BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Natrium Dalam Diet Ion natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraselular tubuh yang
mempunyai fungsi menjaga keseimbangan cairan dan asam basa tubuh, serta berperan dalam transmisi saraf dan kontraksi otot (Almatsier, 2008). Sebagai kation utama dalam cairan ekstraseluler, natrium mengatur tekanan osmosis yang menjaga cairan tidak keluar dari darah dan masuk ke dalam sel-sel. Secara normal tubuh dapat menjaga keseimbangan antara natrium di luar sel dan kalium di dalam sel. Melalui mekanisme keseimbangan, tubuh berusaha agar cairan di dalam tubuh setiap waktu berada dalam jumlah yang tetap/konstan (Almatsier, 2001). Dalam menjalankan peranannya tersebut Natrium berhubungan dengan Kalium dan Klorida di dalam tubuh. Ion Na dan Cl merupakan elektrolit utama cairan ekstraseluler dan ion kalium pada cairan intraseluler. Natrium dan Kalium bersamasama berfungsi dalam menjaga keseimbangan air dan elektrolit (asam-basa) di dalam sel maupun cairan di dalam cairan ekstraseluler termasuk plasma darah (Siagian, 1999). Menurut Bruckber dalam Siagian (1999), sebanyak 60-70% natrium berada di dalam cairan tubuh ekstraseluler dan intraseluler dengan perbandingan 28:1, dan sekitar 30-40% berada didalam tulang. Diperkirakan sebanyak 65% dari seluruh kandungan natrium dalam tubuh mengalami pertukaran, dan hal ini tidak tampak berbeda dengan bertambahnya usia atau perbedaan jenis kelamin pada orang dewasa
7
Universitas Sumatera Utara
8
normal. Kandungan normal natrium dalam plasma darah adalah 132-144 mEq/liter (300-335 mg/100 ml). Sebagian besar natrium terdapat didalam plasma darah dan dalam cairan di luar sel, beberapa diantaranya terdapat didalam tulang. Jumlah natrium didalam tubuh manusia diperkirakan sekitar 100-110 gram (Winarno, 1991). Natrium dapat diperoleh dari bahan pangan baik nabati maupun hewani. Kebanyakan makanan alami mengandung 0,1-3,0 mmol natrium per 100 gr, akan tetapi selama proses pemasakan banyak natrium ditambahkan dalam bentuk NaCl. Natrium biasanya berhubungan dengan klorida baik sebagai bahan makanan maupun fungsinya didalam sel (Siagian, 1999). Diantara makanan yang mengandung natrium yang tinggi dalam makanan secara alami adalah : Tabel 2.1. Daftar Kandungan natrium dalam 100 gram bahan makanan Bahan Makanan Corned Beef Hati sapi Ginjal sapi Telur bebek Telur ayam Ikan ekor kuning Sardine Udang Segar Teri Keriting Roti Bakar Roti Cokelat Mentega Sumber : Almatsier, 2001
mgNa 1250 110 200 191 158 59 131 185 885 700 500 987
Bahan Makanan Margarin Susu kacang kedelai Roti cokelat Roti putih Kacang merah Kacang mende Jambu monyet, biji Selada Pisang The Cokelat manis Ragi
mgNa 950 15 500 530 19 26 26 14 18 50 33 610
Universitas Sumatera Utara
9
Taksiran kebutuhan natrium sehari untuk orang dewasa adalah 500 mg. WHO (1990) menganjurkan pembatasan konsumsi garam dapur hingga 6 gram sehari (ekivalen dengan 2400 mg Natrium). Pembatasan ini dilakukan karena peranan potensial natrium dalam menimbulkan tekanan darah tinggi (Almatsier, 2008). Menurut National Research Council of the National Academy of Sciences merekomendasikan konsumsi natrium per-hari sebanyak 1.100-3.300 mg. Jumlah tersebut setara dengan ½ - 1½ sdt garam dapur perhari. Hampir seluruh natrium yang dikonsumsi (3-7 gram sehari) diabsorbsi, terutama dalam usus halus. Jumlah NaCl cairan yang dapat disediakan tubuh untuk diserap oleh usus adalah 44 gram bagi orang dewasa. NaCl sebanyak ini berasal dari makanan dan sistem gastrointestinal (Siagian, 1999). Natrium yang diabsorbsi dibawa oleh aliran darah ke ginjal. Di dalam ginjal natrium disaring dan dikembalikan ke aliran darah dalam jumlah yang cukup untuk mempertahankan taraf natrium dalam darah. Kelebihan natrium 90-95% yang dikonsumsi, dikeluarkan melalui urin. Pengeluaran natrium diatur oleh hormone aldosteron, yang dikeluarkan kelenjar adrenal jika kadar natrium darah menurun. Aldosteron merangsang ginjal untuk mengabsorbsi kembali natrium. Dalam keadaan normal natrium yang dikeluarkan melalui urin sejajar dengan jumlah natrium yang dikonsumsi (Almatsier, 2001). Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium didalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya, cairan intraseluler ditarik keluar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume
