Kontaminasi Parasit Usus pada Kubis Pasar Tradisional dan Swalayan Jakarta dengan Media Perendaman Larutan Deterjen Cair 2012 Eka Lusi Susanti1, Widiastuti2 1
Program Studi Sarjana Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2 Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
[email protected]
Abstrak Prevalensi infeksi parasit usus di Jakarta masih tinggi, yaitu mencapai 70,47%. Ada beberapa jalur transmisinya, antara lain melalui konsumsi sayuran yang terkontaminasi. Sayuran yang mungkin terkontaminasi ialah kubis, terlebih lagi kubis dapat dimakan dalam kondisi mentah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan kontaminasi parasit usus pada kubis di pasar tradisional dan swalayan Jakarta tahun 2012. Digunakan masing-masing 20 sampel sayuran kubis dari pasar tradisional dan swalayan Jakarta. Sampel diolah menggunakan metode sedimentasi sederhana dengan media perendaman larutan deterjen cair 10% dan air sebagai kontrol. Ditemukan 100% sampel kubis yang diteliti menggunakan media perendaman larutan deterjen cair 10% positif terkontaminasi parasit usus dengan jumlah yang bervariasi. Spesies parasit usus yang ditemukan ialah Ascaris lumbricoides (64,03%), Trichuris trichiura (18,71%), cacing tambang (7,02%), Giardia lamblia (7,90%), dan Entamoeba coli (2,34%). Terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,000) antara jumlah parasit usus pada sayuran kubis di pasar tradisional sebanyak 2240 (64,93%) dan swalayan sebanyak 1210 (35,07%). Terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,000) antara jumlah kontaminasi parasit usus pada sayuran kubis berdasarkan media perendaman, yaitu sebanyak 3450 (71,43%) pada larutan deterjen cair 10% dan 1380 (28, 57%) pada air. Kata kunci: kubis; larutan deterjen cair 10%; parasit usus; pasar tradisional dan swalayan Jakarta
Contamination of Intestinal Parasites on Cabbage from Traditional and Modern Markets Jakarta within Submersion of Liquid Detergent Solution Medium 2012th Abstract Prevalence of intestinal parasites infection in Jakarta is still high, about 70,47%. There are several ways of its transmission. One of them is by consuming contaminated vegetables. Vegetables which are possible to be contaminated is cabbage, more over it can be consumed in raw condition. This study aims to determine and compare contamination of intestinal parasites on cabbage from traditional and modern markets Jakarta 2012. This study used 20 samples of cabbages from each traditional and modern markets in Jakarta. Samples were processed using a simple sedimentation method with 10% liquid detergent solution as submersion media and water as control. From all samples, 100% samples of cabbage that were soaked in 10% liquid detergent solution were positive contaminated by intestinal parasites in varying amounts. Species of intestinal parasites that was found were Ascaris lumbricoides (64,03%), Trichuris trichiura (18,71%), hookworm (7,02%), Giardia lamblia (7,90%), and Entamoeba coli (2,34%). There was a significant difference (p=0,000) between the number of intestinal parasite on cabbage from traditional markets as much as 2240 (64,93%) and modern markets as much as 1210 (35,07%). There was a significant difference (p=0,000) between the number of intestinal parasites contamination on cabbage based on submersion media, 3450 (71.43%) was found by using 10% liquid detergent solution and 1380 (28, 57%) was found by using water. Keywords: 10% liquid detergent solution; cabbage; intestinal parasites; traditional and modern markets Jakarta
Kontaminasi parasit usus pada ..., Eka Lusi Susanti, FK UI, 2015
Pendahuluan Parasit usus ialah organisme yang hidup di usus dan mengambil nutrisi dari hospes, kemudian dapat menyebabkan rasa tidak nyaman pada usus, disentri, sindrom malabsorpsi, iritasi mekanik, dan obstruksi mukosa usus.1Yang termasuk parasit usus ialah telur soil-transmittted helminths (STH) dan kista protozoa. STH meliputi Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang, sedangkan kista protozoa meliputi Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, dan Entamoeba coli. WHO memperkirakan 3,5 milyar orang di dunia terinfeksi parasit usus dan 450 juta orang diantaranya mengalami penyakit karena parasit usus,dan sekitar dua juta orang terinfeksi STH.2,3 STH masih menjadi masalah yang cukup besar di Asia Tenggara karena dari sepertiga kasus total angka infeksi STH di duniaterjadi di Asia Tenggara.4 Di negara berkembang, termasuk Indonesia parasit usus menjadi sumber utama masalah kesehatan masyarakat karena angka kecacingan masih cukup tinggi, yaitu sekitar 60-90%. Jakarta sebagai ibukota negara juga termasuk daerah dengan prevalensi parasit usus yang tinggi hingga mencapai 70,47%.5,6 Kista protozoa juga menyebabkan angka infeksi yang cukup tinggi di dunia, yaitu E. hystolitica menginfeksi sekitar 180 juta jiwa dan G. lamblia menginfeksi sekitar 200 juta jiwa. Di Indonesia prevalensi infeksi kista protozoa sekitar 2,8-32,1% dan di Jakarta prevalensi infeksi kista protozoa masih cukup tinggi sekitar 5-36%.7 Tingginya angka infeksi parasit usus di Jakarta didukung oleh penyediaan air bersih yang buruk dan kondisi lingkungan yang panas dan lembab. Selain itu, transmisi parasit usus yang mudah terjadi melalui kontaminasi makanan atau minuman, termasuk sayuran.1 Masyarakat sangat sering terpapar dan gemar mengonsumsi sayuran, termasuk kubis mulai dalam bentuk mentah hingga dalam bentuk olahan. Sayuran yang dikonsumsi oleh masyarakat dapat dibeli dengan mudah baik di pasar tradisional maupun swalayan. Selama ini, masyarakat menganggap bahwa sayuran yang dibeli di pasar swalayan lebih dijamin kebersihannya daripada yang dibeli di pasar tradisional. Masyarakat juga sering terpapar dengan iklan larutan deterjen cair yang dapat digunakan untuk mencuci sayuran. Selama ini, masyarakat juga menganggap bahwa dengan mencuci sayuran yang akan dikonsumsi menggunakan larutan deterjen cair, maka sayuran tersebut sudah bersih sehingga aman untuk dikonsumsi. Sayuran yang tidak dicuci dengan baik diindikasikan terkontaminasi parasit usus. Penelitian di luar negeri telah membuktikan adanya kontaminasi parasit usus pada berbagai jenis sayuran, misalnya di Arab Saudi (2010), dari 470 sampel sayuran yang diteliti, ditemukan 76
Kontaminasi parasit usus pada ..., Eka Lusi Susanti, FK UI, 2015
(16.2%) sayuran yang mengandung telur STH dan kista protozoa.8 Parasit usus yang muncul pada sayuran berkaitan erat dengan jenis ladang atau area pertanian, air yang digunakan, rendahnya tingkat kebersihan dalam pengolahan sayuran, kedekatan sayuran dengan tanah, dan penggunaan kotoran manusia dan hewan sebagai pupuk dalam bertani.9 Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti ingin mengetahui dan membandingkan jumlah parasit usus pada kubis berdasarkan jenis pasar dengan menggunakan media perendaman larutan deterjen cair 10%. Selain itu, akan dibandingkan jumlah parasit usus pada sayuran kubis yang direndam dalam larutan deterjen cair 10% dan air.
