Konstruksi Hukum Prinsip Good Governance dalam Mewujudkan Tata Kelola Perusahaan yang Baik Oleh: Henry Aspan
Abstract Some weakness in corporate governance in 1980 in America and England, make it urgent to reform corporate governance in order to guarantee stakeholders for good business competition. Good governance is a guideline for companies to actualizes goals and governance. Application of good governance still not fully done by many company because this principle was not binding as a legal rules. This principle applied only as non-explicitly guideline by companies. This situation discourage good governance in practice. Legal construction is important to legitimate good corporate governance as a rule that should be obeyed by companies organs. Companies obligated to manifest principle of good corporate governance as legitimate rules. Keyword: Legal construction, legal system, Good Corporate Governance
PENDAHULUAN Perkembangan negara dari masa abad pertengahan ke abad modern telah membawa perubahan yang besar dalam sejarah. Negara yang dahulunya hanya merupakan perkumpulan kerajaan-kerajaan yang dipimpin seorang raja dan seluruh aktifitas baik pembangunan, militer hingga perekonomian diatur oleh raja.1 Pasca berkembangnya demokrasi yang dianut beberapa negara di Eropa, bahkan banyak negara Asia juga meninggalkan konsep monarki,2 lahirlah sebuah kebijakan 1
Kerajaan Belanda tidak mencampuri kegiatan ekonomi VOC di Indonesia dahulunya, sebelum ada ancaman dari kerajaan Inggris, kerajaan Belanda akhirnya ikut campur atas kepentingan ekonomi di Indonesia, Lihat M. Nasruddin Anshoriy, Bangsa Gagal: Mencari Identitas Kebangsaan. Yogyakarta: LkiS, 2008, hlm 69. 2 Perubahan dari monarki ke republik di beberapa negara Asia memang tidak terprediksi, namun karena kuatnya kekuasaan monarki yang cenderung otoriter
yang diterapkan di negara-negara demokrasi tersebut. Kebijakan yang ekonomi yang dahulunya dipegang oleh kerajaan, berubah dikuasai oleh masyarakat baik secara individu maupun secara berkelompok yang kemudian disebut serikat. Konsep ini adalah dampak dari demokrasi yang memang menjamin setiap masyarakat untuk dapat berkontribusi bagi negara dan sesama masyarakat. Seiring berkembangnya negara-negara modern, maka perusahaan juga lahir sebagai jawaban atas kebutuhan prinsip ekonomi yang juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari pembangunan sebuah negara.3 Dengan demikian pelaku ekonomi mulai membawa perubahan pada pergerakan masyarakat, terutama kalangan cendikiawan. Lihat Antony Black, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi ke Masa Kini, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001, hlm. 605. 3 Mohammad Samsul, Pasar Modal dan Manajemen Portopolio, Jakarta: Erlangga, 2006, hlm 43.
