Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta terhadap Pembentukan Religiusitas Masyarakat Daerah Binaan Oleh: Sahrizal Fahlawi Fahlawi, Sahrizal.. “Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta terhadap Pembentukan Religiusitas Masyarakat Daerah Binaan”, Fitrah Jurnal Studi Pendidikan, Vol. 5, No. 1 Juni 2014, h. 98-127.
Abstract: Through the law of National Education System No. 20 / 2003,
the government has set four kinds of competencies for teachers: personal competence, social competence, professional competence and pedagogical competence. The competencies are closely related to the teachers as social beings who always interact with others. The position of teachers in society is not same as the position of general people. Therefore, having the competences is compulsary for teachers. Teachers are always listened and imitated. Teachers are expected to be the mainstay of government in society to create intelligent and qualified people.
Keywords: Society, Competence, Teacher, Wahid Hasyim, Religiosity
Abstraksi: Melalui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pemerintah menetapkan empat macam kompetensi yang harus dimiliki guru, yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi profesional, dan kompetensi pedagogik. Kompetensi-kompetensi tersebut erat hubungannya dengan guru sebagai makhluk sosial yang selalu melakukan interaksi dengan orang lain. Kedudukan guru di masyarakat tidak sama dengan keududukan masyarakat secara umum. Oleh karena itu memiliki kompetensi-kompetensi tersebut merupakan suatu keharusan. Guru selalu digugu dan ditiru. Guru diharapkan mampu menjadi perpanjangan tangan pemerintah di masyarakat untuk menciptakan masyarakat yang cerdas dan berkualitas.
Kata Kunci: Masyarakat, Kompetensi, Guru, Ponpes Wahid Hasyim, Religiusitas.
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Tinggal di Yogyakarta. Email:
[email protected]
98 |
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
Guru adalah penceramah zaman yang keberadaannya turut menentukan arah sebuah bangsa. Suatu bangsa akan baik apabila memiliki guru-guru yang baik. Suatu masyarakat akan menjadi religius apabila guru-gurunya juga religius. Tidak berlebihan dikatakan kalau guru adalah pewaris para nabi karena kesamaannya tugasnya dalam menyampaikan nilai-nilai kebenaran kepada masyarakat atau kaumnya. Pada zaman dahulu tidak semua orang bisa menjadi Nabi. Hanya orang-orang pilihan saja yang diangkat Allah menjadi Nabi sebagai utusan-Nya di bumi. Begitu juga dengan guru pada zaman sekarang tidak semua orang bisa menjadi guru. Untuk menjadi guru dibutuhkan kompetensi khusus agar mampu membina, mendidik, dan mencetak generasi bangsa yang berkualitas. Menyadari vitalnya peran guru bagi eksistensi suatu bangsa maka pemerintah pun memberikan syarat-syarat khusus dalam bentuk kompetensi yang harus dipenuhi baru seseorang bisa menjadi guru. Kompetensi yang dimaksud, yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi profesional, dan kompetensi pedagogik.1 Semua itu tertuang dalam Undangundang Sitem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003. Bagi guru wajib kiranya memiliki pribadi yang baik luhur, jiwa sosial yang tinggi, dan peka terhadap fenomena sosial di sekitarnya sehingga masyarakat tertarik menjadikannya sebagai panutan. Dengan kepekaan tersebut guru diharapkan mampu menjadi agen perubahan di masyarakat lapisan terbawah (grass-root society). Masyarakat menempatkan guru pada tempat yang lebih terhormat dibandingkan masyarakat pada umumnya. Masyararakat berharap dapat memperoleh ilmu pengetahuan dan menjadi pemimpin bagi mereka (social leader) karena guru adalah representasi dari sekelompok orang pada suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan dapat menjadi teladan yang dapat digugu dan ditiru.2 Dalam konteks 1Undang-undang
Guru dan Dosen (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 5. B. Uno, Profesi Kependidikan: Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 17. 2Hamzah
Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|99
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
keindonesiaan guru berkewajiban mencerdaskan bangsa Indonesia seutuhnya berdasarkan Pancasila.3 Dalam kondisi ini lah guru harus mampu menjadi contoh (uswatun hasanah) agar diikuti oleh masyarakatnya. Dari empat kompetensi yang telah disebutkan di atas dalam tulisan ini penulis hanya memfokuskan pada dua kompetensi saja, yaitu kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Dengan memiliki kompetensi kepribadian, guru memiliki pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, sehingga menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakatnya. Sedangkan kompetensi sosial, guru mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar sehingga terjalin hubungan yang baik bagi masing-masing pihak yang diharapkan berdampak pada meningkatnya kualitas pendidikan, baik itu pendidikan formal, nonformal, dan informal. Khusus bagi guru yang mengajar di pondok pesantren menguasai kedua kompetensi yang dimaksudkan di atas lebih diwajibkan daripada guru yang mengajar di sekolah umum karena sebagaimana diketahui bahwa pondok pesantren adalah sebuah lembaga keagamaan yang diakui oleh masyarakat sebagai sumber moral, maka sepatutnya guru yang mengajar di sana harus orang yang berakhlak mulia. Hal ini tidak bisa terlepas dari tujuan awal didirikannya pondok pesantren, yaitu untuk mencetak masyarakat Muslim Indonesia yang senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Lebih dari itu, menurut Mastuhu sebagaimana dikutip Mujamil Qomar berpendapat bahwa tujuan diadakannya pendidikan pondok pesantren adalah. Untuk menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat tetapi rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana 3Ibid.,
100 |
21.
