Konservasi Airtanah ”Sebuah Pemikiran” 2008 Heru Hendrayana (
[email protected],id) Doni Prakasa Eka Putra (
[email protected]) Jurusan Teknik Geologi – Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG Airtanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Airtanah merupakan sumber air utama bagi makhluk hidup, khususnya bagi manusia. Akan tetapi dari tahun ke tahun persediaan airtanah yang ada di bumi ini kian menipis bahkan dikatakan untuk masa mendatang pesediaan airtanah di bumi ini akan habis jika manusia terus menerus mengeksploitasi airtanah dengan maksimal tanpa memikirkan pengelolaannya.
Pengelolaan airtanah sangat diperlukan baik secara teknis maupun non teknis, disesuaikan dengan perilaku airtanah meliputi keterdapatan, penyebaran, ketersediaan, dan kualitas airtanah serta lingkungan keberadaannya. Kegiatan pengelolaan airtanah adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan kegiatan konservasi, pendayagunaan airtanah dan pengendalian daya rusak airtanah. Pengelolaan airtanah perlu diarahkan untuk mewujudkan keseimbangan antara pendayagunaan airtanah dan upaya konservasi.
Konservasi airtanah adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi airtanah agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
1
pada waktu sekarang maupun yang akan datang. Konservasi airtanah dilakukan secara menyeluruh pada cekungan airtanah, mencakup daerah imbuhan dan daerah lepasan airtanah. Kegiatan konservasi airtanah antara lain mencakup: 1. perlindungan dan pelestarian airtanah; 2. pengawetan airtanah dan penghematan airtanah; 3. penentuan zona konservasi airtanah.
Kegiatan konservasi airtanah merupakan bagian dari pengelolaan sumber daya air tepadu, telah diatur dalam UU Sumber Daya Air BAB III, yang kemudian diperinci dalam Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Airtanah Tahun 2007. Dalam pelaksanaannya, kegiatan konservasi airtanah, masih memerlukan pedoman yang lebih rinci agar kegiatan konservasi tersebut dapat berjalan dengan optimal.
Agar kegiatan konservasi berjalan optimal dibutuhkan Peraturan Menteri (Permen) yang berfungsi sebagai pedoman dan panduan dalam pengelolaan airtanah khususnya pada kegiatan konservasi airtanah. Kegiatan penyusunan Permen ini berupa pembuatan naskah akademik dan sosialisasi khususnya mengenai konservasi airtanah. Permen tersebut diharapkan dapat dipahami oleh semua stakeholder mulai dari pemerintah, instansl terkait, pihak industri dan masyarakat, dan digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan airtanah khususnya yeng berbasis konservasi. I.2 MAKSUD DAN TUJUAN Maksud dari tulisan ini adalah menyusun rancangan peraturan menteri tentang konservasi airtanah sebagai acuan atau pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan airtanah khususnya yang berbasis konservasi.
Tujuan dari tulisan ini adalah tersedianya Peraturan Menteri mengenai konservasi airtanah yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi stakeholder mulai dari pemerintah, instansi terkait, pihak industri dan masyarakat, dalarn pelaksanaan pengelolaan airtanah khususnya yeng berbasis konservasi.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
2
I.3 SASARAN Sasaran dari tulisan ini adalah: 1) Tersedianya pedoman yang dapat digunakan sebaga acuan bagi Pemerintah maupun Pemerintah Daerah dalam melakukan konservasi airtanah. 2) Tersedianya acuan bagi pelaksanaan pengelolaan airtanah terutama dalam memanfaatkan airtanah tanpa menimbulkan dampak yang merugikan. 3) Terciptanya pelaksanaan pengelolaan airtanah terutama kegiatan konservasi airtanah sesuai dengan amanat UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah tentang Airtanah.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
3
BAB II BATASAN KONSEPTUAL KONSERVASI DAN PENGENDALIAN AIRTANAH DALAM KERANGKA PENGELOLAAN AIRTANAH Pengelolaan memantau,
airtanah dan
pendayagunaan
adalah
mengevaluasi airtanah
dan
upaya
merencanakan,
penyelenggaraan pengendalian
melaksanakan,
kegiatan
daya
konservasi,
rusak
airtanah.
Perkembangan pemanfaatan airtanah yang berkelanjutan membutuhkan konsep pengelolaan airtanah yang efektif dan efisien serta tepat sasaran. Pada dasarnya pengelolaan airtanah bertujuan untuk menselaraskan kesetimbangan pemanfaatan dalam kerangka kuantitas dan kualitas dengan pertumbuhan kebutuhan akan air yang meningkat dengan tajam. Penerapan pengelolaan airtanah sebaiknya dilakukan sebelum terjadinya penurunan kuantitas dan kualitas airtanah akibat pengambilan airtanah dan pencemaran airtanah oleh manusia. Oleh sebab itu, pengelolaan airtanah tidak saja merupakan upaya mengelola sumber daya airtanah (managing aquifer resources) tetapi juga upaya mengelola manusia yang memanfaatkannya (managing people).
Pengelolaan airtanah sangat diperlukan baik secara teknis maupun non teknis untuk menghindari degradasi airtanah yang serius (baik kuantitas maupun kualitasnya), dimana pengelolaan ini harus disesuaikan dengan perilaku airtanah meliputi keterdapatan, penyebaran, ketersediaan, dan kualitas airtanah serta lingkungan keberadaannya. Pengelolaan
airtanah perlu
diarahkan untuk mewujudkan keseimbangan antara pendayagunaan airtanah dan upaya konservasi serta pengendaliannya.
Dalam kerangka pemanfaatan airtanah yang berkelanjutan pada suatu wilayah cekuangan airtanah, terdapat empat komponen teknis pengelolaan airtanah penting yang harus diperhatikan yaitu: 1. Resource Evaluation: Evaluasi Potensi Sumber Daya Airtanah 2. Resource Allocation: Alokasi Sumber Daya Airtanah yang tepat 3. Hazard and Risk Assessment: Kajian bahaya dan resiko pemanfaatan airtanah dan atau pencemaran airtanah 4. Side Effect and/or Pollution Control: Pengendalian dan pengontrolan efek negative pemanfaatan airtanah dan atau pencemaran airtanah. Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
4
Menilik
peraturan
pemerintah
baik
pusat
maupun
daerah
(termasuk
didalamnya rancangan peraturan) mengenai pengelolaan airtanah, ke-empat hal tersebut umumnya telah dipertimbangkan, walau terkemas dalam istilah dan urutan yang berbeda.
Berdasarkan arti dari pengelolaan airtanah, konservasi airtanah merupakan salah satu komponen pengelolaan. Arti dari konservasi airtanah adalah upaya menjaga kelestarian, kesinambungan ketersediaan, daya dukung, fungsi airtanah
serta
mempertahankan
keberlanjutan
pemanfaatan
airtanah.
Disebutkan juga bahwa konservasi airtanah dilaksanakan melalui: (a) penentuan zona konservasi airtanah, (b) perlindungan dan pelestarian airtanah, (c) pengawetan airtanah, (d) pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran airtanah, (e) pengendalian penurunan kuantitas airtanah dan (f) pemulihan airtanah. Penjelasan ini berarti secara konsep tindakan konservasi airtanah meliputi juga tindakan pengendalian airtanah, sehingga batas antara kedua istilah ini menjadi saling tumpang tindih. Beberap literatur/pustaka menggabungkan kedua istilah ini dalam satu istilah yang disebut perlindungan airtanah (groundwater protection). Dimana, secara umum strategi perlindungan airtanah dibagi menjadi tiga kelompok yaitu (1) perlindungan alamiah (natural protection), (2) tindakan pencegahan (preventive actions) dan (3) tindakan koreksi (corrective actions) Berkaitan dengan pembuatan pedoman konservasi dan pengendalian airtanah, batasan antara konservasi dan pengendalian airtanah perlu diperjelas agar isi kedua pedoman ini tidak saling tumpang tindih atau hanya merupakan perulangan. Untuk itu dengan berdasarkan ke-empat faktor teknis dalam pengelolaan airtanah, batasan konservasi dan pengendalian harus ditetapkan. Secara umum komponen teknis pengelolaan airtanah, dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu: 1. Komponen teknis yang berkaitan dengan sumber daya airtanah, dan 2. Komponen teknis kajian bahaya/resiko pemanfaatan dan pencemaran airtanah. Didalam mewujudkan pemanfataan airtanah yang berkelanjutan, komponen sumber daya airtanah adalah komponen yang wajib untuk dikonservasi demi mempertahankan keberadaan airtanah baik kuantitas maupun kualitasnya (lihat Gambar 1). Di sisi lain, pemanfaatan airtanah yang berkelanjutan juga Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
5
harus ditunjang dengan pengendalian terhadap aktivitas eksploitasi airtanah dan pencemaran airtanah (lihat Gambar 2). Berdasarkan pemikiran sederhana ini, batasan konseptual antara tindakan konservasi dan pengendalian airtanah dapat ditetapkan seperti diperlihatkan pada gambar 3. Pada gambar ini, yang dimaksudkan dengan konservasi airtanah adalah segala tindakan melindungi airtanah dengan cara melestarikan mengawetkan sumber daya airtanah dan penghematan pemanfaatan sumber daya airtanah. Tindakan pelestarian, pengawetan dan penghematan ini harus didasarkan pada hasil evaluasi kondisi sumber daya airtanah dan alokasi pemanfaatan sumber daya airtanah ini. Sedangkan pengendalian airtanah adalah segala tindakan melindungi airtanah dengan cara mengendalikan efek negatif yang dapat muncul akibat pemanfaatan airtanah dan pencemaran airtanah.
Evaluasi Sumber Daya Airtanah
Potensi/Tata Guna Sumber Daya Aitranah
Alokasi Sumber Daya Airtanah Harus Dikonservasi
Pemanfaatan Airtanah yang Berkelanjutan
Gambar 1. Komponen yang harus dikonservasi dalam kerangka pemanfaatan airtanah yang berkelanjutan.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
6
Kajian Bahaya/Resiko
Efek Samping Eksploitasi dan Pencemaran Airtanah
Berhubungan dengan aktivitas pengambilan airtanah dan pencemaran airtanah
Harus Dikendalikan
Pemanfaatan Airtanah yang Berkelanjutan
Gambar 2. Komponen yang harus dikendalikan dalam kerangka pemanfaatan airtanah yang berkelanjutan. Berdasarkan penjelasan diatas maka konservasi airtanah merupakan tindakan melindungi airtanah dengan strategi perlindungan alamiah (natural protection) dan tindakan pencegahan (preventive actions) untuk mempertahankan potensi dan alokasi sumber daya airtanah. Sedangkan tindakan pengendalian airtanah adalah tindakan perlindungan airtanah dengan strategi tindakan pencegahan (preventive actions) dan tindakan koreksi (corrective actions) terhadap pengambilan dan atau pemanfaatan airtanah serta pencemaran airtanah yang terjadi. Perlu digarisbawahi bahwa tindakan pencegahan lebih masuk akal karena umumnya lebih mudah dilakukan dengan waktu yang relatif singkat dan dengan biaya yang lebih rendah daripada tindakan koreksi yang umumnya membutuhkan waktu yang lama serta biaya yang tidak sedikit.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
7
Komponen Teknis Pengelolaan Airtanah Pada Suatu Wilayah Cekungan Airtanah Groundwater Resources Potential
Groundwater Abstraction and Pollution
Evaluasi Potensi Sumber Daya Airtanah
Kajian Bahaya dan Resiko Pemanfaatan dan Pencemaran Airtanah
Alokasi Sumber Daya Airtanah
Pengendalian Efek Negatif Pemanfaatan dan Pencemaran Airtanah
Konservasi
Pengendalian
Tindakan Pelestarian, Pengawetan dan Penghematan Sumber Daya Airtanah
Tindakan Pengendalian untuk menghindari timbulnya efek negatif pemanfaatan airtanah dan pencemaran airtanah
Gambar 3. Skema Konservasi dan Pengendalian Airtanah dalam Menunjang Pemanfaatan Airtanah Yang Berkelanjutan.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
8
BAB III KONSERVASI AIRTANAH III.1. Etika Konservasi Airtanah Kurang lebih 95% air tawar yang ada di bumi ditemukan tersimpan di dalam akuifer-akuifer airtanah dan tidak berada pada danau-danau atau sungaisungai di permukaan tanah. Bahkan akuifer-akuifer ini memberikan suplai air yang sangat berharga bagi sungai-sungai di permukaan. Oleh karena itu, airtanah adalah sumber daya penting yang memerlukan konservasi, sehingga pemanfaatannya dapat berkelanjutan bukan hanya untuk kepentingan manusia namun juga untuk keseimbangan eko-sistem yang bergantung pada airtanah.
Di Indonesia, kontribusi airtanah sebagai sumber air baku adalah sangat penting. Kemungkinan hingga saat ini lebih dari 150 juta penduduk Indonesia terpenuhi kebutuhan air bersihnya dari sumber daya airtanah. Akan tetapi dari tahun ke tahun persediaan airtanah yang ada akan kian menipis bahkan dikatakan untuk masa mendatang persediaan airtanah di bumi ini akan habis jika ekploitasi airtanah dilakukan secara maksimal tanpa memikirkan pengelolaannya. Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat kebutuhan air akan meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan daerah urban, peningkatan jumlah air yang digunakan per kapita, peningkatan kebutuhan sanitasi, peningkatan kebutuhan industri dan pertanian, serta tantangan lain yang sejalan dengan kemajuan peradaban kehidupan manusia.
Terdapat beberapa aspek penting yang harus diperhatikan di dalam perencanaan dan pengelolaan airtanah, jika sumber daya airtanah ingin dipergunakan secara berkelanjutan, yaitu: (1) airtanah adalah sumber daya yang sangat berharga dan dapat diperbaharui; airtanah pada umumnya memiliki kualitas yang baik karena adanya proses purifikasi alamiah, adapun jika membutuhkan pengolahan terlebih dahulu, umumnya hanya memerlukan pengolahan yang sederhana. Oleh karena itu, airtanah adalah sumber daya air yang dapat dikembangkan dengan biaya yang murah, yang memerlukan teknologi sederhana dalam pengembangannya, (2) Airtanah mengalami ancaman degradasi baik kuantitas maupun kualitasnya akibat penggunaan dan Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
9
pengelolaan yang tidak benar, (3) Airtanah harus dikelola secara hati-hati jika diperuntukkan bukan hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi mendatang.
III.2. Strategi Konservasi Airtanah Konservasi airtanah adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi airtanah agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang. Secara umum strategi konservasi airtanah dapat dibedakan menjadi tiga kategori besar; konservasi alamiah, tindakan pemulihan dan tindakan pencegahan. Pemilihan dari ketiga strategi konservasi tersebut memerlukan penentuan pilihan yang tepat. Perlu diingat bahwa penentuan pilihan strategi konservasi tidak memiliki rumusan tertentu yang dapat memberi garansi bahwa strategi konservasi terpilih akan tepat dan berhasil bagi suatu daerah atau wilayah cekungan airtanah. Setiap wilayah cekungan airtanah seharusnya memilih strategi yang sesuai dengan kondisinya. Hal ini merupakan konsukuensi dari keanekaragaman sistem airtanah, persepsi lokal tentang permasalahan pengelolaan airtanah, tradisi sosial dan politik, serta kemampuan pengelolaan dan pembiayaan program konservasi airtanah. Sehingga apa yang tepat dan berhasil bagi suatu wilayah cekungan airtanah tertentu belum tentu sesuai untuk diterapkan bagi wilayah cekungan airtanah yang lain. Tetapi secara umum, prinsip konservasi airtanah harus berdasarkan pada pengelolaan yang memperhatikan aspek lingkungan, dan tindakan pencegahan adalah tindakan yang lebih masuk akal karena tindakan ini umumnya hanya membutuhkan biaya yang lebih murah daripada tindakan pemulihan yang umumnya mahal, membutuhkan waktu yang
lama
serta
kadang
memerlukan
tindakan
teknik
yang
tidak
memungkinkan untuk dilakukan.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
10
III.3. Kegiatan Konservasi Airtanah Konservasi
airtanah
pemanfaatannya
adalah
secara
pengelolaan
bijaksana
dan
airtanah menjamin
untuk
menjamin
kesinambungan
ketersediaannya dengan tetap memelihara serta meningkatkan mutunya. Pada dasarnya merupakan tindakan yang perlu dilakukan dalam mengelola sumberdaya airtanah agar dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan /berkelanjutan. Untuk dapat melaksanakan konservasi airtanah perlu pemahaman tentang sifat-sifat, karakteristik airtanah di alam, meliputi antara lain; geometri dan konfigurasi sistem akuifer, proses pembentukan dan pergerakan airtanah mulai dari daerah imbuh hingga daerah pelepasan, serta sifat fisik dan kimia sumberdaya air tersebut. Kegiatan konservasi airtanah merupakan bagian dari pengelolaan sumber daya air tepadu, telah diatur dalam UU Sumber Daya Air BAB III, yang kemudian diperinci dalam Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Airtanah Tahun 2007. Dalam pelaksanaannya, kegiatan konservasi airtanah masih memerlukan pedoman yang lebih rinci agar kegiatan konservasi tersebut dapat berjalan dengan optimal. Berdasarkan batasan antara konservasi dan pengendalian airtanah, konservasi airtanah antara lain mencakup kegiatan: 1. perlindungan dan pelestarian airtanah; 2. pengawetan dan penghematan airtanah; 3. penentuan zona konservasi airtanah.
