KONSEP SYŪRĀ PERSPEKTIF HASAN AL-BANNA
Oleh: RACHILDA DEVINA 103033227825
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H/2007 M KATA PENGANTAR
Tidak ada kata yang mampu penulis ucapkan selain puji syukur kehadirat Allah Swt, Tuhan semesta alam atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya yang selalu tercurah pada setiap jejak langkah kehidupan manusia. Shalawat dan salam senantiasa pula penulis haturkan kepada sosok panutan kita Nabi besar Muhammad Saw beserta para keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang tetap setia sampai akhir zaman. Alhamdulillah,
akhirnya
skripsi
yang
berjudul
“KONSEP
SYŪRĀ
PERSPEKTIF HASAN AL-BANNA” ini dapat penulis rampungkan sesuai dengan target yang diharapkan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan mungkin terselesaikan penulisannya apabila tidak ada bantuan baik dari segi moril maupun materil dari berbagai pihak. Maka untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada mereka yang telah begitu berjasa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Salam hormat dan terima kasih khusus penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Drs. Agus Darmadji, M. Fils., selaku Ketua Jurusan Aqidah Filsafat dan Ibu Dra. Wiwi Siti Syajaroh, M. Ag., selaku Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Dr. Sirojuddin Aly, M.A., selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dan memberikan bimbingan serta arahannya dengan penuh kesabaran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan pendidikan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan Program Sarjana (S-1) di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Pimpinan serta seluruh staff Perpustakaan Utama UIN, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, serta Perpustakaan Iman Jama yang telah membantu menyediakan buku-buku yang dibutuhkan penulis guna penyelesaian skripsi ini. 6.
Kepada kedua orang tua tercinta dan tersayang (Bapak H. Azmi dan Ibu Hj. Cootje Siegar), terima kasih yang tak terhingga atas segala jasa dalam membesarkan serta mendidik penulis dengan curahan doa dan kasih sayang yang tulus sehingga penulis dapat memaknai arti kehidupan yang sesungguhnya.
7. Kepada orang tua “kedua” penulis, (Kel. Besar Bapak H. M. Thaha dan Ibu Hj. Jauharah serta “Acil” Hj. Arsiah), terima kasih atas setiap nasehat dan kasih sayangnya selama ini yang akhirnya dapat membuat penulis menjadi dewasa dan bijak dalam menjalani kehidupan. 8. Kakakku Ihda Nailani, Anik Sugiwati dan Ading Atin Mufidah, serta keponakankeponakan kecilku Lutfia ES, Rizki Auliana, dan Mursyidah Khoirina, terima kasih atas kasih sayang, perhatian, semangat dan doanya selama ini. 9. Sahabat sejatiku Nofa Rohmawati, Siti Wardah S. Fils. I, Neneng Suryanah, “LarVha” (Elly, Rovi, Nelly, Ira, Ade), Laksmy Rathmila Spd, Mi’raj FSH, dan Mira Unpad, terima kasih atas segala bantuan, doa, dan semangatnya selama ini serta terima kasih telah mengajarkan penulis akan indahnya arti persahabatan. 10. Teman teman KKN di Cikeusal (Badru, Zaenal, A. Yani S.Fils.I, Asep, Robby “Gless”, Ucup, Saudi S.Fils.I, Arif, dan Awing), teman-teman kost Balance (Kak Ade, Susan, “Mpo” Kiki, Erna, dan Cutka), teman-teman kost Kp. Utan (Kak Rara, Via, Tuti, Ani, dan Nita), serta teman-teman LDK (Manda, Nadya, Lani dan Latifah),
terima kasih atas segala bantuan dan doanya selama ini dan untuk Oktariana terima kasih atas pinjaman Tsawabitnya. 11. Sahabat dan teman-teman seperjuangan di jurusan Pemikiran Politik Islam angkatan 2002, Teman terbaikku Tia Futiah S. Sos, NurunNisa dan Kak Anay “al-Faqir” (semoga cepat menyusul), Maulinda S.Sos, Rahmat S.Sos, Musthofa S.Sos, Lalu S.Sos, Inay S.Sos, Ade Irawan S.Sos, Ipul S. Sos, Khondun S. Sos Iskhori, Idham, Al-Banna, Musthofa KAMMI, Irvan, Robeth, Edy, Kak Iis, dan semua anak kelas PPI 2002, terimakasih buat semuanya. Selanjutnya kepada semua pihak yang ikut andil dalam penyelesaian skripsi ini, maka penulis hanya bisa mengucapkan banyak terima kasih semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik didunia maupun di akhirat. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap yang membacanya. Namun penulis menyadari bahwa tiada gading yang tak retak, tiada karya yang tak cacat. Untuk itu dengan kerendahan hati kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan skripsi ini. Jakarta, Mei 2007 Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i DAFTAR ISI............................................................................................................. iv BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................ 5 C. Tinjauan Pustaka................................................................................ 5 D. Tujuan Penelitian ............................................................................... 6 E. Metode Penelitian .............................................................................. 7 F. Sistematika Penyusunan..................................................................... 8
BAB II
BIOGRAFI HASAN AL-BANNA A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan................................ 10 B. Pemikiran Politik dan Karya-karyanya.............................................. 14 C. Peranannya dalam Negara.................................................................. 16 1.............................................................................................. Dalam Bidang Agama ....................................................................... 16 2.............................................................................................. Dalam Bidang Ekonomi dan Sosial................................................... 18 3.............................................................................................. Dalam Bidang Politik ........................................................................ 19
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP SYŪRĀ
A. Definisi Syūrā .................................................................................... 23 B. Isyarat Al-Qur’an dan As-Sunnah Mengenai Syūrā .......................... 26 C. Praktik Syūrā Pada Masa Nabi .......................................................... 32 D. Praktik Syūrā Pada Masa Khulafa al-Rasyidin................................. 34 BAB IV
KONSEP SYŪRĀ PERSPEKTIF HASAN AL-BANNA YANG TERAPLIKASI PADA GERAKAN POLITIK IKHWANUL MUSLIMIN A. Konsep Syūrā Perspektif Hasan al-Banna 1.............................................................................................. Pelaks ana Syūrā................................................................................ 46 2.............................................................................................. Anggot a Syūrā ................................................................................... 50 3.............................................................................................. Mekan isme Syūrā ............................................................................. 52 B. Perbedaan Syūrā dan Demokrasi Menurut Hasan al-Banna .............. 54 C. Korelasi Konsep “Syūrā yang Mengikat” dengan Kekuasaan Negara ................................................................................................ 60 D. Praktik Syūrā dalam Pemikiran Hasan al-Banna ............................... 63
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................................ 68 B. Saran-saran......................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 71
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam merupakan sebuah agama yang sangat menganjurkan para pemeluknya untuk memegang prinsip syūrā (bermusyawarah) dalam menjalani roda kehidupan. Karena, selain terdapatnya aturan di dalam Al-Qur’an yang mewajibkan untuk mengikuti prinsip tersebut, syūrā juga merupakan dasar kedua dari sistem kenegaraan Islam setelah keadilan. 1 Karena sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an, dan yang telah diketahui bersama bahwasanya Al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang memiliki ruh pembangkit, penguat dan tempat berpijak serta merupakan suatu undang-undang dan konsep-konsep global (syumul) yang dapat dijadikan acuan dalam mencari solusi bagi setiap permasalahan umat muslim2, maka Nabi pun selalu menerapkan budaya musyawarah3 di kalangan para sahabatnya. Walaupun beliau seorang Rasul, namun beliau amat gemar berkonsultasi dengan para pengikutnya khususnya dalam soal-soal kemasyarakatan. Dalam hal ini Rasul tidak hanya mengacu pada satu pola saja, akan tetapi beliau menyesuaikan dengan kondisi permasalahan yang ada. Adakalanya beliau merasa hanya harus berkonsultasi pada beberapa sahabat senior saja atau pada orang-orang yang memang ahli atau profesional dalam hal yang dipersoalkan, namun tidak jarang pula 1
M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 272 Sayyid Qutb, Fiqih Dakwah, Penerjemah Suwardi Effendi, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), cet. Ke-2, h. 1 3 Sebenarnya Bangsa Arab telah mengenal system syūrā jauh sebelum Islam datang. Syūrā merupakan salah satu tradisi suku-suku Arab yang sudah membumi dan turun-temurun hingga sekarang. Syūrā muncul dan tumbuh bukan untuk menguasai kepala atau pemimpin suku, melainkan lebih merupakan mekanisme penjaringan ide-ide terbaik yang berlangsung di lembaga Majelis Permusyawaratan Suku. Lihat KH. Husain Muhammad, Dawrah Fiqih Perempuan, (Cirebon: Fahmina Institute, 2006), hal. 135 2
beliau melemparkan masalah-masalah pada pertemuan-pertemuan besar karena memang masalah tersebut memiliki dampak yang luas bagi masyarakat tersebut. Adapun beberapa penerapan syūrā yang dilakukan oleh Nabi dapat terlihat dalam sejarah Pertempuran Badar, Perjanjian Hudaibiyah, Masalah Tawanan Badar dan Perlakuan terhadap Jenazah Abdullah bin Ubayi bin Salul.4 Sesungguhnya selain terdapatnya dua teks ayat dalam kitab suci Al-Qur’an yang memerintahkan untuk menerapkan atau menjalankan prinsip syūrā, beberapa hadistpun telah mengungkapkan betapa pentingnya melakukan syūrā, karena dengan syūrā maka jalan yang benar untuk mencapai solusi yang lebih bijaksana dan baik untuk kemaslahatan individu maupun kelompok serta Negara akan dengan mudah didapatkan.5 Dengan melihat beberapa kelebihan yang dimiliki oleh konsep syūrā, maka hal itulah yang kemudian melatar belakangi pemikiran para intelektual muslim untuk tidak pernah meninggalkan tema tersebut dalam beberapa hasil karyanya, khususnya yang berkenaan dengan pemerintahan dan kepemimpinan. Salah satu pemikir sekaligus ulama yang sangat fenomenal adalah seperti Hasan al-Banna pun tergerak untuk membahas dengan rinci apa dan bagaimana suatu prinsip yang ditengarai dapat menyatukan beberapa fikiran untuk mencapai sebuah kemufakatan itu. Dalam beberapa karyanya beliau benar-benar terlihat sangat focus dalam membahas tema yang merupakan salah satu nilai Islam yang sangat berharga tersebut. Hal itu dapat terbuktikan dengan adanya penerapan konsep tersebut pada gerakan yang memang beliau dirikan yaitu gerakan Ikhwanul Muslimin.
4 5
Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), cet. Ke-5, h. 16-17 Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2000), h. 54
Ikhwanul Muslimin merupakan sebuah organisasi yang berdiri pada tahun 1928 di kota Isma’iliyah, sebelah timur laut Kairo, Mesir.6 Organisasi yang dalam bahasa Indonesia memiliki pengertian Saudara-saudara Sesama Muslim ini merupakan sebuah organisasi yang terlihat sangat matang dalam “menguasai medan” di awal kemunculannya. Hal tersebut dapat terbuktikan dengan datangnya sambutan dan dukungan yang sangat antusias dari masyarakat luas terhadap berbagai kegiatan moral dan social yang memang menjadi “agenda utama” Ikhwanul Muslimin dalam sepuluh tahun pertama. Walaupun pada awalnya Ikhwanul Muslimin tidak pernah mengklaim dirinya sebagai organisasi politik, namun pada akhirnya hal tersebut merupakan suatu ungkapan yang tidak dapat terbantahkan lagi melihat awal kelahirannya yang memang merupakan sebuah reaksi terhadap kondisi perpolitikan di Mesir pada saat itu serta tindak tanduknya yang semakin hari semakin mencerminkan sebuah organisasi politik.7 Meskipun dalam perjalanan politiknya Ikhwanul Muslimin sempat mengalami pasang surut dengan menghilang “di bawah tanah” atau meninggalkan Mesir dan pindah ke Negara-negara Arab lainnya, namun akhirnya organisasi yang dalam jangka waktu 21 tahun sudah memiliki lebih dari dua ribu cabang yang tersebar di seluruh pelosok Mesir ini terlibat secara langsung dalam pergolakan politik di Mesir pada saat itu dengan menentang kekuasaan pendudukan Inggris dan berdirinya Negara Israel di atas bumi Palestina.
6
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 145 John L Esposito, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, (Bandung: Penerbit Mizan, 2001), cet ke-1 , h. 267-268 7
Mendambakan berdirinya Negara Islam di Mesir memang menjadi prioritas utama bagi gerakan ini, namun yang pasti dalam memahami ajaran, masyarakat serta Negara Islam, Ikhwanul Muslimin sangat terwarnai oleh pendiri organisasi tersebut. Seperti yang telah dikatakan diatas, konsep syūrā merupakan salah satu konsep yang sangat diusung oleh Hasan Al-Banna dan akhirnya diterapkan oleh gerakannya yaitu Ikhwanul Muslimin. Namun penerapan belum dapat dibuktikan tanpa adanya hasil nyata atau pengaplikasian terhadap konsep tersebut. Oleh sebab itu hal inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan bagi penulis untuk memilih pembahasan ini, karena selain terdapatnya tema tersebut pada mata kuliah pemikiran dan gerakan politik Islam modern dalam jurusan Pemikiran Politik Islam, mengetahui lebih dalam merupakan tujuan utama dalam penulisan ini. Penulis berharap dengan adanya tulisan ini para pembaca tidak hanya mengetahui namun juga dapat memahami apa yang dimaksud dengan konsep syūrā dan apa bukti dari penerapan konsep tersebut pada gerakan Ikhwanul Muslimin. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Sebagaimana pemaparan diatas, karya ilmiah ini hanya akan membatasi pada konsep syūrā perspektif Hasan Al- Banna. Kalaupun sudah ada beberapa penulis yang menuangkan konsep ini pada beberapa hasil karyanya , namun pada kajian ini penulis hanya lebih menitik beratkan pada praktek atau penerapan konsep tersebut dalam gerakan politik Ikhwanul Muslimin, karena konsep tersebut merupakan salah satu landasan dasar dalam system politik gerakan tersebut. Adapun perumusan masalah yang akan dikaji dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1 Bagaimana pemikiran politik Hasan Al-Banna mengenai konsep syūrā?
2 Apakah syūrā berbeda dengan system demokrasi? 3 Sejauh mana peng-aplikasian konsep syūrā perspektif Hasan Al-Banna dalam perjalanan politik gerakan Ikhwanul Muslimin?
C. Tinjauan Pustaka Sebenarnya sudah ada beberapa penulis lain yang mengkaji aspek pemikiran Politik Hasan Al-Banna, namun demikian diantara kajian-kajian para penulis lain mempunyai aspek-aspek yang berbeda antara lain: 1
Jum’ah Amin Abdul Aziz dalam Tsawabit dalam Manhaj Gerakan Ikhwan, tulisan ini lebih menitikberatkan pada pembahasan tsawabit8
jamaah Al-
Ikhwanul Muslimin yang terinspirasi oleh pemikiran Hasan Al-Banna. 2
Ustman Abdul Muiz Ruslan dalam Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan “IKHWAN” untuk Para Anggota Khususnya dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya dari Tahun 1928 hingga 1954, tulisan ini lebih menitikberatkan pada pembahasan pemikiran politik Hasan Al-Banna secara global serta pembahasan tentang pendidikan politik menurut gerakan Ikhwanul Muslimin pada periode 1928-1954 di Mesir.
3
Prof. Dr. Taufiq Yusuf Al-Wa’iy dalam Pemikiran Politik Kontemporer AlIkhwan Al-Muslimun Studi Analitis, Observatif, Dokumentatif, tulisan ini lebih menitikberatkan pada sejarah panjang perpolitikan gerakan Ikhwanul Muslimin yang disertai dengan segala prinsip-prinsipnya.
8
Tsawabit adalah hal-hal yang tidak boleh berubah atau berganti kapan dan di manapun. Tsawabit juga merupakan kaidah-kaidah yang mengikat individu-individu, bingkai yang mengendalikan perilaku mereka, dan parameter akurat yang tidak pernah keliru, yang dengannya mereka dibedakan dari orang lain.
