ISSN : 0215 - 9635, Vol. 18 No. 2 Th. 2006
KONSTRUKSI SOSIAL KULTURAL POLIGINI1 DALAM PESANTREN2 Siany Indria Liestyasari Dosen Program Studi Sosiologi dan Anthropologi Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maert surakarta ABSTRAK Paper ini bertujuan untuk melihat bagaimana poligini dikonstruksi secara sosial kultural dalam ranah pesantren. Selama ini poligini dianggap sebagai sesuatu yang terberi secara alamiah dan hak prerogative dari kaum adam. Melalui serangkaian wawancara dan observasi yang terbingkai dalam sebuah penelitian di pesantren Barokah maka paper menguraikan bahwa ada beberapa hal yang terkait dengan proses konstruksi sosial kultural atas poligini. Pembiasaan peran gender dalam pesantren memiliki peran yang sangat signifikan dalam mengkonstruksi poligini karena melalui berbagai norma dan aturan yang digunakan untuk membentuk perempuan salehah dalam kacamata Islam rupanya turut mengkontribusi bagaimana santri memaknai poligini. Meskipun di Indonesia poligini bukanlah hal yang asing untuk ditemukan namun konstruksi yang terbangun atas poligini masih sangat bias gender. Hal ini salah satunya diperantarai oleh adanya pengajaran kitab kuning tentang perkawinan yang selayaknya dikaji ulang keabsahannya karena lebih banyak hal yang menjadi kewajiban perempuan dalam sebuah perkawinan, termasuk menerima suaminya berpoligini. Mekipun poligini sudah dianggap wajar namun serangkaian proses historis yang terjadi akan pembiasaan hal tersebut harus didekonstruksi ulang dengan merumuskan hal-hal baru yang lebih egaliter untuk laki-laki dan perempuan. Kata kunci: Poligini, pesantren, konstruksi sosial, kultural. PENDAHULUAN
sebelumnya para adipati dan raja di Indonesia
Apabila melihat fakta sejarah maka
sudah mempraktikkan poligini sebagai suatu hal
persoalan poligini bukanlah hal baru di Indo-
yang membedakan status kebangsawanan
nesia. Pada jaman kolonial Belanda dan bahkan
mereka dengan rakyat jelata. Kalangan
Kamus Antropologi mendefinisikan bahwa poligami adalah satu bentuk perkawinan dimana seorang lakilaki atau perempuan memiliki beberapa orang pasangan hidup. Dalam istilah Antropologi, poligini adalah satu bentuk perkawinan dimana seorang laki-laki dapat memiliki beberapa orang istri dalam perkawinannya. Masyarakat kita seringkali menyebutnya hanya dengan istilah poligami dan ini lebih populer. Sementara apabila
seorang perempuan memiliki beberapa orang suami disebut dengan istilah poliandri, namun ini sangat jarang ditemukan. 2 Paper ini adalah cuplikan dari hasil penelitian berjudul “Realitas Poligini” yang didasarkan pada penelitian lapangan selama 6 bulan pada sebuah pesantren di kawasan Propinsi Jawa Timur.
1
Siany Indria Liestyasari “Konstruksi Sosial Kultural Poligini Dalam Pesantren”
129
Jurnal Sosiologi DILEMA agamawan yang identik dengan kaum muslim
terpaksa merelakan suaminya menikah lagi
juga banyak yang mempraktikkan poligini
untuk mendapat keturunan laki-laki.
dengan alasan religius. Ketika Poligamy Award
Dependensi ekonomis membuat perempuan
ditayangkan di RCTI pada tahun 2003 maka
tetap bertahan dalam perkawinan dan berbagi
masyarakat seolah disodorkan pada kenyataan
suami dengan perempuan lain. Stigma negatif
bahwa banyak laki-laki di Indonesia yang
tentang perawan tua atau janda membuat
ternyata berpoligini baik secara terang-terangan
perempuan rela menjadi istri kesekian untuk
atau sembunyi. Poligini ternyata tidak hanya
menghindari gunjingan masyarakat. Dari alasan
dipraktikkan oleh kalangan elite politik negara
di atas perempuan mengikuti aturan yang
kita namun juga para selebritis, pengusaha kaya
diterapkan oleh masyarakat dan kebudayaan
dan juga rakyat biasa.
untuk memasuki perkawinannya termasuk
Tidak bisa dipungkiri bahwa praktik
dalam poligini.