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti sunnah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama Islam atau menegakkan agama Islam dan kejayaan umat di tengah-tengah masyarakat (Izzu Islam wa al-Muslimin), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia.4 Selain itu Manfred Zimek juga berpendapat bahwa tujuan pendidikan pondok pesantren adalah membentuk kepribadian akhlak dan melengkapinya dengan pengetahuan.5 Merujuk pada kedua pendapat tersebut maka jelas bahwa kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial merupakan modal utama yang harus dimiliki seorang guru pondok pesantren agar bisa menyebarluaskan ajaran Islam kepada masyarakat dengan sepenuhnya. Itu semua bisa diwujudkan hanya dengan jalan menjadi abdi sekaligus menjadi contoh yang baik (uswatun hasanah) bagi masyarakat. Bukan kah lisaanu al hal afsahu min lisaa ni al kalaam? Tidak bisa dipungkiri bahwa image yang terbangun di masyarakat bahwa guru yang mengajar di pondok pesantren tidak hanya menjadi guru dan pembimbing bagi santri-santri saja tetapi juga di masyarakat sehingga tanpa disadari beban dan tanggung jawab yang dipikul akan lebih besar dibandingkan dengan guru yang mengajar di lembaga pendidikan non pondok pesantren. Beban itu akan terasa semakin berat ketika dihadapkan pada sebuah lingkungan masyarakat yang kompleks, seperti masyarakat perkotaan. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat perkotaan adalah masyarakat yang realistis, kritis, dan individualis dalam kesehariannya. Hal itu terjadi karena kota merupakan tempat berkembangnya peradaban. Masyarakat perkotaan menghabiskan banyak makanan, pakaian, membangun rumah-rumah besar sebagai tempat berlindung, dan memperindah lingkungan mereka agar bisa berbangga satu sama
4 Mujamil Qomar, Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi (Jakarta: Penerbit Erlangga, tt), 4. 5 Manfred Zimek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B. Soendjojo (Jakarta: P3M, 1986), 157.
Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|101
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
lain.6 Dalam kondisi itu maka agama terabaikan dari kehidupan masyarakat perkotaan. Kebutuhan hidup yang terus meningkat menjadikan mereka sangat sibuk dengan urusan ekonomi sehingga tanpa disadari mereka telah mengabaikan religiusitas dalam dirinya. Namun potret kehidupan masyarakat perkotaan di atas tidak dihadapi oleh guru-guru yang ada di Pondok Pesantren Wahid Hasyim meskipun pondok pesantren tersebut berlokasi di tengahtengah kota, terlebih di empat padukuhan yang menjadi lokasi penelitian ini. Adapun Pondok Pesantren Wahid Hasyim persisnya terletak di Desa Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi Yogyakarta. Dari hasil observasi dan wawancara menunjukkan bahwa antusiasme masyarakat untuk mempelajari, mendalami, dan menghayati ajaran-ajaran agama cukup tinggi. Hal ini terlihat dari banyaknya waktu yang digunakan untuk kegiatan keagamaan seperti pengajian mingguan, bulanan, dan tiga bulanan.7 Itu artinya agama masih mendapat tempat di hati masyarakat. Fakta ini berbeda dengan pendapat para sarjana ilmu-ilmu sosial dan cendekiawan lain yang menyatakan bahwa agama itu sudah ketinggalan zaman, dan kedudukannya dalam masyarakat akan digantikan sains modern hanya masalah waktu saja.8 Di samping itu juga prediksi para ilmuan yang berkesimpulan bahwa agama itu sudah diprediksi oleh para ilmuan sejak ratusan tahun lalu akan menghilang terpatahkan dengan fakta di atas karena agama punya seribu nyawa.9 Kompetensi Guru Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dijelaskan bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, terj. Ahmadie Toha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), 141-142. 7Wawancara dan observasi, 20 September 2013. 8 Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama, terj. Abdul Muis Naharong (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), x. 9 Komaruddin Hidayat, Psikologi Beragama (Jakarta: Hikmah, 2008), 43. 6
102 |
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Menurut Syaiful Bahri Djamarah, kompetensi sangat erat kaitannya dengan pemilikan pengetahuan, kecakapan, atau keterampilan sebagai guru.10 Menurut Broke Stone sebagaimana dikutip Uzer Usman berpendapat, kompetensi adalah gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru yang tampak sangat berarti.11 Dalam arti luas kompetensi, yaitu segenap daya yang dimiliki seseorang sebagai pendukung profesionalisme dalam menjalankan tugas, dalam hal ini tugas mengajar sehingga berdampak positif bagi peserta didik. Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Th. 2003 disebutkan ada empat macam kompetensi yang wajib dimiliki guru, yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi profesional, dan kompetensi pedagogik.12 Namun dalam tulisan ini penulis hanya akan memfokuskan pada dua kompetensi saja, yaitu kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial yang merupakan standar yang harus dimiliki terlebih dahulu dibandingkan dua kompetensi lainnya. Kompetensi pada tulisan ini hanya fokus pada dua dari empat kompetensi saja, yaitu kompetensi yang terkait dengan pribadi guru sebagai figur publik (public figure) yang kesehariannya selalu dinilai dan diteladani oleh masyarakat. Sebuah ungkapan mengatakan “guru itu digugu dan ditiru.” Ini membuktikan bahwa profesi guru sebenarnya sangat potensial dijadikan sebagai alat untuk memperbaiki negeri ini menjadi negeri yang lebih baik. Sebagai penceramah zaman13 guru tidak pernah berhenti memberikan nasihat kepada murid-muridnya
Syaiful Bahri Djamarah, Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru (Surabaya: Usaha Nasional), 33. 11 M. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Bandung: PT Rosdakarya, 2000), 18. 12 Undang-undang ..., 5. 13Piet A.Sehartian, Profil Pendidik Profesional (Yogyakarta: Andipratita Trikarsa Mulia, 1994), 12. 10
Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|103
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
agar menjadi orang baik dan selalu memberikan manfaat bagi sesama dan alam sekitar. Dalam kompetensi kepribadian yang dinilai adalah apa yang ditampilkan sebagai perilaku sehari-hari, bisa dijadikan teladan dan memberikan dampak positif bagi moral masyarakat.14 Untuk mengetahui dan mengukur kompetensi kepribadian guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim dapat dilihat pada indikator-indikator yang telah ditetapkan Depag sebagaimana dikutip Zuhairini berikut ini, yaitu memiliki pribadi mukmin, Muslim, dan muhsin, taat menjalankan agama, memiliki jiwa pendidik dan kasih sayang terhadap anak didik, memiliki jiwa yang ikhlas, menguasai ilmu pengetahuan agama, dan tidak cacat jasmani dan rohani.15 Kalau diperhatikan dengan seksama dari indikator pertama sampai indikator terkahir, sesungguhnya semua itu telah ada pada diri setiap guru, sebagai contoh untuk indikator pertama guru yang mengajar di Pondok Pesantren Wahid Hasyim telah memiliki pribadi mukmin, Muslim, dan muhsin. Contoh, dalam kesehariannya ketika bergaul dengan santri dan masyarakat selalu menampilkan nilai-nilai Islam seperti memberikan pelayanan yang terbaik kepada santri, menghormati semua tamu yang datang ke pondok pesantren termasuk kepada penulis, memberikan bantuan kepada masyarakat berupa materi dan non materi sesuai dengan kemampuan. Di samping itu guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim adalah figur yang ditokohkan di tempat tinggal masing-masing.16 Itu artinya indikatorindikator tersebut sudah ada pada diri guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim. Kompetensi kedua, yaitu kompetensi yang terkait dengan guru sebagai makhluk sosial. Dalam pergaulannya guru memiliki kewajiban membentuk suatu masyarakat beradab yang dilandasi nilai-nilai moral keagamaan. Guru harus membuka diri dan menjalin ukhwah dengan 14Zakiah
Darajat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 35. dkk., Metodik Khusus Pendidikan Agama (Surabaya: Usaha Nasional,
15Zuhairini,
1983), 36. 16 Wawancara, Ustadz Habib Masduki, 14 November 2013.
