KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN SAINS DI SD: TINJAUAN EPISTEMOLOGI, ONTOLOGI, DAN KERAGUAN DALAM PRAKSISNYA Lily Barlia Universitas Pendidikan Indonesia (e-mail:
[email protected]; HP: 081314162200)
Abstract: Constructivism in Science Learning in Elementary Schools: Epistemological and Ontological Perspectives and Doubts in the Praxis. A constructivist perspective focuses on children’s contribution to the construction of knowledge. Constructivism believes that a child is a real inquirer and discoverer who is actively engaged in building theories about the world and the way it works without the aid of direct instructions. The implication is that teachers have to give wider mandates to students, to provide them with contexts for experimentation to occur, and to facilitate theory building by providing helpful experiences. Epistemologically and ontologically, there are still doubts about the application in practice. This, however, should not be a constraint for science teachers to implement basic principles of constructivism as one of the alternative solutions to educational reform and movement in the elementary school science. Keywords: constructivism, science learning science, elementary school science
PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat pada beberapa dekade belakangan ini, menimbulkan dampak yang sangat luas terhadap kehidupan masyarakat global, termasuk masyarakat Indonesia. Bertitik tolak dari keadaan tersebut, timbul pemikiran akan perlunya suatu reform dan movement di dalam strategi pembelajaran, termasuk kurikulum, serta teknik penilaiannya. Konstruktivisme diharapkan menjadi salah satu alternatif pemikiran yang dapat menjawab keadaan tersebut. Hal ini disebabkan konstruktivisme didasari oleh pemikiran bahwa peserta didik memperoleh dan mem-
bentuk pengetahuan secara alami. Artinya, mereka membentuk pengetahuan berdasarkan pengalaman dirinya dengan caranya sendiri sesuai dengan karakter perkembangan intelektual pada usianya. Anak usia sekolah dasar (6-12 tahun) berdasarkan teori perkembangan intelektual Piaget, berada pada fase operasional konkret, dengan karakteristik mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi serta kepekaan khusus dalam pembentukan pengetahuan, keterampilan, kesadaran, dan sikap. Pengasimilasian prinsip-prinsip konstruktivisme dan karakteristik anak usia sekolah dasar diasumsikan dapat meningkatkan akti-
343
344 vitas serta kreativitas berpikir anak didik dalam proses pembelajaran, khususnya dalam proses pembelajaran sains untuk pemahaman dan perubahan konseptual (Zimmerman & Stage, 2008). Dengan demikian, diharapkan akan terbentuk generasi masa depan bangsa Indonesia yang “melek sains dan teknologi”. Pada bahasan ini, diuraikan tentang konstruktivisme pada proses pembelajaran sains kontemporer di sekolah dasar, terutama yang berkaitan dengan dasar epistemologis, ontologis, serta aplikasinya. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memberikan pengertian dan pemahaman tentang aplikasi prinsip-prinsip konstruktivisme dalam pembelajaran sains, khususnya di sekolah dasar serta keraguan yang mungkin timbul di dalam praksisnya. DASAR FILOSOFI Konstruktivisme dalam pembelajaran adalah suatu filosofi yang didasari oleh pemikiran bahwa proses pembentukan pengetahuan pada individu manusia merupakan hasil kegiatan mental yang ditunjang oleh proses pengalaman belajarnya (Hein, 1991; Boghossian, 2006). Artinya, bahwa proses pembelajaran bagi individu dilakukan oleh individu sendiri dengan caranya sendiri. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa peserta didik memperoleh dan membentuk pengetahuan secara alami melalui pengalaman dirinya. Pada hakikatnya, ada dua macam konstruktivisme yang sudah dikenal sampai saat ini, yaitu konstruktivisme psikologis dan konstruktivisme sosio-
logis. Konstruktivisme psikologis, ide dasarnya dikemukakan oleh Jean Piaget bahwa belajarnya peserta didik, merupakan suatu proses pembentukan personal, individual, dan intelektual yang timbul dari aktivitasnya sendiri di dalam kehidupan sehari-hari. Jenis konstruktivisme ini mempunyai dua cabang. Pertama, bersifat lebih personal dan subjektif. Hal ini, dapat dilihat dari tulisan-tulisan Von Glasersfeld. Kedua, konstruktivisme sosial seperti halnya yang dikemukakan oleh ahli pendidikan Rusia, Vygotsky, yang menitikberatkan pada pentingnya komunitas bahasa di dalam proses pembentukan kognitif individual anak (Wink & Putney, 2002), seperti dapat dilihat juga pada tulisantulisan Duckworth (1987) dan Lave (1988). Konstruktivisme sosiologis pertama kali dikemukakan oleh Emile Durkheim yang selanjutnya dikembangkan oleh ahli-ahli sosiobudaya, misalnya Peter Berger dan lain-lain, dan belakangan ini dikembangkan oleh ahli-ahli pendidikan sains, seperti Barry Barnes dan Bruno Latour. Ide dasar dari konstruktivisme sosiologis adalah bahwa dinamika pembentukan pengetahuan pada peserta didik merupakan hasil pengaruh lingkungan sosialnya melalui investigasi terhadap lingkungan sekitar. Berbeda dengan pendapat Piaget dan Vygotsky, paham ini mengabaikan mekanisme pengaruh aspek psikologi individu peserta didik yang oleh Piaget dan Vygotsky dipercayai sebagai hal yang sangat penting di dalam proses pembentukan pengetahuan. Menurut konstruktivisme sosiologis, pengetahuan merupakan bentuk konstruksi kog-
Cakrawala Pendidikan, November 2011, Th. XXX, No. 3
345 nitif yang tidak berbeda jauh dengan literacy construction pada manusia sehingga tidak mempunyai suatu kebenaran mutlak. Pendapat tersebut mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap dunia pendidikan, khususnya pendidikan sains saat ini. Konstruktivisme diharapkan dapat memberikan inspirasi positif terhadap program pembaharuan dalam proses pembelajaran sains, khususnya bagi anak usia sekolah dasar. Saat ini, konstruktivisme yang dalam beberapa hal sering disebut sebagai metode pembelajaran interaktif, dan terus dikembangkan. Hal ini disebabkan constructivist methods diharapkan dapat memberikan perubahan terhadap pandangan dan pola kegiatan pembelajaran pada anak didik usia sekolah dasar. Konstruktivisme menunjang terjadinya perubahan dan pembaharuan yang dalam banyak hal, berpengaruh terhadap kemajuan dan penyempurnaan pandangan, dalam hal kontekstual, dialektikal, empirikal, proses informasi, metodologi, teori Piaget, post-epistemologi, pragmatik, radikal, realist, sosial, dan sosiohistori. Ruang lingkup yang tercakup di dalam konstruktivisme telah berkembang sangat pesat, yang ditandai dengan banyaknya artikel-artikel yang berkaitan dengan pembelajaran/ pendidikan sains, seperti: proses belajar sains menurut pandangan konstruktivisme, kurikulum berdasarkan konstruktivisme, pandangan konstruktivisme terhadap pengembangan kurikulum, serta banyak hal lain yang berkaitan dengan implementasi konstruktivisme dalam pendidikan sains.