Tinjauan Teoritis A. Soil-transmitted Helminths (STH) STH ialah nematoda usus yang penularan infeksinya dapat terjadi melalui tanah. STH menyebabkan masalah kesehatan masyarakat dan sosio-ekonomi yang luas, khususnya di negara berkembang. STH yang dimaksud ialah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang. 1. Ascaris lumbricoides A. lumbricoides pertama kali ditemukan oleh Linneaus pada tahun 1758.10 Cacing yang biasa disebut cacing gelang ini bersifat kosmopolit, tetapi sering pada daerah beriklim tropis dan subtropis yang hangat dan lembab dengan sanitasi yang buruk.11 Beberapa faktor yang mendukung tumbuhnya telur cacing menjadi bentuk infektif ialah tanah liat, kelembaban tinggi, dan suhu antara 25-300C.6 Transmisi A. lumbricoides dapat terjadi melalui kontaminasi telur A. lumbricoides pada tangan atau jari tangan, makanan, air, sayuran, atau feses.11 Infeksi A. lumbricoides pada manusia dapat menyebabkan askariasis. Prevalensi askariasis di Indonesia berkisar 60-90% atau sekitar 71% pada anak-anak sekolah dasar, sedangkan pada anak SD di Jakarta mencapai 62,2%.5,6,12 Cacing dewasa A. lumbricoides berbentuk silindris memanjang. Cacing jantan berukuran 15-30 cm dengan ekor melingkar, sedangkan cacing betina 20-35 cm dengan ekor meruncing. Seekor cacing betina yang juga mempunyai cincin kopulasi ini dapat bertelur hingga 100.000-200.000 butir/hari. Telur A. lumbricoides yang ditemukan di feses dan tanah dapat berkembang menjadi bentuk infektif setelah 18 hari sampai beberapa minggu. Telur A. lumbricoides berukuran 60x45 µm, berdinding
Kontaminasi parasit usus pada ..., Eka Lusi Susanti, FK UI, 2015
tebal tersusun atas albuminoid dan hialin, berwarna cokelat kuning tengguli, dan berisi satu sel. Telur infektif yang ditemukan di tanah dapat tertelan dari konsumsi makanan, termasuk sayuran kemudian akan menetas menjadi larva. Larva kemudian berpenetrasi ke intestinal lymphatic dan pembuluh vena, melalui vena porta menuju jantung bagian kanan, masuk ke sirkulasi paruu, dan berakhir di alveolus. Setelah alveolus pecah, cacing dewasa menuju trakea dan faring. Setelah dua bulan, cacing dewasa hidup di usus halus dapat memicu perforasi dinding usus. Cacing dewasa dapat bertahan hidup di rongga usus halus selama 1-2 tahun.11,13 2. Trichuris trichiura T. trichuria pertama kali diperkenalkan oleh Morgani (1740). Cacing ini bersifat kosmopolit, terutama di daerah panas dan lembab.14 Infeksi T. trichiura dari atau yang lebih dikenal dengan whipworm pada manusia dapat menyebabkan trikuriasis.15 Di Indonesia, prevalensi infeksi cacing ini cukup tinggi sekitar 80% pada anak SD, sedangkan pada anak SD Jakarta mencapai 48,1%.5 Daur hidup T. Trichiura diawali dengan fase telur tidak dibuahi yang bercampur di feses. Setelah berada di tanah, telur itu membelah menjadi 2 sel yang dibuahi kemudian menjadi fase infektif (telur yang dibuahi) dalam 15-30 hari. Setelah tertelan melalui kontaminasi tanah pada tangan atau makanan, telur yangberwarna kekuningan dan berbentuk seperti loop menetas di usus halus menjadi larva berukuran 260x15 µm. Namun, jika berada pada feses manusia, telur cacing ini berwarna kecoklatan dan berukuran sekitar 50-55 µm atau 22-24 µm. Larva akan berkembang menjadi cacing dewasa pada kolon.16,17 Pada fase dewasa, cacing memiliki ujung anterior panjang dan tipis yang dapat tertambat di mukosa usus sel host. Cacing dewasa berwarna putih berukuran sekitar 4 cm berada di sekum dan kolon asenden. Cacing betina berukuran lebih dan mempunyai ujung posterior yang menggulung ketika dilihat secara in vitro. Cacing betina mengeluarkan telur 3000-20.000 setiap harinya di sekum. Yang membedakan T. trichiura dengan cacing lain adalah bentuk stichosome, yaitu struktur berkelenjar yang mengelilingi bagian anterior esofagus cacing. Cacing dewasa memiliki waktu hidup sekitar 1 tahun. Bagian cambuk cacing ini dapat menempel pada mukosa usus besar dan kolon atas.16,17
Kontaminasi parasit usus pada ..., Eka Lusi Susanti, FK UI, 2015
3. Cacing Tambang STH ini dinamakan cacing tambang karena pertama kali ditemukan pada pekerja pertambangan yang belum memiliki fasilitas sanitasi memadai di Eropa.18 Cacing tambang mempunyai dua spesies, yaitu Ancylostoma duodenale dan Necator americanus yang pada tahap telur tidak dapat dibedakan keduanya. A. duodenale ditemukan terbatas pada area geografis tertentu, sedangkan N. americanus ditemukan hampir merata di seluruh dunia, terutama pada daerah yang beriklim hangat dan lembab.6,19Di Indonesia, prevalensi infeksi cacing tambang mencapai 40% pada anak SD, sedangkan di Jakarta mencapai 13,59%.12,17 Cacing betina A. duodenale dapat bertelur 10.000-25.000 butir/hari, sedangkan N. americanus dapat bertelur sekitar 5.000-10.000 butir/hari. Parasit yang mendiami usus halus ini bereproduksi secara seksual. Telur cacing tambang yang keluar bersama feses dan dalam waktu 1-2 hari akan menetas menjadi larva rhabditiform. Setelah 5-10 hari, rhabditiform berkembang menjadi filariform yang merupakan tahap infektif. Filariform dapat bertahan hidup selama 3-4 minggu dan dapat menembus kulit, lalu bermigrasi melalui sistem vaskuler menuju jantung, paru-paru, dan saluran gastrointestinal. Filariform berkembang menjadi dewasa di usus halus dan mengisap darah. Setiap N. americanus mengisap 0,03 mL darah/hari, sedangkan A. duodenale mengisap 0,2 mL darah/hari.Cacing tambang dewasa dapat hidup selama lebih dari 12 tahun.Waktu yang dibutuhkan mulai penetrasi larva hingga infeksi paten sekitar 2850 hari untuk A. dudenale dan 40-50 hari untuk N. americanus, sedangkan cacing tambang dewasa mengalami persistensi pada saluran gastrointestinal manusia selama beberapa tahun.6,18-21 B. Kista Protozoa Kista protozoa mendiami saluran gastrointestinal manusia.Infeksi karena kista protozoa juga dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius. Beberapa kista protozoa yang menyebabkan masalah kesehatan antara lainGiardia lamblia, Entamoeba histolytica, dan Entamoeba coli. 1. Giardia lamblia G. lamblia pertama kali diperkenalkan oleh Antonie van Leeuwenhoek (1681). Karena penyebarannya yang bersifat kosmopolit, distribusi khusus cacing ini tidak ditemukan G. lamblia sering dijumpai pada daerah beriklim hangat dan sering menyerang anak-
Kontaminasi parasit usus pada ..., Eka Lusi Susanti, FK UI, 2015