D. Tujuan Penelitian Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis memiliki beberapa tujuan, baik secara umum maupun khusus. Secara umum: Memaparkan pemikiran Hasan Al-Banna tentang konsep syūrā yang terealisasi dalam perjalanan politik gerakan Ikhwanul Muslimin. Secara Khusus: 1 Memberikan panduan secara spesifik dalam memahami pandangan Hasan alBanna dalam mengemukakan konsep syūrā 2 Mengemukakan bahwa syūrā perspektif Hasan al-Banna berbeda dengan demokrasi 3 Menemukan sekaligus membuktikan pengaplikasian konsep syūrā perspektif Hasan al-Banna pada gerakan politik Ikhwanul Muslimin
E. Metode Penelitian Dalam pengumpulan data penulis mengambil dari berbagai literatur, baik dari sumber data yang primer seperti (Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 1 karya AlImam Asy-Syahid Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 2 karya AlImam Asy-Syahid Hasan al-Banna, Memoar Hasan al-Banna untuk Dakwah dan Para Dainya karya Al-Imam Asy-Syahid Hasan al-Banna), maupun yang bersifat sekunder seperti (Meretas Jalan Kebangkitan Islam; Peta Pemikiran Hasan al-Banna karya Abdul Hamid al-Ghazali, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin karya Utsman Abdul Muiz
Ruslan, Tsawabit dalam Manhaj Gerakan Ikhwan karya Jum’ah Amin Abdul Aziz, dan Pemikiran Politik Kontemporer al-Ikhwan al-Muslimun karya Taufik Yusuf al-Wa’iy,)9. Penulis menggunakan metode Library Research (Penelitian Kepustakaan) yaitu dengan menelaah buku-buku, majalah-majalah, beberapa artikel dari surat kabar, serta internet yang penulis anggap relevan dengan pokok permasalahan. Metode pembahasan dalam skripsi ini adalah deskripsi analitis, yaitu dengan mendeskripsikan data-data yang ada (baik data primer maupun data sekunder), kemudian menganalisanya secara proporsional sehingga akan nampak jelas rincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Adapun metode penulisan ini berdasarkan pada Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah tahun 2005-2006.
F. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran secara garis besar dari seluruh permasalahan yang akan dibahas serta untuk memudahkan dalam menelaahnya, maka penulis membagi skripsi ini dalam lima bab sebagai berikut; Bab Pertama,
Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan, sebagai penuntun pembaca secara sistematis dalam memahami isinya secara keseluruhan.
9
Data primer merupakan buku-buku pokok yang berkaitan dengan pembahasan dalam skripsi ini, dan data sekunder merupakan referensi tambahan yang berupa majalah, situs di internet serta beberapa artikel di surat kabar.
Bab kedua,
Memberikan penjelasan tentang sejarah hidup Hasan Al-Banna, dari segi pemikiran serta tindak tanduknya dalam perpolitikan.
Bab ketiga,
Merupakan bab yang berisi tentang tinjauan umum tentang konsep syūrā
Bab keempat,
Mengabstraksikan pemikiran Hasan Al-Banna tentang
konsep
syūrā yang teraplikasi pada gerakan politik Ikhwanul Muslimin Bab kelima,
Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran
BAB II BIOGRAFI HASAN AL-BANNA
A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan Imam Syahid Hasan Al-Banna adalah tokoh pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin yang terlahir di Distrik Mahmudiyah dekat Iskandariah atau kota kecil yang terletak di sebelah timur laut Kairo, Mesir pada tanggal 17 Oktober 1906 M/1323 H.10 Beliau merupakan putra dari Syeikh Ahmad Abd al-Rahman al-Banna yang merupakan salah satu mahasiswa Al-Azhar pada masa Muhammad Abduh masih mengemban tugas di sana. Sebelum melanjutkan studi ke Universitas Dar Al-‘Ulum, sang tokoh kharismatik itu telah terlebih dahulu menyelesaikan studinya di sekolah guru Damanhur sejak tahun 1923 hingga tahun 1927. Dalam mengisi hari-harinya al-Banna muda sangat disibukkan dengan berbagai kegiatan di sekolahnya, sampai akhirnya ia mendirikan sebuah organisasi
yang
bernama
Muharabah
Al-Munkarat
(Organisasi
Pemberantas
Kemungkaran). Kesibukan berorganisasi tidak membuat al-Banna terlena dan lupa akan tugasnya sebagai pelajar, namun justru semakin membuat ia memiliki pengetahuan yang lebih dibanding para pelajar yang lain. Hal tersebut dapat terlihat dari diperolehnya predikat lulusan terbaik ke-5 untuk seluruh Sekolah Menengah Umum (SMU) di Mesir. Kecerdasan otak sang imam yang sejak remaja sudah turut ambil bagian dalam tarekat sufi Hashafiyah ini memang sudah tidak dapat diragukan lagi keabsahannya. Hal tersebut kembali dapat ia buktikan dengan dinobatkannya sebagai mahasiswa yang 10
Fathi Yakan, Revolusi Hasan Al-Banna, (Jakarta: Harakah, 2002), cet ke-1, h. 3
berhasil lulus dengan yudisium terbaik pertama tingkat Universitas yang didirikan oleh Muhammad Abduh itu.11 Sesungguhnya disanalah kehidupan Hasan al-Banna mulai terasa semakin “hidup”, karena di kota besar itulah beliau benar-benar memahami arti kehidupan dengan banyak berkenalan dan berinteraksi dengan orang-orang ternama disekitarnya. Mengenal Rasyid Ridha beserta gerakan Salafiyahnya merupakan awal pembentukan pola fikir alBanna muda dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan di dunia. Apalagi hal tersebut didukung oleh rajinnya sang imam untuk membaca majalah Al-Manar yang memang merupakan kumpulan beberapa tulisan tokoh-tokoh ternama seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh serta Rasyid Ridha. Dapat menyerap semangat pembaharuan para penulisnya memang merupakan salah satu hikmah yang pertama kali didapatkan oleh sang imam. Namun dari beberapa tulisan yang ada pada majalah tersebut, hasil karya Rasyid Ridhalah yang dapat menduduki peringkat teratas di hati dan fikiran al-Banna. Ia benar-benar terpana dengan isi atau kandungan tulisan Ridha yang lebih fokus dalam membahas tema-tema politik dan sosial. Ridha berpendapat bahwa Islam merupakan agama yang sempurna dan memiliki aturan-aturan hukum yang dapat berfungsi untuk mengatur segala persoalan yang terjadi pada umat manusia, termasuk masalah politik, ekonomi dan sosial. Oleh karena itu, betapa perlunya didirikan Negara atau pemerintahan Islam dan diberlakukannya hukum Islam menjadi salah satu topik andalannya.12 Setelah menyelesaikan studinya di sekolah yang sempat dimasyhurkan oleh Muhammad Rasyid Ridha tersebut, pada September 1927 al-Banna mulai mengajar di
11 12
Fathi Yakan, Revolusi Hasan Al-Banna, h. 4 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah, dan pemikiran, h. 147
sekolah dasar di Isma’iliyah. Di tengah kesibukan kegiatan barunya, ia masih tetap menjadi koresponden majalah Pemuda Muslim Kairo yang bernama Al-Fath serta menjalin hubungan baik dengan kelompok Maktabah Salafiah atau penerbit jurnal AlManar pimpinan Rasyid Ridha. Sampai pada akhirnya al-Banna dapat mengambil alih jurnal tersebut untuk periode 1939 hingga 1941.13 Latar belakang keluarga yang penuh dengan keilmuan dan pengetahuan agama merupakan dasar yang sangat dominan dalam pembentukan diri sang imam al-Banna. Hal tersebut dapat terlihat pada perkembangan pribadi al-Banna yang sangat mengagumkan. Ia tumbuh menjadi sosok yang sangat cerdas, kritis serta bersifat zuhud. Sejak kecil ia selalu menerapkan atau membiasakan diri untuk shalat malam, puasa Senin-Kamis dan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an. Semua yang telah dilakukan al-Banna kecil bukanlah suatu pekerjaan yang main-main, karena dengan hasil kerja kerasnya itu ia mampu menghafal setengah Al-Qur’an (15 Juz) yang kemudian ia sempurnakan menjadi 30 Juz ketika menginjak masa akil baligh. Dengan menjadi seorang yang religius tidaklah membuat sang pengikut tarekat sufi Hasyafiyah ini tidak lagi perduli dengan masalah-masalah yang ada di muka bumi. Justru karena rasa kecintaannya yang begitu dalam pada agamanya (ghirah), dia terdorong untuk mengubah kemungkaran dengan tangannya sendiri.14 Pengalaman pertamanya dalam mengajar merupakan guru yang sangat berharga bagi diri al-Banna, karena walaupun harus hidup ditengah situasi dan kondisi yang kurang mendukung, ia tetap mampu untuk bertahan dan bahkan menghasilkan sebuah gagasan. Provinsi Ismailiah yang pada saat itu sangat didominasi oleh pengaruh Inggris
13 14
John L Esposito, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, h. 264 Fathi Yakan, Revolusi Hasan Al-Banna, h. 3
membuat hati al-Banna terluka. Karena baginya, selain gaya kehidupan bercorak Eropa yang membuatnya merasa berada di Inggris, ia merasa tersinggung atas perlakuan Inggris terhadap masyarakat Mesir yang telah memandang hina dengan memperlakukan para pekerja selayaknya seorang hamba. Kegelisahan itupun akhirnya membawa al-Banna kepada lima rekannya untuk menggagasi sebuah proyek pergerakan perbaikan umat dan kejayaan Islam.
Pada
awalnya mereka hanya menamakan diri mereka dengan sebutan “Muslimin” saja, namun secara spontan mereka berseru “Kita adalah ‘Ikhwanul Muslimin’, yang berarti, “para saudara dari kaum Muslimin”. Kesuksesan mengawali sejarah perjalanan gerakan Ikhwanul Muslimin diawal pertumbuhannya. Hal tersebut dapat terlihat
dari keberhasilannya menjadikan
masyarakat kelas miskin kepada generasi yang teladan dalam memahami nilai-nilai aturan agama. Namun fase pasang surut memang sungguh sangat tidak dapat dihindari dalam perjalanan sebuah pergerakan. Berkembangnya kelompok Ikhwanul Muslimin merupakan ancaman bagi pemerintahan Raja Faruq pada saat itu. Karena dengan peristiwa pada tahun 1947 ketika al-Banna mengutus tentara sukarelanya ke Palestina untuk perang melawan Israel, Faruq benar-benar merasa telah menerima pelajaran pahit dari gerakan yang mempunyai kantor pusat (Darul Ikhwan) di kota Kairo itu. Di sinilah awal dari sejarah kelam gerakan Ikhwanul Muslimin, ketika Raja Faruq merasa khawatir karena mulai ditinggalkan dan dikhianati oleh para sekutu Arabnya, dan sehingga ia merasa sangat takut dengan kembalinya para mujahidin Ikhwanul Muslimin dari Palestina. Pemerintah mulai bergerak untuk melakukan penawanan-penawanan sampai akhirnya pada peristiwa pembunuhan sang Imam di depan kantor Pusat Pemuda
Ikhwanul Muslimin (Dar Asy-Syubban Al-Muslimin) pada tanggal 12 Februari 1949M / 1368 H. Dengan membawa segenggam harapan al-Banna benar-benar kembali keharibaan Sang Pencipta. B. Pemikiran Politik dan Karya-karyanya Pola kehidupan berilmu, tekun menjalankan ibadah serta beramal sudah sangat melekat pada diri Hasan al-Banna. Hal itulah yang kemudian mendominasi latar pemikiran sang Imam untuk memahami konsep Islam dan Iman secara mendalam. Memahami konsep fikih yang berujung pada tuntutan kehidupan secara praktis merupakan sebuah metode yang ditawarkan oleh al-Banna dalam perjalanan dakwah menuju amar makruf nahi munkar. 15 Keimanannya terhadap Allah Swt, Tuhan yang Maha Agung serta kitab suci AlQur’an membawa pemikiran al-Banna kepada sebuah wacana tentang Negara, bangsa, keadilan sosial, dan masyarakat. Ia berpandangan bahwa, Islam merupakan sebuah agama yang universal karena dapat mengatur segala kehidupan manusia di muka bumi dengan segala permasalahannya. Al-Qur’an dan As-Sunnahpun telah diturunkan sebagai petunjuk dalam perjalanan kehidupan manusia.
Intinya al-Banna tidak memisahkan
antara agama dengan kehidupan. Sampai akhirnya gerakan yang didirikannya memakai slogan antara lain, “ Al-Qur’an Undang-Undang Dasar kami”, dan “Hanya Al-Qur’an Konstitusi kami”, “Al-Qur’an Hukum kami dan Muhammad teladan kami”. Selain penolakannya terhadap gerakan sekularisasi , nasionalisme Arab sekularisasi, dan disistematisasi, al-Banna juga anti terhadap nasionalisme modern, khususnya fasisme Eropa atau nazisme. Untuk masalah “jihad” atau berjuang di jalan 15
Anwar al-Jundi, Biografi Hasan Al-Banna, (Solo: Media Insani Press, 2003), cet. Ke-1, h. 25
Allah,
al-Banna sangat jauh dari pengertian yang beraroma kekerasan. Ia memang
pernah mendeklarasikan bahwa perang adalah wajib, namun hal itu ia katakan pada saat bangsa Mesir berhadapan dengan kolonial Inggris. Kemudian ia menegaskan bahwa untuk saat ini (pada saat itu) jihad merupakan suatu kewajiban individual bagi semua (fardh ‘ain) dan bukan kewajiban kolektif (fardh kifayah) yang sebagian individu dapat mewakili yang lain.16 Beberapa karya peninggalan Imam Hasan al-Banna, baik yang berupa karya tulis maupun dalam bentuk kumpulan-kumpulan pesan masih terkesan indah bagi para pengikutnya. Adapun di antara karya-karya tulis yang ditinggalkan oleh Imam Hasan AlBanna adalah; Ahaditsul Jum’ah (Pesan Setiap Jum’at), Mudzakkiratud Dakwah wadDa’iah (Pesan-Pesan buat Dakwah dan Da’i), Al-Ma’tsurat (Wasiat-wasiat). Karya-karyanya yang berupa kumpulan pesan (Majmu’atur-Rasail) adalah; Da’watuna (Misi Kita), Nahwan Nur (Menuju Kecerahan), Ila Asy-Syahab (Kepada Para Pemuda), Bainal Amsi Wal Yaum (Antara Kemarin dan Hari Ini), Risalatul Jihad (Pesan Jihad), Risalatut Ta’alim (Pesan-pesan Pendidikan), Al-Mu’tamar Al-Khamis (Konferensi Kelima), Nizhamul Usar (Sistem Kelompok Kecil Pergerakan), Al-‘Aqaid (Prinsipprinsip), Nizhamul Hukm (Sistem Pemerintahan), Al-Ikhwan Tahta Rayatil-Quran (Ikhwan di Bawah Bendera Al-Qur’an), Da’watuna fi Thaurin Jadid (Misi Kita dalam Masa Baru), Ila Ayyi Syai’in Nad’un Nas (Ke Arah Mana Kita Menyeru Manusia?), dan An-Nizham Al-Iqtishadi (Sistem Perekonomian). 17
C. Peranannya dalam Negara
16 17
John L.Esposito, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, h. 267 Fathi Yakan, Revolusi Hasan Al-Banna, h. 13
1. Dalam Bidang Agama Menegakkan amar makruf nahi munkar merupakan sebuah keinginan besar AlBanna dalam perjalanan hidupnya. Hal itulah yang kemudian mendorong sang imam untuk giat mendalami ilmu agama dengan bergabung kepada beberapa organisasi di sana. Pembawaan al-Banna yang supel dan pandai bergaul membuat ia tampak dengan mudah untuk masuk ke suatu komunitas baru. Adapun salah satu perkumpulan yang pada saat itu sangat mendukung proses pematangan diri Al-Ustadz Al-Banna ialah perkumpulan bersama para pemuda Al-Mahmudiyah. Perkumpulan tersebut sangat mengutamakan konsep-konsep akhlaq Islam dalam menjalani roda kehidupan, barang siapa yang “keluar dari rel” dan batas-batas agama maka sangsi telah menghadang dimuka.18 Selain bergabungnya al-Banna dengan para pemuda Al-Mahmudiyah, pemikiranpemikiran Al-Hisyafiyah juga sangat mendominasi dalam pematangan ilmu agama sang imam. Beliau merasa, di tempat itulah ia dapat menjadikan majalah-majalah besar sebagai bahan dialog, mengkaji kitab-kitab besar serta mendiskusikan segala persoalan yang tampak terlihat kontroversial. Diskusi masalah thariqat, kewalian, dunia sufi dan segala persoalan yang erat kaitannya dengan sunnah Rasulullah saw dan bid’ah-bid’ah serta persoalan-persoalan lain menjadi topik utama dalam diskusi yang semakin menghangat. Pengetahuan agama yang semakin dalam inilah yang kemudian memacu seorang al-Banna menjadi seorang yang religius. Ia tampak kerap melakukan perjalanan panjang menelusuri jalan ibadah dan dzikir dengan cara melakukan I’tikaf di Masjid. Hal tersebut sampai pada akhirnya menjadikan al-Banna memiliki kematangan premature karena
18
Anwar al-Jundi, Biografi Hasan Al-Banna, h. 26
dapat mengkolaborasikan antara ilmu-ilmu fikih dengan tasawuf tanpa harus bergeser dari koridor yang telah ditetapkan.19
19
Anwar al-Jundi, Biografi Hasan Al-Banna, h. 32-33.