Seperti disebutkan diatas, upaya konservasi dilakukan melalui serangkaian kegiatan meliputi pelestarian, perlindungan, pengawetan yang ditentukan dalam kerangka zona konservasi airtanah. Pelestarian airtanah merupakan upaya menjaga kelestarian kondisi dan lingkungan airtanah agar tidak mengalami perubahan. Perlindungan airtanah merupakan upaya menjaga keberadaan serta mencegah terjadinya kerusakan kondisi dan lingkungan airtanah, dan termasuk di dalamnya upaya memelihara keberadaan airtanah agar tersedia sesuai fungsinya. Pengawetan airtanah merupakan upaya
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
11
memelihara kondisi dan lingkungan airtanah agar selalu tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai. Upaya konservasi airtanah dilaksanakan secara menyeluruh pada wilayah cekungan airtanah, mencakup daerah imbuhan dan daerah lepasan airtanah dan
harus
menjadi
pendayagunaan
salah
airtanah
dan
satu
pertimbangan
perencanaan
tata
dalam
perencanaan
ruang.
Pelaksanaan
pendayagunaan airtanah dan kegiatan lain yang berpotensi mengubah dan merusak kondisi dan lingkungan airtanah wajib disertai dengan upaya konservasi airtanah yang dibahas pada beberapa bab terpisah. Setiap upaya konservasi airtanah menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah baik pusat maupun daerah. Upaya perlindungan dan pelestarian airtanah harus juga mengikut sertakan peran masyarakat.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
12
BAB IV PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN AIRTANAH
IV.1. Perlindungan Airtanah Perlindungan
airtanah
merupakan
upaya
menjaga
keberadaan
serta
mencegah terjadinya kerusakan kondisi dan lingkungan airtanah, dan termasuk didalamnya upaya memelihara keberadaan airtanah agar tersedia sesuai fungsinya. Cara paling efektif untuk memelihara keberadaan airtanah adalah dengan menetapkan kawasan lindung airtanah pada satu wilayah cekungan airtanah atau kawasan sempadan mata air (Basin Management) dan penetapan zona perlindungan sumber air baku yang berasal dari mataair atau airtanah (Well Management). Penetapan kawasan lindung airtanah, terutama dikaitkan dengan perencanaan pengembangan penggunaan lahan pada suatu wilayah cekungan airtanah. Kawasan lindung airtanah ditetapkan menurut batas daerah imbuhan airtanah regional suatu wilayah cekungan airtanah. Penetapan kawasan sempadan mata air, dimana batasnya ditetapkan berdasarkan hasil inventarisasi kemunculan dan sebaran mata air. Batas kawasan ini setidaknya harus mencakup daerah imbuh mata air – mata air tersebut. Batas cekungan airtanah dan daerah imbuhan airtanah harus ditentukan berdasarkan hasil evaluasi kondisi dan potensi sumber daya airtanah.
Guna melindungi airtanah secara menyeluruh (kuantitas dan atau kualitas) pada kawasan lindung airtanah, penggunaan lahan harus diarahkan sebagai berikut: 1. Tidak ada kawasan pemukiman baru dan pusat-pusat perdagangan di dalam kawasan lindung airtanah kecuali sistem buangan limbah yang baik tersedia, pengadaan air bersih disarankan dari PDAM 2. Kawasan industri baru atau perluasan kawasan industri yang ada tidak terletak di dalam kawasan lindung airtanah, kecuali sistem pengolahan limbah telah terpasang, sebaiknya juga tidak pada daerah yang pengambilan airtanahnya terlarang
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
13
3. Tempat pembuangan sampah akhir sebaiknya tidak berada dalam kawasan lindung airtanah 4. Infrastruktur perhubungan (jalan raya, jalan kereta api, pelabuhan udara, dll) serta pengambilan bahan galian untuk bangunan di dalam kawasan lindung airtanah hanya setelah ada penyelidikan rinci 5. Penggalian dalam kawasan lindung dibatasi atau dilengkapi dengan upaya-upaya pencegahan. 6. Konservasi penggunaan lahan yang ada sekarang ini, sebaiknya juga seluruh daerah berhutan dan pertanian. Tabel 1. Contoh pembagian pengelolaannya.
kawasan
lindung
airtanah
dan
implikasi
Penetapan zona perlindungan sumber air baku (baik yang berasal dari mata air maupun airtanah), terutama dikaitkan dengan kesinambungan/keberlanjutan sumber airtanah (mataair dan atau sumur produksi airtanah) sebagai sumber air baku masyarakat baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Zona perlindungan ini umumnya dibagi menjadi tiga zona yaitu: 1. Zona 1: area yang mewakili wilayah broncaptering sumur produksi atau broncaptering mataair. 2. Zona 2: area yang mewakili zona 50 hari waktu tempuh perjalanan airtanah menuju sumur produksi atau mataair. Waktu tempuh perjalanan airtanah 50 hari ditetapkan berdasarkan asumsi, bahwa Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
14
mikrobiologi umumnya akan mati setelah menempuh perjalanan 50 hari dalam airtanah, walaupun hal ini tergantung pada faktor lingkungan yang lain. 3. Zona 3: zona terluar yang mencakup seluruh catchment area pemompaan airtanah atau seluruh area imbuhan mataair.
Dalam konsep perlindunganan yang menyeluruh, zona 3 wajib untuk ditentukan dan dilindungi dalam kerangka perlindungan terhadap kuantitas dan kualitas airtanahnya. Seperti halnya pada kawasan perlindungan airtanah tindakan khusus guna melindungi airtanah berkaitan dengan pengaturan tata guna lahan harus diterapkan pada zona ini. Pengaturan tata guna lahan pada zona perlindungan sumber air baku ini meliputi: 1. Pembatasan pengembangan atau perubahan tata guna lahan sejak penerapan zona perlindungan sumber air baku. 2. Pembatasan menurunkan
kegiatan/aktifitas kualitas
manusia
airtanah,
seperti
khususnya
yang
contohnya
dapat
penggunaan
pestisida, pupuk yang berlebihan pada areal pertanian. 3. Pelarangan
pembuangan
limbah
baik
padat
atau
cair
secara
sembarangan; pengaturan dan pembuatan jaringan sanitasi, limbah secara menyeluruh dan terpadu 4. Termasuk didalamnya larangan lokasi tempat pembuangan sampah akhir di zona perlindungan sumber air baku. 5. Pembatasan/larangan lain yang dianggap perlu guna melindungi kuantitas dan kualitas airtanah.
Zona terluar perlindungan sumber air baku ini dapat ditentukan dengan menggunakan metoda perhitungan manual, pemetaan hidrogeologi hingga metoda pemodelan numerik airtanah. Hingga saat ini metoda pemodelan numerik airtanah dianggap sebagai metoda terbaik dalam penentuan batas zona perlindungan sumber air baku. Namun seringkali pemodelan numerik membutuhkan data evaluasi kondisi airtanah yang baik dan seringkali tidak semua daerah di Indonesia memiliki informasi hidrogeologi yang lengkap. Dalam pedoman ini dijabarkan dua metode yang sederhana dari penentuan zona terluar perlindungan airtanah.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
15
Untuk kasus sumur produksi airtanah, perhitungan manual yang sering digunakan secara luas adalah konstruksi zona lingkaran/elips dan metoda perhitungan berdasar karakteristik akuifer yang dikembangkan oleh Todd (1959). Zona lingkaran ini adalah luasan yang menunjukkan daerah imbuhan yang diperlukan untuk menyeimbangkan debit pemompaan (Burgess & Fletcher, 1998). Daerah As (m2) dari luas suatu daerah sumber tangkapan air didalam area imbuhan tahunan U (meter/detik) dapat dihitung dari hubungan sederhana dari keseimbangan airtanah :
As = Q / U Dimana Q
debit pemompaan dari suatu sumber (m 3/detik)
Radius dari zona lingkaran daerah sumber tangkapan air digambarkan sebagai: r = √ (As/ п) Dimana r radius dari batas sumber tangkapan air dalam meter (m).
Berdasarkan data karakteristik akuifer, perhitungan manual dari daerah tangkapan sumur dapat juga dilakukan. Dalam perhitungan manual, jarak menuju titik nol atau batas pemompaan downstream dari lubang bor pompa xu (meter) yaitu : xu =
Q 2 · п · T ·i o
Lebar maksimum dari daerah tangkapan secara orthogonal hingga arah aliran B (meter) yaitu : B=
Q T ·i o
Dimana: Q debit airtanah (m3/det) T transmisivitas akuifer (m 2/det) io gradient hidrolika sebelum pemompaan
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
16
Lebar maksimum (B) akan ditempatkan pada jarak yang dihitung dari titik nol ke arah upstream Dwr (meter) yaitu :
Dwr =
Xu2 + (B/2)2 2 · xu
Akhirnya, jarak menuju batas pemompaan upstream dari lubang bor pemompaan Dwo (meter) dapat dihitung seperti :
Dwo = 3 · r50,o r50,o =
Q · t50 п · M · ne
+
kf · i o ne
· t50
Dimana: t50 50 hari = 4.32 x 106 detik kf konduktivitas hidrolika dari akuifer (m/det) M ketebalan akuifer (m) ne porositas efektif ( - ) r50 batas upstream zona 2
Arah aliran airtanah
Gambar 4. Skema penentuan batas zona 3 pada suatu sumur produksi airtanah sebagai sumber air baku.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
17
Untuk penentuan zona perlindungan mataair, penentuan batas zona menjadi agak kompleks dibanding dengan penentuan zona perlindungan sumur produksi.
Perhitungan
manual
seperti
dijabarkan
diatas
tidak
tepat
diaplikasikan pada mataair. Cara penentuan batas zona 3 pada mataair yang paling sederhana adalah dengan mengabungkan hasil penelitian hidrogeologi mengenai batas-batas sistem mataair dengan prakiraan luasan daerah imbuh mata air dapat secara kasar diperkirakan menurut hubungan antara debit mata air dan imbuhan airtanah rata-rata tahunan (Gambar 5).
Gambar 5. Hubungan antara luasan daerah imbuhan mata air, imbuhan airtanah rata-rata tahunan dan debit mata air (Todd, 1980). Ketentuan penggunaan lahan di kawasan perlindungan, kawasan sempadan mataair dan zona perlindungan sumber air baku harus ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat dengan memperhatikan fungsi kelestarian airtanah baik kuantitas maupun kualitasnya, dan selaras dengan rencana tata ruang wilayah. Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
18
IV.2. Pelestarian Airtanah Pelestarian airtanah merupakan upaya menjaga kelestarian kondisi dan lingkungan airtanah agar tidak mengalami perubahan. Pelestarian airtanah dapat dilakukan dengan cara (1) pelestarian fungsi daerah imbuhan airtanah termasuk mata air dengan vegetasi, (2) pelestarian airtanah dengan penerapan teknologi dan (3) Pengaturan secara ketat luasan lahan yang boleh dibangun atau pengaturan penutupan lahan, yang bertujuan untuk memberikan peluang peresapan air hujan ke dalam tanah.
Pelestarian fungsi daerah imbuhan airtanah dengan cara vegetasi merupakan upaya konservasi airtanah dengan memanfaatkan peran tumbuhan secara alami untuk dapat mempertahankan siklus dan dinamika air. Pelestarian airtanah dengan penghijauan dapat dilakukan pada wilayah dengan beberapa permasalahan airtanah, seperti fluktuasi tinggi, muka airtanah yang dalam, kawasan resapan, kawasan lindung, kawasan mataair dan bentuk perairan permukaan
lainnya.
Cara
vegetasi ini umumnya
dimaksudkan
untuk
peningkatan infiltrasi air dan pengurangan evaporasi air, yang dapat dilakukan dengan: 1. Reboisasi atau penghijauan pada lahan-lahan daerah perbukitan berlereng curam dan pembuatan hutan (penghutanan), yang dapat diterapkan pada zona kawasan perlindungan airtanah. 2. Pembuatan hutan kota (jantung kota), yang dapat diterapkan pada lahanlahan kosong di perkotaan dan kawasan padat hunian kota; 3. Pembuatan jalur hijau berupa penanaman tanaman keras pada tepian jalan. 4. Pengaturan secara ketat luasan lahan yang boleh dibangun atau pengaturan penutupan lahan, yang bertujuan untuk memberikan peluang peresapan air hujan ke dalam tanah, dapat diterapkan pada wilayah atau kawasan padat hunian.
Ketentuan pengaturan luasan lahan yang boleh dibangun atau pengaturan penutupan lahan yang masih memberikan peluang peresapan air hujan ke dalam tanah harus ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
19
Penerapan teknologi untuk melestarikan airtanah dapat dilakukan dengan cara meningkatkan atau mempertahankan volume imbuhan airtanah. Terdapat empat metoda umum untuk meningkatkan atau melestarikan imbuhan airtanah yaitu metoda water harvesting, in-channel structure, off-channel structure dan injection well (lihat Tabel 2).
Tabel 2. Macam-macam tipe struktur imbuhan buatan airtanah (GW-Mate, 2005). Tipe
Sub-Tipe Lubang/sumur gali/tangki resapan
Water Harvesting terasiring/kontur ploughing/reboisasi/penghutanan
check/dam
OnChannel Structure
recharge dam
riverbed baffling; menahan aliran air untuk meningkatkan infiltrasi Subsurface cut-off; membuat parit-parit untuk menahan airtanah OffChannel Tehniques Sumur Injeksi
cekungan buatan land spreading sumur pemboran
Penerapan Baik diterapkan untuk pedesaan dimana penduduknya jarang, dengan permeabiltas tanah yang cukup tinggi Baik diterapkan untuk daerah dengan kemiringan yang curam dan berada pada bagian atas catchment area Baik diterapkan pada area dimana frekuensi runoff yang tidak tentu/rendah dan kemiringan lembah sungai yang cukup besar Baik diterapkan pada lembah sungai bagian atas dengan frekuensi runoff yang mencukupi dan kedalaman muka airtanah yang dalam Baik diterapkan pada sungai besar teranyam Baik diterapkan pada area endapan aluvial tipis yang menumpang diatas batuan dasar impermeabel Baik diterapkan pada endapan aluvial tebal dengan permebilitas rendah Baik diterapkan pada area dengan endapan aluvial yang permeabel Baik diterapkan untuk air limbah yang telah diolah dengan sangat baik
Metoda water harvesting merupakan metoda yang paling dikenal dengan pembuatan sumur atau lubang resapan (Gambar 6), dan baik diaplikasikan pada daerah dengan kepadatan penduduk yang rendah. Karena penerapan sumur atau lubang resapan sebaiknya diperuntukkan hanya untuk air hujan, dan bukan air limpasan permukaan daerah urban (urban runoff) apalagi air limbah. Beberapa air yang disebutkan terakhir memerlukan perlakukan fisik, Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
20
kimia atau biologis sebelum air tersebut diimbuhkan ke dalam lubang atau sumur resapan. Peningkatan imbuhan airtanah dengan air berkualitas buruk akan menyebabkan degradasi kualitas airtanah dan tujuan pelestarian airtanah tidak akan tercapai seperti yang diharapkan.
Formula penentuan dimensi sumur resapan yang sering digunakan di Indonesia, dibahas dibawah ini: 1. Formula Sumur Resapan menurut Sunjoto (1998)
H
Q FKT 1 FK R 2
dengan: H Q F K T R
: tinggi muka air dalam sumur (m) : debit air masuk (m 3/jam) : faktor geometrik (m) : koefisien permeabilitas tanah (m/j) : durasi dominan hujan : radius sumur
2. Formula Sumur Resapan menurut Litbang Pemukiman PU (1990) Formula ini dibangun berdasarkan keseimbangan statik.
H
AIT AS KT As PKT
dengan: H I A As P K T
: tinggi air dalam sumur (m) : intensitas hujan (m/j) : Luas bidang atap (m 2) : luas tampang sumur (m 2) : keliling sumur : koefisien permeabilitas tanah (m/j) : durasi pengaliran (jam)
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
21
Gambar 6. Contoh tipe-tipe sumur resapan (Dep. PU, 2006) Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
22
Formula penentuan dimensi sumur resapan yang sering digunakan di Indonesia, dibahas di bawah ini: 1. Formula Sumur Resapan menurut Sunjoto (1998)
H
Q FK
FKT 1 2 R
dengan: H Q F K T R
: tinggi muka air dalam sumur (m) : debit air masuk (m 3/jam) : faktor geometrik (m) : koefisien permeabilitas tanah (m/j) : durasi dominan hujan : radius sumur
2. Formula Sumur Resapan menurut Litbang Pemukiman PU (1990) Formula ini dibangun berdasarkan keseimbangan statik.
H
AIT AS KT As PKT
dengan: H I A As P K T
: tinggi air dalam sumur (m) : intensitas hujan (m/j) : Luas bidang atap (m 2) : luas tampang sumur (m2) : keliling sumur : koefisien permeabilitas tanah (m/j) : durasi pengaliran (jam)
3. Formula Sumur Resapan menurut HMTL-ITB (1990) Dengan berdasar keseimbangan statik, dibangun suatu fromula empiris untuk menghitung dimensi sumur resapan yang mendasarkan konsep V. Breen bahwa hujan terkonsentrasi adalah 90 % dan konsep Horton bahwa air yang meresap alami adalah 30 % sehingga yang harus diresapkan adalah 70 %.