poligini di Indonesia diidentikkan dengan kaum
Pada masyarakat Indonesia, wacana
muslim karena selalu dihubungkan dengan surat
patriarki yang menyentuh hampir setiap segi
An.Nisa:33 yang diinterpretasikan oleh sebagian
kehidupan manusia tidak urung telah
kalangan sebagai pelegalitas poligini. Namun
memberikan kontribusi pada konstruksi sosial
tidak banyak yang menyadari bahwa praktik
atas poligini. Poligini kemudian lebih bersifat
poligini memuat berbagai macam kepentingan
kultural daripada agama, hanya saja agama
yang bias gender dan merugikan perempuan.
dijadikan legitimasi sebagai dasar dari poligini
Rasio statistik perempuan yang lebih banyak
oleh laki-laki melalui interpretasinya terhadap
dari laki-laki kerap mengasumsikan bahwa
teks yang membicarakan mengenai poligini.
perkawinan bisa membebaskan perempuan
Wacana patriarki yang berakar dalam
dari kemiskinan dan kesengsaraan. Perkawinan
masyarakat Jawa terus menerus mereproduksi
usia muda untuk meringankan beban ekonomis
pemahaman dan nilai-nilai kultural yang
orang tua mengkondisikan perempuan menjadi
mengatakan bahwa adalah wajar bagi laki-laki
istri kedua. Nilai anak (laki-laki) sebagai
untuk memiliki lebih dari satu istri. Poligini yang
penerus garis keluarga membuat perempuan
legalitasnya didasarkan pada Al-Qur’an dan oleh sebagian masyarakat diterima sebagai
3
“Dan jika kamu takut tiak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
130
sesuatu yang wajar adalah hal yang mengalami proses kesejarahan yang panjang dan terkonstruksi secara sosial kultural. Poligini direproduski terus menerus oleh individu dalam
Siany Indria Liestyasari “Konstruksi Sosial Kultural Poligini Dalam Pesantren”
ISSN : 0215 - 9635, Vol. 18 No. 2 Th. 2006 proses yang disebut Gramsci sebagai hegemoni
pesantren? Dalam lingkup pesantren nilai
sehingga keberadaannya berikut diskursus yang
keislaman dan wacana patriarki sangat kental
menyertainya diterima sebagai sesuatu yang
terasa sehingga perilaku umumnya didasarkan
taken for granted, dianggap wajar.
atas norma yang termaktub dalam Al-Qur’an
Anggapan wajar ini tidak terlepas dari
yang menganggap poligini adalah wajar.
konteks sosial kultural kehidupan individu.
Pesantren adalah tempat dimana santri menuntut
Pembiasaan dan pembelajaran tentang nilai-nilai
ilmu keislaman kepada kyai sehingga
kultural dalam menyikapi perkawinan telah
pendidikan yang diterapkan dalam pesantren
ditanamkan sejak masa kanak-kanak dengan
diasumsikan ikut mengkontribusi pemahaman
melakukan pembedaan antara laki-laki dan
santri atas poligini. Oleh karena itu relasi antara
perempuan. Pembedaan ini dipengaruhi oleh
santri dan kyai dalam sebuah pesantren penting
wacana patriarki sehingga nilai-nilai kultural
untuk dilihat kaitannya dengan konstruksi sosial
yang bersifat maskulin kemudian mendominasi
kultural atas poligini. Dalam kasus-kasus yang
kehidupan individu. Misalnya laki-laki adalah
ada poligini hanya dilihat sebatas hak kaum
imam keluarga karena itu dia sebagai pencari
adam yang diyakini sebagai jalan Tuhan untuk
nafkah utama dan berhak untuk mengambil
mencapai kesempurnaan di akhirat karena telah
keputusan-keputusan penting tanpa
mengangkat perempuan dari kesengsaraan.
bernegosiasi dengan istri atau anak-anaknya.
Akan tetapi seringkali persoalan dunia
Yang terjadi dalam poligini adalah suami
psikologis perempuan menjadi sesuatu yang
menikah diam-diam tanpa memberitahukan istri
bisa dinegosiasikan kalau tidak malah
dan anaknya dengan alasan bahwa agama
terlupakan dan dianggap tidak penting.
membolehkan seorang laki-laki berlaku
Metode kualitatif dirasa tepat untuk
demikian. Dengan demikian bila laki-laki
menggali data yang berkaitan dengan proses
melakukan poligini maka masyarakat
konstruksi sosial kultural atas poligini yang
menganggapnya sebagai hal yang wajar
berlangsung dalam pesantren. Serangkaian
(meskipun ada yang menentang) terutama
wawancara dan observasi dengan elemen-
apabila istri tidak memenuhi gambaran ideal
elemen pesantren dan masyarakat pedesaan di
perempuan yang disimbolkan dalam wacana
sekitarnya dilakukan untuk memperoleh
patriarki.
gambaran bagaimana kyai berikut pesantren
Paper ini berusaha untuk melihat
sebagai ranah pendidikan mampu menjadi salah
bagaimana poligini dikonstruksi secara sosial
satu pihak yang turut membangun konstruksi
kultural dalam sebuah pesantren. Mengapa
tentang poligini di Indonesia.
