98%
72.966.782.000
60,135,446,030.00
82%
12,470,000,00 0. 27,170,000,00 0. 6,400,000,000 . 31,865,000,00 0.
13,108,501,745 . 26,394,773,300 . 6,512,564,798.
9.249.047.000 35.384.896.000
7,884,058,713.00 35,633,753,925.00
67.043.433.000
50,618,048,190.00
85% 101 % 76%
19.240.841.000
14,231,120,135.00
74%
77.457.993.000
46,313,914,454.00
80%
11.698.475.000
13,985,035,170.00
96%
118.648.199.000
94,513,656,777.00
120 % 80%
97%
70.654.712.000
52,291,834,113.00
74%
98%
69.419.973.000
53,055,633,399.00
76%
105 % 92%
13.851.524.000
11,805,536,047.00
85%
56.098.826.000
40,604,340,590.00
72%
97%
53.613.218.000
43,750,496,484.00
82%
105 %
8.442.243.000
7,020,121,115.00
83%
27,710,578,339 .
30,298,158,485 .
45,475,000,00 0. 26,250,000,00 0. 23,077,000,00 0. 5,305,000,000 . 22,356,000,00 0 21,761,000,00 0. 2,766,000,000 . -
43,592,312,410 . 25,353,258,747 . 22,692,524,000 . 5,547,844,780
663,903,700,0 00.
663,419,958,59 8.
20,501,284,150 . 21,125,656,900 . 2,910,221,544.
105 % 97% 102 % 95%
99%
0 735.679.000.000,00
456,148,350.00 2,526,000.00 823,207,462,189.00
2.425.321.000.000, 00
2.267.780.176.033
112 % 94%
Aris Munandar Hardiansyah
Tabel 1 di atas memperlihatkan bahwa secara rata-rata selama kurun waktu 2013-2014 PKB di Provinsi Sumatera Selatan cenderung dibawah target yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi, sehingga diperlukan upaya yang lebih keras lagi guna mencapai target yang telah ditetapkan tersebut. Samsat adalah akronim dari Sistem Administrasi Manunggal Di Bawah Satu Atap Institusi ini merupakan unit pelayanan publik dalam menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor (ranmor), pembayaran pajak ranmor, bea balik nama ranmor dan pembayaran Sumbangan wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas ( SWDKLL ) yang dilaksanakan secara terintegrasi dan terkoordinasi. Terintegrasi dan terkoordinasi artinya semua kegiatan dalam Samsat dilaksanakan dalam satu aplikasi terpadu mulai dari aplikasi komputerisasi, prosedur dan mekanisme, kelompok kerja dan sistem informasi dan komunikasi. Dalam pelaksanaan tugasnya, Samsat berada di bawah koordinasi seperti diatur dalam instruksi bersama Menhankam, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan No. 6/ IMK/0.14/1999 tentang pelaksanaan Samsat. Dari hasil pangamatan penulis terhadap hasil Rapat Koordinasi Tim Pembina Samsat Provinsi Sumatera Selatan tahun 2015, terdapat beberapa permasalahan di lingkungan Samsat di Sumatera Selatan dewasa ini yang masih belum sesuai dengan Permenpan Nomor 15 Tahun 2014 tanggal 2 Mei 2014 Tentang Komponen Standar Pelayanan dimana dari 14 item yang ada dalam Permenpan tersebut beberapa diantaranya ada yang masih memerlukan perbaikan yaitu: 1. Jangka waktu Penyelesaian Berdasarkan Kep Kakorlantas Nomor 64 Tahun 2014 tanggal 23 Oktober 2014 Tentang Standar Waktu Pelayanan ditetapkan bahwa untuk pelayanan STNK baru dibutuhkan waktu 120 menit, STNK Perubahan 60 Menit, STNK Perpanjangan 30 Menit serta STNK Pengesahan 30 Menit. Namun dalam prakteknya di Samsat waktu penyelesaian pelayanan tersebut lebih panjang dari waktu yang telah ditetapkan tersebut.. Contohnya Proses Perpanjangan STNK 5 tahun bisa sampai 3 hari baru selesai padahal standar menyatakan tidak lebih dari 30 menit. Selain itu waktu buka-tutup pelayanan tidak pernah tepat waktu, jam kerja pelayanan adalah jam 8 pagi sampai dengan jam 15 sore tanpa henti. Prakteknya jam buka pelayanan selalu diatas jam 8 pagi dan akan tutup sementara saat jam makan siang (ishoma). Sementara aturan tidak menyebutkan ishoma harus menghentikan pelayanan. 2. Produk Pelayanan - SKPD yang mengeluarkan notice pajak masih menggunakan tanda tangan basah, bukan scan, sehingga sangat memperlambat pelayanan, terutama bila pejabat teknis yang bertanggungjawab bersangkutan tidak ada ditempat. - Pendaftaran Pengesahan di Polri dengan data di Dispenda tidak pernah sama.