H
A 0,7 0,9 R 24 j
4
4
d2
179 p
/ 6
d 2 1000
dengan: H A d p
: tinggi air dalam sumur (m) : luas bidang atap (m2) : diameter sumur (m) : faktor perkolasi (menit/cm)
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
23
R24j 0,7 0,9 1/6
: curah hujan terbesar dalam 24 jam (mm/jam) : air hujan yang diresapkan (70 %) : hujan terkonsentrasi ( 90 %) : faktor konversi dari 24 jam ke 4 jam
4. Faktor Geometrik Sumur Resapan a. Berbentuk bola, seluruh lapisan tanah porus (Samsioe, 1931; Dachler, 1936; Aravin, 1965) F = 4πR
b. Dasar setengah bola, lapisan tanah bawah porus, atas kedap air (Samsioe, 1931; Dachler, 1936; Aravin, 1965) F = 2 πR
c. Dasar rata, lapisan tanah bawah porus atas kedap air (Fornhheimer, 1930; Dachler, 1936; Aravin, 1965) F = 4R
d. Dasar setengah bola, seluruh lapisan tanah porus (Sunjoto, 1996) F = π2R
e. Dasar rata, seluruh lapisan tanah porus Hvorslev (1951): F = 5,5R Sunjoto (1989) : F = 2 πR
f. Dasar setengah bola, dinding bawah sumur porus, lapisan tanah bawah porus dan atas kedap air (Sunjoto, 1996)
2L 2 R ln 2 F 2 ln LR2 R RL 1 g. Dasar rata, dinding bawah sumur porus pada lapisan tanah bawah porus dan atas kedap air Menurut Dachler (1936):
F
2L ln L R
L R 2 1
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
24
Menurut Sunjoto (1996):
F
2 L R ln 2
RL 2 1
ln L R2 R
h. Dasar setengah bola, dinding bawah sumur porus dan seluruh lapisan tanah porus (Sunjoto, 1996)
F
i.
2L 2 R ln 2
2LR 2 1
ln L2R2 R
Dasar rata, dinding bawah sumur porus dan seluruh lapisan tanah porus Menurut Dachler (1936):
F
2L ln L 2 R
L 2 R 2 1
Menurut Sunjoto (1996):
F
j.
2 L R ln 2 ln L2R2 R
2LR 2 1
Dasar setengah bola seluruh dinding porus dan seluruh lapisan tanah porus (Sunjoto, 1996)
F
2H 2 R ln 2 ln 2 H5R2 R
25HR 2 1
k. Dasar rata, seluruh dinding sumur porus dan seluruh lapisan tanah porus (Sunjoto, 1996)
F
2 H R ln 2 ln 2 H5R2 R
25HR 2 1
F : Faktorgeometrik sumur resapan (m) R : Radius sumur H : Tinggi muka air dalam sumur (m)
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
25
Formula penentuan dimensi parit resapan air hujan yang sering digunakan di Indonesia, dibahas dibawah ini : 1. Formula Luas Bidang Resapan menurut HMTL – ITB (1990) Bidang resapan ini merupakan parit dengan kedalaman sekitar 1 m yang diisi pasir dan kerikil. Air dari atap dialirkan melalui pipa porus sepanjang parit dengan letak 70 cm dari dasar parit. Dengan demikian luas ( pandangan atas ) dihitung dengan formula yang didasarkan pada asas V. Breen yang banyak digunakan untuk limpasan permukaan telah diturunkan suatu persamaan sbb :
Abr
0,7 0,9 A R 24 j 6 p 128
dengan : Abr A R24j p
: luas bidang resapan ( m 2 ) : luas atap ( m2 ) : curah hujan rerata maksimum ( mm/hr ) : faktor perkolasi
2. Formula Panjang Parit menurut Sunjoto (1996) Secara
analitis
Sunjoto
menurunkan
formula
ini
dengan
asas
kesetimbangan dinamik sbb :
B
f KT f KH b ln 1 Q
dengan : B b f K H Q
: panjang parit ( m ) : lebar parit ( m ) : faktor geometrik parit ( m ) : koefisien permeabilitas tanah ( m / jam ) : tinggi air dalam parit ( m ) : debit masuk ( m3 / detik )
3. Formula Faktor Geometrik Parit menurut Sunjoto (1996) Menurut Sunjoto harga dari faktor geometrik parit ( f ) diturunkan dari faktor geometrik sumur ( F ) dengan dasar bahwa keliling sumur sama dengan keliling parit yang berbentuk bujur sangkar yang besarnya merupakan kelipatan dari ( b + B ), yaitu jumlah panjang dan lebar parit yang tiap Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
26
keadaan harganya tergantung dari keadaan sumur serta peletakkannya dengan lapisan tanah. Kemudian besaran ini dikoreksi oleh faktor luas yaitu walau keliling sama besar namun bila bentuk bukan lagi bujur sangkar maka harganya akan mengecil dengan harga koreksi sebesar ( 2 √ b B ) / ( b + B ) yang berasal dari akar panjang kali lebar parit dibagi akar dari setengah jumlah panjang dengan lebar kuadrat.
a. Tampang lingkaran, seluruh lapisan tanah porus.
f
8
bB
b. Dasar setengah lingkaran, lapisan tanah bawah porus atas kedap air.
f
4
bB
c. Dasar rata, lapisan tanah bawah porus atas kedap air.
f
8/
bB
d. Dasar setengah lingkaran, seluruh lapisan tanah porus.
f
2
bB
e. Dasar rata, seluruh lapisan tanah porus.
f
4
bB
f. Dasar setengah lingkaran, dinding bawah parit porus pada lapisan tanah bawah porus dan atas kedap air.
f
4 L 2 L2 bB ln bB
b B ln 2
2 1 b B L
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
27
g. Dasar rata, dinding bawah parit porus pada lapisan tanah bawah porus dan atas kedap air.
f
4 L
b B ln 2
L2 bB ln b B
2 1 b B
L
h. Dasar setengah lingkaran, dinding bawah parit porus dan seluruh lapisan tanah porus.
f
i.
b B ln 2
4 L 2 L2 bB ln 2 bB
2
2 1 b B L
Dasar rata, dinding bawah parit porus dan seluruh lapisan tanah porus.
f
j.
4 L
b B ln 2
L2 bB ln 2 bB
2
2 1 b B L
Dasar setengah lingkaran, seluruh dinding parit porus dan seluruh lapisan tanah porus.
f
b B ln 2
4 H 2
2 H 2 bB ln 5 bB
2 H 2 1 5 b B
k. Dasar rata, seluruh dinding parit porus dan seluruh lapisan tanah porus.
f
4 H
b B ln 2
2 H 2 bB ln 5 bB
2 H 2 1 5 b B
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
28
Metoda in-channel atau off-channel structure, dilakukan dengan membuat dam, danau, waduk atau kolam resapan buatan. Secara alami, hanya sebagian kecil air permukaan akan mencapai airtanah, sehingga usaha konservasi dengan membuat in-channel atau off-channel structure adalah upaya yang logis untuk meningkatkan pengisian airtanah dari air permukaan (Gambar 7).
Gambar 7. Waduk resapan pada suatu aliran sungai. Pada metoda in-channel structure, metoda pengisian airtanah dengan cara memanfaatkan aliran sungai yang ada, dimana pada saluran sungai tersebut dibangun beberapa "check dam" berukuran relatif kecil secara melebar atau melintang memotong aliran. Dengan adanya beberapa "check dam" yang memotong aliran tersebut, dimaksudkan untuk memperlambat jalannya aliran sungai dan memperpanjang waktu kontak antara air dan dasar sungai, sehingga akan memperbesar jumlah peresapan air sungai ke dalam lapisan tanah/batuan di bawahnya.
Metoda in-channel structure baik dipergunakan pada sungai losing stream, yaitu sungai yang mempunyai muka air yang lebih tinggi dari pada muka airtanah di daerah tersebut. Dengan demikian sungai tersebut akan mampu meresapkan dan menambah air ke dalam akuifer di sekitamya. Keuntungan metoda ini adalah mempunyai daerah kontak antara air dan pemukaan tanah yang relatif luas, waktu kontak cukup lama, dengan demikian jumlah peresapan air ke dalam tanah/batuan sangat besar. Disamping itu kualitas airtanah yang didapatkan cukup baik dan pada metoda ini tidak memerlukan perawatan serta konstruksi khusus. Sedangkan kelemahan metoda ini antara lain apabila terjadi banjir, pada dasar sungai akan terendapkan materialmaterial halus maupun kasar yang mengakibatkan tertutupnya pori-pori tanah/batuan,
sehingga
memperkecil
jumlah
peresapan.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
Dalam
29
perencanaannya metoda ini memerlukan penelitian yang cukup detail dari daerah sepanjang aliran sungai dan sekitamya, serta daerah hulu sungai, meliputi daerah pengisian (recharge area) ataupun daerah penangkapan titiktitik air hujan (catchment area).
Salah satu bagian dari metoda imbuhan off-channel structure disebut juga sebagai metoda imbuhan airtanah cekungan. Pada metode ini air yang akan dipergunakan dalam pengisian dialirkan ke dalam suatu cekungan yang dibuat dengan cara penggalian ataupun dengan cara pembuatan tanggul dan dam kecil. Dimensi cekungan bervariasi dari beberapa meter hingga beberapa ratus meter. Umumnya air yang dipergunakan berasal dari pemompaan sumber air permukaan yang berada di dekat cekungan, dimana air tersebut diharapkan bebas lumpur dan pengotoran-pengotoran lain. Hal ini untuk menghindari tertutupnya dasar cekungan selama pengisian, yang dapat mengakibatkan terhalangnya peresapan air ke dalam tanah/batuan.
Metode ini banyak
dipergunakan dalam pengisian airtanah, karena memerlukan perawatan yang relatif mudah, dapat meresapkan air dalam jumlah yang besar dan merupakan cara yang paling mungkin diterapkan di berbagai daerah. Kecepatan pengisian airtanah dengan mempergunakan metoda ini pada setiap daerah tidak selalu sama, hal ini tergantung pada kondisi tanah/batuan dan beberapa faktor lain yang berpengaruh.
Cekungan-cekungan imbuhan airtanah ini umumnya dibuat sejajar dengan aliran sungai, dimana air sungai tersebut dialirkan ke dalam cekungan (melalui pipa-pipa saluran atau teknik lainnya). Cekungan yang pertama diisi air sungai hingga penuh, kelebihan aimya akan disalurkan pada cekungan yang kedua. Selanjutnya apabila cekungan kedua sudah penuh, maka kelebihan aimya akan mengalir ke dalam cekungan ketiga, demikian seterusnya hingga pada cekungan yang terakhir. Kelebihan air pada cekungan yang terakhir akan disalurkan kembali pada saluran induk atau aliran sungai. Mekanisme pengisian tersebut berjalan menerus secara berulang, sehingga akan memperbesar jumlah peresapan air dalam cekungan ke dalam tanah batuan dan menambah jumlah volume airtanah. Variasi dari metoda cekungan disebut sebagai metode parit (Furrow method), yaitu pengisian airtanah ini adalah dengan cara mendistribusikan air Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
30
permukaan pada suatu alur atau parit kecil yang relatif sejajar, dangkal, dan mempunyai dasar yang rata serta pada suatu daerah tertutup. Hal tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan kontak semaksimal mungkin antara air dan permukaan tanah, sehingga peresapan yang terjadi akan mencapai titik optimum.
Perencanaan parit-parit tersebut dibuat sedemikian rupa disesuaikan dengan konfigurasi topografi daerah setempat. Saluran-saluran pengisi dan parit-parit haruslah mempunyai gradien yang cukup besar, sehingga aliran aimya akan mampu mengangkut material-material halus yang terlarut. Pengendapan material berukuran halus tersebut akan mengakibatkan tertutupnya pori-pori dasar saluran, sehingga akan memperkecil jumlah peresapan air ke dalam tanah/batuan. Pada suatu daerah yang bertopografi tidak beraturan, relatif terjal dan
bergradien
sangat
besar, metoda
parit
ini tidak
banyak
dipergunakan, sebab pada daerah tersebut mempunyai kontak air dan permukaan tanah yang minimum, sehingga jumlah peresapannya juga sangat kecil. Metoda ini dibandingkan dengan metoda cekungan, mempunyai kecepatan peresapan yang lebih kecil dan memerlukan konstruksi serta pemeliharaan yang lebih teliti.
Flooding method adalah salah satu metoda imbuhan land spreading. Pada daerah yang bertopografi relatif datar dan luas, air permukaan yang disebarkan untuk tujuan pengisian airtanah secara buatan ada kemungkinan akan menyimpang dan keluar dari daerah pengisian yang telah direncanakan. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, di sekeliling daerah pengisian/daerah perendaman dibuat parit-parit yang dipergunakan untuk menampung air dan sebagai pengontrol jumlah air yang ada. Air yang masuk ke dalam parit akan disalurkan kembali pada saluran induk dan selanjutnya disebarkan kembali pada daerah perendaman. Dengan demikian akan didapatkan suatu penyebaran air yang merata, kontak air dan permukaan tanah cukup lama, kecepatan aliran minimum, sehingga jumlah peresapan mencapai titik optimum. Kelemahan metoda ini antara lain adalah sering didapatkannya endapan-endapan lumpur pada daerah perendaman, hal ini disebabkan oleh kecepatan aliran air yang relatif lambat. Metoda ini dibandingkan dengan metoda yang lain sangat jarang dipergunakan dalam pengisian airtanah secara buatan. Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
31
Pada daerah irigasi sering kali air disebarkan di atas permukaan tanah mempunyai tujuan untuk memperbesar jumlah cadangan airtanah, disamping untuk keperluan irigasi daerah pertanian atau persawahan di sekitarnya, yaitu dengan cara menyalurkan air secara sistematis pada tanah yang diolah melalui beberapa saluran. Dengan adanya saluran-saluran irigasi tersebut akan mengakibatkan terjadinya penambahan peresapan air di sepanjang saluran, sehingga akan menambah pula besar cadangan airtanah di sekitar daerah irigasi.
Metoda
pengisian
airtanah
dengan sistem
irigasi
ini banyak
dipergunakan pada daerah pertanian ataupun daerah persawahan yang luas. Keuntungan metoda pengisian ini antara lain mempunyai daerah pengisian yang sangat luas, tidak memerlukan perawatan yang teliti dan sangat baik diterapkan di daerah persawahan dan pertanian yang luas. Pada daerah yang tersusun oleh lapisan batuan bersifat kedap air ("impermeable"), pengisian airtanah dengan cara penyebaran air di atas permukaan tanah, seperti yang telah dijelaskan di atas tidak akan efektif, dan jumlah peresapan air ke dalam tanah/batuan relatif sedikit. Apabila lapisan yang bersifat kedap air tersebut relatif dangkal dan tidak terlalu tebal, maka pengisian airtanah dapat dilakukan dengan cara menggali atau mengupas lapisan kedap air terlebih dahulu. Oleh Todd (1980) cara pengisian airtanah tersebut dinamakan metoda pengisian airtanah melalui lubang galian. Pada saat-saat tertentu secara periodik dasar lubang pengisian harus dibersihkan dari endapan lumpur dan material halus yang lain, untuk mencegah tertutupnya pori-pori tanah/batuan. Metoda ini mempunyai konstruksi yang relatif rumit, memerlukan perawatan dan pengawasan yang lebih teliti serta mempunyai kecepatan dan volume pengisian yang kecil dibandingkan dengan metoda penyebaran air di atas permukaan, maka metoda ini jarang dipergunakan dalam pengisian airtanah secara buatan.
