KONVERSI SELULOSA MENJADI GULA ALKOHOL MENGGUNAKAN KATALIS LaCr0,7Mo0,3O3±δ (Skripsi)
Oleh SURTINI KARLINA SARI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016
ABSTRAK
KONVERSI SELULOSA MENJADI GULA ALKOHOL MENGGUNAKAN KATALIS LaCr0,7Mo0,3O3±δ
Oleh Surtini Karlina Sari
Pada penelitian ini, katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ telah dipreparasi menggunakan metode sol-gel dan pektin sebagai agen pengemulsi, dilanjutkan dengan kalsinasi pada temperatur 600 dan 700 oC. Katalis telah dikarakterisasi dengan teknik yang berbeda. Katalis digunakan untuk uji konversi selulosa menjadi gula alkohol pada temperatur 100, 120 dan 140 oC serta aliran gas H2 50 ml/menit dari awal proses hidrolisis selulosa selama 1, 2 dan 3 jam. Analisis keasaman dengan metode gravimetri, mengungkapkan bahwa katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ memiliki keasaman 6,36 dan 6,17 mmol piridin/gram pada katalis yang telah dikalsinasi 600 dan 700 o C. Berdasarkan metode Fourier Transform Infra Red (FTIR) situs asam Lewis lebih dominan. Hasil analisis difraksi sinar-X (XRD) katalis terdiri dari beberapa fasa kristal yakni fasa La2(MoO4)3, LaCrO3, dan sedikit LaCrO4 dengan fasa kristal terbanyak berupa LaCrO3 pada katalis 700 oC. Hasil analisis morfologi katalis dengan metode Transmission Electron Microscop (TEM) menunjukkan morfologi permukaan yang heterogen. Hasil analisis distribusi ukuran partikel dengan metode Particle Size Analyzer (PSA) menunjukkan adanya nanopartikel dengan jumlah relatif 15,35% pada kalsinasi 600 oC dan 13,38 % pada kalsinasi 700 oC. Uji Fehling mengindikasikan bahwa hasil terbaik diperoleh menggunakan aliran gas H2 50 ml/menit dan waktu hidrolisis 2 jam. Analisis menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) mengungkapkan bahwa selulosa dikonversi menjadi mannitol dengan konsentrasi tertinggi sebesar 30504,58 ppm dihasilkan dari eksperimen pada kondisi 100 oC, menggunakan katalis yang dikalsinasi pada 700 oC.
ABSTRACT
CELLULOSE CONVERSION INTO SUGAR ALCOHOL USING THE CATALYST LaCr0,7Mo0,3O3 ± δ
By Surtini Karlina Sari
In this study, LaCr0,7Mo0,3O3 ± δ catalysts were prepared using sol-gel method and pectin as an emulsifying agent, followed by calcination at 600 and 700 oC. The catalysts were characterized using different techniques. The catalysts were then tested for conversion of cellulose into alcohol sugars at different temperatures of 100, 120 and 140 oC and 50 ml/min H2 gas flow, for different times of 1, 2, and 3 hours. The acidity by gravimetric methods revealed that LaCr0,7Mo0,3O3 ± δ catalysts have acidity of 6.36 and 6.17mmol pyridine/gram of catalysts calcined at 600 and 700 oC, respectively. According to Fourier Transform Infra Red (FTIR) method the Lewis acid sites are predominant. The results of the analysis of X-ray diffraction (XRD) indicated that catalyst comprises several crystalline phase, including La2(MoO4)3, LaCrO3, and LaCrO4 with the highest crystallinity of LaCrO3 exhibited by the catalyst calcined at 700 oC catalyst. The results of morphology analysis using Transmission Electron Microscop (TEM) method shows heterogeneous morphology of the surface. The results of the particle size distribution analysis by Particle Size Analyzer (PSA) demonstrated the presence of nano-particles with the relative amount of 15.35% in the catalyst calcinated at 600 oC and 13.38% in the catalyst calcinated at 700 oC. Fehling test indicated that the best result was obtained using 50 ml/min H2 gas flow and hydrolysis time for 2 hours. Analysis using High Performance Liquid Chromatography (HPLC) revealed that cellulose was converted into mannitol with the highest concentration of 30504.58 ppm produced from the experiment carried out at 100 oC, using the catalyst calcined at 700 oC.
KONVERSI SELULOSA MENJADI GULA ALKOHOL MENGGUNAKAN KATALIS LaCr0,7Mo0,3O3±δ
Oleh SURTINI KARLINA SARI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA SAINS pada Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 14 Juni 1992 sebagai anak pertama dari empat bersaudara dan merupakan buah hati dari pasangan Muhammad Saman dan Erni.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 1 Kedaton Bandar Lampung pada tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 10 Bandar Lampung pada tahun 2007, dan penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di MAN 1 Bandar Lampung pada tahun 2010. Pada tahun 2010, penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten dosen praktikum Kimia Dasar untuk Jurusan Agroteknologi dan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Unila pada tahun 2014. Pada tahun 2013 penulis
melakukan Kerja Praktik di
Laboratorium Kimia Anorganik-Fisik Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung. Penulis juga aktif di Lembaga Kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Kimia (Himaki) periode 2012/2013 sebagai anggota bidang sosial masyarakat, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FMIPA Unila periode 2012/2013 sebagai anggota muda. Rohani Islam (ROIS) periode 2012/2013 sebagai anggota bidang sosial masyarakat, serta Bina Rohani Islam Mahasiswa (Birohmah) periode 2013/2014 sebagai sekretaris staf sekjen.
Karya kecil ini kupersembahkan sebagai wujud sayang, bakti dan tanggung jawabku
Kepada
Orang-orang yang kusayangi:
Kedua orang tuaku, Mama dan Papa yang selalu mendukung dan mendoakan untuk keberhasilanku,
Adik-adikku Maya Surya Ningsih, Tri Dewi Cahyani, dan Rani Nirmala yang selalu memberi semangat dan dukungan yang luar biasa disetiap langkahku,
Sahabat, Teman, dan Adik-adik yang selalu menemani dan berjuang bersamaku,
Guru-guru yang senantiasa membimbing dan membagi ilmunya untukku,
dan Almamater tercinta.
MOTO
“...Allah akan Mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat... (AlMujadalah: 11)”.
SANWACANA
Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, ridho, dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tidak lupa penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan umat manusia. Skripsi dengan judul “Konversi Selulosa Menjadi Gula Alkohol Menggunakan Katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada: 1.
Dr. Rudy T. M. Situmeang, M.Sc., selaku Pembimbing Utama. Terimakasih karena bapak telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran. Memberikan ilmu pengetahuan, motivasi, arahan, dan nasehat kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2.
Prof. Wasinton Simanjuntak, Ph.D., selaku pembantu pembimbing penulis atas kesediaan waktu, memberikan petunjuk, saran, serta nasehat dalam menyelesaikan skripsi ini.
3.
Dr. Eng. Suripto Dwi Yuwono, M.T., selaku pembahas dan Ketua Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan, kepercayaan, arahan, dan saran demi terselesaikan skripsi ini.
4.
Prof. Warsito, D.E.A., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
5.
Dr. Noviany,S.Si., M.Si., Heri Satria, S.Si., M.Si., Ni Luh Gede Ratna Juliasih, Dian Herasari, serta Seluruh dosen yang telah mengajarkan, membimbing, dan memberikan ilmu dengan tulus.
6.
Ibu Liza Aprilia, S.Si., selaku laboran Kimia Anorganik-Fisik FMIPA Universitas Lampung, yang telah memberikan motivasi kepada penulis.
7.
Bapak Gani dan Ibu Nora selaku administrasi Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
8.
Staf dan karyawan di Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
9.
Papa dan Mama terimakasih banyak untuk bantuan, usaha, kerja keras, nasehat, dan senantiasa berkorban tanpa kenal lelah serta usaha untuk selalu memberikan yang terbaik bagi penulis. Sosok yang sangat tulus dan membanggakan.
10. Nekno Papa (Alm) dan Nekno Mama, Makcik Zaura dan Bakcik Son, Bicik Heni Ira Wati, S.Pd dan Om Febri, Mang Limurzikal dan cik Dina, Cik Rukmila dan Om Ir. Handrason Napoleon, Wak Nazili dan makwo Elun, Wak Sudirman Lintang dan Bude Mis Ria, S.E., Bakwo Sudin dan Makwo, Wak Mat dan Makwo, Abacik Mis Nardi dan Makcik Ermi, Om Amin dan Tante Ida, Om Iskandar dan tante Depi. Terimakasih atas dukungan baik moril maupun materil.
11. Adik-adikku Maya Surya Ningsih, Tri Dewi Cahyani, Rani Nirmala, Yepi Tri Apriani, Meita Indriani, atas doa, bantuan, dan dukungan bagi penulis. Juga seluruh sepupuku. Terimakasih telah membersamai dan memberikan keceriaan. 12. Adik-adikku Intan, Ulis, Ema, Alif, Sarah, Fabian, Tegar, Nora, Inayah, Inka, Fira, Fiyo, yang selalu memberikan semangat baru untuk penulis. Semoga sukses dan bahagia selalu. 13. Sahabat sekaligus partner penelitian Lolita Napatilova Albert Kahar, S.Si. Terimakasih untuk bantuan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini. Sukses selalu untuk Iyi’. 14. Kakak dan adik-adik seperjuanganku, Septhian Try Sulistiyo, M.Si., Bapak Rodhi, M.Si., Dani Agus Setiawan, S.Si., Sukmawibowo, S.Si., Richa Agustine, S.Si., Rizki Amalia, S.Si., Eva Dewi Novita, S.Si., Fatma Maharani, S.Si., Sanjaya Yudha Gautama, calon S.Si., Feby Rinaldo Pratama, calon S.Si., Ana Maria Kristiani, calon S.Si., dan tujuh adik ku yang cantik yang akan memulai praktik kerjanya. Sukses dan bahagia selalu untuk kalian. Semoga Tuhan YME membalas kebaikan kalian yang tidak terhingga. Juga Eka, Sofian, Edi, dan rekan-rekan yang telah banyak membantu kami. Terimakasih dan sukses selalu. 15. Sahabatku Ariyanti, S.Si., Fajria Faizah, S.Si., Kristi Arina, S.Si., Hapin Afriani, S.Si. calon M.Si. Silvana Maya Pratiwi, S.Si., Rani Anggraini, S.Si., Faradila Syani, S.Si. calon M.Si., Nopitasari, S.Si., Nanda Nurrafiana, S.E., Ruli Prayetno, S.Si., Rofiqul Umam, M.Sc. Dwi Puji Astuti, M.Si., dan seluruh sahabat-sahabatku Kimia 2010 Chemut (Chemistry Imut). Terimakasih atas persahabatan, kebersamaan, kegembiraan, bantuan, dan kekeluargaan yang terjalin selama ini. Sukses untuk kalian semua.
16. Pimpinan, staf, dan karyawan UPT Laboratorium Biomassa Terpadu. Atas bantuan dan kerjasama selama penulis melakukan penelitian dan analisis. 17. Keluarga besar Himaki FMIPA Kimia atas persaudaraan yang terjalin selama ini. 18. Keluarga Besar ROIS FMIPA Unila atas kebersamaan dan kekeluargaan yang terjalin selama ini. 19. Keluarga Besar Birohmah Unila periode kepengurusan 2013/2014 atas kebersamaan dan kekeluargaan yang terjalin selama ini. 20. Mbak Dwi, Mbak Aulia, Mbak Ningrum, S.Si., Mbak Erma Febrianti, S.Pd., Mbak Oktavianti Mala, S.E., Mbak Rini Fathonah,S.H., M.H., Ummi Herawati, Mbak Okta magister IPB, Bapak Bram Marta, S.H. M.Kn., Bapak Dancik Ibrahim pembelajar sejati yang semangatnya tak terhingga, Bapak Sugianto, Bapak Mugiyanto, Bapak Wisnu, Bapak Wahyu, Bapak Budi, Bapak Rahmat, dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang secara tulus memberikan bantuan moril dan materil kepada penulis.