Siany Indria Liestyasari “Konstruksi Sosial Kultural Poligini Dalam Pesantren”
131
Jurnal Sosiologi DILEMA KYAI DAN SANTRI DALAM
soal pengetahuan Islam, maupun dalam bidang
PESANTREN
kekuasaan dan managemen pesantren.
Dalam kehidupan pesantren, berpoligini
Sementara itu kelompok santri adalah
bagi para kyai bukanlah hal yang asing untuk
lapisan terendah dalam struktur kelembagaan
dilakukan. Umumnya kyai mendapatkan
pesantren. Hal ini karena adanya tradisi relasi
tempat yang khusus dalam masyarakat
antara guru-murid diantara santri dan kyai yang
(pedesaan) karena dianggap lebih dalam hal
berlangsung selamanya. Dhofier (1982:82)
keagamaan dibandingkan dengan masyarakat
menjelaskan bahwa dalam tradisi pesantren,
sekitar. Dhofier (1982:55-56) menyebutkan
perasaan hormat dan kepatuhan murid kepada
bahwa kyai merupakan elemen yang paling
gurunya adalah muthlak dan tidak boleh putus,
esensial dari suatu pesantren. Ia bahkan
artinya berlaku seumur hidup si murid. Rasa
seringkali merupakan pendirinya. Studi Dhofier
hormat yang muthlak itu harus ditunjukkan
mengenai pesantren di daerah Jawa
dalam seluruh aspek kehidupan si santri, baik
menguraikan bahwa kyai kebanyakan tinggal
dalam kehidupan beragama, masyarakat
di pedesaan, memiliki pengaruh yang amat kuat
maupun pribadi. Melupakan ikatan dengan guru
dalam masyarakat, mapan secara ekonomi
dianggap sebagai suatu aib besar, di samping
tetapi tidak terlalu repot dengan aktivitas
akan menghilangkan barakah guru. Mereka
tersebut dan menghabiskan lebih banyak
patuh dan tunduk kepada gurunya dengan
waktunya untuk mengajar agama. Singkatnya,
didasari kepercayaan bahwa guru tersebut
kyai di pedesaan Jawa memiliki suatu posisi
memiliki kesucian karena memegang kunci
atau kedudukan tersendiri dalam masyarakat
penyalur pengetahuan dari Allah (Dhofier: 1982:
ditinjau dari sisi sosial ekonomi. Dhofier
84).
(1982:56) juga menegaskan bahwa
Dalam pesantren, santri adalah murid
kebanyakan kyai di Jawa beranggapan bahwa
atau anak yang sedang dalam proses
suatu pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu
mengenyam ilmu agama sementara kyai dan
kerajaan kecil di mana kyai merupakan sumber
keluarganya yang sudah dewasa dan telah
muthlak dari kekuasaan dan kewenangan
mengajar dianggap sebagai orang yang
(power and authority) dalam kehidupan
mumpuni atau ahli dalam ilmu agama.
lingkungan pesantren. Para santri selalu
Setidaknya keahlian mereka lebih tinggi
berharap dan berpikir bahwa kyai yang
dibandingkan dengan keahlian santri dalam
dianutnya merupakan orang yang percaya
agama. Hal ini membuat pola hubungan yang
penuh kepada dirinya sendiri, baik dalam soal-
asimetris terutama berkaitan dengan tafsir
132
Siany Indria Liestyasari “Konstruksi Sosial Kultural Poligini Dalam Pesantren”
ISSN : 0215 - 9635, Vol. 18 No. 2 Th. 2006 mengenai ajaran-ajaran agama yang diberikan
kesimpulan bahwa mereka menyetujuinya
kepada santri. Dalam hal ini kyai kemudian
apalagi bersedia dipoligini dalam perkawinan
mendominasi wacana tafisr yang ada dalam
mereka masing-masing kelak. Persetujuan
pondok, contoh konkritnya adalah pemilihan
mereka terhadap perkawinan poligini si kyai
tulisan yang dilukis di dinding tembok seluruh
hanya didasarkan pada ketidak mampuan
areal pesantren putri seperti yang telah
mereka untuk menyuarakan pendapatnya.
