Kontekstualitas Al-Qur’an: Studi Relasi Konsep Dan Konteks Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd Oleh:
Zulkifli1 Abstrak
Artikel ini membahas pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd tentang tekstualitas alQur’an. Argumentasi artikel ini adalah bahwa konsep tekstualitas al-Qur’an yang dikemukakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd bukan hanya meniscayakan interpretasi kontekstual terhadap al-Qur’an, namum meniscayakan pula memahami relasi suatu konsepdengan konteks kehidupan interpreter sebagai metode dalam mengkaji penafsiran tekstual dan kontekstual baik al-Qur’an dan Hadith. Kajian terhadap pemikiran Abu Zayd membuktikan bahwa konsep tekstualitas al-Qur’an terkonstruks dari faktor pendidikan dan faktor konteks seting sosio-politik kehidupannya.Keseluruhan argumentasi inisependapat dengan pemikiran para modernis Islam seperti Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi yang memandang perlunya reinterpretasi al-Qur’an secara kontekstual.Sebaliknya, argumentasi ini berbeda pendapat dengan para tekstualis seperti Syekh Abd. Al-Aziz bin Baz dan Salafisme yang cenderung menafsirkan al-Qur’an secara literal. Kata kunci: Tekstualitas, Konsep, Konteks, Nasr Hamid Abu Zayd
1
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2013 email:
[email protected]
I.
PENDAHULUAN Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd (selanjutnya disebut Abu Zayd)
tentang pembacaan al-Qur’an dipandang sangat kontroversial oleh sebagian orang terutama kuam Islamis, dimana salah satu tesisnya adalah al-Qur’an sebagai produk budaya.2Kaum tradisionalis dan fundamentalis menganggap Abu Zayd telah menghancurkan monopoli studi al-Qur’an yang selama ini secara tradisional dikuasai oleh para ulama.3 Bahkan, Ali Harb mengkritik Abu Zayd sebagai seorang yang progresif-sekuleris dalam pendapat-pendapatnya, namun ia adalah fundamentalis dari sisi logika dan struktur berpikirnya. Abu Zayd menurut Ali Harb bergumul dengan konsep-konsepnya seperti orang-orang fundamentalis bergaul dengan dasar-dasarnya yang paten, yaitu oknum-oknum yang kekal, kebenaran yang parsial, atau gagasan-gagasan yang sudah tersedia.4 Selain itu, pembacaan al-Qur’an seperti yang dilakukan oleh Abu Zayd merupakan fenomena yang berkembang dikalangan sarjana Islam kontemporer. Selain Abu Zayd, beberapa sarjana Islam lain juga melakukan pembacaan alQur’an secara kritis, seperti Hasan Hanafi, Muhammed Arkoun, Fazlu Rahman, Muh}ammad Shahrur, dan lain-lain seperti Farid Esack.5Oleh sebab itu, alQur’an dalam konteks kontemporer bukan hanyasemata kitab suci yang menjadi pedoman hidup umat Islam, namun menjadi objek studi ilmiah para sarjana Islam maupun Barat.Bahkan, seperti yang dikatakan oleh Yusuf Rahman yang mengutip pandangan Andrew Rippin, periode ini merupakan masa ke-emasan
2
Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an terjemahan Khoiron Nahdliyyin (Yogyajkarta: LKiS, 2005), 19., Nasr Hamid Abu Zaid, “SifatSifat Ilahi dalam Al-Qur’an: Beberap Aspek Puitis”, dalam John Cooper, Ronald L. Nettler, dan Mohamed Mahmoud, Pemikiran Islam, terjemahan Wahid Nur Effendi, (Jakarta: Erlangga, 2002),196. 3 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd (Jakarta: Teraju, 2003), 2. 4 Ali Harb, Kritik Nalar Al-Qur’an, (Yogyakarta: LKis, 2003), 338. 5 Lihat Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum: Sejarah, Filsafat&Metode Tafsir (Malang: UB Press, 2011), lihat juga Taufik Adnan Amal dan Syamsul Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2006), 9.
2
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
Kontektualitas al-Qur’an: Studi Relasisasi konsep Dan konteks pemikiran nasr hamid abu zayd
al-Qur’an.6 Karena itu, tidak heran banyak muncul tokoh-tokoh dan pemikir yang mencurahkan perhatiannya mengkajial-Qur’an. Muhammad Shahrur dan Fazlur Rahman misalnya, dalam memahami teks al-Qur’an, keduanya sama-sama menyelaraskan teks dengan kondisi kekinian sehingga argumentasi al-Qur’an sesuai dengan perkembangan zaman dapat dibuktikan. Meskipun demikian, terdapat perbedaan yang sangat kentara antara keduanya yakni sama-sama mengakui asbab al-nuzul misalnya, namun Shah}ru>r kendati mengakui hal ini dalam konteks ayat hukum atau risalah, ia tidak menggunakannya dalam praksis memahami ayat. Sementara menurut Fazlur Rahman cara efektif memahami teks ayat adalah dengan memahami makna teks dan konteks ayat ketika diturunkan, lalu baru dikontekstualisasikan.7 Seperti halnya Fazlur Rahman yang berbeda pandangan dengan Shahrur, Abu Zayd juga demikian halnya.Menurutnya memandang secara kritik teks dan sejarah teks penting untuk memahami makna asli teks ketika teks itu diturunkan. Oleh karena itu, ia mengkritisi pandangan Shahrur yang cenderung meninggalkan sejarah teks meskipun ia mengakuinya. Abu Zayd mengatakan bahwa pandangan Shahrur sulit dipertahankan secara ilmiyah, karena subjektifitas
penafsir
lebih
mendominasi
objektifitas
teks.
Akibatnya,
pemahaman Shahrur menurut Abu Zayd tendensius dan diwarnai ideologi tertentu.8Sebaliknya, Shahrur juga mengkritisi pemikiran Abu Zayd tentang alQur’an sebagai produk budaya. Dalam pandangan Shahrur kesimpulan tersebut
6
Yusuf Rahman (Dosen SPs UIN JKT) mengemukakan hal ini dalam perkuliahanAlQur’an Tekstual dan Kontekstual dan Metode Studi Islam di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 7 Asjmuni Abdurrahman, Memahami Makna Tekstual, Kontekstual, dan Liberal: Koreksi Pemahaman atas Loncatan Pemikiran (Jakarta: Suara Muhammadiyah, 2009), 80. 8 Nasr Hamid Abu Zayd, Teks Otoritas Keagamaan (Yogyakarta: LKiS, 2002), 143. Bandingkan dengan Fauz Nur, Berpikir Seperti Nabi: Perjalanan Menuju Kepasrahan (Yogyakarta: LKiS, 2009), 42.