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI …………………………………………….............
i
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………
iii
DAFTAR TABEL………………………………………………..
v
I.
PENDAHULUAN …………………………………………… A. Latar Belakang ……………………………………………. B. Tujuan Penelitian ………………………………………….. C. Manfaat Penelitian …………………………………………
1 1 4 4
II.
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………….. A. Nanopartikel……………………………………………….. B. Katalis LaCr0,7Mo0,3O3…………………………………….. C. Preparasi Katalis........……………………………………… D. Pektin………………….……..…………………………….. E. Selulosa………..…………………………………………… F. Gula Alkohol….……………………………………………. G. Karakterisasi Katalis ………………………………………. 1. Keasaman Katalis............................................................. 2. Struktur Katalis ................................................................ 3. Morfologi Permukaan Katalis........................................... 4. Ukuran Partikel Katalis..................................................... H. High Performance Liquid Chromatography (HPLC)………
5 5 6 8 12 14 17 21 21 24 25 26 27
III. METODELOGI PENELITIAN ………………………….... A. Tempat dan Waktu Penelitian ……………………………. B. Alat dan Bahan …………………………………………… C. Prosedur Kerja ………………………………………......... 1. Pembuatan Nanokatalis ………………………………... 2 Karakterisasi Katalis …………………………………... a. Analisis Keasaman Katalis ……………………….... b. Analisis Struktur Katalis ………………………….... c. Analisis Morfologi Katalis……………………..…… d. Analisis Distribusi Ukuran Partikel…………………
35 35 35 36 36 39 39 40 40 41
ii
3. Uji Katalitik…………………………………………... a. Preparasi Sampel…………………………………… b. Reaksi Katalitik…………………………………….. c. Uji Fehling………………………………………….. d. Analisis dengan KCKT………………………………
41 41 42 43 43
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………......
44
A. Pembuatan Nanokatalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ…………………… B. Karakterisasi Katalis…………………………………………. 1. Analisis Keasaman Katalis………………………………. 2. Analisis Struktur Katalis …………………………........... 3. Analisis Morfologi Katalis……………………..………… 4. Analisis Distribusi Ukuran Partikel……………………… C. Uji Katalitik……………………………………………………
44 47 47 52 55 57 58
V. SIMPULAN DAN SARAN…………………………………..
66
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….
68
LAMPIRAN………………………………………………………..
74
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Struktur umum perovskite ABO3 ................................................................
7
2. Struktur α-Galakturonat, Metilasi α-Galakturonat , dan Pektin………… ..
12
3. Struktur Selulosa .........................................................................................
15
4. Konversi katalitik selulosa menjadi gula alkohol…………………………
17
5. D-Glukosa (Aldoheksosa) dan D-Fruktosa (Ketoheksosa) .........................
18
6. Manitol, Sorbitol, dan xilitol .......................................................................
19
7. Skema instrumentasi FTIR…………………………………………………
22
8. Asam Bronsted dan Asam Lewis pada katalis ............................................
23
9. Skema Instrumen TEM ...............................................................................
26
10. Skema alat HPLC ………………………………..……………..……….
30.
11. Kromatogram hasil uji katalitik konversi selulosa………………………
32
12. Kromatogram dari gula alkohol, monosakarida, disakarida ......................
32
13. Profil kalsinasi sampai temperatur 600˚C...................................................
38
14. Profil kalsinasi sampai temperatur 700˚C...................................................
38
15. Rangkaian alat utama hidrolisis.......................................................... .......
42
16. Gel LaCr0,7Mo0,3O3±δ..................................................................................
45
iv
17. Padatan Prekursor LaCr0,7Mo0,3O3±δ ..........................................................
46
18. Serbuk padatan LaCr0,7Mo0,3O3±δ setelah proses kalsinasi.........................
47
19. Spektra Infra Merah Katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ ..........................................
48
20. Difraktogram pola difraksi katalis..............................................................
54
21. Mikrograf TEM katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ...................................................
56
22. Grafik % konversi selulosa Katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ................................
59
23. Hasil Uji Fehling........................................................................................
60
24. Kromatogram Mannitol pada katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ temperatur kalsinasi 600 oC.....................................................................
63
25. Kromatogram Mannitol pada katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ temperatur kalsinasi 700 oC.....................................................................
64
26. Tahapan reaksi konversi selulosa menjadi gula alkohol secara katalitik....
65
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Uji katalitik konversi selulosa dengan katalis NixFe2-xO4 ( variable x=0,2; 0,5; 0,8 dan 1) pada suhu 120˚C dan 140 ⁰C ........................
31
2. Keasaman Katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ……………………………….. .
48
3. Puncak-puncak representatif masing-masing difraktogram acuan pada katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ……………………………………….
53
4. Puncak-puncak representatif difraktogram katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ..
54
5. Distribusi ukuran partikel katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ yang dikalsinasi pada temperatur 600 ⁰C………………………..….
57
6. Distribusi ukuran partikel katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ yang dikalsinasi pada temperatur 700 ⁰C……………………………
58
7. Hasil konversi selulosa dengan katalis LaCr0,7Mo0,3O3……………
61
1
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Biomassa telah banyak menarik perhatian diantaranya sebagai sumber daya yang ramah lingkungan dan dapat dikembangkan untuk produksi bahan bakar serta berbagai produk kimia. Biomassa selulosa tidak dapat dicerna oleh manusia tidak seperti pati atau minyak serta sumbernya banyak terdapat di alam. Maka dari itu, biomassa selulosa sebagai sumber daya alam yang menjanjikan dapat dikonversi menjadi bahan kimia yang lebih bermanfaat diantaranya, dapat digunakan sebagai bahan penghasil bioenergi dan senyawa kimia lainnya (Ladisch et al., 1980).
Selulosa termasuk dalam polimer alam yang berasal dari reaksi fotosintesis CO2 dan H2O. Selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan menggunakan asam atau enzim. Meskipun hidrolisis selulosa menjadi gula alkohol masih mengalami kendala menuju pemanfaatan energi selulosa yang ekonomis dan efisien, banyak peniliti telah memfokuskan peningkatan hidrolisis selulosa menjadi gula alkohol dan bahan kimia yang bermanfaat (Fukuoka and Dhepe, 2006). Di antara berbagai jalur reaksi kimia, hidrolisis dan hidrogenolisis dianggap menjadi jalur yang menjanjikan untuk konversi selulosa (Park et al., 2013).
2
Usaha konversi selulosa telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya, penguraian selulosa menjadi gula alkohol seperti CMC (Heydarzadeh, 2009), xilitol (Ghindea et al., 2010), asam levulinat (Lin et.al., 2010), heksitol (Sels et al., 2012); glukosa (Furnazukuri, 2013), fruktosa, asam laktat (Wang et al., 2013), dan sorbitol (Lee et al, 2014).
Beberapa peneliti telah menunjukkan kinerja katalis padatnya untuk mengkonversi selulosa. Fukuoka dan Dhepe., 2006 melaporkan bahwa konversi selulosa menggunakan katalis Pt/Al2O3 dengan perolehan rendemen sorbitol 32% dan manitol 6,6% pada temperatur reaksi 463 oC dan tekanan H2 5,0 MPa. Selain itu, HPMo juga dapat mengkatalisis konversi selulosa menjadi asam glikolat dengan rendemen 49,3% dan katalis MoO3 dengan rendemen 24,5% pada temperatur 180 oC dan dialiri gas O2 0,5 MPa selama 1 jam menggunakan pelarut air (Han et al., 2013). Katalis CrCl3 juga ditemukan efektif untuk konversi selulosa menjadi asam levulinat, dengan rendemen optimum 67 mol %, pada temperatur 200 oC setelah 180 menit (Lin et al., 2010).
Aktivitas katalis yang optimal dapat meningkatkan hasil konversi. Ukuran nanopartikel pada katalis memiliki aktivitas yang lebih baik karena luas permukaan pada nanokatalis cukup tinggi dengan rasio atom-atom yang menyebar merata pada permukaan sehingga memudahkan transfer massa reaktan untuk dapat berdifusi ke dalam situs aktif katalis di dalam pori-pori (Widegren et al., 2003). Metode sol-gel merupakan salah satu metode preparasi yang dapat menghasilkan katalis berukuran nano. Sebagai contoh preparasi nanokatalis α
3
Fe2O3 menggunakan pelarut asam sitrat dan (PEG)-6000 menghasilkan ukuran partikel sebesar 30 nm pada kalsinasi 600 oC (Wu and Wang, 2011).
Konversi selulosa menjadi gula alkohol menggunakan katalis logam transisi dengan komposisi perovskite telah dilakukan sebelumnya menggunakan katalis NixFe2-xO4 dengan variable x= 0,5 pada suhu 120 oC dan variable x= 1 pada suhu 140 oC, hasil uji katalitik menunjukkan bahwa katalis dapat mengkonversi selulosa menjadi sorbitol, manitol, dan xilitol (Amalia dkk, 2013). Selain itu, telah dilakukan juga konversi fruktosa menjadi manitol menggunakan katalis LaCr1xNixO3±δ
(x= 0,06; 0,50; 0,94) yang dikalsinasi pada suhu 600 oC dan
LaCr0,06Ni0,94O3±δ yang dikalsinasi pada suhu 800 oC, hasil uji katalitik menunjukkan bahwa katalis dapat mengkonversi fruktosa menjadi manitol (Agustine dkk., 2009).
Berdasarkan penelitian di atas, maka pada penelitian ini akan dipreparasi nanokatalis dengan metode sol-gel menggunakan pengemulsi pektin. Selanjutnya dilakukan freeze dry dan kalsinasi, dengan suhu kalsinasi 600 oC dan 700 oC, serta uji aktivitas nanokatalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ dalam konversi selulosa pada suhu 100 o
C, 120 oC, dan 140 oC (Amalia et al., 2012) untuk menghasilkan gula alkohol
seperti sorbitol, manitol, dan xilitol. Selanjutnya, katalis akan dikarakterisasi seperti, penentuan keasaman situs aktif katalis menggunakan metode gravimetri dan Fourier Transform Infra Red (FTIR), fasa kristalin menggunakan metode difraksi sinar-X (XRD), morfologi permukaan katalis menggunakan Tansmission Electron Microscopy (TEM), distribusi ukuran partikel katalis menggunakan Particle Size Analyzer (PSA), serta aktivitas nanokatalis dalam konversi selulosa
4
menjadi gula alkohol atau produk lain dianalisis menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC).
B.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: 1.
Mempelajari cara pembuatan nanokatalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ yang dikalsinasi pada temperatur 600 oC dan 700 oC
2.
Menguji aktivitas nanokatalis terhadap konversi selulosa menjadi gula alkohol pada temperatur reaksi 100 oC, 120 oC, dan 140 oC.
3.
Menganalisa karakteristik nanokatalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ terhadap hasil konversi selulosa.