anak. Infeksi G. lamblia menyebabkan giardiasis.22 Prevalensi giardiasis di Indonesia mencapai 19,9% dan di Jakarta mencapai 15,6%.23,24 Diferensiasi sel G. lamblia terbagi menjadi dua bagian besar perkembangan transmisi, yaitu ekskistasi dan enkistasi. Pada tahap ekskistasi, parasit ini menghasilkan kapsul untuk proses transmisinya, padahal di luar sel host G. lamblia tidak berkapsul, hanya mempunyai dinding sel yang keras (mengandung 60% karbohidrat dan 40% protein) sebagai perlindungan dari lisis pada kondisi lingkungan yang hipotonik. Setelah tertelan, G. lamblia akan berada dalam bentuk kista dorman yang bermetabolik aktif. Selanjutnya flagel pertama keluar dari salah satu kutub kista diikuti berkembangnya tubuh excyzoite. Exyzoite mengalami sitokinesis dua kali tanpa fase S dan menghasilkan 4 trofozoit (tahap infektif). Trofozoit ini memliliki panjang 12-15 µm dan lebar 5-9 µm dengan dua nukleus dan tidak memiliki mitokondria, peroksisom, dan aparatus golgi.22 Pada tahap enkistasi, proses diferensiasi terjadi cukup panjang dan menghasilkan transformasi trofozoit yang bergerak (motile) menjadi tidak bergerak (non-motile), kista infektif. Pada fase ini, flagela trofozoit mulai berinternalisasi dan kehilangan kemampuan untuk menempel pada epitel usus karena fragmentasi sehingga mengalami dormansi hipometabolik menjadi bentuk excyzoite yang memiliki 4 nukleus dengan flagel di tengah dan struktur yang mirip dengan mikrotubul-ribbon.22 Bentuk trofozoit mampu bergerak dan melekat ke enterosit usus halus dengan kuat.Trofozoit menghindari eliminasi dari gerakan peristaltik karena dilengkapi adhesive disc dan 4 pasang flagel.Bentuk trofozoit menginduksi apoptosis melalui jalur intrinsik dan ekstrinsik. Beberapa hipotesis tentang mekanisme giardiasis antara lain: apoptosis pada enterosit; hilangnya fungsi epithelial-barrier; hipersekresi Cl-, malabsorpsi glukosa, air, dan Na+; difusi mikrovilus; reaksi imun; inhibisi enzim brush-border dan tripsin; dan interferensi dengan metabolisme garam empedu.22 2. Entamoeba histolytica E. histolytica pertama kali ditemukan dan dinyatakan berperan dalam proses inflamasi oleh Fedor Losch (1875). Parasit ini tersebar luas di seluruh dunia karena bersifat kosmopolit, tetapi penyebaran terbanyak terdapat di daerah tropis.25,26 Penderita infeksi akibat E. hystolytica di dunia mencapai lebih dari 500 juta orang dengan 50 juta kasus diantaranya berupa amebiasis invasif dan menyebabkan kematian
Kontaminasi parasit usus pada ..., Eka Lusi Susanti, FK UI, 2015
lebih dari 50.000 per tahun.27 Di Indonesia, prevalensi infeksi E.histolytica berkisar antara 10-18%.28 Kasus amebiasis yang dilaporkan berbagai rumah sakit di Jakarta pada anak-anak dengan diare berdarah berkisar antara 11-14,9%.29 Faktor yang berpengaruh dalam penyebarannya adalah keadaaan sanitasi lingkungan, gizi masyarakat, dan sosial ekonomi.27 E. histolytica memiliki dua fase, yaitu kista (bentuk infektif) dan trofozoit. Kista berbentuk bulat-lonjong berdiameter 5-20 µm, mengandung 1, 2, atau 4 nukleus, berdinding, relatif resisten terhadap klorinasi dan desikasi (pengawetan melalui proses pengeringan), dan dapat bertahan hidup pada lingkungan yang lembap selama beberapa minggu. Di lumen distal usus halus, kista mengalami pembelahan nukleus dan sitoplasma menjadi 8 trofozoit.28,29 Bentuk trofozoit memiliki satu nukleus dengan kariosom di tengah dan berperan dalam mengatur invasi jaringan E. histolytica. Terdapat dua macam bentuk trofozoit, yaitu histolitika dan minuta. Bentuk histolitika berdiameter 12-60 µm, memiliki pseudopodium untuk pergerakannya, dan mensekresikan enzim proteinase sehingga dapat bergerak cepat dalam menginvasi jaringan sekitarnya. Bentuk histolitika mempunyai endoplasma yang berisi sel darah merah.28,29 Bentuk minuta yang merupakan bentuk esensial dalam siklus hidup E. histolytica berukuran 10-20 µm dan bagian endoplasmanya berisi bakteri dan sisa makanan. Pergerakan bentuk minuta tergolong lambat. Trofozoit dapat menyebar secara hematogen untuk menginfeksi organ lain, terutama hati, paru dan otak.28,29 Setelah infeksi E. histolytica terjadi beberapa tahap, seperti penempelan, invasi jaringan, dan inflamasi yang mengarah ke penyakit. Setelah melakukan ekskistasi pada lumen usus besar, trofozoit akan melakukan penempelan ke musin kolon dan sel epitel melalui amebic galactose/N-acetyl-D5 galactosamine yang menghambat permukaan lektin. Proteinase sistein yang disekresikan mendukung adanya invasi jaringan dengan mendegradasi matriks ekstraseluler protein, kemudian merusak halangan mukosa kolon dan sel epitel.27,28 Selama invasi, trofozoit membunuh sel epitel dan sel imun dengan mekanisme kontak bergantung pada ketersediaan galaktosa. Sel epitel yang telah rusak dan mati kemudian mengeluarkan pro-interleukin-1-β yang diproses menjadi bentuk aktif sehingga menghasilkan jaringan inflamasi dan edema. 27,28
Kontaminasi parasit usus pada ..., Eka Lusi Susanti, FK UI, 2015
3. Entamoeba coli Fritz Schaudinn (1903) menyatakan tentang perbedaan antara E. hystolitica dan E. coli karena E. hystolitica dapat menyebabkan lisis pada jaringan. Penyebaran E. coli bersifat kosmopolit. E. coli bersifat non-patogen, tetapi harus dibedakan dengan E. hystolitica.26 E. coli dapat menimbulkan amoeba usus yang bersifat non-patogen, walaupun sering ditemukan pada sampel feses pasien yang menderita diare. Kehadiran amebae ini sangat menguntungkan karena dapat berperan sebagai indikator kontaminasi kotoran dan parasit yang terdapat pada sumber makanan dan air yang dikonsumsi manusia.26 Parasit ini memiliki bentuk trofozoit dan kista dalam daur hidupnya. Trofozoit berukuran 15-50 µm dengan satu inti, sitoplasma kasar, memiliki pesudopodia yang pendek, dan pergerakannya tak berarah. Kista berukuran 10-35 µm, berbentuk oval, mempunyai dinding tipis yang kuat, kariosom yang difus terletak secara eksentrik, dan memiliki inti 2-8.30 Badan kromatoid E. coli lebih jarang ditemukan daripada di E. histolytica dan berujung titik.Parasit ini hidup di usus kecil. Cara infeksinya adalah tertelan kista matang, kemudian dapat terjadi ekskistasi di duodenum, lalu sitoplasma membelah sehingga terbentuk 2 trofozoit.30 C. Kubis 1. Klasifikasi Nama Lokal
: Kubis
Dunia
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas
: Dilleniidae
Bangsa
: Capparales
Suku
: Brassicaceae
Marga
: Brassica
Spesies
: Brassica oleracea var. capitata (Backer, 1963)
2. Deskripsi Kubis merupakan tanaman sayuran dengan daun yang bertumpuk-tumpuk dan dapat tumbuh dengan media tanah jenis apaspun. Kubis tumbuh dua kali dalam setahun dan tumbuh baik pada iklim sedang atau pada musim panas dengan suhu sekitar 80-900 F.