2. Dalam Bidang Ekonomi dan Sosial Ekonomi dan sosial merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Karena dengan masyarakat yang sejahtera dalam bidang ekonomi pada suatu Negara maka secara otomatis akan melahirkan manusia yang berjiwa sosial pula. Perubahan secara total merupakan sebuah cita-cita bagi al-Banna. Oleh karena itulah, pembenahan dalam bidang ekonomi dan sosial pun masuk kedalam daftar cita-cita pembaharuan al-Banna. Karena didukung oleh konsepnya yang tidak memisahkan antara ilmu dengan amal, maka dalam hal inipun Banna mengadopsi dari salah satu rukun Islam, yaitu zakat. Ia menyusun suatu sistem fiskal20 yang ketat dengan mengatakan bahwa karena zakat diwajibkan dalam agama Islam untuk pembelanjaan sosial (menolong orang-orang yang pailit dan miskin), maka harus diterapkan pajak-pajak sosial secara bertahap dengan memperhitungkan kekayaan bukan keuntungan. Dalam hal ini kaum miskin tentu saja termasuk kedalam kelompok pengecualian. Karena pajak hanya akan dikenakan kepada orang kaya untuk meningkatkan standar hidup. Selain itu al-Banna juga menolak sistem bunga Bank modern atau Bank konvensional, surat obligasi (dengan suku bunga tertentu) dan bunga spekulatif, yang disebut dengan riba, namun ia tidak mengecam dividen saham. 21 Inilah bukti dari keterkaitan antara masalah ekonomi dengan kehidupan sosial suatu masyarakat. Menurutnya, untuk menjadikan masyarakat Islam menjadi masyarakat yang berkeadilan sosial bukan melalui berfikir benar dan bertindak baik semata-mata,
20
Suatu hal mengenai atau berhubungan dengan keuangan atau pajak. Lihat Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Gitamedia Press, 2006), cet. Ke-1, h. 135 21 Keuntungan perusahaan yang dibagi-bagikan kepada pemenang saham. Lihat Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Gitamedia Press, 2006), cet. Ke-1, h. 95
melainkan juga melalui lembaga, campur tangan Negara, dan pajak atas pendapatan dan kekayaan, termasuk perpajakan progresif.22 3. Dalam Bidang Politik Untuk mengawali karir politiknya, pada Maret tahun 1928 al-Banna bersama enam sahabatnya mendirikan organisasi keagamaan yang menganjurkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran di Ismailiyah. Organisasi ini merupakan cabang dari tarekat Hashafiyah atau tarekat yang para
anggotanya kerap berkumpul di Madrasah Al-
Mu’allimin, Damanhur. Satu tahun kemudian, yaitu pada tahun 1929 organisasi ini dinamai Jam’iyah AlIkhwan Al-Muslimin. Pertumbuhan gerakan yang pernah dimuat dalam surat kabar AlAhram ini terlihat sangat pesat. Hal tersebut dapat terlihat dari terlahirnya 15 cabang pada tahun 1932, 300 cabang pada tahun 1948 dan sampai akhirnya 2000 cabang pada tahun yang sama. Gerakan yang memiliki 4 cabang pada saat didirikan inipun dapat memiliki setengah juta “anggota aktif” di Mesir pada tahun 1945. Lima tahun perjalanan Jam’iyah Al-Ikhwan Al-Muslimin membawa al-Banna mengubah sebuah organisasi keagamaan ini menjadi organisasi politik, namun ia masih tetap mempertahankan gelar mursyid (pembimbing) dalam perjalanan politiknya. Untuk masalah asisten pribadi, al-Banna menunjuk dua belas sampai dua puluh anggota yang kemudian akan diembani tugas sebagai badan pengatur organisasi. Walaupun dalam pengambilan sebuah keputusan harus merupakan kebulatan suara, namun Banna sendirilah yang akhirnya menentukan hasil akhir untuk sebuah putusan tersebut. Kemudian untuk anggaran dasarnya, Banna membentuk kelompok sendiri untuk 22
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, h. 268
mengurusnya, kelompok tersebut berupa organisasi khusus (Al-Tanzhim Al-Khash) yang lebih dikenal dengan sebutan “Organisasi Rahasia” atau “Sayap Militer”. Adapun faktor yang melatarbelakangi organisasi keagamaan ini mengubah diri menjadi sebuah organisasi politik yaitu adalah karena Jamaah Ikhwanul Muslimin merupakan bagian dari masyarakat Mesir, maka otomatis ia akan dipengaruhi dan mempengaruhi berbagai situasi dan kondisi Mesir pada saat itu. Kecemasan para anggota Ikhwan bermula pada saat Inggris menduduki Mesir pada 14 September 1882. Inggris dinilai telah melakukan dominasi terhadap segala sistem masyarakat dengan cara menghadirkan militer dan melakukan pendudukan ekonomi, politik, budaya dan pendidikan yang berkiblat pada aturan Barat dan menyimpang dari aturan-aturan Islam. Syaikh Hasan al-Banna menyebutkan bahwa keberadaan tentara Inggris di Ismailia (tempat tumbuhnya Jamaah Ikhwan) membangkitkan kesedihan dalam jiwa setiap warga dan mendorongnya untuk memperhitungkan pendudukan asing ini. Kondisi pendudukan tersebut, berikut tidakan-tindakannya, telah mempengaruhi jiwanya dan menjadi inspirasi bagi berbagai makna yang memiliki pengaruh besar terhadap dakwah dan da’inya. Disamping itu ia juga mengatakan bahwa perasaan yang dirasakan oleh enam orang pekerja Ismailia, bahwa bangsa Arab dan kaum Muslimin (di negeri Mesir) tidak lebih dari derajat buruh yang mengekor kepada orang-orang asing, telah mendorong mereka untuk berterus terang menginginkan terbentuknya sebuah organisasi Ikhwan yang mereka pandang akan membawa kepada kehidupan negeri dan kemuliaan umat.23 Suasana liberalisme Barat yang sangat kental pada saat itu benar-benar membuat “panas” para anggota Ikhwan. Dalam hal ini Hasan al-Banna menyebutkan bahwa berbagai kondisi pemerintahan dan cara-cara menjalankan kekuasaan pemerintah pada 23
Hasan al-Banna, Mudzakkirat Ad-Da’wah wa Ad-Da’iyah, (Kairo: Dar Asy-Syihab, tt), h. 75-76
saat itu banyak berbenturan dengan Jamaah yang dirintisnya. Oleh sebab itu Ikhwan memasukkan masalah ini ke dalam salah satu programnya dan menjadikan diantara tujuan mereka yang berbunyikan: “melebur seluruh partai dan menyatukan kekuatankekuatan umat dalam satu orientasi yang memiliki program Islami”24 Al-Banna merupakan seseorang yang sangat berpengaruh dalam setiap perkembangan yang terjadi di Mesir pada saat itu. Meskipun ia harus berjalan dengan segala rintangan (dimusuhi pemerintah) ia tetap bersemangat untuk tetap melanjutkan perjalanan perjuangannya walau harus dengan gerakan bawah tanah. Walaupun kebijakan politiknya yang menyatakan tidak bersedia bergabung dengan Partai Wafd dengan cara menasihati Raja Faruq agar membubarkan partai-partai dan membentuk “Perserikatan Rakyat” yang akan “bekerja untuk kebaikan bangsa sesuai dengan prinsip-prinsip Islam” dikritik dan dinilai tidak konsisten oleh partai-partai politik, namun pada tahun 1930-an ia berhasil mendirikan sekolah Muslim dan membuka usaha penerbitan. Banna juga menerbitkan surat kabar Al-Ikhwanul Muslimin serta mingguan Al-Ta’aruf dari tahun 1940 hingga 1942.
25
Keputusan ketidaksediannya tersebut dikarenakan karma bagi Ikhwan partai-partai yangmuncul pada saat ini.
24
Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan “IKHWAN” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954,h. 149 25 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, h. 264-266
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP SYŪRĀ
A. Definisi Syūrā Di kalangan masyarakat luas, kata syūrā memiliki pengertian yang sangat beragam. Sesungguhnya istilah syūrā berasal dari kata sy-wa-ra, syawir yang berarti berkonsultasi, menasehati, memberi isyarat, petunjuk dan nasehat. Adapula yang mengatakan bahwa kata syūrā memiliki kata kerja yaitu syāwara-yusyāwiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Adapun bentukbentuk lain yang berasal dari kata kerja asyāra adalah yusyiru yang berarti memberi isyarat, tasyāwara yang berarti berunding, saling bertukar pendapat, syāwir yang berarti meminta pendapat, musyawarah, dan mustasyir yang berarti meminta pendapat orang lain. Dalam bahasa Arab biasa pula dijumpai istilah syara al-a’sai yang berarti mengeluarkan madu dari sarangnya, atau memetik, lalu mengambilnya dari sarang dan tempatnya.26 Merujuk pada pengertian kata yang telah ada, maka syūrā dapat diartikan dengan kata musyawarah atau yang berarti saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara. Dari uraian diatas, para intelektual muslim telah memiliki pendapat sendiri dalam mendefinisikan kata tersebut. Menurut Imam Syahid Hasan al-Banna syūrā adalah suatu proses dalam mencari sebuah keputusan atau kesepakatan yang berdasarkan pada suara terbanyak dan berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan hendaklah setiap urusan
26
139-140
Khalil Abdul Karim, Syari’ah Sejarah Perkelahian dan Pemaknaan (Yogyakarta: LKIS, 2003), h.
itu diserahkan kepada para ahlinya demi mewujudkan suatu hasil yang maksimal dalam rangka menjaga stabilitas antara pemimpin (pemerintah) dengan rakyat.27 Dalam hal ini Hasan al-Banna sangat terinspirasi oleh dua ayat dalam Al-Qur’an yang berisi tentang anjuran untuk bermusyawarah serta sunnah Rasulullah yang juga telah diterapkan oleh khulafaurasyidin. Seorang mufasir yang bernama Al-Qurtubi (w. 9 Syawal 671) mengatakan bahwa; “Musyawarah adalah salah satu kaidah syarak dan ketentuan hukum yang harus ditegakkan. Maka barang siapa yang menjabat sebagai kepala Negara, tetapi ia tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama (ulama) haruslah ia dipecat.”28 Selain Hasan al-Banna dan Al-Qurtubi, seorang penulis Islam seperti Fazlur Rahman pun memiliki komentar sendiri dalam hal ini. Menurutnya, dalam rangka usaha perbaikan terhadap dunia serta dalam menciptakan sebuah hubungan yang harmonis, maka dibutuhkan hubungan yang baik pula antara sesama manusia yang taat terhadap perintah Allah melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena sesungguhnya, hubungan antara sesama manusia tidak dapat terlepas dari hubungan mereka dengan Tuhannya. Keyakinan itulah yang kemudian memacu Fazlur Rahman untuk menegaskan betapa pentingnya melakukan musyawarah (syūrā) dalam kehidupan manusia. Ia juga mengatakan bahwa pelaksanaan musyawarah akan menjamin stabilitas politik bila memang dapat dikembangkan sebagai sebuah lembaga yang efektif dan permanen.29
27
Abdul Hamid Al-Ghazali, Meretas Jalan Kebangkitan Islam, Peta Pemikiran Hasan al-Banna, Penerjemah Wahid Ahmadi, (Solo: Era Intermedia, 2001), cet. Ke-1, h. 262 28 Abdul Aziz Dahlan, dkk. (ed.), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,, 1996), cet. Ke-6, h. 18 29 Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, (Karachi: Central Institut of Islamic Research, 1965), h. 86
Setelah dua pengertian yang terlihat ekstrim dan lebih fokus terhadap dunia pemerintahan, Ibn Huwaiz Mandad mencoba memberikan pengertian kata tersebut. Secara menyeluruh ia mengatakan bahwa para penguasa wajib bermusyawarah dengan para ulama dalam hal-hal yang tidak mereka ketahui dan dalam soal-soal agama yang samar-samar, penguasa wajib mengarahkan prajurit dalam soal-soal perang dan mengarahkan orang banyak dalam soal-soal kemashlahatan. Begitu pula penguasa wajib mengarahkan sekretaris, wazir dan para pejabat dalam hal kemaslahatan dan pengaturan negeri.30 Dalam mengartikan kata syūrā, tidak ada perbedaan yang signifikan antara pendapat satu dan yang lainnnya. Namun perbedaan itu jelas terlihat pada objek dari musyawarah tersebut. Menurut salah satu tokoh panutan al-banna yaitu Muhammad Rasyid Ridha, objek yang boleh di musyawarahkan hanyalah yang berkaitan dengan urusan dunia saja, dan tidak untuk masalah agama. Karena hal-hal yang berkaitan dengan urusan agama seperti, keyakinan dan masalah-masalah ibadah merupakan suatu hal yang telah ditetapkan hukumnya dan apabila hukum-hukum tersebut dimusyawarahkan itu berarti telah mencampuri suatu hukum yang telah disyariatkan oleh Allah swt. 31 Namun pendapat tersebut berbanding terbalik dengan pemikiran at-Tabari, Fakhruddin ar-Razi, Muhammad Abduh dan al-Maragi, bagi mereka hal-hal yang boleh dimusyawarahkan bukan saja masalah yang berkaitan dengan urusan keduniaan namun juga masalah-masalah keagamaan. Bagi mereka, setiap permasalahan yang ada baik itu di bidang sosial, ekonomi maupun politik, pasti memerlukan jawaban yang merujuk pada aturan agama. 30
Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad al-Anshar al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz II, (Kairo: Dar al-Sya’b, tt), h. 1491-1492 31 Abdul Aziz Dahlan, dkk. (ed.), Ensiklopedi Islam, h. 19
B. Isyarat Al-Qur’an dan As-Sunnah Al-Qur’an merupakan suatu landasan yang berisi petunjuk dan bimbingan etik serta moral dalam kehidupan manusia. Walaupun Al-Qur’an tidak pernah mengemukakan solusi setiap permasalahan dengan jelas dan hanya berbentuk isyarat, namun isyarat mengenai petunjuk bernegara dan pemerintahanlah yang memiliki dasar fundamental dalam Al-Quran. Isyarat tersebut dapat dilihat dari terdapatnya aturan yang mewajibkan untuk bermusyawarah di dalam Al-Qur’an. Karena musyawarah merupakan salah satu nilai etika politik yang konstitusional dalam kehidupan kenegaraan Islam dan termasuk kedalam pembahasan Negara, maka pembahasan tentang prinsip syūrā pun terdapat di dalam Al-Qur’an.32 Sesungguhnya pembahasan tentang syūrā sudah tertera sangat jelas pada tiga ayat dalam kitab suci Al-Qur’an. Walaupun ketiga ayat tersebut terdiri dari latar belakang masalah yang berbeda, namun pada intinya ketiga ayat tersebut berisi anjuran untuk melakukan musyawarah dalam mencapai sebuah keputusan. Ayat yang pertama yaitu lebih menjelaskan kepada musyawarah dalam hubungan keluarga atau rumah tangga. Dalam surah Al-Baqarah ayat 233 berbunyi;
ﻋﻠَﻰ َ ﻋ َﺔ َو َ ﻦ َأرَا َد أَن ُﻳ ِﺘﻢﱠ اﻟ ﱠﺮﺿَﺎ ْ ﻦ ِﻟ َﻤ ِ ﻦ آَﺎ ِﻣَﻠ ْﻴ ِ ﺣ ْﻮَﻟ ْﻴ َ ﻦ ﻻ َد ُه ﱠ َ ﻦ َأ ْو َ ﺿ ْﻌ ِ ت ُﻳ ْﺮ ُ وَا ْﻟﻮَاِﻟﺪَا ﻻ ُﺗﻀَﺂ ﱠر َ ﺳ َﻌﻬَﺎ ْ ﻻ ُو ﺲ ِإ ﱠ ٌ ﻒ ﻧَ ْﻔ ُ ﻻ ُﺗ َﻜﻠﱠ َ ِﻦ ﺑِﺎ ْﻟﻤَ ْﻌﺮُوف ﺴ َﻮ ُﺗ ُﻬ ﱠ ْ ا ْﻟﻤَ ْﻮﻟُﻮدِ َﻟ ُﻪ ِر ْز ُﻗ ُﻬﻦﱠ َو ِآ ﻻ ﻋَﻦ ً ن َأرَادَا ِﻓﺼَﺎ ْ ﻚ َﻓِﺈ َ ﻞ َذِﻟ ُ ث ِﻣ ْﺜ ِ ﻋﻠَﻰ ا ْﻟﻮَا ِر َ ﻻ ﻣَ ْﻮﻟُﻮ ُدﻟﱠ ُﻪ ِﺑ َﻮَﻟ ِﺪ ِﻩ َو َ َواِﻟ َﺪ ُة ِﺑ َﻮَﻟ ِﺪهَﺎ َو ﻼ َ ﻻ َد ُآ ْﻢ َﻓ َ ﺿﻌُﻮا َأ ْو ِ ﺴ َﺘ ْﺮ ْ ن َأ َر ْد ُﺗ ْﻢ أَن َﺗ ْ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬﻤَﺎ َوِإ َ ح َ ﺟﻨَﺎ ُ ﻼ َ ض ﱢﻣ ْﻨ ُﻬﻤَﺎ َو َﺗﺸَﺎ ُو ٍر َﻓ ٍ َﺗﺮَا ن َ ﷲ ِﺑﻤَﺎ َﺗ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َ نا ﻋﻠَﻤُﻮا َأ ﱠ ْ ﷲ وَا َ ف وَاﺗﱠﻘُﻮا ا ِ ﺳﱠﻠ ْﻤﺘُﻢ ﻣﱠﺂءَاﺗَ ْﻴﺘُﻢ ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌﺮُو َ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ِإذَا َ ح َ ﺟﻨَﺎ ُ َﺑﺼِﻴ ُﺮ “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi 32