Universitas Sumatera Utara
10
cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah (Astawan, 2003). Disamping itu, konsumsi garam dalam jumlah yang tinggi dapat mengecilkan diameter arteri, sehingga jantung harus memompa lebih keras untuk mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang yang semangkin sempit dan akibatnya terjadi hipertensi (Hull, 1993). Konsumsi kalium dalam jumlah yang tinggi dapat melindungi individu dari hipertensi. Asupan kalium yang meningkat akan menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolic (Hull, 1993). Cara kerja kalium adalah kebalikan dari natrium. Konsumsi kalium yang banyak akan meningkatkan konsentrasinya didalam cairan interaseluler, sehingga cenderung menarik cairan dari bagian ekstraseluler dan menurunkan tekanan darah (Astawan, 2003). Oleh karena itu perbandingan antara natrium dan kalium harus 1:1 untuk mencegah terjadinya hipertensi. 2.1.1. Efek Kelebihan Natrium Keadaan hipertensi banyak ditemukan pada masyarakat yang mengkonsumsi natrium dalam jumlah yang besar. Natrium yang terlalu banyak didalam tubuh ditandai dengan pengembangan volume cairan ekstraseluler, yang menyebabkan oedem (Siagian, 1999). Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat (Khasanah, 2012).
Universitas Sumatera Utara
11
2.1.2. Efek Kekurangan Natrium Secara normal tubuh mampu mempertahankan diri dari ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Namun, ada kalanya tubuh tidak mampu mengatasinya. Kekurangan natrium menyebabkan kejang, apatis, dan kehilangan nafsu makan. Kekurangan natrium dapat terjadi sesudah muntah, diare, keringat berlebihan (Almatsier, 2001). Bila terjadi kehilangan natrium yang banyak, maka cairan ekstraseluler berkurang, akibatnya tekanan osmotic cairan tubuh menurun. Hal ini menyebabkan air dari cairan ekstraseluler masuk ke dalam sel, sehingga tekanan osmotic dari cairan ekstraseluler meningkat. Volume cairan termasuk darah akan meningkat, mengakibatkan penurunan tekanan darah. Aldosteron hormone yang terdapat pada korteks adrenal, membantu menahan natrium dengan cara menyerap kembali natrium bersama air dalam ginjal. Dengan cara ini volume cairan ekstraseluler dalam sirkulasi darah kembali normal (Winarno, 1991). 2.2.
Hipertensi Hipertensi adalah gejala peningkatan tekanan darah yang mengakibatkan
suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat samapi ke jaringan tubuh yang membutuhkan (Khasanah, 2012). Tekanan darah dibagi menjadi dua yaitu tekanan darah sistolik dan diastolik. Angka lebih tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi disebut tekanan darah sistolik. Angka yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung berelaksasi disebut tekanan darah diastolik. Dikatakan tekanan darah tinggi jika tekanan sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik mencapai 90 mmHg atau
Universitas Sumatera Utara
12
lebih, atau keduanya. Berdasarkan penelitian, pasien dengan tekanan sistolik tinggi mempunyai resiko kematian 2,5 kali lebih tinggi dari pada pasien dengan tekanan diastolik tinggi. Hal ini disebabkan karena, apabila tekanan sistolik tinggi, maka aliran darah keseluruh tubuh termasuk organ-organ vital juga terganggu (Khasanah, 2012). 2.2.1. Klasifikasi Hipertensi Klasifikasi tekanan darah menurut ESH/ESC sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah menurut ESH dan ESC Guildeness Kategori Optimal Normal Prehipertensi Hipertensi derajat 1 Hipertensi derajat 2 Hipertensi derajat 3 Hipertensi isolasi sistolik Sumber: ESH/ESC, 2013
Sistolik (mmHg) ≤120 120-129 130-139 140-159 160-179 ≥180 ≥140
Diastolik (mmHg) ≤80 80-84 85-89 90-99 100-109 ≥110 ≤90
2.2.2. Faktor Risiko Hipertensi Terdapat beberapa faktor resiko yang dapat membuat lebih mudah terkena tekanan darah tinggi. Faktor risiko hipertensi, beberapa diantaranya dapat dikendalikan atau dikontrol dan tidak dapat dikontrol.