Aris Munandar Hardiansyah
3. Penanganan dan Pengaduan, Saran dan Masukan - Sarana dan Prasarana tidak tersedia - SOP Saran dan Pengaduan tidak ada - Pengelolaan Pengaduan Masyarakat tidak ada - Sistem, Mekanisme dan Prosedur tidak ada 4. Sarana Prasarana dan/atau Fasilitas - Ruang tunggu pelayanan tidak memadai sehingga Wajib Pajak sering menunggu sampai diluar - Pendingin udara tersedia tetapi ruangan tidak dingin (tidak mencukupi kapasitas ruangan dan tidak berfungsi dengan baik) - Musholla tersedia namun tidak memadai - Ruang parkir untuk kendaraan roda empat tidak tersedia sehingga mobil Wajib Pajak seringkali parkir di marka jalan yang mengganggu kelancaran lalu lintas di jalan POM IX - Ruang khusus untuk koordinator Samsat tidak tersedia. 5. Pengawasan Internal - Penjagaan dan Pengawasan baik dari provost maupun dari Dispenda dan Jasa Raharja tidak ada. Penjelasan diatas seakan memberikan gambaran bahwa sasaran peningkatan PAD ini tidak diikuti dengan perbaikan pelayanan, seakan-akan orientasi Samsat ini hanyalah mengejar target PAD semata. Penyelenggaraan pelayanan Samsat di Sumatera Selatan khususnya Kota Palembang 1 sepanjang pengamatan penulis masih jauh dari harapan melihat banyaknya keluhan demi keluhan masyarakat baik menyangkut pelayanan maupun sarana dan prasarana pendukungnya. Dengan pertimbangan itulah penulis bermaksud untuk meneliti sampai sejauh mana koordinasi antar instansi ini dalam suatu karya ilmiah yang berjudul “ Koordinasi Dalam Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor Pada Samsat Kota Palembang 1 di Palembang” Perumusan Masalah Berdasarkan uraian sebelumnya maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana koordinasi antara Dispenda, Polri dan Jasa Raharja dalam melakukan pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor di Samsat Kota Palembang 1? 2. Faktor apa yang menghambat koordinasi di Samsat Kota Palembang 1?
Aris Munandar Hardiansyah
REFERENSI Pelayanan Kantor Bersama Samsat Pengertian pelayanan ini dapat dilihat dari 3 (tiga) sudut pandang yakni pengertian umum, pengertian menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 dan pengertian menurut UndangUndang Perpajakan: 1. Pengertian Umum, kata pelayanan secara terminologi berarti kata kerja yang mengandung arti suatu kegiatan dimana seseorang atau kelompok orang yang selain siap melakukan pekerjaan memberikan tenaga dan pikirannya untuk membantu orang di bidang tertentu. 2. Pengertian menurut Undang-undang, dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang no 43 tahun 1999 tentang pokokpokok kepegawaian ditetapkan bahwa bentuk pelayanan yang diberikan oleh Pegawai Negeri Sipil kepada masyarakat tidak diatur secara jelas. Dalam UndangUndang ini disebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil bukanlah hanya aparatur negara, tetapi juga abdi negara dan abdi masyarakat yang hidup di tengah-tengah masyarakat dan bekerja untuk kepentingan masyarakat dan untuk mencapai tujuan nasional diperlukan adanya Pegawai Negeri Sipil yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kualitas pelayanan perpajakan perlu dikaji melalui beberapa konsep pelayanan, yang dalam hal ini penulis mencoba mengemukakan secara singkat konsep-konsep yang khusus menelaah mengenai pelayanan. Banyak sekali konsep yang cukup realistik yang dapat diterapkan dalam usaha peningkatan kualitas pelayanan perpajakan di Indonesia. Dasar Hukum terbentuknya Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) adalah seperti yang disebutkan di bawah ini sebagai berikut: 1. Instruksi Bersama Menteri Pertahanan Keamanan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor INS/03/M/X/1999, Nomor 29 Tahun 1999 dan Nomor 6/IMK.014/1999. 2. Surat Keputusan Bersama Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah dan Direktur Utama PT. Jasa Raharja (Persero) Nomor Skep/06/X/1999, Nomor 973-1228 dan Nomor SKEP/02/X/1999. Aparat pelaksanaan Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) terdiri dari unsur Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah, UPTD Dinas Pendapatan Daerah dan PT. Jasa Raharja (Persero) Cabang. Penanggung jawab kegiatan adalah sebagai berikut: a. Unit Pelayanan : Petugas Dispenda dan Polri b. Unit Administrasi : Petugas Dispenda, Polri dan Jasa Raharja c. Unit Pembayaran : Petugas Dispenda (Bendaha Penerima)
Aris Munandar Hardiansyah
d. e. f. g.