C.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai penggunaan nanokatalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ serta menguji kemampuan nanokatalis tersebut pada proses konversi selulosa menjadi sorbitol, manitol, dan xilitol.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Nanopartikel
Nanopartikel dapat terjadi secara alamiah ataupun melalui proses sintesis oleh manusia. Nanopartikel merupakan partikel mikroskopis yang memiliki ukuran antara 1-100 nm (Mebashi, 2010). Sintesis nanopartikel dapat dilakukan dalam fasa padat, cair, maupun gas. Proses sintesis dapat berlangsung secara fisika atau kimia. Proses sintesis secara fisika tidak melibatkan reaksi kimia, yang terjadi hanya pemecahan material besar menjadi material berukuran nanometer, atau pengabungan material berukuran sangat kecil, seperti kluster, menjadi partikel berukuran nanometer tanpa mengubah sifat bahan. Proses sintesis secara kimia melibatkan reaksi kimia dari sejumlah material awal (precursor) sehingga dihasilkan material lain yang berukuran nanometer. Contohnya adalah pembentukan nanopartikel garam dengan mereaksikan asam dan basa yang bersesuaian (Abdullah, 2008).
Material nanopartikel menunjukkan potensi sebagai katalis karena material nanopartikel memiliki area permukaan yang luas dan rasio-rasio atom yang tersebar secara merata pada permukaanya, sifat ini menguntungkan untuk
6
transfer massa di dalam pori-pori dan juga menyumbangkan antar muka yang besar untuk reaksi-reaksi adsorpsi dan katalitik (Widegren and Finke, 2003).
B. Katalis LaCr0,7Mo0,3O3 Katalis merupakan zat yang mampu meningkatkan laju suatu reaksi kimia agar reaksi tersebut dapat berjalan lebih cepat. Katalis mempercepat reaksi dengan cara menurunkan energi aktivasi reaksi. Penurunan energi aktivasi tersebut terjadi akibat interaksi antara katalis dengan reaktan. Katalis menyediakan situs-situs aktif yang berperan dalam proses reaksi. Situs-situs aktif ini dapat berasal dari logam-logam yang terdeposit pada pengemban atau dapat pula berasal dari pengemban sendiri. Logam-logam tersebut umumnya adalah logam transisi yang menyediakan orbital d kosong atau elektron tunggal yang akan disumbangkan pada molekul reaktan sehingga terbentuk ikatan baru dengan kekuatan ikatan tertentu (Campbell, 1998).
Perovskite oksida memiliki adsorpsi, asam-basa, serta material redoks, yang mengakibatkan sifat katalitiknya menarik (Pena, 2001). Studi pertama yang berkaitan dengan penggunaannya sebagai katalis dilakukan oleh Parravano et al. dan Dickens et al. pada tahun 1952 dan 1965. Sejak itu, perovskite oksida dievaluasi dalam berbagai reaksi katalitik misalnya, oksidasi hidrokarbon, senyawa oksigen atau halokomponen hidrogenasi CO atau CO2; hidrogenolisis hidrokarbon, proses fotokatalitik dan elektrokatalitik (Pena, 2001). Contoh struktur umum perovskite pada Gambar 1 berikut.
7
Gambar 1. Struktur umum perovskite ABO3 (Navrotsky et al., 1989). Subtitusi parsial dapat dilakukan dengan mengacu pada rumus A1-xA’xB1yB’yO3
(Royer et al., 2005). Substitusi parsial pada kation La3+ telah banyak
dilakukan baik dengan kation yang bervalensi sama maupun berbeda, seperti Sr2+ (Wei et al., 2008), Ca2+ (Merino et al., 2005), dan Ce4+ (Bialobok et al., 2008). Substitusi tersebut sangat berpengaruh terhadap jumlah kekosongan oksigen (mengakibatkan terjadinya cacat kristal) dan mobilitas oksigen pada oksida (Tsipis et al., 2005).
Stojanovic, 1997 melaporkan studi efek substitusi Ni untuk Cr pada strukturnya, kestabilan dan reduksi di bawah kondisi tekanan O2 rendah dengan komposisi permukaan LaCr1-xNixO3 dengan 0 ≤ x ≤ 1 untuk reaksi pembakaran metana (Purnomo, 2003). Menurut Hofer dkk, 1994 dan Stojanovic dkk, 1997, substitusi nikel pada LaCrO3 membolehkan penggunaan kisi pereduksi kuat, yang meningkatkan aktivitas katalitik dan konduktivitasnya (Stojanovic dkk, 1997). Selanjutnya, telah dilaporkan juga pembuatan dan karakterisasi katalis perovskite LaCr1-xNixO3±δ (x= 0,06; 0,50; 0,94) untuk uji katalitik pada konversi fruktosa (Agustine, 2009).
Pada mekanisme reaksi menggunakan katalis padatan, terjadi adsorpsi molekul-molekul reaktan pada permukaan padatan logam yang memiliki
8
elektron yang tidak berpasangan pada orbital d merupakan dasar yang tepat dalam aksi katalitik permukaan logam. Logam Mo merupakan unsur transisi dari golongan VIB pada Sistem Periodik Unsur yang mempunyai sifat relatif inert atau sedikit bereaksi dengan larutan asam dan alkali. Kemampuan logam Mo dalam mengkatalisis reaksi sangat berkaitan dengan keberadaan elekton pada orbital d yang berbaur dengan keadaan elektronik orbital s dan p yang terdekat, sehingga timbul keadaan elektronik berenergi rendah dalam jumlah yang besar dan orbital kosong yang sangat ideal untuk reaksi katalis (Hegedus, 1987 dalam Yusnani, 2008).
C. Preparasi Katalis
Pemilihan metode preparasi yang tepat akan memberikan karakteristik katalis yang diinginkan seperti mempunyai aktivitas, selektivitas dan stabilitas yang tinggi. Tujuan utama dari metode preparasi katalis adalah mendapatkan struktur definit, stabil, mempunyai luas permukaan yang tinggi dan situs aktif yang lebih terbuka, sedangkan penggunaan pendukung seperti pelarut dilakukan untuk lebih memberikan peluang kepada fasa aktif dalam reaksi dan mendistribusikan secara homogen pada permukaan penyangga. Dalam hal ini diharapkan terbentuk dispersi yang tinggi untuk mendapatkan luas permukaan spesifik yang besar dan aktivitas yang maksimal. Beberapa jenis metode preparasi katalis adalah sebagai berikut .
9
1. Sol Gel Metode sol-gel merupakan proses pembuatan nanopartikel yang melalui perubahan sistem dari suspensi koloid (fasa sol) menjadi padatan atau semi padatan (fasa gel). Metode ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain: konsumsi energi yang rendah karena rendahnya temperatur proses, dan investasi peralatan yang relatif murah dibandingkan teknik deposisi (Yuwono, 2011).
Preparasi katalis heterogen dengan proses sol-gel melibatkan tahapan pembentukan sol dan kemudian menjadi gel. Sol gel adalah suatu suspensi koloid dari partikel yang digelkan ke bentuk padatan. Sol adalah suspensi cair dari partikel padat dengan ukuran 1 nm – 1 mikron, dapat diperoleh dari hidrolisis dan kondensasi parsial prekursor seperti sebuah garam anorganik atau logam. Kondensasi lebih lanjut dari partikel sol menjadi jaringan tiga dimensi yang berbentuk gel, yang merupakan material fasa ganda dengan enkapsulat padat dan pelarut (Mills et al., 1997; Radic et al., 2004).
Proses sol-gel melibatkan transisi menggunakan prinsip pada sistem dari fasa sol menjadi fasa gel yang didasarkan pada kemudahan memasukkan satu atau dua logam aktif secara bersamaan dalam prekursor katalis. Metode sol gel digunakan secara luas dalam sintesis katalis berpendukung logam karena kemudahannya dalam memasukkan satu atau lebih logam aktif sekaligus dalam prekursor katalis (Lambert and Gonzalez, 1998). Keuntungan dari metode sol gel yaitu:
10
a. Dispersi tinggi dari spesi aktif yang tersebar secara homogen pada permukaan katalis. b. Tekstur pori yang dihasilkan memberikan kemudahan untuk berdifusi dari reaktan menuju ke situs aktif. c. Luas permukaan tinggi. d. Peningkatan stabilitas termal (Lecloux and Pirard, 1998; Lambert and Gonzalez, 1998).
2. Freezer-Dry Penggunaan metode freezer-dry dalam katalis yaitu untuk menghilangkan air hidrat dalam rongga bahan katalis tanpa merusak struktur jaringan yang telah terbentuk dari bahan tersebut. Air yang terperangkap dalam rongga bahan katalis diubah menjadi air beku dan selanjutnya diubah menjadi uap air tanpa melalui intermediat air cair. Dasar sublimasi ini melibatkan absorbsi panas oleh sampel beku guna menguapkan air, pemindahan dan pengumpulan uap air ke dalam suatu kondensor, menghilangkan panas sebagai akibat pembentukan es dari kondensor dengan sistem refrigerator, terjadi keseimbangan antara panas yang diabsorbsi oleh sampel untuk menguapkan air dan memindahkan panas dari kondensor untuk mengubah uap air menjadi es. Inti dari proses freezer-dry adalah keseimbangan antara panas yang diadsorpsi oleh sampel untuk menguapkan air dan memindahkan panas dari kondensor untuk mengubah uap air menjadi es. Efisiensi freezer-dry bergantung pada luas permukaan dan ketebalan sampel, temperatur kondensor dan tekanan yang diperoleh, titik eutektik dan konsentrasi terlarut dari sampel. Laju freezer-dry berbanding lurus terhadap tekanan uap dan tekanan
11
uap bergantung pada kedua temperatur eutektik dan konsentrasi terlarut sampel. Sebagai contoh, suatu larutan NaCl akan kering–beku pada laju lebih lambat dari air murni. Temperatur eutektik NaCl adalah -21oC dan pada temperatur ini tekanan uap kira-kira 1/16 tekanan uap pada 0 oC. Meskipun temperatur eutektik tidak bergantung pada konsentrasi NaCl, tekanan uap air akan turun ketika konsentrasi NaCl naik. Kenyataan ini disebabkan konsentrasi terlarut bertambah, luas permukaan sampel beku yang ditempati air berkurang. Pada umumnya, larutan atau sampel biologis akan mempunyai temperatur eutektik -10 hingga -25 oC. Bagaimanapun, jika ada sampel gula seperti glukosa atau jika sampel jaringan hewan atau tanaman, temperatur eutektik bisa serendah -30 hingga -50 oC (Manual Book of Freezer-Dry, 1996). Keuntungan menggunakan metode freezer-dry yaitu hasilnya homogen, murni, dengan ukuran partikel dapat diproduksi kembali serta memiliki aktivitas yang seragam (Bermejo et al., 1997).
3. Kalsinasi Proses kalsinasi merupakan pemanasan zat padat di bawah titik lelehnya untuk menghasilkan keadaan dekomposisi termal dari transisi fasa lain selain fasa lelehan. Kalsinasi diperlukan sebagai penyiapan serbuk untuk proses lebih lanjut dan memperoleh ukuran partikel yang optimum serta menggunakan senyawa dalam bentuk garam atau dihidrat menjadi oksida, membentuk fase kristal. Peristiwa yang terjadi pada proses kalsinasi yaitu: 1. Dekomposisi komponen prekursor pada pembentukan spesi oksida. Proses pertama terjadi pelepasan air bebas (H2O) dan terikat (OH) berlangsung sekitar suhu 100oC dan 300oC.
12
2. Pelepasan gas CO2 yang berlangsung sekitar suhu 600 oC, terjadi pengurangan berat secara berarti dan terjadi reaksi antara oksida yang terbentuk dengan penyangga. 3. Sintering komponen prekursor. Pada proses ini struktur kristal sudah terbentuk namun ikatan di antara partikel serbuk belum kuat dan mudah lepas (Pinna, 1998).