Metoda Injection Well dalam kerangka peningkatan imbuhan airtanah dilakukan dengan membuat sumur injeksi air ke dalam akuifer. Seperti halnya lubang atau sumur resapan, dalam kerangka pelestarian airtanah, air yang diinjeksi kedalam akuifer harus berkualitas baik. Beberapa air yang berkualitas buruk seperti air limbah memerlukan perlakukan fisik, kimia atau biologis sebelum air tersebut diinjeksikan ke dalam sumur injeksi. Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
32
Pengisian airtanah melalui sumur injeksi dapat diartikan, memasukkan air permukaan ke dalam formasi bawah permukaan dengan melalui sumur-sumur pengisi (Jesus, 1980). Todd (1980) menyebutkan sumur injeksi adalah sumur yang dipakai untuk memasukkan air dari permukaan ke dalam formasi bawah permukaan, dimana sumur ini mempunyai konstruksi yang sama dengan sumur pemompaan/sumur produksi. Sumur injeksi ini sering juga disebut sebagai "recharge well", "inverted well", "diffusion well" ataupun "disposal well". Sumur injeksi mempunyai arah aliran yang berlawanan dengan sumur produksi, sehingga bentuk kerucut muka airtanahnya juga mempunyai bentuk yang beriawanan. Dimana pada sumur produksi kerucut muka airtanah bersifat cembung ke arah atas ("cone of depression"), sedangkan pada sumur injeksi kerucut muka airtanah bersifat cekung ke arah atas ("cone of recharge'').
Perhitungan debit pada sumur injeksi dapat diturunkan dari asumsi Dupuit yang menerangkan perhitungan debit pada sumur produksi (Jesus, 1980), yaitu :
pada akuifer tertekan :
Qr
2Kb(hw ho) ln( ro / rw)
Dimana: Qr K b hw ho ro rw
debit injeksi rata-rata sumur (m3/hari) permeabilitas akuifer (m/hari) ketebalan akuifer (m) ketinggian air sumur dari atas akuifer (m) ketinggian bidang piezometrik semula sebelum injeksi (m) jari-jari pengaruh maksimum kenaikan bid. pisometrik dari sumur(m) jari-jari sumur (m)
pada akuifer bebas :
Qr
Kb(hw2 ho 2 ) ln( ro / rw)
Dimana: Qr K hw ho ro rw
debit injeksi rata-rata sumur (m3/hari) permeabilitas akuifer (m/hari) ketinggian muka air dari dasar sumur (m) ketinggian muka air sebelum injeksi (m) jari-jari pengaruh (m) jari-jari sumur (m)
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
33
Adapun daya pompa untuk menginjeksi air melalui sumur injeksi dapat dihitung dengan (Sunjoto,1998) :
P
Q2 FK
dengan : P
: daya pompa ( kg m / detik )
Q
: debit air masuk ( m3 / detik )
F
: faktor geometrik sumur ( m )
K
: koefisien permeabilitas sumur ( m / detik )
: berat jenis air ( kg / m 3 )
: rendemen pompa ( 0,6 – 0,75 )
Pada waktu pengisian sering kali lumpur yang ada pada air permukaan ikut masuk ke dalam sumur injeksi dan menutup pori-pori di sekitamya, sehingga mengakibatkan penyumbatan dan-memperkecil jumlah peresapan air ke dalam akuifer. Disamping itu gas/udara, bakteri dan mikroorganisme yang terbawa ke dalam sumur injeksi dalam jumlah yang besar juga mempengaruhi kelulusan dan penyumbatan pada akuifer. Faktor-faktor tersebut merupakan beberapa penyebab terjadinya penurunan kecepatan pengisian airtanah melalui sumur injeksi.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
34
Gambar 8. Aliran radial dan bentuk cone of recharge pada sumur injeksi (a) akuifer tertekan, (b) akuifer bebas.(Todd, 1980) Metoda pengisian airtanah dengan sumur injeksi ini sangat baik dipergunakan untuk : (1) daerah yang relatif sempit, tidak memerlukan daerah yang luas misalnya daerah perkotaan, (2) pada akuifer tertekan yang relatif dalam (3) apabila air yang dipergunakan untuk pengisian mempunyai kualitas cukup baik. Disamping itu, metoda pengisian airtanah melalui sumur injeksi ini merupakan salah satu cara yang paling praktis dan banyak dipergunakan di kota-kota besar, untuk pengisian airtanah secara buatan.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
35
BAB V PENGAWETAN DAN PENGHEMATAN AIRTANAH
Pengawetan airtanah merupakan upaya memelihara kondisi dan lingkungan airtanah agar selalu tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai. Selain itu, pengawetan airtanah dilakukan untuk menjaga kesinambungan ketersediaan airtanah guna memenuhi kebutuhan hidup secara berkelanjutan.
Pengawetan airtanah dilaksanakan dengan cara : a. Penetapan Basin Yield dan Aquifer Yield; b. Penghematan pemanfaatan airtanah; c. Memelihara kualitas airtanah; d. Penggunaan air yang saling menunjang antara airtanah dengan air selain airtanah (Conjunctive Use). Basin Yield adalah debit pengambilan maksimum pada suatu sistem airtanah yang tidak menyebabkan penurunan muka airtanah atau bidang piezometrik, yang dapat memicu akibat yang buruk pada komponen hidrologi lain di sistem airtanah tersebut, dalam arti lain debit pengambilan airtanah pada suatu sistem unit hidrogeologi (cekungan airtanah) yang tidak menimbulkan efek negatif terhadap siklus hidrologi/kesetimbangan air pada sistem tersebut. Basin Yield sebaiknya ditentukan berdasarkan konsep Sustainable Yield (debit maksimum pengambilan airtanah yang berkelanjutan, lihat Gambar 10), yang harus dijadikan acuan oleh Pemerintah Daerah yang berwenang dalam pemberian ijin dalam rangka pengambilan airtanah yang berkesinambungan.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
36
Gambar 9. Skema kondisi alamiah suatu sistem airtanah, pemompaan yang berkelanjutan dan pemompaan yang tidak berkelanjutan (GWMate, 2005). Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam perhitungan Sustainable Yield adalah kesetimbangan air tahunan yang meliputi bukan saja kesetimbangan sistem airtanah tetapi juga air permukaan (Water balance), dinamika kebutuhan pemanfaatan air (Water needs) serta fungsi dan keterbatasan pada sistem akuifer. Hingga saat ini, metodologi untuk penentuan Sustainable Yield masih belum baku.
Pendekatan
ilmiah
yang
umum
digunakan
untuk
menentukan
Sustainable Yield adalah berdasarkan hasil pemodelan airtanah. Di dalam pemodelan
airtanah,
parameter-parameter
hidrologi,
hidrogeologi,
pengambilan dan atau pemanfaatan airtanah dapat disimulasi sehingga debit pengambilan airtanah yang berkelanjutan pada wilayah cekungan airtanah dapat ditentukan. Konsep Safe Yield sebaiknya tidak digunakan dalam mengendalikan pengambilan dan atau pemanfaatan airtanah. Safe yield ditentukan hanya berdasarkan volume imbuhan airtanah tahunan. Konsep ini mengasumsikan sistem airtanah yang tertutup dan tidak memperhitungkan lepasan airtanah dari akuifer yang umumnya mensuplai mata air, sungai, rawa-rawa dan danau. Pengambilan
airtanah
berdasarkan
Safe
Yield
akan
mempengaruhi
keberlangsungan ekosistem yang tergantung pada sistem aliran airtanah. Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
37
Untuk menjaga fungsi airtanah sebagai suplai ekosistem, umumnya safe yield ditetapkan sebagai prosentase dari imbuhan airtanah tahunan.
Gambar 10. Konsep sederhana untuk membedakan konsep safe yield dan sustainable yield pada pengambilan airtanah di suatu cekungan airtanah. Konsep Optimum Yield (Qopt) sebaiknya juga tidak diterapkan. Konsep ini menentukan debit optimal pengambilan dengan berdasarkan skenario penambangan airtanah (mining groundwater). Debit optimum (Qopt) dihitung berdasarkan hasil perkalian antara kapasitas jenis (Q s) dan surutan optimum (Sopt) atau dapat ditulis Q opt = Qs x Sopt. Sementara itu, Sopt umumnya dihitung dari pengurangan
kedudukan
muka
airtanah
kritis
(MAT_cr)
dengan
kedudukan muka
airtanah awal (MAT_initial). Skenario penambangan
dimunculkan dengan kriteria penurunan muka airtanah (semisal 40% dari muka airtanah awal, dan sebagainya). Dengan berjalannya waktu yang disertai dengan dinamika kesetimbangan air, perlu disadari bahwa penerapan Optimum Yield tidak akan menghasilkan pemanfaatan airtanah yang berkelanjutan. Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
38
Gambar 11. Skema konsep Optimum Yield Aquifer Yield adalah maksimum debit pengambilan airtanah yang dapat diberikan oleh akuifer tanpa penurunan muka airtanah atau bidang piezometrik yang berarti. Metoda penentuan Aquifer Yield yang paling baik dilakukan dengan bantuan model airtanah (groundwater modeling). Prinsipnya adalah, membuat
rekaan
(simulasi)
kondisi
hidrogeologi
kemudian
ditetapkan
beberapa skenario pengambilan airtanah pada suatu lapisan akuifer tertentu. Dari skenario tersebut dapat diketahui jumlah pengambilan airtanah maksimum dari suatu lapisan akuifer tertentu dalam area per km 2 yang menimbulkan efek penurunan muka airtanah atau bidang piezometrik tak berarti atau aman.
Dalam kerangka pengawetan airtanah, penetapan Basin Yield dan Aquifer Yield menjadi kewajiban Pemerintah Daerah setempat. Basin Yield dan Aquifer Yield yang telah ditetapkan harus digunakan sebagai acuan umum pemberian rekomendasi debit sumur pengambilan airtanah (Well Yield) yang diatur lebih lanjut di dalam pedoman pengendalian airtanah.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
39
Gambar 12. Skema konsep penentuan Aquifer Yield
Penghematan pemanfaatan airtanah ditujukan untuk efisiensi dan efektivitas pemanfaatan airtanah. Upaya penghematan pemanfaatan airtanah dilakukan dengan cara : a. pemanfaatan teknologi; b. pemanfaatan air berkualitas jelek; c. pengambilan sesuai kebutuhan; d. pemberlakukan instrument ekonomi untuk penghematan air; e. sosialisasian gerakan hemat air; f.
pemanfaatan airtanah untuk air minum dan rumah tangga menjadi prioritas utama;
g. pemanfaatan airtanah sebagai alternatif terakhir. Pemanfaatan teknologi; pemanfaatan teknologi dapat dibedakan menjadi dua cara, yaitu penerapan teknologi hemat air (real-water savings) dan penerapan teknologi daur ulang (recycle use). Pengunaan teknologi hemat air telah banyak dijumpai di berbagai bidang. Pada sektor rumah tangga, teknologi hemat air telah banyak dijumpai pada peralatan rumah tangga, sanitasi dan sebagainya. Pada sektor pertanian, teknologi hemat air berkaitan dengan cara distribusi air misalnya dengan Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
40
sistem pengairan perpipaan yang mengantikan sistem pengairan tradisional (Gambar 13). Bahkan, pada sektor pertanian, penerapan teknologi hemat air secara tidak langsung merupakan juga upaya pemeliharaan kualitas airtanah dengan menurunkan volume infiltrasi dan perkolasi zar-zat agrokimia dari lahan pertanian. Di bidang industri, teknologi hemat air seharusnya menjadi persyaratan AMDAL dan atau UKL/UPL yang harus dipenuhi. Penerapan teknologi daur ulang, tidak saja dimaksudkan dengan penerapan teknologi pengolahan limbah air (waste water treatment) dan pemanfaatan kembali air hasil pengolahan limbah dalam proses (umum dalam proses industri), tetapi juga penggunaan air limbah atau air olahan limbah secara langsung untuk pemanfaatan yang lain semisal untuk pengairan areal pertanian. Pada beberapa contoh, air berkualitas jelek bisa digunakan pada bidang pertanian untuk menghemat air yang berkualitas baik bagi kegunaan lainnya. Salah satu praktek yang dapat dilakukan adalah mencampur air kualitas jelek dan air kualitas baik untuk meningkatkan persediaan air, dengan tetap mempertahankan kualitas air yang dapat diterima.
Gambar 13. Contoh penerapan teknologi hemat air pada sektor pertanian (GW-Mate, 2005). Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
41
Pengambilan airtanah sesuai dengan kebutuhan, dapat dilakukan dengan cara: (1) Penerapan wajib adanya dokumen jumlah dan proyeksi kebutuhan air bagi setiap kegiatan yang akan memanfaatkan airtanah sebagai sumber air (2) Penerapan meterisasi pengambilan air bagi setiap kegiatan pengambilan airtanah dan volume air limbah (3) Pemantauan jumlah pengambilan airtanah, volume air limbah dan jumlah pengambilan airtanah.
Penerapan
instrument
ekonomi;
penerapan
instrumen
ekonomi
untuk
penghematan air dapat dilakukan dengan penerapan harga/pajak dan insentif. Dalam bidang airtanah, terdapat dua cara yang relevan : (1) Penerapan biaya/harga pengambilan airtanah dengan cara; (a) direct pricing (biaya langsung) pengambilan airtanah (Kepmen ESDM tahun 2001 tentang Nilai Perolehan Airtanah), (b) indirect pricing (biaya tak langsung) yang diterapkan dengan biaya/pajak pembuangan limbah air atau dengan menaikkan biaya listrik/energi. (2) Penerapan insentif misalnya dengan cara pemberian subsidi bagi pihak atau kegiatan yang menggunakan teknologi hemat air.
Sosialisasi gerakan hemat air dapat dilakukan dengan cara sosialisasi melalui media komunikasi (Televisi, Radio, Koran, Majalah), sosialisasi langsung ke masyarakat pengguna airtanah. Pemanfaatan airtanah untuk air minum dan rumah tangga sebagai prioritas utama sebaiknya menjadi syarat utama dalam pemberian ijin pengambilan airtanah. Namun perlu diperhatikan bahwa syarat ini dapat diberlakukan jika terdapat sumber air lain sebagai pengganti yang potensial. Pemanfaatan airtanah sebagai alternatif terakhir dapat dilakukan semisal terdapat sumber air permukaan potensial yang dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan akan air. Dalam kerangka pengawetan airtanah, pemeliharaan kualitas airtanah dapat dillakukan dengan cara: (1) penerapan teknologi pengolahan air limbah; penerapan teknologi ini sebaiknya diberlakukan untuk semua limbah yang dihasilkan oleh aktivitas manusia baik limbah rumah tangga, komersial, industri Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
42
sebelum limbah dibuang ke lingkungan; dan (2) untuk mendukung penerapan teknologi ini, pemberian subsidi dapat diterapkan bagi kegiatan yang menggunakan teknologi pengolahan air limbah.
Pemanfaatan airtanah dan air permukaan secara tandem atau disebut sebagai conjuctive use dalam kerangka pengawetan airtanah dapat dikembangkan dengan cara: (1) penggunaan sumber air permukaan untuk pengairan tradisional (inefficient irrigation) untuk meningkatkan imbuhan airtanah khususnya di musim penghujan, (2) penggunaan airtanah untuk pengairan pertanian pada musim kering untuk menggantikan suplai dari air permukaan yang tidak mencukupi saja, dan (3) Pengembangan penggunaan sumber air permukaan sebagai sumber air baku untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, komersial dan industri. Pemerintah baik pusat maupun daerah dalam rangka menjaga keberlanjutan pemanfaatan airtanah wajib mengupayakan pengawetan airtanah agar senantiasa dapat selalu tersedia dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Selain pemerintah, upaya pengawetan airtanah terutama harus melibatkan industri pengguna airtanah yang umumnya merupakan penyadap terbesar airtanah.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
43
BAB VI PENENTUAN ZONA KONSERVASI AIRTANAH Pada bab-bab sebelumnya telah dibahas upaya-upaya konservasi airtanah yang meliputi kegiatan perlindungan, pelestarian, pengawetan termasuk didalamnya penghematan airtanah. Berdasarkan upaya-upaya tersebut di atas, maka menjadi logis jika zona konservasi airtanah dibedakan berdasarkan upaya-upaya konservasi tersebut. Untuk dapat memetakan upaya-upaya konservasi tersebut, terdapat dua faktor utama yang harus dipertimbangkan; (1) potensi kuantitas dan kualitas sumberdaya airtanah dan (2) alokasi pemanfaatan sumberdaya airtanah. Potensi airtanah suatu cekungan airtanah atau daerah ditentukan oleh faktor alami, yang merupakan sesuatu yang diterima apa adanya sesuai kemampuan alam itu sendiri. Sedangkan pengambilan/pemanfaatan airtanah suatu daerah ditentukan oleh faktor non-alami yang tergantung pada kebutuhan/aktivitas manusia, yang umumnya meningkat dengan berjalannya waktu oleh karena peningkatan kepadatan penduduk dan urbanisasi yang meningkat secara tajam.
VI.1. Parameter Penentuan Zona Konservasi Airtanah Untuk mengetahui potensi dan pemanfaatan sumberdaya airtanah suatu daerah, langkah yang harus dilakukan adalah inventarisasi seluruh aspek airtanah yang ada dengan melakukan pemetaan, penyelidikan, penelitian, eksplorasi dan evaluasi data airtanah. Informasi penting yang perlu diketahui adalah: a. Batas cekungan airtanah b. Dimensi, geometri dan parameter akuifer c. Daerah imbuh dan daerah lepasan airtanah; daerah sempadan mataair d. Jumlah ketersediaan airtanah; e. Mutu airtanah f.