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
3
menunjukkan bahwa Abu Zayd tidak mampu membedakan mana perkataan manusia dan mana perkataan Tuhan. Bertolak dari diskursus tersebut, seperti yang telah dikemukakan di awal, tujuan makalah ini yakni membahas pemikiran Abu Zayd tentang tekstualitas alQur’an.Dalam hal ini, bagaimana tekstulitas al-Qur’an yang dimaksudkan oleh Abu Zayd dan bagaimana relasi konsep tersebut dengan setting sosial kehidupannya adalah pertanyaan utama yang akan didiskusikan dalam artikel ini. Diskursus tema ini berkaitan dengan pemabahasan mata kuliah yang mengkaji penafsiran al-Qur’an dan Hadits secara tekstual dan konstekstual. Namun, makalah ini bukan hanya akan menyimpulkan peta pemikiran Abu Zayd ke dalam tekstual atau kontekstual, tetapi lebih dari itu bagaimana pola metode Abu Zayd dalam merefleksikan hubungan teks dan konteks.
II.
BIGRAFI NASR HAMID ABU ZAYD Sebelum lebih jauh mengurai bagaimana relasi teks dan konteks menurut
Abu Zayd, terlebih dahulu dibahas biografinya.Tujuannya adalah bukan hanya mengenal sepintas tokoh dalam kajian ini, namun lebih dari itu untuk melihat sejauh mana pengaruh latarbelakang kehidupannya berpengaruh terhadap intelektualitas khusus berkaitan dengan pembacaan al-Qur’an. Untuk itu, pembahasan dalam sub bab ini meliputi sejarah kelahiran, pendidikan, dan seting social politik kehidupan Abu Zayd. Nasr Hamid Abu Zayd lahir di Tahta Mesir, pada 7 Oktober 1943 M. Bapaknya adalah seorang aktifis Al-Ikhwan Al-Muslimun dan pernah dipenjara oleh pemerintah yang berkuasa ketika itu. Sebagaimana umumnya anak-anak Mesir, dia mulai belajar di Kuttab pada usia empat tahun dan mampu mengkhatamkan hafalan al-Qur’an pada usia delapan tahun.Menginjak usianya sebelas tahun, Abu Zayd kecil telah bergabung dengan gerakan Al-Ikhwan AlMuslimun mengikuti jejak bapaknya.Padahal dalam usia tersebut gerakan ini 4
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
Kontektualitas al-Qur’an: Studi Relasisasi konsep Dan konteks pemikiran nasr hamid abu zayd
tidak memperkenankan seseorang menjadi aktivisnya. Karena itulah, ia pernah dipenjara selama satu hari namun dilepaskan kembali karena usianya masih anak-anak. Selain belajar di Kuttab, Abu Zayd juga menempuh pendidikan dasar dan menengah di Thantha. Ia kemudian menyelesaikan pendidikan tinggi S1 tahun 1972,Magister tahun 1977, dan program doktor (S3)tahun 1981 di Universitas Cairo dengan konsentrasi sastra Arab. Ia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Middle Eastern Studies, Universitas Pennylvania, Philadelphia. Ia pernah mengajar di Jepang sebagai dosen tamu bahasa Arab selama empat tahun (1985-1989) pada Universitas Osaka, Jepang. Karier akademik dimulai sebagai asisten dosen di jurusan bahasa Arab, Fakultas Sastra tahun 1972.Tahun 1976 hingga 1987 tercatat sebagai pengajar bahasa Arab di pusat diplomat dan menteri pendidikan. Ia juga mulai mengajar Studi Islam tahun 1982 dan tahun 1995 mendapatkan gelar professor penuh dalam bidang yang sama. Di samping itu, ia juga pernah mendapatkan beberapa penghargaan dan beasiswa dalam pengembangan keilmuannya tentang studi Islam. Tahun 1975-1977 misalnya, ia mendapat bantuan beasiswa dari Ford Foundation Fellowship agar belajar di Universitas Amerika. Tahun 1978-1979 mendapat beasiswa di Center for Middle East Studies, Universitas Pennsylvania, Philadelphia, USA. Seperti yang disinggung sebelumnya, ia menjadi professor tamu di Osaka University of Foreign Studies Jepang tahun 1985-1989, dan di Universitas Leiden Belanda tahun 1995-1998. Karya tulis Nasr Hamid Abu Zayd yang telah diterbitkan antara lain: 1. The al-Qur’an: God and Man in Comminication 2. Al-Khitab wa al-Ta’wil 3. Dawair Al-Khawf: Qira’ah fi Khitab al-Mar’ah Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
5
4. Al-Nash, al-Sultah, al-Haqiqah: al-Fikr al-Dini bayna Iradat alMa’rifah wa Iradat al-Haymanah 5. Al-Tafkir fi Zaman al-Takfir: Didda al-Lahl wa al-Zayf wa al-Khurafat 6. Naqd al-Khit}ab al-Dini 7. Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an 8. Rasionalisme dalam tafsir: Studi Konsep Metafora menurut Mu’tazillah 9. Filsafat
Hermenurtika:
Studi
hermeneutika
AL-Qur’an
menurut
Muhyiddin ibn ‘Arabi 10. Imam Syafi’i dan Peletak Dasar Ideologi Tengah Akhirnya, Abu Zayd meninggal pada hari senin 5 Juli 2010, akibat serangan virus langka yang secara medis belum ditemukan cara pengobatannya.9 Dugaan sementara, virus tersebut berasal dari Indonesia karena ia baru pulang dari negara tersebut.Meskipun demikian, istrinya tidak mau berspekulasi atas dugaan tersebut.Ia tetap menganggap bahwa suaminya memang sudah mengidap suatu penyakit sejak sebelum berangkat ke Indonesia.
III.
TEKSTUALITAS AL-QUR’AN Secara umum al-Qur’an10oleh umat Islam dipandang sebagai firman
Allah swt dan bersifat sakral atau ilahiah. Sementara bumi, khususnya kehidupan manusia merupakan konteks dimana kepadanya firman Allah swt.diturunkan.Dalam perspektif teori asbab al-nuzul meskipun teori ini oleh
9
Henry Shalahuddin, Al-Qur’an di Hujat (Depok: Al-Qalam, 2007). Para pemikir Islam awal telah memberikan batasan yang jelas telah tentang al-Qur’an. Menurut mereka, al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang merupakan mu’jizat diturunkan kepada Muhammad melalui Jibril dan ditulis secara mutawatir dalam mushaf mulai surat al-fatihah dan diakhri dengan suarat al-nas serta membacanya bernilai ibadah. Nasr Hamid Abu Zayd cenderung memaknai al-Qur’an yang berakar dari kata qara’ dengan ‘membaca’ daripada ‘mengumpulkan’. Sebab, al-Qur’an menurutnya sesuai dengan disampaikan oleh Allah kepada Muhammad dalam bentuk lisan. Selain itu, meskipun ditulis dalam bentuk tulisan, al-Qur’an tidak pernah ditangani sebagai teks tertulis dalam kehidupan sehari-hari muslim awal.Lihat Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an terjemahan Muzakkir, (Bogor: Pustaka Letera AntarNusa, 2013), 23., Nasr Hamid Abu Zaid, “Sifat-Sifat Ilahi dalam Al-Qur’an…,196. 10
6
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
Kontektualitas al-Qur’an: Studi Relasisasi konsep Dan konteks pemikiran nasr hamid abu zayd
ulama klasik membahas khusus peristiwa yang terjadi sekitar turunnya ayat-alQur’an adalah teks ilahiah yang diturunkan ke bumi sebagai konteksnya. Berdasarkan asumsi ini maka bumi atau kehidupan manusia merupakan asbab umum diturunkannya al-Qur’an.Dalam perspektif ini pula dipahami bahwa terdapat hubungan yang erat antara teks dan konteks dimana salah satunya dapat diungkap bahwa teks bertujuan mempengaruhi konteks.Smith menyatakan bahwa Kitab suci adalah sebuah aktifitas manusia.Ia berjalan terus dan penting serta lebih signifikan dibanding dengan yang lain seperti seni. Namun,ia juga seperti aktivitas manusia lainnya yakni memiliki keragaman.11 Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Yunan Yusuf, kitab suci menjadi agung dan bermakna manakala interpretasi dan kesadaran manusia untuk merealisasikan pemahaman akan teks dalam kehidupan yang konkrit.12 Namun, Nasr Hamid Abu Zayd menganggap al-Qur’an sebagai teks bahasa manusiawi, bukan teks ilahiah.13Hal ini menurutnya telah dikenal dalam studi al-Qur’an baik secara implisit maupun secara eksplisit.14Al-Qur’an sebagai suatu teks yang dimaksudkan oleh Abu Zayd adalah fakta dimana al-Qur’an terbentuk dalam realitas dan budaya dalam rentan waktu lebih dari dua puluh tahun. Dengan kata lain, wahyu yang diturunkan kepada Muhammad saw. dalam bentuk bahasa Arab dan disimbolisasikan pada mushaf selama lebih dua puluh tahun telah menjadi dan merupakan teks historis.