Asyri, Zul, Pelaksanaan Musyawarah dalam Pemerintahan Al-Khulafa’ al Rasyidin, h. 12-13
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apa bila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”33 Pada ayat di atas, jelas dikatakan bahwa keputusan untuk diperbolehkannya menyapih anak sebelum mencapai usia 2 tahun akan dapat dilakukan apabila sudah terjadi kesepakatan atau permusyawaratan antara suami dan istri (ayah dan ibu sang anak). Sungguh Maha Agungnya Allah yang telah menurunkan pedoman selengkap kitab suci Al-Qur’an pada umat manusia. Karena dalam ruang lingkup terkecil saja Allah sudah sangat dengan jelas menerangkan dan menganjurkan untuk selalu melakukan musyawarah dalam keluarga. Hal tersebut akan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan kepribadian atau karakter sang anak suatu saat kelak, karena dalam keluarga yang baik pasti akan menghasilkan anak yang baik pula. Kemudian ayat kedua yaitu pada surah Asy-Syura ayat 38 yang berbunyi;
ﻼ َة َوَأ ْﻣ ُﺮ ُه ْﻢ ﺷُﻮرَى َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ َو ِﻣﻤﱠﺎ َر َز ْﻗﻨَﺎ ُه ْﻢ َﺼ ﺳ َﺘﺠَﺎﺑُﻮا ِﻟ َﺮ ﱢﺑ ِﻬ ْﻢ َوَأﻗَﺎﻣُﻮا اﻟ ﱠ ْﻦ ا َ وَاﱠﻟﺬِﻳ ن َ ﻳُﻨ ِﻔﻘُﻮ “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.”34 Pada ayat kedua ini lebih mempertegas kembali kepada betapa pentingnya melakukan syūrā dalam mengambil sebuah keputusan pada setiap permasalahan 33 34
Surah Al-Baqarah, ayat 233 Surah Asy-Syura, ayat 38
kehidupan. Hal tersebut tercermin dari diletakkannya anjuran tersebut diantara kedua perintah yang sangat vital bagi umat Islam. Selain itu, ayat inipun mengandung pujian terhadap para pelakunya karena syūrā dapat membawa manusia kepada kenikmatan yang bernilai ibadah kepada Allah Swt. Adapun ayat ketiga yaitu pada surah Ali Imran ayat 159 yang berbunyi:
ﻚ َ ﺣ ْﻮِﻟ َ ﻦ ْ ﺐ ﻻَﻧ َﻔﻀﱡﻮا ِﻣ ِ ﻆ ا ْﻟ َﻘ ْﻠ َ ﻏﻠِﻴ َ ﺖ ﻓَﻈًّﺎ َ ﺖ َﻟ ُﻬ ْﻢ َوَﻟ ْﻮ آُﻨ َ ﷲ ﻟِﻨ ِ ﻦا َ ﺣ َﻤ ٍﺔ ﱢﻣ ْ َﻓ ِﺒﻤَﺎ َر ﷲ ِ ﻋﻠَﻰ ا َ ﻞ ْ ﺖ َﻓ َﺘ َﻮ ﱠآ َ ﻋ َﺰ ْﻣ َ ﻷ ْﻣ ِﺮ َﻓِﺈذَا َ ﺳ َﺘ ْﻐ ِﻔ ْﺮ َﻟ ُﻬ ْﻢ َوﺷَﺎ ِو ْر ُه ْﻢ ﻓِﻲ ْا ْ ﻋ ْﻨ ُﻬ ْﻢ وَا َ ﻒ ُ ﻋ ْ ﻓَﺎ َﺤﺐﱡ ا ْﻟ ُﻤﺘَﻮَ ﱢآﻠِﻴﻦ ِ ﷲ ُﻳ َ نا ِإ ﱠ “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka. Mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya.”35 Perintah Allah kepada Nabi untuk selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya merupakan anjuran yang sangat baik dalam mencari sebuah kesepakatan, karena musyawarah merupakan ungkapan hati yang lemah lembut serta sifat terpuji bagi orang yang melaksanakannya. Hal ini menarik perhatian Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Tabari untuk menafsirkan ayat diatas. Beliau menyatakan bahwa; “Sesungguhnya Allah swt menyururuh Nabi saw untuk bermusyawarah dengan umatnya tentang urusan yang akan dijalankan supaya mereka tahu hakikat urusan tersebut dan agar mereka mengikuti jejaknya. Namun kewajiban melaksanakan musyawarah bukan hanya dibebankan kepada Nabi saw, melainkan juga kepada tiap orang mukmin, sekalipun perintah tersebut ditujukan kepada Nabi saw.” Sehubungan dengan Al-Qur’an yang diciptakan untuk seluruh umat di dunia, maka perintah yang ada di dalam Al-Qur’an pun tidak hanya berlaku kepada Nabi saja 35
Surah Ali-Imran, ayat 159
walaupun perintah tersebut memang diturunkan dan ditujukan kepada Nabi pada saat itu. Ayat tersebut bahkan semakin menunjukkan bahwa, betapa berartinya perintah tersebut untuk umat manusia.
Karena seorang Nabi saja yang sudah dijamin kehidupan
akhiratnya sangat dianjurkan untuk melakukan syūrā, bagaimana dengan manusia yang tidak lepas dari sifat alpha dan dosa?. Abu Ja’far kembali mempertegas dengan mengatakan bahwa perintah yang terkandung dalam ayat tersebut tidak hanya berlaku untuk perorangan namun juga dalam masyarakat modern yang ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga politik, pemerintahan dan masyarakat yang merupakan subjek musyawarah dengan melibatkan para anggotanya yang memang berperan sebagai objek untuk membicarakan segala permasalahan yang mereka hadapi.36 Bagi umat Islam As-sunnah atau hadist merupakan landasan yang kedua setelah Al-Qur’an. Karena terlalu seringnya Rasulullah melakukan
syūrā dengan para
sahabatnya, maka pada suatu kesempatanpun Rasul pernah mengatakan bahwa
ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َ ﺸ ْﺮ ِ ﺣ ُﺪ ُآ ْﻢ َاﺧَﺎ ُﻩ َﻓ ْﻠ َﻴ َ ِاذَا ا ْﻧﺸَﺎ َر َا “Apabila salah seorang kamu meminta nasehat kepada saudaranya, maka hendaklah ia memberikan pertunjuk kepadanya”.37 Pada hadist ini, sangatlah jelas bahwa Islam merupakan agama persaudaraan. Sangat dianjurkan bagi sesama muslim untuk saling memberi dan menerima nasehat dalam mengatasi setiap permasalahan. Sebab sebagaimana juga yang pernah dikatakan Rasulullah bahwa
ﻦ ٌ ﺴ َﺘﺸَﺎ ُر ُﻣ ْﺆ َﺗ َﻤ ْ َا ْﻟ ُﻤ
“Orang-orang yang diminta nasehatnya berarti ia dipercaya”38 36
Abdul Aziz Dahlan, dkk. (ed.), Ensiklopedi Islam, h. 18 Hadist tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Lihat Ibn majah Juz II, ditahqiq oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 1233 37
Selain dua hadist di atas yang terlihat mengarah pada anjuran untuk melakukan musyawarah, ada sebuah hadist yang memang dengan tegas dimaksudkan untuk melakukan musyawarah tersebut. Adapun hadist yang telah diriwayatkan oleh Thabrani itu berbunyi;
ﺸﺎ َر َ ﺳ َﺘ ْ ﻦا ِ ﻻ َﻧ ِﺪ َم َﻣ َ ﺨﺎ َر َو َ ﺳ َﺘ ْ ﻦا ِ ب َﻣ َ ﺧﺎ َ َﻣﺎ ”Tidak akan gagal orang yang mengerjakan istikharah untuk menentukan pilihan dan tidak menyesal orang yang melakukan musyawarah”.39 Dengan melihat beberapa hadist diatas dapat disimpulkan bahwa musyawarah merupakan suatu tindakan yang dapat membuka cakrawala berfikir dalam mengatasi setiap permasalahan. Selain itu, musyawarah juga dapat menciptakan stabilitas sosial dan mempertahankan integritas umat di dunia, karena dengan keputusan yang diambil secara bersama, maka akan menimbulkan sebuah kekuatan yang berdampak kepada keyakinan untuk melaksanakan keputusan bagi para anggotanya.
38
Hadist tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Lihat Ibn majah Juz II, ditahqiq oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 1233 39
Hadist tersebut diriwayatkan oleh Thabrani. Lihat Jalal al-Din al-Suyuthi, Al-Jami’al-Shaghir fi Ahadis al-Basyir wa al-Nazir, (Kairo: Dal al-Qalam, 1966), h. 282
C. Praktik Syūrā Pada Masa Nabi Ada beberapa peristiwa yang membuat Nabi harus melakukan musyawarah dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini Zhafir al-Qasimi mengatakan bahwa musyawarah pada masa Rasulullah dapat diklasifikasikan kepada tiga bentuk. Pertama, Musyawarah yang terjadi atas dasar permintaan Rasulullah sendiri. Adapun contoh dari ketegori ini yaitu pada saat sebelum pecahnya perang Uhud. Karena kebimbangan antara dua pilihan, apakah berdiam diri saja di dalam kota untuk menunggu atau menghadang musuh atau pergi keluar (mencari keberadaan mereka) dalam menghadapi musuh. Akhirnya Rasul meminta pendapat dengan mengatakan “Asyiru ‘alayya”, “Berilah pandanganmu kepadaku”.40 Sebelum Rasul meminta pendapat para pemuka kaum muslim dan pemuka orangorang munafik yang telah dikumpulkannya, beliau telah mengemukakan pendapatnya serta meminta pandangan para sahabat terlebih dahulu. Dalam hal ini, Rasul sangat memberi kebebasan kepada para audiensnya untuk menuangkan pemikirannya. Walaupun Rasul telah mengemukakan pendapatnya terlebih dahulu, namun hal itu beliau lakukan tidak lain hanyalah sebagai pemberian gambaran dan bukan untuk mempengaruhi pemikiran mereka. Pada kasus di atas, akhirnya sampailah pada titik kesepakatan dengan mengambil dari suara terbanyak. Namun dalam hal ini, satu hal yang perlu diingat bahwa keputusan apapun yang didapatkan, keputusan akhir haruslah dikemukakan oleh Nabi selaku pimpinan sidang pada saat itu. Nabi tidak akan pernah mau untuk bertindak sendiri kecuali untuk pemecahan masalah yang memang sudah diwahyukan Tuhan kepadanya.
40
Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-bari, Juz XIII, (Kairo: Dar al-Fikr, tt), h. 343
Kedua, musyawarah yang dimulai oleh sahabat sendiri. Hal ini terjadi pada saat terjadi perang Badar.41 Pada saat menjelang pertempuran, Rasul memutuskan bagi untuk menempati posisi yang dekat dengan mata air. Namun hal tersebut mengundang pertanyaan bagi salah seorang dari kelompok Ansar yang bernama Hubab bin Mundhir. Ia menanyakan apakah keputusan Nabi itu atas petunjuk Allah, sehingga beliau dan pasukan Islam tidak boleh bergeser dari tempat itu, atau apakah keputusan itu beliau ambil sebagai pemikiran strategi perang biasa. Namun pada saat itu Nabi menjawab bahwa sesungguhnya keputusan itu beliau ambil bukanlah karena petunjuk Allah namun hanyalah perhitungan beliau sendiri. Hubab berkata, kalau demikian halnya, wahai utusan Allah, tempat ini kurang tepat. Karena menurut Hubab, alangkah lebih baiknya apabila kita lebih maju kemuka, ke mata air yang paling depan. Kita bawa banyak tempat air untuk diisi dari mata air itu, kemudian mata air itu ditutup dengan pasir. Apabila nanti kondisinya mengharuskan pasukan Nabi untuk mundur, maka mereka masih dapat minum dan musuh tidak. Merasa mendapat saran yang cukup masuk akal, akhirnya Nabi pun menerima baik saran Hubab untuk bergerak maju menuju lokasi yang telah dikatakan oleh Hubab sebelumnya.42 Ketiga, yaitu bentuk musyawarah yang posisinya menempati antara kedua bentuk yang telah dikemukakan sebelumnya.
Dengan kata lain, Rasulullah baru akan
mengambil suatu tindakan musyawarah pada saat menjelang saat-saat pelaksanaan. Salah satu peristiwa yang dapat digolongkan ke dalam kategori ini adalah, pada saat Rasulullah memutuskan untuk mengadakan perdamaian dengan kaum Gathafan ketika perang
41
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), h. 16 42 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), h. 16
Khandaq. Dalam kasus tersebut, Rasul telah menjanjikan sepertiga hasil buah-buahan dari kota Madinah kepada sekutunya dengan persyaratan mereka akan menarik pasukannya dari perang tersebut. Ketika janji itu sudah akan dilaksanakan, Rasul sempat bermusyawarah dengan Sa’ad ibn Mu’az dan Sa’ad ibn ‘Ubadah mengenai usul beliau, namun kedua sahabat itu menolak dengan alasan yang cukup rasional di mata Rasul, akhir kata Rasul bersedia mundur dari keputusan awalnya dan memilih untuk mendengar saran para sahabatnya.43 D. Praktik Syūrā Pada Masa Khulafa al-Rasyidin Berbicara mengenai sejarah perjuangan Nabi, tidak terlepas dengan adanya kisah pejuang setia para sahabat (al-Khulafa al-Rasyidin). Rasul yang diutus Allah untuk menyempurnakan akhlaq manusia, telah menorehkan pelajaran sangat berharga di mata para sahabat. Oleh sebab itulah dalam pemilihan atau pengangkatan empat al-Khulafa alRasyidin tidak terlepas dari penerapan ilmu Syūrā atau musyawarah yang telah diterapkan oleh Rasulullah Saw sebelumnya. 1
Musyawarah di Masa Abu Bakar Ketika tersiar kabar bahwa Rasulullah wafat, para pemuka kaum Anshar langsung
berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah.44 Pertemuan yang diprakarsai oleh kaum Anshar dari Hazraj ini bermaksud untuk melantik Sa’ad ibn Ubadah
sebagai pemimpin
menggantikan Rasulullah.45 Berita pertemuan di Saqifah tersebut akhirnya terdengar juga oleh dua tokoh Muhajirin yaitu Abu Bakar dan Umar. Mereka berdua dan juga ditemani 43
At-Thabari, Tarikh al-Umam wa al Mulk, Jilid II, (Mesir: Dar al-Fikr, 1979), h. 503 Diantara para pemuka yang berkumpul, ada pula para perempuan yang ikut serta dalam perkumpulan tersebut. Lihat Syekh Muhammad al-Hudhari Bek, Muhadharat Tarikh al-Umam alIslmaiyat, Jilid I, (Kairo: Al-Maktabat al-Tijariyat al-Kubra, tt), h. 167 45 Sebenarnya Sa’ad memang telah dicalonkan untuk menjadi kepala suku sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, namun sebelum upacara dilangsungkan Rasulullah telah sampai terlebih dahulu di Madinah, sehingga secara otomatis acara pelantikan menjadi batal. 44
oleh Abu ‘Ubaidah datang sebagai wakil dari kaum Muhajirin untuk mengadakan musyawarah terbuka dengan kaum Anshar. Dalam musyawarah tersebut, mereka mengemukakan pendapatnya masingmasing. Kaum Anshar berpendapat bahwa dari kalangannyalah yang berhak menjadi pengganti (khalifah) Rasulullah begitupun sebaliknya, pihak Muhajirin pun berpendapat bahwa pihaknyalah yang lebih berhak menjadi pengganti Rasulullah pada saat itu. Ditengah perdebatan yang semakin tegang, akhirnya Abu Bakar mewakili kaum Muhajirin mengusulkan agar Muhajirin sebagai Amir dan Anshar sebagai Wazir. Usulan tersebut langsung ditanggapi oleh seorang pemuka Anshar yang menyatakan dengan tegas keberatanya atas usulan yang dikemukakan oleh Abu Bakar tersebut. Ia mengusulkan agar kaum Anshar menjadi Amir dan Muhajirin pun sebagai Amir. Hal ini jelas tidak dapat disepakati oleh kaum Muhajirin yang lebih mementingkan persatuan dibandingkan perpecahan. Karena apabila usul tersebut terlaksana maka sama halnya dengan membagi umat Islam kepada dua pemerintahan, dan itu akan memecah persatuan umat Islam.46 Ketika kesepakatan belum juga didapatkan dan situasi semakin memanas, akhirnya seorang pemuka Anshar yang bernama Basyir ibn Sa’ad menyatakan dengan lantang kata-kata yang cukup berkesan di hati kalangan Anshar dan Muhajirin. Ia mengatakan bahwa, “kaum Muhajirin lebih utama untuk menjadi khalifah karena Nabi Muhammad berasal dari Qureys dan kaum Muhajirin pun berasal dari Qureys”. Kata-kata Sa’ad tersebut akhirnya dijadikan kesempatan oleh Abu Bakar untuk mencalonkan ‘Umar dan Abu ‘Ubaidah yang notabene berasal dari kalangan Muhajirin.