Unit Pencetakan : Petugas Dispenda dan Polri Unit Penyerahan : Petugas Polri Unit Arsip : Petugas Polri dan Dispenda Unit Informasi : Petugas Polri dan Dispenda Koordinator SAMSAT, dijabat oleh : a. Samsat Ibu Kota Provinsi : Regident Ditlantas Polda b. Samsat Daerah Kabupaten atau Kota : Lantas Fungsi Regindent Koordinator di atas untuk Polri ditunjuk oleh Kapolda sedangkan untuk UPTD ditunjuk oleh Gubernur Sumatera Selatan. Tugas koordinator adalah: 1) Mengkoordinir kegiatan di luar teknis administrasi dan teknis operasional 2) Melakukan pengaturan tata kerja dan tata ruang gedung Kantor Bersama SAMSAT Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Dispenda Tugas dan fungsi Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) antara lain berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan Nomor 377/KPTS/IV/1984 tanggal 11 Juli 1984 kemudian diperbaharui dengan Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 22 Tahun 2004 yang dinyatakan antara lain mengenai tata pembagian tugas, yaitu tata kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas pada Samsat Kota Palembang 1 terdiri dari: Kepolisian Negara Republik Indonesia Tugas pihak Polri yang berada di Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap yakni: sebagai tata laksana pengeluaran Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB). Secara khusus tugas Polri pada Kantor Bersama Samsat Kota Palembang 1 adalah: memberi registrasi dan identifikasi pemilik dan kendaraan bermotor, antara lain: a. Menerbitkan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) 1) Menetapkan masa berlaku STNK sebagai tanda bukti registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pendaftaran kendaraan bermotor dan setiap tahun diadakan pengesahan kembali serta tidak diganti. 2) Pengadaan dan pembiayaan blanko Surat Tanda Nomor Kendaraan 3) Spesifikasi teknis Surat Tanda Nomor Kendaraan, sehingga sama dan seragam di seluruh Indonesia. b. Menerbitkan Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor (STCK) yang berfungsi sebagai Registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor sementara, dengan hak memakai Tanda Coba Kendaraan Bermotor (TCKB) yang berfungsi sebagai
Aris Munandar Hardiansyah
surat jalan bagi organisasi publik perakitan, dealer, dan sub dealer kendaraan bermotor dari satu tempat ke tempat lain sesuai ketentuan. c. Menerbitkan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), yang berfungsi sebagai surat bukti kepemilikan kendaraan bermotor. Badan Usaha PT. Jasa Raharja (JR) Badan Usaha PT. Jasa Raharja Cabang Sumsel yang ada pada Kantor Bersama Samsat Kota Palembang 1 terdiri dari 2 orang Pelaksana yang mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam penetapan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) kepada masyarakat baik pada saat pendaftaran kendaraan bermotor baru, perpanjangan, pengesahan, dan sebagainya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993. Koordinasi Pengertian Koordinasi Menurut Pearce II dan Robinson yang dimaksud dengan koordinasi adalah integrasi dari kegiatan-kegiatan individual dan unit-unit ke dalam satu usaha bersama yaitu bekerja ke arah tujuan bersama (Silalahi: 2002;242) Sedangkan menurut Stoner koordinasi adalah proses penyatu-paduan sasaran-sasaran dan kegiatan-kegiatan dari unit-unit yang terpisah (bagian atau bidang fungsional) dari sesuatu organisasi untuk mncapai tujuan organisasi secara efisien (Sugandha: 1991;12). Sasaran suatu organisasi adalah agar dapat mencapai tujuannya dengan efisien dan kegiatan mengarahkan unsur-unsur manajemen dimana di dalamnya terdapat unitunit yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Dengan demikan, koordinasi diperlukan apabila terdapat selain ketergantungan pekerjaan/aktivitas yang tinggi dalam organisasi. Kemudian koordinasi diperlukan apabila keberhasilan suatu kelompok dalam menjalankan tugas tergantung kepada cara unit atau kelompok lain dalam menjalankan tugasnya yang terkait. Jenis-Jenis Koordinasi Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah, terdapat koordinasi fungsional, antara dua atau lebih instansi yang mempunyai program yang bekaitan erat, koordinasi instansional, terhadap beberapa instansi yang menangani satu urusan tertentu yang bersangkutan dan koordinasi territorial, terhadap dua atau lebih wilayah dengan program tertentu. Menurut Sugandha (Sugandha: 1991;25) beberapa jenis koordinasi sesuai dengan lingkup dan arah jalurnya. Menurut lingkupnya, terdapat koordinasi intern, yaitu koordinasi antar pejabat antar unit di dalam suatu organisasi dan koordinasi ekstern, yaitu koordinasi antar pejabat dari berbagai organisasi atau antar organisasi. Kemudian menurut arahnya, terdapat koordinasi horizontal yaitu koordinasi
Aris Munandar Hardiansyah
antar pejabat atau antar yang mempunyai tingkat hierarki yang sama dalam suatu organisasi dan antar pejabat dari organisasi-organisasi yang setingkat, koordinasi vertikal yaitu koordinasi antar pejabat dari unit-unit tingkat bawah oleh pejabat atasannya atau unit tingkat atasannya langsung, juga cabang-cabang suatu organisasi oleh organisasi induknya, koordinasi diagonal koordinasi antar pejabat atau unit yang berbeda fungsi dan berbeda tingkatan hierarkinya dan koordinasi fungsional yaitu koordinasi antar pejabat, antar unit atau antar organisasi yang didasarkan atas kesamaan fungsi, atau karena koordinatornya mempunyai fungsi tertentu. Koordinasi yang dimaksud oleh penulis tesis ini adalah koordinasi yang sifatnya horizontal, yaitu sebagai bentuk kerjasama antar instansi dalam rangka pemberian keputusan untuk pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor melalui tahapantahapan tertentu sehingga berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mekanisme dan Proses Koordinasi Menurut Sugandha, mekanisme koordinasi (1991:27-36) yaitu adanya kesadaran dan kesediaan sukarela dari semua anggota organisasi atau pemimpinpemimpin organisasi (untuk kerjasama antar instansi, adanya komunikasi yang efektif, tujuan kerjasamanya dan peranan dari tiap pihak yang terlibat, harus dapat menciptakan organisasinya sendiri