11
Wilfred Cantwell Smith, Kitab Suci Agama-Agama (Jakarta: Teraju, 2005), 25. Yunan Yusuf, “Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di Indonesia Abab ke 20,”dalam jurnal Ulumul Qur’an No. 4 (Jakarta: Aksara Buana, 1992), 50. 13 Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an…,19., 14 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an…, 62. Lihat lebih lanjut Nasr Hamid Abu Zayd, “The Textuality the Koran,” dalam Islam and Europe in Past and Present.NIAS, 1997, h. 43. 12
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
7
Konsep tekstualitas al-Qur’an tersebut juga diakui oleh pemikir Islam lain seperti Fazlur Rahman dan Muhammad Arkoun15. Fazlur Rahman mengatakan bahwa al-Qur’an secara keseluruhan adalah kata-kata Allah, dan juga keseluruhannya merupakan kata-kata Muhammad. Senada dengan pendapat ini, Arkoun sebagaimana dikutip oleh Moch Nur Ikhwan, mengatakan bahwa alQur’an kata-kata Allah, wacana al-Qur’an, korpus tertutup resmi, dan korpuskorpus tertafsir.Teks al-Qur’an yang ada sekarang adalah korpus tertutup resmi yang tidak lebih dari sebuah fakta kultural. Distingsi Arkoun ini menurut Nur Ichwan
sangat
penting
untuk
memahami
tekstualitas
al-Qur’an,
dan
memperkenankan sebuah pembacaan yang sophisticated atas al-Qur’an.16 Gagasan al-Qur’an sebagai teks seperti yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman, Arkoun, dan Abu Zayd di atas tidak disepakati oleh sebagian intelektual Islam. Abu Zayd mengungkap seorang profesor di Universitas AlAzhar memprotes kata “teks” mengacu kepada al-Qur’an yang ia gunakan dalam bukunya The Conception of the Text.Profesor yang tidak disebut namanya tersebut berargumen bahwa “Disepanjang sejarah Islam, tidak seorang pun yang telah memakai dalam acuan pada al-Qur’an kata-kata selain daripada yang dipakai Tuhan sendiri dalam al-Qur’an. Tidak seorang ulama pun telah pernah memperlakukan al-Qur’an sebagai teks, karena ini cara orang Eropa orientalis menghadapi al-Qur’an”.17 Menanggapi pendapat tersebut, Abu Zayd menjelaskan bahwa “nash” dalam konteks modern memiliki arti yang sama dengan istilah “teks” dalam 15
Muhammad Arkoun merupakan guru besar sejarah pemikiran Islam.Ia lahir 1928 di Tourirt-Mimoun Kabilia, Aljazair. Sejak 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne Paris, dan sejak 1969 mengajar di Universitas Lyon. Lihat Johan H. Meuleman,‘Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran Mohammed Aekoun,”dalam jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 4, vol. 1 1993, 94. 16 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an…, 63. Lihat juga Asiqin Zuhdi, “Historisitas Dalam Kajian Islam: Perspektif Ijtihad Mohammad Arkoun” dalam M. Arfan Mu’ammaf, Abdul Wahid Hasan, Studi Islam Perspektif Insider dan Outsider (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), 132. 17 Nasr Hamid Abu Zaid, “Sifat-Sifat Ilahi dalam Al-Qur’an…197.
8
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
Kontektualitas al-Qur’an: Studi Relasisasi konsep Dan konteks pemikiran nasr hamid abu zayd
bahasa Inggris, meskipun dalam konteks klasik memiliki makna yang berbeda. Sebagaimana umumnya diketahui dalam bahasa Arab klasik, kata kerja nassaartinya ‘mengangkat’, dan dari arti ini berkembang konotasi-konotasi lain seperti menunjukkan kejelasan fisik dan konsep atau gagasan. Begitu pula kata nash dalam studi al-Qur’an dan fiqh berkonotasi setiap pernyataan al-Qur’an yang jelas dan tidak membutuhkan penjelasan.18 Sementara dalam konteks pemikiran Islam modern nash atau teks antara lain berkonotasi “kitab atau buku”. Selain itu, penolakan terhadap tekstualitas al-Qur’an memunculkan kembali perdebatan tentang al-Qur’an sebagaimana yang terjadi pada fase awal Islam antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Golongan yang disebut terakhir ini menyatakan bahwa bahasa bukanlah temuan manusia melainkan sebuah anugerah ilahi kepada manusia berdasarkan pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31. Oleh karena itu, hubungan antara the signifier dan the signified menurut pendapat
ini
dibuat
oleh
Allah
sendiri
dan
hubungan
ini
bersifat
ilahiah.Berdasarkan asumsi ini kemudian disimpulkan bahwa firman Allah bukanlah tindakan yang diciptakan melainkan salah satu sifat-sifatNya yang kekal.19 Berbeda dengan teori Asy’ariah, teori Mu’tazilah mengenai hubungan antara manusia, bahasa, dan teks suci adalah teori paling rasional.Teori ini sebagaimana diungkap oleh Abu Zayd memusatkan pada manusia sebagai yang disapa teks dan kepada ajaran-ajarannya diarahkan.Asumsi dasar teori ini adalah 18 19
Nasr Hamid Abu Zaid, “Sifat-Sifat Ilahi dalam Al-Qur’an…,199. Nasr Hamid Abu Zaid, “Sifat-Sifat Ilahi dalam Al-Qur’an…,199.Adapun QS. 2: 31
adalah Artinya: Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!". QS. Al-Baqarah: 31.