46
Jalal al-Din al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’ (Kairo: Dar Nahdhat, 1976), h. 111
Namun keduanya menolak pencalonan tersebut. Mereka justru berpendapat bahwa Abu Bakarlah yang lebih pantas untuk menduduki jabatan kekhalifahan itu. Pada saat itu juga, ‘Umar dan ‘Ubaidah secara resmi membai’at Abu Bakar dan kemudian diikuti oleh peserta sidang lainnya. Acara pembai’atan ternyata tidak berhenti sampai disitu, keesokan harinya Abu Bakar kembali dibai’at sekali lagi secara umum dalam upacara di Mesjid Nabi. Dengan demikian resmilah Abu Bakar sebagai kepala Negara atau khalifah Rasul Allah pada saat itu. Selain dikenal sebagai orang yang berasal dari kota yang sama dengan Rasulullah Abu Bakar juga termasuk salah seorang pembesar Qureisy pada masa-masa sebelum kedatangan Islam. Beliau juga pernah menjabat sebagai Al-Isynaq, yakni mengadili dan memutuskan terhadap silang selisih dan sengketa dan menetapkan hukuman dendanya (al-Diyat) di Majelis Musyawarah suku besar Qureiys.47 Melihat cerita singkat diatas, dapatlah disimpulkan bahwa dalam pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah merupakan pemilihan dalam suatu musyawarah yang terbuka dan bebas.48 Selain berasal dari kota yang sama dengan Rasulullah, hal lain yang membuat ia terpilih adalah karena ia memiliki pengalaman terlebih dahulu dalam memimpin. Ini merupakan cara yang ampuh dalam mengambil sebuah keputusan. Karena musyawarah sangat menjunjung tinggi kebebasan untuk mengemukakan pendapat dengan seluasluasnya. Apabila terjadi perbedaan di dalam proses perjalannya, hal itu merupakan hal yang wajar dalam musyawarah. Adapun pelaksanaan upacara pelantikan khalifah Abu Bakar dilakukan di dalam Mesjid Nabi. Ketika berlangsungnya musyawarah, anggota sidang yang hadir adalah para
47 48
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 129-130 Sirojuddin Aly, Diktat; Ketata Negaraan Periode Khulafa al-Rasyidin, (Jakarta, 2007), h. 16
pemuka suku dan kabilah dari kedua golongan, namun dalam upacara pelantikan hanya umat Islam Madinah saja yang menjadi pesertanya 2
Musyawarah di Masa Umar ibn al-Khathab Mekanisme pemilihan seorang pemimpin melalui usulan pemimpin terdahulu
terjadi pada Umar ibn Khatab,49 dimana pada proses pengangkatannya didahului dengan suatu musyawarah di akhir masa pemerintahan Abu Bakar. Sebelum wafat, Abu Bakar mengadakan dialog dengan beberapa sahabat yang telah dipanggilnya untuk menentukan siapa yang akan menggantikannya kelak. Keterlibatan Abu Bakar disini bukanlah berarti ia mengambil hak suara umat, namun ia hanya ingin bertindak sebagai umat yang ingin menyuarakan aspirasinya.50 Dalam memenuhi rasa tanggung jawabnya terhadap umat, ia tetap melakukan musyawarah walau dalam keadaan sakit yang cukup parah. Ia memanggil Abd alRahman ibn ‘Auf untuk diajak berdiskusi untuk membicarakan tentang keinginannya menjadikan Umar sebagai penggantinya. Walaupun pada awalnya Abd al-Rahman meragukan keinginan Abu Bakar, namun akhirnya Abu Bakar dapat meyakinkan Abd alRahman untuk menyetujui pendapatnya, begitupun dengan Usman ibn ‘Affan, sahabat yang juga dimintai pendapatnya mengatakan bahwa sifat dalam Umar lebih baik dari sifat luarnya. 51 Pendapat kedua sahabat sebelumnya masih ingin dipertegas kembali oleh Abu Bakar dengan menanyakan hal yang sama dengan Aba-Abdirrahman dan Thulhah ibn Ubaidillah. Dalam hal ini Aba-Abdirrahman terlihat ragu dan menunda memberikan
49
Sirojuddin Aly, Diktat; Ketata Negaraan Periode Khulafa al-Rasyidin, (Jakarta, 2007), h. 16 Asyri, Zul, Pelaksanaan Musyawarah dalam Pemerintahan Al-Khulafa’ al Rasyidin,h. 46-47 51 At-Thabari, Tarikh al-Umam wa al Mulk, Jilid II, (Mesir: Dar al-Fikr, 1979), h. 51 50
jawabannya kepada Abu Bakar sedangkan Thulhah lebih memilih menyerahkan masalah ini pada kesepakatan orang banyak.52 Namun kesepakatan-kesepakatan yang telah ada belum dapat disahkan sebelum dilakukannya musyawarah. Walaupun dalam kenyataannya musyawarah melahirkan banyak perbedaan pendapat, namun Abu Bakar dapat menyikapinya dengan bijak. Abu Bakar dengan cepat mengambil langkah dengan memerintahkan Usman agar ia menulis sebuah surat pengangkatan. Hal ini bukanlah berarti seorang khalifah mengangkat seorang khalifah. Tetapi penetapan tersebut hanyalah sebagai suatu perjanjian (al-‘ahd) tertulis sebagai hasil dari suatu musyawarah. Surat tersebut berisikan bahwa ‘Umarlah satu-satunya calon khalifah pengganti Abu Bakar yang telah disepakati bersama melalui musyawarah walau belum diakui keabsahannya. Karena keabsahan itu baru akan ia dapatkan ketika ia sudah mendapatkan bai’at dari umat Madinah saat itu. Sebab bai’at bukanlah terletak di tangan khalifah tetapi berada di tangan umat.53 Ketika perjanjian telah rampung ditulis, Abu Bakar langsung menyampaikan keputusannya itu kepada kaum Muhajirin dan Anshar. Dengan digotong di balkon rumahnya, Abu Bakar berkata: “Apakah kamu suka dengan orang yang telah aku angkat sebagai khalifah buat kamu? Aku tidak mengangkat orang yang bertalian keluarga denganku. Aku telah mengangkat Umar. Pengangkatan itu bukan pendapatku saja”. Dengan serentak mereka menjawab, “Kami dengar, Kami patuhi”.54 Hal diatas sangat jelas terlihat bahwa pengangkatan Umar memang benar berdasarkan atas keputusan bersama yang dilakukan melalui musyawarah. 52
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 137 At-Thabari, Tarikh al-Umam wa al Mulk, Jilid II, (Mesir: Dar al-Fikr, 1979), h. 52 54 Ibn al-Asir, Al-Kamil fi al-Tarikh, Jilid II, (Beirut: Dar Shader-Dar Bairut, 1965), h. 426 53
Aktivitas musyawarah di masa Umar terlihat lebih meningkat dibandingkan masa sebelumnya. Hal itu dapat terlihat dari dibawanya berbagai persoalan agama dan kenegaraan dalam sidang-sidang Majelis Permusyawaatan yang ia bentuk pada masa pemerintahannya. Umar pun memanfaatkan para sahabat Nabi yang masih hidup untuk dijadikan tokoh-tokoh ahl al- syūrā yang mempunyai hak untuk mengemukakan segala pendapatnya. Dalam masa kepemimpinannya Umar sangat terlihat menjunjung tinggi musyawarah kepada umatnya. Ia senantiasa memanfaatkan berbagai kesempatan untuk dapat berinteraksi dengan para umatnya. Seperti ketika ia memanfaatkan musim haji untuk dijadikan “pertemuan umum” dalam memecahkan segala persoalan. Karena bagi Umar, sidang tersebut merupakan wadah komunikasi timbal balik antara kahlifah dan umatnya. Selain tindakan diatas, kecenderungan kepada syūrā terlihat jelas dalam suatu perkataanya yang mengatakan “Tidak ada kebaikan dalam suatu urusan yang diputuskan tanpa musyawarah, dan Tidak ada Khilafat tanpa musyawarah.” 55 3
Musyawarah di Masa Usman ibn ‘Affan Utsman Ibn Affan merupakan seorang calon pemimpin yang diangkat melalui
badan formatur yang terlebih dahulu dibentuk oleh khalifah sebelumnya yaitu Umar Ibn Khatab diakhir pemerintahannya. Badan formatur atau Panitia Pemilihan (Election Committee) yang beranggotakan enam orang ini berfungsi sebagai anggota dewan untuk bermusyawarah dalam mengambil sebuah keputusan.56 Ketika Umar wafat, al-Miqdad
55
Suatu kekhalifahan tidaklah sah tanpa berdasarkan musyawarah. Ahl syūrā merupakan Badan Formatur atau Panitia Pemilihan (Election Committee) yang dibentuk oleh Umar Ibn Khattab yang beranggotakan enam orang Sahabat Nabi yang senior. Mereka itu ialah 56
mengumpulkan ahl syūrā yang telah dibentuk sebelumnya di rumah al-Miswar ibn Makhramah.57 Di sana mereka dipersilahkan untuk bermusyawarah dalam menentukan siapa seharusnya yang menjadi pengganti Umar dalam jangka waktu beberapa hari sebagaimana yang telah ditentukan khalifah Umar sebelumnya. Sidang pertama berakhir tanpa hasil, yang terjadi justru suatu persaingan tajam antara Bani Umaiyah dan Bani Hasyim. Masing-masing pihak bersikeras mencalonkan Usman dan Ali sebagai pengganti dari kepemimpinan Umar. Melihat keadaan yang semakin rumit, akhirnya Abd al-Rahman mengusulkan pendapatnya. Ia mencoba menawarkan bagi siapa diantara anggota dewan yang bersedia mengundurkan diri sebagai calon, maka ia akan diberi hak penuh dalam menetapkan siapa yang akan menjadi khalifah. Namun ternyata tidak ada yang menghiraukan usulan Abd al-Rahman tersebut, para anggota dewan tidak cukup tertarik pada usulannya. Melihat kenyataan yang terjadi tidak membuat Abd al-Rahman berkecil hati, justru ia memanfaatkan situasi tersebut dengan mencabut dirinya sebagai calon dengan maksud agar ia ditunjuk sebagai “ketua pemilihan”. Permintaan itu akhirnya disetujui oleh semua anggota dewan. Hanya Ali saja yang bersikap diam pada saat itu, namun setelah didesak barulah ia mengeluarkan suaranya dan itupun ia nyatakan keraguannya terhadap Abd al-Rahman. 58 Akhirnya Abd al-Rahman memutuskan untuk meminta pendapat masing-masing anggota dewan secara terpisah. Pada saat itu, Sa’ad menyokong Usman, Zubeir menyebut Usman dan Ali, Usman memilih Ali dan Ali memilih Usman. Walaupun suara terbanyak Utsman Ibn Affan, Ali Ibnu Abi Thalib, Abdurrahman Ibnu Auf, Saad Ibn Abi Waqas, Thalhah Ibn Abdullah, dan Abdullah Ibn Umar. Lihat John L Esposito, Islam dan Politik, (Bandung: Bulan Bintang, 1990), h. 10 57 Ibn al-Asir, Al-Kamil fi al-Tarikh, Jilid II, (Beirut: Dar Shader-Dar Bairut, 1965), h. 68 58 Ibn al-Asir, Al-Kamil fi al-Tarikh, Jilid II, (Beirut: Dar Shader-Dar Bairut, 1965), h. 68-69
sudah didapatkan namun Abd al-Rahman tetap saja berkeliling menemui para tokoh terkemuka sahabat-sahabat Rasulullah, panglima perang, dan para cendekiawan yang mendatangi Madinah untuk menanyakan dan dengar pendapat dengan orang-orang diluar dewan. Dari hasil pengamatannya, akhirnya sampailah pada sebuah kesimpulan yang mengatakan bahwa mayoritas umat lebih condong kepada Usman ibn Affan. Namun keputusan belumlah bisa didapatkan. Karena kesimpulan diatas hanyalah berfungsi sebagai bahan pertimbangan ketua pemilih dalam mengambil keputusan. Bagi Abd alRahman, khalifah yang akan dipilih bukanlah hanya milik dewan tapi juga milik umat seluruhnya.59 Walaupun suara mayoritas memilih Ustman namun ada beberapa pendukung Ali yang mengungkapkan pernyataan-pernyataan tajam dalam meyakinkan para audiens. Seperti Imar ibn Yasir yang mengatakan bahwa: “Jikalau anda menginginkan umat Islam tidak pecah, silahkan pilih Ali”. Pernyataan Imar yang dikukuhkan oleh Mikdad ibn Aswad al-Anshari tersebut dengan cepat dibantah oleh Abdullah ibn Abi Sarah dengan perkataan: “Jikalau anda tidak menginginkan suku besar Qureisy itu pecah, silahkan pilih Ustman” .60 Debat kusir terus berlangsung sampai pada akhirnya Abd al-Rahman mendaulat sang calon untuk berdiri di muka umum. Hal ini akan dapat membuktikan apakah ia akan bertindak sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah serta meneladani kedua khalifah sebelumnya atau tidak. Agar tidak terjadi kekisruhan antara para pendukung, akhirnya Abd al-Rahman memanggil setiap calon untuk tampil ke depan. Ketika sesampainya di
59 60
Asyri, Zul, Pelaksanaan Musyawarah dalam Pemerintahan Al-Khulafa’ al Rasyidin,h. 70 Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 321-322
depan, keduanya ditanyakan pada sebuah pertanyaan yang sama.61 Ketidak yakinan jawaban Ali membuat ia mendapat poin minus dibanding Usman yang lebih lantang mengatakan kesanggupannya dalam bertindak sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul. Kelantangan Usman dalam menjawab pertanyaan Abd al-Rahman sekaligus memberi jawaban siapa yang akan menjadi khalifah pada saat itu. Sewaktu keputusan diumumkan terjadi banyak kritikan dari pihak Ali, mereka beranggapan bahwa ada unsur nepotisme disana karena Abd al-Rahman merupakan ipar dari Ustman ibn Affan. Namun Abd al-Rahman berikhtiar meyakinkan Ali bahwa pilihannya tersebut berdasarkan suara terbanyak.62 Sehingga Abd al-Rahman langsung membai’atnya dan kemudian diikuti oleh orang banyak disana. 4
Musyawarah di Masa ‘Ali ibn Abi Thalib Dalam pengangkatan Ali sebagai khalifah memang berbeda dengan cara
pengangkatan khalifah-khalifah sebelumnya63. Pengangkatan seorang pemimpin melalui pemilihan dalam pertemuan terbuka seperti ini terjadi pada Ali karena situasi kota Madinah yang mencekam menuntut untuk segera di putuskannya siapa khalifah yang akan memimpin setelah sepeninggal Usman.64 Selama lima hari setelah kematian Usman, penduduk Madinah dan Gubernur Al-Ghafiqi ibn Harb mencari orang yang bersedia
61
Mereka diberikan pertanyaan yang sama, yaitu: “Apakah mereka mau berjanji untuk bertindak sesuai dengan Kitabullah, Sunnah Rasul serta meneladani kedua Khalifah sebelumnya?” Ali menjawab; “Saya berharap demikian, saya akan berbuat sesuai dengan ilmu dan kemampuanku yang terbaik” dan jawaban Usman adalah; “Ya, saya laksanakan”. 62 Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 323 63 Persamaan; setiap calon khalifah terpilih mendapat bai’at dari warga umat di Mesjid Nabi kota Madinah. Perbedaan; para khalifah sebelumnya dibai’at oleh para sahabat dan disepakati umat Islam seluruhnya tanpa ada yang mengingkarinya, sedangkan Ali dibai’at oleh sebagian besar penduduk Madinah dan para pemberontak yang menguasai kota Madinah. 64 Sirojuddin Aly, Diktat; Ketata Negaraan Periode Khulafa al-Rasyidin, (Jakarta, 2007), h. 19
untuk diangkat menjadi khalifah. Namun beberapa sahabat yang diminta kesediannya menolak dengan pasti, hingga Sa’ad dan Abdullah Ibn Umar serta para ahl syūrā pun melakukan hal sama. Melihat kenyataan yang ada, hanya Ali, Thalha dan Zubeir lah yang masih dapat diharapkan kesediannya. Diantara tiga calon tersebut memang Ali lah yang terlihat paling diharapkan oleh seluruh umat. Hal tersebut dapat terjadi karena Ali merupakan salah satu calon yang paling banyak disukai orang disamping Usman ketika Abd al-Rahman ibn ‘Auf akan menentukan pilihannya. Situasi membuat penduduk Madinah mendesak Ali untuk menjadi khalifah, namun pada tahap awal Ali menolak dengan pasti pembai’atan itu. Karena ia ingin tetap mengikuti jejak para pendahulunya yang melakukan pengangkatan khalifah melalui cara musyawarah.65 Namun karena situasi yang semakin mendesak akhirnya Ali menyanggupi dan siap untuk dibai’at. Ali dibai’at di Mesjid Nabawi oleh Al-Asytar al-Nakha’I dan kemudian diikuti oleh khalayak ramai serta tidak terlewatkan oleh kedua saingannya yaitu Thalhah dan Zubeir.66
65
Ada dua riwayat yang bertentangan mengenai sikap Ali ketika ia didesak untuk menjadi khalifah. Dalam satu riwayat ia mengatakan bahwa ia akan menerima permintaan suara mayoritas umat, namun dalam riwayat lain ia berpendapat bahwa penentuan seorang khalifah ada di di tangan para tokoh ahl syūrā. Apabila musyawarah yang dikatakan Ali sesuai dengan riwayat pertama,maka hal itu tidaklah dapat tercapai karena kebanyakan para sahabat sudah tidak lagi berada ditempat. Apabila riwayat kedua yang digunakan Ali dalam memaknai musyawarah, maka hal itu telah terlaksana walau hal itu terjadi di bawah tekanan para pembenrontak. 66 Asyri, Zul, Pelaksanaan Musyawarah dalam Pemerintahan Al-Khulafa’ al Rasyidin,h. 78-79