Kontaminasi parasit usus pada ..., Eka Lusi Susanti, FK UI, 2015
Kubis memiliki tangkai daun tebal dan daun berbentuk bujur bergerigi.31 Kepala kubis atau tunas akhir tunggal tersusun atas daun yang saling bertumpang-tindih secara ketat, yang menempel dan melingkupi batang pendek tidak bercabang. Tinggi tanaman kubis sekitar 40-60 cm. Pertumbuhan daun awalnya memanjang dan tiarap, selanjutnya daun menjadi lebih pendek, lebar, tegak, dan mulai menindih daun yang lebih muda.32 Media tanam yang cocok untuk kubis ialah tanah bertekstur sedang yang mengandung banyak humus, gembur, porus, dan bahan organik dengan keasaman tanah 6-7 dan kandungan air dalam tanah yang cukup. Kubis dapat tumbuh optimal pada ketinggian 200-2000 m dpl. Setelah tanaman kubis besar, kubis dapat dipanen dengan memotong krop beserta sebagian batang dan 4-5 lembar daun luar.33 Masyarakat Indonesia sering menggunakan kubis untuk dikonsumsi dalam keadaan mentah dan diolah menjadi berbagai macam makanan. Kubis segar mengandung air, protein, lemak, karbohidrat, serat, kalsium, fosfor, besi, natrium, kalium, vitamin (A, C, E, tiamin, riboflavin, nicotinamide), kalsium, dan beta karoten. Selain itu, kubis juga mengandung senyawa sianohidroksibutena (CHB), sulforafan, dan iberin.32 D. Larutan Deterjen cair Deterjen terbagi menjadi dua macam, yaitu deterjen keras dan lunak. Deterjen keras mengandung zat aktif yang sukar didegradasi oleh mikroorganisme karena ada rantai cabang pada atom karbon sehingga zat tersebut tetap aktif dan akan mencemari lingkungan, contohnya Alkil Benzene Sulfonat (ABS). Deterjen lunak mengandung zat aktif yang cukup mudah untuk didegradasi oleh mikroorganisme karena rantai karbonnya tidak bercabang, contohnya Linier Alkil Benzene Sulfonat (LABS).34 Larutan deterjen cair (diswashing liquid) merupakan salah satu jenis deterjen lunak yang mempunyai komponen penyusun yang hampir sama dengan deterjen bubuk, hanya saja bentuk sediaannya adalah larutan jenis koloid asosiasi. Larutan deterjen cair mengandung bahan aktif surfaktan (surface active agents) yang mampu mengikat dan mengangkat kotoran dengan menghasilkan busa. Surfaktan juga berfungsi dalam menurunkan tegangan permukaan air. Bahan aktif lainnya adalah builder (bahan penguat) yang mengikat mineral terlarut, membuat kondisi asam, membantu mendispersi dan mensuspensi kotoran yang telah lepas, serta mencegah pengendapan kembali kotoran, contohnya Sodium Poli Phosphat (STP) dan Nitril Tri Acetat (NTA). Bahan penggumpal
Kontaminasi parasit usus pada ..., Eka Lusi Susanti, FK UI, 2015
yang terkandung dalam laruan deterjen cair berupa Natrium Klorida (NaCl), Natrium Sulfat (Na2SO4), dan Natrium Fosfat (Na3PO4) berfungsi dalam mempengaruhi besar volume dan viskositas larutan deterjen cair.34,35
Metode Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah desain analitik observasional dengan studi potong lintang (cross-sectional). Subyek penelitian berupa kubis yang dibeli dari 20 pasar tradisional dan 20 pasar swalayan yang dipilih menggunakan teknik cluster random sampling. Prosedur penelitian yang dilakukan untuk membuat preparat ialah metode sedimentasi sederhana dengan menggunakan media perendaman berupa larutan deterjen cair 10% dan air sebagai kontrol selama 24 jam. Sampel sebanyak 100 gram direndam dalam 111 ml larutan deterjen cair dan 100 ml air. Setelah itu, dipisahkan kubis dengan cairan perendam, lalu disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit. Sebanyak 0,1 ml dari endapan yang terbentuk diambil untuk dijadikan preparat kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop. Pemeriksaan dilakukan pada perbesaran lemah (45x) dalam 10 kali lapang pandang. Jumlah parasit usus yang terlihat dihitung dan dicatat, lalu dikali dengan 10 agar dapat merepresentasi jumlah parasit usus dalam setiap 1 ml sampel. Data kemudian diolah menggunakan program SPSS (Statistical Package for theSocial Sciences) versi 20.0. Selanjutnya data dianalisis menggunakan uji T tidak berpasangan untuk membandingkan jumlah parasit usus pada kubis berdasarkan jenis pasar. Selain itu, digunakan uji Mann-Whitney untuk membandingkan jumlah parasit usus pada kubis berdasarkan media perendaman.