Universitas Sumatera Utara
13
1. Faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan atau tidak dapat dikontrol. a. Umur Tekanan darah biasanya meningkat seiring dengan bertambahnya usia seseorang dan paling banyak ditemukan pada mereka yang berusia diatas 40 tahun. Hal ini merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi pada orang yang bertambah usianya, dimana terjadi kemunduran berbagai fungsi organ, seperti pada mata, telinga, saluran pencernaan, dan sebagainya. Pada sistem kardiovaskuler, dapat terjadi perubahan elastisitas dinding pembuluh darah, baik akibat aterosklerosis ataupun akibat lainnya. Perubahan elastisitas ini secara langsung mempengaruhi timbulnya gejala hipertensi (Jain, 2011). Hipertensi akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia, 56% pria dan 52% wanita yang berusia lebih dari 65 tahun menderita tekanan darah tinggi. Pada usia lanjut peningkatan lebih terlihat pada tekanan sistolik dibandingkan diastolik. Peningkatan tekanan sistolik (>160/80) terjadi pada 8% dari mereka yang berusia 60 sampai 69 tahun, 11% dari mereka yang berusia 70 sampai 79 tahun, dan 22% dari mereka yang berusia diatas 80 tahun (Hayens, 2003). b. Jenis kelamin Pada umumnya kejadian hipertensi pada pria lebih tinggi dari pada wanita. Hal itu kemungkinan karena laki-laki banyak memiliki faktor pendorong terjadinya hipertensi, seperti stres, kelelahan, dan makan tidak terkontrol. Adapun hipertensi pada perempuan peningkatan risiko terjadi setelah menopause (Dalimartha, 2008). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Balitbangkes tahun 2007 menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
14
prevalensi hipertensi berdasarkan jenis kelamin , yaitu pada laki-laki sebesar 31,3% dan pada perempuan 31,9% . c. Genetik (keturunan) Sekitar 70-80 % penderita hipertensi essensial ditemukan riwayat hipertensi di dalam keluarga. Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orang tua maka dugaan hipertensi essensial lebih besar. Penelitian menunjukkan bahwa tekanan darah seorang anak akan lebih mendekati tekanan darah orangtuanya bila mereka memiliki hubungan darah dibandingkan dengan anak adopsi. Hal ini menunjukkan bahwa gen yang diturunkan, dan bukan hanya faktor lingkungan (seperti makanan atau status sosial), juga berperan besar dalam menentukan tekanan darah (Palmer, 2005). Bahkan dikatakan dalam satu hasil penelitian 9 dari 10 orang yang menderita hipertensi terbukti karena faktor keturunan. Tetapi faktor genetik ini tidak akan berpengaruh kecuali mendapatkan dukungan dari situasi dan lingkungan. Dalam arti, bahwa faktor genetik bisa menjadi ancaman jika berbagai faktor lain ada pada penderita seperti gaya hidup, tingkat stres, pola makan terutama dalam hal konsumsi garam serta kurangnya aktifitas fisik. 2. Faktor risiko yang dapat dikendalikan atau dikontrol a. Konsumsi garam berlebihan Asupan natrium (garam) dapat meningkatkan tekanan darah. Natrium yang masuk ke dalam tubuh akan langsung diserap ke dalam pembuluh darah. Hal ini menyebabkan kadar natrium dalam darah meningkat. Natrium mempunyai sifat
Universitas Sumatera Utara
15
menahan air, sehingga menyebabkan volume darah menjadi naik. Hal itu secara otomatis membuat tekanan darah ikut naik (Khasanah, 2012). Konsumsi makanan garam yang tinggi disebabkan karena memilih makanan serba instan yang biasanya mengandung zat pengawet, seperti natrium benzoate dan penyedap rasa seperti Mono Sodium Glutamate (MSG). Jenis makanan tersebut mengandung natrium yang cukup tinggi. Jadi jika makanan instan dikonsumsi terus menerus, tubuh menjadi kelebihan natrium. Kelebihan natrium akan menyebabkan tekanan darah naik akibat adanya retensi cairan dan bertambahnya volume darah (Budiarso, 2001). b. Berat badan yang berlebihan (obesitas) Berat badan dan indeks massa tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Seseorang dikatakan obesitas jika BMI lebih dari 30 kg/m2 (Palmer, 2005). Obesitas dapat memicu