sedemikian rupa sehingga menjadi suatu organisasi yang mampu memimpin organisasi-organisasi lainnya, meminta ketaatan, kesetiaan, dan disiplin kerja tiap pihak yang terlibat, terciptanya koordinasi di dalam suatu organisasi akan menunjukkan bahwa organisasi tersebut benar-benar bergerak sebagai suatu system, dan pemimpin akan bertindak sebagai fasilitator dan tenaga pendorong. Hambatan dalam Pengkoordinasian Menurut Handayaningrat (1986:129), yang menjadi hambatan-hambatan dalam mengkoordinasi adalah sebagai berikut, yaitu hambatan-hambatan dalam koordinasi vertical (struktural). Dalam koordinasi vertical (struktural) sering terjadi hambatan-hambatan, disebabkan perumusan tugas, wewenang dan tanggung jawab tiap-tiap satuan kerja (unit) kurang jelas. Di samping itu adanya hubungan dan tata kerja yang kurang dipahami oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan kadangkadang timbul keragu-raguan di antara yang mengkoordinasi dan yang dikoordinasi ada hubungan dalam susunan organisasi yang bersifat hierarki. Pengertian Pajak Menurut Mardiasmo (2002:1) adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa
Aris Munandar Hardiansyah
timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dua fungsi pokok pajak adalah sebagai berikut. 1. Fungsi Penerimaan (Budgetair) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Contoh dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. 2. Fungsi Mengatur (Regulator) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Contoh dikenakannya pajak yang tinggi terhadap minuman keras sehingga konsumsi minuman keras dapat ditekan Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi tiga, yaitu official assesment system, self assessment system, dan withholding system. Official assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Withholding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Wajib Pajak menurut pasal 1 huruf a Ketentuan Umum Perpajakan adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Dengan kata lain, wajib pajak adalah subjek pajak yang memenuhi syarat-syarat objektif, jadi memenuhi tabestand yang ditentukan oleh undang- undang, yaitu dalam rangka UU PPh 1984, menerima atau memperoleh penghasilan kena pajak, yaitu penghasilan yang melebihi pendapatan tidak kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri (Soemitro, 2004: 59). Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksaan tetapi tidak ada timbal balik dari negara secara langsung untuk memelihara kesejahteraan secara umum.”(2003 : 3) Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak mempunyai ciriciri sebagai berikut : 1. Pajak merupakan peralihan kekayaan dari orang atau badan ke pemerintah. 2. Pajak dipungut oleh negara baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
Aris Munandar Hardiansyah
3. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan, dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah. 4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai pembangunan yang ditujukan untuk kepentingan umum. Pengertian Pajak Daerah Pajak Daerah dan Pajak Nasional merupakan suatu sistem perpajakan Indonesia yang pada dasarnya merupakan beban masyarakat, sehingga perlu dijaga agar kebijakan tersebut dapat memberi beban yang adil. Pajak Daerah diatur dalam : 1. Undang-undang No.18 Tahun 1997, Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2. Undang-Undang No. 34 Tahun 2000, Tentang Perubahan Undang-undang No.18 Tahun1997 Tentang Pajak Derah dan Retribusi Daerah. 3. Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pengganti Undang-undang No.18 Tahun 2007 dan perubahannya Undangundang No.34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Yang dimaksud daerah menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2011 adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya tidak ada perbedaan pengertian yang pokok antara pajak pusat dan pajak daerah mengenai prinsip-prinsip umum hukumnya. Dasar Hukum Pajak Kendaraan Bermotor Dasar hukum pajak kendaraan bermotor sebagaimana disebutkan diatas adalah sebagai berikut : 1. Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pengganti dari Undang-undang No. 18 Tahun1997 dan Perubahannya Undang-undang No. 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. 3. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Selatan Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah.
Aris Munandar Hardiansyah
Pengertian Pajak Kendaraan Bermotor Menurut Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Selatan Nomor 3 Tahun 2011 tentang pajak kendaraan bermotor dinyatakan bahwa Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau lebih beserta gandengannya yang digunakan jenis jalan darat, digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak. Sedangkan yang dimaksud dengan Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak yang dipungut atas kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan bermotor. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian (Nasir, 1988: 64). Metode penelitian kualitatif digunakan untuk memenuhi tujuan penelitian yaitu untuk mendeskripsikan Koordinasi dalam pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor Pada Samsat Kota Palembang 1 di Palembang. Pendekatan kualitatif pada hakekatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Sumber Data Penelitian Dalam penelitian ini sumber dan teknik pengambilan data adalah: a. Data Primer yaitu data yang didapat langsung dari hasil wawancara dengan informan dan observasi langsung. b. Data Sekunder yaitu data yang didapat dari dokumen yang ada di kantor untuk mengetahui latar belakang pendidikan, golongan serta jabatan responden. Teknik pengumpulan Data Menurut Nazir (1998: 212) Prosedur pengumpulan data adalah suatu cara dan prosedur yang sistematik untuk memperoleh data yang diperlukan. Untuk data yang diperlukan tersebut digunakan beberapa teknis pengumpulan data. Pada penelitian ini digunakan teknis pengambilan data yaitu: 1. Wawancara, peneliti melakukan wawancara untuk memperoleh data-data primer, yang dilakukan dengan mengadakan tanya jawab langsung dengan pihak-pihak yang berkepentingan.