Walaupun Thalhah dan Zubeir mengangkat bai’at dengan terpakasa namun hal tersebut terjadi juga walaupun harus diikuti dengan perjanjian bahwa Khalifah Ali akan menegakkan keadilan terhadap para pembunuh Khalifah Ustman.67 tu walaupun tidak bertentangan dari pemikiran warisan bangsa tersebut namun sudah dicemari dengan pemikiran Imperialis yang berwujud liberalisme Barat. 68
67
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 462 Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan “IKHWAN” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954,h. 149 68
BAB IV KONSEP SYŪRĀ PERSPEKTIF HASAN AL-BANNA YANG TERAPLIKASI PADA GERAKAN POLITIK IKHWANUL MUSLIMIN
A. Konsep Syūrā Perspektif Hasan Al-Banna 1 Pelaksana Syūrā Hasan al-Banna merupakan pemikir dan pemimpin umat Mesir pada saat itu. Pemikiran-pemikiran beliau dituangkan dan direalisasikan melalui sebuah pergerakan berpengaruh, yaitu Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul Muslimin yang merupakan manifestasi dari pemikiran Hasan al-Banna memiliki pendapat sendiri dalam menentukan siapa seharusnya yang melakukan syūrā dalam mengambil sebuah keputusan. Bagi gerakan yang dipelopori oleh Imam Hasan Al-Banna ini, Ikhwan memiliki pemikiran yang berbeda dengan pendapat para terdahulunya yang dimana keputusan terakhir ada ditangan khalifah.69 Pernyataan tersebut merujuk pada perkataan al-Banna yang mengungkapkan bahwa “Diantara hak umat Islam adalah melakukan kontrol terhadap pemerintah dengan secermat-cermatnya dan mengarahkannya kearah kebaikan. Pemerintah hendaknya bermusyawarah dengan rakyat, menghargai aspirasinya, dan mengambil yang baik dari masukan-masukannya. Allah Swt telah memerintahkan kepada para oknum pemerintah agar melakukan hal itu”.70
69
Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan “IKHWAN” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), cet. Ke-2, h.325 Tidak ada mekanisme yang baku dalam syūrā, jadi walaupun keputusan terakhir ada di tangan khalifah, khalifah pun tetap berdasarkan atas suara terbanyak atau mayoritas. 70 Abdul Hamid Al-Ghazali, Meretas Jalan Kebangkitan Islam, Peta Pemikiran Hasan al-Banna, Penerjemah Wahid Ahmadi, (Solo: Era Intermedia, 2001), cet. Ke-1, h. 262
Melalui pernyataannya tersebut dapat terlihat bahwa pelaksana utama syūrā menurut Hasan al-Banna adalah pemerintah atau para pemimpin yang menjabat pada suatu negara atau suatu kelompok. Pernyataan ini dimaksudkan bahwa sistem syūrā tidak hanya berlaku pada dunia pemerintahan atau konteks kenegaraan saja namun juga akan berlaku pada setiap kelompok yang dimana sedang mencari sebuah kesepakatan dari suatu permasalahan. Namun yang pasti dalam suatu musyawarah harus terdiri dari tiga rukun utama, yaitu: 1. Adanya orang-orang yang bermusyawarah, sehingga musyawarah terlaksana. Dan ini ditunjukkan oleh kata ganti hum (mereka) di dalam kata "wa syawirhun". 2. Adanya materi dan tema yang dimusyawarahkan, sehingga dengan itu musyawarah terlaksana. 3. Adanya pemimpin yang mengatur musyawarah, dan putusan terakhir bergantung kepada pandangannya. Ini ditunjukkan oleh kata ganti ta mukhaththab (orang kedua) pada kalimat "faidza 'azamta fatawakkal 'alallah..." Tidak diragukan, jika yang menjadi tema adalah urusan umum yang berkaitan dengan seluruh kaum Muslimin maka yang mempunyai hak memutuskan ialah wali amril Muslimin.71
Melihat pentingnya makna
melakukan syūrā Muhammad Hamidullah
menempatkan hal tersebut pada kerangka yang lebih luas: Makna penting dan manfaat musyawarah harus ditekankan. Al-Qur’an berulangulang memerintahkan kaum muslim untuk mengambil keputusan setelah bermusyawarah, baik dalam forum terbuka maupun tertutup…Al-Qur’an tidak menetapkan metode yang keras atau cepat. Jumlah, bentuk pemilihan, jangka 71
Abi Abdullah, Kewajiban Melaksanakan & Mentaati Syura’ (Wujub Asy-Syura’)dikutip dari Al-Ikhwan.net | 28 http://www.al-shia.com/html/id/service/maqalat/musyawarah-dalam-Islam.htm February 2007 | 9 Safar 1428 H | Hits: 2,107
waktu perwakilan, dan sebagainya diserahkan kepada kebijaksanaan para pemimpin dari setiap zaman dan Negara. Yang penting, musyawarah harus dihadiri oleh para tokoh yang menerima keperayaan dari rakyat yang mereka wakili dan memiliki integritas watak.72 Muhammad Hamidullah tidak begitu focus dalam membahas seperti apa mekanisme dari kegiatan musyawarah tersebut. Namun ia menggaris bawahi bahwa diantara pelaksana syūrā harus terdapat para tokoh yang telah dipercaya oleh rakyat karena kemampuannya. Adapun bentuk dari penerapan musyawarah pada diri al-Banna dapat terbuktikan dengan dibentuknya Majelis Syūrā pada gerakan yang dipeloporinya serta terlaksananya musyawarah umum dalam tubuh gerakannya dalam membahas segala permasalahan. Baik itu permasalahan internal ataupun masalah umat secara keseluruhan. Selain pendapat Hasan, para tokoh Ikhwanul Muslimin pun mengutarakan pendapatnya sendiri dalam menentukan siapa pelaksana syūrā sesungguhnya. Menurut Abdul Qadir Audah, syūrā merupakan suatu kewajiban atas para penguasa. Penguasa yang dimaksudkan di sini bukanlah hanya penguasa inti atau utama saja melainkan semua orang yang mempresentasikan kekuasaan eksekutif. Apabila Audah lebih me-spesifikasi-kan pada tataran penguasa di bidang eksekutif, Sayyid Qutub lebih luas dalam menjabarkan siapa pelaksana
syūrā
sesungguhnya.73 Bagi Qutub, setiap pemimpin harus memiliki sifat syūrā. Dalam artian, setiap orang yang memiliki sifat kepemimpinan atau kekuasaan, maka ia diwajibkan untuk melakukan syūrā. Tidak hanya penguasa utama saja, melainkan juga termasuk
72
john L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim; Problem dan Prospek terj: Rahmani Aztuti, (Bandung: Mizan, 1990), h. 33 73
Abdul Qadir Audah dan Sayyid Qutb merupakan dua diantara beberapa tokoh gerakan yang diprakarsai oleh Hasan Al-Banna yaitu gerakan Ikhwanul Musllimin.
kepala Negara, perdana menteri, salah seorang menteri dan lain sebagainya.74 Setiap perangkat Negara wajib untuk melakukan syūrā dalam mengambil sebuah keputusan. Karena mereka merupakan bagian dari negara, maka merekalah yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan dari setiap persoalan warga negara. Perangkat negara yang dimaksudkan disini adalah setiap pemimpin bagi sekelompok orang, baik itu dalam ruang lingkup yang kecil ataupun yang besar. Ketika ia telah menyanggupi untuk menjadi pemimpin maka ia harus bertanggung jawab untuk selalu melakukan musyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan yang menyangkut orang banyak.
74
Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan “IKHWAN” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954, h. 325.
2 Anggota Syūrā Dalam menentukan siapa saja yang dapat menjadi anggota syūrā, Imam Al-Banna berpendapat bahwa anggota syūrā terdiri atas tiga golongan, yaitu: 1
Para
ahli
fiqih
yang
mujtahid,
yang
pernyataan-pernyataannya
diperhitungkan dalam fatwa dan pengambilan hukum. 2
Pakar yang berpengalaman dalam urusan publik.
3
Semua orang yang memiliki kepemimpinan terhadap orang lain, misalnya pimpinan golongan, kepala suku dan lain-lainnya.75
Ketiga golongan diatas, disebut dengan nama Ahlul halli wal ‘aqdi. Ahlul halli wal ‘aqdi merupakan juru kunci dalam menentukan sebuah keputusan. Mereka terdiri dari angota syūrā yang sudah memilki tiga kriteria diatas. Hal ini jualah yang menjadi salah satu alasan bagi al-Banna untuk memutuskan mengikuti pemilu pada saat itu. Karena parlemen pada pemerintahan saat itu sudah dinilai telah menyusun langkah menuju ahlul hall wal aqdi, maka Islam tidak boleh menolak hal ini. Bagi Banna ahlul halli awal aqdi merupakan orang-orang pilihan yang telah teruji pengetahuannya. Sesungguhnya para penguasa sudah dapat dikatakan memperoleh kekuasaan yang sah apabila dalam pemilihannya melalui jalan syūrā dan di tetapkan oleh ahlul hall wal aqdi yang berfungsi sebagai wakil umat dan rakyat. Betapa pentingnya peran Ahlul halli wal Aqdi menurut Hasan al-Banna, hal tersebut sesuai dengan perkataannya yang mengatakan behwa “Pendapat pemimpin atau wakilnya yang tidak dilandasi nash, yang bisa ditafsiri oleh beberapa versi dan yang berkaitan dengan berbagai kemashlahatan yang tidak terbatas, boleh dipraktikkan”.
75
Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan “IKHWAN” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954, , h. 326.
Disini sangat terlihat jelas bahwa betapa bermaknanya pendapat mereka, karena bagi alBanna apapun keputusan mereka merupakan keputusan yang harus ditaati
karena
memang mereka adalah orang-orang pilihan.76 Sedikit berbeda dengan Hasan, Al-Mawardi merujuk pada pendapat fuqaha Bashrah berpendapat bahwa syura boleh dilakukan dalam jumlah terbatas dan ittifaq paling sedikit dilakukan lima orang. Hal tersebut ia ungkapkan dengan merujuk pada sejarah pengangkatan Abu Bakar yang dipilih oleh Umar bin Khathab, Abu 'Ubaidah bin al-Jarah, Usaid bin Hudhair, Basyir bin Sa'ad, dan Salim Mawla Abi Hudzaifah. Begitu pula Umar mempercayakan Dewan Formatur yang terdiri dari enam orang untuk memilih satu di antaranya sebagai khalifah. Namun menurut fuqaha Kufah, syura cukup tiga orang dan satu diantara mereka disepakati oleh dua orang yang lain.77 Tidak ada ketentuan khusus untuk jumlah dari anggota syūrā, yang terpenting adalah anggota syūrā merupakan orang-orang pilihan yang berkualitas. Selain tiga kriteria diatas, Audah menambahkan bahwa alangkah lebih baiknya anggota syūrā merupakan tokoh-tokoh cendekiawan dalam Islam. disamping itu, ia pun mengatakan bahwa tidak ada jumlah tertentu dalam anggota syūrā, dan tidak ada pula cara tertentu untuk memilih mereka. Karena syūrā dilakukan untuk kepentingan umat, maka hal inipun sepenuhnya merupakan otoritas umat dalam menentukannya.
Hanya saja menurut
Audah, para anggota syūrā haruslah memiliki sifat adil, berpengetahuan serta memiliki pandangan atau pemikiran yang berkualitas.78 Hal ini pun sesuai dengan pemikiran Abdul Qadir Djaelani yang telah 76
Yusuf Al-Qardhawy, Pedoman Bernegara dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Pustaka Al-KAutsar, 1999), cet. Ke-1, h. 104 77 Jalaluddin Rakhmat, Skisme dalam Islam Sebuah Telaah Ulang (http://www.jalalcenter.com/index.php?option=com_content&task=view&id=99) 78 Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan “IKHWAN” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954, h. 326.
mengungkapkan masalah ini pada salah satu pasal di dalam undang-undang negara Islam yang berbunyi bahwa “anggota majelis syūrā terdiri atas orang-rang pilihan dan kualitas yang lebih tinggi.”79 3 Mekanisme Syūrā Tidak ada cara atau mekanisme khusus dalam pelaksanaan syūrā. Syūrā dapat dilakukan dengan berbagai cara disesuaikan pada situasi dan kondisi yang ada. Walaupun hal ini telah dijadikan senjata oleh Ibn Hazm untuk melumpuhkan syūrā.80 Namun bagi Ikhwan ini merupakan kebebasan yang diberikan Allah Swt untuk manusia dalam memikirkannya.
Sarana atau bentuk pelaksanaan merupakan teknis yang dapat
berkembang dan bebas menurut kondisi umat dan peristiwa pada saat itu. Sesuai dengan pendapat Qutub yang mengatakan bahwa esensi lebih utama dibandingkan dengan kemasan luar dari syūrā tersebut.81 Namun satu hal yang perlu diingat, bahwa karena syūrā merupakan kewajiban bersama, maka penguasa dan rakyat harus menjalankannya sebagaimana fungsinya masing-masing. Penguasa harus memusyawarahkan segala urusan pemerintahan yang berkaitan dengan kepentingan individu dan umum dan rakyat harus dengan setia pula menyampaikan aspirasinya agar terjadi suatu kolaborasi yang serasi. Tidak ada yang lebih mondominasi dalam hal ini, hanya pendapat yang benar karena tidak menyimpang dari aturan agamalah yang wajib diikuti. Bagi kaum minoritas 79
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), cet. Ke-1, h. 447 80 Ibn Hazm adalah seorang ulama yang berotoritas keturunan Arab kelahiran Spanyol dan hidup pada abad ke-11. Ia menyatakan bahwa pemilihan untuk menetapkan seorang pengganti khalifah melalui suatu pemufakatan ‘(‘ijma) atau bahkan melalui suatu komite (shurā) dapat mengakibatkan munculnya anarkhi. Lihat Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 196 81 Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan “IKHWAN” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954, h. 329
yang memiliki pendapat berbeda harus mentaati pendapat mayoritas dan tidak boleh mementahkan pendapat yang sudah sampai pada tataran aplikasi, apabila ada ketidak sesuaian dan memiliki pendapat sendiri, maka kritik tersebut harus disampaikan pada saat diskusi berlangsung. Walaupun tidak ada mekanisme khusus dalam pelaksanaan syūrā, namun hal ini dapat dilihat dari isi pertemuan Majelis Syūrā gerakan Ikhwanul Muslimin yang selalu diwarnai oleh pemikiran sang imam Hasan al-Banna. Dari beberapa keputusan yang dihasilkan dalam kongres tersebut, terdapat dua point yang dengan jelas membahas tentang prinsip berdiskusi. Adapun isi dari point kedua prinsip tersebut ialah; “kita senantiasa mengingat prinsip-prinsip diskusi, yaitu meminta izin, bersikap tenang, menyampaikan pendapat secara ringkas, memberikan kebebasan kepada orang yang berbicara, tidak memotong pembicaraan, dan meninggalkan debat kusir dalam masalah-masalah parsial, sehingga masing-masing bisa menjelaskan pendapat dan mengemukakan alasan-alasan. Cukup itu saja yang bisa dilakukannya ketika hendak menolak pendapat saudaranya.” Prinsip diskusi yang cukup jelas diutarakan dalam point kedua tersebut ternyata masih dilanjutkan pada point ketiga yang lebih menjelaskan kepada dianjurkannya untuk berpikir panjang, tidak tergesa-gesa, menimbang perkataan dengan teliti dan berterus terang dalam menyampaikan pendapat, karena sesungguhnya kita semua hendak mencari kebaikan.82 Selain prinsip diatas, al-Banna terlihat gemar untuk melakukan syūrā pada saat liburan dan malam hari. Karena pada malam menjelang dini hari merupakan waktu yang
82
Al-Imam Asy-Syahid Hasan al-Banna, Memoar Hasan al-Banna untuk Dakwah dan Para Dainya, Penerjemah Salafuddin Abu Sayyid, (Solo: Intermedia, 2004) cet. Ke-4, h. 291
dapat membuat manusia berfikir tenang dan penuh dengan rasa berserah diri pada Allah swt. Untuk waktu liburan, al-Banna hanya bermaksud untuk mengisi liburan dengan suatu kegiatan yang lebih bermanfaat dibandingkan dengan santai berleha-leha. Waktu merupakan sesuatu yang sangat berharga, karena hidup adalah amanah.