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
9
bahwa bahasa merupakan temuan manusia, dalam arti bahasa mencerminkan konvensi sosial mengenai hubungan antara bunyi dan makna. Di sisi lain, bahasa tidak mengacu secara langsung kepada realitas, melainkan realitas dirasakan, dikonseptualisasikan, dan kemudian disimbolkan melalui system bunyi. Sebagai bukti, teori ini menunjukkan bahwa kata “phoenix” atau “anqa” masing-masing bahasa Inggris dan Arab tidak mengacu pada realitas yang ada.Oleh karena itu, Mu’tazilah berkesimpulan bahwa teks al-Qur’an merupakan tindakan yang diciptakan, bukan ungkapan verbal kekal Allah swt.20 Terlepas dari teori yang dikemukakan oleh Mu’tazilah, tektualitas alQur’an menurut Abu Zayd harus ditegaskan oleh al-Qur’an sendiri.Sebab, setiap teks secara tersurat maupun tersirat mengungkap cirinya sendiri. Untuk itu, ia mengemukakan tiga konsep sebagai bukti dan karakter tekstualitas al-Qur’an yang berasal dari teks itu sendiri.Pertama adalah konsep wahyu.Konsep ini secara bahasa bermakna pemberian informasi secara rahasia. Dengan kata lain, wahyu merupakan suatu hubungan komunikasi antara dua pihak yang mengandung pemberian informasi secara samar dan rahasia. Istilah ini secara semantik sepadan dengan istilah firman Allah atau kalam Allah dalam alQur’an, dankarena al-Qur’an adalah sebuah pesan, maka sudah selayaknya pesan tersebut dianggap sebagai teks.21 Kedua,konsep struktur dan historisitas. Konsep ini membuktikan tekstualitas al-Qur’an dengan menunjukkan fakta bahwa struktur al-Qur’an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf tidak sama atau berbeda dengan historisitas al-Qur’an, yakni urutan kronologis turunnya wahyu. Persoalan dalam hal ini bukan siapa yang menyusunnya, namun lebih pada mengapa, dan menurut norma-norma dan nilai-nilai mana?. Konsep ketiga sebagai ciri tekstualitas al-Qur’an adalah muhkamat dan mutasyabihat.Ayat-ayat yang jelas
20 21
10
Nasr Hamid Abu Zaid, “Sifat-Sifat Ilahi dalam Al-Qur’an…,204. Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an…, 29-63.
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
Kontektualitas al-Qur’an: Studi Relasisasi konsep Dan konteks pemikiran nasr hamid abu zayd
(muhkamat) merupakan tulang punggung dan induk teks, sementara ayat-ayat yang samar (mutasyabihat) harus ditafsirkan dengan ayat-ayat yang jelas.Dalam hal ini, tidak kesepakan antara para sarjana Islam tentang ayat-ayat masingmasing tipe, namun ada kesepakatan bahwa teks merupakan ukuran dari dirinya sendiri dan dengan demikian makna dari sebuah ayat semestinya ditentukan dari segi bukti intra al-Qur’an. Uraian tersebut bukan hanya menunjukkan tekstualitas al-Qur’an, namun lebih jauh Abu Zayd memperlihatkan bahwa al-Qur’an adalah teks sejarah.Teks apapun merupakan fenomena sejarah dan memiliki konteks yang khusus termasuk al-Qur’an.Meskipun sumber teks al-Qur’an bersifat ilahiah, namun kenyataan ini tidak menafikan realitas kandungannya, dan karena itu tidak menafikanketerkaitannya dengan budaya. Al-Qur’an merupakan wahyu dan atau pengejewantahan firman Allah dalam masa dan tempat yang spesifik, maka apayang diwahyukan kepada Muhammad saw. dalam bahasa Arab pada abad ke 7 M adalah sebuah teks sejarah. Sebagai teks sejarah, al-Qur’an merupakan subjek pemahaman dan penafsiran, atau seperti yang dikatakan oleh Abu Zayd bahwa interpretasi adalah wajah lain dari teks.Meskipun ia mengakui pula bahwa historisitas al-Qur’an sebagai teks bukanlah, dan semestinya tidak, berarti bahwa al-Qur’an merupakan tesk buatan manusia’.22Namun, teks tunduk pada interpretasi sebagaimana ketika teks diturunkan sejak masa kenabian.Oleh sebab itu pembacaan terhadap al-Qur’an sebagai teks merupakan keniscayaanguna mengkaji struktur budaya yang turut mengitarinya.23Artinya penafsiran merupakan pergumulan penafsir dengan teks, dan karenanya penafsir seharusnya juga bergumul dengan struktur budaya yang membentuk teks.Hal ini 22
Nasr Hamid Abu Zaid, “Sifat-Sifat Ilahi dalam Al-Qur’an…, 204. Nasr Hamid Abu Zaid, Al-Nash, Al-Sultah, al-Haqiqah: al-Fokr al-Dini bayna Iradat al-Ma’rifah wa Iradat al-Haymanah (Beirut: al-markaz al-Tsaqafiy al-‘Arably, 1995), 149. 23
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
11
penting dilakukan agar ditemukan makna asli teks dan membedakannya dengan teks yang dikonstruksi oleh nalar ideologi penafsir. Selain itu, gagasan tekstualitas al-Qur’an Abu Zayd juga mengungkap bahwa al-Qur’an adalah produk dan pencipta budaya.Sebagai produk budaya, alQur’an terbentuk dalam realitas dan budaya dalam rentan waktu lebih dari dua puluh tahun.24 Teks dilihat dan dipahami atas dasar fakta bahwa ia muncul dalam sebuah struktur budaya tertentu dan ditulis berpijak pada aturan-aturan budaya tersebut, dimana bahasa merupakan sistem pemaknaan yang sentral.25Oleh karena itu, analisis terhadap fakta-fakta empiris ketika pewahyuan teks menjadi langkah awal dalam kajian teks itu sendiri. Sementara al-Qur’an sebagai produsen budaya terlihat ketika teks dipahami dan dibawa masuk ke sanubari yangberdampak pada terbentuknya suatu tradisi dan sistem kebudayaan baru.26Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa al-Qur’an merupakan teks sentral dalam sejarah kebudayaan Arab, dan karenanya disebut sebagai peradaban teks.Artinya, dasar-dasar ilmu dan budaya Arab Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas landasan teks, meskipun tidak dapat dinafikan terdapat faktor-faktor lain pembangun perdaban Arab. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Abu Zayd berusaha mengkaji al-Qur’an dari pendekatan sastra dan lingustik modern.Untuk itu, alQur’an mesti dikaji secara rasional yakni dengan memandangnya sebagai teks manusiawi yang tercipta dalam sejarah dan kebudayaan manusia.Bahkan teks menjadi hegemonik dengan berdinamika dalam ruang dan waktu kehidupan manusia.Karenanya, seting sosial dan budaya, ekonomi dan politik, agama dan pemikiran menjadi fakta empiris dalam mengkaji tekstualitas al-Qur’an.