dijelaskan di bab sebelumnya. Kata-kata itu
Mereka sebenarnya tidak setuju namun tidak
seolah berbentuk puisi sehingga sulit dicerna
mampu membantahnya dengan pengetahuan
maknanya oleh santri awam sehingga mereka
yang mereka miliki. Apalagi yang melakukan
bertanya kepada keluarga kyai mengenai
adalah gurunya, orang yang notabene
makna tulisan tersebut. Pada akhirnya makna
merupakan nomor satu dalam hirarki pesantren.
yang diwacanakan dalam pesantren adalah
Kyai merupakan panutan sehingga apapun yang
makna yang telah ditetapkan oleh kyai.
dilakukannya seringkali tidak bisa dikritik dan
Pada akhirnya santri merupakan
dianggap sebagai perilaku yang layak dicontoh.
kelompok yang mayoritas tidak memiliki hak
Hal ini karena selama dalam pesantren mereka
untuk ikut menentukan apalagi membuat aturan
dibiasakan untuk menganggap bahwa
di dalam pesantren. Posisinya benar-benar
perempuan dan laki-laki secara kodrati
hanya sebagai orang yang harus patuh dan
berbeda. Oleh karena itu ada banyak hal yang
manut kepada gurunya berikut keluarga
bisa dilakukan oleh laki-laki namun tidak bisa
gurunya. Pola pikir seorang santri distrukturkan
dilakukan atau tidak mungkin ditolak oleh
oleh pola-pola kehidupan dan kebiasaan dalam
perempuan. Praktik poligini adalah salah satu
pesantren. Terlebih dia selalu berusaha
contoh konkritnya.
mengikuti guru yang selama ini dijadikan panutan. Apabila guru (kyai) berpola pikir patriarkis dan sarat dengan bias gender maka
KONSTRUKSI POLIGINI DALAM PESANTREN
hal itulah yang akan tertanam dalam benak
Pembahasan tentang konstruksi poligini
santri. Dengan demikian terlihat pola relasi
tidak bisa dilepaskan dari adanya hubungan
dalam pesantren yang selalu bersifat maskulin,
antara kyai dan santri sebagai dua elemen
saling berusaha mendominasi atas yang lain
penting dalam pesantren karena di sinilah proses
dengan kewenangan yang dimiliki.
pembiasaan bermain dalam membentuk
Poligini diamini oleh hampir setiap penghuni pondok meskipun tidak bisa ditarik
Siany Indria Liestyasari “Konstruksi Sosial Kultural Poligini Dalam Pesantren”
persepsi individu akan poligini. Ada beberapa hal yang ditemukan dalam penelitian ini yang
133
Jurnal Sosiologi DILEMA dikategorikan sebagai akar konstruksi sosial
dihadapkan pada serangkaian aturan yang
poligini yakni aturan yang diberlakukan baik
mengikat peran gender mereka menjadi sosok
tertulis maupun tidak, lukisan pada dinding
perempuan yang diidealkan dalam kultur
pondok putri, serta pengajaran kitab kuning
patriarkis. Aturan yang tertulis maupun tidak
dalam pesantren. Hal-hal tersebut adalah
tertulis ini dikatakan merunut pada teks tentang
aparatus bagi terciptanya konstruksi poligini
gambaran perempuan ideal yang ada dalam
sekaligus pelestari pembedaan gender dalam
kitab suci Al-Qur’an. Hal ini kemudian
ranah pesantren.
dilegalkan dalam bentuk aturan pondok yang
Yang pertama adalah berbagai aturan
disahkan oleh pengurus pondok untuk
yang berkaitan dengan peran gender individu.
selanjutnya diikuti dan dilakukan oleh para santri
Gender, seperti yang dikatakan oleh Ann
dalam kehidupan sehari-hari.
Oakley (Saptari, 1998: 89) adalah suatu
Setiap hari santri putri diwajibkan
pembedaan simbolis atau sosial yang
mengenakan rok panjang berwarna gelap,
berpangkal pada perbedaan sex tetapi tidak
kecuali untuk seragam sekolah yang telah
selalu identik dengannya. Oakley menjelaskan
ditetapkan warnanya oleh pengurus pondok.
bahwa gender adalah keadaan di mana individu
Rok panjang tersebut tidak boleh mencolok
yang lahir sebagai laki-laki dan perempuan
warnanya ataupun menerawang dan berbahan
memperoleh pencirian sosial sebagai laki-laki
tipis sehingga bagian tubuh akan tetap terlihat
dan perempuan melalui atribut-atribut feminitas
di balik balutan pakaian yang dikenakan santri.