B. Perbedaan Syūrā dan Demokrasi menurut Hasan al-Banna Syūrā menurut Hasan al-Banna adalah suatu proses dalam mencari sebuah keputusan atau kesepakatan yang berdasarkan pada suara terbanyak dan berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan hendaklah setiap urusan itu diserahkan kepada para ahlinya demi mewujudkan suatu hasil yang maksimal dalam rangka menjaga stabilitas antara pemimpin (pemerintah) dengan rakyat.83 Walaupun tidak terdapat mekanisme khusus dalam syūrā, namun syūrā membatasi pada pembahasan yang di musyawarahkan. Hanya masalah yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah lah yang diperkenankan untuk dimusyawarahkan, dan itupun hanya boleh dilakukan oleh orang (anggota) berkualitas yang disebut dengan nama ahlul halli wal ‘aqdi. Demokrasi merupakan tradisi Yunani Kuno yang berasal dari dua kata yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi “demos-cratein” atau “demos-cratos” (demokrasi) adalah kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.84 Hasan al-Banna memberikan perhatian dan pandangan yang serius pada Undang83
Abdul Hamid Al-Ghazali, Meretas Jalan Kebangkitan Islam, Peta Pemikiran Hasan al-Banna, Penerjemah Wahid Ahmadi, (Solo: Era Intermedia, 2001), cet. Ke-1, h. 262 84 Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayaullah Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), cet. Ke-1, h. 162
Undang Dasar Mesir tahun 1923 yang merupakan salah satu undang-undang paling demokratis sepanjang sejarah negeri itu. Dalam sebuah kesempatan konferensi Ikhwanul Muslimin yang dihadiri oleh utusan-utusan dari seluruh pelosok negeri ia mengungkapkan bahwa bentuk pemerintahan konstitusional yang diharapkan itu ialah “Ditetapkannya kemerdekaan (kebebasan) pribadi, dilaksanakannya syūrā (musyawarah), ditegaskannya hak-hak rakyat dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat, serta kebebasan rakyat dalam melakukan kegiatan dan ketentuan batas waktu bagi setiap pemerintahan atau penguasa”. Ia kembali menegaskan bahwa,“Soal-soal yang fundamental seperti ini, dalam hubungannya dengan pemerintah, haruslah dijalankan dengan berpedoman kepada ajaran dan aturan-aturan Islam (Syari’at Islam)”.
Menurut al-Banna sistem pemerintahan yang konstitusional itu ialah system pemerintahan yang dekat dengan Islam. dan Ikhwanul Muslimin tidak akan pernah memilih yang lain daripada itu. Dalam mengomentari tentang pelaksanaan dari undangundang yang dinilai demokratis pada saat itu ia mencoba memberikan contoh tentang undang-undang pemilihan umum yang diharapkan akan dapat menampung suara yang benar-benar murni dari rakyat, sehingga orang yang terpilih akan menyanggupi dan bertanggung jawab untuk melaksanakan undang-undang tersebut. Namun dalam hal ini ternyata justru mengakibatkan terjadinya konflik-konflik dan bentuk-bentuk permusuhan yang tumbuh dan berkembang setelah diadakannya pemilihan umum. Sistem Islam bukanlah hanya susunan kata-kata yang tersusun rapi dan indah, namun juga suatu kaidah-kaidah pokok dalam Islam yang harus diwujudkan secara tepat dengan tetap menjaga keseimbangan dalam berbagai situasi. Keseimbangan merupakan salah satu kata dalam istilah politik modern yang biasa lebih dikenal dengan sebutan kesadaran politik, kematangan politik atau pendidikan politik. Keseimbangan inipun tidak akan dapat tercipta tanpa adanya kesadaran yang tulus dari hati nurani setiap manusia yang ingin menggapai keselamatan di dunia maupun di akhirat.85 Pada lain kesempatan Hasan kembali menerangkan bahwa ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an Hadist telah memberikan ketentuan dan dasar-dasar dalam berbagai bidang seperti; sipil, perdagangan, hukum dan lain sebagainya. Oleh sebab itu tidak ada alasan untuk para ahli hukum Barat untuk mengatakan bahwa aturan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist bertentangan dengan aturan-aturan mereka yang
85
Hasan al-Banna, (terj) Matta, Anis, dkk, Risalah Pergerakan al-Ikhwan al-Muslimun 1, Solo: Era Intermedia, 2006, cet. ke-13, h.
selalu mengatasnamakan kebebasan Hak asasi manusia.86 Dalam hal kebebasan berpendapat disini, beliaupun menegaskannya dengan katakata yang cukup tegas; “Bedakanlah antara kepartaian yang slogannya adalah kebebasan pendapat dan kebebasan berselisih dalam berbagai pandangan, baik yang umum maupun detailnya, dengan kebebasan berpendapat yang dibolehkan dan dianjurkan dalam Islam dan usaha mengkaji berbagai sudut pandang perbedaan dalam rangka mencari kebenaran. Sehingga manakala sudah jelas masalahnya, semua orang mau mengikutinya, baik mengikuti arus mayoritas, maupun ijma’ para ulama. Dengan demikian, tidak ada fenomena di tengah masyarakat kecuali tegaknya persatuan, dan tidak pula di tengah para ulama kecuali kesepakatan”.87 Demokrasi merupakan suatu topik yang selalu hangat untuk dibicarakan, oleh karena itu selain al-Banna para pemikir lain banyak yang mengungkapkan pendapatnya tentang definisi dari demokrasi. Menurut ilmuwan sosial, Joseph A. Schumpeter dalam bukunya Capitalism, Socialism, and Democracy, Metode demokratis adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat88, Sidney Hook dalam Encyclopedia Americana mengatakan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung harus didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa89, sedangkan David Beetham mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah cara pengambilan keputusan menyangkut aturan dan kebijakan yang mengikat secara kolektif, yang dikenai control oleh rakyat90. 86
h. 3-5
87
Fathi Usman, dkk (terj), Ikhwanul Muslimin Membedah Demokrasi, (Jakarta: Media Da’wah, tt),
Hasan al-Banna, (terj) Matta, Anis, dkk, Risalah Pergerakan al-Ikhwan al-Muslimun 1, Solo: Era Intermedia, 2006, cet. ke-13, h. 88 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 72-73 89 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 73-74 90 Anders Uhlin, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokrasi Gelombang ketiga di Indonesia, terj. Rofik Suhud, (Bandung: Mizan, 1997), h. 11
Selain para pemikir Barat diatas, pemikir Islam seperti Deliar Noor pun turut serta dalam mengungkapkan definisi dari demokrasi. Menurutnya Demokrasi yang merupakan dasar hidup bernegara mengandung pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara, karena kebijakan tersebut menentukan kehidupan rakyat,91 kemudian Nurcholish Majid yang lebih dikenal dengan “pemikiran sekulernya” lebih menekankan kepada betapa sejalannya antara konsep demokrasi dengan syūrā. Karena sesungguhnya demokrasi dan agama dapat ditemukan. Demokrasi dipandang sebagai aturan politik yang paling layak, sementara agama diposisikan sebagai wasit moral dalam pengaplikasian demokrasi.92 Melihat definisi yang telah ada, konsep syūrā jelas berbeda dengan sistem demokrasi ala Barat. Syūrā tidak mengenal “mayoritas” tanpa hukum yang jelas, yang berlaku hanyalah suara mayoritas yang sesuai dengan hukum agama karena itulah kebenaran yang hakiki. Sedangkan demokrasi merupakan suatu aturan yang terlahir oleh orang-orang yang memang ingin melepas dari nilai keagamaan, dan suara mayoritas merupakan ketentuan hukum yang harus dipatuhi. Syūrā yang merupakan tindakan bernilai agama lebih mengutamakan kualitas dari kepribadian orang yang melakukannya. Dengan kefahaman orang tersebut terhadap segala aturan agama, maka ia tidak akan menyimpang dalam mengambil sebuah keputusan.
Sedangkan
demokrasi
lebih
mengutamakan
kuantitas
dari
sebuah
musyawarah. Suara mayoritas merupakan “harga mati” yang harus dipatuhi. Kedaulatan yang berada di tangan rakyat merupakan prinsip demokrasi ala Barat 91
A. Ubaidillah, et al, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Press, 2000), cet. Ke-1, h. 162 92 Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Renika Cipta, 1999), h. 66
yang jelas bertentangan dengan syūrā versi Islam. seperti telah diuraikan diatas, majelis syūrā hanya boleh membicarakan masalah yang belum memiliki isyarat pemecahan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan itupun hanya boleh dilakukan dalam tataran teknis saja. Sedangkan demokrasi lebih mementingkan suara mayoritas, tanpa melihat kemampuan berfikir dari mereka. Karena Ahlul halli wal ‘aqdi merupakan sarana untuk mengambil sebuah keputusan yang berdasarkan aturan agama, maka lembaga ini harus dijaga sedemikian rupa. Dalam menghindari kekacaubalauan dalam tubuh Ahlul halli wal ‘aqdi, Hasan alBanna memasukkan masalah ini pada kewajiban pertama yang harus difikirkan. Ia mengatakan bahwa “aturlah lembaga ini dengan baik agar mempunyai sifat kelestarian dan mencegah para penguasa agar jangan sampai mencampuri pembentukannya untuk menghilangkan kebebasan jumhur dalam memilih wakil-wakil mereka, sebagaimana wajib mengatur pengendaliannya akan otoritasnya dalam mengontrol para penguasa. Ini demi mencegah mereka jangan sampai keluar dari syariat, mengamati mereka, dan memecat mereka ketika diperlukan sesuai dengan hukum-hukum syara.”93 Ahlul halli wal aqdi juga merupakan sebuah lembaga yang dapat mengesahkan cara pengangkatan kepala negara, hal tersebut sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa: “pengangkaan itu hanya sah dengan keikutsertaan mayoritas ahlul halli wal aqdi dari seluruh negeri sehingga kepemimpinannya itu mendapatkan penerimaan secara tulus dan pengakuan secara umum.94
93
Taufik Muhammad Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h.
564 Dalam hal ini, Hasan al-Banna telah menyatakan dalam risalahnya yang brjudul “Problemaproblema Kita dalam Negeri di Bawah Sinar Sistem Islam”. 94 Imam al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), cet ke-1, h. 19
C. Korelasi Konsep “Syūrā yang Mengikat” dengan Kekuasaan Negara Syūrā merupakan batas antara masyarakat zalim dengan masyarakat beriman. Oleh karena itu umat Islam tidak boleh mengabaikan syūrā dalam mengambil sebuah keputusan, karena hal itu disinyalir dapat membunuh kemauan dan memasung pemikiran. Syūrā harus mengacu pada dua sumber yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Syūrā pun memaksa para pesertanya untuk berusaha keras dalam mencapai sebuah kebenaran. Memang tidak ada aturan tentang siapa harus membahas apa. Namun alangkah lebih baiknya apabila seseorang dapat membahas apa yang telah ia kuasasi. Oleh karena itu, para qiyadah (pemimpin) harus dengan cermat mencari kebenaran. Gunakan segala kemampuan dan peluang yang ada. Janganlah lupa meminta pandangan orang yang memang berkompeten di bidang itu. Apabila musyawarah telah terlaksana, maka semua anggota harus melaksanakan keputusan yang telah disepakati. Tidak ada yang boleh melanggar keputusan itu karena syūrā dalam pandangan Ikhwan adalah bersifat mengikat. Hal itu sesuai dengan perkataan Hasan yang berbunyi: “Kita bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati dan saling memaafkan dalam hal yang diperselisihkan.”95 Walaupun pada mulanya Hasan al-Banna dan sebagian ulama berpandangan bahwa syūrā hanya sekedar memberi masukan dan bukan sebagai badan yang menetapkan.96 Namun pada masa-masa akhir kehidupannya, ia menerima pandangan bahwa syūrā bersifat mengikat. Hal tersebut ia buktikan dengan diwariskannya sebuah qanun (undang-undang) jamaah yang disusun oleh sebuah tim yang diketuai oleh Hasan
95
Jum’ah Amin Abdul Azi., Tsawabit dalam Manhaj Gerakan Ikhwan, (Bandung: Asy Syaamil Press dan Grafika, 2002), cet. Ke-2, h. 89-93 96 Yusuf Al-Qardhawy, Fiqih Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), cet ke-3, h. 204
al-Banna sendiri. Akhirnya Pada tahun 1948 atau setahun sebelum ia syahid,
ditetapkanlah
rancangan tersebut menjadi sebuah ketetapan undang-undang tentang syūrā. Undangundang itu menyatakan keharusan menerima dan memegang pandangan mayoritas. Jika ada suara berimbang, maka pemimpin jamaahlah yang menimbang diantara keduanya.97 Apa yang telah dilakukan Banna dalam menyikapi sifat syūrā bukanlah karena ketidakyakinannya pada prinsip tersebut. Akan tetapi semua itu ia lakukan tidak lain hanya ingin memberikan pelajaran serta pengetahuan tentang konsep syūrā secara jelas kepada para muridnya. Hal itu tampak pada diungkapkannya bahwa syūrā itu bersifat masukan ketika para muridnya masih baru tumbuh. Namun setelah mereka mencapai kematangan dalam pemahaman, ia mengambil pandangan bahwa syūrā itu mengikat, agar hal itu menjadi landasan yang kokoh dalam qanun yang akan digunakan pada gerakan yang dibangun dan dipimpinnya. Kebebasan merupakan sebuah kata yang sangat diagung-agungkan oleh setiap manusia dari sejak dulu hingga masa kini. Karena kebebasan merupakan sebuah nilai dasar hukum yang dapat memanusiakan manusia.98 Namun kebebasan yang merupakan esensi syūrā dalam syariat disini bukanlah kebebasan mutlak tanpa aturan yang mengikat dan tanpa kendali yang mengekangnya.
Syūrā adalah kebebasan berjamaah dan
bertatanan, yang komitmen pada aturan dan batas-batas yang dibimbing pada syariat yang abadi dan oleh keputusan syūrā yang mengikat. Inilah makna syūrā sesungguhnya yang akan bermuara pada tujuan
syūrā.