D. Pektin Pektin merupakan polisakarida kompleks tersusun atas polimer asam α Dgalakturonat yang terikat melalui ikatan α 1,4-glikosidik. Pektin terkandung di dalam dinding sel primer yaitu diantara selulosa dan hemiselulosa (Nelson et al.,1977). Sumber pektin komersil paling utama yaitu pada buah-buahan seperti kulit jeruk (25-30%), kulit apel kering (15-18%), bunga matahari (1525%) dan bit gula (10-25%) (Ridley et al., 2001). Struktur pektin ditunjukkan pada Gambar 2 berikut ini.
Gambar 2. (a) Struktur α-galakturonat, (b) Stuktur metilasi α-galakturonat (c) Struktur Pektin
13
Pektin tidak larut di dalam alkohol dan aseton. Sifat penting pektin adalah kemampuannya membentuk gel. Kandungan metoksi pada pektin mempengaruhi kelarutannya. Kadar metoksi merupakan jumlah metanol di dalam 100 mol asam galakturonat. Kadar metoksi berperan dalam menentukan sifat fungsional dan mempengaruhi struktur serta tekstur dari gel pektin (Constenla and Lozano, 2003). Pektin dengan kadar metoksi tinggi (79%) akan mudah larut di dalam air serta membentuk gel dengan gula dan asam pada konsentrasi gula 58-70%, sedangkan pektin dengan kadar metoksi rendah (3-6%) mudah larut di dalam alkali dan asam oksalat serta tidak mampu membentuk gel dengan asam dan gula tetapi dapat membentuk gel dengan adanya ion-ion kalsium. Pembentukan gel terjadi melalui ikatan hidrogen di antara gugus karboksil bebas dan di antara gugus hidroksil (Caplin, 2004). Pektin bersifat asam dan koloidnya bermuatan negatif karena adanya gugus karboksil bebas. Larutan 1% pektin yang tidak ternetralkan akan memberikan pH 2,7-3,0. Larutan pektin stabil pada pH 2,0-4,0. Pada pH lebih dari 4,0 atau kurang dari 2,0, viskositas dan kekuatan gelnya akan berkurang karena terjadi depolimerisasi rantai pektin. Pektin dapat mengalami saponifikasi dan degradasi melalui reaksi β-eliminasi pada kondisi basa (Nelson et al. 1977).
Pemanfaatan pektin cukup luas dan berguna dalam industri pangan maupun nonpangan. Pektin berkadar metoksil tinggi digunakan untuk pembuatan selai dan jeli dari buah-buahan, pembuatan kembang gula bermutu tinggi, pengental untuk minuman dan sirup buah-buahan, serta digunakan dalam emulsi flavor dan saus salad. Pektin dengan kadar metoksil rendah biasa
14
digunakan dalam pembuatan saus salad, puding, gel buah-buahan dalam es krim, selai, dan jeli. Pektin berkadar metoksil rendah efektif digunakan dalam pembentukan gel saus buah-buahan beku karena stabilitasnya yang tinggi pada proses pembekuan, thawing dan pemanasan, serta digunakan sebagai penyalut dalam banyak produk pangan (Glicksman 1969). Dalam industri farmasi, pektin digunakan untuk menyembuhkan diare dan menurunkan tingkat kolesterol darah. Pektin bisa digunakan sebagai zat penstabil emulsi air dan minyak. Pektin juga berguna dalam persiapan membran untuk ultrasentrifugasi dan elektrodialisis. Dalam industri karet pektin berguna sebagai bahan pengental lateks. Pektin juga dapat memperbaiki warna, konsistensi, kekentalan, dan stabilitas produk yang dihasilkan (Towle and Christensen, 1973). Pada penelitian ini, pektin digunakan sebagai pengkhelat yang dapat mengikat ion logam pada preparasi katalis.
E. Selulosa
Selulosa merupakan polisakarida yang terdapat dalam tumbuhan, yang berfungsi sebagai bahan pembentuk dinding sel dan serat tumbuhan dengan rumus empiris (C6H12O5)n. Struktur kimianya terdiri dari glukosa anhidrat yang dihubungkan oleh ikatan β‐1,4-glikosidik. Struktur selulosa ditunjukkan dalam gambar 3 berikut.
15
Gambar 3. Struktur Selulosa
Selulosa tidak berwarna, tidak berbau dan polimer padat tidak beracun, ia memiliki beberapa sifat yang menjanjikan yaitu, kekuatan mekanik, biokompatibilitas, hidrofilisitas, stabilisasi termal, kapasitas penyerapan tinggi dan pertimbangan penampilan optik (Klemm, 1998). Sifat ini memungkinkan selulosa diterapkan ke berbagai bidang (Hu, 2013). Oleh karena itu banyak peneliti yang berusaha keras untuk mengeksplorasi produksi bahan bakar dan bahan kimia dari selulosa (Zhang, 2014).
Unit glukosa lebih erat terikat oleh ikatan hidrogen intramolekul dengan jaringan luas. Panjang rantai molekul selulosa berkisar 100 - 14000 unit. Perbedaan jenis ikatan kimia dan struktur kristal polisakarida menyebabkan sifat fisik dan kimia juga berbeda (Zhang, 2001) misalnya, pati juga merupakan polisakarida dengan rumus umum (C6H12O5) sama seperti selulosa. Namun, unit molekul glukosa pada pati (amilosa) dihubungkan dengan ikatan α-1,4-glikosidik atau ikatan α-1,6 glikosidik (amilopektin) (Prabaharan, 2010). Perbedaan ini memiliki efek mendalam pada struktur tiga dimensi dan reaktivitas molekul biopolimer. Seperti ikatan α-1,4 glikosidik di
16
pati lebih mudah diserang oleh asam atau enzim. Dengan demikian, pati menggunakan katalis asam atau enzim lebih mudah dipecah menjadi monomer glukosa daripada selulosa. Keuntungan yang didapat misalnya, fermentasi pati lebih mudah untuk menghasilkan etanol daripada selulosa (Farrell, 2006; Service, 2010) .
Namun, dalam hal kelimpahan dan ketersediaan sumber daya dan dampak pada sedikitnya pasokan makanan, bahan-bahan selulosa sebagai bahan baku lebih praktis dan berkelanjutan untuk produksi bahan bakar dan bahan kimia. Selulosa banyak ditemukan pada limbah hasil pertanian, antara lain sekam padi sekitar 58%, kulit batang sagu 56,86%, tongkol jagung 44,9%, kayu keras 40-45%, kayu lunak 38-49%, tandan kosong kelapa sawit 36-42%, rumput esparto 33-38%, ampas tebu 32-44%, jerami gandum 29-37%, jerami padi 28-36% dan bambu sekitar 26-43% (Johanson et al., 1987). Dalam konteks ini, konversi katalitik selulosa untuk bahan bakar dan bahan kimia lebih menarik dan menjanjikan daripada sumber biomassa lain seperti pati. (Danner et al., 1999; Kwon et al., 2011; Zhou et al., 2011).
Selulosa dapat dimanfaatkan untuk produksi gula alkohol seperti sorbitol, manitol, xilitol dengan bantuan katalis. Selulosa dapat menghasilkan sorbitol dengan rendemen 71,1% menggunakan katalis yang mengandung gugus sulfonat dan nanopartikel Ru (Lee et al, 2011). Konversi selulosa menjadi sorbitol dengan rendemen 32 % dan manitol dengan rendemen 6,6% menggunakan katalis Pt/Al2O3 (Fukuoka et al., 2006). Selain gula alkohol, selulosa dapat diubah menjadi beberapa senyawa kimia, diantaranya etilen
17
glikol sebesar 60% dengan katalis tungsten karbida yang dipromosikan dengan sejumlah kecil nikel (Ji et al., 2008), asam levulinat 67% menggunakan katalis CrCl3 dengan waktu 180 menit pada temperatur reaksi 200oC (Peng et al., 2010), asam laktat 60% dengan katalis timbal (II) pada temperatur reaksi 190oC (Wang et al., 2013) dan 5-hidroksi metil furfural menggunakan kromium triklorida dengan perolehan rendemen sebesar 43,7% dengan waktu 90 menit pada temperatur reaksi 140oC (Wang et al., 2014).
F. Gula Alkohol
Gula alkohol, seperti sorbitol dan manitol, digunakan dalam gas bahan bakar (gas H2 sintetik), cairan alkana, bahan bakar cair dan untuk memproduksi bahan kimia seperti etilen glikol dan polietilen glikol. Selulosa terdiri dari unit D‐glukosa yang dihubungkan oleh ikatan β‐14‐glikosidik. Struktur ini mirip dengan gula alkohol. Oleh karena itu, konversi langsung selulosa menjadi gula alkohol memiliki nilai ekonomi dan energi yang efisien (Jie et al., 2013). Konversi katalitik selulosa menjadi gula alkohol adalah dua tahapan proses, yang meliputi hidrolisis selulosa menjadi gula dilanjutkan hidrogenasi gula menjadi gula alkohol (Gambar 4).
Gambar 4. Konversi katalitik selulosa menjadi gula alkohol
18
Fukuoka dan Coworkers melaporkan bahwa selulosa dapat dikonversi menjadi gula alkohol dengan bantuan katalis logam, dan diperoleh rendemen gula alkohol 31% menggunakan katalis Pt/Al2O3 dengan kondisi reaksi pada 190oC dan 5MPa H2, selama 24 jam. Mereka menyarankan bahwa selulosa diawali dengan reaksi hidrolisis untuk menghasilkan glukosa menggunakan bantuan situs asam dan gas H2. Kemudian hidrogenasi turunan glukosa menggunakan katalis logam Pt (Fukuoka, 2006).
Pada reaksi katalitik selulosa, sebelum diubah menjadi gula alkohol, selulosa akan diubah menjadi glukosa dengan bantuan katalis (Fukuoka et al., 2011). Glukosa adalah monosakarida yang paling berlimpah di alam dan memiliki rumus molekul C6H12O6. Glukosa merupakan aldehida polihidroksi, sedangkan fruktosa yang memiliki rumus molekul sama seperti glukosa, merupakan ketosa polihidroksi. Gula ditemukan dalam berbagai jenis buahbuahan dan sayuran, mereka juga digunakan secara komersial sebagai aditif untuk meningkatkan rasa makanan dan minuman olahan (Miesfeld, 2008). Struktur glukosa dan fruktosa ditunjukkan pada gambar 5 berikut.
a. b. Gambar 5. a. D-Glukosa (Aldoheksosa), b. D-Fruktosa (Ketoheksosa)
19
Gula alkohol merupakan hasil dari reduksi glukosa berupa monosakarida atau disakarida yang memiliki tiga atau lebih kelompok hidroksil atau alkohol polihidrat (Goldberg, 1994). Gula alkohol mempunyai rasa dan kemanisan hampir sama dengan gula tebu (sukrosa), bahkan beberapa jenis lebih manis. Gula jenis ini dibuat dari bahan berpati seperti tapioka, pati umbi-umbian, sagu atau pati jagung . Senyawa gula alkohol diantaranya yaitu, manitol, sorbitol, dan xilitol yang merupakan turunan monosakarida dari glukosa (Wolevar, 2002). Struktur manitol, sorbitol dan xilitol ditunjukkan pada gambar 6 berikut.
a.
b. c. Gambar 6. a. Manitol, b. Sorbitol, c. xilitol (JECFA, 1996).