Jumlah dan lokasi pengambilan airtanah, termasuk didalamnya pemanfaatan mataair sebagai sumber air baku.
g. Penggunaan lahan Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
44
A. Batas Cekungan Airtanah Cekungan airtanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-atas hidrogeologi dimana semua kejadian hidrogeologi seperti proses pengimbuhan pengaliran, pelepasan airtanah berlangsung. Pengkajian geometri cekungan airtanah dimaksudkan untuk mengetahui geometri dan dimensi cekungan, yang merupakan ruang (space), yakni suatu tempat di mana di dalamnya seluruh peristiwa hidrogeologi terjadi. Artinya batas-batas cekungan airtanah ditentukan berdasarkan pertimbangan hidraulika airtanah yang membentuk ruang tersebut.
Pengkajian geometri cekungan airtanah meliputi (lihat Pedoman Penentuan Batas Cekungan Airtanah):
Penentuan batas lateral cekungan airtanah berikut tipenya;
Penentuan batas vertikal cekungan airtanah yang meliputi batas bagian atas dan bagian bawah.
Mengingat teknis pengelolaan airtanah didasarkan pada satuan wilayah cekungan airtanah, maka penentuan batas cekungan ini menjadi penting karena terkait dengan batas kewenangan pengelolaan oleh daerah. Dengan tidak berimpitnya batas cekungan airtanah dengan batas administrasi, maka konservasinya akan terdapat areal cakupan cekungan airtanah :
Cekungan tunggal dalam Kabupaten
Cekungan lintas Kabupaten
Cekungan lintas Propinsi
B. Dimensi dan Geometri Akuifer Informasi yang diperoleh dapat dibedakan antara konfigurasi sistem akuifer dan parameter akuifer. Pengkajian konfigurasi slstem akuifer dimaksudkan untuk mengetahui sebaran baik lateral maupun vertikal serta dimensi sistem akuifer dan nonakuifer yang merupakan suatu wadah atau media di mana airtanah tersimpan dan mengalir. Pengkajian ini meliputi : a. Penentuan sebaran lateral akuifer dan non-akuifer Sebaran lateral akuifer dan non-akuifer dalam suatu cekungan airtanah ditentukan berdasarkan kemampuan meluluskan air dari satuan batuan / formasi
batuan
yang
membentuk
cekungan
tersebut.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
Artinya,
45
mengkonversikan satuan batuan atau formasi batuan menjadi satuansatuan hidrogeologi berdasarkan kemampuan meluluskan air, apakah termasuk akuifer atau non-akuifer (akuiklud, akuitar, akuifug). Penentuan kemampuan meluluskan air dari suatu satuan batuan atau formasi batuan dilakukan-dengan
metode
deduktif,
yakni
penge!ompokan
satuan
hidrogeologi yang didasarkan kemampuan meluluskan air dari litologi penyusun satuan batuan / formasi batuan yang dominan. Pengelompokan satuan hidrogeologi secara lateral di atas disajikan dalam suatu bentuk peta tematik, misal Peta Satuan Hidrogeologi (Map of Hydrogeological Units). b. Penentuan sebaran vertikal sistem akuifer dan non-akuifer Sebaran vertikal dari unit hidrogeologi ditentukan dengan pendekatan sistem, artinya beberapa akuifer atau non-akuifer yang mempunyai karakteristik hidraulika yang relatif sama, misal kedudukan muka airtanahnya, dikelompokkan menjadi satu sistem (akuifer atau non-akuifer). Data yang digunakan meliputi data hidrogeologi bawah permukaan yang diperoleh dari hasil analisis geofisika dan hasil kegiatan pengeboran sumur eksplorasi, sumur eksploitasi, serta sumur pantau. Penentuan sebaran vertikal dilakukan dengan cara :
Membuat penampang hidrogeologi;
Menentukan kedalaman bagian atas sistem akuifer;
Menentukan kedalaman bagian bawah sistem akuifer.
c. Penentuan model konseptual sistem akuifer Hasil pengkajian pada butir a) dan b) di atas, dipakai dasar untuk menentukan model konseptual sistem akuifer dari cekungan airtanah yang dikaji,
dengan
tujuan
antara
lain
untuk
memudahkan
di
dalam
penghitungan neraca air pada cekungan airtanah tersebut. C. Parameter Akuifer Pengkajian parameter akuifer dan non-akuifer dimaksudkan untuk menentukan koefisien kelulusan (k), koefisien keterusan (T), dan koefisien simpanan (S). Parameter akuifer ini sangat penting artinya untuk melakukan penghitunganpenghitungan yang berkaitan dengan hidrodinamika airtanah.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
46
1. Koefisien kelulusan (k)
Koefisien kelulusan ( K ) dari suatu akuifer atau non-akuifer ditentukan berdasarkan hasil uji lapangan, uji laboratorium, atau penentuan dengan metode deduktif;
Penentuan koefisien kelulusan (k) dengan uji lapangan dilakukan melalui uji pemompaan, uji peker (packer test), atau uji perkolasi;
Penentuan koefisien kelulusan (k) dengan metode deduktif dilakukan pada suatu titik lokasi yang diketahui urut-urutan batuannya secara vertikal atau suatu kelompok akuifer dan kelompok non-akuifer, namun tidak tersedia data hasil pengujian atau pengujian hanya dilakukan pada lapisan batuan tertentu. Penentuan cara ini dilakukan dengan memperhatikan macam, sifat-sifat fisik, dan penyusun utama batuan serta membandingkannya dengan koefisien kelulusan yang terdapat dalam berbagai sumber.
2. Koefisien keterusan (T)
Koefisien keterusan (T) dari suatu akuifer atau non-akuifer ditentukan dengan uji pemompaan atau gabungan antara metode deduktif dan analitis;
Penentuan koefisien keterusan (T) dengan uji lapangan dilakukan melalui uji pemompaan;
Penentuan koefisien keterusan (T) dengan metode gabungan antara deduktif dan analitis dilakukan dengan mengalikan koefisien kelulusan (k) hasil deduksi dan ketebalan akuifer (D).
3. Koefisien simpanan (S) Koefisien simpanan (S) dari suatu akuifer atau non-akuifer ditentukan melalui uji pemompaan.
D. Daerah Imbuh dan Daerah Lepasan Airtanah Penentuan daerah imbuh dan daerah lepasan sangat penting artinya dalam rangka perencanaan pengelolaan sumber daya airtanah di suatu cekungan. Di daerah imbuh utama, proses pembentukan airtanah berlangsung kemudian airtanah mengalir menuju daerah lepasannya. Oleh karena itu, upaya pengelolaan di daerah imbuh merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya pengelolaan airtanah dalam suatu cekungan. Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
47
Penentuan daerah imbuh dan daerah lepasan bukanlah hal yang mudah mengingat ketersediaan data di suatu cekungan berbeda-beda terutama ketersediaan data muka preatik dan muka pisometrik yang dipakai dasar untuk penentuan batas kedua daerah tersebut; (1) di suatu cekungan airtanah di mana data muka preatik dan muka pisometrik tersedia memadai, penentuan batas antara daerah imbuh dan daerah lepasan diperoleh dengan cara menumpang-tindihkan (overlay) antara peta muka preatik dan peta muka pisometrik. Garis perpotongan antara muka preatik dan muka pisometrik adalah garis engsel (hinge line), yang merupakan batas antara daerah imbuh dan daerah lepasan; dan (2) di suatu cekungan airtanah di mana data muka preatik dan muka pisometrik tidak tersedia secara memadai, penentuan batas antara daerah imbuh dan daerah lepasan dilakukan dengan cara pendekatan yang mengacu kepada konsepsi-konsepsi hidrogeologi yang berlaku;
E. Jumlah Ketersediaan Airtanah Pengkajian jumlah airtanah dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antara perubahan airtanah yang masuk maupun ke luar dari suatu wadah di dalam cekungan (intra-basin) maupun antar cekungan (inter-basin) dalam batasan waktu tertentu (neraca air). Pengkajian jumlah airtanah melalui penghitungan parameter-parameter jumlah sebagai berikut : a. Imbuhan Airtanah Penghitungan imbuhan airtanah untuk mengetahui perkiraan secara kuantitatif tentang jumlah imbuhan ke dalam suatu akuifer di suatu cekungan. Perkiraan secara kuantitatif ini sering menemui kesulitan sehubungan dengan faktor-faktor yang terkait seperti hidrometeorologi dan sifat fisik tanah serta karakteristik hidraulikanya. Penilaian jumlah imbuhan airtanah dapat dilakukan dengan berbagai metode, antara lain perhitungan berdasarkan
neraca
air (water balance),
persentase curah
hujan
(precipitation percentage), neraca khlorida (chloride balance), dan hidrograf sumur (well hydrograph); b. Aliran Airtanah Penghitungan debit aliran airtanah meliputi aliran yang masuk ke dalam suatu cekungan airtanah atau yang ke luar dari cekungan tersebut. Penghitungan debit aliran airtanah dilakukan dengan jejaring aliran (flow net) dan menerapkan persamaan Darcy; Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
48
c. Basin Yield dan Aquifer Yield Penentuan sustainable yield dalam kerangka cekungan dan akuifer di suatu cekungan airtanah merupakan faktor penting dalam penentuan tingkat potensi airtanah. Metoda yang paling baik menentukan basin yield dan aquifer yield adalah dengan bantuan model airtanah. Patut diingat, bahwa kondisi hidrogeologi suatu daerah, sangat menentukan cadangan airtanah, sehingga batas basin yield dan aquifer yield, sangat berbeda dari suatu daerah ke daerah yang lain, tergantung dari kondsi hidrogeologinya.
F. Mutu Airtanah Mutu airtanah dinyatakan menurut sifat fisik, kandungan unsur kimia, maupun kandungan bakteriologi yang terkandung di dalamnya. Data yang digunakan untuk menentukan mutu airtanah bersumber dari hasil pengamatan dan pengukuran lapangan dan analisis laboratorium dari beberapa contoh air yang mewakili. Berkaitan dengan pengkajian potensi sumber daya airtanah, pengkajian mutu dimaksudkan untuk mengetahui karidungan kimia dan bakteriologi di dalam airtanah, dan kelayakan penggunaannya untuk keperluan tertentu. a. Pengkajian Hidrokimia Pengkajian hidrokimia dimaksudkan untuk mengetahui kandungan kimia di dalam airtanah dengan tujuan untuk mendapatkan informasi tentang asal usul (genesa), kecepatan dan arah pergerakan, dan imbuhan serta luahan airtanah; b. Pengkajian Bakteriologi Pengkajian bakteriologi dimaksudkan untuk mengetahui kandungan bakteri patogen dan coli di dalam airtanah dengan tujuan untuk mendeteksi polusi biologi terhadap airtanah serta menguji kelayakan penggunaannya untuk keperluan air minum; c. Pengkajian Peruntukan 1. Pengkajian peruntukan dimaksudkan untuk mengetahui kelayakan penggunaan airtanah bagi berbagai keperluan seperti air minum, rumah tangga, industri, dan pertanian, dan lain-lain; 2. Berkaitan dengan penyusunan Peta Potensi Airtanah, sebagai salah satu produk dari pengkajian potensi sumber daya airtanah, pengkajian Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
49
peruntukan dilakukan untuk mengetahui kelayakannya bagi keperluan air minum; G. Penggunaan Lahan Faktor penggunaan meliputi jenis tata guna lahan, termasuk di dalamnya informasi mengenai sumber air yang dimanfaatkan, sistem drainasi, sanitasi, mutu limbah, dan pembuangan air limbah. Informasi ini harus diolah menjadi informasi resiko lahan terhadap penurunan kuantitas airtanah (gangguan terhadap siklus air, seperti penurunan imbuhan airtanah dan bukan aspek pengambilan/pemanfaatan airtanah) dan kualitas airtanah. Semisal tata guna pemukiman, harus dikategorikan berdasarkan sistem sumber air yang digunakan (piping water atau penurapan airtanah di bawahnya), sistem sanitasi (termasuk sistem pembuangan, kuantitas dan kualitas limbah yang dibuang), prosentase penutupan permukaan oleh bangunan, trotoar atau jalan (sealing), sistem drainasi, dan hal lainnya yang dapat mempengaruhi degradasi kuantitas dan/atau kualitas airtanah.
VI.2. Metodologi Penentuan Zona Konservasi Airtanah Berdasarkan Informasi-Informasi parameter yang telah disebutkan di atas, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat peta-peta di bawah ini: (1) Peta daerah imbuhan – lepasan airtanah; atau peta daerah resapan airtanah; (2) Peta kawasan sempadan mataair; (3) Peta perlindungan sumber air baku; (4) Peta karakteristik potensi akuifer (K, T atau S) (5) Peta kualitas/mutu airtanah dan; (6) Peta debit pemompaan/pemanfaatan airtanah sekarang dan atau mendatang; atau peta lokasi penurapan airtanah lengkap dengan (7) Peta klas resiko lahan terhadap degradasi kuantitas dan kualitas airtanah. Langkah kedua adalah evaluasi penentuan zona klas atau tingkatan kepentingan (urgency) konservasi yang ditentukan berdasarkan peta-peta no.1 s/d no.5 tersebut di atas dengan metoda overlay sederhana, sistem rating, hingga multi point count system (MPCS). Standar metodologi evaluasi seperti Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
50
disebutkan di atas yaitu overlay sederhana, rating atau MPCS tidak ditentukan, mengingat keberadaan data yang berbeda dari satu daerah ke daerah yang lain. Serta perkembangan kebijakan lingkungan daerah khususnya mengenai airtanah yang berlainan dari satu wilayah ke wilayah yang lain.
Hal mendasar yang perlu diperhatikan untuk evaluasi penentuan zona klas atau tingkatan kepentingan (urgency) konservasi adalah pembobotan masngmasing paramater. Pada dasarnya kawasan atau zona atau area imbuhan airtanah, resapan airtanah, sempadan mataair, zona perlindungan sumber air baku harus selalu memiliki bobot yang tinggi dibanding faktor yang lain. Diikuti dengan parameter potensi akuifer serta mutu airtanah, dengan prinsip semakin besar potensi dan semakin baik mutu airtanahnya, semakin besar nilai kepentingan (urgency) sumberdaya airtanah ini untuk dikonservasi.
Setelah klas atau tingkatan kepentingan (urgency) konservasi terpetakan, langkah berikutnya adalah menentukan tindakan/upaya konservasi pada setiap zona klas atau tingkatan urgency konservasi. Hal ini dilakukan dengan melakukan overlay peta zona klas atau tingkatan kepentingan (urgency) konservasi dengan peta debit pemompaan/pemanfaatan airtanah eksisting dan/atau prakiraan pemompaan/pemanfaatan mendatang, serta peta resiko lahan terhadap degradasi kuantitas dan kualitas airtanah. Hasil overlay ini akan menunjukkan upaya-upaya apa saja dalam kerangka kegiatan konservasi airtanah (perlindungan, pelestarian, pengawetan dan penghematan) yang harus dilakukan berdasarkan informasi kebutuhan/pemanfaatan airtanah. Tindakan atau upaya konservasi pada setiap zona urgency, harus dijelaskan pada tabel yang termuat didalam peta zona klas konservasi airtanah (Gambar 14).