24
Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an…, 19. Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an…, 71. 26 Nasr Hamid Abu Zaid, “Sifat-Sifat Ilahi dalam Al-Qur’an…,206. 25
12
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
Kontektualitas al-Qur’an: Studi Relasisasi konsep Dan konteks pemikiran nasr hamid abu zayd
IV.
INTERPRETASI TEKS Gagasan utama Abu Zayd tentang interpretasi adalah bahwa tekstualitas
al-Qur’an tidak terpisahkan dari penafsiran.Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, al-Qur’an sebagai teks sejarah merupakan subjek pemahaman dan penafsiran maka interpretasi adalah wajah lain dari teks menurutnya. Begitu pula ia mengatakan bahwa teks dan interpretasi memiliki hubungan seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.Oleh karena itu, Abu Zayd sebagaimana dikupas oleh Nur Ichwan, berargumen pula bahwa al-Qur’an merupakan teks keagamaan yang baku dalam kata-kata literalnya namun ketika ditundukkan kepada akal manusia, ia menjadi sebuah konsep yang menciptakan makna.27 Konsep Abu Zayd tentang kesatuan teks dan interpreatasi seperti disebut di atas bukanlah hal baru dalam tradisi Islam.Gagasan ini telah berkembang sejak al-Qur’an diturunkan bahkan telah terkonstruks sebagai suatu disiplin ilmu dalam studi al-Qur’an yang disebut dengan ilmu tafsir.Tafsir merupakan ijtihad mufassir dalam mengungkap kandungan makna ayat-ayat dalam al-Qur’an dan mengintimbat
hukum
darinya.Meskipun
demikian,
terdapat
perdebatan
dikalangan intelektual terkait dengan usaha memahami teks al-Qur’an, apakah disebut dengan tafsir atau takwil.Sebagian ilmuan memandang tidak ada perbedaan yang signifikan antara tafsir dan takwil, namun sebagian ilmuan lainnya justru melihat ada perbedaan antara kedua konsep tersebut. Abu Zayd termasuk tokoh pemikir yang melihat ada perbedaan antara tafsir dan takwil. Bagi Abu Zayd, tafsir memiliki konotasi memberi penjelasan dan klarifikasi serta bertujuan memberikan informasi berupa pemahaman dan pengetahuan tentang teks al-Qur’an.Tafsir lebih lanjut tafsir hanya menjelaskan makna teks terluar dan mengambil hukum darinya.Sementara takwil bukan 27
Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an…, 71.
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
13
hanya mengungkap makna terluar dari teks, tetapi lebih dari itu mengungkap makna terdalam dan tersembunyi dari teks. Oleh sebab itulah, dalam takwil seorang interpreter tidak hanya menggunakan pendekatan linguistik dan ilmuilmu al-Qur’an tradisional seperti yang terdapat dalam ulumul Qur’an, namun menggunakan pula pendekatan ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, sejarah, ekonomi, politik dan ilmu-ilmu kemanusiaan lannya dalam mengungkap makna teks. Sebagai suatu teks yang meniscayakan interpretasi, maka bagaimana menginterpretasi teks merupakan perkara yang sangat penting bagi Abu Zayd. Sebab, misinterpresi sangat berbahaya dankarena itu tidak semua interpretasi diperkenankan menurutnya.Sebaliknya, ia memandang banyaknya interpretasi bukanlah masalah utama karena hal ini tidak bisa dihindarkan. ‘Walaupun teks ini secara historis awalnya bersifat ilahiah, namun penafsirannya adalah mutlak manusiawi’ ungkpanya.Oleh sebab itu, bagaimana metode interpretasi merupakan keniscayaan karena berkaitan dengan validitas interpretasi. Menurut Abu Zayd, interpretasi akan valid sepanjang tidak menyimpang dari aturan-aturan metodologi.28 Metodologi yang ditawarkan oleh Abu Zayd antara lain adalah interpretasi harus mempertimbangkan konteks dimana teks itu muncul.Pemahaman terhadap teks meniscayakan mengetahui peristiwaperistiwa yang mengitari turunnya teks, atau yang sering disebut asbab nuzul. Bahkan, ia menghendaki memahami konteks dalam spektrum yang lebih luas yakni sosio kultur, politik dan ekonomi peradaban Arab pada masa wahyu diturunkan.Inilah yang dimaksud oleh Abu Zayd dengan “makna” kontekstual asli yang hampir selalu tetap karena historisitasnya. Urgensitas pemahaman terhadap konteks tersebut disebabkan karena ketika teks diturunkan sebagai suatu risalah atau pesan yang berfungsi sebagai norma kehidupan individu dan masyarakat saat itu, meniscayakan pesan Islam 28
14
Nasr Hamid Abu Zaid, “Sifat-Sifat Ilahi dalam Al-Qur’an…, 207.
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
Kontektualitas al-Qur’an: Studi Relasisasi konsep Dan konteks pemikiran nasr hamid abu zayd
tersebut harus dipahami oleh objek teks. Dengan demikian akan ditemukan makna konstekstual asli yang tidak boleh diabaikan, karena makna ini vital untuk menunjukkan arah pesan “baru” teks dan memudahkan bergerak dari makna kepada signifikansinya dalam konteks sosio kultur sekarang. Jadi, kesadaran terhadap makna dan signifikansi teks penting karena akan menghasilkan validitas interpretasi.Selain metodologi tersebut, validitas interpretasi akan terjaga manakala suatu interpretasi bebas dari bias ideologi. Dalam hal ini, Abu Zayd mengajukan konsep takwil sebagai interpretasi objektif, dan talwin sebagai interpretasi ideologis. Suatu interpretasi hendaknya dan seharusnya harus objektif dan bebas dari ikatan-ikatan ideologi, sebab ideologi cenderung memanipulasi interpretasi teks dengan berbagai kepentingan dan pragmatis baik ekonomi maupun politis. Seperti yang dijelaskan oleh Nur Ichwan, diskusi tentang perbedaan antara takwil dan talwin sangatlah sentral. Berbeda dengan takwil yang menurutnya adalah suatu pembacaan produktif yang didasarkan atas prinsip epistimologis tentang objektifitas, talwin adalah sebuah pembacaan ideologis subjektif atas teks. Dengan kata lain, takwil adalah pembacaan terhadap teks dimana dalam prosesnya teks lebih dominan mengungkap dirinya sendiri sementara pembaca bersifat pasif. Adapun talwin adalah pembacaan sebaliknya dimana pembaca memaksakan agar teks berbicara sesuai dengan keinginan pembaca. Meskipun demikian, ia mengakui bahwa tidak ada pembacaan yang bersih dari unsur-unsur prakonsepsi.29 Ringkasnya, sistematika metode konstekstual Abu Zayd seperti yang diungkap oleh Nur Ichwan adalah sebagai berikut: pertama, interpretasi tematik meskipun tidak sepenuhnya dipergunakan.Sebab, masing-masing ayat memiliki konteks historis dan linguistiknya. Kedua, menganalisis level makna ayat. 29
Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an…,85-86.