104 |
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
semua kalangan untuk mempermudah dalam menyampaikan nilainilai moral. Hubungan baik diharapkan akan mampu menarik simpati masyarakat untuk mengikuti arahan dan bimbingan yang diberikan dalam rangka menciptakan tatanan sosial masyarakat yang lebih bermoral dan beradab. Dalam kompetensi sosial yang diperhatikan adalah kemampuan guru berkomunikasi secara aktif dengan semua kalangan. Hubungan baik perlu dibangun untuk menghilangkan jarak antara pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan dengan masyarakat sebagai stakeholder yang akan mengambil manfaat atas keberadaan pondok pesantren. Manfaat yang bisa diambil, yaitu masyarakat akan menjadikan pondok pesantren sebagai lembaga kajian ilmiah formal yan mampu memenuhi kebutuhannya dalam hal pengetahuan keagamaan secara utuh mengingat pondok pesantren belum terkontaminasi dengan paham-paham sekularisme. Untuk melihat dan mengukur kompetensi sosial guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim dapat dilihat melalui indikator-indikator yang bisa dijadikan rujukan berikut ini, seperti mampu berkomunikasi dengan baik secara lisan, tulisan, dan isyarat, mampu menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional, mampu bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua atau wali peserta didik, mampu bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dan memperhatikan aturan yang berlaku dalam masyarakat, dan mampu menerapkan prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.17 Kompetensi sosial guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim terlihat dari kemampuannnya untuk terus menjalin hubungan baik dengan siswa, sesama guru, orangtua siswa, dan masyarakat luas. Sebagai lembaga pendidikan Islam komitmen itu terlihat dari keterbukaan untuk menerima siapa pun yang yang ingin bergabung dengan pondok pesantren. 17 Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008, dalam http://goresanilmoe.blogspot.com/2013/03/kompetensi-sosial-guru.html#ixzz2g3UIhbdu, diakses tanggal 25 September 2013.
Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|105
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
Sebagai anggota masyarakat guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim menjalin hubungan baik dengan semua warga masyarakat dan ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan masyarakat khususnya yang terkait dengan sosial-keagamaan. Pada acara-acara sosial seperti memberikan santunan kepada anak yatim dan lansia keterlibatannya cukup terbilang aktif karena biasanya kegiatan tersebut diprakarsai oleh guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim dengan melibatkan masyarakat. Kegiatan sosial seperti ini biasanya dilakukan ketika ada momenmomen tertentu seperti pada Perayaan Hari-hari Besar Islam (PHBI) dan juga pada saat merayakan hari ulang tahun pondok pesantren. Selain itu guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim juga aktif menawarkan diri untuk memberikan pendidikan agama bagi masyarakat yang belum memiliki kegiatan keagamaan. Hal ini pernah dilakukan di wilayah gorongan ketika ada Mushalla yang tidak dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat sekitar.18 Sementara untuk kegiatan-kegiatan keagamaan seperti kenduri, maulid Nabi Muhammad Saw., khutbah Jum‟at, kultum bulan Ramadhan, dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang bersifat ritual keterlibatannya masih terbilang pasif karena tidak mungkin akan menghadiri suatu acara tanpa mendapat undangan terlebih dahulu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa guru-guru di Pondok Pesantren Wahid Hasyim telah memiliki modal pribadi dan modal sosial yang memadai sebagai seorang public figure yang berperan aktif di keluarga sebagai family educator, di masyarakat berperan sebagai social developer dan social motivator, yaitu sebagai pembina, pendorong, dan pencerah masyarakat menuju masyarakat yang lebih baik, beradab, dan berbudaya. Untuk lebih jelasnya tentang kompetensi guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim dapat dilihat pada uraian berikut ini.
18
106 |
Wawancara, Ustadz Habib Masduki, 14 November 2013.
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
Kompetensi Kepribadian 1. 2. 3. 4.
Sub Kompetensi Selalu menampilkan diri sebagai pribadi yang arif, berwibawa, dan mandiri Selalu menampilkan diri sebagai pribadi yang berakhlak mulia yang menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Selalu berperilaku sebagai pendidik Mengembangkan diri secara terus menerus sebagai pendidik profesional.
1. 2. 3. 4. 5.
Indikator I Selalu legawa apabila menerima kritik dan saran. Konsisten dalam bersikap dan bertindak. Membiasakan diri meletakkan persoalan sesuai dengan tempatnya. Berpakaian yang sopan berwibawa Arif dan bijaksana dalam segala tindakan.
1. 2. 3. 4. 5.
Indikator 2 Memberi teladan yang baik kepada peserta didik dan masyarakat Tidak merokok didalam kelas Menghormati yang lebih tua. Membimbing masyarakat menjadi lebih beradab. Menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak.
1. 2. 3. 4. 5.
Indikator 3 Menguasai ilmu agama Menguasai ilmu alat (nahwu dan sharaf) Menguasai metode dan strategi dakwah Menjadi teladan peserta didik dan masyarakat Menghargai hak-hak orang lain.
Indikator 4 1. Memanfaatkan berbagai sumber untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kepribadian. 2. Mengikuti berbagai kegiatan yang menunjang pengembangan profesi keguruan. Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|107
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
3. Mengembangkan dan menyelenggarakan kegiatan yang menunjang profesi guru.
Kompetensi Sosial Sub Kompetensi 1. Mampu berkomunikasi secara efektif dengan orang tua peserta didik, sesama pendidik, dan masyarakat sebagai stakeholders dari layanan ahlinya. 2. Berkontribusi terhadap perkembangan pendidikan di sekolah dan masyarakat. 1. 2.
3. 4.
5.
6. 1. 2. 3. 4.