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
51
Gambar 14. Skema metodologi penentuan zona klas konservasi airtanah dan upaya konservasinya.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
52
BAB VII KONSERVASI AIRTANAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM DI INDONESIA Pengelolaan airtanah di Indonesia pada dasarnya bertumpu pada aspek hukum dan aspek teknis. Aspek hukum merupakan undang-undang dan peraturan yang digunakan untuk melandasi upaya pengelolaan airtanah, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam era otonomi, undang-undang dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebenarnya merupakan pranata hukum yang bertindak sebagai ujung tombak pelaksanaan upaya pengelolaan dan perlindungan airtanah, dengan demikian peraturan daerah sangat menentukan dalam pelaksanaan konservasi sumberdaya airtanah. VII.1. Undang-Undang dan Peraturan Tentang Pengelolaan Airtanah Undang-undang dan peraturan tentang pengelolaan airtanah pada dasarnya menggunakan pasal dalam UUD 1945 sebagai acuan, yaitu Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Adapun beberapa peraturan perundangan yang menyangkut tentang airtanah antara lain adalah : a. Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 Sebagai perwujudan ayat (3) pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, maka pada tahun 1974 dikeluarkan Undang-Undang No. 11 tentang Pengairan. Undang-Undang ini menitik-beratkan fungsi sosial sumberdaya air, oleh sebab itu penguasaan atas penggunaan sumberdaya tersebut dilakukan oleh Negara bagi kemakmuran rakyat. Peraturan yang ada mengenai air dan atau sumber-sumber air, sebelum Undang-Undang ini ditetapkan, dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan saat itu dan tidak memenuhi cita-cita yang diharapkan seperti pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Algemen Waterreglement (AWR) Tahun 1936 yang dipakai dasar pengaturan sebelum undang-undang tersebut ditetapkan, tidak memberikan dasar yang kuat untuk usaha pengembangan pemanfaatan air dan atau sumber-sumber
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
53
air guna meningkatkan taraf hidup rakyat. Selain itu AWR hanya berlaku di P. Jawa dan Madura. Khusus tentang airtanah pasal 5 ayat (2) pada undang-undang tersebut, ditetapkan sebagai berikut :"Pengurusan administratif atas sumber airtanah dan mataair panas sebagai sumber mineral dan tenaga adalah di luar wewenang dan tanggung jawab Menteri yang disebut dalam ayat (1) pasal ini" (maksudnya Menteri yang diserahi tugas urusan pengairan). Dengan pasal tersebut jelas, bahwa airtanah memerlukan pengaturan tersendiri oleh Menteri yang diserahi tugas urusan airtanah.
b. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982 Untuk pelaksanaan undang-undang tersebut di atas, kemudian ditetapkan Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 1982, tentang Tata Pengaturan Air. Pada ayat (2) pasal 5 Undang-Undang No. 11 dan pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 22, maka pengurusan administratif atas sumber airtanah, mataair panas sebagai sumber mineral dan sumber tenaga menjadi wewenang Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pertambangan. Selanjutnya pasal 6 ayat (2) dan (3) peraturan pemerintah tersebut menetapkan : Ayat (2) : Pengambilan airtanah untuk penggunaan airnya pada batas kedalaman tertentu hanya dapat dilaksanakan dengan izin Gubernur yang bersangkutan setelah mendapat petunjuk-petunjuk teknis
dari Menteri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini. Karena kedudukan lapisan pembawa airtanah (akuifer) pada tiap daerah berbeda-beda kedalamannya, maka pengaturan pengambilan airtanah harus disesuaikan dengan kondisi hidrogeologi setempat. Batas-batas kedalaman ini ditetapkan oleh Menteri yang diatur dalam suatu peraturan tersendiri. Pengambilan airtanah memerlukan izin dari pejabat yang diberi wewenang oleh
Menteri
yang
berwewenang
dalam
bidang
pertambangan
yang
pelaksanaannya diatur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur hal tersebut, sedang penggunaannya tunduk pada ketentuan-ketentuan tersebut pada Peraturan Pemerintah ini atau perundangundangan lain dalam bidang pengairan. Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
54
Ayat (3) : Pelaksanaan ketentuan pasal ini diatur lebih lanjut oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini. Dengan demikian kewenangan dalam pengaturan air merupakan kewenangan Pemerintah Pusat, sedangkan dalam batas-batas tertentu kewenangan tersebut dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah dalam rangka tugas pembantuan.
d.
Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 03/P/M/Pertamben/1983
Mengingat ketentuan pada pasal 6 ayat (1) dari Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982, maka ditetapkan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 03/P/M/Pertamben/1983, tentang Pengelolaan Airtanah. Pada dasarnya peraturan Menteri tersebut menetapkan, bahwa pengurusan administratif airtanah adalah pengelolaan airtanah dalam arti luas yang mencakup segala usaha inventarisasi, pengaturan pemanfaatan, perizinan dan pengendalian serta pengawasan dalam rangka konservasi airtanah. Aspek konservasi disebutkan dalam Bab I. Ketentuan Umum, Pasal 1. disebutkan bahwa “konservasi sumber air bawah tanah adalah pengelolaan air bawah tanah untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan
ketersediaannya
dengan
tetap
memelihara
serta
meningkatkan mutunya” (dalam bab berikutnya tentang konservasi air bawah tanah telah dibahas). Sedangkan aspek pengendalian disebutkan dalam Bab VIII Pasal 16 disebutkan bahwa “Direktorat Geologi Tata Lingkungan melaksanakan pengendalian pemanfaatan air bawah tanah pada daerah yang potensi
air
bawah
tanahnya
sudah
menurun
yang
mungkin
dapat
mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup”. Peraturan ini lebih lanjut mengatur wewenang dan tanggung jawab Menteri dalam melaksanakan pengurusan administratif atas sumber airtanah yang dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral, yang dapat
melimpahkan
pelaksanaannya
kepada
Direktur
Geologi
Tata
Lingkungan. Pengambilan airtanah hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Gubernur, yaitu setelah mendapat saran teknik yang mengikat dari Direktur Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
55
Geologi Tata Lingkungan. Selain kewenangan dalam pemberian izin, Pemerintah Daerah dilibatkan dalam pelaksanaan pengawasan airtanah bersama-sama dengan Direktorat Geologi Tata Lingkungan dan Kantor Wilayah Departemen Pertambangan dan Energi. Dengan demikian Pemerintah Daerah melakukan tugas pembantuan pada pengurusan administratif airtanah. Meskipun di dalam Peraturan Menteri tersebut tidak diatur secara khusus mengenai masalah pungutan/biaya pengelolaan, namun untuk melaksanakan tugas pembantuan tersebut, Pemerintah Daerah menetapkan sendiri pungutan/biaya pengelolaan airtanah di daerah masing-masing berdasarkan Peraturan Daerah di bidang airtanah. Berdasarkan peraturan Menteri di atas, maka Dirjen Geologi dan Sumberdaya Mineral mengeluarkan keputusan tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Air Bawah Tanah No. 392.k/526/060000/85.
d. Keputusan Direktur Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral No. 392.k/526/060000/1985 Keputusan ini membahas pedoman pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah. Dalam keputusan ini disebutkan mengenai wewenang instansi yang mengurusi pengendalian pengambilan air bawah tanah beserta tatacaranya. Hal ini disebutkan dalam bab yang mengatur tentang pengendalian yaitu pada Bab VI, dimana: Pasal 1 : Pengendalian pengambilan air bawah tanah dan mataair dilaksanakan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan dan/atau Kantor Wilayah Departemen Pertambangan dan Energi, bekerjasama dengan Instansi Pemenrintah yang berwenang;
Pasal 2 : Tatacara pengendalian, sebagaimana disebutkan pada ayat (1) pasal ini, berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Pasal 4 : Rencana pengambilan air bawah tanah dengan debit lebih
dari 50
(lima puluh) liter perdetik atau rencana pembuatan lebih dari 5 (lima) buah Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
56
sumur bor untuk daerah seluas kurang dari 10 (sepuluh) hektar, wajib dilengkapi dengan studi kelayakan dan Analisa Dampak Lingkungan (ANDAL), termasuk cara pencegahan dan penanggulangan gangguan dan pencemaran lingkungan hidup yang mungkin timbul;
Pasal 8 : Untuk setiap 5 (lima) buah sumur bor yang dimiliki, atau setiap pengambilan air bawah tanah dengan debit lebih dari 50 (limapuluh) liter perdetik, sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pasal ini, pemegang izin diwajibkan menyediakan 1 (satu) buah sumur bor khusus memonitor perubahan lingkungan sebagai akibat pengambilan air bawah tanah di daerah sekitarnya;
e. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 08.P/03/M.PE/1991 Pasal 22 Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982 menetapkan: Penggunaan air dan/atau sumber air untuk kegiatan usaha industri dan pertambangan, termasuk kegiatan usaha pertambangan minyak dan gas bumi diatur bersama oleh Menteri dan Menteri yang bersangkutan. Oleh itu penggunaan air untuk masing-masing kegiatan tersebut, seperti dinyatakan pada penjelasan pasal di atas, perlu diatur tersendiri dengan memperhatikan aspek teknis maupun administratif bidang bersangkutan dan tata pengaturan air secara keseluruhan. Untuk keperluan itu, pasal tersebut menjelaskan, bahwa Menteri bersama Menteri yang bersangkutan ditugaskan untuk menetapkan peraturan dan persyaratan penggunaan air untuk masingmasing bidang teknis yang bersangkutan. Atas dasar penjelasan tersebut ditetapkan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 08.P/03/M.PE/1991 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 03/P/M/Pertamben/1983 tanggal 15 Desember 1983 yang menetapkan, bahwa : “Izin pengambilan dan pemanfaatan airtanah dan mataair untuk kegiatan usaha industri dan pertambangan diberikan oleh Menteri yang pelaksanaannya dilakukan Direktur Jenderal (Direktur Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral), sementara izin pengambilan dan pemanfaatan airtanah dan mataair untuk kegiatan di luar usaha industri dan pertambangan tetap dapat diberikan oleh Gubernur sesuai dengan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 03/P/M/Pertamben/1985”. Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
57
f. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 02.P/101/M.PE/1994 Pada pelaksanaan di lapangan dari kedua peraturan di atas ditemui adanya pemahaman yang berbeda tentang kewenangan pemberian izin pengambilan airtanah untuk kegiatan usaha industri oleh Pemerintah Daerah, sehingga pengelolaan airtanah di beberapa daerah kurang dapat berjalan dengan lancar. Oleh sebab itu, di samping untuk menunjang kebijaksanaan Pemerintah di bidang deregulasi dan debirokratisasi, terutama berkaitan dengan pengambilan dan pemanfaatan airtanah, maka Menteri memandang perlu mencabut Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 03/P/M/Pertamben/83 dan
Nomor
08.P/03/M.PE/1991
dan
menetapkan
Peraturan
Menteri
Pertambangan dan Energi Nomor 02.P/101/M.PE/1994 tanggal 26 Desember 1994 tentang Pengurusan Administratif Airtanah. Di dalam peraturan baru tersebut yang paling mendasar adalah, bahwa izin pengeboran dan izin pengambilan airtanah untuk kegiatan di luar kegiatan usaha pertambangan dan energi diberikan oleh Gubernur. Sementara izin pengeboran dan pengambilan airtanah untuk kegiatan usaha pertambangan dan energi diatur tersendiri oleh Menteri.
g. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1945.K/102/M.PE/1995 Berkaitan dengan penyerahan sebagian urusan pemerintahan di beberapa bidang kepada Daerah Tingkat II Otonomi Percontohan seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1995, maka di bidang airtanah, Menteri Pertambangan dan Energi menetapkan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No.1945.K/102/M.PE/1995 tanggal 26 Desember 1995 tentang Pedoman Pengelolaan Airtanah untuk Daerah Tingkat II. Urusan bidang airtanah yang diserahkan kepada Daerah Tingkat II Otonomi Percontohan meliputi: a. penerbitan izin pengeboran dan izin pengambilan airtanah b. penetapan tarif dan retribusi airtanah c.
pembinaan dan pengawasan operasional terhadap pengelolaan airtanah
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
58
h. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1946.K/102/M.PE/1995 Sebagai pelaksanaan pasal 7 Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor
02.P/101/M.PE/1994,
maka
ditetapkan
Keputusan
Menteri
Pertambangan dan Energi No. 1946.K/102/M.PE/1995 tanggal 26 Desember 1995 tentang Perizinan Pengeboran dan Pengambilan Airtanah untuk Kegiatan Usaha Pertambangan dan Energi. Dalam keputusan tersebut ditetapkan, bahwa pengeboran dan pengambilan airtanah untuk kegiatan usaha pertambangan dan energi hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari Direktur Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral.
i. Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor : 1451 K/10/MEM/2000 Sebagai lanjutan dari Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi tentang Pengelolaan Airtanah yang sudah ada, maka Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral sesuai dengan kewenangannya menetapkan Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor : 1451 K/10/MEM/2000 tanggal 3 November
2000,
tentang
Pedoman
Teknis
Penyelenggaraan
Tugas
Pemerintahan di Bidang Pengelolaan Airtanah. Keputusan tersebut berisi berbagai pedoman dan prosedur pada pengelolaan airtanah di daerah otonom, yang dimaksudkan sebagai acuan pada pelaksanaan pengelolaan. Pedoman dan prosedur tersebut meliputi: 1. Pedoman Teknis Evaluasi Potensi Airtanah. 2. Pedoman Teknis Perencanaan Pendayagunaan Airtanah. 3. Pedoman Teknis Penentuan Debit Pengambilan Airtanah. 4. Prosedur Pemberian Izin Eksplorasi Airtanah. 5. Prosedur Pemberian Izin Pengeboran dan Izin Pengambilan Airtanah. 6. Prosedur Pemberian Izin Penurapan dan Izin Pengambilan Mata air. 7. Prosedur Pemberian Izin Perusahaan Pengeboran Airtanah. 8. Prosedur Pemberian Izin Juru Bor Airtanah. 9. Pedoman
Teknis
Pengawasan
Pelaksanaan
Konstruksi
Sumur
Produksi Airtanah.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
59
10. Pedoman Teknis Penentuan Nilai Perolehan Air dan Pemanfaatan Airtanah dalam Penghitungan Pajak Pemanfaatan Airtanah. 11. Pedoman Pelaporan Pengambilan Airtanah.
j. Undang-undang Sumber Daya Air No.7 Tahun 2004 Dalam undang-undang ini terdapat bab khusus yang membahas mengenai konservasi sumber daya air dimana dalam bab tersebut dibahas mengenai konservasi dan pengendalian airtanah. Hal ini disebutkan dalam pasal-pasal pada bab tersebut, yaitu : Pasal 20 Konservasi Menjaga Kelangsungan Daya Dukung dan Tampung dan Fungsi Sumber Daya Air (SDA) : (1)
Konservasi sumber daya air ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan daya dukung, daya tampung dan fungsi sumber daya air.
(2)
Konservasi sumber daya air sbagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air, serta pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dengan mengacu pola Pengelolaan Sumber Daya Air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai.
(3)
Ketentuan tentang konservasi sumber daya air sebagiamana dimaksud pada Ayat (2) menjadi salah satu acuan dalam perencanaan tata ruang.
Pasal 21 Perlindungan dan Pelestarian : (1)
Perlindungan dan pelestarian sumber air ditujukan untuk melindungi dan melestarikan sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan dan yang disebabkan oleh tindakan manusia.
(2)
Perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan melalui: a. pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air; b. pengendalian pemanfaatan sumber air; Yang dimaksud dengan pengendalian pemanfaatan sumber air dapat berupa: -
mengatur pemanfaatan sabagian atau seluruh sumber air tertentu melalui perizinan; dan/atau
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
60
-
pelarangan untuk memanfaatkan sebagian atau seluruh sumber air tertentu.
c. pengisian air pada sumber air; d. pengaturan prasarana dan sarana snitasi; e. perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air; f.
pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu;
g. pengaturan daerah sempadan sumber air; h. rehabilitasi hutan dan lahan; dan/atau i.
pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.
(3)
Upaya perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dijadikan dasar dalam penatagunaan lahan.
(4)
Perlindungan dan pelestarian sumber air dilaksanakan secara vegetatif dan/atau sipil teknis melalui pendekatan social, ekonomi, dan budaya.
(5)
Ketentuan
mengenai
perlindungan
dan
pelestarian
sumber
air
sebagaimana dimaksud ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 22 Pengawetan Air : (1)
Pengawetan
air
ditujukan
untuk
memelihara
keberadaan
dan
ketersediaan air atau kuantitas air, sesuai dengan fungsi dan manfaat. (2)
Pengawetan air sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan dengan cara : a.
menyimpan air yang berlebihan di saat hujan untuk dapat dimanfaatkan pada waktu diperlukan ;
b. menghemat air dengan pemakaian yang efisien dan efektif ; dan/atau c. mengendalikan penggunaan airtanah (3)
Ketentuan mengenai pengawetan air sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 23 Pengelolaan Kualitas : (1)
Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air ditujukan untuk mempertahankan dan memulihkan kualitas air yang masuk dan yang ada pada sumber-sumber air.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
61
(2)
Pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas air pada sumber air dan prasarana sumber daya air.
(3)
Pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan dengan cara mencegah masuknya pencemaran air pada sumber air dan prasarana sumber daya air.
(4)
Ketentuan
mengenai pengelolaan
kualitas
air
dan
pengendalian
pencemaran air sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 25 Pelaksanaan Konservasi : (1)
Konservasi sumber daya air dilaksanakan pada sungai, danau, waduk, rawa, cekungan airtanah, sistem irigasi, daerah tangkapan air, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan hutan, dan kawasan pantai.