terjadinya hipertensi karena penimbunan lemak berlebihan dalam tubuh. Sehingga dapat mengakibatkan meningkatnya volume plasma, penyempitan pembuluh darah, dan memacu jantung untuk bekerja lebih berat. Selain itu, sirkulasi volume darah penderita obesitas dengan hipertensi, lebih tinggi dari penderita hipertensi dengan berat badan normal (Tilong, 2014). c. Kurang aktivitas fisik (kurang olahraga) Orang dengan gaya hidup yang tidak aktif akan lebih rentan terhadap tekanan darah tinggi. Sebab kurang gerak dapat meningkatkan resiko penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah. Kondisi ini pada akhirnya akan meningkatkan resiko
Universitas Sumatera Utara
16
tekanan darah tinggi (Tilong, 2014). Melakukan olahraga yang teratur tidak hanya menjaga bentuk tubuh dan berat badan, tetapi juga dapat menurunkan tekanan darah. Olahraga yang bisa dilakukan selama 30 menit untuk penurunan tekanan darah seperti jalan kaki, bersepeda, senam aerobik (Palmer, 2005). Menurut JNC VII, penurunan tekanan darah rata-rata 4 sampai 6 mmHg karena program olahraga secara teratur. d. Merokok Rokok dapat merusak pembuluh darah, jantung, mengentalkan darah, dan merusak sistem kerja jantung. Rokok menjadi sangat bahaya karena rokok mengandung bahan kimia yang merusak jantung yaitu karbon monoksida dan nikotin. Karbon monoksida ini akan menempel pada hemoglobin darah yang bertugas sebagai pengangkut oksigen ke seleruh tubuh. Dan tugas karbon monoksida adalah mengurangi oksigen ke jantung dan seluruh organ tubuh. Sedangkan nikotin, bertugas merangsang produksi adrenalin dalam tubuh. Nikotin inilah yang menyebabkan jantung berdetak lebih cepat dan meningkatkan tekanan darah (Tilong, 2014). e. Minum alkohol Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menjadi faktor pendukung meningkatnya tekanan darah, baik karena efek beracunnya atau karena menyebabkan obesitas. Semangkin banyak alkohol yang diminum akan membuat tekanan darah semangkin tinggi. Alkohol juga dapat meningkatkan jumlah lemak dalam tubuh sehingga dapat mengakibatkan obesitas. Para dokter merekomendasikan pria untuk mengkonsumsi alkohol tidak lebih dari 21 unit alkohol setiap minggu (Jain, 2011).
Universitas Sumatera Utara
17
f. Konsumsi kopi Kopi sebagai salah satu faktor yang dapat menyebabkan hipertensi. Kopi mengandung kafein yang merupakan stimulan ringan yang dapat mengatasi kelelahan, meningkatkan konsentrasi, dan menggembirakan suasana hati. Kopi merupakan sumber kafein terbesar, konsumsi kafein yang terlalu banyak akan membuat jantung berdegup lebih cepat dan tekanan darah meningkat. Kafein dalam 2-3 cangkir kopi (200-250 mg) terbukti dapat meningkatkan tekanan sistolik sebesar 3-14 mmHg dan tekanan diastolik sebesar 4-13 mmHg. Kafein bukan termasuk zat gizi, tetapi secara nyata menyebabkan naiknya tekanan darah dalam waktu singkat untuk kemudian kembali normal (Khomsan, 2004). Mengkonsumsi kopi pada penderita hipertensi akan membahayakan karena meningkatkan risiko terjadinya stroke dan meningkatkan ekskresi kalsium yang akan berakibat peningkatan tekanan darah (Simon, 2002). g. Stres emosional Kondisi stres dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah karena memicu keluarnya beberapa hormon yang mengakibatkan penyempitan pembuluh darah. Sehingga mengakibatkan jantung memompa darah lebih cepat dan tekanan darah meningkat (Tilong, 2014). Selain itu kondisi stress juga menyebabkan pengeluaran cairan lambung yang berlebihan sehingga menyebabkan mual, muntah, mudah kenyang dan sakit kepala. Saat seseorang merasa tertekan, tubuhnya akan melepaskan adrenalin dan kortisol sehingga tekanan darah akan meningkat (Jain, 2011). 2.2.3. Gejala Hipertensi
Universitas Sumatera Utara
18