57
berkembang dan negara hanya menjadi fasilitator kebijakan, walaupun tetap di beberapa negara ikut menjadi pelaku ekonomi di bawah payung perusahaan negara. Negara hadir dalam bentuk kebijakan yang harus dijalankan dan dipatuhi oleh perusahaan-perusahaan yang mendirikan usahanya di sebuah negara. Indonesia sendiri merupakan negara yang menjadi regulator kebijakan dan pelaku usaha melalui perusahaan negara (Badan Usaha Milik Negara), dengan demikian sektorsektor yang menguasai hajat hidup orang banyak, dapat dikuasai oleh negara pengelolaannya dan dapat diatur 4 penyalurannya pada masyarakat. Selain perusahaan negara, perusahaan yang dimiliki oleh masyarakat juga dapat melakukan kegiatan usaha di Indonesia, dengan demikian persaingan pengelolaan sistem perekonomian bisa dilakukan dengan prinsip-prinsip perusahaan yang baik. Pengaturan terkait perusahaanperusahaan yang menjalankan usaha di Indonesia diatur oleh negara. Untuk Badan Usaha Milik Negara diatur dalam UndangUndang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, perlunya pengaturan tersendiri untuk BUMN karena BUMN merupakan perusahaan negara yang sebagian modalnya berasal dari keuangan negara, sehingga prinsip pengelolaannya juga harus tunduk pada ketentuan dan kebijakan negara. Berbeda dengan BUMN, Perseroan Terbatas (Perseroan) swasta juga diatur tersendiri, karena berbeda fungsinya dan 4
Hadi Soesastro dkk (Peny), Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir (1956-1966). Yogyakarta: Kanisius, 2005, hlm. 267
58
juga sumber modalnya. Perusahaan yang dimiliki oleh swasta diatur dalam UndangUndang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Selain dari kedua Undang-Undang tersebut, peraturan lain juga mengikat baik BUMN maupun perusahaan swasta seperti, Kitab UndangUndang Hukum Dagang (KUHD), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) serta peraturan lain di bidang pasar modal. Setiap usaha yang dijalankan di Indonesia haruslah memiliki atau berbentuk badan hukum sebagai konsekuensi negara hukum. Pasal 7 Ayat 4 UU PT menjelaskan kewajiban berbadan hukum bagi perusahaan (perseroan) adalah agar dapat bertanggungjawab secara hukum dalam setiap perbuatan hukum yang dilakukan perusahaan.5 Dengan demikian, pemilik saham juga dijamin secara hukum dan apabila dikemudian hari ada masalah hukum, maka pemilik saham memiliki dasar hukum untuk melakukan tindakan terhadap perseroan. Para pemegang saham tersebut hanya bertanggung jawab atas penyetoran penuh dari nilai saham yang diambil bagian olehnya. Meskipun tanggung jawab dari pemegang saham perseroan sudah bersifat terbatas, namun berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUPT, bahwa perbuatan hukum atas nama perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta 5
I.G.Ray Widjaya, Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan Undang-undang di Bidang Hukum Perusahaan, Pemakaian Nama PT, Tata Cara Mendirikan PT, Tata Cara Pendaftaran Perusahaan, TDUP & SIUP, cet. 3, Jakarta : Kesaint Blanc, 2003, hlm. 140.
semua anggota Dewan Komisaris Perseroan dan mereka semua bertanggung jawab secara tanggung renteng atas perbuatan hukum tersebut. PT merupakan badan hukum atau artificial person yang mampu bertindak melakukan perbuatan hukum melalui wakilnya, oleh karena itu perseroan juga merupakan subjek hukum mandiri yang mempunyai hak dan kewajiban dalam hubungan hukum. Untuk melaksanakan segala hak dan kewajiban dalam hubungan hukum Perseroan Terbatas terdapat organ perusahaan yang terdiri atas Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi dan Komisaris.6 Keberadaan PT sebagai suatu subjek hukum yang mandiri tidak bergantung dari keberadaan para pemegang sahamnya, para anggota Direksi dan Dewan Komisaris. Pergantian pemegang saham, Direksi atau Komisaris tidak mempengaruhi keberadaan PT selaku “persona standi in judicio”.7 Oleh karena sifat dan ciri tersebut, maka suatu PT memiliki karakteristik sebagai asosiasi modal, dalam hal pertanggungjawaban pemegang saham bertanggung jawab hanya pada apa yang disetorkan atau tanggung jawab terbatas, oleh karena itu tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang telah diambilnya, maka ada pemisahan fungsi antara Pemegang Saham dan Pengurus.
6
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri PT, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002, hlm. 57 7 Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perusahaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 56.