(2)
Pengaturan konservasi sumber daya air yang berada di dalam kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan hutan, dan kawasan pantai diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(3)
Ketentuan
mengenai
pelaksanaan
konservasi
sumber
daya
air
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
k. UU RI No 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Dalam undang-undang ini sedikit dibahas mengenai penataan ruang terhadap kawasan lindung, dimana kawasan lindung tersebut digunakan untuk konservasi airtanah. Hal ini disebutkan dalam bab ketentuan umum yaitu : Pasal 1 ayat 7 “Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan”.
l. Undang-undang No 23 Tahun 1997 Tentang Hukum Tata Lingkungan Undang-undang tentang lingkungan hidup menyebutkan tentang usaha konservasi sumber alam non hayati. Hal ini disebutkan pada Pasal 11 UULH yang menyatakan : Ketentuan tentang perlindungan sumber daya alam non hayati ditetapkan dengan undang-undang. Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
62
Penjelasannya berbunyi : “Ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal ini meliputi tiap jenis sumber daya alam non hayati, seperti ketentuan tentang air, tanah, udara, bahan galian, bentang alam dan formasi geologis atau perwujudan proses alam”. Beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pasal 11 ini akan diuraikan di sini, sebagai contoh pengaturan perlindungan sumber daya non hayati. Dalam rangka perlindungan air sebagai sumber daya alam non hayati sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 UULH, terdapat pengaturannya dalam Bab III tentang Perlindungan, yaitu Pasal 13, yang menyatakan : 1. Air, sumber-sumber air beserta bangunan-bangunan pengairan harus dilindungi serta diamankan, dipertahankan dan dijaga kelestariannya, supaya dapat memenuhi fungsinya sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 Undang-undang ini, dengan jalan : a. Melakukan usaha-usaha penyelamatan tanah dan air; b. Melakukan pengamanan dan pengendalian daya rusak air terhadap sumber-sumbernya dan daerah sekitarnya; c. Melakukan pencegahan terhadap terjadinya pengotoran air, yang dapat merugikan penggunaan serta lingkungannya; d. Melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap bangunanbanguan pengairan sehingga tetap berfungsi sebagaimana mestinya. 2. Pelaksanaan ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dengan Pengaturan Pemerintah. Adapun penjelasan Pasal 13 tersebut berbunyi: Ayat (1) : Melakukan usaha-usaha penyelamatan tanah dan air tersebut pada huruf a dilaksanakan antara lain dengan melakukan pembinaan hutan lindung dan atau jenis tumbuh-tumbuhan lainnya, pengendalian erosi dan sebagainya. Ayat (2) : Cukup jelas
Dalam hubungan dengan perlindungan air dan sekaligus perlindungan tanah dapat dikemukakan pengembangan Daerah Aliran Sungai. Pada UULH yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang dipisahkan dari wilayah lainnya oleh topografi dan merupakan : Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
63
a. Satu satuan wilayah tata air yang menampung dan menyimpan air hujan yang jatuh diatasnya untuk kemudian mengalirkannya melalui sungai utama ke laut; b. Satu satuan ekosistem dengan unsur-unsur utamanya sumber daya alam, flora, fauna, tanah dan air serta manusia dan segala aktivitasnya yang berinteraksi satu sama lainnya.
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dimaksudkan sebagai upaya manusia di dalam mengendalikan hubungan timbal balik di antara sumber daya alam dengan manusia dan segala aktivitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dianggap perlu untuk memecahkan masalah erosi dan perluasan tanah kritis yang terdapat di hulu sungai. Peningkatan daya dukung antara lain dapat ditempuh melalui : a. Konservasi, yaitu merubah jenis penggunaan tanah ke arah usaha yang lebih
menguntugkan, tetapi masih
sesuai dengan
kemampuan
wilayahnya. b. Intensifikasi dengan penggunaan teknologi baru dalam usaha tani. c. Konservasi atau pengawetan tanah, yaitu pencegahan kerusakan lahan dan peningkatan kesuburannya.
Dalam rangka pengembangan lebih lanjut, telah dibentuk Proyek Perencanaan dan Pembinaan Reboisasi dan Penghijauan Daerah Aliran Sungai, disingkat P3RPDAS.
P3RPDAS
adalah
proyek
sektoral
dengan
tugas
pokok
perencanaan dan pembinaan Proyek-proyek dalam rangka Program Bantuan Penghijauan dan Reboisasi (Inpres Penghijauan dan Reboisasi). Pertimbangan
diadakannya
Inpres
tentang
bantuan
Penghijauan
dan
Reboisasi adalah bahwa perlu diusahakan peningkatan kegiatan penghijauan dan reboisasi di daerah-daerah yang sangat mendesak, terutama di daerahdaerah kritis di wilayah DAS dan bahwa dalam kegiatan tersebut perlu ditingkatkan peranan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dan masyarakat secara luas. Untuk keperluan tersebut disediakan Bantuan Penghijauan dan Reboisasi dalam APBN tahun anggaran yang bersangkutan dengan Instruksi Presiden. Untuk tiap-tiap tahun anggaran dikeluarkan Inpres dengan anggaran Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
64
tertentu untuk keperluan : (1) pelaksanaan penghijauan; (2) pengadaan bibit penghijauan; (3) pelaksanaan reboisasi; (4) pengadaan bibit reboisasi; (5) petugas lapangan; (6) penyelenggaraan pendidikan dan latihan; dan (7) pembinaan umum. Yang dimaksudkan dengan Bantuan Penghijauan dan Reboisasi adalah bantuan langsung atas beban APBN tahun anggaran yang bersangkutan kepada : a. Daerah Tingkat I untuk pelaksanaan reboisasi serta pengadaan bibit reboisasi; b. Daerah Tingkat II untuk pelaksanaan penghijauan dan pengadaan bibit penghijauan. Bantuan diberikan untuk menyelamatkan kelestarian sumber-sumber alam, tanah, hutan dan air, terutama di daerah-daerah kritis, yaitu di daerah-daerah yang ditinjau dari segi hidrologi dapat membahayakan kelangsungan pembangunan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) atau wilayah lain. Penghijauan meliputi penanaman tanaman tahunan atau rerumputan serta pembuatan bangunan pencegah erosi tanah di areal yang tidak termasuk areal hutan negara atau areal lain yang berdasarkan rencana tataguna tanah tidak diperuntukkan untuk hutan. Reboisasi meliputi penanaman atau pemudaan pohon-pohon serta jenis tanaman lain, di areal hutan negara dan areal lain yang berdasarkan rencana tataguna tanah diperuntukkan hutan. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I bertanggung jawab atas : a. pembinaan,
pengawasan,
dan
pelaporan
penggunaan
Bantuan
Penghijauan dan Reboisasi; b. pelaksanaan reboisasi dan pengadaan bibit reboisasi; c. pengamanan dan pemeliharaan hasil penghijauan dan reboisasi; d. pembinaan swadaya masyarakat untuk melaksanakan penghijauan. Bupati Kepala Daerah Tingkat II bertanggung jawab atas : a. pembinaan, pelaksanaan, pengawasan dan pelaporan pelaksanaan penghijauan dan pengadaan bibit penghijauan; b. pengamanan hasil penghijauan dan reboisasi; c. pemeliharaan hasil penghijauan; d. bimbingan kepada masyarakat untuk turut memikul tanggung jawab dalam pengamanan dan pemeliharaan hasil penghijauan dan reboisasi; Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
65
e. pembinaan swadaya masyarakat untuk melaksanakan penghijauan.
Pada dasarnya pengembangan DAS mempergunakan pola dan standarstandar dengan prinsip-prinsip sebagai berikut : a. Penutupan lahan dengan menanami tanaman bawah sebagai tanaman makanan ternak (rerumputan) atau jenis tanaman lain yang bermanfaat dan bisa dipungut hasilnya dalam waktu yang singkat, dilakukan di atas lahan dengan kemiringan di atas 50 %. b. Intensifikasi pertanian tanah kering dengan memperhatikan aspek konservasi tanah dan air, dilakukan pada lahan dengan kemiringan 1050 %. c. Intensifikasi lahan pekarangan melalui usaha penanaman jenis tanaman yang produktif dan bercocok tanam tanaman semusim dengan memperhatikan aspek penyelamatan tanah dan air. d. Pengembangan pengairan dengan pembangunan dam sedang dan kecil/check dam, weir dan pembuatan saluran tersier. e. Konservasi lahan pertanian kering sesuai kondisinya menjadi sawah dengan membangun/menyediakan fasilitas air bagi terlaksananya usaha tersebut. f.
Usaha untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan dan ketrampilan para petani melalui latihan penyuluhan.
(Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi, 1976:6)
Dengan pengembangan DAS yang ditujukan kepada One River, One Plan, One Management akan dapat diperoleh keterpaduan horizontal antar sektor dan keterpaduan vertikal antara Pusat dan Daerah.
m. Kepmen Menteri Lingkungan Hidup No.17 Tahun 2001 Dalam Kepmen ini dibahas mengenai jenis rencana dan kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Dalam Kepmen ini disebutkan bahwa pengambilan air bawah tanah (sumur tanah dangkal, sumur tanah dalam dan mataair) dengan debit > 50 l/detik (dari 1 sumur; atau dari 5 sumur dalam area < 10 ha) wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
66
n. Peraturan Daerah tentang Airtanah Dengan
pemberlakuan
otonomi
daerah,
maka
beberapa
daerah
Kabupaten/Kota telah menerbitkan peraturan daerah tentang airtanah, tetapi sebagian besar masih mengandalkan peraturan daerah yang lama. Hal tersebut antara lain disebabkan karena belum adanya undang-undang yang baru tentang sumberdaya air setelah pemberlakukan otonomi daerah. Kelembagaan yang berwenang melaksanakan pengelolaan airtanah beragam dari satu daerah otonom ke daerah otonom yang lain. Beberapa contoh peraturan daerah yang ada adalah : 1) Peraturan Daerah Kotamadya Tingkat II Yogyakarta Nomor 9 Tahun 1995 Peraturan Daerah Kotamadya Tingkat II Yogyakarta Nomor 9 Tahun 1995 tentang pengawasan kualitas air ini mempunyai tujuan untuk : 1. Mengatur, membina dan mengawasi pelaksanaan penggunaan air dalam rangka memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat 2. Mencegah penurunan kualitas dan penggunaan air yang dapat membahayakan kesehatan serta meningkatkan kualitas air. Dalam peraturan tersebut dibahas, bahwa kegiatan pengawasan kualitas air dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kesehatan dibawah koordinasi dan petunjuk teknis dari Dinas Kesehatan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini diatur pada Bab IV ayat 4. Kegiatan pengawasan kualitas air mencakup : a. Pengamatan lapangan dan pengambilan contoh air termasuk pada proses produksi dan distribusi. b. Pemeriksaan contoh air. c. Analisa hasil pemeriksaan. d. Perumusan saran dan cara pemecahan masalah yang timbul dari hasil kegiatan tersebut huruf a, b dan c ayat ini. e. Pemantauan upaya penanggulangan/perbaikan termasuk kegiatan penyuluhan.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
67
2) Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2000 Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2000 ini akan mengatur tentang Perlindungan Sumber Air Baku (PSAB) ditetapkan dengan dasar pasal 27 Peraturan Daerah Tingkat II Sleman Nomor 23 Tahun 1994 mengenai Penetapan dan Kebijaksanaan Kawasan Perlindungan Setempat. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2000 ini mempunyai tujuan untuk : 1. Mengatur, mengawasi dan membina kegiatan di sekitar sumber air baku 2. Melindungi terhadap sumber-sumber air baku Rancangan peraturan ini membahas tentang pembagian zona perlindungan sumber air baku yang dibagi menjadi zona perlindungan I, II dan III.
3) Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat No 2 Tahun 2001 Peraturan daerah ini membahas mengenai Perlindungan Sumber Air Baku dalam rangka menjamin kualitas dan kuantitas sumber air baku serta tersedianya air minum yang sehat pada kawasan sumber air baku sebagai kawasan lindung. Peraturan daerah ini membahas mengenai pembagian zona perlindungan sumber air baku yang dibagi menjadi zona perlindungan I, II dan III.
4) Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat No.3 Tahun 2004 Peraturan ini mengatur tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Mengingat sifat air yang dinamis dan pada umumnya berada dan atau mengalir melintasi batas wilayah administrasi pemerintahan, maka pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air tidak hanya dapat dilakukan sendiri-sendiri (partial) oleh satu pemerintah daerah. Dengan demikian harus dilakukan secara terpadu antar wilayah administrasi dan didasarkan pada karakter ekosistemnya sehingga dapat tercapai pengelolaan yang efisien dan efektif. Setiap orang atau badan yang melaksanakan pembuangan air limbah ke sumber air harus : d. mempunyai izin pembuangan air limbah; e. memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL);
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
68
f.
memiliki operator dan penanggung jawab Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang bersertifikat;
g. memenuhi persyaratan mutu dan kuantitas air limbah yang boleh dibuang
ke media lingkungan; h. memenuhi persyaratan cara pembuangan air limbah; i.
mengadakan sarana dan prosedur penanggulangan keadaan darurat;
j.
melakukan pemantauan mutu dan debit air limbah;
k.
melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan;
l.
melakukan swapantau dan melaporkan hasilnya;
m. memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pelaksanaan
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Pemantauan kualitas air pada sumber air lintas Kabupaten/Kota dilaksanakan secara terkoordinasi dengan Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
5) Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat No.2 Tahun 2006 Peraturan daerah ini dibuat untuk mengatur pengelolaan kawasan lindung. Perlindungan terhadap hutan lindung dilakukan untuk mencegah terjadinya erosi, bencana banjir, sedimentasi serta menjaga fungsi hidroorologis dan ekologis tanah untuk menjamin ketersediaan unsur hara, airtanah dan air permukaan. Pengelolaan Kawasan Lindung adalah upaya penetapan, pelestarian dan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung. Perlindungan
terhadap
kawasan
resapan
air
dimaksudkan
untuk
mempertahankan kawasan-kawasan tersebut agar tetap berfungsi sebagai kawasan resapan, yang secara hidroorologis dapat menjamin ketersediaan sumberdaya airtanah. Kriteria kawasan resapan air ini merupakan kriteria yang bersifat kumulatif, sehingga suatu kawasan merupakan kawasan resapan air apabila memenuhi seluruh kriteria sebagai berikut : a. Kawasan dengan curah hujan rata-rata lebih dari 1000 mm/tahun; b. Lapisan tanahnya berupa pasir halus berukuran minimal 1/16 mm; c. Mempunyai kemampuan meluluskan air dengan kecepatan lebih dari 1 meter/hari; d. Kedalaman muka airtanah lebih dari 10 meter terhadap muka tanah setempat; e. Kelerengan kurang dari 15%;
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
69
f.
Kedudukan muka airtanah dangkal lebih tinggi dari kedudukan muka airtanah dalam.
6) Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur No.5 Tahun 2000 Peraturan daerah ini mengatur tentang pengendalian pencemaran air di Propinsi Jawa Timur. Pengendalian pencemaran air, dimaksudkan sebagai upaya pencegahan pencemaran dan sumber pencemar, penanggulangan dan atau pemulihan mutu air pada sumber-sumber air. Pengendalian pencemaran air dilaksanakan untuk menjaga agar mutu air pada sumber-sumber air tetap terkendali sesuai dengan peruntukannya. Pengendalian pencemaran air bertujuan untuk rnewujudkan kelestarian fungsi air, agar air yang ada pada sumber-sumber air dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan sesuai dengan peruntukannya. Peraturan ini memberikan kewenangan dan tanggung jawab kepada Gubernur untuk mengendalikan pencemaran yang meliputi : a. perlindungan, penanggulangan dan pernulihan mutu air pada sumbersumber air; b. pencegahan pencemaran air pada sumber pencemaran; c. penetapan perizinan pembuangan limbah cair; d. pengawasan.