Aris Munandar Hardiansyah
2. Observasi : yaitu pengamatan terhadap objek penelitian, dalam hal ini pengamatan terhadap proses kerja yang dilaksanakan oleh Samsat Kota Palembang 1 3. Dokumentasi: adalah teknik pengumpulan data sekunder melalui referensireferensi ilmiah, seperti buku-buku, jurnal-jurnal ataupun laporan-laporan lain yang relevan dengan pembahasan. Teknik Analisis Data Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Selanjutnya untuk menguji keakuratan data digunakan metode triangulasi . Triangulasi pada hakikatnya merupakan pendekatan multimetode yang dilakukan peneliti pada saat mengumpulkan dan menganalisis data. Ide dasarnya adalah bahwa fenomena yang diteliti dapat dipahami dengan baik sehingga diperoleh kebenaran tingkat tinggi jika didekati dari berbagai sudut pandang. Memotret fenomena tunggal dari sudut pandang yang berbeda-beda akan memungkinkan diperoleh tingkat kebenaran yang handal. Karena itu, triangulasi ialah usaha mengecek kebenaran data atau informasi yang diperoleh peneliti dari berbagai sudut pandang yang berbeda dengan cara mengurangi sebanyak mungkin perbedaan yang terjadi pada saat pengumpulan dan analisis data. Dengan demikian tahapan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Reduksi data; yaitu pengurangan data yang tidak terlalu penting kemudian mengambil data untuk keperluan analisis. Atau pengambilan data yang diperlukan dari seluruh data yang didapat untuk keperluan analisis. b. Display data; agar data lebih mudah untuk dimengerti maka data dikumpulkan dalam bentuk matrik, gambar atau skema sehingga analisis yang digunakan akan lebih akurat. c. Kesimpulan dan verifikasi adalah tahap pemungutan kesimpulan, setelah melakukan reduksi dan display terhadap data. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Birokrasi adalah mesin dan system pemerintahan yang penting dalam mengatur penyelenggaraan urusan pemerintahan domestik dan internasional. Oleh karena itu, birokrasi sering mendapat tuntutan dari masyarakat untuk menyelenggarakan pelayanan secara efektif dan efisien (berkualitas dengan harga ekonomis). Hal ini muncul karena banyak yang berpandangan bahwa birokrasi adalah institusi yang kaku, lambat, patologis, disfungsi, menghambat, dan hanya menjadikan manusia sebagai objek. Persepsi tersebut muncul didasarkan atas pelayanan birokrasi dirasakan masyarakat kurang memuaskan bahkan mengecewakan. Badan
Aris Munandar Hardiansyah
Perencanaan Nasional (Bapenas) dalam laporannya tahun 2007 menyebutkan bahwa kinerja birokrasi masih belum optimal. Indikator yang menunjukan hal tersebut antara lain dicerminkan dengan masih banyaknya keluhan masyarakat, baik menyangkut prosedur, kepastian, tanggung jawab, moral petugas, serta masih terjadinya praktek pungli yang memperbesar biaya pelayanan, dan masih kurang profesionalismenya aparatur pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, sehingga seringkali birokrasi masih dianggap sebagai penghambat pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan Ketidakjelasan prosedur pelayanan birokrasi minimal dipengaruhi tiga faktor yakni pembagian tugas, koordinasi dan Standar Operating Prosedure (SOP). Pertama pembagian tugas dan fungsi institusi yang tidak jelas. Faktor tersebut menyebabkan terjadinya tumpang tindih tugas dan fungsi antar institusi birokrasi atau sebaliknya, tidak ada institusi yang menyelenggarakan tugas dan fungsi tersebut. Kedua fungsi koordinasi antar intitusi yang tidak berjalan dengan baik atau bahkan terhenti. Faktor ini sering disebabkan antara lain oleh besarnya ego sektoral, ego wilayah serta “gengsi jabatan”. Ego sektoral ditunjukan saat membentuk institusi yang bersifat terpadu seperti BadanPelayanan Terpadu (umumnya dalam bidang perizinan). Ego Wilayah dapat terlihat pada beberapa kasus hubungan pemerintah propinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan dalam “Gengsi Jabatan”, institusi yang lebih jabatan struktural lebih rendah sulit mengkoordinir jabatan struktural yang lebih tinggi, sebagai contoh UPT Departemen di daerah yang memiliki jabatan eselon IIIa mengkoordinir Dinas Dinas yang memiliki jabatan eselon IIa. Ketiga Standar Operating Prosedure (SOP) lintas institusi belum ada. Ketiga faktor tersebut diatas dipandang sebagai permasalahan mendasar dalam kinerja birokrasi yang belum optimal. Hasil pengamatan dan pembahasan dalam penataan organisasi dan tata kerja institusi birokrasi di pusat maupun daerah, hal tersebut disebabkan antara lain pembentukan penataan kelembagaan birokrasi yang dilakukan secara parsial. Selain itu, pembentukan dan penataan kelembagaan birokrasi tidak sepenuhnya menggunakan prinsip¬prinsip pengorganisasian antara lain kejelasan tugas dan pengaturan hubungan kewenangan antara institusi birokrasi. Akibat yang ditimbulkan hal tersebut yakni munculnya tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas dan fungsi antar institusi birokrasi. Hal yang sering digunakan sebagai pertimbangan dalam pembentukan dan penataan institusi birokrasi adalah peraturan perundangan-undangan. Indonesia belum memiliki grand desain kelembagaan birokrasi ideal untuk menciptakan kinerja birokrasi yang optimal. Mestipun saat ini sebagian kecil telah dilakukan pengaturan mengenai jumlah kementerian dan struktur organisasinya. Tetapi masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan dalam kelembagaan birokrasi seperti jumlah ideal lembaga pemerintah non kementerian (LPNK), jumlah propinsi dan jumlah kabupaten/kota serta lembaga-lembaga non struktural.