Hasil Penelitian Setelah mendapatkan data primer, yaitu jumlah parasit usus pada kubis akan dibandingkan antara jumlah kontaminasi parasit usus pada kubis berdasarkan jenis pasar. Selain itu, akan dibandingkan antara jumlah parasit usus pada kubis berdasarkan jenis media perendaman. Tabel 4.1 Kontaminasi Parasit Usus pada Kubis Berdasarkan Jenis Pasar Jenis pasar Tradisional Swalayan
Kontaminasi telur STH Positif Negatif 20 0 20 0
Kontaminasi kista protozoa Positif Negatif 8 12 7 13
Kontaminasi parasit usus pada ..., Eka Lusi Susanti, FK UI, 2015
Infeksi campuran 8 7
Dari tabel 4.1 diketahui bahwa kubis dari semua pasar terkontaminasi telur STH, sedangkan kontaminasi kista protozoa hanya 8 dari pasar tradisional dan 7 dari pasar swalayan. Selain itu, juga dapat dilihat infeksi campur (telur STH dan kista protozoa) sebanyak 8 pada pasar tradisional dan 7 pada pasar swalayan. Tabel 4.2 Jumlah Parasit Usus pada Kubis di Pasar Tradisional dan Swalayan Jenis pasar Pasar tradisional Pasar swalayan Total
Jumlah parasit usus 2240 1210 3450
Persentase (%) 64,93 35,07 100
Dari tabel 4.2 dapat dilihat jumlah parasit usus yang ditemukan pada kubis di pasar tradisional lebih tinggi, yaitu 2240 (64,39%) daripada swalayan 1210 (35,07%). Tabel 4.3 Jumlah Parasit Usus pada Kubis Berdasarkan Pembagian WilayahDKI Jakarta
Wilayah Administrasi Jakarta Barat Jakarta Utara Jakarta Pusat Jakarta Timur Jakarta Selatan Total
Jumlah Parasit Usus Pasar Tradisional (%) Pasar Swalayan (%) 390 (17,41) 190 (15,70) 580 (25,9) 320 (26,45) 560 (25) 360 (29,75) 380 (16,96) 160 (13,22) 330 (14,73) 180 (14,88) 2240 (64,93) 1210 (35,07)
Jumlah (%) 580 (16,81) 900 (26,09) 920 (26,67) 540 (15,65) 510 (14,78) 3450 (100)
Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat secara spesifik prevalensi kontaminasi parasit usus pada kubis di pasar tradisional dan swalayan di setiap wilayah Jakarta. Diperoleh hasil bahwa jumlah parasit usus pada kubis tertinggi di wilayah Jakarta Pusat (26,67%), jumlah parasit usus pada kubis di pasar tradisional terbesar terdapat di Jakarta Utara (25,9%), sedangkan jumlah parasit usus pada kubis di pasar swalayan terbesar terdapat di Jakarta Pusat (29,75%). Grafik 4.1 Jumlah kontaminasi parasit usus pada kubis di Pasar Tradisional Jakarta 1430 (64,70%)
440 (19,91%) 150 (6,79%) A. lumbricoides
T. Trichiura Cacing tambang
150 (6,79%) G. lamblia
0
40 (1,81%)
E. histolytica
E. coli
Kontaminasi parasit usus pada ..., Eka Lusi Susanti, FK UI, 2015
Grafik 4.1 menunjukkan spesies parasit usus yang ditemukan pada kubis di pasar tradisional Jakarta. Spesies terbanyak yang ditemukan ialah jenis STH, A. lumbricoides sebanyak 1430 (64,70%), diikuti T. trichiura 440 (19,91%), cacing tambang 150 (6,79%), G. lamblia 150 (6,79%), dan E. coli 40 (1,81%). Sementara untuk E. histolytica tidak ditemukan. Grafik 4.2 Jumlah kontaminasi parasit usus pada sayuran kubis di Pasar Swalayan Jakarta 760 (64,31%)
200 (16,26%) 90 (7,32%)
120 (9,76%) 0%
A. lumbricoides
T. Trichiura Cacing tambang
G. lamblia
E. histolytica
40 (3,25%) E. coli
Grafik 4.2 menunjukkan spesies parasit usus yang ditemukan pada kubis di pasar swalayan Jakarta. Spesies terbanyak yang ditemukan ialah jenis STH, A. lumbricoides sebanyak 760 (64,31%), diikuti T. trichiura 200 (16,26%), G. lamblia 120 (9,76%), cacing tambang 90 (7,32%), dan E. coli 40 (3,25%). Sementara untuk E. histolytica tidak ditemukan. Tabel 4.4 Status Kontaminasi Parasit Usus pada Kubis Berdasarkan Media Perendaman Jenis media perendaman Deterjen cair 10% Air Total
Status kontaminasi parasit usus pada sayuran kubis Positif (%) Negatif (%) 40 (100) 0 (0) 38 (95) 2 (5) 78 2
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa 40 (100%) kubis yang direndam dalam deterjen cair dan 38 (95%) kubis yang direndam dalam air terkontaminasi parasit usus. Tabel 4.5 Jumlah Parasit Usus pada Sayuran Kubis Berdasarkan Jenis Media Perendaman Jenis Media Perendaman Deterjen cair 10% Air Total
Jumlah parasit usus 3450 1380 4830
Persentase (%) 71,43 28,57 100
Kontaminasi parasit usus pada ..., Eka Lusi Susanti, FK UI, 2015
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa sebanyak 3450 (71,43%) parasit usus ditemukan pada kubis yang direndam dalam deterjen cair 10%, sedangkan pada kubis yang direndam dalam air hanya 1380 (28,57%) parasit usus. Tabel 4.6 Hasil Uji Perbandingan Jumlah Parasit Usus pada Kubis di Pasar Tradisional dan Swalayan Jakarta Jenis pasar N Rerata ± Sd (log 10) Tradisional 20 2.01 ±0,16 Swalayan 20 1.74 ±0,18 Uji t tidak berpasangan
Perbedaan Rerata (IK95%) 0,27 (0,16-0,38)
p 0,000
Tabel 4.6 menunjukkan hasil uji untuk membandingkan jumlah parasit usus yang ditemukan di kedua jenis pasar. Berdasarkan uji statistik menggunakan uji t tidak berpasangan didapatkan nilai p sebesar 0,000 (p<0,05) yang berarti terdapat perbedaan yang bermakna antara jumlah parasit usus pada kubis di pasar tradisional dan swalayan Jakarta. Tabel 4.7 Hasil Uji Perbandingan Jumlah Parasit Usus pada Sayuran Kubis Berdasarkan Media Perendaman Jenis perendaman Deterjen cair 10% Air Uji Mann-Whitney
N 40 40
Median (min – maks) 80 (30-210) 20 (0-120)
Rerata ± Sd 86±4,3 34,5 ±3,2
P 0,000
Tabel 4.7 memperlihatkan hasil uji untuk membandingkan jumlah parasit usus yang ditemukan pada kubis berdasarkan media perendaman. Berdasarkan uji statistik menggunakan uji Mann-Whitney didapatkan nilai p sebesar 0,000 (p<0,05) yang berarti terdapat perbedaan yang bermakna antara jumlah parasit usus pada kubis yang direndam dalam larutan deterjen cair 10% dan air.