Melihat beberapa masalah baik internal maupun eksternal perseroan, maka selayaknya prinsip Good Corporate Governance harus dilaksanakan dan ada ketentuan kuat untuk menerapkannya. Secara legal formal, ketentuan mengenai prinsip GCG telah diatur dalam UU PT, bahkan untuk BUMN prinsip tersebut diatur pelaksanaannya melalui peraturan menteri BUMN. Permasalahannya adalah efektifitas dan kekuatan penerapannya yang masih lemah. PEMBAHASAN Good Corporate Governance merupakan sebuah prinsip yang lahir karena tuntutan untuk menciptakan tata kelola perusahaan yang baik, sejalan dengan tujuan perusahaan. Bermula dari usulan penyempurnaan peraturan pencatatan pada Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia) yang mengatur mengenai peraturan bagi emiten yang tercatat di BEJ yang mewajibkan untuk mengangkat komisaris independent dan membentuk komite audit pada tahun 1998, Corporate Governance (CG) mulai di kenalkan pada seluruh perusahaan public di Indonesia.8 Setelah itu pemerintah Indonesia menandatangani Nota Kesepakatan (Letter of Intent) dengan International Monetary Fund (IMF) yang mendorong terciptanya iklim yang lebih kondusif bagi penerapan CG. Pemerintah Indonesia mendirikan satu lembaga khusus yang bernama Komite Nasional mengenai Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) melalui Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri Nomor: 8
Mas Ahmad Daniri, Good Corporate Governance: Konsep dan Penerapannya dalam Konteks Indonesia, Jakarta: Rai Indonesia, 2005, hlm 203.
59
KEP-31/M.EKUIN/06/2000.9 Tugas pokok KNKCG merumuskan dan menyusun rekomendasi kebijakan nasional mengenai GCG, serta memprakarsai dan memantau perbaikan di bidang corporate governance di Indonesia. Melalui KNKCG muncul pertama kali pedoman Umum GCG di tahun 2001, pedoman CG bidang Perbankan tahun 2004 dan Pedoman Komisaris Independen dan Pedoman Pembentukan Komite Audit yang Efektif. Pada tahun 2004 Pemerintah Indonesia memperluas tugas KNKCG melalui surat keputusan Menteri Koordinator Perekonomian RI No. KEP49/M.EKON/II/TAHUN 2004 tentang pemebentukan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang memperluas cakupan tugas sosialisasi Governance bukan hanya di sector korporasi tapi juga di sector pelayanan publik.10 KNKG pada tahun 2006 menyempurnakan pedoman CG yang telah di terbitkan pada tahun 2001 agar sesuai dengan perkembangan. Pada Pedoman GCG tahun 2001 hal-hal yang dikedepankan adalah mengenai pengungkapan dan transparansi, sedangkan hal-hal yang disempurnakan pada Pedoman Umum GCG tahun 2006 adalah : 1. Memperjelas peran tiga pilar pendukung (negara, dunia usaha, dan masyarakat) dalam rangka penciptaan situasi kondusif untuk melaksanakan GCG. 2. Pedoman pokok pelaksanaan etika bisnis dan pedoman perilaku.
9
Ibid, hlm 53. KNKG, Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 1.
10
60
3.
4.
5.
6. 7.