Aris Munandar Hardiansyah
Dalam menciptakan birokrasi yang ideal dihadapkan pada banyak hambatan intern dan ekstern. Faktor intern antara lain pembentukan institusi dengan menggunakan struktul pola maksimal, pembagian tugas yang tidak merata dan masih terdapat potensi tumpang tindih antar institusi, belum jelasnya pola karir pegawai, paradigma jabatan struktural sebagai gengsi, tidak mempertimbangkan bebab kerja, kurang mempertimbangkan kemampuang sumber daya manusia, kurang mempertimbangkan kemampuan anggaran dan lain sebagainya. Sedangkan faktor ekstern meliputi politik, ekonomi, social budaya dan lain sebagainya. Sebuah Koordinasi akan dapat berjalan dengan baik jika memiliki Standar Oprasional Prosedur (SOP). SOP akan memberikan kejelasan dan konsitensi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing organ. Sehingga SOP juga dapat berfungsi sebagai control dan pengendalian dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sehinggga akan tercapai hasil sesuai yang diharapkan. Lemahnya Koordinasi antar instansi Kelembagaan Birokrasi yang besar dan manajemen internal yang lemah menyebabkan kurang optimalnya kinerja birokrasi. Lemahnya manajemen internal salahsatunya ditunjukan dengan lembahnya koordinasi. Hasil evaluasi Kementerian Perencanaan Nasional menunjukan bahwa sistem koordinasi pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kinerja kebijakan dan program pembangunan masih lemah Koordinasi lemah dalam tataran horizontal antardepartemen maupun dalam tataran vertikal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota”. Koordinasi merupakan kata yang mudah untuk diucapkan tetapi tidak mudah diaplikasikan. Lemahnya koordinasi dalam birokasi disebabkan antara lain kurang harmonisasinya peraturan perundangan, adanya ego sektoral dari lembaga maupun departemen masing-masing unit kerja. Ketidakharmonisan peraturan perundangan disebabkan kurang koordinasi antar dalam pembentukan peraturan yang di usulkan instansi sektornya dan instansi lainnya yang berkaitan. Pada tingkatan pemerintah daerah lemahnya koordinasi secara vertical dan horizontal. Koordinasi vertical yakni antara gubernur, bupati, dan walikota yang “terlihat tidak memiliki khirarki yang jelas”. Dimaka mereka dipilih secara langsung oleh masyarakatnya. Kondisi tersebut diperparah dengan kurangnya kewenangan dan peran gubernur terhadap kabupaten/kota. Sehingga terjadi beberapa kasus bupati / walikota lebih “mengukuti perintah partai” dibandingkan dengan gubernur. Sedangkan koordinasi horizontal terlihat dari lemahnya koordinasi antar satuan kerja perangkat daerah sebagai contoh dalam penyusunan atau penataan struktur organisasi perangkat daerah yang masingmasing satuan kerja perlu berdiri sendiri dan merasa paling penting. Besarnya ego sektoran setiap satuan kerja dan pejabat birokrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kesadaran ego sektoran, sesungguhnya telah
Aris Munandar Hardiansyah
disadari oleh setiap satuan kerja dan pejabat. Hal tersebut terungkap beberapa kali dalam wawancara dan diskusi penataan organisasi pemerintah pusat dan daerah. Namun demikian, kesadaran kendala ego sektoral tidak diikuti untuk melepaskan ego sektoral tersebut. Sebagai contoh yang terjadi dalam beberapa kasus pembentukan Badan Perijinan Terpadu (BPT) atau one stop service, kecenderungan institusi yang terkait dengan hal tesebut cenderung tidak mengijinkan sebagaian kewenangannya dialihkan ke BPT. Oleh karena itu, syarat utama efektifitas koordinasi yakni melepaskan ego sektoral atau institusi dengan mengutamakan kepentingan organisasi yang lebih besar. Mekanisme Koordinasi Koordinasi dapat di bedakan menjadi dua yakni koordinasi intern dan kooordinasi ekstern. Koordinasi Intern merupakan koordinasi yang dilakukan langsung atasan kepada bawahannya dalam suatu organisasi yang sama. Sedangkan, koordinasi ekstern yaitu koordinasi yang dilakukan oleh suatu organisasi dengan organisasi lainnya. Koordinasi tersebut dapat dapat dilaksanakan bila terdapat kesadaran saling ketergantungan dari yang terkait. Selain itu, koordinasi yang efektif ditentukan oleh pola komunikasi yang digunakannya. Hal ini dibutuhkan untuk mengurangi timbul kesalahpahaman diantara pelaku-pelaku koordinasi. Pakar Orgnaisasi Mintzberg (Mintzerg, 1979) membagi pola hubungan menjadi tiga sebagai berikut : Mutual Adjusment merupakan suatu hubungan antara dua pihak atau lebih untuk saling memahami dan saling menyesuaikan (hubungan ini sangat bersifat sederhana dan tidak terlalu kaku/formal). Direct Supervision yang merupakan salah satu bentuk pengawasan langsung oleh seorang atasan kepada dua atau lebih bawahan untuk menciptakan keserasian hubungan antar bawahannya dan antara atasan dan bawahan (atasan dapat memberikan arahan/pedoman apa, kapan, bagaimana dan dengan siapa sesuatu dilakukan dan bawahan untuk menterjemahkannya menjadi suatu tindakan-tindakan). Standardization yang meliputi standarisasi proses/prosedur/tata kerja, standarisasi skill, dan standarisasi output, dan pekerjaan skill. Dengan standarisasi ini hubungan yang terjadi bukan lagi antar personal langsung tetapi melalui normanorma dan sebagainya, karena standarisasi dalam hal ini dapat diartikan sebagai proses atau bentuk hubungan antara dua orang/bagian atau lebih yang mendasarkan diri pada proses/prosedur kerja yang sudah disepakati bersama. Kesepahaman akan prosedur kerja yang digunakan membuat pekerjaan yang sama dan atau berbeda bisa saling terkait dengan harmonis, karena setiap orang tahu dengan pasti hal-hal yang harus ia lakukan dan atau bagian mana (dari suatu keseluruhan pekerjaan) yang menjadi tugas untuk dikerjakannya.