dan maskulinitas yang sering didukung oleh nilai-
Tujuannya supaya tidak menimbulkan
nilai atau sistem simbol dari masyarakat yang
rangsangan ataupun birahi pada lawan jenis
bersangkutan. Pesantren adalah institusi yang
untuk menghindarkan dari kemungkinan
sarat dengan pembedaan peran gender antara
perbuatan yang disebutkan di atas. Menutup
laki-laki dan perempuan karena kulturnya
aurat adalah hal yang wajib dilakukan oleh
menekankan perbedaan peran ini secara tajam
kaum hawa dalam konteks ajaran Islam. Bagian
dengan menyandarkan argumennya pada kitab
tubuh yang diyakini terlarang untuk diperlihatkan
suci Al-Quran yang membedakan dan mengatur
adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua
relasi antar jenis kelamin ini secara tegas.
telapak tangan. Oleh karena itu seringkali
Sebagai suatu institusi yang berpola hierarkis
dikatakan bahwa adalah wajib hukumnya bagi
maka tidak urung nilai-nilai patriarkal kemudian
perempuan muslim untuk mengenakan jilbab
menjelma dalam berbagai macam aturan dan
dalam kehidupan keseharian. Semua santri
norma yang begitu kental terasa. Para santri
wajib mengenakan jilbab dan menutup auratnya
134
Siany Indria Liestyasari “Konstruksi Sosial Kultural Poligini Dalam Pesantren”
ISSN : 0215 - 9635, Vol. 18 No. 2 Th. 2006 sedemikian rupa di dalam setiap detik
3. Kawinlah kalian semua dengan wanita yang
kehidupannya dalam pondok. Tujuannya
subur (banyak anak) lagi cantik,
supaya menjadi perempuan saleh. Perempuan
sesungguhnya aku menunjukkan banyaknya
saleh adalah yang bisa menghindarkan diri dari
kamu di hadapan para Nabi di hari kiamat
perbuatan maksiat. Menunjukkan bentuk tubuh
4. Orang yang lebih berhak atas seorang
di pesantren ini dianggap sebagai perbuatan
wanita adalah suaminya
maksiat karena mengundang birahi. Tubuh
Tulisan tersebut tidak satupun yang
perempuan kemudian diatur sedemikian rupa
menyertakan kutipan darimana hadist tersebut
karena dia merupakan wilayah sakral sekaligus
dirawikan. Para santri mengatakan bahwa
profan. Sebagai wilayah sakral (biasanya dinilai
tulisan itu diambil dari hadist Nabi yang
melalui keperawanan) maka perempuan harus
dipandang cocok sebagai pedoman menjadi istri
menutupi tubuhnya untuk melindungi dirinya dari
dan ibu yang baik namun siapa perawinya
perkosaan misalnya. Namun di sisi lain tubuh
mereka juga tidak tahu. Mereka juga umumnya
perempuan juga dianggap profan karena selalu
tidak paham apakah tulisan itu penggalan dari
dijustifikasi sebagai suatu hal yang
hadist Nabi ataukah dari ayat Al-Quran.
menyebabkan rusaknya moralitas. Misalnya
Mereka hanya paham bahwa tulisan itu benar
karena pakaian yang ketat menutupi badan atau
adanya dan baik untuk kehidupannya kelak
menerawang membuat laki-laki bernafsu, oleh
dengan suami.Penulisan ini dimaksudkan
karena itu tubuh perempuanlah yang harus
sebagai upaya pendidikan mengenai tingkah
ditutupi rapat-rapat.
laku menjadi seorang perempuan. Mau tidak
Hal kedua yang menjadi titik tolak
mau tulisan tersebut mengakibatkan pembacaan
konstruksi poligini dalam pesantren adalah
secara tidak langsung yang bersifat kontinyu
lukisan di tembok yang bertuliskan hadist-
yang akhirnya menjadikan santri mengalami
hadist yang seluruhnya mengisyaratkan
keterulangan atau pembiasaan dalam membaca
gambaran perempuan ideal menurut ajaran
ayat tersebut. Hasilnya adalah sebuah
agama Islam. Hadist tersebut jumlahnya hanya
pembiasaan dan pendisiplinan yang reproduktif
ada empat buah namun ditulis berulang kali.
terhadap perilaku santri mereka untuk menjadi
Tulisan tersebut adalah:
perempuan ideal menurut ajaran Islam. Dalam
1. Dunia ini adalah perhiasan adapun sebaik-
pandangan Bourdieu—seorang Sosiolog
baiknya perhiasan adalah istri yang salehah
Prancis—(1994) inilah bagaimana seseorang
2. Sebaik-baiknya perempuan adalah orang
“dibiasakan” untuk merespon sesuatu
perempuan yang harum lagi suci Siany Indria Liestyasari “Konstruksi Sosial Kultural Poligini Dalam Pesantren”
135
Jurnal Sosiologi DILEMA berdasarkan atas pengalaman berulang yang
sepanjang yang diperintahkan adalah hal-hal
dijalaninya.