Indikator 1 Aktif memberikan dakwah di masyarakat. Bergaul secara Islami (berdasar syari‟at Islam) dan mempertimbangkan adat-istiadat lokal selama tidak bertentangan dengan Islam. Bergaul secara Islami dengan mempertimbangkan adat istiadat lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Berkomunikasi dengan orang tua peserta didik, sesama pendidik, dan masyarakat tentang program pembelajaran dan kemajuan peserta didik. Mengikutsertakan orang tua peserta didik dan masyarakat dalam program pembelajaran dan dalam mengatasi kesulitan belajar peserta didik. Memiliki kemampuan negosiasi yang baik, jujur, dan amanah. Indikator 2 Merancang berbagai program untuk mengembangkan pendidikan di sekolah dan lingkungan sekitar. Memberikan pelayanan pendidikan agama bagi siswa dan masyarakat sekitar, Mengembangkan potensi masyarakat melalu kerjasama kelompok. Membuka diri dari seluruh elemen masyarakat.
108 |
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
Masyarakat Daerah Binaan
Kelas Sosial Dilihat dari strata sosial masyarakat Desa Condongcatur maka strata sosial daerah binaan dapat klasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Dari segi profesi warga desa Condongcatur berprofesi sebagai pedagang, pegawai negeri sipil, TNI/POLRI, guru, petani, pertukangan, pensiunan, buruh tani, jasa, dan pemulung. Profesi-profesi tersebut sebenarnya sangat rentan menjadikan mereka frustrasi karena tinggal di tengah kota dengan sejuta permasalahan yang sangat kompleks sehingga rentan terjadi penyimpangan. Di sinilah pentingnya peran pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam memberikan pengetahuan agama kepada mereka agar terhindar dari frustrasi atau penyakit mental yang dapat menimbulkan masalah-masalah sosial baru di tengah-tengah masyarakat. Pengetahuan agama dapat membantu masyarakat atau pemeluknya terhindar dari penyakit mental karena agama memberikan ketenangan dan kedamaian hati bagi siapa pun yang menjadikannya pedoman dalam hidup karena biasanya frustrasi dialami oleh mereka yang kering dari pengetahuan agama. Dalam Islam semua yang terjadi di atas muka bumi ini termasuk permasalahan yang menimpa individu tidak terjadi begitu saja melainkan ada kekuatan adikodrati yang tidak mungkin bisa ditolak oleh kekuatan apa pun. Konsep semacam ini lebih dikenal dengan istilah takdir. Konsep takdir ini yang terkadang menjadikan seseorang lapang dada terhadap permasalahan yang menimpanya dan menjadikannya religius pada saat itu. Dalam sebuah survey yang diadakan oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat internasional mengungkapkan bahwa manusia Indonesia adalah manusia paling bahagia di dunia karena meskipun mengalami kesulitan hidup secara umum tidak menjadikan mereka stres atau frustasi. Krisis global yang melanda dunia tidak terlalu mempengaruhi kehidupan mereka karena tetap bisa makan dan beraktivitas seperti biasa. Tidak demikian halnya
Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|109
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
dengan yang terjadi di negara-negara Barat seperti di Amerika dan Eropa yang menunjukkan bahwa masyarakatnya sangat merasa tertekan dengan adanya krisis global yang menimpa dunia. Ini dibuktikan dengan semakin meningkatnya jumlah penjualan obat tidur dan obat penenang dari tahun ke tahun. Kalu boleh menganalisis dari jauh kedua hasil survey tersebut mengapa bisa demikian? Karena di Barat agama tidak terlalu berperan dalam kehidupan masyarakatnya sehingga ketika menghadapi suatu permasalahan yang tidak bisa diatasi tidak jarang hal tersebut menjadikannya stres, depresi, frustrasi, dan penyakit-penyakit mental lainnya karena tidak ada tempat berpijak yang memberikan kedamaian dan ketenangan di dalam hati mereka. Hal itu terjadi karena tidak terjadi pemenuhan kebutuhan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani. Tidak demikian dengan yang terjadi di Indonesia yang dikenal memiliki masyarakat yang religius. Meskipun rakyat Indonesia tidak sesejahtera masyarakat di Barat namun terjadi keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Menurut Hardjana manusia akan berpaling kepada agama ketika menghadapi situasi yang tidak pasti. Manusia akan pergi menghadap Allah Sang Pemberi dan Sang Pemelihara kehidupan di tengah hidup yang tak selalu aman dan tak bebas dari ancaman itu manusia memohon kepada Allah perlindungan agar dijauhkan dari segala marabahaya serta malapetaka akibat bencana alam, penderitaan karena berbagai penyakit dan perbuatan jahat manusia.19 Oleh karena itu agama harus diberikan ruang yang lebih luas dalam kehidupan manusia agar terjadi keseimbangan bagi masyarakat Indonesia. Mencermati hasil survey di atas sikap beragama atau religiusitas masyarakat daerah binaan bisa diposisikan pada dua tempat. Pertama, agama sebagai kebutuhan (fitrah manusia). Kedua, agama sebagat obat hati (mengatasi frustasi). Dua posisi ini menjadi kelebihan yang dimiliki umat beragama karena manusia memiliki dua kebutuhan, AM. Hardjana, Pengahayatan Agama: Yang Otentik dan Tidak Otentik (Yogyakarta: Kaniaius, 1995), 16. 19
110 |
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
yaitu kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan fisik atau jasmani bisa dipenuhi dengan semua hal yang bersifat materi seperti makanan, rumah, uang, istri, dan anak. Sementara kebutuhan non fisik atau rohani hanya bisa dipenuhi dengan sesuatu yang bersifat rohani, seperti shalat, berdoa, sedekah, zikir, puasa dan silaturrahmi. Di sinilah fungsi agama dalam kehidupan manusia. Terpenuhinya kedua kebutuhan tersebut menjadikan hidup manusia seimbang dan akan terhindar dari penyakit lahir dan batin. Satu hal yang perlu dicatat meskipun agama dimanfaatkan sebagai media untuk mengatasi frustrasi namun sikap religiusitas sudah ada dalam diri masyarakat binaan sejak dari kecil. Artinya sikap beragama mereka tidak hanya didasari atas kebutuhan fungsional semata melainkan semua itu telah ada dalam diri mereka meskipun tidak didasari oleh frustrasi. Sebagai contoh shalat sunnah dan fardu, bershalawat kepada Nabi tetap menjadi amalan sehari-hari dalam kondisi apapun. Fakta ini juga sebagai counter terhadap pendapat yang menyatakan bahwa religiusitas pada diri seseorang hanya ada karena fungsional saja.