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
15
Apakah ayat hanya menunjukkan pada bukti historis yang tidak dapat diinterpretasi secara metaforis, menunjukkan pada bukti historis yang dapat diinterpretasi secara metaforis, atau ayat menunjukkan makna yang dapat diperluas atas signifikansinya.Ketiga, memperhatikan arah teks-teks yang dibaca.Keempat, mencari aspek-aspek yang tak terkatakan di dalam teks-teks tersebut.Kelima, melakukan kritik ideology terhadap pembacaannya sendiri. Uraian sistematika tersebut semakin mempertegas bahwa metode pembacaan al-Qur’an Abu Zayd bersifat kontekstual.Hal ini tampak penekanannya pada hal-hal diluar teks itu sendiri yakni konteks historis dan linguistik. Selain mengungkap metode pembacaan, Abu Zayd juga mengajukan beberapa prinsip interpretasi antara lain bahwa al-Qur’an tidak dimaksudkan untuk menjawab semua problem manusia. Selain itu, dipegunakan pula analisis wacana di mana al-Qur’an sebagai wacana tidak tertutup dari wacana-wacana lainnya. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Abu Zayd bukan hanya melihat al-Qur’an sebagai teks manusiwi, namun lebih dari itu sebagai teks yang memproduksi budaya, al-Qur’an meniscayakan interpretasi bukan hanya secara tekstual, namun meliputi pula konstekstual.Hal ini menunjukkan bahwa teks memiliki relasi yang tidak terpisahkan dari kontesk sejak al-Qur’an diturunkan
empat
abad
lalu
hingga
sekarang
sampai
hari
kiamat
kelak.Interpretasi konstekstual harus melihat kembali konteks ketika wahyu diturunkan agar diketahui makna dan signifikansinya.Interpretasi juga tidak boleh terikat dengan berbagai ideologi dan kepentingan, namun sebaliknya harus bersifat objektif dan rasional.
V.
RELASI KONSEP DAN KONTEKS Bagian ini mendiskusikan relasi konsep dan konteks sebagai suatu
analisis pembacaan terhadap pemikiran Abu Zayd. Konsep yang dimaksud di 16
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
Kontektualitas al-Qur’an: Studi Relasisasi konsep Dan konteks pemikiran nasr hamid abu zayd
sini adalah gagasan atau pemikiran Abu Zayd, sementara konteks adalah realitas sosial-politik yang mengitari kehidupan Abu Zayd yang meliputi berbagai isu dan wacana yang berkembang disekitar Abu Zayd. Hipotesis dalam pembahasan ini adalah bahwa pemikiran Abu Zayd tentang tekstualitas al-Qur’an merupakan konvergensi dari sosio-politik dan pendidikan. Latar belakang pendidikan Abu Zayd menjadi landasan intelektual baginya dalam melakukan studi kritis terhadap al-Qur’an.Sebagaimana yang telah diungkap dalam bagian biografinya, konsentrasi Abu Zayd adalah pada kajian bahasa dan sastra Arab mulai dari program sarjana hingga doktoral.Pergumulannya dengan bahasa dan sastra telah menjadikannya cenderung bergelut dengan kajian al-Qur’an sebagai teks bahasa Arab yang paling sakral.Selain itu, ketertarikannya pada kajian sastra juga dipengaruhi oleh Amin al-Khuli. Hal ini terlihat dari tulisan-tulisannya dalam jurnal al-Adab jauh sebelum ia kuliah di Jurusan bahasa dan sastra Arab. Dua artikelnya dipublis dalam jurnal ini berjudul Hawl Adab Al-‘Ummal wa Al-Fallahin yang berbicara tentang sastra buruh dan petani, kemudian Azmah Al-Aghniyyah Al-Mishriyyah yang membahas tentang krisis lagu Mesir. Dalam konteks ini pula tampak jelas pengaruh Amin al-Khuli, sebab jurnal al-Adab dikelola dan dipimpin oleh tokoh ini. Selain itu, kajian kritisnya terhadap al-Qur’an juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh studinya di Amerika, khususnya setelah mempelajari ilmu-ilmu sosial dan humanitas, serta hermeneutika Barat. Sebagai bukti, artikelnya yang pertama adalah tentang hermeneutika yang ditulis dalam bahasa Arab berjudul Al-Hirminiyutiqa wa Mu’dhilat Tafsir Al-Nashsh (Hermeneutika dan Problem Penafsiran). Begitu pula konsepsinya tentang interpretasi objektif (takwil)
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
17
merupakan bukti lain pengaruh hermeneutika30 Barat dalam kajian sastra alQur’an.Takwil sebagai interpretasi objektif dalam tradisi penafsiran barat khususnya dunia Kristen disebut hermeneutika objektif, yakni memahami teks sebagaimana yang dipahami oleh pengarangnya, karena teks adalah ungkapan jiwa pengarang.31Sementara konsep talwin sebagai interpretasi subjektif juga diwarnai oleh hermeneutika subjektif yang ditoerikan oleh Hans-Georg Gadamer.Subtansi hermeneutika ini adalah memahami apa yang terdapat dalam teks itu sendiri, bukan makna yang dimaksudkan oleh pengarang teks (objektif). Namun, seperti yang dikemukakan oleh Nur Ichwan, Abu Zayd terinpirasi
oleh
Hirsch
sebagai
seorang
pendukung
hermeneutika
objektif.Pengaruh tokoh yang disebut terakhir ini terhadap Abu Zayd terlihat jelas dari pembedaan antara “makna” dan “signifikansi” dan argumentasi interpretasi objektif lainnya. Sementara pengaruh hermeneutika subjektif Gadamer tampak pada argumentasi Abu Zayd tentang keharusan seorang interpreter sadar dan mengontrol akan subjektifitasnya.32 Dengan demikian, latar belakang pendidikan Abu Zayd jelas telah mendorong sekaligus menjadi landasannya dalam melakukan pembacaan al-Qur’an dengan pendekatan sastra lingusitik dan filosofis.Filosofis dimaksudkan dalam hal ini adalah bersikap 30
Hermeneutika adalah istilah dari bahasa Yunani hermeneutikos dimana bentuk kata kerjanya adalah hermeneuin yang berarti menafsirkan.Hermeneutika pada dasarnya merupakan metode pembacaan guna mengungkap makna yang dikandung oleh teks.Namun, filosuf Barat berbeda ketika mendefinisikan hermeneutika. Friedrich Schleiermacher mendefinisikan hermeneutika sebagai seni interpretasi.Terry mengartikan hermeneutika sebagai ilmu interpretasi.Definisi berbeda juga diberikan oleh Paul Ricoeur dan Jean Grondin, dimana mereka mengartikan hermenutika sebagai teori interpretasi. Uraian tersebut jelas memperlihatkan bahwa para pemikir Barat memiliki istilah yang berbeda dalam mendefinisikan hermeneutika, meskipun sangat boleh jadi memiliki maksud yang sama. Richard E. Palmer, Hermeneutics (Evanston: Northwestern University, 1969), 13., Friedrich Schleiermacher, Hermeneutic and Criticism translated and edited by Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University, 1998), 5., Milton S. Terry, Biblical Hermeneutics; A treatise on the Interpretation of the old and New Testaments (Grands Rapids; Zondervan, 1974), 17., Paul Ricoeur, From Text to Action, translated by Kathleen Blamey (New York: Continuum, 2008), 5. Jean Grondin, Sejarah Hermeneutika,editor Abdul Qodir Shaleh (Yogyakarta; Ruzz Media, 2010), 17. 31 Teori hermeneutika ini diantaranya dikembangkan oleh Friedrik Schleirmacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911), Emilio Betti (1890-1968). 32 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an…,84.