Tekanan darah tinggi pada umumnya tidak memiliki gejala yang khusus. Hipertensi sering tidak terdiagnosis selama bertahun-tahun. Biasanya gejala baru dirasakan ketika sudah terjadi gangguan pada jantung, otak, atau ginjal. Oleh karena itu, sering kali hipertensi disebut sebagai silent killer (Khasanah, 2012). Pada hipertensi primer seringkali berjalan tanpa gejala sama sekali. Baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung. Gejala yang sering ditemukan pada hipertensi primer adalah sakit kepala, nyeri atau sesak pada dada, cepat lelah ketika beraktifitas, jantung berdebar, gangguan tidur, mimisan, perdarahan, kebal dan kesemutan, gelisah, keringatan berlebihan, kram otot, badan lemah dan lesu, sering buang air kecil, dan pembengkakan dibawah mata pada pagi hari (Jain, 2011) Pada hipertensi sekunder, gejala yang timbul akan didahului gejala penyakit yang menimbulkan hipertensi tersebut. Misalnya, pada hipertensi yang disebabkan kelainan ginjal, gejala yang dirasakan pasien adalah gejala-gejala kelainan ginjal (Kusuma, 2013). 2.2.4. Komplikasi Hipertensi Komplikasi akan terjadi jika tekanan darah terus menerus lebih tinggi dari normal. Bila tekanan darah tidak dikontrol dengan baik, maka akan timbul kerusakan pada pembuluh arteri dan organ-organ yang memerlukan pasokan darah. Adapun beberapa komplikasi jangka panjang apabila tekanan darah terus-menerus tinggi adalah :
Universitas Sumatera Utara
19
1. Jantung dan Aorta Ketika jantung berpengaruh terhadap tekanan darah tinggi maka terjadi penebalan otot jantung kiri. Kondisi ini akan memperkecil rongga jantung untuk memompa sehingga jantung akan semangkin membutuhkan energi yang besar. Adanya gangguan pembuluh darah jantung sendiri akan menimbulkan kekurangan oksigen dari otot jantung dan menyebabkan nyeri. Jika kondisi seperti ini dibiarkan secara terus-menerus, akan menyebabkan kegagalan jantung untuk memompa dan menimbulkan kematian (Kusuma, 2013). Aorta adalah bagian terbesar dari arteri dalam tubuh yang paling elastis. Setelah bertahun-tahun terkena darah tinggi, maka aorta menjadi kurang elastis dan dindingnya dipenuhi lapisan lemak serta melar dan bengkak. Gumpalan darah dapat terbentuk di dinding aorta dan dapat menjadi embolus, yang menyangkut pada arteri yang mensuplai ginjal atau bagian tubuh lainnya. Aorta yang bengkak dapat meledak jika tekanan darah terlalu tinggi (Jain, 2011). 2. Otak Perdarahan pada otak akibat efek dari tekanan darah tinggi dapat menyebabkan kelumpuhan. Arteri yang memasok darah keotak dapat pecah dan merusak sebagian otak. Bagian otak yang rusak dapat menyebabkan kelumpuhan. Hal ini disebut dengan stroke (Jain, 2011). 3. Mata Penderita tekanan darah tinggi biasanya terkena keruskanan retina, kerusakan pembuluh pada mata, dan kerusakan peredaran darah pada mata (Jain, 2011).
Universitas Sumatera Utara
20
Didalam retina, terdapat pembuluh-pembulu darah tipis yang akan melebar saa terjadi hipertensi dan dapat pecah hingga menyebabkan gangguan penglihatan (Kusuma, 2013). 4. Ginjal Hipertensi juga membahayakan organ ginjal. Hipertensi yang berkepanjangan akan menyebabkan keruskan pembuluh darah ginjal sehingga fungsi ginjal sebagai pembuang zat-zat beracun bagi tubuh tidak berjalan dengan baik (Kusuma, 2013). Menurunnya fungsi ginjal akan membuat seseorang lebih sering buang air kecil dimalam hari dan membuat lebih cepat terasa haus dan lelah (Jain, 2011). 5. Angina Angina adalah perasaan tersumbat pada dada, rasa sakit terkadang turun menuju lengan dan rahang. Salah satu penyebab dari angina adalah karena mengerasnya dan menyempitnya arteri koroner akibat telah lama terkena tekanan darah tinggi. Angina muncul akibat berlebihnya kebutuhan akan darah untuk otot jantung (Jain, 2011). 2.2.5. Pentalaksaan Diet Bagi Penderita Hipertensi Penatalaksanaan diet bagi penderita hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi hipertensi. Penatalaksanaan hipertensi dilakukan dengan terapi obat dan terapi nutrisi. Terapi nutrisi merupakan bagian dari terapi non farmakologis pada kasus hipertensi selain mengubah gaya hidup. Terapi nutrisi antara lain mengurangi konsumsi garam dan mengurangi konsumsi kolesterol untuk mencegah komplikasi (Wirakusumah, 2001).