Manitol memiliki rumus kimia C6H14O6 dengan berat molekul 182,17 g/mol. Manitol digunakan untuk pembuatan tablet kunyah dan granulasi serbuk sebagai eksipien. Secara alami manitol banyak ditemukan pada bahan alam seperti alga, manna, rumput laut dan zaitun. (Kuusito et al, 2005). Produksi manitol skala industri dilakukan dengan reaksi hidrogenasi fruktosa, sukrosa, atau sirup glukosa-fruktosa. Untuk mendapatkan hasil manitol yang tinggi disarankan menggunakan sirup dengan kadar fruktosa yang lebih tinggi. Saat reaksi hidrogenasi, β-fruktosa akan menjadi manitol sedangkan α-fruktosa akan menjadi sorbitol (Toukoniitty et al, 2005).
20
H2 C6H12O6
C6H14O6
Sorbitol atau juga dikenal dengan heksitol memiliki rumus kimia C6H14O6 dengan berat molekul 182,17 g/mol. Sorbitol umumnya digunakan sebagai bahan baku industri dan makanan seperti pasta gigi, permen, kosmetik, farmasi, vitamin C, dan termasuk industri tekstil dan kulit (Othmer, 1960). Di Indonesia sorbitol diproduksi dari umbi tanaman singkong. Sorbitol dapat dibuat dari glukosa dengan proses hidrogenasi katalitik bertekanan tinggi. Penambahan hidrogen yang dikatalis dengan logam (platinum, palladium, nikel dan rhodium) akan meningkatkan suhu kamar sehingga produk yang dihasilkan lebih banyak (Robert and Francis, 2002). Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut: Katalis Ni
C6H12O6 +
H2
C6H14O6
Xilitol adalah gula alkohol jenis pentitol dengan rumus umum C5H12O3 dengan berat molekul 152,15 g/mol. Secara alami xilitol banyak ditemukan pada buah-buahan dan sayuran seperti strawberry, wortel, bayam, selada dan bunga kol. Sedangkan untuk produksi skala besar, dilakukan dengan proses kimiawi dan bioteknologi. Proses kimia dilakukan dengan hidrogenasi xilosa menggunakan larutan asam. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut: Katalis Ni
C6H10O5
+
H2
C6H12O6
21
G. Karakteisasi Katalis
1. Keasaman Katalis
Spektrofotometri IR adalah spektroskopi yang memanfaatkan sinar IR dekat, yakni sinar yang berada pada jangkauan panjang gelombang 2,5-25 µm atau jangkauan frekuensi 400-4000 cm-1. Prinsip kerja spektrofotometer IR adalah sebagai berikut, pertama sinar dari sumber laser dipantulkan melewati plat pemecah sinar, sementara sumber dari sumber IR dipantulkan melalui cermin kembali melewati plat pemecah berkas, kedua sumber ini dipantulkan kembali melewati cermin dan berkas cahaya diteruskan melalui lintasan optik sebelum dipantulkan dengan cermin, kemudian berkas melewati sampel, dipantulkan dan dilakukan pembacaan pada detektor yang mengubah energi panas menjadi energi listrik.
Instumen FTIR menggunakan sistem yang disebut dengan interferometer untuk mengumpulkan spektrum. Interferometer terdiri atas sumber radiasi, pemisah berkas, dua buah cermin, laser dan detektor. Skema lengkap dari instrumentasi FTIR ditunjukan pada Gambar 7.
22
Gambar 7. Skema instrumentasi FTIR.
Karakterisasi sifat keasaman katalis dilakukan untuk mengetahui tingkat keasaman dari katalis yang telah dibuat. Keasaman dari suatu katalis adalah jumlah asam, kekuatan asam, serta sisi aktif katalis yang ditinjau dari gugus asam Brønsted-Lowry dan asam Lewis (Nugroho, 1997). Asam menurut Brønsted-Lowry, asam adalah spesies yang dapat menyumbangkan proton atau lebih sering disebut donor proton dan basa adalah spesies yang dapat menerima proton (akseptor proton). Sedangkan asam menurut Lewis adalah, spesies yang dapat menerima pasangan elektron (akseptor elektron) dan basa adalah spesies yang dapat menyumbangkan pasangan elektron (donor elektron).
Penentuan jenis situs asam pada katalis dapat ditentukan menggunakan spektroskopi infra merah (FTIR) dari katalis yang telah mengadsorpsi basa adsorbat (Seddigi, 2003). Basa yang dapat digunakan adalah kuinolin, piperidin, trimetilamin, dan amonia (Fessenden & Fessenden, 1995). Penentuan jumlah situs asam memberikan informasi tentang banyaknya situs
23
asam yang terkandung pada katalis, yang pada umumnya berbanding lurus dengan situs aktif pada katalis yang menentukan keaktifan suatu katalis. Sedangkan penentuan jenis situs asam memberikan informasi tentang situs asam yang terkandung pada katalis apakah asam Brønsted-Lowry atau asam Lewis, yang pada umunya berkaitan dengan interaksi ikatan yang terjadi antara katalis dan reaktan. Reaksi katalitik dapat terjadi melalui transfer elektron, seperti ditunjukkan pada gambar.
Gambar 8. Asam Bronsted dan Asam Lewis pada katalis (Parry, 1963). Metode spektrofotometri infra merah digunakan untuk melihat sisi aktif katalis. Adanya puncak serapan dari ion piridinium (C5H5N+) dan piridin yang teradsorpsi berturut-turut mengindikasikan adanya situs asam BrønstedLowry dan situs asam Lewis yang berperan pada permukaan katalis. Situs asam Brønsted-Lowry pada spektra infra merah ditunjukkan pada daerah bilangan gelombang 1350-1500 cm-1 dan situs asam Lewis pada daerah bilangan gelombang1550-1650 cm-1 (Tanabe, 1981).
24
2. Struktur Katalis
Prinsip dari Difraktometer Sinar-X (XRD) adalah difraksi gelombang sinar-X yang mengalami penghamburan (scattering) setelah bertumbukan dengan atom kristal. Pola difraksi yang dihasilkan merepresentasikan struktur kristal. Dari analisis pola difraksi dapat ditentukan parameter kisi, ukuran kristal, dan identifikasi fasa kristalin. Jenis material dapat ditentukan dengan membandingkan hasil XRD dengan katalog hasil difraksi berbagai macam material. Metode yang biasa dipakai adalah memplot intensitas difraksi XRD terhadap sudut difraksi 2θ. Intensitas akan meninggi pada nilai 2θ yang terjadi difraksi, intensitas yang tinggi tersebut dalam grafik terlihat membentuk puncak-puncak pada nilai 2θ tertentu. Pelebaran puncak bisa diartikan material yang benar-benar amorf, butiran yang sangat kecil dan bagus, atau material yang memiliki ukuran kristal sangat kecil melekat dengan struktur matrix yang amorf .
Untuk menghitung ukuran kristal dengan menggunakan persamaan Scherrer:
Dimana D merupakan diameter rata-rata, K merupakan faktor keadaan, B merupakan perluasan Full Width at Half Maximum (FWHM) puncak difraksi yang dihitung dalam radian, λ merupakan panjang gelombang sinar-x, dan θ merupakan sudut difraksi Bragg (Cullity, 1956).
Keberadaan atau terbentuknya katalis LaCrO3 dalam bentuk amorf dan kristal dapat diidentifikasi menggunakan metode difraksi sinar-X (XRD), karena
25
metode XRD didasarkan pada fakta bahwa pola difraksi sinar-X untuk masing-masing material kristalin adalah karakteristik. Dengan demikian, bila pencocokan yang tepat dapat dilakukan antara pola difraksi sinar-X dari sampel yang tidak diketahui dengan sampel yang telah diketahui, maka identitas dari sampel yang tidak diketahui itu dapat diketahui (Skoog dan Leary, 1992).
3. Morfologi Permukaan Katalis
Untuk mempelajari morfologi permukaan katalis dapat menggunakan instrumentasi Tansmission Electron Microscopy (TEM). Tem adalah alat untuk mengamati bentuk, struktur serta distribusi pori padatan. Prinsip kerja TEM sama seperti proyektor slide dimana elektron ditansmisikan ke dalam objek pengamatan dan hasilnya diamati melalui layar (Liu et al., 2009). Mekanisme kerja TEM yaitu pistol elektron berupa lampu tungsten dihubungkan dengan sumber tegangan tinggi (100-300 kv) ditransmisikan pada sampel yang tipis, pistol akan memancarkan elektron secara termionik maupun emisis medan magnet ke sistem vakum. Interaksi antara elektron dengan medan magnet menyebabkan elektron bergerak sesuai aturan tangan kanan, sehingga memungkinkan elektromagnet untuk memanipulasi berkas elektron.
Penggunaan medan magnet akan membentuk sebuah lensa
magnetik dengan kekuatan fokus variabel yang baik.
Selain itu, medan
elektrostatik dapat menyebabkan elektron didefleksikan melalui sudut yang konstan. Dua pasang defleksi yang berlawanan arah dengan intermediate gap
26
akan membentuk arah elektron yang menuju lensa yang selanjutnya dapat diamati melalui layar (Bendersky et al., 2001).
Gambar 9. Skema Instrumen TEM.
4. Distribusi Ukuran Partikel Katalis
Ukuran partikel katalis dapat ditentukan menggunakan instrument Particle Size Analyzer (PSA) yang memiliki keunggulan dalam bidang analisis ukuran partikel, dimana:
a. Lebih akurat.
27
Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA lebih akurat jika dibandingkan dengan pengukuran partikel dengan alat lain seperti XRD ataupun SEM. Hal ini dikarenakan partikel didispersikan ke dalam media sehingga ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle. b. Hasil pengukuran dalam bentuk distribusi, sehingga dapat menggambarkan keseluruhan kondisi sample. c. Rentang pengukuran dari 0,6 nanometer hingga 7 mikrometer.
Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA biasanya menggunakan metode basah. Metode ini dinilai lebih akurat jika dibandingkan dengan metode kering ataupun pengukuran partikel dengan metode ayakan dan analisa gambar. Terutama untuk sampel-sampel dalam orde nanometer dan submikron yang biasanya memliki kecenderungan aglomerasi yang tinggi. Hal ini dikarenakan partikel didispersikan ke dalam media sehingga partikel tidak saling beraglomerasi (menggumpal). Dengan demikian ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle. Selain itu hasil pengukuran dalam bentuk distribusi, sehingga hasil pengukuran dapat diasumsikan sudah menggambarkan keseluruhan kondisi sampel.
H. High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) atau biasa juga disebut dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dikembangkan pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. KCKT merupakan suatu teknik kromatografi yang menggunakan fasa gerak cair untuk pemisahan sekaligus
28
untuk analisis senyawa berdasarkan kekuatan atau kepolaran fasa geraknya. Berdasarkan polaritas relatif fasa gerak dan fasa diamnya, KCKT dibagi menjadi dua, yaitu fasa normal yang umumnya digunakan untuk identifikasi senyawa nonpolar sehingga fasa gerak yang digunakan kurang polar dibandingkan fasa diam dan fasa terbalik yang umumnya digunakan untuk identifikasi senyawa polar, menggunakan fasa gerak lebih polar dibandingkan fasa diam (Gritter et al., 1991). Prinsip pemisahan senyawa menggunakan KCKT adalah perbedaan distribusi komponen diantara fasa diam dan fasa geraknya. Semakin lama terdistribusi dalam fasa diam maka semakin lama waktu retensinya.