DASAR EPISTEMOLIGI Epistemologi adalah bagian dari filsafat yang menekankan pada pencarian sumber kebenaran suatu pengetahuan. Dasar epistemologis konstruktivisme dalam pembelajaran sains pada dasarnya menitikberatkan pada sains sebagai suatu kreativitas/usaha manusia yang dikondisikan oleh historis dan culturalnya, dan pengetahuan yang dihasilkan itu tidak absolut. Artinya, pengetahuan yang diperoleh seseorang bukan merupakan suatu kebenaran mutlak. Di negara-negara Amerika Serikat dan Eropa, pemikiran tentang ketidakabsolutan dari suatu kebenaran dalam filosofi sains sudah banyak digunakan oleh pusat-pusat pendidikan dan sekolah-sekolah, walaupun hal ini bukan merupakan sesuatu yang penting. Sehubungan dengan hal kebenaran tersebut, konstruktivisme sangat berkepentingan terhadap posisi epistemologis karena sangat efektif untuk merasionalkan pengaruh doktrin tersebut. Inti dari konstruktivisme pada hakikatnya tidak terlepas dari pengaruh pemahaman subjectivist, empiricist dan personalist tentang bagaimana manusia memperoleh suatu pengetahuan serta konsekuensinya terhadap pembentukkan pengetahuan sains, sebagaimana pendapat yang dikemukakan Glasersfeld (1990:37) sebagai berikut. “Pengetahuan merupakan hasil dari aktivitas individu anak itu sendiri, bukan merupakan sesuatu atau komoditas yang berada di luar orang yang mempunyai pengetahuan itu sendiri, dan dapat disampaikan atau di-install oleh persepsi yang masuk akal atau komunikasi bahasa.”
Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sains di SD
346 Berikut ini rangkuman beberapa sumber yang berkaitan, menunjang, dan dijadikan dasar posisi epistemologi dan ontologi konstruktivisme di dalam pembelajaran sains. Semua pendapat itu pada dasarnya menunjang terhadap prinsip pembelajaran yang terpusat kepada anak didik dan teori empiricist tentang terbentuknya pengetahuan. “Pada kenyataannya, pengetahuan sains memungkinkan kita untuk menanggulangi kesulitan-kesulitan atau masalahmasalah yang timbul, dan tidak untuk membenarkan keyakinan bahwa pengetahuan sains memberikan gambaran tentang dunia secara realitas absolute,” (Glasersfeld 1989:135). “Walaupun kita dapat mengasumsikan tentang keberadaan dunia di luar diri kita, tetapi kita tidak mempunyai akses langsung kepadanya. Sains sebagai pengetahuan publik tidak terlalu banyak mengetahui/membuka hal tersebut, yang ada hanyalah suatu bentuk bandingan dari hasil pekerjaan yang sangat hatihati dan teliti,” (Driver & Oldham 1986: 109). “Secara sederhana, konstruktivisme dapat dijelaskan sebagai suatu teori penting tentang terbatasnya pengetahuan manusia, dan suatu kepercayaan bahwa semua pengetahuan pada dasarnya merupakan produk dari aktivitas kognitif orang itu sendiri. Kita pada hakekatnya tidak bisa secara langsung (tanpa media lain) mendapatkan pengetahuan (realitas objektif) dari luar diri kita. Kita membentuk suatu pemahaman melalui pengalaman kita, dan karakter dari pengalaman kita dipengaruhi oleh pandangan menurut kacamata kita sendiri,” (Confrey 1990:108).