Kelengkapan Organ Perusahaan seperti komite penunjang dewan komisaris (komite audit, komite kebijakan risiko, komite nominasi dan remunerasi, komite kebijakan corporate governance); Fungsi pengelolaan perusahaan oleh Direksi yang mencakup lima hal dalam kerangka penerapan GCG yaitu kepengurusan, manajemen risiko, pengendalian internal, komunikasi, dan tanggung jawab sosial; Kewajiban perusahaan terhadap pemangku kepentingan lain selain pemegang saham seperti karyawan, mitra bisnis, dan masyarakat serta pengguna produk dan jasa. Pernyataan tentang penerapan GCG; Pedoman praktis penerapan Pedoman GCG;
Bagi BUMN, penerapan GCG adalah kewajiban dalam upaya meweujudkan tata kelola perusahaan yang baik, atas dasar itulah Menteri BUMN mengeluarkan Peraturan Mentri Negara BUMN Nomor Per-01/MBU/2011 tentang penerapan GCG pada BUMN. Adapun kelima prinsip tersebut adalah; Pertama, tranparency (transparansi), merupakan keterbukaan yang harus dimiliki semua perusahaan, guna memberikan pelayanan yang baik bagi konsumen. Meskipun demikian prinsip kerahasiaan perusahaan juga dijamin. Kedua, accountability (akuntabilitas) merupakan pertanggungjawaban kinerja secara transparan dan wajar serta harus meyakini bahwa setiap organ perusahaan dan semua karyawan memiliki kemampuan sesuai dengan tugas, tanggungjawab dan
perannya. Ketiga, responsibility (tanggungjawab), Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. Keempat, independensi. Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Kelima, Kewajaran dan Kesetaraan (fairness), Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.11 Kelima prinsip ini harus menjadi panduan dalam menciptakan tata kelola perusahaan yang baik, sehingga organ perseroan dapat menjalankan kewenangan dengan taat terhadap peraturan yang telah ditetapkan negara. Prinsip GCG telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam tata kelola perusahaan yang baik, kemudian mekanisme kontrol juga telah diterapkan dengan memberikan kekuasaan pada dewan komisaris selaku pengawas dan pemberi masukan atas kebijakan yang diambil direksi. Sanksi dalam peraturan bagi organ perseroan yang tidak beritikad baik juga telah dilakukan, namun dibeberapa kondisi, masih saja ada direksi yang tetap 11
Komite Nasional Kebijakan Governance, Pedoman Umum Good Corporate Governance, Jakarta: KNKG, 2006, hlm. 5-6.
menggunakan kekuasaan untuk tidak beritikad baik dalam menjalankan fungsinya sebagai pengelola perseroan. Konstruksi hukum saat ini telah memberikan batasanbatasan yang ketat. UU PT dan UU Kepailitan juga telah mengatur mekanisme yang berkaitan dengan kebijakan perseroan. Namun belum sempurna, karena masih terdapat celah yaitu bagaimana menafsirkan kelalaian yang dilakukan direksi. Direksi hanya bertanggung jawab jika dianggap lalai, kerugian yang dilakukan juga karena lalai, maka direksi diwajibkan bertanggung jawab. Walaupun dalam ketentuan UU PT dinyatakan jika direksi tidak bertanggungjawab atas kerugian jika memang telah berusaha menyelamatkan perusahaan. Ada dualisme kepemimpinan yang ada dalam upaya menyelamatkan perseroan dari kepailitan, kewenangan direksi dan kewenangan dewan komisaris. Padahal yang menjalankan fungsi pengelolaan adalah direksi, dan jika direksi hanya mengikuti kata komisaris, maka direksi hanya menjalankan perintah dari dewan komisaris. Pasal 97 (3) UU PT menyatakan jika direksi bertanggungjawab jika lalai menyebabkan kerugian perseroan dan tidak beritikad baik serta bertanggungjawab, dan ayat 5 menyatakan jika direksi tidak bertanggungjawab jika: “ kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati - hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan telah mengambil tindakan untuk
61
mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.” Dengan ketentuan dalam UU PT, direksi sulit untuk menjalankan fungsinya sebagai pengelola perseroan, karena kekhawatiran akan kerugian perseroan dan tanggungjawabnya terhadap kerugian tersebut. Meskipun pertanggungjawaban baru dapat dituntut jika direksi lalai, namun kelalaian tersebut tidak dapat didefinisikan secara jelas, sehingga resiko bisnis juga dianggap kelalain dari direksi yang sudah beritikad baik. Prinsip CGC belum sepenuhnya sempurna bila melihat masih terdapat beberapa kekurangan.12 Kekurangan pertama pada prinsip resposibility, dimana perseroan harus taat hukum. Perseroan harus taan hukum selama hukum tersebut mengatur hubungan hukum dengan perseroan, namun untuk masalah konflik antar komisaris dan direksi mekanisme hukumnya belum sepenuhnya mengatur sehingga sulit untuk melaksanakan prinsip tanggungjawab tersebut. Kemudian prinsip kewajaran, dimana harus ada keberpihakan pada yang wajar pada pemilik modal. tidak jarang permasalahan lahir karena peran yang dominan pemilik modal dalam memilih dewan komisaris dan direksi, sehingga ada keberpihakan yang berbeda terhadap pemilik modal. padahal ketentuan ini harusnya membuat pemilik modal yang tergabung dalam RUPS memilih komisaris dan direksi sesuai kemampuan bukan sekedar membagi jabatan pada orang yang memiliki kekuatan politik namun tidak memiliki kemampuan leadership yang baik. 12
Wijayanto dan Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia, Jakarta, Gramedia, 2009, hlm. 321.