Aris Munandar Hardiansyah
Standard Operating Procedure SOP sebagai alat mencapai efektifitas koordinasi dalam manajemen internal. SOP merupakan serangkaian panduan teknis yang berisi aliran dan proses kerja dari suatu organisasi. SOP merupakan panduan teknis yang berisi serangkaian instruksi yang menggambarkan aktivitas dan proses kegiatan atau penyelenggaraan tugas dan fungsi dalam organisasi. SOP berfungsi memberikan kejelasan dalam siapa dan apa yang harus dilakukan serta persyaratan apa yang harus dipernuhi dalam proses kegiatan tersebut. Penyusunan SOP dengan baik tentunya akan mengurangi tumpang tindih atau saling lempar tanggung jawab dalam pelaksanaan tugas. Selain itu, SOP tersebut dapat menjadi tolak ukur dalam proses evaluasi atas pelaksanaan pekerjaan. Kinerja birokasi sampai saat ini yang belum optimal. Kondisi tesebut dipengaruhi oleh penataan institusi birokrasi yang tidak mentaati prinsip-prinsip pengorganisasi. Hal ini menyebabkan banyaknya organisasi yang melaksanakan tugas yang sama. Lemahnya koordinasi antar institusi birokrasi pada tataran pemerintah pusat dan daerah memperburuk kinerja birokasi. Oleh karena itu, Untuk menciptakan birokasi yang optimal perlu dilakukan penataan birokasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengorganisasian. Hal lain yang lebih penting adalah melepaskan ego sektoral atau gengsi jabatan dalam koordinasi. Koordinasi berkaitan dengan penempatan berbagai kegiatan yang berbedabeda pada keharusan tertentu, sesuai dengan aturan yang berlaku untuk mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya melalui proses yang tidak membosankan. Koordinasi juga dapat diartikan sebagai suatu usaha kerja sama antara badan, instansi, unit dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu, sehingga terdapat saling mengisi, saling membantu dan saling melengkapi. Sebetulnya di Samsat Palembang I ini seharusnya fungsi koordinasi sudah berjalan dengan sendirinya karena telah ada kerjasama antara Kepolisan,UPTD Dispenda maupun PT Jasa Raharja.. yang sudah dan tengah berjalan, Dari sudut pandang ilmu ekonomi, ke tiga instansi yang mempunyai perbedaan tugas dan tanggung jawab ini sama sama merupakan pusat pendapatan bagi induk organisasinya masing-masing. Kesadaran akan kesamaan tujuan inilah yang akhirnya membuat mereka bekerja sama agar dapat memberikan pelayanan yang terbaik dan optimal kepada wajib pajak kendaraan bermotor yang pada akhirnya akan berdampak pada bertambahnya pendapatan mereka. Alasan peneliti bisa menganggap unit Regident Ranmor , UPTD, maupun unit badan usaha yang ditempatkan di Samsat itu merupakan pusat pendapatan bagi induk organisasinya sebetulnya sederhana sekali. Fakta dilapangan dan di perkuat pula Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2015 menunjukkan bahwa pihak kepolisian mendapatkan dana dari jasa administrasi STNK dari aktivitas Regident Ranmor, UPTD Dispenda mendapatkan dana dari aktivitas PKB dan BBN-KB serta Unit Usaha mendapatkan dana dari aktivitas penerimaan premi SWDKLLJ.
Aris Munandar Hardiansyah
Dimana dana yang didapat itu merupakan pemasukan bagi instansi induknya masing-masing. Bila kesadaran instansi yang terlibat ini terbangun bahwa sesungguhnya mereka mempunyai tugas yang sama maka sebetulnya tidak akan sulit membangun kesepakatan dan kesatuan pengertian akan bidang tugas masingmasing kemudian berkomitmen untuk taat melaksanakan bidang tugas terbebut melalui pemberian pelayanan yang optimal kepada para wajib pajak. Namun sayangnya kesadaran semacam itu berdasarkan hasil observasi peneliti belum disadari sepenuhnya oleh para pihak yang terlibat tersebut. Akibatnya koordinasi pelayanan kepada masyarakatpun menjadi tidak optimal dan tidak tepat waktu sehingga menimbulkan peluang bagi timbulnya para pemburu rente ekonomi yang dikenal dengan sebutan calo di samsat itu. sampai saat ini masih berkeliaran dengan bebasnya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil yang telah peneliti peroleh dari wawancara dari berbagai nara sumber yang menjadi informan di Samsat Kota Palembang 1 maka peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa koordinasi dalam Pelayanan Pajak Kendaraaan Bermotor di Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat ) Kota Palembang 1 yang dilakukan oleh Instansi Polri, Instansi Dispenda dan Instansi PT. Jasa Raharja belum berjalan sebagaimana harapan masyarakat sebagai wajib pajak dan belum memenuhi kriteria pelayanan sebagaimana yang termaktub dalam Permenpan Nomor 15 Tahun 2014 tanggal 2 Mei 2014 Tentang Komponen Standar Pelayanan. Kesimpulan ini diperoleh berdasarkan indikator penelitian yang peneliti jadikan dasar penelitian yaitu indikator koordinasi yang dikemukakan oleh Sugandha (1991) yaitu: 1. Kesepakatan dan kesatuan pengertian. Kesepakatan dan kesatuan pegertian dari masing-masing instansi yang terlibat sebetulnya telah tercantum jelas dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Tentang Penyelenggaraan Sistem Manunggal Satu Atap Kendaraan Bermotor dimana didalamnya telah diatur dengan jelas tupoksi dari masing masing Instansi Polri, Instansi Dispenda dan Instansi PT. Jasa Raharja. Namun dalam praktek lapangannya masih ada yang melakukan pelanggaran baik secara individu maupun secara organisasi dimana pelanggaran ini berdampak pada sistem pelayanan yang semakin tidak jelas 2. Ketaatan Terhadap Bidang Tugas Hampir semua staf pelaksana di Samsat Kota Palembang 1 sudah menyadari apa yang menjadi bidang tugasnya masing-masing, namun dalam hal
Aris Munandar Hardiansyah
3.