Walaupun dasar epistemologi sering kita abaikan, tetapi hal ini sebenarnya sangat penting dalam memberikan arah kepada kita tentang teori dan proses pembelajaran berdasarkan konstruktivisme. Berikut ini beberapa pemikiran penting yang berkaitan dengan konstruktivisme, terangkum di dalam artikel yang dibuat oleh Garrison (1986), meliputi hal-hal sebagai berikut. Istilah observasi selalu tergantung kepada sistem teori khusus yang berkaitan dengan ekspresi peserta didik. Di sini terdapat perbedaan antara pengertian “melihat” dan “melihat sebagai”. Pengertian kata “melihat sebagai” tergantung kepada bahasa dan teori-teori yang dikenal/dipahami oleh seorang individu. Perbedaan istilah observasi di dalam suatu teori hanya dapat dibuat dalam ruang lingkup pragmatik dan tidak bisa dilihat dari lingkup epistemik. Observasi itu sendiri theoretically dependent dan dapat dideterminasi. Hal tersebut berkaitan dengan pemikiran bahwa segala hal yang dicari dan dicatat di dalam pikiran seseorang, dipengaruhi oleh hal-hal yang ingin mereka lihat atau hal-hal yang mereka anggap relevan dengan yang sedang mereka investigasi. Garrison (1986) menjelaskan bahwa teori-teori pada hakikatnya selalu tidak dapat dideterminasi oleh suatu fakta empiris sehingga begitu banyak fakta yang harus dikumpulkan. Oleh Karena itu, untuk menjelaskan suatu perangkat data, diperlukan sejumlah teori untuk menjadikan data tersebut bermakna. Selain itu, dijelaskan juga bahwa teoriteori pada dasarnya immun terhadap disproof empiris karena penyesuaian
Cakrawala Pendidikan, November 2011, Th. XXX, No. 3
347 akan selalu dibuat untuk asumsi-asumsi tambahan dalam rangka mengakomodasikan fakta-fakta yang tidak benar. Oleh sebab itu, untuk hal-hal tertentu, eksperimen tidak terlalu penting dilakukan di dalam sains. Steven Lerman (1989), Kilpatrick (1987) dan Glasersfeld (1990) lebih jauh berpendapat bahwa secara epistemologis, inti konstruktivisme psikologis adalah engetahuan pada dasarnya dibentuk secara aktif oleh subjek (peserta didik) itu sendiri. Dengan kata lain, pengetahuan tidak secara pasif diterima dari lingkungan. Selanjutnya, dijelaskan juga bahwa mengetahui atau memahami adalah hasil dari proses adaptasi melalui pengorganisasian pengalaman-pengalaman dari lingkungan sekitar. Hal itu berarti, tidak membuka peluang bagi pengalaman-pengalaman sebelumnya yang ada di luar pemikiran (otak) orang yang mengetahui tersebut. Grayson Wheathley (1991) mempunyai pendapat yang sama sehubungan dengan inti epistemologis konstruktivisme. Dia berpendapat bahwa konstruktivisme mempunyai dua prinsip dasar, yaitu pengetahuan tidak diperoleh secara pasif, akan tetapi secara aktif dibentuk oleh manusia itu sendiri. Selain itu, dia juga berpendapat bahwa fungsi kognitif bersifat adaptif dan berfungsi untuk mengorganisasikan pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Berdasarkan konsep pemikiran tersebut, kita tidak akan menemukan kebenaran mutlak, yang ada hanyalah bentuk penjelasan-penjelasan rasional yang terus berkembang sejalan dengan pengalaman-pengalaman yang diperoleh tersebut.
DASAR ONTOGOGI Ontologi pada dasarnya merupakan cabang metafisika yang membicarakan watak realitas tertinggi atau wujud (being). Metafisika sendiri merupakan cabang filsafat yang membicarakan karakteristik problem yang sangat mendasar dari suatu realitas yang ditunjang secara komprehensif oleh pengalaman langsung. Para konstruktivis sering menggunakan ontologi idealist atau idealist teori untuk menentukan keberadaan status ilmiah dari objek yang ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari. Ontologi idealist menganggap bahwa keadaan dunia ini dipengaruhi oleh dan tergantung kepada hasil pemikiran manusia. Konstruktivisme radikal berdasarkan Ernest von Glasersfeld merupakan salah satu contoh yang banyak dikenal di dalam dunia pendidikan. Salah satu pendapatnya yang menunjang hal tersebut di atas seperti berikut. ”Para ahli realist percaya bahwa bentukan pengetahuan pada manusia merupakan suatu replika atau repleksi dari masing-masing struktur-struktur yang telah ada di alam, sedangkan para konstruktivis tetap percaya dan memperhatikan pentingnya peran dari manusianya sendiri sebagai pengorganisasi dari semua struktur-struktur tersebut. Seorang konstruktivis percaya bahwa sebenarnya tidak ada struktur-struktur tersebut, selain knower constitutes melalui aktivitas yang sangat pribadi dan melalui koordinasi dari bagian-bagian pengalamannya,” (Glasersfeld 1987:104).
Di sini idealisme ontologi dirangkul dan dijadikan cerminan oleh para konstruktivis psikologis yang dikuatkan
Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sains di SD
348 dengan idealisme komparasi umum di antara new style yang ada. Paham ini terutama disokong oleh para sosiologis Post Mesopotanian dalam bidang sains. Pengaruh dari para sosiologis telah lama terlihat seperti yang dikemukakan oleh Durkheim (1972:251) beberapa dekade lalu, sebagai berikut. ”Apabila thought diberi kebebasan, maka akan bisa menjadi creator untuk objek itu sendiri, dan hanya ada satu jalan untuk mencapai tujuan tersebut yaitu menselaraskan dengan relitasnya yang menjadikan hal itu terjadi oleh dirinya sendiri. Oleh sebab itu, berpikir mempunyai tujuan sendiri bukan merupakan reproduksi dari realitas yang diberikan, tetapi merupakan konstruksi untuk realitas berikutnya. Selanjutnya, bahwa nilai-nilai dari pemikiran-pemikiran tidak dapat dinilai lebih jauh dengan reference suatu objek, tetapi harus dideterminasi melalui derajat utilitasnya, yaitu banyak atau sedikitnya karakter yang menguntungkan.”
Latour dan Woolgar dalam suatu waktu pernah mengatakan bahwa “outthere-ness” merupakan suatu konsekuensi “kegiatan ilmiah” dari pada sebagai causa-nya (Latour & Woolgar 1986:182). Mereka selanjutnya mengatakan bahwa realitas merupakan suatu konsekuensi dari pada akibat konstruksi ilmiah. Pendapat-pendapat lain yang memberikan konstribusi terhadap teori di atas dikemukakan oleh Lynch, Livingstone dan Garkinkel (1983). Mereka mengatakan bahwa segala sesuatu, seperti Planet merupakan “objek kultural”. Harry Collins (1981) mengatakan bahwa “alam natural” mempunyai sedikit atau tidak eksis peranannya di dalam
proses pembentukan pengetahuan ilmiah atau sains. Selain itu, Woolgar (1986) juga menggunakan paham idealis, dan mengatakan bahwa program risetnya konsisten dengan posisi cabang idealisme ethnomethodologi, yaitu tidak adanya realitas (kebenaran) bebas tentang alam, dan realitas dapat ditemukan di alam melalui kontak langsung. Dari pendapat para ahli di atas, menimbulkan kebingungan antara pemikiran tentang suatu realita/kebenaran dan teori tentang suatu objek, serta antara aktivitas fisik dan intelektual. Semua ahli realis mengetahui bahwa realitas bukan hanya tercetak dengan sendirinya di dalam otak individu yang mempelajari sains atau yang mengobservasi. Disini dikatakan bahwa sains tidak berkaitan dengan tiap-tiap bagian (per se) objek nyata tetapi dengan objek nyata itu sendiri, sebagaimana objek nyata tersebut digambarkan oleh perangkat teori sains. Misalnya, suatu bola yang jatuh menjadi poin masa tertentu, terjadi karena percepatan spesifik; larutan air sabun terjadi karena persamaan reaksi (persamaan kimia) dan sebagainya. Usaha para intelektual yang begitu besar seperti halnya kegiatan ahli-ahli sains mengarah kepada terciptanya teori-teori tentang objek dengan bantuan konsep-konsep. Kenyataan dari hal tersebut adalah bahwa perangkat teoretis dibentuk oleh manusia, dan objek-objek natural hanya dikenal di dalam kemasan teoritis, artinya objek nyata bukan hasil kreasi manusia, atau objek nyata bukan merupakan bagian dari nilai-nilai saintifik dalam hal struktur konsep yang dibawanya untuk menunjang hal tersebut.