Pembahasan Dari penelitian ini diperoleh data bahwa semua kubis yang berasal dari 20 pasar tradisional dan 20 pasar swalayan Jakarta terkontaminasi parasit usus. Parasit usus yang ditemukan ialah STH (A. lumbricoides, T. Trichiura, dan cacing tambang) dan kista protozoa (G. lamblia dan E. coli). Jumlah parasit usus yang ditemukan bervariasi untuk setiap sampel kubis. Hasil penelitian ini cukup jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh R Astuti dan S Aminah (2008) di Semarang. Pada penelitian tersebut dilakukan identifikasi telur cacing usus pada
Kontaminasi parasit usus pada ..., Eka Lusi Susanti, FK UI, 2015
lalapan daun kubis yang dijual pedagang kaki lima dengan metode modifikasi pengapungan NaCl jenuh dan didapatkan hasil bahwa hanya 4 dari 30 sampel kubis (13,3%) yang mengandung telur A. lumbricoides dan jumlah telur yang ditemukan pada setiap sampel hanya satu telur.37 Perbedaan angka yang sangat besar ini kemungkinan karena perbedaan lokasi geografis, besar jumlah sampel penelitian, teknik pemeriksaan, dan media perendaman untuk identifikasi parasit usus.40 Hasil penelitian ini juga cukup berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Idahosa OT (2011) di Jos, Nigeria. Pada penelitian tersebut diperiksa 400 sampel sayuran (8 jenis sayuran masing-masing 50 sampel) dari berbagai pasar menggunakan metode sedimentasi, hasilnya terdapat 213 (53,25%) sampel positif terkontaminasi parasit usus dengan rincian 15 protozoa (E. histolytica dan E. coli), 1 cestoda (Hymenolepis nana), dan 233 nematoda (A. lumbricoides, T. trichiura, cacing tambang, dan Strongyloides stercoralis). Prevalensi kontaminasi tertinggi ditemukan pada selada sebanyak 30 (7,5%) sampel, sedangkan pada sayuran kubis hanya 25 (6,3%) yang positif terkontaminasi.40 Meskipun terdapat kesamaan antara penelitian tersebut dengan peneliti dalam hal metode pemeriksaan, tetapi jumlah sampel penelitian, lokasi geografis, iklim, kondisi lingkungan, perilaku higienitas produsen, penjual, dan pembeli, kondisi sosio-ekonomik, dan media perendaman untuk identifikasi parasit usus yang berbeda membuat hasil yang didapatkan pada penelitian tersebut dengan penelitian ini berbeda.40 Wilayah Jakarta termasuk daerah tropis beriklim panas dengan suhu rata-rata per tahun 270C, kelembaban 80-90%, dan kecepatan angin rata-rata 11,2 km/jam.38 Keadaan ini sangat mendukung untuk pertumbuhan parasit usus yang membutuhkan iklim tropis, suhu 25-300C dan kelembaban tinggi, terutama jenis STH, yaitu A. lumbricodes, T. Trichiura, dan cacing tambang. NaCl jenuh dapat mengangkat parasit usus pada sayuran karena bersifat higroskopis, yaitu mampu mengikat molekul air di sekitarnya sehingga parasit usus terkonsentrasi di bagian atas larutan, sedangkan deterjen cair mengandung banyak surfaktan yang dapat mengikat dan mengangkat kotoran, dalam hal ini parasit usus pada kubis.6,39 Dari semua kubis yang terkontaminasi tersebut, dapat dilihat perbandingan jumlah parasit usus pada kubis yang berasal dari pasar tradisional dan swalayan. Berdasarkan tabel 4.2 jumlah parasit usus pada kubis yang direndam dalam larutan deterjen cair 10% di pasar tradisional sebanyak 2240 (64,93%) jauh lebih tinggi daripada di pasar swalayan, yaitu 1210 (35,07%). Setelah dilakukan uji T tidak berpasangan didapatkan hasil bahwa p=0,000 (<0,05),
Kontaminasi parasit usus pada ..., Eka Lusi Susanti, FK UI, 2015
artinya terdapat perbedaan bermakna antara jumlah kontaminasi parasit usus pada kubis di pasar tradisional dan swalayan. Perbedaan jumlah kontaminasi parasit usus pada kubis di pasar tradisional dan swalayan Jakarta diduga disebabkan oleh perbedaan bentuk kemasan kubis di pasar tradisional dan swalayan. Pengemasan kubis di pasar swalayan diberikan plastik yang rapi, sedangkan di pasar tradisional kubis hanya dibiarkan diletakkan di tanah atau meja yang kurang bersih sehingga memungkinkan kontaminasi parasit usus yang lebih tinggi. Hasil ini cukup berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Semarang oleh Sutriyani (2003) terhadap sawi caisim yang berasal dari empat pasar tradisional dan empat pasar swalayan menggunakan metode pengendapan dengan NaOH 0,2%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 13 dari 54 sampel (24,1%) terkontaminasi STH, yaitu telur A. lumbricoides, T. trichiura, cacing tambang, dan larva Strongyloidesstercoralis. Semua sampel yang terkontaminasi tersebut berasal dari empat pasar tradisional, sedangkan pada empat supermarket tidak ditemukan adanya parasit.36 Hasil yang berbeda ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu perbedaan jenis sayur yang diteliti, jenis media perendaman, jumlah sampel penelitian, dan wilayah penelitian. Dari penelitian ini juga dapat dilihat secara spesifik jumlah parasit usus pada kubis di pasar tradisional dan swalayan di setiap wilayah Jakarta. Diperoleh hasil bahwa jumlah parasit usus pada kubis tertinggi di wilayah Jakarta Pusat sebanyak 920 (26,67%). Jumlah parasit usus pada kubis di pasar tradisional terbesar terdapat di Jakarta Utara sebesar 580 (25,9%). Kemungkinan penyebabnya ialah penyiraman sayuran dilakukan dengan menggunakan air got atau air yang terkontaminasi, penggunaan pupuk feses, dan terdapat area pemukiman padat yang kumuh sehingga higienitas di wilayah Jakarta Utara menjadi rendah. Jumlah parasit usus pada kubis di pasar swalayan terbesar terdapat di Jakarta Pusat sebanyak 360 (29,75%) dan berselisih sedikit dengan di Jakarta Utara 320 (26,45%). Kemungkinan penyebabnya ialah kubis yang dijual di pasar swalayan tersebut dipasok dari berbagai wilayah, termasuk wilayah dengan prevalensi tinggi dan pasar swalayan tersebut berada dekat dengan daerah utara sehingga karakteristiknya tidak jauh berbeda dengan sayuran kubis di Jakarta Utara. Dari 80 sampel sayuran kubis, diketahui bahwa 40 (100%) sampel yang direndam dalam deterjen cair dan 38 (95%) sampel yang direndam dalam air terkontaminasi parasit usus. Dari segi status kontaminasi parasit usus memang tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara kontaminasi parasit usus pada kubis yang direndam di larutan deterjen cair dan air. Namun,