Adapun tujuan syūrā itu sendiri adalah merealisasikan sebesar-besarnya kadar 97
Jum’ah Amin Abdul Aziz, Tsawabit dalam Manhaj Gerakan Ikhwan, h. 80 Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 92 98
kemerdekaan untuk berfikir di atas landasan keadilan, kerja sama dan solidaritas.99
D. Praktik Syūrā dalam Pemikiran Hasan Al-Banna Menciptakan sebuah perubahan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, karena bagi Al-Banna proses kebangkitan sebuah bangsa atau umat pertama-tama haruslah dipandang sebagai sebuah proyek peradaban yang besar dan kompleks. Itu hanya dapat tertuang dari gagasan-gagasan besar yang diaplikasikan melalui sebuah organisasi.100 Ikhwanul Muslimin merupakan sebuah gerakan politik yang didirikan oleh Hasan al-Banna pada tahun 1928 di Mesir. Konsep syūrā menurut Hasan al-Banna merupakan konsep yang menjadi salah satu landasan dalam gerakan tersebut, hal ini jelas terlihat pada peng-aplikasian konsep tersebut dalam perjalanan politiknya. Walaupun ia tidak pernah secara tegas meng-klaim dirinya sebagai partai politik, namun hal itu dapat terbantahkan melihat berbagai tindak tanduknya yang mencerminkan layaknya sebuah partai politik. Hal tersebut
dapat terlihat dari awal kemunculannya yang disinyalir
sebagai reaksi terhadap situasi politik di Mesir pada saat itu dan beberapa partisipasi poitiknya yang sangat menjurus kepada berbagai kegiatan yang sarat akan perilaku politik.101 Bentuk-bentuk partisipasi politik Ikhwanul Muslimin terbagai menjadi dua, Pertama, bentuk partisipasi yang dilakukan individu sebagai anggota tanzhim siyasi (orgasisasi politik) dan Kedua, bentuk partisipasi politik dalam realita dan problematika
99
Taufik Yusuf Al-Wa’iy, Pemikiran Politik Kontemporer Al-Ikhwan Al-muslimun; Studi Analitis, Observatif, Dokumentatif, (Solo: Era Intermedia, 2003), cet ke-1, h. 92 100 M. Anis Matta, Pemegang Saham Kebangkitan Islam, (Majalah Sabili: 25 Juli 2002), h. 49 101 John L. Esposito, Ensiklopedi Dunia Islam, h. 267-268
politik Mesir. Pada bentuk yang pertama, Ikhwanul Muslimin lebih menjelaskan pada tataran dalam tubuh organisasinya. Ia merupakan sebuah organisasi yang sangat memberikan peluang pada setiap orang untuk ikut berpartisipasi pada dunia perpolitikan melalui pendidikan politik dengan cara pelatihan dan generalisasi. Walaupun bentuk ini lebih fokus membahas masalah internal namun hal tersebut juga berkaitan dengan masyarakat luar dan luas. Karena sesuai dengan pemahaman tentang partisipasi, menjadi anggota dalam suatu jamaah atau partai politik saja sudah termasuk kedalam bentuk partisipasi dan apabila seseorang anggota bergabung dalam aktivitas organisasi politiknya, maka ia dapat dikatakan telah aktif dalam partisipasinya.102 Sedangkan pada bentuk yang kedua,Ikhwanul Muslimin lebih men-generalisasi dibandingkan bentuk yang pertama. Karena bentuk ini lebih mengemukakan hubungan Ikhwanul Muslimin dengan lingkungan serta situasi dan kondisi perpolitikan pada saat itu. Selain aktif dalam bentuk aksi dan demonstrasi, yang terpenting adalah Ikhwanul Muslimin ikut dalam pemilihan umum dengan mencalonkan atau memberi suara. Hal ini jelas membuktikan bahwa Ikhwanul Muslimin merupakan sebuah partai yang siap mengutus para kadernya untuk menuangkan visi misi pemikiran Ikhwanul Muslimin ke dalam parlemen.103
102
Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan “IKHWAN” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954,hal. 461-462 103
Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan “IKHWAN” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954,h. 461-462
Keikutsertaan Ikhwanul Muslimin pada pemilu saat itu dimaksudkan untuk memberikan pengaruh langsung terhadap keputusan politik Mesir melalui parlemen. Karena parlemen merupakan sebuah lembaga yang dapat dijadikan wadah untuk menyampaikan aspirasi rakyat maka Ikhwan mencalonkan enam orang anggotanya untuk maju pada pemilu 1942. Di antaranya adalah Al-Banna untuk daerah pemilihan kota Ismailia dan Muhammad Hamid Abunnashr untuk di Manfalut. Kemudian pada kesempatan berikutnya yaitu pada pertemuan luar biasa Dewan Pendiri Ikhwan tanggal 2 Syawal 1967 sampai 8 Agustus 1948, Ikhwan membahas tentang bagaimana seharusnya sikap mereka dalam menghadapi pemilihan umum yang akan datang. Akhirnya dalam pertemuan itu dicapailah sebuah kesepakatan yang berdasarkan usulan Mursyid “Aam (pimpinan pusat) untuk mengadakan referendum untuk seluruh anggota Ikhwan dan semua orang yang memang ingin berpartisipasi bersama mereka. Ada tiga pertanyaan seputar “sikap Ikhwan dalam menghadapi pemilu” dalam kegiatan
itu,
dan
untuk
mendapatkan
jawabannya
para
anggota
diwajibkan
mengumpulkannya kepada Komite Politik Ikhwan dalam jangka waktu 2 minggu sebelum waktu yang telah ditentukan. Komite Politik Ikhwan merupakan sebuah lembaga yang bertugas mempelajari hasil referendum dan melaporkan kepada Dewan Pendiri Jamaah. Dewan itulah yang kemudian akan menentukan sikap dalam menyikapi pemilu. Al-Banna pernah mengemukakan alasannya mengapa mereka ikut serta dalam pemilu 1944. bagi Banna karena melalui wakilnya lah dakwah mereka akan sampai kepada lembaga resmi Negara dan sekaligus memberi pelajaran kepada masyarakat
tentang pendidikan politik yang bermuatan nilai-nilai luhur dan moral yang tinggi.104 Apa yang telah dilakukan oleh gerakan tersebut jelas mengungkapkan betapa diterapkannya
konsep
syūrā
pada
gerakan
Ikhwanul
Muslimin.
Dari
awal
keikutsertaannya pada pemilu jelas membuktikan bahwa gerakan tersebut menerapkan konsep syūrā. Karena menurut Hasan dalam sebuah kelompok (partai politik) harus terdapat Majelis Syūrā yang bertugas sebagai wadah dalam menyikapi segala permasalahan umat. Selanjutnya sebuah partai politik memiliki konsekuensi untuk turut dalam pemilu. Dalam penentuan siapa yang akan maju mewakili partai itupun pasti tidak dapat terlepas dengan kegiatan musyawarah tersebut. Hal ini semakin mempertegas bahwa syūrā memang benar-benar telah diterapkan pada gerakan yang dipeloporinya, yaitu gerakan Ikhwanul Muslimin. Selain hal tersebut diatas Ikhwan juga mengaskan bahwa satu-satunya cara untuk pengangkatan kepala negara adalah melalui pemilihan ahlul halli wal ‘aqi (anggota Dewan Umat) yang dipilih oleh rakyat dan kesediaan orang tersebut. Jabatan kepresidenan merupakan “kontrak” antara Dewan Umat dan presiden. Oleh karena itu transaksi tidak akan terjadi secara sah kecuali melalui pemilihan bebas dari ahlu asysyura wa at-tasyri (dalam hal ini anggota Dewan Permusyawaratan dan Dewan Legislatif) dan kesediaan kepala negara tersebut. Bagi Ikhwan transaksi yang diikuti dengan “bai’ah secara sukarela” itulah
satu-satunya cara yang harus ditempuh untuk
jabatan eksekutif. Menurut Ikhwan, Untuk kekuasaan legislatif dipegang oleh Dewan Umat dan 104
Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan “IKHWAN” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954,h. 473-475
kepala negara dalam batas-batas ajaran Islam. Setiap anggota Dewan Umat dan kepala negara memiliki hak mengusulkan konstitusi sepanjang tidak bertentangan dengan Islam. Selanjutnya, konstitusi ditetapkan oleh Dewan Umat dan disetujui oleh mayoritas anggotanya. Untuk
kekuasaan
yudikatif,
Ikhwan
menempatkannya
pada
kekuasaan
independent diluar kekuasaan eksekutif. Meskipun kepala negara yang mengangkat para hakim, namun dalam hal ini para hakim tersebut tetap berstatus sebagai wakil rakyat. Karena hakim itu mewakili rakyat, maka mereka tidak akan diberhentikan dari jabatannya hanya karena kematian dan turunnya kepala negara. Kekuasaan ini dipegang oleh pengadilan dan mereka yang memutuskan hukum.105
105
Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan “IKHWAN” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954,h. 304-308
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Awalnya, syūrā (musyawarah) merupakan suatu kegiatan yang menjadi tradisi bangsa Arab dalam mengambil sebuah keputusan berdasarkan kesepakatan bersama. Namun ketika Islam datang, tradisi tersebut berubah menjadi sebuah aturan agama Islam yang wajib dipatuhi oleh umatnya. Karena aturan tersebut tertera dalam kitab suci AlQur’an dan As-Sunnah, maka tidak ada alasan lagi bagi umat Islam untuk tidak melaksanakan perintah tersebut. Islam sangat terlihat pasang surut dalam perjalanan politiknya. Pada saat dimana kebangkitan Islam sangat didamba-dambakan oleh umatnya, lahirlah seorang pahlawan Islam yang bernama Imam Hasan Al-Banna yang bersedia untuk membela agama dan negaranya dengan berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bagi al-Banna karena syūrā merupakan salah satu aturan yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an maka umat muslim wajib untuk melakukannya. Setiap pemimpin atau wakil rakyat yang bertanggung jawab terhadap rakyat banyak maka harus melakukan syūrā dalam mengambil sebuah keputusan demi kemashlahatan umat. Namun dalam hal ini, ia sangat membedakan versi Islam dengan Demokrasi ala Barat. Bagi Hasan Al-Banna syūrā versi Islam merupakan sebuah aturan agama yang wajib ditaati oleh setiap pemeluknya. Walaupun tidak ada mekanisme khusus dalam syūrā versi Islam, namun tidak semua persoalan dapat dimusyawarahkan. Setiap permasalahan yang sudah memiliki hukum yang jelas baik di dalam Al-Qur’an ataupun As-Sunnah tidak boleh lagi di ganggu gugat dengan campur tangan pemikiran manusia.
Kalaupun memang ada permasalahan yang tidak dapat ditemukan jawabannya, musyawarah hanya dapat dilakukan dalam tataran tekhnis saja, dan tetap selalu merujuk pada sumber yang telah ada. Berbeda dengan demokrasi ala Barat yang berartikan kedaulatan sepenuhnya ada di tangan rakyat. Melihat perbedaan yang sangat signifikan ini, akhirnya Hasan pun memberi label bahwa syūrā versi Islam bersifat mengikat. Tidak hanya perangkat Negara atau pejabat utama saja yang diwajibkan untuk melakukan syūrā namun juga setiap individu dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Melihat betapa pentingnya syūrā maka al-Banna menjadikan syūrā sebagai salah satu landasan dalam gerakan yang didirikannya yaitu gerakan Ikhwanul Muslimin. Sungguh terlihat jelas penerapan konsep syūrā
dalam gerakan yang didirikannya
tersebut. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan keikutsertaan gerakan tersebut pada berubahnya gerakan tersebut menjadi sebuah partai politik yang siap untuk mengikuti pemilu pada saat itu. Sebuah partai yang memutuskan siap untuk turut serta dalam pemilu secara otomatis harus melalui proses syūrā (musyawarah). Karena tidak dapat dipungkiri untuk menentukan siapa yang lebih pantas untuk naik bersaing harus merupakan kesepakatan anggota dalam tubuh partai tersebut.
B. Saran Syūrā bukan hanya kata tanpa makna, namun syūrā merupakan sebuah kata yang sarat akan makna yang berartikan suatu cara dalam mengambil keputusan. Oleh sebab itu jangan hanya memaknai kata syūrā pada tataran kehidupan bernegara dan kehidupan berpolitik saja, walaupun kita tidak dapat terlepas dari seputar permasalahan tersebut, namun juga harus difahami bahwa syūrā merupakan salah satu perintah yang ada di dalam Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an bersifat global dan universal maka suatu keharusanlah untuk setiap umat Islam melaksanakan perintah tersebut dalam menghadapi berbagai permasalahan. Sungguh contoh dan pelajaran hidup yang sangat berharga yang telah diberikan oleh sang Imam Hasan al-Banna untuk para generasi penerus. Ketika harus menciptakan sebuah perubahan, cipatakanlah sebuah perubahan yang lebih baik yang berdasarkan pada perintah-perintah agama dan tidak menyimpang dari segala aturan yang telah ada. Namun sayangnya tidak semua orang dapat dengan mudah menerima pemikiran Hasan al-Banna yang terlihat
lebih ekstrim dalam menyikapi segala hal persoalan
manusia. Namun sesungguhnya tidak ada maksud lain bagi sang Imam selain ingin menciptakan generasi rabbani yang selalu taat akan segala peraturan Illahi. Alangkah lebih baiknya jika kita dapat menghargai perbedaan, karena dengan memahami “perbedaan” maka kita akan lebih memahami arti “persamaan” yang sesungguhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Hadist Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999 Al-Asir, Ibn, Al-Kamil fi al-Tarikh, Jilid II, Beirut: Dar Shader-Dar Bairut, 1965 Al-Asqalani, Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar, Fath al-bari, Juz XIII, Kairo: Dar al-Fikr, tt Al-Banna, Hasan, Memoar Hasan al-Banna untuk Dakwah dan Para Dainya, Penerjemah Salafuddin Abu Sayyid, Solo: Intermedia, 2004, cet. Ke-4 --------------------, Mudzakkirat Ad-Da’wah wa Ad-Da’iyah, Kairo: Dar Asy-Syihab, tt --------------------, (terj.), “Anis Matta”, Risalah Pergerakan al-Ikhwan al-Muslimun 1, Solo: Era Intermedia, 2006, cet. ke-13 --------------------, (terj.), “Anis Matta”, Risalah Pergerakan al-Ikhwan al-Muslimun 2, Solo: Era Intermedia, 2005, cet. ke-9 Al-Ghazali, Abdul Hamid, Meretas Jalan Kebangkitan Islam, Peta Pemikiran Hasan alBanna, Penerjemah Wahid Ahmadi, Solo: Era Intermedia, 2001, cet. Ke-1 Al-Jundi, Anwar, Biografi Hasan Al-Banna, Solo: Media Insani Press, 2003, cet. Ke-1 Al-Mawardi, Imam, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, cet ke-1 Al-Maududi, Abul A’la, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, 1995, cet. Ke-4 Al-Qardhawy, Yusuf, Fiqih Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997 ---------------, Pedoman Bernegara dalam Perspektif Islam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999, cet ke-1 Al-Qurthubi, Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad al-Anshar, al-Jami’ li Ahkam alQur’an, Juz II, Kairo: Dar al-Sya’b, tt
Al-Suyuthi, Jalal al-Din, Al-Jami’al-Shaghir fi Ahadis al-Basyir wa al-Nazir, Kairo: Dal al-Qalam, 1966 Al-Suyuthi, Jalal al-Din, Tarikh al-Khulafa’ Kairo: Dar Nahdhat, 1976 Al-Wa’iy, Taufik Yusuf, Pemikiran Politik Kontemporer Al-Ikhwan Al-Muslimun, Observatif, Dokumentatif, Solo: Era Intemedia, 2003, cet. Ke-1 Aziz, Jum’ah Amin Abdul Aziz., Tsawabit dalam Manhaj Gerakan Ikhwan, Bandung: Asy Syaamil Press dan Grafika, 2002, cet. Ke-2 Aly, Sirojuddin, Diktat; Ketata Negaraan Periode Khulafa al-Rasyidin, Jakarta, 2007 Arnold, Thomas W, The Caliphate, London: Routledge & Kegan Paul Ltd, 1967 Asyri, Zul, Pelaksanaan Musyawarah dalam Pemerintahan Al-Khulafa’al Rasyidin, Jakarta: Kalam Mulia, 1996, cet. Ke-2 Asy-Syawi, Taufik Muhammad, Syura Bukan Demokrasi, Jakarta: Gema Insani Press, 1997 At-Thabari, Tarikh al-Umam wa al Mulk, Jilid II, Mesir: Dar al-Fikr, 1979 Aziz, Ahmad Amir, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Renika Cipta, 1999 Aziz, Jum’ah Amin Abdul Aziz, Tsawabit dalam Manhaj Gerakan Ikhwan, Bandung: Asy Syaamil Press dan Grafika, 2002, cet. Ke-2 Bek, Syekh Muhammad al-Hudhari, Muhadharat Tarikh al-Umam al-Islmaiyat, Jilid I, Kairo: Al-Maktabat al-Tijariyat al-Kubra, tt Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004 Dahlan, Abdul Aziz dkk, (ed.), Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,, 1996, ct ke-6 Djaelani, Abdul Qadir, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995, cet. Ke-1 Esposito, john L, dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim; Problem dan Prospek terj: Rahmani Aztuti, Bandung: Mizan, 1990 Esposito, John L, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, Bandung: Penerbit Mizan, 2001, cet ke-1
---------------------, Identitas Islam pada Perubahan Sosial-Politik, Bandung: Bulan Bintang, 1986 ---------------------, Islam dan Politik, Bandung: Bulan Bintang, 1990 Fariz, Muhammad Abdul Qadir Abu, Sistem Politik Islam, Jakarta: Robbani Press, 2000 Karim, Khalil Abdul, Syari’ah Sejarah Perkelahian dan Pemaknaan Yogyakarta: LKIS, 2003 Lewis, Bernard, Bahasa Politik Islam, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994 Matta, M. Anis, Pemegang Saham Kebangkitan Islam, Sabili: 25 Juli 2002 Muhammad, KH. Husain, Dawrah Fiqih Perempuan, Cirebon: Fahmina Institute, 2006 Qutb, Sayyid, Fiqih Dakwah, Jakarta: Pustaka Amani, 1995, cet. Ke-2 Rahman, Fazlur, Islamic Methodology in History, Karachi: Central Institut of Islamic Research, 1965 Rahman, Fazlur, dkk (ed.), “Ahmad Mumtaz”, Masalah-masalah Teori Politik Islam, Bandung: Mizan, 1993, cet. Ke-1 Rais, M. Dhiauddin, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001 Ruslan, Ustman Abdul Mu’iz, Pendidikan Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan “IKHWAN” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995, cet. Ke-2 Sadjali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1993 Sou’yb, Joesoef, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979 Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat, Jakarta: Gramedia, 2001 Suseno, Franz Magnis, Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003, cet. Ke-7 Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayaullah Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), cet. Ke-1, h. 162 Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Gitamedia Press, 2006, cet. Ke-1 Ubaidillah, A, et al, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Press, 2000, cet. Ke-1
Uhlin, Anders, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokrasi Gelombang ketiga di Indonesia, terj. Rofik Suhud, Bandung: Mizan, 1997 Usman, Fathi, dkk (terj), Ikhwanul Muslimin Membedah Demokrasi, Jakarta: Media Da’wah, tt Yakan, Fathi, Revolusi Hasan Al-Banna, Jakarta: Harakah, 2002, cet Ke-1 Internet, Abdullah, Abi, Kewajiban Melaksanakan & Mentaati Syura’ (Wujub AsySyura’)dikutip dari http://www.al-shia.com/html/id/service/maqalat/musyawarah-dalamIslam.htm Al-Ikhwan.net 28 February 2007 9 Safar 1428 H Hits: 2,107 Rakhmat, Jalaluddin, Skisme dalam Islam Sebuah Telaah Ulang (http://www.jalalcenter.com/index.php?option=com_content&task=view&id=99)