Tujuan utama KCKT yaitu agar diperoleh hasil pemisahan/ resolusi yang baik dengan waktu singkat. Maka, hal-hal yang harus diperhatikan adalah : 1. Wadah fase gerak Jenis dan komposisi dari fase gerak mempengaruhi pemisahan komponen. Wadah fase gerak harus bersih sebelum dan setelah digunakan supaya tidak ada pengotor yang dapat mengganggu analisis. Untuk HPLC fase normal biasanya digunakan pelarut nonpolar, sedangkan HPLC fase terbalik digunakan pelarut campuran dari air dan pelarut organik polar. 2. Pompa Pompa berfungsi mengalirkan eluen ke dalam kolom. Pompa yang digunakan dalam HPLC adalah pompa bertekanan tinggi, biasanya sekitar 1000-2000 psi untuk memastikan reproduktivitas dan akurasi yang dihasilkan.
29
3. Injektor Injektor berfungsi untuk memasukkan cuplikan ke dalam kolom. Injektor dalam sistem HPLC harus menyediakan volume injeksi antara 1-100 mL dengan reproduktivitas tinggi dan di bawah tekanan tinggi (hingga 4000 psi). 4. Kolom Kolom atau fase diam berfungsi untuk memisahkan komponen. Ditinjau dari ukurannya (panjang dan diameternya) terdapat tiga jenis kolom HPLC yaitu kolom konvensional (panjang 10-20 cm dan diameter 4,5 mm), kolom mikrobor (panjang 10 cm dan diameter 2,4 mm) dan kolom high speed (panjang 6 cm dan diameter 4,6 mm). Sedangakan dilihat dari jenis fasa diam dan fasa geraknya kolom HPLC dibedakan menjadi dua jenis yaitu kolom fase normal dan kolom fase terbalik. Kromatografi dengan kolom konvensional mempunyai fase diam normal bersifat polar seperti silika dan fase geraknya non polar sehingga akan memisahkan senyawa yang bersifat non polar. Silika yang digunakan yaitu silika dengan modifikasi kimiawi menggunakan reagen klorosilan, silika tanpa modifikasi seperi silika aminopropil dan sianopropil (nitril), polimer stiren dan divinil benzen. Adanya residu silanol (Si-OH) menyebabkan permukaan silika bersifat polar dan sedikit asam. Oktadesil silika (ODS atau C18) adalah fase diam yang banyak digunakan karena mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran yang rendah, sedang maupun tinggi. Kolom fase terbalik adalah kolom yang fase diamnya bersifat non polar dan fase geraknya bersifat polar.
30
5. Detektor Detektor berfungsi untuk mendeteksi senyawa yang ada dan mengukur jumlahnya. Detektor yang sering digunakan pada HPLC yaitu detektor indeks bias, serapan optik (UV-Vis), fluoresensi, dioda array, elektrokimia dan detektor konduktivitas. 6. Integrator Sinyal-sinyal yang ditangkap oleh detektor diteruskan pada komputer untuk ditampilkan dalam bentuk puncak-puncak kromatogram (Kupiec, 2004).
Skema alat HPLC ditunjukkan pada Gambar 10 berikut.
Gambar 10. Skema alat HPLC (Kupiec, 2004).
Berdasarkan gambar di atas, mekanisme kerja ringkas dari HPLC yaitu sampel yang dilarutkan dalam solvent dimasukkan ke dalam aliran fasa gerak dengan cara injeksi, di dalam kolom akan mengalami pemisahan komponen dengan adanya interaksi antara analit dengan fase diam. Analit yang interaksinya kurang kuat dengan fase diam akan keluar dari kolom terlebih dahulu. Sedangkan analit yang interaksinya kuat akan keluar lebih lama. Setiap komponen yang keluar dari kolom akan dideteksi oleh detektor kemudiam direkam dalam bentuk kromatogram. Contoh hasil analisis HPLC
31
dalam mengkonversi selulosa dengan katalis NixFe2-xO4 (x=0,2; 0,5; 0,8 dan 1) ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Uji katalitik konversi selulosa dengan katalis NixFe2-xO4 ( variable x=0,2; 0,5; 0,8 dan 1) pada suhu 120˚C dan 140˚C (Amalia, 2013).
Katalis
Suhu (˚C)
Hasil Produk Glukosa
Fruktosa
Sukrosa
Manitol
Sorbitol Xylitol
x= 0,2
120
-
-
-
-
-
-
x= 0,2
140
-
-
-
-
-
-
x= 0,5
120
-
-
-
+
+
+
x= 0,5
140
-
-
-
-
-
-
x= 0,8
120
-
-
-
-
-
-
x= 0,8
140
-
-
-
-
-
-
x= 1
120
-
-
-
-
-
-
x= 1
140
-
-
-
+
+
+
Berdasarkan Tabel 1 di atas, hanya 2 katalis NixFe2-xO4 yang menunjukkan hasil positif pada uji konversi selulosa menjadi sorbitol, manitol dan xilitol yaitu katalis NixFe2-xO4 dengan variable x= 0,5 pada suhu 120˚C dan variable x= 1 pada suhu 140˚C.
Kromatogram hasil uji katalitik konversi selulosa menjadi sorbitol, manitol dan xilitol ditunjukkan pada Gambar 11 berikut.
32
Gambar 11. Kromatogram hasil uji katalitik konversi selulosa menjadi sorbitol, manitol dan xilitol dengan katalis NixFe2-xO4 dengan variable x=0,5 pada suhu 120˚C.
Kromatogram dari beberapa gula alkohol monosakarida, dan disakarida dapat ditunjukkan pada gambar berikut:
Gambar 12. Kromatogram dari gula alkohol, monosakarida, disakarida (Ratnayani dan Dwi, 2008).
Dapat dilihat bahwa waktu retensi yang dihasilkan oleh senyawa-senyawa tersebut berbeda. Pengukuran analisis untuk fase gerak digunakan aquabides alkohol, kolom yang digunakan SCR-101C, dengan laju alir 1 mL/menit pada suhu 80ᵒC. Hasil yang diperoleh untuk gula alkohol seperti gliserol, xilitol,
33
sorbitol dan manitol kromatogramnya muncul pada waktu retensi kurang dari 5 menit. Untuk monosakarida seperti glukosa dan fruktosa dihasilkan pada rentang waktu retensi antara 5-10 menit, sedangkan untuk disakarida (sukrosa dan laktosa) dihasilkan pada rentang waktu retensi 10-15 menit. Hal ini disebabkan karena senyawa-senyawa yang berbeda memiliki waktu retensi yang berbeda. Uji aktifitas pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Larutan baku (sorbitol, manitol, dan xilitol) serta larutan sampel diinjeksikan ke KCKT dilakukan dengan waktu analisis 15 menit.
Untuk mengidentifikasi selulosa yang terkonversi menjadi gula alkohol, akan terlihat berupa data luas area puncak yang diambil dari kromatogram hasil pengukuran tiap larutan. Dari data tersebut, dibuat plot grafik antara luas area puncak (sumbu y) larutan baku terhadap konsentrasi larutan baku (sumbu x), kemudian dibuat persamaan garis linier dari plot menggunakan metode least square. Bentuk persamaan linier :
Dimana, y = luas area puncak dari larutan baku x = konsentrasi tiap larutan baku (ppm) a,b = intersep dan slope dari persamaan least square Nilai luas area puncak larutan sampel dibandingkan dengan persamaan least square yang didapat untuk mendapatkan nilai konsentrasi larutan sampel. Jika dilakukan pengenceran larutan sampel maka nilai konsentrasi larutan sampel dikalikan dengan faktor pengenceran. Perhitungan konsentrasi sampel :
34
Dimana,
C = konsentrasi selulosa dalam sampel (ppm) Area = luas area puncak untuk larutan sampel a = intersep b = slope
Fp = faktor pengenceran (Amalia, 2012)
35
III. METODELOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Preparasi katalis, analisis keasaman dan uji aktivitas katalis dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik Fisik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung. Analisis struktur katalis dilakukan di Laboratorium Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN) Batan Serpong. Analisis morfologi permukaan dilakukan di Laboratorium TEM Jurusan Kimia FMIPA UGM. Analisis distribusi ukuran partikel dilakukan di UPT. Laboratorium Terpadu dan Sentra Inovasi Teknologi, Universitas Lampung. Analisis hasil uji aktivitas katalis dilakukan di PT. SIG Bogor. Penelitian ini dilakukan dari April 2015 sampai Desember 2015.
B. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas, termometer, desikator, Freezer merek LG, Magnetic Strirrer merek Stuart heat-stir CB162, oven merek Fischer Scientific (SEA) Pie Ltd, neraca digital merek Kern ABT 220-4M, ultrasonikasi merek Bandelin Sonorex Technik, Magnetic Strirrer, Freeze Dry merek ModulyoD Freeze Dryer , reaktor katalitik, Fourier Transform Infra Red (FTIR) merek SHIMADZU
36
PRESTIGE 21, Particle Size Analyzer (PSA) merek FRITSCH GmbH, Transmission Electron Microscopy (TEM) merek TEM JEOL JEM 1400, Xray Difraction (XRD) Type Miniflex 600 Merek Rigaku. dan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) merek Waters Alliance 2695.
Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, serbuk pektin, aquabidest, lantanum nitrat La(NO3)2.6H2O (Merck, 99%), kromium nitrat Cr(NO3)2.9H2O (Merck, 99%), ammonium molibdat (NH4)6.Mo7O24.4H2O (Merck, 99%), piridin (J.T. Baker), amoniak (Merck,25%), dan gas hidrogen (BOC 99,99%).
C. Prosedur Kerja
1. Pembuatan Nanokatalis
a. Proses sol-gel Pembuatan nanokatalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ dilakukan dua kali untuk kebutuhan katalis yang dikalsinasi pada temperatur 600 oC dan 700 oC, yang dilakukan dengan cara melarutkan 8 gram pektin dalam 400 mL aquabidest. Larutan tersebut diaduk menggunakan magnetik stirer pada temperatur ruang sampai diperoleh larutan yang homogen (± 3 jam ). Sebanyak 20 mL amoniak 25% ditambahkan ke dalam larutan tersebut. Kemudian ke dalam larutan tersebut ditambahkan tetes demi tetes secara perlahan larutan lantanum nitrat (3,4355 gram La(NO3)2.6H2O dalam 200 mL aquabidest), kromium nitrat (2,2223 gram Cr(NO3)3.9H2O dalam 400 mL aquabidest), dan amonium molibdat
37
(2,9409 gram (NH4)6Mo7O24.4H2O dalam 200 mL aquabidest), menggunakan heating magnetic stirrer pada suhu ruang sampai campuran benar-benar homogen. Kemudian sistem larutan tersebut dipanaskan pada suhu 80 oC hingga volum larutan menyusut dan membentuk gel.
b. Freezer-dry Gel yang didapatkan selanjutnya difreezer-dry untuk menghilangkan molekul air sampai terbentuk serbuk kering. Freezer-dry digunakan untuk menghilangkan uap air dalam rongga bahan nanokatalis tanpa merusak jaringan yang telah terbentuk dari bahan tersebut. Keseimbangan antara panas yang diadsorpsi oleh sampel untuk menguapkan air dan memindahkan panas dari kondensor untuk mengubah uap air menjadi es adalah inti dari proses freezer-dry. c. Kalsinasi pada Temperatur 600 oC dan 700 oC Serbuk kering hasil freezer-dry tersebut dimasukkan ke dalam cawan penguap untuk kemudian dikalsinasi sampai temperatur 600 oC dan 700 oC dengan laju temperatur 2 oC /menit. Kemudian katalis digerus hingga halus menggunakan mortar, ditimbang dan dilanjutkan untuk uji karakterisasi katalis. Adapun profil kalsinasi disajikan dalam Gambar 13 berikut.