yang menuju kebaikan. Namun suami juga
Hal terakhir yang ikut mengkonstruksi
berhak memukul istrinya karena suami dalam
poligini dalam pesantren adalah pengajaran
ajaran Islam merupakan pemimpin rumah
kitab klasik yang memuat aturan-aturan menjadi
tangga yang kelak akan dimintai
perempuan terutama setelah menikah. Ketika
pertanggungjawabannya di hadapan Allah
santri putri menginjak kelas lima pada madrasah
mengenai rumah tangganya. Dengan demikian
diniyah di Pesantren Barokah maka ada satu
memukul istri dibenarkan apabila istri dianggap
kitab kuning yang harus mereka pelajari yakni
melenceng dan tidak mengindahkan aturan atau
kitab Uqud-al-Lujjayn yang dikarang oleh
perintah yang ditetapkan oleh si pemimpin
Syeikh Nawawi al-Bantani. Semua santri yang
keluarga4. Di dalamnya tertulis bagaimana
telah lulus akan mengenal kitab ini. Kitab ini
menurut para ulama laki-laki memiliki kelebihan
biasa disebut oleh para santri dengan sebutan
yang tidak dimiliki oleh perempuan5. Selain itu
kitab Uqud. Kitab ini dipelajari melalui dua
dibahas juga mengenai bagaimana perempuan
buku. Yang pertama adalah kitab yang asli,
yang baik menurut ulama dan berhak
hanya berupa tulisan arab tanpa tanda baca
mendapatkan sorga (seperti yang tertulis dalam
vokal dan yang kedua adalah buku terjemahan
aturan pondok). Mereka adalah perempuan
yang isinya merangkum inti pemikiran sang
yang taat kepada suaminya, menyenangkan hati
ulama pengarang kitab tersebut. Implikasi yang
dan pandangan suaminya, tidak membuat
dihasilkan dengan pengajaran kitab tersebut
marah, tidak mengambil harta suaminya tetapi
adalah langgengnya dikotomi peran gender yang
malah menjaganya, bersedia melayani
kelak akan dilestarikan oleh santri dalam
4
kehidupan perkawinannya. Secara singkat inti dari kitab tersebut berisi etika berumah tangga, yakni apa saja kewajiban dan hak yang bisa diperoleh serta wajib dilakukan oleh sepasang suami istri dalam perkawinan mereka. Dalam bab yang mengupas mengenai hak istri atas suaminya dijelaskan bahwa suami bagaimanapun tingkatannya lebih tinggi sehingga istri harus menurut dan melakukan apa yang dikehendaki suami 136
5
Melalui terjemahan kitab yang diterjemahkan oleh Achmad Sunarto (1416H: 9-29) ini ada beberapa hal di mana suami boleh memukul istri yakni karena: (1) Suami menghendaki istri berhias dan bersolek sedangkan istri tidak mengindahkan kehendak suami itu. Juga karena istri menolak diajak ke tempat tidur (2) Istri keluar dari rumah tanpa izin, atau karena memukul anaknya menangis, atau karena menyobek-nyobek pakaian suami, atau karena memegang jenggot suami dan berkata : “Hai Keledai, hai goblok” sekalipun suami memaki terlebih dahulu (3) Istri membuka mukanya pada lelaki bukan muhrimnya, berbincang-bincang dengan lelaki lain, bicara dengan suami agar orang lain mendengarkan suaranya, memberikan sesuatu dari rumah istri yang tidak wajar diberikan, atau karena tidak mandi haid Kelebihan itu adalah kecerdasan akal dan intelektualitas, ketabahan dalam menghadapi problem yang berat, kekuatan fisik, kapasitas ilmiah tulisan, ketrampilan
Siany Indria Liestyasari “Konstruksi Sosial Kultural Poligini Dalam Pesantren”
ISSN : 0215 - 9635, Vol. 18 No. 2 Th. 2006 kebutuhan seksual suaminya setiap saat tanpa
menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada
boleh menolak dan lain sebagainya.
perkawinan. Shinta Nuriyah (2002) mengatakan
Menurut Mustofa Bisri (2001) banyak
bahwa kitab ini barangkali mempunyai relevansi
kyai yang merasa tidak sreg dengan apa yang
pada jamannya. Namun, seiring dengan
tertulis dalam kitab tersebut sehingga kitab ini
perubahan zaman, kebenaran relatif yang
biasanya hanya diajarkan dalam pesantren kilat
memiliki relevansi dengan jamannya, harus
saja. Quraish Shihab (2002) mengatakan
dilakukan perombakan dan perbaikan agar
bahwa kitab ini membuat laki-laki besar kepala.