Kondisi Religiusitas Masyarakat daerah binaan termasuk dalam kategori masyarakat yang majemuk karena dihuni oleh masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Mayoritas dari mereka merupakan penduduk asli dan tidak sedikit juga merupakan pendatang yang berasal dari Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Demikian juga dalam hal organisasi keagamaan, mereka semua tidak berasal dari organisasi yang satu, ada yang berasal dari organisasi Nahdlatul Ulama dan ada juga yang berasal dari organisasi Muhammadiyah. Pluralitas daerah asal dan organisasi yang dipaparkan di atas memberikan gambaran bahwa kondisi religiusitas di daerah binaan bisa dipastikan sangat plural. Nahdlatul Ulama dikenal sebagai Ormas yang menganut paham keagamaan tradisional sangat berpegang teguh terhadap paham-paham ulama klasik dan sangat mengakomodir tradisi-tradisi dan adat istiadat lokal sementara Muhammadiyah Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|111
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
dikenal sebagai Ormas keagamaan modern yang mengaku sebagai modernisa dan merupakan kebalikan dari Nahdlatul Ulama. Cara pandang terhadap pemahaman keagamaan ini sangat berdampak terhadap pengamalan keagamaan (praktek ibadah). Sebagai contoh dalam hal ibadah yang lazim terjadi, organisasi Muhammadiyah melarang anggotanya berziarah kubur, qunut di waktu Subuh, dan merokok tetapi organisai Nahdlatul Ulama sangat menganjurkan ziarah kubur dan qunut di waktu Subuh, dan bahkan tidak melarang anggotanya untuk merokok. Satu hal yang patut disyukuri bahwa meskipun terjadi perbedaan seperti yang telah dikemukakan namun di masing-masing daerah binaan tidak pernah terjadi konflik keagamaan yang menyebabkan ukhwah islamiyah menjadi terputus. Sejauh ini perbedaan-perbedaan mendasar dalam masalah ibadah khususnya tidak menyebabkan silaturrahmi antara warga Nahdlatul Ulama dan warga Muhammadiyah menjadi terputus karena kami yakin guru-guru yang mengajarkan kami memiliki dalil yang kuat ketika mengajarkan ajaran tersebut kepada kami, kata Ibu Sarjinah.20 Itu artinya guru di Pondok Pesantren Wahid Hasyim telah mampu memainkan perannya sebagai pemimpin keagamaan sekaligus pembina masyarakat (social developer) yang senantiasa memberikan pencerahan kepada jama‟ahnya agar tidak mempermasalahkan perbedaan yang ada karena perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang tidak mungkin bisa dihindari oleh siapa pun di dunia ini. Keinginan dan motivasi masyarakat untuk mempelajari dan mendalami ilmu agama sangat tinggi dibuktikan dengan keberadaan masjid, mushalla, dan rumah-rumah penduduk yang dimanfaatkan sebagai tempat pengajian dan acara ritual keagamaan seperti slametan. Lebih-lebih di kalangan ibu-ibu yang selalu rutin mengikuti pengajian mingguan dan bulanan di daerah masing-masing meskipun guru yang mengisi pengajian tidak selalu dari Pondok Pesantren Wahid Hasyim. Dari awal berdirinya Pondok Pesantren Wahid Hasyim sampai saat 20Wawancara,
112 |
Teguh Purwanto 25 Desember 2013.
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
penelitian ini dilaksanakan kegiatan-kegiatn keagamaan masih berlangsung sebagaimana mestinya begitu juga dengan paham-paham keagamaan yang diajarkan dari dulu sampai sekarang masih belum berubah karena masyarakat yakin paham keagamaan yang disampaikan oleh para gurunya memiliki landasan hukum yang kuat. Meskipun ada kalangan yang menolak paham tersebut namun masyarakat mensikapi sebagai sesuatu yang wajar. Kondisi religiusitas masyarakat di atas bisa terwujud disebabkan oleh kehadiran guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim melalui pengajian-pengajian yang aktif dilaksanakan oleh masyarakat. Melalui pengajian tersebut masyarakat diajarkan nilai-nilai Islam yang toleran, ramah, dan baik kepada semua umat.21 Materi-materi pengajian semacam ini menurut penulis sangat berperan dalam mencipatakan kondisi religiusitas di atas karena pemahaman agama yang toleran, ramah, dan baik kepada semua umat akan menjadikan orang lebih toleran, ramah, dan baik dalam bertindak juga sebagaimana yang terjadi pada masyarakat daerah binaan. Hal ini lah yang dilakukan oleh guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim dalam setiap dakwahnya bahkan mereka dilarang menyampaikan sesuatu yang bisa menimbulkan permasalahan baru atau mengungkit luka lama di masyarakat.
Fungsi Religiusitas Diner mengemukakan ada empat fungsi religiusitas dalam diri setiap orang meskipun faktor-faktor banyak mendapat kritikan kalau religiusitas pada diri seseorang hanya bersifat fungsional saja. Keempat fungsi tersebut, yaitu untuk mengatasi frustasi, untuk menjaga kesusilaan serta tata tertib masyarakat, untuk memuaskan intelektual yang ingin tahu, dan untuk mengatasi ketakutan.22 a. Untuk mengatasi frustasi Ketika seseorang memiliki masalah dan secara rasional ia tidak 21 22
Observasi dan wawancara, Ustadz Sunhaji 22 Februari 2014. Dister, Pengalaman ..., 74.
Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|113
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
bisa memecahkannya maka biasanya seseorang akan mengembalikannya kepada agama. Ia akan memohon bantuan kepada kekuatan adikodrati yang berada di luar dirinya. Dalam kondisi ini seseorang akan memasrahkan dirinya dan merasa sangat yakin permohonannya akan dikabulkan. Dengan demikian ia akan mendapat ketenangan batin sehingga akan lebih jernih dalam memandang suatu permasalahan. Di samping itu ketika kebutuhannya tidak bisa terpenuhi maka religiusitasnya akan muncul dengan meminta kepada Allah agar kebutuhannya tersebut bisa terpebuhi. Bagi kelompok yang memusuhi agama seperti Marxisme berpendapat agama adalah pelarian karena beranggapan bahwa orang beragama adalah orang yang berusaha menghindar dari permasalah ekonomi yang tidak bisa diatasi. b. Untuk menjaga kesusilaan serta tata tertib masyarakat Salah satu cara agar bisa dekat dengan Tuhan adalah dengan menjadikan moral sebagai pedoman hidup. Dengan moral kehidupan di masyarakat akan menjadi teratur, aman, dand amai. Segala hal yang terkait dengan moral bisa dijumpai di dalam agama. Oleh karena itu, Agama bisa dijadikan sebagai acuan moral untuk mengatur tatanan sosial masyarakat. Ketika ajaran-ajaran agama berhasil diinternalisasikan maka masyarakat akan dengan mudah untuk dikendailkan. Oleh karena itu agama bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif ketika ketika terjadi kekacauan moral di tengah-tengah masyarakat. c. Untuk memuaskan intelektual yang ingin tahu Intelektual yang ingin tahu bisa mendapatkan tiga sumber kepuasan yang dapat ditemukan dalam agama, yaitu: pertama, agama dapat menyajikan pengetahuan rahasia yang menyelamatkan kejasmanian yang dianggap menghambat dan menghantarkan manusia kepada pengabdian. Kedua, dengan menyajikan suatu moral maka agama memuaskan intelektual yang ingin mengetahui apa yang harus dilakukan manusia dalam hidup agar tercapai tujuannya. Ketiga, agama dapat memuaskan keinginan manusia yang mendalam agar hidup manusia bermakna, sehingga manusia sekurang-kurangnya ikut 114 |
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
menentukan hidup yang dijalani.23 Tidak semua kejadian, fakta, fenomena dan lain sebagainya bisa dijelaskan secara ilmiah karena tidak semua hal bisa dilogikakan. Di sinilah peran agama untuk memuaskan rasa ingin tahu tersebut. Dalam Islam misalnya seorang Muslim ketika ada masalah akan merasa lebih tenang ketika berada di masjid daripada di rumah atau akan merasa lebih tenang ketika memanjatka doa kepada Allah atau fenomena yang menjadi tren saat ini, yaitu salah seorang da‟i di televisi yang dikenal masyarakat luas dengan teori sedekahnya. Ini adalah fakta yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah yang menurut Geertz dengan teori religion as cultural system-nya, semua itu memerlukan thick description untuk dapat memahaminya. d. Untuk mengatasi ketakutan Ketakutan yang dimaksudkan di sini adalah ketakutan yang tidak memiliki obyek nyata, misalnya rasa cemas, galau, takut kena santet, dan takut menghadapi kematian. Perasaan takut merupakan sifat dasar manusia. Ketika rasa takut menghinggapi seseorang biasanya hal itu akan menimbulkan perilaku religius. Maka tidak heran ketika ada seseorang tiba-tiba menjadi taat beribadah dan lain sebagainya. Bisa jadi itu disebabkan karena takut menghadapi kematian karena sedang menderita suatu penyakit. Dengan demikian agama pada kondisi ini dibutuhkan untuk mengatasi rasa takut. Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim dalam Pembentukan Religiusitas Masyarakat Kontribusi atau peran yang dimaksudkan di sini adalah keseluruhan tingkah laku yang dilakukan guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru.24 Tugas guru dalam konteks ini adalah memberikan bimbingan dan nasihat agama kepada masyarakat daerah binaan agar selalu menjadikan nilai-nilai dan ajaran agama sebagai pedoman dalam melaksanakan segala aktivitas sehingga akan 23Ibid.
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), 165. 24
Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|115
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
berpengaruh pada rasa beragama (religiusitas) yang akan diekspresikan dalam pergaulan sosialnya. Adapun dalam pembentukan religiusitas, ada beberapa kontribusi guru-guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim yang dirasakan oleh masyarakat daerah binaan seperti: memperkuat akidah keislaman, taat untuk mengamalkan syariah Islam, memperbaiki akhlak antarsesama manusia Peran yang dimaksudkan di sini adalah peran ustadz-ustadz dari Wahid Hasyim secara aktif maupun pasif. Peran secara aktif maksudnya adalah rasa keberagamaan yang dirasakan masyarakat setelah mengikuti pengajian secara langsung di ustadz-ustadz dari Wahid Hasyim yang di mana rasa keberagamaan mereka terbentuk di sana. Sementara peran secara pasif maksudnya adalah rasa keberagamaan yang dirasakan oleh masyarakat namun tidak diperolehnya secara langsung dengan mengikuti pengajian melainkan melalui pergaulan sehari-hari dengan cara berbagi pengetahuan dan pengalaman keagamaan sehingga itu turut mempengaruhi dan membentuk rasa beragama mereka. Dari fakta di atas menunjukkan bahwa guru-guru di Pondok Pesantren Wahid Hasyim telah mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik, yaitu sebagai pengajar dan pembina masyarakat. Menurut Abdurrahman An-Nahlawi peran dan fungsi guru itu ada dua, yaitu fungsi penyucian dan fungsi pengajaran. Fungsi penyucian, artinya seorang guru pembersih diri, pemelihara diri, pengembang serta pemelihara fitrah manusia. Sedangkan fungsi pengajaran, artinya seorang guru bertugas menyampaikan ilmu pengetahuan agar siswa menerapkan seluruh pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari. 25 Kedua fungsi tersebut telah mampu dijalankan dengan baik oleh guru-guru di Pondok Pesantren Wahid Hasyim baik di lembaga formal seperti madrasah maupun non formal seperti majelis taklim yang dibuktikan dengan keaktifannya dalam Abdurrahman An-ahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat (Jakarta: Gema Insani, 1995), 170. 25
116 |
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
mendakwahkan Islam khususnya bagi masyarakat yang berada di wilayah binaan dengan berbagai pola dan metodenya. Semua itu dijalankan atas dasar kesadaran sendiri sebagai seorang guru dan seorang Muslim yang wajib menjalankan dakwah sepanjang hayat tanpa pamrih. Ini juga membuktikan bentuk religiusitas seorang guru yang di mana aktivitas kesehariannya didasari oleh ajaran-ajaran agama tanpa merasa dipaksa dan mengaharapkan pamrih berupa limpahan materi. Kondisi semacam ini menurut perspektif Ancok dan Nashori masuk dalam kategori dimensi pengmalan syariah.26 Artinya melihat konteks ini tidak hanya masyarakat yang memiliki religiusitas tetapi guru juga memiliki religiusitas yang disebarkan kepada para jama‟ahnya. Bentuk Religiusitas Masyarakat Daerah Binaan Setiap orang maupun masyarakat menampakkan ekspresi keagamaan dalam bentuk yang berbeda-beda. Ada yang dalam kesehariannya mengekspresikan dengan memeliharan janggut dan kumis, kerinduan akan bertemu Allah dan Rasul-Nya yang diekspresikan dengan mengikuti perkumpulan-perkumpulan shalawat seperti yang lazim terjadi, dan lain-lain. Pada bagian ini yang akan ditampilkan hanya ekspresi-ekspresi religius yang bisa diamati oleh peneliti dan yang bisa dipaparkan penjelasannya secara eksplisit. Adapun ekspresi-ekspresi religius dari masyarakat binaan, yaitu shalat berjama‟ah, taman pendidikan al-Qur‟an, peduli sesama, menghadiri pengajian, hubungan baik dengan tetangga (tidak seagama).