38
Gambar 13. Profil kalsinasi sampai temperatur 600 oC.
Berdasarkan Gambar 13 di atas mula-mula katalis dipanaskan sampai temperatur 28 oC. Kemudian temperatur dinaikkan sampai 350 oC dengan laju temperatur 2 oC /menit, ditahan selama 2 jam, dan terakhir temperatur dinaikkan sampai 600 oC, ditahan selama 3 jam. Setelah 3 jam, temperatur dibiarkan kembali ke temperatur ruang.
Gambar 14. Profil kalsinasi sampai temperatur 700 oC.
39
2. Karakterisasi Katalis
a. Analisis Keasaman Katalis
Penentuan jumlah situs asam katalis dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan metode gravimetri (ASTM, 2005) dilakukan dengan cara, mula-mula wadah kosong ditimbang kemudian diisi dengan 0,25 gram katalis dan dimasukkan ke dalam desikator bersama basa piridin, ditutup dan dibiarkan selama 24 jam. Setelah 24 jam katalis yang telah mengadsorpsi basa piridin dikeluarkan dan dibiarkan di tempat terbuka selama 2 jam. Selanjutnya sampel ditimbang dan jumlah situs asam dari katalis ditentukan menggunakan persamaan berikut.
Dimana, w1 = Berat wadah kosong w2 = Berat wadah + cuplikan w3 = Berat wadah + cuplikan yang telah mengadsorpsi piridin BM = Bobot molekul piridin
Selanjutnya, penentuan jenis situs asam katalis dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan spektrofotometer inframerah (FTIR). Sampel katalis yang dianalisis dicampur dengan KBr, dengan perbandingan 1:50 atau 1:100. Kemudian sampel yang sudah dicampur dengan KBr dibentuk menjadi tablet, lalu dimasukkan ke dalam vessel sampel. Setelah itu sampel diukur
40
menggunakan spektrofotometer inframerah (FTIR) pada daerah bilangan gelombang 1200 – 2100 cm-1 (Rodiansono et al., 2007). b. Analisis Struktur Katalis
Analisis struktur kristal dilakukan menggunakan instrumentasi difraksi sinarX (XRD). Prosedur analisis ini disesuaikan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Maiti et al., (1973). Analisis dilakukan menggunakan radiasi CuKα (1,5425 Å), tabung sinar-X dioperasikan pada 40 kV dan 200 mA. Rentang difraksi yang diukur (2θ) dalam rentang 15 – 80o, dengan scan step size 0,05o/menit. Puncak-puncak yang terdapat pada difraktogram kemudian diidentifikasi menggunakan difraktogram yang diterbitkan JCPDF dalam PCPDFwin 1997 sebagai acuan (Drbohlavova et al., 2009).
Ukuran partikel dihitung menggunakan persamaan Debye-Scherrer berikut. D= Dimana: D= ukuran partikel (nm) k= konstanta (0,94) λ= 1,5425 Å β= radian (FWHM) θ= lebar puncak
c. Analisis Morfologi Katalis
Analisis morfologi permukaan nanokatalis dilakukan menggunakan instrumentasi Transmission Electron Microscop (TEM). Sampel katalis
41
(±5mg) yang akan dianalisis ditempatkan pada wadah sampel dengan dengan ukuran 3 mm dan ketebalan 300 µm. Sampel diteteskan methanol untuk mencegah aglomerasi. Kemudian sampel tersebut ditembakkan dengan ion argon sampai berlubang. Pada bagian yang tipis ini ditembakkan berkas elektron sehingga menembus sampel kemudian hasil dari tembusan elektron tersebut yang ditangkap detektor dan diolah menjadi gambar (Bendersky and Gayle, 2001).
d. Analisis Distribusi Ukuran Partikel
Untuk mengetahui distribusi ukuran partikel , katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ dianalisis menggunakan Particle Size Analyzer (PSA). Merk Alat Nano Tec plus/ Seri Analysette 22 FRITSCH. Sampel divakum dan partikel yang memasuki sensing area dilaser dengan sinar inframerah dan dibaca oleh detektor.
3. Uji Katalitik
a. Preparasi Sampel
Sebanyak 0,5 g selulosa dan 100 mL aquabidest diultrasonik selama 8 jam. Pada penelitian ini dilakukan reaksi katalitik sebanyak 9 kali untuk katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ pada temperatur kalsinasi 600 oC serta 9 kali untuk katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ pada temperatur kalsinasi 700 oC. Sehingga selulosa yang dibutuhkan sebanyak 9 gram dan aquabidest 1800 mL.
42
b. Reaksi Katalitik
Katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ yang dihasilkan pada penelitian ini selanjutnya digunakan dalam proses uji katalitik konversi selulosa menjadi gula alkohol. Larutan selulosa yang telah diultrasonikasi dipindahkan ke dalam labu leher tiga, lalu diaduk dengan pengaduk. Dipanaskan hingga variasi suhu 100 oC, 120 oC dan 140 oC. Selanjutnya ditambahkan katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ sebanyak 0,1 g dan dialirkan gas hidrogen dengan laju 10 mL/ menit selama 2 jam. Kemudian aliran gas hidrogen dan suhu reaksi dimatikan, namun pengaduk dibiarkan hidup hingga temperatur reaktor turun (dalam penelitian ini pada suhu 50 oC). Setelah temperatur reaktor turun, pengaduk dimatikan dan hasil konversi dikeluarkan dari dalam labu leher tiga. Kertas saring yang belum digunakan ditimbang kemudian hasil reaksi disaring menggunakan kertas saring tersebut. Kertas saring dikeringkan di dalam oven, setelah itu dihitung persen konversi pada masing-masing reaksi. Sedangkan filtrat dianalisis menggunakan uji Fehling dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).
1.Tabung hidrogen 2. Penangas air 3. Stirer
4. Pemanas magnet stirer 5. Termometer 6. katalis
7. Wadah 8. Kondensor 9. Silinder
PR. Pengatur tekanan NV.Kran pengatur R Alat Pemutar
Gambar 15. Rangkaian Alat Utama Hidrolisis
43
c. Uji Fehling
Masukkan 2 mL pereaksi Fehling ke dalam tabung reaksi. Tambahkan 1 mL larutan hasil hidrolisis selulosa ke dalam tabung reaksi tersebut. Panaskan campuran tersebut pada pembakar spiritus. Uji positif gula pereduksi menunjukkan warna merah bata.
d. Analisis dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ yang menunjukkan hasil positif gula pereduksi (endapan merah bata), dianalisis menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dengan parameter fasa gerak acetonitril : aquabides, kolom Carbohydrate High Performance (4,6 x 250 mm), detektor indeks refraksi, laju alir 1,4 mL/ menit, dan suhu kolom 35 oC. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kandungan alkohol yang terkandung dalam senyawa tersebut.
66
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa : 1. Penelitian ini mampu menghasilkan katalis dengan ukuran partikel skala nano menggunakan metode sol gel, serta pektin sebagai agen pengemulsi. 2.
Kedua katalis menunjukkan jenis situs asam Lewis, dengan jumlah situs asam katalis 600 oC relatif lebih besar dibandingkan katalis 700 oC.
3. Hasil analisis difraksi sinar-X (XRD) menunjukan terbentuknya struktur katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ dengan fasa kristalin La2(MoO4)3, LaCrO3, dan sedikit LaCrO4, dengan fasa kristal terbanyak berupa LaCrO3 pada katalis 700 oC. 4. Hasil analisis Transmission Electron Microscop (TEM) menunjukkan morfologi permukaan nanokatalis yang heterogen. 5.
Hasil analisis Particle Size Analyzer (PSA) pada katalis 600 oC menunjukkan distribusi ukuran nano yang lebih besar dibandingkan katalis 700 oC.
6.
Katalis LaCr0,7Mo0,3O3±δ 600 oC dan 700 oC aktif dalam mengkonversi selulosa menjadi gula akohol berupa mannitol dengan % konversi dan hasil produk terbaik terbentuk pada katalis 700 oC.
67
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka pada penelitian selanjutnya disarankan untuk : 1. Melakukan uji katalitik pada temperatur reaksi yang lebih rendah (T<100oC), untuk menguji apakah pada kondisi tersebut fruktosa, sorbitol, dan manitol dapat terbentuk. 2. Melakukan uji analisis lanjut untuk produk gula pereduksi lainnya dengan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).
68
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M., V. Yudistira, Nirmin dan Khairurrijal. 2008. Sintesis nanomaterial. Jurnal Nanosains dan Nanoteknologi. Hal 33–36. Agustine, R dan R.T.M. Situmeang. 2009. Pembuatan dan karakterisasi katalis perovskite (LaCr1-xNixO3±δ) dengan metode sol-gel dan uji katalitiknya pada konversi fruktosa (Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Lampung. Bandar Lampung. Hal 52–58. Aimin, Jiang., W. Li, W. Hao, Z. Xiaohua, H. Yinchen, L. Wangwang and Y. Gongming. 2015. Pectin-chitosan complex: Preparation and application in colon-specific capsule. Int J Agric & Biol Eng. P 156. Amalia, R dan R.T.M.Situmeang. 2013. Studi pendahuluan konversi selulosa menjadi gula alkohol dengan katalis NixFe2-xO4 dengan variabel x=0,5; 0,8 dan 1. (Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Lampung. Bandar Lampung. Hal 47–49. Bai, Renbi and D. Deng. 2004. Removal of trivalent and hexavalent chromium with aminated polyacrylonitrile fibers: Performance and mechanisms. Water Res. 38, pp 2423–2431. Bermejo E., T. Dantas, C. Lacour and M. Quarton. 1995. Mechanism of formation of nanocrystalline hematite prepared by freeze-drying. Material Res. B. 30, pp 645–652. Bikshalu, K., V.S.K. Reddy, P.C.S. Reddy and K.V. Rao. 2014. Synthesis of La2O3 nanoparticles by pechini method for future CMOS applications. IJEAR. 4, pp 2348–0033. Campbell, I.M. 1988. Catalyst at surfaces. Chapman and Hall. New York. Pp 1–3. Chiang, T.H. and H.C. Yeh. 2013. The synthesis of α-MoO3 by ethylene glycol. Materials. 6, pp 4609–4625. Constenla, D. and J. E. Lozano. 2006. Kinetic model of pectin demethylation. http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S1516-
69
89132005000200013. Diakses pada tanggal 8 Agustus 2014 pukul 05.30 WIB. Cullity, B. D. 1978. Element of X-ray Diffraction 2nd edition. Addison-Wesley Publishing Company, Inc. Philippines. Pp 397–398. Danner, H and R. Braun. 1999. Biotechnology for the production of commodity chemicals from biomass, Chem. Soc. Pp 395–405. Drbohlavova, J., R. Hrdy, V. Adam, R. Kizek, O. Schneeweiss and J. Hubalek. 2009. Preparation and properties of various magnetic nanoparticles. sensors. 9, pp 2352–2362. Duguet, E. 2000. Introduction to hybrid organic-inorganic materials. University Bordeaoux. Pp 12–15. Farrell, A. E., R. J. Plevin, B. T. Turner, A. D. Jones, M. O’Hare and D. M. Kammen. 2006. Ethanol can contribute to energy and environmental goals. Science. 311(5760), pp 506–508. Fessenden, R. J. and J. S. Fessenden. 1995. Kimia Organik Jilid II Edisi Ketiga. Erlangga. Jakarta. Hal 319–337. Fukuoka, A., H. Kobayashi,Y. Ito, T. Komanoya,Y. Hosaka, P. L. Dhepe, K. Kasai and K. Hara. 2011. Synthesis of sugar alcohols by hydrolytic hydrogenation of cellulose over supported metal catalysts. Green Chem. 13, pp 326–333. Funazukuri, T. 2013. Hydrothermal conversion of cellulose to glucose and oligomers in dilute aqueous formic acid solution. DOI. 10, 5772–52007. Gritter, R.J., J. M. Bobbit, and A.E. Schwarting. 1991. Pengantar Kromatografi. 2nd edition. ITB. Bandung. Pp 160–179. Hanke, L. D. 2001. Handbook of analytical methods for materials. Materials Evaluation and Engineering Inc. Plymouth. Pp 35–38. Han, Y., J. Zhang., and X. Liu. 2013. Molybdenum-Containing Acidic Catalysts to Convert Cellulosic Biomass to Glycolic Acid. United States Patent Application Publication. US 2013/0281733 A1. Pp 1–2 Hegedus, L.L. 1987. Catalyst design progress and prespective. John Willey and Sons. USA. Pp 5–9 Heydarzadeh, H., D. G.G. Najafpour and A.A. Nazari-Moghaddam. 2009. Catalyst-free conversion of alkali cellulose to fine carboxymethyl cellulose at mild conditions. World Applied Sciences. ISSN 1818–4952.