Kontaminasi parasit usus pada ..., Eka Lusi Susanti, FK UI, 2015
dari segi jumlah sangat berbeda, jumlah kontaminasi parasit usus pada kubis yang direndam di larutan deterjen cair sebesar 3450 (71,43%) sedangkan yang direndam di air hanya sebesar 1380 (28,57%). Berdasarkan uji Mann-Whitney yang dilakukan, didapatkan hasil nilai p=0,000 (<0,005) yang artinya terdapat perbedaan yang bermakna antara jumlah kontaminasi parasit usus pada kubis ditinjau dari segi media perendaman. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya bahan yang terkandung dalam deterjen cair, yaitu surfaktan (surface active agents) yang dapat menurunkan tegangan permukaan dan mampu mengikat serta mengangkat kotoran sehingga jumlah parasit usus yang ditemukan dalam media perendaman deterjen cair 10% lebih banyak daripada media perendaman air. Berbeda dengan deterjen cair, air bersifat polar dan merupakan elektrolit lemah sehingga kurang kuat dalam menarik molekul di sekitarnya.34,35 Berdasarkan grafik 4.1 dan 4.2 didapatkan hasil bahwa parasit usus yang terbanyak ditemukan pada kubis di pasar tradisional ialah jenis STH, terutama A. lumbricoides, yaitu sebanyak 1430 (64,70%), diikuti T. trichiura 440 (19,91%), dan cacing tambang 150 (6,79%) dan kista protozoa berupa G. lamblia 150 (6,79%) dan E. coli 40 (1,81%). Pada kubis di pasar swalayan juga didapatkan parasit usus yang terbanyak ditemukan ialah jenis STH, yaitu A. lumbricoides sebesar 760 (64,31%), diikuti T. trichiura 200 (16,26%), dan cacing tambang 90 (7,32%) dan kista protozoa berupa G. lamblia 120 (9,76%) dan E. coli 40 (3,25%). Permukaan sayuran kubis yang tidak rata membuat telur STH dan kista protozoa mudah menempel. Jumlah kontaminasi STH pada sayuran kubis yang tinggi terjadi karena pertumbuhan sayuran kubis, terutama bagian tunas kubis berada di dekat tanah, sedangkan parasit usus yang banyak hidup di tanah ialah jenis STH sehingga lebih banyak STH yang dapat mengkontaminasi sayuran kubis. Pemupukan tanah dengan tinja yang terkontaminasi STH juga mendukung tingginya kontaminasi STH pada sayuran kubis. Selain STH, ditemukan pula protozoa pada sampel. Hal ini terjadi karena penyiraman sayuran kubis dengan air got yang terkontaminasi protozoa. Meskipun hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya, kesimpulan akhir menyatakan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara jumlah kontaminasi parasit usus pada sayuran kubis di pasar tradisional dan swalayan Jakarta. Di samping itu, ditinjau dari segi media perendaman didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan bermakna antara jumlah kontaminasi parasit usus pada sayuran kubis di pasar Jakarta dengan menggunakan media perendaman larutan deterjen cair 10% dan air.
Kontaminasi parasit usus pada ..., Eka Lusi Susanti, FK UI, 2015
Kesimpulan 1. Semua sayuran kubis yang diteliti, baik yang berasal dari pasar tradisional maupun swalayan Jakarta yang direndam dalam larutan deterjen cair 10% terkontaminasi parasit usus dengan jumlah yang bervariasi, 2. Terdapat perbedaan yang bermakna antara jumlah parasit usus pada kubis yang direndam dalam larutan deterjen cair 10% berdasarkan jenis pasar dengan prevalensi jumlah kontaminasi parasit usus pada kubis di pasar tradisional lebih tinggi daripada pasar swalayan, 3. Terdapat perbedaan yang bermakna antara jumlah kontaminasi parasit usus pada kubis berdasarkan media perendaman dengan prevalensi jumlah kontaminasi parasit usus dengan menggunakan media perendaman deterjen cair 10% lebih tinggi daripada menggunakan air, dan 4. Untuk menjaga kebersihan sayuran tidak cukup hanya dengan menggunakan air karena dengan menggunakan deterjen cair 10% ternyata ditemukan jumlah parasit usus yang lebih banyak
Saran Pada penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengidentifikasi media perendaman yang ampuh untuk mendeteksi kontaminasi parasit usus di sayuran, dapat dilakukan penelitian serupa pada sayuran yang lain dan di wilayah yang lain, dan dapat diidentifikasi faktor yang menyebabkan perbedaan jumlah kontaminasi parasit usus pada sayuran. Selain itu, perlu dilakukan penyuluhan kepada produsen dalam hal ini petani, distributor, dan konsumen sayuran di Jakarta mengenai adanya kontaminasi telur parasit usus pada sayuran kubis
Daftar Pustaka 1. Azian NMY, San YM, Yusri CC, Nurulsyamzawaty Y, Zuhairzam AH, et al. (2007). Prevalence of intestinal protozoa in an aboriginecommunity in Pahang, Malaysia. Tropical Biomedicine, 24, 55-62. 2. Ouattara M, N'Guéssan NA, Yapi A, N'Goran EK.Prevalence and spatial distribution of Entamoeba histolytica/dispar and Giardia lamblia among schoolchildren in Agboville Area (Côte d'Ivoire). (2010). PLoS Neglected Tropical Diease, 4, 1-7.