Universitas Sumatera Utara
21
Diet garam rendah pada hakekatnya adalah diet dengan mengkonsumsi makanan tanpa garam. Pemberian garam pada diet garam rendah harus memperhitungkan jumlah garam yang ada dalam setiap bahan makanan. Jadi tidak hanya terbatas pada garam dapur saja. Depkes (2006) merekomendasikan jumlah garam yang dapat mengurangi risiko terjadinya hipertensi yaitu kurang dari 6 gram atau 1 sendok teh per hari. Adapun yang dimaksud dengan diet garam rendah adalah garam natrium seperti yang terdapat di dalam garam dapur (NaCl), soda kue (NaHCO3), baking powder, natrium benzoate, dan vetsin (Almatsier, 2008). Pembatasan asupan garam akan bermanfaat terhadap penurunan tekanan darah, terutama bagi mereka yang sensitif terhadap natrium. Tujuan diet garam rendah adalah untuk membantu menghilangkan retensi (penahan) air dalam jaringan tubuh sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Namun yang penting diperhatikan dalam melakukan diet ini adalah komposisi makanan harus tetap mengandung cukup zat-zat gizi, baik kalori, protein, mineral, maupun vitamin yang seimbang (Almatsier, 2008). Diet ini mengandung cukup zat-zat gizi. Sesuai dengan keadaan penyakit terdapat beberapa yaitu :
Universitas Sumatera Utara
22
Tabel 2.3. Jenis Diet Garam Rendah No. Diet Garam Rendah Diet Garam Rendah I 1. (200-400 mg Natrium)
2.
Diet Garam Rendah II (600-800 mg Natrium)
3.
Diet Garam Rendah III (1000-1200 mg Natrium)
Keterangan Dalam pengolahan makanan pada diet rendah garam I tidak ditambahkan garam dapur, dan Diet Garam Rendah I diberikan kepada penderita hipertensi berat. Dalam pengolahan makanannya diperbolehkan menggunakan ½ sdt atau 2 gram garam dapur., Diet Garam Rendah II diberikan kepada penderita hipertensi sedang. Dalam pengolahan makanannya dibolehkan menggunakan 1 sdt atau 4 gram garam dapur. Diet Garam Rendah III diberikan kepada penderita hipertensi ringan.
Sumber: (Almatsier, 2008) Adapun makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan pada penderita hipertensi menurut Instalasi Gizi Perjan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo dan Asosiasi Dietisien Indonesia dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2.4. Makanan yang Dianjurkan bagi Penderita Hipertensi Bahan Makanan Sumber karbohidrat
Sumber protein hewani Sumber protein nabati Sayuran Buah-Buahan Lemak Bumbu
Makanan yang Dianjurkan Beras, kentang, singkong, terigu, tapioca, hunkwe, gula, makanan yang diolah dari bahan makanan tersebut tanpa garam dapur dan soda Daging dan ikan maksimal 100 g sehari dan telur maksimal 1 butir sehari. Semua kacang-kacangan dan hasilnya yang diolah dan dimasak tanpa garam. Semua sayuran segar, sayuran yang diawet tanpa garam dapur dan natrium benzoat. Semua buah-buahan segar, buah yang diawet tanpa garam dapur dan natrium benzoat. Minyak goreng, margarin, dan mentega tanpa garam. Semua bumbu-bumbu ringan yang tidak mengandung garam dapur dan ikatan natrium. Garam dapur sesuai dengan Diet Garam II dan III.
Sumber: (Almatsier, 2008)
Universitas Sumatera Utara
23
Tabel 2.5. Makanan yang Tidak Dianjurkan bagi Penderita Hipertensi Bahan Makanan Sumber karbohidrat Sumber protein hewani
Sumber protein nabati
Sayuran
Buah-Buahan Lemak Bumbu
Makanan yang tidak dianjurkan Roti, biskuit, dan kue-kue yang dimasak denga garam dapur dan baking powder dan soda Otak, ginjal, lidah, sarden, daging, ikan, susu dan telur yang di awetkan dengan garam dapur seperti daging asap, ham, bacon, dendeng, abon, ikan asin, ikan Keju, kacang tanah, dan semua kacang-kacangan dan hasilnya yang dimasak dengan garam dapur dan ikatan natrium lainnya. Sayuran yang dimasak dan diawet dengan garam dapur seperti sayuran dalam kaleng, sawi asin, asinan, dan acar. Buah-buahan yang diawetkan dengan garam dapur seperti buah dalam kaleng. Margarin dan mentega biasa. Garam dapur diet Garam Rendah I, baking powder, soda kue, vetsin, dan bumbu-bumbu yang mengandung garam dapur seperti, kecap, terasi magi, saos tomat, petis, dan tauco.