VII.2. Permasalahan Undang-Undang dan Peraturan Mengenai Konservasi Airtanah di Indonesia Keberadaan peraturan perundangan tentang sumberdaya air dan airtanah pada dasarnya menunjukkan, bahwa air mempunyai nilai ekonomi dan lingkungan yang strategis, oleh sebab itu perlu diatur, bahkan dimasukkan dalam konstitusi. Prinsip dasar hukum airtanah seperti diuraikan di atas, seharusnya menjadi dasar peraturan perundangan airtanah di Indonesia. Undang-undang dan peraturan tentang pengelolaan airtanah yang sudah ada umumnya lebih membahas mengenai pengendalian airtanah yang sebagian besar berisi tentang pengambilan dan pengendalian pencemaran airtanah, sedangkan pembahasan mengenai konservasi airtanah kurang dibahas secara detail. Undang-undang dan peraturan tentang airtanah yang menyebutkan mengenai konservasi airtanah adalah UU Sumber Daya Air No. 7 Tahun 2004 Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
70
dan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 03/P/M/Pertamben/1983. Dalam UU Sumber Daya Air No 7 Tahun 2004 mempunyai pembahasan yang cukup lengkap mengenai konservasi airtanah. Dalam UU Sumber Daya Air tersebut dibahas upaya mengenai pelestarian, perlindungan, pengawetan, pengelolaan kualitas dan upaya pelaksanaan konservasi terhadap airtanah. Namun salam UU tersebut belum menjelaskan batasan antara konservasi airtanah dengan pengendalian airtanah. Penjelasan mengenai konservasi airtanah secara umum juga disebutkan pada undang-undang dan peraturan mengenai tata ruang dan lingkungan hidup, misalnya pada UU RI No 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Undangundang Lingkungan Hidup No 23 Tahun 1997 Tentang Hukum Tata Lingkungan dan Kepmen Menteri Lingkungan Hidup No.17 Tahun 2001 mengenai jenis kegiatan yang wajib dilengkapi Andal. Pada undang-undang dan peraturan tersebut dibahas mengenai upaya penataan ruang terhadap kawasan lindung untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam non hayati, dalam pembahasan kali ini yang dimaksud adalah sumber daya air. Pada Undang-undang Lingkungan Hidup No 23 Tahun 1997 disebutkan upaya –upaya perlindungan terhadap sumber daya air yang disebutkan pada Bab III tentang Perlindungan pada Pasal 13. Selain itu juga disebutkan kewenangan dari tiap instansi pemerintahan dalam upaya perlindungan terhadap sumber daya air tersebut. Undang-undang dan peraturan di tingkat daerah umumnya sudah membahas mengenai konservasi airtanah walaupun tidak dibahas secara detail. Hal ini dapat dilihat pada contoh-contoh peraturan daerah yang ada diatas. Secara umum Perda-perda tersebut hanya membahas mengenai pengelolaan kualitas dan pencemaran airtanah, misalnya pada Perda di Yogyakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2000 dan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat No 2 Tahun 2001 membahas mengenai upaya perlindungan pada kawasan sumber air baku sebagai kawasan lindung. Selain itu dalam Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat No.2 Tahun 2006 diatur juga tentang pengelolaan kawasan lindung disebutkan mengenai upaya perlindungan terhadap kawasan resapan air. Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa konservasi airtanah sudah masuk dan dibahas dalam undang-undang dan peraturan yang ada. Pada undang-undang dan peraturan mengenai tata ruang dan lingkungan hidup, Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
71
konservasi airtanah merupakan bagian dari upaya upaya penataan ruang terhadap kawasan lindung. Penjelasan yang cukup detail mengenai upaya konservasi telah dijabarkan pada Undang-undang Sumber Daya Air No.7 Tahun 2004. Sayangnya peraturan-peraturan mengenai airtanah dibawahnya (Kepmen,
Perda,
dll)
umumnya
lebih
membahas
mengenai
upaya
pengendalian airtanah. Upaya konservasi biasanya hanya disebutkan sebagai bagian dari upaya pengendalian airtanah, misalnya usaha untuk pengelolaan kualitas dan pencemaran airtanah. Oleh karena itu perlu dibuat undangundang dan peraturan mengenai airtanah yang secara detail membahas mengenai konservasi airtanah. Mengingat upaya konsevasi airtanah tersebut sebenarnya dapat dipisahkan dengan pengendalian airtanah.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
72
BAB VII PENUTUP Sesuai dengan maksud dan tujuan tulisan ini adalah menyajikan bahan/materi berupa kajian ilmiah pedoman konservasi airtanah yang meliputi tiga kegiatan utama konservasi airtanah, yaitu: 1. Kegiatan perlindungan dan pelestarian airtanah, 2. Kegiatan pengawetan dan penghematan airtanah, dan 3. Penentuan zona konservasi airtanah. Berdasarkan
sasaran
kajian
ini,
diharapkan
pihak
terkait
dapat
mempergunakan penyusunan tulisan ini sebagai: 4) Pedoman yang dapat digunakan sebagai acuan bagi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam melakukan konservasi airtanah. 5) Pedoman
bagi pelaksanaan pengelolaan airtanah
memanfaatkan
airtanah
tanpa
menimbulkan
terutama dalam
dampak
negatif
bagi
lingkungan. 6) Pedoman teknis pelaksanaan pengelolaan airtanah terutama kegiatan konservasi airtanah sesuai dengan amanat UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Daerah yang telah ada tentang airtanah. 7) Pedoman bahan penyusunan peraturan perundangan tentang konservasi airtanah di Indonesia. Menilik permasalahan pengelolaan airtanah di Indonesia dan salah satu faktor tantangan pengelolaan airtanah, yaitu mengelola masyarakat pengguna airtanah (managing people), diharapkan pedoman hasil kajian ilmiah ini dapat dipergunakan bagi masyarakat untuk mengenal bagaimana cara melindungi dan melestarikan airtanah, mengawetkan dan menghemat airtanah, serta mengetahui implementasi zona konservasi airtanah yang telah ditentukan.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
73
DAFTAR PUSTAKA
AG Boden (1996), Bodenkundliche Kartieranleting, 4.- Auflage, Hannover Aller, L. T., Bennett, J., Lehr, R., Petty, and Hackett, G. (1987), DRASTIC: A Standardized System for Evaluating Ground Water Pollution Potential using Hydrogeologic Settings. U.S Environmental Protection Agency, EPA/600/287/035. ARGOSS (2001), Guidelines for Assessing the Risk to Groundwater from On Site Sanitation, British Geological Survey Commisioned Report, CR/01/142, 97 pp. Bedient, P.B., Rifai, H.S., and Newell, C.J. (1999), Ground Water Contamination: Transport and Remediation, 2 nd ed., 604 p, Prentice-Hall. Burgess, D.B., and Fletcher, S.W. (1998), Methods used to delineate groundwater source protection zones in England and Wales, in: Robins, N.S. (ed.) Groundwater Pollution, Aquifer Recharge and Vulnerability, Geological Society, London, Special Publications, 130, p. 199 – 210. Chilton, J., Schmoll, O and Appleyard, S. (2006), Assessment of Groundwater Pollution Potential, In: Schmoll, O, Howard, G, Chilton, J and Chorus, I. (ed) Protecting Groundwater for Health : Managing Quality of Drinking Water Sources, WHO Drinking Water Quality Series. Conrad, J., Hughes, S., and Weaver, J. (2002), Map Production, in Zaporozec, A., (ed), 2002, Groundwater Contamination Inventory: A Methodological Guide, IHP – VI, Series on Groundwater No. 2, UNESCO. p 75 - 98. Daly D and Warren W.P. (1998), Mapping groundwater vulnerability: the Irish perspective, in: Robins N.S., (ed), Groundwater Pollution, Aquifer Recharge and Vulnerability, Geological Society, London, Special Publications, 130, p. 179 – 190. Daly, D., Dassargues, A., Drew, D., Dunne, S., Goldscheider, N., Neale, S., Popescu, I.C., Zwahlen, F. (2002), Main Concepts of the European Approach to Karst Groundwater Vulnerability Assessment and Mapping, Hydrogeology Journal, Vol. 10, p. 340 – 345, Springer-Verlag. Danaryanto, H. (2000), Perencanaan Pendayagunaan dan Konservasi Airtanah, Lokakarya Nasional Desentralisasi Airtanah yang Berwawasan Lingkungan, Direktorat Geologi Tata Lingkungan – ESDM, Puncak, Cianjur 2931 Oktober 2000. Davis, S.H. and De Weist, R.J.M. (1966), Hydrogeology. 463 p., New York Dillon, P. (2005), Future Management of Aquifer Recharge, Hydrogeology Journal, Vol 13, No. 1, p.313 – 316, Springer – Verlag.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
74
Fetter, C.W., 1999, Contaminant Hydrogeology, 2 nd edition, Prentice Hall, Upper Saddle River, New York. Foster, S., and Hirata, R. (1988), Groundwater Pollution Risk Assessment; A Methodology Using Available Data, PAN American Center For Sanitary Engineering and Environmental Sciences (CEPIS), Lima, Peru. Foster, S., Hirata, R., Gomes, D., D’Elia M., and Paris, M. (2002), Groundwater Quality Protection: a guide for water utilities, municipal authorities, and environmental agencies, 103 p, GW-MATE, The World Bank, Washington. Foster S.S.D. (1998), Groundwater recharge and pollution vulnerability of British aquifers: a critical overview in: Robins N.S., (ed), Groundwater Pollution, Aquifer Recharge and Vulnerability, Geological Society, London, Special Publications, 130, p. 7 – 22. Freeze, R.A., and Cherry J.A. (1979), Groundwater, 604 p, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, NJ. Gogu, R.C., Dassargues, A. (2000), Current trends and future challenges in groundwater vulnerability assessment using overlay and index methods, Environmental Geology Journal, 39 (6), p.549 – 559, Springer-Verlag. GW-MATE (2005), Groundwater Management Strategies: facets of the integrated approach, Briefing Note Series No. 3, World Bank. Hadimulyono, M.B. (2005), Kebijakan Pengunaan yang Saling Menunjang antara Air Permukaan dan Airtanah, Lokakarya Kebijakan Nasional Pengelolaan Airtanah, Direktorat Geologi Tata Lingkungan dan Kawasan Pertambangan – ESDM, Bandung, 29 Juli 2004. Hasyim, I. (2000), Peran Propinsi dalam Pengelolaan Sumberdaya Airtanah yang Berwawasan Lingkungan, Lokakarya Nasional Desentralisasi Pengelolaan Airtanah yang Berwawasan Lingkungan, Direktorat Geologi Tata Lingkungan – ESDM, Puncak, Cianjur 29-31 Oktober 2000. Helweg, O.J., 1992, Water Resources : Planning and Management, 2 nd edition Krieger Publishing Company, Malabar, Florida, 364 p Hendrayana, H., 2000b, Konservasi Airtanah dalam rangka Pemanfaatan Air yang Berkelanjutan, Makalah Pembinaan kepada Pemakai Air Bawah Tanah, Dinas Pertambangan DIY, Yogyakarta. Hendrayana, H., 2002a, Dampak Pemanfaatan Airtanah, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hendrayana, H., 2002b, Konsep Dasar Manajemen Cekungan Airtanah, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hendrayana, H., 2002c, A Concept Approach of Total Groundwater Basin Management, International Symposium on Natural Resource and Environmental Management, held in the framework of the 43rd Anniversary of Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
75
UPN “Veteran” Jogyakarta, on January 21 – 22, 2002 (Published in English Proceeding). Hendrayana, H., 2002d, Konsep Dasar Pengelolaan Cekungan Air Bawah Tanah, Pelatihan Manajemen Air Bawah Tanah di Wilayah Perkotaan Yang Berwawasan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM, 15 – 27 September 2002, Yogyakarta. Hendrayana, H., 2002e, Program Perencanaan Pendayagunaan Sumberdaya Air Bawah Tanah, Pelatihan Manajemen Air Bawah Tanah di Wilayah Perkotaan Yang Berwawasan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM, 15 – 27 September 2002, Yogyakarta. Hendrayana, H., 2002f, Sistem Pengelolaan Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan, dalam buku Peluang dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia, P3-TPSLK BPPT and HSF, Jakarta. Hendrayana, H., 2002g, Groundwater Conservation for Sustainable Groundwater Resources (Discussion on Technical Aspect), presented in Seminar on Mineral and Groundwater Resources Management, Yogyakarta. Hendrayana, H.; Putra, DPE., 2008a, Assessment of Urban Groundwater Contaminant Loading, Proceeding of Science and Technology on Groundwater Usage and Conservation, Indonesian Geological Board, Ministry of Energy and Mineral Resources, Republic Indonesia, Bandung. Hendrayana, H., Putra, DPE., 2008b, Urbanization and Groundwater Resources : Interaction and Management, Proceeding of National Seminar on Strategy and Challenge in Geological Education and National Development, Yogyakarta, 15 February 2008. Hölting, B., Haertlé, Th., Hohberger, K.-H., Nachtigall, K., Villinger, E., Weinzierl, W., and Wrobel, J.-P. (1995): Konzept zur Ermittlung der Schutzfunktion der Grundwasserüberdeckung; C 63: 5-24. Hölting, B., and Coldeway, W.G. (2005), Hydrogeologie: Einfuehrung in die Allgemeine und Anngewandte Hydrogeologie, 6. Auflage, 326 S, 118 Abb, 69 Tab, Spektrum – Elsevier. Ibe K.M., Nwankwok G.I., and Onyekumu S.O. (2001), Assesment of groundwater vulnerability and its application to the development of protection strategy for the water supply aquifer in Owerri, Southeastern Nigeria, Environmental Monitoring and Assesment, p.323-360, Kluwer Academic Publishers. Johansson, P.-O, and Hirata, R. (2002), Rating of Groundwater Contaminant Sources, in Zaporosec, (ed), Groundwater Contamination Inventory: A Methodological Guide, IHP-VI, Series on Groundwater No.2, UNESCO, p.63 – 74. http://unesdoc.unesco.org /images/ 0013/001325/132503e.pdf Kovaleschy, V.S., Kruseman, G.P., and Rushton, K.R., (ed). (2004), Groundwater Studies: An International Guide for Hydrogeological Investigations, IHP-VI, Series on Groundwater No.3, UNESCO. Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
76
Lerner, D.N., Issar, A.S., and Simmers. I. (1990), Groundwater Recharge: A Guide to Understanding and Estimating Natural Recharge, International Contributions to Hydrogeology Vol. 8, IAH, Verlag Heinz Heise, Hannover, Germany. Mato, R.R.A.M. (2002), Groundwater Pollution in Urban Dar es Salaam, Tanzania: Assessing Vulnerability and Protection Priorities, Dissertation, Eindhoven University of Technology, University Press of Eindhoven University of Technology. Maxe, L. and Johansson, P-O. (1998), Assessing groundwater vulnerability using travel time and specific surface area as indicators, Hydrogeology Journal, Vol. 6, p. 441 – 449, Springer-Verlag. Morris, B.L., Lawrence, A.R., Chilton, P.J.C., Adams, B., Calow, R.C., and Klinck, B.A. (2003), Groundwater and its susceptibility to degradation: A global assesment of the problem and options for management. Early Warning and Assesment Report Series, RS.03-3. United Nations Environment Programme, Nairobi, Kenya. Palmer, R.C., and Lewis, M.A. (1998), Assessment of groundwater vulnerability in England and Wales, In: Robins, N.S. (ed) Groundwater Pollution, Aquifer Recharge and Vulnerability, Geological Society, London, Special Publications, 130, p. 191 – 198. Putra, D.P.E. (2003), Integrated Water Resources Management in MerapiYogyakarta, Project Seed Net No UGM 01047, Fakultas Teknik UGM (tidak dipublikasikan) Putra, D.P.E. (2007), The Impact of Urbaization on Groundwater Quality: A Case Study in Yogyakarta City – Indonesia, Mitteilungen zur Ingenieurgeologie und Hydrogeologie, Heft 96, 148 S, 72 Abb, 49 Tab, 6 Anl, Herausgegeben vom Lehrstuhl fuer Ingenieurgeologie und Hydrogeologie Univ.-Prof. Dr. Rafig Azzam, RWTH Aachen, Germany, Oktober 2007. Rachmat, H.S. (2000), Peran Kabupaten/Kota dalam Pengelolaan Sumberdaya Airtanah pada Era Otonomi Daerah, Lokakarya Nasional Desentralisasi Pengelolaan Airtanah yang Berwawasan Lingkungan, Direktorat Geologi Tata Lingkungan – ESDM, Puncak, Cianjur, 29-31 Oktober 2000. Sembiring, S.F. (2004), kebijakan Nasional Pengelolaan Airtanah, Lokakarya Nasional Pengelolaan Airtanah, Direktorat Geologi Tata Lingkungan dan Kawasan Pertambangan, ESDM, Bandung 29 Juli 2004. Teutsch, G., Grathwohl, P., and Schiedek, T. (1997), Literaturstudie zum natürlichen Rückhalt/Abbau von Schadstoffen im Grundwasser.- Texte und Berichte zur Altlastenbearbeitung, Band 35/97, November 1997, Landesanstalt für Umweltschutz Baden-Württemberg, 51 Seiten, Karlsruhe. Todd, D.K., 1980, Groundwater Hydrology, 2nd ed., John Wiley & Sons, New York Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
77
US EPA (1991), Subsurface Contamination Reference Guide, United State Environmental Protection Agency, EPA/540/2-90/011. Vbra, J., Zaporosec, A. (1994), Guidebook on Mapping Groundwater Vulnerability. International Association of Hydrogeologist (International Contributions to Hydrogeology 16). Verlag Heinz Heise, Hannover. Voigt, H.-J., Heinkele, T., Jahnke, C., and Wolker, R. (2004), Characterization of Groundwater Vulnerability to Fulfill Requierements of The Water Framework Directive of The European Union, Geofisica International, Vol. 43, No,. 4, p. 567 – 574. Wimmer, G., Leppig, B., and Dietz, T. (2002), Die Grundwassergefaerdungskarte ueber Locker-bzw. Festgesteinsaquiferen – Erfahrungen bei der Umsetzung des theoretischen Modells in die Praxis, Hrsg: Lehrstuhl fur Ingenieurgeologie und Hydrogeologie der RWTH Aachen Prof. Dr. K. Schetelig, Mitteilungen zur Ingineurgeologie und Hydrogeologie, Heft 80, s. 253 – 272, LIH der RWTH Aachen. Zaporozec, A., (ed). (2002), Groundwater contamination inventory: a methodological guide, IHP-VI, Series on groundwater No. 2, 160 p, UNESCO, Paris, France.
Konservasi Airtanah-Sebuah Pemikiran (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
78