Langkah dalam Pembentukan Religiusitas Masyarakat Terkait kontribusi dalam pembentukan religiusitas masyarakat khususnya masyarakat daerah binaan, guru-guru di Wahid Hasyim mewujudkannya dengan mengadakan kegiatan-kegiatan sosialkeagamaan, seperti: memberi santunan anak-anak yatim dan lansia, bazar pakaian bekas, pengajian ibu-ibu, bapak-bapak, dan remaja, Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), 79. 26
Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|117
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
mengisi khutbah jum‟at, menghadiri acara khitanan, yasinan, dan acara-acara keagamaan lainnya apabila diundang, dan menawarkan kegiatan keagamaan di suatu wilayah yang dianggap kegiatan keagamaannya telah lama fakum. Untuk lebih jelasnya kegiatankegiatan tersebut, berikut ini akan diuraikan satu persatu. a. Kegiatan Sosial Kegiatan sosial yang dimaksud adalah kegiatan dengan kemanusiaan sebagai wujud kepedulian terhadap sesama, seperti menyantunai anak yatim dan lansia, menjadi relawan, dan pengobatan gratis. Kegiatan-kegiatan tersebut rutin dilaksanakan sesuai dengan kemampuan. b. Kegiatan Keagamaan Kegiatan keagamaan yang dimaksud adalah kegiatan pengajian yang rutin dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati bersama. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut, pengajian ibu-ibu, pengajian bapak-bapak, pengajian remaja, ziarah makam, pengajian Bahjatul Ummahat, mengisi Perayaan Hari-hari Besar Islam (PHBI), mengisi khutbah Jum‟at, dan mengisi kultum bulan Ramadhan. Metode Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim dalam Pembentukan Religiusitas Masyarakat Daerah Binaan Dalam membina dan membentuk religiusitas masyarakat guruguru Pondok Pesantren Wahid Hasyim menggunakan berbagai metode dakwah sesuai dengan kondisi sosial yang dihadapi. Namun secara teoretis mereka menggunakan metode dakwah yang digunakan oleh Nabi Muhammad saw. Metode-metode tersebut, yaitu: a. Memberikan Peringatan (Al-indzar) Al-Indzar adalah dakwah dengan memberikan peringatan kepada orang lain akan adanya konsekuensi yang harus diterima ketika melakukan suatu pelanggaran. Al-Indzar perlu disampaikan kepada masyarakat agar selalu berhati-hati dalam berbuat dan bertindak. Namun dalam perjalanan dakwahnya guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim jarang menggunakan metode ini karena dikhawatirkan dapat memberikan kesan negatif kecuali dalam 118 |
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
b.
c.
d.
e.
masalah yang disepakati oleh para ulama sebagai sebuah pelanggaran atau kesesatan seperti melakukan melakukan zina, meminum alkohol, mengkonsumsi narkoba, berjudi, dan menipu. Menggembirakan (Al-Tabsyir) Al-Tabsyir adalah dakwah yang berisi kabar gembira kepada orangorang yang selalu mengerjakan amal saleh. Metode ini digunakan untuk memberikan motivasi kepada orang-orang agar terusmenerus mengerjakan amal saleh sebagai bekal di dunia dan akhirat. Berbeda dengan metode al-indzar metode al-tabsyir sangat sering digunakan pada setiap pengajian bahkan metode ini sangat jarang dilupakan. Kasih Sayang dan Lemah Lembut (aAl-Rifq wa al-Lin) Al-Rifq wa Al-lin adalah metode dakwah dengan bersikap kasih sayang kepada audien atau jama‟ah. Metode ini digunakan ketika menghadapi jama‟ah yang pengetahuan agamanya masih sangat kurang. Biasanya orang yang seperti itu sangat sering melakukan pelanggaran-pelanggaran yang sulit ditolerir oleh orang yang pengetahuan dan pemahaman agamanya sudah kuat. Memberikan Kemudahan (Al-Taisir) Al-Taisir adalah metode dakwah yang berisi memberikan kemudahan (rukhshah) bagi orang-orang yang mengalami kesulitan untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agama karena adanya sebab (illat) seperti bagi orang yang sakit diberikan keringanan menunaikan shalat dengan cara duduk apabila tidak mampu berdiri, bagi orang musafir boleh meringkas shalatnya, dalam keadaan darurat boleh memakan daging babi. Tegas dan Keras (Al-Syiddah) Al-Syiddah adalah metode dakwah dengan bersikap tegas dan keras terhadap ketententuan-ketentuan agama yang bersifat fundamental. Pada masa Nabi metode ini digunakan ketika menjumpai para sahabat yang dengan sengaja melakukan pelanggaran agama atau ketika menghadapi orang-orang kafir yang mengajak untuk melakukan pelanggaran kepada Allah seperti ketika Nabi diajak berkompromi dalam peribadatan atau diminta untuk
Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|119
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
menghentikan dakwahnya namun nabi dengan tegas dan keras menolaknya. f. Ofensif dan Aktif (Hujumi wa Fa‟ali)27 Metode dakwah ofensif dan aktif sangat terkait dengan kegiatan mengajak, mengundang, memanggil, dan menyeru dalam kebaikan. Oleh karena itu dakwah dikatakan ofensif karena mereka menjadi contoh terlebih dahulu bagi masyarakat sebelum meminta untuk diamalkan. Dikatakan aktif karena adanya upaya persuasif yang berusaha meyakinkan masyarakat agar mau mengikuti isi dakwah. Ofensif dan aktif ini selalu dilakukan dalam setiap kesempatan dengan menghindari defensif (bertahan). Sebagaimana diketahui bahwa selain menggunakan metode di atas Rasulullah dalam dakwahnya juga mengunakan metode lain seperti metode dakwah dengan lisan (al-dakwah bi al-lisan) dan dakwah dengan akhlak (al-dakwah bi al-hal). Kedua metode tersebut juga digunakan oleh guru-guru di Pondok Pesantren Wahid Hasyim dalam mendakwahkan atau membentuk religiusitas masyarakat. Dakwahdakwah ini terus dilakukan oleh guru-guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim sebagai wujud nyata dari komitmen untuk menjalankan ajaran Islam dalam hal menyebarluaskan ajaran Islam kepada setiap Muslim sesuai dengan kemampuan. Penutup Dari uraian dan penjelasan yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kontribusi guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim dalam pembentukan religiusitas masyarakat daerah binaan terlihat dari keberhasilannya memotivasi masyarakat untuk mengamalkan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari sehingga masyarakat merasa tergerak untuk melakukannya dengan kesadaran sendiri. Banyaknya jumlah masyarakat yang hadir di acaraacara pengajian, masyarakat yang aktif melaksanakan shalat 27 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 39.