Cakrawala Pendidikan, November 2011, Th. XXX, No. 3
349 Hampir semua pakta menunjukkan bahwa pengetahuan adalah kreasi manusia, yang terikat secara historis dan kultural, dan tidak akan menghasilkan suatu konklusi absolut. Artinya, bahwa pengetahuan yang diklaim kebenarannya, sebenarnya tidak benar-benar ditemukan atau relatif. Memang kita seharusnya berargumentasi bahwa dasar pemikiran tersebut tidak menjamin untuk terbentuknya konklusi dari hal tersebut. Lebih jauh lagi bahwa aspek yang paling penting dalam proses belajar-mengajar berdasarkan kontruktivisme tidak diperlukannya konklusi semacam itu untuk penjustifikasiannya. APLIKASI DALAM PEMBELAJARAN SAINS DI SD Berdasarkan uraian di atas, timbul pemikiran dan pertanyaan sebagai pendidik, khususnya tentang bagaimana seharusnya dan sebaiknya memanfaatkan/mengadopsi prinsip-prinsip konstruktivisme dalam pembelajaran sains, agar konsruktivisme dapat menjadi salah satu altenatif reform dan movement dalam proses pembelajaran sains di sekolah dasar. Pemikiran dan pertanyaan tersebut merupakan klimaks dari suatu kenyataan bahwa anak usia sekolah dasar (6-12 tahun) merupakan usia strategis untuk menanamkan dasar-dasar pengetahuan, keilmuan, logika, moralitas, dan etika yang berlaku universal. Karakteristik yang sangat menonjol pada anak usia sekolah dasar (6-12 tahun) adalah rasa ingin tahu yang sangat besar (Kuhn & Pease, 2006; Kuhn, Katz & Dean, 2004). Hal ini terjadi karena anak usia tersebut sangat memerlukan banyak pengetahuan dan pe-
ngalaman untuk memenuhi celah-celah kekurangan pengetahuan di dalam memory store-nya, selain keingindekatan dengan objek nyata dan lingkungan alam sekitar. Hal ini juga ditunjang oleh teori perkembangan intelektual dari Piaget, bahwa anak usia 6-12 tahun termasuk dalam fase operasional konkret dan merupakan usia strategis yang sangat peka terhadap proses pembentukan fondasi pengetahuan, keterampilan, kesadaran, sikap, serta partisipasi. Dasar filosofi, epistemologi, dan ontologi konstruktivisme mengindikasikan bahwa prinsip-prinsip konstruktivisme pada hakikatnya memberikan wider mandates kepada individu (anak) untuk mengembangkan potensi melalui curiosity dan inquirynya. Hal itu semua mungkin bisa tercapai dengan baik kalau di dalam proses pembelajaran dibimbing, difasilitasi dan didampingi oleh guru yang mempunyai anthusiastic, intelligent, dan appreciative (Barlia, 2009:10). Dengan dimplementasikannya prinsip-prinsip konstruktivisme dalam proses pembelajaran sains di sekolah dasar, diharapkan dapat memupukkembangkan kekhasan karakteristik yang dipunyainya seoptimal mungkin. Proses pembelajaran sains di sekolah dasar dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip konstruktivisme secara benar dan komprehensip diasumsikan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran pada anak didik walaupun kita sepakat bahwa cara mengajar dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip konstruktivisme bukan satu-satunya cara, metode atau model mengajar yang paling baik, serta diharapkan dapat mendidik dan membiasakan anak didik
Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sains di SD
350 menggunakan cara-cara ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya (Barlia, 2009:11). Diharapkan pengimplementasian prinsip-prinsip konstruktivisme dapat ”mendidik” manusia-manusia masa depan yang berkeahlian dan berketerampilan tepat guna. Lebih jauh lagi, diharapkan dapat membantu anak didik menjadi orang Indonesia yang ”melek sains dan teknologi”. Seperti telah diuraikan di atas, untuk mengimplementasian prinsip-prinsip konstruktivisme di dalam proses pembelajaran sains selain diperlukan sosok guru yang mempunyai anthusiastic, intelligent dan appreciative juga diperlukan tahapan-tahapan metode pembelajaran yang mencerminkan pengaplikasian prinsip-prinsip konstruktivisme yang komprehensip dan ”benar”. Untuk menunjang hal tersebut, pada bagian berikutnya akan disajikan tahapan metode pembelajaran berdasarkan prinsip konstruktivisme dari beberapa ahli yang diformulasikan ke dalam suatu bentuk proses pembelajaran yang dianggap ideal. Tahapantahapan metode pembelajaran yang dianggap ideal tersebut tidak tertutup kemungkinan untuk dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, dengan tidak meninggalkan prinsip-prinsip dasar konstruktivisme itu sendiri. Banyak tahapan metode pembelajaran di sekolah dasar yang disarankan oleh ahli konstruktivisme. Driver dan Oldham (1986) menjelaskan bahwa mengajar berdasarkan konstruktivisme dilakukan dengan beberapa tahap. Pertama: orientasi, anak didik diberi kesem-