Kontaminasi parasit usus pada ..., Eka Lusi Susanti, FK UI, 2015
3. Ziegelbauer K, Speich B, Mäusezahl D, Bos R, Keiser J, et al. (2012). Effect of Sanitation on Soil-Transmitted Helminth Infection: Systematic Review and Meta-Analysis. PLoS Medicine, 9, 1-17. 4. Jex AR, Lim YA, Bethony JM, Hotez PJ, Young ND, Gasser RB. (2011). Soil-transmitted helminths of humans in Southeast Asia-towards integrated control. Advance in Parasitology, 74, 231-65. 5. Mardiana, Djarismawati. (2008). Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar wajib belajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan daerah kumuh di wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan, 7, 769-74. 6. Puspita A. (2009). Prevalensi cacing Ascaris lumbricoides, cacing tambang, dan Trichuris trichiura setelah lima tahun program eliminasi filariasis di Desa Mainang, Alor, Nusa Tenggara Timur (skripsi). Jakarta: Fakultas kedokteran Indonesia. 7. Subahar R, Sutanto L. (2008). Ascaris lumbricoides eggs and human-intestinal protozoan cysts found in river water of angke river, Jakarta. Makara Kesehatan, 12, 84-86. 8. Al-Megrin WAI. (2010). Prevalence of intestinal parasites in leafy vegetables in Riyadh, Saudi Arabia. International Journal of Zoological Research, 3, 190-5. 9. Chukwuma MC, Ekejindu IM, Agbakoba NR, Ezaegwuna DA, Anaghalu IC, Nwosu DC. (2009). The prevalence and risk factors of geohelminth infections among primary school children in Ebenebe Town, Anambra State, Nigeria. Middle-East Journal of Scientific Research, 3, 211-5. 10. Leles D, Gardner SL, Reinhard K, Iniguez A, Araujo A. (2012). Are Ascaris lumbricoides and Ascaris suum a single species? BioMedical Central, 5, 42. 11. Centers for Disease Control and Prevention. (2010). Ascariasis. Diakses pada 14 Januari 2013. Diunduh dari: http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/index.html 12. Fifendy M. (2011). Gangguan fungsi kognitif akibat infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah (skripsi). Padang: Universitas Negeri Padang. 13. Galzerano A, Sabatini E, Durì D. (2010). Ascaris lumbricoides infection: an unexpected cause of pancreatitis in a western Mediterranean country. Eastern Mediteranian Health Journal, 16, 350-1. 14. Stanford University. (2013). Trichuriasis. Diakses pada 23 Maret 2013. Diunduh dari: http://www.stanford.edu/class/humbio103/ParaSites2005/Trichuris/Untitled-12.htm 15. Public Health Agency of Canada. (2010). Trichuris trichiura. Diaksespada 8 Mei 2013. Diunduh dari: http://www.phac-aspc.gc.ca/lab-bio/res/psds-ftss/trichuris-trichiura-eng.php
Kontaminasi parasit usus pada ..., Eka Lusi Susanti, FK UI, 2015
16. Centers for Disease Control and Prevention. (2010). Trichuriasis (also known as Whipworm
Infection).
Diaksespada
14
Januari
2013.Diunduh
dari:
http://www.cdc.gov/parasites/whipworm/index.html 17. Suriptiastuti, Manan WS. (2011). Intestinal parasites from fingernails of sidewalk food vendors. Universa medicina, 30, 120-5. 18. Montresor A, Savioli L. Feldmeier H, editor. (2004). Ankylostomiasis. Orphanet Encyclopedia, 1-3. 19. Centers for Disease Control and Prevention. (2010). Hookworm. Diaksespada 14 Januari 2013. Diunduh dari: http://www.cdc.gov/parasites/hookworm/index.html 20. Bethony J BS, Albonico M, Geiger SM, Loukas A, Diernert D, et al. (2006). Soil transmitted helminth infection: ascariasis, trichuriasis, and hookworm. The lancet, 367, 1521-32. 21. Anteneh T, Giday A, Alano A, Awoke A, Chirkos A, Dibisa N, et.al. (2008). Intestinal Parasitosis For the Ethiopian Health Center Team Tadesse. Hawassa: Hawassa University, 14-6. 22. Ankarlev J, Hultqvist JJ, Ringqvist E, Troell K, Svard SG. (2010). Behind the smile: cell biology and disease mechanisms of Giardia species. Nature Reviews Microbiology, 8, 413-22. 23. Centers for Disease Control and Prevention. (2013). Giardia intestinalis (syn. Giardia lamblia).
Diaksespada
14
Januari
2013.
Diunduh
dari:
http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/Frames/G-L/Giardiasis/body_Giardiasis_page1.htm 24. Budiyani L. (2009). Infeksi Giardia lamblia pada balita di Kecamatan Jatinegara: Kaitannya dengan status nutrisi (skripsi). Jakarta: FKUI. 25. Medscape.
(2013).
Amebiasis.
Diaksespada
12
Mei
2013.
Diunduh
dari:
http://emedicine.medscape.com/article/212029-overview 26. Pinilla AE, López MC, Viasus DF. (2008). History of the Entamoeba histolytica protozoan. Revista médica de Chile, 118–24. 27. Melendez SG, Lopez. (2007). The role of Entamoeba histolytica Cysteine Proteinase 1 (EhCP1) inthe pathogenesis of amebiasis (disertasi). California: ProQuest Information and Learning Company. 28. Savitri AI. (2009). Hasil pemeriksaan mikroskopik Entamoeba histolytica dengan pengambilan spesimen tinja tunggal dibandingkan dengan pengambilan spesimen tinja berulang. (skripsi). Jakarta: FKUI.
Kontaminasi parasit usus pada ..., Eka Lusi Susanti, FK UI, 2015
29. Purnomo B, Hegar B. (2011). Intestinal amebiasis in children with bloody diarrhea. The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology, and Digestive Endoscopy, 12, 104107. 30. Centers for Disease Control and Prevention. (2010). Intestinal amebae. Diaksespada 28 Januari
2013.
Diunduh
dari:
http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Frames/G/IntestinalAmebae/body_IntestinalAmeba e_page1.htm 31. Pudalov A, Liang J. (2008). Cabbage, cauliflower, and kale. The 1812 Garden Research Project of Food for tought class with professor David Gapp and Professor Frank Sciacca, 1-12. 32. Rusmiati D, Kusuma SAF, Susilawati Y, Sulistianingsih. (2007). Pemanfaatan Kubis (Brassica oleracea var. capitata alba) sebagai Kandidat Antikeputihan (laporan akhir hibah penelitian). Bandung: Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran. 33. Edi S, Bobihoe J. (2010). Budidaya Tanaman Sayuran. Jambi: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Kementrian Pertanian, 18-20. 34. Sihombing JBB. (2010). Studi efek penambahan natrium sulfat (Na2SO4) terhadap viskositas larutan deterjen cair (dishwashing liquid) (skripsi). Medan: Universitas Sumatera Utara. 35. Pasaribu OS. (2011). Pengaruh jenis koagulan terhadap viskositas larutan deterjen cair (dishwashing liquid) (skripsi). Medan: Universitas Sumatera Utara. 36. Sutriani. (2003). Kontaminasi STH pada sayuran sawi jenis caisim di beberapa pasar tradisional dan supermarket wilayah Kota Semarang (tesis). Semarang: Universitas Diponegoro. 37. Astuti R, Aminah S. (2008). Identifikasi telur cacing usus pada lalapan daun kubis yang dijual pedagang kaki lima di kawasan Simpang Lima Kota Semarang.Jurnal Universitas Muhammadiyah Semarang, 297-307. 38. Profil kehutanan DKI Jakarta. (2012). Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta: Departemen Kehutanan. 39. Putri SAA. (2011). Penetapan kadar iodium pada garam konsumsi dengan metode iodometri berdasarkan standar nasional Indonesia (tugas akhir). Medan: Universitas Sumatera Utara. 40. Idahosa OT. (2011). Parasitic Contamination of Fresh Vegetables Sold in Jos Markets. Global Journal of Medical Research, 11, 21-5.
Kontaminasi parasit usus pada ..., Eka Lusi Susanti, FK UI, 2015