18
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
Kontektualitas al-Qur’an: Studi Relasisasi konsep Dan konteks pemikiran nasr hamid abu zayd
kritis, logis dan rasional sebagaimana tujuan studinya adalah membangun kesadaran ilmiah. Selain latar belakang pendidikan, konteks sosiogis, budaya, dan politik, juga menjadi faktor kajian Abu Zayd terhadap tekstualitas al-Qur’an.Seperti yang dijelaskan olehnya sendiri, Abu Zayd prihatin dengan kondisi negaranya yang secara politik dikuasai oleh rezim yang otoriter. Di sisi lain, perkembangan sosial Mesir pertengahan akhir abad 19 diwarnai dengan konflik antara pemerintah dengan gerakan-gerakan Islam seperti al-Ikhwan al-Muslimun. Bahkan, Abu Zayd sendiri ikut merasakan (dipenjara) bagaimana tindakan pemerintah terhadap gerakan ikhwan, di mana ia pernah menjadi anggotanya. Budaya Mesir pada era tersebut sebagian besar juga cenderung mengikuti polapola Barat seperti kemaksiatan berupa minuman dan zina serta lainnya turut mewarnai Mesir ketika itu. Selain itu, Mesir yang sedang mengalami proses modernisasi juga tidak terlepas dari perdebatan wacana Islamis dan sekuler. Dalam konteks ini, Abu Zayd terlibat dalam perdebatan antara kaum fundamentalis dan sekuleris.Ia misalnya mengkritik fundamentalis yang radikal dan moderat dengan mengatakan bahwa mereka pada hakikatnya mendasarkan diri pada dasar-dasar yang sama. Sebaliknya, Abu Zayd dikritik oleh para Islamis, bahkan termasuk dalam hal ini apa yang dilakukan oleh Front Ulama Al-Azhar mengeluarkan fatwa yang menyebutkan ia dan beberapa pemikir lain seperti Hasan Hanafi menyebarkan gagasan-gagasan ateistis.Tidak hanya itu, fatwa tersebut juga menyeru segenap masyarakat Mesir untuk melawannya.33 Konvergensi sosio-politik dan pendidikan seperti yang telah diuraikan di atas berpengaruh memberikan dorongan kepada intelektualitas dan sikap kritis Abu Zayd.Kedua hal tersebut terutama faktor pendidikan yang dominat telah 33
Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an…,84.
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
19
mengubah Abu Zayd menjadi seorang sarjana yang kritis, rasional, dalam mengkaji al-Qur’an.Tujuannya bukan hanya sebagai tuntutan pribadinya, tetapi lebih jauh ingin berperan dalam perubahan mewujudkan peradaban dengan meningkatkan kesadaran ilmiah.Selain faktor yang telah diungkapkan di atas, faktor pembacaan al-Qur’an sendiri dikalangan umat Islam ketika itu juga berpengaruh terhadap kajian Abu Zayd.Secara umum al-Qur’an saat itu masuh dipandang secara berlebihan oleh umat Islam, di mana bukan hanya dianggap kitab yang sakral, namun penafsirannya pun dianggap sebagai sesuatu yang suci dan tidak terbantahkan.Oleh karena itu, dapat dipahami mengapa Abu Zayd mewacanakan tekstualitas al-Qur’an dan perlunya penafsiran yang lebih modern dan rasional sesuai dengan kebutuhan zaman. Metode interpretasi al-Qur’an yang ditawarkan oleh Abu Zayd adalah metode kontekstual yang tidak terlepas dari teks sebagai pijakan dalam pembacaan. Dalam metode ini, ia sebagaimana halnya metode doble moufmen Fazlurrahman, tetap menjadikan konteks turunnya ayat sebagai pijakan awal guna menafsirkannya dalam konteks sekarang. Metode ini berbeda dengan yang ditempuh oleh Muhammad Syahrur yang cenderung tidak mengakui konteks ketika ayat diturunkan, karena menurutnya al-Qur’an sudah diturunkan secara sekaligus pada malam lailatul qadar.Jadi, dalam pembacaan terhadap al-Qur’an Shahrur menempuh tahapan relasi kesadaran (al-wa’iy) dangan kenyataan (alwujud al-madi) atau konteks penafsir sekarang.hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa sumber pengatahuan adalah alam materi yang berada diluar diri manusia.Dalam konteks ini, pola interpretasi Abu Zayd dapat dikategorikan sebagai interpretasi konstekstual seperti analisis Abdulah Saeed yang menyatakan penafsiran kontekstual bersifat progresif.34
34
Abdullah Saeed membagi tiga pola penafsiran al-Qur’an, yaitu tekstual, semi-tekstual, dan kontekstual.Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London&New York: Rouledge: 2006), 3.