patan untuk mengembangkan rasa ingin tahu atau membawa pemikirannya kepada tujuan dan motivasi untuk belajar topik tersebut. Tahap berikutnya adalah elisitasi, yaitu mengajak anak didik untuk memikirkan dan mengeluarkan pemikiran-pemikiran terbarunya tentang topik yang akan diajarkan, untuk memperjelas pelajaran tersebut, dilakukan melalui macam-macam aktivitas seperti diskusi kelompok, membuat poster atau tulisan. Restrukturisasi ide-ide merupakan inti dari proses kegiatan pembelajaran berdasarkan konstruktivisme, meliputi beberapa tahap, yaitu: klarifikasi dan pertukaran ide-ide. Dalam tahapan ini, pengertian atau pengetahuan tentang sesuatu yang dipunyai anak didik, dan bahasa yang digunakannya diperjelas, dipertajam dan dikontraskan dengan yang lain atau dipertentangkan dengan pandangan atau pendapat siswa lain atau dengan pendapat guru. Selanjutnya, dilakukan pembentukan ide-ide baru berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan, dilanjutkan dengan mendemonstrasikannya. Di sini, anak didik dapat melihat bahwa terdapat banyak cara dalam menginterpretasikan suatu fenomena atau fakta (Barlia, 2004). Tahap berikutnya dilakukan evaluasi ide-ide baru, baik dengan cara eksperimen atau dengan berpikir tentang implikasi-implikasinya. Anak didik sebaiknya disuruh untuk mencoba memecahkannya dengan cara yang terbaik untuk menguji pemikiran-pemikiran alternatif yang dipunyainya. Di dalam tahapan ini anak didik mungkin akan merasa tidak cocok (dissatisfied) dengan konsepsi yang ada (Barlia, 2009). Apli-
Cakrawala Pendidikan, November 2011, Th. XXX, No. 3
351 kasi ide-ide merupakan tahap berikutnya, di sini anak didik diberi kesempatan untuk menggunakan ide-ide atau pemikiran-pemikiran yang dikembangkannya di dalam situasi yang berlainan, baik dalam situasi biasa atau baru. Review, merupakan tahap akhir dari kegiatan pembelajaran, dimana anak didik dituntut untuk merefleksikan kembali ide-idenya. Ide-ide mereka mungkin berubah. Untuk mengetahui perubahan ide-ide tersebut, dilakukan dengan membuat perbandingan antara pemikiran awal dan akhir, selama mereka mengikuti proses pembelajaran. Driver dan Oldham (1986) menggarisbawahi tahap review akhir sebagai belajar tentang bagaimana belajar (learn how to learn). Novak dan Gowin (1984) mengklaim sebagai bagian dari proses belajar yang sebenarnya bagi anak didik dalam mempelajari materi pelajaran yang disampaikan. Disini, sebenarnya anak didik dalam waktu bersamaan juga belajar suatu proses belajar yang efektif. Pemikiran tentang hal ini, dikenal sebagai “metacognition” (Kuhn & Franklin, 2006). PEMBAHASAN DAN KERAGUAN DALAM PRAKSISNYA Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa metode pembelajaran berdasarkan prinsip-prinsip konstruktivisme menekankan kepada pentingnya keterlibatan anak didik di dalam proses pembelajaran, serta pentingnya pengetahuan awal untuk konseptualisasi proses pembelajaran berikutnya. Pandangan belajar menurut konstruktivisme telah disimpulkan oleh Driver dan Bell (1986), bahwa hasil belajar tergantung,
tidak hanya pada lingkungan belajar tetapi juga tergantung kepada pengetahuan yang telah dipunyai anak sebelumnya. Selain itu, belajar juga merupakan pembentukan pemahaman. Meanings itu sendiri dibentuk oleh anak dari hal-hal yang mereka lihat, dengar atau mungkin dari hal-hal yang mereka peroleh tidak disengaja. Pembentukan pengertian atau pemahaman sangat dipengaruhi oleh keberadaan pengetahuan yang telah ada sebelumnya dan terjadi secara terus menerus dalam proses yang aktif. Sekali pemahaman itu terbentuk, dapat dievaluasi apakah diterima atau ditolak. Anak didik sendiri mempunyai tanggung jawab untuk proses belajar sendiri, maka timbul/terjadinya pattern dari macam-macam proses pembentukan pemahaman pada anak didik, didasari oleh bermacam-macam pengalaman yang dipunyainya (Bransford & Donovan, 2005), yaitu pengalaman dengan dunia fisik dan bahasa alamiahnya. Salah satu issu yang berkaitan dengan guru konstruktivisme adalah timbulnya suatu keadaan dimana pengetahuan yang dibentuk oleh anak didik dimaknai berbeda dengan pengetahuan yang dimaksudkan oleh guru. Hal ini sangat penting untuk diketahui dan dikaji dengan pasti, apakah hal tersebut menjadi masalah atau tidak terhadap konsepsi anak didik yang sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah. Para konstruktivis berusaha keras mengingatkan kita (pendidik/guru) bahwa tidak semua hal yang diajarkan dapat ditangkap atau dimengerti oleh anak didik. Tetapi, satu hal yang sangat pen-
Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sains di SD
352 ting di dalam issu proses pembelajaran, adalah menentukan tindak lanjut dari adanya perbedaan-perbadaan tersebut. Akhirnya, akan bermuara kepada pertanyaan-pertanyaan berikut. Haruskah kita mengembangkan atau memperbaiki proses mengajar kita sebagai cara untuk menghilangkan perbedaanperbedaan itu? Haruskah kita menerima “miskonsepsi”, “alternatif framework” pada anak didik kita, atau kita anggap hanya sebagai kesalahan biasa? Salah satu saran dari para konstruktivis untuk menanggulangi permasalahan di atas, adalah dengan mencari keselarasan antara konsepsi ilmiah dan konsepsi anak didik terutama pada masalah-masalah yang memungkinkan proses belajar mengajar dapat diteruskan, agar dapat menumbuhkan rasa percaya diri pada anak didik, serta keinginan mereka untuk menggali lebih jauh penjelasan-penjelasan yang masuk akal (Barlia, 2010). Satu hal yang sangat menarik untuk kita simak, adalah: Apakah teknik mengajar dan belajar untuk pemahaman begitu unik di dalam konstruktivisme? Jawabannya, jelas tidak! Karena banyak teknik yang dapat digunakan oleh para konstruktivis, yang menitik beratkan kepada berperan aktifnya anak didik di dalam proses belajarnya sendiri, termasuk menaruh perhatian terhadap prior belief dan konseptual yang dipunyainya. Lebih jauh, Driver dan Oldham (1986) berpendapat bahwa dalam merancang kurikulum berdasarkan prinsip-prinsip konstruktivisme tidak sama dengan kurikulum tradisional yang umumnya biasa kita jumpai saat ini, yaitu: siswa pasif, guru yang aktif, dan