tidak ketinggalan jaman. FK-3 (2002:2)
Hal ini disebabkan karena bahasan yang
menuliskan bahwa kitab ini perlu dilakukan
tertuang dalam kitab tersebut lebih banyak
kajian ulang karena apa yang ditulis oleh
memberikan keuntungan terhadap laki-laki dan
pengarangnya mayoritas memuat aturan
meneguhkan posisi dominasi serta
domestik yang mesti dipatuhi istri atas segala
superioritasnya atas perempuan, khususnya
kemauan dan keinginan suami. Lebih lanjut
dalam konteks perkawinan. Dengan demikian
dijelaskan bahwa secara sepintas teks tersebut
apabila kitab ini diajarkan di pesantren maka
menyimpan “relasi kuasa” yang perlu ditanggapi
yang muncul adalah pembiasaan takluknya
secara serius. Laki-laki digambarkan sebagai
perempuan atas aturan budaya yang memihak
‘penguasa’ sedangkan perempuan diibaratkan
pada kaum laki-laki.
sebagai ‘rakyat’. Karenanya perempuan harus
Hasil analisis akademis yang dilakukan
mengikuti aturan-aturan yang telah digariskan
oleh Forum Kajian Kitab Kuning (FK-3) atas
oleh penguasa. Akibatnya laki-laki kemudian
kitab ini dimaksudkan untuk meluruskan apa
diperkenankan melakukan kekerasan domestik.
yang diuraikan di sana. Bagi umat Islam
Namun dalam kenyataannya kitab
perkawinan adalah ibadah meski dalam
tersebut menjadi bahan ajar utama dalam
praktiknya seringkali terjadi konflik dan
sebuah tingkatan di pondok ini padahal banyak
permasalahan antara suami istri. Kitab ini
ulama yang menyarankan supaya pengajaran
kemudian seringkali dijadikan rujukan dalam
kitab ini perlu dilakukan reinterpretasi atas teksnya. Hal ini karena teks masa lalu dihasilkan
dalam mengendarai kuda, banyaknya kaum lelaki yang menjadi ulama, kemampuan menjadi imam baik besar maupun kecil, lelaki mampu berperang, lelaki mampu beradzan, kutbah dan jumatan, kelebihan lelaki dalam beritikaf, kaum lelaki bisa menjadi saksi hudud dan qishash, kelebihan dalam hak waris, kelebihan dalam kedudukan ashabah, kelebihan menjadi wali nikah, kelebihan berhak menjatuhkan talak, kaum lelaki berhak rujuk, kaum lelaki memiliki hak berpoligami, anak dinashabkan dari kaum lelaki.
Siany Indria Liestyasari “Konstruksi Sosial Kultural Poligini Dalam Pesantren”
dengan melihat latar belakang penulis serta kondisi sosial, budaya dan politik jaman itu. Kitab ini jelas menunjukkan superioritas lakilaki atas perempuan dalam relasi perkawinan. Santri diharuskan mempelajari dan
137
Jurnal Sosiologi DILEMA memahaminya sebagai suatu kebenaran. Dalam
bahwa inilah yang dimaksud dengan doxa,
pandangan Bourdieu tidak ada kekuatan untuk
yakni suatu hal yang tidak perlu lagi
menolak karena modal budaya (pengetahuan)
dipertanyakan sebab musababnya. Seorang
yang dimiliki oleh kyai dalam hal agama lebih
perempuan tidak dibenarkan untuk bertanya
tinggi dibandingkan santrinya sehingga yang
mengapa suaminya menikah lagi karena nilai
terjadi adalah pengaggapan wajar atas hal yang
kultural telah membentuk poligini sebagai hal
tertulis dalam kitab tersebut.
yang kodrati laki-laki sehingga tak perlu
Kitab Uqud-all-Lujayn setidaknya
dipertanyakan, cukup diterima saja.