120 |
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
berjama‟ah, selalu menjalin silaturrahmi dengan tetangga, dan aktif membantu sesama merupakan wujud keberhasilan dalam membentuk religiusitas masyarakat. Keberadaan guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim yang mau terjun langsung untuk mengajarkan agama sangat membantu mewujudkan semua itu. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam membentuk religiusitas masyarakat dilakukan melalui dua kegiatan. Pertama, kegiatan sosial yang meliputi: menyantuni anak yatim dan lansia, menjadi relawan bencana, dan pengobatan gratis. Kedua, kegiatan keagamaan yang meliputi: pengajian ibu-ibu, pengajian bapak-bapak, pengajian remaja, pengajian bahjatul ummahat, ziarah makam, mengisi perayaan hari-hari besar keislaman, mengisi khutbah Jumat, dan mengisi kultum di bulan Ramadhan. Kegiatan-kegiatan di atas sampai saat penelitian ini dilaksanakan masih rutin dilakukan oleh guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Daftar Pustaka Al-Ghazali, Imam. 1995. Minhajul Abidin, terj. Zakaria Adham. Jakarta: Darul Ulum Press. _______________. 1996. Mutiara Ihya‟ Ulumuddin: Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam. Bandung: Penerbit Mizan. Ali, Muhammad. Tth. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Amani. Ali, Mukti. 1987. Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini. Jakarta: Rajawali Press. Ancok, Djamaluddin dan Suroso, Fuad Nashori. 1994. Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-probelm Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. An-Nahlawi, Abdurrahman. 1996. Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fil Baiti wal Madrasati wal Mujtama‟, terj. Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press. Caroline, C. 1999. Hubungan antara Religiusitas Dengan Tingkat Penalaran Moral Pada Pelajar Madrasah Mu”Allimat Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. dalam http//:hakikat.religiusitas, diakses 20 September 2013. Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|121
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
Damami, Moh., dkk. 2005. Akhlaq/Tasawuf. Yogyakarta: Pokja UIN Sunan Kalijaga. Darajat, Zakiah. 1996. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang. Djamarah, Syaiful Bahri. 1994. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya: Usaha Nasional. Faried, Ahmad. 1997. Tazkiyatun Nufuus wa Tarbiyatuha Kama Yuqarriruhu Ulama‟us Salaf, terj. M. Azhari Hatim. Surabaya: Penerbit Risalah Hati. Griffin, David Ray (ed.). 2005. Spirituality and Society: Post Modern Visions, terj. A. Gunawan Admiranto. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hamalik, Oemar. 2003. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: Bumi Aksara. Hardjana, AM. 1995. Pengahayatan Agama: Yang Otentik dan Tidak Otentik. Yogyakarta: Kaniaius. Hidayat, Komaruddin. 2008. Psikologi Beragama, Jakarta: Hikmah.. Himpunan PP 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. 2011. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. Ismail Bransika, Dien Muhammad. 2011. Pesantren dan Perubahan Sosial: Studi Peran Pondok Pesantren As-Salam Srigunung Sungai Lilin Musi Banyu Asin Sumatera Selatan. Yogyakarta: Tesis PPS UIN Sunan Kalijaga. Jalaluddin, Psikologi Agama. 1997. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Khaldun, Ibn. 1986. Muqaddimah Ibn Khaldun, terj. Ahmadie Toha. Jakarta: Pustaka Firdaus. Kompetensi sosial Guru, dalam http://riariok.blogspot.com/2012/01/kompetensi-sosialguru.html, diakses tanggal 25 September 2013. Mangunwijaya, Y.B. 1982. Sastra dan Religiusitas. Yogyakarta: Kanisisus. Muhaimin. 2001. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nottingham, Elizabeth. Tth. K., Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama, terj. Abdul Muis Naharong. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. N.S., Dister. 1992. Pengalaman dan Motivasi Beragama: Pengantar Psikologi Agama. Jakarta: Lappenas.
122 |
Fitrah Jurnal Studi Pendidikan
Sahrizal Fahlawi, Kontribusi Guru Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta…
Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008. Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka. Qomar, Mujamil. Tth. Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrtisasi Institusi. Jakarta: Penerbit Erlangga. RI, Depag. 1985. Petunjuk Pelaksanaan Tugas Guru Agama Pada SMTA. Jakarta: Dirjen Agama Islam. Salim, Agus (ed). 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. Sehartian, Piet A. 1994. Profil Pendidik Profesional. Yogyakarta: Andipratita Trikarsa Mulia. Shihab, M. Quraish. 2011. Tafsir Al-Mishbah, Jilid 2. Jakarta: Penerbit Lentera Hati. Undang-undang Guru dan Dosen. 2009. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Uno, Hamzah B. 2007. Profesi Kependidikan: Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Usman, M. Uzer. 2000. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Rosdakarya. Syafi‟i, Nurdin. 2008. Kontribusi Pesantren Dalam Mencetak Santri Mandiri. Yogyakarta: Tesis PPS UIN Sunan Kalijaga. Syah, Muhibbin. 1996. Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Soenarjo, dkk. 1995. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Semarang: Thoha Putra. Tohirin. 2006. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Thoullus. 1992. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta: Rajawali Press. Uno B. Hamzah. 2007. Profesi Kependidikan: Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Victor. 1996. Spiritualitas, Pluralitas, dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Gunung Mulia. Yaqub, Ali Mustafa. 2000. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: Pustaka Firdaus. Zimek, Manfred. 1986. Pesantren dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B. Soendjojo. Jakarta: P3M. Zuhairini, dkk. 1983. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Surabaya: Usaha Nasional.
Vol. 5, No. 1, Juni 2014
i
|123