Sumber: (Almatsier, 2008). 2.3.
Lanjut Usia Lanjut usia adalah mereka yang berusia lebih dari 60 tahun (Arisman, 2009).
Departemen Kesehatan RI (2006) memberikan batasan lansia sebagai berikut : a. Virilitas (prasenium) : masa persiapan usia lanjut yang menampakan kematangan jiwa (usia 55-59 tahun) b. Usia lanjut dini (senescan) : kelompok yang mulai memasuki masa usia lanjut dini (usia 60-64 tahun) c. Lansia beresiko tinggi untuk menderita berbagai macam penyakit degeneratif (usia diatas 65 tahun).
Universitas Sumatera Utara
24
Menurut Roe istilah “menjadi tua” sering dikaitkan dengan ketidakmampuan seseorang untuk berfungsi secara efesien, proses berfikir yang menurun, dan kepikunan yang sudah ada diambang pintu. Proses menua (aging) adalah proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan tubuh untuk mempertahankan struktur normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap benda-benda asing, termasuk mikroorganisme, dan menurunnya kemampuan untuk memperbaiki kerusakan yang diderita (Almatsier, 2011) 2.3.1. Perubahan-perubahan yang terjadi pada Lansia Pertambahan usia akan menimbulkan beberapa perubahan baik secara fisik maupun mental. Perubahan ini akan mempengaruhi kondisi seseorang dari aspek psikologis, fosiologis, dan sosioekonomi. Perubahan fisologis pada lansia ditandai dengan : a. Perubahan komposisi tubuh sebagai akibat dari proses menua. Pada proses ini terjadi penurunan massa tanpa lemak dan massa tulang. Sebagian dari perubahan tersebut terjadi karena aktivitas beberapa hormon yang mengatur metabolisme menurun sesuai umurnya. b. Perubahan kulit dan bagian-bagiannya ditandai dengan kulit mengering, mengerut, timbul bintik-bintik karena pigmentasi, kehilangan elastisitas, dilatasi kapiler terutama pada muka, dan timbulnya kutil-kutil. c. Kehilangan gigi merupakan bagian dari proses menua. Sebanyak 17,6% usia lanjut mengalami kehilangan seluruh gigi asli.
Universitas Sumatera Utara
25
d. Perubahan pada sistem otak dan syaraf akan berkurang seiring bertambahnya usia. Berkurangnya aliran darah ke otak sebagai akibat perubahan pembuluh darah yang mengalami aterosklorosis juga menyebabkan menurunnya fungsi otak. Kehilangan sel otak pada lansia dihubungkan dengan dimensia atau kepikunan yang tidak dapat diperbaiki. e. Sistem Kardiovaskuler, dengan bertambahnya usia struktur dan fungsi jantung serta sistem peredaran darah mengalami perubahan. Beban jantung bertambah sebagai akibat bertambahnya resistensi terhadap aliran darah dan pada waktu bersamaan otot jantung kehilangan kekuatan sehingga kemampuan jantung untuk memompa darah juga menurun. f. Sistem Endokrin mengalami perubahan diantaranya perubahan anatomis pada kelenjar tiroid yang menyebabkan hipotiroidisme, menurunnya produksi insulin, berkurangnya kinerja hormon aldosteron yang dikeluarkan ginjal untuk menahan natrium dalam tubuh, dan kehilangan hormon estrogen pada wanita dan testosterone pada pria. g. Menurunnya fungsi saluran cerna yeng menyebabkan lambatnya pergerakan usus, sehingga resiko terhdap konstipasi meningkat h. Perubahan pada rongga mulut ditandai dengan berkurangnnya cairan ludah yang menyebabkan dehidrasi pada mulut, menipisnya jaringan gusi, mengerutnya jaringan ikat pada mulut, dan kurangnya sensitifitas indera pengecap dan pencium.