70
Hu,Shuwen and X. Qiu. 2013. “Smart” materials based on cellulose: A review of the preparations, properties, and applications. Materials. 6, pp 738–781. Israel, E.W. 1995. Infrared spectroscopy of supported metal oxide catalysts. Physicochem and Eng Asp. Pp 143–149. JECFA. 1996. Mannitol. Ins- No-421-1. JECFA. 1996. Sorbitol. Ins-No-50-70-4. JECFA. 1996. Xylitol. Ins-No-967. Ji, N., T. Zhang, M. Zheng, A. Wang, H. Wang, X. Wang and J. G. Chen. 2008. Direct catayitic convertion of cellulose into ethylene glycol using nickelpromoted tungsten carbide catalysts. Angewandte Chemie Int. Edition. 47 (44), pp 8510–8513. Jie, X.U., M.A. Jiping, Y.U. Weiqiang, W. Min, J.I.A. Xiuquan and L.U. Fang. 2013. Advances in selective catalytic transformation of ployols to value added chemicals. Chinese J. Catal. Pp 492–507 Johanson, A., O. Aoltonen and P. M. Ylinen. 1987. Organosolv pulping method and pulp property biomassa. Tappi J. P 2. Kalapathy, U and A. Protor. 2001. Effect of acid extraction and alcohol precipitation condition on the yield and purity of soy hull pectin. Food Chem. Pp 393–396. Klemm, D., B. Philipp, T. Heinze, U. Heinze, W. Wagenknecht. 1998. Comprehensive cellulose chemistry: Fundamentals and analytical methods. Wiley-vch verlag GmbH. Germany. Pp 1–5 Kupiec, T. 2004. Quality-Control Analytical Methods: High Performance Liquid Chromatography. Int. J. of Pharmacceutical Comp. 8 (3), pp 223–227. Kuusisto J., J.P. Mikkola, P.P. Casal, H. Karhu, J. Vayrynen and T Salmi. 2005. Kinetics of the catalytic hidrogenation of D-fructose over a CuO-ZnO catalyst. Chem Eng J. 115, pp 93–102. Kwon, K. C. H. T. Mayfield. B. Marolla, Nichols and M. Mashburn. 2011. Catalytic deoxygenation of liquid biomass for hydrocarbon fuels. Renewable Energy. 36(3), pp 907–915. Ladisch, M. R., T.A. Hsu and G.T. Tsao. 1980. Alcohol from cellulose. Chem Tech. 10(5), pp 315–319. Lambert C.K. and R. D. Gonzalez. 1998. The importance of measuring the metal
71
content of supported metal catalysts prepared by the sol gel method. Appl Catal a General. 172, pp 233–239. Lee, J and T. W. Jeffries. 2011. Efficiencies of acid catalysts in the hydrolysis of lignocellulosic biomass over a range of combined severity factors. Bioresource Tech. Pp 5884–5890. Lee, H. V., S. B. A. Hamid and S. K. Zain. 2014. Conversion of lignocellulosic biomass to nanocellulose structure and chemical process. Scientific World J. 19, pp 1–16. Lin, Y and G. W. Huber. 2009. The critical role of heterogeneous catalysis in lignocellulosic biomass conversion. Energy and Environmental Science. 2, pp 68–80. Lin, L., J. Zhuang, L. Peng, B. Zhang and Y. Gong. 2010. Catalytic conversion of cellulose to levulinic acid by metal chlorides. Molecules. 15, pp 5258– 5272. Luypaert, J., Zhang, M., and Massart, D.L. 2003. Feasibility study for the use of near infra-red spectroscopy in the qualitative and quanttitative analysis green tea. Analyt Chem Acta. Pp 310–312. Maiti, G. C., M. L. Kundu, S. K. Ghosh and B. K. Banerjee. 1973. Cyrstallite size measurements and phase transformation of Fe2O3, Cr2O3 and Fe2O3 Cr2O3 system by x-ray difraction method. Physic Res Wing Fertilizer Corp India Limited. 41 (5), pp 496–505. Miesfeld, D. 2008. Lecture 31 - Carbohydrate structure. Cellulose is a biofuel. Bioc. P 460. Navrotsky, A., Weidner, D. J. and Preface. 1989. In perovskite: a structure of great interest to geophysics and material science. American Geophysical Union. Washington D.C. 45, p 146. Nelson, D. B., C.J.B. Smith and Wiles. 1977. Commecially important pectic substance in food colloids. Avi Publishing Co.Westport. P 418. Park, E. D., I.G. Baek and S.J. You. 2013. Direct convertion of cellulose into spolyols over Pt/CsxH3-xPW12O40. Clean Technology. 19, pp 13–21 Parry, E. P. 1963. An infrared study of pyridine adsorbed on acidic solids characterization of surface acidity. J. Catal. Pp 371–379. Peng, L., L. Lin, J. Zhang, J. Zhuang, Z. Beixiao and Y. Gong. 2010. Catalytic conversion of cellulose to levulinic acid by metal chlorides. Molecules. 15 (8), pp 5258–5272.
72
Pinna, F. 1998. Supported metal catalyst preparation. B. Catal Today. 41, pp 29– 137. Purnomo, Eko Ari. 2003. Pembuatan dan karakterisasi katalis NiO/LaCrO3 untuk reaksi dekomposisi NO2 (Skipsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung. Hal 14–31. Ratnayani, K. dan A. S. Dwi. 2008. Penentuan kadar glukosa dan fruktosa pada madu randu dan madu kelengkeng dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi. Jurnal Kimia. Hal 77–86. Ridley, B.L., M. A. O’Neill and D. Mohnen. 2001. Pectins: Structure, biosynthesis and oligogalacturonide-related signaling. Phytochem. Pp 929– 967. Rodiansono, W., Trisunaryanti and Triyono. 2007. Pembuatan, karakterisasi dan uji aktifitas katalis NiMo/Z dan NiMo/Z-Nb2O5 pada reaksi hidrorengkah fraksi sampah plastik menjadi fraksi bensin. Berkala MIPA. 17, pp 44–54. Ryczkowski, J. 2001. IR spectroscopy in catalysis. Elsevier. Catalysis Today. Pp 263–381. Santosa, A. 2008. Analisa struktur dan komposisi material lapisan tungsten carbide/ cobalt (WC-Co) yang dipersiapkan dengan metode HVOF. (Tesis). Universitas Indonesia. Jakarta. Hal 14–17. Service, R. F. 2010. Is there a road ahead for cellulosic ethanol?. Science. Pp 784– 785. Skoog, D. A. and D. M. West. 1982. Fundamentals of Analytical Chemistry, fourth edition. HRW International Editions. Pp 85–92 Song, Y.F., L. Cronin, C.G. Lin, D. L. Long and W. Chen. 2014. Step-by-step covalent modification of crtemplated anderson-type polyoxometalates. Dalton Trans J. 43, p 8587 Sopyan, I., D. A. Winarto dan Sukartini. 1997. Pembuatan bahan keramik melalui teknologi sol gel. Bidang Pengembangan Teknologi BPPT. Pp 137–143. Stojanovic M., R. G. Haverkamp, C. A. Mims, H. Moudallal and A. J. Jacobson. 1997. Synthesis and characterization of LaCr1-xNixO3 perovskite chatalyst. J Chatal. 165, pp 315–323. Sukmawibowo. 2010. Preparasi dan karakterisasi katalis Fe2O3 untuk reaksi hidrogenasi katalitik CO2. (Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Lampung. Bandar Lampung. Hal 45–48. Tanabe, K. J.R. Anderson and M. Boudart 1981. Solid acid and base catalyst in
73
catalysis science and technology. Springer- Link. Berlin. 2, pp 231– 273. Toukoniitty, B., J. Kuusisto, J.P. Mikkola, T. Salmi and D.Y. Murzin. 2005. Effect of ultrasound on catalytic hydrogenation of D-fructose to Dmannitol. American Chem Society. Pp 9370–9375. Towle, G. A. and O. Christensen. 1973. Pectin in R.L Whistler (ed.). Industrial Gum. Academic Press. New York. P 429. Wang, Y., W. Deng, B. Wang, Q. Zhang, X. Wan, Z. Tang, Y. Wang, C. Zhu, Z. Cao, G. Wang and H. Wan. 2013. Chemical synthesis of lactic acid from cellulose catalysed by lead (ii) ions in water. Nature Communications 4. Article Number 2141. Pp 1–5 Wang, S., Y. Du, W. Zhang, X. Cheng and J. Wang. 2014. Catalytic convertion into 5-hydroxymethylfurfural over chromium trichloride in ionic liquid. Korean J Chem Eng. Spxinger US. Pp 0256–1115. 31 (10), pp 1786 – 1791. Widegren, J. A., R. G. Finke and J. Mol. 2003. Preparation of a multifunctional core-shell nanocatalyst and its characterization by HRTEM. Catal. A: Chem. 191, p 187. Wu, Y and X. Wang. 2011. Preparation and characterization of single-phase αFe2O3 nano-powders by pechini sol-gel method. Materials Letters. Pp 2062–2065. Yusnani, A. 2008. Rasio optimum konsentrasi prekursor pada sintesis katalis Ni-Mo/zeolit Y. (Skripsi FMIPA). Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Hal 51–53. Yuwono, A.H., D. Dhaneswara, A Ferdiansyah dan A. Rahman. 2011. Sel surya tersensitasi zat pewarna berbasis nanopartikel TiO2 hasil proses sol-gel dan perlakuan paska hidrotermal. Jurnal Material dan Energi Indonesia. Hal 127–140. Zhang, C., Y. Su, H. M. Brown, G. Li, et.al. 2010. Accelerated cellulose depolymerization catalyzed by paired metal chlorides in ionic liquid solvent. Applied Catalysis A. Pp 436–442. Zhang ,Tao., M. Zheng, J. Pang and A. Wang. 2014. One pot catalytic conversion of cellulose to ethylene glycol and other chemicals: From fundamental discovery to potential commercialization. Chinese Journal of Catalysis. Pp 602–613. Zhou, C., X. Xia, D. Tong and J. Beltramini. 2011. Catalytic conversion of lignocellulosic biomass to fine chemicals and fuels. Cite this: Chem. Soc. Rev. 40, Pp 5588–5617.