62
Dengan berbagai kekurangan yang masih ada dalam hal menetapkan suatu standart tata kelola perusahaan yang baik, maka diangap penting untuk membangun kembali (rekonstruksi) prinsip tata kelola perusahaan yang berbasis pada prinsip keadilan dalam hukum progresif yang mengedepankan sistem hukum sebagai bagian dari penguatan prinsip GCG. KESIMPULAN Penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance merupakan bentuk tata kelola perusahaan yang baik, namun masih terdapat beberapa masalah dalam penerapan CGC dalam pengelolaan perusahaan yang baik. Menggunakan sistem hukum yang dibangun Friedman, prinsip pengelolaan perusahaan yang baik harus terikat dalam bentuk sistem hukum, yang terbagi antara struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum, sehingga penerapan CGC tidak hanya sebatas syarat atau ketentuan umum yang hanya menjadi pedoman tanpa ada penanaman nilai secara legal formal dalam ketentuan mengenai tata kelola perusahaan yang baik berbasih prinsip GCG. Prinsip GCG akan dibangun dalam bentuk ketentuan legal formal guna memberi kekuatan yuridis yang mampu mengikat setiap perseroan terbatas yang terdiri dari organ-organ perseroan baik itu dewan direksi, dewan komisaris dan pemilik modal agar mengedepankan prinsip GCG dalam melakukan kegiatan pengelolaan perseroan terbatas. Prinsip GCG yang menjadi pedoman direkonstruksi menjadi prinsip-prinsip yang berbasis keadilan dan hukum progresif sesuai dengan sistem hukum Friedman,
yaitu Struktur hukum, merupakan lembaga hukum yang merupakan organ penegak hukum, dalam hal ini sikap penegak hukum terkait penekanan prinsip GCG harus diperkuat melalui kontrol yang dibangun oleh organ perseroan agar memberikan sikap pengawasan yang berkeadilan dan bertanggungjawab. Pengawasan harus dilakukan dengan mekanisme internal dan eksternal guna mencapai tujuan yang maksimal dan kontrol yang kuat dari penegak hukum. Penegakan hukum terhadap GCG harus dilakukan segenap pihak termasuk negara sebagai fasilitator, hal ini terkait izin mendirikan perusahaan yang harus benarbenar menjadi perhatian negara. Banyaknya perusahaan yang berdiri namun belum mampu berkontribusi maksimal dalam proses pembangunan ekonomi nasional dikarenakan lemahnya controling negara melihat kebutuhan akan pentingnya sebuah perusahaan didirikan. Sebagai contoh, ketentuan mengenai pengadaan barang dan jasa oleh lembaga negara dan daerah yang memberikan kualifikasi pihak ketiga wajib berbentuk badan hukum. Ketentuan ini bertujuan untuk memberikan jaminan secara hukum bagi pihak yang menggunakan uang negara. Namun konsekuensi dari peraturan tersebut menimbulkan banyak perusahaanperusahaan yang didaftarkan secara masif agar dapat bermain uang negara dalam hal pegadaan barang dan jasa. Sehingga tujuan perusahaan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi negara berujung pada menggerogoti uang negara. Penegakan hukum dalam kasus tersebut masih dalam tahap represif yaitu jika terjadi pelanggaran yang dilakukan perusahaan baru ada penindakan yang terjadi, sementara tindakan