Universitas Sumatera Utara
26
i. Perubahan pada mata ditandai dengan berkurangnya ketajaman penglihatan pada lansia. j. Kurangnya pendengaran lansia disebabkan berbagai faktor seperti keturunan, terkena bising, penyakit telinga kronis, dan aterosklorosis. Sedangkan perubahan psikologis pada lanjut usia ditandai dengan seringnya mengalami depresi atau tertekan karena merasa kesepian, kurang berharga atau karena kurangnya penghasilan yang sering disertai dengan hilangnya nafsu makan dan motivasi untuk menyiapkan makanan. Depresi seperti itu lebih banyak terjadi pada orang usia lanjut yang hidup sendiri atau tinggal di institusi atau panti werdha (Almatsier, 2011). 2.4.
Kerangka Teori Pengaturan keseimbangan natrium didalam tubuh diatur oleh ginjal dan otak.
Bila kadar natrium tinggi di dalam tubuh, ginjal akan mengeluarkannya melalui urin bersama dengan air. Bila terlalu banyak air yang keluar dari tubuh, volume darah akan menurun. Sel-sel ginjal akan mengeluarkan enzim renin. Renin mengaktifkan protein didalam darah yang dinamakan angiotensin. Angiotensin akan mengecilkan diameter pembuluh darah sehingga tekanan darah akan akan naik. Disamping itu angiostenin mengatur pengeluaran hormone aldosteron dari kelenjar adrenalin. Aldesteron akan mempengaruhi ginjal untuk menahan natrium dan air sehingga tekanan darah meningkat (Almatsier, 2001). Hipotalamus mengatur konsentrasi garam didalam darah, merangsang kelenjar pituitary mengeluarkan hormone anti deuretika (ADH). ADH dikeluarkan bilamana
Universitas Sumatera Utara
27
konsentrasi garam dalam tubuh terlalu tinggi atau volume darah atau tekanan darah terlalu rendah. ADH merangsang ginjal untuk menahan atau menyerap kembali air dan mengedarkan kembali ke dalam tubuh. Jadi semangkin banyak air yang dibutuhkan tubuh, semangkin sedikit yang dikeluarkan (Almatsier, 2001). Dalam menjalanankan peranannya natrium berikatan dengan klorida dan kalium. Ion natrium dan klorida merupakan elektrolit utama cairan ekstraseluler dan ion kalium pada cairan intraseluler. Untuk mencegah terjadinya peningkatan tekanan darah seharusnya asupan natrium dan kalium didalam tubuh seimbang dengan perbandingan 1:1 (Siagian, 1999). Asupan natrium yang tinggi didalam tubuh akan meningkatkan cairan ekstraseluler sehingga terjadinya peningkatan volume darah. Asupan kalium tinggi didalam tubuh akan meningkatkan cairan intraselular dan meningkatkan eksresi natrium didalam tubuh sehingga terjadinya penurunan tekanan darah.
Universitas Sumatera Utara
28
Ginjal
Otak
Bila aliran darah berkurang ginjal mengeluarkan enzim renin
Renin Darah
Bila konsentrasi garam naik : timblah rangsangan terdahap kelenjar pituatari
Kelenjar pituitari Renin mengubah angiostensinogen menjadi bentuk aktif angiostensin
Kelenjar pituitary melepas hormone antideuretik/ADH
Angiostensin Kelenjar adrenal Kelenjar adrenal mengeluarkan aldosteron
Pembuluh darah Pembuluh darah mengkerut, meningkatkan tekanan darah
Ginjal menahan natrium dan air, dengan demikian meningkatkan tekanan darah
Gambar 2.1. Kerangka teori Asupan natrium mempengaruhi hipertensi Sumber : Almatsier, 2001
Universitas Sumatera Utara
29
2.5.
Kerangka Konsep Berdasarkan tujuan penelitian, maka kerangka konsep dalam penelitian ini :
Asupan Natrium
Kejadian Hipertensi
Karakteristik Lansia: a. Umur b. Jenis Kelamin
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Hubungan Asupan Natrium dengan Kejadian Hipertensi Pada penelitian ini yang menjadi variable bebas (independent) adalah karakteristik lansia (umur dan jenis kelamin) dan asupan natrium lansia . Sedangkan, variable terikat (dependent) adalah kejadian hipertensi. Dari bagan diatas dapat dilihat bahwa penelitian ini melihat hubungan antara asupan natrium dengan hipertensi pada lanjut usia. 2.6.
Hipotesis Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian dan kerangka konseptual diatas, maka hipotesis
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Ha
: Ada hubungan asupan natrium dengan kejadian hipertensi pada lansia di UPT Pelayanan Lanjut Usia Binjai
Universitas Sumatera Utara