kurikulum yang hanya sebagai sesuatu dimana guru hanya sekedar memindahkan pengetahuan kepada anak didik (the latter transmits to the former). Berdasarkan para konstruktivis, ada dua perubahan prinsipil yang harus dilakukan oleh semua orang yang terlibat langsung di dalam proses pembelajaran sains anak didik usia sekolah dasar. Pertama, kurikulum jangan dilihat sebagai batang tubuh pengetahuan atau skills, tetapi harus menjadikannya sebagai aktivitas program dimana suatu pengetahuan atau skills kemungkinan dapat diperoleh dan dibentuk. Kedua, harus dilakukan perubahan status kurikulum dari tradisional kepada proses pembelajaran yang menegosiasikan status permasalahan yang dipunyai oleh anak didik (Barlia, 2009). Metode pembelajaran berdasarkan prinsip-prinsip konstruktivisme tidak dapat dipisahkan dari inkuiri dan diskoveri, pada dasarnya membedakan proses pembelajaran yang didominasi oleh guru (model didaktik tradisional dalam pendidikan), dan proses pembelajaran diskoveri yang dilakukan oleh anak didik sendiri (model progressif di dalam pendidikan). Perbedaan yang mencolok dengan didaktikisme sangat jelas, sedangkan dengan belajar diskoveri dan inkuiri tidak terlalu jauh berbeda. Proses pembelajaran di dalam kelas dengan mengimplementasikan inkuiri mempunyai karakteristik yang dapat digambarkan sebagai pembelajaran yang merefleksikan suatu rangkaian dari bermacam-macam metodologi, seperti: diskusi, investigasi di luar kelas atau dilaboratorium, inkuiri inisiatif anak didik sendiri, debat dan sebagai-
Cakrawala Pendidikan, November 2011, Th. XXX, No. 3
353 nya (Minstrell & Kraus, 2005). Guru lebih banyak berperan sebagai role model dalam mengembangkan issu-issu yang disajikan, menguji nilai-nilai, dan menerima atau mengakui kesalahan untuk dikonfrontasikan dengan bagianbagian masalah yang tidak diketahui anak didik. Untuk inkuiri, suasana kelas harus kondusif sehingga memudahkan anak didik untuk bertanya. Risktaking difasilitasi dan respons anak didik diperhatikan, diklarifikasi, dan dikembangkan melalui diskusi antar anak didik. Iklim pembelajaran distimulus secara menyeluruh, termasuk eksplorasi berpikir mengenai objek dan kejadian. Cara belajar seperti ini menunjang bagi pengembangan berpikir praktis, analitis, dan sintetis (Kuhn, 2005) daripada hanya untuk menyelesaikan bahan pelajaran yang ada. Oleh sebab itu, di dalam kelas inkuiri diperlukan waktu yang cukup untuk melakukan sesuatu, merefleksikan, menghayati, dan melakukan penilaian. Kegagalan di dalam proses pembelajaran dengan mengimplementasikan inkuiri dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor eksternal, erat kaitannya dengan pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan guru sendiri (misalnya: underprepared teacher), jumlah siswa dalam kelas (class size), keberadaan sumber belajar (misalnya: unavailable learning resources), ekspektasi sekolah dan masyarakat, permintaan/keperluan untuk assesment (Misalnya: UASBN), serta implementasi metode pembelajaran, dan sebagainya. Faktor internal juga merupakan hal yang sangat penting sebagai penyebab terjadinya kegagalan. Faktor internal erat kaitannya dengan
serangkaian kesalahan di dalam dasardasar pengetahuan serta pemahaman tentang pembelajaran dengan inkuiri itu sendiri. Hal ini merupakan salah satu dampak dari underprepared teacher. Padahal faktor guru sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan proses pembelajaran yang dilakukannya (Barlia, 2010). Kesalahan lain yang sering kita jumpai dalam proses pembelajaran sains yang sehari-hari sering kita lakukan, yaitu tatkala alokasi waktu yang diperuntukan untuk suatu kegiatan tertentu dibatasi, maka segala kegiatan akan berpatokan kepada waktu yang tersedia. Dengan kata lain, kegiatan terkebiri oleh pembatasan waktu, bukan oleh kegiatan belajar inkuiri itu sendiri. Sehingga, proses pembelajaran tidak lebih dari sekedar mengejar target penyelesaian kegiatan sesuai dengan alokasi waktu yang ada. Hal inilah sebenarnya yang dikhawatirkan kalau inkuiri diadopsi secara penuh oleh konstruktivisme. Hal ini sebenarnya merupakan masalah utama filosofis proses pembelajaran dengan inkuiri, seperti banyak dikemukakan oleh ahli-ahli dalam berbagai sumber, antara lain seperti berikut. ”Di dalam proses belajar dengan inkuiri, anak didik diberi rencana kegiatan yang akan dapat membantunya menemukan faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan fisik melalui inisiatif dan kontrolnya sendiri dan tidak tergantung kepada eksplanasi dan interpretasi dari guru atau orang lain yang mempunyai pengetahuan tentang itu,” (Confrey, 1985: 123).
Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sains di SD
354 Dari pendapat Confrey (1985) tersebut, terdapat beberapa preposisi penting yang perlu untuk disimak. Semua preposisi tersebut sebenarnya merupakan inti dari belajar diskoveri, dan semua itu mungkin saja bisa salah atau masih diperdebatkan, bahwa anak di dalam tempat yang terisolasi dapat menemukan dan mempertahankan kebenaran ilmiah. Bahasa dan konsep-konsep yang diperlukan untuk pengembangan hipotesis dapat diperoleh secara independent (oleh dirinya sendiri), dari guru, atau lebih jauh lagi, sebagai hasil interaksi sosial (Boghossian, 2006) dan partisipasinya di dalam bahasa komunitasnya. Pengajuan suatu hipotesis serta penginterpretasian dari suatu tes adalah straightforward, dan simple sekalipun bagi anak usia sekolah dasar. Dan konsep-konsep saintifik dibentuk dari abstraksi hal-hal yang partikular (khusus). Pada penemuan Galilleo tentang gerakan pendulum memperlihatkan defisiensi pernyataan di atas, dan lebih cenderung mengarah kepada paham Aristoteles dari pada sains modern. Argumen-argumen terdahulu yang menolak posisi teori-teori di atas tidak akan dibahas di sini, tetapi bisa dikatakan kalau penemuan-penemuan baru menunjukkan, bahwa konsep-konsep tidak timbul dari pengalaman sensoris dalam cara yang diasumsikan. Hipotesis ilmiah diformulasikan dengan menggunakan dasar-dasar konseptual scientific discourses, dan dasar-dasar konseptual tersebut harus diperoleh dengan proses pembelajaran dan partisipasi.
Sebenarnya, terdapat suatu perbedaan kualitatif di dalam hal formulasi discovery. Di dalam hal tertentu, hipotesis menunjang diskoveri, dan diskoveri di dalam hal lain mempertahankan hipotesis. Keadaan ini, secara tradisional dikatakan sebagai perbedaan antara kontek diskoveri dan justifikasi. Kontek justifikasi memerlukan keterlibatan masyarakat (publik) yang setuju dengan justifikasi tersebut. Diskoveri di dalam pendidikan sains mempunyai implikasi sebagai klaim pengetahuan (knowledge claims) yang pada gilirannya secara tidak langsung menunjukan bahwa anak didik mempunyai alasan untuk mempercayainya. apabila hipotesisnya menunjukkan ada keterkaitan dengan hal-hal yang bisa menggantikan alasanalasan sebelumnya. Di sinilah, pada akhirnya diperlukan posisi epistemologi yang tidak dapat secara murni dihasilkan oleh individu anak itu sendiri. Sejarah perkembangan pendidikan sains di Amerika Serikat memberi pelajaran yang sangat berharga bagi kita, dimana pada saat itu terjadi pengadopsian total induktivisme untuk pendidikan sains sebagai cara untuk memisahkan antara sejarah dan filosofi sains. Hal itu menyebabkan kebingungan terhadap pemegang teori/pandangan induktivisme yang sebenarnya merupakan karakteristik dasar dari proses pembelajaran sains dengan inkuiri (Magnusson & Palincsar, 2005). Pengaruh nyata dari pemisahan pendidikan sains dan sejarah filosofi sains merupakan alasan kuat bagi para ahli pendidikan sains untuk melakukan suatu perubahan dan pembaharuan pendidikan sains dalam rangka mencegah ter-
Cakrawala Pendidikan, November 2011, Th. XXX, No. 3
355 ulangnya pemisahan tersebut. Seperti halnya yang dituliskan oleh James Rutherford (1964) bahwa guru-guru perlu untuk mengetahui sejarah dan filosofi bidang pengajaran sains yang ditekuninya agar dapat mengajarkannya dengan ”baik”. Selain itu , guruguru perlu untuk menghargai bermacam-macam aturan, kebijakan, dan kurikulum yang harus mereka implementasikan. Hal ini semua merupakan dasar bagi para konstruktivis, termasuk guru-guru yang mengimplementasikan prinsip-prinsip konstruktivisme dalam pembelajaran sains di sekolah dasar untuk tidak menyalahkan sejarah penemuan sains, tetapi hal tersebut harus dijadikan pegangan dan dasar untuk penemuan baru dan penyempurnaan teori-teori sains yang ada. Dari semua uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa di dalam pengaplikasian prinsip-prinsip konstruktivisme di dalam proses pembelajaran sains, khususnya di sekolah dasar, tidak dapat dipisahkan dari peran inkuiri dan diskoveri, serta variabel-variabel lain yang berpengaruh terhadap efektivitas proses pembelajaran tersebut. Selanjutnya, apabila kita kaji segala kelebihan, kekurangan, serta keraguan dasar filosofi, epistemologi, ontologi dan formulasi aplikasi konstruktivisme, mengundang keraguan di dalam praksisnya, karena kita belum sempat berpikir secara komprehensif tentang hal tersebut. PENUTUP Dari semua uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dasar filosofi, posisi epistemologi dan ontologi dalam konstruktivisme mempunyai argumen
yang lemah dan mengakibatkan kebingungan bagi kita (pendidik/guru), sehingga dapat menimbulkan keraguan di dalam praksisnya. semua itu diperlukan suatu restatement terhadap teori empiris dasar untuk pendidikan sains di sekolah dasar. Terlepas dari benar atau tidaknya semua teori dan filosofi konstruktivisme seperti yang telah diuraikan di atas, hal yang paling penting bagi kita adalah bagaimana kita sebagai guru/orang yang berkecimpung dalam pendidikan dan pembelajaran sains di sekolah dasar dapat mengaplikasikan dan mengimplementasi prinsip-prinsip konstruktivisme untuk menuju terjadinya reform dan movement dalam pendidikan dan proses pembelajaran sains, khususnya disekolah dasar di Indonesia. Proses pembelajaran sains bagi anak-anak Indonesia dapat menghasilkan generasi masa depan yang ”melek sains dan teknologi”. Permasalahannya sekarang adalah: Apakah aplikasi prinsip-prinsip konstruktivisme dalam proses pembelajaran sains di sekolah dasar itu yang paling baik, benar, atau malah sebaliknya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita pahami metode pembelajaran konstruktivisme secara komprehensif dan berusaha untuk mengaplikasikannya secara benar sesuai dengan kondisi real yang ada. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih saya ucapkan kepada Redaktur Jurnal Cakrawala Pendidikan yang telah memberi input untuk penyempuraan artikel ini.
Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sains di SD
356 DAFTAR PUSTAKA Barlia, Lily. 2004. “Empat Metoda Perubahan Hasil Belajar (Extinction, Replacement, Rearrangement, & Addition)”. Jurnal Ilmu Pendidikan Pedagogia, 2(1), 57-71. ______. 2008. “Sains untuk anak: Hakikat Pembelajaran Sains untuk Anak Sekolah dasar”. Jurnal Cakrawala Pendidikan, XXVII (2). 107117. ______. 2009. “Perubahan Konseptual dalam Pembelajaran sains Anak Usia Sekolah Dasar”. Jurnal Cakrawala Pendidikan, XXVIII (1), 4859. ______. 2009. Teori Pembelajaran Sains di Sekolah Dasar. Bandung: Royyan Press. ______. 2010. “Elementary School Teacher Personality in Students’ Learning Motivation in Science”. Jurnal Cakrawala Pendidikan, XXIX (1), 14-26. Boghossian, P. 2006. “Behaviorism, Constructivism, and Socratic Pedagogy”. Educational Philosophy & Theory, 38 (6), 713-722. Bransford, J. D., & Donovan, M.S. 2005. Scientific inquiry and How People Learn. In National Research Council, How Students Learn: History, Mathematics, and Science in the Classroom. Committee on How People Learn, A Targeted Report for Teachers, M.S. Donovan and
J.D. Baransford, editors. Division of Behavioral and Social Sciences and Education. Washington DC: The National Academic Press, 397-419 . Collins, H., M, 1981. “Strategies in the Empirical Programs of Relativism”. Journal of Social Studies of Science 11, 3-10. Confrey, J., 1985. What Constructivism Implies for Teaching. In R. Davis, C. Maher & N. Noddings (Eds.). Constructivist Views on the Teaching and Learning Mathematics. National Council of Teacher of Mathematics, Reston, VA.pp. 107142. Driver, R. & Bell, B. 1986. Students’ Thinking and Learning of Science: A Constructivist View. School Science Review, 67. 443-456. Driver, R & Oldham, V. 1986. A “Constructivist Approach to Curriculum Development in Science”. Studies in Science Education 13, 105-122. Duckworth, E. 1987. The Having of Wonderful Ideas. New York: Teacher College Press. Durkheim, E. 1972. Selected Writings. A Giddens ed., Cambridge, UK.: Cambridge University Press. Garrison, J.W. 1986. “Some Principles of Positivist Philosophy of Science”.
Cakrawala Pendidikan, November 2011, Th. XXX, No. 3
357 Journal of Educational Researcher, 15(9), 12-18. Glasersfeld, E. Von. 1987. Construction of Knowledge. Inter-systems Publications, Salians, CA. ______. 1989. “Cognition of Knowledge, and Teaching”. Synthese, 80 (1), 121-140. ______. 1990. “Environment and Communication”. In L.P. Steffe & T. Wood (ed.), Transforming Children’s Mathematics Education: International Perspectives, Lawrence Erlbaum, Hillsdale, NJ, 30-38. Good, R., Wandersee, J. & St. Julien, J. 1993. “Cautionary Notes on the Appeal of Constructivism in Science Education”. In K. Tobin (ed.). Constructivism in Science and Mathematics Education, AAAS, Washington, DC, 71-90. Hein, G.E. 1991. Constructivist Learning Theory. International Committee of Museum Educators). Jerusalem-Israel. Kilpatrick, J. 1987. What constructivism Might Be in Mathematics Education. In J.C. Bergeron, N. Herscovics, & C. Keiran (eds.). Psychology of Mathematics Education, Proceedings of the eleventh International Conference, Montreal. 327.
Kuhn, D. 2005. Education for Thinking. Cambridge: Harvard University Press. Kuhn, D., & Franklin, S. 2006. “The Second Decade: What develops (and how)?” In D. Kuhn & R. Siegler (Eds.), Handbook of Child Psychology. Vol.2: Cognition, Perception, and Language (6th ed., pp. 953-994). New York: Wiley. Kuhn, D., Katz, J., & Dean, D. 2004. Developing reason. Thinking & Reasoning, 10, 197-219. Kuhn, D., & Pease, M. 2006. “Do the Children and Adults Learn Differently?” Journal of Cognition and Development, 7, 279-293. Latour, B. & Woolgar, S. 1986. “Laboratory Life”. The Social Construction of Scientific Facts. Revised ed (1st ed. 1979). London: Sage Publication Lave, J. 1988. Cognition in Practice: Mind, Mathematics and Culture in Everyday Life. New York: Cambridge University Press. Lerman, S. 1988. “Constructivism, Mathematics, and Mathematics Education”. Journal of Educational Studies in Mathematics, 20, 211-223. Lynch, M., Livingstone, E. & Garkinkel, H. 1983. Temporal Order in Laboratory Work. In K. D. KnorrCetina & M. Mulkay (eds.).
Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sains di SD
358 Science Observed. London: Sage Publication. Magnusson, S.J., & Palincsar, A.S. 2005. “Teaching to Promote the Development of Scientific Knowledge and Reasoning about Light at the Elementary School Level. In National Research Council”. How Students Learn: History, Mathematics, and Science in the Classroom. Committee on How People Learn, A Targeted Report for Teachers, M.S. Donovan and J.D. Bransford, Editors. Devision of Behavioral and Social Sciences and Education. Washington, DC: The National Academic Press. 421474. Minstrell, J., & Kraus, P. 2005. Guided inquiry in the science classroom. In National Research Council, How Students Learn: History, Mathematics, and Science in the Classroom. Committee on How People Learn, A Targeted Report for Teachers, M.S. Donovan and J.D. Bransford, Editors. Devision of Behavioral and Social Sciences and Education. Washington, DC: The National Academic Press. 421-474.
Novack, J.D. & Gown, D.R. 1984. Learning How to Learn. New York: Cambridge University Press. Rutherford, F.J. 1964. “The Role of Inquiry in Science Teaching”. Journal of Research in Science Teaching 2, 80-84. Reprinted in W.D. Romey (ed.), Inquiry Techniques for Teaching Science, Prentice Hall, Englewood Cliffs, NJ. 1968, 264-270. Wheatley, G.H. 1991. “Constructivist Perspectives on Science and Mathematics Learning”. Journal of Science Education 75 (2). 9-12. Woolgar, S. 1986. “On the Alleged Distinction Between Discourse and Praxis”. Journal of Social Studies of Science 16. 309-317.
Cakrawala Pendidikan, November 2011, Th. XXX, No. 3