20
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
Kontektualitas al-Qur’an: Studi Relasisasi konsep Dan konteks pemikiran nasr hamid abu zayd
Interpretasi tentang surat al-Nisa’ ayat 34 misalnya, ungkapan terjemahan al-Qur’an tentang hal ini dalam surat tersebut bahwa kaum ‘Lakilaki (suami) adalah pelindung bagi perempuan (istri)’35. Menurut al-Suyuti, ayat ini turun ketika ada seorang perempuan yang datang kepada Nabi dan mengadukan nasibnya dimana suaminya telah memukulnya. Nabi dalam hal ini kemudian berkata, “ia tidak berhak melakukan hal itu”.36 Para tekstualis (mufassir awal dan kontemporer) cenderung memahami bahwa ungkapan qawwamuna atau qawwamah dalam ayat tersebut adalah milik lelaki sebagai anugerah dari Allah swt. berupa kelebihan atas perempuan. Namun, berbeda dengan pemahaman tekstualis tersebut, Abu Zayd memahami ketetapan ayat tersebut hanya merupakan deskripsi tentang konteks, yakni perbedaan sosial dan ekonomi yang terjadi dalam realitas hidup manusia.Dengan demikian, bagi Abu Zayd Qawwamah bukan suatu tasyri’ seperti yang dipahami oleh para tekstualis, karena hanya merupakan suatu deskripsi suatu kondisi.37 Konsekuensi interpretasi ini adalah pelebihan kaum laki-laki atas perempuan bukan merupakan hukum tasyri’, namun merupakan tanggungjawab yang dipikul oleh orang yang mampu dari kedua belah pihak laki-laki dan perempuan, atau kerja sama keduanya sesuai dengan perkembangan sosial. Interpretasi Abu Zayd di atas tampak ingin membebaskan wanita dari tekanan dan belenggu kaum lelaki.Hal ini tidak terlepas dari kegelisahannya 35
Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Syaamil, 2004), surat al-Nisa’ (4): 34. Adapun teks Arab ayat ini adalah:
36
Lihat Suyuti, Asbab al-Nuzul, Tafsir al-Jalalayn (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 117. Lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Dawair Al-Khawf,: Qira’ah fi Khitab al-Mar’ah (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 2002). 37
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
21
terhadap fenomena yang dilihat dan rasakan dimana perempuan cenderung menjadi korban diskriminasi di dunia Islam, seperti fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh ulama Saudi Arabia tentang larangan keluar rumah atau bekerja di sektor publik bagi perempuan. Sebaliknya, ia juga melihat terdapat upaya membebaskan perempuan dari diskriminasi di belahan dunia barat.Kedua faktor ini merupakan konteks yang sedikit banyaknya mempengaruhi pemikiran Abu Zayd dalam menginterpretasi ayat di atas. Begitu pula interpretasi Abu Zayd terhadap masalah perbankan juga tidak terlepas dari wacana perdebatan antara kaum Islamis dengan sekuler. Menurut Abu Zayd, sistem perbankan termasuk masalah bunga berada diluar konteks riba yang dimaksudkan dalam al-Qur’an. Sistem perbankan menurutnya memberikan keuntungan (fawa’id) kepada depositor.Karena itu, tidak terdapat hubungan antara sistem perbankan modern dengan riba pra Islam yang dilarang dalam al-Qur’an.38 Seperti yang diketahui, konsep riba menjadi isu yang kembali menguat di era kontemporer. Istilah ini dipakai dalam wacana Islamis kontemporer di Mesir berkonotasi “bunga” dalam sistem penbankan, sehingga mereka menolak dan mengharamkan bunga bank. Namun, Abu Zayd menolak penggunaan kata riba dalam konteks sistem perbankan modern, sebab riba yang dimaksudkan dalam al-Qur’an adalah riba jahiliah yang berkembang masa pra Islam. Berdasarkan contoh interpretasi Abu Zayd di atas jelas bahwa ia melakukan pembacaan al-Qur’an dengan pendekatan kontekstual. Pembacaan tersebut seperti yang terlihat terikat pula dengan konteks interpreter itu sendiri yang terakumulasi dalam wacana pengetahuannya.Dengan demikian, interpreter seperti Abu Zayd tetap terikat dengan teks meskipun dengan batasan yang sangat kecil.Sebaliknya, pemahaman konstekstualnya lebih kentara sehingga
38
22
Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an…, 129.
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
Kontektualitas al-Qur’an: Studi Relasisasi konsep Dan konteks pemikiran nasr hamid abu zayd
dapat digolongkan sebagai interpretasi konstekstual.Jadi, interpretasi Abu Zayd bisa jadi merupakan respon terhadap konteks yang dilihat dan dialami olehnya.
VI.
PENUTUP Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Abu Zayd
menggunakan pendekatan kontekstual dalam menginterpretasi al-Qur’an.Hal ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa al-Qur’an merupakan teks manusia, teks sejarah, dan teks produk budaya yang bukan hanya menuntut memahami konteks peradaban Arab dalam menafsirkan al-Qur’an, namun menuntut pula pemaknaannya dalam konteks kontemporer.Di samping itu, memandang alQur’an sebagai teks historisitas memungkinkan kitab ini dikaji secara rasional dan ilmiah.Berdasarkan pembahasan di atas pula dapat dipahami bahwa untuk melihat suatu penafsiran apakah bersifat tekstual ataukah kontekstual, maka pembacaan terhadap suatu penafsiran juga meniscayakan memahami pula hubungan antara pemikiran/penafsiran dengan konteks kehidupan penafsir itu sendiri.
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
23
Referensi
Abdurrahman, Asjmuni. Memahami Makna Tekstual, Kontekstual, dan Liberal: Koreksi
Pemahaman
atas
Loncatan Pemikiran. Jakarta:
Suara
Muhammadiyah, 2009. Abu Zaid, Nasr Hamid Al-Nash, Al-Sultah, al-Haqiqah: al-Fokr al-Dini bayna Iradat al-Ma’rifah wa Iradat al-Haymanah.Beirut: al-Markaz alTsaqafiy al-‘Arably, 1995. Dawair Al-Khawf: Qira’ah fi Khitab al-Mar’ah. Beirut: al-Markaz al-Thaqafi> al-‘Arabi, 2002. Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an terjemahan Khoiron Nahdliyyin. Yogyajkarta: LKiS, 2005. al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an terjemahan Muzakkir. Bogor: Pustaka Letera AntarNusa, 2013. Amal, Taufik Adnan dan Syamsul Rizal Panggabean.Tafsir Kontekstual AlQur’an.Bandung: Mizan, 2006. Cooper, John, Ronald L. Nettler, dan Mohamed Mahmoud.Pemikiran Islamterjemahan Wakhid Nur Effendi. Jakarta: Erlangga, 2002. Departemen Agama RI.Al-Qur’an dan Terjemahannya.Bandung: Syaamil, 2004. E. Palmer, Richard.Hermeneutics.Evanston: Northwestern University, 1969. Grondin,
Jean.Sejarah
Hermeneutika
terjemahan
Abdul
Qodir
Shaleh.Yogyakarta; Ruzz Media, 2010. Hamidi, Jazim.Hermeneutika Hukum: Sejarah, Filsafat&Metode Tafsir.Malang: UB Press, 2011. Harb, Ali. Kritik Nalar Al-Qur’an.Yogyakarta: LKis, 2003. Mu’ammaf, M. Arfan dan Abdul Wahid Hasan.Studi Islam Perspektif Insider dan Outsider.Yogyakarta: IRCiSoD, 2012. 24
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
Kontektualitas al-Qur’an: Studi Relasisasi konsep Dan konteks pemikiran nasr hamid abu zayd
Nur Ichwan, Moch. Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd.Jakarta: Teraju, 2003. Nur, Fauz.Berpikir Seperti Nabi: Perjalanan Menuju Kepasrahan.Yogyakarta: LKiS, 2009. Ricoeur, Paul.From Text to Actiontranslated by Kathleen Blamey. New York: Continuum, 2008. Saeed, Abdullah. Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach. London & New York: Rouledge, 2006. Schleiermacher, Friedrich.Hermeneutic and Criticism translated and edited by Andrew Bowie. Cambridge: Cambridge University, 1998. Shalahuddin, Henry. Al-Qur’an di Hujat.Depok: Al-Qalam, 2007. Smith, Wilfred Cantwell.Kitab Suci Agama-Agama.Jakarta: Teraju, 2005. Suyuti, Asbab al-Nuzul, Tafsir al-Jalalayn.Beirut: Dar al-Fikr, tt. Terry, Milton S. Biblical Hermeneutics; A treatise on the Interpretation of the old
and
New
Testaments.Grands
Rapids;
Islamic Studies Journal | Vol. 3 No. 2 Juli – Desember 2015
Zondervan,
1974.
25