preventif guna mencegah perusahaanperusahaan sejenis masih belum maksimal. Bukti dari masih lemahnya penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki kontribusi tersebut dapat ditemukan pada kasus korupsi, dimana direktur perusahaan tidak memenuhi ketentuan, seperti dalam kasus PT Imagi Media Jakarta dalam kasus korupsi pengadaan Videotron senilai Rp. 23,4 Miliar. Semula dengan adanya perusahaan didirikan bertujuan untuk membangun sistem ekonomi berakhir dengan pragmatisme. Kemudian substansi hukum, merupakan penjelmaan prinsip GCG dalam bentuk peraturan agar mengikat setiap organ perseroan dan ada unsur sanksi, sehingga prinsip GCG memiliki daya paksa bagi organ perseroan untuk ikut dan menjalankan prinsip tersebut. Jika GCG tidak memiliki kekuatan memaksa, maka GCG hanya menjadi petunjuk yang tidak memiliki kekuatan hukum memaksa organ perseroan untuk tunduk. Konteks negara sebagai fasilitator adalah dengan membentuk peraturan perundangan yang memberikan ketentuan terhadap tujuan dari perusahaan tersebut didirikan. Pengaturan terhadap perusahaan agar juga memberikan kontribusi terhadap pembangunan perekonomian negara. Pengaturan harus mampu menjadi pedoman dalam menjamin tiap pihak yang terlibat dalam perusahaan agar dapat memberikan dasar dari setiap kebijakan yang diambil. Terakhir, budaya hukum, merupakan efek yang dihasilkan jika prinsip tersebut sudah dijalankan oleh organ perseroan dan menjadi budaya dalam setiap tindakan dalam pengelolaan perseroan agar
63
terwujudnya tata kelola perusahaan yang baik. Tata kelola perusahaan yang baik harus bermula dari kebiasaan baik dalam menjalankan tugas, kebiasaan baik tersebut merupakan budaya yang telah tertanam, sehingga praktis setiap tindakan mengikuti budaya. Budaya hukum dalam penerapan GCG menjadi manivestasi dari kuatnya penegakan hukum dan peraturan yang diterapkan pada setiap tindakan perusahaan maupun organ perusahaan itu sendiri. Dengan demikian jika kondisi perusahaan telah baik, maka budaya mengelola perusahaan secara sehat juga telah tercapai. DAFTAR PUSTAKA Buku Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri PT, Jakarta:Ghalia Indonesia, 2002. Antony Black, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi ke Masa Kini, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001. Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perusahaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.
64
Hadi Soesastro dkk (Peny), Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir (1956-1966). Yogyakarta: Kanisius, 2005. I.G.Ray Widjaya, Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan Undang-undang di Bidang Hukum Perusahaan, Pemakaian Nama PT, Tata Cara Mendirikan PT, Tata Cara Pendaftaran Perusahaan, TDUP & SIUP, cet. 3, Jakarta : Kesaint Blanc, 2003. Komite Nasional Kebijakan Governance, Pedoman Umum Good Corporate Governance, Jakarta: KNKG, 2006. M. Nasruddin Anshoriy, Bangsa Gagal: Mencari Identitas Kebangsaan. Yogyakarta: LkiS, 2008. Mas Ahmad Daniri, Good Corporate Governance: Konsep dan Penerapannya dalam Konteks Indonesia, Jakarta: Rai Indonesia, 2005. Mohammad Samsul, Pasar Modal dan Manajemen Portopolio, Jakarta: Erlangga, 2006. Wijayanto dan Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia, Jakarta: Gramedia,2009.