menggambarkan bahwa dalam arena pesantren
Semua ini kemudian memberikan
relasi laki-laki dan perempuan dalam
kontribusi atas konstruksi yang dibangun
perkawinan maupun dalam bermasyarakat telah
mengenai poligini dalam pesantren. Perempuan
ditegaskan aturannya. Kitab ini dijadikan
mungkin tidak mau dirinya dipoligini kelak,
rujukan mengenai bagaimana idealnya peran
namun apa daya kitab yang diyakini sebagai
seorang perempuan di mata suaminya. Dengan
kebenaran Tuhan telah menuliskan
diajarkannya kitab tersebut dalam pondok
keistimewaan laki-laki untuk memiliki istri lebih
maka terbentuklah secara perlahan kesadaran
dari satu. Mereka yakin kitab ini tidak bisa
atas lebih tingginya laki-laki dan betapa mereka
dibantah kebenarannya sehingga walaupun
memang memiliki hak yang lain dengan hak
tersiksa maka mereka menerima dan mengamini
kaum perempuan. Apabila yang dibentuk adalah
saja. Doxa dalam pandangan Bourdieu adalah
kesadaran mengenai keharusan memperlakukan
hal yang tidak bisa diperdebatkan meskipun ada
laki-laki sedemikian rupa maka yang terjadi—
kemungkinan untuknya namun apabila didukung
seperti sudah dikatakan—adalah superioritas
oleh konvensi kultural masyarakat maka akan
laki-laki. Salah satunya terwujud dalam
sulit digoyahkan. Teks-teks dalam kitab berikut
kebebasan laki-laki untuk menentukan dirinya
kebudayaan yang mengedepankan superioritas
hendak beristri berapapun banyaknya semampu
laki-laki adalah salah satu contoh
atau sekehendak dirinya. Pengajaran inilah yang
pendukungnya sementara kebolehan poligini
disebut Bourdieu (1990) dengan istilah incul-
adalah kasus konkritnya.
cation sehingga proses pembiasaan yang berjalan secara perlahan ini tidak disadari sebagai sesuatu yang bersifat kultural melainkan dipahami sebagai sesuatu yang layaknya natural, alamiah. Bourdieu (1990) menambahkan
138
KESIMPULAN Poligini pada kenyataanya bukanlah hal yang asing bagi sebagian masyarakat Indonesia meskipun tidak sedikit yang menentangnya. Siany Indria Liestyasari “Konstruksi Sosial Kultural Poligini Dalam Pesantren”
ISSN : 0215 - 9635, Vol. 18 No. 2 Th. 2006 Akan tetapi kultur masyarakat Indonesia yang
adanya. Dengan demikian persepsi dan
masih patriarkal telah membingkai lestarinya
kenyataan yang ada mengenai poligini bukanlah
persespsi masyarakat yang menganggap wajar
sesuatu yang terberi secara alamiah, melainkan
praktik perkawinan tersebut. Paper ini berusaha
sebuah hal yang terkonstruksi secara sosial
menuliskan bahwa ada serangkaian proses
kultural dan mengalami proses kesejarahan
pembiasaan yang dilakukan oleh mekanisme
yang panjang.
kultural untuk membentuk persepsi individu tentang poligini. Dalam pesantren yang dijadikan
DAFTAR PUSTAKA
sebagai lokus kajian maka ditemukan bahwa persepsi tentang poligini jelas dikonstruksi secara sosial kultural melalui serangkaian pembiasaan yang diperantarai oleh pendidikan dalam pesantren. Pertama, lukisan di dinding yang mendikte santri putri untuk menjadi gambaran perempuan ideal dalam Islam sesungguhnya memuat kepentingan laki-laki. Begitu juga aturan-aturan dalam pondok yang turut melestarikan peran gender yang berujung pada penganggapan wajar poligini. Kedua, yakni bagaimana pengajaran kitab kuning yang sarat akan politik kepentingan laki-laki. Pembiasaan akan poligini memang tidak bisa dilepaskan dari bagaimana individu dibiasakan akan peran gendernya. Kitab yang diajarkan selama ini memuat hal-hal yang harus dipenuhi oleh perempuan sebagai istri yang ideal. Semua hal di atas haruslah dilihat dalam konteks relasi antara santri dan kyai sebagai seorang guru dan murid. Seorang murid akan menaati gurunya termasuk menganggap dan melakukan apa yang dikatakan oleh gurunya sebagai hal yang benar
Siany Indria Liestyasari “Konstruksi Sosial Kultural Poligini Dalam Pesantren”
Bourdieu, Pierre.1990 The Logic Of Practice. Standford: Standford University Press. Dhofier, Zamaksyari1982 Tradisi Pesantren, Studi Atas Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES. FK3 (Forum Kajian Kitab Kuning) 2001 Wajah Baru Relasi Suami Istri: Telaah Kitab Uqud Al-Lujjayn. Yogyakarta: LkiS. ________, 2005 Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab Uqud Al-Lujjayn. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Humm, Maggie.1991 Feminism: A Reader. New York: Harvester Wheatsheaf. _______. 2001 Ensiklopedia Feminisme (terj). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Shihab, Quraisy 2005 “Pengantar” dalam Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab Uqud AlLujjayn. FK3. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Sunarto, Achmad. 1416 H Etika Berumah Tangga, (terj Kitab Uqud AlLujjayn). Surabaya: Al-Hidayah.
139
Jurnal Sosiologi DILEMA
140