4.
5.
pemberian pelayanan terhadap wajib pajak masih memerlukan perbaikan dimasa yang akan datang, Komunikasi Komunikasi antar pimpinan di Samsat Kota Palembang 1 masih sangat minim sekali, setidaknya secara formal. Komunikasi langsung hanya terjadi pada saat Rapat Tim Pembina Samsat yang berlangsung setahun sekali. Ada komunikasi tertulis berupa laporan kegiatan kepada koordinator Samsat setiap bulan.Sementara di kalangan staf pelaksana tidak ada hambatan komunikasi sama sekali karena mereka bisa berinteraksi setiap hari Koordinator Koordinator Samsat sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Sistem Administrasi Manunggal satu atap Kendaraan Bermotor dilaksanakan oleh Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah. Namun karena yang bersangkutan memegang jabatan rangkap disertai pula dengan ruangan koordinator Samsat yang relatif tidak layak, maka koordinator jarang mengadakan rapat koordinasi dan hanya menerima laporan rutin bulanan. Hambatan yang terjadi dalam koordinasi pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor di Samsat Kota Palembang 1 adalah hambatan yang pernah diungkapkan oleh koordinator Samsat dalam Rapat Koordinasi Tim Pembina Samsat Sumsel Tahun 2015 yang meliputi: a. Lemahnya koordinasi antara petugas Polri, dengan UPTD Dispenda dan Jasa Raharja b. Lemahnya pengawasan internal kepada anggota masing-masing c. Kurangnya rasa keperdulian dan kepekaan terhadap hasil dan jaminan pelayanan kepada masyarakat d. Ego sektoral tiap-tiap instansi yang ada di Samsat.
Saran 1. Segera dibuat SOP yang mengatur tentang mekanisme pelayanan dan batas wewenang dari masing masing intansi yang terlibat. Hal ini diharapkan dapat meningkatkkan rasa keperdulian dan kepekaan terhadap pelayanan. 2. Agar sesegara mungkin menambah SDM Profesional terutama di bidang IT guna mempercepat proses pelayanan mengingat saat ini Samsat Kota Palembang 1 hanya memiliki 2 ahli IT 3. Sesegera mungkin membangun ruangan kantor bagi Koordinator Samsat yang representatif dengan harapan agar tersedia sarana rapat diruangan tersebut untuk rapat internal menjadi lebih sering.
Aris Munandar Hardiansyah
4.
5.
6. 7.
Untuk mengatasi lemahnya koordnasi agar menambah frekuensi Rapat Koordinasi Tim Pembina Samsat dari 1 kali menjadi minimal 2 kali dalam setahun, Untuk mengurangi ego sekotral agar membuat kegiatan rutin yang tujuannya merpererat kebersamaan di Samsat antara instansi Kepolisian, Dispenda dan Jasa Raharja, baik dalam bentuk olah raga setiap jum at atau kegiatan outbond. Untuk megatasi lemahnya pengawasan internal agar dibuat pos piket bersama antara propam dengan SPI dari instasi Dispenda dan Jasa Raharja Kasi Penetapan UPTD Dispenda diharapkan juga menguasai IT agar dapat mengawasi pelaksanaan sistem IT di Samsat Kota Palembang 1.
Aris Munandar Hardiansyah
DAFTAR PUSTAKA Agarwal , R,D:1982; Organization and Management , New Delhi: Tata McGrawHill Publishing Company Ltd, Arsyad, Azharl:2002;Pokok-Pokok Manajemen, Pengetahuan Praktis Bagi Pimpinan dan Eksekutif „ Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Boediono, B. 1999. Pelayanan Prima Perpajakan. Jakarta: Rineka Cipta Handayaningrat, Soewarno:1986;Administrasi Pemerintahan dalam Pembangunan Nasional ; Jakarta: Gunung Agung, Hadjan,M. Philipus:1994; Pengantar Hukum Administrasi Indonesia; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hasibuan, Malayu S.P :2001;Manajemen Pasar, Pengetian dan Masalah ;Bandung: Bumi Aksara. Nazir, Moh;: 1985;Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Keban, Yeremias T; 2008:Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori, dan Isu, Edisi Kedua. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Penerbit Gaya Media Kurniadi , Qutti;2011: Pengaruh Koordinasi dan Komunikasi Terhadap Kinerja Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Bangka Tengah, UnIversitas Terbuka, Mardiasmo:2002; Perpajakan; Yogyakarta; Andi Offset Mitzberg, Henny, 1979 Teori Organisasi. Jakarta: Penerbit Erlangga Moekijat:1985;Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen Perusahaan;Bandung: Mandar Maju; Moleong, J, Lexy; 2008; Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Silalahi, Ulber; 2002: Pemahaman Praktis Asas-Asas Manajemen Bandung: Mandar Maju.